PETUNJUK TEKNIS PEMERIKSAAN INVESTIGATIF ATAS INDIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PETUNJUK TEKNIS PEMERIKSAAN INVESTIGATIF ATAS INDIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH"

Transkripsi

1 Lampiran : Keputusan BPK-RI Nomor : 17/K/I-XIII.2/12/2008 Tanggal : 24 Desember /2008 PETUNJUK TEKNIS PEMERIKSAAN INVESTIGATIF ATAS INDIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

2 UUD 1945 Peraturan Per-UU-an Pemeriksaan Keuangan Negara Pedoman Umum SPKN Kode Etik PMP Juklak 100 Pemeriksaan Keuangan 200 Pemeriksaan Kinerja 300 Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu 400 Sistem Pemerolehan Keyakinan Mutu 500 Penatalaksanaan Kertas Kerja Pemeriksaan 600 Pemeriksaan Berperspektif Lingkungan Hidup Juknis Pemahaman dan Penilaian SPI Pemeriksaan Keuangan Pemahaman dan Penilaian Risiko Pemeriksaan Penetapan Batas Materialitas Pemeriksaan Keuangan Penentuan Metode Uji Petik Pemeriksaan Keuangan Pemeriksaan LKPP dan LKKL Penentuan Area Kunci Penentuan Kriteria Pemeriksaan Atas Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Pemeriksaan Atas Pengendalian dan Pengelolaan Limbah Industri Pemeriksaan Investigatif atas Indikasi TPK yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah Pemeriksaan Pengelolaan Limbah RSUP/RSUD Pemeriksaan Pengendalian Pencemaran Udara Dari Sumber Bergerak Pemeriksaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pemeriksaan LKPD Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Bank Indonesia Reviu Pemeriksaan

3 Daftar Isi DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR LAMPIRAN... iii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan... 2 C. Lingkup Bahasan... 3 D. Dasar Hukum Penyusunan... 4 E. Sistematika Penulisan... 4 BAB II GAMBARAN UMUM... 5 A. Pengertian dan Tujuan Pemeriksaan Investigatif... 5 B. Konsep Pemeriksaan Investigatif... 5 C. Jenis Penyimpangan... 6 D. Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif... 7 E. Peraturan Terkait Pemeriksaan Investigatif... 9 F. Sasaran dan Ruang Lingkup Pemeriksaan Investigatif G. Kewajiban Pemeriksa Investigatif H. Kualitas Pemeriksa Investigatif I. Tahap Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif BAB III PRA PEMERIKSAAN INVESTIGATIF A. Umum B. Mekanisme Penanganan Informasi Awal C. Penanganan Informasi Awal BAB IV PERSIAPAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF A. Umum B. Pengembangan Hipotesa C. Penyusunan Program Pemeriksaan D. Penentuan Kebutuhan Sumber Daya E. Penerbitan Surat Tugas BAB V PELAKSANAAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF A. Umum B. Pembicaraan Pendahuluan C. Pengumpulan Bukti Pemeriksaan Berdasarkan Hipotesa i

4 Daftar Isi D. Analisis dan Evaluasi Bukti E. Pemaparan Tim Pemeriksa di Lingkungan BPK F. Pemaparan Tim Pemeriksa dengan Instansi yang Berwenang G. Pembicaraan Akhir BAB VI PELAPORAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF A. Umum B. Prinsip Pelaporan Pemeriksaan Investigatif C. Susunan Laporan Pemeriksaan Investigatif D. Reviu dan Tanda Tangan Laporan BAB VII PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH A. Umum B. Tujuan C. Ruang Lingkup D. Tahap-Tahap Pemeriksaan BAB VIII PENUTUP A. Pemberlakuan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif B. Pemutakhiran Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif C. Pemantauan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif DAFTAR PUSTAKA DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM GLOSARIUM JUKNIS PEMERIKSAAN INVESTIGATIF KETERANGAN GAMBAR LAMPIRAN TIM PENYUSUN JUKNIS PEMERIKSAAN INVESTIGATIF ii

5 DAFTAR LAMPIRAN III.1 III.2 III.3 III.4 III.5 IV.1 IV.2 IV.3 IV.4 Hasil Telahaan Informasi Awal Mekanisme Penanganan Informasi Awal Tabel Kehandalan Sumber dan Validitas Informasi Tabel Akuntabilitas Penanganan Sumber Informasi Awal Hasil Analisis Informasi Awal Contoh Langkah-langkah Pemeriksaan Program Kerja Perorangan Formulir Pengorganisasian Surat Tugas Matrik Komunikasi Kegiatan Persiapan Pemeriksaan V.1 Bukti Pemeriksaan dan Bukti Hukum V.2 Berita Acara Peminjaman Dokumen V.3 Permintaan Informasi V.4 Teknik Wawancara V.5 Berita Acara Permintaan Keterangan (BAPK) V.6 Berita Acara Pemeriksaan Fisik V.7 Pengamanan Alat/Barang Bukti dan KKP V.8 Matrik Unsur Tindak Pidana Korupsi VI.1 VI.2 VII.1 Formulir Pengorganisasian Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Matrik Komunikasi Kegiatan Pembuatan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Mekanisme Permintaan Penghitungan Kerugian Negara

6

7 BAB I

8 Bab I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 01 Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menyebabkan kerugian bagi negara dan melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Untuk itu, KKN di Indonesia harus diperangi dengan usaha keras dan langkah tegas secara konsep maupun sistematis. 02 BPK sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, memiliki komitmen yang kuat untuk memerangi KKN bersama sama dengan semua pihak. 03 Kedudukan BPK dalam struktur kenegaraan semakin kuat pasca amandemen UUD 1945 yang mengubah ketentuan tentang BPK dari semula hanya 1 ayat menjadi 3 pasal 7 ayat. Kedudukan yang semakin kuat ini didukung dengan diterbitkannya Undang Undang (UU) No. 17 Tahun 2003, UU No. 1 Tahun 2004, UU No. 15 Tahun 2004, dan UU No. 15 Tahun Perubahan mendasar terletak pada lingkup pemeriksaan BPK yang semula hanya memeriksa tanggung jawab keuangan negara, menjadi memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hal ini membawa konsekuensi yuridis semakin besarnya mandat yang diemban BPK. Untuk menyelenggarakan mandat tersebut berdasarkan Pasal 4 UU No. 15 Tahun 2006, BPK melaksanakan pemeriksaan keuangan negara yang meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. 04 Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, yaitu untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa. Termasuk dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan investigatif merupakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu dengan prosedur eksaminasi. 05 Pemeriksaan investigatif dilakukan berdasarkan informasi awal yang bersumber dari internal maupun eksternal BPK. Berdasarkan Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004, pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. 06 Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP) 06 dan 07, menyatakan bahwa tujuan tersebut di atas dicapai dengan cara mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan (abuse). Penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut adalah penyimpangan yang mengandung unsur pidana yang terkait dengan hal yang diperiksa. 07 Selanjutnya ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 mengatur bahwa apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Laporan tersebut dijadikan sebagai dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 08 Pemeriksaan investigatif yang dilakukan berdasarkan Pasal 13 UU No. 15 Kedudukan dan peran BPK yang semakin kuat mengakibatkan BPK perlu mengatur hal-hal pokok yang memberikan landasan yang seragam bagi pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan investigatif 1

9 Bab I Tahun 2004 adalah pemeriksaan investigatif terkait dengan tindak pidana yang terjadi dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana di bidang perpajakan, tindak pidana di bidang perbankan atau tindak pidana di pasar modal. 09 Tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 menyebutkan beberapa jenis tindak pidana korupsi antara lain korupsi yang terkait dengan kerugian negara, korupsi yang terkait dengan suap-menyuap, korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan, korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan, korupsi yang terkait dengan perbuatan curang, korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, dan korupsi yang terkait dengan gratifikasi. 10 Petunjuk teknis ini khusus mengatur tentang pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah, supaya juknis ini bisa lebih fokus, mengingat banyaknya tindak pidana terkait kerugian negara maupun jenis tindak pidana korupsi. Selain itu, jenis TPK yang mengakibatkan kerugian negara/daerah adalah jenis perbuatan melawan hukum yang sering ditemukan oleh pemeriksa BPK di lapangan. Perbuatan melawan hukum terkait tindak pidana dan tindak pidana korupsi lainnya akan diatur oleh juknis tersendiri. 11 Selama belum ada juknis tersendiri yang mengaturnya, juknis ini bisa dijadikan acuan untuk melakukan pemeriksaan investigatif atas tindak pidana selain tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah. 12 Pedoman pemeriksaan investigatif sebelumnya telah ditetapkan dengan pedoman pemeriksaan yaitu Keputusan BPK No. 17/SK/K/1995 tentang Pemeriksaan Khusus. Sejalan dengan perkembangan organisasi dan peraturan perundang-undangan khususnya bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, dipandang perlu menyempurnakan Pedoman dimaksud. 13 Dengan ditetapkannya juknis pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah diharapkan pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah dengan pemahaman, pemikiran dan tindakan yang sama, sehingga diperoleh hasil pemeriksaan investigatif yang obyektif, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan. B. Tujuan 14 Tujuan Juknis pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah ini adalah untuk : 1. Menyamakan pemahaman atas pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah; 2. Memberikan pedoman kepada pemeriksa yang melakukan pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah sehingga perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pemeriksaan investigatif dapat selaras dan dapat segera ditindaklanjuti oleh instansi yang berwenang; 3. Mengefektifkan pelaksanaan pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah agar mencapai hasil pemeriksaan yang optimal sesuai dengan standar pemeriksaan. Tujuan Juknis Pemeriksaan Investigatif 2

10 Bab I C. Lingkup Bahasan 15 Juknis pemeriksaan ini mengatur tentang tata cara pelaksanaan pemeriksaan investigatif atas indikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah mulai dari tahap pra pemeriksaan investigatif hingga tahap pelaporan. Juknis ini juga berisi pedoman pelaksanaan pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara/daerah atas permintaan instansi yang berwenang. 16 Definisi keuangan negara/daerah mengacu kepada definisi yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 yaitu semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Keuangan negara tersebut meliputi: 1. Hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; 2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; 3. Penerimaan Negara; 4. Pengeluaran Negara; 5. Penerimaan Daerah; 6. Pengeluaran Daerah; 7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; 8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; 9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. 17 Pengertian kerugian negara/daerah dapat diartikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 dan pengertian dalam perspektif Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mendefinisikan kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Dalam perspektif Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kerugian negara adalah kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya dibedakan atas: 1. Kerugian yang secara nyata telah ada, yaitu kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya; dan 2. Kerugian yang belum nyata dan pasti atau masih bersifat potensi. Meskipun baru potensi, nilai kerugian negara tersebut harus dapat dihitung. Lingkup juknis 3

11 Bab I D. Dasar Hukum Penyusunan 18 Dasar hukum penyusunan juknis ini adalah: 1. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4400); 2. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4654); 3. Peraturan Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4707); 4. Surat Keputusan Nomor 31/SK/I- VIII.3/8/2006 tanggal 31 Agustus 2006 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan, Keputusan, dan Naskah Dinas Pada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia; 5. Keputusan Nomor 39/K/I-VIII.3/7/2007 tanggal 13 Juli 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia; 6. Keputusan Nomor 1/K/I-XIII.2/2/2008 tanggal 19 Februari 2008 tentang Panduan Manajemen Pemeriksaan; 7. Keputusan Nomor 09/K/I-XIII.2/7/2008 tanggal 31 Juli 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penyusunan atau Penyempurnaan Pedoman Pemeriksaan dan Non Pemeriksaan Dasar hukum penyusunan E. Sistematika Penulisan 19 Juknis Pemeriksaan ini disusun dengan sistematika penyajian sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan Bab II : Gambaran Umum Bab III : Pra Pemeriksaan Investigatif Bab IV : Persiapan Pemeriksaan Investigatif Bab V : Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif Bab VI : Pelaporan Pemeriksaan Investigatif Bab VII : Penghitungan Kerugian Negara/Daerah Bab VIII : Penutup Referensi Lampiran-Lampiran Juknis ini terdiri dari delapan bab 4

12 BAB II

13 Bab II BAB II GAMBARAN UMUM A. Pengertian dan Tujuan Pemeriksaan Investigatif 01 Pemeriksaan investigatif berbeda dengan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja yang sifatnya proaktif yaitu untuk melihat kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI), terutama yang berkenaan dengan safeguarding of asset, yang rawan akan terjadinya penyimpangan. 02 Pemeriksaan investigatif bersifat reaktif, yakni pemeriksaan yang dilakukan sesudah ditemukannya indikasi awal adanya penyimpangan. Penyimpangan merupakan definisi yang dipakai sebagai payung dari berbagai macam white-collar crime, seperti penyalahgunaan aset, suap, korupsi, pencucian uang, penghindaran pajak, serta fraudulent statements. Pemeriksaan investigatif merupakan pemeriksaan lanjutan dari auditing, auditing yang lebih khusus dan mendalam, yang menuju pada pengungkapan penyimpangan. 03 Pemeriksaan investigatif merupakan bagian dari akuntansi forensik, yaitu aplikasi keterampilan/keahlian keuangan/akuntansi dan cara berpikir investigatif untuk memecahkan masalah-masalah hukum. Hal ini memiliki makna bahwa hasil akuntansi forensik dapat dijadikan alat bukti untuk suatu tuntutan di pengadilan atau layak untuk menjadi perdebatan publik. Sebagai disiplin ilmu, akuntansi forensik mencakup keahlian keuangan, pengetahuan bisnis, pengetahuan tentang fraud, teknologi informasi, serta pemahaman akan sistem hukum. Akuntansi forensik dapat diterapkan dalam berbagai bidang seperti pemeriksaan investigatif di perusahaan dan pemerintahan, proses litigasi, penelusuran dan penilaian aset, serta reviu bisnis. Pemeriksaan investigatif menerapkan teknik-teknik untuk merekonstruksi suatu peristiwa atau transaksi untuk memastikan fakta mengenai siapa, apa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana di sekitar lingkungan kejadian atau transaksi yang sedang diperiksa. 04 Tujuan pemeriksaan investigatif sesuai dengan Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 adalah pemeriksaan yang dilaksanakan guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. Pemeriksaan investigatif berbeda dengan pemeriksaan keuangan atau kinerja Pemeriksaan investigatif bersifat reaktif Akuntansi forensik Tujuan pemeriksaan investigatif B. Konsep Pemeriksaan Investigatif 05 Pemeriksaan reguler merupakan pengujian prosedural yang pelaksanaannya dilakukan secara reguler atau berbasis pada pelaksanaan kerja untuk menemukan indikasi penyimpangan. Bila ditemukan indikasi penyimpangan maka pemeriksa akan memperluas ruang lingkup pemeriksaan dan melakukan analisa untuk membuktikan kebenaran indikasi penyimpangan tersebut, dan kegiatan ini perlu menerapkan keahlian pemeriksaan investigatif. Selain dari hasil pemeriksaan internal BPK, pemeriksaan investigatif dapat dilaksanakan berdasarkan dari informasi eksternal, contohnya permintaan instansi yang berwenang atau pengaduan masyarakat. Pemeriksaan investigatif dilaksanakan berdasarkan informasi awal dari pihak internal dan eksternal 5

14 Bab II 06 Secara garis besar langkah langkah pemeriksaan investigatif sebagai berikut: 1. Menganalisis data yang tersedia. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan pra pemeriksaan investigatif. 2. Mengembangkan hipotesis. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan persiapan pemeriksaan. 3. Menguji dan memperbaiki hipotesis. Kegiatan ini dilakukan pada tahapan pelaksanaan pemeriksaan. 07 Dalam pemeriksaan, pemeriksa harus melakukan penelusuran yang mengarah pada upaya menemukan fakta serta menghindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara prematur. Penelusuran dapat berdasarkan adanya dugaan, pengaduan, kecurigaan, dan fakta-fakta yang selanjutnya dianalisa untuk membuktikan kebenaran adanya penyimpangan. 08 Pemeriksaan investigatif perlu menggali niat pelaku melakukan penyimpangan dan mampu membuktikan apakah penyimpangan dilakukan di dalam pembukuan atau di luar pembukuan. 09 Secara teori terdapat empat hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya penyimpangan, yaitu motivasi (motivation), adanya kesempatan (opportunity), rasionalisasi (rationalisation), serta adanya kemampuan (capability). Motivasi pelaku untuk melakukan penyimpangan sangat beragam, mulai dari alasan ekonomi, tekanan dari atasan, sampai balas dendam. Adanya kesempatan bagi pelaku untuk melakukan tindakan menyimpang terkait dengan lemahnya Sistem Pengendalian Intern entitas yang diperiksa. Rasionalisasi terkait dengan pembenaran diri si pelaku terkait dengan budaya di entitas yang diperiksa, misalnya tidak adanya hukuman setimpal yang diberikan atas penyimpangan yang diperiksa atau keyakinan untuk mengembalikan aset yang diambil. Ketiga penyebab tersebut hanya akan terlaksana apabila pelaku memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan penyimpangan, misalnya keahlian teknologi yang memudahkan pelaku untuk memalsukan dokumen. 10 Dalam pelaksanaan pemeriksaan, kesempatan diberikan kepada pihak terkait untuk menyampaikan pendapatnya mengenai kejadian yang sebenarnya berdasarkan pendapat mereka masing masing, dimana dan bilamana peristiwa terjadi sehingga tersedia kesempatan untuk membenarkan atau menolak semua indikasi, pengaduan, tuduhan atau penyimpangan tersebut. Garis besar langkah pemeriksaan investigatif Penelusuran fakta terkait penyimpangan dan niat pelaku Empat hal penyebab terjadinya penyimpangan Tanggapan dari pihak terkait C. Jenis Penyimpangan 11 Konvensi PBB anti korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dalam Pasal 15 sampai 25 menguraikan perbuatan perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana dan penegakan hukumnya antara lain adalah: menyuap pejabat negara (bribery of national public officials), menyalahgunakan wewenang (abuse of functions), dan melakukan pencucian hasil kejahatan (laundering of proceeds of crime). 12 Secara skematis Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) membahas penyimpangan di tempat kerja atau penyimpangan terkait dengan pekerjaan/jabatan seseorang (occupational fraud) dalam fraud tree yang terdiri dari: korupsi (corruption), penyalahgunaan aset (asset misappropriation), dan salah saji laporan keuangan (fraudulent statements). 13 Istilah korupsi (corruption) menurut ACFE serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Jenis penyimpangan menurut UNCAC dan ACFE 6

15 Bab II UU No. 20 Tahun Istilah korupsi menurut undang-undang tersebut meliputi 30 Tindak Pidana Korupsi, sedangkan corruption menurut ACFE adalah empat bentuk yaitu: konflik kepentingan (conflicts of interests), menyuap (bribery), gratifikasi ilegal (illegal gratuities), dan pemerasan (economic extortion). 14 Istilah asset misappropriation atau pengambilan aset secara ilegal dalam bahasa sehari hari disebut mencuri. Namun dalam istilah hukum, mengambil aset secara ilegal (tidak sah atau melawan hukum) yang dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengawasi aset tersebut disebut menggelapkan. Istilah pencurian dalam fraud tree disebut larceny, yaitu mengambil aset yang dimiliki orang lain dimana si pelaku tidak memiliki wewenang untuk mengelola atau mengawasi aset tersebut. Istilah penggelapan dalam bahasa Inggrisnya adalah embezzlement, dimana si pelaku memiliki wewenang untuk mengelola atau mengawasi aset tersebut tetapi kemudian menyalahgunakan wewenang tersebut untuk menggunakan aset bagi kepentingan pribadinya. 15 Istilah fraudulent statements adalah penyimpangan berkaitan dengan penyajian laporan keuangan. Terdapat dua kelompok dalam penyimpangan ini. Yang pertama adalah penyimpangan dalam menyusun laporan keuangan yang terdiri dari: 1) menyajikan aset atau pendapatan lebih tinggi dari yang sebenarnya, dan 2) menyajikan aset atau pendapatan lebih rendah dari yang sebenarnya. Yang kedua adalah penyimpangan dalam menyusun laporan non keuangan secara menyesatkan, yang disajikan lebih bagus dari keadaan yang sebenarnya dan seringkali merupakan pemalsuan atau pemutarbalikan keadaan. Keduanya bisa tercantum dalam dokumen yang dipakai untuk keperluan intern maupun ekstern. D. Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif Aksioma Pemeriksaan Investigatif Pernyataan dalam pemeriksaan investigatif antara lain: a. Tidak sama dengan kejahatan lainnya, pada hakekatnya penyimpangan itu disembunyikan keberadaannya. Perampok bank menggunakan ancaman atau paksaan, sementara pelaku penyimpangan perbankan, mereka tidak saja mencuri uang bank, tetapi juga menutupi jejak pencuriannya. Sehingga, tidak ada satu pernyataan dari seseorang bahwa penyimpangan telah atau tidak terjadi dalam situasi khusus. Cara untuk menyembunyikan penyimpangan amat banyak dan kadang kadang amat kreatif sehingga setiap orang bahkan seorang pemeriksa dapat melakukan kecurangan. Karena penyimpangan itu disembunyikan teknik pemeriksaan yang non konvensional sesuai dengan kewenangan harus digunakan secara optimal, misalnya dengan menggunakan keahlian komputer forensik (forensic computer). b. Terkait dengan perolehan bukti, pemeriksa melakukan pembuktian dua sisi (reverse proof). Untuk membuktikan bahwa penyimpangan telah terjadi, pemeriksa juga mencoba membuktikan bahwa penyimpangan tidak terjadi. Demikian juga dalam usaha membuktikan penyimpangan tidak terjadi, maka pemeriksa juga harus mencoba membuktikan bahwa penyimpangan telah tejadi. Karena melakukan pembuktian bersifat dua sisi, teknik pemeriksaan dalam mengumpulkan informasi/data harus diperoleh baik dari pihak yang memberatkan dan pihak yang meringankan si pelaku penyimpangan. c. Untuk mendapatkan bahwa penyimpangan telah terjadi, pemeriksa harus juga berupaya membuktikan penyimpangan tidak terjadi. Beberapa aksioma pemeriksaan investigatif 7

16 Bab II Pemeriksaan agar dimulai dengan preposisi bahwa penyimpangan telah terjadi atau sebaliknya hal itu tidak terjadi. Artinya dalam melakukan pembuktian seorang pemeriksa agar mempertimbangkan kemungkinan adanya penyangkalan dari pihak lain. d. Penetapan adanya penyimpangan adalah mutlak tanggung jawab pengadilan. Dalam pelaksanaan pemeriksaan tanggung jawab pemeriksa adalah untuk mengungkap fakta kejadian, dalam proses penyidikan tanggung jawab aparat penyidik adalah untuk mengumpulkan bukti untuk menyusun tuntutan; dan dalam proses pengadilan, tanggung jawab hakim adalah untuk menyatakan bersalah atau tidak bersalahnya terdakwa. Oleh karena itu, pemeriksa tidak boleh menyatakan pendapat mengenai salah atau tidak bersalahnya seseorang atau pihak tertentu, pemeriksa harus mengembangkan sebuah teori bersalah atau tidak bersalah dalam upaya membuktikan teori tersebut. Dengan asumsi bahwa kasus tersebut akan dilimpahkan ke tingkat litigasi maka dalam melakukan pengujian seorang pemeriksa harus mempertimbangkan kemungkinan - kemungkinan yang terjadi di pengadilan Prinsip Pemeriksaan Investigatif Sesuai Pasal 8 ayat (4) UU No. 15 Tahun 2006, laporan pemeriksaan investigatif yang dilakukan oleh BPK dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundangundangan. Oleh karena itu pelaksanaan pemeriksaan memerlukan penerapan kecerdasan, pertimbangan yang sehat dan pengalaman, serta pemahaman terhadap ketentuan perundang undangan dan prinsip prinsip pemeriksaan investigatif guna pemecahan masalah yang dihadapi. Beberapa prinsip dalam melakukan pemeriksaan yang perlu diperhatikan adalah: a. Pemeriksaan harus dilandasi praktik-praktik terbaik yang diakui, dengan cara membandingkan antar praktik yang ada dengan merujuk kepada yang terbaik pada saat itu. Upaya ini dilakukan terus menerus untuk mencari solusi terbaik. b. Pemeriksaan investigatif adalah upaya mencari kebenaran, dengan memperhatikan keadilan dan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. c. Kegiatan pemeriksaan termasuk pengumpulan bukti bukti dengan prinsip kehati-hatian sehingga bukti tersebut dapat diterima di pengadilan. d. Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan diberi indeks dan jejak pemeriksaan tersedia. Hal ini diperlukan jika digunakan sebagai referensi atas penyidikan kasus di kemudian hari. e. Pastikan bahwa pemeriksa investigatif mengerti hak-hak asasi pegawai dan senantiasa menghormatinya guna menghindari kemungkinan penuntutan dari yang bersangkutan. f. Semakin dekat selang waktu antara terjadinya penyimpangan dengan saat meresponnya, maka kemungkinan peluang penyimpangan dapat terungkap semakin besar. g. Pelaksanaan pemeriksaan harus dapat mengumpulkan fakta fakta sehingga bukti yang diperoleh dapat memberikan kesimpulan sendiri, yaitu telah terjadi penyimpangan dan pihak yang diindikasikan terlibat teridentifikasi. h. Informasi diperoleh dari hasil wawancara dengan saksi akan dipengaruhi oleh kelemahan manusia. Sepanjang diperlukan, Prinsip-prinsip pemeriksaan investigatif 8

