BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENYAMPAIAN INFORMASI KEPADA KONSUMEN MELALUI IKLAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENYAMPAIAN INFORMASI KEPADA KONSUMEN MELALUI IKLAN"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENYAMPAIAN INFORMASI KEPADA KONSUMEN MELALUI IKLAN H. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perlindungan Konsumen 1. Beberapa Peristilahan dalam Hukum Perlindungan Konsumen Pengertian perlindungan konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menegaskan bahwa segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. Pemberdayaan konsumen yaitu dengan meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandiriannya melindungi diri sendiri sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindari berbagai ekses negatif pemakaian, penggunaan, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya. 17 Peranan undang-undang perlindungan konsumen diperlukan karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi pelaku usaha. Tujuan hukum perlindungan konsumen secara langsung adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen. Secara tidak langsung, hukum ini juga mendorong pelaku 17 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008), hlm 9.

2 usaha untuk melakukan usaha dengan penuh tanggung jawab. Namun, semua tujuan tersebut hanya dapat dicapai bila hukum perlindungan konsumen dapat diterapkan secara konsekuen. Berkaitan dengan perlindungan konsumen, dipergunakan berbagai istilah yang dapat memberi makna berbeda-beda sehingga membawa akibat hukum yang berbeda pula. Pentingnya mengemukakan berbagai istilah dalam hukum perlindungan konsumen karena dengan pengertian istilah ini sangat menentukan tanggung gugat pelaku usaha. Disamping itu, juga dikemukakan tentang hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen karena dapat menuntut ganti kerugian kepada pelaku usaha dengan mengetahui hubungan hukum antara keduanya serta menentukan alasan penuntutan jika konsumen dirugikan akibat penggunaan suatu produk. 18 Secara harfiah konsumen adalah orang yang memerlukan, membelanjakan atau menggunakan, pemakai atau yang membutuhkan. Adapun istilah konsumen berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer atau dalam bahasa Belanda yaitu consument. 19 Dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia, istilah konsumen sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Pasal 1 angka 2 UUPK yang menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kepentingan 18 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hlm NHT. Siahaan, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta : Panta Rei, 2005), hlm 22.

3 konsumen dalam kaitan dengan penggunaan barang dan/atau jasa adalah agar barang/jasa konsumen yang mereka peroleh bermanfaat bagi kesehatan/keselamatan tubuh, keamaan jiwa dan harta benda, diri, keluarga dan/atau rumah tangganya. Berdasarkan pengertian diatas, subyek yang disebut konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan jasa. Istilah orang sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (rechts person). Menurut AZ. Nasution, orang yang dimaksudkan adalah orang alami bukan badan hukum. Sebab yang memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan barang dan/atau jasa untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain tidak untuk diperdagangkan hanyalah orang alami atau manusia. 20 Pengertian konsumen antara negara yang satu dengan yang lain tidak sama. Sebagai contoh, di Spanyol, konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi korban produk yang cacat bukan hanya meliputi pembeli, tetapi juga pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pembeli. Sedangkan di Eropa, pengertian konsumen bersumber dari product liability directive (selanjutnya disebut directive) sebagai pedoman bagi negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dalam menyusun ketentuan hukum perlindungan konsumen. 20 Shidarta, Op. Cit. hlm 2.

4 Berdasarkan directive tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak yang menderita kerugian karena kematian/cidera atau kerugian berupa kerusakan benda selain produk yang cacat. 21 Berbeda pula dengan kelompok masyarakat pelaku usaha. Kepentingan mereka dalam penggunaan suatu produk adalah untuk membuat produk lain atau memperdagangkannya, baik berupa barang atau jasa yang merupakan bidang usaha atau profesi mereka (bisnis). Perlindungan yang diperlukan oleh pihak pelaku usaha agar dalam menjalankan bisnis dapat bersaing secara wajar, jujur serta terhindar dari praktek bisnis yang menghambat usaha mereka. Istilah pelaku usaha umumnya lebih dikenal dengan sebutan pengusaha. Pengusaha adalah setiap orang atau badan usaha yang menjalankan usaha memproduksi, menawarkan, menyampaikan atau mendistribusikan suatu produk kepada masyarakat luas selaku konsumen. Pengusaha memiliki arti yang luas, tidak semata-mata membicarakan pelaku usaha, tetapi juga pedagang perantara atau pengusaha. 22 Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak menggunakan istilah produsen melainkan menggunakan istilah pelaku usaha. Dalam Pasal 1 angka 3 UUPK disebutkan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama 21 Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, (Bandung : Nusa Media, 2008), hlm Mariam Darus, Perlindungan Konsumen dilihat dari Perjanjian Baku (Standar, Kertas Kerja pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Gramedia Pustaka, 1988), hlm 57.

5 melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UUPK cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam UUPK memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai pelaku usaha adalah pembuat produk jadi (finished product); penghasil bahan baku; pembuat suku cadang (setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai pelaku usaha dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu); importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan. 23 Secara umum dan mendasar hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena keduanya saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara satu dengan yang lain. Pelaku usaha sangat membutuhkan dan bergantung pada dukungan konsumen sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen tidak mungkin pelaku usaha dapat terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya, pemenuhan kebutuhan konsumen sangat tergantung pada hasil produksi pelaku usaha. 24 Saling ketergantungan karena kebutuhan tersebut dapat saling menciptakan hubungan yang terus 23 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung : Mandar Maju, 2000), hlm 36.

6 menerus dan berkesinambungan, sesuai dengan tingkat ketergantungan akan kebutuhannya yang tidak terputus. Hubungan antara pelaku usaha dan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi di pemasaran dan penawaran. Pada tahapan hubungan penyaluran atau distribusi tersebut menghasilkan suatu hubungan yang sifatnya massal. 2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini dapat memberikan arahan dalam implementasinya ditingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat. Dalam Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) menyatakan bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Penjelasan Pasal 2 UUPK menguraikan perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu : 25 a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan; b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada Konsumen. 25 Lihat penjelasan Pasal 2, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

7 konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil; c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual; d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan; e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaran perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu: a. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen; b. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan; c. Asas kepastian hukum. Menyangkut asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan kedalam asas manfaat karena merupakan bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen disamping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas keseimbangan yang dikelompokkan kedalam asas keadilan adalah keadilan bagi kepentingan masingmasing pihak yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. 26 Tujuan perlindungan konsumen juga diatur dalam Pasal 3 Undangundang Perlindungan Konsumen (UUPK), yaitu: 26 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit. hlm 28.

