PILIHAN KEBIJAKAN UNTUK PENYELAMATAN RAMIN DI INDONESIA 1)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PILIHAN KEBIJAKAN UNTUK PENYELAMATAN RAMIN DI INDONESIA 1)"

Transkripsi

1 PILIHAN KEBIJAKAN UNTUK PENYELAMATAN RAMIN DI INDONESIA 1) Oleh: Slamet Riyadhi Gadas 2) PENDAHULUAN Ramin adalah nama dagang salah satu jenis kayu dari Indonesia yang banyak diperdagangkan di dunia. Pohon ramin berasal dari genus Gonystylus, yang diperkirakan terdiri dari jenis (species) akan tetapi hanya sekitar 10 jenis yang menghasilkan kayu dengan sebutan ramin. Di Indonesia jenis pohon ramin yang paling banyak dipanen dan diperdagangkan adalah dari jenis Gonystylus bancanus (Kade Sidiyasa, 2005; Tukirin Partomihardjo 2005). Di Indonesia pohon ramin jenis Gonystylus bancanus banyak tumbuh pada hutan rawa gambut di Sumatera dan Kalimantan. Di pulau Sumatera ramin banyak dijumpai pada hutan rawa gambut di Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan, sedangkan di Kalimantan banyak ditemukan di provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Kayu ramin mempunyai warna yang cerah, dengan tekstur agak halus dan merata serta mudah pengerjaannya, sehingga banyak digunakan untuk pembuatan furniture, komponen perumahan dan konstruksi ringan. Karena harga jual yang tinggi dan banyak diminati oleh industri pengolahan kayu di dunia, maka kayu ramin banyak dipanen. Akan tetapi pemanenannya dilakukan tanpa memperhatikan kaidah penyelamatan atau pelestariannya. Upaya peremajaan tegakan ramin melalui tanaman perkayaan juga belum dilakukan dengan baik. Akibatnya keberadaan pohon ramin di hutan produksi semakin langka. Ancaman terhadap kelestarian tegakan ramin semakin meningkat dengan maraknya kegiatan pembalakan liar (illegal logging) dan alih guna kawasan hutan yang tak terkendali setelah era refromasi tahun Penebangan 1 Disampaikan pada Workshop Nasional Policy Option On The Conservation And Utilization Of Ramin, Bogor, 22 Pebruari Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi & Kebijakan Kehutanan 101

2 PROSIDING Workshop Nasional 2006 secara liar kayu ramin tidak hanya terjadi di hutan produksi, tetapi sudah merambah ke hutan lindung dan kawasan pelestarian, seperti yang terjadi di taman nasional Berbak (Jambi), Tanjung Puting (Kalimantan Tengah), Gunung Palung dan Danau Sentarum (Kalimantan Barat). Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan tegakan ramin, mulai dari pengendalian pembalakan, operasi pemberantasan pembalakan liar dan penyelundupan kayu, pengembangan teknik budidaya, serta pengendalian perdagangan antar bangsa dengan memasukkan ramin sebagai mata dagang yang dilindungi dalam Convention on International Trade of Endangered Species (CITES) Appendix II, namun upaya tersebut belum menampakkan hasil yang memuaskan. Sampai saat ini, penebangan tegakan ramin di kawasan hutan masih berlanjut, termasuk di kawasan penyelamatan. Makalah ini akan mencoba untuk menguraikan secara ringkas beberapa pilihan kebijakan yang perlu diambil oleh pemerintah, terutama Departemen Kehutanan, untuk menyelamatkan keberadaan tegakan jenis ramin di Indonesia. POTENSI, PEMBALAKAN DAN PERDAGANGAN RAMIN Sumatera dan Kalimantan adalah dua pulau besar di Indonesia yang menjadi tempat tumbuh jenis Ramin di Indonesia. Vegetasi pada hutan rawa gambut di kedua pulau tersebut memang ditumbuhi pohon jenis ramin dengan potensi yang cukup tinggi di samping pohon dari jenis Dipterokarpa. Berdasarkan hasil kajian Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam (2005) terhadap laporan cruising beberapa perusahaan hak pengusahaan hutan diketahui bahwa tegakan ramin di hutan produksi di Sumatera tersebar di Riau (di wilayah kabupaten Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Bengkalis, Dumai, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Siak dan Pelalawan) dan di Jambi (kabupaten Tanjung Jabung), sedangkan di Kalimantan tersebar di Kalimantan Barat (terutama di wilayah kabupaten Sambas, Bengkayang, Pontianak, dan Ketapang) dan di Kalimantan Tengah (di wilayah kabupaten Kota Waringin Barat, Kota Waringin Timur, Palangkaraya dan Barito Selatan). Tegakan ramin juga banyak tersebar di kawasan pelestarian, misalnya di suaka margasatwa Kerumutan, Danau Pulau Besar, Bukit Batu (di Riau), taman nasional Berbak (Jambi), taman nasional Sembilang dan suaka margasatwa Padang Sugihan (Sumatera Selatan), suaka alam Muara Kendawangan, taman nasional Gunung Palung dan Danau Sentarum (Kalimantan Barat), taman nasional Tanjung Puting dan Sebangau (Kalimantan Tengah). 102