17 Bab II konfirmasi kembali dilakukan pada setiap pernyataan dan keterangan yang diberikan oleh saksi. i. Jawaban yang benar akan diperoleh jika pertanyaan yang diajukan cukup jumlahnya dan pertanyaan tersebut disampaikan kepada orang yang juga cukup jumlahnya. j. Karena informasi sangat penting dalam pemeriksaan investigatif, maka segala kemungkinan upaya untuk memperoleh informasi harus dipertimbangkan. E. Peraturan Terkait Pemeriksaan Investigatif Peraturan yang terkait dengan pelaksanaan pemeriksaan investigatif, antara lain: a. Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 yang mengatur kewenangan BPK untuk melakukan pemeriksaan investigatif. b. Pasal 10, Pasal 24 ayat (1), (2), (4) UU No.15 Tahun 2004 jo. Pasal 9 ayat (1) huruf b, c, dan d UU No. 15 Tahun 2006 yang mengatur kewenangan meminta informasi atau dokumen. c. Pasal 10 huruf d, Pasal 11, Pasal 24 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2004 yang mengatur permintaan keterangan dan pemanggilan. d. Pasal 11 huruf c UU No. 15 Tahun 2006 yang mengatur pemberian keterangan ahli tentang kerugian negara dalam proses peradilan. e. Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (5) UU No. 15 Tahun 2004 yang mengatur laporan hasil pemeriksaan. f. Pasal 25 ayat (1), (2), dan Pasal 26 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 yang mengatur tentang sanksi pidana bagi pemeriksa yang melanggar UU No. 15 Tahun 2004 dan UU No. 15 Tahun Peraturan yang terkait tindak pidana khusus antara lain: a. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun b. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun c. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 28 Tahun d. UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. e. UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UU No. 25 Tahun f. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Peraturan terkait pemeriksaan investigatif Peraturan terkait tindak pidana khusus 9

18 Bab II 3. Peraturan yang terkait dengan proses penegakan hukum, antara lain: a. UU No. 8 Tahun 1981 mengenai KUHAP; Peraturan terkait proses penegakkan hukum b. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian; c. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan; d. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung; e. UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 20 Perspektif kerugian negara menurut: 1. UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001, kerugian keuangan negara adalah yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan kewenangan/ kesempatan/ sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya. Perspektif kerugian negara 2. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendahaan Negara, menyatakan bahwa pengertian kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai F. Sasaran dan Ruang Lingkup Pemeriksaan Investigatif 21 Sasaran pemeriksaan investigatif BPK adalah kasus yang berindikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. Sasaran pemeriksaan investigatif yang diatur dalam juknis ini yaitu perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah, untuk selanjutnya dalam juknis ini akan disebut sebagai TPKKN. Sasaran dan ruang lingkup pemeriksaan investigatif 22 Ruang lingkup pemeriksaan investigatif adalah TPKKN pada seluruh entitas pemeriksaan BPK, meliputi pengungkapan fakta dan proses kejadian, sebab dan akibat, dan menentukan pihak pihak yang diindikasikan terlibat dan atau bertanggung jawab atas TPKKN pada unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. G. Kewajiban Pemeriksa Investigatif 23 Kewajiban pemeriksa investigatif BPK adalah melaksanakan pemeriksaan guna mengungkap ada/tidaknya TPKKN dan apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan TPKKN, maka pemeriksa BPK melalui Ketua BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewajiban pemeriksa investigatif 24 Kewajiban pemeriksa investigatif termasuk: 1) mentaati kebijakan dan prosedur pemeriksaan yang telah ditetapkan dalam juknis ini; 2) menyampaikan situasi atau permasalahan yang tidak biasa dalam pemeriksaan untuk mendapatkan arahan dari pejabat BPK terkait; dan 3) selalu menjaga kerahasiaan informasi dan data yang diperoleh selama melakukan pemeriksaan. H. Kualitas Pemeriksa Investigatif 25 Pemeriksa investigatif tak ubahnya seperti seorang akuntan forensik dan menurut Robert J. Linquist (Fraud Auditing and Forensic Accounting: New Kualitas yang harus dimiliki pemeriksa investigatif 10

19 Bab II Tools and Techniques, hal 48-49), kualitas yang harus dimiliki oleh seorang akuntan forensik adalah: a. Kreatif (Creative). Kemampuan untuk melihat sesuatu, yang orang lain menganggap situasi tersebut adalah normal. Dengan intepretasinya ia yakin bahwa situasi tersebut adalah tidak normal. b. Rasa ingin tahu (Curious). Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam rangkaian situasi. c. Tak menyerah (Persistance). Kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta (seolah-olah) tidak mendukung, ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh. d. Akal sehat (Common Sense). Kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata, yang mengerti betul kerasnya kehidupan. e. Pengetahuan Bisnis (Bussines Accument). Kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan, dan bukan sekedar memahami bagaimana transaksi dicatat. f. Percaya diri (Self Confidence). Kemampuan untuk mempercayai diri akan temuannya, sehingga dapat bertahan pada saat diuji dengan pertanyaan silang dari Jaksa Penuntut Umum dan Pembela. g. Investigatif (Investigative). Kemampuan untuk melakukan investigasi dan bagaimana bukti dapat diperoleh, selain ahli dalam bidang akuntansi dan audit. h. Kompetensi gabungan (Mixed Competency). Memiliki pengetahuan yang memadai sebagai pemeriksa investigatif seperti akuntansi, hukum, permintaan keterangan, dan teknologi informasi. I. Tahap Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif 26 UU No. 15 Tahun 2006 tentang memberikan mandat kepada BPK, apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. Dan laporan BPK tersebut dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 27 Pemeriksa investigatif BPK bukan pejabat yang termasuk dalam kategori penyelidik sesuai KUHAP, namun sesuai mandat BPK, hasil pemeriksaan mereka dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik. Oleh karena itu, kualitas hasil pemeriksaan investigatif BPK harus setara dengan kualitas hasil penyelidikan yang dilakukan oleh aparat penyelidik. 28 Untuk memperoleh kualitas hasil pemeriksaan yang setara dengan hasil penyelidikan, maka pemeriksaan investigatif BPK dilaksanakan dengan tahap sebagai berikut: 1) pra pemeriksaan, 2) persiapan pemeriksaan, 3) pelaksanaan pemeriksaan, dan 4) pelaporan pemeriksaan. Laporan BPK dijadikan dasar penyidikan 11

20 Bab II 29 Tahapan pemeriksaan dapat dijelaskan dalam bagan arus berikut ini: Pra Pemeriksaan Investigatif Persiapan Pemeriksaan Investigatif Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif Pelaporan Pemeriksaan Investigatif Tahap pelaksanaan pemeriksaan investigatif Sumber Informasi Awal (IA) Administrasikan IA Pahami IA Analisis IA Evaluasi IA Keputusan melaksanakan pemeriksaan investigasi 5 elemen dasar Mengembang kan hipotesis Menyusun program pemeriksaan Menetapkan kebutuhan sumber daya Menerbitkan surat tugas Pembicaraan pendahuluan Mengumpulkan bukti Menganalisis dan mengevaluasi bukti Pemaparan tim pemeriksa di lingkungan BPK Pemaparan tim pemeriksa kepada instansi yang berwenang Pembicaraan akhir Prinsip pelaporan Susunan laporan Reviu dan tanda tangan 30 Tahap Pra Pemeriksaan Investigatif Proses pra pemeriksaan meliputi: mengadministrasikan informasi awal, memahami informasi awal, menganalisis informasi awal, mengevaluasi informasi awal, dan keputusan melaksanakan pemeriksaan investigatif. 31 Pra pemeriksaan bertujuan untuk menetapkan adanya alasan (predikasi) yang cukup kuat dan akurat sehingga pemeriksaan investigatif dapat dilaksanakan secara obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Dua hal penting yang harus dicermati dalam pra pemeriksaan yaitu penelahaan terhadap substansi informasi dan proses penanganan informasi awal. 32 Tahap Persiapan Pemeriksaan Investigatif Persiapan pemeriksaan investigatif bertujuan agar pelaksanaan pemeriksaan investigatif berjalan efisien dan efektif serta mencapai tujuan. Kegiatan dalam persiapan pemeriksaan mencakup: 1) pengembangan hipotesis, 2) penyusunan program pemeriksaan investigatif, 3) penentuan kebutuhan sumber daya, dan 4) penerbitan surat tugas. 33 Tahap Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif Pelaksanaan pemeriksaan investigatif meliputi kegiatan pembicaraan pendahuluan, pengumpulan bukti pemeriksaan berdasarkan hipotesa, analisis dan evaluasi bukti pemeriksaan, pemaparan tim pemeriksa di lingkungan BPK, pemaparan tim pemeriksa kepada instansi yang berwenang, dan pembicaraan akhir. 34 Dari konsep laporan hasil pemeriksaan, tim harus melakukan pemaparan di lingkungan intern BPK untuk memperoleh persetujuan Ketua/Angbintama/ Tortama/Kalan atas simpulan tim pemeriksa. Pemaparan intern merupakan satu tahap yang sangat penting karena akan menentukan proses tindak lanjut suatu kasus yang diindikasikan merugikan keuangan negara dan atau TPKKN. Oleh karena itu, semua pihak intern BPK yang hadir dalam pemaparan intern harus menguasai dan mendalami pengetahuan tentang unsur Tindak Pidana Korupsi dan tindak pidana khusus lainnya terkait dengan tugas BPK. 35 Pemaparan tim pemeriksa kepada instansi yang berwenang pada Pra Pemeriksaan Investigatif Tahap persiapan pemeriksaan investigatif Tahap pelaksanaan pemeriksaan investigatif 12

21 dasarnya merupakan tindak lanjut hasil pemaparan di lingkungan intern BPK. Tujuan pemaparan ini agar BPK memperoleh masukan dari instansi yang berwenang terkait terpenuhinya indikasi unsur-unsur TPKKN. 36 Umumnya BPK dan instansi yang berwenang sepakat bahwa dari pemaparan disimpulkan kasus telah memenuhi indikasi unsur unsur TPKKN, belum memenuhi indikasi unsur unsur TPKKN sehingga perlu ditempuh langkah lebih lanjut, dan tidak memenuhi indikasi unsur unsur TPKKN. 37 Pada akhir pelaksanaan pemeriksaan investigatif harus dilakukan pembicaraan akhir pemeriksaan oleh penanggung jawab pemeriksaan atau pejabat yang ditunjuk dengan pejabat entitas yang diperiksa. Pembicaraan akhir tersebut dilakukan dengan menyampaikan kepada pejabat entitas yang diperiksa mengenai perkembangan akhir kasus tanpa memberikan simpulan dari kasus tersebut dengan tetap menjaga kerahasiaan substansi atau materi dari proses dan atau pelaksanaan pemeriksaan yang sedang berjalan. 38 Tahap Pelaporan Pemeriksaan Investigatif Tujuan pelaporan pemeriksaan investigatif adalah dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaporan pemeriksaan agar mempertimbangkan prinsip pelaporan, susunan laporan, reviu, dan tanda tangan laporan. Prinsip pelaporan pemeriksaan investigatif harus akurat, jelas, tidak memihak, relevan, dan tepat waktu. Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif Bab II Pelaporan pemeriksaan investigatif 13

22 Bab II 14

23 Bab II 15

24 Juknis Pemeriksaan Investigatif Atas Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah BAB III

25 Bab III BAB III PRA PEMERIKSAAN INVESTIGATIF A. Umum 01 Informasi awal adalah keterangan permulaan mengenai suatu penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan (abuse) yang telah/sedang/dan akan terjadi. 02 Tidak semua informasi yang diterima sebagai dasar pelaksanaan pemeriksaan investigatif memiliki keandalan dan validitas yang sama. Oleh karena itu, untuk setiap informasi awal yang diterima perlu dilakukan penelaahan terlebih dahulu. 03 Tujuan dilakukannya penelaahan informasi awal adalah untuk menetapkan adanya alasan (predikasi) yang cukup kuat dan akurat sehingga pemeriksaan investigatif dapat dilaksanakan secara obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan. 04 Informasi yang diperoleh dapat bersumber dari intern BPK seperti: Temuan Pemeriksaan (TP), Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), inisiatif Badan, maupun ekstern BPK seperti permintaan instansi yang berwenang/instansi Pemerintah/Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), LHP Aparat Pengawasan Intern Pemerintah/SPI, dan laporan/pengaduan masyarakat. 05 Dokumen yang memuat informasi awal dapat berbentuk surat permintaan untuk melakukan pemeriksaan dan surat pengaduan dari masyarakat yang disampaikan secara langsung atau tidak langsung termasuk melalui teknologi informasi. 06 Dalam tahapan perencanaan pemeriksaan investigatif yang meliputi pra pemeriksaan investigatif dan persiapan pemeriksaan investigatif dibentuk Tim Persiapan Pemeriksaan Investigatif (TPPI) oleh Tortama sesuai dengan kebutuhan. Tim persiapan pemeriksaan investigatif ini mengacu kepada Panduan Manajemen Pemeriksaan (PMP) Bab III mengenai perencanaan pemeriksaan. 07 Telaahan informasi disajikan dalam Hasil Telaahan Informasi Awal, dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III.1. Penelahaan informasi awal Tujuan penelahaan informasi awal Sumber informasi awal B. Mekanisme Penanganan Informasi Awal 08 Penanganan informasi awal berdasarkan sumber informasi awal diperoleh dari TP/LHP Auditama Keuangan Negara, TP/LHP BPK Perwakilan, inisiatif Badan, permintaan instansi yang berwenang kepada Ketua BPK, permintaan instansi yang berwenang kepada Kepala Perwakilan BPK, permintaan pihak ketiga kepada Ketua BPK, serta permintaan pihak ketiga kepada Kepala Perwakilan BPK. Mekanisme penanganan informasi awal tersebut adalah sebagai berikut: TP/LHP Auditama Keuangan Negara (Kantor Pusat) Apabila dari TP/LHP pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilaksanakan oleh AKN atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara menemukan indikasi Mekanisme penanganan informasi awal Sumber Informasi awal dari hasil pemeriksaan AKN 15

26 Bab III TPKKN yang masih perlu diperdalam/dikembangkan, tim pemeriksa AKN mengusulkan agar pendalaman/pengembangan kasus dilakukan melalui pemeriksaan investigatif. Bagan arus mekanisme penanganan informasi awal dapat dilihat pada lampiran III.2. Mekanisme penanganan dilakukan sebagai berikut: a. Tim pemeriksa AKN melalui Tortama menyerahkan TP/LHP kepada TPPI serta melakukan pemaparan atas temuan tersebut dan jika dipandang perlu dapat meminta pertimbangan Ditama Binbangkum untuk membahas apakah temuan tersebut terdapat cukup alasan untuk dilakukannya pemeriksaan investigatif. b. Apabila dari hasil pemaparan disimpulkan terdapat cukup alasan dilakukan pemeriksaan investigatif, tim pemeriksa melalui Tortama menyerahkan Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) kepada TPPI. c. Pejabat yang hadir dalam pemaparan adalah Tortama atau Pejabat yang ditunjuk pada AKN yang bersangkutan, tim pemeriksa AKN, pengendali teknis AKN, dan TPPI. Jika diperlukan dapat dihadiri oleh Ditama Binbangkum, Staf Ahli Bidang Pemeriksaan Investigatif, serta Tenaga Ahli yang terkait. d. TPPI melakukan telaahan atas TP dan/atau LHP serta KKP. Temuan AKN diharapkan dapat mengungkap unsur Who, yaitu pihak yang bertanggung jawab, dan juga bukti petunjuk yang dapat membuat peluang pembuktian menjadi lebih meyakinkan, misalnya: 1) Surat Pernyataan/Keterangan dari entitas yang diperiksa dan/atau pihak lain yang terkait yang membenarkan terjadinya TPKKN; atau 2) Dokumen yang berkorelasi dengan TPKKN yang diperoleh dari entitas yang diperiksa dan/atau pihak lain yang terkait. e. Jika dari hasil telaahan atas TP dan/atau LHP serta KKP telah mengungkap semua unsur 5W+1H dan indikasi unsur TPKKN, maka TPPI mengusulkan untuk dilakukan pemaparan dengan instansi yang berwenang sebelum laporan hasil pemeriksaan diserahkan kepada Ketua BPK. Selanjutnya, Ketua BPK menyampaikan kepada instansi yang berwenang. f. Jika dari hasil telaahan atas TP dan/atau LHP serta KKP belum mengungkap semua unsur 5W+1H dan indikasi unsur TPKKN, TPPI menyimpulkan hasil telaahan sebagai berikut: 1) Tidak cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif karena tidak memenuhi unsur 3W (What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN. 2) Belum cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif karena data pendukung belum lengkap untuk memenuhi unsur 3W(What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN. 3) Cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif dalam arti bahwa terpenuhinya unsur 3W (What, Where, dan When) dan beberapa indikasi unsur TPKKN dengan mempertimbangkan materialitas dari nilai kerugian negara. g. Jika hasil telaahan menyimpulkan tidak cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif maka TPPI menyerahkan hasil telaahan TP dan/atau LHP serta KKP kepada Tortama untuk diadministrasikan. h. Jika hasil telaahan menyimpulkan belum cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif maka dimintakan tambahan bukti pendukung. 16

27 Bab III 1) Dalam hal tambahan bukti pendukung tidak cukup memenuhi unsur 3 W (What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN maka langkah selanjutnya sesuai dengan butir g. 2) Dalam hal tambahan bukti pendukung cukup memenuhi unsur 3 W (What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN maka langkah selanjutnya sesuai dengan butir i. i. Jika hasil telaahan menyimpulkan cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan tersebut kepada Ketua BPK melalui Tortama dan Angbintama untuk dilakukan pemeriksaan investigatif. j. Berdasarkan hasil telahan tersebut, Ketua BPK dapat : 1) menugaskan tim khusus, atau 2) mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait; Untuk melakukan pemeriksaan investigatif. k. Selanjutnya informasi dan berkas penelaahan dikembalikan untuk diarsipkan oleh Tortama terkait. Arsip tersebut dapat digunakan sebagai bahan informasi pada waktu AKN melakukan pemeriksaan keuangan, kinerja atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu TP/LHP BPK Perwakilan Apabila dari TP/LHP pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilaksanakan oleh Kepala Perwakilan (Kalan) atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara menemukan TPKKN, yang masih perlu diperdalam/dikembangkan, tim pemeriksa BPK Perwakilan mengusulkan agar pendalaman/pengembangan kasus dilakukan melalui pemeriksaan investigatif. Mekanisme penanganan dilakukan sebagai berikut: a. Tim pemeriksa di Perwakilan melalui Kalan menyampaikan TP/LHP kepada Tortama. Kemudian Tortama menyerahkan temuan tersebut kepada TPPI. Tim Pemeriksa di Perwakilan melakukan pemaparan atas temuan pemeriksaannya dengan TPPI dan jika dipandang perlu dapat meminta pertimbangan Ditama Binbangkum untuk dibahas apakah terdapat cukup alasan dilakukannya pemeriksaan investigatif. b. Apabila dari hasil pemaparan disimpulkan terdapat cukup alasan dilakukan pemeriksaan investigatif, tim pemeriksa di Perwakilan melalui Tortama/Kalan menyerahkan KKP kepada TPPI. c. Pejabat yang hadir dalam pemaparan adalah Tortama, Kalan atau pejabat yang ditunjuk, tim pemeriksa Perwakilan, TPPI. Jika diperlukan dapat dihadiri oleh Ditama Binbangkum, Staf Ahli Bidang Pemeriksaan Investigatif, serta Tenaga Ahli yang terkait. d. Langkah selanjutnya sesuai dengan butir B.1.d sampai dengan butir B.1.k Inisiatif Badan Adalah informasi dari sumber intern BPK yang berasal dari Badan dalam hal ini adalah dari Ketua BPK, Wakil Ketua BPK, dan Anggota BPK tentang informasi TPKKN yang terjadi di entitas yang diperiksa BPK. Penanganan informasi yang berasal dari inisiatif Badan dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: a. Badan menyampaikan perintah telaah kepada Tortama melalui Angbintama mengenai informasi adanya TPKKN. Tortama menyampaikan informasi tersebut kepada TPPI untuk ditelaah. b. TPPI kemudian melakukan telaahan dan membuat laporan hasil Sumber Informasi awal dari hasil pemeriksaan BPK Perwakilan Sumber informasi awal dari inisiatif Badan 17

28 Bab III telaahan dengan menilai apakah kasus tersebut berada dalam kewenangan BPK. Selanjutnya TPPI menganalisis dan mengevaluasi informasi dengan mempertimbangkan nilai kebenaran, materi dan kelengkapan informasi. Jika dipandang perlu, TPPI dapat meminta pertimbangan Ditama Binbangkum, Staf Ahli Bidang Pemeriksaan Investigatif serta Tenaga Ahli terkait. c. Laporan hasil telaahan TPPI memuat simpulan: 1) Tidak cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif karena tidak memenuhi unsur 3W (What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN. 2) Belum cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif karena data pendukung belum lengkap untuk memenuhi unsur 3W(What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN. 3) Cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif dalam arti bahwa terpenuhinya unsur 3W (What, Where, dan When) dan beberapa indikasi unsur TPKKN dengan mempertimbangkan materialitas dari nilai kerugian negara. d. Jika hasil telaahan menyimpulkan tidak cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif maka TPPI menyerahkan hasil telaahan kepada Badan melalui Tortama untuk di administrasikan dan menjadi bahan informasi pada waktu AKN melakukan pemeriksaan keuangan, kinerja atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu. e. Jika hasil telaahan menyimpulkan belum cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif maka TPPI menyampaikan hasil telaahan tersebut kepada Ketua melalui Tortama dan mengusulkan untuk dilakukan pemeriksaan pendahuluan untuk melengkapi data pendukung. Jika hasil pemeriksaan pendahuluan: 1) Data pendukung tidak memenuhi memenuhi unsur 3W(What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN maka TPPI menyerahkan hasil telaahan kepada Badan untuk di administrasikan dan menjadi bahan informasi pada waktu AKN melakukan pemeriksaan keuangan, kinerja atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu. 2) Data pendukung telah memenuhi memenuhi unsur 3W(What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN maka langkah selanjutnya sesuai dengan butir f. f. Jika hasil telaahan menyimpulan cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan tersebut kepada Ketua BPK melalui Tortama untuk dilakukan pemeriksaan investigatif. g. Berdasarkan hasil telahan tersebut, Ketua BPK dapat : 1) Menugaskan tim khusus, atau 2) Mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait; untuk melakukan pemeriksaan investigatif Permintaan Instansi yang berwenang kepada Ketua BPK Adalah informasi dari sumber ekstern BPK seperti Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Kepolisian. Umumnya permintaan Instansi yang berwenang dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu permintaan pada tahapan penyelidikan dan penyidikan. Tujuan permintaan pada tahapan penyelidikan umumnya untuk mengungkap adanya TPKKN untuk memperjelas posisi suatu kasus/kejadian. Sumber Informasi awal dari permintaan Instansi yang berwenang ke Ketua 18