8 a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Pasal 3 UUPK ini merupakan misi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya karena tujuan perlindungan konsumen merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan diatas bila dikelompokkan kedalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c dan e. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a, b, dan f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak hanya mencantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen, melainkan juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pelaku usaha. Namun dapat dilihat bahwa 27 Ibid, hlm 34.

9 hak yang diberikan kepada konsumen (Pasal 4 UUPK) lebih banyak dibandingkan dengan hak pelaku usaha (Pasal 6 UUPK), dan kewajiban pelaku usaha (Pasal 7 UUPK) lebih banyak dari kewajiban konsumen (Pasal 5 UUPK). Dalam sejarahnya, pada tahun 1962 hak-hak konsumen telah dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat yaitu John F.Kennedy, yang disampaikan dalam Kongres Gabungan Negara-negara Bagian di Amerika Serikat, dimana hak-hak konsumen itu meliputi: 28 a. Hak untuk memperoleh keamanan; b. Hak memilih; c. Hak mendapat informasi; d. Hak untuk didengar. Kemudian, pada tahun 1975, hak-hak konsumen yang dicetuskan oleh John F.Kennedy, dimasukkan dalam program konsumen European Economic Community (EEC) yang meliputi : 29 a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan; b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi; c. Hak untuk memperoleh ganti rugi; d. Hak atas penerangan; e. Hak untuk didengar. Menurut Ernest Barker, agar hak-hak konsumen itu sempurna harus memenuhi 3 (tiga) syarat yakni hak itu dibutuhkan untuk perkembangan manusia, diakui oleh masyarakat, serta dilindungi dan dijamin oleh lembaga negara. 30 Jika tidak memenuhi ketiga syarat tersebut, maka hak-hak konsumen itu bukanlah hak yang sempurna, tetapi merupakan hak yang semu. Ketiga persyaratan ini hlm 58. hlm Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Alumni, 1994), 29 Adrian Sutedi, Op. Cit. hlm Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, (Bandung : Alumni, 1976),

10 umumnya telah dipenuhi oleh negara-negara yang menganut Common Law dan Anglo Saxon, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa Continental yang menganut sistem hukum Code Civil, khususnya Belanda, karena adanya kaidah hukum perlindungan konsumen dapat menjamin anggota masyarakat dengan adanya kesadaran hukum. 31 Permasalahan yang dihadapi konsumen di negara Indonesia, dialami juga oleh konsumen di negara-negara berkembang lainnya, tidak hanya sekedar bagaimana memilih barang, tetapi menyangkut pada kesadaran semua pihak, baik itu pengusaha, pemerintah maupun konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku dengan harga yang sesuai. Berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 4, menetapkan 9 (sembilan) hak konsumen yaitu : a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 31 Adrian Sutedi, Op.Cit. hlm 50.

11 i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dari sembilan butir hak konsumen tersebut, terlihat bahwa kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak diedarkan dalam masyarakat. Untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi. 32 Dalam kaitannya dengan hak konsumen atas informasi yang jujur dan benar, memberi informasi yang benar mengenai produk akan membantu konsumen menentukan pilihannya secara benar dan bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhannya. Melalui informasi yang benar dan lengkap maka konsumen dapat menentukan atau memilih produk untuk kebutuhannya. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk yang dikonsumsi. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti menginformasikan secara lisan kepada konsumen melalui 32 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit. hlm 16.

12 iklan diberbagai media atau mencantumkan dalam kemasan produk (komposisi, cara pemakaian, selain batas waktu kadaluwarsa). 33 Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang dapat bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya adalah jika ditemukan tindakan yang tidak adil terhadap diri konsumen, maka konsumen dapat bertindak dengan memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, konsumen tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha. 34 Sebagai konsumen juga memiliki sejumlah kewajiban yang harus diperhatikan. Dalam Pasal 5 UUPK dinyatakan kewajiban konsumen sebagai berikut : a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Beberapa kewajiban ini juga diperuntukkan sebagai balance dari hak-hak yang telah diperoleh konsumen. Itu dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya. Adapun sejumlah kewajiban tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 35 a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan pemanfaatan barang/jasa bertujuan untuk menjaga keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri. Konsumen perlu membaca dan meneliti label, etiket, kandungan 33 Adrian Sutedi, Op. Cit. hlm Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta Selatan : Transmedia Pustaka, 2008), hlm Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit. hlm

13 barang dan jasa, serta tata cara penggunaannya. Dengan pengaturan kewajiban ini, pelaku usaha tidak bertanggung jawab jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/jasa sangat diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi. Dengan itikad yang baik, kebutuhan konsumen terhadap barang dan jasa yang diinginkannya bisa terpenuhi dengan penuh kepuasan; c. Konsumen perlu membayar barang dan jasa yang telah dibeli, dengan nilai tukar yang disepakati dengan pelaku usaha merupakan suatu hal yang sudah biasa dan semestinya demikian; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Ketika terdapat keluhan terhadap barang/jasa yang telah didapat, konsumen secepatnya menyelesaikan masalah tersebut dengan pelaku usaha. Perlu diperhatikan agar penyelesaian masalah dapat dilakukan dengan cara damai. Jika tidak ditemui titik penyelesaian, cara hukum bisa dilakukan dengan memperhatikan norma dan prosedur yang berlaku. Kajian atas perlindungan terhadap konsumen tidak dapat dipisahkan dari hak dan kewajiban pelaku usaha. Adanya hak dan kewajiban tersebut dimaksudkan untuk menciptakan kenyamanan bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, para pelaku usaha diberikan hak sebagaimana diatur pada Pasal 6 UUPK, yaitu: a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Hak untuk rehabilitasi nama baik, apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

14 Hak-hak lain pelaku usaha juga dapat ditemukan antara lain pada faktorfaktor yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk yaitu apabila produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan, cacat timbul di kemudian hari, cacat timbul setelah produk berada diluar kontrol pelaku usaha, barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi, cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa. 36 Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktik yang biasa terjadi suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Menyangkut hak pelaku usaha tersebut pada huruf b, c, dan d sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak yang berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) / pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen tidak mengabaikan kepentingan pelaku usaha. Kewajiban konsumen dan hak-hak pelaku usaha yang 2008), hlm Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika,

15 disebutkan pada huruf b, c, dan d tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan sebelumnya. 37 Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah disebutkan, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUPK, yaitu: a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata. Begitu pentingnya beritikad baik sehingga dalam perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua 37 Abdul Halim Berkatulah, Op Cit, hlm 37.

