Oleh : Iin Suhartini NIM : Pembimbing : Haris Retno Susmiyati, S.H., M.H. La SYarifuddin, S.H., M.H. ABSTRAK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Oleh : Iin Suhartini NIM : Pembimbing : Haris Retno Susmiyati, S.H., M.H. La SYarifuddin, S.H., M.H. ABSTRAK"

Transkripsi

1 KAJIAN TEORITIS KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENETAPAN WILAYAH PERTAMBANGAN (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR : 10/PUU-X/2012) Oleh : Iin Suhartini NIM : Pembimbing : Haris Retno Susmiyati, S.H., M.H. La SYarifuddin, S.H., M.H. ABSTRAK Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012 keluar, terjadi Perubahan alur dalam Penetapan Wilayah Pertambangan. Melalui keputusan ini, muncul anggapan bahwa kewenangan penetapan wilayah pertambangan berada ditangan pemerintah daerah. Padahal, penetapan wilayah pertambangan tetap dilakukan oleh pemerintah pusat, namun pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menentukan wilayah pertambangan terlebih dahulu. Kewenangan menentukan ini dianggap lebih besar dari kewenangan sebelumnya. Wilayah Pertambangan merupakan landasan dalam kegiatan pertambangan. Sehingga dalam penetapannya perlu dilakukan pengaturan yang meminimalisir resiko yang ada. Tulisan ini akan membahas tentang Perubahan Penetapan Wilayah Pertambangan setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012. Kata Kunci : Penetapan, Wilayah Pertambangan, Putusan Mahkamah Konstitusi PENDAHULUAN Didalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Hingga saat ini belum pernah ada penjelasan maupun kejelasan secara resmi tentang makna dikuasai oleh Negara. Namun dapat dipastikan, dikuasai oleh Negara tidak sama dengan dimiliki oleh Negara.

2 Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi. 1 Secara esensisal sebenarnya dalam penyelenggaraan desentralisasi terdapat dua elemen penting yang saling berkaitan, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengatur dan urusan pemerintahan tertentu yang diserahkan. Pertambangan sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara merupakan sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dinyatakan bahwa WP sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. Selanjutnya, dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dinyatakan bahwa WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyar Republik Indonesia. Pada tanggal 9 Januari 2012, H. Isran Noor, M.Si mengajukan pengujian konstitusional Pasal 1 Angka 29 sepanjang frasa dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan, Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 9 ayat (2), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17, dan Pasal 171 ayat (1) sepanjang frasa untuk mendapatkan persetujuan pemerintah 1 Hari sabarno, 2007, Untaian Pemikiran Ekonomi Daerah : Memandu Otonomi Daerah menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta, Halaman 3

3 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara terhadap Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5), Pasal 18A ayat (2) dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun Pada tanggal 20 November 2012 keluarlah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012. Putusan ini mengabulkan sebagian Permohonan Pemohon. Ketentuan Pasal yang dikabulkan sebagian antara lain Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 9 ayat (2), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 17. Ketentuan Pasal ini berkaitan dengan Penetapan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan, serta Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan. Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012 dikeluarkan, muncul suatu anggapan bahwa melalui putusan ini kewenangan penetapan wilayah pertambangan ada ditangan pemerintah daerah. Hal ini didasarkan pada pemberian kewenangan bagi Pemerintah Daerah untuk menentukan Wilayah Pertambangan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan. 2 Berdasarkan uraian dan penjelasan tersebut diatas, permasalahan yang akan dibahas adalah Perubahan Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penetapan Wilayah Pertambangan setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012. Ketentuan Pasal yang ditolak oleh Mahkamah Konsitusi Ketentuan Pasal yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi antara lain : a. Ketentuan Pasal 1 angka 29 Dalam Pasal 1 Angka 29 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dinyatakan bahwa Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara 2 yang diakses pada tanggal 23 November 20112, pada pukul WITA

4 dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Ketentuan Pasal ini tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah berpendapat penetapan Wilayah Pertambangan dan Wilayah Usaha Pertambangan di samping harus memperhatikan tata ruang nasional yang tentunya tidak selalu dapat dibatasi oleh batasan administratif pemerintahan daerah otonom, juga harus memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, menghindari tumpang tindih kawasan atau wilayah pertambangan serta menghindari konflik antar wilayah. Agussalim Andi Gadjong didalam bukunya menyatakan bahwa prinsip dalam menjalankan otonomi daerah adalah dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan. 3 Didalam Pasal 2 ayat (7) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintah Dalam hal pemanfaatan sumber daya alam yang merupakan kekayaan alam yang tidak terbarukan dan tersebar secara tidak merata, wilayah pemanfaatan Sumber Daya Alam ini memang tidak bisa terikat dengan batasan administrasi pemerintahan. Karena menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan, sebagai konsekuensi dibentuk dan disusunnya daerah otonom yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Halaman Agussalim Andi Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah : Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor,

