BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi sungai, danau dan penyeberangan merupakan tiga jenis angkutan yang mempunyai banyak persamaan. Ketiga jenis angkutan tersebut merupakan angkutan perairan, yang memerlukan sarana dan prasarana yang sama, seperti kapal dan dermaga. Walupun ketiganya banyak mempunyai persamaan, namun ketiganya tidak membentuk suatu jaringan. Masing-masing jenis angkutan tersebut merupakan angkutan tersendiri atau justru merupakan bagian dari jaringan transportasi yang lain. Angkutan penyeberangan pada umumnya merupakan bagian dari sistem jaringan jalan atau jalan kereta api. Angkutan sungai merupakan angkutan dari dan ke pedalaman dengan terminal di pantai/pelabuhan. Sedangkan, angkutan danau pada umumnya merupakan angkutan lokal yang menghubungkan satu pantai dengan pantai yang lain dari danau yang bersangkutan. Penyelenggaraan transportasi sungai, danau dan penyeberangan terkait dengan prasarana transportasi baik dalam pengoperasian, wilayah kerja (DLKr/DLKp), pembangunan fasilitas laut maupun fasilitas darat serta kenavigasian masih terkait dengan perhubungan laut. Terkait hal di atas dinilai masih terjadi tarik menarik kewenangan dan wilayah operasi antara transportasi laut, pemerintah daerah dan PT. ASDP Indonesia Ferry. Meskipun domain regulasi keselamatan pelayaran menjadi tanggung jawab Ditjen Perhubungan Laut, namun mengingat adanya kewenangan dan tanggung jawab yang berbeda dalam penyelenggaraan angkutan SDP, maka diperlukan adanya standar untuk prasarana transportasi SDP dengan memperhatikan karakteristik perairan dan tidak terlepas mengacu pada Undang-Undang, Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Menteri Perhubungan terkait dengan penyelenggaran angkutan SDP agar pelayanan terhadap keamanan, keselamatan dan kenyamanan pada transportasi publik menjadi perhatian bersama secara serius. 1-1

2 Sehubungan dengan permasalahan dan ketentuan di atas, maka dipandang perlu dilakukan studi penyusunan konsep standar di bidang prasarana transportasi sungai, danau dan penyeberangan untuk mewujudkan transportasi sungai, danau dan penyeberangan yang efektif, efisien, aman, cepat, lancar, tertib, teratur dan nyaman dengan standar prasarana yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. B. Rumusan Masalah Pelabuhan merupakan bagian dari sistem transportasi yang salah satunya dibutuhkan untuk melayani kegiatan bongkar muat barang dan penumpang. Agar proses kegiatan tersebut dapat berjalan dengan aman, nyaman dan lancar maka diperlukan prasarana yang memadai. Persoalan transportasi sungai, danau dan penyeberangan terkait dengan prasarana yang sering dijumpai adalah prasarana yang tersedia kurang memadai atau tidak memenuhi standar teknis maupun operasional yang benar sehingga timbul kendala dalam pengoperasiannya. Sehubungan dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka perlu disusun suatu konsep standar di bidang prasarana transportasi sungai, danau dan penyeberangan mengacu kepada Undang-Undang, Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Menteri Perhubungan serta peraturan dan standar luar negeri yang relevan untuk diterapkan di Indonesia. Selanjutnya standar prasarana ini harus dilaksanakan semua pihak yang terkait, agar dalam penyediaan prasarana transportasi sungai, danau dan penyeberangan baik dalam pembangunan maupun operasinya sesuai dengan standar prasarana yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. C. Maksud dan Tujuan Studi Maksud kegiatan studi adalah mengevaluasi konsep penyusunan standar di bidang prasarana transportasi sungai, danau dan penyeberangan. Sedangkan tujuan studi adalah untuk mendapatkan tingkat efisiensi dan efektifitas serta keselamatan pelayanan operasional di bidang transportasi sungai, danau dan penyeberangan. 1-2

3 D. Manfaat Studi Studi Penyusunan Konsep Standar di Bidang Prasarana Transportasi SDP adalah berupa penyusunan standar prasarana yang dilaksanakan secara efektif dan esisien. Dengan dilaksanakannya studi ini yang nantinya harus dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait, diharapkan dapat terwujudnya transportasi sungai, danau dan penyebrangan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien dengan standar prasarana yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan. E. Ruang Lingkup Studi Studi Penyusunan Konsep Standar di Bidang Prasarana Transportasi Sungai, Danau dan Penyeberangan adalah penyusunan standar prasarana yang dilaksanakan secara efektif dan efisien, dengan kegiatan/ruang lingkup studi sebagai berikut: 1) Inventarisasi kegiatan-kegiatan bidang transportasi SDP; 2) Inventarisasi dan evaluasi kebijakan di bidang prasarana transportasi SDP; 3) Inventarisasi kebutuhan standar di bidang prasarana transportasi SDP; 4) Menyusun rancangan 10 (sepuluh) naskah akademik konsep standardisasi di bidang prasarana transportasi SDP, yang meliputi: a) Standar fasilitas sandar dan tambat untuk angkutan sungai dan danau; yaitu bollard dan fender. b) Standar fasilitas sandar dan tambat untuk angkutan penyeberangan; yaitu bollard dan fender c) Standar perawatan fasilitas dermaga angkutan sungai dan danau; yaitu dermaga, fender dan bollard d) Standar perawatan fasilitas dermaga angkutan penyeberangan; yaitu dermaga, fender dan bollard e) Standar prasarana pengamanan pelabuhan penyeberangan; yaitu breakwater dan groin f) Standar kolam pelabuhan angkutan penyeberangan; yaitu dimensi dan kedalaman untuk kapal yang beroperasi 1-3

4 g) Standar fasilitas bongkar muat untuk angkutan sungai dan danau; yaitu plengsengan, ponton dan movable bridge h) Standar fasilitas bongkar muat untuk angkutan penyeberangan; yaitu plengsengan, ponton dan movable bridge i) Standar fasilitas alur pelayaran angkutan sungai dan danau; yaitu lebar, kedalaman dan air draft (ruang bebas udara) j) Standar fasilitas alur pelayaran angkutan penyeberangan; yaitu lebar, kedalaman dan air draft (ruang bebas udara) 5) Pengumpulan data pada kegiatan ini dilakukan di Medan, Palembang, Palangkaraya dan Merak. 1-4

5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Pikir Studi Penyelenggaraan transportasi sungai, danau dan penyeberangan terkait dengan operasi, pembangunan dermaga serta perambuan dan navigasi masih terkait dengan perhubungan laut, sehingga dinilai masih terjadi tarik menarik kewenangan dan wilayah operasi antara transportasi laut, pemerintah daerah dan PT. ASDP Indonesia Ferry (Persero). Selama ini tugas pokok dan fungsi Direktorat LLASDP Direktorat Jenderal Perhubungan Darat tidak hanya membina kapal pada penyeberangan jarak dekat, akan tetapi juga jarak jauh. Terkait domain regulasi keselamatan pelayaran menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Dengan adanya kewenangan dan tanggung jawab yang berbeda dalam penyelenggaran angkutan SDP, maka perlu adanya standar prasarana transportasi SDP agar pelayanan transportasi terkait keselamatan, keamanan dan kenyamanan terhadap masyarakat lebih terjamin dan menjadi perhatian semua pihak yang terkait. Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka dipandang perlu untuk dilaksanakan Penyusunan Konsep Standar di Bidang Prasarana Transportasi SDP untuk mewujudkan transportasi sungai, danau dan penyeberangan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien dengan standar prasarana yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penyusunan konsep standar di bidang prasarana transportasi SDP ini, dasar hukum yang digunakan sebagai acauan yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas PP Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan; 2-1

6 5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan; 7. International Maritime Organization (IMO); 8. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 53 Tahun 2002 tentang Tatanan Kepelabuhanan Nasional; 9. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 73 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sungai Dan Danau; 10. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 32 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Angkutan Penyeberangan; 11. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 52 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Penyeberangan; 12. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 81 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun lingkup kegiatan yang dilaksanakan dalam studi ini meliputi: 1. Inventarisasi kegiatan-kegiatan bidang transportasi SDP; 2. Inventarisasi dan evaluasi kebijakan di bidang prasarana transportasi SDP; 3. Inventarisasi kebutuhan standar di bidang prasarana transportasi SDP; 4. Menyusun rancangan 10 (sepuluh) naskah akademik konsep standardisasi di bidang prasarana transportasi SDP, yang meliputi: a. Standar fasilitas sandar dan tambat untuk angkutan sungai dan danau, meliputi standar untuk fender dan bollard; b. Standar fasilitas sandar dan tambat untuk angkutan penyeberangan, meliputi standar untuk fender dan bollard; c. Standar perawatan fasilitas dermaga angkutan sungai dan danau, meliputi standar untuk perawatan dermaga, fender dan bollard; d. Standar perawatan fasilitas dermaga angkutan penyeberangan; meliputi standar untuk perawatan dermaga, fender dan bollard; e. Standar prasarana pengamanan pelabuhan penyeberangan; meliputi standar untuk konstruksi breakwater dan groin; f. Standar kolam pelabuhan angkutan penyeberangan; meliputi standar terhadap dimensi dan kedalaman kolam untuk kapal yang beroperasi; 2-2

7 g. Standar fasilitas bongkar muat untuk angkutan sungai dan danau; meliputi standar untuk konstruksi plengsengan, ponton dan movable bridge; h. Standar fasilitas bongkar muat untuk angkutan penyeberangan; meliputi standar untuk konstruksi plengsengan, ponton dan movable bridge; i. Standar fasilitas alur pelayaran angkutan sungai dan danau; meliputi standar terhadap lebar alur, kedalaman alur dan air draft (ruang bebas) untuk kapal yang beroperasi; j. Standar fasilitas alur pelayaran angkutan penyeberangan; meliputi standar terhadap lebar alur, kedalaman alur dan air draft (ruang bebas) untuk kapal yang beroperasi; 5. Pengumpulan data untuk kegiatan ini dilakukan di Merak, Palembang, Medan dan Palangkaraya. Adapun indikator keluaran dari studi ini sebagaimana tertuang dalam kerangka acuan kerja adalah satu paket laporan, dengan keluaran berupa 4 (empat) laporan studi yang terdiri dari Laporan Pendahuluan, Laporan Antara, Rancangan Laporan Akhir dan Laporan Akhir. Laporan akhir terdiri dari laporan studi penyusunan konsep standar di bidang prasarana transportasi dan 10 (sepuluh) naskah akademik konsep standardisasi di bidang prasarana transportasi SDP. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disusun suatu diagram kerangka pikir studi sebagaimana dalam Gambar 2.1 berikut. 2-3

8 PERMASALAHAN diperlukan standar yang baku dibidang prasarana transportasi SDP ACUAN 1) UU No. 17 Tahun ) UU No. 34 Tahun ) PP No. 102 Tahun ) PP No. 20 Tahun ) PP No. 61 Tahun ) IMO 7) KM. 53 Tahun ) KM. 73 Tahun ) KM. 32 Tahun ) KM. 52 Tahun ) PM. 81 Tahun 2011 KEGIATAN 1) Inventarisasi kegiatan-kegiatan bidang transportasi SDP; 2) Menginventarisir dan mengevaluasi kebijakan di bidang prasarana transportasi SDP. 3) Melakukan inventarisasi kebutuhan standar di bidang prasarana transportasi SDP. 4) Melakukan Benchmarking / studi literatur / studi banding tentang prasarana Sungai, Danau dan Penyeberangan negara lain. 5) Menyusun rancangan 10 naskah akademik konsep standar di bidang prasarana transportasi SDP KELUARAN 10 (sepuluh) rancangan naskah akademis konsep standar di bidang prasarana transportasi SDP HASIL mendapatkan tingkat efektivitas dan keselamatan pelayanan operasional di bidang transportasi sungai, danau dan penyeberangan Gambar 2.1. Kerangka pikir studi B. Pengertian dan Ketentuan Umum Beberapa pengertian dan ketentuan umum dalam penyusunan konsep standar prasarana transportasi sungai, danau dan penyeberangan yaitu: 1) Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metoda yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang 2-4

9 terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselematan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan lingkungan hidup dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-sebesarnya. 2) Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak. 3) Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional. 4) Angkutan Sungai dan Danau adalah kegiatan angkutan dengan menggunakan kapal yang dilakukan di sungai, danau, waduk, rawa, anjir, kanal, dan terusan untuk mengangkut penumpang, barang dan/atau hewan yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan sungai dan danau. 5) Angkutan penyeberangan adalah angkutan yang dilakukan untuk melayani lintas penyeberangan yang berfungsi sebagai jembatan bergerak yang menghubungkan jaringan jalan atau jaringan jalur kereta api yang terputus karena adanya perairan, dan mengangkut penumpang dan kendaraan berserta muatannya. 6) Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi. 7) Kepelabuhanan meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan berlayar, tempat perpindahan intra dan/atau antar moda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah. 2-5

10 8) Pelabuhan Laut adalah pelabuhan yang dapat digunakan untuk melayani kegiatan angkutan laut dan/atau angkutan penyeberangan yang terletak di laut atau di sungai. 9) Pelabuhan Sungai dan Danau adalah pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan sungai dan danau yang terletak di sungai dan danau. 10) Pelabuhan Penyeberangan adalah pelabuhan umum untuk kegiatan angkutan penyeberangan. 11) Terminal adalah fasilitas pelabuhan yang terdiri atas kolam sandar dan tempat kapal bersandar atau tambat, tempat penumpukan, tempat menunggu dan naik turun penumpang, dan/atau tempat bongkar muat barang. 12) Kolam Pelabuhan adalah perairan di depan dermaga yang digunakan untuk kepentingan operasional sandar dan olah gerak kapal. 13) Kolam Sandar adalah perairan yang merupakan bagian dari kolam pelabuhan yang digunakan untuk kepentingan operasional menyandarkan/menambatkan kapal di dermaga. 14) Alur Pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar, dan bebas hambatan pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari. C. Fasilitas Pelabuhan Sungai, Danau dan Penyeberangan Prasarana transportasi sungai, danau dan penyeberangan merupakan fasilitas pelabuhan yang diperuntukan bagi sarana angkutan sungai, danau dan penyeberangan agar dapat memenuhi fungsinya. Pelabuhan yang melayani kegiatan angkutan sungai dan danau disebut pelabuhan sungai dan danau, sedangkan pelabuhan yang melayani kegiatan angkutan penyeberangan disebut pelabuhan penyeberangan (pasal 6 KM 53 Tahun 2002). Peran, fungsi dan jenis pelabuhan sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan disebutkan bahwa: 1) Pelabuhan memiliki peran sebagai: a. Simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hierarkinya; b. Pintu gerbang kegiatan perekonomian; c. Tempat kegiatan alih moda transportasi; 2-6

11 d. Penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan; e. Tempat distribusi, produksi, dan konsolidasi muatan atau barang; dan f. Mewujudkan Wawasan Nusantara dan kedaulatan negara. 2) Pelabuhan berfungsi sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan pengusahaan. 3) Jenis pelabuhan terdiri atas: a. Pelabuhan Laut yang digunakan untuk melayani angkutan laut dan/atau angkutan penyeberangan. b. Pelabuhan Sungai dan Danau. Sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 53 Tahun 2002 Pasal 20 disebutkan bahwa untuk kepentingan penyelenggaraan pelabuhan sungai, danau dan penyeberangan ditetapkan kalsifikasi pelabuhan. Klasifikasi pelabuhan sungai, danau dan penyeberangan, ditetapkan dengan memperhatikan: a. Fasilitas pelabuhan yang terdiri dari fasilitas pokok dan fasilitas penunjang; b. Volume operasional pelabuhan; c. Peran dan fungsi pelabuhan. Fasilitas pelabuhan yang terdiri dari fasilitas pokok dan fasilitas penunjang sebagaimana tersebut di atas meliputi: Fasilitas Pokok : a. Perairan tempat labuh termasuk alur pelayaran; b. Kolam pelabuhan; c. Fasilitas sandar kapal; d. Penimbangan muatan; e. Terminal penumpang; f. Akses penumpang dan barang ke dermaga; g. Perkantoran untuk kegiatan perkantoran pemerintahan dan pelayanan jasa; h. Fasilitas penyimpanan bahan bakar (Bunker); i. Instalasi air, listrik dan komunikasi; j. Akses jalan dan atau rel kereta api; k. Fasilitas pemadam kebakaran; l. Tempat tunggu kendaran bermotor sebelum naik ke kapal. 2-7

12 Fasilitas penunjang: a. Kawasan perkantoran untuk menunjang kelancaran pelayanan jasa kepelabuhanan; b. Tempat penampungan limbah; c. Fasilitas usaha yang menunjang kegiatan pelabuhan; d. Area pengembangan pelabuhan. Lebih lanjut dalam Pasal 22 KM Nomor 53 tahun 2002 disebutkan bahwa klasifikasi pelabuhan penyeberangan dibagi dalam 3 (tiga) kelas, yaitu: a. Pelabuhan Penyeberangan Kelas I, dengan kriteria: 1. Volume angkutan: a. Penumpang > 2000 orang/hari; b. Kendaraan > 500 unit/hari; 2. Frekuensi > 12 trip/hari; 3. Dermaga > 1000 GRT; 4. Waktu operasi > 12 jam/hari; 5. Fasilitas pokok sekurang-kurangnya meliputi: a. Perairan tempat labuh termasuk alur pelayaran; b. Kolam pelabuhan; c. Fasilitas sandar kapal; d. Fasilitas penimbangan muatan; e. Terminal penumpang; f. Akses penumpang dan barang ke dermaga; g. Perkantoran untuk kegiatan perkantoran pemerintahan dan pelayanan jasa; h. Fasilitas penyimpanan bahan bakar (bunker); i. Instalasi air, listrik dan komunikasi; j. Akses jalan dan/atau rel kereta api; k. Fasilitas pemadam kebakaran; l. Tempat tunggu kendaraan bermotor sebelum naik ke kapal. b. Pelabuhan Penyeberangan Kelas II, dengan kriteria: 1. Volume angkutan: a. Penumpang: orang/hari; 2-8

13 b. Kendaraan: unit/hari; 2. Frekuensi: 6-12 trip/hari; 3. Dermaga: GRT; 4. Waktu operasi: 6-12 jam/hari; 5. Fasilitas pokok sekurang-kurangnya meliputi: a. Perairan tempat labuh termasuk alur pelayaran; b. Kolam pelabuhan; c. Fasilitas sandar kapal; d. Fasilitas penimbangan muatan; e. Terminal penumpang; f. Akses penumpang dan barang ke dermaga; g. Perkantoran untuk kegiatan perkantoran pemerintahan dan pelayanan jasa; h. Fasilitas penyimpanan bahan bakar (bunker); c. Pelabuhan Penyeberangan Kelas III, dengan kriteria: 1. Volume angkutan: a. Penumpang: < 1000 orang/hari; b. Kendaraan: < 250 unit/hari; 2. Frekuensi: < 6 trip/hari; 3. Dermaga: < 500 GRT; 4. Waktu operasi: < 6 jam/hari; 5. Fasilitas pokok sekurang-kurangnya meliputi: a. Perairan tempat labuh termasuk alur pelayaran; b. Kolam pelabuhan; c. Fasilitas sandar kapal; d. Fasilitas penimbangan muatan; e. Terminal penumpang; f. Akses penumpang dan barang ke dermaga; g. Perkantoran untuk kegiatan perkantoran pemerintahan dan pelayanan jasa; Setiap pelabuhan wajib memiliki Rencana Induk Pelabuhan (UU No. 17 Tahun 2008 dan PP No. 61 Tahun 2009). Rencana Induk Pelabuhan adalah pengaturan 2-9

14 ruang pelabuhan berupa peruntukan tata guna tanah dan perairan di Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan. Rencana Induk Pelabuhan meliputi rencana peruntukan wilayah daratan dan perairan yang disusun berdasarkan kriteria kebutuhan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam PP No. 61 Tahun 2009 pasal 24 s.d pasal 27 dan KM 52 Tahun 2004 pasal 6, sebagai berikut: (1) Rencana peruntukan wilayah daratan untuk Rencana Induk Pelabuhan sungai dan danau disusun berdasarkan kriteria kebutuhan: a. Fasilitas Pokok, yang meliputi: 1) dermaga; 2) lapangan penumpukan; 3) terminal penumpang; 4) fasilitas penampungan dan pengolahan limbah; 5) fasilitas bunker; 6) fasilitas pemadam kebakaran; dan 7) fasilitas penanganan Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3). b. Fasilitas Penunjang, yang meliputi: 1) perkantoran; 2) fasilitas pos dan telekomunikasi; 3) fasilitas pariwisata; 4) nstalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi; 5) jaringan jalan dan rel kereta api; 6) jaringan air limbah, drainase, dan sampah; 7) areal pengembangan pelabuhan; 8) tempat tunggu kendaraan bermotor; 9) kawasan perdagangan; 10) kawasan industri; dan 11) fasilitas umum lainnya. (2) Rencana peruntukan wilayah perairan untuk Rencana Induk Pelabuhan sungai dan danau disusun berdasarkan kriteria kebutuhan: a. Fasilitas Pokok, yang meliputi: 1) alur-pelayaran; 2-10