16 belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutupi kontrak yang berkaitan dengan itikad baik tersebut. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Dalam UUPK, itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang diproduksi sampai pada tahap penjualan. 38 Sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang diproduksi oleh pelaku usaha, sedangkan bagi konsumen kemungkinan untuk dapat merugikan pelaku usaha mulai pada saat melakukan transaksi dengan pelaku usaha. Mengenai kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan disebabkan 38 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit. hlm 54.

17 karena informasi disamping merupakan hak konsumen juga karena ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi) yang akan sangat merugikan konsumen. Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu khususnya minuman. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun berupa instruksi. Penyampaian informasi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam hal ini pada umumnya bukan hanya menonjolkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh suatu produk, tetapi perlu diimbangi dengan informasi yang memuat kekurangankekurangan yang dimiliki oleh produk yang bersangkutan. Terutama mengenai hal-hal yang menyangkut keamanan dan keselamatan konsumen, sehingga konsumen benar-benar dapat mempergunakan informasi yang diberikan pelaku usaha tersebut dalam menjatuhkan pilihannya terhadap suatu produk yang tepat Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada 39 Dedi Harianto, Op Cit. hlm 5.

18 pihak-pihak terkait. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut : 40 a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu: 1) Adanya perbuatan; 2) Adanya unsur kesalahan; 3) Adanya unsur yang diderita; 4) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Pembentukan teori tanggung jawab dengan dasar adanya unsur kesalahan dan hubungan kontrak pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa pemikiran, yaitu paham individualis dalam prinsip laissez faire, kuatnya kepentingan pelaku usaha yang dianggap sebagai pelaku pembangunan industri/ekonomi, teori kontrak sosial dan prinsip legal formalism yang mewarnai dunia pengadilan Shidarta, Op. Cit. hlm Abdul Halim Barkatulah, Op. Cit. hlm 54.

19 b. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai dapat membuktikan bahwa tergugat tidak bersalah. Dasar pemikiran dari teori pembalikan beban pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan terlihat bahwa asas tersebut cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada dipihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tergugat. c. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan, seperti kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.

20 d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Tanggung jawab mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian, ketentuan ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. 42 Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya pelaku usaha barang yang memasarkan produknya sehingga merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini, pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal yaitu : 43 1) Melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk; 2) Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik; 3) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability). Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya Ibid, hlm Shidarta, Op. Cit. hlm Ibid, hlm 78.

21 e. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas. Prinsip penting dalam UUPK yang diakomodasikan adalah tanggung jawab produk dan profesional. Tanggung jawab produk (product liability) sebenarnya mengacu sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang dibawanya kedalam peredaran sehingga menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Tanggung jawab itu dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang (gugatannya atas dasar perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir. 45 Jika tanggung jawab produk berkaitan dengan produk barang, maka tanggung jawab profesional lebih berhubungan dengan jasa. Tanggung jawab profesional timbul karena para penyedia jasa profesional tidak memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum. Jenis 45 Ibid, hlm 80.

22 jasa yang diberikan dalam hubungan antara tenaga profesional dan kliennya juga berbeda. Ada jasa yang diperjanjian menghadirkan sesuatu (resultaat verbintenis), tetapi ada yang diperjanjikan mengupayakan sesuatu (inspanningsverbintenis) Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Sengketa berawal pada situasi dimana pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Biasanya dimulai oleh perasaan tidak puas, bersifat subyektif dan tertutup yang dialami oleh perorangan maupun kelompok. Apabila perasaan kecewa atau tidak puas disampaikan kepada pihak kedua dan pihak kedua menanggapi serta dapat memuaskan pihak pertama maka selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, apabila perbedaan pendapat tersebut terus berkelanjutan maka akan terjadi apa yang disebut sengketa. Sengketa dalam pengertian seharihari dimaksudkan sebagai sesuatu keadaan dimana pihak-pihak yang melakukan upaya-upaya perniagaan mempunyai masalah yaitu menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak atau tidak berlaku demikian. Sengketa dapat juga dimaksudkan sebagai adanya ketidakserasian antara pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan karena hak salah satu pihak terganggu atau dilanggar. 47 Para pihak yang terlibat dalam sengketa konsumen umumnya adalah kalangan konsumen, pelaku usaha dan/atau pemerintah (khususnya bergerak dalam penyediaan barang/jasa kebutuhan masyarakat). Sengketa konsumen menurut UUPK dimulai pada saat konsumen menggugat pelaku usaha yang 46 Ibid. 47 Ibid, hlm 108.

23 menolak dan/atau tidak memenuhi ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. UUPK sendiri tidak menjelaskan pengertian sengketa. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 11 jo. Pasal 1 angka 8 SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. 48 Menurut UUPK penyelesaian sengketa konsumen ternyata memiliki kekhasan. Sejak semula, para pihak yang berselisih, khususnya dari pihak konsumen, dimungkinkan menyelesaikan sengketa mengikuti beberapa lingkungan peradilan, misalnya peradilan umum atau memilih jalan penyelesaian diluar pengadilan. a. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 43 ayat 2 UUPK, tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa yaitu pelaku usaha dan konsumen tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan sepanjang tidak bertentangan dengan UUPK. Dari penjelasan Pasal 45 ayat 2 UUPK dapat diketahui bahwa UUPK menghendaki agar penyelesaian damai 48 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelasaian Sengketa Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm 148.

24 merupakan upaya hukum yang justru harus terlebih dahulu diusahakan oleh para pihak yang bersengketa sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui BPSK. Pemerintah membentuk suatu badan yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan. Penyelesain sengketa konsumen melalui BPSK diselenggarakan semata-mata untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Ukuran kerugian materi yang dialami konsumen didasarkan pada besarnya dampak dari penggunaan produk barang/jasa terhadap konsumen. 49 Tugas dan wewenang BPSK ditetapkan dalam Pasal 52 UUPK jo. SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu : 1) Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi, arbitrase, atau konsiliasi; 2) Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; 3) Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; 4) Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini; 5) Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 6) Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; 7) Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 8) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini; 9) Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada angka 7 dan angka 8, 49 Ibid, hlm 100.

25 yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK); 10) Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; 11) Memutuskan dan menetapkan atau tidak adanya kerugian pihak konsumen; 12) Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 13) Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang perlindungan konsumen (UUPK). Adapun tugas BPSK melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku (Pasal 52 butir c UUPK) tidaklah selalu terkait dengan adanya sengketa konsumen. Dalam hal ini, BPSK diharapkan bersikap proaktif menegakkan norma-norma pencantuman klausula baku yang diamanatkan Pasal 18 UUPK, baik dengan cara persuasif maupun represif untuk mengujii kepatuhan pelaku usaha terhadap norma-norma tersebut. 50 Konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen kepaada BPSK. Permohonan diajukan secara tertulis kepada sekretariat BPSK, maka akan diberikan tanda terima kepada pemohon dan mencatat permohonan tersebut dalam sebuah formulir yang disediakan secara khusus dan dibubuhi tanggal serta nomor registrasi. Untuk keperluan pemanggilan pelaku usaha, dibuat surat panggilan yang memuat hari, tanggal, dan jam serta kewajiban pelaku usaha untuk memberikan jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan pada persidangan pertama. Jika pada hari yang ditentukan pelaku usaha tidak hadir memenuhi panggilan, maka sebelum melampui 3 (tiga) hari kerja sejak pengaduan, pelaku usaha dapat dipanggil sekali 50 Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen : Teori dan Praktek Penegekan Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hlm 21.

26 lagi. Jika pelaku usaha tetap tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka berdasarkan ketentuan Pasal 52 huruf i UUPK jo. Pasal 3 huruf i SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, BPSK dapat meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha. 51 Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase termuat dalam Pasal 3 huruf a SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu : 1) Persidangan dengan cara konsiliasi Pengertian kata konsiliasi dalam penyelesaian sengketa konsumen ditemukan pada ketentuan umum SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu pada Pasal 1 angka 9 yang menyatakan konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak dan penyelesainnya diserahkan kepada para pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 28 SK. Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, setelah BPSK menerima permohonan konsumen atau ahli warisnya maka selanjutnya majelis BPSK akan memanggil pihak-pihak yang bersengketa dan saksi-saksi yang diperlukan. BPSK 51 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit. hlm 104.

27 menyediakan forum bagi para pihak yang bersengketa dan menjawab pertanyaan para pihak yang berkaitan dengan UUPK. Tugas dari konsiliasi hanya sebagai pihak fasilitator untuk melakukan komunikasi diantara pihak sehingga dapat ditemukan solusi oleh para pihak sendiri. Pihak konsiliator hanya melakukan tindakan-tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subyek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung atau tidak mau bertemu muka langsung, dan lainlain. Selanjuntya, pihak mediator juga melakukan hal-hal yang dilakukan konsiliator, tetapi juga melakukan lebih jauh dari itu. sebagai pihak mediator dapat juga menyarankan jalan keluar atau proposal penyelesaian sengketa yang bersangkutan, hal mana paling tidak secara teoritis, tidak ada dalam kewenangan pihak konsiliator. 52 Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, konsiliator diarahkan oleh prinsip keadilan dan objektif dengan mempertimbangkan faktor-faktor antara lain : 53 a) Hak dan kewajiban para pihak; b) Kebiasaan dalam perdagangan (trade usages); c) Praktek bisnis yang telah terjadi, termasuk praktek bisnis diantara para pihak. Konsiliator dapat melakukan proses konsiliasi yang dianggapnya layak dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi dari kasus tersebut, mengetahui keingianan para pihak yang diucapkan secara lisan, serta kebutuhan untuk 52 Munir Fuady, Arbitrase Nasional : Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm Ibid.

28 diproses secara cepat. Disetiap tingkat dalam proses konsiliasi, konsiliator dapat mengajukan proposal penyelesaian sengketa. 54 Hasil kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa dengan cara konsiliasi harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa. Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi bersifat final dan mengikat para pihak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat 7 jo. Pasal 6 ayat 8 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, kesepakatan tertulis hasil konsiliasi tersebut harus didaftarkan di pengadilan negeri dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penandatanganan dan dilaksanakan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pendaftaran di pengadilan negeri. Proses penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bertindak pasif sebagai konsiliator. Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK. 55 2) Persidangan dengan cara mediasi Dalam ketentuan umum SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu Pasal 1 angka 10 yang menyatakan mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan dengan perantaraan BPSK 54 Ibid. 55 Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Teori Praktek Penegakan Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hlm 36.

29 sebagai penasihat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Keaktifan majelis BPSK sebagai perantara dan penasihat penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi, dapat dilihat dari Pasal 30 SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu: a) Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; b) Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan; c) Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; d) Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; e) Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen. Penyelesaian sengketa melalui cara mediasi pada akhir-akhir ini banyak diperbincangkan oleh orang yang ingin menyelesaikan sengketanya dengan cepat. Hal ini disebabkan alasan-alasan sebagai berikut : 56 a) Relatif lebih murah dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain; b) Adanya kecenderungan dari pihak yang bersengketa untuk menerima dan memiliki putusan mediasi; c) Dapat menjadi dasar bagi para pihak yang bersengketa untuk menegosiasi sendiri sengketa-sengketanya di kemudian hari; d) Terbukanya kesempatan untuk menelaah masalah-masalah yang merupakan dasar dari suatu sengketa; e) Membuka kemungkinan adanya saling kepercayaan diantara pihak yang bersengketa, sehingga dapat dihindari rasa bermusuhan dan dendam. Selain memiliki kelebihan dari pemilihan sengketa alternatif dengan cara mediasi, institusi mediasi juga memiliki kelemahan, antara lain : 57 a) Dapat memakan waktu yang lama; b) Mekanisme eksekusi yang sulit karena cara eksekusi putusan hanya seperti kekuatan eksekusi suatu kontrak; 56 Munir Fuady, Op. Cit, hlm Ibid.

30 c) Sangat digantungkan dari itikad baik para pihak untuk menyelesaikan sengketanya sampai selesai; d) Mediasi tidak akan membawa hasil yang baik terutama jika informasi dan kewenangan tidak cukup diberikan kepadanya; e) Jika lawyer tidak dilibatkan dalam proses mediasi, kemungkinan adanya fakta-fakta hukum yang penting tidak disampaikan kepada mediator, sehingga putusannya menjadi bias. Proses mediasi selalu ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pemilihan mediator harus dilaksanakan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Hal ini dikarenakan seorang mediator sebagai penengah memegang peranan penting dalam kemajuan penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak. Dalam proses mediasi, seorang mediator memiliki peran sebagai pihak yang mengawasi jalannya mediasi seperti mengatur perundingan, menyelenggarakan pertemuan, mengatur diskusi, menjadi penengah, merumuskan kesepakatan para pihak, serta membantu para pihak untuk menyadari bahwa sengketa bukanlah suatu pertarungan untuk dimenangkan, tetapi sengketa tersebut harus diselesaikan. 58 Proses penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan Badan Penylesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bertindak aktif sebagai mediator dengan memberikan nasihat, petunjuk, saran, dan upayaupaya lain dalam menyelesaikan sengketa. Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK. 59 Kesepakatan yang telah diraih dalam alternatif penyelesaian sengketa secara mediasi dibuat dalam bentuk tertulis dan mengikat para pihak untuk 58 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit. hlm Yusuf Shofie, Op. Cit. hlm 37.

31 dilaksanakan dengan itikad baik serta didaftarkan ke pengadilan negeri. Pendaftaran yang dimaksud adalah suatu pendaftaran yang dilaksanakan dengan cara mengajukan gugatan terhadap pihak lawan dalam perjanjian mediasi tersebut di pengadilan negeri yang berwenang. Dengan pendaftaran seperti demikian, akan tercipta suatu akta perdamaian yang memiliki kekuatan eksekutorial. 60 3) Persidangan melalui arbitrase Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Dalam penyelesaian sengketa secara arbitrase para pihak mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri hukum yang harus dipakai oleh majelis arbitrase. Hukum tertentu yang dipilih oleh para pihak merupakan hukum substantifnya dan bukan kaidah-kaidah hukum perdata internasionalnya. Hukum substantif perdata di Indonesia, misalnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang 60 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa : Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, (Jakarta : Sinar Grafika), hlm 19.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN (PELAKU USAHA) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen 18 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA 2.1 Hukum Perlindungan Konsumen 2.1.1 Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Ada dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA 2.1 Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan martabat manusia serta pengakuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN. iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb).

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN. iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb). BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN 2.1. Konsumen 2.1.1. Pengertian Konsumen Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan konsumen adalah pemakai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 2.1. Pengertian Perlindungan Konsumen Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Konsumen Bagi para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah, pemakai terakhir dari benda dan jasa yang diserahkan kepada mereka

Lebih terperinci

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK A. Penyelesaian Sengketa Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 1. Ketentuan Berproses Di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Lebih terperinci

A. Pengertian konsumen dan perlindungan konsumen. Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

A. Pengertian konsumen dan perlindungan konsumen. Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau A. Pengertian konsumen dan perlindungan konsumen 1. Pengertian Konsumen Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). 15 Pengertian tersebut secara

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Pengertian dan Bentuk-bentuk Sengketa Konsumen Perkembangan di bidang perindustrian dan perdagangan telah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI. konsumen. Kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI. konsumen. Kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Tanggung Jawab Tanggung jawab pelaku usaha atas produk barang yang merugikan konsumen merupakan perihal yang sangat penting dalam

Lebih terperinci

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau biasa disingkat dengan UUPK dan mulai diberlakukan pada tanggal 20 April UUP

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau biasa disingkat dengan UUPK dan mulai diberlakukan pada tanggal 20 April UUP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan aktivitas masyarakat banyak menyebabkan perubahan dalam berbagai bidang di antaranya ekonomi, sosial, pembangunan, dan lain-lain. Kondisi ini menuntut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN. A. Sejarah Singkat Perlindungan Konsumen Di Indonesia

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN. A. Sejarah Singkat Perlindungan Konsumen Di Indonesia BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Sejarah Singkat Perlindungan Konsumen Di Indonesia Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal ini ditandai

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perlindungan Konsumen Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dan bukan Undang-Undang tentang Konsumen. menyebutkan pengertianpengertian

Lebih terperinci

PENGATURAN UPAYA HUKUM DAN EKSEKUSI PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

PENGATURAN UPAYA HUKUM DAN EKSEKUSI PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) PENGATURAN UPAYA HUKUM DAN EKSEKUSI PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) oleh: I Putu Iwan Kharisma Putra I Wayan Wiryawan Dewa Gede Rudy Program Kekhususan Hukum Keperdataan Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam

BAB III TINJAUAN UMUM. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam 21 BAB III TINJAUAN UMUM A. Tinjuan Umum Terhadap Hukum Perlindungan Konsumen 1. Latar belakang Perlindungan Konsumen Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN

Lebih terperinci

BAB II MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN. A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen

BAB II MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN. A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen BAB II MEKANISME PERMOHONAN PENYELESAIAN DAN PENGAMBILAN PUTUSAN SENGKETA KONSUMEN A. Tata Cara Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen Konsumen yang merasa hak-haknya telah dirugikan dapat mengajukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perlindungan Konsumen, Konsumen, dan Pelaku Usaha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perlindungan Konsumen, Konsumen, dan Pelaku Usaha 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Perlindungan Konsumen, Konsumen, dan Pelaku Usaha Hukum Perlindungan Konsumen menurut Az. Nasution adalah hukum konsumen yang memuat asas-asas

Lebih terperinci

BAB II. A. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dan Konsumen. kemungkinan penerapan product liability dalam doktrin perbuatan melawan

BAB II. A. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dan Konsumen. kemungkinan penerapan product liability dalam doktrin perbuatan melawan BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN DALAM PEMBELIAN BARANG ELEKTRONIK REKONDISI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Hubungan Hukum antara Pelaku

Lebih terperinci

Makan Kamang Jaya. : KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan tersebut. BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

Makan Kamang Jaya. : KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan tersebut. BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA Bab ini merupakan inti dalam tulisan ini yang menengahkan tentang upaya perlindungan hukum bagi konsumen rumah makan kamang jaya, pembinaan dan pengawasan Pemerintah Daerah dan instansi terkait terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. mengenal batas Negara membuat timbul berbagai permasalahan, antara lain

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. mengenal batas Negara membuat timbul berbagai permasalahan, antara lain BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha. Perkembangan globalisasi ekonomi dimana arus barang dan jasa tidak lagi mengenal batas Negara membuat timbul berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat, saat ini hampir setiap orang dalam satu ruang lingkup keluarga memiliki

Lebih terperinci

STIE DEWANTARA Perlindungan Konsumen Bisnis

STIE DEWANTARA Perlindungan Konsumen Bisnis Perlindungan Konsumen Bisnis Hukum Bisnis, Sesi 8 Pengertian & Dasar Hukum Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membawa dampak cukup pesat bagi perkembangan pertumbuhan dan perekonomian dunia usaha

BAB I PENDAHULUAN. membawa dampak cukup pesat bagi perkembangan pertumbuhan dan perekonomian dunia usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu perkembangan dunia dewasa ini ditandai arus globalisasi disegala bidang yang membawa dampak cukup pesat bagi perkembangan pertumbuhan dan perekonomian dunia usaha

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan 21 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Konsumen 1. Konsep Perlindungan Hukum Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan adalah: a. tempat berlindung; b. perbuatan (hal dan sebagainya)

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK 43 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA TEORITIS. orang yang memiliki hubungan langsung antara pelaku usaha dan konsumen.

BAB III KERANGKA TEORITIS. orang yang memiliki hubungan langsung antara pelaku usaha dan konsumen. BAB III KERANGKA TEORITIS A. Pengertian Konsumen Kata konsumen merupakan istilah yang biasa digunakan masyarakat untuk orang yang mengonsumsi atau memanfaatkan suatu barang atau jasa. Selain itu sebagian

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI KOTA

PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI KOTA LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 178 TAHUN : 2014 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGANN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CIMAHI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN SECARA MEDIASI TERHADAP PRODUK CACAT DALAM KAITANNYA DENGAN TANGGUNG JAWAB PRODUSEN

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN SECARA MEDIASI TERHADAP PRODUK CACAT DALAM KAITANNYA DENGAN TANGGUNG JAWAB PRODUSEN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN SECARA MEDIASI TERHADAP PRODUK CACAT DALAM KAITANNYA DENGAN TANGGUNG JAWAB PRODUSEN Oleh : I Gede Agus Satrya Wibawa I Nengah Suharta Bagian Hukum Bisnis Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak makanan import yang telah masuk ke Indonesia tanpa disertai

BAB I PENDAHULUAN. Banyak makanan import yang telah masuk ke Indonesia tanpa disertai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak makanan import yang telah masuk ke Indonesia tanpa disertai informasi yang jelas pada kemasan produknya. Pada kemasan produk makanan import biasanya

Lebih terperinci

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh: Wahyu Simon Tampubolon, SH, MH Dosen Tetap STIH Labuhanbatu e-mail : Wahyu.tampubolon@yahoo.com ABSTRAK Konsumen

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KONSUMEN. Business Law Semester Gasal 2014 Universitas Pembangunan Jaya

PERLINDUNGAN KONSUMEN. Business Law Semester Gasal 2014 Universitas Pembangunan Jaya PERLINDUNGAN KONSUMEN Business Law Semester Gasal 2014 Universitas Pembangunan Jaya MENGAPA KONSUMEN DILINDUNGI??? 2 ALASAN POKOK KONSUMEN PERLU DILINDUNGI MELINDUNGI KONSUMEN = MELINDUNGI SELURUH BANGSA

Lebih terperinci

ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Al-Qishthu Volume 13, Nomor 2 2015 185 ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Pitriani Dosen Jurusan Syari ah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus di wujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pembangunan kesehatan pada

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM.

PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM. PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM. 1 PERLINDUNGAN KONSUMEN setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Pengertian perlindungan konsumen menurut Pasal 1 UUPK adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melindungi kepentingan konsumen 1. Adapun hukum konsumen diartikan

BAB I PENDAHULUAN. yang melindungi kepentingan konsumen 1. Adapun hukum konsumen diartikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asasasas atau kaidah kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Perdagangan bebas berakibat meluasnya peredaran barang dan/ jasa yang dapat

Lebih terperinci

vii DAFTAR WAWANCARA

vii DAFTAR WAWANCARA vii DAFTAR WAWANCARA 1. Apa upaya hukum yang dapat dilakukan pasien apabila hak-haknya dilanggar? Pasien dapat mengajukan gugatan kepada rumah sakit dan/atau pelaku usaha, baik kepada lembaga peradilan

Lebih terperinci

B. Rini Heryanti, Dewi Tuti Muryati (dosen Fakultas Hukum USM) ABSTRAK

B. Rini Heryanti, Dewi Tuti Muryati (dosen Fakultas Hukum USM) ABSTRAK ISSN 1410-9859 PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) KOTA SEMARANG DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO.8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan tersebut maka setiap manusia mengkonsumsi atau menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan tersebut maka setiap manusia mengkonsumsi atau menggunakan BAB I PENDAHULUAN Setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beragam dalam kehidupannya sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, namun manusia tidak mampu memenuhi setiap kebutuhannya tersebut secara

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENGAWASAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI KOTA PADANG SKRIPSI

PELAKSANAAN PENGAWASAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI KOTA PADANG SKRIPSI PELAKSANAAN PENGAWASAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI KOTA PADANG SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana hukum Oleh : SETIA PURNAMA

Lebih terperinci

BAB II PROSES PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENURUT UU NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. UNDANG UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

BAB II PROSES PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENURUT UU NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. UNDANG UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 BAB II PROSES PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENURUT UU NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. UNDANG UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 1. Latar belakang UU nomor 8 tahun 1999 UUPK ibarat oase di

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 5/Juni/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 5/Juni/2016 PEMBUKTIAN UNSUR KESALAHAN DALAM GUGATAN GANTI RUGI OLEH KONSUMEN TERHADAP PELAKU USAHA 1 Oleh: Rudolf Sam Mamengko 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tanggung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi

BAB I PENDAHULUAN. perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan dan perkembangan perekonomian khususnya dibidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen

BAB III TINJAUAN TEORITIS. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Konsumen Pengertian konsumen menurut Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen sebelum berlakunya

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen. antar anggota masyarakat yang satu dengan yang

