DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR"

Transkripsi

1 DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

2 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Ketersediaan Sumberdaya Air di Kota Tangerang. Dibimbing oleh SUNSUN SAEFULHAKIM dan AFFENDI ANWAR. Perkembangan suatu wilayah tidak terlepas dari pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi, sehingga terjadi konflik terhadap lahan, disatu sisi permintaan terhadap lahan terus meningkat disisi lain luas lahan tetap. Hal ini akan berakibat terhadap perubahan penggunaan lahan terutama dari lahan pertanian menjadi non pertanian. Perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi non pertanian mendorong meningkatnya areal terbangun (built up area), yang berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya air. Untuk mengetahui seberapa besar dampak dari perubahan penggunaan lahan terhadap ketersediaan sumberdaya air perlu mengerahui barapa besar perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi built up area setiap tahun atau dalam kurun waktu tertentu secara time series, curah hujan yang jatuh di wilayah penelitian, Evapotranspirasi yang terjadi, Air hujan ang meresap kedalam tanah (infiltrasi) serta berapa air limpasan permukaan (run off). Untuk mengtahui perubahan penggunaan lahan dapat dilkukan dengan pembuatan peta penggunaan lahan secara time series dengan metoda penginderaan jauh (remote sensing) baik melalui citra satelit atau foto udara. Data curah hujan didapat dari hasil pengukuran yang dilakukan Badan Meteorologi stasiun Tangerang, Penghitungan Evapotranspirasi dilakukan dengan menggunakan metoda Turc dan Langbein, infiltrasi dan run off dilakukan dengan pendekatan tipologi wilayah dengan mengacu pada U.S. Forest Service. Dengan meningkatnya areal terbangun mengakibatkan menurunnya air hujan yang meresap kedalam tanah (infiltrasi) yang menjadi cadangan air tanah dan meningkatkan aliran air permukaan (run off). Pada kondisi yang kritis hal tersebut akan meyebabkan kekeringan (kekurangan air) pada musim kemarau dan menimbulkan banjir pada waktu musim hujan. Utuk mengurangi resiko tersebut perlu dilakukan efisiensi dalam pemanfaatan lahan, serta pembuatan sumur resapan pada setiap bangunan, kolam resapan/danau buatan komunal pada kawasan perumahan.

3 DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG DADAN SUHENDAR Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

4 Judul Tesis : Dampak Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Ketersediaan Sumber Daya Air di Kota Tangerang Nama : Dadan Suhendar NRP : P Program Studi : Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Menyetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr. Ketua Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, MSc. Anggota Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pe rdesaan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsjah Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M,Sc

5 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cimahi, Jawa Barat pada tanggal 18 Maret 1965 dari ayah Engkus Kusmana (alm) dan ibu Edjeh Mulyati (alm). Penulis merupakan putra ketiga dari enam bersaudara. Tahun 1984 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bandung dan pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan menamatkannya pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada program studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan pada Sekolah Pasca Sarjana IPB diperoleh pada tahun Ijin belajar diperoleh dari Pemerintah Kota Tangerang. Penulis bekerja pada Pemerintah Kota Tangerang sejak tahun 1994 sebagai pelaksana pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), kemudian promosi sebagai Kepala seksi Industri, Pertambangan dan Energi Bappeda pada tahun 1996, pada tahun 1999 menjabat sebagai Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Lahan pada Bappeda, Kemudian menjadi Kepala seksi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup pada Bappeda pada tahun 2000, Sejak tahun 2001 hingga sekarang penulis menjabat Kasi Pemetaan dan Survey pada Dinas Tata Kota

6 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2004 ini adalah Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Ketersediaan Sumberdaya Air di Kota Tangerang. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr dan Bapak Prof. Dr. H. Affendi Anwar, M.Sc selaku pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Joewono H, MT Kepala Dinas Tata Kota Kota Tangerang periode tahun dan Ibu Hj. Roostiwie, SKM, M.Si Kepala Dinas Tata Kota periode Tahun 2005 sampai sekarang, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi pasacasarjana S-2, rekan-rekan mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan Pedesaan angkatan 2002 serta seluruh jajaran Dinas Tata Kota yang telah membantu penulis dalam penyediaan dan pengolahan data serta dorongan moril. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada rekan seperjuangan Ir. H. Masduki dan Drs. Otong Suhyanto atas bantuan yang sangat berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Karya ilmiah ini penulis persembahkan kepada istri tercinta Neti Hendrawati serta anakanak tersayang Shabrina ghassani dan Hadyan Adam semoga karya yang telah penulis lakukan menjadi motivasi bagi anak-anakku Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2006 Dadan Suhendar

7 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA... Tata Guna Lahan... Teori Lokasi... Teori Land Rent... Sumberdaya Air.... Daur Hidrologi... Presipitasi... Evapotranspirasi... Infiltrasi... Limpasan Permukaan... Keterkaitan Penggunaan Lahan dengan Sumberdaya Air... METODA PENELITIAN... Perubahan Penggunaan Lahan... Analisis Hidrogeologi... Hidrologi... Analisis Penentuan Harga Air... KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN... Kondisi Fisik Kota Tangerang... Kondisi Sosial... Kondisi Ekonomi... Kondisi Sarana dan Prasarana... PEMBAHASAN DAN HASIL... Perubahan Penggunaan Lahan... Pola Perubahan Sumberdaya Air... Neraca Air Wilayah Kota Tangerang... Kondisi Hidrogeologi... Kondisi DAS Cisadane... Keterkaitan antara Penggunaan Lahan dengan Sumberdaya Air... Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Land Rent... Kondisi Ekonomi Air..... KESIMPULAN DAN SARAN... Kesimpulan... Saran... xi xii xiv

8 DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN

9 DAFTAR TABEL Tabel an Halam Nilai Koefisien Air Larian Hubungan Jenis Batuan dengan Besar Butir, Porositas dan Kelulusan... Nilai Tahanan Jenis Batuan Jumlah dan Perkembangan Penduduk Kota Tangerang Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Tahun Jumlah Penduduk Menurut Umur Tahun PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Berlaku Tahun Pertumbuhan PDRB Kota Tangerang Tahun Perbandingan Luas Lahan Terbangun dengan Ruang Terbuka... Penggunaan Lahan Tahun Kota Tangerang Tahun Data Curah Hujan Stasiun Tangerang Tahun Data Temperatur Stasiun Tangerang Tahun Hasil Perhitungan Evapotranspirasi Perioda Perhitungan Neraca Air Tahun 1959, 1994 dan Fluktuasi Debit Sungai Cisadane yang Terukur di Stasiun Pengamatan Pasar Baru Tangerang... Analisa Neraca Air DAS Cisadane... Perbandingan Ketersediaan Sumberdaya Air dengan Penggunaan Lahan Tahun 1959, 1994 dan Perkembangan Perubahan Muka Air Tanah Tahun 1959 dan 2004 Jumlah dan Panjang Sungai di Kota Tangerang

10 DAFTAR GAMBAR Gambar an Halam Siklus Hidrologi Efek Negatif Pengaturan Suberdaya Air Tanah yang Tidak Baik Model Tata Guna Lahan Menurut Von Thunen... Model Tata Guna Lahan Menurut Burges... Model Tata Guna Lahan Menurut Hoyt... Pola Penggunaan Lahan Kota Konsep Teori Pusat Lipat Ganda... Hubungan antara Land Rent Lokasi pada Berbagai Sektor Ekonomi Model Tata Guna Lahan Lingkaran Konsentris... Pembentukan Kota Inti Secara Berganda... Kerangka Pemikiran Perubahan Pengunaan Lahan dan Ketersediaan Sumberdaya Air Diagram Alir Metode Penelitian... Citra Satelit... Foto Udara... Material Bahan yang Dilalui oleh Arus Listrik... Hubungan antara Tahanan Jenis dan Kadar Garam dalam Air yang Dikandung Batuan... Skema Alat Ukur Geolistrik... Pengukuran Tahanan Jenis di Lapangan... Peta Wilayah Administrasi Kota Tangerang... Peta Lokasi Banjir... Peta Hidrogeologi Kota Tangerang... Peta Cekungan Air Tanah Kota Tangerang

11 Peta Geologi Kota Tangerang... Prosentase Jumlah Penduduk Tahun Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun Grafik Kepadatan Penduduk Tahun Grafik Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Tahun Jumlah Penduduk Kota Tangerang Menurut Jenis Kelamin... Peta Tata Guna Lahan Kota Tangerang Tahun Peta Tata Guna Lahan Kota Tangerang Tahun Proporsi Tiap Jenis Penggunaan Lahan... Perbandingan Luas Pemanfaatan Lahan Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya... Peta Sebaran Kegiatan Perdagangan dan Jasa... Peta Sebaran Industri... Perbandingan Sumbangan Sektor Pertanian Terhadap Total PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun Perbandingan Sumbangan Sektor Industri Terhadap Total PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun Perbandingan Sumbangan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran terhadap Total PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun Kota Tangerang Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun Kota Tangerang Distribusi Air Hujan yang Jatuh di Daerah Penelitian... Perbandingan Infiltrasi dan Run-Off. Grafik Fluktuasi Debit Sungai Cisadane Tahun Grafik Fluktuasi Debit Sungai Cisadane Tahun Grafik Varian Debit Sungai Cisadane Tahun Grafik Covarian Debit Sungai Cisadane Tahun

12 Grafik Rata-rata Tahunan debit Sungai Cisadane... Susunan Lapisan Hasil Penafsiran Geolistrik... Perubahan Muka air Tanah Dangkal... Kondisi Air Tanah DAS Cisadane.. Grafik Surplus dan Defisit Air DAS Cisadane. Grafik Curah Hujan Rata-rata Tahunan Tahun Grafik Suhu Udara Rata-rata Tahunan Tahun Grafik Debit Rata-rata Tahunan Sungai Cisadane Tahun Peta Sebaran Instalasi Pengolahan Air PDAM... Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk... Grafik Perkembangan Kebutuhan Air... Perkembangan Sumbangan Air Bersih terhadap PDRB...

13 DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN an Halam Peta DAS Cisadane... Peta Geologi DAS Cisadane... Peta Jenis Tanah DAS Cisadane... Peta Penggunaan Lahan DAS Cisadane..... Peta Daerah Tangkapan Air DAS Cisadane.... Data Debit Bulanan Sungai Cisadane... Varian dan Covarian Debit Sungai Cisadane... Tabel Hasil Penafsiran Pengukuran Geolistrik... Perbandingan Kebutuhan dan Ketersediaan Air Bersih Tahun 2004 Data Tahun 2003 dan Korelasi antar Variabel... Data Pengambilan Air Bawah Tanah Tahun 2004 Data Pengambilan Air Permukaan Tahun Data Permohonan Sumur Berdasarkan Ijin

14 PENDAHULUAN Latar Belakang Sejak berdirinya Kota Tangerang pada tahun 1993, telah terjadi berbagai perkembangan baik eksternal maupun internal yang sangat berpengaruh terhadap dinamika kota. Kota Tangerang sebagai salah satu kota di wilayah Metropolitan Jabotabek yang menjadi wilayah penyangga bagi DKI Jakarta, mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup pesat. Lokasi Tangerang yang potensial terutama dinilai dari aksesibilitas dengan pusat kota Jakarta, Bandara Soekarno-Hatta, Pelabuhan Tanjung Priuk di Jakarta dan Bojonagara di Cilegon, dan kota-kota lainnya di Jabotabek, Banten dan Jawa Barat, menyebabkan kota ini sangat menarik bagi perkembangan kegiatan seperti perumahan, industri dan perdagangan. Keterbatasan lahan di DKI Jakarta untuk kegiatan industri dan perumahan mengakibatkan adanya pergeseran kegiatan ke wilayah penyangga termasuk kota Tangerang. Sejalan dengan perkembangan kedua kegiatan tersebut berkembang pula kegiatan perdagangan dan pergudangan di sepanjang koridor jalan utama yang menghubungkan simpul-simpul utama tranportasi nasional dan internasional dengan DKI Jakarta. Perkembangan kegiatan-kegiatan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan yang kemudian menimbulkan beberapa masalah bagi Kota Tangerang. Proses perubahan penggunaan lahan terjadi seiring pertumbuhan ekonomi yang memberi dampak terhadap pendapatan dalam masyarakat.

15 Perubahan diharapkan mampu memperluas kesempatan kerja sehingga memungkinkan terjadinya proses tranformasi pekerja dari sektor pertanian ke non pertanian. Terjadinya perubahan kegiatan akan memberi tekanan kepada permintaan lahan diluar sektor pertanian. Dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2003 perubahan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun mencapai 23,6% atau arata-rata 2,36% pertahun. Hal yang mendasari perubahan penggunaan lahan adalah perkembangan jumlah penduduk dan perkembangan kegiatan ekonomi. Laju pertumbuhan penduduk dari tahun mencapai 5,75% dan pertumbuhan ekonomi dilihat berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan tahun 1993 Pola Perubahan penggunaan lahan yang terjadi cenderung mengikuti teori ekonomi, yaitu dari lahan yang mempunyai land rent rendah menuju lahan yang mempunyai land rent tinggi yaitu dari lahan pertanian menjadi perumahan, industri atau perdagangan atau dari lahan permukiman menjadi perdagangan atau jasa Perubahan lahan membawa dampak kepada perubahan sumberdaya air terutama air tanah, air tanah merupakan penunjang utama disamping air permukaan dalam rangka memenuhi kebutuhan air bersih bagi penduduk Kota Tangerang sejak puluhan tahun lalu. Meningkatnya taraf kesejahteraan penduduk seiring pula dengan meningkatnya penggunaan sumberdaya alam, sebagaimana halnya dengan sumberdaya air. Pertambahan laju pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan yang sangat pesat khususnya sektor industri dan perumahan/permukiman, maka masalah penyediaan air bersih akan menjadi sangat besar peranannya.

16 Kebutuhan air bersih yang sangat tinggi bagi penduduk Kota Tangerang yang saat ini berjumlah sekitar 1,52 juta jiwa yang tersebar pada wilayah seluas Ha membutuhkan air bersih sebesar m 3 (standar WHO kebutuhan air bersih 125 l/orang/hari). Perubahan penggunaan lahan selain berpengaruh terhadap air tanah juga juga berpengaruh pada air permukaan, aliran air permukaan menjadi tidak terkendali perbedaan aliran air permukaan (surface run off) menjadi sangat jauh antara musim hujan dan musim kemarau, dimana pada musim hujan aliran air permukan yang tinggi melebihi kapasitas badan penampung air sehingga air meluap dan menimbulkan banjir, sedangkan pada musim kemarau air permukaan menunjukan ketinggian yang sangat rendah bahkan pada daerah pertanian tidak bisa memberi kontribusi kepada lahan pertanian yang memerlukan air. Proses perubahan penggunaan lahan tersebut harus dilakukan, apabila diinginkan pertumbuhan ekonomi yang memberi dampak terhadap pendapatan dalam masyarakat. Perubahan diharapkan mampu memperluas kesempatan kerja sehingga memungkinkan terjadinya proses tranformasi pekerja dari sektor pertanian ke non pertanian. Terjadinya perubahan kegiatan akan memberi tekanan kepada permintaan lahan diluar sektor pertanian, khususnya lahan-lahan pertanian yang berdekatan dengan kawasan perkotaan Perubahan penggunaan lahan akan membawa dampak kepada perubahan sumberdaya air terutama air tanah, air tanah merupakan penunjang utama disamping air permukaan dalam rangka memenuhi

17 kebutuhan air bersih bagi penduduk Kota Tangerang sejak puluhan tahun lalu. Meningkatnya taraf kesejahteraan penduduk seiring pula dengan meningkatnya penggunaan sumberdaya alam, sebagaimana halnya dengan sumberdaya air. Pertambahan laju pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan yang sangat pesat khususnya sektor industri dan perumahan/permukiman, maka masalah penyediaan air bersih akan menjadi sangat besar peranannya. Perkembangan Kota Tangerang yang semakin maju, baik ditinjau dari segi fisik, social, ekonomi maupun segi-segi lainnya dapat mengakibatkan kebutuhan akan air bersih semakin meningkat pesat. Dilain pihak, pertambahan produksi air bersih oleh PDAM masih sangat terbatas dan belum dapat memenuhi keperluan akan air bersih, sehingga pengeboran air tanah di seluruh kawasan Kota Tangerang menjadi semakin banyak dan tak terkendalikan. Pesatnya laju penyedotan/penggunaan air tanah yang tidak terkendali tersebut, akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan daur geohidrologi bagi Kota Tangerang. Penurunan muka air tanah, dan penyusupan (intrusi) air laut, serta kemungkinan penurunan permukaan tanah atau amblesan (land subsidence) dapat terjadi dibeberapa bagian wilayah Kota Tangerang terutama di daerah dengan tingkat kerapatan jumlah sumur bor yang sangat tinggi. Penurunan muka air tanah (water table) diperkirakan akan terus berlangsung sebagai bukti bahwa debit/luah pengambilan melebihi kecepatan pengisian kembali pada system akifernya yang berasal dari peresapan air hujan.

18 Perubahan penggunaan lahan selain berpengaruh terhadap air tanah juga juga berpengaruh pada air permukaan, aliran air permukaan menjadi tidak terkendali perbedaan aliran air permukaan (surface run off) menjadi sangat jauh antara musim hujan dan musim kemarau, dimana pada musim hujan aliran air permukan yang tinggi melebihi kapasitas badan penampung air sehingga air meluap dan menimbulkan banjir, sedangkan pada musim kemarau air permukaan menunjukan ketinggian yang sangat rendah bahkan pada daerah pertanian tidak bias memberi kontribusi kepada lahan pertanian yang memerlukan air. Sumberdaya air merupakan suatu siklus, dimana hujan (Precipitation = P) turun kebumi mengalir dipermukaan (Run-off = RO) sebagian meresap (Infiltration = F) serta ada yang menguap (Evapotranpirasi = ET) yang selanjutnya menjadi uap air yang naik kembali keatas dan bila bertemu dengan inti kondensat akan berubah lagi menjadi hujan dan begitu seterusnya (Gambar 1). Seperti diketahui bahwa dalam Ilmu hidrologi dikenal adanya hukum water balance yang menerangkan siklus diatas, yang dapat ditulis dengan rumus dibawah ini (Rumus 1). P = RO + ET + F. ( 1 ) dimana : P : Curah Hujan/Presipitasi (Presipitation) RO : Air Limpasan Permukaan (Run-Off) ET : Evapotranspirasi (Evapotranspiration) F : Infiltrasi (Infiltration) Sumber air utama berasal dari air permukaan (non artesis : sungai, danau) dan air bawah permukaan (artesis : air tanah dangkal dan dalam). Banyak dampak telah terjadi akibat pemakaian air bawah permukaan yang tidak

19 sesuai dengan kemampuan akuifer seperti penurunan tanah (land subsidence), akuifer menjadi dalam, tekanan air tanah berkurang sehingga EVPT Presipitatio n RO INF (A) PRECIPITATION EVPT RO INF Keterangan : (A) : Tampak Atas (B) : Tampak Samping Gambar 1. Siklus Hidrologi (B) Sumber : Seyhan diterjemahkan olehsubagyo, 1990

20 intrusi air laut semakin jauh kedaratan. Hal ini terjadi karena pengelolaan air tanah maupun air permukaan tidak dilakukan dengan baik. Pertumbuhan penduduk yang pesat disertai perkembangan kegiatan perkotaan yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan air tanah, sehingga terjadi eksploitasi air tanah secara besar-besaran. Pada kondisi pemompaan air tanah yang berlebihan (over pumping) akan terjadi penurunan muka air tanah yang besar, pada kondisi ini pula akan menyebabkan kekeringan bahkan kematian pada tanaman (Gambar 2). Sumber : PT. Tatanusa Teknoyasa, Propsal Penelitian Hidrogeologi, 2004 Atas : Kondisi Normal Bawah : Over pumping Gambar 2. Efek Negatif Pengaturan SumberDaya Air Tanah Yang Tidak Baik

21 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi karakteristik Kota Tangerang terkait dengan perubahan lahan dan ketersediaan sumberdaya air 2. Menganalisis perubahan penggunaan lahan khususnya terhadap pola dan determinan perubahan tersebut. 3. Menganalisis perubahan ketersediaan sumberdaya air 4. Menganalisis kaitan antara perubahan penggunaan lahan dan ketersediaan sumberdaya air. 5. Menganalisis dan merumuskan konsekwensi/implikasi strategis dari perubahan penggunaan lahan dan ketersediaan sumberdaya air dan kaitan antar keduanya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan dalam hal ini Pemerintah Kota Tangerang didalam pengendalian penggunaan lahan dan pengambilan air bawah tanah agar keseimbangan air (water balance) dapat dipertahankan. Atas dasar penelitian ini, maka akan dicoba untuk memberikan beberapa rekomendasi penanganan pengelolaan sumberdaya air, khususnya air tanah, agar tidak terjadi gangguan keseimbangan lingkungan yang lebih parah, sebagai akibat ketidak seimbangan antara produksi (eksploitasi) air dan air tanah yang masuk kedalam akifer (infiltrasi).