3 Menurut Lim, Suhartono dan Chen (2004) pembalakan (logging) ramin di Indonesia dan Malaysia sudah dilakukan sejak tahun 1930-an. Akan tetapi produksi kayu bulat ramin di Indonesia cenderung menurun dari tahun ke tahun. Hasil kajian Bismark et al (2005) menunjukkan bahwa pada tahun 1995/1996 produksi kayu bulat ramin dari lima provinsi di Indonesia (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah) mencapai sekitar 660 ribu m 3, tetapi tahun 2000 produksinya menurun menjadi sekitar 130 ribu m 3, dan tahun 2004 produksi yang dilaporkan hanya sekitar m 3. Pada awal tahun 1980-an kayu ramin merupakan salah satu andalan ekspor kayu gergajian Indonesia. Sekitar tahun 1983 rata-rata volume ekspor tahunan sekitar 600 ribu m 3 dengan nilai ekspornya USD 119 juta (Bismark et al, 2005). Dari data tersebut dapat diperkirakan bahwa produksi kayu bulat ramin pada tahun tersebut mencapai sekitar 1,5 juta m 3. Kayu olahan ramin dari Indonesia sebagian besar diekspor ke Jepang, Taiwan, Itali, Singapura, Cina dan USA. Akan tetapi ekspor kayu ramin terlihat cenderung menurun dari tahun ke tahun. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan ekspor kayu gergajian ramin tahun 1995 hanya bernilai USD 22 juta, dan pada tahun 2001 nilai ekspor tersebut menjadi hanya sekitar USD 3,5 juta. Lim, Suhartono dan Chen (2004) memperkirakan turunnya produksi dan ekspor kayu ramin yang resmi tersebut disebabkan potensi kayu ramin yang layak tebang di hutan alam berkurang akibat pembalakan yang tak terkendali dan peremajaannya yang kurang berhasil, serta adanya pembatasan (quota) terhadap volume kayu ramin yang dapat dipanen. Kajian Bismark et al (2005) memperlihatkan bahwa potensi kayu ramin pada tahun 1983 ditaksir sekitar 89 juta m 3 untuk pohon dengan garis tengah 50 cm atau lebih, dan sekitar 131 juta m 3 untuk yang garis tengahnya 35 cm atau lebih. Dengan berkurangnya luas hutan rawa gambut dan kegiatan pembalakan ramin yang tak terkendali potensi kayu ramin dengan garis tengah 35 cm atau lebih ditaksir hanya tinggal sekitar 15 juta m 3. Setelah era pembaruan kegiatan pembalakan liar menjadi semakin sulit dikendalikan, termasuk pembalakan tegakan ramin. Bahkan pembalakan liar tersebut tidak hanya terjadi di hutan produksi tetapi sudah merambah ke kawasan hutan yang seharusnya diselamatkan, seperti hutan lindung, suaka alam dan taman nasional. Oleh sebab itu berbagai upaya dilakukan untuk menyelamatkan tegakan ramin telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun organisasi non-pemerintah. 103

4 PROSIDING Workshop Nasional 2006 UPAYA PENYELAMATAN RAMIN Upaya penyelamatan tegakan ramin sudah dimulai dengan pengaturan teknik penebangan melalui sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), dimana ada ketentuan rotasi tebang (cutting cycle), pohon yang boleh ditebang dibatasi ukuran garis tengah setinggi dada-nya (40 cm atau lebih), jumlah pohon yang boleh ditebang per hektar juga dibatasi, adanya kewajiban memelihara pohon inti, melakukan tanaman perkayaan pada daerah tertentu, dan menerapkan teknik pembalakan yang ramah lingkungan. Apabila aturan-aturan tersebut diterapkan secara benar diharapkan tegakan ramin akan terpelihara dan peremajaannya akan berlangsung dengan baik, sehingga pada rotasi berikutnya sudah tersedia pohon yang layak untuk dipanen kembali. Terhadap kegiatan pembalakan liar pemerintah juga sudah melakukan berbagai upaya untuk memberantas pembalakan dan perdagangan kayu liar, antara lain melalui pembentukan tim pengamanan hutan terpadu (TPTH), berbagai bentuk operasi penanggulangan pembalakan liar dan penyelundupan kayu, misalnya operasi Wanalaga dan Wanalestari. Untuk menyelamatkan tegakan ramin pada tahun 2001 Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memasukkan jenis ramin dalam Appendix III CITES yang berlaku resmi sejak 6 Agustus 2001 (Samedi, 2005). Sejalan dengan upaya tersebut, dilakukan penghentian sementara (moratorium) penebangan ramin melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 127/2001, kecuali untuk HPH yang mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan alam lestari. Upaya penyelamatan ramin dilakukan lebih lanjut dengan melakukan pelarangan ekspor kayu gergajian ramin (dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 1613/2001). Akan tetapi upaya tersebut belum memuaskan hasilnya. Pembalakan liar dan penyelundupan ramin ke luar negeri dalam bentuk kayu bulat maupun olahan tetap berlanjut. Oleh sebab itu pada bulan Oktober 2004 Pemerintah Indonesia mengusulkan jenis ramin dimasukkan dalam Appendix II CITES. Usulan tersebut diterima dan berlaku resmi 15 Januari Sejak dimasukkannya ramin dalam Appendix III CITES, ijin penebangan ramin hanya dapat diberikan kepada perusahaan yang memenuhi syarat sertifikasi pengelolaan hutan alam lestari. Sampai saat ini di Indonesia hanya PT. Diamond Raya Timber di Riau yang memenuhi syarat tersebut. Karena areal HPH perusahaan tersebut mempunyai potensi ramin yang cukup besar maka hanya perusahaan tersebut mendapatkan ijin pemanenan ramin di bawah pengawasan CITES (Tukirin Partomihardjo, 2005). 104