BAB III TINJAUAN UMUM. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen. antar anggota masyarakat yang satu dengan yang BAB III TINJAUAN UMUM A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen Keberadaan hukum dalam masyarakat merupakan suatu sarana untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sehingga dalam hubungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hak dan Kewajiban Konsumen 1. Pengertian Konsumen Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata consumer itu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanggung jawab dalam bahasa Inggris diterjemahkan dari kata responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanggung jawab dalam bahasa Inggris diterjemahkan dari kata responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tanggung Jawab Tanggung jawab dalam bahasa Inggris diterjemahkan dari kata responsibility atau liability, sedangkan dalam bahasa Belanda, yaitu vereentwoodelijk atau

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 3/Mei/2017. PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH PRODUSEN TERHADAP MAKANAN DALUWARSA 1 Oleh: Yunia Mamarama 2

Lex et Societatis, Vol. V/No. 3/Mei/2017. PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH PRODUSEN TERHADAP MAKANAN DALUWARSA 1 Oleh: Yunia Mamarama 2 PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH PRODUSEN TERHADAP MAKANAN DALUWARSA 1 Oleh: Yunia Mamarama 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk tanggung jawab hukum produsen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produk-produk yang kemudian dapat dikonsumsi oleh masyarakat setelah

BAB I PENDAHULUAN. produk-produk yang kemudian dapat dikonsumsi oleh masyarakat setelah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada zaman yang semakin berkembang pesat ini, kegiatan perdagangan merupakan kegiatan yang terus menerus dan berkesinambungan karena adanya saling ketergantungan antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUBUNGAN PELAKU USAHA DENGAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUBUNGAN PELAKU USAHA DENGAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUBUNGAN PELAKU USAHA DENGAN KONSUMEN A. Pengertian Pelaku Usaha Kegiatan usaha sudah banyak di dapatkan melalui berbagai media online dengan mudah, karena pada saat ini berbagai

Lebih terperinci

5 Mei (Muhammad, 2010) Ini merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi: Pembelajaran

5 Mei (Muhammad, 2010) Ini merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi: Pembelajaran Konsumen, menurut Undang-undang (UU) No. 8 Tahun 1 tentang Perlindungan Konsumen, diartikan setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan uraian-uraian pada bagian pembahasan, maka dapat

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan uraian-uraian pada bagian pembahasan, maka dapat 60 BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian-uraian pada bagian pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menerapkan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ONLINE. Oleh : Rifan Adi Nugraha, Jamaluddin Mukhtar, Hardika Fajar Ardianto,

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ONLINE. Oleh : Rifan Adi Nugraha, Jamaluddin Mukhtar, Hardika Fajar Ardianto, PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ONLINE Oleh : Rifan Adi Nugraha, Jamaluddin Mukhtar, Hardika Fajar Ardianto, rifan4n@gmail.com ABSTRAK Tulisan ini membahas mengenai perlindungan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN. A. Latar Belakang Hukum Perlindungan Konsumen

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN. A. Latar Belakang Hukum Perlindungan Konsumen 15 BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Latar Belakang Hukum Perlindungan Konsumen Perhatian terhadap perlindungan konsumen bermula dari adanya gerakan terhadap perlindungan konsumen (Consumer

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN 2.1 Pengertian Perjanjian Buku III KUHPerdata Indonesia mengatur tentang Perikatan, terdiri dari dua bagian yaitu peraturan-peraturan umum

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT WANPRESTASI DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT WANPRESTASI DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT WANPRESTASI DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK Oleh Bella Citra Ramadhona Anak Agung Gede Agung Dharmakusuma Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala bidang yang membawa pengaruh cukup besar bagi perkembangan perekonomian Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modern di satu pihak membawa dampak positif, di antaranya tersedianya

BAB I PENDAHULUAN. modern di satu pihak membawa dampak positif, di antaranya tersedianya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dan pertumbuhan industri barang dan jasa yang semakin modern di satu pihak membawa dampak positif, di antaranya tersedianya kebutuhan dalam jumlah

Lebih terperinci

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PEMAKAIAN JASA DARI PELAKU USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PEMAKAIAN JASA DARI PELAKU USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PEMAKAIAN JASA DARI PELAKU USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Perlindungan konsumen sebelum terbentuknya undang-undang Nomor

Lebih terperinci

Hukum Perlindungan Konsumen yang Berfungsi sebagai Penyeimbang Kedudukan Konsumen dan Pelaku Usaha dalam Melindungi Kepentingan Bersama

Hukum Perlindungan Konsumen yang Berfungsi sebagai Penyeimbang Kedudukan Konsumen dan Pelaku Usaha dalam Melindungi Kepentingan Bersama Hukum Perlindungan Konsumen yang Berfungsi sebagai Penyeimbang Kedudukan Konsumen dan Pelaku Usaha dalam Melindungi Kepentingan Bersama Agustin Widjiastuti SH., M.Hum. Program Studi Ilmu Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PELAKU USAHA, KONSUMEN, DAN PENGOPLOSAN. Konsumen menentukan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau

BAB II PENGERTIAN PELAKU USAHA, KONSUMEN, DAN PENGOPLOSAN. Konsumen menentukan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau BAB II PENGERTIAN PELAKU USAHA, KONSUMEN, DAN PENGOPLOSAN 1.1 Pengertian Pelaku Usaha Dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa pelaku usaha adalah setiap

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA LAYANAN JASA SPEEDY PADA PT TELKOM, Tbk CABANG PADANG SKRIPSI

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA LAYANAN JASA SPEEDY PADA PT TELKOM, Tbk CABANG PADANG SKRIPSI PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA LAYANAN JASA SPEEDY PADA PT TELKOM, Tbk CABANG PADANG SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Pelaksanaan Pengawasan Pencantuman Klausula Baku oleh BPSK Yogyakarta

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Pelaksanaan Pengawasan Pencantuman Klausula Baku oleh BPSK Yogyakarta BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Pelaksanaan Pengawasan Pencantuman Klausula Baku oleh BPSK Yogyakarta Dalam transaksi jual beli, biasanya pelaku usaha telah mempersiapkan perjanjian yang telah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN HUKUM, PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN HUKUM, PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA 1 BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN HUKUM, PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA 1.1 Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pengertian Perlindungan adalah tempat

Lebih terperinci

BAB II RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN KONSUMEN DITINJAU DARI UU NO. 8 TAHUN Sejarah perkembangan perlindungan konsumen sejalan dengan

BAB II RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN KONSUMEN DITINJAU DARI UU NO. 8 TAHUN Sejarah perkembangan perlindungan konsumen sejalan dengan BAB II RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN KONSUMEN DITINJAU DARI UU NO. 8 TAHUN 1999 Sejarah perkembangan perlindungan konsumen sejalan dengan perkembangan perekonomian dunia. Perkembangan perekonomian yang pesat

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TANGGUNGJAWAB PRODUK TERHADAP UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

TINJAUAN YURIDIS TANGGUNGJAWAB PRODUK TERHADAP UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TINJAUAN YURIDIS TANGGUNGJAWAB PRODUK TERHADAP UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Dwi Afni Maileni Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA Batam Abstrak Perlindungan konsumen

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 3/Jul-Sep/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 3/Jul-Sep/2015 TANGGUNG JAWAB HUKUM DEVELOPER TERHADAP PEMILIK RUMAH DI PERUMAHAN CITRALAND MANADO 1 Oleh : Vindy Makakombo 2 ABSTRAK Dilakukannya penelitian ini adalah bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016 KAJIAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN BAKU ANTARA KREDITUR DAN DEBITUR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 1 Oleh : Glen Wowor 2 ABSTRAK Penelitian ini dialkukan bertujuan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN 1 PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN oleh Gusti Ayu Sri Agung Arimas I Nengah Suharta Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Pasal 1 (3) dari Peraturan Pemerintah Nomor

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG KLAUSULA EKSONERASI SERTA HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

BAB II TINJAUAN TENTANG KLAUSULA EKSONERASI SERTA HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA BAB II TINJAUAN TENTANG KLAUSULA EKSONERASI SERTA HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA 2.1 Perjanjian Standar Dan Klausula Eksonerasi Kegiatan usaha yang pada umumnya saat ini melibatkan lebih dari

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

1. Pelaksanaan Perlindungan yang Diberikan kepada Konsumen Atas. Penggunaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya dalam Makanan Dikaitkan

1. Pelaksanaan Perlindungan yang Diberikan kepada Konsumen Atas. Penggunaan Bahan-Bahan Kimia Berbahaya dalam Makanan Dikaitkan 74 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PENGGUNAAN BAHAN- BAHAN KIMIA BERBAHAYA DALAM MAKANAN YANG BEREDAR DI MASYARAKAT DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN

Lebih terperinci

TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN PENYEDIA JASA AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PEKERJA OUTSOURCING

TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN PENYEDIA JASA AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PEKERJA OUTSOURCING TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN PENYEDIA JASA AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PEKERJA OUTSOURCING Dhevy Nayasari Sastradinata *) *) Dosen Fakultas hukum Universitas Islam Lamongan ABSTRAK Iklim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari manusia pasti saling membutuhkan satu sama lainnya. Oleh sebab itu diwajibkan

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari manusia pasti saling membutuhkan satu sama lainnya. Oleh sebab itu diwajibkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan tuhan sebagai makhluk sosial yang mana manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa berinteraksi dengan manusia lain. Dalam

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN, PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN, PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM 21 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN, PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM 2.1 Konsumen. 2.1.1. Pengertian Konsumen. Pengertian Konsumen di Amerika Serikat dan MEE, kata Konsumen yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak konsumen yang seharusnya dimiliki dan diakui oleh pelaku usaha 2. Oleh karena itu, akhirnya naskah

Lebih terperinci

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Oleh : FAUZUL A FAKULTAS HUKUM UPN VETERAN JAWA TIMUR kamis, 13 April 2011 BAHASAN Keanggotaan Badan Penyelesaian sengketa konsumen Tugas dan wewenang badan penyelesaian

Lebih terperinci

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS CACAT TERSEMBUNYI PADA OBJEK PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL YANG MEMBERIKAN FASILITAS GARANSI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK WETBOEK JUNCTO

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 58 TAHUN 2001 (58/2001) TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 58 TAHUN 2001 (58/2001) TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 58 TAHUN 2001 (58/2001) TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur baik material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nurmardjito (Erman Rajagukguk, dkk,

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nurmardjito (Erman Rajagukguk, dkk, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyak investor yang menanamkan modalnya Indonesia.

Lebih terperinci

Menimbang : Mengingat :

Menimbang : Mengingat : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : 1. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumen di Indonesia. Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 8 tahun

BAB I PENDAHULUAN. konsumen di Indonesia. Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 8 tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang saling memerlukan. Konsumen memerlukan barang dan jasa dari pelaku usaha guna memenuhi keperluannya. Sementara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN KESEHATAN DALAM HAL TERJADI MALPRAKTEK. Oleh: Elyani Staf Pengajar Fakultas Hukum UNPAB Medan ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN KESEHATAN DALAM HAL TERJADI MALPRAKTEK. Oleh: Elyani Staf Pengajar Fakultas Hukum UNPAB Medan ABSTRAK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN KESEHATAN DALAM HAL TERJADI MALPRAKTEK Oleh: Elyani Staf Pengajar Fakultas Hukum UNPAB Medan ABSTRAK Kesehatan merupakan hal yang harus dijaga oleh setiap manusia, karena

Lebih terperinci

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Oleh: Firya Oktaviarni 1 ABSTRAK Pembiayaan konsumen merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan salah satu kebutuhan vital bagi makhluk hidup di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan salah satu kebutuhan vital bagi makhluk hidup di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan salah satu kebutuhan vital bagi makhluk hidup di samping udara, tanah dan cahaya. Makhluk hidup khususnya manusia tidak akan mampu bertahan tanpa

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia Penyelenggaraan jasa multimedia adalah penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN

PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PELALAWAN, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baru dari rokok yang disebut rokok elektrik atau nama lainnya adalah vapor yang

BAB I PENDAHULUAN. baru dari rokok yang disebut rokok elektrik atau nama lainnya adalah vapor yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, terutama di Kota Yogyakarta rokok bukan lagi berupa benda asing untuk dikonsumsi, melainkan telah menjadi suatu kebiasaan masyarakat untuk mengkonsumsinya.

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN TELEKOMUNIKASI

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN TELEKOMUNIKASI BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN TELEKOMUNIKASI A. Ketentuan Hukum Mengenai Perlindungan Konsumen Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia, mengamanatkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan

Lebih terperinci