22 TINJAUAN PUSTAKA Tata Guna Lahan Lahan (land) adalah suatu daerah di permukaan bumi dengan sifat-sifat tertentu, yaitu dalam hal sifat-sifat atmosfer, geologi, geomorfologi, tanah, hidrologi, vegetasi, dan penggunaan lahan. Sumberdaya lahan (land resources) adalah kondisi dari sumberdaya lahan yang dapat dieksploitasi manusia. Sementara yang dimaksud dengan tanah (soil) adalah bahan mineral cerai berai pada permukaan bumi yang berfungsi sebagai medium tumbuh bagi tanaman atau tumbuhan (Soepardi, 1977). Lahan merupakan komoditi ekonomi yang nilainya terus meningkat karena sifat keterbatasannya, apalagi dilihat dari berbagai sudut pandang lahan mempunyai banyak nilai tambah. la mempunyai nilai keindahan, nilai politik, nilai fisik, nilai sosial, nilai spiritual dan sebagainya. Nilai-nilai ini, dimiliki oleh sumberdaya lahan apabila ia mempunyai manfaat/potensi untuk menghasilkan pendapatan dan kepuasan sementara jumlah yang ditawarkan lebih sedikit daripada pemintaannya serta ia mudah untuk dialihkan penguasaannya (Cahyono, 1982). Teori Lokasi

23 Teori Lokasi Von Thunen, Burges dan Homer Hoyt Teori Von Thunen dikenal sejak abad 19, Teori ini merupakan model guna lahan sederhana, didasarkan pada satu titik permintaan dalam lingkungan ekonomi pedesaan yang mempunyai struktur pasar sempurna baik pasar output maupun pasar input. Selain itu diasumsikan bahwa seluruh wilayah dapat dijangkau tertapi terisolasi, sehingga tidak ada ekspor impor. Berasumsi tersebut maka lahan akan mengikuti pola kawasan komoditi berbentuk lingkaran ( Gambar 3) dengan kota sebagai pusatnya sekaligus sebagai tempat permukiman kemudian areal sawah, tegalan, hingga kebun. Bentuk lingkaran tidak mesti simetris, tetapi tergantung akses yang ada. Misalnya melonjong, mengikuti akse s jalan atau sungai. Land rent A A B C D Xi Xj Xm Keterangan : Xi : Pusat Kota (Permukman) Xj : Areal sawah Xm : Tegalan Xn : Kebun K : Zona Permukman L : Zona Persawahan M : Zona Tegalan A,B,C,D : Nilai Land rent A,B,C D jarak dari Pusat Kota Pusat Kota O K Xn A B C L M D Jarak dari Pusat Kota Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah) Gambar 3 : Model Tata Guna Lahan menurut Von Thunen Analisis serupa Von Tunen yang digunakan di kawasan perkotaan, dilakukan oleh Burges (Barlowe, 1978). Burges menganalogikan pusat pasar dengan pusat kota (Central Business District atau CBD). CBD merupakan tempat yang lebih banyak digunakan untuk gedung kantor, pusat pertokoan, Bank dan perhotelan. Berbeda dengan Von Thunen yang menggambarkan pola kawasan untuk berbagai komoditi, bagi Burges pola

24 tersebut untuk berbagai kegiatan ekonomi. Asumsi yang dipakai sama, semakin jauh dengan kawasan CBD, nilai land rent ekonomi kawasan tersebut semakin kecil, tetapi Burges menekankan pada faktor karak komutasi ke tempat kerja dan tempat belanja merupakan faktor utama dalam tata guna lahan di perkotaan. Jadi Burges memusatkan pada tempat orang bermikim relatip terhadap tempat bekerja dan belanja. Dalam area konsentrasi Burges, pusat area merupakan CBD, dikelilingi kawasan industri, kemudian kawasan transisi termasuk didalamnya kawasan kumuh, tempat bisnis dan pertokoan yang mapan, kemudian kawasan perumahan kelas rendah. Lingkaran selanjutnya, perumahan menengah dan kelas atas. Terakhir kawasan pinggiran tempat penglaju (komuter).untuk lebih jelasnya lihat Gambar 4. Komuter Perumahan menengah & atas Perumahan kelas rendah Transisi Industri CBD Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah) Gambar 4 : Model Tata guna Lahan menurut Burges Hoyt (Barlow, 1978) mengemukakan gagasan pengganti konsentrasi kawasan berdasarkan kedudukan relative tempat kerja dan belanja terhadap

25 tempat permukiman. Pendekatan sektor menggambarkan jaringan transportasi yang dianggap homogen oleh Burges, diaplikasikan sesuai dengan keadaan jalan seperti kondisi jalan di amerika serikat pada waktu itu. Hasil analisis Hoyt adalah system jaringan transportasi seperti keadaan sebenarnya, Hoyt menyimpulkan bahwa jaringan transportasi tersebut mampu memberikan jangkauan yang lebih tinggi dan ongkos yang lebih murah terhadap kawasan lahan tertentu. Kalau digambarkan dalam bentuk lingkaran kawasan, hampir sama dengan bentuk Burges. Bedanya model Hoyt lebih menekankan pada peran jaringan transportasi terhadap suatu lahan. Faktor jaringan transportasi yang baik akan membuat kawasan perumahan kelas atas bersambung dengan kawasan CBD. Sedang lahan yang aksesnya kurang baik, akan dihuni oleh kelompok bawah yang letaknya di luar lingkaran kawasan grosir dan industri (lihat Gambar 5). Keterangan Gambar : 1. Daerah Pusat Kegiatan (CBD) 2. Zona Industri 3. Zona Permukiman Kelas Rendah 4. Zona Permukiman Kelas Menengah 5. Zona Permukiman Kelas Tinggi Sumber: Adisasmita, 1983 (teori -teori lokasi dan pengembangan wilayah) Gambar 5 : Model Teori Sektor menurut Hoyt Teori lain yang dapat menjelaskan mengenai penggunaan lahan kota. adalah teori pusat lipat ganda (Multi Nuclei Theori) yang dikemukakan oleh Harris dan Ulman (Daldjoeni, 1992). Menurut teori ini suatu kota terdiri dari beberapa pusat inti perkembangan dan bukan hanya satu seperti halnya

26 menurul teori Burgess maupun Hoyt. Seliap pusat inti cendrung diwarnai oleh satu jenis kegiatan seperti pemerintahan, rekreasi, pendidikan, perdagangan dan lain-lain. Beberapa pusat/inti mungkin sudah berkembang sejak awal berdirinya kota dan yang lainnya akan muncul dan berkembang kemudian, yang dapat dilihat pada gambar teori pusat lipat ganda berikut ini. (Sumber: Daldjoeni, 1992) Keterangan : (1) Pusat kota (2) Kawasan niaga (3) Kawasan tempat tinggal berkualitas rendah (4) Kawasan bertempat tinggal berkualitas menengah (5) Kawasan tempat tinggal berkualitas tinggi (6) Pusat industri berat (7) Pusat niaga/perbelanjaan lain dipinggiran (8) Kawasan madyawisma dan adiwisma (9) Kawasan industri Gambar 6. Pola Penggunaan Lahan Kota Konsep Teori Pusat Lipat Ganda Bila dilihat dari segi perkembangan kota, sebenamya ada tiga faktor utama yang sangat menentukan perkembangan dan pertumbuhan kota yaitu manusia, kegiatan manusia dan pola pergerakan antar pusat kegiatan manusia yang satu dengan pusat kegiatan manusia lainya. Menurut Sujarto (1989) ketiga faktor tersebut akan termanifestasikan pada perubahan akan tuntutan kebutuhan lahan. Faktor manusia yang berpengaruh terhadap perubahan tersebut menyangkut perkembangan tenaga kerja, status sosial serta perkembangan kemampuan dan teknologi. Faktor kegiatan manusia meliputi kegiatan kerja, kegiatan fungsional, kegiatan perekonomian kota dan kegiatan hubungan regional yang lebih luas, faktor pola pergerakan adalah akibat dari perkembangan yang disebabkan oleh kedua faktor perkembangan penduduk disertai dengan perkembangan fungsi kegiatannya akan memacu pola hubungan antara pusat-pusat kegiatan tersebut.

27 Teori Alfred Weber Teori Weber (Barlow, 1978; Glason, 1977) biasa disebut teori biaya terkecil. Dalam teori tersebut Weber mengasumsikan : (1) Bahwa daerah yang menjadi obyek penelitian adalah daerah yang terisolasi. Konsumennya terpusat pada pusat-pusat kegiatan. Semua unit perusahaan dapat memasuki pasar yang tidak terbatas dan persaingan sempurna. (2) Semua sumberdaya alam tersedia secara tak terbatas. (3) Barang-barang lainnya seperti minyak bumi dan mineral adalah sporadic tersedia secara terbatas pada sejumlah tempat. (4) Tenaga kerja tidak tersedia secara luas, ada yang menetap tetapi ada juga yang mobilitasnya tinggi. Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri yang biaya transportasi, biaya tenaga kerja dan kekuatan aglomerasi. Biaya transportasi diasumsikan berbanding lurus terhadap jarak yang ditempuh dan berat barang sehingga titik lokasi yang membuat biaya terkecil adalah bobot total pergerakan pengumpulan berbagai input dan pendistribusian yang minimum. Dipandang dari segi tata guna lahan model Weber berguna untuk merencanakan lokasi industri dalam rangka mensuplai pasar wilayah, pasar nasional, atau pasar global. Dalam model ini fungsi tujuan biasanya meminimkan ongkos transportasi sebagai fungsi dari jarak dan berat barang yang harus diangkut (input dan output). Kritikan atas model ini terutama pada asumsi biaya transportasi dan biaya produksi yang bersifat konstan, tidak memperhatikan faktor kelembagaan dan terlalu menekankan pada sisi input. Teori Land Rent Land Rent Lokasi dan sektor Ekonomi

28 Barlow (1978) menggambarkan hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumberdaya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan. Sektor -sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi sehingga sektor sektor tersebut berada di kawasan strategis. Sebaliknya sektor -sektor yang kurang mempunyai nilai komersial nilai land rentnya semakin kecil. Land rent disini diartikan sebagai locational rent. Kalau digambarkan secara grafis, sektor-sektor yang strategis fungsinya lebih curam. Sebaliknya sektor yang kurang strategis fungsinya lebih mendatar, seperti tampak dalam Gambar 7. Land Rent (R) O A P* B P1 C Lokasi Pusat E D Jarak dari Lokasi Pusat(d) Land use Land use B Land use C Land use D Natural Land Cover Sumber : Saefulhakim Gambar 7. Hubungan antara land rent lokasi pada berbagai sektor ekonomi. Gambar 5 menjelaskan hubungan antara land rent dengan lokasi kegiatan ekonomi. Sebagai contoh sektor A paling komersial maka kurvanya lebih curam, sehingga land rent lebih tinggi yaitu OE. Dalam gambar, lokasi OP* paling cocok untuk sektor A, sedang daerah lokasi P*P1 bisa saling bersubstitusi dengan sektor B yang relative kurang komersial dibandingkan

29 sektor A itu sendiri. Diluar OP1 tidak cocok untuk sektor A, sebagai contoh sektor perbankan jelas tidak layak ditempatkan dikawasan yang sepi tetapi lebih cocok di kawasan komersial dilain pihak didaerah OP* bagi sektor lain selain sektor A jelas kurang optimal penggunaannya ditinjau dari segi lokasi. Ilustrasi di atas bias digambarkan dalam betuk model tata guna lahan lingkaran konsentris (Anwar, 1993) dimana persaingan antara berbagai kegiatan akan menghasilkan suatu pola tata guna lahan yang berbentuk lingkaran konsentris seperti tampak dalam Gambar 8 berikut : Keterangan : 1. kawasan komersial 2. kawasan industri 3. kawasan perumahan 4. kawasan pertanian Sumber : Yunus, Struktur Tata Ruang Kota, 2001 Gambar 8. Model Tata gunalahan Lingkaran Konsentris Land Rent dan Pasar Lahan

30 Lahan dalam kegiatan produksi merupakan salah satu faktor produksi tetap. Untuk melihat nilai Land Rent dalam teori sumber daya lahan disebut rente (rent). Menurut Barlow (1978), nilai rente sumber daya lahan dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sewa kontrak (contrac t rent), sewa lahan (land rent) dan nilai rente ekonomi dari lahan (economic rent). Economic rent atau rente ekonomi didefinisikan sebagai surplus ekonomi merupakan kelebihan nilai produksi total di atas biaya total (Barlow, 1978; Suparmoko, 1989) Economic rent diartikan pula sebagai surplus pendapatan di atas harga suplai terkecil yang terjadi akibat adanya faktor produksi (Robinson, 1933; Boulding, 1966). Sedang menurut Nasution (1990), land rent merupakan pendapatan bersih yang diperoleh suatu pelaku ekonomi melalui kegiatan yang dilakukan pada suatu unti ruang dengan tingkat teknologi dan efisiensi manajemen tertentu dan dalam suatu kurun waktu tertentu secara formal. r ij Saefulhakim (2003) mendefinisikan Land Rent sebagai nilai ekonomi bersih yang diberikan oleh suatu jenis penggunaan lahan (Land Use) tertentu, pada suatu bidang lahan dengan luasan tertentu, dalam periode waktu tertentu. Secara matematis, rumusan sederhana (dengan pendekatan constant return to scale baik dari sisi input maupun output), definisi land rent ini dapat ditulis sebagai berikut: r p Q c X ij ij ij ij ij = (2) Aij tij atau r = p q q ij ij ij ij Qij = Aij t c x ij ij ij di mana : (3) dan x ij X ij = Aij t ij Notasi dalam rumus Persamaan (2) dan (3) di atas dapat dideskripsikan sebagai berikut: : nilai land rent yang diberikan bila sebidang lahan berlokasi di i dikembangkan dengan jenis penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ha -1.tahun -1

31 pij Qij cij X ij Aij tij qij xij : harga pasar (dengan patokan harga setempat: farm-gate price) per unit kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan da ri jenis penggunaan lahan j pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ton -1 : total kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan dari jenis penggunaan lahan j pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam ton : harga pasar (dengan patokan harga setempat: farm-gate price) per unit kuantitas input yang diperlukan oleh jenis penggunaan lahan j yang dikembangkan pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.kg -1 : total kuantitas input yang diperlukan oleh jenis penggunaan lahan j yang dikembangkan pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam kg : luas areal bidang lahan di lokasi i yang dikembangkan dengan jenis penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam ha : periode waktu yang dibutuhkan oleh jenis penggunaan lahan j di lokasi i untuk menghasilkan output komoditas barang/jasa seperti yang dimaksud di atas; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam tahun : rataan produktifitas (yield) komoditas barang/jasa output dari jenis penggunaan lahan j pada bidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan ton.ha -1.tahun -1 : rataan penggunaan input oleh jenis penggunaan lahan j pada bidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan kg.ha -1.tahun -1 Dengan menggunakan asumsi: (1) patokan harga di lokasi pasar, (2) pasar output maupun pasar input berada pada lokasi yang sama, (3) antara lokasi pasar dan lokasi lahan i dengan penggunaan lahan j terpisah sejauh jarak dij, maka dengan menggunakan pendekatan bahwa biaya satuan transportasi komoditas output maupun input proporsional terhadap jarak, rumusan land rent di atas dapat dimodifikasi menjadi sebagai berikut: r ij di mana: ( p j t j dij ) qij ( c j + j dij ) xij = τ (4) p j c j dij tj : harga satuan kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan dari jenis penggunaan lahan j di lokasi pasar; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ton -1 : harga satuan kuantitas input untuk jenis penggunaan lahan j, di lokasi pasar; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.kg -1 : jarak antara lokasi pasar dan lokasi sebidang lahan i dengan jenis penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam km : biaya satuan transportasi komoditas output penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ton -1.km -1

32 τj r ij : biaya satuan transportasi komoditas input penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misa lnya dinyatakan dalam Rp.kg -1.km -1 ( p j t j dij ) qij ( c j + j dij ) xij = τ Karena p 0, t 0, c 0, τ 0, d 0, q 0, dan x 0, maka: r ij p j = q ij j 0 j j j ij Land Rent meningkat dengan adanya kenaikan harga pasar output (komoditas output menjadi langka di pasar). r t ij j = d ij q ij 0 Land Rent menurun dengan adanya peningkatan tarif angkutan komoditas output (aksesibilitas transportasi output memburuk). r ij c j = x ij 0 Land Rent menurun dengan adanya peningkatan biaya produksi. r ij τ j = d ij x ij 0 Land rent menurun dengan adanya peningkatan biaya transport input. r ij d ij = ( t q + τ x ) 0 j ij j ij Land Rent menurun dengan semakin jauhnya jarak lokasi lahan dari pusat pasar. r ij q ij = p j t j d ij 0 Land Rent meningkat dengan semakin tingginya produktifitas komoditas output. r ij x ij = ( c + τ d ) 0 j j ij Land Rent menurun dengan semakin besarnya kebutuhan input produksi (inefisiensi meningkat). ij ij Kota sebagai Pusat Pertumbuhan dan Konversi Lahan Kota timbul dan berkembang melalui suatu proses yang oleh Hoteling disebut proses aglomerasi. Mengumpulnya usaha-usaha sejenis

33 menimbulkan penghematan-penghematan intern dan ekstern yang disebabkan terjadinya keuntungan akibat pertukaran, tersedianya berbagai pasar termasuk pasar capital, tenaga kerja dan sebagainya. Pusat-pusat kawasan tersebut merupakan sumber pertumbuhan bahkan merupakan prasarat bagi suatu transisi perekonomian di kawasan pedesaan (rural) yang umumnya didomonasi sektor pertanian kepada suatu perekonomian yang maju, dimana terdapat produktifitas yang tinggi dan aktifitas-aktifitas yang luas. Aspek kosmopolitikan kota merupakan tempat strategis berbagai inovasi, input-input vital bahkan merupakan tempat perubahan. Kota merupakan media penghubung (transmitter) masuknya pemikiran-pemikiran maupun tindakan yang berasal dari luar. Sistem transportasi yang dibangun untuk menghubungkan kawasan kota dengan hinterland merupakan faktor pendorong berkembangnya kedua kawasan. Melalui proses waktu semakin berkembangnya kota induk akan mengembangkan kawasan penyangga menjadi kota-kota kecil. Lewat suatu proses aglo-merasi ganda maka antara kota kota induk dan kota-kota kecil tersebut bisa saling menyatu. Hal ini menurut Anwar (1994) terjadi karena faktor transportasi ketidakmampuan kota induk memenuhi tuntutan kebutuhan warganya, terutama dalam menyediakan lahan untuk pemukiman tempat tinggal dan tempat mereka bekerja. Sehingga kawasan penyangga menjadi penting baik oleh kemungkinan ketersediaab lahan lingkungan lebih segar dan lahan-lahan dikota induk menjadi langka, sulit dispst dan mahal harganya. Terjadinya aglomerasi ganda serta bergabungnya dua kota yang didorong oleh perbaikan system transportasi mendodorng terjadinya tata guna lahan terutama perubahan tersebut menyangkut pengalihan lahanlahan pertnian ke penggunaan non pertanian di pinggiran wilayah urban atau didekat akses transportasi tersebut. Proses terbentuknya kota inti secara berganda tersebut bisa terjadi untuk ukuran kota yang besar seperti

34 JABOTABEK, hingga kota-kota kecil dengan kawasan penyangga disekitarnya. Proses tersebut sangat penting pengaruhnya terhadap pola perubahan tata guna lahan termasuk perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian. Proses terbentuknya kota ini digambarkan dalam Gambar 9 berikut ; Land Rent Jarak dari pusat Keterangan : 1. Kawasan Komersial/Finansial 2. Kawasan Industri 3. Kawasan Perumahan 4. Kawasan Pertanian Lokasi Pusat Jarak dari pusat Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah) Gambar 9 : Pembentukan Kota Inti secara Berganda Proses aglomerasi kota mendorong terjadinya suatu proses yang disebut spread effect dan back wash effect. Spread effect menunjuk pada dampak momentum pembangunan yang merugikan secara sentrifugal dari pusat pengembangan ekonomi ke wilayah-wilayah lainnya. Dorongan tesebut berbentuk pertambahan permintaan dari daerah yang kaya terhadap produksi barang dan jasa seperti hasil pertanian, industri rumah tangga dan sebagainya dari kawasan hinterland tersebut. Sebaliknya melalui proses

35 back wash effect justru terjadi proses penyedotan berbagai faktor input seperti tenaga kerja potensial, faktor capital bahkan sumberdaya potensial lain. Myrdal berkeyakinan bahwa kawasan maju akan mengalami proses external diseconomics, karena terjadi misorgianisasi, kemacetan lalulintas, kerusakan lingkungan bahkan kriminalitas semakin meningkat karena tekanan penduduk yang tinggi. Akibatnya pemukiman-pemukiman golongan mapan keatas maupun perusahaan membutuhkan kawasan baru yang akan menjadi kawasan pertumbuhan baru pula. Seluruh rangkaian proses ini memungkinkan terjadinya relokasi lahan termasuk lahan sawah khususnya disekitar kawasan pertumbuhan. Karena lahan-lahan seperti lahan sawah yang land rent persatuan luasnya lebih rendah, dialokasikan ke sektor lain yang nilai land rent per satuan luasnya lebih tinggi. Tekanan yang semalin besar terhadap lahan khususnya lahan pertanian di sekitar kawasan pertumbuhan walaupun merupakan proses yang wajar tetapi tanpa ada aturan yang jelas tentang siapa memperoleh siapa dan untuk apa jelas akan besar biaya sosialnya.. Sumberdaya Air Persediaan air hampir seluruhnya didapatkan dalam bentuk hujan sebagai hasil dari penguapan air laut. Proses-proses yang tercakup dalam peralihan uap dari laut ke daratan dan kembali ke laut lagi membentuk apa yang disebut daur hidrologi. Daur Hidrologi Tahap pertama dari daur hidrologi adalah penguapan air dari laut. Uap ini dibawa di atas daratan oleh massa udara yang bergerak. Bila didinginkan hingga titik embunnya, maka uap tersebut akan membentuk awan. Dalam

36 kondisi meteorologis yang sesuai, butiran-butiran air kecil itu akan berkembang menjadi besar untuk dapat jatuh ke permukaan bumi sebagai hujan. Pendinginan massa udara yang besar terjadi karena pengangkatan (lifting). Berkurangnya tekanan yang diakibatkan akan disertai dengan turunnya suhu, sesuai dengan hukum tentang gas. Pengangkatan orografis akan terjadi bila udara dipaksa naik di atas suatu hambatan yang berupa gunung. Oleh sebab itu, maka lereng gunung yang berada pada arah angin biasanya menjadi daerah yang berhujan lebat. Udara mungkin pula naik di atas udara yang lebih dingin. Perbatasan antara massa-massa udara ini disebut permukaan frontal. Dan proses pengangkatannya disebut pengangkatan frontal. Akhirnya udara yang dipanaskan dari bawah mungkin naik keatas dengan berputar menembus udara yang lebih dingin (pengangkatan pusaran/konvektif) yang menjadi sebab adanya badai pusaran setempat yang biasa terjadi pada musim panas. Sekitar 2/3 (dua pertiga) dari presipitasi yang mencapai permukaan tanah dikembalikan lagi ke udara melalui penguapan dari permukaan air, tanah dan tumbuh-tumbuhan serta melalui transpirasi oleh tanaman. Sisa presipitasikembali ke laut melalui saluran-saluran di atas atau di bawah tanah. Prosentase yang besar dari presipitasi yang menguap sering menimbulkan bahwa penambahanpenguapan dengan pembangunan waduk atau penambahan pohon-pohon akan meningkatkan jumlah embun di udara yang bisa diperoleh untuk presipitasi. Hanya sebagian kecil dari embun yang melalui suatu titik tertentu dipermukaan bumi yang jatuh sebagai presipitasi. Oleh karenanya air yang diuapkan dari permukaan tanah hanyalah

37 merupakan bagian kecil dari keseluruhan air di atmosfir. Daur hidrologi dilukiskan dalam bentuk bagan pada Gambar 1. Presipitasi Definisi presipitasi adalah curahan atau jatuhnya air dari atmosfet ke permukaan bumi dan laut dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di derah tropis dan curah hujan serta salju di daerah beriklim sedang (Asdak, 1995). Menurut Linsley dan Franzini, 1979 presipitasi meliputi semua air yang jatuh dari atmosfir ke permukaan bumi. Presipitasi terjadi dalam berbagai bentuk yaitu presipitasi cair (curah hujan) dan presipitasi beku (salju, batu es). Curah hujan yang mengalir segera ke sungai setelah mencapai tanah, dan menjadi sebab dari sebagian besar banjir. Selain curah hujan ada tetesan kabut dan embun yang jatuh ke tanah namun jumlahnya sangat kecil sehingga tidak diperhitungkan. Tipe Presipitasi Tipe presipitasi ditentukan atas dasar dua sudut pandang yang berlainan, yaitu atas dasar genesa (asal mulanya) maupun atas dasar bentuk presipitasi (Linsley dan Franzini, 1979 dan Seyhan, 1977). Klasifikasi genetic Klasifikasi ini didasarkan atas timbulnya presipitasi, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya presipitasi yaitu : suhu udara yang lembab, inti kondensasi (partikel debu, kristal garam, dan lain-lain) dan sarana untuk menaikan udara yang lembab, sehingga kondensasi dapat berlangsung sebagai akibat udara yang mendinginkan. Presipitasi berdasarkan klasifikasi

38 ini dibedakan dalam 3 jenis, yaitu pendinginan siklonik, orografik dan konvektif. Klasifikasi bentuk Presipitasi jenis ini dapat dibedakan dalam dua jenis yait vertikal dan horizontal. Presipitasi vertikal terdiri dari : 1. Hujan : Air yang jatuh dalam bentuk tetesan yang dikondensasikan dari uap air di atmosfir 2. Hujan gerimis : Hujan dengan tetesan yang sangat kecil 3. Salju : Kristal-kristal kecil air yang membeku yang secara langsung dibentuk uap air di udara bila suhunya pada saat kondensasi kurang dari 0ºC. 4. Hujan batu es : gumpalan es yang kecil, kebulat bulatan yang dipresipitasikan selama huja badai 5. Sleet : Campuran hujan dan salju.hujan ini disebut juga glaze (salju basah). Presipitasi Horizontal terdiri dari : 1. Es : Salju yang sanga dipadatkan 2. Kabut : Uap air yang dikondensasikan menjadi partikel-partikel air halus di dekat permukaan tanah. 3. Embun beku : Bentuk kabut yang membeku diatas permukaan tanah dan vegetasi.