5 Upaya penyelamatan ramin melalui pembudidayaan juga dikembangkan. Penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Hutan Tanaman di Banjarbaru dan berbagai lembaga penelitian menunjukkan bahwa bibit ramin dapat diperbanyak melalui teknik stek pucuk (Istomo, 2005). Hal tersebut tentunya sangat membantu mengatasi masalah pembibitan ramin, mengingat bahwa ramin tidak berbuah sepanjang tahun dan bijinya tidak tahan lama untuk dapat disimpan. Sekalipun teknik budidaya ramin tidak terlalu sulit, namun pengembangan tanaman ramin belum menarik karena jenis tersebut lambat pertumbuhannya. Kajian menunjukkan bahwa pertumbuhan atau riap garis tengah jenis ramin hanya sekitar 0,5 cm per tahun, artinya diperlukan waktu sekitar 80 tahun agar pohon ramin mencapai garis tengah sekitar 40 cm. Uraian tersebut di atas memberikan gambaran bahwa berbagai kebijakan dan upaya telah dilakukan untuk melestarikan ramin, namun sebagaimana dinyatakan oleh Tukirin Partomihardjo (2005) kebijakan dan upaya tersebut belum berhasil menghadapi ancaman kepunahan jenis ramin. Pada kenyataannya penebangan kayu secara liar di hutan produksi dan kawasan pelestarian, termasuk penebangan di hutan rawa gambut yang merupakan tempat tumbuhya utama ramin, masih berlanjut. PILIHAN KEBIJAKAN PENYELAMATAN RAMIN Untuk dapat menyelamatkan tegakan atau pohon ramin, maka ada beberapa pilihan kebijakan yang perlu segera dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan. 1. Memacu penerapan pengelolaan hutan alam secara lestari pada areal pengusahaan hutan yang masih mempunyai potensi tegakan ramin cukup tinggi. Pada saat ini hanya ada satu perusahaan yang dinilai mampu melakukan secara lengkap dan benar dalam pengelolaan hutan alam secara lestari. Untuk itu Departemen Kehutanan harus melakukan inventarisasi ulang (re-inventory) terhadap hutan produksi rawa gambut untuk mengetahui potensi tegakan raminnya. Bila tegakan ramin masih cukup banyak dan layak secara ekonomis, maka segera ditawarkan kepada perusahaan atau badan usaha untuk melakukan pengelolaan atau pemanfaatan kayu di hutan produksi tersebut, dan dibina agar mampu menerapkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan alam lestari. Intinya, Departemen Kehutanan harus dapat memperbanyak jumlah badan atau unit usaha yang dapat mengelola atau memanfaatkan tegakan ramin di hutan produksi. 105

6 PROSIDING Workshop Nasional Menetapkan beberapa areal hutan rawa gambut untuk menjadi kawasan yang dilindungi sebagai sumber benih/bibit ramin. Sebagian areal hasil inventarisasi ulang yang mempunyai potensi tegakan ramin cukup baik bila perlu ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi untuk sumber benih atau bibit. Penetapan areal perlu tersebar diberbagai wilayah agar benih/bibit yang dikembangkan mempunyai sifat genetik yang cukup beragam. Areal sumber benih/bibit ini harus diamankan secara intensif dari pencurian kayu raminnya. 3. Melakukan pemulihan kembali hutan sekunder pada hutan rawa gambut dengan pembinaan permudaan alam ramin atau penanaman. Karena cukup banyak hutan produksi di areal rawa gambut, yang pada mulanya banyak menghasilkan ramin, telah menjadi hutan sekunder maka Departemen Kehutanan perlu memulihkan kembali hutan tersebut menjadi hutan produksi ramin yang potensi raminnya seperti semula atau lebih tinggi. Hal ini hanya mungkin dilakukan apabila dilakukan pembinaan intensif terhadap permudaan alam yang tersedia atau dilakukan penanaman pengkayaan (enrichment planting) secara tersebar merata atau dalam jalur. Kegiatan in tampaknya hanya mungkin dilakukan oleh pemerintah atau badan usaha pemerintah (pusat ataupun daerah), sebab sangat sulit diharapkan kemauan tersebut datang dari usaha swasta, mengingat perlu waktu lama untuk dapat memanen kayunya. Departemen Kehutanan harus mengusahakan agar dana reboisasi yang didapat dari pemanenan hutan alam, khususnya dari pemanenan kayu ramin, kembali dalam porsi cukup besar untuk memulihkan tegakan ramin. 4. Memulihkan kembali tegakan ramin di kawasan pelestarian Kawasan hutan rawa gambut yang seharusnya dilindungi, seperti cagar alam, suaka margasatwa dan taman nasional, cukup banyak yang rusak karena pembalakan liar untuk mencuri kayu ramin. Seperti halnya butir 2 di atas, kawasan tersebut perlu dipulihkan kembali dengan pembinaan intensif terhadap permudaan alam atau penanaman. Kegiatan pemulihan tegakan ramin tampaknya ini juga harus dilakukan oleh pemerintah atau badan/unit usaha yang ditunjuk oleh pemerintah guna melakukan upaya pemulihan tegakan ramin, tentunya dengan dana dari pemerintah. Setelah tegakan ramin dapat dipulihkan maka tegakan tersebut kelak tidak untuk dipanen, tetapi dapat dimanfaatkan untuk sumber bibit. 5. Mengembangkan jenis pohon yang dapat menggantikan kayu ramin. Falsafah dari kebijakan ini adalah membanjiri pasokan kayu dengan jenis kayu yang mempunyai corak dan sifat pengerjaan serupa dengan kayu ramin, tentunya dengan harapan bahwa upaya tersebut dapat mengurangi tekanan terhadap permintaan kayu ramin. Beberapa 106

7 penelitian menunjukkan bahwa kayu karet (Hevea brasiliensis), pulai (Alstonia sp.), jelutung (Dyera sp.), pinus (Pinus merkusii), agatis (Agathis sp.) dan perupuk (Lophopetalum sp.), mempunyai kemiripan warna, arah serat dan tekstur dengan kayu ramin. Jenis-jenis tersebut juga tidak sulit dibudidayakan dan lebih cepat tumbuh dibandingkan pohon ramin, sehingga lebih menarik untuk dikembangkan menjadi hutan tanaman. KESIMPULAN DAN SARAN Ramin adalah jenis kayu perdagangan Indonesia yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Jenis yang banyak tumbuh di hutan rawa gambut tersebut saat ini terancam kelestariannya karena pembalakan yang tak terkendali maupun perusakan terhadap kawasan tempat tumbuhnya. Berbagai upaya penyelamatan telah dilakukan oleh pemerintah dan organisasi non-pemerintah, melalui pengendalian pembalakan, operasi pemberantasan illegal logging dan perdagangan illegal, pengendalian perdagangan internasional dengan memasukkan jenis ramin dalam Appendix II CITES, penerapan sertifikasi pengelolaan hutan alam lestari, dan pengembangan budidaya ramin, namun upaya tersebut belum mampu menahan ancaman kepunahan jenis ramin. Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan perlu mengambil beberapa kebijakan penting untuk menyelamatkan tegakan ramin di Indonesia, yaitu: 1. Memacu penerapan sistem pengelolaan hutan alam lestari untuk hutan produksi rawa gambut penghasil ramin; 2. Menetapkan beberapa areal hutan rawa gambut untuk sumber benih/ bibit ramin; 3. Melakukan rehabilitasi terhadap hutan produksi sekunder di areal hutan rawa gambut; 4. Melakukan rehabilitasi terhadap kawasan penyelamatan/pelestarian yang rusak akibat pembalakan ramin; 5. Mengembangkan atau membudidayakan jenis-jenis pohon yang kayunya dapat menggantikan ramin. Agar pelaksanaan kebijakan tersebut dapat berjalan baik maka unsur-unsur di Departemen Kehutanan perlu bersatu untuk dapat memahami dan melakukan peran sesuai mandat, fungsi dan tanggung jawabnya. Departemen Kehutanan juga harus menjalin kerjasama erat dan membangun kesepahaman dengan pemerintah daerah, lembaga-lembaga penelitian, perguruan tinggi dan kelompok-kelompok masyarakat. 107

8 PROSIDING Workshop Nasional 2006 BAHAN ACUAN Bismark et al (2005). Potency, Distribution and Conservation of Ramin in Indonesia, Technical Report ITTO PPD 87/03 Rev. 2 (F) Ramin. Forests & Nature Conservation Research and Development Center. Bogor, Indonesia Istomo (2005). Evaluasi Penanaman Ramin di Indonesia: Kendala dan Program Kegiatan dalam Pembangunan Hutan Tanaman Ramin, dalam Konservasi dan Pembangunan Hutan Ramin di Indonesia, Prosiding Semiloka Nasional, September Puslitbang Hutan & Konservasi Alam. Bogor, Indonesia. Lim Teck Wyn, Tonny Soehartono and Chen Hin Keong (2004). Framing the Picture: An Assessment of Ramin Trade in Indonesia, Malaysia and Singapore. Traffic Southeast Asia, Kuala Lumpur Malaysia. Partomihardjo, Tukirin (2005). Potret Potensi Ramin di Pulau Sumatera dan Ancaman Kepunahan, dalam Konservasi dan Pembangunan Hutan Ramin di Indonesia, Prosiding Semiloka Nasional, September Puslitbang Hutan & Konservasi Alam. Bogor, Indonesia. Samedi (2005). Kontrol Perdagangan Ramin Internasional, dalam Konservasi dan Pembangunan Hutan Ramin di Indonesia, Prosiding Semiloka Nasional, September Puslitbang Hutan & Konservasi Alam. Bogor, Indonesia. Sidiyasa, Kade (2005). Potensi Botani, Ekonomi dan Ekologi Ramin, dalam Konservasi dan Pembangunan Hutan Ramin di Indonesia, Prosiding Semiloka Nasional, September Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor, Indonesia. 108

POTENSI, PERTUMBUHAN, DAN REGENERASI RAMIN (Gonystylus spp.) DI HUTAN ALAM DI INDONESIA 1)