5 b. Ketentuan Pasal 171 ayat (1) Dalam Pasal 171 ayat (1) Dalam Pasal 171 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dinyatakan bahwa Pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang telah melakukan tahapan kegiatan eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, atau operasi produksi paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini harus menyampaikan rencana kegiatan pada seluruh wilayah kontrak/perjanjian sampai dengan jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian untuk mendapatkan persetujuan pemerintah. Ketentuan Pasal ini ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah berpendapat Pengaturan mengenai KK dan PKP2B tersebut sudah seharusnya mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat. Hal ini bertujuan agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi tumpah tindih yang menimbulkan adanya ketidakpastian hukum bagi perusahaan pertambangan maupun masyarakat. Aturan peralihan tersebut menjadi sangat penting dalam rangka penyesuaian dan untuk menjamin kepastian hukum. Didalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak lagi dikenal istilah kontrak ataupun perjanjian, namun yang dijadikan landasan dalam kegiatan pertambangan adalaha ijin dari pemerintah ataupun pemerintah daerah sesuai dengan wilayah kewenangannya. Karenanya, kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang masih berlaku, perlu diatur penyesuaiannya didalam ketentuan peralihan. Ketentuan Peralihan berfungsi untuk menjaga jangan sampai terdapat pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya perubahan ketentuan dalam suatu Peraturan Perundangundangan. 4 Karenanya Persetujuan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 171 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral 4 diakses tanggal 23 Maret 2013, pukul wita.

6 dan Batubara sudahlah tepat. Karena merupakan bentuk pengawasan pemerintah pusat dalam menjamin kesesuaian serta kepastian hukum atas perubahan ketentuan dalam kegiatan pertambangan sebagai akibat berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ketentuan Pasal yang dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi Ketentuan Pasal yang dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi antara lain berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut : a. Penetapan Wilayah Pertambangan Pasal yang berkaitan dengan Penetapan Wilayah Pertambangan adalah ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf e dan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam 6 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tertulis penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Selanjutnya didalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dinyatakan bahwa WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Ketentuan Pasal yang berkaitan dengan kewenangnan penetapan wilayah pertambangan dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga Ketentuan Pasal Pasal 6 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi penetapan WP yang dilakukan setelah ditentukan oleh pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan perwakilan Rakyat Republik Indonesia

7 Dan Ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah ditentukan oleh Pemerintah Daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012, terjadi perubahan kewenangan dalam penetapan wilayah pertambangan. Sebelumnya sebagaiamana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, untuk menetapkan wilayah pertambangan, Pemerintah Pusat berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan kemudian berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan selanjutnya menetapkan Wilayah Pertambangan. Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012, Pemerintah menetapkan Wilayah Pertambangan setelah ditentukan oleh Pemerintah Daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. b. Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan Ketentuan lain yang juga dimohonkan oleh Pemohon adalah berkaitan dengan penetapan Wilayah Usaha Pertambangan. Yakni ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2). Didalam Pasal 14 ayat (1) dinyatakan bahwa Penetapan WUP dilakukan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sedangkan didalam ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dinyatakan bahwa Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemerintah daerah yang bersangkutan berdasarkan data dan informasi yang dimiliki Pemerintah dan pemerintah daerah

8 Ketentuan Pasal ini dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi Penetapan WUP dilakukan Pemerintah setelah ditentukan oleh pemerintah daerah dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dan Ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi Penentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan berdasarkan data dan informasi yang dimiliki Pemerintah dan pemerintah daerah. Hal ini memberikan perubahan terhadap kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penetapan Wilayah Pertambangan. Sebelumnya, Pemerintah Pusat menetapkan Wilayah Usaha Pertambangan setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Koordinasi yang dimaksud adalah koordinasi yang dilakukan dengan pemerintah daerah yang bersangkutan berdasarkan data dan informasi yang dimiliki pemerintah dan pemerintah daerah. Setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012, Pemerintah Pusat menetapkan Wilayah Usaha Pertambangan setelah ditentukan oleh Pemerintah daerah dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Penentuan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah didasarkan pada data dan informasi yang dimiliki oleh pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. c. Penetapan Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan Didalam Pasal 17 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dinyatakan bahwa Luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria

9 yang dimiliki oleh Pemerintah. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon sebagian. Sehingga ketentuan Pasal 17 Luas dan batas WIUP mineral dan logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah setelah ditentukan oleh pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki pemerintah. Hal ini membawa perubahan dalam Penetapan Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan. Sebelumnya, Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambanga ditetapkan oleh Pemerintah Pusat berkoordinasi dengn pemerintah Daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh pemerintah Pusat. Setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012, Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan dilakukan oleh Pemerintah Pusat setelah ditentukan oleh Pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh Pemerintah. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam mengabulkan permohonan pemohon yang berkaitan dengan Penetapan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan, serta Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan adalah sebagai berikut : a. Mahmakah menilai bahwa urusan pemerintahan dalam menetapkan wilayah pertambangan, wilayah usaha pertambangan dan batas serta luas wilayah ijin usaha pertambangan, bukanlah termasuk urusan pemerintahan yang mutlak menjadi urusan pemerintah pusat. tetapi merupakan urusan pemerintahan yang bersifat fakultatif yang sangat tergantung pada situasi, kondisi dan kebutuhan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. b. Mahkamah juga berpendapat pengelolaan dan eksploitasi sumber daya alam Minerba berdampak langsung terhadap daerah yang menjadi wilayah usaha pertambangan, baik dampak lingkungan yang berpengaruh pada kualitas sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan masyarakat daerah yang bersangkutan, maupun dampak ekonomi dalam rangka kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, adalah tidak