15 2) areal tempat labuh; 3) areal untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal; 4) areal untuk kapal yang mengangkut Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3); dan 5) areal untuk kapal pemerintah. b. Fasilitas Penunjang, yang meliputi: 1) areal untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang; 2) areal untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal; dan 3) areal untuk keperluan darurat. (3) Rencana Peruntukan Wilayah Daratan untuk Rencana Induk Pelabuhan laut serta Rencana Induk Pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan, disusun berdasarkan kriteria kebutuhan: a. Fasilitas Pokok, yang meliputi: 1) terminal penumpang; 2) penimbangan kendaraan bermuatan (angkutan barang); 3) jalan penumpang keluar/masuk kapal (gang way); 4) perkantoran untuk kegiatan pemerintahan dan pelayanan jasa; 5) fasilitas bunker; 6) instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi; 7) akses jalan dan/atau jalur kereta api; 8) fasilitas pemadam kebakaran; dan 9) tempat tunggu (lapangan parkir) kendaraan bermotor sebelum naik ke kapal. b. Fasilitas Penunjang, yang meliputi: 1) kawasan perkantoran untuk menunjang kelancaran pelayanan jasa kepelabuhanan; 2) tempat penampungan limbah; 3) fasilitas usaha yang menunjang kegiatan pelabuhan penyeberangan; 4) areal pengembangan pelabuhan; dan 5) fasilitas umum lainnya. 2-11

16 (4) Rencana Peruntukan Wilayah Perairan untuk Rencana Induk Pelabuhan laut serta Rencana Induk Pelabuhan sungai dan danau yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan, disusun berdasarkan kriteria kebutuhan: a. Fasilitas Pokok, yang meliputi: 1) alur-pelayaran; 2) fasilitas sandar kapal; 3) perairan tempat labuh; dan 4) kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal. b. Fasilitas Penunjang, yang meliputi: 1) perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang; 2) perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal; 3) perairan tempat uji coba kapal (percobaan berlayar); 4) perairan untuk keperluan darurat; 5) perairan untuk kapal pemerintah. Adapun dasar perhitungan dalam penetapan kebutuhan lahan daratan dan perairan dalam Rencana Induk Pelabuhan Penyeberangan, digunakan formula pendekatan sebagaimana dalam Lampiran II KM 52 Tahun 2004 sebagai berikut: Tabel 2.1. Dasar Perhitungan Kebutuhan Daratan untuk Kegiatan Pelayanan Jasa/Operasional Langsung. NO NAMA AREA FORMULASI PENDEKATAN 1 Areal Gedung Terminal 2 Areal Parkir Kendaraan Penyeberang A = a1+a2+a3+a4+a5 Dimana : A : Luas total gedung areal gedung terminal (m2) a1 : Luas areal ruang tunggu = a*n*n*x*y a2 : Luas ruangan kantin/kios = 15% * a1 a3 : Luas ruangan administrasi = 15% * a1 a4 : Luas ruangan utilitas = 25% * (a1+a2+a3) a5 : Luas ruangan public hall = 10% * (a1+a2+a3+a4) a : Luas yang dibutuhkan untuk satu orang (1,2 m2/org.) n : Jumlah penumpang dalam satu kapal N : Jumlah kapal datang/berangkat pada saat bersamaan x : Rasio Konsentrasi (1,0 1,6) y : Rata-Rata Fluktuasi = 1,2 A = a*n*n*x*y Dimana : A : Luas total areal parkir untuk kendaraan 2-12

17 3 Areal Parkir Kendaraan Antar/Jemput menyeberang a : Luas areal yang dibutuhkan untuk satu kendaraan (m2) n : Jumlah kendaraan dalam satu kapal Truk 8T = 60 m2 Truk 4T = 45 m2 Truk 2T = 25 m2 Kendaraan Penumpang = 25 m2 N : Jumlah kapal datang/berangkat pada saat bersamaan x : Rata-Rata Pemanfatan (1,0) y : Rasio Konsentrasi (1,0 1,6) A = a*n1*n*x*y*z*1/n2 Dimana : A : Luas total areal parkir untuk kendaraan antar/jemput a : Luas areal yang dibutuhkan untuk satu kendaraan (m2) n1 : Jumlah penumpang dalam satu kapal n2 : Jumlah penumpang tiap kendaraan (rata-rata 8 orang/unit) N : Jumlah kapal datang/berangkat pada saat bersamaan x : Rata-rata pemanfaatan (1,0) y : Ratio konsentrasi (1,0 1,6) z : Rata-rata pemanfaatan kendaraan (1,0 = Seluruh penumpang meninggalkan terminal dengan kendaraan) Kebutuhan areal untuk tempat penampungan BBM dihitung berdasarkan kebutuhan BBM per hari Kebutuhan areal untuk fasilitas Air Bersih dihitung berdasarkan kebutuhan Air Bersih per hari 4 Areal Fasilitas Bahan Bakar 5 Areal Fasilitas Air Bersih 6 Areal Generator Kebutuhan areal untuk Generator didasarkan pada standar kebutuhan ruang untuk fasilitas listrik seluas 150 m2 7 Areal Terminal Angkutan Umum dan Parkir 8 Areal Fasilitas Peribadatan 9 Areal Fasilitas Kesehatan 10 Areal Fasilitas Perdagangan 11 Areal Fasilitas Pos dan Telekomunikasi Kebutuhan areal untuk Terminal Angkutan Umum dan Parkir dihitung berdasarkan daya tampung mobil yang masuk dan berhenti di terminal. Kebutuhan ruang Fasilitas Peribadatan didasarkan pada kebutuhan ruang untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial untuk 250 penduduk pendukung yaitu seluas 60m2 Kebutuhan ruang untuk Fasilitas Kesehatan didasarkan pada kebutuhan ruang untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial untuk 250 penduduk pendukung yaitu seluas 60m2 Kebutuhan ruang untuk Fasilitas Perdagangan didasarkan pada kebutuhan ruang untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial untuk 250 penduduk pendukung yaitu seluas 60m2 Kebutuhan ruang untuk Fasilitas Pos dan Telekomunikasi didasarkan pada kebutuhan ruang untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial untuk 250 penduduk pendukung yaitu seluas 60m2 Sumber : Departemen Perhubungan RI. Lampiran II KM. 52 Tahun

18 Tabel 2.2. Dasar Perhitungan Kebutuhan Lahan Perairan untuk Kegiatan Pelayanan Jasa/Operasional Langsung. NO NAMA AREA FORMULASI PENDEKATAN 1 Panjang Dermaga A 1,3 L A : Panjang dermaga/tempat sandar kapal L : Panjang kapal 2 Areal untuk Sandar A = 1,8 L x 1,5 L Kapal A : Luas perairan tempat sandar untuk 1 (satu) kapal L : Panjang kapal 3 Areal Kolam Putar A = N x x D 2 /4 (dalam hal diperlukan A : Luas Areal Kolam Putar kolam putar) N : Jumlah kolam putar D > 3 L D : Diameter areal kolam putar L : Panjang kapal maksimum 4 Lebar Alur Pelayaran W = 9B + 30 meter W : Lebar alur B : Lebar kapal maksimum 5 Kedalaman Air Kolam Kedalaman Air Kolam Pelabuhan ditentukan dengan Pelabuhan menambahkan minimal sebesar 1,0 m sebagai kelonggaran kedalaman ke beban muatan penuh (full load draft) 6 Areal Tempat Labuh A = N x x R 2 Kapal A : Luas Areal Berlabuh N : Jumlah areal tempat labuh R = L + 6D + 30 meter L : Panjang kapal maksimum yang berlabuh R : Jari-jari areal untuk berlabuh per kapal D : Kedalaman air 7 Areal Keperluan Keadaan Darurat Faktor yang perlu diperhatikan adalah Kecelakaan Kapal, Kebakaran Kapal, Kapal Kandas dan lain-lain. Areal salvage diperkirakan luasnya 50% dari luas areal pindah labuh kapal Faktor yang perlu diperhatikan adalah ukuran kapal rencana. Faktor yang perlu diperhatikan adalah ukuran kapal maksimum yang dibangun atau diperbaiki 8 Areal Percobaan Berlayar 9 Areal Fasilitas Pembangunan dan Pemeliharaan Kapal Sumber : Departemen Perhubungan RI. Lampiran II KM. 52 Tahun D. Pembangunan dan Pengembangan Pelabuhan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, disebutkan bahwa pembangunan pelabuhan hanya dapat dilakukan berdasarkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional dan Rencana Induk Pelabuhan. 2-14

19 Pembangunan pelabuhan sungai dan danau oleh penyelenggara pelabuhan dilakukan setelah diperolehnya ijin yang diajukan oleh penyelenggara pelabuhan kepada bupati/walikota. Pengajuan ijin tersebut harus memenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan dan kelestarian lingkungan. Persyaratan teknis kepelabuhanan yang harus dipenuhi dalam pengajuan ijin tersebut di atas meliputi: 1. Studi kelayakan, paling sedikit memuat: a. kelayakan teknis; dan b. kelayakan ekonomis dan finansial. 2. Desain teknis, paling sedikit memuat: a. kondisi tanah; b. konstruksi; c. kondisi hidrooceanografi; d. topografi; dan e. penempatan dan konstruksi Sarana Bantu Navigasi Pelayaran, alur pelayaran, dan kolam pelabuhan serta tata letak dan kapasitas peralatan di pelabuhan. Sedangkan persyaratan kelestarian lingkungan berupa studi lingkungan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 52 Tahun 2004 tentang Penyelenggaran Pelabuhan Penyeberangan, disebutkan bahwa: 1) Pembangunan pelabuhan penyeberangan dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan: a. studi kelayakan yang sekurang-kurangnya memuat : 1) kelayakan ekonomis dan finansial; 2) kelayakan teknis yang meliputi : a). hasil survey pelabuhan mengenai kondisi hidrooceanografi, topografi, bathimetri, geografi dan kondisi geoteknik; 2-15

20 b). hasil studi keselamatan pelayaran mengenai rencana penempatan sarana bantu navigasi pelayaran, alur pelayaran, dan kolam pelabuhan. 3) analisis mengenai dampak lingkungan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang. b. bukti penguasaan hak atas tanah dan perairan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. memiliki persetujuan penetapan lokasi pelabuhan penyeberangan; d. memiliki rencana induk pelabuhan penyeberangan yang telah ditetapkan; e. disain teknis pelabuhan penyeberangan yang telah disetujui oleh Direktur Jenderal; f. keputusan penetapan lintas penyeberangan. (2) Untuk melakukan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penyelenggara pelabuhan penyeberangan mengajukan permohonan kepada : a. Direktur Jenderal untuk pelabuhan penyeberangan lintas propinsi dan antar negara; b. Gubernur untuk pelabuhan penyeberangan lintas kabupaten/kota; c. Bupati/Walikota untuk pelabuhan penyeberangan lintas dalam kabupaten/kota. (3) Keputusan pelaksanaan pembangunan pelabuhan penyeberangan ditetapkan oleh : a. Direktur Jenderal untuk pelabuhan penyeberangan lintas propinsi dan antar negara; b. Gubernur untuk pelabuhan penyeberangan lintas kabupaten/kota; c. Bupati/Walikota untuk pelabuhan penyeberangan lintas dalam kabupaten/kota. (4) Penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat -lambatnya 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. (5) Penolakan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) disampaikan secara tertulis dengan disertai alasan penolakan. 2-16

21 (6) Bentuk permohonan dan penolakan/persetujuan pembangunan pelabuhan penyeberangan sebagaimana contoh 7, contoh 8 dan contoh 9 pada Lampiran III Keputusan ini. Pengembangan dan/atau penambahan fasilitas pelabuhan penyeberangan dilakukan untuk : a. Memenuhi kebutuhan pelayanan jasa angkutan penyeberangan yang akan datang; b. Meningkatkan kapasitas pelayanan jasa angkutan penyeberangan sesuai kebutuhan. Pengembangan dan/atau penambahan fasilitas pelabuhan penyeberangan sebagaimana tersebut di atas dilaksanakan dengan mempertimbangkan : a. Kapasitas pelayanan jasa angkutan penyeberangan yang dibutuhkan; b. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian pembangunan pengembangan pelabuhan penyeberangan. Pengembangan dan/atau penambahan fasilitas pelabuhan penyeberangan harus memenuhi persyaratan : a. Sesuai dengan rencana induk pelabuhan penyeberangan; b. Mendapat persetujuan dari pejabat yang menetapkan keputusan pelaksanaan pembangunan pelabuhan penyeberangan sesuai kewenangannya. E. Operasional Fasilitas Pelabuhan Sungai, Danau dan Penyeberangan Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa setiap pelabuhan wajib memiliki Rencana Induk Pelabuhan. Sehingga baik dalam penyediaan maupun pemeliharaan fasilitas pelabuhan dilakukan sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan. Hal ini sebagaimana dalam PP No. 61 Tahun 2009 Pasal 63 yaitu: (1) Penyediaan fasilitas pelabuhan pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial dilakukan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan. (2) Penyediaan dan pemeliharaan fasilitas pelabuhan dilakukan sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan. 2-17

22 (3) Dalam penyediaan dan pemeliharaan fasilitas pelabuhan, penerapannya didasarkan pada rencana desain konstruksi untuk fasilitas pokok dan fasilitas penunjang. (4) Fasilitas pelabuhan dirancang sesuai dengan kapasitas kemampuan pelayanan sandar dan tambat di pelabuhan termasuk penggunaan jenis peralatan yang akan digunakan di pelabuhan. Pasal 65 UU No. 20 Tahun 2010 menentukan bahwa penempatan kapal yang akan dioperasikan pada lintas penyeberangan dilakukan dengan mempertimbangkan: 1) adanya kebutuhan angkutan penyeberangan; dan 2) tersedianya fasilitas pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan/terminal penyeberangan. Lebih lanjut dalam Pasal 66 ayat 1 dan ayat 5 UU No. 20 Tahun 2010 disebutkan bahwa: 1) Penempatan kapal yang akan dioperasikan pada setiap lintas penyeberangan harus memenuhi persyaratan: a. spesifikasi teknis lintas b. spesifikasi teknis kapal c. persyaratan pelayanan minimal angkutan penyeberangan d. fasilitas pelabuhan laut yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan atau terminal pelabuhan e. keseimbangan antara penyedia dan pengguna jasa angkutan 2) Fasilitas pelabuhan laut yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan atau terminal penyeberangan, paling sedikit meliputi: a. jumlah dan jenis fasilitas sandar kapal b. kolam pelabuhan c. fasilitas naik turun penumpang dan kendaraan. Demikian halnya dalam KM No. 73 Tahun 2004 pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa setiap kapal yang melayani angkutan sungai dan danau, wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memenuhi persyaratan teknis/kelaikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 2-18

23 b. memiliki fasilitas sesuai dengan spesifikasi teknis prasarana pelabuhan pada trayek yang dilayani; c. memiliki awak kapal sesuai dengan ketentuan persyaratan pengawakan untuk kapal sungai dan danau; d. memiliki fasilitas utama dan atau fasilitas pendukung baik bagi kebutuhan awak kapal maupun penumpang, barang dan atau hewan, sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku; e. mencantumkan identitas perusahaan/pemilik dan nama kapal yang ditempatkan pada bagian kapal yang mudah dibaca dari samping kiri dan kanan kapal; f. Mencantumkan informasi/petunjuk yang diperlukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam pengoperasian pelabuhan, PP No. 61 Tahun 2009 pasal 94 telah mengatur sebagai berikut: (1) Pengoperasian pelabuhan oleh penyelenggara pelabuhan dilakukan setelah diperolehnya izin. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh penyelenggara pelabuhan kepada: a. Menteri untuk pelabuhan utama dan pengumpul; b. gubernur untuk pelabuhan pengumpan regional; dan c. bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan lokal dan pelabuhan sungai dan danau. (3) Pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan: a. pembangunan pelabuhan atau terminal telah selesai dilaksanakan sesuai dengan izin pembangunan pelabuhan; b. keselamatan dan keamanan pelayaran; c. tersedianya fasilitas untuk menjamin kelancaran arus penumpang dan barang; d. memiliki sistem pengelolaan lingkungan; e. tersedianya pelaksana kegiatan kepelabuhanan; f. memiliki sistem dan prosedur pelayanan; dan 2-19

24 g. tersedianya sumber daya manusia di bidang teknis pengoperasian pelabuhan yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat. Demikian halnya dalam KM No. 52 Tahun 2004 Pasal 19 mengenai pengoperasian pelabuhan penyeberangan diatur sebagai berikut: (1) Pengoperasian pelabuhan penyeberangan dilakukan setelah memenuhi persyaratan: a. pembangunan pelabuhan penyeberangan telah selesai dilaksanakan; b. keamanan, ketertiban dan keselamatan pelayaran; c. tersedia fasilitas untuk menjamin kelancaran arus penumpang dan kendaraan beserta muatannya; d. pengelolaan lingkungan; e. tersedia pelaksana kegiatan di pelabuhan penyeberangan; f. memiliki sistem dan prosedur pelayanan pelabuhan penyeberangan; dan g. tersedianya sumber daya manusia di bidang teknis pengoperasian pelabuhan penyeberangan yang memiliki pengetahuan di bidang pelabuhan penyeberangan. (2) Untuk mengoperasikan pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan keputusan pelaksanaan pengoperasian oleh: a. Menteri, untuk pelabuhan penyeberangan lintas provinsi dan antar negara; b. gubernur, untuk pelabuhan penyeberangan lintas kabupaten/kota; c. bupati/walikota, untuk pelabuhan penyeberangan lintas dalam kabupaten/kota. (3) Untuk memperoleh keputusan pelaksanaan pengoperasian, penyelenggara pelabuhan penyeberangan mengajukan permohonan kepada Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya, dengan melampirkan: a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); b. salinan keputusan pelaksanaan pembangunan; c. berita acara selesainya pekerjaan pembangunan. (4) Berdasarkan usulan pemohon sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Direktur Jenderal, Kepala Dinas Provinsi, Kepala Dinas Kabupaten/Kota melakukan 2-20

25 penelitian pemenuhan persyaratan kelayakan operasi pelabuhan penyeberangan yang dituangkan dalam berita acara. (5) Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya, berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja menetapkan diterima atau ditolak permohonan pengoperasian. (6) Bentuk permohonan, penolakan/persetujuan pengoperasian pelabuhan penyeberangan sebagaimana Contoh 10, Contoh 11, Contoh 12 pada Lampiran III Keputusan ini. Selanjutnya untuk penyediaan aksesibilitas transportasi di daerah, maka Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota mengacu pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, sebagaimana dalam Peraturan Menteri Perhubungan PM No. 81 Tahun Berikut disajikan Standar Pelayanan Minimal Sub Sektor Perhubungan Darat Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Sungai, Danau Dan Penyeberangan, khususnya yang berkaitan dengan operasional fasilitas pelabuhan sungai, danau dan penyeberangan. Tabel 2.3 Standar Pelayanan Minimal Sub Sektor Perhubungan Darat Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan NO KEWENANGAN WAJIB KABUPATEN/KOTA JENIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL KETERANGAN 26 Penyelenggaraan Pelabuhan Sungai dan Danau 1. Sertifikasi fasilitas pelabuhan - Dilakukan oleh Menteri Perhubungan atau Pejabat yang ditunjuk - Untuk mendapatkan sertifikasi pelabuhan, Penyelenggara Pelabuhan atau Badan Usaha Pelabuhan Sungai dan Danau melalui Dinas Perhubungan Kabupaten/Kota mengajukan permohonan ke Dinas Perhubungan Provinsi dengan melampirkan As Built Drawing, Technical Spesifications (Persyaratan Teknis) dan Laporan Konsultan Pengawas. - Kepala Dinas Perhubungan Provinsi melakukan penelitian terhadap permohonan sertifikasi tersebut berdasarkan data-data yang diterima dan kemudian melakukan peninjauan lapangan untuk sekaligus dapat dilakukan uji coba operasional - Kepala Dinas Perhubungan mengeluarkan sertifikasi selambat-lambatnya 14 hari setelah permohonan diajukan. Untuk pemberian sertifikasi, penelitian terhadap fasilitas pelabuhan yang harus dilakukan meliputi: a. Fasilitas Sandar. 2-21

26 2. Penyiapan kebutuhan administrasi 3. Penyiapan kebutuhan SDM 1. Untuk pelabuhan sungai dan danau yang dilengkapi movable bridge, komponenkomponen yang diteliti adalah: - fender - frontal frame - dinding dermaga - mooring dolphin - catwalk - breasting dolphin - trestle - causeway - bolder - movable bridge - gangway (jika ada) - boarding bridge (jika ada) - elevated side ramp (jika ada) 2. Untuk pelabuhan sungai dan danau yang menggunakan ponton, terdiri dari: - ponton - jembatan penghubung ke ponton - dinding dermaga - mooring dolphin - catwalk - breasting dolphin - trestle - bolder - fender - frontal frame, - dsb. 3. Untuk pelabuhan sungai dan danau yang menggunakan plengsengan, terdiri dari: - plengsengan - dinding dermaga - mooring dolphin - catwalk - breasting dolphin - trestle - fender - frontal frame - bolder, dsb. b. Areal Parkir. c. Gedung Administrasi/Terminal Penumpang d. Jalan Akses. Semua fasilitas yang ada sebagaimana disebutkan di atas harus diteliti/diperiksa sesuai spesifikasi teknis yang ditetapkan pada saat pembangunan. - Melakukan inventarisasi terhadap kebutuhan administrasi serta menyusun program pengadaannya guna mendukung: administrasi kepegawaian, administrasi keuangan, pelaporan dsb. - Kebutuhan administrasi meliputi: alat tulis kantor mesin ketik mesin hitung tiket komputer, dsb. - Pengadaan barang yang dibutuhkan harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan. - Melakukan inventarisasi terhadap kebutuhan SDM, baik untuk petugas kantor maupun petugas lapangan. - Untuk petugas kantor minimal mempunyai latar belakang pendidikan SMA atau lainnya yang sederajat. - Untuk petugas lapangan, seperti: Kepala Divisi Teknik (minimal D3 LLASDP) Kepala Divisi Operasi (minimal D3 LLASDP) Pengatur lalu lintas di darat dan di kapal, minimal mempunyai latar pendidikan STM atau SMA dan lainnya yang sederajat. 2-22