POTENSI, PERTUMBUHAN, DAN REGENERASI RAMIN (Gonystylus spp.) DI HUTAN ALAM DI INDONESIA 1) POTENSI, PERTUMBUHAN, DAN REGENERASI RAMIN (Gonystylus spp.) DI HUTAN ALAM DI INDONESIA 1) Oleh: Machfudh dan Rinaldi 2) ABSTRAK Ramin (Gonystylus spp) merupakan salah satu jenis pohon penting di Indonesia

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

LAPORAN PENYELENGGARA DAN SAMBUTAN

LAPORAN PENYELENGGARA DAN SAMBUTAN LAPORAN PENYELENGGARA DAN SAMBUTAN 1 PROSIDING Workshop Nasional 2006 2 LAPORAN KETUA PANITIA PENYELENGGARA Oleh: Ir. Tajudin Edy Komar, M.Sc Koordinator Pre-Project ITTO PPD 87/03 Rev. 2 (F) Assalamu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, merupakan negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan lainnya dipisahkan

Lebih terperinci

Evaluasi Sistem Silvikultur Hutan Rawa Gambut di Indonesia DAFTAR PUSTAKA

Evaluasi Sistem Silvikultur Hutan Rawa Gambut di Indonesia DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA Alrasyid, H. 2005. Kajian silvikultur ramin. Prosiding Semiloka Nasional Konservasi dan Pembangunan Hutan Ramin di Indonesia. Pusat Penelitian dan 87/03 Rev.2(F). Alrasyid, H dan Soerianegara,

Lebih terperinci

PETA lalan MENU1U PENGELOLAAN RAMIN

PETA lalan MENU1U PENGELOLAAN RAMIN PETA lalan MENU1U PENGELOLAAN RAMIN (Gonystylus bancanus) Disusun oleh: Tajudin Edy Komar KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELlTIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Bekerjasama dengan INTERNATIONAL TROPICAL TIMBER

Lebih terperinci

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH - 140 - AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN 1. Inventarisasi Hutan 1. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam daerah. 2. Penunjukan Kawasan Hutan,

Lebih terperinci

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN C. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Inventarisasi Hutan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah daerah.

Lebih terperinci

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN C. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Inventarisasi Hutan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah daerah.

Lebih terperinci

STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan

STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan Strategi Penyelamatan Eboni (Diospyros celebica Bakh.) dari... STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penurunan kualitas dan kuantitas hutan di Indonesia sudah dirasakan sejak dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena tindakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gaharu telah digunakan lebih dari 2000 tahun yang lalu secara luas oleh orang dari berbagai agama, keyakinan dan kebudayaan terutama di Negara-negara Timur Tengah, Asia

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN RAMIN 1)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN RAMIN 1) KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN RAMIN 1) Oleh: Ir. Lasmini 2) ABSTRACT Ramin is a tropical hardwood which only found in Indonesia and Malaysia, and now is threatened to extinct. Ramin (G. bancanus)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan hutan terutama pemanenan kayu sebagai bahan baku industri mengakibatkan perlunya pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang lestari. Kurangnya pasokan bahan baku

Lebih terperinci

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG - 563 - AA. PEMBAGIAN URUSAN AN KEHUTANAN PROVINSI 1. Inventarisasi Hutan prosedur, dan kriteria inventarisasi hutan, dan inventarisasi hutan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan

Lebih terperinci

KAJIAN KONSERVASI EBONI {Diospyros celebica Bakh.) Samedi dan Ilmi Kurniawati

KAJIAN KONSERVASI EBONI {Diospyros celebica Bakh.) Samedi dan Ilmi Kurniawati TOPIK IV Berita Biologi, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2002 Edisi Khusus - Mnnajemen Eboni KAJIAN KONSERVASI EBONI {Diospyros celebica Bakh.) Samedi dan Ilmi Kurniawati Direktorat Jenderal Perlindungan dan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM. Gambar 3. Peta Lokasi PT. RAPP (Sumber: metroterkini.com dan google map)

IV. KONDISI UMUM. Gambar 3. Peta Lokasi PT. RAPP (Sumber: metroterkini.com dan google map) 19 IV. KONDISI UMUM 4.1 Profil Umum PT. Riau Andalan Pulp and Paper PT. Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) adalah bagian dari Asia Pasific Resources International Holdings Limitied (APRIL) Group, perusahaan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

KONSERVASI Habitat dan Kalawet

KONSERVASI Habitat dan Kalawet 113 KONSERVASI Habitat dan Kalawet Kawasan hutan Kalimantan merupakan habitat bagi dua spesies Hylobates, yaitu kalawet (Hylobates agilis albibarbis), dan Hylobates muelleri. Kedua spesies tersebut adalah

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum

Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum Mengekspor di Tengah Perubahan Lansekap Hukum LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS Indonesia 2,3 & 5 Agustus, 2010 LOKAKARYA PELATIHAN LEGALITAS Kebijakan dan Konvensi Internasional yang berdampak pada Perdagangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.1

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.1 SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.1 1. Makhluk hidup dapat terhindar dari kepunahan jika manusia... melakukan pelestarian menggunakan sumber daya alam secara

Lebih terperinci

Disampaikan Pada Acara :

Disampaikan Pada Acara : Disampaikan Pada Acara : Balancing Spatial Planning, Sustainable Biomass Production, Climate Change and Conservation (Menyeimbangkan Penataan Ruang, Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan, Perubahan Iklim

Lebih terperinci

Kota, Negara Tanggal, 2013

Kota, Negara Tanggal, 2013 Legalitas Pengeksporan Hasil Hasil--Hasil Hutan ke negara--negara Uni Eropa negara Eropa,, Australia dan Amerika Serikat Kota, Negara Tanggal, 2013 Gambaran Umum Acara Hari Ini Perkenalan dan Sambutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN DAERAH 1. Inventarisasi Hutan

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN DAERAH 1. Inventarisasi Hutan - 130-27. BIDANG KEHUTANAN 1. Inventarisasi Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam wilayah daerah. 2. Penunjukan,,, Pelestarian Alam, Suaka Alam dan Taman Buru

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta ribuan pulau oleh Tuhan Yang Maha Esa, yang mana salah satunya adalah hutan. Hutan merupakan sesuatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENGELOLAAN HUTAN RAWA GAMBUT DI INDONESIA : KONDISI TERKINI DAN UPAYA REHABILITASI FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PERKEMBANGAN PENGELOLAAN HUTAN RAWA GAMBUT DI INDONESIA : KONDISI TERKINI DAN UPAYA REHABILITASI FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PERKEMBANGAN PENGELOLAAN HUTAN RAWA GAMBUT DI INDONESIA : KONDISI TERKINI DAN UPAYA REHABILITASI FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PENDAHULUAN Luas lahan gambut di Indonesia : 17-20 juta ha (terbesar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah hutan yang luas, yaitu sekitar 127 juta ha. Pulau Kalimantan dan Sumatera menempati urutan kedua dan ketiga wilayah hutan

Lebih terperinci

IV APLIKASI PERMASALAHAN

IV APLIKASI PERMASALAHAN IV APLIKASI PERMASALAHAN Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki kekayaan alam yang sangat besar dengan aneka tipe ekosistem mulai dari pegunungan, hutan kapur, lahan basah, kawasan laut, terumbu

Lebih terperinci

ITTO CITES (Phase II-CFBTIR) PUSLITBANG HUTAN Bogor, 8 Desember 2015

ITTO CITES (Phase II-CFBTIR) PUSLITBANG HUTAN Bogor, 8 Desember 2015 Hariyatno Dwiprabowo AgustinusTampubolon ITTO CITES (Phase II-CFBTIR) PUSLITBANG HUTAN Bogor, 8 Desember 2015 Gaharu (Agarwood incense) telah dikenal sejak dahulu kala oleh empat peradaban kuno yakni India,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

PERDAGANGAN RAMIN (Gonystylus bancanus): PERSYARATAN CITES, JATAH TEBANGAN DAN EKSPOR

PERDAGANGAN RAMIN (Gonystylus bancanus): PERSYARATAN CITES, JATAH TEBANGAN DAN EKSPOR PERDAGANGAN RAMIN (Gonystylus bancanus): PERSYARATAN CITES, JATAH TEBANGAN DAN EKSPOR Oleh: IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber IPKH PT. Uniseraya ABSTRACT In general PT. Diamond Raya Timber (PT. DRT) applied

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL Gamal Nasir Direktorat Jenderal Perkebunan PENDAHULUAN Kelapa memiliki peran strategis bagi penduduk Indonesia, karena selain

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D.

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. Sehubungan dengan rencana Departemen Kehutanan untuk membuka keran ekspor kayu bulat di tengah

Lebih terperinci

BUDIDAYA JELUTUNG RAWA (Dyera lowii Hook.F)

BUDIDAYA JELUTUNG RAWA (Dyera lowii Hook.F) BUDIDAYA JELUTUNG RAWA (Dyera lowii Hook.F) Penanggung Jawab Ir. Choirul Akhmad, ME Penulis Ir. Bastoni, M.Si ISBN : 978-602-98588-3-9 Dipublikasikan Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kolonel H.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat disediakan dari hutan alam semakin berkurang. Saat ini kebutuhan kayu

BAB I PENDAHULUAN. dapat disediakan dari hutan alam semakin berkurang. Saat ini kebutuhan kayu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan kayu meningkat setiap tahun, sedangkan pasokan yang dapat disediakan dari hutan alam semakin berkurang. Saat ini kebutuhan kayu dunia diperkirakan sekitar

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan BB. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan 2. Pengukuhan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Suaka Alam dan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

AA. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN

AA. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN LAMPIRAN XXVII PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR : Tahun 2010 TANGGAL : Juli 2010 AA. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URUSAN 1. Inventarisasi Hutan 1. Penyelenggaraan

Lebih terperinci

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Ujicoba Teknik Rehabilitasi Hutan Alam Rawa Gambut Bersulfat Masam Dengan Jenis Melaleuca leucadendron Ujicoba

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perubahan Institusi Kehutanan Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam perubahan undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