29 Tujuan permintaan pada tahapan penyidikan umumnya untuk menetapkan adanya kerugian negara guna melengkapi konstruksi hukum dan unsur melawan hukum yang telah dikembangkan oleh instansi yang berwenang. Permintaan pemeriksaan dalam rangka melakukan penghitungan kerugian negara/daerah dari Instansi yang berwenang, diatur tersendiri pada Bab VII. Mekanisme penanganan informasi awal yang bersumber dari permintaan Instansi yang berwenang kepada Ketua BPK dilakukan sebagai berikut: a. Instansi yang berwenang menyampaikan permintaan bantuan kepada Ketua BPK, untuk di Pemerintahan Pusat disampaikan oleh Liason Officer (LO) dari Kejaksaan Agung/KPK/Mabes POLRI sedangkan di Pemerintahan Daerah disampaikan oleh LO dari Kejaksaan Tinggi/Kapolda. b. Kemudian Ketua menyampaikan permintaan tersebut kepada TPPI melalui Tortama. c. TPPI meminta instansi yang berwenang untuk melakukan pemaparan dan menyajikan bukti pendukung yang diperlukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi TPKKN. Jika dipandang perlu TPPI dapat meminta Ditama Binbangkum untuk hadir dalam rangka memberi pertimbangan masalah hukum, Staf Ahli Bidang Pemeriksaan Investigatif serta Tenaga Ahli terkait. d. Setelah pemaparan oleh instansi yang berwenang selanjutnya TPPI melakukan telaahan dengan menilai apakah permintaan tersebut berkaitan dengan entitas yang merupakan lingkup pemeriksaan BPK sesuai dengan ketentuan yang berlaku. e. Selanjutnya TPPI menganalisis dan mengevaluasi informasi dengan mempertimbangkan nilai kebenaran, materi dan kelengkapan informasi. f. TPPI membuat hasil telaahan dengan simpulan: 1) Menerima permintaan bantuan karena TPKKN cukup jelas, yang disertai dengan data pendukung yang memadai. 2) Menolak permintaan bantuan karena TPKKN tidak jelas serta tidak dilengkapi dengan data pendukung yang memadai. g. Dalam hal masih diperlukan data tambahan untuk memperkuat kesimpulan, maka pengumpulan bukti tersebut dapat dilakukan sendiri oleh instansi yang berwenang atau membentuk Tim Gabungan yang terdiri dari pemeriksa BPK dan penyidik dari instansi yang berwenang atau oleh tim pemeriksa BPK. h. Selanjutnya, TPPI menyampaikan hasil telaahan tersebut kepada Ketua BPK melalui Tortama. i. Berdasarkan hasil telahan tersebut, Ketua BPK dapat: 1) Menerima permintaan instansi yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan investigatif dengan: a) menugaskan tim khusus, atau b) mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait. 2) Menolak permintaan dengan menyampaikan surat jawaban ke instansi yang berwenang Permintaan Instansi yang berwenang kepada BPK Perwakilan Mekanisme penanganan permintaan instansi yang berwenang kepada BPK Perwakilan untuk melakukan pemeriksaan investigatif dilakukan sebagai berikut: a. Instansi yang berwenang menyampaikan permintaan bantuan kepada Bab III Sumber informasi awal dari permintaan Instansi yang berwenang ke BPK Perwakilan 19

30 Bab III Kepala Perwakilan BPK. b. Kemudian Kalan menyampaikan permintaan tersebut kepada Tortama dan meneruskannya kepada TPPI. c. Langkah selanjutnya sesuai dengan butir B. 4.c sampai dengan B.4.i Permintaan Pihak Ketiga kepada Ketua BPK Adalah informasi dari sumber ekstern BPK yaitu permintaan dari DPR, DPD, APIP, dan masyarakat berkaitan dengan permintaan pemeriksaan investigatif kepada Ketua BPK. Tindak lanjut atas permintaan langsung dari pihak ketiga kepada Ketua BPK dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: a. Berdasarkan permintaan dari DPR/DPD, APIP, dan masyarakat mengenai adanya TPKKN kepada Ketua BPK, Ketua kemudian menyampaikan perintah telaah kepada Tortama yang selanjutnya meneruskan kepada TPPI mengenai informasi adanya TPKKN tersebut. b. TPPI melakukan telaahan dengan menilai apakah permintaan tersebut berkaitan dengan entitas yang merupakan lingkup pemeriksaan BPK sesuai dengan ketentuan yang berlaku. c. Langkah selanjutnya sesuai dengan butir B. 4.e sampai dengan B.4.i Permintaan Pihak Ketiga kepada BPK Perwakilan Permintaan pihak ketiga kepada BPK Perwakilan dapat berasal dari DPRD, APIP, dan masyarakat berkaitan dengan permintaan pemeriksaan investigatif kepada BPK Perwakilan. Tindak lanjut atas permintaan langsung dari pihak ke III kepada BPK Perwakilan dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: a. Berdasarkan permintaan dari DPRD, APIP, dan masyarakat mengenai adanya TPKKN kepada Kalan, selanjutnya Kalan menyampaikan informasi tersebut kepada Tortama. b. Tortama kemudian menyampaikannya kepada TPPI mengenai informasi adanya TPKKN tersebut. c. TPPI selanjutnya melakukan langkah langkah sesuai dengan butir B. 6.b. sampai dengan B. 6.c Jalur Komunikasi Pengaduan Masyarakat BPK menyediakan jalur komunikasi untuk penyampaian pengaduan yaitu: a. RI up. Sekretaris Pimpinan BPK-RI, Jl. Jend. Gatot Subroto No 31 Jakarta Pusat ; b. RI Kantor Perwakilan Propinsi... up. Kasubag Humas, Jl...(alamat disesuaikan dengan lokasi kantor Perwakilan); c. Alamat ...@bpk.go.id untuk penyampaian laporan melalui . Sumber Informasi awal dari Pihak ke III ke Ketua Sumber informasi awal dari permintaan Pihak ke III ke Perwakilan Jalur Komunikasi pengaduan C. Penanganan Informasi Awal 17 Dua hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan informasi awal yaitu substansi informasi dan proses penanganan informasi awal Substansi Informasi Penelaahan dilakukan terhadap substansi informasi mengenai: a. Kewenangan BPK, b. Nilai Kebenaran, c. Materi informasi dan d. Kelengkapan Informasi Substansi informasi 20

31 Bab III 19 a. Kewenangan BPK Dilakukan penelahaan terhadap substansi informasi apakah TPKKN terjadi pada entitas yang merupakan lingkup pemeriksaan BPK sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 20 b. Nilai Kebenaran Menggambarkan apakah informasi awal, berasal dari sumber informasi yang handal dan memiliki validitas informasi yang tinggi. Misalnya: Informasi awal yang diperoleh dari pengembangan temuan AKN adalah berasal dari sumber informasi yang sangat diandalkan, dan memiliki validitas informasi yang tinggi. Sedangkan informasi yang diperoleh dari seseorang tanpa identitas adalah berasal dari sumber yang tidak diketahui dan memiliki validitas informasi yang rendah. Jika informasi berasal dari sumber informasi sangat diandalkan dan memiliki validitas yang tinggi maka nilainya adalah 8 (sangat diandalkan = 4; validitas tinggi = 4). Tingkat kehandalan sumber informasi dan validitas informasi ini mempunyai nilai yang dituangkan dalam skala sebagaimana terlampir dalam Lampiran III c. Materi informasi Materi informasi menggambarkan adanya TPKKN. Jika materi informasi yang disajikan masih diragukan, maka terlebih dahulu dilakukan pengumpulan keterangan yang diperlukan untuk melengkapi data yang tersedia agar diperoleh alasan yang cukup untuk dilakukan pemeriksaan investigatif. 22 d. Kelengkapan Informasi Informasi awal menyajikan minimum 3 unsur W, yaitu What (indikasi adanya TPKKN yang dilakukan), Where (dimana TPKKN dilakukan), dan When (kapan TPKKN dilakukan) Proses Penanganan Informasi Awal Proses penanganan dalam penelaahan informasi awal mencakup: a. mengadministrasikan informasi awal, b. memahami informasi awal, c. menganalisis informasi awal, d. mengevaluasi informasi awal, dan e. keputusan melaksanakan pemeriksaan investigatif. 24 a. Mengadministrasikan Informasi Awal Dalam mengadministrasikan informasi awal, BPK mempertimbangkan dua hal yaitu: 1) kerahasiaan sumber-sumber informasi awal dan 2) akuntabilitas penanganan sumber-sumber informasi awal. 1) Kerahasiaan sumber-sumber informasi awal a) BPK harus memperlakukan seluruh informasi awal termasuk pengaduan masyarakat yang diterima sebagai informasi rahasia dengan cara tidak akan mengungkapkan indentitas pemberi laporan kepada pihak lain kecuali apabila sebelumnya BPK telah mendapatkan kewenangan dari pemberi laporan atau diharuskan oleh ketentuan perundangan-undangan yang berlaku. b) Seluruh laporan mengenai terjadinya penyimpangan yang diterima dari masyarakat harus diidentifikasi antara lain asal sumber informasi (AKN, DPR/D, Instansi yang berwenang, APIP), bulan dan tahun laporan diterima, dan lain-lain. c) Seluruh informasi berbentuk nonelektronis dikonversi menjadi elektronis untuk memudahkan distribusi dan pengendalian. Proses penanganan informasi awal Mengadministrasikan informasi 21

32 Bab III d) Akses terhadap dokumen yang memuat semua informasi awal dari semua sumber informasi awal termasuk pengaduan masyarakat baik dokumen dalam bentuk fisik maupun nonfisik, harus dikendalikan dan dibatasi. e) BPK tidak mempunyai kewenangan untuk membatasi pemberi laporan yang bermaksud mempublikasikan informasi awal termasuk pengaduan masyarakat yang disampaikan kepada BPK. 2) Akuntabilitas penanganan sumber informasi awal BPK menyelenggarakan suatu administrasi penanganan sumber informasi awal yang akan mencatat setiap penerimaan informasi awal termasuk pengaduan masyarakat, antara lain: a) Jumlah informasi awal termasuk pengaduan masyarakat yang bukan di bawah kewenangan BPK yang diteruskan ke instansi lain yang berwenang; b) Jumlah informasi awal yang masih dalam penelaahan; c) Jumlah informasi awal yang telah ditindaklanjuti dengan kegiatan koordinasi dengan lembaga pengawasan dan instansi yang berwenang; d) Jumlah informasi awal yang sudah diteruskan ke aparat penyidik untuk tahap penyidikan; dan e) Jumlah informasi awal yang tidak ditindaklanjuti. Tabel akuntabilitas penanganan sumber informasi awal ini dapat dilihat pada lampiran III b. Memahami Informasi Awal 1) Informasi awal mengenai TPKKN biasanya memuat hal hal yang bersifat umum, tidak menjelaskan secara rinci masalah yang terjadi, dan cenderung memuat informasi yang tendensius, berpihak, memiliki motif yang tidak sehat dan subyektif, sehingga tingkat keandalan dan validitas informasi bisa (1) sangat mungkin terjadi, (2) mungkin terjadi, (3) diragukan, dan (4) tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu informasi ini harus ditangani secara obyektif. 2) Setiap informasi awal yang diterima BPK ditelaah dengan menggunakan pendekatan 5W (what, who, where, when dan why) dan 1H (how) untuk menetapkan cukup tidaknya alasan dilakukan pemeriksaan, yang mengarah kepada terpenuhinya unsur unsur TPPKN terkait pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Informasi awal biasanya tidak mungkin dapat menjawab seluruh unsur TPKKN, namun pada umumnya menyebutkan Who (siapa yang diindikasikan melakukan TPKKN) dan What (TPKKN apa yang dilakukan). 26 c. Menganalisis Informasi Awal 1) Tujuan menganalisis informasi awal adalah menjelaskan seluruh informasi awal ke dalam pendekatan 5W + 1H. 2) Selain dengan menggunakan pendekatan 5W + 1H dalam menganalisis informasi awal yang diterima, penelaah juga menggunakan laporan laporan BPK yang terdahulu yang relevan untuk menetapkan cukup tidaknya alasan dilakukan pemeriksaan. 3) Dengan pendekatan pendekatan 5W + 1H, hasil analisis mencakup hal-hal sebagai berikut: a) Unsur 5W+1H (1) Jenis TPKKN (what) Memahami informasi awal Menganalisis informasi awal 22

33 Bab III Dengan menjawab pertanyaan what diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang substansi TPKKN yang dilaporkan. Informasi ini akan berguna pada saat pengembangan hipotesis awal untuk menetapkan jenis TPKKN. (2) Pihak pihak yang bertanggung jawab (who) Dengan menjawab pertanyaan who diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang pihak pihak yang bertanggung jawab atas TPKKN yang terjadi atau pihak pihak terkait yang akan dimintakan keterangannya. (3) Dimana TPKKN terjadi (where) Dengan menjawab pertanyaan where diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang dimana TPKKN terjadi, khususnya entitas/unit kerja dimana TPKKN terjadi. Informasi ini amat berguna pada saat menetapkan ruang lingkup pemeriksaan investigatif dan juga membantu pada saat menentukan locus delictie (tempat terjadinya TPKKN). (4) Waktu terjadinya TPKKN (when) Dengan menjawab pertanyaan when diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang kapan terjadinya TPKKN. Informasi ini akan berguna dalam penetapan ruang lingkup pemeriksaan investigatif. Penentuan tempos delictie (waktu terjadinya TPKKN) akan membantu pemeriksa dalam memahami ketentuan yang akan digunakan. (5) Penyebab terjadinya TPKKN (why) Dengan menjawab pertanyaan why diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang mengapa seseorang melakukan TPKKN. Hal ini terkait dengan motivasi seseorang melakukan kecurangan sehingga dapat membantu pemeriksa dalam membuktikan adanya unsur niat seseorang melakukannya. (6) Modus operandi TPKKN (how) Dengan menjawab pertanyaan how diharapkan penelaah memperoleh informasi tentang bagaimana TPKKN itu dilakukan. Informasi ini akan membantu pemeriksa dalam menyusun modus operandi TPKKN tersebut. b) Unsur TPKKN Dengan menggunakan pendekatan unsur unsur TPKKN, diharapkan penelaah dapat menjelaskan tentang TPKKN yang dilaporkan. Misalnya: TPKKN tersebut dapat dijelaskan dalam empat unsur dalam pasal 2 Undang Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi: (1) setiap orang. (2) secara melawan hukum. (3) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. (4) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Hasil analisis 5W + 1 H kemudian dituangkan dalam bentuk 23

34 matrik III.5 dengan format sebagaimana tercantum pada lampiran 27 d. Mengevaluasi Informasi Awal 1) Tujuan mengevaluasi informasi awal adalah meyakinkan apakah informasi awal yang diperoleh telah didukung dengan data pendukung misalnya kelengkapan administrasi akuntansi yang memadai. 2) Untuk melengkapi informasi awal, penelaah dapat memperoleh tambahan informasi dari berbagai sumber tanpa harus melakukan hubungan secara langsung dengan pihak-pihak terkait yang melakukan TPKKN, seperti informasi dari pemasok barang dan jasa, pembeli dan konsumen barang dan jasa, media masa, internet, dan informasi intern BPK lainnya. 3) Jika selama kegiatan penelaahan diperoleh tambahan data dan informasi lain, penelaah harus membandingkan informasi tersebut dengan informasi yang sudah dimilikinya mengenai hal-hal sebagai berikut: a) Unsur TPKKN Dengan menggunakan pendekatan unsur TPKKN, diharapkan penelaah dapat mengevaluasi informasi awal tentang TPKKN yang dilaporkan tersebut dengan data pendukungnya. Contoh: Hasil evaluasi atas data pendukung yang diperoleh terkait TPKKN dengan menggunakan Pasal 2 Undang Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi : No Unsur TPK Bukti 1 Setiap orang SK Bendahara 2 Secara melawan hukum Melakukan pembayaran tanpa otorisasi 3 Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi 4 Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Rekening Pribadi Bendahara - Bab III Mengevaluasi informasi awal Contoh unsur TPK b) Unsur 5W+1H Dengan menggunakan kriteria 5W + 1H, pelaksanaan evaluasi atas informasi mencakup hal-hal sebagai berikut: (1) Jenis TPKKN (what) Penelaah membandingkan informasi mengenai jenis TPKKN yang diperoleh dengan bukti-bukti terkait. Jika dalam pengaduan tersebut belum mengungkap informasi kemungkinan adanya kerugian negara/ daerah, hal ini tidak berarti bahwa pengaduan tidak layak untuk ditindaklanjuti. Faktor faktor lain yang terungkap akan mempengaruhi dalam menentukan simpulan. (2) Pihak yang bertanggungjawab (who) Penelaah mengidentifikasi pihak pihak yang mungkin bertanggung jawab atas TPKKN yang terjadi atau pihak pihak terkait yang akan dimintakan keterangannya. Mungkin saja informasi ini tidak terungkap dalam pengaduan. Jika demikian halnya, sepanjang informasi 24

35 Bab III lain terungkap dalam pengaduan, penelaah dapat menyusun hipotesis awal tentang siapa yang diindikasikan melakukan kecurangan. Tambahan data yang memuat informasi tentang pihak pihak yang bertanggung jawab mungkin diperoleh selama melakukan pemeriksaan investigatif. Sebagai contoh, meskipun informasi Who (siapa) tidak terungkap dalam pengaduan, tetapi berdasarkan informasi adanya indikasi terjadi KKN pada proyek X, maka pemeriksa dapat melakukan hipotesis kemungkinan siapa siapa yang diduga melakukan TPKKN. (3) Dimana TPKKN terjadi (where) Penelaah melakukan evaluasi tentang dimana TPKKN terjadi, khususnya entitas/unit kerja dimana TPKKN terjadi. Informasi tentang dimana terjadinya TPKKN merupakan salah satu faktor penting yang harus ada untuk menentukan layak tidaknya dilakukan pemeriksaan investigatif. Informasi ini berguna untuk menetapkan ruang lingkup penugasan agar lebih terarah (fokus). (4) Waktu terjadinya TPKKN (when) Penelaah melakukan evaluasi tentang kapan terjadinya TPKKN. Informasi tentang kapan terjadinya TPKKN merupakan salah satu faktor yang sangat penting yang harus terungkap untuk menentukan layak tidaknya dilakukan pemeriksaan investigatif. Informasi ini berguna untuk menetapkan ruang lingkup penugasan agar lebih terarah (fokus). (5) Penyebab terjadinya TPKKN (why) Penelaah melakukan evaluasi tentang mengapa TPKKN dapat terjadi. Informasi mengenai penyebab terjadinya TPKKN adalah penting untuk menentukan alasan logis atas terjadinya suatu TPKKN sehingga memperkuat hipotesis yang akan ditetapkan. Informasi ini jarang terungkap dalam pengaduan, namun hal ini tidak mengurangi perlunya dilaksanakan pemeriksaan investigatif, apabila informasi atas unsur unsur lainnya telah mencukupi. (6) Modus operandi TPKKN (how) Penelaah melakukan evaluasi tentang bagaimana suatu TPKKN dilakukan. Informasi tentang bagaimana suatu indikasi TPKKN terjadi merupakan salah satu unsur penting dalam penelaahan dan unsur kunci untuk menilai apakah suatu TPKKN telah dilakukan. Sebagaimana unsur why di atas, unsur ini juga jarang terungkap dalam pengaduan. Namun demikian walaupun informasi tersebut tidak terungkap, bukan berarti pemeriksaan investigatif tidak layak untuk dilakukan apabila unsur lainnya telah mencukupi, karena unsur ini nantinya dapat dikembangkan pada saat pelaksanaan pemeriksaan investigatif. Unsur How berkaitan langsung dengan modus operandi atau cara seseorang atau pihak tertentu melakukan 25

36 Bab III TPKKN. Unsur How merupakan tindakan verbal seseorang atau sebaliknya seseorang tidak melakukan tindakan, sehingga secara keseluruhan merupakan TPKKN. Contoh: Hasil evaluasi atas data pendukung yang diperoleh terkait dengan informasi penyimpangan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah pada Pemerintah Daerah Kabupaten ABC: No Unsur 5W + 1H Fakta 1 Jenis TPKKN(What) Pelanggaran PP No. 105/2000 dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melalui mekanisme kas bon. 2 Pihak yang Bupati Pemda Kab. ABC bertanggungjawab (Who) 3 Dimana TPKKN terjadi Pemda Kab. ABC (Where) 4 Waktu terjadinya TPKKN TA 2006/2007 (When) 5 Penyebab terjadinya - TPKKN (Why) 6 Modus operandi TPKKN (How) - 4) Jika dari penanganan informasi awal unsur 5W + 1H belum diperoleh secara lengkap, tetapi dengan memperhatikan prioritas penanganan dan arti pentingnya informasi, maka TPKKN dapat diindikasikan dengan minimal terpenuhinya tiga unsur yaitu: What (adanya TPKKN), When (tahun anggaran yang berkaitan dengan kejadian), dan Where (entitas dimana TPKKN terjadi). 5) Hasil penelaahan informasi awal dituangkan dalam bentuk simpulan penelaahan informasi awal dengan pilihan sebagai berikut: a) Cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif dalam arti bahwa terpenuhinya unsur 3W (What, Where, dan When) dan beberapa indikasi unsur TPKKN dengan mempertimbangkan materialitas dari nilai kerugian negara. b) Belum cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk melengkapi informasi mengenai unsur 3W (What, Where, dan When) dan indikasi unsur TPKKN yang belum diperoleh. c) Tidak cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan investigatif karena tidak memenuhi unsur 3W atau dilengkapi data pendukung yang lengkap. 6) Jika dari hasil telaahan dianggap perlu untuk mendapatkan informasi tambahan langsung dari pihak ketiga atau unsur terkait, TPPI mengajukan usul kepada Ketua BPK untuk melakukan pengumpulan bahan dan keterangan dengan mempertimbangkan faktor-faktor antara lain: a) Materialitas nilai kerugian negara. b) Sensitivitas isu tersebut. c) Kecenderungan TPKKN di tempat lain. d) Kemungkinan kemudahan mendapatkan tambahan informasi yang diperlukan. Usulan pengumpulan bahan dan keterangan disetujui oleh Ketua BPK dengan menerbitkan disposisi kepada Tortama terkait atau TPPI untuk mengumpulkan data atau bukti pendukung tambahan 26

37 Bab III pada entitas terkait. Pengumpulan bahan dan keterangan dapat dilakukan dengan memanfaatkan laporan dan/data dari instansi lain. 7) Pengumpulan data dimaksudkan untuk memastikan/ memperkuat/mendukung indikasi bahwa hal hal yang diungkapkan dalam informasi benar benar mempunyai dasar untuk ditindaklanjuti dengan pemeriksaan. 8) Hasil telaahan dan pengembangan informasi dilaporkan kepada Ketua BPK dalam waktu selambat lambatnya tujuh hari setelah surat tugas pengumpulan data selesai. 9) Simpulan penelaahan informasi awal bersifat intern. Simpulan tersebut disusun dan ditandatangani oleh TPPI dan disampaikan kepada Ketua BPK untuk keputusan lebih lanjut. 28 e. Keputusan Melaksanakan Pemeriksaan Investigatif 1) Berdasarkan simpulan penelaahan informasi awal, Ketua BPK dapat: a) menugaskan tim khusus, atau b) mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait; untuk melakukan pemeriksaan investigatif. 2) Selanjutnya, informasi dan berkas penelaahan diarsipkan oleh TPPI. Arsip tersebut dapat digunakan sebagai bahan informasi pada waktu AKN/Kalan untuk melakukan pemeriksaan keuangan, kinerja, atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Keputusan melaksanakan pemeriksaan investigatif Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif 27

38 Bab III 28

39 BAB IV

40 Bab IV BAB IV PERSIAPAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF A. Umum 01 Tujuan persiapan pemeriksaan investigatif adalah agar pelaksanaan pemeriksaan investigatif berjalan efisien dan efektif serta mencapai tujuan. Persiapan pemeriksaan investigatif 02 Kegiatan dalam persiapan pemeriksaan mencakup: 1) pengembangan hipotesa, 2) penyusunan program pemeriksaan investigatif, 3) penentuan kebutuhan sumber daya, dan 4) penerbitan surat tugas. B. Pengembangan Hipotesa 03 Hipotesa adalah kesimpulan sementara dari hasil telaahan atas informasi awal yang berindikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur TPKKN. Contoh hipotesa: 1. Rekanan telah memberikan suap kepada penyelenggara Negara. 2. Panitia pengadaan barang melakukan tender proforma untuk memenangkan kontraktor A. 3. Bupati X memberikan bantuan sosial fiktif dengan merekayasa proposal sehingga merugikan keuangan daerah sebesar Rp 10 M. 04 Hipotesa juga merupakan pernyataan sementara yang bersifat prediksi dari hubungan antara dua atau lebih variabel yang berguna untuk: a) memberikan batasan serta mempersempit ruang lingkup pemeriksaan investigatif; b) mempersiapkan pemeriksa terhadap semua fakta dan hubungan antar fakta yang telah teridentifikasi; c) sebagai alat yang sederhana dalam membangun fakta fakta yang tercerai berai tanpa koordinasi ke dalam suatu kesatuan penting dan menyeluruh; dan d) sebagai panduan dalam pengujian serta penyesuaian fakta dan antar fakta. 05 TPKKN yang masih bersifat umum selanjutnya diuraikan menjadi beberapa hipotesa TPKKN yang lebih spesifik (hipotesa yang disusun oleh TPPI dapat lebih dari satu hipotesa). 06 Setelah memahami predikasi jenis TPKKN, mendapatkan informasi umum dari media masa terkait dengan kasus yang diperiksa, serta memperoleh dan mempelajari laporan pemeriksaan BPK, TPPI menyusun hipotesa secara singkat dan jelas. 07 Hipotesa berisi kemungkinan: a) TPKKN yang terjadi; b) siapa yang bertanggung jawab; c) bagaimana TPKKN atau potensi TPKKN terjadi; d) dimana TPKKN terjadi; e) kurun waktu terjadinya; dan f) terpenuhinya unsur-unsur TPKKN. Hipotesa merupakan pernyataan sementara yang bersifat prediksi dari hubungan 2 atau lebih variabel C. Penyusunan Program Pemeriksaan 08 Tujuan penyusunan program pemeriksaan adalah untuk menentukan langkah-langkah pemeriksaan dalam rangka membuktikan hipotesa. Dalam menyusun program pemeriksaan, TPPI memperhatikan lima elemen dasar yaitu Situasi, Tujuan, Rencana Langkah, Administrasi & Logistik, Lima elemen dasar yang harus diperhatikan dalam menyusun program pemeriksaan 29

41 Bab IV dan Komunikasi Situasi, yang mencakup bagian: a. Masalah 1) Pernyataan situasi atau permasalahan yang memuat substansi TPKKN yang dilaporkan atau telah terjadi dan bagaimana keadaannya pada saat ini. 2) Penyampaian data/bukti pendukung, fakta fakta atau informasi tambahan yang menyertai TPKKN yang dilaporkan atau yang telah terjadi dengan pendekatan terpenuhinya unsur 5W+1H dan unsur TPKKN. 10 b. Analisis Masalah 11 c. Simpulan 1) Permasalahan yang dikemukakan beserta bukti atau informasi yang menyertai, diuraikan dan dianalisis lebih lanjut guna memperkuat gambaran substansi TPKKN yang telah terjadi yang nantinya akan dibuktikan. 2) Analisis masalah merupakan dasar dirumuskannya hipotesa, lebih lanjut diuraikan ke dalam langkah langkah pemeriksaan investigatif yang akan dilaksanakan berikut siapa yang akan melaksanakan serta rencana waktu pelaksanaannya. 1) Merupakan simpulan atas analisis masalah yang telah dibuat. 2) Mencantumkan hipotesa sementara secara rinci yang nantinya dibuktikan melalui pelaksanaan pemeriksaan investigatif Tujuan Tujuan pemeriksaan investigatif adalah untuk membuktikan adanya TPKKN sebagaimana dirumuskan dalam hipotesa awal. Tujuan ini dituangkan dalam suatu pernyataan yang secara ringkas menggambarkan hal-hal yang diharapkan akan dicapai dalam pelaksanaan pemeriksaan. Dalam suatu kasus yang kompleks, tujuan dapat dijabarkan lebih lanjut ke dalam sub-sub komponen yang saling terkait untuk mencapai tujuan secara keseluruhan Rencana Langkah Rencana langkah pemeriksaan investigatif mencakup: a. Menjabarkan rencana langkah-langkah pemeriksaan investigatif yang akan dilakukan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. b. Masing-masing langkah yang direncanakan disertai dengan penanggung jawab dan jangka waktu pelaksanaannya Administrasi dan Logistik Administrasi dan logistik mencakup bagian: a. Usulan Tim Pemeriksa Investigatif Menjabarkan komposisi tim pemeriksa, yang mencakup uraian rinci mengenai nama, jabatan, peran atau kualifikasi yang dibutuhkan. b. Estimasi Jangka Waktu Pelaksanaan Menjabarkan tanggal dimulainya pelaksanaan pemeriksaan investigatif, estimasi total waktu pelaksanaan pemeriksaan dan juga waktu yang dibutuhkan untuk masing - masing langkah pemeriksaan. c. Estimasi Total Anggaran Biaya Pemeriksaan Investigatif Menjabarkan perkiraan total biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pemeriksaan Komunikasi 30

42 Bab IV Elemen ini menyajikan matriks komunikasi yang menguraikan secara rinci mengenai arus informasi (siapa melapor kepada siapa), waktu pelaporan serta kepada siapa laporan harus diserahkan. 16 Program Pemeriksaan Investigatif 1. Program Pemeriksaan Investigatif diarahkan untuk dapat mengumpulkan bukti bukti yang diperlukan dalam mengungkapkan dan membuktikan setiap hipotesa yang terjadi secara rinci dengan memperhatikan: a) penentuan bukti yang akan dikumpulkan dari sumber yang relevan dan tepat, dan b) penentuan hubungan bukti dengan pihak yang terkait Program Pemeriksaan Investigatif merupakan rencana yang terinci yang sekurang kurangnya disusun berdasarkan struktur atau kerangka yang mencakup: a. Dasar Hukum Pemeriksaan Menguraikan peraturan perundangan-undangan yang menjadi sumber mandat BPK dalam melakukan pemeriksaan investigatif. b. Standar Pemeriksaan Menguraikan pedoman yang ditetapkan BPK sebagai acuan dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk dan atas nama BPK. c. Tujuan Pemeriksaan Investigatif Adalah untuk membuktikan pernyataan hipotesa rinci yang telah dirumuskan, sebagai contoh: Program Kerja Pemeriksaan PEMERINTAH KABUPATEN ABC Tujuan Pemeriksaan: Untuk membuktikan ada tidaknya indikasi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah pada Kabupaten ABC. d. Entitas Yang diperiksa Menguraikan entitas yang berwenang dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang menjadi obyek pemeriksaan BPK. e. Lingkup Yang Diperiksa Menguraikan batasan bagi Tim Pemeriksa untuk menerapkan prosedur pemeriksaan yang ditentukan berdasarkan hipotesa dan tujuan yang telah dibuat meliputi sasaran, lokasi maupun waktu. Contoh: Adanya indikasi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dan pertanggung jawaban Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten ABC pada TA f. Hasil Telaahan Informasi Awal Menguraikan situasi dan permasalahan sebagaimana yang telah dianalisis dalam tahap penyusunan hipotesa atas predikasi. g. Alasan Pemeriksaan Menguraikan kondisi (predikasi/hipotesa) atau permasalahan yang telah diidentifikasi dalam tahap penelaahan informasi awal yang melatarbelakangi pemeriksaan investigatif. Alasan ini menjadi prioritas untuk dibuktikan secara lebih rinci lagi dengan menggunakan prosedur pemeriksaan dalam pelaksanaan pemeriksaan. h. Metodologi Pemeriksaan Menguraikan pendekatan yang digunakan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan. Program pemeriksaan investigatif diarahkan untuk mengungkap dan membuktikan setiap hipotesa. 31

43 Bab IV i. Langkah Langkah Pemeriksaan Investigatif Berdasarkan tujuan dan lingkup pemeriksaan investigatif, disusun langkah-langkah pemeriksaan. Contoh langkah pemeriksaan dapat dilihat pada lampiran IV.1. j. Waktu Pelaksanaan Pemeriksaan investigatif 1) Bagian ini memberikan waktu dan durasi pelaksanaan program kerja pemeriksaan investigatif secara rinci dan disusun berdasarkan hari tugas (daily basis). 2) Bagian ini sebaiknya disusun dalam pola matriks dengan menggunakan model Gantt chart, yang mengkaitkan antara obyek & langkah langkah pemeriksaan dengan tanggal pelaksanaan pemeriksaan investigatif. 3) Waktu pelaksanaan dibuat dengan mempertimbangkan tingkat kesulitan dan kerumitan masalah TPKKN yang diperiksa. 4) Waktu pelaksanaan pembuatan Laporan Hasil Pemeriksaan hingga draft final juga disertakan di dalam Gantt chart. k. Susunan Tim dan Biaya Pemeriksaan Investigatif Menguraikan urutan komposisi tim pemeriksa yang dilengkapi dengan jumlah biaya pemeriksaan. l. Distribusi Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Menguraikan pihak pihak yang memperoleh laporan hasil pemeriksaan. m. Persetujuan Program Pemeriksaan Investigatif Menguraikan pejabat yang berwenang dalam persetujuan program pemeriksaan. 18 Berdasar paket program pemeriksaan yang telah disetujui, ketua tim melakukan pembagian tugas kepada masing-masing anggota tim atas langkah pemeriksaan yang terdapat dalam program pemeriksaan. Para anggota tim pemeriksa kemudian menyusun konsep Program Kerja Perorangan yang merupakan penjabaran dari program pemeriksaan dan mengajukannya kepada ketua tim untuk direviu. Setelah memperhatikan pertimbangan pengendali teknis, ketua tim pemeriksa menyetujui konsep program kerja perorangan. Format program kerja perorangan dapat dilihat pada lampiran IV.2. D. Penentuan Kebutuhan Sumber Daya 19 Kebutuhan sumber daya pendukung pemeriksaan harus ditentukan seefisien mungkin tanpa mengurangi pencapaian kualitas hasil pemeriksaan yang optimal dan efektif. 20 Kebutuhan sumber daya pendukung yang harus ditentukan antara lain menyangkut personil tim pemeriksa, ahli, anggaran biaya pemeriksaan, dan perangkat pendukung lainnya misal alat perekam, kamera, handycam, telekomunikasi, komputer dan lain-lain. 21 Penentuan sumber daya pendukung pemeriksaan baik jumlah maupun kualifikasinya ditentukan oleh penanggung jawab pemeriksaan atau pejabat BPK yang ditunjuk, dengan memperhatikan tingkat kesulitan dan rumitnya masalah yang akan diperiksa. Penentuan sumber daya pendukung ditentukan seefisien mungkin E. Penerbitan Surat Tugas 22 Setelah program pemeriksaan disetujui oleh penanggung jawab maka diterbitkan surat tugas oleh Ketua atau Angbintama atau Kalan. Penerbitan surat tugas oleh 32

44 23 Surat tugas dari pemberi tugas memuat sasaran dan ruang lingkup pemeriksaan berdasarkan rumusan hipotesa yang telah disusun oleh TPPI, dan rencana jangka waktu pelaksanaan pemeriksaan. 24 Surat tugas pemeriksaan investigatif yang dikeluarkan oleh BPK, harus diorganisir hingga diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan. Dengan demikian dapat diketahui jumlah surat tugas yang diterbitkan, status penugasan atas surat tugas yang diterbitkan, dan laporan pemeriksaan yang diterbitkan. Formulir Pengorganisasian Surat Tugas dapat dapat dilihat pada lampiran IV Susunan tim pemeriksa investigatif adalah sebagai berikut: 1. Penanggung jawab pemeriksaan investigatif. 2. Wakil penanggung jawab pemeriksaan investigatif (jika diperlukan). 3. Pengendali teknis pemeriksaan investigatif. 4. Ketua tim pemeriksa investigatif. 5. Anggota tim pemeriksa investigatif. Matriks komunikasi kegiatan persiapan pemeriksaan dapat dilihat pada lampiran IV.4. Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif Bab IV Ketua/Angbintama/Kalan 33

45 Bab IV 34

46 BAB V

47 Bab V BAB V PELAKSANAAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF A. Umum 01 Pelaksanaan pemeriksaan investigatif meliputi enam tahap kegiatan, yaitu: 1. Pembicaraan pendahuluan 2. Pengumpulan bukti pemeriksaan berdasarkan hipotesa 3. Analisis dan evaluasi bukti pemeriksaan 4. Pemaparan tim pemeriksa di lingkungan BPK 5. Pemaparan tim pemeriksa kepada instansi yang berwenang 6. Pembicaraan akhir Pemeriksaan investigatif meliputi enam tahap kegiatan B. Pembicaraan Pendahuluan 02 Berdasarkan surat tugas, tim pemeriksa investigatif menyelenggarakan pertemuan dengan pimpinan dan para pejabat dari entitas yang diperiksa dengan maksud: 1. Menjelaskan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan dalam surat tugas. 2. Memperoleh informasi tambahan dari entitas yang diperiksa dalam rangka melengkapi informasi yang telah diperoleh sebelumnya. 03 Menciptakan suasana yang dapat menunjang kelancaran pelaksanaan pemeriksaan, terutama untuk memperoleh dukungan dari entitas yang diperiksa. 04 Pemeriksa investigatif mengkomunikasikan informasi yang berkaitan dengan sifat, saat, dan lingkup pemeriksaan serta pelaporan yang direncanakan atas hal yang dilakukan pemeriksaan kepada entitas yang diperiksa. 05 Pembicaraan pendahuluan ini tetap harus dilaksanakan walaupun manajemen puncak dari entitas yang diperiksa tersebut diindikasikan terlibat dalam kasus yang bersangkutan. 06 Pembicaraan pendahuluan dengan pihak entitas yang diperiksa harus direncanakan agar tidak mengungkap informasi yang diperlukan secara rinci untuk mengurangi kemungkinan pelaku menghilangkan, menyembunyikan, memanipulasi, dan atau merekayasa bukti bukti asli. 07 Jika dalam pembicaraan pendahuluan, pihak entitas menolak dilakukannya pemeriksaan investigatif, maka Tim Pemeriksa menempuh langkah langkah sesuai dengan Surat Edaran Ketua BPK No. 01/SE/I-VIII.3/9/2007 tanggal 5 September 2007 tentang Penolakan Pemeriksaan. Tujuan pembicaraan pendahuluan C. Pengumpulan Bukti Pemeriksaan Berdasarkan Hipotesa 08 Pada tahap ini, pemeriksa investigatif telah memiliki hipotesa awal yang berisi mengenai, siapa, bentuk dan jenis peristiwa, indikasi TPKKN yang merugikan keuangan negara/daerah. 09 Tujuan pengumpulan bukti Pelaksanaan pengumpulan bukti bertujuan untuk melengkapi bukti pemeriksaan yang diperlukan dalam rangka mengungkap: 1. fakta dan proses kejadian, 2. sebab dan akibat TPKKN, dan 3. penanggung jawab Tujuan pengumpulan bukti 35

48 Bab V atau pihak yang terkait atas TPKKN. Pada saat pemeriksa mengumpulkan bukti, pemeriksa harus terlebih dahulu memahami jenis jenis dan kriteria bukti pemeriksaan yang harus dikumpulkan, alat bukti menurut UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan keterkaitan antara keduanya. Penjelasan mengenai bukti pemeriksaan dan bukti hukum dapat dilihat pada lampiran V Strategi pengumpulan bukti Strategi pembuktian adanya TPKKN umumnya meliputi tiga langkah dasar, yaitu: 1. Pemeriksa membangun kasus secara menyeluruh melalui wawancara terhadap saksi yang mendukung dan menganalisis dokumen yang tersedia. 2. Pemeriksa menggunakan bukti tidak langsung untuk mengidentifikasikan kasus dan meyakinkan saksi intern yang dapat memberikan bukti langsung tentang pihak yang diduga terlibat, guna membangun kasus. 3. Pemeriksa meminta keterangan kepada subyek guna mengungkap kasus, mengidentifikasikan pelaku kejahatan dan membuktikan adanya unsur kesengajaan (intent) si pelaku. 11 Metode pengumpulan bukti Dalam upaya membuktikan TPKKN yang sudah dirumuskan dalam hipotesa awal, pemeriksa mengumpulkan bukti dengan cara: 1. meminta dokumen, 2. meminta keterangan, 3. melakukan pemeriksaan fisik dan pengamatan, 4. memperoleh bukti elektronik/digital, 5. melakukan penyegelan dan 6. memotret dan merekam Meminta Dokumen a. Pasal 10 huruf a UU No. 15 Tahun 2004 dan Pasal 9 ayat (1) huruf b UU No. 15 Tahun 2006 memberikan kewenangan kepada BPK untuk meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. b. Dokumen yang dikumpulkan adalah dokumen yang terkait dengan indikasi TPKKN. Dokumen ini didapatkan dari berbagai sumber baik internal maupun eksternal entitas yang diperiksa. c. Dalam memperoleh bukti pemeriksaan, pemeriksa dapat: a. Meminta dokumen kepada pejabat atau pihak terkait lainnya yang berwenang untuk memberikannya melalui surat yang dilampiri dengan daftar dokumen yang diminta. b. Mengecek kesesuaian antara jumlah/jenis dokumen/bukti yang diterima dengan daftar permintaan dokumen/bukti. c. Memfotokopi setiap dokumen asli yang diperoleh kemudian dilegalisasi oleh pembuat dokumen asli atau pejabat yang berwenang dari entitas yang diperiksa dan distempel dengan memuat penjelasan sesuai dengan aslinya dan bukti asli ada di kantor kami di bawah tanggung jawab Saudara.... d. Jika dokumen yang diperoleh hanya berupa fotokopi, maka pemeriksa harus melakukan prosedur pemeriksaan lainnya seperti konfirmasi kepada pihak - pihak yang terkait dengan dokumen tersebut. e. Setiap peminjaman dan pengembalian dokumen asli harus Strategi pengumpulan bukti Lima metode dalam pengumpulan bukti Meminta Dokumen 36

49 Bab V dibuatkan berita acara peminjaman/pengembalian dokumen. Formulir Berita Acara Peminjaman Dokumen dapat dilihat pada lampiran V.2. f. Jika dokumen asli maupun fotokopi tidak dapat diperoleh, maka pemeriksa mengajukan permintaan tertulis kedua kalinya dengan menjelaskan dasar hukum permintaan dokumen disertai konsekuensi pelanggaran ketentuan tersebut. g. Jika dokumen asli maupun fotokopi dapat diperoleh tetapi tidak dapat dipinjamkan, pemeriksa harus mencatat secara lengkap nomor dokumen, tanggal dokumen, halaman buku dan catatan lain yang dianggap perlu untuk memudahkan mendapatkan kembali pada saat penyidikan dilakukan. h. Daftar dokumen/bukti tersebut harus dilegalisir oleh pejabat yang berwenang dari entitas yang diperiksa, sebagai bukti dukungan bahwa daftar tersebut telah dibuat sesuai dengan dokumen/bukti yang ada pada saat itu. i. Jika dokumen tersebut tetap tidak diberikan, maka pemeriksa dapat segera merencanakan langkah berikutnya, yaitu : 1) Melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Ketua BPK No. 01/SE/I-VIII.3/9/2007 tanggal 5 September 2007 tentang Penolakan Pemeriksaan. 2) Melakukan penyegelan sesuai dengan kewenangan BPK setelah mendiskusikannya dengan Ditama Binbangkum. Tata cara penyegelan dilakukan sesuai dengan ketentuan. j. Perolehan dokumen terkait dengan kerahasiaan bank 1) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). a) Pemeriksa dapat memperoleh informasi dari PPATK berkaitan dengan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang dan atau perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana pencucian uang. Formulir Permintaan Informasi kepada PPATK dapat dilihat pada lampiran V.3. b) Dalam hal diperlukan adanya konfirmasi atau penjelasan lebih lanjut atas informasi yang telah diberikan, dapat dilakukan melalui pejabat penghubung yang telah ditunjuk. c) Informasi yang diberikan bersifat rahasia dan hanya dapat digunakan sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam surat permintaan informasi. d) Informasi yang diberikan tidak dapat diteruskan atau diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari PPATK. e) Pemeriksa bertanggung jawab atas kerahasiaan, penggunaan, dan keamanan informasi yang diterima. 2) Pemeriksa dapat meminta dokumen yang diperlukan kepada Bank, dengan izin/kuasa dari pemegang rekening. 3) Jika cara 1) dan 2) di atas tidak berhasil, pemeriksa dapat meminta pihak instansi penyidik untuk mendapatkan izin Pimpinan Bank Indonesia, setelah melalui proses sesuai dengan prosedur yang berlaku di instansi penyidik. Menurut UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, izin pemberian keterangan yang menyangkut rahasia bank untuk suatu perkara yang menyangkut rekening nasabah bank hanya dapat diberikan oleh Pimpinan Bank Indonesia kepada pihak 37

50 Bab V Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim atas permintaan tertulis dari ketiga instansi tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, pejabat BPK yang berwenang meminta secara tertulis kepada intansi penyidik agar mengajukan permohonan izin kepada Pimpinan Bank Indonesia. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 UU No. 10 Tahun ) Langkah-langkah persiapan dalam mendapatkan izin tersebut antara lain: a) Menyampaikan surat permintaan. b) Jika diminta, pemeriksa melakukan presentasi kasus kepada penyidik untuk meyakinkan bahwa tanpa dokumen yang diperlukan, posisi kasus menjadi lemah Meminta Keterangan a. Permintaan keterangan tertulis dan atau lisan dilakukan oleh pemeriksa dengan tujuan untuk memperoleh, melengkapi dan/atau meyakini informasi yang dibutuhkan dalam kaitan dengan pemeriksaan. b. Permintaan keterangan tertulis dapat dilakukan dengan beberapa macam cara misalnya dengan membuat Berita Acara Permintaan Keterangan (BAPK), Surat Pernyataan, dan pengisian kuesioner. c. Permintaan keterangan secara lisan dapat dilakukan dengan beberapa macam cara misalnya dengan wawancara dan wawancara mendalam. d. Definisi dan Tujuan Wawancara 1) Wawancara adalah usaha/kegiatan untuk memperoleh keterangan dari orang yang memiliki atau diduga memiliki keterangan. Wawancara bersifat netral, tidak menuduh. Tujuan wawancara adalah mengumpulkan informasi yang penting bagi pemeriksaan investigatif dan mengenai perilaku dari orang yang diwawancarai. Wawancara memiliki pola dan struktur yang spesifik, serta memiliki tujuan. Wawancara dapat berupa satu pertanyaan atau rangkaian pertanyaan. 2) Wawancara mendalam adalah wawancara yang dilakukan terhadap penanggung jawab atau pihak yang diduga terkait dengan TPKKN. Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi yang dapat dipakai untuk mengungkap segala sesuatu yang menyangkut bagaimana TPKKN yang terjadi. e. Untuk menjaga independensi dan mencapai tujuan, wawancara dan wawancara mendalam dilakukan di kantor BPK atau kantor entitas yang diperiksa kecuali jika hal tersebut tidak dapat dilaksanakan maka pemeriksa dapat melakukan wawancara di tempat lain berdasarkan pertimbangan pemeriksa. f. Teknik dan Dokumentasi Wawancara 1) Teknik Wawancara Teknik wawancara secara rinci dapat dilihat pada Lampiran V.4. 2) Dokumentasi hasil wawancara a) Pernyataan dari responden dapat didokumentasikan melalui tulisan tangan atau diketik selama wawancara dan/atau direkam secara elektronik dengan menggunakan kamera video dan alat lain. Pasal 10 butir e UU No. 15 Tahun 2004 menyatakan bahwa pemeriksa BPK berwenang memotret dan merekam sebagai alat bantu pemeriksaan. Meminta keterangan 38

51 Bab V b) Kegiatan pemotretan dan perekaman yang dilakukan oleh pemeriksa bertujuan untuk memperkuat dan/atau melengkapi informasi yang berkaitan dengan pemeriksaan. Manfaat hasil rekaman gambar dan suara adalah: (1) Memungkinkan pemeriksa investigatif melakukan pengamatan selama berlangsungnya wawancara dan juga sesudahnya. (2) Memudahkan pemeriksa investigatif membuat Berita Acara Permintaan Keterangan. (3) Dapat menjadi bukti ketika tersangka mengklaim bahwa wawancara atau wawancara mendalam dilakukan di bawah tekanan. c) Jika direkam dengan kamera video, buatlah salinan teks wawancara dan minta responden memastikan ketepatannya. Catatan teks wawancara agar ditandatangani oleh responden untuk penegasan ketepatannya. d) Kemudian susunlah pernyataan berdasarkan urutan kejadian secara logis. Dari catatan tersebut pemeriksa menyusun BAPK yang akan ditandatangani oleh pihak yang memberikan keterangan. e) Hasil wawancara tersebut dituangkan dalam BAPK. Formulir BAPK dapat dilihat pada lampiran V.5. Berita acara ini tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti keterangan saksi, namun berita acara ini dapat digunakan oleh aparat penyidik untuk kepentingan penyidikan. f) Hal hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan wawancara: (1) Pemeriksa harus merencanakan wawancara dengan baik. Oleh karena itu pemeriksa harus mempunyai gambaran umum tentang apa yang diketahui oleh saksi, dokumen apa yang dapat disediakannya serta bagaimana hubungan informasi tersebut dengan kasus yang sedang diperiksa. (2) Sebelum melakukan wawancara, pemeriksa perlu mereviu semua data/informasi yang telah diperoleh. Informasi tersebut dapat dibagi dalam tiga kategori sebagai berikut: a) informasi yang sudah dapat didokumentasikan/relevan, dan tidak perlu didiskusikan; b) informasi yang mungkin dapat didokumentasikan/relevan, tetapi masih perlu didiskusikan; dan c) informasi yang harus dibangun melalui kesaksian. (3) Pemeriksa dapat melakukan wawancara dimulai dari lingkungan paling luar, yaitu mereka yang tidak mempunyai kepentingan terhadap kasus yang akan diungkap atau saksi yang tidak memiliki kepentingan. Setelah itu wawancara mengarah kepada pihak yang memiliki konspirasi dan yang terakhir adalah wawancara kepada pihak yang menjadi target kasus tersebut. (4) Wawancara sebaiknya dilakukan secara non formal, dengan kemampuan memilih cara pendekatan yang tepat. 39