27 31 Penyelenggaraan Pelabuhan Penyeberangan 4. Penyiapan alat bantu operasional 5. Penyiapan jadwal keberangkatan dan kedatangan kapal 6. Penyiapan program perawatan pemeliharaan dan 7. Pelaksanaan rutin perawatan dan pemeliharaan 8. Evaluasi penyelenggaraan pelabuhan sungai dan danau 9. Sistem informasi manajemen pengelolaan pelabuhan sungai dan danau 1. Sertifikasi fasilitas pelabuhan Operator movable bridge, minimal STM jurusan mesin. - Melakukan inventarisasi terhadap kebutuhan alat bantu operasional serta menyusun program pengadaannya. - Alat bantu operasional meliputi: Papan pengumuman Rambu-rambu Pengeras suara Telepon, radio komunikasi dll. - Menyusun jadwal keberangkatan dan kedatangan kapal yang disesuaikan dengan demand dan supply angkutan serta jarak lintasan dan kecepatan kapal. - Menetapkan waktu bongkar muat. Menyusun rencana kegiatan rutin perawatan dan perawatan harian, mingguan, bulanan dan tahunan terhadap fasilitas pelabuhan yang ada termasuk kebersihan lingkungan dan upaya pemantauan dan pengelolaan lingkungan. Melaksanakan semua kegiatan sesuai rencana kegiatan yang telah disusun. Secara periodik dilakukan evaluasi kinerja pelabuhan sungai dan danau sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali oleh Kabupaten/Kota Secara berkala paling lama setiap 6 (enam) bulan memberikan laporan kinerja pelabuhan yang meliputi: 1) Realisasi angkutan (jumlah kunjungan kapal, tarif, jadwal, penumpang, barang). 2) Kondisi fasilitas dan peralatan. 3) Ratio pendapatan dan pengeluaran. - Dilakukan oleh Menteri Perhubungan atau Pejabat yang ditunjuk - Untuk mendapatkan sertifikasi pelabuhan, Penyelenggara Pelabuhan atau Badan Usaha Pelabuhan Penyeberangan melalui Dinas Perhubungan Kabupaten/Kota mengajukan permohonan ke Dinas Perhubungan Provinsi dengan melampirkan As Built Drawing, Technical Spesifications (Persyaratan Teknis) dan Laporan Konsultan Pengawas. - Kepala Dinas Perhubungan Provinsi melakukan penelitian terhadap permohonan sertifikasi tersebut berdasarkan data-data yang diterima dan kemudian melakukan peninjauan lapangan untuk sekaligus dapat dilakukan uji coba operasional - Kepala Dinas Perhubungan mengeluarkan sertifikasi selambat-lambatnya 14 hari setelah permohonan diajukan. Untuk pemberian sertifikasi, penelitian terhadap fasilitas pelabuhan yang harus dilakukan meliputi: a. Fasilitas Sandar. 1. Untuk pelabuhan penyeberangan yang dilengkapi movable bridge, komponenkomponen yang diteliti adalah: - fender - frontal frame - dinding dermaga - mooring dolphin - catwalk - breasting dolphin - trestle - causeway - bolder - movable bridge - gangway (jika ada) 2-23

28 2. Penyiapan kebutuhan administrasi 3. Penyiapan kebutuhan SDM 4. Penyiapan alat bantu operasional 5. Penyiapan jadwal keberangkatan - boarding bridge (jika ada) - elevated side ramp (jika ada) 2. Untuk pelabuhan penyeberangan yang menggunakan ponton, terdiri dari: - ponton - jembatan penghubung ke ponton - dinding dermaga - mooring dolphin - catwalk - breasting dolphin - trestle - bolder - fender - frontal frame - dsb. 3. Untuk pelabuhan penyeberangan yang menggunakan plengsengan, terdiri dari: - plengsengan - dinding dermaga - mooring dolphin - catwalk - breasting dolphin - trestle - fender - frontal frame - bolder - dsb. b. Areal Parkir. c. Gedung Administrasi/Terminal Penumpang d. Jalan Akses. Semua fasilitas yang ada sebagaimana disebutkan di atas harus diteliti/diperiksa sesuai spesifikasi teknis yang ditetapkan pada saat pembangunan. - Melakukan inventarisasi terhadap kebutuhan administrasi serta menyusun program pengadaannya guna mendukung: administrasi kepegawaian, administrasi keuangan, pelaporan dsb. - Kebutuhan administrasi meliputi: alat tulis kantor mesin ketik mesin hitung tiket komputer dsb. - Pengadaan barang yang dibutuhkan harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan. - Melakukan inventarisasi terhadap kebutuhan SDM, baik untuk petugas kantor maupun petugas lapangan. - Untuk petugas kantor minimal mempunyai latar belakang pendidikan SMA atau lainnya yang sederajat. - Untuk petugas lapangan, seperti: Kepala Divisi Teknik (minimal D3 LLASDP) Kepala Divisi Operasi (minimal D3 LLASDP) Pengatur lalu lintas di darat dan di kapal, minimal mempunyai latar pendidikan STM atau SMA dan lainnya yang sederajat. Operator movable bridge, minimal STM jurusan mesin. - Melakukan inventarisasi terhadap kebutuhan alat bantu operasional serta menyusun program pengadaannya. - Alat bantu operasional meliputi: Papan pengumuman Rambu-rambu Pengeras suara Telepon, radio komunikasi dll. - Menyusun jadwal keberangkatan dan kedatangan kapal yang disesuaikan dengan 2-24

29 45 Pembangunan dan pemeliharaan alur perairan daratan 51 Pengoperasian Pelabuhan SDP yang tidak diusahakan yang dan kapal kedatangan 6. Penyiapan program perawatan pemeliharaan dan 7. Pelaksanaan rutin perawatan dan pemeliharaan 8. Evaluasi penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan 9. Sistem informasi manajemen pengelolaan pelabuhan sungai dan danau 1. Menyiapkan studi kelayakan 2. Menyiapkan desain rinci 3. Melaksanakan pembangunan dan pemeliharaan alur perairan daratan 4. Sosialisasi rencana pembangunan dan pemeliharaan alur perairan daratan 1. Jumlah hari kerja untuk pemberian penetapan demand dan supply angkutan serta jarak lintasan dan kecepatan kapal. - Menetapkan waktu bongkar muat. Menyusun rencana kegiatan rutin perawatan dan perawatan harian, mingguan, bulanan dan tahunan terhadap fasilitas pelabuhan yang ada termasuk kebersihan lingkungan dan upaya pemantauan dan pengelolaan lingkungan. Melaksanakan semua kegiatan sesuai rencana kegiatan yang telah disusun. Secara periodik dilakukan evaluasi kinerja pelabuhan penyeberangan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali oleh Kabupaten/Kota Secara berkala paling lama setiap 6 (enam) bulan memberikan laporan kinerja pelabuhan yang meliputi: 1) Realisasi angkutan (jumlah kunjungan kapal, tarif, jadwal, penumpang, barang). 2) Kondisi fasilitas dan peralatan. 3) Ratio pendapatan dan pengeluaran. Studi kelayakan yang harus dilaksanakan meliputi: a. survey hydrografi, bathymetri dan topografi serta penyelidikan tanah. b. survey, identifikasi dan inventarisasi angkutan sungai. c. survey angkutan sungai, meliputi antara lain: asal tujuan, trayek dan jenis sarana. d. analisis sosial ekonomi dan permintaan angkutan sungai e. analisis dan evaluasi kelayakan pembangunan dan pemeliharaan alur. f. kelestarian lingkungan/studi analisis mengenai dampak lingkungan Yang dimaksud dengan alur perairan daratan adalah: sungai, danau, waduk, terusan dan kanal. Desain rinci meliputi: a. penetapan lokasi b. tata letak c. perhitungan konstruksi d. gambar desain e. rencana anggaran biaya f. waktu pelaksanaan Penetapan lokasi dan tata letak diperlukan dalam hal pembangunan alur baru, antara lain: pembangunan terusan baru, pembuatan sudetan, pembangunan lock chamber dll. Pembangunan dan pemeliharaan alur perairan daratan: a. Mempertimbangkan: 1) Rencana UmumTata Ruang (RUTR) 2) Keterpaduan inter dan antar moda transportasi 3) Pertumbuhan ekonomi b. Memenuhi persyaratan teknis: 1) Standar keselamatan 2) Standar sarana dan prasarana 3) Standar Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL) dan Rencana Kegiatan Pemantauan Lingkungan (RKL) 4) Standar teknis pembangunan alur perairan daratan, meliputi: kedalaman alur, lebar alur dan ruang bebas udara. 5) Standar pemeliharaan alur. Sosialisasi pembangunan dan pemeliharaan alur dilaksanakan melalui papan informasi dan brosur/leaflet guna mendapat masukan dari masyarakat. Persyaratan pemberian persetujuan kelayakan operasi Pelabuhan Sungai, Danau dan Penyeberangan yang tidak diusahakan: 2-25

30 melayani lintas dalam Kabupaten/Kota pengoperasian maksimal 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima 2. Evaluasi prosedur operasional pelabuhan dan evaluasi pelayanan jasa Sumber : Departemen Perhubungan RI. PM No. 81 Tahun a. Persaratan Administrasi: 1) Siap Administrasi berarti pelabuhan telah diserahterimakan oleh Pempro kepada Instansi terkait 2) Siap Kerja berarti pelabuhan telah dilengkapi fasilitas kerja administrasi (meja, kursi, ATK, radio komunikasi dan lain-lain) 3) Siap Personil berarti telah siap tenaga operasional (Ka UPT, TU, operasional dan fungsional) sesuai kelas pelabuhan. Pelaksana kegiatan di pelabuhan SDP yang tidak diusahakan sepenuhnya terdiri dari instansi Pemerintah Daerah. 4) Siap Dana berarti telah mempunyai rencana anggaran pembelanjaan operasional pelabuhan b. Persaratan Teknis: 1) Siap Teknis adalah dimana pelabuhan telah melalui uji coba khusus maupun uji joba dalam proses serah terima proyek dan telah sesuai spesifikasi teknis 2) Siap Fasilitas adalah kelengkapan pelabuhan atas fasilitas umum (fender, bollard, movable bridge, lapangan parkir, listrik, rambu, dan lain-lain) 3) Siap Tertib adalah kesiapan pelabuhan dalam program kegiatan, program perawatan dan program keamanan ketertiban. Secara berkala dilakukan evaluasi (tiap bulan) untuk mengetahui tingkat kinerja operasi pelabuhan dan pelayanan jasa di pelabuhan antara lain:: 1. Realisasi angkutan (kendaraan, penumpang, barang) 2. Realisasi pendapatan 3. Evaluasi indikator kinerja pelabuhan F. Prasarana Fasilitas Sandar dan Tambat 1. Prasarana Fasilitas Sandar Fasilitas sandar merupakan salah satu fasilitas pada dermaga yang berfungsi sebagai pelindung dermaga dari benturan kapal saat merapat. Pada proses merapatnya kapal di dermaga, kemungkinan akan terjadi benturan antara kapal dengan dermaga yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada dermaga atau kapal atau bahkan keduanya. Hal ini dikarenakan besarnya energi yang dihasilkan pada saat kapal membentur dermaga, meskipun kecepatan kapal saat merapat rendah. Semakin besar ukuran kapal pada kecepatan merapat yang sama, maka energi yang dihasilkan akan semakin besar. Untuk menghindari kemungkinan kerusakan pada dermaga maupun kapal, maka dermaga dilengkapi dengan fasilitas sandar yang disebut fender untuk menyerap energi tersebut. 2-26

31 a) Tipe fender Fender terdiri dari beberapa tipe, diantaranya yaitu: 1) Fender karet atau dari bahan elastomeric 2) Fender pneumatic 3) Fender pile 4) Fender kayu (timber) Dari beberapa tipe fender sebagaimana tersebut di atas, tipe karet elastomeric dan pneumatic merupakan tipe fender yang paling banyak digunakan. Fender karet diproduksi dalam berbagai bentuk dan ukuran, diantaranya bentuk circular, longitudinal, V dan hollow/cylindrical. V-Shape Cylindrical Shape Circular Shape Longitudinal Shape Gambar 2.2. Fender karet/elastomeric Gambar 2.3. Fender pneumatic Fender harus dipasang dengan kuat menggunakan baut dan angker. Jika diperlukan rantai penggantung, maka rantai penggantung sebaiknya dilengkapi pula dengan turn buckle. Baut, angker maupun rantai fender harus terbuat dari bahan stainless steel atau galvanished untuk mengurangi pengaruh korosi. Perlu diperhatikan jika terdapat bagianbagian fender yang terpasang berada dibawah muka air kaitannya untuk kemudahan dalam pemeliharaan dan penggantian fender. b) Panel dan rangka baja Fender dapat dipasang secara individual maupun secara group membentuk satu kesatuan sistem fender dengan menggunakan panelpanel dan rangka baja. Disamping itu panel dan rangka baja yang 2-27

32 dipasang menyatu pada bagian permukaan fender, berfungsi pula untuk memperluas bidang kontak antara fender dengan lambung kapal dan mendistribusikan gaya reaksi fender ke bidang kontak kapal. Gambar 2.4. Frontal frame pada sistem fender Perencaan panel dan rangka baja fender harus memperhitungkan lentur, geser dan tekuk lokal ( local buckling). Ketebalan minimum panel-panel baja ini berdasarkan rekomendasi PIANC, yaitu: Plat-plat yang terbuka pada kedua sisi permukaan: 12 mm Plat-plat yang salah satu sisi permukaan terbuka: 9 mm 10 mm Elemen-elemen internal (kedua sisi permukaan tertutup): 8 mm Panel dan rangka baja sebaiknya dilapis dengan bahan yang memadai untuk menahan gesekan dengan lambung kapal. Bahan pelapis dapat berupa kayu atau polymer. Dermaga-dermaga penyeberangan di Indonesia pada umumnya menggunakan fender yang dilengkapi pula dengan panel dan rangka baja yang dikenal dengan frontal frame. c) Jarak dan perletakan fender Fender harus dipasang pada interval tertentu agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Beberapa ketentuan maupun formula untuk menentukan jarak maksimum antar fender, diantaranya sebagai berikut. 2-28

33 Gambar 2.5. Jarak interval fender 1) Technical Standards for Port and Harbor Facilities in Japan 2l= 2 r 2 (r h) 2 2l : jarak antar fender (m) r : jari-jari kelengkungan dinding haluan kapal (m) h : tinggi fender (m) atau menggunakan formula: 2l= 2 h (B/2 + L 2 /8B h) 2l : jarak antar fender (m) L : panjang kapal (m) B : lebar kapal (m) h : tinggi fender (m) 2) PIANC Fns = 4 HR H 2 Fns : jarak antar fender (m) R : jari-jari kelengkungan dinding haluan kapal (m) H : tinggi fender (m) 3) British Standard BS 6349: Berdasarkan British Standar, formula untuk menentukan jarak interval fender didasarkan pada panjang kapal dan tipe dermaga. Jarak fender pada standar ini dibagi dalam tiga kategori, masing-masing untuk 2-29

34 Continuous Quays, untuk Island berth dan untuk Lead-in Jetties, dengan jarak yang direkomendasikan sebagai berikut: - Continuous Quays : 0.15L (L: panjang kapal minimum). - Island Berth : 0.3L 0.4L (L: panjang kapal yang akan dilayani). - Lead-in Jetties (termasuk sistem Dolphin) : 0.25 L (L: panjang kapal minimum). Continuous Quays Island Berth Lead-in Jetties Sumber: British Standar BS Fendering and Mooring Gambar 2.6. Jarak interval fender pada beberapa tipe dermaga 2-30

35 Fender dapat dipasang horisontal, vertikal maupun diagonal (miring), bergantung pada beda pasang surut. Jika beda pasang surut rendah (< 2m), fender dapat dipasang horisontal. Jika beda pasang surut tinggi (> 3m), fender dapat dipasang vertikal atau diagonal atau dua fender horisontal. d) Dasar penentuan fender Sistem dan tipe fender direncanakan sedemikian rupa sehingga: Pada saat kapal merapat ke dermaga tidak mengalami kerusakan. Selama kapal ditambatkan, tidak terjadi kerusakan baik pada kapal maupun dermaga. Masa pakai dan masih aman, dapat berlangsung selama mungkin. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam prosedur penentuan fender meliputi: Gaya pada kapal yang tertambat bisa lebih besar dibanding gaya kapal ketika merapat. Kapal ukuran kecil dapat memberikan energi sandar lebih besar dibanding kapal ukuran besar. Fender dengan ukuran lebih besar akan menghasilkan gaya reaksi lebih besar dibanding fender kecil jika penyerapan energi sandar sama. Fender dengan ukuran relatif besar akan seperti dinding padat bagi kapal-kapal kecil. Pengaruh korosi komponen-komponen baja pada fender adalah hal yang rumit. Penentuan sistem dan tipe fender pada umumnya dilakukan melalui prosedur sebagaimana dalam bagan alir berikut: 2-31

36 Karakteristik kapal rencana Layout fender Saat kapal merapat Selama kapal sandar Tentukan displacement kapal, kecepatan sandar, faktor masa virtual dan faktor eksentrisitas Menghitung energi sandar kapal Tentukan posisi dan karakteristik Tentukan kondisi gelombang, angin, arus, dsb Asumsi tipe dan bentuk fender Asumsi tipe dan bentuk fender Menghitung energi absorbsi, gaya reaksi, dan deforrmasi fender Menghitung gerakan kapal, deformasi dan gaya reaksi fender Penentuan Fender Sumber: OCDI Technical Standards and commentaries for Port and Harbor Facilities in Japan e) Penentuan energi sandar kapal Gambar 2.7. Bagan alir penentuan fender Energi sandar kapal yang diserap fender (E) pada umumnya dihitung menggunakan metoda kinetik dengan menambahkan beberapa faktor yaitu eksentrisitas CE, masa hidrodinamis (C M), softness (C S), dan konfigurasi dermaga (CC). Formula untuk menghitung energi sandar kapal yang diserap fender yaitu sebagai berikut: E = ½ MD * (VB) 2 * CM * CE * CS * CC Dimana: E : energi kinetik sandar kapal (kn m) MD : masa kapal (displacement tonnage) (ton) 2-32

37 VB CM CE CS CC : kecepatan saat kapal merapat (m/dt) : koefisien masa hidrodinamis : koefisien eksentrisitas : koefisien fleksibilitas : koefisien konfigurasi dermaga 1) Masa kapal (MD) Masa kapal (MD) atau displacement tonnage adalah masa keseluruhan dari kapal yang besarnya dihitung berdasarkan volume air yang berpindah akibat kapal dalam keadaan muatan penuh dikali densitas air. The Technical Standards And Commentaries For Port And Harbour Facilities In Japan OCDI 2009 memberikan persamaan hubungan antara displacement tonnage (DT) dengan deadweight tonnage (DWT) atau gross tonnage (GT) pada beberapa tipe, yaitu: Kapal barang (general cargo) DT = 1,174 DWT Kapal peti kemas (container) DT = 1,385 DWT Kapal minyak (oil tanker) DT = 1,235 DWT Kapal Ro Ro DT = 1,022 GT Kapal pengangkut kendaraan DT = 0,751 GT Kapal pengangkut bahan LPG DT = 1,400 GT Kapal pengangkut bahan LNG DT = 1,118 GT Kapal penumpang DT = 0,573 GT Kapal ferry jarak pendek DT = 1,279 GT hingga sedang (< 300 km) Kapal ferry jarak jauh ( 300 km) DT = 1,240 GT 2) Kecepatan merapat (VB) Kecepatan merapat (V B) kapal merupakan variabel yang paling berpengaruh dalam perhitungan energi sandar kapal. Kecepatan kapal merapat yang digunakan untuk menghitung energi sandar adalah kecepatan kapal pada saat awal terjadinya kontak antara kapal dengan dermaga pada saat sandar. 2-33