IV. HASIL EVALUASI SISTEM SILVIKULTUR DI HUTAN RAWA GAMBUT BERDASARKAN KAJIAN LAPANGAN DAN WAWANCARA

IV. HASIL EVALUASI SISTEM SILVIKULTUR DI HUTAN RAWA GAMBUT BERDASARKAN KAJIAN LAPANGAN DAN WAWANCARA IV. HASIL EVALUASI SISTEM SILVIKULTUR DI HUTAN RAWA GAMBUT BERDASARKAN KAJIAN LAPANGAN DAN WAWANCARA 4.1. IUPHHK Aktif PT. Diamond Raya Timber, Riau Data yang dihimpun dari hasil kajian lapangan di areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan paru-paru dunia karena hutan dapat memproduksi oksigen

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan paru-paru dunia karena hutan dapat memproduksi oksigen BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan paru-paru dunia karena hutan dapat memproduksi oksigen yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup. Hutan juga menyimpan berbagai kekayaan alam seperti

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN ANAKAN JELUTUNG MERAH

RESPONS PERTUMBUHAN ANAKAN JELUTUNG MERAH RESPONS PERTUMBUHAN ANAKAN JELUTUNG MERAH (Dyera costulata Hook.f) YANG DITANAM PADA LAHAN KERING DAN LAHAN BASAH DI KABUPATEN KAPUAS KALIMANTAN TENGAH Oleh/by SULAIMAN BAKRI Program Studi Budidaya Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU

PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU PEKANBARU, JULI 2010 Kawasan Hutan Provinsi Riau berdasarkan TGHK SK Menhut No. 173/Kpts-II/1986, 6 Juni 1986 No PERUNTUKAN LUAS (Ha) ( % ) 1. Hutan

Lebih terperinci

Prospek Gaharu Budidaya & Regulasi yang dibutuhkan. Deden Djaenudin Puspijak 2012

Prospek Gaharu Budidaya & Regulasi yang dibutuhkan. Deden Djaenudin Puspijak 2012 Prospek Gaharu Budidaya & Regulasi yang dibutuhkan Deden Djaenudin Puspijak 2012 Outline Perkembangan gaharu Ketersediaan alam Budidaya Kelayakan ekonomi profitability Daya saing: domestik dan internasional

Lebih terperinci

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 369/Kpts-IV/1985 TANGGAL : 7 Desember 1985 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION KETENTUAN I : TUJUAN PENGUSAHAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jati merupakan jenis kayu komersil yang bermutu dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Menurut Bermejo et al. (2004) kayu jati merupakan salah satu kayu penting yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Dalam hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan Republik

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN KEBUN PANGKAS RAMIN (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) DI KHDTK TUMBANG NUSA, KALTENG

PEMBANGUNAN KEBUN PANGKAS RAMIN (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) DI KHDTK TUMBANG NUSA, KALTENG PEMBANGUNAN KEBUN PANGKAS RAMIN (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) DI KHDTK TUMBANG NUSA, KALTENG Riswan Ariani, Dian Cahyo Buwono, Yusnan, Aril. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Jl. A. Yani Km 28,7

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa sebagai penjabaran dari Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan masyarakat Indonesia, 40 juta orang Indonesia menggantungkan hidupnya secara langsung pada keanekaragaman

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 85/Kpts-II/2001 Tentang : Perbenihan Tanaman Hutan

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 85/Kpts-II/2001 Tentang : Perbenihan Tanaman Hutan KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 85/Kpts-II/2001 Tentang : Perbenihan Tanaman Hutan MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1995 telah ditetapkan ketentuan-ketentuan

Lebih terperinci

Beberapa Permasalahan di Hutan dan Lahan Gambut

Beberapa Permasalahan di Hutan dan Lahan Gambut PENGEMBANGAN INOVASI KOMODITAS RAMAH GAMBUT: POTENSI DAN TANTANGAN Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kick-Off Seminar Bogor, 13 Oktober 2016 Beberapa

Lebih terperinci

PENYEMPURNAAN SISTEM SILVIKULTUR MENJADIKAN HUTAN LEBIH BAIK

PENYEMPURNAAN SISTEM SILVIKULTUR MENJADIKAN HUTAN LEBIH BAIK PENYEMPURNAAN SISTEM SILVIKULTUR MENJADIKAN HUTAN LEBIH BAIK MULTISISTEM SILVIKULTUR Menjadikan Pemanfaatan Hutan Produksi Lebih Baik 31 33 MENYELAMATKAN RAMIN Melalui Perbanyakan Bibit dengan Teknik Vegetatif

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan salah satu sumber daya alam hayati yang memiliki banyak potensi yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat, Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran sub sektor kehutanan pada perekonomian nasional Indonesia cukup menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode Pembangunan Lima Tahun Pertama

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN

GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN URAIAN TUGAS UNSUR-UNSUR ORGANISASI DINAS KEHUTANAN DAN UNIT-UNIT PELAKSANA TEKNIS

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli KAJIAN SISTEM SILVIKULTUR DAN PERTUMBUHAN HUTAN BEKAS TEBANGAN PADA BERBAGAI TIPE HUTAN DI SUMATERA BAGIAN UTARA 1) Oleh : Aswandi 2) dan Rusli MS Harahap 2) ABSTRAK Dasar ilmiah berbagai sistem silvikultur

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

RENCANA PENGELOLAAN PERIODE TAHUN PT. TELAGABAKTI PERSADA

RENCANA PENGELOLAAN PERIODE TAHUN PT. TELAGABAKTI PERSADA RENCANA PENGELOLAAN PERIODE TAHUN 2010 2019 PT. TELAGABAKTI PERSADA I. MAKSUD & TUJUAN Maksud penyusunan rencana pengelolaan PT. Telagabakti Persada adalah untuk memanfaatkan hutan alam secara lestari

Lebih terperinci

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK Hutan rakyat sudah lama ada dan terus berkembang di masyarakat. Manfaat yang diperoleh dari hutan rakyat sangat dirasakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi untuk mencukupi kebutuhan kayu perkakas dan bahan baku industri kayu. Guna menjaga hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karet dunia dengan mengungguli hasil dari negara-negara lain dan negara asal

I. PENDAHULUAN. karet dunia dengan mengungguli hasil dari negara-negara lain dan negara asal I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karet alam merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting untuk Indonesia dan lingkup internasional. Di Indonesia karet merupakan salah satu hasil pertanian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kekayaan alam bangsa Indonesia yang menjadi aset berharga dalam mendatangkan devisa bagi negara, sehingga dapat memberi kontribusi yang

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN

PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU: STUDY KASUS DI SUMATRA SELATAN Oleh: Nunung Parlinah dan Indartik Ringkasan Informasi tentang produksi dan peredaran kayu penting untuk diketahui dalam rangka memahami mekanisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. saling terkait. Peristiwa banjir, erosi dan sedimentasi adalah sebagian indikator

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. saling terkait. Peristiwa banjir, erosi dan sedimentasi adalah sebagian indikator BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai bagian dari pembangunan wilayah masih menghadapi berbagai masalah yang kompleks dan saling terkait. Peristiwa banjir,

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *) Page 1 of 6 Penjelasan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 165 TAHUN 2000 TENTANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 165 TAHUN 2000 TENTANG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 165 TAHUN 2000 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, KEWENANGAN, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA

Lebih terperinci

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi Oleh Bastoni dan Tim Peneliti Balai Litbang LHK Palembang

Lebih terperinci

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN 1 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA PERESMIAN PROGRAM MECU (MOBILE EDUCATION CONSERVATION UNIT) DAN PENYERAHAN SATWA DI DEALER FORD ROXY MAS HARI JUMAT TANGGAL 11 MARET

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan working plan perhitungan dan pengaturan hasil Manajemen Hutan

1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan working plan perhitungan dan pengaturan hasil Manajemen Hutan 1. PENDAHULUAN A. Dasar Manajemen Hutan Manajemen hutan merupakan suatu pengertian luas dari pengetrapan / aplikasi pengetahuan tentang kehutanan dan ilmu yang sejenis dalam mengelola hutan untuk kepentingan

Lebih terperinci

SUMBER BENIH RAMIN UNTUK MENDUKUNG UPAYA KONSERVASI JENIS LANGKA RAWA GAMBUT KALIMANTAN TENGAH

SUMBER BENIH RAMIN UNTUK MENDUKUNG UPAYA KONSERVASI JENIS LANGKA RAWA GAMBUT KALIMANTAN TENGAH SUMBER BENIH RAMIN UNTUK MENDUKUNG UPAYA KONSERVASI JENIS LANGKA RAWA GAMBUT KALIMANTAN TENGAH Rusmana 1), Reni Setyo Wahyuningtyas 1), dan Junaidah 1) 1) Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Jl. A. Yani

Lebih terperinci

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. maupun internasional. Menurut Departemen Kehutanan (Nadeak, 2009) sampai

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. maupun internasional. Menurut Departemen Kehutanan (Nadeak, 2009) sampai I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Merbau (Intsia spp.) memiliki harga yang tinggi di pasar nasional maupun internasional. Menurut Departemen Kehutanan (Nadeak, 2009) sampai tahun 2009 kayu gergajian

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN BADAN LITBANG KEHUTANAN

STRATEGI PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN BADAN LITBANG KEHUTANAN STRATEGI PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN BADAN LITBANG KEHUTANAN Desember 2005 Partially funded by EC Asia Pro Eco Program Kesimpulan Sintesa Studi: Prospek Status Quo: Kehutanan di EraTransisi 80 Skenario

Lebih terperinci

Tugas, Pokok dan Fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pacitan

Tugas, Pokok dan Fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pacitan - 1 - Tugas, Pokok dan Fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pacitan Dinas Kehutanan dan Perkebunan adalah unsur pelaksana Pemerintah Kabupaten di bidang Kehutanan dan Perkebunan serta mempunyai

Lebih terperinci

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG Page 1 of 19 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 UMUM TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

Lebih terperinci

DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU

DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU Oleh NUR ANITA SETYAWATI, 0706265705 Gambaran Umum DAS SIAK Sungai Siak adalah sungai yang paling dalam di Indonesia, yaitu dengan kedalaman sekitar 20-30 meter. Dengan Panjang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. No. 48 Tahun 1988 tanggal 19 November Pembangunan Taman Hutan. Raya Bukit Barisan ini sebagai upaya konservasi sumber daya alam dan

PENDAHULUAN. No. 48 Tahun 1988 tanggal 19 November Pembangunan Taman Hutan. Raya Bukit Barisan ini sebagai upaya konservasi sumber daya alam dan PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan merupakan Tahura ketiga di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No. 48 Tahun 1988 tanggal 19 November

Lebih terperinci