52 Bab V (5) Peranan tiap orang dalam hubungannya dengan peristiwa TPKKN yang terjadi dapat menghasilkan keterangan yang berbeda. (6) Sikap mental, kepribadian dan latar belakang saksi/ responden perlu dipertimbangkan, karena dapat memberikan pengaruh yang besar atas isi keterangan yang diberikan, misal karena enggan, takut/terpaksa, merasa tidak nyaman, tidak simpati kepada pemeriksa, bersikap tidak peduli, rasa dendam, sensasi dan fitnah. (7) Wawancara kepada saksi tidak hanya melengkapi bukti dalam suatu kasus, tetapi dapat juga digunakan untuk menunjukkan keterkaitan bukti dengan saksi lain. Oleh karena itu, pemeriksa investigatif harus meneliti keterkaitan tersebut. (8) Pemeriksa harus hati hati membedakan mana keterangan yang merupakan fakta dan mana keterangan yang merupakan pendapat/persepsi yang disampaikan oleh saksi. (9) Pada umumnya wawancara mendalam dilaksanakan pada saat: 1) sebanyak mungkin informasi telah diperoleh dari sumber selain tersangka, 2) terdapat beberapa bukti atau informasi yang hanya dapat diperoleh dari tersangka, dan 3) waktu, tempat dan materi wawancara mendalam sedapat mungkin dalam pengendalian pemeriksa. g. Jika responden dalam wawancara menghendaki untuk didampingi penasehat hukumnya, hal tersebut dapat diijinkan sepanjang kehadiran penasehat hukum tidak mengganggu jalannya proses wawancara. Penasehat hukum boleh hadir mendampingi responden namun ia tidak boleh mengajukan dan/atau menjawab pertanyaan pemeriksa. Penasehat hukum hanya boleh melihat dan mendengar proses wawancara. h. Dalam rangka wawancara untuk mendapat dan meminta keterangan, BPK berwenang melakukan pemanggilan kepada orang tersebut. Pelaksanaan pemanggilan mengacu pada tata cara pemanggilan dan permintaan keterangan yang berlaku di BPK. i. Sebelum melakukan pemanggilan, pemeriksa investigatif perlu mempertimbangkan seseorang yang dipanggil mempunyai peranan sebagai saksi atau sebagai pihak yang bertanggung jawab/terkait atas TPKKN yang telah terjadi Melakukan Pemeriksaan Fisik dan Pengamatan a. Pemeriksaan fisik lazimnya diartikan sebagai penghitungan uang tunai (baik dalam mata uang rupiah atau mata uang asing), kertas berharga, persediaan barang, aktiva tetap dan barang berwujud lainnya. Formulir Berita Acara Pemeriksaan Fisik dapat dilihat pada lampiran V.6. b. Pengamatan diartikan sebagai pemanfaatan panca indera untuk mengetahui sesuatu. Kunjungan ke ruang kantor untuk melihat kondisi peralatan yang ada, kegiatan yang dilakukan, banyak dan ragamnya pegawai; mendengar tingkat kebisingan atau keheningan suasana kantor; merasakan suhu panas atau dingin tempat kerja dan lain sebagainya. Pemeriksaan fisik dan pengamatan 40

53 Bab V c. Tujuan dari melakukan pemeriksaan fisik dan pengamatan di lapangan antara lain adalah: 1) Memahami kelemahan pengendalian intern secara nyata, dan pemeriksa lebih memahami mengenai proses yang terjadi sehingga dapat menentukan bukti apa yang perlu diperoleh dan kepada siapa pemeriksa meminta bukti tersebut. 2) Memperoleh informasi yang lebih lengkap, tepat, kongkrit, dan terkini tentang keberadaan suatu aktiva atau obyek yang diperiksa, dengan tujuan untuk menguji apakah jumlah dan spesifikasi teknis telah sesuai dengan yang ditetapkan. 3) Menentukan keidentikan fisik yang diperiksa dengan informasi/ gambaran yang telah diperoleh sebelumnya. 4) Melengkapi informasi yang sudah ada. 5) Pengecekan atau konfirmasi keterangan, data atau fakta terkait dengan perkiraan besarnya kerugian karena kerusakan fisik yang diperiksa. 6) Mencari hubungan antara fisik yang diperiksa dengan peristiwa TPKKN. d. Hal hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan fisik: 1) Dilakukan dengan cermat dan tepat sehingga dapat diperoleh gambaran yang lengkap dan jelas. 2) Untuk membantu mengingat apa yang telah diamati perlu disediakan peralatan/perlengkapan/alat bantu yang diperlukan misalnya: alat tulis/catatan, peralatan foto, dan alat perekam handycam. e. Dokumentasi hasil pengamatan dan pengujian fisik: 1) Hasil pemeriksaan fisik dapat didokumentasikan dalam bentuk foto dan rekaman wawancara. Dan hasil pengujian fisik dapat didokumentasikan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan Fisik. 2) Dokumentasi hasil pengamatan dan pengujian fisik yang baik akan membantu pemeriksa dalam kegiatan pemeriksaan Memperoleh bukti elektronik/digital a. Perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi mengakibatkan sumber perolehan bukti mengalami perluasan sehingga tidak hanya mencakup bukti konvensional, tetapi juga mencakup bukti non-konvensional seperti bukti elektronik (electronic evidence) atau bukti digital (digital evidence). Bukti elektronik (electronic evidence) atau bukti digital (digital evidence) adalah bukti yang disimpan, diterima atau dikirim dalam bentuk digital dengan menggunakan perangkat elektronik. b. Pasal 26A UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk Tindak Pidana Korupsi juga dapat diperoleh dari: 1) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan 2) Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di Tujuan pemeriksaan fisik dan pengamatan lapangan Memperoleh bukti elektronik/digital 41

54 Bab V atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. c. Komputer sebagai salah satu peralatan elektronik, yang dapat mengolah, menyimpan, menerima dan mengirimkan bukti elektronik, memiliki peran yang bermacam macam di dalam kejahatan teknologi tinggi: 1) Komputer sebagai sebuah obyek. Komputer dan sistem jaringan seringkali menjadi obyek atau sasaran kejahatan, sabotase fisik, pencurian atau penghancuran informasi. 2) Komputer sebagai sebuah subyek. Komputer merupakan subyek langsung dari kejahatan ketika komputer berada di dalam lingkungan di mana pakar teknologi melakukan kejahatan. 3) Komputer sebagai sebuat alat bantu. Komputer secara nyata digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan, baik penggelapan, pencurian informasi yang dilindungi atau pun hacking. 4) Komputer sebagai sebuah simbol. Komputer memberikan pelaku sebuah kredibilitas hingga memudahkan pelaku melakukan tindak kejahatan. d. Dalam menangani data elektronik yang tersimpan dalam komputer, terdapat tiga langkah utama: (1) mengambil image atau imaging, (2) pemrosesan, yaitu mengolah citra atau image, dan (3) analisis, yaitu menganalisis image yang sudah diproses. e. Untuk mengamankan data elektronik penting terkait dengan Tindak Pidana Korupsi yang tersimpan dalam komputer, dari penghancuran atau perubahan data, pemeriksa investigatif dapat menempuh langkah langkah sebagai berikut: 1) Menutup seluruh akses terhadap komputer atau media elektronik. Hanya pihak yang kompeten dan berwenang saja yang dapat memperoleh akses terhadap komputer tersebut. 2) Mematikan komputer dilakukan dengan mencabut kabel listrik yang terhubung dengan komputer tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar tidak terdapat perubahan, atau tindakan lain yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu untuk menghilangkan atau merubah barang bukti. 3) Mendokumentasikan waktu dilakukan dengan mencatat kapan waktu menutup akses dan mematikan komputer. Hal ini dimaksudkan agar pemeriksa dapat mempertanggung jawabkan keaslian dari alat bukti. 4) Mendokumentasikan lingkungan kerja dimana komputer tersebut berada. Hal ini dimaksudkan agar dapat diperoleh gambaran yang utuh terhadap alat bukti yang ada. Mengidentifikasi media elektronik yang ditemukan dan dianggap memuat alat bukti yang dicari. 5) Mengkonsultasikan dengan ahli forensik komputer. Langkah paling penting adalah pemeriksa melakukan konsultasi dan/atau koordinasi dengan ahli forensik komputer (misalkan dengan ahli forensik komputer KPK). Hal ini tentunya telah dimulai sebelum melakukan penyegelan atau memasuki ruangan komputer Melakukan Penyegelan a. Maksud dan tujuan penyegelan adalah untuk mengamankan uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan negara dari Melakukan penyegelan 42

55 kemungkinan usaha pemalsuan, perubahan, pemusnahan, atau penggantian pada saat pemeriksaan. b. Penyegelan dilakukan terhadap tempat uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan negara yang berada dalam penguasaan dan atau tanggung jawab pihak yang diperiksa atau pihak lain yang terkait dengan pemeriksaan yang bersangkutan. c. Penyegelan hanya dilakukan dalam hal pemeriksaan terpaksa ditunda karena alasan tertentu, yaitu jika pihak yang menguasai dan/atau bertanggung jawab atas uang, barang, dan atau dokumen pengelolaan keuangan negara tidak berada di tempat pada saat pemeriksaan dilaksanakan atau alasan lain sehingga pemeriksaan tidak dapat dilaksanakan. d. Tata cara penyegelan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku Memotret dan Merekam a. Pasal 10 huruf e UU No. 15 Tahun 2004 menyatakan bahwa pemeriksa BPK berwenang memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan. b. Pemotretan dan perekaman gambar ataupun suara dapat dilakukan oleh pemeriksa investigatif sebagai alat bantu pemeriksaan pada saat pemeriksa: 1) Meminta keterangan (wawancara dan wawancara mendalam); 2) Melakukan pemeriksaan fisik; 3) Memperoleh bukti elektronik; 4) Melakukan penyegelan. 18 Sesuai dengan kewenangan BPK dalam upaya mengumpulkan bukti, pemeriksa investigatif dapat melakukan teknik pemeriksaan sebagai berikut: Konfirmasi Pembuktian dengan mengusahakan memperoleh informasi dari sumber lain yang independen, baik secara lisan maupun tertulis. Dalam kasus tender pengadaan barang dan jasa misalnya, permintaan konfirmasi dari pemasok yang cenderung melindungi pejabat, perlu diperkuat dengan konfirmasi dari Direktorat Jenderal Bea & Cukai, kalau barang tersebut diimpor Pengujian Memeriksa hal-hal atau sampel-sampel yang representatif dengan maksud untuk mendapatkan simpulan, sehubungan dengan kelompok yang dipilih Reviu analitikal Pembuktian dengan mengusahakan memperoleh informasi dengan cara: a) membandingkan anggaran dengan realisasinya, b) mencari hubungan antara satu data keuangan dengan data keuangan lain, c) menggunakan data non keuangan, d) regresi atau analisis trend, dan e) menggunakan indikator ekonomi makro Pemeriksaan keabsahan Memeriksa sah tidaknya serta lengkap tidaknya bukti yang mendukung suatu transaksi Rekonsiliasi Penyesuaian antara dua golongan data yang berhubungan tetapi masing masing dibuat oleh pihak pihak yang independen. Bab V Memotret dan merekam Teknik pemeriksaan yang dapat digunakan pemeriksa 43

56 Bab V Penelusuran Memeriksa dengan jalan menelusuri proses suatu keadaan atau masalah, kepada sumber atau bahan pembuktiannya Penghitungan kembali Pembuktian dengan mengusahakan memperoleh informasi dengan cara memeriksa kebenaran perhitungan (kali, bagi, tambah, kurang, dan lainlain). Dalam investigasi, perhitungan yang dihadapi umumnya amat rumit, didasarkan atas kontrak atau perjanjian yang kompleks, mungkin sudah terjadi perubahan dan renegosiasi berkali-kali dengan pejabat yang berbeda Penelaahan pintas Melakukan penelaahan secara umum dan cepat untuk menemukan halhal yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. 27 Penyimpanan Bukti Bukti yang telah diperoleh harus dikelola dengan baik. Pengamanan alat/ barang bukti dapat dilihat pada lampiran V Hal hal yang perlu diperhatikan dalam Pengumpulan Bukti adalah : 1. Keberhasilan pelaksanaan pemeriksaan atas TPKKN tergantung pada situasi, kondisi dan kreativitas pemeriksa investigatif dalam menerapkan prosedur serta teknik teknik pemeriksaan secara tepat untuk mendapatkan bukti-bukti yang kompeten dan relevan. 2. Pemeriksa harus memahami hubungan antara bukti pemeriksaan dengan alat bukti apa saja yang dapat diterima menurut hukum dalam rangka mendukung ke arah penuntutan. 29 Dokumentasi pemeriksaan yang terkait dengan persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan pemeriksaan berisi informasi yang cukup agar pemeriksa yang berpengalaman, tetapi tidak mempunyai hubungan dengan pemeriksaan tersebut dapat memastikan bahwa dokumentasi tersebut dapat menjadi bukti yang mendukung pertimbangan dan simpulan pemeriksa. 30 Pendokumentasian dituangkan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP). Masa penyimpanan KKP disesuaikan dengan masa kadaluarsa penuntutan kasus pidana sebagaimana yang diatur dalam ketentuan perundangundangan yang berlaku. Susunan dan isi minimal KKP dapat dilihat pada lampiran V.7. D. Analisis dan Evaluasi Bukti 31 Tujuan analisis dan evalusi setiap bukti yang diperoleh adalah: 1. Untuk menyempurnakan hipotesa awal yang telah dirumuskan karena pada dasarnya perumusan hipotesa merupakan kegiatan yang bersifat terus menerus dan seiring dengan pelaksanaan pemeriksaan. 2. Untuk menilai kesesuaian bukti (relevansi) dengan hipotesa serta sebagai landasan perlu tidaknya mengembangkan bukti lebih lanjut. 3. Untuk menyusun rangkaian kejadian dan modus operandi. 32 Hasil analisis bukti dapat memberikan petunjuk untuk memperoleh bukti bukti lain yang relevan sebagai bukti dukungan atas validitas bukti yang kita peroleh. 33 Hasil analisis bukti dapat menunjukkan gambaran mengenai suatu kejadian dari suatu peristiwa. Rangkaian dari berbagai analisis bukti akan menggambarkan secara menyeluruh keadaan yang sesungguhnya mengenai suatu sangkaan yang ingin diuji kebenarannya. 34 Pemeriksa dapat menggunakan pertimbangan keahliannya dalam Tujuan analisis dan evaluasi bukti 44

57 Bab V melakukan evaluasi terhadap bukti apabila tidak diperoleh cukup bukti dan informasi untuk membuat simpulan. 35 Pertimbangan keahlian (value judgment) tidak dapat diberikan oleh pemeriksa apabila dari bukti yang diperoleh menunjukkan secara jelas suatu kondisi tanpa perlu interpretasi/ simpulan. 36 Teknik menganalisis bukti 1. Sesuai dengan hipotesa yang telah disusun dalam persiapan pemeriksaan, pemeriksa berupaya untuk memperoleh bukti bukti yang relevan terhadap kasus yang ditangani melalui berbagai teknik pemeriksaan Setiap bukti yang diperoleh dibaca dan diinterpretasikan oleh pemeriksa. Tahapan ini merupakan tahapan yang menentukan dalam proses pemeriksaan investigatif. Sering kita temui pemeriksa tidak dapat menginterpretasikan suatu bukti yang diperoleh karena ketidakmampuan pemeriksa membaca dan menginterpretasikan sehingga TPKKN tidak diketahui meskipun bukti TPKKN telah diperoleh Tentukan relevansi bukti yang diperoleh terhadap kasus yang ditangani. Bukti yang tidak terkait dengan kasus untuk sementara dapat diabaikan. Suatu bukti yang awalnya dianggap tidak relevan mungkin ternyata relevan untuk pembuktian suatu kejadian Setelah menentukan relevansi suatu bukti kemudian lakukan verifikasi dari bukti itu sendiri. Verifikasi yang dimaksudkan disini adalah menguji dan menilai kebenaran dari bukti itu sendiri. Dalam melakukan penilaian, pemeriksa dapat meminta dokumen pendukung sebagai bukti dukungan atas dokumen yang diterima. Sebagai contoh untuk menilai kebenaran suatu kontrak, pemeriksa dapat meminta dokumen dokumen pendukung kontrak seperti Surat Perintah Kerja (SPK) Setelah bukti diuji kebenarannya, langkah selanjutnya adalah memasukkan bukti tersebut dalam rangkaian bukti bukti yang dapat menggambarkan kenyataan yang ditemui Hasil rangkaian bukti bukti tersebut dianalisa secara berkala untuk menilai apakah hipotesa yang disusun telah menggambarkan kondisi yang sesungguhnya hingga pada akhirnya analisa ditunjukkan untuk menyimpulkan terbukti atau tidak terbuktinya suatu TPKKN. 42 Teknik mengevaluasi bukti 1. Hal yang perlu diantisipasi dalam melakukan evaluasi bukti, yaitu mengenai urutan proses kejadian dan kerangka waktu kejadian. Kedua hal tersebut dijabarkan dalam bentuk bagan arus kejadian/modus operandi atau dalam bentuk naratif yang menggambarkan kronologi fakta kejadian Penyusunan bagan arus dan kronologi fakta kejadian sangat bermanfaat bagi pemeriksa untuk memahami kondisi sesungguhnya dari kasus yang ditangani Bagan arus kejadian a. Bagan arus kejadian merupakan salah satu teknik untuk memudahkan pemahaman suatu proses kejadian. Melalui penyusunan bagan arus kejadian dapat diketahui: Apa, Siapa, Bilamana, dan Bagaimana suatu proses kejadian terjadi. Perbuatan TPKKN yang dilakukan dalam suatu rangkaian proses kejadian umumnya dikenal dengan istilah kasus posisi. b. Kasus posisi merupakan suatu titik awal dan akhir dari perbuatan Teknik menganalisis bukti Teknik mengevaluasi bukti 45

58 Bab V TPKKN. Posisi awal perbuatan umumnya ditandai dengan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan (perbuatan melawan hukum), sedang posisi akhir dari perbuatan adalah adanya keuntungan pribadi atau pihak lain atau golongan. Keuntungan pribadi atau golongan tersebut, di sisi lain menimbulkan kerugian keuangan negara dan atau perekonomian negara. c. Dalam melakukan evaluasi bukti, kasus posisi harus didukung dengan kualitas dan kuantitas bukti yang dapat diterima dalam proses pengadilan. Apabila menggunakan bukti bukti yang tidak langsung, agar didasarkan dengan serangkaian bukti bukti pendukung lainnya Kronologi fakta a. Kronologi fakta dijabarkan dalam bentuk naratif dengan memperhatikan aspek waktu kejadian. Kronologi fakta harus didasarkan pada urutan kejadian yang sesungguhnya berdasarkan bukti bukti yang diterima. b. Dalam menyusun kronologi fakta kejadian, ada satu hal yang perlu diperhatikan pemeriksa mengenai kemungkinan adanya rekayasa dokumen bukti, sehingga aspek bilamana yang ditunjukkan dari suatu dokumen bukti tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. 46 Akhir dari setiap analisis dan evaluasi bukti adalah menyusun simpulan. Kesimpulan yang dibuat dapat mendukung atau tidak mendukung hipotesa yang sudah dirumuskan. E. Pemaparan Tim Pemeriksa di Lingkungan BPK 47 Setelah membuat simpulan hasil pemeriksaan, tim pemeriksa melakukan pemaparan di lingkungan intern BPK untuk memperoleh persetujuan Ketua/Angbintama/Tortama/Kalan atas simpulan tim pemeriksa. 48 Pemaparan dapat dihadiri oleh pejabat BPK yang tercantum dalam surat tugas pemeriksaan, dan pejabat BPK lainnya yang ditunjuk/diundang oleh penanggung jawab pemeriksaan sesuai kebutuhan. 49 Pada saat pemaparan, tim pemeriksa mendapatkan arahan terkait dengan simpulan hasil pemeriksaan investigatif tersebut. Dari hasil pemaparan, Ketua/Angbintama/Tortama/Kalan dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Kasus yang dipaparkan memenuhi indikasi unsur unsur TPKKN. Dalam hal ini, tim pemeriksa segera mempersiapkan pemaparan kepada instansi yang berwenang. Namun, jika Ketua/ Angbintama/Tortama/Kalan belum sependapat atas simpulan tersebut maka Ketua/ Angbintama/Tortama/Kalan dapat memerintahkan tim pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan tambahan guna memperoleh bukti yang dapat memperkuat simpulan. 2. Kasus yang dipaparkan memenuhi indikasi kerugian negara, tetapi tidak memenuhi indikasi unsur-unsur TPKKN. Dalam hal ini, kerugian negara diselesaikan melalui mekanisme tuntutan ganti rugi. 3. Kasus yang dipaparkan tidak memenuhi indikasi unsur-unsur TPKKN. Pemaparan di lingkungan intern F. Pemaparan Tim Pemeriksa dengan Instansi yang Berwenang 50 Pemaparan hasil pemeriksaan kepada instansi yang berwenang merupakan tindak lanjut hasil pemaparan di lingkungan intern BPK. Tujuan pemaparan Pemaparan dengan instansi yang berwenang 46

59 Bab V ini agar BPK memperoleh masukan dari instansi yang berwenang terkait terpenuhinya indikasi unsur-unsur TPKKN. 51 Pemaparan dapat dihadiri oleh pejabat BPK yang tercantum dalam surat tugas pemeriksaan, dan pejabat BPK lainnya yang ditunjuk/diundang oleh penanggung jawab pemeriksaan sesuai kebutuhan beserta dengan instansi yang berwenang. Pemaparan dapat dilakukan di kantor Pusat BPK/BPK Perwakilan atau di kantor instansi yang berwenang sesuai dengan kebutuhan. 52 Pemeriksa memaparkan hasil pemeriksaan dan matrik unsur TPPKN terkait dengan hasil pemeriksaan tersebut. Contoh Matriks dapat dilihat pada lampiran V Simpulan hasil pemaparan Simpulan hasil pemaparan kasus yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut: 1. BPK dan instansi yang berwenang sependapat bahwa dari pemaparan disimpulkan kasus telah memenuhi indikasi unsur Tindak Pidana Korupsi dan/atau Tindak Pidana lainnya. 2. BPK dan instansi yang berwenang sependapat bahwa dari pemaparan disimpulkan kasus belum memenuhi unsur Tindak Pidana Korupsi dan/atau Tindak Pidana lainnya, karena masih memerlukan data tambahan. Maka penanggung jawab pemeriksaan dapat menempuh langkah sebagai berikut: a. Memerintahkan tim pemeriksaan melakukan pemeriksaan tambahan untuk memperoleh bukti yang diperlukan. b. Meminta bantuan aparat penyidik untuk melengkapi bukti yang diperlukan jika terdapat keterbatasan kewenangan BPK. G. Pembicaraan Akhir 54 Pada akhir pelaksanaan pemeriksaan investigatif harus dilakukan pembicaraan akhir pemeriksaan oleh penanggung jawab pemeriksaan atau pejabat yang ditunjuk dengan pejabat entitas yang diperiksa. Namun demikian pembicaraan akhir tersebut harus diatur sedemikian rupa hingga tidak mengganggu, menghambat atau menyulitkan proses pembuatan laporan pemeriksaan yang sedang berjalan atau pun proses perkembangan dari kasus tersebut bilamana ditemukan bukti bukti baru di kemudian hari dikarenakan kompleksitas dari kasus tersebut. 55 Secara amannya, pembicaraan akhir pemeriksaan investigatif dapat dilakukan dengan menyampaikan kepada pejabat instansi berwenang yang diperiksa mengenai perkembangan akhir kasus tanpa memberikan simpulan dari kasus tersebut dengan tetap menjaga kerahasiaan substansi atau materi dari proses dan atau pelaksanaan pemeriksaan yang sedang berjalan. 56 Hasil yang diperoleh dalam pemeriksaan, baik kumpulan fakta, analisa, dan simpulan tidak wajib disampaikan kepada instansi yang diperiksa, dengan mempertimbangkan kelancaran proses pembicaraan akhir. 57 Tim pemeriksa menyiapkan notulen pembicaraan akhir (exit meeting) untuk ditandatangani oleh pejabat entitas yang bertanggung jawab yang diperiksa atau memperoleh komentar melalui wawancara dengan pejabat instansi yang diperiksa. Pembicaraan akhir dengan pejabat entitas yang diperiksa 47

60 Bab V Aksioma dan Prinsip Pemeriksaan Investigatif 48

61 BAB VI

62 Bab VI BAB VI PELAPORAN PEMERIKSAAN INVESTIGATIF A. Umum 01 BPK melaporkan indikasi unsur TPKKN yang ditemukan dalam pemeriksaan investigatif kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang undangan, paling lama satu bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut, yaitu sejak surat pengantar laporan hasil pemeriksaan investigatif kepada instansi yang berwenang ditandatangani oleh Ketua BPK. 02 Laporan pemeriksaan investigatif agar mempertimbangkan prinsip pelaporan, susunan laporan, serta reviu dan tanda tangan. 03 Laporan pemeriksaan investigatif yang diterbitkan harus diadministrasikan sehingga dapat diketahui nomor dan tanggal laporan, jumlah eksemplar laporan, distribusi laporan, nomor dan tanggal surat pengantar serta tindak lanjutnya. Formulir Pengorganisasian Laporan Pemeriksaan dapat dilihat pada lampiran VI.1. B. Prinsip Pelaporan Pemeriksaan Investigatif 04 Pelaporan pemeriksaan investigatif harus mempertimbangkan prinsipprinsip berikut: Akurat Seluruh materi laporan termasuk tanggal, data, informasi serta pihak terkait, harus dikonfirmasikan sebelum penulisan laporan. Informasi yang dilaporkan adalah fakta yang benar dan dapat diverifikasi. Informasi dan fakta yang relevan dari instansi yang diperiksa, harus dicatat dalam KKP untuk mendukung laporan. Konfirmasi/penegasan merupakan salah satu ukuran untuk memastikan bahwa seluruh fakta yang relevan telah dikumpulkan secara akurat sebelum dituangkan dalam LHP Jelas Laporan disusun dengan jelas, yaitu tidak banyak menyajikan rincian serta kalimat atau bagian yang secara tidak jelas berhubungan dengan informasi yang ingin disampaikan. Istilah teknis hanya digunakan dalam konteks kalimat dan agar dijelaskan seperlunya Tidak memihak Laporan yang disusun tidak bias atau prasangka dari penyusun laporan, tetapi harus berdasarkan fakta yang didukung oleh bukti yang cukup yang dituangkan dalam KKP Relevan Laporan pemeriksaan investigatif hanya mengungkap informasi yang relevan dengan masalah atau kasus yang ditangani. Memasukan informasi yang tidak relevan dalam laporan pemeriksaan hanya akan membingungkan pembaca laporan, membuat rumit laporan, dan mengakibatkan pemeriksa dikritik atas metodologi kerjanya Tepat waktu Laporan pemeriksaan segera disusun setelah pekerjaan lapangan selesai. BPK melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung indikasi unsur-unsur TPKKN ke instansi yang berwenang Pelaporan mempertimbangkan prinsip akurat, jelas, tidak memihak, relevan dan tepat waktu 49

63 Bab VI Laporan yang sudah ditandatangani segera disampaikan agar informasi yang disajikan dalam laporan dapat sepenuhnya digunakan dan memenuhi tujuannya. C. Susunan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif 10 Susunan laporan hasil pemeriksaan investigatif adalah sebagai berikut: Bagian I : Simpulan Bagian II : Umum 1. Dasar Penugasan Pemeriksaan 2. Ruang Lingkup Pemeriksaan 3. Data Obyek/Kegiatan yang Diperiksa Bagian III : Uraian Hasil Pemeriksaan 1. Dasar Hukum Obyek/Kegiatan yang Diperiksa 2. Materi Temuan a. Jenis TPKKN b. Pengungkapan Fakta dan Proses Kejadian c. Penyebab dan Akibat TPKKN d. Pihak penanggung jawab dan pihak yang terkait e. Bukti pemeriksaan yang diperoleh Lampiran Catatan: Jika tim pemeriksa tidak dapat menyimpulkan adanya indikasi unsur TPKKN, LHP tidak perlu mengungkapkan bagian III angka 2 huruf c dan d. 11 Penjelasan masing masing bagian dapat diuraikan sebagai berikut: Bagian I : Simpulan Bagian ini memuat hasil pemeriksaan yang secara ringkas dan jelas mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan atau unsur TPPKN atas kasus yang diperiksa. 12 Bagian II : Umum 1. Dasar Penugasan Pemeriksaan BPK berdasarkan: a. Pasal 23E Undang Undang Dasar b. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. c. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara d. UU No. 15 Tahun 2006 tentang. e. Surat Tugas BPK RI f. Sumber informasi awal misalnya, Surat Permintaan dari Instansi yang berwenang, Laporan Hasil Pemeriksaan BPK-RI atau Laporan APIP atau Pengaduan Masyarakat. g. Dan lain lain 2. Ruang Lingkup Pemeriksaan menguraikan tentang sasaran (program/proyek), lokasi (pusat, wilayah, cabang, atau perwakilan) maupun waktu (tahun anggaran, tahun buku, semester atau triwulan). 3. Data Obyek/Kegiatan yang Diperiksa a. Nama entitas yang diperiksa b. Alamat entitas yang diperiksa c. Organisasi entitas yang diperiksa d. Kegiatan yang diperiksa 13 Bagian III Uraian Hasil Pemeriksaan 1. Dasar Hukum obyek/kegiatan yang diperiksa menguraikan tentang peraturan perundang undangan yang mendasari obyek/kegiatan yang diperiksa termasuk juga ketentuan intern dari entitas yang Susunan laporan hasil pemeriksaan investigatif 50

64 Bab VI diperiksa. 2. Materi Temuan a. Jenis TPKKN Bagian ini menguraikan secara singkat klasifikasi TPKKN dan ketentuan peraturan yang dilanggar. b. Pengungkapan Fakta dan Proses Kejadian Bagian ini menguraikan fakta dan proses kejadian yang mencakup penjelasan tentang apa, siapa, dimana, bilamana, mengapa, dan bagaimana kasus yang sedang diperiksa. Secara khusus, unsur bagaimana yaitu uraian dari proses kejadian, harus menjelaskan secara rinci dan gamblang disertai dengan bagan arus tentang cara terjadinya kerugian negara/daerah. Dalam uraian tersebut juga menjelaskan mengenai unsur kerja sama, yaitu uraian yang menerangkan secara jelas mengenai tindakan pihak penanggung jawab atau pihak terkait, sehingga memberikan gambaran adanya kerja sama pihak yang bersangkutan. Kerja sama tersebut dapat berupa suatu perbuatan yang dilakukan secara bersama dalam bentuk pemberian fasilitas, pemberian kemudahan dalam informasi/data dan atau bentuk kemudahan lainnya sehingga mengakibatkan kerugian negara/daerah. Jika dalam pengungkapan fakta dan proses kejadian, tim pemeriksa menyebutkan kode penanggung jawab dan atau pihak yang terkait dalam kegiatan tersebut, pengungkapan tersebut harus didukung dengan fakta perbuatan, keterlibatan, bukti pendukung, keterangan pihak terkait lainnya, dan informasi lain yang dianggap relevan dengan permasalahan, serta dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. c. Penyebab dan Akibat TPKKN Dalam menguraikan faktor penyebab timbulnya TPKKN, perlu memperhatikan : 1) Kesempatan, misalnya karena lemahnya sistem pengendalian manajemen dan pelaksanaannya (pengawasan melekat). 2) Niat atau motivasi, misalnya karena adanya keinginan melakukan penyimpangan sebagai akibat dari suatu kebutuhan. Contoh: Kepala Daerah menggunakan APBD untuk kepentingan pribadi dalam rangka mengikuti Pilkada. 3) Kemampuan, misalnya kemampuan, pengetahuan dan ketrampilan untuk melakukan penyimpangan. Dalam menguraikan Akibat Penyimpangan, Tim Pemeriksa harus memuat indikasi kerugian negara/daerah. Indikasi kerugian negara/daerah yang diungkapkan dalam nilai uang dirinci per tahun kejadian. Jika indikasi kerugian negara/daerah belum dapat ditentukan besarnya, perlu digunakan kata kata sekurang kurangnya. d. Pihak yang Bertanggung Jawab Dalam pengungkapan pihak yang bertanggung jawab, hasil pemeriksaan hanya mencantumkan kode penanggung jawab dan peranannya. Dalam uraian ini tidak diperkenankan mencantumkan nama orang, organisasi, lembaga dan atau badan hukum secara lengkap dan jelas. 51

65 Bab VI Nama orang, organisasi, lembaga dan atau badan hukum yang bertanggung jawab dibuat dalam daftar terpisah, selanjutnya dikirim secara tertutup dan sangat rahasia ke penanggung jawab pemeriksaan BPK. Penyebutan pihak yang bertanggung jawab dan atau pihak yang terkait harus didukung fakta yang relevan dengan peranan, perbuatan dan bagian tanggung jawabnya dalam kasus tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. e. Bukti pemeriksaan Bukti pemeriksaan adalah bukti yang lengkap, kompeten, dan relevan yang diperoleh pada saat pemeriksaan untuk mengungkap indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur TPKKN. 14 Lampiran Hal yang perlu dilampirkan dalam laporan hasil pemeriksaan investigatif, antara lain: a) Bagan arus proses kejadian. b) Bukti rincian, misalnya rekapitulasi kwitansi, rekapitulasi SPM, dan rekapitulasi penerima bantuan. c) Daftar bukti pemeriksaan yang diperoleh. D. Reviu dan Tanda Tangan Laporan 15 Untuk menjaga mutu hasil pemeriksaan, konsep laporan harus direviu secara berjenjang oleh pengendali teknis pemeriksaan investigatif dan penanggung jawab pemeriksaan investigatif sebelum ditandatangani dan disampaikan kepada pihak yang berwenang. Matrik komunikasi kegiatan sebagai reviu kegiatan pembuatan laporan pemeriksaan investigatif dapat dilihat pada lampiran VI.2. Laporan direviu secara berjenjang 16 Penandatanganan laporan dilakukan oleh penanggung jawab pemeriksaan. Penandatangan laporan 17 Setelah laporan hasil pemeriksaan investigatif ditandatangani oleh Penanggung Jawab Pemeriksaan, hasil pemeriksaan investigatif disampaikan kepada Badan dengan nota dinas yang dilampiri dengan matrik unsur TPKKN. 18 Hal hal yang perlu diperhatikan: a. LHP investigatif harus menjawab tujuan pemeriksaan investigatif, yaitu membuktikan ada/tidak adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur TPKKN. b. Jika satu bulan sejak dilakukannya pemaparan, instansi yang berwenang tidak memberikan pendapat, Tim Pemeriksa tetap membuat LHP dan menyampaikannya kepada Penanggung jawab pemeriksaan dengan nota dinas pengantar dari Pemimpin Tim. Selanjutnya Penanggung Jawab Pemeriksaan menyampaikan LHP kepada Badan. c. Penyerahan LHP tidak berarti pemeriksa investigatif selesai menjalankan tugas terkait dengan pemeriksaan, karena ada kemungkinan pemeriksa BPK diminta oleh instansi yang berwenang untuk memberikan keterangan ahli. 52

66 BAB VII

67 Bab VII A. Umum BAB VII PENGHITUNGAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH 01 Penghitungan kerugian negara/daerah adalah pemeriksaan investigatif yang dilakukan untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah yang terjadi akibat penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah. 02 Penghitungan kerugian negara/daerah dapat dilakukan berdasarkan permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah atas suatu kasus tindak pidana yang sedang diproses secara hukum. 03 Pada umumnya, permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah dilakukan pada tahap penyidikan. Permintaan ini biasanya dikaitkan dengan pemberian keterangan ahli oleh pejabat/staf BPK yang ditugaskan dalam proses peradilan. 04 Penugasan penghitungan kerugian negara/daerah adalah suatu bentuk pemeriksaan dan bukan sekedar penghitungan secara matematis. Penghitungan kerugian negara/daerah dilaksanakan dengan mengevaluasi bukti, yaitu dengan cara membandingkan antara kondisi dengan kriteria. Selain itu, dalam penghitungan kerugian negara/daerah seorang pemeriksa juga menilai kebenaran, kredibilitas, dan keandalan informasi. 05 Kerugian negara/daerah yang dihitung melalui pemeriksaan investigatif berdasarkan permintaan dari instansi yang berwenang, antara lain dapat berupa: 1. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah dalam bentuk uang atau barang yang seharusnya tidak dikeluarkan. 2. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah yang, menurut kriteria yang berlaku, lebih besar dari yang seharusnya. 3. Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima termasuk di antaranya penerimaan uang palsu atau barang fiktif. 4. Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah yang lebih kecil atau lebih rendah dari yang seharusnya diterima, termasuk di antaranya penerimaan barang rusak atau yang kualitasnya tidak sesuai. 5. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak ada. 6. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yang seharusnya. 7. Hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki atau diterima menurut aturan yang berlaku. 8. Penerimaan hak negara/daerah yang lebih kecil dari yang seharusnya. 06 Hasil penghitungan kerugian negara/daerah digunakan oleh pejabat/staf BPK yang ditugaskan sebagai Ahli untuk memberikan keterangan mengenai kerugian negara dalam proses peradilan. Pengertian Penghitungan Kerugian Negara/Daerah B. Tujuan 07 Tujuan penghitungan kerugian negara/daerah adalah untuk menentukan ada atau tidak adanya indikasi kerugian negara/daerah, termasuk di dalamnya menghitung nilai kerugian negara/daerah yang terjadi Tujuan Penghitungan Kerugian Negara/Daerah 53

68 Bab VII berdasarkan permintaan dari instansi yang berwenang C. Ruang Lingkup 08 Ruang lingkup penghitungan kerugian negara/daerah menguraikan tentang sasaran (program/proyek), lokasi (pusat, wilayah, cabang, atau perwakilan) maupun waktu (tahun anggaran, tahun buku, semester atau triwulan) sebagaimana dituangkan dalam surat permintaan bantuan dari instansi yang berwenang yang meminta bantuan penghitungan kerugian negara/daerah kepada BPK. Ruang Lingkup Penghitungan Kerugian Negara/Daerah D. Tahap - Tahap Pemeriksaan 09 Tahapan penghitungan kerugian negara/daerah meliputi: 1. Persiapan, 2. Pelaksanaan, 3. Pelaporan Persiapan Permintaan penghitungan kerugian negara/daerah bisa disampaikan kepada a. Ketua BPK dan b. Kepala Perwakilan BPK-RI yang berada di daerah. 11 a. Ketua BPK Permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung indikasi kerugian negara melalui Ketua BPK. Tahapan persiapan dapat dilihat pada lampiran VII.1. Tahapan Penghitungan Kerugian Negara/Daerah Persiapan Permintaan ke Ketua 1) Segera setelah menerima permintaan untuk menghitung indikasi kerugian negara dari instansi yang berwenang, maka Ketua BPK mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait atau menugaskan TPPI untuk melakukan penelahaan atas permintaan tersebut. 2) TPPI meminta pemaparan dari instansi yang berwenang disertai dengan data dan infomasi untuk mendapatkan kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya. Pemaparan juga dimaksudkan untuk menentukan dapat atau tidaknya penghitungan kerugian negara/daerah dilakukan dan meneliti apakah kasus yang diperiksa masuk dalam lingkup kewenangan BPK. Jika diperlukan, Ditama Binbangkum dapat mengikuti pemaparan. 3) Dari hasil pemaparan, TPPI dapat menyimpulkan: a) Tidak diperoleh kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya karena tidak didukung bukti-bukti yang cukup. b) Belum diperoleh kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya karena tidak didukung bukti-bukti yang cukup. c) Diperoleh kejelasan dan keyakinan mengenai kasus yang akan diperiksa termasuk unsur pidananya karena didukung bukti-bukti yang cukup. 4) Jika hasil pemaparan disimpulkan tidak diperoleh kejelasan dan keyakinan, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan kerugian negara/daerah tidak dapat dilakukan. 5) Jika hasil pemaparan disimpulkan belum diperoleh kejelasan dan keyakinan, maka TPPI meminta bukti tambahan kepada instansi yang berwenang. a) Jika bukti tambahan tidak mencukupi, selanjutnya TPPI 54

69 Bab VII menyampaikan hasil telaahan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan kerugian negara/daerah tidak dapat dilakukan. b) Jika bukti tambahan mencukupi, selanjutnya TPPI menelaah kemungkinan ada atau tidaknya TPKKN. 6) Jika hasil telaahan menyimpulkan diperoleh kejelasan dan keyakinan, maka TPPI menelaah kemungkinan ada atau tidaknya indikasi kerugian negara/daerah yang ditimbulkan karena perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi tersebut. 7) Apabila dari kegiatan pada huruf 5)b) dan 6) TPPI menyimpulkan: a) Tidak terdapat indikasi kerugian negara/daerah, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan kerugian negara/daerah tidak dapat dilakukan. b) Terdapat indikasi kerugian negara/daerah, maka TPPI menyampaikan hasil telaahan kepada Ketua BPK bahwa penghitungan kerugian negara/daerah dapat dilakukan, disertai dengan Konsep Program Pemeriksaan dan Surat Tugas 8) Jika Ketua BPK menyetujui untuk dilakukan Pemeriksaan Investigatif dalam rangka menghitung indikasi kerugian negara/daerah, maka: a) menugaskan tim khusus; atau b) mendisposisikan kepada Tortama melalui Angbintama terkait; untuk melakukan pemeriksaan. 12 b. Kepala Perwakilan Permintaan instansi yang berwenang untuk menghitung indikasi kerugian negara melalui BPK-RI kantor perwakilan. 1) Segera setelah menerima permintaan untuk menghitung kerugian negara/daerah dari instansi yang berwenang, maka Kalan melaporkan permintaan tersebut kepada Tortama dan menyampaikan permintaan tersebut kepada TPPI untuk ditelaah 2) TPPI meminta instansi yang berwenang untuk melaksanakan pemaparan kasus disertai dengan data dan informasi yang akan digunakan sebagai bahan penelaahan. Jika diperlukan, Ditama Binbangkum/Kasubag Hukum pada Perwakilan dapat diundang untuk hadir dalam pemaparan. 3) Langkah selanjutnya sesuai dengan angka D. 1.a.3) sampai dengan D.1.a.8) 13 Penyusunan program pemeriksaan a. Program penghitungan kerugian negara/daerah yang disusun harus mengarah pada penetapan nilai kerugian negara dan untuk mendapatkan bukti-bukti yang sah secara hukum sehingga dapat digunakan untuk menghitung nilai kerugian negara. b. Program pemeriksaan dirancang untuk menilai kelengkapan, kompetensi, dan relevansi bukti yang diterima dari instansi yang berwenang sesuai dengan tujuan penghitungan yang dilaksanakan. Tim pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan lapangan apabila Permintaan Ke Kepala Perwakilan 55

70 Bab VII diperlukan. c. Program penghitungan kerugian negara/daerah secara jelas menetapkan metodologi untuk menghitung kerugian negara d. Susunan program pemeriksaan Susunan program penghitungan kerugian negara/daerah sekurang-kurangnya disusun dengan kerangka sebagai berikut: 1) Dasar pemeriksaan Menguraikan peraturan perundangan yang menjadi sumber mandat BPK untuk melakukan pemeriksaan. 2) Alasan pemeriksaan Menguraikan permintaan pemeriksaan dari instansi yang berwenang dan hasil penelaahan TPPI atau Kalan atas kasus yang diminta. 3) Standar pemeriksaan Menguraikan pedoman yang digunakan BPK sebagai acuan dalam pelaksanaan pemeriksaan. 4) Tujuan pemeriksaan Tujuan pemeriksaan adalah untuk melakukan penghitungan indikasi kerugian negara yang terjadi pada kasus yang diperiksa. 5) Instansi yang diperiksa Menguraikan instansi yang berwenang dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang menjadi objek pemeriksaan. 6) Lingkup yang diperiksa Menguraikan sasaran, lokasi, dan tahun anggaran yang diperiksa. 7) Metodologi pemeriksaan Menguraikan metode yang dipakai dalam pemeriksaan. 8) Pengarahan pemeriksaan Menguraikan mengenai arahan-arahan dari penanggung jawab pemeriksaan dalam rangka pemeriksaan. 9) Prosedur/langkah pemeriksaan Menguraikan langkah-langkah pemeriksaan yang dilaksanakan oleh tim dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan. 10) Jangka waktu pemeriksaan Jangka waktu penugasan pemeriksaan disesuaikan dengan tingkat kesulitan dan kondisi di lapangan. 11) Susunan tim dan biaya pemeriksaan 12) Instansi penerima hasil pemeriksaan e. Pembuatan surat tugas Surat tugas penghitungan kerugian negara/daerah ditandatangani oleh Ketua BPK/Angbintama/pejabat yang ditunjuk Pelaksanaan Pelaksanaan penghitungan kerugian negara/daerah diuraikan sebagai berikut: a. Setelah menerima surat tugas, tim pemeriksa mulai melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang. Pemeriksa harus Pelaksanaan penghitungan kerugian negara/daerah 56

71 Bab VII mengetahui dan yakin terdapat TPKKN, terlepas bahwa perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi tersebut ditemukan oleh penyidik dan kerugian negara/daerah adalah merupakan dampak/akibatnya. b. Pelaksanaan penghitungan kerugian negara/daerah didasarkan pada bukti yang diperoleh dari aparat penyidik dan bukti tambahan pendukung lain yang diperlukan pemeriksa BPK, serta memperhatikan landasan hukum kegiatan atas kasus yang sedang disidik. c. Jika tim pemeriksa memerlukan bukti tambahan, bukti tersebut diminta dari instansi yang berwenang. Namun, tidak menutup kemungkinan, tim pemeriksa melakukan pemeriksaan lapangan sendiri. Selanjutnya bukti tambahan yang diperoleh tim sendiri atau dari instansi yang berwenang dievaluasi dan dianalisa. d. Tahap Pemeriksaan 1) Memahami kasus yang dibangun Ketika melakukan tahapan di atas, pemeriksa menempuh halhal berikut ini: a) Memahami Jenis TPKKN Dalam tahap ini pemeriksa memahami jenis TPKKN yang terjadi yang dipaparkan oleh instansi yang berwenang. Sebagai contoh adalah kontrak/pembayaran fiktif, penggelembungan harga, kuantitas dan kualitas barang lebih rendah dari spesifikasi dalam kontrak. b) Mempelajari dasar hukum kegiatan yang diperiksa. Dalam tahap ini pemeriksa mempelajari peraturan perundang-undangan atau ketentuan hukum lainnya yang dapat digunakan sebagai kriteria untuk menilai pelaksanaan kegiatan. c) Memahami Transaksi Memahami jenis transaksi yang dipaparkan oleh instansi yang berwenang. Sebagai contoh adalah masalah pengadaan barang dan jasa, tanah, ruitslag, penyaluran kredit. Menentukan jenis kerugiannya (sebagai contoh adalah hilang/kurang diterimanya suatu hak, timbul/ bertambahnya kewajiban, pengeluaran lebih besar, penerimaan diterima lebih kecil/ tidak diterima). Mengidentifikasi, mengumpulkan, memverifikasi dan menganalisis bukti bukti yang berhubungan dengan penghitungan kerugian negara atas kasus TPKKN yang diperiksa. d) Mengidentifikasi waktu dan tempat terjadinya TPKKN. e) Menentukan penyebab kerugian (unsur melawan hukum, penyalahgunaan jabatan, kelalaian, memenuhi unsur unsur Tindak Pidana Korupsi). 2) Mengevaluasi dan menganalisis bukti bukti: a) Tim melakukan evaluasi dan analisis atas bukti bukti yang diperoleh dari aparat penyidik dengan memperhatikan kebutuhan data bagi pemeriksaan yang akan dilakukan. b) Evaluasi dan analisis yang dilakukan dengan 57

72 Bab VII memperhatikan ketentuan ketentuan yang mendasari suatu transaksi atau kegiatan serta ketentuan mengenai entitas yang diperiksa. 3) Melakukan penghitungan kerugian negara/daerah Modus operandi kasus-kasus TPKKN menentukan metode yang digunakan dalam menghitung kerugian negara yang terjadi. Dengan demikian, dimungkinkan terjadi perubahan metodologi penghitungan kerugian negara/daerah sesuai dengan situasi dan kondisi dalam pelaksanaan pemeriksaan. a) Metode Penilaian Kerugian Negara/Daerah Penghitungan atas kekurangan uang, surat berharga, barang dapat menggunakan beberapa metode penilaian, sebagai contoh: nilai perolehan, nilai jual, dan nilai ganti, nilai pasar yang wajar, nilai historis yang disesuaikan dengan indeks tertentu, nilai jual objek pajak, nilai buku dan lain sebagainya. Penggunaan metode penilaian tersebut dalam praktik penghitungan kerugian negara/daerah harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kelaziman yang dapat dipertanggung jawabkan secara profesional dan dapat diterima secara hukum. b) Pengungkapan Metode Penilaian Metode yang digunakan pemeriksa dalam melakukan penghitungan kerugian negara/daerah hendaknya disampaikan kepada aparat penyidik dan diuraikan dalam laporan hasil pemeriksaan penghitungan indikasi kerugian negara. e. Penggunaan Ahli Jika memerlukan adanya pendapat ahli di bidang tertentu, maka Tim melalui Pengendali Teknis meminta instansi yang berwenang untuk menyiapkan ahli yang dibutuhkan. Dalam hal Tim menggunakan bantuan ahli dalam penghitungan kerugian negara/daerah maka Tim harus meyakini bahwa metodologi yang digunakan ahli tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. f. Pemaparan Hasil Pemeriksaan Setelah melakukan pemeriksaan, Tim memaparkan hasil pemeriksaan kepada Penanggung Jawab untuk mendapatkan masukan dan perbaikan. Setelah melaksanakan perbaikan, tim menyampaikan kembali hasil pemeriksaan tersebut kepada Penanggung Jawab. Selanjutnya, Tim memaparkan hasil pemeriksaan kepada instansi yang berwenang. g. Laporan Hasil Pemeriksaan 1) Setelah Tim melakukan pemaparan kepada instansi yang berwenang, Tim segera menyusun konsep LHP dan menyampaikan konsep laporan tersebut kepada Pengendali Teknis. 2) Pengendali Teknis akan mereviu konsep laporan dan jika menyetujui konsep tersebut, maka konsep yang telah direviu akan disampaikan kepada Penanggung Jawab. 3) Penanggung Jawab akan mereviu konsep laporan dan jika 58

73 Bab VII menyetujui konsep tersebut, maka LHP akan disampaikan kepada Ketua BPK/Tortama. h. Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) Tim mendokumentasikan langkah-langkah pemeriksaan yang telah dilaksanakan dalam KKP. i. Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan, tim harus mendapat pengawasan yang baik dari Pengendali Teknis. j. Lain-lain Jika menemukan adanya tindak pidana lain maka Tim melalui Pengendali Teknis menyampaikan hal tersebut kepada instansi yang berwenang Pelaporan Pemeriksaan a. Laporan harus menyajikan hasil pemeriksaan yang telah dilaksanakan serta memberikan informasi dan penjelasan yang dipandang perlu berkaitan dengan penugasan pemeriksaan. b. Bentuk dan susunan laporan pemeriksaan adalah sebagai berikut: Bab I : Simpulan Menguraikan jumlah nilai kerugian negara yang terjadi akibat perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Bab II : Umum 1) Dasar Penugasan Pemeriksaan 2) Ruang Lingkup Pemeriksaan 3) Data Obyek/Kegiatan yang Diperiksa 4) Batasan tanggung jawab pemeriksaan Menguraikan pernyataan bahwa tanggung jawab pemeriksaan terbatas pada pengungkapan kerugian negara dan menilai besarnya nilai kerugian negara. Bab III : Uraian Hasil Pemeriksaan 1. Dasar Hukum Obyek/Kegiatan yang Diperiksa 2. Materi Temuan a. Unsur Indikasi Tindak Pidana Korupsi b. Pengungkapan Fakta dan Proses Kejadian c. Penyebab dan Akibat d. Bukti Pendukung Pemeriksaan e. Metode Penghitungan Kerugian Negara/Daerah f. Hasil Perhitungan Kerugian Negara/Daerah Lampiran c. Tanda tangan LHP 1) Penandatanganan laporan dilakukan oleh penanggung jawab pemeriksaan. 2) Penanggung jawab pemeriksaan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada Ketua BPK dengan Nota Dinas pengantar. d. Penyampaian LHP 1) Ketua BPK menyampaikan LHP kepada instansi yang berwenang yang meminta kepada BPK untuk melakukan penghitungan kerugian negara/daerah. 2) Hasil pemeriksaan pada akhirnya akan digunakan pejabat BPK yang ditugaskan untuk memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan. Proses peradilan disini diartikan 59

74 Bab VII sebagai proses penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Keterangan pejabat/staf BPK tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti keterangan ahli oleh penyidik atau hakim. 60

75 BAB VIII

76 Bab VIII BAB VIII PENUTUP A. Pemberlakuan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif 01 Petunjuk teknis pemeriksaan investigatif ini mulai berlaku saat ditetapkan oleh Ketua BPK. Juknis pemeriksaan ini mulai berlaku sejak ditetapkan B. Pemutakhiran Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif Pemutakhiran Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah dapat berupa perubahan petunjuk teknis dimaksud atau penjelasan atas substansi petunjuk teknis tersebut. Perubahan atas petunjuk teknis ini akan disampaikan secara resmi melalui surat keputusan tentang perubahan petunjuk teknis dimaksud. Pemutakhiran juknis investigatif dapat berupa perubahan juknis atau penjelasan substansi. 04 Penjelasan atas substansi Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah disampaikan secara tertulis oleh tim pemantauan pada Sub Direktorat Penelitian dan Pengembangan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu, Direktorat Penelitian dan Pengembangan, Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan Pemeriksaan Keuangan Negara Republik Indonesia C. Pemantauan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif 05 Petunjuk teknis ini merupakan dokumen yang dapat berubah sesuai dengan perubahan peraturan perundang-undangan, standar pemeriksaan, dan kondisi lain. Oleh karena itu, pemantauan atas juknis ini akan dilakukan oleh tim pemantauan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah. Selain itu, masukan atau pertanyaan terkait dengan petunjuk teknis ini dapat disampaikan kepada: Pemantuan juknis pemeriksaan ivestigatif oleh Bidang Litbang Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Subdit. Litbang PDTT Ditama Revbangdiklat Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : Desember 2008 BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KETUA, Anwar Nasution 61

77 Bab VIII 62

78 Daftar Pustaka DAFTAR PUSTAKA Association of Certified Fraud Examiners, Fraud Examiners Manual, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1985, Kamus Hukum Pidana. Bologna, G. Jack and Linquist, J. Robert, 1995, Fraud Auditing and Forensic Accounting: New Tools and Techniques, John Wiley & Sons Canada, Ltd, Canada. Peraturan Republik Indonesia No. 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Singleton, W. Tommie, et. al. 2006, Fraud Auditing and Forensic Accounting, edisi ke-tiga, John Wiley and Sons, New Jersey. Tuanakotta, M. Theodorus 2007, Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, cet. 3, Balai Pustaka, Jakarta. Tim Dinastindo, 1993, Kamus Komputer Berilustrasi, Dinastindo, Jakarta. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang.

79 Daftar Singkatan dan Akronim DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM Singkatan Kepanjangan A ACFE : Association of Certified Fraud Examiner AKN : Auditorat Keuangan Negara BA BAP BPK B Berita Acara Berita Acara Pemeriksaan Ditama Binbangkum : Direktorat Utama Pembinaan dan Bantuan Hukum D K Kalan : Kepala Perwakilan Kasubag : Kepala Sub Bagian KKP : Kertas Kerja Pemeriksaan KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana LHP : Laporan Hasil Pemeriksaan L P2 : Program Pemeriksaan PDTT : Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu P S Satker : Satuan Kerja SK : Surat Keputusan SPI : Sistem Pengendalian Intern SPKN : Standar Pemeriksaan Keuangan Negara

80 Daftar Singkatan dan Akronim ST : Surat Tugas Tortama : Auditor Utama T TPKKN : Tindak Pidana Korupsi yang Mengakibatkan Kerugian Negara/Daerah TPPI : Tim Persiapan Pemeriksaan Investigatif UNCAC : United Nations Convention Against Corruption U

81 Glosarium GLOSARIUM ACFE Aksioma A : Association of Certified Fraud Examiner (ACFE), yaitu asosiasi penyedia jasa pendidikan dan pelatihan anti-fraud, yang mempunyai misi untuk mengurangi kejahatan kerah putih dan fraud, serta membantu anggotanya untuk mencegah dan mendeteksi fraud. : Pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian. Badan BA BAP B : Sebutan untuk BPK RI atau juga sebagai pemberi tugas pemeriksaan. Badan terdiri dari Ketua, Wakil Ketua dan Anggota BPK RI. : Berita Acara (BA), yaitu laporan tertulis yang bersifat autentik, dibuat oleh pejabat yang berwenang, mengenai suatu kejadian tertentu. : Berita Acara Pemeriksaan (BAP), yaitu laporan tertulis mengenai jalannya pemeriksaan berupa pendengaran keterangan saksi, tersangka, atau keterangan ahli, atau pun tentang tindakantindakan lain dalam rangka pemeriksaan/penyidikan. Barang Bukti : Benda yang diajukan dalam sidang pengadilan untuk menguatkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Bukti pemeriksaan : Bukti yang diperoleh pada saat melakukan pemeriksaan antara lain: bukti pemeriksaan fisik, bukti hasil konfirmasi, bukti dokumentasi, observasi, bukti hasil tanya jawab dengan instansi yang diperiksa, dan prosedur analitis. Bukti dapat menjadi bukti hukum, namun secara umum bukti pemeriksaan tidak serta merta dapat dijadikan sebagai bukti hukum. Salah satu kendala yang menghambat diperolehnya bukti hukum oleh pemeriksa adalah masalah kewenangan. Sebagai contoh: permintaan keterangan yang dilakukan pemeriksa pada instansi yang diperiksanya tidak serta merta dapat menjadi bukti keterangan saksi (atau mungkin terdakwa). Bukti yang relevan : Bukti yang merupakan salah satu bagian dari rangkaian bukti bukti (chain of evidence) yang menggambarkan suatu proses kejadian atau jika bukti tersebut secara tidak langsung menunjukkan kenyataan dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perbuatan. Bukti yang material : Bukti yang mempunyai keterkaitan yang kuat dengan sangkaan yang diindikasikan. Material tidak dilihat dari besaran dan nilai yang terkandung dalam bukti tersebut. Bukti notulen rapat mungkin tidak mempunyai nilai uang, tetapi dokumen tersebut dapat dijadikan bukti adanya suatu putusan rapat/peserta

82 Glosarium Bukti adalah kompeten Bukti utama Bukti tambahan rapat/dan kegiatan rapat. Jika bukti tersebut menjadi bagian dari proses pembuktian adanya indikasi Tindak Pidana Korupsi, maka bukti tersebut sangat material sifatnya. : Bila dilihat dari proses bukti tersebut dibuat dan diperoleh. Jika bukti dibuat oleh petugas yang tidak kompeten maka bukti tersebut dianggap tidak kompeten. Jika bukti yang diperoleh pemeriksa dengan cara tidak resmi maka bukti tersebut tidak dapat diterima menurut hukum. : Bukti asli yang mewakili secara langsung suatu transaksi/ kejadian. Bukti utama menghasilkan kepastian yang paling kuat atas fakta. : Bukti yang lebih rendah mutunya jika dibandingkan dengan bukti utama. Bukti tambahan tidak dapat digunakan dengan tingkat keandalan yang sama dengan bukti utama. Bukti langsung : Fakta tanpa kesimpulan ataupun anggapan. Bukti ini menjelaskan suatu fakta atau materi yang dipersoalkan. Suatu bukti dapat dikatakan langsung jika didukung dengan pihak yang mempunyai pengetahuan nyata mengenai persoalan yang bersangkutan dengan menyaksikannya sendiri. Dalam hal adanya uang suap (kickbacks), bukti langsung yang diperlukan adalah check dari pemasok. Bukti tidak langsung : Bukti yang mengungkapkan secara tidak langsung suatu tindak pelanggaran atau fakta dari seseorang yang mungkin mempunyai niat atau motif melakukan pelanggaran. Dalam kasus uang suap, penyimpanan uang dari sumber yang tidak dikenal ke rekening seseorang pada waktu berdekatan dengan perbuatan jahat, dapat merupakan bukti tidak langsung. Bukti tidak langsung digunakan untuk menetapkan suatu fakta dengan didukung oleh bukti lainnya yang setingkat dengan fakta yang diperiksa. Meskipun bukti ini mungkin benar, tetapi bukti tidak langsung tidak dapat menetapkan suatu fakta secara meyakinkan. Entitas Forensik : 1. Satuan yang berwujud; wujud : 2. Kesatuan unit E F : 1. Belonging to, used in, or suitable to court of judicature or to public discussion and debate. 2. Argumentative, rhetorical. 3. Relating to or dealing with the application of scientific knowledge to legal problems.

83 Glosarium : Terjemahan: 1. Berkenaan dengan pengadilan atau perdebatan publik. 2. Bersifat argumentasi, retorik. 3. Berkenaan dengan penerapan pengetahuan ilmiah pada masalah hukum. Hasil Pemeriksaan Hipotesis H : Produk dari pelaksanaan tugas pemeriksaan yang terdiri dari KKP, LHP dan dokumen pemeriksaan lainnya. : Skenario terburuk dari suatu kasus penyimpangan, yaitu, berdasarkan dugaan, kemungkinan peristiwa terburuk terjadi. Misalkan dugaan kasus penerimaan uang suap atau kickback, penggelapan, perbedaan kepentingan, penyimpangan dalam penyajian laporan keuangan dan lain lain. Kerugian Negara/Daerah K : Berkurangnya kekayaan negara/daerah yang disebabkan oleh suatu tindakan yang melanggar hukum/kelalaian seseorang. Ketua Tim : Personil pemeriksa yang bertindak sebagai koordinator pemeriksaan di lapangan dan bertanggung jawab kepada pengendali teknis atas pelaksanaan pemeriksaan di lapangan Keterangan saksi Keterangan ahli KKP Konfirmasi : Salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. : Keterangan-keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan : Kertas Kerja Pemeriksaan yaitu catatan-catatan yang dibuat dan data yang dikumpulkan oleh pemeriksa secara sistematis pada saat melaksanakan tugas pemeriksaan mulai tahap persiapan pemeriksaan sampai dengan tahap kesimpulan akhir pembuatan laporan. : Bukti yang diperoleh pada saat melakukan pemeriksaan dengan cara mengajukan pertanyaan dalam rangka mendapatkan penegasan dari pihak lain. Matematis Opini M : Hal-hal yang berkaitan dengan angka, seperti penghitungan dan nilai. O : Pendapat yang dikeluarkan pemeriksa terhadap laporan keuangan entitas yang diperiksa.

84 Glosarium P2 Pembuktian Petunjuk Petunjuk Teknis Pemeriksaan Predikasi (predication) Prosedur P : Program Pemeriksaan (P2), langkah pemeriksaan di lapangan yang harus dilaksanakan oleh tim pemeriksa. : Cara membuktikan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. : Perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. : Petunjuk yang memuat teknik-teknik dan urutan langkah pemeriksaan yang harus dilakukan terhadap suatu objek pemeriksaan tertentu yang disesuaikan dengan tujuan dan sarana pemeriksaan. The totality of circumstances that would lead to a reasonable, professionally trained, and prudent individual to believe a fraud has occurred, is occurring, and/or will occur. Predication is the basis upon which an examination is commenced. Investigative Audit should not be conducted without proper predication Terjemahan: Keseluruhan dari peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau berkaitan yang dapat membawa seseorang yang memiliki akal sehat, profesional, dan memiliki tingkat kehati-hatian, untuk yakin bahwa fraud telah, sedang atau akan terjadi. Predikasi adalah dasar untuk memulai pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan investigatif sebaiknya tidak dilakukan tanpa adanya predikasi yang memadai. : 1. Tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas. 2. Langkah-langkah yang secara pasti dalam memecahkan suatu masalah. S SPKN Standar Surat tugas : Standar Pemeriksaan Keuangan Negara; standar pemeriksaan yang menjadi acuan dalam pelaksanaan pemeriksaan keuangan negara. : 1. Ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan atau ukuran baku. 2. Sesuatu yang dianggap tetap nilainya sehingga dapat dipakai sbagai ukuran nilai (harga). : Surat penugasan kepada pemeriksa untuk melakukan kegiatan pemeriksaan pada suatu entitas dan dalam waktu tertentu. Tim Pemeriksa T : Terdiri dari penanggung jawab, pengendali teknis, ketua tim dan

85 Glosarium TP TPK TPKKN anggota tim. : Temuan Pemeriksaan; indikasi permasalahan yang ditemui di dalam pemeriksaan di lapangan. : Tindak Pidana Korupsi; tindakan yang mengandung unsur melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. : Istilah yang digunakan dalam juknis ini untuk perbuatan melawan hukum yang berindikasi tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah. TPPI : Tim persiapan pemeriksaan investigatif dalam tahapan perencanaan pemeriksaan investigatif yang meliputi pra pemeriksaan investigatif dan persiapan pemeriksaan investigatif. UNCAC Wawancara U : United Nations Convention Against Corruption. W : Usaha/kegiatan untuk memperoleh keterangan dari orang yang memiliki atau diduga memiliki keterangan. Tujuan wawancara adalah mengumpulkan informasi yang penting bagi pemeriksaan investigatif dan mengenai perilaku dari orang yang diwawancarai.

86 Keterangan gambar KETERANGAN GAMBAR No Gambar Keterangan 1 Proses/Aktivitas 2 Dokumen 3 Input/Output data yang diproses atau informasi 4 Alternatif Keputusan atau Situasi 5 Operasi Manual 6 Penyimpanan data

87 LAMPIRAN

88 Lampiran III.1 HASIL TELAAHAN INFORMASI AWAL PENELAAHAN PELAPORAN DUGAAN No. Nomor & tanggal mengadministrasikan: Penelaah, Nomor & tanggal laporan dugaan: Oleh : Informasi lain berkaitan dengan dugaan: Tanggal : Laporan berasal dari: Td. Tangan : - Nama pelapor : - Alamat pelapor : Analisis Laporan Dugaan: No Jenis Dugaan Unsur TPKKN (What) Indikasi Kerugian Negara/Daerah Tempat & Waktu Terjadinya (Where & When) Pihak yang Diduga Terkait (Who) Modus Operandi (How) Dugaan unsur-unsur Pasal TPKKN Hasil telaahan: - Cukup alasan, karena - Perlu melengkapi informasi, karena - Tidak cukup alasan, karena Usulan Saran kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan: Tim Persiapan Pemeriksaan Investigatif

89 Lampiran III TP/LHP AKN MEKANISME PENANGANAN INFORMASI AWAL Tidak Ya Ya Tidak Tidak Ya

90 Lampiran III TP/LHP BPK Perwakilan

91 Lampiran III Pengembangan Inisiatif Badan Pengembangan Inisiatif Badan Badan Angbintama Tortama TPPI Ditama Binbangkum Staf Ahli PI/ Tenaga Ahli terkait Mulai Perintah Telahaan Perintah Telahaan Perintah Telahaan Mgikuti Pmparan & Mberi Ptimbgn Pertimbangan Perintah Telahaan Menyampaikan Perintah Menyampaikan Ke TPPI Melakukan Penelahaan Lap Hasil telahaan Menyampaikan Lap Cukup alsn?bukti cukup? Ya Lap Hasil Usulan telahaan Rik Pdhln Lap Hasil telahaan Menyimpan Lap Dok disimpan Tidak Perlu Bukti tmbh? Tidak Lap Hasil telahaan Ya 1 Tim Menelaah Perintah Rik pendahuluan 1 Lap Hasil Usulan telahaan Rik Pdhln Menyampaikan Lap Tidak Lap Hasil Usulan telahaan Rik Pdhln Rik Pendahuluan Hasil Rik Pdhln Lap Hasil telahaan Usulan PI Lap Hasil telahaan Usulan PI Lap Hasil telahaan Usulan PI Penelahaan Menugaskan Ya Ckp Alasan? Tidak Lap Hasil telahaan Disposisi Tim Khusus Disposisi Tim

92 Lampiran III Permintaan Instansi ke Ketua Ya Tidak Ya Tidak

93 Lampiran III Permintaan Instansi ke BPK Perwakilan Ya Tidak

94 Lampiran III Permintaan Pihak Ke III ke Ketua Permintaan Pihak Ke III Ke Ketua Pihak ke III Ketua Tortama TPPI Mulai Permintaan PI Permintaan PI Permintaan PI Permintaan PI Menyampaikan Perintah Menyampaikan Ke TPPI Penelahaan Y/T Ya Menolak permintaan Lap Hasil telahaan Lap Hasil telahaan Lap Hasil telahaan Menyampaikan ke Ketua Tidak Menyampaikan ke Tortama Lap Hasil telahaan Lap Hasil telahaan Lap Hasil telahaan Menugaskan Menyampaikan ke Ketua Menyampaikan ke Tortama Disposisi Tim Disposisi Tim

95 Lampiran III Pihak Ke III ke BPK Perwakilan Ya Tidak Tidak

96 Lampiran III.3 TABEL KEANDALAN SUMBER DAN VALIDITAS INFORMASI Validitas Informasi Tinggi (4) Sedang (3) Rendah (2) Tidak Diketahui (1) Sangat Andal (4) Temuan AKN Inisiatif BPK Hasil investigasi APIP Informasi dari atasan langsung Informasi dari orang yang terlibat Andal (3) Berita di media massa tertentu Berita di media massa tertentu Berita di media massa tertentu Informasi dari perorangan Informasi dari LSM tertentu Informasi dari LSM tertentu Informasi dari LSM tertentu Informasi dari pihak yang merasa dirugikan Informasi dari pihak yang merasa dirugikan Informasi dari pihak yang merasa dirugikan Keandalan Sumber Informasi Informasi dari perorangan Informasi dari perorangan Informasi dari perorangan Tidak Andal (2) Berita di media massa tertentu Informasi dari LSM tertentu Berita di media massa tertentu Informasi dari LSM tertentu Informasi dari perorangan Informasi dari perorangan Informasi dari perorangan Tidak Diketahui (1) Informasi dari perorangan Informasi tanpa identitas sumber informasi Informasi dari perorangan Informasi tanpa identitas sumber informasi Informasi dari perorangan Informasi tanpa identitas sumber informasi Informasi dari perorangan Informasi tanpa identitas sumber informasi

97 Lampiran III.4 TABEL AKUNTABILITAS PENANGANAN SUMBER INFORMASI AWAL No Sumber Informasi Kewenangan BPK Kasus A Status B C D Bukan Kewenangan BPK Sumber Status Informasi Kasus E F Jumlah Jumlah (tempat), (tanggal/bulan/tahun) Catatan : a. Informasi dalam penelaahan b. Informasi telah ditindaklanjuti...(nama)... c. Informasi yang sudah diteruskan ke intansi yang berwenang untuk penyidikan NIP.... d. Informasi yang tidak ditindaklanjuti e. Informasi sudah diserahkan ke intansi yang berwenang f. Informasi tidak diserahkan ke intansi yang berwenang

98 Lampiran III.5 HASIL ANALISIS INFORMASI AWAL PENELAAHAN PELAPORAN DUGAAN No. Nomor & tanggal mengadministrasikan: Penelaah, Nomor & tanggal laporan dugaan: Oleh : Informasi lain berkaitan dengan dugaan: Tanggal : Laporan berasal dari: Td. Tangan : - Nama pelapor : - Alamat pelapor : Analisis Laporan Dugaan: No Jenis Dugaan Unsur TPKKN (What) Indikasi Kerugian Negara/Daerah Tempat & Waktu Terjadinya (Where & When) Pihak yang Diduga Terkait (Who) Modus Operandi (How) Dugaan unsur-unsur Pasal TPK Hasil telaahan: - Cukup alasan, karena - Perlu melengkapi informasi, karena - Tidak cukup alasan, karena Usulan Saran kepada Penanggung Jawab Pemeriksaan: Tim Persiapan Pemeriksaan Investigatif

99 Lampiran IV.1 CONTOH LANGKAH - LANGKAH PEMERIKSAAN Hipotesis: terjadi indikasi tindak pidana korupsi di APBD Kabupaten X tahun anggaran melalui mekanisme kas bon. UMUM 1. Dapatkan informasi umum dengan mempelajari laporan dan kertas kerja pemeriksaan sebelumnya. 2. Dapatkan dan pelajari PP No. 105/2000 tentang pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan daerah. 3. Dapatkan dan pelajari Perda APBD TA dan Perda Perhitungan Dapatkan kumpulan DASK TA , terutama untuk satker-satker yang memperoleh kas bon cukup besar dan belum dipertanggungjawabkan sampai akhir tahun anggaran. KHUSUS 1. Kembangkan Matriks Tindak Pidana Korupsi berdasarkan uraian situasi dan permasalahan sebagaimana yang telah dianalisis dalam tahap penyusunan predikasi dan hipotesa. 2. Tetapkan bukti bukti yang akan diperoleh dari hasil evaluasi atas unsur unsur Tindak Pidana Korupsi dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, yang belum terpenuhi. PERIKSA KEBENARAN MATERIAL PENGELUARAN MELALUI MEKANISME KAS BON 1. Dapatkan dan pelajari dokumen SPMU BUD, BKU BUD, Buku Bank dan mutasi rekening Kas Daerah periode TA Dapatkan data dan informasi tentang daftar kas bon posisi akhir tahun 2006 dan 2007, daftar pengambilan kas bon dst. 3. Teliti apakah terdapat pengeluaran kas bon untuk pembayaran kegiatan yang tidak dianggarkan dalam APBD. PRAKTIK PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN VIA KAS BON 1. Lakukan wawancara dengan pemegang kas daerah dan pejabat lain yang langsung terlibat dalam pengelolaan kas daerah mengenai praktik pengeluaran dan per tanggungjawaban keuangan dan dapatkan keterangan: a. Praktik pengeluaran dan pertanggungjawaban dana. b. Pejabat yang terlibat dalam alur pengeluaran dan pertanggungjawaban dana. 2. Bandingkan praktik pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan dengan ketentuan dalam PP No. 105 Tahun 2000 dan identifikasi pelanggaran ketentuan yang terjadi serta pihak-pihak yang bertanggungjawab. 3. Lakukan telaahan mendalam terhadap dokumen pencairan kas daerah, dokumen deposito, rekening giro dan pemindah bukuan, dan seterusnya. WAWANCARA 1. Tetapkan pihak pihak yang akan diwawancarai dan bukti yang dapat diperoleh dari mereka. 2. Lakukan wawancara dengan Kabag. Keuangan Pemerintah Kabupaten ABC berkaitan dengan pencairan kas daerah. 3. Lakukan wawancara dengan Kepala Kas Daerah berkaitan dengan pencairan kas daerah dan uji silang dengan jawaban Kepala Bagian Keuangan. DOKUMENTASI KKP 1. Tuangkan hasil telaahan dalam kertas kerja pemeriksaan Dan seterusnya...

100 Lampiran IV. 2 BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PROGRAM KERJA PERORANGAN PROGRAM PEMERIKSAAN INVESTIGATIF ATAS...(disesuaikan dengan P2-nya) Nama Anggota Tim Pemeriksa:... Waktu Pemeriksaan Catatan No. Langkah Pemeriksaan (mandays) KKP No. Ketua Tim Rencana Realisasi ,.. Disetujui oleh, Disusun oleh, (Ketua Tim ybs). NIP. (Nama Anggota Tim ybs). NIP.

Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu

Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Lampiran : Keputusan BPK-RI Nomor : 2/K/I-XIII.2/I/2009 Tanggal : 27 Februari 2009 BPK-RI 300/2009 Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia 2009

Lebih terperinci

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PENANGANAN PENGADUAN (WHISTLEBLOWER SYSTEM) TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam kondisi perekonomian yang sedang menurun dan kurang optimalnya dampak dari peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintahan Indonesia saat ini, menjadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala jenis kejahatan yang semakin merajalela. Tidak hanya kejahatan yang

BAB I PENDAHULUAN. segala jenis kejahatan yang semakin merajalela. Tidak hanya kejahatan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Untuk mewujudkan perlu secara terus menerus ditingkatkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 /K/I-XIII.2/2/2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMERIKSAAN DENGAN TUJUAN TERTENTU

KEPUTUSAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 /K/I-XIII.2/2/2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMERIKSAAN DENGAN TUJUAN TERTENTU F KEPUTUSAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 /K/I-XIII.2/2/2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMERIKSAAN DENGAN TUJUAN TERTENTU BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERTEMUAN 6: AUDIT INVESTIGASI

PERTEMUAN 6: AUDIT INVESTIGASI PERTEMUAN 6: AUDIT INVESTIGASI A. TUJUAN PEMBELAJARAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai tujuan, ruang lingkup dilaksanakannya audit investigasi. Melalui pembelajaran ini, diharapkanmahasiswaakan mampu:

Lebih terperinci

Tugas dan Wewenang BPK dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Implementasinya

Tugas dan Wewenang BPK dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Implementasinya Tugas dan Wewenang BPK dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Implementasinya Diajukan sebagai Tugas Akhir Mata Kuliah Hukum Tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, SH., LL. M. Disusun Oleh:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam pemerintahan Indonesia saat ini, korupsi (fraud) sudah menjadi hal yang sering terjadi. Hal ini dimungkinkan karena longgarnya pengawasan dari pihak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu lembaga negara yang ada di Indonesia adalah Badan Pemeriksa

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu lembaga negara yang ada di Indonesia adalah Badan Pemeriksa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu lembaga negara yang ada di Indonesia adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dasar hukumnya adalah Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga

Lebih terperinci

PERTEMUAN 13: TAHAPAN AUDIT INVESTIGASI

PERTEMUAN 13: TAHAPAN AUDIT INVESTIGASI PERTEMUAN 13: TAHAPAN AUDIT INVESTIGASI A. TUJUAN PEMBELAJARAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai tahapan audit investigasi.melalui makalah ini, anda harus mampu: 13.1 Memahami keterkaitan tehnik audit

Lebih terperinci

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, S A L I N A N BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN BUPATI NOMOR 64 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN SISTEM PENANGANAN PENGADUAN (WHISTLEBLOWER SYSTEM) TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

PERTEMUAN 15: PENYELESAIAN HUKUM. B. URAIAN MATERI Tujuan Pembelajaran 15: Menjelaskan upaya hukum untuk penyelesaian investigasi

PERTEMUAN 15: PENYELESAIAN HUKUM. B. URAIAN MATERI Tujuan Pembelajaran 15: Menjelaskan upaya hukum untuk penyelesaian investigasi PERTEMUAN 15: PENYELESAIAN HUKUM A. TUJUAN PEMBELAJARAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai penyelesaian hukum.melalui makalah ini, anda harus mampu: 15.1 Memahami upaya hukum untuk penyelesaian investigasi

Lebih terperinci

SA Seksi 801 AUDIT KEPATUHAN YANG DITERAPKAN ATAS ENTITAS PEMERINTAHAN DAN PENERIMA LAIN BANTUAN KEUANGAN PEMERINTAH. Sumber: PSA No.

SA Seksi 801 AUDIT KEPATUHAN YANG DITERAPKAN ATAS ENTITAS PEMERINTAHAN DAN PENERIMA LAIN BANTUAN KEUANGAN PEMERINTAH. Sumber: PSA No. SA Seksi 801 AUDIT KEPATUHAN YANG DITERAPKAN ATAS ENTITAS PEMERINTAHAN DAN PENERIMA LAIN BANTUAN KEUANGAN PEMERINTAH Sumber: PSA No. 62 PENDAHULUAN KETERTERAPAN 01 Seksi ini berisi standar untuk pengujian

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam kondisi perekonomian yang sedang menurun dan kurang optimalnya dampak dari peraturan-peraturan yang di buat oleh pemerintahan Indonesia saat ini, menjadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Untuk mewujudkannya perlu secara terus menerus ditingkatkan

Lebih terperinci

2015, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852); 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 t

2015, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852); 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 t No. 110, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPAR. Pengaduan Internal. Penanganan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PENGADUAN

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANTUL

BERITA DAERAH KABUPATEN BANTUL 1 2016 BERITA DAERAH KABUPATEN BANTUL No.28,2016 Inspektorat Kabupaten Bantul. PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN. Pedoman Umum. Sistem Penanganan. Pengaduan. Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bantul. BUPATI BANTUL

Lebih terperinci

Suwadi Widyaiswara Madya Pusdiklat Pajak

Suwadi Widyaiswara Madya Pusdiklat Pajak KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK BAHAN AJAR PELAKSANAAN PEMERIKSAAN Oleh: Suwadi Widyaiswara Madya Pusdiklat Pajak Jakarta

Lebih terperinci

2 perpajakan yang terkait dengan Bea Meterai telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai; e. bahwa ketentuan mengenai tin

2 perpajakan yang terkait dengan Bea Meterai telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai; e. bahwa ketentuan mengenai tin No.1951. 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Pemeriksaan. Bulat Permukaan. Tindak Pidana Perpajakan. Pencabutan PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239 /PMK.03/2014 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Korupsi merupakan salah satu bentuk fraud yang berarti penyalahgunaan

BAB I PENDAHULUAN. Korupsi merupakan salah satu bentuk fraud yang berarti penyalahgunaan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Korupsi merupakan salah satu bentuk fraud yang berarti penyalahgunaan jabatan di sektor publik untuk kepentingan pribadi (Tuanakotta). Korupsi berasal dari bahasa

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PENGADUAN INTERNAL DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG PEMERIKSAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG PEMERIKSAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG PEMERIKSAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.322, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Pengawasan. Pemeriksaaan. Pengendalian Intern. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN Peraturan Peraturan Menteri Keuangan - 239/PMK.03/2014, 22 Des 2014 PencarianPeraturan PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan http://www.djpp.depkumham.go.id Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 46, 2005 APBN. Pajak. Pnbp. Pemeriksaan (Penjelasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PADANG LAWAS UTARA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PADANG LAWAS UTARA, SALINAN BUPATI PADANG LAWAS UTARA PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN BUPATI PADANG LAWAS UTARA NOMOR 21 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH OLEH INSPEKTORAT KABUPATEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG PEMERIKSAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG PEMERIKSAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG PEMERIKSAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DIBIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TIMUR, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERTEMUAN 10: AUDITOR INVESTIGASI

PERTEMUAN 10: AUDITOR INVESTIGASI PERTEMUAN 10: AUDITOR INVESTIGASI D. TUJUAN PEMBELAJARAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai jenis-jenis audit investigasi dan keterkaitannya dengan sumber informasi. Melalui pembelajaran ini, diharapkanmahasiswaakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kasus-kasus korupsi masih menjadi hiasan di layar kaca televisi kita

BAB I PENDAHULUAN. Kasus-kasus korupsi masih menjadi hiasan di layar kaca televisi kita BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian dan sistematika penelitian. 1.1 Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Sumber Daya Alam. Satuan Tugas. Organisasi. Tata Kerja. Pencabutan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Sumber Daya Alam. Satuan Tugas. Organisasi. Tata Kerja. Pencabutan. No.1568, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Sumber Daya Alam. Satuan Tugas. Organisasi. Tata Kerja. Pencabutan. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 029/A/JA/10/2014 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG PEMERIKSAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG PEMERIKSAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG PEMERIKSAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PELAPORAN PELANGGARAN (WHISTLEBLOWING SYSTEM) DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. efektifitas pelaksanaan prosedur audit investigatif, yaitu di Badan Pemeriksa

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. efektifitas pelaksanaan prosedur audit investigatif, yaitu di Badan Pemeriksa BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Gambaran Umum Dalam menyusun skripsi ini, objek penelitian yang dipilih penulis adalah yang berkaitan dengah hal-hal yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas yaitu

Lebih terperinci

2 Wewenang, Pelanggaran dan Tindak Pidana Korupsi Lingkup Kementerian Kehutanan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggar

2 Wewenang, Pelanggaran dan Tindak Pidana Korupsi Lingkup Kementerian Kehutanan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1269,2014 KEMENHUT. Pengaduan. Penyalahgunaan Wewenang. Korupsi. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.63/MENHUT-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

Standar Audit SA 240. Tanggung Jawab Auditor Terkait dengan Kecurangan dalam Suatu Audit atas Laporan Keuangan

Standar Audit SA 240. Tanggung Jawab Auditor Terkait dengan Kecurangan dalam Suatu Audit atas Laporan Keuangan SA 0 Tanggung Jawab Auditor Terkait dengan Kecurangan dalam Suatu Audit atas Laporan Keuangan SA Paket 00.indb //0 0:0: AM STANDAR AUDIT 0 TANGGUNG JAWAB AUDITOR TERKAIT DENGAN KECURANGAN DALAM SUATU AUDIT

Lebih terperinci

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 7 TAHUN 2014

PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 7 TAHUN 2014 PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 7 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN OPERASIONAL PENGAWASAN INSPEKTORAT KABUPATEN KARAWANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, Menimbang : a. b. c. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Simpulan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan penjelasan mengenai penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan

Lebih terperinci

P e d o m a n. Anti Kecurangan (Fraud )

P e d o m a n. Anti Kecurangan (Fraud ) P e d o m a n Anti Kecurangan (Fraud ) A. LATAR BELAKANG Setiap organisasi bertanggungjawab untuk berusaha mengembangkan suatu perilaku organisasi yang mencerminkan kejujuran dan etika yang dikomunikasikan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2012 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2012 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2012 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BOGOR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.134, 2010 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN. Keterangan Ahli. Pembiayaan. Prosedur. PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.21, 2014 KEMEN PDT. Pengaduan. Penanganan. Pedoman. PERATURAN MENTERI PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan telah menjadi kebutuhan secara global. Salah satu upaya yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. dan telah menjadi kebutuhan secara global. Salah satu upaya yang dilakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia saat ini terus menerus berupaya memerangi tindak pidana korupsi dan telah menjadi kebutuhan secara global. Salah satu upaya yang dilakukan adalah konvensi internasional

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

P e d o m a n. Whistle Blowing System (WBS)

P e d o m a n. Whistle Blowing System (WBS) P e d o m a n Whistle Blowing System (WBS) A. LATAR BELAKANG Perusahaan senantiasa menerapkan prinsip-prinsip tata kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) secara konsisten dan berkelanjutan.

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KEPALA BADAN TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN DI LINGKUNGAN BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA.

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KEPALA BADAN TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN DI LINGKUNGAN BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA. 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 3. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berkualitas, mewujudkan pemerintahan yang good governance, dan menciptakan

BAB 1 PENDAHULUAN. berkualitas, mewujudkan pemerintahan yang good governance, dan menciptakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dengan dikeluarkannya PP 60 Tahun 2008 mengakibatkan tuntutan dan tantangan berat bagi auditor pemerintah untuk menghasilkan audit yang berkualitas, mewujudkan pemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan

Lebih terperinci

TENTANG : STANDAR AUDIT APARAT PENGAWASAN INTERN PEMERINTAH (APIP) KABUPATEN BADUNG

TENTANG : STANDAR AUDIT APARAT PENGAWASAN INTERN PEMERINTAH (APIP) KABUPATEN BADUNG LAMPIRAN I PERATURAN BUPATI BADUNG PRINSIP-PRINSIP DASAR KEWAJIBAN APIP DAERAH a. APIP Daerah harus mengikuti standar audit dalam segala pekerjaan audit yang dianggap material. Suatu hal dianggap material

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 54/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 54/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SALINAN PUTUSAN Nomor 54/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.737, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pengawasan. Pelaksanaan. Tata Cara Tetap. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 91 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA TETAP

Lebih terperinci

2016, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang

2016, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang No.1494, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAG. Pengawasan Internal. Pencabutan. PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN INTERNAL PADA KEMENTERIAN AGAMA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.763, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN NARKOTIKA NASIONAL. Pokok-Pokok. Pengawasan. BNN. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG POKOK-POKOK PENGAWASAN DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

PERATURAN BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN PERATURAN BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN,

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lemb

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lemb BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.233, 2015 BSN. Pengaduan Masyarakat. Penanganan. Pedoman. PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN PENGADUAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa ketentuan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1 Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1.1 Pemeriksaan oleh PPATK Pemeriksaan adalah proses identifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, dalam kehidupan kita sehari hari tindak kejahatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, dalam kehidupan kita sehari hari tindak kejahatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini, dalam kehidupan kita sehari hari tindak kejahatan dan pelanggaran menjadi sesuatu hal yang sudah menjadi suatu hal yang wajar untuk dilakukan oleh

Lebih terperinci

MEKANISNE PELAPORAN ATAS DUGAAN PELANGGARAN (WHISTLEBLOWING SYSTEM) PELAKSANA SEKRETARIAT TETAP BAPERTARUM-PNS

MEKANISNE PELAPORAN ATAS DUGAAN PELANGGARAN (WHISTLEBLOWING SYSTEM) PELAKSANA SEKRETARIAT TETAP BAPERTARUM-PNS MEKANISNE PELAPORAN ATAS DUGAAN PELANGGARAN (WHISTLEBLOWING SYSTEM) PELAKSANA SEKRETARIAT TETAP BAPERTARUM-PNS PELAKSANA SEKRETARIAT TETAP BAPERTARUM-PNS JAKARTA 2017 MEKANISNE PELAPORAN ATAS DUGAAN PELANGGARAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.63/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.63/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.63/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN PENGADUAN ATAS PENYALAHGUNAAN WEWENANG, PELANGGARAN DAN TINDAK PIDANA KORUPSI LINGKUP KEMENTERIAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA. KEUANGAN BPK. Tata Kerja. Pencabutan. PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA. KEUANGAN BPK. Tata Kerja. Pencabutan. PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA No.112, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN BPK. Tata Kerja. Pencabutan. PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG TATA KERJA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

Lebih terperinci

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 6, NO 1, Edisi Februari 2014 (ISSN : ) PENERAPAN E - AUDIT PADA AUDIT SEKTOR PUBLIK SESUAI

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 6, NO 1, Edisi Februari 2014 (ISSN : ) PENERAPAN E - AUDIT PADA AUDIT SEKTOR PUBLIK SESUAI PENERAPAN E - AUDIT PADA AUDIT SEKTOR PUBLIK SESUAI UNDANG UNDANG PEMERIKSAAN KEUANGAN NEGARA Sutrisno Dosen PNS DPK STIE Semarang Abstraksi Keberhasilan e-audit dapat tercapai apabila: (1) Data dari Auditee

Lebih terperinci

Dadit Herdikiagung - Inspektur II Inspektorat Jenderal Kementerian Ristek, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi

Dadit Herdikiagung - Inspektur II Inspektorat Jenderal Kementerian Ristek, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Dadit Herdikiagung - Inspektur II Inspektorat Jenderal Kementerian Ristek, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi PENGAWASAN ITJEN Kegiatan Lingkup Output Audit Evaluasi Review/Verifikas i Pemantauan Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada pertengahan April 2016, Gubernur Daerah Khusus Istimewa (DKI)

BAB I PENDAHULUAN. Pada pertengahan April 2016, Gubernur Daerah Khusus Istimewa (DKI) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pada pertengahan April 2016, Gubernur Daerah Khusus Istimewa (DKI) Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) secara terang-terangan menyudutkan Badan Pemeriksa

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 256/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DAN PENELITIAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 256/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DAN PENELITIAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 256/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DAN PENELITIAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 225 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR AUDIT APARAT PENGAWASAN INTERN PEMERINTAH

Lebih terperinci

Prof. Dr. Eddy Mulyadi Soepardi, CFrA.

Prof. Dr. Eddy Mulyadi Soepardi, CFrA. www.bpkp.go.id PERBAIKAN PENGENDALIAN INTERNAL DI SEKTOR PUBLIK MELALUI PERAN INTERNAL AUDIT DALAM UPAYA PENCEGAHAN FRAUD Oleh: Prof. Dr. Eddy Mulyadi Soepardi, CFrA. Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH SEKRETARIAT JENDERAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA PARIAMAN NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

PERATURAN WALIKOTA PARIAMAN NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN PERATURAN WALIKOTA PARIAMAN NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PARIAMAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

2 memberikan kepastian hukum, perlu mengatur ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan dan penelitian Pajak Bumi dan Bangunan; d. bahwa berdasarkan per

2 memberikan kepastian hukum, perlu mengatur ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan dan penelitian Pajak Bumi dan Bangunan; d. bahwa berdasarkan per BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2015, 2014 KEMENKEU. Pajak Bumi Dan Bangunan. Penelitian. Pemeriksaan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 256/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

STANDAR PELAPORAN AUDIT KINERJA

STANDAR PELAPORAN AUDIT KINERJA LAMPIRAN IV PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2014 TENTANG STANDAR AUDIT DAN REVIU ATAS LAPORAN KEUANGAN BAGI APIP PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT STANDAR PELAPORAN AUDIT KINERJA

Lebih terperinci

STANDAR PELAKSANAAN AUDIT KINERJA

STANDAR PELAKSANAAN AUDIT KINERJA LAMPIRAN III PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2014 TENTANG STANDAR AUDIT DAN REVIU ATAS LAPORAN KEUANGAN BAGI APIP PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT STANDAR PELAKSANAAN AUDIT KINERJA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1492, 2014 KEJAKSAAN AGUNG. Pidana. Penanganan. Korporasi. Subjek Hukum. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-028/A/JA/10/2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG PEMERIKSAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG PEMERIKSAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG PEMERIKSAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan ekonomi pada saat ini, persaingan antara para pelaku

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan ekonomi pada saat ini, persaingan antara para pelaku 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ekonomi pada saat ini, persaingan antara para pelaku bisnispun akan semakin ketat. Hal tersebut mengakibatkan para pelaku bisnis berusaha dengan berbagai

Lebih terperinci

Kerugian Negara. Unsur dan/atau Kriteria sebuah Korporasi Merugikan Negara. Oleh: Dani Sudarsono. KAP Dani Sudarsono dan Rekan.

Kerugian Negara. Unsur dan/atau Kriteria sebuah Korporasi Merugikan Negara. Oleh: Dani Sudarsono. KAP Dani Sudarsono dan Rekan. Kerugian Negara Unsur dan/atau Kriteria sebuah Korporasi Merugikan Negara Oleh: Dani Sudarsono KAP Dani Sudarsono dan Rekan Hotel Bidakara Jakarta, 30 April 2014 Kerugian Negara Peraturan Perundangan-undangan

Lebih terperinci

- 1 - LAMPIRAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 7 /SEOJK.03/2016 TENTANG STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN BANK PERKREDITAN RAKYAT

- 1 - LAMPIRAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 7 /SEOJK.03/2016 TENTANG STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN BANK PERKREDITAN RAKYAT - 1 - LAMPIRAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 7 /SEOJK.03/2016 TENTANG STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN BANK PERKREDITAN RAKYAT - 2 - PEDOMAN STANDAR PELAKSANAAN FUNGSI AUDIT INTERN BANK

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA

PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG MEKANISME PENGAWASAN PADA INSPEKTORAT WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih

Lebih terperinci

TINJAUAN UMUM AUDIT KEUANGAN NEGARA

TINJAUAN UMUM AUDIT KEUANGAN NEGARA TINJAUAN UMUM AUDIT KEUANGAN NEGARA K E U A N G A N N E G A R A B A T A S A N A U D I T R U A N G L I N G K U P A U D I T P R O S E S A U D I T T E D I L A S T 0 9 / 1 6 Keuangan Negara UU no 17 th 2003

Lebih terperinci

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. Latar Belakang Saat ini, kewenangan untuk merumuskan peraturan perundang undangan, dimiliki

Lebih terperinci

RERANGKA KERJA AUDIT SEKTOR PUBLIK

RERANGKA KERJA AUDIT SEKTOR PUBLIK RERANGKA KERJA AUDIT SEKTOR PUBLIK 1 Audit Proses sistematik dan objektif dari penyediaan dan evaluasi bukti-bukti yang berkenaan dengan asersi tentang kegiatan dan kejadian ekonomi utuk memastikan derajat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1198, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN. Pengaduan Masyarakayt. Penanganan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 2007/85, TLN 4740] 46. Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN SALINAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH

BUPATI BULUNGAN SALINAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH BUPATI BULUNGAN SALINAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH Menimbang : Mengingat : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, a. bahwa untuk

Lebih terperinci

Standar Audit SA 250. Pertimbangan atas Peraturan Perundang-Undangan dalam Audit atas Laporan Keuangan

Standar Audit SA 250. Pertimbangan atas Peraturan Perundang-Undangan dalam Audit atas Laporan Keuangan SA 0 Pertimbangan atas Peraturan Perundang-Undangan dalam Audit atas Laporan Keuangan SA Paket 00.indb STANDAR AUDIT 0 PERTIMBANGAN ATAS PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM AUDIT ATAS LAPORAN KEUANGAN

Lebih terperinci