38 Kecepatan merapat kapal tanpa bantuan tugboat sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2.8. Sedangkan kecepatan sandar dengan bantuan tugboat, dalam British Standard sesuai rekomendasi Brolsma et al. ditunjukkan sebagaimana dalam Gambar 2.9. Weather conditions Strong wind and rolling sea Manoeuvring conditions Difficult Ship displacement Strong wind Favourable Moderate wind Moderate Sheltered wind against Sheltered wind against Difficult Favourable V m/sec Sumber: Thoresen, Carl A Port Designer s Handbook: Recomendations And Guidelines. Thomas Telford Ltd. London. Gambar 2.8. Kecepatan sandar kapal tanpa bantuan tugboat Sumber: British Standar BS Fendering And Mooring Gambar 2.9. Kecepatan sandar rencana dengan bantuan tugboat a. Kondisi sandar bagus, terlindung b. Kondisi sandar sulit, terlindung c. Kondisi sandar mudah, terbuka d. Kondisi sandar bagus, terbuka e. Kondisi navigasi sulit, terbuka 2-34

39 3) Koefisien masa hidrodinamis (CM) Koefisien masa hidrodinamis (C M) merupakan koefisien pergerakan air di sekitar kapal yang berpengaruh terhadap gaya sandar saat kapal merapat ke dermaga. Koefisien masa hidrodinamis dapat dihitung menggunakan rumus berikut: C M * D 1 ; dan 2 * CB * B C B MD L * B* D * Dimana: CB MD L B D : koefisien blok : masa kapal atau displacement tonnage (ton) : panjang kapal (m) : lebar kapal (m) : draft kapal (m) : densitas air (untuk air laut sekitar 1,025 t/m 3 ) PIANC mengambil nilai koefisien blok untuk beberapa kapal sebagai berikut: Kapal peti kemas (container) : 0,6 0,8 Kapal barang (general cargo) dan bulk carriers : 0,72 0,85 Kapal tanker : 0,85 Kapal Ferry : 0,55 0,65 Kapal ro ro : 0,7 0,8 4) Koefisien eksentrisitas (CE) Koefisien eksentrisitas (CE) merupakan koefisien reduksi energi yang ditransfer ke fender jika titik bentur kapal tidak berhadapan dengan pusat masa kapal. 2-35

40 Gambar Kondisi kapal merapat Koefisien eksentrisitas dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: K R cos γ Ce, dan K (0,9Cb 0,11) L 2 2 K R Diama : K : radius girasi kapal CB L R : koefisien blok : panjang kapal (m) : jarak dari titik kontak ke pusat masa kapal (m) : sudut antara vektor kecepatan dengan garis yang menghubungkan titik kontak sandar ke pusat masa kapal. Persamaan di atas seringkali disederhanakan dengan mengambil = 90 0, sehingga: Ce 2 K 2 K R 2 5) Koefisien softness (CS) Koefisien softness (CS) ditentukan dari rasio antara elastisitas dan atau fleksibilitas sistem fender dengan lambung kapal atau struktur dermaga. Sebagian energi kinetik pada kapal yang sandar akan terserap akibat deformasi elastis lambung kapal dan atau fleksibilitas struktur dermaga. 2-36

41 Pada fender-fender dan kapal-kapal kecil, nilai koefisien softness (CS) umumnya diambil 1,0. Pada fender dan kapal besar, nilai koefisien softness (CS) diambil antara 0,9 1,0. 6) Koefisien konfigurasi dermaga (CC) Koefisien konfigurasi dermaga (C C) merupakan koefisien yang memperhitungkan bagian energi kapal yang terserap akibat efek air yang terperangkap di antara lambung kapal dan dinding dermaga. Nilai konfigurasi dermaga (C C) tergantung dari tipe konstruksi dermaga dan jarak dari sisi kapal, sudut sandar, bentuk lambung kapal dan clearance kapal dari seabed. Pada dermaga dengan pondasi tiang pancang (jetty), nilai CC diambil 1,0, sedangkan dermaga dengan dinding penahan (quaywall), nilai CC diambil antara 0,8 1,0. 2. Prasarana Fasilitas Tambat Prasarana fasilitas tambat adalah fasilitas yang disediakan di dermaga untuk menambatkan atau mengikat tali kapal, baik pada saat kapal melakukan manuver sandar maupun selama kapal bersandar di dermaga. Fasilitas tambat harus mampu menahan gaya tarik kapal akibat pengaruh angin, arus, gelombang maupun hempasan air dari kapal lain yang lewat. Pada struktur dermaga harus disediakan fasilitas tambatan sedemikian rupa sehingga kapal yang direncanakan sandar di dermaga dapat tertambat dengan aman. Fasilitas tambatan tali kapal yang dipasang di dermaga ini biasa disebut bollard. a) Tipe bollard Bollard pada umumnya terbuat dari besi atau baja tuang atau terbuat dari pipa baja dan beton bertulang didalamnya. Umumnya bollard diklasifikasikan dalam tiga tipe, yaitu bolard tipe pillar, tee head dan sloping lobes. Bollard tipe pillar dan tipe tee head paling banyak digunakan di dermaga SDP. 2-37

42 Sumber: British Standar BS Fendering And Mooring Gambar Tipe bollard b) Jarak interval bollard Bollard dipasang pada jarak interval tertentu dengan memperhatikan pola tambatan tali kapal. Arah tali kapal yang ditambatkan pada bollard terdiri dari bow line, stern line, spring line dan breast line. Bow line dan spring line biasanya diambil sudut dari tepi dermaga. Bollard yang dipasang sebagai mooring post yang ditempatkan jauh dari face line dermaga di sekitar kedua ujung dermaga dapat digunakan untuk tambatan kapal dalam keadaan badai. Bollard yang dipasang di dekat face line dermaga digunakan untuk tambatan kapal selama sandar di dermaga. Gambar Arah tali tambat kapal Bollard yang berfungsi sebagai mooring post yang menahan gaya-gaya eksternal yang bekerja pada arah tegak lurus sumbu kapal biasanya ditempatkan pada posisi sedemikian hingga antara tali tambat kapal membentuk sudut 90 0 terhadap sumbu kapal. Dalam hal bow line dan 2-38

43 stern line yang menahan gerakan surging pada kapal, maka sudut antara tali tambat dengan sumbu kapal dibuat kecil antara Susunan penempatan bollard tersebut diatas diperlihatkan dalam gambar Sumber: OCDI Technical Standards and commentaries for Port and Harbor Facilities in Japan Gambar Susunan posisi mooring post Tabel 2.4 berikut dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan jarak interval maksimum dan jumlah minimum bollard pada tiap dermaga. Tabel 2.4. Jarak interval bollard dan jumlah bollard tiap dermaga Sumber: OCDI Technical Standards And Commentaries For Port And Harbour Facilities In Japan Pada dermaga dolphin (lead in jeties) untuk kapal -kapal jenis Ro Ro, posisi bolard dipasang pada setiap dolphin baik pada breasting dolphin maupun mooring dolphin. Bollard mooring post ditempatkan pada mooring dolphin untuk menambatkan bow line dan stern line. Jarak maksimum interval antar dolphin ditentukan berdasarkan panjang kapal minimum yang direncanakan bersandar, yaitu 0,25 L (L= LoA minimum). Sedangkan mooring dolphin ditempatkan pada sudut antara tali 2-39

44 buritan (bow line) atau hal uan (stern line) terhadap sumbu memanjang kapal dan dengan jarak tertentu dari breasting dolphin. c) Gaya traktif bollard Adapun besarnya gaya traktif pada bollard digunakan nilai sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.6 berikut. Tabel 2.5. Gaya tarik tali kapal pada mooring post dan bollard Sumber: OCDI Technical Standards And Commentaries For Port And Harbour Facilities In Japan. G. Fasilitas Prasarana Bongkar Muat 1. Tipe Prasarana Bongkar Muat Prasarana bongkar muat pada pelabuhan-pelabuhan sungai, danau dan penyeberangan merupakan konstruksi yang berfungsi sebagai media bagi kendaraan dan atau penumpang yang akan masuk kapal maupun keluar dari kapal. Konstruksi ini berfungsi pula sebagai tempat untuk meletakkan pintu rampa kapal. Fasilitas bongkar muat terbagi dalam dua tipe, yaitu tipe fixed (tetap) dan tipe movable (bergerak). Pada tipe movable terdiri dari tipe bergerak secara alami (natural movable) dan bergerak secara mekanis (mechanical movable). Pada umumnya fasilitas bongkar muat di pelabuhan sungai, danau dan penyeberangan berupa konstruksi plengsengan (tipe fixed), ponton (tipe natural movable) maupun movable bridge (tipe mechanical movable). 2-40

45 2. Plengsengan a) Definisi Gambar Fasilitas bongkar muat jenis plengsengan Konstruksi plengsengan merupakan fasilitas bongkar muat tipe fixed (tetap) yaitu suatu perletakan berupa pelat beton di atas permukaan tanah atau di atas tiang pancang. Konstruksi plengsengan dapat berbentuk flat (lurus), namun dengan adanya ketentuan radius minimum lengkungan pada potongan memanjang plengsengan, maka konstruksi plengsengan disarankan berbentuk parabolik. b) Pertimbangan pemilihan tipe prasarana Jenis plengsengan dapat diterapkan jika pasang surut perairan rendah. The British Standar (BS) merekomendasikan bahwa jika pasang surut rendah (sekitar 1,5 m), tipe fixed shore ramps (plengsengan) dapat diterapkan. Untuk beda pasang surut lebih tinggi (> 1,5 m), diterapkan tipe fixed yang dikombinasikan dengan movable atau hanya tipe movable. c) Batas kelandaian Kelandaian maksimum plengsengan diambil berdasarkan studi JICA yang dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1993 yaitu The Development Study on The Nationwide Ferry Service Routes in The Republic of Indonesia - JICA 1993: - Kelandaian maksimum sebesar 12%, jika digunakan hanya untuk kendaraan dengan lebar hingga 1,7 m. 2-41

46 - Kelandaian maksimum sebesar 10%, jika digunakan hanya untuk d) Lebar kendaraan dengan lebar hingga 2,5 m. Lebar plengsengan ditentukan berdasarkan lebar dan posisi pintu rampa kapal rencana maupun kapal yang lebih kecil dari kapal rencana. Mengingat jarak dari tepi lambung kapal ke tepi pintu rampa berbedabeda untuk masing-masing lebar kapal dan untuk memberikan ruang gerak melintang kapal, maka terdapat tambahan lebar plengsengan. Mengadopsi dari studi JICA dalam The Nationwide Ferry Service Routes in The Republic of Indonesia - JICA 1993 untuk movable bridge, maka lebar plengsengan minimum diambil sebagaimana dalam tabel berikut. Tabel 2.6. Lebar Plengsengan Kapal Rencana (GRT) Lebar Plengsengan (min. m) / /300/ /500/ e) Panjang Panjang plengsengan ditentukan dengan mempertimbangkan beda tinggi pasang surut, panjang rampa kapal, freeboard kapal, perubahan draft kapal akibat kondisi muatan, elevasi ujung dan pangkal plengsengan, dan batas kelandaian plengsengan. f) Radius lengkungan Radius lengkungan potongan memanjang plengsengan minimum 15 m. Dengan ketentuan ini maka plengsengan disarankan berbentuk parabolik. 2-42

47 3. Pontoon a) Definisi Gambar Fasilitas bongkar muat jenis ponton Prasarana bongkar muat jenis ponton merupakan prasarana tipe natural movable. Konstruksi ini terdiri dari dua elemen utama yaitu jembatan dan ponton. Ponton akan menggerakkan jembatan naik turun sesuai fluktuasi pasang surut. Kelebihan dari prasarana bongkar muat ini adalah dapat mengantisipasi pengaruh pasang surut yang tinggi. b) Pertimbangan pemilihan tipe prasarana Fasilitas bongkar muat jenis ponton dapat diterapkan dengan pertimbangan sebagai berikut: - Untuk mengantisipisasi pengaruh pasang surut, terutama dengan beda pasang surut yang sangat tinggi (> 3,5 m). - Karakteristik lokasi perairan cukup tenang, kondisi arus tidak kuat dan terlindung dari pengaruh gelombang. c) Batas kelandaian jembatan Persyaratan kelandaian yang perlu dibatasi yaitu terkait untuk elemen konstruksi jembatan. Batas kelandaian maksimum pada konstruksi jembatan ditetapkan berdasarkan studi JICA yang dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1993 yaitu The Development Study on The Nationwide Ferry Service Routes in The Republic of Indonesia - JICA 1993 untuk movable bridge, yaitu sebagai berikut: 2-43

48 - Kelandaian maksimum sebesar 17%, jika digunakan hanya untuk kendaraan dengan lebar hingga 1,7 m. - Kelandaian maksimum sebesar 12%, jika digunakan hanya untuk kendaraan dengan lebar hingga 2,5 m. d) Lebar jembatan Lebar lantai jembatan ditentukan dengan mengacu pada Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya Departemen Pekerjaan Umum, 1987 yaitu lebar lantai jembatan untuk satu jalur minimum 2,75 m dan maksimum 3,75 m. e) Panjang jembatan Panjang jembatan ditentukan dengan mempertimbangkan beda tinggi pasang surut, freeboard kapal, elevasi dek ponton, elevasi pangkal jembatan dan batas kelandaian jembatan. f) Dimensi ponton Ponton harus memiliki luas permukaan dan freeboard yang sesuai dengan pemanfaatannya. Dimensi ponton harus mencukupi agar tetap dalam kondisi stabil akibat gaya-gaya luar yang bekerja pada ponton. g) Gaya-gaya luar yang bekerja pada ponton Gaya-gaya luar yang harus diperhitungkan dalam perencanaan konstruksi ponton yaitu: - Beban statis dan beban hidup. - Gaya-gaya reaksi jembatan. - Tekanan hidrostatis - Berat sendiri ponton berikut aksesorisnya - Berat pengimbang. Dalam hal ini mengingat ponton berada di lokasi yang terlindung dari pengaruh gelombang, maka gaya-gaya akibat gelombang dapat diabaikan. 2-44

49 h) Stabilitas ponton Pada pemeriksaan stabilitas ponton, harus memenuhi persyaratanpersyaratan berikut: 1) Ponton harus memenuhi kondisi stabilitas benda apung dan memiliki freeboard yang dibutuhkan, sekalipun adanya gaya reaksi dari struktur jembatan dan beban penuh pada dek ponton serta terdapat air dalam ponton akibat adanya kebocoran. 2) Meskipun ketika beban penuh bekerja pada satu sisi dek ponton yang terbagi pada sumbu longitudinal serta gaya reaksi jembatan bekerja pada sisi ini, ponton harus memenuhi stabilitas sebagai benda apung dan kemiringan dek ponton maksimum 1:10 dengan freeboard terkecil sama dengan nol atau lebih. 3) Tinggi air yang terakumulasi di dalam ponton akibat kebocoran ponton yang diperhitungkan dalam pemeriksaan stabilitas ponton, diambil 10% dari tinggi ponton. Dalam hal ini freeboard ponton yang dijaga umumnya sekitar 0,5 m. 4) Apabila dibebani dengan beban terdistribusi merata, ponton dianggap stabil jika memenuhi persamaan berikut. w I CG 0 W Dimana: I : momen inersia penampang potongan melintang area yang terendam air terhadap sumbu longitudinal (m4) W : berat ponton dan beban terdistribusi merata (kn) w : berat jenis air (kn/m 3 ) CG: jarak antara pusat gaya angkat ponton ke titik berat ponton Apabila ponton sebagian terisi air akibat kebocoran, ponton dianggap stabil jika memenuhi persamaan berikut. 2-45

50 w (1) i W CG 0 i : momen inersia penampang setiap ruang ponton yang terendam air terhadap pusat sumbu sejajar ke sumbu rotasi ponton (m4) Apabila ponton menerima beban eksentris, maka dianggap stabil jika nilai tan memenuhi persamaan-persamaan berikut. (lihat gambar 2.16). Dimana: W1 : berat ponton (kn) P : gaya eksentris (kn) b : lebar ponton (m) h : tinggi ponton (m) d : draft ponton jika beban P terletak di tengah ponton (m) c : tinggi titik berat ponton dari dasar ponton (m) a : panjang lengan beban P (m) : sudut kemiringan ponton Sumber: OCDI Technical Standards and commentaries for Port and Harbor Facilities in Japan Gambar Stabilitas ponton terhadap beban eksentris 2-46

51 h) Bagian-bagian elemen ponton Elemen-elemen pada konstruksi ponton terdiri dari: 1) Plat lantai (floor slab) 2) Plat dasar (bottom slab) 3) Dinding samping (side walls)., 4) Dinding partisi (partition walls) 5) Balok-balok pendukung (supporting beams) 4. Movable Bridge a) Definisi Gambar Fasilitas bongkar muat jenis movable bridge Movable bridge adalah fasilitas bongkar muat tipe mechanical movable, yaitu berupa jembatan yang dapat bergerak naik turun mengikuti pergerakan pasang surut air laut. Perbedaan antara type movable bridge dengan tipe ponton terletak pada sistem penggeraknya. Pada type ponton, sistem penggerak jembatan adalah ponton itu sendiri, sedangkan pada sistem movable bridge, sistem penggerak jembatan berupa hidrolik atau tackle electric. b) Pertimbangan pemilihan tipe prasarana Fasilitas bongkar muat jenis movable bridge diterapkan dengan pertimbangan sebagai berikut: - Mengantisipisasi pengaruh pasang surut. 2-47

52 - Tingkat occupancy yang tinggi. - Jika beda tinggi pasang surut melebihi 3,5 m sebaiknya tidak menggunakan fasilitas jenis ini, karena akan membutuhkan sistem pengangkat mekanis dengan kapasitas sangat besar untuk mengangkat jembatan yang panjang dan berat. Hal ini menjadikan konstruksi movable bridge kurang ekonomis. c) Batas kelandaian Kelandaian maksimum movable bridge ditetapkan berdasarkan studi JICA, 1993 yaitu The Development Study on The Nationwide Ferry Service Routes in The Republic of Indonesia, sebagai berikut: - Kelandaian maksimum sebesar 17%, jika digunakan hanya untuk kendaraan dengan lebar hingga 1,7 m. - Kelandaian maksimum sebesar 12%, jika digunakan hanya untuk kendaraan dengan lebar hingga 2,5 m. d) Lebar Sama halnya dengan kebutuhan lebar pada plengsengan, lebar movable bridge ditentukan pula berdasarkan lebar dan posisi pintu rampa kapal rencana maupun kapal yang lebih kecil. Dengan memperhatikan jarak dari tepi lambung kapal ke tepi pintu rampa yang berbeda-beda untuk masingmasing lebar kapal dan untuk memberikan ruang gerak melintang kapal, maka terdapat tambahan lebar plengsengan. Mengadopsi dari studi JICA dalam The Nationwide Ferry Service Routes in The Republic of Indonesia - JICA 1993, maka lebar minimum movable bridge diambil sebagaimana dalam tabel berikut. Tabel 2.7. Lebar movable bridge Kapal Rencana (GRT) Lebar Movable Bridge (min. m) / /300/ /500/

53 e) Panjang Panjang movable bridge ditentukan dengan mempertimbangkan beda tinggi pasang surut, panjang rampa kapal, freeboard kapal, perubahan draft kapal akibat kondisi muatan, elevasi ujung dan pangkal movable bridge, dan batas kelandaian movable bridge. H. Prasarana Pelindung Pelabuhan Prasarana pelindung pelabuhan pada umumnya berupa konstruksi breakwater, revetment dan konstruksi groin. Konstruksi breakwater berfungsi sebagai pelindung pelabuhan dari pengaruh gelombang, sedangkan revetment berfungsi sebagai pelindung lereng untuk mencegah erosi dan konstruksi groin berfungsi untuk menahan transpor sedimen. 1. Konstruksi Breakwater a) Definisi Breakwater adalah suatu konstruksi yang dibangun dengan tujuan untuk mengatasi kondisi gelombang tinggi di perairan sekitar pelabuhan, sehingga kapal-kapal yang akan sandar maupun melakukan kegiatan bongkar muat tidak mengalami hambatan. Disamping itu konstruksi breakwater juga berfungsi sebagai pelindung dermaga dari kerusakan akibat gelombang. b) Pertimbangan kebutuhan Breakwater perlu dibangun di suatu pelabuhan dengan pertimbangan sebagai berikut: - Gelombang di areal pelabuhan tersebut telah menghambat bahkan membahayakan operasional kapal baik ketika melakukan manuver sandar maupun melakukan kegiatan bongkar muat. 2-49

54 - Gelombang yang terjadi menimbulkan kerusakan pada fasilitas pelabuhan. - Prosentase kejadian timbulnya gelombang cukup tinggi, sehingga operasional pelabuhan tidak optimal. Pengaruh gelombang terhadap operasional kapal di pelabuhan tergantung pada ukuran kapal, arah gelombang dan perioda gelombang. Pengaruh tinggi gelombang akan semakin berkurang dengan semakin besarnya ukuran kapal, namun demikian perlu dibatasi agar tidak menghambat maupun membahayakan kapal ketika melakukan manuver sandar maupun melakukan kegiatan bongkar muat. Batas tinggi gelombang maksimum pada pelabuhan penyeberangan agar kapal masih memungkinkan melakukan kegitan terutama proses bongkar muat kendaraan, dapat diambil nilai dari Technical Standards And Commentaries For Port And Harbour In Japan OCDI 2009 sebagaimana dalam Tabel 2.8. Tabel 2.8. Batas tinggi gelombang pada beberapa ukuran kapal Catatan: - Kapal ukuran kecil adalah < 500 GRT - Kapal ukuran besar adalah kapal > GRT Sumber: OCDI Technical Standards And Commentaries For Port And Harbour Facilities In Japan. c) Layout breakwater Konstruksi breakwater agar berfungsi sebagaimana mestinya, maka layout breakwater dibuat dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Breakwater harus ditempatkan sedemikian hingga posisi pintu masuk kolam pelabuhan tidak menghadap ke arah datangnya gelombang dominan, sehingga mengurangi masuknya gelombang ke arah kolam. 2-50

55 2) Letak breakwater diatur sedemikian rupa sehingga efektif melindungi pelabuhan dari gelombang dominan maupun gelombang tertinggi. 3) Pintu masuk kolam pelabuhan harus memiliki lebar efektif yang cukup sehingga tidak menghambat lalu lintas pelayaran kapal dan harus memperhatikan arah jalur pelayaran, sehingga memudahkan lalu lintas pelayaran. Pengertian lebar efektif pintu masuk kolam pelabuhan adalah lebar alur masuk pada kedalaman tertentu. 4) Lokasi breakwater harus pada tempat dengan arus pasang surut di sekitar pintu masuk kolam pelabuhan sekecil mungkin, sebaiknya kurang dari 3 knot. Jika kecepatan arus tinggi, maka perlu dilakukan langkah-langkah penanggulangan. 5) Pengaruh gelombang pantul, gelombang Mach-stem dan gelombang yang terkonsentrasi pada jalur pelayaran dan kolam pelabuhan harus kecil. 6) Breakwater harus mencakup perlindungan terhadap kawasan perairan yang diperlukan kapal bersandar, proses bongkar muat dan berlabuh. 7) Oleh karena arah gelombang dominan tidak selalu sama dengan arah gelombang tertinggi, maka dalam pembuatan layout breakwater harus melalui pertimbangan menyeluruh dari berbagai faktor, seperti kondisi kapal, biaya pembangunan, pekerjaan-pekerjaan yang dilaksanakan dan faktor kemudahan dan kesulitan dalam pemeliharaan. 8) Pada pembangunan breakwater, aspek ekonomis harus diperhatikan dengan mempertimbangkan kondisi alam dan kondisi pelaksanaan. 9) Penempatan lokasi breakwater sedemikian hingga tidak mempengaruhi rencana pengembangan pelabuhan dimasa mendatang. d) Pemilihan tipe struktur Beberapa tipe breakwater yaitu tipe gravity, tipe tiang pancang dan tipe apung (floating). Dalam hal ini breakwater tipe apung tidak dibahas, mengingat umumnya pelabuhan-pelabuhan penyeberangan di Indonesia 2-51

56 menggunakan breakwater tipe gravity dan tipe tiang pancang. Breakwater tipe gravity terdiri dari composite breakwater, upright breakwater dan sloping breakwater. Pertimbangan dalam pemilihan tipe struktur breakwater faktor-faktor sebagai berikut: didasarkan 1) Kondisi layout breakwater 2) Kedalaman perairan 3) Kondisi tanah dasar perairan 4) Fungsi pelayanan 5) Tingkat pentingnya kontruksi breakwater 6) Aspek kemudahan pelaksanaan 7) Ketersediaan material 8) Aspek biaya konstruksi 9) Aspek kemudahan pemeliharaan e) Composit breakwater gravity type Bentuk penampang composit breakwater diperlihatkan dalam Gambar 2.18 berikut. a. Tipe caisson b. Tipe cellular concrete block 2-52

57 c. Tipe concrete block Sumber: OCDI Technical Standards And Commentaries For Port And Harbour Facilities In Japan. Gambar Penampang composite breakwater Elevasi puncak struktur pada composit breakwater ditentukan sebesar 0.6 kali tinggi gelombang signifikan (H1/3) di atas muka air tertinggi bulanan rata-rata (HWL). Dalam hal ini, elevasi puncak harus ditentukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti ketenangan kolam pelabuhan dan perlindungan terhadap seluruh fasilitas pelabuhan. Pada breakwater eksisting, elevasi puncak breakwater ditentukan sebagai berikut: 1. Kolam pelabuhan tempat kapal besar berlabuh dengan area perairan di belakang breakwater sangat luas sehingga overtopping sampai batas tertentu diijinkan, tinggi puncak breakwater ditentukan sebesar 0.6 H1/3 di atas muka air tertinggi bulanan rata-rata (HWL) dalam situasi bukan diperlukan untuk memperhitungkan pengaruh gelombang badai. 2. Kolam pelabuhan di sisi belakang breakwater dengan area yang sempit dan digunakan untuk kapal-kapal kecil, maka overtopping gelombang harus sedapat mungkin dicegah. Oleh karenanya tinggi puncak breakwater ditentukan sebesar 1.25 H1/3 tertinggi bulanan rata-rata (HWL). di atas muka air Jika kondisi tanah bersifat lunak dan penurunan ( settlement) dapat diperkirakan, maka tinggi puncak breakwater harus mencakup batas ketinggian akhir. Sedangkan jika kondisi tanah bersifat lunak dan penurunan sangat tinggi atau batu terus menerus mengalami penurunan, 2-53

58 maka harus dilakukan penanggulangan seperti perbaikan tanah atau penggunaan matras dibawah rubble mound untuk memeratakan beban konstruksi breakwater. Ketebalan crown beton minimum 2 m dengan tinggi gelombang signifikan sebesar 2,0 m atau lebih dan minimum 50 cm untuk tinggi gelombang signifikan kurang dari 2 m untuk menghindari kerusakan akibat overtopping. Tinggi puncak caissons biasanya dibuat lebih tinggi dari muka air tertinggi bulanan rata-rata (HWL) untuk memudahkan dalam penempatan caissons, pengisian pasir dan penempatan tutup dan crown beton. Ketebalan tutup beton hendaknya ditentukan dengan mempertimbangkan kondisi gelombang dan kondisi konstruksi, biasanya sebesar 30 cm atau lebih besar, dan 50 cm atau lebih besar pada lokasi dengan gelombang besar. Crown beton diletakkan sedemikian agar menjadi satu dengan badan breakwater. Sendi longitudinal hendaknya ditentukan pada jarak yang tepat atau pada sambungan antar caisson saat caisson dipergunakan. Sambungan longitudinal hendaknya diletakkan dengan jarak cm pada crown beton untuk breakwater monolitik dengan beton insitu. Dalam hal breakwater tipe blok, sebaiknya tinggi puncak blok atau cellular block pada lapisan teratas diset lebih tinggi dari muka air rata-rata (MWL), jika memungkinkan lebih tinggi dari muka air tertinggi bulanan rata-rata (HWL). Sebaiknya kedalaman air pada elevasi atas susunan batu sedalam mungkin terkait untuk menghindari adanya gaya gelombang impulsive. Untuk caisson, permukaan tegak harus ditempatkan pada kedalaman yang memungkinkan untuk dipasang. Rubble mound pada sisi laut harus cukup lebar, tergantung dari tinggi gelombang untuk mengurangi semaksimal mungkin efek merugikan dari gaya gelombang impulsive. Lebar tanggul ( berm) rubble mound harus diatur sehingga memenuhi stabilitas yang ditentukan terhadap keruntuhan tanah dan beban eksentrisitas. Sebaiknya lebar tanggul ditentukan sebesar 5 m atau lebih 2-54

59 tidak termasuk footing, dimaksudkan untuk mengurangi efek merugikan dari gaya gelombang impulsive. Sedangkan pada sisi pelabuhan, lebar tanggul (berm) diambil 2/3 dari lebar tanggul pada sisi laut. Lebar tanggul (berm) sisi kolam pelabuhan dapat dihitung dengan persamaan yang diusulkan Yoshioka at al. sebagai berikut. BM = 1,0 + 0,2 H1/3 + 0,3 (Hc + Tu) + 0,2 Bc Dimana : H1/3 : tinggi gelombang signifikan (m) Hc : tinggi caisson (m) Tu : ketebalan superstruktur (tidak termasuk parapet) (m) Bc : lebar breakwater (tidak termasuk footing) (m) Pondasi rubble mound efektif untuk memeratakan berat dari bagian tegak (upright), untuk menjaga kerataan pada bagian tegak diletakkan dan untuk mencegah penggerusan akibat gelombang. Agar dapat berfungsi dengan baik, maka ketebalan rubble mound diambil sebesar 1,5 meter atau lebih. Kemiringan pondasi rubble mound ditentukan berdasarkan perhitungan stabilitas. Dalam beberapa hal, kemiringan pada sisi laut dari breakwater biasanya diambil antara 1 : 2 sampai 1 : 3 dan kemiringan pada sisi kolam pelabuhan antara 1 : 1,5 sampai 1 : 2 tergantung dari kondisi gelombang. Pondasi rubble mound pada composite breakwater sangat penting untuk menentukan stabilitas bagian tegak ( upright section). Terutama jika rubblemound di bawah upright section tergerus atau runtuh, bagian struktur tegak tersebut akan miring atau mengalami gelincir ( sliding), hingga struktur tegak akan roboh. Sehingga penting untuk melindungi rubble mound dengan blok-blok pelindung kaki rubble mound dan mencegah kerusakan karena penggerusan yang diakibatkan oleh pengaruh gelombang maupun arus. Dianjurkan untuk menempatkan dua baris atau lebih blok-blok pelindung kaki rubble mound di sisi laut pada struktur tegak breakwater dan satu baris atau lebih di sisi kolam pelabuhan. Ketentuan ketebalan blok-blok pelindung kaki rubble mound ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut. 2-55

60 t/h1/3 = df (h /h) -0,787 dimana: t : ketebalan blok pelindung kaki rubble mound df h : 0,18 pada bagian trunk dan 0,21 pada bagian head : kedalaman air rencana (m) h : kedalaman air pada puncak fundasi rubble mound (tidak termasuk pelindung kaki rubble mound) (m) Dalam penerapan h /h = 0,4 1,0 Untuk perhitungan dimensi pelindung kaki rubble mound, ketebalan yang diperlukan dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan tersebut diatas sedangkan dimensi dapat ditentukan menggunakan table berikut: Tabel 2.9. Persyaratan ketebalan dan dimensi blok pelindung kaki rubble mound Sumber: OCDI Technical Standards And Commentaries For Port And Harbour Facilities In Japan f) Upright breakwater gravity type Bentuk penampang upright breakwater hampir sama dengan tipe composit seperti dalam Gambar 2.19 berikut. 2-56

61 a. Tipe caisson b. Tipe concrete block Sumber: OCDI Technical Standards And Commentaries For Port And Harbour Facilities In Japan. Gambar Penampang composite breakwater Ketentuan-ketentuan pada upright breakwater dapat dilakukan dengan menerapkan ketentuan pada composit breakwater. g) Sloping breakwater gravity type Bentuk penampang sloping breakwater hampir sama dengan tipe composit seperti dalam Gambar 2.20 berikut. a. Tipe rubble mound 2-57

62 a. Tipe concrete block Sumber: OCDI Technical Standards And Commentaries For Port And Harbour Facilities In Japan. Gambar Penampang composite breakwater Elevasi puncak struktur sloping breakwater dapat ditentukan dan diset seperti halnya pada composit breakwater. Lebar puncak breakwater ditentukan berdasarkan hasil uji model yang sesuai. Oleh karena sloping breakwater bersifat meneruskan gelombang, maka perlu diperhatikan dalam menetapkan tinggi puncak breakwater, mengingat suatu kasus dengan tinggi gelombang yang diteruskan kedalam kolam pelabuhan lebih besar dibanding pada upright breakwater dengan elevasi puncak yang sama. Gradien kemiringan hendaknya ditentukan berdasarkan perhitungan stabilitas. Untuk breakwater yang dibangun pada tanah lunak, elevasi puncak dan metode konstruksi ditentukan seperti halnya pada composite breakwater. Jika puncak breakwater yang dilapis dengan blok beton diset pada elevasi 0,6H1/3 di atas muka air tertinggi bulanan rata-rata (HWL), maka lebar puncak breakwater sebanding dengan tiga blok beton atau lebih, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar Oleh karena stabilitas bagian atas breakwater akan tergantung pada karakteristik batuan dan kondisi gelombang, maka untuk menentukan lebar puncak didasarkan pada uji model hidrolika. 2-58

63 Sumber: OCDI Technical Standards And Commentaries For Port And Harbour Facilities In Japan Gambar Lebar puncak sloping breakwater Dalam beberapa hal, gradien kemiringan rubble mound pada tipe sloping sebesar 1:2 untuk sisi breakwater bagian laut dan 1:1,5 untuk sisi bagian kolam, dan sebesar 1:3 sampai 1:5 dalam hal breakwater dilapis dengan blok beton yang disusun acak. Jika gradien kemiringan dan berat batu berbeda antara bagian atas dan bagian bawah pada kemiringan di sisi bagian laut breakwater, maka titik pada gradien dan berat batu berbeda harus lebih dalam 1,5H1/3 di bawah muka air rencana. Kebutuhan berat per unit material untuk lapisan pelindung ( armour) dihitung dengan menggunakan formula Hudson: Dimana: W Wr HD X 3 Wr. H D K. X cot W 3 D : berat satuan lapisan armour (ton) : berat jenis saturated lapisan armour (t/m3) : tinggi gelombang rencana pada lokasi struktur (m) : Specific grafity lapisan armour dalam air : Wr/Ww 1 Ww : berat jenis air (air tawar: 0,981 t/m3; air laut: 1,050 t/m3) : sudut kemiringan breakwater KD : koefisien stabilitas (lihat Tabel 2.10) 2-59

64 Kebutuhan berat batu dan blok dibawah material armour sebaiknya 1/10 sampai 1/15 kali berat armour. Sedangkan berat batu pada lapis di bawahnya sebaiknya 1/20 dari berat batu lapisan tersebut. Tabel Nilai KD untuk menentukan berat per unit armour Sumber: US Army Engineer Waterways Experiment Station Shore Protection Manual-Volume I. Washington DC h) Breakwater tipe tiang pancang Bentuk penampang breakwater tipe tiang pancang seperti dalam Gambar 2.20 berikut. 2-60

65 a. Tipe dinding beton a. Tipe combi wall Sumber : Sofwan, Ananta Rencana Pembangunan Dermaga Penyeberangan Merak. Artikel LLASDP. Info Hubdat. Gambar Breakwater tipe tiang pancang Breakwater tipe tiang pancang merupakan tipe non graviti, terbagi dalam curtain wall breakwater dan steel pipe pile breakwater (breakwater tiang pancang pipa baja). Curtain wall breakwater adalah breakwater permeabel terdiri dari tiang pancang dan dinding tegak yang terbuat dari beton, sheet pile atau rib baja. Sedangkan breakwater tiang pancang pipa baja adalah breakwater tanpa curtain sehingga gelombang ditahan hanya oleh tiang pancang. Dalam pemilihan struktur breakwater tipe dinding tirai sebaiknya mempertimbangkan koefisien pantulan dan penyebaran gelombang, bila perlu melakukan kajian kinerja breakwater melalui uji model hidrolika. 2-61

66 Tipe dan bentuk struktur breakwater curtain wall ditentukan dengan mempertimbangkan kondisi laut, penentuan koefisien pantulan, penentuan koefisien penyebaran dan kemudahan pelaksanaan. Dalam penetapan penampang breakwater curtain wall, termasuk tinggi crown, kedalaman ujung bawah curtain dan ukuran celah pada curtain dan dalam hal breakwater dinding ganda (double curtain walled breakwater), dan jarak antara curtain wall, sebaiknya didasarkan pada uji model yang disesuaikan untuk kondisi ini. Sebaiknya dimensi elemen, seperti curtain wall dan tiang pancang ditentukan dengan mempertimbangkan jarak antara tiang pancang dalam arah memanjang breakwater. Contoh uji model untuk breakwater dinding tunggal (single curtain walled breakwater) oleh Morihira et.al. Kedalaman ujung bawah curtain wall ditentukan dari Gambar Jika koefisien penyebaran gelombang ditentukan, tinggi crown curtain wall dapat ditentukan dari gambar Akan tetapi tinggi crown curtain pada gambar 2.24 harus dikoreksi sehingga R/H = 1,25 dan d/h = 1,0, dan tidak menunjukan puncak breakwater yang mampu mencegah overtopping. Pada gambar, d adalah kedalaman ujung bawah curtain, h adalah kedalaman air laut, L adalah panjang gelombang R adalah tinggi crown pada curtain dan H adalah tinggi gelombang. Hubungan koefisien pantulan gelombang pada gelombang curtain wall tunggal ditunjukkan pada gambar Pada breakwater tiang pancang pipa baja, jika pipa baja dipancang dengan terdapat ruang antara tiang, maka struktur dapat berfungsi sebagai breakwater tipe permeable. Berdasarkan penelitian Hayashi et al., rasio antara ruang antar pipa dan diameter pipa atau rasio b/d, dan koefisien penyebaran gelombang T, ditunjukan sebagaimana dalam gambar Momen akibat gaya gelombang akan berkurang sesuai dengan bertambahnya ruang antara tiang, hingga pada batas sekitar b/d = 0,1. Penggunaan breakwater tipe ini perlu diperhatian adanya pengikisan pada tanah dasar di antara tiang pancang. 2-62

67 Sumber: OCDI Technical Standards And Commentaries For Port And Harbour Facilities In Japan Gambar Hubungan antara d/h dan koefisien penyebaran gelombang (single curtain wall) Sumber: OCDI Technical Standards And Commentaries For Port And Harbour Facilities In Japan Gambar Kurva penghitungan tinggi crown (single curtain wall) 2-63

68 Sumber: OCDI Technical Standards And Commentaries For Port And Harbour Facilities In Japan Gambar Hubungan antara d/h dan koefisien pantulan gelombang (single curtain wall) Sumber: OCDI Technical Standards And Commentaries For Port And Harbour Facilities In Japan Gambar Hubungan antara rasio jarak tiang/diameter tiang dan koefisien penyebaran gelombang (single curtain wall) 2-64

69 2. Konstruksi Groin Groin adalah bangunan pelindung pantai, biasanya dibuat tegak lurus pantai yang berfungsi menahan transpor sedimen sehingga dapat mengurangi atau menghentikan erosi pantai. Bangunan ini dapat pula sebagai pengendali material sedimen ( sediment control) yang masuk ke pelabuhan, sehingga dapat mencegah atau mengurai pendangkalan pada kolam pelabuhan. Groin dibagi dalam beberapa tipe diantaranya yaitu: a) Groin kayu ( timber groins), adalah struktur impermeabel yang tersusun dari sheet pile kayu dan tiang pancang kayu. Namun beberapa groin kayu permabel telah dibuat dengan cara menyediakan ruang atau celah diantara sheet pile. Tiang pancang kayu sebagai struktur utama sekurangkurangnya berdiameter 30 cm dan balok memanjang sebagai wale berdiameter minimal 20 cm. Sumber: US Army Engineer Waterways Experiment Station Shore Protection Manual-Volume II. Washington DC Gambar Groin kayu b) Groin baja ( steel groins), terdiri dari struktur cantilever steel sheet pile groin, struktur timber steel sheet pile groin dan struktur cellular steel sheet pile groin. Tipe sheet pile pada timber steel sheet pile groin dapat menggunakan Z pile, arch web pile atau straight web pile. Sama halnya dengan groin kayu, groin baja juga telah dibuat permeabel dengan cara memotong sheet pile. Pemilihan tipe sheet pile tergantung pada gaya tekanan tanah yang ditahan. Jika perbedaan beban kecil, dapat menggunakan straight web pile. Jika perbedaan beban besar, digunakan deep web Z pile. Struktur cantilever steel sheet pile groin digunakan jika 2-65

70 gelombang dan gaya tekanan tanah sedang. Sedangkan struktur cellular steel sheet pile groin digunakan jika menggunakan sheet pile, kedalaman penetrasi tiang diperkirakan tidak mencukupi untuk stabilitas struktur. a. Timber steel sheet pile groin b. Cantilever steel sheet pile groin c. Cellular steel sheet pile groin Sumber: US Army Engineer Waterways Experiment Station Shore Protection Manual-Volume II. Washington DC Gambar Groin baja 2-66

71 c) Groin beton (c oncrete groins), adalah groin premabel, terdiri dari sheet pile beton, tiang beton prategang dan topi dari beton cor di tempat. Sumber: US Army Engineer Waterways Experiment Station Shore Protection Manual-Volume II. Washington DC Gambar Groin beton d) Groin timbunan batu ( rubble mound groins), adalah konstruksi groin dengan material komponen inti dari quarry run, termasuk material berbutir halus untuk menjadikan konstruksi kedap dan dilapis dengan armour stone. Jika permeabilitas groin timbunan batu menjadi masalah, maka rongga-rongga antara batu armour pada puncak groin dapat diisi dengan beton atau aspal. Sumber: US Army Engineer Waterways Experiment Station Shore Protection Manual-Volume II. Washington DC Gambar Groin timbunan batu Pemilihan tipe groin didasarkan atas beberapa faktor. Sehubungan dengan kondisi lokasi, perlu dilakukan penyelidikan tanah melalui pengeboran dalam untuk mengetahui kondisi tanah berkaitan dengan kedalaman tiang yang direncanakan. Jika kondisi tanah memungkinkan kedalaman penetrasi tiang pancang dangkal, maka perlu dipertimbangkan untuk menggunakan struktur 2-67