10 bijak dan bertentangan dengan semangat konstitusi, apabila daerah tidak memiliki kewenangan sama sekali dalam menentukan wilayah pertambangan, wilayah usaha pertambangan serta batas dan luas wilayah ijin usaha pertambangan. c. Selain itu, mahkamah juga dalam pertimbangannya menjelaskan untuk menjamin fungsi Pemerintah dalam rangka koordinasi, standardisasi, kriteria dan pengawasan, maka Pemerintah harus menetapkan prosedur dan kriteria yang menjadi landasan bagi Pemerintah maupun pemerintah daerah dalam menentukan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan serta batas dan luas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan. Analisis terhadap frasa menentukan dalam perubahan Penetapan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan, serta Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan Dari penjabaran sebelumnya, terdapat kesamaan dalam Perubahan Penetapan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan, serta Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan. Yakni, pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk menentukan baik itu untuk Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan, maupun Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan. Sebelumnya Pemerintah daerah hanya memiliki wewenang untuk berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat. Koordinasi dalam pemerintahan pada hakikatnya merupakan upaya untuk memadukan (mengintegrasikan), menyerasikan dan menyelaraskan berbagai kepentingan dan kegiatan yang saling berkaitan beserta segenap gerak, langkah, dan waktunya dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran bersama. 5 5 Lembaga Administrasi Negara, 1997, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, PT Toko Gunung Agung, Jakarta, Halaman 53

11 Dari pengertian koordinasi diatas dapat disimpulkan bahwa koordinasi yang dilakukan merupakan suatu upaya penyelerasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penetapan wilayah pertambangan. Hal ini dimaksudkan agar wilayah pertambangan tidak saling tumpang tindih dan sesuai dengan peraturan maupun kriteria teknis yang ada. Kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012 adalah menentukan Wilayah Pertambangan untuk selanjutnya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. Dari berbagai referensi yang penulis baca, tidak ditemukan pengertian frasa menentukan dari bidang ilmu hukum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian menentukan dan menetapkan tidak jauh berbeda. Namun, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi ini menentukan dan menetapkan adalah dua hal yang berbeda. Tindakan Pemerintahan terbagi dua, yakni (feitelijkhandelingen) dan tindakan Hukum (rechtshandelingen). 6 berupa Tindakan Nyata Tindakan Nyata adalah tindakan-tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat hukum. Sedangkan tindakan hukum adalah tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu. Namun, untuk disebut sebagai tindakan hukum tidaklah harus menimbulkan akibat hukum secara langsung. Karena, didalam Hukum Administrasi negara dikenal suatu tindakan pemerintah yang tidak memiliki akibat hukum langusng, namun memilliki relevansi hukum, yakni Perencanaan. 7 Berdasarkan penjabaran diatas, penulis berpendapat bahwa frasa menentukan dan menetapkan merupakan suatu tindakan hukum. Penentuan merupakan tindakan hukum yang 6 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, Halaman Ibid., Halaman 196

12 memiliki relevansi dengan hukum namun belum memiliki akibat hukum. Sedangkan penetapan adalah tindakan hukum yang memiliki relevansi sekaligus menimbulkan akibat hukum. Karenanya, Penentuan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah bukanlah merupakan garis akhir dari penetapan wilayah pertambangan. Sekalipun Pemerintah Daerah menentukan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan, maupun Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan, namun penentuan ini tidaklah memiliki akibat hukum sampai ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Karena kewenangan penetapan wilayah pertambangan masih dilmiliki oleh pemerintah pusat. Nasroen berpendapat bahwa otonomi daerah yang seluas-luasnya bukan tanpa batas sehingga meretakkan negara kesatuan 8. Otonomi daerah berarti berotonomi dalam negara. Otonomi seluas-luasnya tentunya tidak boleh bertentangan dengan dasar kesatuan dan dasar kesatuan sebaliknya, tentulah tidak boleh melenyapkan wujud dari otonomi seluas-luasnya. Tentulah yang akan dicari dan ditetapkan ialah suatu perseimbangan antara dasar kesatuan dan dasar otonomi seluas-luasnya di daerah. Pada dasarnya, prinsip otonomi daerah harus mencerminkan 3 (tiga) hal, yaitu harus serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan, serta harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. 9 Lord Agton mengeluarkan suatu adagium yang menyatakan bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolute) pasti akan disalahgunakan M. Nasroen, 1951, Masalah-masalah Sekitar Otonomi Daerah, Wolters, Jakarta, Halaman 28 9 Agussalim Andi Gadjong, Op.Cit., Halaman Ridwan HR, Op.Cit., Halaman 6

13 Karenanya, Penulis berpendapat bahwa Kewenangan yang diberikan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012 kepada Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam Penetapan Wilayah Pertambangan sudahlah tepat. Hal ini didasarkan pada, Kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam Penetapan Wilayah Pertambangan saling membatasi kekuasaan satu sama lain. Hal ini bertujuan menjaga kesinergisan hubungan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi urusan bersama, dalam hal ini pemanfaatan sumber daya alam mineral dan batubara. Namun, seperti banyak yang terjadi terhadap peraturan hukum yang ada di Indonesia, sering terjadi ketidaksesuaian antara peraturan dan pelaksanaannya. Karenanya, perlu ada jaminan bagi Pemerintah Daerah, bahwa penetapan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Pusat tidak akan menyalahi dari apa yang Pemerintah Daerah tentukan sebelumnya. Walaupun Pemerintah Daerah sudah tidak memiliki kewenangan berkoordinasi, namun dalam penetapan wilayah pertambangan menurut penulis pemerintah pusat tetap perlu berkoordinasi dengan pemerintah daerah dalam penetapan hasil akhir. Karena tujuan dari diberikannya kewenangan menentukan wilayah pertambangan adalah agar Pemerintah Daerah dapat mengatur wilayahnya namun tetap berada dibawah pengawasan Pemerintah Pusat. Melalui kewenangan menentukan Wilayah Pertambangan, Pemerintah Daerah membatasi kekuasaan pemerintahan dalam menetapkan wilayah pertambangan. Sedangkan, dengan kewenangan penetapan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, membatasi kekuasaan pemerintah daerah dalam menentukan wilayah pertambangan agar tetap sesuai dengan kebijakan nasional pengelolaan Pertambangan Mineral dan batubara.

14 Penutup Terhadap Pembahasan dapat disimpulkan bahwa penetapan wilayah pertambangan tidak terletak pada Pemerintah Daerah. Namun, kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penetapan Wilayah Pertambangan memang lebih besar. Sebelumnya, Pemerintah Daerah hanya memiliki kewenangan untuk berkoordinasi dengan pemerintah pusat dalam penetapan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan, serta Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan. Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012, Pemerintah Daerah diberikan Kewenangan untuk menentukan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan, serta Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan untuk selanjutnya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Namun, penentuan ini bukanlah garis akhir. Penentuan yang dilakukan pemerintah daerah belum dapat menimbulkan akibat hukum sampai ditetapkan oleh pemerintah pusat. Kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam Penetapan Wilayah Pertambangan saling membatasi kekuasaan satu sama lain. Melalui kewenangan menentukan Wilayah Pertambangan, Pemerintah Daerah membatasi kekuasaan pemerintahan dalam menetapkan wilayah pertambangan. Sedangkan, dengan kewenangan penetapan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, membatasi kekuasaan pemerintah daerah dalam menentukan wilayah pertambangan agar tetap sesuai dengan kebijakan nasional pengelolaan Pertambangan Mineral dan batubara. Namun, seperti banyak yang terjadi terhadap peraturan hukum yang ada di Indonesia, sering terjadi ketidaksesuaian antara peraturan dan pelaksanaannya. Karenanya, perlu ada jaminan bagi Pemerintah Daerah, bahwa penetapan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Pusat tidak akan menyalahi dari apa yang Pemerintah Daerah tentukan sebelumnya. Walaupun Pemerintah Daerah sudah tidak memiliki kewenangan berkoordinasi, namun dalam penetapan

15 wilayah pertambangan menurut penulis pemerintah pusat tetap perlu berkoordinasi dengan pemerintah daerah dalam penetapan hasil akhir. Karena tujuan dari diberikannya kewenangan menentukan wilayah pertambangan adalah agar Pemerintah Daerah dapat mengatur wilayahnya namun tetap berada dibawah pengawasan Pemerintah Pusat. A. Buku DAFTAR PUSTAKA Alim Alim, Achmad, 1996, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Chandra Pratama, Jakarta Bahasa, Pusat, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gadjong, Agussalim Andi, 2007, Pemerintahan Daerah : Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor Gie, The Liang, 1970, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Liberty, Yogyakarta Hadjon, Phillipus M, dkk, 1994, PengantarBhukum Administrasi Negara Republik Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta HR, Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT Rajagrafindo, Jakarta HS, Salim, 2005, Hukum Pertambangan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Kelsen, Hans, 2006, Teori tentang Hukum dan Negara, Nusamedia, Bandung Manan, Bagir, 2002, Meyongsong Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakulats Hukum Islam Indonesia, Yogyakarta Manan, Abdul, 2006, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta Masriani, Yulies Tiesna, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Muhammad, Abdul Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung Mustamin, Mustamin Dg Matutu, Abdul Latief, Hikmawati, 2004, Mandat, Delegasi, Atribusi, dan Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta

16 Sabarno, Hari, 2007, Untaian Pemikiran Ekonomi Daerah : Memandu Otonomi Daerah menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta, Santoso, Urip, 2005, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta Siahaan, Maruarar, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia : Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta Syafruddin, Ateng, 1985, Pasang Surut Otonomi Daerah, BinaCipta, Bandung B. Peraturan PerUndang-undangan Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan C. Jurnal Ilmial dan Artikel Internet Pardiato, Bambang, 2010, Wilayah Pertambangan Dalam Tata Ruang Nasional, Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi Puluhuwala, Fenty. U, 2011 Pengawasan sebagai instrument Penegakan Hukum pada Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Universitas Negeri Gorontalo

17 Sodjuangan Situmorang, 2002 Model Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, Universitas Indonesia Artikel berjudul Pengertian Pertambangan, diakses tanggal 8 November 2012 Artikel berjudul Kewenangan Daerah Semakin Besar, kin.besar, dikases tanggal 24 November 2012 Artikel berjudul MK : penetapan wilayah pertambangan setelah ditentukan pemda, diakses tanggal 25 November 2012 Artikel berjudul Wewenang tambang di daerah, pelaku usaha was-was, diakses tanggal 25 Desember 2012 Artikel berjudul Putusan MK Koreksi atas Penyimpangan Semangat Otda, diakses tanggal 2 Januari 2013 Artikel Berjudul Penetapan Wilayah Pertambangan masih Buntu, diakses tanggal 21 Januari 2013

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 3 Nomor 7 (2014) Copyright 2014

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 3 Nomor 7 (2014)  Copyright 2014 JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 3 Nomor 7 (2014) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja Copyright 2014 KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERTAMBANGAN PASIR

Lebih terperinci

KEWENANGAN PEMERINTAH DAN POTENSI PENERIMAAN PAJAK PADA SEKTOR PERTAMBANGAN

KEWENANGAN PEMERINTAH DAN POTENSI PENERIMAAN PAJAK PADA SEKTOR PERTAMBANGAN Penulis: Danni Aprianza Helmi KEWENANGAN PEMERINTAH DAN POTENSI PENERIMAAN PAJAK PADA SEKTOR PERTAMBANGAN Sumber gambar: www.tempo.co I. PENDAHULUAN Konstitusi Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa

Lebih terperinci

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 3 Nomor 4 (2014) Copyright 2014

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 3 Nomor 4 (2014)  Copyright 2014 JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 3 Nomor 4 (2014) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja Copyright 2014 PERBANDINGAN HUKUM PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI DI INDONESIA

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat I. PEMOHON Assosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang diwakili oleh Ir.

Lebih terperinci

I. PEMOHON Perkumpulan Tukang Gigi (PTGI) Jawa Timur yang dalam hal ini di wakili oleh Mahendra Budianta selaku Ketua dan Arifin selaku Sekretaris

I. PEMOHON Perkumpulan Tukang Gigi (PTGI) Jawa Timur yang dalam hal ini di wakili oleh Mahendra Budianta selaku Ketua dan Arifin selaku Sekretaris RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KE-2 Registrasi Nomor: 74/PUU-X/2012 Tentang Pemberhentian Sementara Pengujian Peraturan Perundang- Undangan Di Bawah Undang-Undang Yang Sedang Dilakukan Mahkamah Agung I.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hewan tumbuan dan organisme lain namun juga mencangkup komponen abiotik

BAB I PENDAHULUAN. hewan tumbuan dan organisme lain namun juga mencangkup komponen abiotik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat kaya sumber daya, baik itu sumber daya manusia atau pun sumber daya alam. Dari aspek sumber daya alam, kekayaan yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, Yogyakarta : UII Press, Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Jakarta, Sinar Grafika, 2012

DAFTAR PUSTAKA. Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, Yogyakarta : UII Press, Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Jakarta, Sinar Grafika, 2012 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, Yogyakarta : UII Press, 2004 Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Jakarta, Sinar Grafika, 2012 Agussalim Andi Gadjong, Pemerintah Daerah : Kajian

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017 KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN PERTAMBANGAN BAHAN GALIAN C MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 1 Oleh: Thalia Anjella Sarah Montolalu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, batu bara, bijih besi, dan

BAB I PENDAHULUAN. meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, batu bara, bijih besi, dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat besar, salah satunya adalah bahan galian tambang. Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 108/PUU-XII/2014 Kontrak Karya. I. PEMOHON PT. Pukuafu Indah, diwakili oleh Dr. Nunik Elizabeth Merukh, MBA.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 108/PUU-XII/2014 Kontrak Karya. I. PEMOHON PT. Pukuafu Indah, diwakili oleh Dr. Nunik Elizabeth Merukh, MBA. RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 108/PUU-XII/2014 Kontrak Karya I. PEMOHON PT. Pukuafu Indah, diwakili oleh Dr. Nunik Elizabeth Merukh, MBA. Kuasa Hukum Wisye Hendrarwati., SH., MH, dkk II. III. OBJEK

Lebih terperinci

Kewenangan Pengelolaan FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Kewenangan Pengelolaan FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA Kewenangan Pengelolaan 21 kewenangan berada di tangan Pusat 1. penetapan kebijakan nasional; 2. pembuatan peraturan perundang-undangan; 3. penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria; 4. penetapan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengusahaan mineral

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadilan dan kepastian hukum tentulah menjadi dua harapan dari diberlakukannya hukum. Masyarakat yang kepentingannya tercemar akan merasa keadilannya terusik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup sekitar.

BAB I PENDAHULUAN. rakyat dan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup sekitar. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam. Kekayaan sumber daya alam merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang sudah sepatutnya dijaga

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Penelitian Aspek-Aspek Hukum Tentang. Ketentuan AMDAL Dalam Pembangunan Industri, Departemen

DAFTAR PUSTAKA. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Penelitian Aspek-Aspek Hukum Tentang. Ketentuan AMDAL Dalam Pembangunan Industri, Departemen DAFTAR PUSTAKA BUKU Badan Pembinaan Hukum Nasional, Penelitian Aspek-Aspek Hukum Tentang Ketentuan AMDAL Dalam Pembangunan Industri, Departemen Kehakiman, Jakarta, 1995 Darumurti, Krishna Djaja. Konsep

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a.

Lebih terperinci

Dr. Firman Muntaqo, SH, MHum Dr. Happy Warsito, SH, MSc Vegitya Ramadhani Putri, SH, S.Ant, MA, LLM Irsan Rusmawi, SH, MH

Dr. Firman Muntaqo, SH, MHum Dr. Happy Warsito, SH, MSc Vegitya Ramadhani Putri, SH, S.Ant, MA, LLM Irsan Rusmawi, SH, MH Dr. Firman Muntaqo, SH, MHum Dr. Happy Warsito, SH, MSc Vegitya Ramadhani Putri, SH, S.Ant, MA, LLM Irsan Rusmawi, SH, MH Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang), meliputi emas,

Lebih terperinci

kemandirian dan kemajuan suatu bangsa. rata-rata negara dengan kekayaan sejahtera. Namun, hal ini harus diiringi dengan pengelolaan yang baik dan

kemandirian dan kemajuan suatu bangsa. rata-rata negara dengan kekayaan sejahtera. Namun, hal ini harus diiringi dengan pengelolaan yang baik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan mineral dan batubara dapat menjadi salah satu tolak ukur kemandirian dan kemajuan suatu bangsa. rata-rata negara dengan kekayaan mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (judicial power) untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif(executive

BAB I PENDAHULUAN. (judicial power) untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif(executive 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Unsur penting dalam negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman (judicial power) untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif(executive power) dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seharusnya dijaga, dimanfaatkan sebaik-baiknya dan sebijak-bijaknya.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seharusnya dijaga, dimanfaatkan sebaik-baiknya dan sebijak-bijaknya. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Semenjak berlaku Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disingkat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009) Pemerintah Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL - 2 - LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL Tahun : 2013 Nomor : 9 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEGAL NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEGAL NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN

Lebih terperinci

Volume 11 Nomor 1 Maret 2014

Volume 11 Nomor 1 Maret 2014 Volume 11 Nomor 1 Maret 2014 ISSN 0216-8537 9 7 7 0 2 1 6 8 5 3 7 2 1 11 1 Hal. 1-102 Tabanan Maret 2014 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 PENYERAHAN WEWENANG

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat I. PEMOHON Assosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang diwakili oleh Ir. H. Isran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah sebuah negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah sebuah negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah sebuah negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara ini lahir dari perjuangan bangsa Indonesia yang bertekad mendirikan Negara kesatuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN HASIL PENAMBANGAN KOMODITAS TAMBANG MINERAL DI DALAM NEGERI

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN HASIL PENAMBANGAN KOMODITAS TAMBANG MINERAL DI DALAM NEGERI 30 BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN HASIL PENAMBANGAN KOMODITAS TAMBANG MINERAL DI DALAM NEGERI 1. Pembangunan Unit Pengolahan dan Pemurnian Guna Melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Mengingat : a. bahwa mineral dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tiga asas yaitu asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. 1

BAB I PENDAHULUAN. tiga asas yaitu asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan dengan sistim desentralisasi, sehubungan dengan itu penyelenggaraan pemerintahan di daerah dilaksanakan melalui tiga

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Ash-shofa, Burhan, 2004, Metode Penelitian Hukum, cetakan keempat, PT Rineka Cipta, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Ash-shofa, Burhan, 2004, Metode Penelitian Hukum, cetakan keempat, PT Rineka Cipta, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Adjie, Habib, 2009, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, Mandar Maju, Bandung. _, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. _, 2011,

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang - 2 - Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS PERTAMBANGAN DAN ENERGI SUMBER DAYA MINERAL KABUPATEN BURU BUPATI BURU, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. maka dapat ditarik kesimpulan bahwa : dapat dilaksanakan secara maksimal.

BAB III PENUTUP. maka dapat ditarik kesimpulan bahwa : dapat dilaksanakan secara maksimal. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah penulisan dan analisis penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Penegakan hukum terhadap perusakan lingkungan sebagai akibat penambangan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM, Menimbang : a. bahwa dengan semakin meningkatnya

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 30/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral & Batu bara Izin Usaha Pertambangan I. PEMOHON 1. Asosiasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 92/PUU-XIII/2015 Prinsip Sidang Terbuka Untuk Umum Bagi Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang di Mahkamah Agung I. PEMOHON Forum Kajian Hukum dan Konstitusi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum I. PEMOHON Drs. Rahmad Sukendar, SH. Kuasa Hukum Didi Karya Darmawan, SE.,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XIII/2015 Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XIII/2015 Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XIII/2015 Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi I. PEMOHON Jendaita Pinem bin Zumpa i Pinem II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

BAB V PENUTUP. penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan dan dipadukan dengan data yang diperoleh dari kepustakaan, kemudian dianalisis dengan cara kualitatif penulis dapat mengambil kesimpulan

Lebih terperinci

KAJIAN POLITIK HUKUM TENTANG PERUBAHAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

KAJIAN POLITIK HUKUM TENTANG PERUBAHAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA KAJIAN POLITIK HUKUM TENTANG PERUBAHAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA Rizkyana Zaffrindra Putri 1, Lita Tyesta A.L.W. 2 litatyestalita@yahoo.com ABSTRAK Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 110/PUU-XIV/2016 Pengisian Kekosongan Jabatan Wakil Kepala Daerah Dalam Hal Wakil Kepala Daerah Menjadi Kepala Daerah I. PEMOHON 1. Alif Nugraha (selanjutnya disebut

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia sudah berjalan dua dekade lebih. Hal ini ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA No. 4959 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 136/PUU-XIII/2015 Pembagian Hak dan Kewenangan Pemerintah Kabupaten Dengan Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 136/PUU-XIII/2015 Pembagian Hak dan Kewenangan Pemerintah Kabupaten Dengan Pemerintah Pusat RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 136/PUU-XIII/2015 Pembagian Hak dan Kewenangan Pemerintah Kabupaten Dengan Pemerintah Pusat I. PEMOHON Drs. Kasman Lassa, SH., (Bupati Kabupaten Donggala). Kuasa Hukum

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 112/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 112/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 112/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat [Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3)] terhadap

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN UMUM

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN UMUM PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA UTARA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara merupakan

Lebih terperinci

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Drs. Setya Novanto. Kuasa Pemohon: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH., Syaefullah Hamid,

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 KAJIAN YURIDIS KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI UTARA ATAS PEMBERIAN IZIN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP 1 oleh : Muhammad Iqbal 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PEMBERIAN IZIN INVESTASI SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA OLEH PEMERINTAH DAERAH

BAB II PENGATURAN PEMBERIAN IZIN INVESTASI SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA OLEH PEMERINTAH DAERAH BAB II PENGATURAN PEMBERIAN IZIN INVESTASI SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA OLEH PEMERINTAH DAERAH A. Dasar Hukum Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara Pertambangan secara etimologi kata berasal

Lebih terperinci

Nurhidayat 1 Dyah Adriantini Sintha Dewi 2 ABSTRAK

Nurhidayat 1 Dyah Adriantini Sintha Dewi 2 ABSTRAK IMPLEMENTASI PERATURAN BUPATI MAGELANG NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG USAHA PERTAMBANGAN PADA KAWASAN GUNUNG MERAPI DI KABUPATEN MAGELANG (STUDI KASUS DI DESA KENINGAR, BANYUDONO, DAN NGARGOMULYO) Nurhidayat

Lebih terperinci

BAB IV MATERI MUATAN PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN KAWASAN TANPA ROKOK DALAM KOTA BENGKULU

BAB IV MATERI MUATAN PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN KAWASAN TANPA ROKOK DALAM KOTA BENGKULU 61 BAB IV MATERI MUATAN PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN KAWASAN TANPA ROKOK DALAM KOTA BENGKULU A. Materi Muatan Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XV/2017 Pembentukan Daerah Provinsi Madura

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XV/2017 Pembentukan Daerah Provinsi Madura RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XV/2017 Pembentukan Daerah Provinsi Madura I. PEMOHON 1. Muhammad Makmun Ibnu Fuad, SE 2. Fadhilah Budiono 3. Drs. H. Achmad Syafii, M.Si. 4. Dr. KH. A. Busyro

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapatlah ditarik kesimpulan. sebagai berikut:

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapatlah ditarik kesimpulan. sebagai berikut: 63 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Lembaga Ombudsman Daerah Propinsi DIY (LOD DIY) sudah berperan dengan baik dalam

Lebih terperinci

PEMERINTAH DIGUGAT PERUSAHAAN TAMBANG INDIA

PEMERINTAH DIGUGAT PERUSAHAAN TAMBANG INDIA PEMERINTAH DIGUGAT PERUSAHAAN TAMBANG INDIA detik.com Pemerintah Indonesia harus berhadapan dengan perusahaan tambang dari India yang bernama India Metals and Ferro Alloys Limited (IMFA) di Permanent Court

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.II/No. 3/Ags-Okt/2014

Lex Privatum, Vol.II/No. 3/Ags-Okt/2014 PERSOALAN GANTI RUGI DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN PEMBANGUNAN 1 Oleh : Angelia Inggrid Lumenta 2 ABSRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana prosedur pelaksanaan

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT BUPATI BANDUNG BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang :

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSII JAWA TENGH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSII JAWA TENGH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG 1 PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSII JAWA TENGH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Adami,Chazawi,Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Jakarta: Raja Grafindo

DAFTAR PUSTAKA. Adami,Chazawi,Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Jakarta: Raja Grafindo DAFTAR PUSTAKA A. Buku Adami,Chazawi,Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001 Adjie, Habib,Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XV/2017 Mekanisme Pengangkatan Wakil Kepala Daerah yang Berhenti Karena Naiknya Wakil Kepala Daerah Menggantikan Kepala Daerah I. PEMOHON Dr. Ahars Sulaiman, S.H.,

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan :

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 98/PUU-XV/2017 Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Aparatur Sipil Negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 98/PUU-XV/2017 Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Aparatur Sipil Negara RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 98/PUU-XV/2017 Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Aparatur Sipil Negara I. PEMOHON Dwi Maryoso, S.H. dan Feryando Agung Santoso, S.H., M.H II. OBJEK PERMOHONAN

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. ekonomi tinggi. Penggalian terhadap sumber-sumber kekayaan alam berupa

BAB I PENGANTAR. ekonomi tinggi. Penggalian terhadap sumber-sumber kekayaan alam berupa BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertambangan 1 merupakan industri yang dapat memberikan manfaat ekonomi tinggi. Penggalian terhadap sumber-sumber kekayaan alam berupa mineral 2 dan batubara 3 mampu memberikan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Batu Bacan merupakan batu hidup yang akan berubah warnanya

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Batu Bacan merupakan batu hidup yang akan berubah warnanya BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Batu Bacan merupakan batu hidup yang akan berubah warnanya seiring berjalannya waktu dan saat ini sedang mengalami booming di Halmahera Selatan. Namun pengelolaannya belum berjalan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XV/2017 Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XV/2017 Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XV/2017 Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak I. PEMOHON Tajudin bin Tatang Rusmana. Kuasa Hukum: Abdul Hamim Jauzie, S.H., Ahmad Muhibullah, SH, dkk, para advokat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTER! ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 02 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN MENTER! ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 02 TAHUN 2013 TENTANG MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTER! ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 02 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN TERHADAP PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

I. UMUM. Dalam...

I. UMUM. Dalam... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua/Papua Barat Yang Dipilih Oleh Masyarakat Adat Orang Asli Papua Dan Ditetapkan Melalui Mekanisme

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat I. PEMOHON 1. Rahadi Puguh Raharjo, SE. (Pemohon I); 2. Ma mun Murod, SH. (Pemohon II); 3. Mutaqin (Pemohon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2.1. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi 2.1.1. Pengertian Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan dan analisa mengenai penerapan alternatif

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan dan analisa mengenai penerapan alternatif BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dan analisa mengenai penerapan alternatif penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan kepastian hukum dalam putusan alternatif penyelesaian

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis tentang aspek hukum

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis tentang aspek hukum BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis tentang aspek hukum perlindungan hutan dan masyarakat adat terhadap pertambangan batu bara di Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan Pemikiran, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.

DAFTAR PUSTAKA. Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan Pemikiran, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000. DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku : Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan Pemikiran, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000. Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Kajian

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XIII/2015 Surat Ijo Tidak Menjadi Dasar Hak Pemilikan Atas Tanah

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XIII/2015 Surat Ijo Tidak Menjadi Dasar Hak Pemilikan Atas Tanah RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XIII/2015 Surat Ijo Tidak Menjadi Dasar Hak Pemilikan Atas Tanah I. PEMOHON 1. Supadi HS (Pemohon I); 2. Cholil (Pemohon II); 3. Drs. H. Suhardi (Pemohon

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENETAPAN WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN DAN SISTEM INFORMASI WILAYAH PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Zainuddin, 2013,Metode Penelitian Hukum, Cetakan Keempat, Sinar Grafika, Jakarta

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Zainuddin, 2013,Metode Penelitian Hukum, Cetakan Keempat, Sinar Grafika, Jakarta DAFTAR PUSTAKA A. Buku Ali, Zainuddin, 2013,Metode Penelitian Hukum, Cetakan Keempat, Sinar Grafika, Jakarta Budiono, Herlin, 2013, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata, PT Citra Aditya, Bandung Chomzah, Ali

Lebih terperinci

Daftar Pustaka. Ade Saptomo, 2010, Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, PT. Grasindo, Jakarta

Daftar Pustaka. Ade Saptomo, 2010, Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, PT. Grasindo, Jakarta Daftar Pustaka Ade Saptomo, 2010, Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, PT. Grasindo, Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologi).PT.Toko Gunung Agung 2002

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Pungki Harmoko II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 75 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN

Lebih terperinci

Apabila ada tanggapan terhadap draft ini mohon dikirimkan ke:

Apabila ada tanggapan terhadap draft ini mohon dikirimkan ke: Apabila ada tanggapan terhadap draft ini mohon dikirimkan ke: puu.sdbh.minerba@gmail.com MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR:

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial I. PEMOHON Dr. H. Taufiqurrohman Syahuri, S.H Kuasa Hukum Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H. dkk berdasarkan

Lebih terperinci

Pengertian. Istilah bahasa inggris ; Mining law.

Pengertian. Istilah bahasa inggris ; Mining law. Pengertian Istilah bahasa inggris ; Mining law. Hukum pertambangan adalah hukum yang mengatur tentang penggalian atau pertambangan biji-biji dan mineralmineral dalam tanah. (ensiklopedia indonesia). Hukum

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 11 /PUU-XIV/2016 Kewenangan Pemanfaatan Panas Bumi. I. PEMOHON Dr. H. Soekarwo.. selanjutnya disebut Pemohon.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 11 /PUU-XIV/2016 Kewenangan Pemanfaatan Panas Bumi. I. PEMOHON Dr. H. Soekarwo.. selanjutnya disebut Pemohon. RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 11 /PUU-XIV/2016 Kewenangan Pemanfaatan Panas Bumi I. PEMOHON Dr. H. Soekarwo.. selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: Dr. Himawan Estu Bagijo, S.H., M.H., Ir. Dewi

Lebih terperinci

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : a. bahwa pertambangan rakyat di Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan

Lebih terperinci

BUPATI MAMASA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMASA NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MAMASA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMASA NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAMASA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMASA NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAMASA Menimbang Mengingat : a. bahwa mineral merupakan

Lebih terperinci