39 4. Embun : Air yang diondensasikan sebagai air diatas permukaan tanah dan vegetasi yang dingin, terutama pada malam hari. Embun ini menguap pada pagi hari. 5. Kondensasi pada es dalam tanah : Kondensasi juga menghasilkan presipitasi dari udara basah hangat yang mengalir diatas lembaran es dan pada iklim sedang didalam beberapa sentimeter bagian atas tanah. Evapotranspirasi Evapotranspirasi adalah proses kembalinya air hujan yang jatuh kepermukaan bumi baik dari air hujan yang langsung menguap kembali ke udara (evaporasi) maupun melalui tanaman yang menyerap ait dari dalam tanah dan menguapkannya kembali ke udara (transpirasi). Evaporasi yang terjadi di seluruh permukaan bumi mencapai lebih dari setengahnya dari curah hujanyang jatuh ke permukaan bumi, bahkan pada daerah yang gersang evapotranspirasi menghabiskan sebagian besar air yang terdapat dalam situ/danau (Linsley dan Franzini, 1979). Faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi adalah radiasi matahari, terbukanya stomata daun dan kelembaban tanah (Asdak, 1995). Pengaruh radiasi matahari terhadap evapotranspirasi adalah melalui proses fotosintesis, dimana dalam mengatur hidupnya tanaman memerlukan sirkulasi air melalui sistem akar-batang-daun. Sirkulasi perjalanan air dari bawah (akar) ke atas (daun) dipercepat dengan meningkatnya jumlah radiasi matahari terhadap vegetasi. Pengaruh suhu terhadap evapotranspirasi dapat

40 dikatakan secara langsung berkaitan dengan intensitas dan lama waktu radiasi matahari. Namun suhu yang besar pengaruhnya terhadap evaporanspirasi adalah suhu permukaan daun bukan suhu udara disekitarnya. Terbukanya stomata daun juga mempengaruhi besarnya evapotranspirasi, yaitu pada saat proses tebuka dan tertutupnya stomata, pada waktu stomata terbuka evapotranspirasi akan berjalan lebih cepat proses lamanya stomata terbuka dipengaruhi oleh suhu udara sekitarnya, oleh karena itu evapotranspirasi lebih banyak terjadi pada siang hari. Kelembaban tanah juga mempunyai peran untuk mempengaruhi terjadinya evapotranspirasi, dimana evapotranspirasi berlangsung ketika vegetasi yang bersangkutan sedang tidak kekurangan supali air (Penman, 1956 dalam Asdak, 1995). Infiltrasi Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk ke dalam tanah. Perkolasi merupakan kelanjutan aliran air tersebut ke tanah yang lebih dalam (Asdak 1995). Dengan kata lain infiltrasi adalah aliran air yang masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan air ke arah vertikal). Setelah lapisan tanah bagian atas jenuh, kelebihan air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam sebagai akibat gaya gravitasi bumi dan dikenal sebagai proses perkolasi. Proses terjadinya infiltrasi

41 Ketika hujan jatuh di atas permukaan tanah tergantung pada biofisik permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir masuk ke dalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses mengalirnya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Laju air infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah. Dibawah pengaruh gravitasi, air hujan mengalir vertikal ke dalam tanah melalui profil tanah. Mekanisme infiltrasi melibatkan tiga proses yang tidak saling mempengaruhi (Asdak, 1995) : 1. Prosesnya masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah. 2. Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah. 3. Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping dan atas). Meskipun tidak saling mempengaruhi secara langsung, ketiga proses tersebut di atas saling terkait. Faktor-faktor penentu infiltrasi Proses infiltrasi dipengaruhi beberapa faktor antara lain, tekstur dan struktur tanah, persediaan air awal (kelembaban awal), kegiatan biologi dan unsur organik dan tumbuhan bawah atau tajuk penutup tanah lainnya. Tanah yang remah memberikan kapasitas infiltrasi lebih besar daripada tanah liat. Tanah dengan pori-pori jenuh air mempunyai kapasitas infiltrasi lebih kecil dibandingkan dalam keadaan kering. Keadaan tajuk penutup tanah yang rapat dapat mengurangi jumlah air hujan yang sampai ke permukaan tanah, dengan demikian mengurangi besarnya air infiltrasi. Sementara sistem perakaran vegetasi dan seresah yang dihasilkannya dapat membantu

42 menaikan permeabilitas tanah, dan dengan demikian, meningkatkan laju infiltrasi. Laju infiltrasi ditentukan oleh : 1. Jumlah air yang tersedia dipermukaan tanah. 2. Sifat permukaan tanah 3. Kemampuan tanah untuk mengosongkan air di atas permukaan tanah. Air yang diterima pada permukaan bumi akhirnya, jika permukaannya tidak kedap air, dapat bergerak ke dalam tanah secara gravitasi dan kapiler dalam suatu aliran yang disebut infiltrasi. Terjadinya infiltrasi karena tanah yang merupakan permukaan bumi mempunyai rongga-rongga yang memungkinkan dilalui air dan mempunyai kapasitas untuk menyimpan air dari presipitasi. Kemampuan tanah untuk menyimpan air disebut lengas tanah. Neraca sederhana air dalam tanah menurut Ward, 1967 (dalam Asdak, 1995) adalah sebagai berikut : ÄS = f + c d Ea + Äw (5) Dimana : ÄS = laju perubahan kandungan lengas tanah f c d Ea = laju infiltrasi kedalam mintakat air dalam tanah = laju kenaikan kapiler dari mintakat jenuh = laju drainase kedalam mintakat penjenuhan = laju evapotranspirasi aktual Äw = laju perubahan uap air yang berpindah melalui penampang tanah terutama karena gradien suhu Limpasan Permukaan

43 Limpasan permukaan adalah bagian presipitasi (juga kontribusikontribusi permukaan dan bawah permukaan) yang terdiri ats gerakan gravitasi air da nampak pada saluran permukaan dari bentuk permanen maupun terputus-putus yang melintas di atas permukaan tanah menuju saluran sungai (Seyhan, 1977). Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan Faktor-faktor yang mempengaruhi volume total limpasan adalah: - Faktor iklim yang terdiri dari banyaknya presipitasi dan evapotranspirasi - Faktor DAS yang meliputi ukuran daerah aliran sungai dan tinggi tempat rata-rata daerah aliran sungai (pengaruh orografis). Faktor-faktor yang mempengaruhi agihan waktu limpasan adalah : - Faktor meteorologis yang terdiri dari : Presipitasi (tipe, intensitas, lama presipitasi, agihan kawasan, agihan waktu, arah gerakan air hujan, frekwensi terjadinya, presipitasi yang mendahuluinya), radiasi matahari, suhu, kelembaban, kecepatan angin, tekanan atmosfer, dll. - Faktor daerah aliran sungai yang meliputi : Topografi (bentuk daerah aliran sungai, kemiringan daerah aliran sungai) geologi (permeabilitas dan kapasitas akifer), tipe tanah, vegetasi dan jaringan drainase (tatanan sungai dan kerapatan drainase). - Faktor manusiawi, yang terdiri dari : struktur hidrolik, teknik pertanian dan urbanisasi. Keterkaitan Pengunaan Lahan dengan Sumberdaya Air Jenis penggunaan lahan yang berbeda dalam suatu wilayah mempunyai perlakuan yang berbeda terhadap sumberdaya air, dimana air hujan yang

44 jatuh diatas permukaan bumi/tanah, sebagian kembali ke udara melalui proses evapotranspirasi, sebagian meresap kedalam tanah menjadi aliran air bawah tanah dn sebagian lagi mengalir dipermukaan untuk masuk kedalam badan penampung air (sungai, situ dll). Perubahan penggunaan tanah yang dilihat dari penutup tajuk (land cover) akan mengakibatkan perubahan terhadap air hujan yang meresap kedalam tanah dan air permukaan, suatu lahan terbuka yang diguakan untuk pertanian atau ruang terbuka hijau denganland cover vegetasi akan mengalirkan air hujan yang jatuh ke tanah sebanyak 20% dan 80% lagi meresap kedalam tanah, ketika lahan tersebut berubah menjadi perumahan maka aliran air permukaan akan meningkat menjadi 50% dan 50% lagi meresap kedalam tanah dan ketika lahan terbuka tersebut berubah menjadi kawasan yang padat industri aliran air permukaan berubah menjadi 80% dan aliran air permukaan berubah menjadi 20%. Perlakuan lahan terhadap air hujan yang jatuh kepermukaan bumi di nilai dengan bearnya koefisien air larian (C). Koefisien air larian adalah bilangan yang menunjukan perbandingan antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan. Misalnya C untuk hutan adalah 0,10, artinya 10 persen dari total curah hujan akan menjadi air larian. Angka koefien air larian makin besar menunjukanbahwa lebih banyak air hujan yang menjadi air larian, hal ini kurang menguntungkan dari segi pencagaran sumberdaya air karena besarnya air yang akan menjadi air tanah berkurang, kerugian lain adalah dengan semakin besarnya air hujan yang menjadi air larian, maka ancaman terjadinya erosi dan banjir menjadi lebih besar. Nilai koefisian air larian di sajikan pada tabel dibawah ini.

45 Tabel 1. Nilai koefisien Air Larian C, (hasil penelitian U.S. Forest Service 1980) Tata Guna lahan Perkantoran Daerah Pusat Kota Daerah Sekitar Kota Perumahan Rumah Tunggal Rumah susun, terpisah Rumah susun, bersambung Pinggiran kota Daerah Industri Kurang padat industri Padat industri Tanah Kuburan Tempat Bemain Daerah Stasiun KA Daerah Tak Berkembang Jalan Raya Beraspal Berbeton Berbatu bata Trotoar Daerah Beratap Koefisien Run -Off (C) 0,70 0,95 0,50 0,70 0,30 0,50 0,40 0,60 0,60 0,75 0,25 0, ,80 0,60 0,90 0,10 0,25 0,20 0,35 0,20 0,40 0,10 0,30 0,70 0,95 0,80 0,95 0,70 0,85 0,75 0,85 0,75 0,95 Tata Guna Lahan Tanah lapang Berpasir, datar, 2% Berpasir, agak rata, 2-7% Berpasir miring, 7% Tanah berat, datar, 2% Tnh berat,agak rata, 2-7% Tanah berat, miring, 7% Tanah Pertanian,0 30% Tanah Kosong Rata Kasar Ladang garapan Tnh berat, tanpa vegetasi Tnh berat, dngn vegetasi Berpas ir, tanpa vegetasi Berpasir, dngn vegetasi Padang Rumput Tanah Berat Berpasir Huta/bervegetasi Tanah Tidak Produktif, >30% Rata, kedap air Kasar Koefisien Run -Off (C) 0,05 0,10 0,10 0,15 0,15 0,20 0,13 0,17 0,18 0,22 0,25 0,35 0,30 0, ,50 0,30 0, , ,25 0,10 0,25 0,15 0,45 0,05 0,25 0,05 0,25 0,70 0,90 0,50 0,70 Sumber : Asdak, 2004

46 METODA PENELITIAN Daerah penelitian adalah Kota Tangerang, Provinsi Banten dengan luas wilayah sebesar Km². Kota Tangerang secara geografis terletak antara 6 6 Lintang Utara sampai dengan 6 13 Lintang Selatan dan Bujur Timur sampai dengan Bujur Timur dengan batas wilayah : Sebelah utara dengan Kecamatan Teluk Naga dan kecamatan sepatan Kabupaten Tangerang. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Curug, Kecamatan Serpong dan Kecamatan pondok Aren Kabupaten Tangerang. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang. Sebelah timur dengan DKI Jakarta. Kota Tangerang terdiri dari 13 kecamatan yaitu : Kecamatan Tangerang, Karawaci, Batuceper, Neglasari, Cipondoh, Pinang, Ciledug, Karang Tengah, Larangan, Jatiuwung, Cibodas, Periuk dan Kecamatan Benda. Kerangka pemikiran terjadinya perubahan penggunaan lahan yang terjadi di daerah penelitian dan perubahan potensi sumberdaya air serta yang menyebabkan terjadinya kedua perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 10 dibawah ini.

47

48 Metoda yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 2 jenis, yaitu : metoda untuk analisa perubahan tata guna lahan dan sumberdaya air. Gambar 11. Diagram Alir Metoda Penelitian Perubahan penggunaan Lahan Pembuatan Peta Guna Lahan Tahap persiapan meliputi tahap studi pustaka dan pengumpulan data yang meliputi data yang berkaitan dengan penggunaan lahan, data penginderaan jauh (remote sensing) maupun data penunjang dan peralatan penelitian. Data penginderaan jauh adalah data hasil perekaman obyek dengan menggunakan sensor buatan berupa citra foto udara skala 1 : maupun citra satelit skala 1 : Tahap Interpretasi dan uji lapang Interpretasi dilakukan dengan menggunakan Softcopy Photogrametry yaitu metoda pemetaan dengan melakukan ploting peta dengan dilatar belakangi photo imagenya, sehingga foto latar belakang merupakan control terhadap kelengkapan peta. Cara ini bisa digunakan terhadap citra foto udara maupun citra satelit.

49 Uji lapang dilakukan setelah selesai menginterpretasi citra foto, ploting peta dicocokan dengan kondisi dilapangan sehingga peta penggunaan lahan yang dibuat sesuai dengan kondisi di lapangan. Sumber : Ikonos, 2001 Gambar 12. Citra Satelit (Bagian Wilayah Kota Tangerang)

50 Sumber : Peta Foto, Dinas Pertanahan, 2003 Gambar 13. Foto udara (Bagian Wilayah Kota Tangerang) Korelasi antar variabel Analisis data dilakukan secara deskriptif dan tabulasi. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan lahan pertanian/ruang terbuka hijau secara wilayah dicoba menggunakan korelasi sederhana dengan menggunakan program Microsoft Exel SPSS versi 12 maupun Statistica versi 6. Korelasi antar variabel dilakukan dengan membuat tabulasi data dengan variabel-variabel yang diperkirakan mempengaruhi pola perubahan penggunaan lahan. Hasil dari korelasi tersebut menunjukan apakah variabelvariabel tersebut mempunyai korelasi yang kuat atau lemah dalam mendorong terjadinya perubahan lahan pertanian atau uang terbuka hijau menjadi daerah terbangun (built up area). Adanya hubungan yang kuat antar variabel ditunjukan dengan nilai korelasi yang tinggi. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah : Jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk,

51 Kepadatan penduduk, Luas wilayah, Luas ruang terbuka hijau (pertanian), Luas areal terbangun,jumlah penduduk yang bekerja pada sektor pertanian dan Jarak lokasi terhadap lokasi pusat (pusat kota) Analisis Hidrogeologi Metodologi yang digunakan dalam penelitian air tanah secara umum dibagi dalam 2 jenis, yaitu : Penelitian Langsung dan tidak langsung Penelitian Tidak Langsung (Prospecting) Metoda penelitian tidak langsung dengan menggunakan metoda geofisika yang umum digunakan dalam penyelidikan air tanah adalah metoda geolistrik. Pengukuran geolistrik dilakukan dengan cara memberikan arus listrik ke dalam bumi dan kemudian mengamati pengaruh yang ditimbulkannya. Dalam pengukuran resistivity (tahanan jenis), arus listrik (ampere) dihantarkan ke bumi melalui 2 elektroda, dan beda potensialnya (volt) dapat diukur antara 2 elektroda yang lainnya (Gambar 14). Dengan demikian maka pengukuran ini memberikan besaran tahanan bumi (ohm). Tujuan pengukuran geolistrik adalah mencoba menduga susunan bawah permukaan dengan mempelajari sifat-sifat batuan apabila diberikan arus kepadanya. Ruang pori lapisan yang permeable terisi larutan ionic yang menghantarkan listrik. Tahanan jenis listrik suatu bahan dapat dapat didefinisikan sebagai berikut : ñ = R A L (6) ñ = Tahanan jenis bahan (ohm meter) R = Tahanan jenis yang diukur (ohm) L = Panjang (meter) A = Luas penampang material (m²)

52 dimana : R = V I. (7) sehingga : ñ = V I A L (8) V = Beda Potensial (Volt) I = Kuat Arus yang melalui bahan (ampere) Ä V I L Gambar 14 Material/bahan yang dilalui oleh arus listrik Sedangkan untuk konduktivitas merupakan hantaran jenis yang dinyatakan dengan persamaan berikut : ó = 1 ñ..(9) ó = J E..(10) J = Rapat Arus ó = Hantaran Jenis E = Medan Listrik

53 J = I A..(11) E = V L..(12) Berdasarkan hal yang mempengaruhi besarnya nilai tahanan jenis sebagai berikut : 1. Jenis batuan (sedimen, beku dan metamorf) jika batuan tersebut mengandung air, maka tahanan jenisnya akan lebih rendah, dan menjadi makin rendah jika air yang dikandung lapisan batuan mempunyai kadar garam yang tinggi, hal ini meliputi pula salinitas (kadar garam). 2. Faktor kondisi geologi setempat yang mengontrolnya, berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. 3. Perbedaan lapisan batuan, baik dari segi ketebalan, tekstur dan komposisinya. 4. Temperatur. 5. Permeabilitas atau kemampuan suatu lapisan (batuan) meluluskan air yang dicirikan dengan adanya pori-pori yang saling berhubungan. Tabel 2. Hubungan jenis batuan terhadap besar butir, porositas dan kelulusan Batuan Butir (mm) Porositas (%) Angka Kelulusan Air (Permeability) (m³/hari) Lempung Lanau Pasir sangat halus Pasir halus Pasir sedang Pasir kasar Konglomerat 0,01 0,01 0,04 0,05 0,10 0,10 0,20 0,25 0,45 0,50 0,95 1,00 5, ,01 0,05 0,80 1,20 40,00 5,00 20,00 30,00 100,00 125,00 450,00 500, ,00

54 Sumber : Soewali dkk, 1981 Parameter tahanan jenis (ñ) batuan merupakan nilai yang didapat dari hasil pengukuran. Fenomena ini tidak tergantung pada komposisi mineral yang menyusun batuan saja, tetapi lebih tergantung kepada porositas dan kandungan air di dalam pori-pori batuan. Untuk memperoleh gambaran mengenai hal tersebut di atas, berikut disajikan gambar grafis yang memperlihatkan hubungan nilai tahanan jenis dengan kadar garam (Gambar 15) Tahanan Jenis 500 Air Tawar dalam 100 Batas Air 10 Air Asin (Air 1, Kadar Garam Gambar 15. Sumber : Utomo, E.P dkk, 1981 Hubungan Antara Tahanan Jenis dan kadar Garam dalam Air yang dikandung Batuan) Tabel 3. Nilai Tahanan Jenis batuan Jenis Tanah dan Batuan Tahanan Jenis (Ù m) Soil (Tanah) Lempung Pasir, Kerikil Basah Kering

55 Batugamping, batupasir Konglomerat Batuan beku Sumber : Utomo dkk, 1981 Arus (I) Beda Potensial (V) Alat Permukaan Tanah Gambar 16. Skema alat ukur Tahanan Jenis (Geolistrik) Gambar 17. Pengukuran Tahanan Jenis (Geolistrik) dilapangan Secara garis besar air tanah dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu air tanah bebas dan air tanah tertekan (artesis). Air tanah bebas adalah air tanah yang terjadi dimana air hujan yang jatuh dipermukaan tanah sebagian akan meresap melalui pori-pori atau rekahan pada tanah dan batuan sampai pada suatu kedalaman tertentu dimana batuan telah jenuh air. Bagian ini disebut zona penjenuhan (zone of saturation) yang merupakan suatu batas dimana air tanah berkumpul. Batas atasnya sebagai permukaan air tanah. Masukan informasi yang dibutuhkan berupa kemiringan lahan, kerapatan sungai, ketebalan tanah, jenis batuan dasar dan keadaan air tanahnya. Ketebalan tanah memberikan informasi, bahwa makin tebal tanah makin mempunyai kemungkinan besar untuk keterdapatn air tanah bebas, jika

56 dibandingkan dengan batuan dasar. Jenis batuan akan mempengaruhi adanya air tanah. Batuan sedimen berbutir kasar dan kadang-kadang Batugamping mempunyai kemungkinan besar untuk dapat mengandung air tanah bebas. Air tanah tertekan dapat terjadi apabila lapisan pembawa air (akifer) terapit oleh dua lapisan batuan yang kedap air (impermeable). Terdapatnya artesis tergantung pula padajenis batuan dan struktur geologi yang mengontrolnya. Batuan yang yang makin bersifat lulus air, maka batuan tersebut makin tinggi kemungkinan untuk terdapatnya air tanah secara umum. Penyebaran batuan batuan baik tegak maupun mendatar, struktur geologi, arah kemiringan lapisan, lipatan dan patahan (sesar) akan mencerminkan keberadaan air tanah artesis. Metoda penelitian terhadap akifer secara langsung dengan pemboran inti. Pemboran inti (Core drilling) efektif digunakan untuk mengetahui susunan lapisan dari atas ke bawah secara utuh. Dengan menggunakan mata bor intan (diamond bit) lapisan yang berada dibawah permukaan tanah akan diambil dengan batang bor kemudian lapisan berbentuk silinder yang berda di batang bor disimpan dalam sebuah kotak dan disusun berdasarkan kedalaman, berbeda dengan pengukuran geolistrik jenis lapisan ditentukan berdasarkan interpretasi nilai tahanan jenis, dalam pemboran inti jenis lapisan (batuan) bisa ditentukan secara langsung berdasarkan sifat-sifat fisik batuan untuk batuan sedimen perbedaan lapisan diketahui berdasarkan ukuran butir. Hidrologi Perubahan tata guna lahan akan berpengaruh pada neraca air, dimana makin bertambahnya kawasan terbangun akan bepengaruh

57 terhadap berkurangnya air hujan yang meresap kedalam tanah, dengan demiian aliran air permukaan akan meningkat, karena curah hujan dan evapotranspirasi dianggap tetap tidak terpengaruh oleh perubahan penggunaan lahan. Variabel yang dianalisis dalam pnghitungan neraca air meliputi Curah Hujan (Presipitasi), Laju Penguapa (Evapotranspirasi), Air yang meresp ke dalam tanah (Infilrasi) dan Limpasan air permukaan (Run Off). Presiptasi Presipitasi biasaya dinyatakan sebagai kedalaman cairan yang berakumulasi di atas permukaan bumi bila seandainya tidak terdapat kehilangan. Pengukuran presipitasi dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengukur presipitasi yang didasarkan atas suatu kombinasi dua pendekatan (seyhan), yatu : 1. Penakar hujan bukan pencatat Penakar hujan bukan pencatat diletakan di tanah, terdiri dari : penakar hujan baku (standard), penakar hujan penympan 9atau penjumlah), penakar hujan searas tanah, Penakar hujan acuan internasional (International Reference Precipitation Gauge), RADAR (Radio Detecting and Ranging) 2. Penakar hujan Otomatik (pencatat) Semua penakar hujan otomatik akan mencatat data (dalam hal ini jumlah hujan) secara kontinu (interval 1 menit, 5 menit, 10 menit dll) maupun secara berkala pada beberapa macam grafik, pita berlubang, pita magnetic, film, sinyal-sinyal listrik dll.

58 Pemantauan presipitasi dapat dilakukan dengan 3 cara : a. Pemantauan hujan di tanah, dapat dilakukan dengan menggunakan alat penakar : - Penakar hujan otomatik tipe pelampung - Penakar hujan otomatik tipe penimbangan - Penakar hujan otomatik tipe ember tupah - Penginderaan jauh. b. Pemantauan presipitasi dari udara (penginderaan jauh), terdiri dari - Kamera - Penyaring Gambar (Sanners) - Radar - Radiometer gelombang mikro c. Pemantauan presipitasi dari ruang angkasa (penginderaan jauh) Evapotranspirasi Penaksiran evapotranspirasi dapat dilakukan dengan berbagai metoda, metoda yang digunakan untuk menghitung evapotranspirasi dalam penelitian ini adalah berdasarkan rumus Turc dan Langbein. Pada tahun 1952 hidrolog Perancis Turc mengembangkan metoda untuk menghitung evapotranspirasi aktual tahunan rata-rata dengan menggnakan data yang didapatkan pada 254 daerah aliran sungai di seluruh dunia. Rumus tersebut adalah : E = P P² [ 0,9 + [L(T)]² ] ½... (13)

59 L(T) = (T) + 0,05 (T)³... (14) Dimana : E : Evapotranspirasi actual rata-rata tahunan (mm/tahun) P : Presipitasi rata-rata tahunan (mm/tahun) L (T) : Fungsi Temperatur T : Temperatur rata-rata tahunan ( C) Pada tahun 1949 Langbein (AS) mengembangkan hal yang sama dengan Turc untuk menaksir evapotransprasi berdasarkan besarnya curah hujan dan temperatur udara suatu wilayah. Limpasan Permukaan (Surface Run-Off) Setelah mengetahui besar evapotranspirasi maka air limpasan permukaan dan air yang meresap ke dalam tanah (infiltrasi) bisa dihitung dengan cara curah hujan dikurangi oleh evapotranspirasi maka sisanya adalah air yang mengalir ke permukaan bumi, air yang jatuh kepermukaan tanah sebagian meresap kedalam tanah menjadi aliran air tanah dan sebagian mengalir dipermukaan dan asuk ke dalam sungai. Untuk menghitung besarnya surface run off didekati dengan menggunakan tabel koefisien run off hasil penelitian yang dilakukan oleh U.S. Forest Service dengan menggunakan rumus : RO = (P ET) x C x A... (15) dimana : RO = Surface Run Off (m 3 /tahun) P = Curah hujan (m/tahun)

60 ET = Evapotranspirasi (m/tahun) C = Koefisien run off A = Luas lahan (m 2 ) Infiltrasi Sama halnya dengan perhitungan run off, Untuk menghitung besarnya infiltrasipun didekati dengan menggunakan tabel koefisien run off hasil penelitian yang dilakukan oleh U.S. Forest Service dengan menggunakan rumus : F = (P ET) x (1 C) x A... (16) dimana : F = Infiltrasi (m 3 /tahun) P = Curah hujan (m/tahun) ET = Evapotranspirasi (m/tahun) C = Koefisien run off A = Luas lahan (m 2 ) Analisis Penentuan Harga Air Analisis penentuan harga air ditujukan untuk mendapatkan biaya pengelolaan sumberdaya air meliputi biaya pemeliharaan, biaya konservasi serta biaya jasa pengelolaan air. Selain itu pembiayaan dimaksudkan untuk menciptakan insentif ekonomi penggunaan sumberdaya air yang lebih efisien sebagai upaya menghindari kelangkaan sumberdaya air.

61 Diantara tata cara penghitungan nilai manfaat air (NIMA) telah dilakukan oleh Kimpraswil. Tata cara penghitungan pada prinsipnya adalah jumlah komponen biaya dalam satuan waktu dibagi dengan jumlah pengambilan air dalam satuan waktu yang sama. Hasil bagi tersebut menghasilkan tariff penggunaan air permeter kubik. Komponen biaya dalam perhitungan itu adalah: a. Biaya ekploitasi dan pemeliharaan (E& P) b. Biaya Depresiasi c. Biaya amortisasi; yakni konsep alokasi harga perolehan harta tetap tidak berwujud dan harga perolehan harta sumberdaya alam d. Biaya tidak langsung atau overhead. Perhitungan tarif air yang dilakukan oleh NIMA dengan memasukan konsep sisi penyediaan air dimana disamping biaya E&P juga dimasukan biaya penyediaan sarana dan prasarana penyediaan air berupa historical cost, kemudian juga biaya perlindungan sumberdaya air, sehingga semua biaya penyediaan air baku dimasukan ke dalam perhitungan. Jadi total biaya dibagi dengan volume potensi air dalam wilayah sungai akan memberikan petunjuk besaran angka mampu pulih air, besaran inilah yang disebut dengan NIMA oleh Kimpraswil Perhitungan nilai manfaat air yang dikeluarkan oleh pihak Kimpraswil adalah berikut: 1. M + S + L P n =. (17) α. Vs α. Vs dimana:

62 P = Penyediaan air atau dalam hal ini adalah supply air baku Vs = Jumlah ketersediaan air dalam satuan wilayah sungai (m 3 / tahun) n = Jumlah umur ekonomis prasarana bangunan irigasi (dalam tahun) M = Nilai investasi pembangunan sarana pengairan untuk kemanfatan umum dari sumberdaya air (Rp/ tahun) S = Jumlah pengeluaran operasional dan pemeliharaan bangunan prasarana pengairan yang ditujukan untuk mendukung keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan air dalam setiap tahun (Rp/tahun). L = Jumlah pengeluaran aktifitas dan invenstasi yang ditujukan untuk mendukung kelestarian air dan sumberdaya air. (Rp/ tahun) á = Faktor Pengali. Maka dapat dihitung nilai pemanfaatan air baku dari PJT II oleh para penggunanya yakni, dimana harga air baku PJT II itu akan menjadi: 1. M + S + L P = n (18) α. Vs α. Vs

63 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Fisik KotaTangerang Wilayah Kota Tangerang dilintasi oleh oleh Sungai Cisadane yang membagi Kota Tangerang menjadi 2 (dua) bagian, yaitu bagian timur dan bagian barat sungai. Wilayah bagian timur meliputi Kecamatan Tangerang, Kecamatan Neglasari, Kecamatan Batuceper, Kecamatan Benda, Kecamatan Pinang, Kecamatan Cipondoh, Kecamatan Ciledug, Kecamatan Karang Tengah dan Kecamatan Larangan, sedangkan di bagian barat meliputi Kecamatan Karawaci, Kecamatan Jatiuwung, Kecamatan Cibodas dan Kecamatan Periuk (Gambar 18). Topografi Kota Tangerang sebagian besar berada pada ketinggian m dpl (diatas permukaan laut), sedangkan bagian utaranya (meliputi sebagian besar Kecamatan Benda) ketinggiannya berkisar antara 6 10 m dpl. Selain itu di Kota tangerang pun terdapat daerah-daerah yang mempunyai ketinggian lebih dari 30 m dpl yaitu pada bagian selatan Kecamatan Ciledug dan Kecamatan larangan. Dilihat dari kemiringan tanahnya, sebagian besar Kota Tangerang mempunyai tingkat kemiringan tanah 0 3 % dan sebagian kecil (bagian selatan kota) kemiringan tanahnya antara 3 8 %. Adanya daerah yang cukup landai merupakan potensi yang cukup besar bagi pembangunan dan pengembangan kota. Selain itu kondisi yang cukup landai dan dibeberapa

64

65 lokasi terdapat cekungan-cekiungan kecil yang potensial menimbulkan masalah khususnya dalam masalah tata air, hal ini terbukti dengan adanya daerah rawan genangan dimana tercatat 49 titik banjir (Gambar 19). Hidrologi Seperti telah diuraikan diatas bahwa Kota Tangerang dilintasi oleh Sungai cisadane yang membelah kota menjadi 2 (dua) bagian. Selain Sungai Cisadane di Kota Tangerang pun terdapat pula sungai-sungai lain seperti Sungai Cirarab yang merupakan batas sebelah barat Kecamatan Jatiuwung dan Kecamatan Periuk dengan Kecamatan Pasar Kemis di Kabupaten Tangerang Kali Ledug yang merupakan anak Sungai cirarab, Kali Sabi dan Kali Cimone, sungai-sungai tersebut berada di sebelah barat Sungai Cisadane, sedangkan dibagian timur Sungai Cisadane terdapat pula kali Angke, Kali Pembuangan Cipondoh, Kali Wetan (Anak Kali Angke), Kali Cantiga (Anak Kali Angke) Kali pondok Bahar (Anak Kali Cantiga). Selai Sungai/Kali di Kota Tangerang terdapat pula saluran saluran air yang meliputi ; Saluran Mookervart, Saluran Induk Irigasi Tanah Tinggi, Saluran Induk Cisadane Barat, Saluran Induk Cisadane Timur dan Saluran Induk cisadane Utara. Keberadaan Sungai Cisadane yang melintas di tengah kota ini dirasakan sekali fungsi dan peranannya baik bagi Kota Tangerang maupun bagi kota-kota sekitarnya. Fungsi dan peranan Sungai Cisadane dimaksudkan diatas meliputi pemenuhan kebutuhan air bagi kegiatan perkotaan, kegiatan pertanian dan industri.

66

67 Hidrogeologi Berdasarkan penelitian hidrogeologi yang dilakukan oleh Departemen PU yang bekerjasama dengan IWACO dan WASECO tahun 1990 hidrogeologi wilayah Kota Tangerang didominasi oleh akifer produktif dengan penyebaran luas yang terdapat debagian barat Kota tangerang yang meliputi Kecamatan Jatiuwung, Periuk, Cibodas dan Karawaci serta sebagian wilayah timur di Kecamatan Ciledug, Larangan, Karang Tengah dan sebagian kecil Kecamatan Cipondoh. Akifer produktif sedang dengan penyebaran luas menempati bagian utara dari Kota Tangerang yang meliputi Kecamatan Neglasari, Benda dan sebagian kecamatan Batuceper. Akifer produktifitas kecil dengan penyebaran lokal (setempat) terdapat di Kecamatan Cipondoh, Pinang dan sebagian Batuceper (Gambar 20). Hasil penyelidikan hidrogeologi yang dilakukan oleh Sukrisna, A, Murtianto, E dan Ruchijat, S dari Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, Departemen Energi dan Sumberdaya Lingkunan dalam sistem cekungan air tanah wilayah Kota Tangerang terdapat dua sistem cekungan air tanah, pada wilayah bagian barat Kota Tangerang (sebelah barat Sungai Cisadane) termasuk dalam Cekungan air Tanah Tangerang-Serang, sedangkan di wilayah timur Kota tangerang (sebelah timur Sungai Cis adane) termasuk dalam Cekungan air Tanah Jakarta. Cekungan air tanah Tangerang Serang mempunyai jumlah aliran air tanah bebas sebesar juta m 3 /tahun dan aliran air tanah tertekan sebesar 18 juta m 3 /tahun. Cekungan air tanah Jakarta dengan jumlah aliran air tanah

68 bebas sebesar 803 juta m 3 /tahun dan aliran air tanah tertekan sebesar 40 juta m 3 /tahun (Gambar 21). Keterangan : Akifer Produktif Sedang Akifer Produktif Akifer Produktif Kecil Sumber : Peta Hidrogeologi Kabupaten Tangerang, IWACO-WASECO, 1990 Gambar 20. Peta Hidrogeologi Kota Tangerang Keterangan : Q1 Aliran Air tanah bebas Q2 Aliran air tanah tertekan

69 Sumber : Peta cekungan Air Tanah Lembar Banten, 2003 Gambar 21. Peta Cekungan Air Tanah Kota Tangerang Iklim Suhu udara di Kota Tangerang berkisar antara 21 33,7 C, curah hujan untuk sebagian besar Kota tangerang berkisar antara mm per tahun dan sebagian kecil curah hujannya < mm per tahun yaitu di Kecamatan Benda di bagian utara. Jumlah hari hujan maksimal 150 hari hujan dan jumlah hari hujan minimum 90 hari. Geologi dan Jenis Tanah Kondisi geologi Kota Tangerang terbentuk oleh Tuf Banten yang merupakan batuan vulkanik dan Aluvial. Tuf Banten (QTvb) mendominasi geologi Kota Tangerang yang didominasi oleh Tuf, Tuf Batuapung dan Batupasir Tufaan sedang endapan Aluvial (Qa) yang terdiri dari Lempung, Lanau, Pasir, Kerikil, Kerakal dan Bongkah berada di sepanjang Sungai Cisadane, Kali

70 Angke, Kali sabi, kali Cirarab, Situ Cipondoh dan di bagian utara Kota Tangerang, Kipas Aluvial (Qav) yang terdiri dari Tuf halus berlapis,tuf Pasiran yang berselingan dengan Tuf konglomeratan mengisi wilayah bagian utara Kota Tangerang sekitar Bandara Soekarno-Hatta (Kecamatan Benda). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 22. Dilihat dari jenis tanahnya sebagian besar Kota Tangerang mempunyai jenis tanah Asosiasi Latosol merah/latosol merah kecoklatan, sedangkan di sekitar Sungai cisadane mempunyai jenis tanah Aluvial kelabu. Selain kedua jenis tanah tersebut pada bagian sebelah timur bandara mempunyai jenis tanah Asosiasi Glei Humus rendah dan Aluvial kelabu Keterangan : Qa Qav QTvb Aluvium Kipas Aluvium Tuff Banten QTpss Formasi Serpong QTpg Formasi Genteng Sumber : Peta geologi lembar Jakarta (Direktorat Geologi Tata Lingkungan)

71 Gambar 22 : Kondisi Geologi Kota Tangerang Kondisi Soial Kependudukan Jumlah dan Sebaran Penduduk Pada tahun 2001 jumlah penduduk Kota Tangerang berjumlah jiwa dan pada tahun 2003 berjumlah jiwa. Selama periode tersebut jumlah penduduk Kota Tangerang bertambah jiwa. Selam periode tersebut Kota Tangerang memeiliki laju pertumbuhan sebesar 5,73 %. Untuk lebih jelasnya mengenai laju pertumbuhan penduduk Kota Tangerang dapat dilihat pada Tabel 4, Gambar 23 dan Gambar 24. Tabel 4 : Jumlah dan Perkembangan Penduduk Kota Tangerang No Kecamatan Penduduk (Jiwa) LPP (%) 1 Ciledug ,10 2 Larangan ,73 3 Karang Tengah ,10 4 Cipondoh ,23 5 Pinang ,73 6 Tangerang ,84 7 Karawaci ,73 8 Cibodas ,73 9 Jatiuwung ,73 10 Periuk ,73 11 Neglasari ,08

72 12 Batuceper ,99 13 Benda ,73 Jumlah ,73 Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka, 2003 (Bapeda, 2004) Batuceper Benda 5% Neglasari 6% Periuk 8% 5% Ciledug 7% Larangan 9% Karang Tengah 6% Jatiuwung 9% Cibodas 9% Pinang 8% Tangerang Karawaci 7% 12% Cipondoh 9% Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka, 2003 (Bapeda) Gambar 23 : Prosentase Jumlah Penduduk Kota Tangerang Tahun 2003 LPP (% Ciledug Larangan Karang Tengah Cipondoh Pinang Tangerang Karawaci Cibodas Jatiuwung Periuk Neglasari Batuceper Benda Kecamatan Keterangan : LPP = Laju pertumbuhan Penduduk

73 Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka Tahun 2003 (Bapeda) Gambar 24 : Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun Dari tabel dan gambar di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk Kecamatan Tangerang pada tahun 2003 sebesar 7 % dari jumlah penduduk keseluruhan Kota Tangerang. Laju perkembangan penduduk selama tiga tahun tidak terlalu pesat, yaitu dengan LPP 3,38 %. Angka ini merupakan angka LPP yang pertengahan dari LPP kecamatan yang ada. Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk Kota Tangerang pada tahun 2003 adalah 91 jiwa/ha. Kepadatan tertinggi terdapat di Kecamatan Larangan dengan kepadatan 145 jiwa/ha sedangkan kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Pinang dengan kepadatan 56 jiwa/ha. Untuk lebih jelasnya mengenai kepadatan penduduk Kota Tangerang dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 25.. Tabel 5 : Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Tahun 2003 No Kecamatan Penduduk (Jiwa) Luas (Ha) Kepadatan (Jiwa/ha) 1 Ciledug Larangan Karang Tengah Cipondoh Pinang Tangerang

74 7 Karawaci Cibodas Jatiuwung Periuk Neglasari Batuceper Benda Jumlah Sumber : Kota Tangerang dalam Angka, 2003, Bapeda, Kepadatan (Jiwa/Ha) Ciledug Larangan Karang Tengah 91 Cipondoh Pinang Tangerang Karawaci Cibodas Jatiuwung 95 Periuk Neglasari Batuceper 70 Benda 26 Kecamatan Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka Tahun 2003 (Bapeda, 2004) Gambar 25 : Grafik Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Tahun 2003 Dari tabel dan gambar di atas dapat dilihat bahwa kepadatan penduduk Kecamatan Tangerang adalah 64 jiwa/ha. Kepadatan tersebut di bawah ratarata kepadatan Kota Tangerang. Struktur Penduduk

75 Struktur penduduk Kota Tangerang terdiri dari stuktur penduduk menurut penduduk menurut umur, jenis kelamin, dan agama. Struktur Penduduk Menurut Umur Berdasarkan data tahun 2003 Kota Tangerang, jumlah penduduk menurut kelompok umur yang tertinggi jumlahnya adalah kelompok umur tahun sebesar jiwa atau 0,13 % dari total jumlah penduduk sedangkan kelompok umur terendah jumlahnya adalah kelompok umur sebesar jiwa atau 0,01 % dari total jumlah penduduk. Untuk lebih jelasnya penduduk menurut umur dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 24. Jika dilihat penduduk menurut usia produktif dan non produktif Kota Tangerang, Penduduk usia produktif (usia tahun) di Kota Tangerang berjumlah jiwa terdiri dari perempuan jiwa dan laki-laki jiwa. Sedangkan penduduk usia non produktif Kota Tangerang berjumlah jiwa terdiri dari perempuan jiwa dan laki-laki jiwa. Tabel 6 : Jumlah Penduduk Menurut Umur Kota Tangerang Tahun 2003 No Kelompok Umur (Jiwa) Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah (Jiwa)

76 Jumlah Sumber : Kota Tangerang dalam Angka 2003 (Bapeda, 2004) Kelompok Umur Jumlah Penduduk Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka, 2003 (Bapeda, 2004) Gambar 26 : Grafik Penduduk Kota Tangerang Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2003 Struktur Penduduk Menurut Jenis Kelamin Pada tahun 2003, jumlah penduduk menurut jenis kelamin terdiri dari laki-laki jiwa atau 49,50 % dari total penduduk sedangkan perempuan jiwa atau 50,09 % dari total penduduk Kota Tangerang. Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat pada Gambar 27.

77 JUMLAH PENDU LAKI-LAKI PEREMPUAN JENIS KELAMIN Sumber : Kota Tangerang dalam Angka, 2003 (Bapeda, 2004) Gambar 27 : Jumlah Penduduk Kota Tangerang Menurut Jenis Kelamin Kondisi Ekonomi Dalam melihat pertumbuhan ekonomi dan tingkat keberhasilan daerah maka salah satu indikator adalah PDRB. PDRB merupakan salah satu indikator makro untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat keberhasilan pembangunan suatu daerah. Oleh karena itu untuk melihat perkembangan ekonomi Kota Tangerangakan melihat perkembangan PDRB Kota Tangerang. PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun 1999 sebesar juta rupiah dan pada tahun 2003 sebesar juta rupiah atau meningkat sekitar 0,56 %. Sumber pendapatan terbesar terdapat pada sektor industri sebesar juta rupiah dan sumber pendapatan terkecil terdapat pada sektor perikanan. Dilihat dari PDRB bahwa yang mempunyai sumber pendapatan terbesar adalah dari sektor industri, perdagangan, hotel dan restoran sedangkan sumber pendapatan terkecil adalah sektor pertanian. Untuk lebih

78 jelasnya mengenai PDRB atas harga harga konstan dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8. Sumber pendapatan Kota Tangerang berasal dari : 1. Sektor Primer, yaitu sektor yang tidak mengolah bahan mentah atau bahan baku melainkan mendayagunakan sumber-sumber. 2. Sektor sekunder, yaitu sektor yang mengolah bahan mentah atau bahan baku baik yang berasal dari sektor primer maupun dari jasa-jasa. Kelompok sektor ini adalah sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas, dan air minum, dan sektor konstruksi. 3. Sektor tersier atau dikenal sebagai sektor jasa yang tidak memproduksi dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk jasa. Kelompok sektor ini adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, barik dan lembaga keuangan lainnya, dan lainnya. Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang selama periode yang digambarkan oleh PDRB atas harga berlaku pada tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2002 mengalami peningkatan sebesar 9,53 %. Untuk PDRB atas dasar harga konstan pada tahun mengalami penurunan pada tahun -0,31 %. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 7 : Produk Domesti Regional Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 (Juta Rupiah) Tahun Sumber : PDRB 2002 (Bapeda, 2003) No Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan a. Tanaman bahan makanan b. Tanaman perkebunan c. Peternakan dan hasil-hasilnya d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian

79 a. Minyak dan gas bumi (migas) b. Pertambangan tanpa migas c. Penggalian Industri Pengolahan a. Industri Migas b. Industri Tanpa Migas Listrik, Gas, dan Air Bersih a. Listrik b. Gas Kota c. Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran a. Perdagangan besar dan eceran b. Hotel c. Restoran Pengangkutan dan Komunikasi a. Pengangkutan Rel Angkutan jalan raya Angkuatan laut Angkutan sungai dan penyeberangan Angkutan udara Jasa penunjang angkuatan b. Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan a. Bank b. Lembaga Keuangan Lainnya c. Sewa Bangunan d. Jasa Perusahaan Jasa-Jasa a. Pemerintahan Umum b. Swasta Sosial kemasyarakatan Hiburan dan rekreasi Perorangan dan rumah tangga Jumlah Tabel 8 : Produk Domestik Regional Bruto Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 (prosentase) Tahun No Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan -26,61-0,45-3,13-1,25 3,21 a. Tanaman bahan makanan 21,51-1,10-0,93-1,00 2,86 b. Tanaman perkebunan -79,45 1,12-78,44-84,54 6,67 c. Peternakan dan hasil-hasilnya -80,72 3,90 6,18 3,74 5,65 d. Kehutanan e. Perikanan -10,98 3,74-71,65-77,27 4,00 2 Pertambangan dan Penggalian a. Minyak dan gas bumi (migas) b. Pertambangan tanpa migas c. Penggalian

80 3 Industri Pengolahan 3,37 3,37 5,26 2,72 4,86 a. Industri Migas b. Industri Tanpa Migas 1,01 2,20 5,26 2,72 4,86 4 Listrik, Gas, dan Air Bersih -13,86 6,40 6,82 6,82 7,24 a. Listrik -13,96 6,21 7,10 6,60 7,01 b. Gas Kota c. Air Bersih -12,84 8,34 3,93 9,12 9,61 5 Bangunan -48,70-1,20 0,66 0,71 5,29 6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 4,59 4,59 5,13 5,51 6,44 a. Perdagangan besar dan eceran 6,21 6,21 5,12 5,51 6,31 b. Hotel 4,23 4,23 8,20 6,44 6,96 c. Restoran 0,77 0,77 4,92 5,30 8,45 7 Pengangkutan dan Komunikasi 0,13 0,13 5,01 5,89 4,14 a. Pengangkutan 2,96 2,96 4,92 6,00 3,58 1. Rel 8,33 8,33 3,86-14,65 6,61 2. Angkutan jalan raya 8,33 8,33 4,84 3,84 5,51 3. Angkuatan laut Angkutan sungai dan penyeberangan Angkutan udara -32,42-7,23 7,28 7,90 8,92 6. Jasa penunjang angkuatan 4,42 4,42 5,83 4,15 5,54 b. Komunikasi 11,00 11,00 6,40 4,30 12,43 8 Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 1,22 1,22-37,67-40,78 31,24 a. Bank -68,39-10,88-270,41 117,30-8,50 b. Lembaga Keuangan Lainnya 7,80 7,80 7,00 7,53 4,86 c. Sewa Bangunan 2,30 2,30 7,10 7,64 7,72 d. Jasa Perusahaan -9,09 6,92 6,81 7,33 4,79 9 Jasa-Jasa 8,03 3,56 4,02 3,62 5,06 a. Pemerintahan Umum 14,19 1,36 1,31 1,41 6,68 b. Swasta 5,09 4,70 5,38 4,69 4,29 1. Sosial kemasyarakatan 0,26 5,50 5,62 3,39 6,24 2. Hiburan dan rekreasi -29,60 1,42 3,61 5,33 5,60 3. Perorangan dan rumah tangga 10,04 4,20 5,24 5,64 7,25 Jumlah -7,55 2,61 3,97 3,19 5,46 Sumber : PDRB Kota Tangerang, 2002 Tabel 9 : Pertumbuhan PDRB Kota Tangerang Tahun Tahun Harga Berlaku Harga Konstan 1993 Kenaikan PDRB Kenaikan (%) PDRB (%) , , , , , , , ,31 Sumber : PDRB 2002 (Bapeda, 2003) Kondisi Sarana dan Prasarana

81 Gambaran mengenai prasarana perkotaan yang di Kota Tangerang secara garis besar akan membahas mengenai pengelolaan dan penyediaan air bersih, pengelolaan air limbah/sanitasi lingkungan, pengelolaan sampah, dan jaringan drainase. Pengelolaan dan Penyediaan Air Bersih Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa dari keseluruhan penduduk di wilayah Kotamadya Tangerang pada tahun 2003 yang menggunakan sumur pompa 55 %, sumur pantek dan air hujan 23 %, dan sumur perpipaan PDAM sebesar 22 %. Sumber PDAM terdiri dari Kapasitas produksi 155 lt/detik PDAM Kota, 740 l/dt PDAM Kabupaten dan 50 l/dt PDAM Swasta. Jumlah sambungan unit (kota), unit (kabupaten) Kebocoran 21,33 % (kota), 43,8 % (kabupaten) A. Sistem Perpipaan Wilayah pelayanan air bersih perpipaan di Kota Tangerang dilayani oleh 3 (tiga) Institusi, yaitu : a) PDAM Kabupaten Tangerang Dengan wilayah pelayanan Kecamatan Tangerang dan kecamatan Jatiuwung. Sistem ini terbagi atas 3 cabang yaitu:

82 Cabang Babakan, menggunakan Instalasi Pengolahan Air (IPA) Babakan dengan kapasitas 80 liter/detik dan IPA Cikokol kapasitas 500 dan 100 l/detik. Dengan daerah pelayanan meliputi wilayah pusat kota. Cabang perumnas I, menggunakan IPA Perumnas kapasitas 40 dan 20 liter/detik, serta IPA Cikokol dengan kapasitas 500 dan 100 liter/detik, dengan daerah pelayanan meliputi wilayah Perumnas I. Cabang Perumnas II, menggunakan IPA Cikokol kapasitas 500 dan 100 liter/detik, dengan daerah pelayanan meliputi Pusat Kota, yaitu Tangerang, Bandara Soekano Hatta, sebagian wilayah Serpong dan wilayah Perumnas. Total kapasitas terpasang sekitar 740 liter/detik. Sumber air baku adalah Sungai Cisadane dengan kapasitas produksi sekitar 647 liter/detik yang didistribusikan dengan sistem pemompaan. Total kapasitas terdistribusi 633 liter/detik dan yang terjual sekitar 356 liter/detik dengan penduduk terlayani sekitar jiwa atau sekitar 16% penduduk Kota Tangerang. Pendistribusian 3 (tiga) cabang sistem penyediaan air bersih tersebut dilakukan secara terpadu, yaitu pipa distribusi antar masing-masing cabang pelayanan saling berhubungan, sehingga air yang dihasilkan IPA Cikokol akan interkoneksi dengan air yang dihasilkan dari IPA Babakan dan IPA Perumnas I. b) PDAM Kota Tangerang Wilayah pelayanan air bersih PDAM Kota Tangerang yaitu Kecamatan Batuceper dan Benda, dengan kapasitas terpasang saat ini sekitar

83 150 l/detik yang telah selesai pembangunannya baru terpakai ± 25 liter/detik, sedangkan sisanya masih dalam tahap konstruksi. c) Jaringan Yang Dikelola Oleh Swasta Pihak swasta membangun IPA kapasitas 100 liter/detik, dengan memakai Sungai Cisadane sebagai sumber air baku. Direncanakan PDAM Kota Tangerang akan bekerja sama dengan pihak swasta untuk melayani air bersih di Kelurahan Pabuaran Tumpeng dan Kelurahan Bugel sekitar jalan Moh. Toha di Kecamatan Karawaci dengan memanfaatkan pipa distribusi milik PDAM. Dalam rangka meningkatkan pelayanan, PDAM Kota Tangerang merencanakan akan mengadakan kerjasama dengan pihak swasta yaitu memanfaatkan sisa kapasitas dari IPA yang dimiliki swasta sebesar 30 liter/detik dari total kapasitas yang dimiliki sebesari 100 l/idetik. Pihak swasta belum memiliki jaringan pipa distribusi, sehingga selama ini penjualan air dilakukan dengan menggunakan mobil tangki. PDAM Kotamadya Tangerang direncanakan akan memasang jaringan pipa distribusi untuk menyalurkan air bersih dari IPA swasta yang melayani Kelurahan Pabuaran Tumpeng dan Kelurahan Bugel sekitar jalan M. Toha Kecamatan Tangerang. B. Air Bersih Non Perpipaan Untuk daerah yang belum terlayani oleh air bersih sistem perpipaan maka dalam memenuhi kebutuhan akan air bersih yaitu dengan memanfaatkan air tanah melalui sumur gali atau sumur dangkal. System pelayanan air bersih non perpipaan ini biasanya ada dalam lingkungan permukiman perkampungan penduduk. Cara yang digunakan

84 adalah melalui pengeboran sumur dangkal, atau memanfaatkan keberadaan sungai. Pengelolaan Drainase A. Kondisi Eksisting Saluran Drasinase Kota Tangerang berada pada ketinggian 0 30 m diatas permukaan laut, kemiringan lahan antara 0% - 3% dan curah hujan antara mm/tahun. Kawasan drainase Kotamadya Tangerang mencakup ± Ha atau ± 88% dari luas wilayah terbangun. Sistem drainase makro Kota Tangerang meliputi 4 buah sungai yang melintasi wilayah kota, berikut sebagai badan air penerima dari sistem drainase kota yaitu : 1. Sungai Cisadane, 2. Sungai Angke, 3. Sungai Cirarab, 4. Sungai Sabi, Keempat sungai diatas mempunyai daerah tangkapan air yang cukup luas dengan muara ke sebelah utara dan berakhir di laut Jawa. Selain sungai yang berfungsi sebagai badan air penerima tersebut diatas adalah Situ Cipondoh yang berfungsi sebagai tandon air seluas 126 Ha. Sistem jaringan drainase di Kota Tangerang dibagi menjadi 2, yaitu : Sistem drainase makro/drainse alam, yaitu sungai dan anak-anak sungai yang berfungsi sebagai badan air penerima.

85 Sistem drainase Mikro meliputi saluran primer, sekunder dan tersier dengan total pajang saluran ± m. Melihat kondisi eksisting yang ada yaitu : topografi yang relatif datar berakibat air hujan tidak bisa cepat mengalir, curah hujan pertahunnya yang cukup tinggi serta kondisi saluran drainase (primer, sekunder dan tersier) ada yang kondisinya buruk terutama saluran sekunder yang mencapai 52% dari panjang saluran sekunder yang ada maka dapat disimpulkan bahwa KotaTangerang mempunyai potensi genangan. B. Daerah Rawan Genangan Akibat dari kondisi eksisting saluran drainase yang ada, maka genangan menjadi masalah utama di Kota Tangerang dengan luas genangan sekitar 180,5 Ha tersebar di 49 lokasi pada kawasan permukiman dan jalan. Hal tersebut dirasakan sebagai suatu maslah mengingat genangan menimbulkan rusaknya alam danmengganggu kualitas lingkungan permukiman. Beberapa wilayah tergenang sampai jam dengan tinggi mencapai 1,5 m dan wilayah lainberkisar antara 3 48 jam dengan tinggi genangan 0,3 1 m.

86 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan yang terjadi dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun. Pada umumnya terjadi dari areal perkebunan dan pertanian menjadi areal perumahan/permukiman, industri dan perdagangan serta jasa. Dari tahun 1959 sampai dengan tahun 2003 perubahan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun mencapai 245% atau arata-rata 5,57% pertahun (Gambar 28, Gambar 29 dan Tabel 10) Luas lahan terbangun pada tahun 1959 baru mencapai 37,18 ha atau 20% dari luas wilayah, sedangkan luas lahan belum terbangun (ruang terbuka hijau) mencapai 148,7 ha atau 80% dari luas wilayah. Dimana pada tahun 1959 pengunaan lahan di Kota Tangerang didominasi oleh perkebunan karet, kebun sayuran dan umbi-umbian dan pertanian lahan basah (sawah) Hal ini dapat dilihat pada Gambar 28. Pada tahun 2003 luas lahan terbangun mencapai 128,26 ha atau 69% dariluas wilayah dan lruang terbuka hijau seluas 57,62 ha atau 31% dari luas wilayah. Dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2003 perubahan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun mencapai 23,6% atau rata-rata 2,36% pertahun. Perubahan penggunaan yang tinggi terjadi antara akhir tahun 70-an sampai dengan tahun 1997, sedang dari tahun 1997 saat terjadi krisis moneter yang berdampak pada krisis ekonomi sampai 2004 berjalan lambat. Pada tahun 1999 pola penggunaan lahan sudah berubah dimana perumahan/permukiman, industri dan ruang terbuka hijau mempunyai dominasi yang hampir sama yang mengisi fisik ruang wilayah Kota

87

88

89 Tangerang (Gambar 29). Luas lahan terbangun pada tahun 1994 mencapai 103,77 ha atau 55,83% dari luas wilayah dan Ruang terbuka hijau seluas 82,11 ha atau 44,17% dari luas wilayah. Tabel 10. Perbandingan luas Lahan Terbangun dengan Ruang Terbuka Hijau di Kota Tangerang PENGGUNAAN LAHAN TAHUN 1959 (A) TAHUN 1994 (B) TAHUN 2003 (C) Areal terbangun 37,18 ha (20%) 103,77 ha (55,83%) 128,26 (69%) Ruang Terbuka hijau 14,7 ha (80%) 82,11 (44,17%) 57,62 ha (31%) Sumber : (A) Peta dasar AMS Tahun 1959 (B) RTRW Kota Tangerang Tahun 1994 (C) Tangerang Dalam Angka Tahun 2004 Perubahan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan industri sebagian besar terjadi di Kecamatan Jatiuwung, Periuk, Karawaci dan Batuceper, sedang di Kecamatan Benda kecil (Gambar 30 dan Tabel 10). Pada tahun 1959 tidak ada lahan industri, luas lahan terbangun untuk industri pada tahun 1994 seluas 916,25 Ha, sedangkan tahun 2003 mencapai Ha atau 11,9% dari luas wilayah. Perubahan lahan dari pertanian dan permukiman menjadi lahan perdagangan dan jasa terjadi di pusat kota dan koridor jalan arteri dan kolektor primer. Luas lahan terbangun untuk perdagangan dan jasa sampai saat ini mencapai 367 Ha atau 2,01% dari luas wilayah kota (Gambar 30 dan Tabel 11). Perubahan lahan dari pertanian ke perumahan/permukiman terjadi di seluruh wilayah kota terutama di wilayah timur (kecamatan Ciledug, Karang Tengah, Larangan) yang berbatasan degan Jakarta. Luas lahan terbangun

90 untuk perumahan dan fasilitasnya mencapai Ha atau 46,4% dari luas wilayah (Tabel 11). Tabel 11 : Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun 1999 KECAMATAN JENIS GUNA LAHAN CILEDUG 1) CIPONDOH 2) TANGERANG 3) NO Luas(Ha) % Luas(Ha) % Luas(Ha) % A Kawasan Lindung 1 Situ Cipondoh 0 0, ,28 0 0,00 B Kawasan Budidaya I Lahan Terbangun 1.1 Perumahan, Fasos dan , , , Fasum Industri 0 0, , , Bandara Soekarno - Hatta 0 0,00 0 0,00 0 0, Perdagangan dan Jas a 75 2, , , Militer 0 0,00 0 0,00 0 0, Jalan 12 0, , ,51 II Lahan Non Terbangun 2.1 Pertanian dan Ruang , , , Terbuka Lapangan Golf 0 0, , , Kuburan 0 0,00 0 0, ,11 Jumlah , , ,00 KECAMATAN JENIS GUNA LAHAN JATIUWUNG 4) BATUCEPER 5) BENDA KOTA NO Luas (Ha) % Luas % Luas % Jml % A Kawasan Lindung 1 Situ Cipondoh 0 0,00 0 0,00 0 0, ,69 B Kawasan Budidaya I Lahan Terbangun 1.1 Perumahan, Fasos dan , , , ,4 1.2 Industri , ,9 31 1, ,9 1.3 Bandara Soekarno - Hatta 0 0,00 0 0, , ,7 1.4 Perdagangan dan Jasa 55 1, ,96 0 0, , Militer 50 1,38 0 0,00 0 0, , Jalan 10 0, ,64 0 0, ,55 II Lahan Non Terbangun 2.1 Pertanian dan Ruang , , , ,7 2.2 Lapangan Golf 0 0,00 0 0,00 0 0, , Kuburan 0 0, ,92 0 0, ,50 Jumlah , , , , Sumber : RTRW Kota Tangerang,(Bapeda, 2000) Keterangan : 1) Meliputi Kecamatan Karang Tengah dan Larangan 2) Meliputi Kecamatan Pinang 3) Meliputi Kecamatan Karawaci 4) Meliputi Kecamatan Cibodas dan Periuk 5) Meliputi Kecamatan Neglasari

91 45% 12% 11% 0% 1% 1% 27% 1% 0% 2% Perumahan, Fasos dan Famum Bandara Soekarno - Hatta Militer Pertanian dan Ruang Terbuka Lapangan Golf Industri Perdagangan dan Jasa Jalan Situ Cipondoh Kuburan Sumber : Tabel 11 Gambar 30. Proporsi Jenis Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun Luas Pemanfaatan Lahan (Ha) Kawasan Lindung Kawasan Budidaya Gambar 31. Sumber : Tabel 11 Perbandingan Kawasan Lindung dengan Kawasan Budidaya Tahun 1999 Perumahan Guna lahan untuk kegiatan perumahan dan permukiman termasuk penggunaan yang paling dominan dalam pemanfaatan lahan terbangun kegiatannya dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu : Perumahan yang tumbuh dan berkembang tidak tertata dalam skala ruang yang relatif kecil atau yang lazim disebut perkampungan. Perumahan yang tumbuh dan berkembang dibangun secara massal oleh perusahaan atau lembaga pengembang dalam skala ruang yang relatif besar dengan berbagai kelengkapan fasilitas sosial yang umumnya disebut kompleks perumahan.

92 Masing-masing kegiatan perumahan mempunyai pola sebaran berbeda. Untuk perkampungan yang berada di sekitar pusat kota pada umumnya menunjukkan pola sebaran menerus merapat, sedangkan di lokasi-lokasi lainnya yang relatif jauh dari pusat kota pada umumnya mempunyai pola cluster, sedangkan kompleks perumahan pada umumnya pola pengembangannya tidak menerus dan menyesuaikan terhadap luas dan bentuk lahan yang berhasil dibebaskan. Perdagangan dan Jasa Kegitan perdagangan dan jasa dari segi pemanfaatan lahan tersebar di berbagai bagian wilayah kecamatan, tetapi pemanfaatan yang dominan untuk kegiatan ini berada di pusat kota dan sebagian tumbuh pada koridor jalan utama. Dilihat dari segi pengelompokkannya pada suatu lokasi maka dapat dikenali adanya pengelompokkan kegiatan sebagai berikut : Kegiatan perdagangan dan jasa yang teraglomerasi dan relatif luas, berada di pusat kota dan dominan memanfaatkan lahan di lokasi tersebut sehingga membentuk kawasan fungsional perdagangan dan jasa. Kegiatan ini berada pada lokasi : Sepanjang koridor Jalan Ki Asnawi Pasar Anyar dan sekitarnya dan Ki Samaun Koridor Jalan Gatot Subroto Jalan Merdeka dan Terminal Cimone

93 1. Kegiatan perdagangan dan jasa yang memanfaatkan lokasi strategis, meliputi : Kegiatan pasar baik tradisional maupun modern/shopping centre Kegiatan perdagangan dan jasa yang tumbuh pada simpul pergerakan yang menghubungkan beberapa kawasan perumahan, seperti pasar Bengkok dan sebagainya. Kegiatan yang mengelompok di sekitar Terminal Pasar Baru dan berbagai kegiatan perdagangan dan jasa yang tumbuh pada penggal Jalan M. Toha Jalan Merdeka 2. Kegiatan perdagagan dan jasa yang tumbuh sepanjang koridor jalan, seperti : Koridor Jalan MH. Thamrin Serpong Raya Koridor Jalan Raya Ciledug Kebayoran Lama DKI Jakarta, yang membentuk koridor komersial terpanjang di Tangerang, sejak dari awal Jalan Hos Cokroaminoto hingga Cipulir/over pas Kebayoran Lama Jakarta. Termasuk pada koridor ini banyak dipenuhi kegiatan perdagangan dan jasa oleh pelaku sektor informal sebagai pedagang kaki lima. 3. Kegiatan perdagangan dan jasa pada skala kegiatan yang lebih kecil, tumbuh di pusat-pusat blok perumahan seperti ruko pertokoan eceran dan warung-warung. Kegiatan ini hampir tersebar merata di setiap kelurahan/perkampungan maupun komplek perumahan. Untuk lebih jelasnya, sebaran kegiatan perdagangan dan jasa yang ada di Kota Tangerang dapat dilihat pada Gambar 32.

94

95 Fasilitas pelayanan umum berupa pasar tradisional masih tetap menjadi tumpuan kegiatan yang relatif besar perkembangannya dan semakin menarik bagi para investor lokal. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya bentuk pengelolaan yang dikelola oleh Dinas Pasar dan yang dikelola swasta. a. Pasar yang dikelola oleh Dinas Pasar di Kota Tangerang diantaranya : 1. Pasar Anyar 2. Pasar Cikokol 3. Pasar Ciledug 4. Pasar Malabar 5. Pasar Bandeng (Perumnas I) 6. Pasar Gerendeng 7. Pasar Jatiuwung (Cibodas) 8. Pasar Ramadhani (Pasar Baru) b. Pasar pasar lain disamping kedelapan pasar tersebut, yang pengelolaannya bukan oleh Dinas Pasar namun milik perseorangan atau perumahan. Pasarpasar tersebut mengelola baik administrasi pasar maupun masalah kebersihan dilaksanakan sendiri tanpa melalui koordinasi dengan Dinas Pasar. Kegiatan Industri Kegiatan industri sebagai motor utama perekonomian Kota Tangerang sebagian besar sebarannya terdapat di Kecamatan Jatiuwung, Batuceper, Kecamatan Tangerang dan sebagain kecil di Kecamatan Cipondoh. Kegiatan industri ini mayoritas berlokasi di pada koridor Jalan Daan Mogot-Batuceper sedangkan sebagian lagi pada koridor Sungai Cisadane-Jalan Imam Bonjol- Jalan M.H Thamrin. Kegiatan Industri di Kota Tangerang dapat dikatagorikan sebagai :

96 1. Zona Industri Yaitu suatu kawasan yang diperuntukkan dominasinya untuk kegiatan industri dan dikembangkan berdasarkan perizinan secara individual sesuai dengan tingkat kebutuhan. Zona ini yang paling dominan, seperti pada koridor Jalan Daan Mogot, sebagian di Kecamatan Tangerang dan Kecamatan Jatiuwung. 2. Kegiatan Industri Rumah Tangga (Home Industri) Kegiatan ini sesuai dengan kegiatan sebagai industri rumah tangga, hanya memanfaatkan ruang di kawasan lainnya seperti perumahan, perdagangan dan jasa, ruang terbuka bantaran sungai, lahan pertanian dan sebagainya. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan tanpa izin lokasi, namun selama belum menimbulkan gangguan masih dibiarkan tumbuh dan berkembang. Khususnya bagi kegiatan informal industri ini yang berada di bantaran Sungai Cisadane perlu pengarahan dan pengawasan ruang yang lebih ketat. Sedangkan untuk kegiatan home industri yang cenderung teraglomerasi seperti industri pakaian jadi seperti di Cipadu Ciledug perlu diarahkan dan ditata pengembangannya agar dapat menimbulkan daya tarik investor dan tidak menimbulkan konflik terhadap kegiatan lainnya. Untuk lebih jelasnya mengenai sebaran lokasi industri, dapat dilihat pada Gambar 33.

97

98 Pesatnya perkem bangan Kota Tangerang tidak terlepas dari perkembangan Jakarta sebagai Pusat Kegiatan Nasional, terjadinya perubahan kebijakan dalam pengisian fisik ruang di Jakarta berpengaruh langsung terhadap wilayah hinterlandnya, termasuk Kota Tangerang. Ketidakmampuan Kota Jakarta untuk menampung segala aktifitas perekonomian dan hunian bagi penduduk yang bekerja di Jakarta menyebabkan Kota Tangerang sebagai salah satu wilayah penyangga yang menjadi alternative untuk menampung limpahan kegiatan perekonomian maupun hunian bagi penduduk yang bekerja di Jakarta. Pertambahan dan jumlah penduduk bagi Kota Tangerang bersifat dilematis khususnya terhadap kebutuhan dan ketersediaan lahan. Pertama kebutuhan terhadap lahan merupakan hal yang tidak bisa ditawar sehingga lahan merupakan komoditi politik. Semakin besar pertumbuhan maupun jumlah penduduk semakin besar pula kebutuhan dan ketergantungan terhadap lahan. Hal ini bisa dimaklumi kebutuhan terhadap lahan tidak bisa digantikan oleh komoditi lain. Di lain pihak pertumbuhan dan jumlah penduduk yang besar pertumbuhan dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi yang tingi, berarti kebutuhan akan lahan termasuk lahan pertanian untuk permukiman, industri, sarana prasarana serta perdagangan da jasa semakin besar. Oleh karena persediaan lahan (supply) dalam suatu wilayah adalah tetap konflik persaingan penggunaan lahan akan semaikn besar, sehingga tekanan terhadap konversi lahan pertanian dan ruang terbuka hijau lainnya sebagai lahan resapan air akan semakin besar pula. Secara teoritis pertumbuhan ekonomi yang tinggi cenderung menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan pesat, hal ini

99 merupakan sumber pergeseran alokasi lahan. Kondisi ini wajar karena land rent persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi dari yang dihasilkan pada lahan pertanian. Secara teoritis kalau nilai produksi sector pertanian relatif tinggi terhadap PDRB keseluruhan konversi lahan pertanian masih akan lambat. Suatu wilayah yang mempunyai akses kuat baik jaringan transportasi yang memungkinkan mobilitas barang dan jasa tinggi maupun system pasar penuh distorsi, cenderung akan lebih memihak kepada investor komersial dan memilih swasembada pangan dinamis yang sifatnya relative. Artinya wilayah tersebut lebih mementingkan kemampuan daya beli terhadap komoditi pertanian dan tidak mesti harus memproduksi komoditi pertanian sendiri. Dari perkembangan PDRB dari Tahun 1999 sampai dengan 2003 terlihat PDRB terus meningkat, namun meningkatnya PDRB tidak dibarengi kenaikan pada sector pertanian, sumbangan sector pertanian terhadap PDRB cenderung tetap bahkan ada yang mengalami penurunan, sehingga secara keseluruhan sumbangan sector pertanian terhadap PDRB secara proporsional dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan (Gambar 34). Pada tahun 1999 Sektor Pertanian menyumbang rupiah terhadap PDRB Kota Tangerang, tahun 2000 menyumbang rupiah, tahun 2001 sebesar rupiah, kemudian pada tahun 2002 sebesar rupiah dan tahun 2003 menyumbang rupiah.

100 PDRB (Jutaan rupiah) Total PDRB Sektor Pertanian ,36% 0,34 0,32 0,31 0, Tahun Sumber : PDRB Kota Tangerang, Bapeda, 2003 Gambar 34. Perbandingan Sumbangan Sektor Pertanian terhadap Total PDRB Kota Tangerang atas Dasar Harga Konstan tahun 1993 Sektor industri merupakan penyumbang terbesar pada PDRB Kota Tangerang lebih dari 50% setiap tahunnya PDRB Kota Tangerang diperoleh dari sektor industri, dari tahun sumbangan sektor industri terus mengalami kenaikan. Pada tahun 1999 sektor industri menyumbang rupiah terhadap PDRB Kota Tangerang, kemudian tahun 2000 menyumbang rupiah, tahun 2001 sebesar rupiah, tahun 2002 sebesar rupiah dan tahun 2003 menyumbang rupiah terhadap PDRB Kota Tangerang. Hal ini menunjukan bahwa land rent untuk idustri lebih tinggi dari pertanian, sehingga terjadi perubahan lahan pertanian menjadi industri (Gambar 30). Sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang sekitar 25% setiap tahunnya, ini meruakan sumbangan yang cukup besar bagi perkembangan ekonomi di Kota Tangerang dan setiap yahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 1999 sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang rupiah tahun 2000 menyumbang

101 rupiah, kemudian tahun 2001 sebesar rupiah tahun 2002 menyumbang rupiah dan pada tahun 2003 sebesar rupiah (Gambar 35). (Dalam Jutaan Rupiah) ,7% 54,3 54,0 53,5 52,1 Total PDRB Sektor Industri Tahun Sumber : PDRB Kota Tangerang, Bapeda, 2003 Gambar 35. Perbandingan Sumbangan Sektor Industri Terhadap PDRB Kota Tangerang atas Dasar Harga Konstan Tahun Total PDRB Sektor Perdagangan Sumber : PDRB Kota Tangerang, Bapeda, 2003 Gambar 36. Perbandingan Sumbangan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Terhadap PDRB Kota Tangerang atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993

102 Sumbangan sektor lainnya diluar sektor peranian, industri dan perdagangan juga menunjukan peningkatan setiap tahunnya, sehngga secara keseluruhan penerimaan PDRB terus meningkat. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan lahan untuk sector lain seperti industri, perdagangan, jasa dan sector lainnya mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dari sector pertanian. Dengan demikian koversi lahan dari pertanian atau Ruang terbuka hijau menjadi kegiatan lain yang mempunyai nilai ekonomis semakin cepat. Wilayah-wilayah yang mempunyai akses lebih baik cenderung membuat aglomerasi termasuk juga bidang demografis. Pertumbuhan dan jumlah penduduk suatu wilayah belum tentu langsung diterjemahkan dengan kepadatan penduduk. Dua factor pertama tersebut langsung mengakibatkan kepadatan penduduk hanya pada kawasan tertentu yang puna akses baik. Kondisi ini akan berpengaruh pada kemungkinan alih fungsi lahan pertanian lewat permintaan efektif terhadap lahan yang bersangkutan. Sehingga pertumbuhan dan jumlah penduduk pun bisa bersifat mendua. Disatu pihak penduduk merupakan factor produksi untuk sector pertanian karena kebutuhan akan pangan yang meningkat tetapi penduduk juga merupakan factor yang meningkatkan permintaan efektif terhadap komoditas non pertanian seperti perumahan sarana dan prasarana umum, lokasi industri serta perdagangan dan jasa. Proses konversi lahan pertanian ke non pertanian hakekatnya merupakan antara Richardian rent dan locational rent sehingga factor lokasi sangat menentukan. Sehinga lokasi relative suatu kawasan terhadap akses kawasan sangat menentukan. Akses kawasan tersebut meliputi jarak terhadap pusat-pusat pertumbuhan maupun jaringan transportasi. Jarak

103 suatu kawasan diterjemahkan oleh jarak suatu kawasan terhadap Kota Jakarta sebagai pusat primer dan pusat Kota Tangerang sebagai pusat sekunder. Sedang akses jaringan transportasi dicoba didekati dengan frekuensi keramaian lalu lintas yang tercermin dari ada tidaknya transportasi kendaraan umum. Sehingga semakin dekat dengan pus at pertumbuhan dan semakin ramai transportasi kendaraan umum akan mendorong proses konversi lahan pertanian. Pola Perubahan Sumberdaya Air Perubahan Neraca Air Wilayah Kota Tangerang Kuantifikasi potensi sumberdaya air di daerah penelitian memberikan gambaran mengenai jumlah limpasan permukaan, yang diperoleh dari interaksi antara hujan yang jatuh di wilayah Kota Tangerang, serta jenis liputan lahan dan besarnya penguapan. Penguapan potensial (evapotranspirasi) di daerah penelitian ini dihitung dengan cara Turc (1952) dan Langbein (1949). Data klimatologi diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika stasion Tangerang yang wilayah kerjanya mencakup seluruh Kota Tangerang (Tabel 12 dan 13, Gambar 37 dan 38). Tabel 12 : Data Curah Hujan Stasiun Tangerang Tahun (Dalam mm) TAHUN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AUG SEP OKT NOP DES TOTAL Rata2 359,6 333, ,8 96,4 76,9 61, ,9 106,9 152,6 183, ,1 Sumber : Badan Meteorologi dn Geofisika Tangerang

104 Curah Hujan (mm/bln) Th Th Th Th Th Th Th Th Th Th Bulan Sumber : Tabel 12 Gambar 37. Grafik Curah Hujan Kota Tangerang Tahun Tabel 13 : Data Temperatur Stasiun Tangerang Tahun (Dalam C) Temp TAHUN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AUG SEP OKT NOP DES Rata2 Tahunan ,0 26,6 26,2 26,0 27,8 26,1 26,4 26,7 26,7 27,8 26,7 26,6 26,3 26,2 27,4 26,2 26,3 26,4 26,4 26,7 26,1 26,3 26,7 27,1 27,4 27,2 27,2 26,9 27,4 27,0 27,0 27,0 27,2 26,9 27,7 27,7 27,5 27,4 27,5 27,9 26,9 27,6 27,4 27,3 28,3 27,1 27,6 27,7 27,9 28,0 26,9 27,2 27,1 27,3 27,1 25,9 26,7 26,7 27,6 27,5 26,3 26,7 27,2 26,5 27,0 26,3 27,0 26,6 27,1 27,2 26,4 26,7 26,9 26,6 27,0 26,4 27,0 27,2 27,0 27,5 26,8 27,0 27,4 27,1 27,7 27,4 27,9 27,4 27, ,8 27,6 26,9 28,0 27,2 27,2 28,0 27,1 28,8 27,9 28,1 26,8 26,9 27,2 27,4 28,8 27,2 27,2 28,4 27,8 27,4 26,8 26,0 27,7 27,4 26,7 27,6 27,3 27,8 27,9 26,9 26,9 26,9 27,0 27,5 26,9 27,2 27,1 27,5 27,6 Temp Rata2 Bulanan 26,6 26,5 26,9 27,4 27,6 27,0 26,8 26,9 27,4 27,7 27,7 27,6 27,1 Sumber : Badan Meteorologi dn Geofisika Tangerang Dari data klimatologi stasiun Tangerang diperoleh data Presipitasi rata-rata tahunan dan Suhu udara rata-rata, maka berdasarkan rumus diatas diperoleh besarnya Evapotranspirasi (Table 14).

105 29,5 29,0 28,5 28,0 Suhu Udara 27,5 27,0 26,5 26,0 25,5 Th Th Th Th Th Th Th Th Th.2002 Th ,0 24,5 24, Bulan Sumber : Tabel 13 Gambar 38. Grafik Suhu Udara Kota Tangerang Tahun Tabel 14. Hasil Perhitungan Evapotranspirasi Periode Rata-rata Tahunan Temp. Udara ( C) Presipitasi (mm/thn) Evapotranspirasi (mm/thn) ,9 26,9 26,9 27,0 27,5 26,9 27,2 27,1 27,5 27,6 27,5 27, Sumber : Dihitung dengan Menggunakan Rumus 13 Dengan demikian maka bisa diketahui besarnya jumlah air yang secara potensial menguap kembali sebesar (1.369/1780) x 100% = 76,9%. Selanjutnya dengan mengetahui curah hujan dan perhitungan evapotranspirasi, aliran air limpasan permukaan dapat dihitung dengan menggunakan table koefisien run-off (C) dari U.S Forest Service. Dimana berdasarkan karakteristik wilayah ditetapkan bahwa koefisien run off untuk

106 kawasan terbangun sebesar 0,7 artinya dari air hujan yang jatuh ketanah 70% berpotensi menjadi run off, sedangkan untuk Ruang terbuka hijau 0,2. Perhitungan run off didasarkan pada dua criteria yaitu kawasan terbangun dan ruang terbuka hijau, dimana run-off (RO) = (P ET) x C x luas wilayah. Dengan luas wilayah terbangun 128,26 km2 atau 69% Run off pada tahun 2004 adalah m3 (54,5%) dari air yang jatuh ketanah, pada tahun 1994 dengan luas lahan terbangun seluas 103,77 Km2 run off sebesar m3 (48%) dari total air hujan yang jatuh ke tanah, sedang pada tahun 1959 dengan luas lahan terbangun 18,59 Km2 yang didominasi perumahan/permukiman dengan Koefien Dasar Bangunan (KDB) rendah ditetapkan nilai C = 0,4 dan C untuk Ruang terbuka hijau 0,2 run off sebesar m3 (24%) dari total curah hujan yang jatuh ke tanah. Infiltrasi dihitung dengan menggunakan rumus F = (P ET) x (1 C) x luas wilayah, infiltrasi dihitung untk kawasan terbangun dan ruang terbuka hijau keduanya dijumlahkan menjadi total infiltrasi. Dengan luas wilayah terbangun 128,26 km2 atau 69% infiltrasi pada tahun 2004 adalah m3 (45,5%) dari air yang jatuh ketanah, pada tahun 1994 dengan luas lahan terbangun seluas 103,77 Km2 infiltrasi sebesar m3 (52%) dari total air hujan yang jatuh ke tanah, sedang pada tahun 1959 dengan luas lahan terbangun 37,18 Km2 yang didominasi perumahan/permukiman dengan Koefien Dasar Bangunan (KDB) rendah ditetapkan nilai C = 0,4 dan C untuk Ruang terbuka hijau 0,2 infiltrasi sebesar m3 (76%) dari total curah hujan yang jatuh ke tanah. Dari hasil perhitungan neraca air (Table 15 dan Gambar 41) yang dilakukan pada tahun 1959, 1994 dan 2003 terlihat adanya kenaikan dalam run-off dari

107 tahun ketahun, sedangkan infiltrasi terus menurun hal ini disebabkan terus meningkatnya kawasan terbangun. Pada tahun 1959 sampai tahun 1994 infiltrasi lebih bear dari run off, sedangkan pada tahun 2003 infiltrasi lebih kecil dari run-off. P = Presipitasi ET = Evapotranspirasi F = Infiltrasi RO = Run-Off C = Koefisien Run Off P r E T P P R Ruang Terbuka O Hijau C = 0,2 Kawasan Terbangun F C = 0,7 R O P F F E T P r R O Gambar 39. Distribusi Air Hujan yang Jatuh di Daerah Penelitian (Saefulhakim,2005) Tabel 15. Hasil Perhitungan Neraca Air Tahun 1959, 1994 dan 2004 Guna Lahan Luas Lahan (Km2) P (mm) ET (mm) F (m3) RO (m3) Perbandingan F vs RO ( % ) Tahun 2004 Terbangun Ruang Terbuka Total 128,26 57,62 185, ,5 : 54,5 Tahun 1994 Terbangun Ruang Terbuka Total 103,77 82,11 185, : 48 Tahun 1959 Terbangun Ruang Terbuka Total 37,18 148,70 185, : 24 Sumber : Tabel 14 dan Gambar 41 Simbol : Keterangan simbol sama dengan Gambar 41

108 (m 3 /Th) Infiltrasi Run Off Th Th Th Sumber : Tabel 15 Gambar 40. Perbandingan Infiltrasi dan Run Off Debit Sungai Cisadane Fluktuasi debit rata-rata bulanan Sungai Cisadane di Stasiun pengamat Pasar Baru Tangerang menunjukan bahwa debit bulanan berfluktuasi mulai dari 41,6 m 3 /det pada bulan Agustus hingga 103,1 m 3 /det pada bulan Februari, Pada stasiun pengamatan Serpong fluktuasi debit ratarata bulanan Sungai Cisadane dari tahun menunjukan bahwa debit bulanan berfluktuasi mulai dari 10,15 m 3 /det pada bulan Agustus hingga 366,1 m 3 /det pada bulan Februari. Pada musim penghujan fluktuasi debit relatif tinggi seiring dengan tingginya curah hujan, namun pada musimkemarau fluktuasi debit tidak sejalan dengan fluktuasi curah hujan. Pada musim kemarau, meskipun curah hujan rendah (< 100 mm/bln), namun fluktuasi debit pada bulan-bulan tertentu masih relatif tingi (42 75 m 3 /det). Hal ini disebabkan bahwa debit Sungai Cisadane tidak hanya tergantung

109 pada curah hujan di Kota Tangerang dan sekitarnya, namun juga juga tergantung pada kondisi curah hujan di bagian hulu, di wilayah Bogor dan sebagian Kabupaten Tangerang di bagian hulu. Fluktuasi debit dapat dilihat pada Tabel 16, Gambar 43 dan Lampiran 6. Tabel 16. Fluktuasi debit Sungai Cisadane yang Te rukur di Stasiun Pengamatan Pasar BaruTahun Parameter Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Q-max 386,2 348,0 208,7 371,5 298,5 308,3 318,1 208,7 239,9 378,1 385,5 232,2 Q-rata2 81,1 87,5 56,8 70,1 80,2 65,1 52,8 41,6 51,2 75,3 81,0 59,0 Q-min 17,1 14,9 6,6 14,3 21,0 16,2 12,6 6,0 4,9 6,2 20,1 9,5 Sumber : Dokumen Amdal PDAM Kabupaten, 2005 Berdasarkan Tabel 16 memperlihatkan fluktuasi bulanan debit maksimum, debit minimum dan debit rata-rata bulanan Sungai Cisadane yang terukur di stasiun pengamatan Pasar Baru Tangerang, sedangkan Gambar 43 memperlihatkan secara visual fluktuasi debit rata-rata dan debit minimum bulanan dari tahun ,0 400,0 350,0 300,0 Debit (m3/det) 250,0 200,0 Q-max Q-rata2 Q-min 150,0 100,0 50,0 0, Bulan Sumber : Tabel 16 Gambar 41. Grafik Flukuasi Debit Sungai Cisadane Tahun

110 Data debit rata-rata bulanan yang terukur di stasiun pengamatan Pasar Baru Tangerang memperlihatkan pada periode Oktober Februari dan Periode Maret Mei, debit rata-rata bulanan Sungai Cisadane berkisar antara 75,3 87,5 m 3 /det berada di atas rata-rata tahunan sebesar 66,8 m 3 /det. Sedangkan selama periode Mei September, Desember dan Maret, debit rata-rata bulanan berada di bawah rata-rata tahunan, yaitu berkisar antara 41,6-65,1 m 3 /det. Debit Sungai Cisadane yang diamati antara tahun terlihat perbedaan debit maksimum dan minimum dari tahun tidak terlalu besar dan cenderung stabil. Tahun perbedaan debit maksimum dan minimum menunjukan angka yang lebih besar dari tahuntahun sebelumnya dan perbedaan keragaman debit sungai ini cenderung semakin besar (Gambar 44). Grafik Debit Bulanan Tahun Debit (m3/det) Bulan Sumber : Lampiran 6 Gambar 42. Fluktuasi Debit Bulanan Sungai Cisadane Tahun

111 Keragaman debit Sungai Cisadane terlihat kecil dan cenderung stabil dari tahun , namun dari tahun terjadi lonjakan nilai keragaman dimana keragaman pada perioda tersebut jauh lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya (Gambar 45 dan Lampiran 7). Grafik Varian Debit Sungai Tahun Varian 6000 Series Tahun Sumber : Lampiran 6 Gambar 43. Grafik Varian Debit Sungai Cisadane Tahun Koefisein Keragaman debit Sungai Cisadane terlihat kecil dan cenderung stabil dari tahun 1950 sampai pertengahan dekade 90, namun pertengahan dekade 90 terjadi lonjakan nilai koefisien keragaman dimana keragaman pada perioda tersebut jauh lebih besar dari tahun-tahun sebelum dan sesudahnya, pada akhir dekade 90 koefisien keragaman kembali normal sama seperti sebelum pertengahan dekade 90 (Gambar 46 dan Lampiran 7).

112 Koefisien Keragaman Debit sungai Cisadane Tahun Covarian Tahun Sumber : Lampiran 6 Gambar 44. Grafik Covarian Debit Sungai Cisadane Tahun DEBIT RATA-RATA TAHUNAN (m3/det) TAHUN TAHUN Sumber : Lampiran 6 Gambar 45. Grafik Rata-rata Tahunan Debit Sungai Cisadane Tahun

113 Debit Sungai Cisadane rata-rata tahunan dari tahun menunjukan debit rata-rata tahunan yang fluktuatif, secara umum fluktuasi debit tahunan menunjukan keseragaman, namun terdapat debit rata-rata yang sangat tinggi di atas 100 m3/det pada 5 titik tahun, yaitu pada tahun 1958, 1972, 1981, 1996 dan tahun Perbedaan fluktuasi debit Sungai Cisadane, Keragaman dan koefisien keragaman yang menunjukan kenaikan yang signifikan pada dekade 90 an diduga akibat perubahan pengunaan lahan yang menunjukan perkembangan yang sangat besar yang terjadi pada dekade 90, dimana booming perumahan dan industri mencapai klimaks pada dekade ini. Perubahan penggunaan lahan tersebut berakibat pada meningkatnya debit sungai pada musim hujan dan menurunnya debit sungai pada musim kemarau akibat dari semakin kecilnya pasokan air tanah terhadap sungai pada musim kemarau dan besarnya pasokan run off pada musim hujan. Kondisi Hidrogeologi Data hasil penafsiran geolistrik yang dilakukan Tahun 2004 (Gambar 48 dan Lampiran 8) menunjukan bahwa muka air tanah dangkal di Kota Tangerang bervariasi antara 8 20 m dibawah permukaan tanah atau rata rata tinggi muka air tanah dangkal 14 meter dengan ketebalan akifer rata-rata 16 m.

114 Sumber : Identifikasi dan Pemetaan Konservasi Air Tanah Kota Tangerang, Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang, 2004 Gambar 46. Susunan Lapisan Hasil Penafsiran Data Geolistrik Sedangkan berdasarkan data sumur bor (Dinas Lingjungan Hidup) kedalaman muka air tanah dangkal antara 2 12 m atau atau rata-rata 7 m. Pada tahun enam puluhan kedalaman muka air tanah dangkal daerah Jakarta rata-rata 5 m dibawah permukaan tanah (Muif, 1991), dengan melihat adanya kesamaan pada beberapa parameter antara lain litologi, dimana Jakarta dan Tangerang didominasi oleh endapan alluvial, dilihat dari hidrogeologi dimana Cekungan Air Tanah sebagian wilayah Tangerang termasuk dalam Cekungan air tanah Jakarta, kemudian dari hidrologi Wilayah Tangerang dan sebagian wilayah Jakarta termasuk dalam DAS Cisadane, kemudian dalam hal morfologi/topografi Jakarta dan Tangerang mempunyai kesamaan yaitu merupakan dataran dengan elevasi yang hampir sama dan dari data klimatologi hampir ada kesamaan antara Jakarta dan Tangerang, maka dapat di simpulkan bahwa muka air tanah di wilayah Tangerang pada tahun enam puluhan berada pada kedalaman rata-rata 5 m di bawah permukaan tanah. Sehingga bisa diketahui bila mengacu pada

115 hasil penafsiran geolistrik telah terjadi penurunan muka air tanah dangkal setinggi 9 m dalam kurun waktu empat puluh tahunan. Sedangkan bila mengacu pada data sumur bor penurunan muka air tanah dangkal hanya 2 meter selama 45 tahun. Dengan demikian penurunan muka air tanah dangkal yang terjadi rata-rata 4,4 cm/tahun. Bila dikonversikan dengan perubahan penggunaan lahan terjadi penurunan muka air tanah dangkal sebesar 0,816 cm setiap 1% perubahan guna lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun. Perubahan penurunan air tanah dangkal dapat dilihat pada Gambar Tahun 1959 Tahun 2004 Data Sumur Sumber : Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Gambar 47. Perubahan Tinggi Muka Air Tanah Dangkal Tinggi muka air pada akifer dalam berada pada kedalaman 40 sampai 100 m atau rata-rata 70 m dibawah permukaan tanah (Lampiran 8). Jenis air tanah dalam dari hasil interpretasi geolistrik merupakan air asin, hal ini menunjukan bahwa kondisi air tanah dalam telah terintrusi oleh air laut, hal ini terjadi

116 dimana pengambilan air tanah dalam yang sebagian besar digunakan untuk keperluan industri lebih besar dari infiltrasi yang masuk kedalam cekungan air tanah Tangerang, sehingga kekosongan akibar terjadinya eksploitasi air tanah secara besar-besaran terisi oleh air laut yang mendesak ke daratan. Perbedaan kedalaman muka air tanah dalam yang signifikan terdapat pada kawasan industri, dimana pada kawasan industri mempunyai kedalaman yang lebih besar dari wilayah sekitarnya, Hal ini terjadi akibat dari pengambilan air tanah dalam yang intensif yang dilakukan oleh perusahaan untuk kegiatan industri. Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane Letak dan Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane terletak pada BT dan LS, yang meliputi 202 desa dalam 18 kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor, 33 kelurahan dalam 3 kecamatan di wilayah Kota Bogor, 80 desa dalam 9 kecamatan di wilayah Kabupaten Tangerang dan 43 kelurahan dalam 10 kecamatan di wilayah Kota Tangerang. Berdasarkan penafsiran Citra Landsat tahun 2001 dan peta topografi skala 1 : las DAS Cisadane seluas Ha. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada peta wilayah pada Lampiran 1. Topografi Topografi di wilayah DAS Cisadane bervariasi dari bergelombang berbukit dan bergunung dengan ketinggian berkisar antara 0 meter sampai dengan 1200 meter di atas permukaan laut. Klas kelerengan di DAS Cisadane

117 beragam dari yang datar sampai yang sangat curam. Kelas kelerengan datar menempati wilayah seluas ha (73,15%), Kelas kelerengan curam seluas ,5 ha (10,46%) dan Kelas kelerengan sangat curam seluas ,5 ha (16,44%). Morfologi DAS Cisadane bisa dilihat pada peta geomorfologi pada Lampiran 2. Tanah dan Geologi Tanah-tanah di wilayah DAS Cisadane terdiri dari berbagai jenis seperti Aluvial, Regosol, Andosol, Rensina, Grumosol Mediteran dan Latosol yang mempunyai erodibilitas dan kedalaman yang berbeda. Erodibilitas tanah ditentukan oleh tekstur, struktur, permeabilitas dan bahan-bahan organik tanah Penyebaran tanah di DAS Cisadane dalah sebagai berikut : Tanah aluvial, mempunyai tekstur seperti liat (clay), berdebu (silty clay), lempung berliat (clay loam), lempung liat berdebu (silty clay loam), tanah ini penyebarannya seluas ,5 ha. Tanah Regosol, brtekstur gumpal dengan permeabilitas sedang, erodibilitasnya tergolong agak tinggi dan mempunyai kedalaman tanah yang dangkal. Penyebaran tanah ini di DAS Cisadane seluas Ha. Tanah Andosol, berteksturlempung (loam) dan mempunyai struktur antara sedang, kasar sampai gumpal serta permeabilitas yang dominan sedang dengan kandungan bahan organik antara 2,63 6%. Penyebaran tanah ini di DAS Cisadane seluas Ha. Tanah Latosol, bertekstur liat (clay) dengan kandungan bahan organik antara 1,24 6,93% struktur gumpal, permeabilitas sedang sampai lambat

118 dan kedalaman solum 90 cm. Penyebaran tanah latosol ini meliputi areal seluas ,8 ha. Tanah Podsolik, merupakan tanah merah yang mempunyai spektrum yang sangat luas. Dalam keadaan alam kesuburan tanah hanya terbatas pada lapisan berbahan organik di atas, dan bila digunakan kurang maksimal, kesuburannya cepat menurun. Pembakaran akan mempercepat merosotnya kesuburan kimia dengan merusak struktur tanah, untuk merehabilitasi kembali sangat sukar. Tanah ini dikenal kemiskinannya akan Ca, N, P dan K serta unsur makro, MO dan S karena jeleknya sifat kimia dan fisik tanah. Tanah podsolik ini merupakan tanah marginal untuk pertanian berumur panjang. Umumnya tanah podsolik lebih sesuai untuk tanaman tahunan misalnya tanaman perkebunan dan kehutanan. Daerah penyebarannya meliputi areal seluas 6.556,7 ha. Untuk lebih jelasnya penyebaran jenis tanah di DAS Cisadane bisa dilihat pada Lampiran 3. Ikilm Wilayah DAS Cisadane mempunyai iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin muson dan mempunyai dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan berlangsung antara bulan Nopember hngga bulan april sedangkan musim kemarau antara bulan Juni hingga Oktober. Curah hujan adalah salah satu faktor iklim yang sangat berpengaruh besar terhadap proses erosi. Semakin tinggi intensitas hujan dan semaki lama jatuh maka erosi yang terjadi akan semakin besar apabila faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses terjadinya erosi tidak berbeda. Curah hujan rata-

119 rata pertahun selama lima tahun di DAS Cisadane brkisar antara mm sampai dengan mm. Vegetasi Penutup Lahan Keadaan vegetasi di DAS Cisadane dapat dibedakan menjadi vegetasi yang terdapat didalam kawasan hutan dan yang berada di luar kawasan hutan. Vegetasi penutup lahan disini diartikan sebagai prosentase penutupan lahan oleh tanaman, baik tanaman tahunan maupun tanaman semusim. Penutupan lahan di DAS Cisadane didominasi oleh jenis tanaman perkebunan berupa tanaman perkebunan, jenis tanaman palawija, sayuran dan tanaman semusim lainnya meliputi sawah seluas ,5 ha dengan tipe penggunaan sebagai tegalan/ladang, kebun campuran dan tanah pertanian terpadu seluas 9.193,2 ha, penggunaan lahan untuk perkebunan seluas ,4 ha, semak belukar seluas ,5 ha, vegetasi berupa hutan menurut fungsinya seluas ,1 ha dan tambak seluas ha serta pengguaan lahan untuk permukiman seluas ,3 ha. Peta penggunaan lahan DAS Cisadane disajikan dalam Lampiran 4. Hidrologi Debit maksimum di wilayah DAS Cisadane sebesar 415,66 m³/detik pada tinggi muka air 3,19 m dan debit minimum sebesar 78,19 m³/detik pada tinggi muka air 0,96 m. Keadaan aliran tersebut menunjukan nilai koefisien regin sungai (KRS) sebesar 5,13 yang memberikan indikasi bahwa kontinuitas aliran di DAS Cisadane tidak normal. Peta Daerah Tangkapan air disajikan dalam Lampiran 5.

120 Neraca Air DAS Cisadane Dalam perhitungan neraca air DAS digunakan asumsi bahwa rata-rata kedalaman efektif tanah adalah 100 cm. Dalam perhitungan neraca air DAS, dimana DAS Cisadane mencakup wilayah Bogor, Serpong dan Tangerang, digunakan data curah hujan bulanan dari tiga stasiun pencatat hujan yang masing-masing mewakili wilayah Bogor, Serpong dan Tangerang. Bobot dugaan cakupan luas stasiun pencatat hujan Bogor sekitar 0,51, bobot dugaan cakupan luas stasiun pencatat hujan Serpong sekitar 0,31, dan bobot dugaan cakupan luas stasiun pencatat hujan Tangerang sekitar 0,18 dari seluruh wilayah DAS. Melalui pembobotan yang didasarkan pada luas cakupan representasi masing-masing stasiun hujan, maka kemudian ditentukan nilai curah hujan wilayah terboboti yang mewakili DAS Cisadane. Nilai-nilai curah hujan pada Tabel 17 memperlihatkan bahwa curah hujan wilayah DAS Cisadane (Chwil berkisar antara 75 mm/bln pada bulan Agustus hingga 299 mm/bln pada bulan Maret. Sedangkan evaporasi potensial (ETP) diduga berkisar antara 110 mm/bln pada bulan februari hingga153 mm/bln pada bulan September. Kondisi CHwil dan ETP yang berfluktuasi tidak seirama mengakibatkan adanya periode-periode dimana CHwil lebih tinggi dari ETP serta periode-periode dimana CHwil lebih rendah dari ETP. Periode dimana CHwil lebih tinggi dari ETP terjadi selama 9 bulan, yaitu antara Oktober hingga Juni. Selama Periode tersebut terjadi siklus yang besarnya berkisar antara mm/bulan, dan diperkirakan debit sungan Cisadane akan lebih tinggi dibandingkan priode lainnya. Sedangkan periode dimana CHwil

121 lebih rendah dari ETP terjadi selama 3 bulan, yaitu antara Juli hingga September. Selama Periode tersebut akan terjadi defisit Yang besarnya antara 1-33 mm/bulan (Gambar 47), dan diperkirakan debit sungai Cisadane akan menurun, namun tidak habis, karena air yang mengalir di sungai adalah cadangan air sungai yang tersimpan didalam tanah berasal dari kelebihan selama periode surplus. Tabel 17. Analisa Neraca Air DAS Cisadane Parameter Satu an Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Tahu nan CH Bogor mm CH Serpong mm CH Tangerang mm CH-Wilayah mm mm/ ETO hari 4,1 3,9 4,1 4,3 4,3 4,3 4,7 4,8 5,1 4,7 4,2 3,9 4,4 Jumlah Hari hari 31 28, ETP mm CH- ETP mm APWL mm KAT mm DKAT mm ETA mm Defisit mm Surplus mm Sumber : Dokumen ANDAL PDAM Kabupaten Tangerang, 2005 Kondisi CHwil dan ETP yang berfluktuasi tidak seirama mengakibatkan adanya periode-periode dimana CHwil lebih tinggi dari ETP serta periode-periode dimana CHwil lebih rendah dari ETP. Periode dimana CHwil lebih tinggi dari ETP terjadi selama 9 bulan, yaitu antara Oktober hingga Juni. Selama Periode tersebut terjadi siklus yang besarnya berkisar antara mm/bulan, dan diperkirakan debit sungan Cisadane akan lebih tinggi dibandingkan priode lainnya. Sedangkan periode dimana CHwil

122 lebih rendah dari ETP terjadi selama 3 bulan, yaitu antara Juli hingga September. Selama Periode tersebut akan terjadi defisit Yang besarnya antara 1-33 mm/bulan (Gambar 50), dan diperkirakan debit sungai Cisadane akan menurun, namun tidak habis, karena air yang mengalir di sungai adalah cadangan air sungai yang tersimpan didalam tanah berasal dari kelebihan selama periode surplus Tinggi Kolom Air Tanah (mm/bln) Bulan Sumber : Tabel 17 Gambar 48. Kondisi Air Tanah DAS Cisadane Tinggi Kolom Air (mm/bln) Bulan Sumber : Tabel 17 Gambar 49. Grafik Surplus dan Defisit Air DAS Cisadane

123 Keterkaitan antara Penggunaan Lahan dengan Sumberdaya Air Seperti dibahas dalam perhitungan neraca air Kota Tangerang yang dihitung pada tiga titik tahun yang berbeda, dimana pada tahun 1959 dengan luas wilayah terbangun baru 20%, volume infiltrasi jauh lebih besar dari run off dimana infiltrasi sebesar 76% dari curah hujan yang jatuh ke permukaan tanah, sedangkan run off hanya 24%, kemudian pada tahun 1994 dimana luas lahan terbangun sebesar 55,83% infiltrasi sebesar 52% sedangkan run off sebesar 48%, pada tahun 2003 dimana luas lahan terbangun mencapai 69%, infiltrasi yang terjadi sebesar 45,5% dan run off sebesar 54,5%. Hal ini menunjukan bahwa ketersediaan sumberdaya air terutama air tanah tergantung dari jenis penggunaan lahan yang ada, makin banyak lahan terbangun yang merupakan perubahan dari pertanian/ruang terbuka hijau menjadi penggunaan lahan lain seperti perumahan, industri maupun perdagangan dan jasa, makin kecil air hujan yang meresap kedalam tanah dan menjadi cadangan air tanah. Disisi lain kebutuhan terhadap air tanah dari waktu ke waktu semakin meningkat. Pengguna air tanah terbesar adalah untuk rumah tangga yang memanfaatkan air tanah dangkal dan industri yang memanfaatkan air tanah dalam. Total volume pengambilan air tanah dalam pada tahun 2004 adalah m3. Untuk lebih jelasnya kebutuhan terhadap air tanah dalam oleh berbagai kelompok pengguna air tanah dapat dilihat pada Lampiran 9 dan untuk menghitung penggunaan air tanah dangkal oleh masyarakat/rumah tangga dengan menghitung jumlah penduduk dikalikan standar kebutuan air bersih dikurangi distribusi air PDAM untuk rumah tangga. Hasil perhitungan pengambilan air tanah oleh kelompok

124 rumah tangga dibahas dalam sub bab ekonomi air dan tabel perhitungan total kebutuhan terhadap air bersih berdasarkan jumlah penduduk dan total suply air PDAM untuk rumah tangga dapat dilihat pada Lampiran 10. Dengan menurunnya cadangan air tanah maka air permukaan semakin meningkat, sebagaimana telah diuraikan dalam bab pendahuluan tentang neraca air bahwa jumlah air secara keseluruhan adalah tetapp, jadi bila terjadi pengurangan pada salah satu variabel maka akan terjadi peningkatan pada variabel yang lain. Peningkatan jumlah/debit air permukaan yang tidak terkendali dapat menimbulkan bahaya banjir. Perubahan ketersediaan sumberdaya air yang terkait dengan perubahan penggunaan lahan ditampilkan dala Tabel 18 di bawah ini. Tabel 18. Perbandingan Ketersediaan Sumberdaya Air dengan Penggunaan Lahan Tahun 1959, 1994 dan 2004 Kondisi Lahan Luas Lahan (Km2) (%) Infiltrasi (F) (m3) (%) Run-Off (RO) (m3) ( % ) Tahun 2004 Terbangun Ruang Terbuka Total 128,26 57,62 185, , ,5 Tahun 1994 Terbangun Ruang Terbuka Total 103,77 82,11 185,88 55,83 44, Tahun 1959 Terbangun Ruang Terbuka Total 37,18 148,70 185, Sumber : Tabel 15 Seperti pada pembahasan sebelumnya perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun memerikan dampak

125 terhadap menurunya infiltrasi sebagai pasokan terhadap keberadaan air tanah, dengan demikian muka air tanah pun akan menurun. Penurunan muka air tanah bisa dilihat dengan membandingkan pada waktu yang berbeda, dalam penelitian ini dibandingkan penurunan muka air tanah dan kondisi lahan pada tahun 1959 dengan tahun 2004 seperti pada Tabel 19 dibawah ini. Tabel 19. Perkembangan Perubahan Muka Air Tanah Tahun 1959 dan 2004 TAHUN RTH MUKA AIR TANAH (m) (%) GEOLISTRIK SUMUR Sumber : Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Berdasarkan data yang curah hujan dan suhu udara rata-rata tahunan Kota Tangerang yang diperileh dari Badan Meteorologi dan Geofisika Kota Tangerang diperoleh grafik curah hujan dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 secara umum cenderung konstan (Gambar 52), sedangkan suhu udara rata-rata tahunan dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 secara umum terlihat menunjukan kenaikan (Gambar 53), Kenaikan suhu udara diduga disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi kegiatan industri dan prasarana jalan yang semakin besar untuk mengimbangi kenaikan jumlah kendaraan bermotor, kedua kegiatan tersebut bisa mengakibatkan polusi udara yang mengikis lapisan ozon yang merupakan filter bagi bumi dari panasnya sinar matahari, dengan demikian sinar matahari lebih besar ang menembus lapisan ozon yang mengakibatkan suhu udara mengalami peningkatan.

126 CURAH HUJAN RATA-RATA TAHUNAN (mm) Series TAHUN KE ( ) Sumber : Tabel 12 Gambar 50. Grafik Curah Hujan Rata-rata Tahunan Kota Tangerang SUHU UDARA RATA-RATA TAHUNAN (C) Series TAHUN KE ( ) Sumber : Tabel 13 Gambar 51. Grafik Suhu Udara Rata-rata Tahunan Kota Tangerang Tahun

127 Debit Sungai Cisadane dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 secara umum cenderung meningkat (Gambar 54), meskipun curah hujan yang turun dalam kurun waktu tersebut cenderung tetap. Peningkatan debit Sungai Cisadane diduga sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka menjadi areal terbangun. Dengan terus terjadinya perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal terbangun menyebabkan curah hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan diteruskan kedalam tanah menjadi aliran air tanah semakin berkurang, sebaliknya aliran permukaan terus meningkat yang merupakan pasokan bagi Sungai Cisadane sehingga debit sungai mengalami peningkatan Debit (m3/det) Series Tahun Sumber : Lampiran 6 Gambar 52. Grafik Debit Sungai Cisadane Rata-rata Tahunan Tahun

128 Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Land Rent Perubahan land rent selain dipengaruhi oleh lokasi yang strategis antara lain jarak dari pusat kota atau pusat pelayanan dan aksesibilitas yang tinggi, juga land rent dapat dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan. Land rent bisa berubah dengan berubahnya fungsi lahan atau aktifitas perekonomian. Dalam survey yang dilakukan terhadap beberapa lokasi serta penggunaan lahan yang berbeda menunjukan perbedaan land rent pada penggunaan lahan yang sama dengan jarak yang berbeda dengan pusat kegatan (pusat kota) juga terdapat perbedaan nilai land rent pada lokasi yang sama namun penggunaan lahan berbeda. Berikut akan disampaikan beberapa nilai land rent berdasakan lokasi dan penggunaan lahan. Pada lokasi yang paling jauh dari pusat kota di dekat pantai Kramat Kecamatan Sepatan banyak terdapat kegiatan tambak sebagian petani tambak mempunyai lahan sendiri sebagian lagi mengusahakan dengan cara sewa. Harga sewa lahan untuk tambak di daerah tersebut pada umumnya sebesar Rp ,- /hektar/tahun, sedangkan untuk harga sewa rumah tinggal permanen antara Rp ,- sampai dengan ,- untuk bangunan permanen dengan luas bangunan 45 m2 diatas tanah 90 m2. Untuk lokasi yang tidak jauh dari pusat kota yang terletak di Kecamatan Cibodas terdapat beberapa tanah kosong yang disewakan sebagai penampung bahan material seperti pasir, batu dll. Harga sewa lahan kosong yang berlaku di lokasi tersebut sebesarrp ,- pertahun untuk setiap luas tanah m2. Sedangkan harga sewa rumah tinggal pada perumahan yang berdekatan dengan lokasi tersebut berkisar antara Rp ,- sampai dengai Rp ,- untuk rumah tinggal dengan

129 luas bangunan 54 m2 diatas tanah 120 m2. Sedangkan harga sewa untuk ruko yang terletak dipinggir jalan pada lokasi yang sama harga sewa ruko rata-rata Rp ,- untuk ruko dua lantai ukuran 4 x 15 m2 dengan luas tanah 60 m2. Pada daerah industri yang terdapat banyak sewaan rumah/kamar yang diperuntukan bagi pekerja industri harga sewa perkamar rata-rata Rp ,- perbulan atau Rp ,- pertahun untuk kamar ukuran 3 x 4 m2 dengan halaman/eras berukuran 1 x 3 m2. Pada lokasi yang terletak di pusat kota tidak terdapat lahan kosong yang disewakan sebagai tempat usaha. Tempat usaha yang disewakan masih terdapat dalam bangunan pasar modern (mall) pada umumnya toko yang berada di lingkungan mall sudah dibeli oleh pemilik toko, namun masih terdapat toko dalam mall di pusat kota yang disewakan oleh pembeli ruko tersebut harga sewa toko di dalam mall rata-rata sebesar Rp ,- perbulan atau Rp ,- pertahun untuk toko berukuran 3x4 m2. Disini terlihat bahwa perubahan penggunaan lahan sangat berpengaruh terhadap perubahan nilai land rent, Land rent berubah seiring dengan berubahnya fungsi lahan. Dari uraian diatas berdasarkan survey dilapangan semakin jelas bahwa nilai land rent dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lokasi (jarak dari pusat kota/pusat kegiatan, aksesibilitas dan fasilitas penunjang) serta faktor fungsi kegiatan (penggunaan lahan).

130 Kondisi Ekonomi Air Perilaku Supply - Demand Air Kota Tangerang, dengan pertumbuhan penduduknya yang pesat, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,51 %. Jumlah penduduk Kota Tangerang pada akhir tahun 2003 adalah berjumlah juta jiwa denga jumlah rumah tangga sebanyak yang tersebar pada Rukun Tetangga (RT), 901 Rukun Warga (RW), 103 kelurahan dan 13 kecamatan. Besarnya pertambahan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan terhadap air bersih terutama untuk keperluan air minum dan sanitasi di wilayah Kota Tangerang. Menurut WHO kebutuhan air standar perorangan untuk kota Metropolitan itu adalah 125 liter/ orang/ hari, jika mengikuti standar kesehatan WHO ini untuk memenuhi kebutuhan air penduduk Kota Tangerang, dengan jumlah penduduk tahun 2004 diperkirakan sebesar 1, jiwa, maka kebutuhan air penduduk Kota Tangerang pada tahun sekarang adalah m 3 / hari atau setara dengan m 3 /tahun. Sementara itu, kapasitas produksi PDAM Kota Tangerang pada tahun 2004 adalah sebesar liter/detik yang setara dengan m 3 / hari atau setara dengan m 3 / tahun, dari lima instalasi penjernihan air yang dimiliki oleh PDAM Kota Tangerang dua instalasi dengan kapasitas produksi sebesar 350 l/det, PDAM Kabupaten Tangerang tiga instalasi dengan kapasitas produksi sebesar l/det dengan wilayah pelayanan mencakup Kota dan Kabupaten Tangerang dan perusahaan swasta satu instalasi dengan kapasitas produksi sebesar 10 l/det. Air dari PDAM yang

131 terdistribusi kepada konsumen pada tahun 2004 sebesar m3 untuk berbagai golongan konsumen, untuk konsumsi rumah tangga sebesar m3. Sehingga dari data ini hanya sebagian kecil kebutuhan air penduduk yang terlayani oleh PDAM Kota Tangerang. Yakni hanya sekitar 23,44 % dari kebutuhan standart penduduk Kota Tangerang. Besarnya kebutuhan air penduduk Kota Tangerang ini telah menyebabkan penduduk di wilayah ini menggunakan sumber air alternatif untuk memenuhi kebutuhan air mereka melalui pemompaan air tanah, sumur, dan lain sebagainya. Penduduk yang menggunakan air alternatif yang tidak menggunakan air PDAM sebesar 76,56% dari kebutuhan penduduk atau sebanyak m3. Diasumsikan sumber air alternatif lain adalah air tanah dangkal berdasarkan perhitungan neraca air air yang meresap kedalam tanah menjadi cadangan air tanah pada tahun 2004 sebesar m3. Disini terlihat bahwa suply air tanah (infiltrasi) lebih kecil dari demand, pada kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan muka air tanah. Seiring dengan trend perkembangan jumlah penduduk di wilayah Kota Tangerang, maka kebutuhan terhadap air minum dan sanitasi akan terus meningkat hal ini terlihat dari grafik kebutuhan air yang cenderung meningkat (Gambar 57). Hal ini disebabkan karena Kota Tangerang tetap menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan memiliki kesempatan kerja serta ekspektasi yang besar bagi imigran dari daerah lain untuk mencari kerja dan menetap di Kota Tangerang atau yang mencari kerja di jakarta dan tinggal di Tangerang sebagai komuter. Disamping itu, meningkatnya permintaan air bersih PDAM oleh penduduk Kota Tangerang juga lebih banyak disebabkan oleh tidak bisa

132 dimanfaatkannya air sungai yang ada karena tercemar oleh sampah, plastik, limbah rumah tangga dan industri, tingginya sedimentasi air sungai karena erosi yang menyebabkan tingkat kekeruhan air sungai lebih tinggi. Sehingga air sungai tidak bisa lagi dimanfaatkan lagi sebagai air untuk keperluan mencuci, memasak, apalagi untuk keperluan air minum. IPA MEKARSARI 350 l/det IPA BABAKAN 80 l/det IPA CIKOKOL l/det IPA PERUMNAS 120 l/det Sumber : PDAM Kabupaten Tangerang, 2005 Gambar 53. Peta Sebaran Instalasi Pengolahan Air PDAM

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan

Lebih terperinci

Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi

Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi Daur Siklus Hidrologi Siklus hidrologi adalah perputaran air dengan perubahan berbagai bentuk dan kembali pada bentuk awal. Hal ini menunjukkan bahwa volume

Lebih terperinci

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air.

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air. BAB I SIKLUS HIDROLOGI A. Pendahuluan Ceritakan proses terjadinya hujan! Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air. Tujuan yang ingin dicapai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Air di dunia 97,2% berupa lautan dan 2,8% terdiri dari lembaran es dan

PENDAHULUAN. Air di dunia 97,2% berupa lautan dan 2,8% terdiri dari lembaran es dan PENDAHULUAN Latar Belakang Air di dunia 97,2% berupa lautan dan 2,8% terdiri dari lembaran es dan gletser (2,15%), air artesis (0,62%) dan air lainnya (0,03%). Air lainnya ini meliputi danau air tawar

Lebih terperinci

Lebih dari 70% permukaan bumi diliputi oleh perairan samudra yang merupakan reservoar utama di bumi.

Lebih dari 70% permukaan bumi diliputi oleh perairan samudra yang merupakan reservoar utama di bumi. Sekitar 396.000 kilometer kubik air masuk ke udara setiap tahun. Bagian yang terbesar sekitar 333.000 kilometer kubik naik dari samudera. Tetapi sebanyak 62.000 kilometer kubik ditarik dari darat, menguap

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F14104021 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah atau kawasan yang di batasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.1. tetap

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.1. tetap SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.1 1. Keberadaan air yang terdapat di permukaan bumi jumlahnya... tetap semakin berkurang semakin bertambah selalu berubah-ubah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR..... ii DAFTAR ISI...... iv DAFTAR TABEL..... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN.... 1 A. Latar Belakang Masalah 1 B. Rumusan Masalah. 7 C. Tujuan Penelitian......

Lebih terperinci

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI SIKLUS HIDROLOGI Siklus Hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Hidrologi adalah ilmu yang menjelaskan tentang kehadiran dan gerakan air di alam, yang meliputi bentuk berbagai bentuk air, yang menyangkut perubahan-perubahannya antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR (PSDA) Dosen : Fani Yayuk Supomo, ST., MT ATA 2011/2012

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR (PSDA) Dosen : Fani Yayuk Supomo, ST., MT ATA 2011/2012 PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR (PSDA) Dosen : Fani Yayuk Supomo, ST., MT ATA 2011/2012 BAB VI Air Tanah Air Tanah merupakan jumlah air yang memiliki kontribusi besar dalam penyelenggaraan kehidupan dan usaha

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban. BAB III METODOLOGI 3.1 Umum Metodologi merupakan suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi 4 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi Siklus hidrologi merupakan perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang terjadi secara terus menerus, air

Lebih terperinci

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017 Karakteristik Air Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017 Fakta Tentang Air Air menutupi sekitar 70% permukaan bumi dengan volume sekitar 1.368 juta km

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Umum merupakan salah satu fasilitas dasar yang dirancang sebagai sistem guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan komponen penting dalam perencanaan kota (perencanaan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan di Kota

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan di Kota 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan di Kota Adanya aktifitas manusia dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya sehari-hari berdampak pada perubahan penutup/penggunaan

Lebih terperinci

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian hidrosfer dan siklus hidrologi.

Lebih terperinci

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Disampaikan pada PELATIHAN PENGELOLAAN DAS (25 November 2013) KERJASAMA : FORUM

Lebih terperinci

OPTIMASI PEMANFAATAN AIR BAKU DENGAN MENGGUNAKAN LINEAR PROGRAMMING (LP) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIDANAU, BANTEN. OLEH : MIADAH F

OPTIMASI PEMANFAATAN AIR BAKU DENGAN MENGGUNAKAN LINEAR PROGRAMMING (LP) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIDANAU, BANTEN. OLEH : MIADAH F OPTIMASI PEMANFAATAN AIR BAKU DENGAN MENGGUNAKAN LINEAR PROGRAMMING (LP) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIDANAU, BANTEN. OLEH : MIADAH F14102075 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Hujan / Presipitasi Hujan merupakan satu bentuk presipitasi, atau turunan cairan dari angkasa, seperti salju, hujan es, embun dan kabut. Hujan terbentuk

Lebih terperinci

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*)

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*) PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS Oleh: Suryana*) Abstrak Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dilakukan secara integratif dari komponen biofisik dan sosial budaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis Hujan hujan tropis adalah daerah yang ditandai oleh tumbuh-tumbuhan subur dan rimbun serta curah hujan dan suhu yang tinggi sepanjang tahun. Hutan hujan tropis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air TINJAUAN PUSTAKA Neraca Air Neraca air adalah model hubungan kuantitatif antara jumlah air yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan dan kurun waktu tertentu.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Hidrologi Siklus hidrologi adalah sebuah proses pergerakan air dari bumi ke armosfer dan kembali lagi ke bumi yang berlangsung secara kontinyu (Triadmodjo, 2008). Selain

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011)

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011) Artikel OPINI Harian Joglosemar 1 MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011) ŀ Turunnya hujan di beberapa daerah yang mengalami kekeringan hari-hari ini membuat

Lebih terperinci

Universitas Gadjah Mada

Universitas Gadjah Mada II. DAUR HIDROLOGI A. Siklus Air di Bumi Air merupakan sumberdaya alam yang sangat melimpah yang tersebar di berbagai belahan bumi. Di bumi terdapat kurang lebih 1,3-1,4 milyard km 3 air yang terdistribusi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang terjadinya, pergerakan dan distribusi air di bumi, baik di atas maupun di bawah permukaan bumi, tentang sifat fisik,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bekasi, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat yang terletak di sebelah timur Jakarta. Batas administratif Kota bekasi yaitu: sebelah barat adalah Jakarta, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi dan Neraca air Menurut Mori (2006) siklus air tidak merata dan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi (suhu, tekanan atmosfir, angin, dan lain-lain) dan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 05 SUMBERDAYA AIR SUMBERDAYA ALAM Sumberdaya alam adalah semua sumberdaya, baik yang bersifat terbarukan (renewable resources) ) maupun sumberdaya tak terbarukan (non-renewable

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 31 km di atas area seluas 1145 km² di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di

BAB I PENDAHULUAN. 31 km di atas area seluas 1145 km² di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di BAB I PENDAHULUAN 1.1. URAIAN UMUM Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran luas 100 km x 31 km di atas area seluas 1145 km² di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di tengah danau terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air BAB I PENDAHULUAN I. Umum Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah dan sebagainya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisa Hidrologi Analisis hidrologi merupakan salah satu bagian dari keseluruhan rangkaian dalam perencanaan bangunan air seperti sistem drainase, tanggul penahan banjir dan

Lebih terperinci

tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian (Sri Harto, 1993).

tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian (Sri Harto, 1993). batas topografi yang berarti ditetapkan berdasarkan aliran air permukaan. Batas ini tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

1. Alur Siklus Geohidrologi. dari struktur bahasa Inggris, maka tulisan hydrogeology dapat diurai menjadi

1. Alur Siklus Geohidrologi. dari struktur bahasa Inggris, maka tulisan hydrogeology dapat diurai menjadi 1. Alur Siklus Geohidrologi Hidrogeologi dalam bahasa Inggris tertulis hydrogeology. Bila merujuk dari struktur bahasa Inggris, maka tulisan hydrogeology dapat diurai menjadi (Toth, 1990) : Hydro à merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehilangan air pada suatu sistem hidrologi. panjang, untuk suatu DAS atau badan air seperti waduk atau danau.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehilangan air pada suatu sistem hidrologi. panjang, untuk suatu DAS atau badan air seperti waduk atau danau. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Neraca Air Triatmodjo (2010) menjelaskan neraca air dapat menggambarkan bahwa di dalam suatu sistem hidrologi (DAS, waduk, danau, aliran permukaan) dapat dievaluasi air yang

Lebih terperinci

REKAYASA HIDROLOGI SELASA SABTU

REKAYASA HIDROLOGI SELASA SABTU SELASA 11.20 13.00 SABTU 12.00 13.30 MATERI 2 PENGENALAN HIDROLOGI DATA METEOROLOGI PRESIPITASI (HUJAN) EVAPORASI DAN TRANSPIRASI INFILTRASI DAN PERKOLASI AIR TANAH (GROUND WATER) HIDROMETRI ALIRAN PERMUKAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim lainnya menyebabkan terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi tanah, di laut atau badan-

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di bumi, air yang berada di wilayah jenuh di bawah air permukaan tanah secara global, kira-kira sejumlah 1,3 1,4 milyard km3 air: 97,5 % adalah airlaut 1,75 % berbentuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas batas topografi secara alami sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh punggungpunggung gunung atau pegunungan dimana air hujan yang jatuh di daerah tersebut akan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut (Triatmodjo, 2008:1).Hidrologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya. Penerapan ilmu hidrologi

Lebih terperinci

MAKALAH. PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR MELALUI PENDEKATAN DAERAH TANGKAPAN AIR ( Suatu Pemikiran Untuk Wilayah Jabotabek ) Oleh S o b i r i n

MAKALAH. PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR MELALUI PENDEKATAN DAERAH TANGKAPAN AIR ( Suatu Pemikiran Untuk Wilayah Jabotabek ) Oleh S o b i r i n MAKALAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR MELALUI PENDEKATAN DAERAH TANGKAPAN AIR ( Suatu Pemikiran Untuk Wilayah Jabotabek ) Oleh S o b i r i n J U R U S A N G E O G R A F I FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. akuifer di daratan atau daerah pantai. Dengan pengertian lain, yaitu proses

TINJAUAN PUSTAKA. akuifer di daratan atau daerah pantai. Dengan pengertian lain, yaitu proses TINJAUAN PUSTAKA Intrusi Air Laut Intrusi atau penyusupan air asin ke dalam akuifer di daratan pada dasarnya adalah proses masuknya air laut di bawah permukaan tanah melalui akuifer di daratan atau daerah

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR ISI. PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR ISI PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 8 1.3 Tujuan dan Manfaat... 8 1.4 Ruang Lingkup...

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Tujuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daur Hidrologi

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Tujuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daur Hidrologi I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Jakarta adalah sebuah provinsi sekaligus ibukota Indonesia. Kedudukannya yang khas baik sebagai ibukota negara maupun sebagai ibukota daerah swantantra, menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA Sejalan dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk kota Jakarta, hal ini berdampak langsung terhadap meningkatnya kebutuhan air bersih. Dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daur hidrologi merupakan perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut, air tersebut akan tertahan (sementara)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard Km 3 air dengan persentase 97,5%

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard Km 3 air dengan persentase 97,5% BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan pokok untuk semua makhluk hidup tanpa terkecuali, dengan demikian keberadaannya sangat vital dipermukaan bumi ini. Terdapat kira-kira

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi 2 TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi Infiltrasi didefinisikan sebagai proses masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan tanah. Umumnya, infiltrasi yang dimaksud adalah infiltrasi vertikal, yaitu gerakan ke

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

SUMBERDAYA HIDROGEOLOGI

SUMBERDAYA HIDROGEOLOGI Handouts Geologi Lingkungan (GG405) SUMBERDAYA HIDROGEOLOGI Disusun Oleh: Nandi, S.Pd. 132314143 JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifat sifatnya dan hubungan dengan lingkungannya terutama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

Sifat fisika air. Air O. Rumus molekul kg/m 3, liquid 917 kg/m 3, solid. Kerapatan pada fasa. 100 C ( K) (212ºF) 0 0 C pada 1 atm

Sifat fisika air. Air O. Rumus molekul kg/m 3, liquid 917 kg/m 3, solid. Kerapatan pada fasa. 100 C ( K) (212ºF) 0 0 C pada 1 atm Sifat fisika air Rumus molekul Massa molar Volume molar Kerapatan pada fasa Titik Leleh Titik didih Titik Beku Titik triple Kalor jenis Air H 2 O 18.02 g/mol 55,5 mol/ L 1000 kg/m 3, liquid 917 kg/m 3,

Lebih terperinci

TATA CARA PEMBUATAN RENCANA INDUK DRAINASE PERKOTAAN

TATA CARA PEMBUATAN RENCANA INDUK DRAINASE PERKOTAAN 1. PENDAHULUAN TATA CARA PEMBUATAN RENCANA INDUK DRAINASE PERKOTAAN Seiring dengan pertumbuhan perkotaan yang amat pesat di Indonesia, permasalahan drainase perkotaan semakin meningkat pula. Pada umumnya

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Sungai merupakan jaringan alur-alur pada permukaan bumi yang terbentuk secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian hilir. Air hujan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 ) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi Pada umumnya ketersediaan air terpenuhi dari hujan. Hujan merupakan hasil dari proses penguapan. Proses-proses yang terjadi pada peralihan uap air dari laut ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON

KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON KEMAMPUAN LAHAN UNTUK MENYIMPAN AIR DI KOTA AMBON Christy C.V. Suhendy Dosen Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon e-mail: cherrzie@yahoo.com ABSTRACT Changes in land use affects water availability

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR II IRIGASI DAN DRAINASE : Neraca Air Tanah

TUGAS TERSTRUKTUR II IRIGASI DAN DRAINASE : Neraca Air Tanah TUGAS TERSTRUKTUR II IRIGASI DAN DRAINASE : Neraca Air Tanah Nama : Sonia Tambunan NIM : 105040201111171 Kelas : I UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI MALANG 2012 Sonia

Lebih terperinci

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi Besarnya radiasi yang diserap atau dipantulkan, baik oleh permukaan bumi atau awan berubah-ubah tergantung pada ketebalan awan, kandungan uap air, atau jumlah partikel debu Radiasi datang (100%) Radiasi

Lebih terperinci

Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Perubahan Siklus Air Yang Memicu Kelangkaan Air Dunia

Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Perubahan Siklus Air Yang Memicu Kelangkaan Air Dunia Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Perubahan Siklus Air Yang Memicu Kelangkaan Air Dunia Paul Rizky Mayori Tangke* Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang esensial bagi kebutuhan rumah tangga, pertanian,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang esensial bagi kebutuhan rumah tangga, pertanian, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang paling berharga. Air tidak saja perlu bagi manusia, tetapi hewan dan juga tumbuhan sebagai media pengangkut, sumber energi dan keperluan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kadar Air Tanah Air merupakan salah satu komponen penting yang dibutuhkan oleh tanaman baik pohon maupun tanaman semusim untuk tumbuh, berkembang dan berproduksi. Air yang

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN Letak Geografis dan Luas Wilayah Kota Tangerang Selatan terletak di timur propinsi Banten dengan titik kordinat 106 38-106 47 Bujur Timur dan 06 13 30 06 22 30 Lintang

Lebih terperinci

θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7)

θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7) 7 Persamaan-persamaan tersebut kemudian dikonversi menjadi persamaan volumetrik (Persamaan 5) yang digunakan untuk mendapatkan nilai kadar air tanah dalam % volume. 3.3.5 Pengukuran Curah Hujan dan Tinggi

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok seluas 462 ha. Secara geografis daerah penelitian terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira.

BAB I PENDAHULUAN. Evaluasi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Daerah Irigasi Namu Sira-sira. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan air (dependable flow) suatu Daerah Pengaliran Sungai (DPS) relatif konstan, sebaliknya kebutuhan air bagi kepentingan manusia semakin meningkat, sehingga

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan manusia seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan manusia seiring dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan manusia seiring dengan perkembangan teknologi saat ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan permukiman sedangkan

Lebih terperinci

Sub Kompetensi. Pengenalan dan pemahaman pengembangan sumberdaya air tanah terkait dalam perencanaan dalam teknik sipil.

Sub Kompetensi. Pengenalan dan pemahaman pengembangan sumberdaya air tanah terkait dalam perencanaan dalam teknik sipil. PENGEMBANGAN AIR TANAH Sub Kompetensi Pengenalan dan pemahaman pengembangan sumberdaya air tanah terkait dalam perencanaan dalam teknik sipil. 1 PENDAHULUAN Dalam Undang-undang No 7 tahun 2004 : air tanah

Lebih terperinci

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS) Stadia Sungai Sungai adalah aliran air di permukaan tanah yang mengalir ke laut. Dalam Bahasa Indonesia, kita hanya mengenal satu kata sungai. Sedangkan dalam Bahasa Inggris dikenal kata stream dan river.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. hingga titik embunnya, maka uap tersebut akan membeku menjadi butiran air

II. TINJAUAN PUSTAKA. hingga titik embunnya, maka uap tersebut akan membeku menjadi butiran air II. TINJAUAN PUSTAKA A. Daur Hidrologi Tahap pertama dari daur hidrologi adalah penguapan air dari samudera. Uap ini dibawa di atas daratan oleh massa udara yang bergerak. Bila didinginkan hingga titik

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jagung Jagung merupakan tanaman yang dapat hidup di daerah yang beriklim sedang sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat membutuhkan sinar matahari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (Heady dan Jensen, 2001) penggunaan lahan paling efisien secara ekonomi adalah

TINJAUAN PUSTAKA. (Heady dan Jensen, 2001) penggunaan lahan paling efisien secara ekonomi adalah TINJAUAN PUSTAKA Definisi Land Rent Land rent adalah penerimaan bersih yang diterima dari sumberdaya lahan. Menurut (Heady dan Jensen, 2001) penggunaan lahan paling efisien secara ekonomi adalah hasil

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien.

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan komponen penting bagi proses kehidupan di bumi karena semua organisme hidup membutuhkan air dan merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem

Lebih terperinci