72 groin tipe gravity seperti timbunan batu ( rubble mound) atau cellular steel sheet pile. Apabila kondisi tanah memungkinkan untuk kedalaman penetrasi baik, maka dipertimbangkan menggunakan struktur groin tipe kantilever yang terbuat dari kayu, sheet pile baja atau beton. Adanya pengaruh material dalam pemilihan tipe groin dikarenakan pertimbangan faktor biaya. Pada pemilihan tipe groin perlu dipertimbangkan pula faktor pemeliharaan, jangka waktu perlindungan yang diperlukan dan ketersediaan dana untuk pembangunan awal. Layout groin dibuat dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Groin harus berada di lokasi yang tepat dengan mempertimbangkan karakteristik perpindahan sedimen, agar penggunaannya diharapkan berfungsi mengendalikan transpor sediman sepanjang pantai. 2) Groin di sisi updrift pada transpor sedimen sepanjang pantai harus berada tegak lurus garis pantai pada surf zone hingga ke bagian yang dangkal, dan pada perairan yang lebih dalam harus berada sedemikian hingga littoral drift disebar ke sisi luar pintu masuk kolam pelabuhan. 3) Dalam hal groin dibangun di sisi downdrift pada transpor sedimen sepanjang pantai dalam rangka untuk mencegah masuknya littoral drift ke dalam kolam pelabuhan, groin harus dibangun tegak lurus garis pantai dan juga harus memiliki panjang yang cukup dengan mempertimbangkan arah dan transformasi gelombang. Namun demikian jika groin berfungsi pula sebagai breakwater, maka layout groin harus dibuat dengan mempertimbangkan sesuai fungsinya sebagai breakwater. 4) Jika groin diperlukan pada tempat seperti sekitar alur pelayaran pelabuhan, maka groin dibangun di lokasi yang mempertimbangkan kondisi alam. Karena fungsi groin diperlukan untuk menghentikan transpor sedimen, maka groin harus memiliki struktur kedap (impermeable). Jika timbunan batu atau blok beton digunakan untuk membangun groin di sekitar garis pantai, maka material inti (core) menggunakan quarry run atau batu-batu kecil antara

73 kg sampai 200 kg, atau dapat pula groin pada sisi bagian kolam dilapis dengan material impermeabel sejenis aspal mastik pasir. Meskipun sebaiknya groin tidak diperbolehkan sampai overtopping untuk mencegah masuknya sedimen layang (suspended), namun ada juga yang sampai overtopping karena pertimbangan keterbatasan-keterbatasan struktur atau biaya konstruksi. Tinggi crown ditentukan melalui pertimbangan sebagai berikut: 1) Bagian di sekitar garis pantai Sebaiknya ketinggian crown groin pada bagian di sekitar garis pantai cukup tinggi untuk menghindari overtopping oleh gelombang running-up. Karena pasir yang terbawa gelombang run-up mampu melampaui puncak groin pada bagian di sekitar garis pantai, maka puncak groin harus cukup tinggi. Dalam memperkirakan kondisi setelah konstruksi, sebaiknya menaikkan tinggi crown atau memperpanjang groin ke arah darat. 2) Bagian di lokasi lebih dangkal dari kedalaman garis gelombang pecah. Elevasi crown groin di bagian ini sebesar 0,6H1/3 di atas muka air tertinggi bulanan rata-rata (HWL), dengan 0,6H 1/3 adalah tinggi gelombang signifikan di sekitar ujung bawah groin. 3) Bagian di lokasi lebih dalam dari kedalaman garis gelombang pecah. Elevasi crown groin di bagian ini tingginya diperoleh dengan menambahkan besaran tertentu pada muka air tertinggi bulanan rata-rata (HWL). Pada kedalaman air lebih dalam dari zona gelombang pecah, sedimen layang terkonsentrasi dekat dasar laut ( sea bed) dan air yang melampaui crown hampir tidak mengandung sedimen, sehingga overtopping diperbolehkan. I. Kolam Pelabuhan Kolam pelabuhan adalah perairan di depan dermaga yang digunakan untuk kepentingan operasional sandar dan olah gerak kapal. Dengan demikian 2-69

74 kolam pelabuhan harus tenang, memiliki luas dan kedalaman yang cukup, agar kapal dapat berlabuh dengan aman dan memudahkan bongkar muat barang. Ukuran kolam pelabuhan harus memenuhi sebagai berikut: 1) Kolam pelabuhan yang digunakan untuk kapal-kapal berlabuh harus memiliki luas yang lebih besar dari pada lingkaran dengan jari-jari yang ditentukan melalui penambahan nilai tertentu pada panjang kapal. 2) Kolam pelabuhan di areal dermaga harus memiliki panjang dan lebar yang lebih besar daripada panjang dan lebar kapal. 3) Kolam pelabuhan yang disediakan bagi kapal untuk berputar melalui haluan harus memiliki luas yang lebih besar dari pada lingkaran dengan radius yang ditentukan sebesar 1,5 kali panjang kapal. Keperluan areal dan kedalaman untuk operasional sandar dan olah gerak kapal ini ditentukan berdasarkan Lampiran II KM. 52 Tahun 2004, yaitu: 1. Areal untuk sandar kapal A = 1,8 L x 1,5 L A = Luas perairan tempat sandar untuk satu kapal L = panjang kapal maksimum yang sandar 2. Areal kolam putar A = N x x D 2 /4 D > 3L A = Luas areal kolam putar D = diameter kolam putar N = jumlah kolam putar L = panjang kapal maksimum 3. Kedalaman air kolam pelabuhan Kedalaman air kolam pelabuhan ditentukan dengan menambahkan minimal sebesar 1 m sebagai kelonggaran kedalaman ke beban muatan penuh (full load draft). 2-70

75 J. Alur Pelayaran Alur Pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar, dan bebas hambatan pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari. Hal-hal yang perlu diperhitungkan dalam penetapan alur pelayaran yaitu: 1. Lebar alur pelayaran a) Berdasarka kelas alur pelayaran di Indonesia, sebagaimana dalam tabel berikut. Tabel Pembagian Kelas Alur Pelayaran di Indonesia No INTERVAL KELAS ALUR INTERVAL DRAFT KAPAL LEBAR ALUR PELAYARAN 1 x PANJANG KAPAL 1,5 x PANJANG KAPAL GRT (TON) KECEPATAN KETINGGIAN 1 I II III IV V VI VII b) Berdasarkan Pedoman Teknis Rencana Induk Pelabuhan, Direktorat Pelabuhan dan Pengerukan, Ditjen Perhubungan Laut No Pemanfaatan Alur Kondisi Alur Lebar Alur 1 Satu Jalur Kapal tidak berpapasan 5W 2 Dua jalur dan alur relatif panjang Kapal sering berpapasan (frekuensi lalu lintas kapal cukup banyak Kapal jarang berpapasan (frekuensi lalu lintas kapal relatif sedikit) 7W + 30 m 4W + 30m 3 Dua jalur dan alur melengkung Kapal sering berpapasan Kapal jarang berpapasan 9W + 30m 6W + 30m Keterangan : W = lebar kapal rencana c) Berdasarkan berdasarkan Lampiran II KM. 52 Tahun 2004, lebar alur pelayaran ditentukan sebagai berikut: A = 9 B + 30 m A = Lebar alur pelayaran L = Lebar kapal maksimum 2-71

76 2. Kedalaman alur pelayaran Kedalaman alur pelayaran Kedalaman air kolam pelabuhan ditentukan dengan menambahkan minimal sebesar 1 m sebagai kelonggaran kedalaman ke beban muatan penuh (full load draft). 3. Ruang bebas (air clearance) Ruang bebas atau air clearence adalah jarak vertikal antara permukaan air terhadap bagian terendah dari suatu bangunan yang melintas di atas alur yang digunakan untuk kepentingan kapal. Berdasarkan PM No. 68 Tahun 2011 Pasal 46 Ayat (2) disebutkan bahwa ruang bebas udara dihitung dengan memperhatikan: a. Bentangan jembatan. b. Kepadatan lalu lintas kapal (traffic), dan pesawat udara c. dimensi kapal, kondisi alur d. air pasang tertinggi e. tinggi tiang utama kapal f. gelombang g. kedalaman perairan h. pilar konstruksi jembatan Gambar Ruang Bebas Udara 2-72

77 Dengan mengadopsi dari Peraturan ini, maka ruang bebas dapat ditentukan sebagai berikut: Tinggi Ruang Bebas= (HHWL + TM) + {(HHWL + TM) x Fk} TM = SM + TK + M HHWL : tinggi air pasang tertinggi (High Highest Water Level) TM : tinggi maksimum kapal (m) SM : freeboard + draft maksimum M : tinggi tiang utama (mast) TK : tinggi muatan/tinggi crane Fk : faktor keselamatan 10 % Dalam peraturan Fisheries and Oceans Canada: Safe Waterways Part-1a: Guidelines For The Safe Design of Commercial Shipping Channels, mensyaratkan bahwa jarak antara bagian tertinggi kapal dengan elemen jembatan terendah tergantung pada karakteristik pergerakan kapal dan harus tidak kurang dari 3 m. 2-73

78 BAB III METODE STUDI A. Metode Pelaksanaan Studi Studi Penyusunan Konsep Standar di Bidang Prasarana Transportasi SDP dilaksanakan melalui survei di lapangan dalam pengumpulan data primer dan sekunder, serta melakukan analisis untuk merumuskan konsep standar prasarana di bidang transportasi sungai, danau dan penyeberangan. Disamping pengumpulan data primer dan sekunder, melakukan pula diskusi dengan instansi-instansi di lokasi survey terkait dengan fasilitas prasarana yang ada. Pekerjaan studi ini terdiri dari beberapa kegiatan yang dilaksanakan secara bertahap. Tahapan kegiatan tersebut dilaksanakan sedemikian sehingga kelancaran pekerjaan dapat berjalan dengan baik, berkesinambungan dan terkoordinasi. Adapun urutan pelaksanaan setiap tahap kegiatan ini dapat digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut. 3-1

79 PERSIAPAN Koordinasi Tim Perencana Inventarisasi Data Awal LAPORAN PENDAHULUAN Analisis dan Evaluasi Data Awal Penyusunan Laporan Pembahasan Laporan TINJAUAN LOKASI Inventarisasi Data Primer/Sekunder Benchmarking/Studi Literatur/Studi Banding Inventarisasi dan Identifikasi Prasarana LAPORAN ANTARA Analisis dan Identifikasi Data Lapangan Rencana Tindak Lanjut Penyusunan Laporan Pembahasan Laporan RANCANGAN LAPORAN AKHIR Analisis/Perumusan dan Standar Evaluasi Kebijakan Penyusunan Rancangan Naskah Akademik Penyusunan Laporan Pembahasan Laporan LAPORAN AKHIR Perbaikan dan Penyempurnaan Laporan Perbaikan dan Penyempurnaan Naskah Akademik Gambar 3.1. Bagan Alur Kegiatan B. Jangka Waktu dan Lokasi Studi Kegiatan Studi Penyusunan Konsep Standar di Bidang Prasarana Transportasi Sungai, Danau dan Penyeberangan dilaksanakan dalam waktu selama 8 (delapan) bulan. Adapun tempat kegiatan dilaksanakan di Jakarta, sedangkan pelaksanaan survey pengumpulan data di lapangan dilakukan di Medan, Palembang, Palangkaraya dan Merak. 3-2

80 C. Sumber Data Data sekunder dan primer yang dikumpulkan melalui survey lapangan di 4 (empat) lokasi, masing-masing di lokasi Medan, Palembang, Palangkaraya dan Merak meliputi sebagai berikut: 1. Lokasi Medan dilakukan di Pelabuhan Ajibata, Pelabuhan Nainggolan dan Pelabuhan Simanindo. 2. Lokasi Palembang dilakukan di Pelabuhan Penyeberangan Palembang 3 Ilir. 3. Lokasi Palangkaraya dilakukan di Pelabuhan Rambang. 4. Lokasi Merak dilakukan di Pelabuhan Penyeberangan Merak. Data yang diperlukan mencakup data prasarana transportasi yang tersedia di pelabuhan lokasi survey, dalam hal ini fasilitas sandar dan tambat, fasilitas bongkar muat, fasilitas prasarana pengaman pelabuhan, fasilitas kolam pelabuhan, fasilitas alur pelayaran dan prosedur pemeliharaan yang diterapkan. Adapun pihak-pihak yang terkait sebagai sumber data adalah penyelenggara pelabuhan, operator kapal dan pengguna jasa/penumpang. D. Metoda Pengumpulan Data Data penunjang yang diperlukan untuk analisis studi ini terdiri dari: 1. Data sekunder Data sekunder yang diperlukan berupa dokumen regulasi, dokumen studi atau perencanaan prasarana, peraturan dan standar, literatur maupun publikasi yang terkait sebagai bahan acuan untuk materi yang akan distandarkan. Data sekunder ini untuk selanjutnya dilakukan telaahan terkait dengan prasarana SDP agar dapat menghasilkan naskah akademik sebagaimana dalam KAK. 2. Data primer Berupa data-data fasilitas yang akan distandarkan, terkait dengan fasilitas sandar dan tambat, fasilitas dermaga dan pemeliharaannya, prasarana pengaman pelabuhan, kolam pelabuhan, fasilitas bongkar muat dan fasilitas alur pelayaran. 3-3

81 Data primer ini diperoleh dengan cara melakukan survey lapangan. Survey untuk memperoleh data primer ini dilakukan dengan cara: - Melakukan inventarisasi dan identifikasi kondisi alam masing-masing lokasi, ketersediaan dan kondisi prasarana, karakteristik dan banyaknya sarana yang beroperasi. - Melakukan wawancara dengan aparat daerah, penyelenggara pelabuhan/regulator serta dengan operator kapal untuk memperoleh informasi tentang kegiatan-kegiatan dan perawatannya serta permasalahan operasional baik operasional pelabuhan maupun operasional kapal. - Melakukan kegiatan quezioner kepada responden untuk memperoleh informasi dan harapan mengenai tingkat pelayanan. E. Analisis Penyusunan Naskah Akademis Pada tahap analisis penyusunan naskah akademis, secara singkat dapat dilihat dalam bagan alur pelaksanaan analisis naskah akademis. Surevy Lokasi dan Pengumpulan Data Data Fasilitas Sandar dan Tambat Data Perawatan Fasilitas Dermaga Data Prasarana Pengaman Pelabuhan Data Kolam Pelabuhan Data Fasilitas Bongkar Muat Data Alur Pelayaran - fender - bollard - dermaga - fender - bollard - breakwater - groin kedalaman kolam dimensi kolam plengsengan ponton movable bridge lebar alur kedalaman alur ruang bebas Identifikasi dan analisis kelaikan teknis prasarana Perumusan Standar teknis prasarana Konsep Standar Prasarana SDP Gambar 3.2: Bagan Alur Pelaksanaan Analisis 3-4

82 Metoda penyusunan naskah akademis akan mengikuti prosedur sebagaimana dalam Keputusan Kepala Badan Penelitian Dan Pengembangan Perhubungan Nomor KP. 23 Tahun 2011 tentang Pedoman Penulisan Kajian, Penelitian dan Studi Di Lingkungan Badan Penelitian Dan Pengembangan Perhubungan berikut lampirannya. 3-5

83 BAB IV LAPORAN SURVEY LAPANGAN Batasan laporan hasil survey prasarana pelabuhan yang dituangkan dalam bab ini meliputi fasilitas-fasilitas prasarana pelabuhan yang terkait dengan studi. Adapun lokasi survey pengambilan data dilakukan di lokasi Merak yaitu di Pelabuhan Penyeberangan Merak, di lokasi Palembang yaitu di Pelabuhan Penyeberangan Palembang, di lokasi Palangkaraya yaitu di Pelabuhan Sungai Rambang dan di lokasi Medan yaitu di Pelabuhan Penyeberangan Danau Ajibata, Pelabuhan Penyeberangan Danau Simanindo dan Pelabuhan Danau Nainggolan. A. Lokasi Merak Lokasi survey di Merak dalam studi ini merupakan survey transportasi penyeberangan di Pelabuhan Penyeberangan Merak. 1. Tinjauan Umum Pelabuhan Penyeberangan Merak Pelabuhan Penyeberangan Merak merupakan pelabuhan umum yang melayani lintas penyeberangan Merak Bakauheni dengan jarak tempuh 15 mile. Pelabuhan Penyeberangan Merak dikelola oleh PT. ASDP Indonesia Ferry (Persero) Cabang Merak. Khusus untuk Dermaga IV, penggelolaannya di bawah PT. Infinity Indosakti KSO dengan PT. ASDP Indonesia Ferry (Persero). Lintas penyeberangan Merak - Bakauheni merupakan lintas penyeberangan komersil antar provinsi sesuai KM. 64 Tahun 1989 menghubungkan Provinsi Banten dan Provinsi Lampung. Pelabuhan Penyeberangan Merak berfungsi sebagai jembatan utama yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Lintas penyeberangan Merak Bakauheni merupakan salah satu lintasan angkutan penyeberangan yang cukup strategis di Indonesia. Lintas penyeberangan ini merupakan tulang punggung transportasi darat dari dan ke kota-kota di pulau Jawa dan Sumatera. Hal ini terlihat bahwa pada periode tertentu di kedua pelabuhan penyeberangan tersebut sering terjadi kekurangan 4-1

84 pelayanan yang menimbulkan antrian kendaraan dan penumpang yang menunggu di pelabuhan terutama pada waktu-waktu musim liburan. Gambaran jumlah penumpang dan kendaraan di lintas penyeberangan Merak-Bakauheni ini dapat dilihat dalam tabel berikut. Gambar 4.1. Citra satelit Pelabuhan Penyeberangan Merak Tabel 4.1. Produksi angkutan lintas penyeberangan Merak Bakauheni Tahun NO. JENIS KARCIS PRODUKSI TAHUN JUMLAH TRIP a. Kapal Cepat 6,235 3,501 2,490 1,302 1, b. Kapal Ro-Ro 20,940 21,304 21,271 25,278 26,315 26,291 29,431 (c) Bisnis Dewasa 316, , ,113 93,689 79,106 44,775 23,464 (d) Bisnis Anak 12,264 12,121 9,423 6,696 5,868 3,328 1,759 Sub Jumlah 328, , , ,385 84,974 48,103 25,223 e. Ekonomi B Dewasa 1,958,714 1,600,694 1,385,285 1,507,655 1,398,580 1,287,116 1,200,186 f. Ekonomi B Anak 90,571 84,030 88,595 96, , , ,926 Sub Jumlah 2,049,285 1,684,724 1,473,880 1,604,312 1,511,653 1,450,002 1,322,112 Jumlah ( a + b ) 2,377,943 1,931,684 1,638,416 1,704,697 1,596,627 1,498,105 1,347,335 a. Golongan I b. Golongan II 120, , , , , , ,467 c. Golongan III d. Golongan IV Pnp 415, , , , , , ,297 e. Golongan IV Brg 80,427 77, , ,078 80, , ,339 f. Golongan V Pnp 21,727 20,922 20,405 22,218 21,657 21,684 20,631 g. Golongan V Brg 264, , , , , , ,700 h. Golongan VI Pnp 61,754 54,181 56,128 69,236 67,895 69,624 75,098 i. Golongan VI Brg 274, , , , , , ,264 j. Golongan VII 78,207 73,931 76,161 94, , , ,983 k. Golongan VIII 10,330 13,309 14,569 17,679 13,876 16,503 23,436 Sub Jumlah 1,327,427 1,297,095 1,424,079 1,658,757 1,644,354 1,773,672 1,964,725 Sumber: Kantor Pelabuhan Penyeberangan Merak 4-2

85 Pelabuhan Penyeberangan Merak yang menempati areal seluas 150,615 m2, saat ini mengoperasikan 5 unit dermaga. Dermaga yang beroperasi melayani kapal-kapal Ro Ro sebanyak 28 unit bobot hingga GRT. Namun demikian pada waktu-waktu tertentu terutama saat musim liburan, kapal yang beroperasi pada lintas penyeberangan Merak Bakau dapat mencapai 37 unit. Tabel 4.2 Data spesifikasi kapal lintas penyeberangan Merak-Bakauheni NAMA PERUSAHAAN TAHUN BUAT LoA (meter) B (meter) DEPTH (meter) TINGGI CAR DECK (meter) ISI KOTOR (ton) PNP 4-3 KEND. CAMPURA N 1. PT. ASDP 1. JATRA I , JATRA II , JATRA III , PT. J L Ferry 1. MENGGALA , MUFIDAH , DUTA BANTEN , JAGANTARA , GELIS RAUH , PT. S P Ferry 1. NUSA DHARMA , NUSA JAYA , NUSA MULIA , NUSA AGUNG , PT. Windu Karsa 1. WINDU K PRATAMA , WINDU K DWITYA , PT. A L P 1. BAHUGA P , BAHUGA JAYA , PT. HM Baruna 1. HM BARUNA , PT. G M P 1. RAJABASA , PT. J M Ferry 1. PANORAMA NST , TITIAN MURNI , MITRA NUSANTARA , PRIMA NUSANTARA , TITIAN NUSANTARA , ROYAL NUSANTARA , PT. Tri Sumaja L 1. BSP , PT. B S P Ferry 1. BSP , BSP , VICTORIUS , PT. Tribuana A N 1. TRIBUANA , PT. S M S 1. SMS KARTANEGARA , PT. D L U 1. MUSTHIKA KENCANA , DHARMA KENCANA IX , DHARMA FERRY IX , PT. LABRITA 1. BONTANG EXPRESS II , LABITRA SALWA PT. MUNIC LINE 1. CAITLYN , PT. SURYA T LINE 1. SHALEM , Jumlah NAMA KAPAL (KMP) 37 Kapal Sumber: Kantor Pelabuhan Penyeberangan Merak Sementara untuk mengantisipasi semakin melonjaknya arus lalu lintas di Pelabuhan Penyeberangan Merak, Tahun 2012 ini Pemerintah telah mengalokasikan dana APBN untuk penambahan satu unit dermaga baru

86 yaitu Dermaga VI baik di Merak maupun Bakauheni yang saat ini memasuki pembangunan tahap I. Sedangkan fasilitas lain yang saat ini juga sedang dalam fase konstruksi yaitu breakwater yang direncanakan sepanjang 600 m. Sumber: PT. Atrya Swascipta Rekayasa FS dan DED Pelabuhan Penyeberangan Merak VI dan Bakauheni VI Gambar 4.2. Site plan Dermaga VI Merak BREAKWATER Sumber: PT. Atrya Swascipta Rekayasa Perencanaan Pembangunan Breakwater di Merak Gambar 4.3. Layout breakwater Merak 4-4

87 2. Fasilitas Prasarana Pelabuhan Penyeberangan Merak a) Fasilitas sandar dan tambat Saat ini Pelabuhan Penyeberangan Merak mengoperasikan 5 (lima) unit dermaga, dengan type dermaga yang berbeda-beda. Dermaga I Type Fasilitas Tambat Fasilitas Sandar Continuous Quay, berupa konstruksi quay wall dari sheet pile baja dan concrete capping beam. 12 unit bollard baja - 10 unit sistem 2 unit fender, - bahan karet elastomeric type SM-500 (V-shape) - dilengkapi dengan frontal frame baja. - Jarak : 10 m. Gambar 4.4. Fasilitas sandar dan tambat dermaga I Dermaga II Type Fasilitas Tambat Fasilitas Sandar Lead in Jetty, berupa konstruksi dolphin terdiri dari 3 unit mooring dan 6 unit breasting. Jarak antar breasting: BD-1 BD-2 BD-3 BD-4: 12m, BD- 4 BD-5: 25m, BD-5 BD-6: 20m 9 unit bollard baja - 6 unit sistem 2 unit fender pada masingmasing breasting - bahan karet elastomeric type SM-500 (V-shape) - dilengkapi dengan frontal frame baja - Jarak: sama dengan jarak breasting. 4-5

88 Dermaga III Gambar 4.5. Fasilitas Sandar dan Tambat Dermaga II Type Continuous Quay, berupa konstruksi quay wall terbuat dari sheet pile baja dan concrete capping beam. Fasilitas Tambat 17 unit bollard baja Fasilitas Sandar - 10 unit sistem 4 unit fender 2 unit fender - bahan karet elastomeric type Cell-800 H - dilengkapi dengan frontal frame baja. - Jarak : 17 m. 4-6

89 Gambar 4.6. Fasilitas Sandar dan Tambat Dermaga III Dermaga IV Type Fasilitas Tambat Fasilitas Sandar Lead in Jetty, berupa konstruksi dolphin terdiri dari 2 unit mooring dan 5 unit breasting. Jarak antar breasting : 25m 12 unit bollard baja - 5 unit sistem 2 unit ban bekas pada masing-masing breasting - Jarak: sama dengan jarak breasting. Gambar 4.7. Fasilitas Sandar dan Tambat Dermaga IV 4-7

90 Dermaga V Type Fasilitas Tambat Fasilitas Sandar Lead in Jetty, berupa konstruksi dolphin terdiri dari 3 unit mooring dan 5 unit breasting. Jarak antar breasting : 20m 8 unit bollard baja - 1 unit fender type pneumatic Gambar 4.8. Fasilitas Sandar dan Tambat Dermaga V 4-8

91 b) Fasilitas prasarana pengamanan pelabuhan Prasarana pengaman pelabuhan yang ada di Pelabuhan Penyeberangan Merak yaitu breakwater. Di Pelabuhan Merak terdapat dua unit Breakwater yaitu di sisi Dermaga I dan di sisi bagian Dermaga IV dan V. Breakwater disisi muka Dermaga IV dan Dermaga V saat ini masih dalam fase konstruksi. Adapun spesifikasi masing-masing breakwater tersebut sebagai berikut. Item Breakwater I (sisi Dermaga I) Breakwater II (sisi Dermaga IV dan V) Panjang 183 m 600 m (rencana) Type Gravity Non gravity Konstruksi Caissons Tiang pancang baja dan pile cap beton Gambar 4.9. Breakwater Sisi Dermaga I Gambar Breakwater Sisi Dermaga IV dan Dermaga V 4-9

92 c) Fasilitas kolam pelabuhan Posisi Pelabuhan Merak berada di balik Pulau Merak dengan kedalaman perairan cukup dalam hingga 25 m. Sedangkan kedalaman kolam pada masing-masing dermaga yaitu: - Dermaga I : -5.5 m - Dermaga II : -6.5 m - Dermaga III : -6.5 m - Dermaga IV : -6.5 m - Dermaga V : m Gambar Kolam Pelabuhan di Dermaga I d) Fasilitas Bongkar Muat Pelabuhan Penyeberangan Merak saat ini mengoperasikan 5 (lima) unit dermaga, seluruhnya menggunakan fasilitas bongkar muat movable bridge. Dermaga I, Dermaga II dan Dermaga III, disamping menggunakan Movable Bridge, juga dilengkapi dengan side ramp (elevated) untuk kendaraan-kendaraan kecil. Namun side ramp Dermaga II saat ini belum beroperasi. 4-10

93 Movable Bridge Item Dermaga I Dermaga II Dermaga III Dermaga IV Dermaga V Panjang 16 m 16 m 16 m 16 m 16 m Lebar 7,80 m 9,50 m 10,40 m 10,40 m 10,40 m Konstruksi Baja Baja Baja Baja Baja Penggerak Hydrolic Hydrolic Hydrolic Hydrolic Hydrolic Kapasitas 50 Ton 50 Ton 60 Ton 60 Ton 60 Ton Elevated Side Ramp Item Dermaga I Dermaga II Dermaga III Dermaga IV Dermaga V Panjang 16 m 21 m 21 m - - Lebar 2,80 m 2,80 m 2,80 m - - Konstruksi Baja Baja Baja - - Penggerak Hydrolic Hydrolic Hydrolic - - Kapasitas 2 Ton 2 Ton 2 Ton - - Gambar Movable Bridge Gambar Elevated Side Ramp 4-11

94 e) Alur Pelayaran Pengertian alur pelayaran di Pelabuhan Penyeberangan Merak ini adalah lebar selat dari pelabuhan ke Pulau Merak yang digunakan untuk lalu lintas kapal. Lebar terkecil alur pelayaran di Pelabuhan Merak diambil dari kedalaman -6.0 m (LWS) adalah sekitar 210 m. 210 m Gambar Alur Pelayaran B. Lokasi Palembang Lokasi survey di Palembang dalam studi ini merupakan survey transportasi penyeberangan sungai di Pelabuhan Penyeberangan Palembang. 1. Tinjauan Umum Pelabuhan Penyeberangan Palembang Survey lokasi pelabuhan di Palembang dititikberatkan di 35 Ilir yaitu di Pelabuhan Penyeberangan 35 Ilir Palembang. Pelabuhan Penyeberangan Palembang merupakan pelabuhan umum yang melayani lintas penyeberangan Palembang Muntok (P. Bangka) dengan jarak tempuh 4-12

95 90 mile. Pelabuhan Penyeberangan Palembang dikelola oleh Dinas Perhubungan Kota Palembang. Lintas penyeberangan Palembang - Muntok, merupakan lintas penyeberangan komersil antar provinsi sesuai KM. 43 Tahun 1998 menghubungkan Sumatera Selatan dan Bangka Belitung. Lintas penyeberangan Palembang Muntok awalnya merupakan lintas Palembang Kayu Arang yang dioperasikan sejak tahun Pemindahan lokasi dari Kayu Arang ke Muntok lebih dikarenakan permasalahan sedimentasi yang tinggi di muara Sungai Jering yang merupakan alur pintu masuk menuju Pelabuhan Kayu Arang sehingga mengakibatkan kegiatan operasional penyeberangan terganggu. Sedangkan Pelabuhan Penyeberangan Palembang, dalam waktu dekat direncanakan akan direlokasi ke Tanjung Api Api. Gambar Citra satelit Pelabuhan Penyeberangan Palembang Lintas Penyeberangan Palembang Muntok merupakan lintas penyeberangan cukup padat, dikarenakan lintasan ini merupakan lintasan utama bagi kendaraan dari Bangka Belitung menuju daratan Sumatera. Tercatat pada tahun 2011, sebanyak penumpang,

96 kendaraan R-4 dan kendaraan R-2 melintas di jalur ini. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.3. Produksi angkutan lintas penyeberangan Palembang Muntok Tahun TRIP MUATAN TAHUN (SATUAN) PNP R4 R2 BRG , ,733 26,868 16,790 * ,065 37,070 7,470 1,900 * ,526 78,187 11,456 4,153 * ,763 89,671 30,561 10,041 * ,410 47,488 18,826 3,412 * ,664 42,836 22,182 6,412 * ,768 11,352 2,796 * ,792 15,798 2,318 18, ,456 39,920 11,602 1,375 13, * 40,089 8,048 1,371 13,738 Sumber: Kantor Pelabuhan Penyeberangan Palembang Pelabuhan Penyeberangan Palembang yang menempati areal seluas sekitar m2, saat ini mengoperasikan 1 unit dermaga dolphin. Dermaga yang beroperasi melayani kapal-kapal Ro Ro sebanyak 8 unit dengan bobot hingga 680 GRT. Disamping dermaga dolphin, juga terdapat dermaga ponton namun sudah tidak dioperasikan lagi dikarenakan sudah kandas dan rusak. Tabel 4.4. Data spesifikasi kapal lintas penyeberangan Palembang-Muntok Sumber: Kantor Pelabuhan Penyeberangan Palembang 4-14

97 Gambar Dermaga Dolphin 2. Fasilitas Prasarana Pelabuhan Penyeberangan Palembang a) Fasilitas sandar dan tambat Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa di Pelabuhan Penyeberangan Palembang terdapat 2 buah dermaga, masing-masing dermaga dolphin dan ponton. Kondisi dermaga yang akan diuraikan dibawah ini hanya mencakup dermaga dolphin, mengingat dermaga ponton sudah tidak dioperasikan. Adapun fasilitas sandar dan tambat di dermaga dolphin tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Type Fasilitas Tambat Fasilitas Sandar Lead in Jetty, berupa konstruksi dolphin terdiri dari 3 unit mooring dan 3 unit breasting. Jarak antar breasting: 14 m 9 unit bollard baja - 3 unit sistem 3 unit fender pada masingmasing breasting - bahan karet elastomeric type Cell dilengkapi dengan frontal frame baja - Jarak: sama dengan jarak breasting. 4-15

98 Gambar Fasilitas sandar dan tambat dermaga dolphin b) Fasilitas bongkar muat Fasilitas bongkar muat yang tersedia pada dermaga dolphin di Pelabuhan Penyeberangan Palembang berupa fasilitas bongkar muat type mechanic movable yaitu Movable Bridge. Spesifikasi fasilitas bongkar muat tersebut dapat dijelaskan dalam tabel berikut. Item Panjang Lebar Konstruksi Penggerak Kapasitas Dolphin 32,50 m 6,50 m Baja hydrolic 20 Ton 4-16

99 Gambar Fasilitas bongkar muat tipe Movable Bridge c) Alur Pelayaran Bahwasannya Pelabuhan Penyeberangan Palembang berada di Sungai Musi yang digunakan sebagai alur pelayaran lalu lintas kapal-kapal besar. Pasang surut Sungai Musi adalah sebagai berikut: HHWS MHWS MSL LLWS 4.10 m 3.70 m 2.05 m 0.00 m Dalam operasionalnya, kapal-kapal yang beroperasi harus melewati jembatan Ampera. Jembatan Ampera memiliki ruang bebas 8,70 m pada kondisi pasang tinggi tertinggi (HHWS). C. Lokasi Palangkaraya Lokasi survey di Palangkaraya dalam studi ini merupakan survey transportasi sungai di Pelabuhan Rambang, Palangkaraya. 1. Tinjauan Umum Pelabuhan Rambang Survey lokasi pelabuhan di Palangkaraya dititikberatkan di Pelabuhan Rambang, Palangkaraya. Pelabuhan Sungai Rambang Palangkaraya 4-17

100 berada di Sungai Kahayan. Sungai Kahayan merupakan salah satu sungai di Kalimantan Tengah memiliki panjang sekitar 600 km dengan lebar rata-rata 450 m dan kedalaman rata-rata 7 m. Namun karena karakter Sungai Kahayan yang merupakan sungai pasang surut dengan beda pasang surut hingga mencapai sekitar 4 m, pada musim-musim hujan sungai akan pasang naik tinggi hingga meluap ke bantaran dan pada musim kering/kemarau, sungai akan surut hingga di beberapa tempat alur sungai menjadi dangkal sehingga tidak sepanjang tahun sungai ini dapat dilayari. Hal ini mengakibatkan angkutan sungai berkapasitas besar tidak dapat beroperasi secara maksimal. Kondisi ini semakin bertambah buruk dengan adanya pendangkalan akibat endapan lumpur yang makin bertambah setiap tahunnya. Pelabuhan Rambang adalah pelabuhan LLASD Palangkaraya, merupakan pelabuhan umum di bawah pengelolaan Dinas Perhubungan Kota Palangkaraya. Di Pelabuhan Rambang terdapat 1 unit dermaga type platform (type continuous), dengan 2 buah fasilitas bongkar muat type ponton. Dermaga platform terbuat dari kayu ulin yang sebagian direvitalisasi ke konstruksi beton. Pelabuhan Rambang diperuntukan bagi bongkar muat barang dan naik turun penumpang dari bus air, truk air, speed boat maupun getek. Gambar Citra satelit Pelabuhan Rambang 4-18

101 Gambar Kantor Pelabuhan Rambang LLASD Pelabuhan Rambang diperuntukan bagi bongkar muat barang dan naik turun penumpang dari bus air, truk air, speed boat maupun getek. Tercatat kegiatan pelabuhan pada tahun 2011 yaitu sebagai berikut: 1) Rute dan jumlah kapal: a. Palangkaraya Danau Panggang : 3 buah b. Palangkaraya Kuala Kapaus : 4 buah c. Palangkaraya Bahaur : 4 buah d. Palangkaraya Tumbang Miri : 12 buah e. Palangkaraya Teweh/Kuara Kurun : 149 buah f. Palangkaraya Tumbang Jutuh : 3 buah 2) Bongkar/Muat : 3886 ton 3) Turun/Naik : 1729 orang 2. Fasilitas Prasarana Pelabuhan Rambang a) Fasilitas sandar dan tambat Fasilitas sandar dan tambat di Pelabuhan Rambang meliputi sebagai berikut. 4-19

102 Type Fasilitas Tambat Fasilitas Sandar Continuous Quay, berupa konstruksi platform beton (deck on pile) di atas tiang pancang beton (CSP) 12 unit bollard baja - 10 unit sistem 2 unit fender, - bahan karet elastomeric type V 300 H (V-shape) - Jarak : 4 m. b) Fasilitas Bongkar Muat Gambar Fasilitas sandar dan tambat Fasilitas bongkar muat di Pelabuhan Rambang berupa Ponton. Item Ponton I Ponton II Panjang 10 m 10 m Lebar 5 m 5 m Konstruksi Kayu Kayu Penggerak Alami (air sungai) Alami (air sungai) Kapasitas

103 Gambar Fasilitas bongkar muat c) Alur pelayaran Pelabuhan Penyeberangan Rambang berada di Sungai Kahayan dengan panjang 600 m sedangkan panjang sungai yang dapat dilayari sepanjang 500 m, dengan kedalaman rata-rata 7 m. Dengan kondisi pasang surut sangat tinggi yaitu mencapai 4 m, pada musim kemarau alur sungai tidak dapat digunakan untuk lalu lintas kapal terutama kapal-kapal besar. Gambar Kondisi sungai saat surut D. Lokasi Medan Lokasi survey di Medan dalam studi ini merupakan survey transportasi danau di Danau Toba, dengan lokasi pengambilan data di Pelabuhan Ajibata, Pelabuhan Simanindo dan Pelabuhan Nainggolan. 4-21

104 1. Tinjauan Umum a) Pelabuhan Ajibata Pelabuhan Ajibata terletak di Parapat, merupakan pelabuhan danau yang melayani angkutan penyeberangan di Danau Toba, Sumatera Utara lintas penyeberangan Ajibata Tomok dengan jarak tempuh 3 mile. Pelabuhan Danau Ajibata dikelola oleh perusahaan swasta yaitu PT. Gunung Hijau Megah. Lintas penyeberangan Ajibata - Tomok, merupakan lintas penyeberangan komersil dalam provinsi sesuai KM. 64 Tahun 1989 menghubungkan Kabupaten Parapat dan Kabupaten Samosir. Gambar Pelabuhan Ajibata Lintas Penyeberangan Ajibata Tomok dapat dikatakan sebagai lintas penyeberangan cukup padat, dikarenakan lintasan ini merupakan lintasan utama bagi kendaraan-kendaraan dari Pulau Samosir menuju Sumatera daratan atau sebaliknya. Tercatat pada tahun 2011, sebanyak penumpang, kendaraan R-4 dan kendaraan R-2 melintas di jalur ini. Perkembangan volume lalu lintas pada lintas penyeberangan Ajibata - Tomok selengkapnya disajikan pada tabel berikut. Tabel 4.5. Produksi Agkutan Danau Lintas Ajibata Tomok Tahun No Tahun Penumpang Kendaraan R-4 Kendaraan R Sumber: Kantor Pelabuhan Penyeberangan Ajibata 4-22

105 Pelabuhan Ajibata menempati areal seluas sekitar m2, saat ini mengoperasikan 2 unit plengsengan sebagai prasarana bongkar muat dan melayani 2 unit kapal LCT yaitu KMP. Tao Toba I (300 GRT) dan Tao Toba II (500 GRT). Adapun data ke dua kapal yang beroperasi tersebut adalah sebagai berikut. Tabel 4.6. Spesifikasi kapal lintas penyeberangan Ajibata - Tomok Nama Kapal Operator Bobot Tao Toba I Tao Toba II PT. Gunung Hijau Megah PT. Gunung Hijau Megah b) Pelabuhan Simanindo (GRT) LoA (m) B (m) Draft (m) ,0 8,0 1, ,8 12,0 2,0 Pelabuhan Simanindo terletak di Kabupaten Samosir, menempati areal seluas 4.225,80 m2 merupakan pelabuhan danau di Danau Toba. Pelabuhan Simanindo disamping melayani angkutan penyeberangan, melayani pula angkutan penumpang dari kapal-kapal rakyat. Angkutan penyeberangan yang beroperasi melayani lintas penyeberangan Simanindo Tigaras. Pelabuhan Simanindo dibawah pengelolaan KSO Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara dan PT. Pembangunan Prasarana Sumatera Utara. Gambar Pelabuhan Simanindo 4-23

106 Gambar Dermaga penyeberangan Gambar Dermaga kapal rakyat Pelabuhan Simanindo mengoperasikan 2 (dua) unit dermaga, masing - masing dermaga untuk melayani angkutan penyeberangan dan dermaga untuk melayani kapal-kapal rakyat. Dermaga penyeberangan terbuat dari beton dengan fasilitas bongkar muat plengsengan, sedangkan dermaga kapal rakyat terbuat dari kayu. Untuk melayani lintas penyeberangan Simanindo-Tigaras, pelabuhan ini mengoperasikan 1 (satu) unit kapal LCT yaitu KMP Sumut II dengan bobot 246 GRT. Sedangkan kapal-kapal rakyat yang beroperasi di pelabuhan ini tercatat sebanyak 13 unit dengan bobot maksimum sekitar 20 GRT. 4-24

107 Gambar KMP Sumut I Arus penumpang dan kendaraan yang melalui Pelabuhan Simanindo pada tahun 2011 tercatat penumpang, unit kendaraan R-4, unit sepeda motor. Sementara arus penumpang di dermaga kayu pada tahun 2011 tercatat sebanyak penumpang, terdiri dari penumpang naik dan penumpang turun. c) Pelabuhan Nainggolan Sama halnya dengan Pelabuhan Simanindo, Pelabuhan Nainggolan juga terletak di Kabupaten Samosir dibawah pengelolaan KSO Dinas Perhubungan Sumatera Utara dan PT. Pembangunan Prasarana Sumatera Utara. Pelabuhan Nainggolan melayani angkutan penyeberangan di Danau Toba dengan lintas penyeberangan Nainggolan Muara. Pelabuhan Nainggolan menempati areal seluas sekitar m2, saat ini mengoperasikan 1 (satu) unit dermaga dolphin dengan fasilitas bongkar muat berupa konstruksi plengsengan. Lintas penyeberangan Nainggolan Muara dilayani 1 (satu) unit kapal LCT yaitu KMP Sumut I dengan bobot 206 GRT. 4-25

108 Gambar Dermaga penyeberangan di Pelabuhan Nainggolan 2. Fasilitas Prasarana a) Pelabuhan Ajibata 1) Fasilitas sandar dan tambat Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa Pelabuhan Ajibata terdapat 2 buah plengsengan yang berfungsi sebagai landing facilities. Plengsengan ini berfungsi ganda yaitu disamping sebagai fasilitas untuk sandar namun juga untuk bongkar muat kendaraan maupun penumpang yang naik/turun kapal. Meskipun berfungsi sebagai landing fasilities, namun fasilitasfasilitas untuk sandar kapal tidak tersedia. Adapun fasilitas sandar dan tambat yang tersedia di Pelabuhan Ajibata sebagai berikut. Type Fasilitas Tambat Fasilitas Sandar Tidak tersedia dermaga maupun fasilitas sandar 6 unit bollard dari pipa baja komposit. Tidak ada 4-26

109 Gambar Pelabuhan Ajibata, tidak tersedia dermaga Gambar Fasilitas Tambat 2) Fasilitas Kolam Pelabuhan Pelabuhan Ajibata berada di tepi Danau Toba dengan kedalaman kolam 5 m saat pasang dan 4 m saat surut dan areal turning basin untuk manuver kapal cukup luas. Gambar Fasilitas Kolam Pelabuhan 4-27

110 3) Fasilitas bongkar muat Fasilitas bongkar muat di Pelabuhan Ajibata berupa plengsengan sebanyak 2 buah. Item Plengsengan I Plengsengan II Panjang 6,5 m 5 m Lebar 6.1 m 5,5 m Konstruksi stone masonry stone masonry Penggerak fix fix Kapasitas - Ton - Ton PLENGSENGAN I PLENGSENGAN II Gambar Fasilitas Bongkar Muat 4) Alur Pelayaran Lintas Penyeberangan Ajibata Tomok adalah lintas penyeberangan di danau dengan jarak lintasan sekitar 3 mile. Perairan Danau Toba merupakan perairan cukup dalam, dengan beda pasang surut 1 m. Lintasan Ajibata - Tomok TOMOK AJIBATA Gambar Lintas Penyeberangan Ajibata - Tomok 4-28

111 b) Pelabuhan Simanindo 1) Fasilitas sandar dan tambat Di Pelabuhan Simanindo terdapat 2 (dua) unit dermaga dengan tipe dan fungsi pelayanan yang berbeda. Satu unit dermaga berupa tipe dolphin untuk melayani angkutan penyeberangan, satu unit lainnya dermaga tipe continuous quays untuk melayani penumpang kapal-kapal rakyat. (a) Dermaga Penyeberangan Type Lead in Jetty, berupa konstruksi dolphin terdiri dari 2 unit mooring Fasilitas Tambat 2 unit bollard baja Fasilitas Sandar Tidak tersedia Gambar Fasilitas tambat di dermaga penyeberangan (b) Dermaga Kapal Rakyat Type Qontinuous Quays, berupa konstruksi platform dari bahan kayu diatas di atas tiang pancang Fasilitas Tambat 4 unit bollard baja Fasilitas Sandar Tidak tersedia Gambar Fasilitas tambat di dermaga kapal rakyat 4-29

112 2) Fasilitas kolam pelabuhan Pelabuhan Simanindo memiliki kedalaman kolam pelabuhan sekitar 4 m dengan areal turning basin untuk manuver kapal cukup luas. Gambar Fasilitas kolam pelabuhan 3) Fasilitas bongkar muat Fasilitas bongkar muat yang beroperasi di Pelabuhan Simanindo berupa plengsengan. Spesifikasi fasilitas bongkar muat tersebut dapat dijelaskan dalam tabel berikut. Item Panjang Lebar Konstruksi Penggerak Kapasitas Dolphin 13,00 m 10,00 m Beton bertulang Fix 20 Ton Gambar Fasilitas bongkar muat plengsengan 4-30

113 4) Alur pelayaran Sama halnya dengan lintas penyeberangan Ajibata Tomok, lintas penyeberangan Simanindo Tigaras memiliki kedalaman alur yang cukup dalam pula dan sepanjang alur tidak terdapat rintangan. c) Pelabuhan Nainggolan 1) Fasilitas sandar dan tambat Pelabuhan Nainggolan mengoperasikan 1 (satu) unit dermaga dolphin untuk melayani kapal jenis LCT dengan bobot 206 GRT. Spesifikasi dermaga tersebut tidak jauh berbeda dengan dermaga di Simanindo, yaitu hanya memiliki mooring dolphin tanpa breasting. Type Lead in Jetty, berupa konstruksi dolphin terdiri dari 2 unit mooring Fasilitas Tambat 2 unit bollard baja Fasilitas Sandar Tidak tersedia Gambar Fasilitas tambat 2) Fasilitas kolam pelabuhan Kolam pelabuhan di Pelabuhan Nainggolan sekitar 4 m dengan areal turning basin yang luas. Gambar Fasilitas kolam pelabuhan 4-31

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan telah diatur ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

yang turut membantu dalam rangka pengumpulan data maupun kelancaran dalam pelaksanaan studi ini. Bandung, November 2012 PT. Atrya Swascipta Rekayasa

yang turut membantu dalam rangka pengumpulan data maupun kelancaran dalam pelaksanaan studi ini. Bandung, November 2012 PT. Atrya Swascipta Rekayasa KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya laporan ini yang merupakan Ringkasan Eksektutif pekerjaan Studi Penyusunan Konsep Standar di Bidang Prasarana

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 52 Tahun 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 70-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 127, 2001 Perhubungan.Pelabuhan.Otonomi Daerah.Pemerintah Daerah.Tarif Pelayanan. (Penjelasan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L No.394, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Terminal Khusus. Terminal untuk Kepentingan Sendiri. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 20 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2002 MENTERI PERHUBUNGAN,

TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2002 MENTERI PERHUBUNGAN, TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2002 MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan, dalam

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KETAPANG dan BUPATI KETAPANG MEMUTUSKAN :

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KETAPANG dan BUPATI KETAPANG MEMUTUSKAN : 1 BUPATI KETAPANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN KEPELABUHANAN, ANGKUTAN SUNGAI, DAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, telah diatur

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 70 TAHUN 1996 (70/1996) Tanggal : 4 DESEMBER 1996 (JAKARTA) Sumber : LN 1996/107; TLN PRESIDEN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1879, 2014 KEMENHUB. Pelabuhan. Terminal. Khusus. Kepentingan Sendiri. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 73 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1867, 2016 KEMENHUB. Pelabuhan Laut. Penyelenggaraan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 146 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 24 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PERHUBUNGAN, KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR : 45 TAHUN : 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN DI KOTA CILEGON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CILEGON,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG T E R M I N A L DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.71, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Bandar Udara. Pembangunan. Pelestarian. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5295) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN UMUM Pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki peranan yang sangat penting

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, Membaca : 1. surat

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang BUPATI ALOR, : a. bahwa pelabuhan mempunyai peran

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PM 51 TAHUN 2015 TENT ANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PM 51 TAHUN 2015 TENT ANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PM 51 TAHUN 2015 TENT ANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG LALU LINTAS ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG LALU LINTAS ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG LALU LINTAS ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO SELATAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1298, 2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Pelabuhan Tegal. Jawa Tengah. Rencana Induk. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 89 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA

Lebih terperinci

BIDANG PERHUBUNGAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN KABUPATEN 1. Perhubungan Darat. 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ)

BIDANG PERHUBUNGAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN KABUPATEN 1. Perhubungan Darat. 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) - 35-7. BIDANG PERHUBUNGAN 1. Perhubungan Darat 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) 1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan kabupaten 2. Pemberian izin penyelenggaraan

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 55 Tahun 2002. Tentang

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 55 Tahun 2002. Tentang Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 55 Tahun 2002 Tentang PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. Bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan telah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM NOMOR: KP 99 TAHUN 2017 NOMOR: 156/SPJ/KA/l 1/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN

Lebih terperinci

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.430,2016 KEMENHUB. Jasa. Angkutan Penyeberangan. Pengaturan dan Pengendalian. Kendaraan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 27 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG TERMINAL TRANSPORTASI JALAN

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG TERMINAL TRANSPORTASI JALAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG TERMINAL TRANSPORTASI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN Menimbang: a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas

Lebih terperinci

: Jl Raya Pelabuhan Merak, Gerem, Pulo Merak Cilegon-Banten. Kode Pos : Telp : (0254) , ,

: Jl Raya Pelabuhan Merak, Gerem, Pulo Merak Cilegon-Banten. Kode Pos : Telp : (0254) , , Pelabuhan Penyeberangan Merak Alamat : Jl Raya Pelabuhan Merak, Gerem, Pulo Merak Cilegon-Banten. Kode Pos : 42438 Telp : (0254) 571032, 571039, 571202 Luas area : 150.615 m2 Koordinat : 5 º55 51 LS -

Lebih terperinci

G. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG PERHUBUNGAN

G. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG PERHUBUNGAN LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR : Tahun 2010 TANGGAL : Juli 2010 G. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG PERHUBUNGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URUSAN 1. Perhubungan Darat 1. Lalu Lintas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH R.I. NOMOR 69 TAHUN 2001 TANGGAL 17 OKTOBER 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH R.I. NOMOR 69 TAHUN 2001 TANGGAL 17 OKTOBER 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH R.I. NOMOR 69 TAHUN 2001 TANGGAL 17 OKTOBER 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS PERHUBUNGAN KABUPATEN JEMBER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Jakarta, PT. Diksa Intertama Consultan

Kata Pengantar. Jakarta, PT. Diksa Intertama Consultan Kata Pengantar Report kegiatan Penelitian Penyusunan Sispro di Bidang Transportasi adalah merupakan salah satu rangkaian dari beberapa laporan yang harus dikerjakan oleh konsultan. Laporan ini pada hakekatnya

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 66 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS PERHUBUNGAN, INFORMASI DAN KOMUNIKASI PROVINSI BALI

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 66 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS PERHUBUNGAN, INFORMASI DAN KOMUNIKASI PROVINSI BALI GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 66 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS PERHUBUNGAN, INFORMASI DAN KOMUNIKASI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang

Lebih terperinci

P. BIDANG PERHUBUNGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN

P. BIDANG PERHUBUNGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN P. BIDANG PERHUBUNGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Perhubungan Darat 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) 1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan 2. Pemberian

Lebih terperinci

P. BIDANG PERHUBUNGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN

P. BIDANG PERHUBUNGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN P. BIDANG PERHUBUNGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Perhubungan Darat 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) 1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan daerah. 2.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 32 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 32 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 32 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1996 tentang Kepelabuhan

Lebih terperinci

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 431, 2016 KEMENHUB. Penumpang. Angkutan Penyeberangan. Kewajiban. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 28 TAHUN 2016 TENTANG KEWAJIBAN PENUMPANG

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI BERDASARKAN SISTEM TRANSPORTASI NASIONAL

PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI BERDASARKAN SISTEM TRANSPORTASI NASIONAL PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI BERDASARKAN SISTEM TRANSPORTASI NASIONAL http://images.hukumonline.com I. PENDAHULUAN Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan

Lebih terperinci

NOMOR PM 103 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN PENGENDALIAN KENDARAAN YANG MENGGUNAKAN JASA ANGKUTAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR PM 103 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN PENGENDALIAN KENDARAAN YANG MENGGUNAKAN JASA ANGKUTAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 103 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN PENGENDALIAN KENDARAAN YANG MENGGUNAKAN JASA ANGKUTAN PENYEBERANGAN

Lebih terperinci

2 Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lemb

2 Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lemb BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.216, 2015 KEMENHUB. Penyelenggara Pelabuhan. Pelabuhan. Komersial. Peningkatan Fungsi. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 23 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

- 1 - BUPATI KEPULAUAN SANGIHE PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN BUPATI KEPULAUAN SANGIHE NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG

- 1 - BUPATI KEPULAUAN SANGIHE PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN BUPATI KEPULAUAN SANGIHE NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG - 1 - BUPATI KEPULAUAN SANGIHE PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN BUPATI KEPULAUAN SANGIHE NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PERHUBUNGAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.633, 2015 KEMENHUB. Angkutan Penyeberangan. Penyelenggaraan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 80 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN. NOMOR : KM 73 Tahun 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN SUNGAI DAN DANAU MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN. NOMOR : KM 73 Tahun 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN SUNGAI DAN DANAU MENTERI PERHUBUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 73 Tahun 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN SUNGAI DAN DANAU MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG TATA CARA DAN KRITERIA PENETAPAN SIMPUL DAN LOKASI TERMINAL PENUMPANG SERTA LOKASI FASILITAS PERPINDAHAN MODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2004 KEPELABUHANAN DAN IZIN KEPELABUHANAN

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2004 KEPELABUHANAN DAN IZIN KEPELABUHANAN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG KEPELABUHANAN DAN IZIN KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

Melaksanakan Urusan Pemerintah di Bidang Perhubungan, Komunikasi dan Informatika berdasarkan azas Otonomi dan Tugas Pembantuan

Melaksanakan Urusan Pemerintah di Bidang Perhubungan, Komunikasi dan Informatika berdasarkan azas Otonomi dan Tugas Pembantuan PROFIL DINAS PERHUBUNGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KABUPATEN TANAH DATAR Sesuai dengan Peraturan Daerah Tanah Datar Nomor: 7 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah, bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TAHUN 2012 NOMOR 4

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TAHUN 2012 NOMOR 4 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TAHUN 2012 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR DI KABUPATEN TANAH LAUT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 09 TAHUN 2005 TENTANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PANGKALPINANG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 276, 2015 KEMENHUB. Penumpang. Angkatan Laut. Pelayanan. Standar. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 37 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR PELAYANAN

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1968 tentang Berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 dan Pelaksanaan Pemerintahan di Propinsi

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1968 tentang Berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 dan Pelaksanaan Pemerintahan di Propinsi - 2-3. 4. 5. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1968 tentang Berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 dan Pelaksanaan Pemerintahan di Propinsi Bengkulu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa angkutan di perairan selain mempunyai peranan yang strategis dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1986), Bandar Udara adalah. operator pelayanan penerbangan maupun bagi penggunanya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1986), Bandar Udara adalah. operator pelayanan penerbangan maupun bagi penggunanya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Bandar Udara Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1986), Bandar Udara adalah Sebuah fasilitas tempat pesawat terbang dapat lepas landas dan mendarat. Bandar Udara

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN WALIKOTA NOMOR 57 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PERHUBUNGAN, KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

WALIKOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN WALIKOTA NOMOR 57 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PERHUBUNGAN, KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA WALIKOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN WALIKOTA NOMOR 57 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PERHUBUNGAN, KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN, Menimbang

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 60 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PERHUBUNGAN KOTA SURABAYA

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN PENYEBERANGAN SINABANG KABUPATEN SIMEULUE

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN PENYEBERANGAN SINABANG KABUPATEN SIMEULUE PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN PENYEBERANGAN SINABANG KABUPATEN SIMEULUE DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa angkutan di perairan selain mempunyai peranan yang strategis dalam

Lebih terperinci

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 37 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Kriteria Pelabuhan yang Dapat Diusahakan Secara Komersial dan Non Komersial a. Kriteria Pelabuhan yang Dapat Diusahakan Secara Komersial 1) Memiliki fasilitas

Lebih terperinci

2015, No ruang wilayah Kabupaten Manggarai Barat sebagaimana yang direkomedasikan oleh Bupati Manggarai Barat melalui surat Nomor BU.005/74/IV

2015, No ruang wilayah Kabupaten Manggarai Barat sebagaimana yang direkomedasikan oleh Bupati Manggarai Barat melalui surat Nomor BU.005/74/IV BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1764, 2015 KEMENHUB. Pelabuhan. Labuan Bajo. NTT. Rencana Induk PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 183 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN

Lebih terperinci

2016, No Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8

2016, No Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8 No.1031, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. IMB. Bandar Udara. Pemberian dan Persetujuan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 87 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1522,2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Pelabuhan Makassar. Sulawesi Selatan. Rencana Induk. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 92 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

2016, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran N

2016, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran N BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.413, 2016 KEMENHUB. Penumpang dan Angkutan Penyeberangan. Daftar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 25 TAHUN 2016 TENTANG DAFTAR

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 77 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PERHUBUNGAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 T E N T A N G

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 T E N T A N G BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2009 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PERHUBUNGAN, KOMUNIKASI DAN INFORMASI KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN TIMUR PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN TIMUR PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN BUPATI KOTAWARINGIN TIMUR PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PERIZINAN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN SUNGAI DAN DANAU DI KABUPATEN KOTAWARINGIN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH K E P E L A B U H A N A N KABUPATEN CILACAP NOMOR 26 TAHUN 2003 SERI D NOMOR 21

LEMBARAN DAERAH K E P E L A B U H A N A N KABUPATEN CILACAP NOMOR 26 TAHUN 2003 SERI D NOMOR 21 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 26 TAHUN 2003 SERI D NOMOR 21 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG K E P E L A B U H A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. menghubungkan Pulau Sumatera dan Pulau Jawa melalui sarana laut.

II. TINJAUAN PUSTAKA. menghubungkan Pulau Sumatera dan Pulau Jawa melalui sarana laut. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pelabuhan Bakauheni Pelabuhan Bakauheni adalah pelabuhan yang terletak di kecamatan Bakauheni, Kabupaten Lampung Selatan. Pelabuhan Bakauheni menghubungkan Pulau Sumatera dan Pulau

Lebih terperinci

Pedoman dan penetapan tata cara penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan.

Pedoman dan penetapan tata cara penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan. G. PEMBAGIAN URUSAN BIDANG PERHUBUNGAN - 135-1. Perhubungan Darat 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) 1. Pedoman dan penetapan tata cara penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR : 9 TAHUN : 2003 SERI : D NOMOR : 7

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR : 9 TAHUN : 2003 SERI : D NOMOR : 7 KOTA DUMAI LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR : 9 TAHUN : 2003 SERI : D NOMOR : 7 PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DUMAI, Menimbang

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 69 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN REMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 69 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN REMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 69 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN REMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN DENGAN

Lebih terperinci

BAHAN PAPARAN. Disampaikan pada : BIMBINGAN TEKNIS AUDIT

BAHAN PAPARAN. Disampaikan pada : BIMBINGAN TEKNIS AUDIT BAHAN PAPARAN Disampaikan pada : BIMBINGAN TEKNIS AUDIT PENGERTIAN ISTILAH 1. Bandar Udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang

Lebih terperinci

TENTANG IZIN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS

TENTANG IZIN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS PEMERINTAH KABUPATEN TANAH BUMBU PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG IZIN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH BUMBU,

Lebih terperinci

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH SALINAN BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN BUPATI TOLITOLI NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PERHUBUNGAN KABUPATEN TOLITOLI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN OBJEK

BAB II TINJAUAN OBJEK 18 BAB II TINJAUAN OBJEK 2.1. Tinjauan Umum Stasiun Kereta Api Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 9 dan 43 Tahun 2011, perkeretaapian terdiri dari sarana dan prasarana, sumber daya manusia, norma,

Lebih terperinci

INVESTASI/USAHA BIDANG PERHUBUNGAN DARAT

INVESTASI/USAHA BIDANG PERHUBUNGAN DARAT DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT INVESTASI/USAHA BIDANG PERHUBUNGAN DARAT Jakarta, 2009 LINGKUP INVESTASI Aspek Angkutan 1. Kegiatan usaha angkutan orang dan atau barang dengan

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 53 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 53 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN SALINAN BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 53 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS PERHUBUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1913, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Jasa Kepelabuhan. Tarif. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 148 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENETAPAN JENIS, STRUKTUR, GOLONGAN,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

2017, No Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2720); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lemb

2017, No Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2720); 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lemb BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.603, 2017 KEMENHUB. Angkutan Penyeberangan Lintas Antarprovinsi. Tarif. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 30 TAHUN 2017 TENTANG TARIF

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN BELITUNG

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN BELITUNG PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR: SK. 2681/AP.005/DRJD/2006 TENTANG PENGOPERASIAN PELABUHAN PENYEBERANGAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR: SK. 2681/AP.005/DRJD/2006 TENTANG PENGOPERASIAN PELABUHAN PENYEBERANGAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR: SK. 2681/AP.005/DRJD/2006 TENTANG PENGOPERASIAN PELABUHAN PENYEBERANGAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT Menimbang : a. bahwa dalam Keputusan Menteri

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 82 TAHUN 2008

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 82 TAHUN 2008 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 82 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS SEKRETARIAT, BIDANG, SUB BAGIAN DAN SEKSI DINAS PERHUBUNGAN DAN LALU LINTAS ANGKUTAN JALAN PROVINSI JAWA TIMUR

Lebih terperinci

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI LUMAJANG NOMOR 75 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 52 TAHUN 2000 TENTANG JALUR KERETA API MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 52 TAHUN 2000 TENTANG JALUR KERETA API MENTERI PERHUBUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 52 TAHUN 2000 TENTANG JALUR KERETA API MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang: a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1998 tentang Prasarana dan Sarana Kereta

Lebih terperinci

WALIKOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT

WALIKOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT WALIKOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 65 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS POKOK DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci