Citra Sosial-Politis Gereja-Gereja di Indonesia selama Orde Baru

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Citra Sosial-Politis Gereja-Gereja di Indonesia selama Orde Baru"

Transkripsi

1 Citra Sosial-Politis Gereja-Gereja di Indonesia selama Orde Baru Telaah Kritis atas Dokumen-Dokumen Teologis DGI/PGI oleh Julianus Mojau 1. Pengantar Karena artikel ini bermaksud memeriksa dokumen-dokumen teologis DGI/PGI maka sulit sekali kami memenuhi permintaan Redaksi INTIM untuk membatasi halaman artikel ini hanya pada +/- 8 halaman saja. Kesulitan ini terkait dengan sulitnya menghindari sejumlah kutipan langsung. Hal itu kami lakukan untuk menghindari salah paham pembaca yang akan memberi kesan bahwa apa yang kami lakukan dalam artikel ini hanya sebuah rekaan penulis semata. Memang kami cukup sadar bahwa sebuah artikel yang terlalu panjang dapat menimbulkan kejenuhan pembacanya. Untuk hal ini kiranya kami dapat dimaafkan. Minat untuk memeriksa secara kritis dokumendokumen teologis DGI/PGI ini muncul karena kami melihat bahwa sejak kelahiran Orde Baru (1966) hingga keruntuhannya (1998) Gereja-gereja di Indonesia yang terhimpun dalam wadah oikumenis Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI; dulu namanya: Dewan Gereja-gereja di Indonesia, disingkat DGI) memperlihatkan sebuah komitmen sosial secara teologis yang kuat atau yang biasanya disebut dengan partisipasi Gereja dalam pergumulan bangsa sebagaimana dicerminkan dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila adalah sebuah pilihan sikap politis Gerejagereja di Indonesia yang memberi implikasi tersendiri terhadap citra sosial Gereja-gereja itu sendiri selama Orde Baru. Apalagi kita membaca dalam pesan Konferensi Gereja dan Masyarakat II (KGM-II) tahun 1967, yang diselenggarakan sesudah peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto tahun 1966 melalui Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), menyambut komitmen dan janji Orde Baru dengan penuh antusias dan optimistis untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia sesuai dengan Pancasila dan UUD Gereja-Gereja di Indonesia dan Proyek Modernisasi Orde Baru Konferensi Gereja dan Masyarakat II (KGM-II) mencatat bahwa pembaruan sosial sebagaimana dicerminkan dalam suasana pasca peralihan kekuasaan politik itu tidak bisa tidak harus ditempuh dengan jalan mengikutsertakan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia ke dalam proses modernisasi. Konferensi menegaskan bahwa masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia harus mau mengembangkan diri menjadi suatu masyarakat, bangsa dan negara yang modern apabila ingin mewujudkan cita-cita politis yang telah dinyatakannya sejak tahun KGM II tanpa raguragu memberi pesan kepada seluruh pimpinan dan warga Gereja-gereja anggota DGI: Dalam pemikiran Konperensi mengenai pembaharuan masjarakat, modernisasi telah ditempatkan pada pusat perhatian. Konperensi yakin bahwa tjita-tjita untuk mendirikan masjarakat adil dan makmur hanja dapat ditjapai dalam masjarakat Indonesia jang modern. Tempat jang wadjar bagi Indonesia di antara bangsa-bangsa di dunia djuga hanja dapat ditjapai melalui modernisasi. Bahkan untuk survival sadja kita harus melaksanakan modernisasi. 3 Selanjutnya dalam Konferensi Gereja dan Masyarakat III (KGM-III) tahun 1976 ditegaskan bahwa modernisasi Indonesia sebagai bentuk pembaruan sosial, ekonomi, politik, dan budaya pasca-peristiwa 30 September 1965 haruslah dipahami sebagai bentuk penghayatan tentang arti sejarah penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus sebagai pusat sejarah. Sambil menggarisbawahi logika pemahaman sejarah yang bersifat linear dan Kristosentris sebagaimana ditekankan oleh Latuihamallo 4 serta menafikan pemahaman sejarah masyarakat dan bangsa-bangsa Timur, KGM-II menegaskan hal itu: Dalam kebanyakan masyarakat Timur, terdapat pandangan tentang sejarah sebagai berikut: (1) ada yang memandang sejarah sebagai suatu lingkaran atau siklus; (2) ada yang memandang sejarah laksana siklus-siklus yang susul menyusul satu dengan yang berikutnya menuju ke depan. Panggilan kita dalam hal ini adalah untuk memantapkan di lingkungan Kristen sendiri serta memperkenalkan kepada masyarakat luas, pengertian alkitab tentang sejarah sebagai 34

2 suatu garis yang mengenal awal dan akhir dan menegaskan bahwa sekalipun Injil dengan ideologi yang bergerak terus ke masa depan, menuju ke tidak dapat dipersamakan begitu saja, namun kegenapan di dalam Tuhan dan akan diakhiri Konsultasi mendorong agar Gereja-gereja oleh Tuhan. Dengan demikian adanya tubrukan memperkembangkan pemikiran teologis mengenai nilai-nilai diterima sebagai sesuatu yang wajar hubungan antara Injil dengan ideologi Pancasila dalam garis yang selalu terarah ke depan. untuk mendorong memperdalam kesadaran warga Derap modernisasi dihadapi dengan sikap terbuka, lebih dari sekedar sikap negara mengenai hak-haknya dan kewajibankewajibannya sebagai warga negara terhadap mengagungkan masa lampau. Pusat sejarah adalah karya Allah di dalam dan melalui Kristus. negara. Sebab, demikian Konsultasi menekankan, Dialah yang memungkinkan sesuatu yang sama sekalipun Pancasila sebagai ideologi tidak sekali baru di dalam sejarah. Di dalamnya kita mengandung suatu penyataan teologis namun dapat melihat sesuatu yang baru, melalui Pancasila sebagai ideologi negera memiliki unsur tindakan Allah di tengah-tengah sejarah. 5 yang mempersatukan dan menjamin kebebasan para warga negara untuk memuliakan Tuhan menurut kepercayaan dan keyakinan masingmasing. Itulah sebabnya Konsultasi juga menganjurkan agar umat Kristen di Indonesia perlu mempertahankan dan memelihara Pancasila sebagai dasar negara. 9 Apa yang kita baca dari kedua kutipan di atas mengungkapkan pandangan dan sikap politis dan teologis para pemimpin Gereja-gereja di Indonesia pada awal konsolidasi kekuasaan hegemonis Orde Baru. Mereka berpendapat bahwa, sekalipun menimbulkan segi-segi negatif (seperti individualisme dan hedonisme), modernisasi dapat menjadi sebuah pilihan yang tidak dapat dihindari apabila bangsa Indonesia, di mana Gereja-gereja terlibat, melakukan pembaruan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya. 6 Sebab, demikian keyakinan mereka, proses modernisasi dipandang dapat membawa beberapa nilai yang mendukung perubahan dan pembaruan di dalam masyarakat, seperti kebebasan yang memberi manusia otonomi untuk menguasai alam dan tanggung jawab yang memberi manusia untuk bertanggung jawab atas nasibnya sendiri. 7 Dengan kata lain, Gereja-gereja di Indonesia melihat secara teologis bahwa modernisasi, sekalipun mengandung ambivalensi, harus diterima sebagai anugerah Tuhan dan dapat merupakan wahana penyelamatan Allah terhadap masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang sedang membarui dirinya pasca-peristiwa 30 September 1965 itu. Mereka yakin bahwa Allah adalah Alfa dan Omega (Wahyu 21) yang sekarang ini sedang bertindak untuk menyelamatkan dan memperbarui ciptaaan-nya, termasuk masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang baru saja melepaskan diri dari pertentangan ideologis yang membahayakan NKRI Gereja-gereja di Indonesia dan Politik Asas Tunggal Rezim Orde Baru Dalam Konsultasi Teologi tahun 1970 di Sukabumi, para pemimpin Gereja-gereja Protestan di Indonesia memperkokoh keyakinan bahwa proses modernisasi itu harus dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai dasar ideologi Pancasila. Konsultasi, yang menurut hemat kami mencerminkan pengaruh Simatupang, Kalau kita memperhatikan sikap Gereja terhadap ideologi Pancasila sebagaimana diuraikan di atas ini, kita dapat mengatakan bahwa sikap itu masih sangat terkait dengan isu klasik sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945, yaitu polarisasi ideologis Indonesia merdeka antara nasionalisme etnis (yang mentransformasi diri menjadi golongan nasionalis Indonesia dan yang menghendaki Indonesia merdeka sebagai Negara berdasarkan Pancasila), nasionalisme-agama (Islam) dan nasionalisme-komunisme. Konsultasi berpendapat bahwa penerimaan Pancasila secara positif diharapkan dapat memberi dampak positif juga bagi hubungan antar-umat beragama yang berbeda di Indonesia. Oleh sebab itu, ketika Orde Baru mulai menunjukkan kekuasaan hegemonisnya dengan penyederhanaan Partai-Partai Politik ke dalam dua kekuatan politik PDI (Partai Demokrasi Indonesia - fusi antara partaipartai Nasionalis seperti PNI dan partai-partai Kristen seperti Parkindo dan Partai Katolik; atau kami lebih senang menyebut dengan koalisi golongan nasionalis dengan umat Kristen) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan - fusi Partai-Partai Islam) di samping GOLKAR (Golongan Karya - satu satunya peserta Pemilu yang dianggap non-partisan) dengan dukungan penuh dari ABRI melalui UU No. 3 Tahun 1975, Gereja-gereja menyambut positif kebijakan hegemonis Orde Baru itu dan dipandangnya sebagai sebuah kemajuan demokrasi dalam kehidupan sosial politik di Indonesia. 10 Keberhasilan Orde Baru melalui UU No. 3 Tahun 1975 tadi semakin membuat Gereja-gereja di Indonesia optimis dengan ideologi Pancasila. Oleh sebab itu, Konsultasi Teologi tahun 1979 di Tentena, yang menandai Gereja-gereja di Indonesia memasuki 35

3 dasawarsa 80-an dan satu tahun sesudah Tap MPR tentang P-4 (1978), memberi kesan bahwa persoalan polarisasi ideologi negara telah selesai dengan adanya Tap MPR-RI Nomor II/1978 tentang P-4 itu. Gereja berpendapat bahwa tantangan terhadap ideologi Pancasila tidak lagi perlu dipolemikkan secara polaris antara mereka yang menghendaki Islam sebagai dasar NKRI dan mereka yang menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Konsultasi justru berpendapat bahwa tantangan yang paling nyata bagi ideologi Pancasila justru datang dari orang-orang yang mempertanyakan relevansi ideologi-ideologi politik sebagai konsekuensi dari pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Terhadap tantangan baru itulah Konsultasi menyerukan agar Gereja-gereja di Indonesia mengusahakan relevansi ideologi Pancasila sebagai ideologi pemersatu masyarakat Indonesia itu di dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Konsultasi menegaskan hal itu: 36 Mengenai masalah ideologi dalam ikatan Bangsa kita di tahun-tahun delapanpuluhan ada lebih dari satu pendapat. Ada yang berpendapat melihat, bahwa dalam perkembangan sejarah Bangsa Indonesia tidak akan ada lagi golongan-golongan yang berusaha menawarkan alternatif baik bagi Pancasila. Pada pihak lain ada juga yang berpendapat bahwa usahausaha menawarkan alternatif lain bagi Pancasila akan tetap terasa di tahun-tahun delapan puluhan dan bahkan meningkat sesuai dengan kesempatan yang ada. Terlepas dari percaturan politik, perkembangan hidup modern itu sendiri, di bawah pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi modern, selalu akan mempertanyakan relevansi dari setiap ideologi. Hal itu terjadi di mana-mana. Untuk Indonesia sangat dibutuhkan dasar-dasar ideologi bagi kehidupan bersama. Dengan demikian Pancasila juga selalu diuji relevansinya oleh perkembangan hidup masyarakatnya sendiri dan proses Pembangunan kita. Itu adalah wajar. Yang penting bagi kita sekarang adalah bagaimana menjadikan Pancasila, yang adalah ideologi pemersatu Bangsa kita kini benar-benar relevan dalam segala usaha Pembangunan kita. Dengan perkataan lain: yang penting bagi kita sekarang adalah pengamalan semua sila secara seimbang dalam perencanaan dan pelaksanaan Pembangunan kita. 11 Optimisme Gereja-gereja di Indonesia itu kemudian diinterupsi oleh SKB MenteriAgama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. 12 S.A.E. Nababan dalam kapasitasnya sebagai Sekum DGI menyebut hal itu sebagai hal yang sangat bertentangan dengan semangat P-4 itu sendiri. 13 Gereja-gereja di Indonesia baru kembali merasa lega ketika GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) tahun 1983 menggarisbawahi agar Pancasila dijadikan sebagai Asas Tunggal bagi Semua Kekuatan Politik. 14 Di sini Gereja-gereja kembali menyatakan sikap positif terhadap kekuasaan Orde Baru yang semakin hegemonis itu. Puncak dari sikap akomodatif Gereja-gereja terhadap Pancasila sebagai ideologi negara yang mengatur keseluruhan bidang kehidupan masyarakat Indonesia ialah penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada Sidang Raya X DGI di Ambon tahun 1984 dengan mencantumkan dalam Tata Dasar PGI. 15 Berdasarkan catatan historis tentang sikap Gereja terhadap ideologi Pancasila selama hegemonis Orde Baru sebagaimana diuraian di atas ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap penerimaan Gereja terhadap ideologi Pancasila mencerminkan semakin mengkristalnya koalisi golongan nasionalis (yang mempertahankan Pancasila sebagai dasar NKRI) dengan umat Kristen Indonesia dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dalam hubungan ini, kami berpendapat bahwa menonjolkan semangat nasionalisme umat Kristen Indonesia dalam bentuk pergerakan kemerdekaan Indonesia, baik dalam arti politis sebagaimana ditekankan oleh Simatupang maupun arti kultural sebagaimana ditekankan oleh Eka, adalah langkah strategi kontra-produktif dalam meretas kebuntuan hubungan Islam-Kristen di Indonesia. Sebab, dengan menekankan Pancasila sebagai jalan tengah sedemikian rupa, berarti juga (sesuai dengan kesimpulan kami: penerimaan umat Kristen terhadap Pancasila adalah mencerminkan semakin mengkristalnya koalisi golongan nasionalis dengan umat Kristen) umat Kristen selalu berhadaphadapan dengan umat Islam sebagai musuh secara ideologis. Umat Islam dengan cita-cita ideologis sendiri dan umat Kristen dengan cita-cita ideologis sendiri berada dalam koalisi dengan golongan nasionalis. Apalagi penerapan politik Asas Tunggal yang diikuti dengan modus pembersihan lingkungan 16 yang menyertai beberapa peristiwa seperti kasus Tanjung Priok (1985) dan Lampung (1989) itu ditengarai sebagai upaya Orde Baru mendepolitisasi aspirasi politik umat Islam. 17 Dengan demikian, kami dapat mengatakan di sini bahwa sikap akomodatif Gereja-gereja di Indonesia terhadap Pancasila dan politik Asas Tunggal Orde Baru sebagaimana diuraikan di atas ini lebih mencerminkan sebuah strategi dari posisi tawarmenawar (the strategy of bargaining position) Gereja-

4 gereja dan umat Kristen di Indonesia dengan Orde Baru berhadap-hadapan dengan golongan Islam rezimis atau ideologis dan ketakutan yang berlebihan terhadap bahaya komunisme di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh perang ideologis antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. 18 Hal inilah yang menyebabkan Gereja-gereja di Indonesia selama Orde Baru tidak mengkritik politik diskriminatif SARA Orde Baru. Kita, misalnya, tidak membaca apa-apa tentang sikap politis Gereja terhadap peristiwa Petrus (Penembakan Misterius, 1984) 19, Tanjung Priok (1985), dan Lampung (1989) yang kesemuanya berlangsung seiring dengan penerapan politik Asas Tunggal. Penilaian kami ini memberi kesan berlebihan. Sebab, sebagaimana dinyatakan dalam berbagai kesempatan oleh para pemimpin Gereja dan umat Kristen di Indonesia, penerimaan Pancasila sebagai dasar Negara dan kehidupan bermasyarakat adalah karena komitmen kebangsaan Gereja dan umat Kristen di Indonesia terhadap identitas Indonesia pasca-kemerdekaan politis Tetapi, jika kita membaca sikap sosial Gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia sebagaimana dihimpun oleh Weinata Sairin dalam kumpulan dokumen terpilih DGI/PGI seputar masalah-masalah sosial 20, terutama hak-hak kewarganegaraan, penilaian kami itu kiranya tidaklah berlebihan. Dalam dokumendokumen itu, sangat jelas diperlihatkan sebagian besar sikap sosial politis Gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia lebih mencerminkan pembelaan kepentingan mereka sendiri. Gereja-gereja di Indonesia tidak memberi suara apa pun atas peristiwa Tanjung Priok, Lampung, dan Penembakan Misterius. 21 Oleh karena itu, menurut kami, penilaian E.G. Singgih sangat tepat bahwa selama ini dalam menghadapi golongan Islam ideologis atau rezimis, sikap sosial Gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia lebih mengedepankan pertimbangan-pertimbangan politis ketimbang pertimbangan-pertimbangan teologis. 22 Dokumen-dokumen teologis DGI/PGI selama Orde Baru lebih memberi kesan kuat bahwa seolah-olah persahabatan umat Kristen yang sejati dengan umat Islam, termasuk dengan mereka yang menghendaki Indonesia dengan dasar Islam (Syariat Islam), hanya dapat terbangun apabila kita sama-sama menerima Pancasila sebagai dasar NKRI. Di tengah-tengah makin maraknya aspirasi Islam rezimis atau ideologis akhir-akhir ini yang ditopang oleh euforia Reformasi pasca-keruntuhan formal kekuasaan hegemonis Orde Baru, sebaiknya Gereja-gereja di Indonesia tidak harus mengulangi strategi kontra-produktif itu sebagaimana masih sering kita dengar akhir-akhir ini. Sudah terlalu sering Pancasila menjadi alat kekuasaan hegemonis tertentu untuk menindas golongan yang lain. Seperti diperlihatkan di atas, umat Islam ideologislah yang paling sering menjadi korbannya, sebab mereka mempunyai cita-cita kebangsaan sendiri. Kami mempunyai keyakinan teologis bahwa persahabatan sejati umat Islam dan Kristen di Indonesia pada masa depan sangatlah tergantung pada seberapa konkret karya pendamaian Allah di dalam Yesus Kristus dialami oleh saudara-saudara kita yang muslim dalam sebuah format teologi sosial pluralis-liberatif/ transformatif-rekonsiliatif Kristen yang tidak lagi mengacu kepada Pancasila dalam semangat kebangsaan Indonesia yang bersifat integralistishegemonis. Oleh sebab itu, prospek meretas kebuntuan hubungan Islam-Kristen di Indonesia pada masa depan tidak lagi terletak pada menerima atau tidak menerima Pancasila sebagai dasar kehidupan bersama, tetapi pada bagaimana menggali semangat teologis liberatif-pluralisrekonsiliatif dari kedua agama Semitis tersebut. 4. Menjadi Tanda Kehadiran Kerajaan Allah yang Hegemonis Sekalipun dengan bersikap hati-hati untuk mengidentikkan Kerajaan Allah dengan perjuangan manusia untuk mengusahakan kemajuan bagi kesejahteraan, namun Gereja-gereja di Indonesia juga memahami bahwa Kerajaan Allah menyangkut perdamaian, kasih, keadilan, dan perikemanusiaan. Karena itu, Gereja-gereja di Indonesia juga meyakini bahwa Kerajaan Allah itu mempunyai dimensi sosial, ekonomi, politik, dan budaya dan pemeliharaan hidup. Itulah sebabnya Gereja-gereja di Indonesia sejak Konsultasi Teologi tahun 1970 dan Sidang Raya DGI VII tahun 1971 tidak hanya mengartikan Kerajaan Allah itu semata-mata sebagai pemerintahan Allah yang bersifat eskatologis saja. 23 Bagi Gereja-gereja di Indonesia, Kerajaan Allah yang kepenuhannya baru akan dinyatakan pada masa depan itu telah mulai menerobos masuk ke dalam sejarah bangsa-bangsa yang tanda-tanda Kehadiran-Nya mulai dialami oleh umat manusia melalui kehadiran Gereja di dalam masyarakat dan bangsa di mana Gereja melaksanakan fungsinya sebagai apostolat Allah. Gereja adalah tanda antisipatif akan pemerintahan Allah secara definitif pada masa eskaton. KGM-III menjelaskan pemahaman diri Gereja-gereja di Indonesia: Pada dirinya, gereja harus menjadi tanda kehadiran Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia ini. Secara konkret itu berarti bahwa gereja menyatakan kesulungannya (kepeloporannya) dengan sedapat mungkin mempengaruhi sejarah dunia ke arah langit dan bumi baru 37

5 dan ikut serta menciptakan struktur kehidupan yang lebih damai, sejahtera dan adil. 24 Berdasarkan kesadaran eklesiologis inilah Gerejagereja di Indonesia mendukung sepenuhnya rencana-rencana pembangunan ideologis rezim Orde Baru. Gereja-gereja di Indonesia menyatakan kesulungan atau kepeloporan mereka itu dengan berpartisipasi dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Mereka percaya bahwa dengan berpartisipasi dalam pembangunan ideologis sebagai manifestasi kesadaran eklesiologis tadi, Gereja-gereja dapat ikut mengatasi penderitaan masyarakat dan bangsa Indonesia yang disebabkan oleh kemiskinan, kebodohan, dan berbagai bentuk ketidakadilan sebagai manifestasi dari dosa itu sendiri. KGM-IV (1984), dengan latar belakang pelaksanaannya seperti disinggung di atas, menjelaskan keyakinan teologis sosial Gereja-gereja di Indonesia berdasarkan kesadaran eklesiologis yang baru saja dikutip: Sekarang ini, Allah menempatkan gereja-gereja di dalam proses sejarah Bangsa dan Negara Pancasila yang telah melaksanakan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila. Dengan demikian gereja-gereja terpanggil untuk menterjemahkan syalom dan kelimpahan yang dianugerahkan Allah kepada dunia, dengan terus menerus berusaha menyatakan tanda-tanda syalom dan kelimpahan itu sehingga menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila. 25 Kita masih bisa memperpanjang daftar keyakinan teologi sosial Gereja-gereja di Indonesia yang dikorelasikan dengan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila itu. Tetapi, hal itu kami akhiri saja sampai di sini. Yang jelas bahwa siapa pun yang memeriksa keyakinan teologi sosial Gereja-gereja di Indonesia, baik sebagaimana diartikulasikan dalam KGM-KGM dan Konsultasi Teologi maupun Keputusan-Keputusan Sidang Raya DGI/PGI, akan segera melihat korelasi itu. 26 Kami berpendapat bahwa kesadaran teologi sosial yang sangat kuat berkolerasi dengan pembangunan ideologis Orde Baru itu tidak dapat dilepaskan dari keyakinan Simatupang yang begitu kuat tentang model pembangunan di Indonesia, yaitu model pembangunan sebagai pengamalan Pancasila. Simatupang begitu optimis dengan pembangunan ideologis: pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Ia berpendapat bahwa sekalipun Kerajaan Allah tidaklah identik dengan ideologi Pancasila namun Pancasila dengan kelima silanya tidak pula dengan sendirinya bertentangan dengan iman Kristen, karena itu dapat diterima secara teologis Kristiani juga. 27 Ini adalah sebuah retorika saja. Sebab, apa yang diharapkan oleh Simatupang dan menjadi nyata dalam kesadaran eklesiologis Gereja-gereja di Indonesia sebagaimana diuraikan tadi sebenarnya dapat juga dikatakan oleh seorang teolog yang kesadaran teologisnya begitu dikendalikan oleh ideologi kapitalisme dan perasaan fobiatik tentang bahaya Islam rezimis dan komunisme. Seharusnya Gereja-gereja Protestan di Indonesia yang memiliki tradisi teologis - seperti nyata dalam tulisan-tulisan Simatupang cs itu - yang sangat menekankan tradisi teologi monoteistis Yahudi- Kristen yang diwarisi dari kewaspadaan teologis khas Protestantis yang menolak untuk mengidentifikasi Kerajaan Allah dengan segala bentuk perjuangan manusiawi dapat membuat Gereja menjadi sebuah tanda Kehadiran Kerajaan Allah yang mendekonstruksi kekuasaan hegemonis Orde Baru dengan pembangunan ideologisnya. Tetapi, mengapa Simatupang dan dokumendokumen teologis sosial DGI/PGI begitu optimis dengan model pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila? Bukankah model pembangunan ekonomi Indonesia sebagai pengamalan Pancasila selama rezim Orde Baru itu tidak kalah eksploitatif dan menindas rakyat Indonesia dibandingkan dengan pembangunan ekonomi kapitalisme dan komunisme? Kita dapat mengatakan di sini bahwa kesadaran eklesiologis Gereja-gereja di Indonesia sebagaimana diuraikan di atas adalah sebuh reproduksi kesadaran teologi sosial yang fobiatik terhadap Islam rezimis dan komunisme. Reproduksi kesadaran teologis sosial ini hanya akan memperkokoh hegemoni Orde Baru yang berlindung di belakang wacana pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Dalam arti ini pula, kami berani mengatakan di sini bahwa kesadaran eklesiologis Gereja-gereja di Indonesia untuk menjadi tanda kehadiran Kerajaan Allah di dalam masyarakat Indonesia lebih mencerminkan kekuasaan hegemonis Orde Baru. Kerajaan Allah sebagaimana diwartakan oleh Yesus kehilangan makna dan relevansinya. Yang menonjol di sini adalah gagasan tentang Kerajaan Allah khas monoteisme-monarkhial yang bersifat politisideologis dalam tradisi Raja-raja Israel yang tidak didekonstruksi hanya karena alasan-alasan fobiatik terhadap Islam rezimis dan komunisme itu. 28 Kita perlu mendekonstruksi bangunan struktur epistemologi teologi sosial ini yang membentuk kesadaran eklesiologis palsu di kalangan Gerejagereja Protestan di Indonesia selama kekuasaan 38

6 hegemonis Orde Baru itu. Menurut hemat kami, masalah dengan teologi sosial yang mempengaruhi kesadaran eklesiologis Gereja-gereja di Indonesia itu bukanlah terletak hanya pada tema teologis Kerajaan Allah yang khas monoteistis Yahudi-Kristen itu sendiri. Sebab, demikian Juergen Moltmann mencatat, kemunculan teologi politik di Eropa yang kemudian banyak mempengaruhi teologi-teologi pembebasan sekarang ini (termasuk teologi feminis sendiri) sesungguhnya mengakar dalam tradisi teologi monoteistis Yahudi-Kristen itu sendiri. Hanya saja, demikian lanjut Moltmann, kita perlu ingat bahwa kemunculan teologi politik di Eropa itu tidaklah meneruskan gagasan Kerajaan Allah yang bersifat politis-ideologis sebagaimana ditekankan oleh tradisi Raja-raja Israel. Sebab, kemunculan teologi politik Eropa adalah sebuah bentuk kritik terhadap tradisi teologis monoteitis-politis-ideologis untuk melanggengkan sebuah kekuasaan yang bersifat hegemonis Kesadaran Oikumenis dalam Politik Ketahanan Nasional Salah satu pergumulan teologi sosial yang penting diperhatikan di sini ialah bagaimana Gereja-gereja di Indonesia memahami keesaan mereka sejak berdirinya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) tanggal 25 Mei Tentu saja kami tidak ingin mengulangi apa yang sudah ditulis oleh para ahli sejarah Gereja di Indonesia tentang hal ini. 30 Dalam uraian ini, kami hanya ingin memperlihatkan bahwa kesadaran oikumenis di kalangan Gereja-gereja di Indonesia itu dihayati dalam hubungannya dengan kehadiran Gereja-gereja di Indonesia di dalam sebuah komitmen politik Orde Baru untuk mempertahankan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD Pada tahun 1973, T.B. Simatupang di hadapan Sidang BPL-DGI menyampaikan sebuah ceramah berjudul Keesaan Gereja dan Kesatuan Bangsa. 32 Dalam ceramah itu, Simatupang menggarisbawahi bahwa pertumbuhan ke arah keesaan dalam Kristus, yang merupakan sebuah keharusan teologis sebagaimana dikehendaki oleh Kristus sendiri dalam doa-nya (Yoh. 17:21), bukanlah semata-mata demi kepentingan Gereja-gereja itu sendiri. Memang keesaan untuk mempersatukan gereja-gereja suku dan denominasi teologi itu adalah hal yang penting. Namun, itu bukanlah tujuan satu-satunya, juga bukan tujuan pada dirinya sendiri. Keesaan gereja adalah alat kesaksian agar dunia percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan yang membebaskan dan mempersatukan semua umat manusia yang terpecah-pecah ke dalam kotak-kotak pemisah etnis, budaya, sosial, dan politik ke dalam suatu persekutuan baru umat manusia di mana perdamaian, keadilan, dan persaudaraan diwujudkan. 33 Simatupang menghubungkan hal keesaan gereja itu dengan pembinaan kesatuan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan. Memang keesaan gereja dan kesatuan bangsa tidaklah sama. Jika dalam kesatuan bangsa ada unsur kekuasaan, dalam keesaan gereja tidak ada unsur kekuasaan itu, apalagi kekuasaan yang terpusat tidaklah dikenal dalam keesaan gereja. Dalam keesaan gereja, unsur satu-satunya yang mempersatukan adalah seberapa setia gereja-gereja dan warganya kepada panggilan pembebasan dan persatuan dari Tuhan sebagai kepala Gereja. 34 Unsur hakiki dari keesaan gereja inilah yang dapat menjadi alat kesaksian gerejagereja di Indonesia kepada masyarakat dan bangsa Indonesia yang sedang dalam proses pertumbuhan untuk menyempurnakan dan mengisi kesatuannya. Keesaan gereja-gereja di Indonesia akan memberi sebuah model bagi bangsa Indonesia bahwa kesatuan bangsa hanyalah dapat diwujudkan dengan mewujudkan kemanusiaan, keadilan, dan persaudaraan bagi semua orang yang hidup dalam lingkungan kesatuan itu. 35 Simatupang kembali mengulangi gagasan itu dalam ceramahnya pada Sidang Raya VIII tahun 1976 di Salatiga di bawah tema Yesus Kristus Membebaskan dan Mempersatukan dan sub tema Panggilan Kita untuk Pembebasan dan Persatuan dalam Gereja, Masyarakat dan Dunia. 36 Pemikiranpemikiran Simatupang ini kemudian mengkristal dengan menghubungkan keesaan Gereja-gereja di Indonesia itu dengan pengamalan sila ke-3 Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Kita mencatat, misalnya, pada Sidang Raya IX DGI tahun 1980 di Tomohon, Simatupang menegaskan pandangannya sambil mengacu pada sila ke-3 Pancasila: Dengan menerapkan sila Persatuan Indonesia dalam pembangunan kita, kita meningkatkan solidaritas nasional di antara semua warga negara, semua golongan dan semua daerah atas dasar hak dan kewajiban yang sama bagi tiap warga negara tanpa memandang asal usul, keturunan dan kedudukan sosial. Seluruh nusantara kita lihat sebagai satu wilayah yang tidak dikotak-kotakkan. Sebagai gereja-gereja kita bertanggungjawab mengenai peningkatan persatuan bangsa. Perwujudan keesaan gereja yang dalam Tuhan telah kita miliki itu, kita tempatkan juga dalam rangka peningkatan persatuan dan kesatuan bangsa. 37 Sejalan dengan apa yang ditekankan oleh Simatupang di atas, Konsultasi Teologi tahun 1982 di 39

7 Sukabumi, suatu Konsultasi yang dilaksanakan secara khusus untuk mempersiapkan pembentukan Gereja Kristen yang Esa (GKE) di Indonesia dalam Sidang Raya X DGI di Ambon, merekomendasikan agar Gereja-gereja di Indonesia keluar dari ikatanikatan primordial kedaerahan dan denominasional untuk menjadi suatu persekutuan bersama dalam sebuah organisasi bersama. Keesaan Gereja yang ditampakkan dalam bentuk organisasi itu akan menjadi buah sulung di tengah-tengah lembagalembaga lain sebagai tanda keselamatan Kerajaan Allah dan berkat bagi pembangunan bangsa, terutama sekali dalam membina kehidupan bersama sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. 38 Pemikiran teologis sosial di atas haruslah dilihat sebagai sebuah keyakinan dasar di kalangan para pemimpin Gereja-gereja Kristen Protestan di Indonesia bahwa NKRI adalah sebuah kenyataan kenegaraan dan kebangsaan yang sudah final. Ia adalah suatu entitas politik, sosial, dan kultural yang telah selesai dengan pengakuan kedaulatan NKRI oleh pemerintah Belanda tahun Kesimpulan kita ini dapat dibenarkan apabila kita memperhatikan sikap KGM-IV tahun 1984 di Bali tentang pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dalam hubungan dengan sila ke-3 Pancasila. Dalam laporan itu ditekankan bahwa: 40 Harapan dan tanggungjawab kita di dalam Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila ialah, agar pengalaman-pengalaman pahit yang ditimbulkan oleh perpecahan di masa silam yang telah kita bayar dengan sangat mahal, tidak terulang lagi. Hal itu berarti bahwa melalui Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila, arti dan makna kesatuan dan persatuan perlu mendapat bentuk dan pemantapan pada tingkat kenyataan, tanpa mengurangi arti dan makna kebhinnekaan. Demikian juga halnya dengan kebhinnekaan harus mendapat hak dan perlindungan tanpa menjadi ancaman terhadap persatuan dan kesatuan. Melalui dan di dalam proses Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila, kesadaran akan persatuan sebagai kebersamaan dan tanggungjawab bersama hendaknya mendapatkan kondisi dan suasana yang cocok dan memadai agar dapat bertumbuh dan mekar secara wajar dan manusiawi. 39 Apa yang ditekankan oleh Simatupang dan para pemimpin Kristen lain sebagaimana nyata dari kesepakatan-kesepakatan bersama yang diuraikan di atas ini adalah suatu hal yang sangat penting. Ia adalah suatu sumbangan yang sangat berharga dalam konteks NKRI sebagai sebuah entitas sosial politik. Yang menjadi masalah di sini ialah apakah dukungan terhadap entitas sosial politik NKRI itu tidak merupakan suatu dukungan terhadap suatu yang totaliter, apalagi dalam konteks dasawarsa 80- an di mana Orde Baru sudah demikian rupa mengidentifikasi dirinya dengan Negara dengan politik asas tunggalnya? Kami dapat mengatakan secara pasti bahwa kesadaran oikumenis itu mempunyai korelasi dengan politik ketahanan nasional Orde Baru yang dimulai pada Repelita III (1978/1979) dan dikenal dengan sebutan wawasan nusantara. Pesan Sidang Raya VIII yang sudah kami sebutkan di atas jelas-jelas memberi indikasi ke arah kesimpulan kami ini dengan menyebutkan relevansi dari tema dan sub-tema yang dipilih itu terhadap usaha-usaha meningkatkan Ketahanan Nasional Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian di atas ini kita dapat menyimpulkan di sini bahwa citra sosial politik Gereja-gereja di Indonesia selama Orde Baru itu lebih dipengaruhi oleh logika kesadaran epistemologis teori sosial dan budaya a la modernisme Weberian dan tafsir kebudayaan Geertzian, yang memiliki kecenderungan kuat mengganggap bahwa nilai itu (teologis dan budaya serta ideologi) sebagai nilai yang bersifat netral. Struktur bangunan kesadaran epistemologis modernisme a la Weberian dan tafsir budaya Geertzian yang positivistik itu menghasilkan teologi sosial yang tidak mampu mendorong hidup menggereja Gereja-gereja di Indonesia dengan menjadikan Injil Kerajaan Allah sebagai berita liberatif dan transformatif serta membongkar kekuasaan hegemonis Orde Baru. Sebaliknya, teologi sosial itu menjadikan teks-teks teologis liberatif-transformatif seperti Markus 1:15 dan Lukas 4:18-20 menjadi berita yang bersifat netral, kalau bukan kabar angin dari langit yang kehilangan makna dan daya liberatif. Kerajaan Allah yang seharusnya menghambat mengentalnya segala bentuk kekuasaan hegemonik justru telah menjadi berita yang penuh daya transformatif-liberatif itu yang mempercepat menguatnya kekuasaan hegemonis Orde Baru di kehidupan politik, ekonomi dan budaya di Indonesia. Dengan demikian, berita Injil Kerajaan Allah atau Injil Yesus Kristus yang seharusnya dihayati sebagai berita yang mempertanyakan keabsahan rezim Orde Baru dan membongkar kekuasaan hegemonisnya justru telah menjadi berita yang membunuh kesadaran kritis umat dan warga jemaat serta warga masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini, mengikuti kebiasaan kaum Marxis, teologi dan Gereja telah sungguh-sungguh menjadi pabrik opium yang setiap kali memproduksi opium yang terpaksa dikonsumsi oleh umat dan masyarakat luas untuk menghilangkan rasa sakit

8 secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya mereka untuk sementara waktu. Kesadaran hidup menggereja yang dibangun berdasar jenis teologi sosial yang dipengaruhi oleh logika epistemologi positvisme Weberian itu semakin diperparah oleh kondisi psikologis sejumlah teolog tentang bahaya Islam rezimis/ideologis dan komunisme. Perasaan fobiatik ini telah menyebabkan Gereja-gereja di Indonesia selama Orde Baru lebih senang membangun kemitraan atau persahabatan yang kental dengan kekuasaan hegemonis Orde Baru atas nama ideologi Pancasila dalam semangat kebangsaan Indonesia a la UUD Dalam kemitraan dan persahabatan yang kental dengan rezim hegemonis Orde Baru itulah solidaritas Gereja dengan kaum miskin dan lemah di dalam masyarakat hanyalah sebagai apendiks dalam pembangunan ideologis, yang dikenal dengan jargonnya: pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Menurut hemat kami, citra sosial politik Gereja semacam ini perlu diakhiri. Gereja harus membangun citra sosial politiknya dengan mengembangkan kesadaran hidup menggereja yang bersifat liberatif-transformatif. Hanya dengan mengembangkan model hidup menggereja seperti inilah Gereja-gereja di Indonesia dapat benat-benar menjadi Gereja yang menjalankan visi dan misi kemanusiaan yang telah dirintis oleh Yesus Kristus, yaitu dengan jalan menjadi senasib dengan mereka yang dikorbankan oleh kekuasaan hegemonis Romawi dalam kolaborasinya dengan para penguasa lokal di Palestina. Terlepas dari hidup menggereja seperti ini maka Gerejagereja di Indonesia tidak pantas lagi menyebut diri sebagai komunitas iman para murid Yesus Kristus!! Catatan Kaki: 1 Bdk. S.A.E. Nababan, Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat. Laporan Konperensi Nasional Geredja dan Masjarakat (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1968), hlm. 125 (Bandingkan bidang Politik, hlm. 9 dan Theologia, hlm. 117). 2 Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat, hlm. 9. Bdk. DGI, Karunia Tambah Karunia. 30 Tahun DGI (Jakarta: DGI, 1980), hlm Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat, hlm. 125 (bdk. seksi Politik, hlm. 9 dan Teologi, hlm ). 1 Pandangan Latuihamallo ini dapat dibaca dalam dua karangannya, yaitu: (a) P.D. Latuihamallo, Renungan Suci tentang Pembangunan Modern. Diucapkan pada tanggal 27 September 1975, hari ulang tahun ke-41 STT Jakarta (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976); (b) Missiology and Politcs: Christian Alterness in Indonesia, dlm. SEAJT, Vol. 10. Number 2-3 (Oktober 1968-Januari 1969), pp DGI, Melihat Tanda-tanda Jaman: Pengamalan Pancasila dalam Membangun Masa Depan. Laporan Konperensi Gereja dan Masyarakat (KGM-III), Klender, Maret 1976 (Jakarta: BPK, 1976), hlm Bdk. Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat (khusus tentang modernisasi) dan Pergumulan Rangkap (khusus tentang Manusia, Pembangunan, dan Modernisasi). 7 Bdk. Melihat Tanda-tanda Jaman: Pengamalan Pancasila dalam Membangun Masa Depan, hlm Panggilan Kristen dalam Pembaharuan Masjarakat, hlm Lihat Pergumulan Rangkap: Laporan Konsultasi Theologia tahun 1970, hlm Bdk. Berita Oikumene, Agustus 1976, hlm. 23. Itulah sebabnya ketika euforia Reformasi tahun 1998 melahirkan begitu banyak Partai Politik terutama dengan latar belakang keagamaan MPH-PGI menyayangkan hal itu sebagai kemunduran demokrasi dan tidak sesuai dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Lihat Pokok-Pokok Pemikiran Majelis Pekerjaan Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPH-PGI) tentang Beberapa Masalah Aktual dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi VII DPR-RI, Tanggal 16 Juni 1998, dlm. Weinata Sairin (Peny.), Pesan-Pesan Kenabian di Pusaran Zaman: Dokumen Terpilih PGI Seputar Reformasi dan Isu Sosial Kemasyarakatan (Jakarta: Sinar Harapan, 2002), hlm (29). 11 DGI, Realisme yang Berpengharapan: Gereja-gereja Memasuki Dasawarsa Delapan Puluhan. Laporan Konsultasi Teologi mengenai Partisipasi Gerejagereja dalam Pembangunan, Tentena, 1-5 April 1979 (Jakarta: DGI, 1981), hlm Hasil Konsultasi ini kemudian direkomendasikan kepada Sidang Raya DGI IX di Tomohon Tahun Lihat Gereja-gereja Memasuki Dasawarsa 1980-an. Bahan Persiapan Sidang Raya IX DGI, Juli 1980 di Tomohon, hlm. 27. Tampaknya rekomendasi Konsultasi itu diterima dalam Sidang Raya sehingga dalam Keputusan Sidang tentang Garis-Garis Besar Haluan serta Kebijakan Umum Rencana Kerja DGI dalam Bersaksi di Tengah Pergumulan Bangsa isu ideologi negara dianggap telah selesai, dan karena itu perhatian lebih banyak diarahkan pada bagaimana berpartisipasi dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Lihat Datanglah Kerajaan-Mu: Roh Kudus Membaharui Gereja menjadi Saksi dalam Pergumulan Bangsa. Notulen Sidang Raya IX DGI, Juli 19980, Manado- 41

9 Tomohon, Sulawesi Utara (Jakarta: DGI, 1980), hlm Cetak miring adalah penekanan penulis. 12 Lihat Tanggapan DGI bersama MAWI berjudul Tanggapan DGI-MAWI atas Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia (Jakarta: Sekretariat DGI dan Sekretariat MAWI, 1980). 13 Lihat S.A.E. Nababan, Penyelenggaraan Kebebasan Beragama dan Pemeliharaan Kerukunan Beragama. Ceramah pada Penataran para pendeta yang diselenggarakan oleh DGI, Juli-Agustus 1979, di lima kota di Indonesia yang berbeda. Ceramah ini kemudian dimuat dalam Berita Oikumene, September 1979, hlm Lihat Pandangan DGI tentang Pancasila sebagai Azas Tunggal bagi Semua Kekuatan Sospol 1983", dlm. Weinata Sairin (Peny.), Pemilu, GBHN dan Visi Sosial Kemasyarakatan: Perspektif Gereja-gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), hlm Memang harus dicatat di sini bahwa pencantuman Pancasila sebagai asas satu-satunya dalam Tata Dasar PGI adalah mendahului kesepakatan bersama yang berlangsung di Ancol, Jakarta, 2-3 Desember 1986 yang difasilitasi oleh Bimas Kristen. Juga perlu diingat bahwa PGI menolak sebutan Asas Tunggal sebagaimana diusulkan Eka Darmaputera. Itulah sebabnya PGI keberatan ketika Majalah Tempo menulis sebuah berita berjudul: Asas Tunggal bagi Gereja. Tentang perdebatan dan kesepakatan itu, lihat Berita Oikumene, Desember 1986, hlm. 4-6 dan Berita Oikumene, Januari 1987, hlm Sehubungan dengan sikap menerima dan menyepakati itulah maka pemerintah Orde Baru mengucapkan terima kasih kepada sikap positif Gereja-gereja itu. Lihat Berita Oikumene, Mei 1987, hlm Lihat Memasuki Masa Depan Bersama, hlm. 57 (Tata Dasar Bab III, pasal 5). 16 Istilah bersih lingkungan adalah sebuah terminologi yang khas dalam politik rezim Orde Baru yang semakin mencuat ke permukaan setelah penerapan politik Asas Tunggal itu. Itulah sebabnya sejak saat itu setiap calon anggota DPR/MPR-RI harus menjalani apa yang disebut dengan litsus (penelitian khusus), apakah mereka terlibat dan/atau termasuk ke dalam salah satu golongan yang diberi label ekstrim kirim (Komunisme/PKI dan Islam Ideologis/Rezimis). Augustin Sibarani melukiskan hal ini secara karikaturis dengan pemeriksaan kuku seperti dilakukan oleh seorang guru SD terhadap murid-muridnya yang tidak membersihkan kotoran kukunya. Lihat Augustin Sibarani, Karikatur dan Politik, (Jakarta: Garda Budaya dan IASI, 2001), hlm Karel Steenbrink mencatat bahwa sekalipun umat Islam dan Kristen sama-sama menerima Pancasila untuk melawan Komunisme yang dipandang sebagai yang mengandung faham ateisme dan sekularisme dan telah memberi dampak terhadap teologi Islam tentang agama-agama lain (khusus Islam), tetapi dengan membatasi peran agama hanya pada urusan-urusan liturgis dan ajaran tanpa ada hubungannya dengan urusan publik, telah menimbulkan rasa frustrasi di sebagaian kalangan umat Islam, terutama Islam politik/rezimis, di mana ia menyebut korban Tajung Priok dan Lampung sebagai bagian dari penolakan umat Islam rezimis atas Pancasila sebagai Asas Tunggal. Karel Steenbrink, Indonesian Politics and A Muslim Theology of Religions: , dlm. I.C.M.R., Vol. 4, No. 2, Dec. 1993, pp Kelahiran rezim Orde Baru sendiri tidak dapat dilepaskan dari kondisi psiko-politik secara ideologis pasca-perang dunia kedua. Bandingkan karangan Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin sebagaimana disebutkan dalam catatan kaki nomor 35 di atas. Bdk. Benedict R. O G Anderson dan Ruth T. McVey, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal, terj. Galuh HE Akoso, dkk. (Yogyakarta: LKPSM, 2001). 19 Henk Schulte Nordholt menyebut bahwa antara tahun , ada sekitar orang penjahat atau yang diperhalus dengan gali (gabungan anak-anak liar) dibunuh. Ia menyebut ada tiga alasan pembunuhan itu: (1) sebagai shock therapy untuk mengendalikan apa yang oleh rezim Orde Baru disebut para penjahat sosial; (b) adanya upaya untuk menghancurkan hubungan erat antara penjahat dan pejabat; (c) sebagai penyelesaian antara dua jenderal yang bersaing secara kotor. Menurut Nordholt, rupanya para penjahat itu adalah semacam penjahat yang dilindungi oleh pejabat negara. Dalam hal ini, ia memberi kesan bahwa Pemuda Pancasila adalah bandit-bandit politik Golkar dan Istana. Lihat Henk Schulte Nordholt, Kriminalitas, Modernitas dan Identitas dalam Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm Di sini kami ingin merujuk kepada kumpulan dokumen terpilih sebagaimana kami sebutkan dalam catatan kaki nomor 10 dan 14 di atas, yaitu dokumendokumen DGI/PGI yang sunting oleh Weinata Sairin. 21 Sejauh dapat kami lacak, hanya ada satu pendeta Protestan yang memberi kritik atas tindakan Orde Baru dengan penembakan misterius itu, yaitu Pdt. Broto Semedi Wiryotenoyo. Lihat Broto Semedi Wiryotenoyo, Gereja, Mengapa Engkau, dlm. Berita Oikumene, Maret 1984, hlm E.G. Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm

10 23 Bdk. T.B. Simatupang, Penugasan Sidang Raya IX DGI di Tomohon (1980), dlm. Berita Oikumene, Maret 1981, hlm Juga bandingkan Keputusan SR IX DGI tahun 1980 tentang Garis-Garis Haluan serta Kebijakan Umum Kerja DGI dalam Bersaksi di Tengah Pergumulan Bangsa, dlm. Datanglah Kerajaan-Mu, hlm Melihat Tanda-tanda Zaman, hlm Cetak miring adalah penekanan penulis. 25 Lihat Harapan dan Keprihatinan Bangsa dan Negara Memasuki Akhir Abad Ke-20, hlm. 75. Konsultasi Teologi Tahun 1982, sambil mengacu kepada teks-teks kritis dari Nabi Amos dan Matius 23, menegaskan bahwa tugas Gereja ialah menghadirkan keadilan Kerajaan Allah sebagaimana ditekankan oleh Matius 23:23 adalah sejalan dengan cita-cita Negara Pancasila. Oleh sebab itu, pembangunan yang berkeadilan sosial haruslah dihayati sebagai pengamalan Pancasila itu. Lihat DGI, Memasuki Sejarah Bersama: Membaharui, Membangun dan Mempersatukan Gereja. Laporan Konsultasi Teologi, Sukabumi, Januari 1982 (Jakarta: DGI, 1982), hlm Cetak miring adalah penekanan penulis. 26 PGI, Visi Baru untuk Era baru dengan Generasi Baru. Laporan Konferensi Nasional Gereja dan Masyarakat V, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, April 1989 di Caringan, Bogor (Jakarta: Akademi Leimena, 1989) dan Membangun Masyarakat Pancasila yang Bersatu, Adil, Berdaulat dan Beradab. Laporan Konferensi Gereja dan Masyarakat VI, Pesekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 4-8 Agustus 1993 di Caringan, Bogor (Jakarta: Akademi Leimena, 1994). 27 Tentang pandangan Simatupang lihat artikel kami berjudul: Teologi Politik T.B. Siamatupang: Sebuah Telaah Kritis yang akan diterbitkan dalam Gema Jurnal Duta Wacana, Edisi No. 59 (2003) 28 Bdk. George V. Pixley, Kerajaan Allah: Artinya bagi Kehidupan Politis, Ideologis dan Kemasyarakatan, terj. Aleks Tabe (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm Dalam hal ini, Moltmann menyebut hegemoni Gereja (catatan: Moltmann sendiri tidak menyebut istilah hegemoni ini adalah penyebutan penulis). Lihat Juergen Moltmann, The Trinity and the Kingdom of God: The Doctrine of God (London: SCM Press, 1989), pp Lihat Chris Hartono, Gerakan Ekumenis di Indonesia (Yogyakarta: PPIP Duta Wacana, 1984). Konsultasi yang bertema Kesatuan Bangsa. Brosur No. 2 tahun 1973 (Jakarta: IOI, 1973), hlm. 21. Juga lihat Notulen Sidang BPL DGI, 4-10 Oktober 1973 di Malang, dengan tema Keesaan Gereja dan Kesatuan Bangsa, hlm Artikel ini mulanya merupakan ceramah T.B. Simatupang pada Sidang BPL-DGI, 4-10 Oktober 1973 di Malang. Lihat T.B. Simatupang, Kehadiran Kristen dalam Perang, Revolusi dan Pembangunan: Berjuang Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), hlm Bdk. Kehadiran Kristen dalam Perang, Revolusi dan Pembangunan: Berjuang Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman, hlm Juga Iman Kristen dan Pancasila, hlm Iman Kristen dan Pancasila, hlm Lihat Kehadiran Kristen...hlm. 111 dan Iman Kristen dan Pancasila, hlm Bdk. John Titaley, Gereja Kristen Yang Esa: Konteks Tonggak-Tonggak Sejarahnya, dlm. Berita Oikumene, Mei-Juni/1991, hlm Bdk. T.B. Simatupang, Panggilan untuk Pembebasan dan Persatuan dalam Gereja, Masyarakat dan Dunia, dlm. Yesus Kristus Membebaskan dan Mempersatukan. Notulen Sidang Raya VIII DGI, Salatiga, 1-12 Juli Lampiran 13, hlm T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila (Jakarta: BPK gunung Mulia, 1985), hlm Cetak miring adalah penekanan penulis. 38 Lihat Memasuki Sejarah Bersama, hlm. 57. Bdk. Yesus Kristus Kehidupan Dunia. Laporan Sidang Raya X DGI 1984, Oktober 1984, Karang Panjang, Ambon (Jakarta: DGI/PGI, 1984) dan Memasuki Masa Depan Bersama: Lima Dokumen Keesaan Gerejagereja di Indonesia. Keputusan Sidang Raya X DGI, Oktober 1984, Karang Panjang, Ambon, Maluku (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986). 39 Harapan dan Keprihatinan Bangsa dan Gereja Memasuki Akhir Abad Ke-20, hlm. 78. Komitmen Gereja-gereja di Indonesia terhadap NKRI itu secara sangat intensif dibicarakan dalam Sidang Raya IV DGI tahun Dalam Sidang Raya itu, dengan memilih tema Yesus Kristus Terang Dunia, Gereja-gereja secara sangat mendalam membicarakan masalah sosial politik, khususnya masalah disintegrasi bangsa. Lihat Chris Hartono, Gerakan Ekumenis di Indonesia, (Yogyakarta: PPIP Duta Wacana, 1984), hlm Studi Institut Oikumene tahun 1973 tentang Lihat Yesus Kristus Membebaskan dan Kesatuan Bangsa mencatat bahwa ada hubungan Mempersatukan, hlm yang erat antara kesadaran ekumenis di kalangan Pdt. Julianus Mojau M.Th. adalah dosen STT Intim di Gereja-gereja di Indonesia dengan kesatuan bangsa. bidang misiologi yang sementara melanjutkan Lihat Kesatuan Bangsa. Hasil Diskusi dalam studinya di Yogyakarta 43

1.2 Menegakkan Kerajaan Allah dalam Modernisasi Indonesia: O. Notohamidjojo...33

1.2 Menegakkan Kerajaan Allah dalam Modernisasi Indonesia: O. Notohamidjojo...33 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...v DAFTAR ISI...x DAFTAR SINGKATAN...xv DISSERTATION ABSTRACT... xvii PENDAHULUAN 1. Latar Belakang...1 2. Pokok Studi...5 2.1 Studi-Studi Sebelumnya dan Pentingnya Studi Ini...5

Lebih terperinci

MENDENGARKAN HATI NURANI

MENDENGARKAN HATI NURANI Mengejawantahkan Keputusan Kongres Nomor Kep-IX / Kongres XIX /2013 tentang Partisipasi Dalam Partai Politik dan Pemilu Wanita Katolik Republik Indonesia MENDENGARKAN HATI NURANI Ibu-ibu segenap Anggota

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN. Berkatalah Petrus kepada Yesus: Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!.

UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN. Berkatalah Petrus kepada Yesus: Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN Berkatalah Petrus kepada Yesus: Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!. 1 Ucapan Petrus dalam suatu dialog dengan Yesus ini mungkin

Lebih terperinci

Saya senang sekali karena bisa bersama-sama dengan Bapak/Ibu pimpinan umat beragama se-sulawesi

Saya senang sekali karena bisa bersama-sama dengan Bapak/Ibu pimpinan umat beragama se-sulawesi Pemujaan kepada Tuhan Yang Mahabesar diungkapkan lewat pengangkatan manusia hina ke taraf kemanusiawian yang layak, sebagaimana dirancang Tuhan pada awal penciptaan, tetapi dirusak oleh kelahiran hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gereja Oikumenikal dan Evangelikal.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gereja Oikumenikal dan Evangelikal. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.1.1. Gereja Oikumenikal dan Evangelikal. Data statistik keagamaan Kristen Protestan tahun 1992, memperlihatkan bahwa ada sekitar 700 organisasi 1 Kristen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Kebebasan merupakan hal yang menarik bagi hampir semua orang. Di Indonesia, kebebasan merupakan bagian dari hak setiap individu, oleh karena itu setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Chris Hartono, Mandiri dan Kemandirian, dalam Majalah Gema STT Duta Wacana, Maret 1983, p. 46.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Chris Hartono, Mandiri dan Kemandirian, dalam Majalah Gema STT Duta Wacana, Maret 1983, p. 46. BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN Gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya yang dipanggil dan ditempatkan di dunia ini mempunyai tugas. Tugas gereja adalah untuk menyatakan hakekatnya sebagai tubuh

Lebih terperinci

Surat-surat Am DR Wenas Kalangit

Surat-surat Am DR Wenas Kalangit Surat-surat Am DR Wenas Kalangit 22 Januari 2008 Jakarta 1 Surat-surat Ibrani dan Am Catatan Umum Delapan surat terakhir dalam PB disebut juga dengan nama: Surat-surat Am atau Umum. Disebut demikian karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Lihat sila pertama dalam Dasar Negara Indonesia: Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. 1 Lihat sila pertama dalam Dasar Negara Indonesia: Pancasila BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seringkali kita mendengar dan membaca bahwa negara kita yaitu negara Indonesia adalah negara yang beragama. Dikatakan demikian, karena pada umumnya setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN A.1. Latar Belakang Masalah Memberitakan Injil dalam wacana kekristenanan dipandang sebagai tugas dan tanggung jawab melanjutkan misi Kristus di tengah dunia. Pemahaman

Lebih terperinci

BAB XI MEMAKNAI HIDUP BERNEGARA. Dosen : Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H. Modul ke: Fakultas MKCU. Program Studi Psikologi.

BAB XI MEMAKNAI HIDUP BERNEGARA. Dosen : Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H. Modul ke: Fakultas MKCU. Program Studi Psikologi. BAB XI Modul ke: MEMAKNAI HIDUP BERNEGARA Fakultas MKCU Dosen : Drs. Petrus Yusuf Adi Suseno, M.H. www.mercubuana.ac.id Program Studi Psikologi MEMAKNAI HIDUP BERNEGARA A. PENDAHULUAN MEMAKNAI? -Memberi

Lebih terperinci

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #38 oleh Chris McCann

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #38 oleh Chris McCann Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #38 oleh Chris McCann Selamat malam dan selamat datang di pembahasan Alkitab EBible Fellowship dalam Kitab Wahyu. Malam ini adalah pembahasan #38 tentang Wahyu, pasal

Lebih terperinci

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA 1. BPUPKI dalam sidangnya pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 membicarakan. a. rancangan UUD b. persiapan kemerdekaan c. konstitusi Republik Indonesia Serikat

Lebih terperinci

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah satunya karena Indonesia berdasar pada Pancasila, dan butir sila pertamanya adalah Ketuhanan

Lebih terperinci

Surat Roma ini merupakan surat Paulus yang paling panjang, paling teologis, dan paling berpengaruh. Mungkin karena alasan-alasan itulah surat ini

Surat Roma ini merupakan surat Paulus yang paling panjang, paling teologis, dan paling berpengaruh. Mungkin karena alasan-alasan itulah surat ini Catatan: Bahan ini diambil dari http://www.sabda.org/sabdaweb/biblical/intro/?b=47, diakses tanggal 3 Desember 2012. Selanjutnya mahasiswa dapat melihat situs www.sabda.org yang begitu kaya bahan-bahan

Lebih terperinci

PERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL

PERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL PERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL Lenda Dabora Sagala STT Simpson Ungaran Abstrak Menghadapi perubahan sosial, Pendidikan Agama Kristen berperan dengan meresponi perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dalam segala bidang, tidak terkecuali dalam bidang politik. Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dalam segala bidang, tidak terkecuali dalam bidang politik. Keputusan BAB I PENDAHULUAN 1. Latarbelakang Permasalahan Peristiwa penting dalam kehidupan politik 1 di Indonesia terjadi pada tanggal 21 Mei 1998 2. Pergantian kepemimpinan nasional dalam era reformasi mengagendakan

Lebih terperinci

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Permasalahan Di dalam dogma Kristen dinyatakan bahwa hanya karena anugerah Allah di dalam Yesus Kristus, manusia dapat dibenarkan ataupun dibebaskan dari kuasa dan

Lebih terperinci

Berkenalan dengan Kitab Wahyu DR Wenas Kalangit

Berkenalan dengan Kitab Wahyu DR Wenas Kalangit Berkenalan dengan Kitab Wahyu DR Wenas Kalangit 19 Februari 2008 Jakarta 1 Berkenalan dengan Kitab Wahyu Sedikit tentang Sastra Apokaliptik Kitab terakhir dalam Alkitab bernama: Wahyu. Ini sebetulnya adalah

Lebih terperinci

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan 11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab I ini, penulis menjelaskan latar belakang terjadinya penulisan Disiplin

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab I ini, penulis menjelaskan latar belakang terjadinya penulisan Disiplin BAB I PENDAHULUAN Dalam bab I ini, penulis menjelaskan latar belakang terjadinya penulisan Disiplin Gereja dengan Suatu Kajian Pastoral terhadap dampak Psikologis bagi orang-orang yang dikenakan Disiplin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjamuan kudus merupakan perintah Tuhan sendiri, seperti terdapat dalam Matius 26:26-29, Mar

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjamuan kudus merupakan perintah Tuhan sendiri, seperti terdapat dalam Matius 26:26-29, Mar BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam pengajaran gereja sakramen disebut sebagai salah satu alat pemelihara keselamatan bagi umat Kristiani. Menurut gereja-gereja reformasi hanya ada dua sakramen,

Lebih terperinci

Tahun C Hari Minggu Biasa III LITURGI SABDA. Bacaan Pertama Neh. 8 : 3-5a

Tahun C Hari Minggu Biasa III LITURGI SABDA. Bacaan Pertama Neh. 8 : 3-5a 1 Tahun C Hari Minggu Biasa III LITURGI SABDA Bacaan Pertama Neh. 8 : 3-5a. 6-7. 9-11 Bagian-bagian Kitab Taurat Allah dibacakan dengan jelas, dengan diberi keterangan-keterangan sehingga pembacaan dimengerti.

Lebih terperinci

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Sekolah : SMP-K PERMATA BUNDA CIMANGGIS Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Katolik Kelas/Semester : VIII / 1 Alokasi Waktu : 2 x 40 menit A. Standar Kompetensi : Memahami

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR PERSEKUTUAN PEMUDA KRISTIYASA GKPB BAB I NAMA, WAKTU DAN KEDUDUKAN

ANGGARAN DASAR PERSEKUTUAN PEMUDA KRISTIYASA GKPB BAB I NAMA, WAKTU DAN KEDUDUKAN ANGGARAN DASAR PERSEKUTUAN PEMUDA KRISTIYASA GKPB PEMBUKAAN Sesungguhnya Allah didalam Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat dunia. Ia adalah sumber kasih, kebenaran, dan hidup, yang dengan kuat kuasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gereja adalah persekutuan orang percaya yang dipanggil oleh Allah dan diutus untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia, ini merupakan hakikat gereja. Gereja juga dikenal

Lebih terperinci

TATA GEREJA PEMBUKAAN

TATA GEREJA PEMBUKAAN TATA GEREJA PEMBUKAAN Bahwa sesungguhnya gereja adalah penyataan Tubuh Kristus di dunia, yang terbentuk dan hidup dari dan oleh Firman Tuhan, sebagai persekutuan orang-orang percaya dan dibaptiskan ke

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Setelah menelusuri pernyataan Yesus dalam Yohanes 14: 6 kata Yesus kepadanya,

BAB V PENUTUP. Setelah menelusuri pernyataan Yesus dalam Yohanes 14: 6 kata Yesus kepadanya, BAB V PENUTUP 5. 1 Kesimpulan Setelah menelusuri pernyataan Yesus dalam Yohanes 14: 6 kata Yesus kepadanya, Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa kalau tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Masalah Pekabaran Injil adalah tugas dan tanggung jawab gereja di tengah dunia. Gereja dipanggil untuk menjadi pekabar Injil (kabar sukacita, kabar

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara akan persoalan Perjamuan Kudus maka ada banyak sekali pemahaman antar jemaat, bahkan antar pendeta pun kadang memiliki dasar pemahaman berbeda walau serupa.

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan UKDW. atas kemauannya sendiri. Namun, gereja dihadirkan oleh Allah untuk

BAB I. Pendahuluan UKDW. atas kemauannya sendiri. Namun, gereja dihadirkan oleh Allah untuk BAB I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Gereja ada dan eksis di dunia ini bukan untuk dirinya sendiri, juga bukan atas kemauannya sendiri. Namun, gereja dihadirkan oleh Allah untuk melaksanakan misi-nya

Lebih terperinci

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD)

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD) 11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Dasar (SD) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan

Lebih terperinci

Pertanyaan Alkitabiah Pertanyaan Bagaimanakah Orang Yang Percaya Akan Kristus Bisa Bersatu?

Pertanyaan Alkitabiah Pertanyaan Bagaimanakah Orang Yang Percaya Akan Kristus Bisa Bersatu? Pertanyaan Alkitabiah Pertanyaan 21-23 Bagaimanakah Orang Yang Percaya Akan Kristus Bisa Bersatu? Orang-orang yang percaya kepada Kristus terpecah-belah menjadi ratusan gereja. Merek agama Kristen sama

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

LATAR BELAKANG PERMASALAHAN BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Sejak manusia pertama (Adam) jatuh ke dalam dosa, seperti dikisahkan pada kitab Kejadian dari Alkitab Perjanjian Lama, maka pintu gerbang dunia terbuka

Lebih terperinci

PERINTAH YESUS DITURUTI (KISAH 2) contoh orang yang secara tepat menuruti pengaturan Yesus.

PERINTAH YESUS DITURUTI (KISAH 2) contoh orang yang secara tepat menuruti pengaturan Yesus. PERINTAH YESUS DITURUTI (KISAH 2) Berbeda dengan mereka yang sekarang mengubah pengaturan Yesus, Kisah 2 memberi contoh orang yang secara tepat menuruti pengaturan Yesus. Cerita Awalnya Dalam Kisah 2 Petrus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gereja adalah sebuah persekutuan orang-orang percaya, sebagai umat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gereja adalah sebuah persekutuan orang-orang percaya, sebagai umat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gereja adalah sebuah persekutuan orang-orang percaya, sebagai umat yang terpanggil dan dihimpun oleh Allah Bapa, keluar dari kegelapan menuju kepada Yesus Kristus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) BAB I PENDAHULUAN The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1 Modul ke: 05Fakultas Gunawan EKONOMI PENDIDIKAN PANCASILA Pancasila Sebagai Ideologi Negara Wibisono SH MSi Program Studi Manajemen S1 Tujuan Perkuliahan Menjelaskan: Pengertian Ideologi Pancasila dan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gereja hidup di tengah masyarakat. Gereja kita kenal sebagai persekutuan orangorang percaya kepada anugerah keselamatan dari Allah melalui Yesus Kristus. Yesus Kristus

Lebih terperinci

Dan di dalam mulut mereka tidak terdapat dusta; mereka tidak bercela.

Dan di dalam mulut mereka tidak terdapat dusta; mereka tidak bercela. Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #5 oleh Chris McCann Selamat malam dan selamat datang di pembahasan Alkitab EBible Fellowship dalam Kitab Wahyu. Malam ini adalah pembahasan #5 tentang Wahyu, pasal

Lebih terperinci

Pembaptisan Air. Pengenalan

Pembaptisan Air. Pengenalan Pembaptisan Air Pengenalan Penting sekali bagi kita membaca Alkitab dan mempelajari apa yang Tuhan katakan kepada umatnya. Saya percaya kita perlu meneliti Kitab Suci secara menyeluruh untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kesimpulan akhir dari penelitian tentang teologi kontekstual berbasis budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata peribadahan GKJ di dalam menanamkan

Lebih terperinci

BAB IV. Pandangan jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang diakonia

BAB IV. Pandangan jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang diakonia BAB IV Pandangan jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang diakonia 4.1. Diakonia sebagai perwujudan Hukum Kasih Gereja dapat dikatakan sebagai gereja apabila dia sudah dapat menjalankan fungsinya, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Pemilihan umum (Pemilu) dimaknai sebagai sarana kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Pemilihan umum (Pemilu) dimaknai sebagai sarana kedaulatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemilihan umum (Pemilu) dimaknai sebagai sarana kedaulatan rakyat. Melalui Pemilihan Umum juga diyakini akan melahirkan wakil dan pemimpin yang dikehendaki rakyatnya.

Lebih terperinci

PEMAHAMAN MAKNA LITURGI (Studi Mengenai Makna Warna-warna Liturgis dalam Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan Bali/GKPB)

PEMAHAMAN MAKNA LITURGI (Studi Mengenai Makna Warna-warna Liturgis dalam Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan Bali/GKPB) PEMAHAMAN MAKNA LITURGI (Studi Mengenai Makna Warna-warna Liturgis dalam Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan Bali/GKPB) Diajukan Kepada Fakultas Teologi Sebagai Salah Satu Persyaratan Uji Kelayakan

Lebih terperinci

Revelation 11, Study No. 22 in Indonesian Language. Seri Kitab Wahyu pasal 11, Pembahasan No. 22,oleh Chris McCann

Revelation 11, Study No. 22 in Indonesian Language. Seri Kitab Wahyu pasal 11, Pembahasan No. 22,oleh Chris McCann Revelation 11, Study No. 22 in Indonesian Language Seri Kitab Wahyu pasal 11, Pembahasan No. 22,oleh Chris McCann Selamat malam dan selamat datang di Pemahaman Alkitab EBible Fellowship dalam Kitab Wahyu.

Lebih terperinci

PENELAAHAN ALKITAB. Persiapan, Penyusunan dan Penyampaiannya. Pdt. Stephen Sihombing, MTh

PENELAAHAN ALKITAB. Persiapan, Penyusunan dan Penyampaiannya. Pdt. Stephen Sihombing, MTh PENELAAHAN ALKITAB Persiapan, Penyusunan dan Penyampaiannya Pdt. Stephen Sihombing, MTh Materi Bina Pelkat GP GPIB 2 Menikah dengan 2 orang putri Sarjana Teologi dari STT Jakarta Vikaris di GPIB Mangamaseang,

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN 1. Latar Belakang Masalah a) Gambaran GKP Dan Konteksnya Secara Umum Gereja Kristen Pasundan atau disingkat GKP melaksanakan panggilan dan pelayanannya di wilayah Jawa

Lebih terperinci

Pertanyaan Alkitab (24-26)

Pertanyaan Alkitab (24-26) Pertanyaan Alkitab (24-26) Bagaimanakah orang Kristen Bisa Menentukan Dia Tidak Jatuh Dari Iman/Berpaling Dari Tuhan? Menurut Alkitab seorang Kristen bisa jatuh dari kasih karunia, imannya bisa hilang.

Lebih terperinci

10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E)

10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E) 10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan. Kemajemukan merupakan realitas yang menjadi salah satu ciri dari kondisi masa sekarang ini. Di era modern yang untuk sementara kalangan sudah berlalu

Lebih terperinci

MTPJ Juli 2014 ALASAN PEMILIHAN TEMA

MTPJ Juli 2014 ALASAN PEMILIHAN TEMA MTPJ 13-19 Juli 2014 TEMA BULANAN: Berdemokrasi Dalam Ekonomi Yang Berkeadilan TEMA MINGGUAN : Kejujuran Sebagai Senjata Melawan Korupsi Bahan Alkitab: Keluaran 22:1-5; Kisah Para Rasul 5:1-11 ALASAN PEMILIHAN

Lebih terperinci

03. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia.

03. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. 03. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna,

Lebih terperinci

KISI-KISI UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (USBN) TAHUN PELAJARAN 2017/2018

KISI-KISI UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (USBN) TAHUN PELAJARAN 2017/2018 Jenjang Pendidikan : SMP Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Katolik Kurikulum : 2006 Jumlah Kisi-Kisi : 60 KISI-KISI UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (USBN) TAHUN PELAJARAN 2017/2018 NO KOMPETENSI DASAR

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan negara di wilayah Asia secara geografis yang diwarnai oleh dua kenyataan, yaitu kemajemukan agama dan kebudayaan, serta situasi kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Permasalahan 1 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Permasalahan Dalam lingkup pendidikan di sekolah, istilah Pendidikan Agama Kristen (PAK) sudah sangat lazim digunakan. PAK adalah usaha menumbuhkembangkan kemampuan

Lebih terperinci

MTPJ 9-15 Agustus 2015

MTPJ 9-15 Agustus 2015 MTPJ 9-15 Agustus 2015 TEMA BULANAN: Membangun Solidaritas Kebangsaan TEMA MINGGUAN: Kebahagiaan Bangsa yang Ber-Tuhan Bahan Alkitab: Ulangan 33 : 24 29 ALASAN PEMILIHAN TEMA Bangsa Indonesia adalah bangsa

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PENGHAYATAN ROH KUDUS JEMAAT KRISTEN INDONESIA INJIL KERAJAAN DI SEMARANG

BAB IV TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PENGHAYATAN ROH KUDUS JEMAAT KRISTEN INDONESIA INJIL KERAJAAN DI SEMARANG BAB IV TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PENGHAYATAN ROH KUDUS JEMAAT KRISTEN INDONESIA INJIL KERAJAAN DI SEMARANG Pada Bab ini, penulis akan menggunakan pemahaman-pemahaman Teologis yang telah dikemukakan pada

Lebih terperinci

RENUNGAN KITAB 1Timotius Oleh: Pdt. Yabes Order

RENUNGAN KITAB 1Timotius Oleh: Pdt. Yabes Order RENUNGAN KITAB 1Timotius Oleh: Pdt. Yabes Order HARI 1 JEJAK-JEJAK PEMURIDAN DALAM SURAT 1-2 TIMOTIUS Pendahuluan Surat 1-2 Timotius dikenal sebagai bagian dari kategori Surat Penggembalaan. Latar belakang

Lebih terperinci

BAB IV PEMAHAMAN TENTANG PERSEMBAHAN

BAB IV PEMAHAMAN TENTANG PERSEMBAHAN BAB IV PEMAHAMAN TENTANG PERSEMBAHAN Persembahan identik secara formal dengan memberikan sesuatu untuk Tuhan. Berkaitan dengan itu, maka dari penelitian dalam bab tiga, dapat disimpulkan bahwa, pemahaman

Lebih terperinci

KISI-KISI PENULISAN SOAL. kemampuan

KISI-KISI PENULISAN SOAL. kemampuan KISI-KISI PENULISAN SOAL Jenis Sekolah : SMP Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti Kurikulum : 2006 Alokasi Waktu : 120 Menit Jumlah soal : 40 + 5 Bentuk Soal : Pilihan Ganda dan Uraian

Lebih terperinci

PANCASILA MENGATASI KONFLIK IDEOLOGI-IDEOLOGI NEGARA

PANCASILA MENGATASI KONFLIK IDEOLOGI-IDEOLOGI NEGARA PANCASILA MENGATASI KONFLIK IDEOLOGI-IDEOLOGI NEGARA Dosen Nama : M.Khalis Purwanto, Drs, MM : Dion Indra Mustofa NIM : 10.02.7763 Kelompok Jurusan : A : D3 - Manajemen Informatika SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB 27 Berdiam Diri dalam Pertemuan- Pertemuan Jemaat

BAB 27 Berdiam Diri dalam Pertemuan- Pertemuan Jemaat Dikutip dari buku: UCAPAN PAULUS YANG SULIT Oleh : Manfred T. Brauch Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara - Malang - 1997 Halaman 161-168 BAB 27 Berdiam Diri dalam Pertemuan- Pertemuan Jemaat Sama

Lebih terperinci

CITA-CITA NEGARA PANCASILA

CITA-CITA NEGARA PANCASILA CITA-CITA NEGARA PANCASILA Disampaikan Pada Diskusi Harian Pelita di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, 10 Maret 2011 1. Cita-cita Negara Pancasila, sebagaimana dirintis dasar-dasar filosofisnya oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tanggal 21 Maret 2006, bertempat di Jakarta ditetapkanlah sebuah peraturan pemerintah yang baru, yang dikenal sebagai Peraturan Bersama dua Menteri (selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I LANDASAN DAN TUJUAN PENDIDIKAN PANCASILA

BAB I LANDASAN DAN TUJUAN PENDIDIKAN PANCASILA BAB I LANDASAN DAN TUJUAN PENDIDIKAN PANCASILA Pada hakikatnya Pancasila mengandung dua pengertian pokok, yaitu sebagai dasar negara dan sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, setiap

Lebih terperinci

Revitalisasi. Konferensi Umum, Oktober 2014, Canoas, Brazil Suster Mary Kristin Battles, SND

Revitalisasi. Konferensi Umum, Oktober 2014, Canoas, Brazil Suster Mary Kristin Battles, SND MERESAPI SABDA TERLIBAT DI DALAM DUNIA Revitalisasi Konferensi Umum, Oktober 2014, Canoas, Brazil Suster Mary Kristin Battles, SND Revitalisasi bagi Kongregasi Aktif Merasul berarti menggambarkan kembali

Lebih terperinci

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #12 oleh Chris McCann

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #12 oleh Chris McCann Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #12 oleh Chris McCann Selamat malam dan selamat datang di pembahasan Alkitab EBible Fellowship dalam Kitab Wahyu. Malam ini adalah pembahasan #12 tentang Wahyu, pasal

Lebih terperinci

Seri Kitab Wahyu Pasal 11, Pembahasan No. 2, oleh Chris McCann. Selamat malam dan selamat datang di Pemahaman Alkitab EBible

Seri Kitab Wahyu Pasal 11, Pembahasan No. 2, oleh Chris McCann. Selamat malam dan selamat datang di Pemahaman Alkitab EBible Seri Kitab Wahyu Pasal 11, Pembahasan No. 2, oleh Chris McCann Selamat malam dan selamat datang di Pemahaman Alkitab EBible Fellowship dalam Kitab Wahyu. Malam ini kita akan membicarakan Pembahasan No.

Lebih terperinci

29. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunadaksa (SDLB-D)

29. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunadaksa (SDLB-D) 29. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunadaksa (SDLB-D) A. Latar Belakang Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara

Lebih terperinci

Status Rohani Seorang Anak

Status Rohani Seorang Anak Status Rohani Seorang Anak PENDAHULUAN Kita yang melayani anak-anak di gereja atau di yayasan gerejawi perlu memiliki keyakinan tentang status rohani seorang anak di hadapan Tuhan, berdasarkan Firman Tuhan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan teknologi dan komunikasi yang semakin pesat, memacu orang untuk semakin meningkatkan intensitas aktifitas dan kegiatannya. Tingginya intensitas

Lebih terperinci

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS. dalam keluarga dengan orang tua beda agama dapat dipahami lebih baik.

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS. dalam keluarga dengan orang tua beda agama dapat dipahami lebih baik. BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS Dalam bab IV ini akan dipaparkan suatu refleksi teologis tentang PAK dalam keluarga dengan orang tua beda agama. Refleksi teologis ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu PAK keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Permasalahan.

BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Permasalahan. BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Permasalahan. Keadaan Indonesia beberapa tahun terakhir ini sering mengalami masa krisis, misalnya saja krisis di bidang ekonomi, politik, keamanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945 1 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, yakni Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA ABSTRAK Prinsip-prinsip pembangunan politik yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah membawa dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan manusia Indonesia.

Lebih terperinci

Revelation 11, Study No. 9 in Indonesian Language. Seri Kitab Wahyu Pasal 11, Pembahasan No. 9, oleh Chris McCann.

Revelation 11, Study No. 9 in Indonesian Language. Seri Kitab Wahyu Pasal 11, Pembahasan No. 9, oleh Chris McCann. Revelation 11, Study No. 9 in Indonesian Language Seri Kitab Wahyu Pasal 11, Pembahasan No. 9, oleh Chris McCann. Selamat malam dan selamat datang Pemahaman Alkitab EBible Fellowship dalam Kitab Wahyu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Spiritualitas adalah istilah yang agak baru yang menandakan kerohanian atau hidup rohani. Spritualitas bisa juga berarti semangat kerohanian atau jiwa kerohanian.

Lebih terperinci

Tahun A-B-C : Hari Raya Paskah LITURGI SABDA

Tahun A-B-C : Hari Raya Paskah LITURGI SABDA 1 Tahun A-B-C : Hari Raya Paskah LITURGI SABDA Bacaan Pertama Kis. 10 : 34a. 37-43 Kami telah makan dan minum bersama dengan Yesus setelah Ia bangkit dari antara orang mati. Bacaan diambil dari Kisah Para

Lebih terperinci

HIDUP DALAM KEKUDUSAN 1 Petrus 1:14-19 Herman Yeremia

HIDUP DALAM KEKUDUSAN 1 Petrus 1:14-19 Herman Yeremia HIDUP DALAM KEKUDUSAN 1 Petrus 1:14-19 Herman Yeremia Tujuan: Jemaat memahami bahwa Allah menghendaki umat-nya hidup dalam kekudusan Jemaat bertekad untuk hidup dalam kekudusan Jemaat menerapkan kehidupan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS TEKNIK PANCASILA TEKNIK GEOLOGI PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI MAKALAH

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS TEKNIK PANCASILA TEKNIK GEOLOGI PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI MAKALAH KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS TEKNIK PANCASILA TEKNIK GEOLOGI PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI MAKALAH PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH PERJUANGAN BANGSA

Lebih terperinci

BAB I ARTI DAN MAKNA GEREJA

BAB I ARTI DAN MAKNA GEREJA BAB I ARTI DAN MAKNA GEREJA A. KOMPETENSI 1. Standar Kompetensi Memahami karya Yesus Kristus yang mewartakan Kerajaan Allah dan penerusannya oleh Gereja, sehingga dapat mengembangkan hidup bersama dan

Lebih terperinci

KEADILAN, PERDAMAIAN DAN KEUTUHAN CIPTAAN

KEADILAN, PERDAMAIAN DAN KEUTUHAN CIPTAAN KEADILAN, PERDAMAIAN DAN KEUTUHAN CIPTAAN DALAM KONSTITUSI KITA Kita mengembangkan kesadaran dan kepekaan terhadap masalah-masalah keadilan, damai dan keutuhan ciptaan.para suster didorong untuk aktif

Lebih terperinci

BAPA SURGAWI BERFIRMAN KEPADA SAUDARA

BAPA SURGAWI BERFIRMAN KEPADA SAUDARA BAPA SURGAWI BERFIRMAN KEPADA SAUDARA Dalam Pelajaran Ini Saudara Akan Mempelajari Allah Ingin Berbicara kepada Saudara Allah Berfirman dalam Berbagai-bagai Cara Bagaimana Kitab Allah Ditulis Petunjuk-petunjuk

Lebih terperinci

PANCASILA PANCASILA DAN AGAMA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Sistem Informasi.

PANCASILA PANCASILA DAN AGAMA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Sistem Informasi. PANCASILA Modul ke: PANCASILA DAN AGAMA Fakultas FASILKOM Nurohma, S.IP, M.Si Program Studi Sistem Informasi www.mercubuana.ac.id PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA ABSTRACT Menjelaskan ideologi Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Pada umumnya dipahami bahwa warga gereja terdiri dari dua golongan, yaitu mereka yang dipanggil penuh waktu untuk melayani atau pejabat gereja dan anggota jemaat biasa.

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penulis Markus mengawali tulisannya dengan kalimat inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah (Mrk 1:1). Kalimat ini memunculkan kesan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Roh Kudus adalah pribadi Tuhan dalam konsep Tritunggal.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Roh Kudus adalah pribadi Tuhan dalam konsep Tritunggal. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Tuhan Allah menyatakan diri sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Roh Kudus adalah pribadi Tuhan dalam konsep Tritunggal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Dr. Harun, Iman Kristen (Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia), 2001, hlm

BAB I PENDAHULUAN. 1 Dr. Harun, Iman Kristen (Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia), 2001, hlm BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap manusia memerlukan orang lain untuk saling memberi dan menerima. Hal itu menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sosial sekaligus

Lebih terperinci

Revelation 11, Study No. 33 in Indonesian Language. Seri kitab Wahyu pasal 11, Pembahasan No. 33, oleh Chris McCann

Revelation 11, Study No. 33 in Indonesian Language. Seri kitab Wahyu pasal 11, Pembahasan No. 33, oleh Chris McCann Revelation 11, Study No. 33 in Indonesian Language Seri kitab Wahyu pasal 11, Pembahasan No. 33, oleh Chris McCann Selamat malam dan selamat datang di pemahaman Alkitab EBible Fellowship dalam Kitab Wahyu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Gereja adalah persekutuan umat Tuhan Allah yang baru. Ungkapan ini erat hubungannya dengan konsep tentang gereja adalah tubuh Kristus. Dalam konsep ini

Lebih terperinci

(Dibacakan sebagai pengganti homili pada Misa Minggu Biasa VIII, 1 /2 Maret 2014)

(Dibacakan sebagai pengganti homili pada Misa Minggu Biasa VIII, 1 /2 Maret 2014) (Dibacakan sebagai pengganti homili pada Misa Minggu Biasa VIII, 1 /2 Maret 2014) Para Ibu/Bapak, Suster/Bruder/Frater, Kaum muda, remaja dan anak-anak yang yang terkasih dalam Kristus, 1. Bersama dengan

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KONGRES XVI MAJELIS PENDIDIKAN KRISTEN DI INDONESIA JAKARTA, 2 4 NOVEMBER 2016

KERANGKA ACUAN KONGRES XVI MAJELIS PENDIDIKAN KRISTEN DI INDONESIA JAKARTA, 2 4 NOVEMBER 2016 KERANGKA ACUAN KONGRES XVI MAJELIS PENDIDIKAN KRISTEN DI INDONESIA JAKARTA, 2 4 NOVEMBER 2016 MAKNA KONGRES Kongres MPK adalah kegiatan lima tahunan yang dilakukan oleh MPK bersama anggota-anggota dan

Lebih terperinci

PENGENALAN AKAN ROH KUDUS

PENGENALAN AKAN ROH KUDUS Sebagai orang yang sudah percaya harus mengetahui kebenaran tentang siapakah Roh Kudus itu maupun pekerjaannya. 1. Jelaskan bagaimanakah caranya supaya kita dapat menerima Roh Kudus? - Efesus 1 : 13-14

Lebih terperinci

UKDW. Bab I PENDAHULUAN

UKDW. Bab I PENDAHULUAN Bab I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah 1.1 Krisis Dalam Pelayanan Jemaat Dalam kehidupan dan pelayanan jemaat tak pernah luput dari krisis pelayanan. Krisis dapat berupa perasaan jenuh dan bosan dalam

Lebih terperinci

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. SAMBUTAN MENTERI AGAMA RI PADA SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 9 TAHUN 2006/NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Universitas Indonesia Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.

BAB VI PENUTUP. Universitas Indonesia Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010. BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Islam kultural dalam konsep Nurcholish Madjid tercermin dalam tiga tema pokok, yaitu sekularisasi, Islam Yes, Partai Islam No, dan tidak ada konsep Negara Islam atau apologi

Lebih terperinci

Pola Tuhan Bagi Para Pekerja

Pola Tuhan Bagi Para Pekerja Pola Tuhan Bagi Para Pekerja Kim mempelajari alasan-alasan bagi perkumpulan orang percaya dalam gereja yang mula-mula. Ia melihat adanya bermacam-macam keperluan yang mempersatukan mereka - keperluan akan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci