5 PENGEMBANGAN PEMASARAN HASIL TANGKAPAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5 PENGEMBANGAN PEMASARAN HASIL TANGKAPAN"

Transkripsi

1 5 PENGEMBANGAN PEMASARAN HASIL TANGKAPAN 5.1 Pola Distribusi Hasil Tangkapan Hampir seluruh hasil tangkapan ikan dari Nunukan didistribusikan dan dipasarkan ke daerah Tawau Malaysia. Pola pendistribusian ini sangat terkait dengan pola permodalan nelayan. Nelayan-nelayan Nunukan mendapatkan permodalan dari Tauke Tawau melalui orang-orang kepercayaannya yang berperan sebagai pedagang pengumpul di sentra-sentra nelayan Nunukan. Tingginya ketergantungan terhadap pemodal dari Tawau, membuat mereka menciptakan situasi yang menyebabkan pengusaha lokal tidak berminat untuk investasi di Nunukan. Akibatnya hasil tangkapan tersebut masuk ke pedagang pengumpul yang selanjutnya didistribusikan ke Tawau. Dilihat dari serapan produksi, adanya pasar Tawau sangat menguntungkan pemasaran produk-produk dari Nunukan, karena pasar lokal tidak mampu menyerap produksi akibat terbatasnya populasi penduduk, sedangkan pasar dalam negeri lainnya relatif jauh sehingga menambah biaya operasional transportasi. Dalam konteks perdagangan, Tawau seperti terminal yang menampung berbagai komoditas/produk tidak hanya dari Nunukan tetapi juga dari berbagai wilayah di Indonesia seperti dari Bulungan, Tarakan, Nunukan, Berau dan lainnya. Pola distribusi hasil tangkapan ikan Nunukan disajikan pada Gambar 9. Secara keseluruhan, masyarakat Nunukan sangat tergantung pada perdagangan dengan Tawau, tidak hanya sebagai daerah pasar tetapi juga daerah pemasok terutama untuk kebutuhan sehari-hari. Karena kedekatan geografis dengan wilayah Malaysia dan kendala aksesibilitas Nunukan dengan wilayah Indonesia lain menyebabkan interaksi masyarakat Nunukan dengan masyarakat Tawau sedemikian intensif termasuk arus keluar masuk barang dari dan ke Nunukan.

2 58 Konsumen Nelayan Di Indonesia Pedagang Pengumpul Di Malaysia Tauke pelelangan Tauke Pabrik Industri Pengolahan Konsumen Gambar 9 Pola distribusi hasil tangkapan ikan dari Kabupaten Nunukan Gambar 9 menunjukkan bahwa aktifitas ekonomi perikanan yang berlangsung di Kabupaten Nunukan hanya sebatas pada penangkapan ikan yang selanjutnya dikumpulkan di pedagang-pedagang pengumpul. Sedangkan aktifitas ekonomi perikanan lainnya sebagian besar terjadi di Nunukan Malaysia mulai penjualan hasil tangkapan, pengolahan maupun ekspor produk olahan perikanan. Artinya bahwa perputaran ekonomi dan dampak pengganda aktifitas perikanan tangkap lebih banyak dinikmati oleh masyarakat Tawau. 5.2 Pola hubungan sosial masyarakat nelayan Dalam melakukan operasi penangkapannya, sebagian besar nelayan tidak mempunyai modal baik modal untuk investasi maupun operasional. Semua biaya untuk usaha tersebut mereka peroleh dari pedagang pengumpul yang ada di tempat konsentrasi nelayan masing-masing. Pinjaman tersebut meliputi biaya investasi (pengadaan kapal, mesin kapal dan alat tangkap) dan biaya operasional setiap kali melakukan trip penangkapan. Total kebutuhan dana untuk investasi

3 59 setiap unit penangkapan sekitar ringgit atau 30 juta rupiah. Sedangkan biaya operasional berkisar antara ringgit (3 juta rupiah) sampai ringgit (12 juta rupiah). Pengembalian pinjaman dilakukan setiap kali melakukan trip penangkapan. Pertama, hasil penangkapan akan dipotong biaya operasional yang dipinjam oleh nelayan. Kedua, dana yang telah dipotong tersebut kemudian dibagikan kepada anak buah kapal dengan sistem yang berbeda setiap alat tangkapnya. Misalnya, untuk unit penangkapan rawai, pendapatan tersebut dibagi empat bagian : dua bagian untuk pemilik kapal dan dua bagian lagi untuk ABK yang berjumlah dua orang. Ketiga, dari bagian pemilik kapal akan dipotong 20 % lagi untuk mencicil biaya investasi yang diterima. Cicilan investasi maupun pemenuhan biaya operasional akan berlangsung sangat lama. Bahkan sampai unit penangkapan tersebut tidak bisa digunakan lagi, cicilan tersebut masih belum dapat dilunasi. Apabila hal tersebut terjadi, nelayan bisa mendapatkan pinjaman lagi dari pemilik modal dan utang yang tersisa akan ditambahkan ke utang baru yang diperolehnya. Oleh karena itu, hampir dapat dipastikan bahwa nelayan tidak akan terbebas dari jeratan utang tersebut. Apabila nelayan melakukan wanprestasi, maka unit penangkapan tersebut akan diambil oleh pedagang pengumpul dan cicilan yang selama ini dilakukan oleh nelayan menjadi hangus artinya cicilan tersebut tidak diperhitungkan lagi. Unit penangkapan tersebut selanjutnya oleh pedagang pengumpul dijual atau dialihkan kepada nelayan lain. Pedagang pengumpul sendiri sebenarnya hanya perantara. Mereka mendapatkan modal untuk disalurkan kepada nelayan dari para tauke yang ada di Tawau. Tauke Tawau dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu tauke kilang/perusahaan dan tauke pelelangan. Tauke kilang adalah tauke yang mempunyai pabrik baik pengolahan maupun cold storage. Tauke kilang di Tawau ini ada sekitar 8 orang. Sedangkan tauke pelelangan adalah tauke di pasar ikan yang menjual hasil tangkapan nelayan langsung kepada konsumen akhir. Hampir sebagian besar tauke pelelangan (80 %) adalah orang Melayu yang terdiri dari Melayu Malaysia dan orang Bugis dari Indonesia. Orang-orang Bugis yang menjadi tauke merupakan (1) Orang Bugis warga Negara Indonesia, (2) orang

4 60 Bugis yang mempunyai dua kewarganegaraan. Hal ini dimungkinkan karena bagi mereka yang telah bermukim di Malaysia selama 10 tahun berhak menjadi warga Negara Malaysia (3) orang Bugis berkewarganegaraan Indonesia tetapi beristrikan warga Negara Malaysia baik yang berasal dari suku Bugis maupun bukan. Secara skematik, pembagian tauke ini disajikan pada Gambar 10. Konsumen Akhir Industri Pengolahan Tauke Perusahaan (8 orang) Tauke Pelelangan Pedagang Pengumpul (8-10 orang/tauke) Nelayan Pemilik Unit Penangkapan (20-50 orang per Pedagang Gambar 10 Pembagian tauke Tawau Peredaran uang untuk usaha penangkapan yang ditangani oleh tauke Tawau ini sangat besar. Berdasarkan perhitungan dari data-data hasil wawancara diperoleh informasi bahwa total dana yang dikucurkan tauke kilang saja dapat mencapai 120 milyar rupiah untuk investasi dan 48 milyar untuk biaya operasional setiap trip penangkapannya. Apabila diasumsikan bahwa ABK setiap

5 61 unit penangkapan ikan berjumlah 3 orang, maka nelayan yang menggantungkan hidupnya ada sekitar 1200 nelayan. Peran tauke Tawau ini sangat besar bahkan sudah ada keterikatan yang sistemik sehingga nelayan tidak mungkin terlepas dari pengaruh tauke ini. Adanya keterikatan permodalan tersebut mengakibatkan nelayan tidak bisa menjual hasil tangkapannya kepada pihak lain selain kepada pedagang pengumpulnya. Harga yang terjadi ditentukan oleh pedagang pungumpul dan pemodal dari Tawau. Beberapa harga ikan di tingkat nelayan, pedagang pengumpul dan harga pasaran di Tawau disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Harga ikan di tingkat nelayan Nunukan, pedagang pengumpul dan Pasar Tawau Jenis ikan Harga pembelian dari nelayan Tingkat Harga (Rp) Harga jual ke Tawau Udang bintik Harga pasaran di Tawau Udang tiger Kuwe Belanak Kakap merah Kerapu Sumber : Hasil Wawancara dengan nelayan Dalam konteks hubungan tersebut, nelayan bukanlah pihak yang mendapatkan keuntungan yang relatif besar. Berdasarkan informasi harga yang disajikan pada Tabel 15 dan Tabel 16, margin harga paling besar dinikmati oleh para tauke yang berkisar antara 50 % sampai 125 % bila dibandingkan dengan harga di tingkat nelayan. Sedangkan bila dibandingkan dengan harga pembelian di tingkat pedagang pengumpul, maka margin keuntungan berkisar antara 12 % sampai 50 %. Meski margin yang diperoleh nelayan lebih kecil, tapi mereka tetap menjual hasil tangkapannya kepada para tauke Tawau. Disamping karena adanya keterikatan diantara mereka, juga harga jual hasil tangkapan tersebut masih relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga jual di wilayah lokal Nunukan maupun wilayah sekitarnya seperti Tarakan dan Balikpapan.

6 62 Tabel 16 Margin harga di tingkat nelayan, pedagang pengumpul dan Pasar Tawau Jenis ikan Margin harga di tingkat pengumpul dibandingkan di tingkat nelayan (%) Margin harga di tingkat pemodal dibandingkan di tingkat pengumpul (%) Margin harga di pasar Tawau dibandingkan dengan di tingkat nelayan (%) Udang bintik 20,00 42,86 71,43 Udang tiger 15,38 33,33 53,85 Kuwe 50,00 50,00 125,00 Belanak 40,00 14,29 60,00 Kakap merah 33,33 12,50 50,00 Kerapu 33,33 25,00 66, Pembahasan Interaksi sosial (proses sosial) merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan orang-orang perorangan, antar kelompokkelompok manusia dan antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Gillin dan Gillin, 1954 dalam Soekanto (2000). Proses sosial inilah yang nantinya akan membentuk pola hubungan tertentu antar para pihak yang terlibat. Dalam konteks hubungan masyarakat nelayan dengan usaha penangkapan ikan di Kabupaten Nunukan, terdapat tiga pihak yang terlibat yaitu nelayan, pedagang pengumpul dan pemilik modal (tauke). Hubungan-hubungan ini menjadi unik karena ternyata para pihak tersebut dibatasi oleh wilayah administrasi negara yang berbeda dimana nelayan dan pedagang pengumpul merupakan Warga Negara Indonesia di Nunukan, sedangkan pemilik modal berasal dari Tawau Malaysia. Hal ini dipandang lebih kompleks karena tidak hanya terkait dengan pola hubungan tersebut, tetapi juga dengan sumberdaya ekonomi yang diusahakan yaitu perikanan tangkap dengan batas-batas administrasi pengelolaan dan peluang menghasilkan pendapatan negara dari hasil usaha tersebut. Sebagian besar usaha penangkapan yang dilakukan nelayan Nunukan masih berskala kecil. Penangkapan skala kecil sebagaimana disampaikan Pollnac dalam Cernea (1998) dicirikan dengan letaknya di daerah pedesaan dan pesisir, dekat

7 63 dengan pinggiran laut atau muara, nampak khas karena tumpang tindih dengan kegiatan lain seperti pertanian, peternakan dan udidaya ikan, biasanya sangat padat karya dan sesedikit mungkin menggunakan tenaga mesin, walaupun mungkin menggunakan perahu motor umumnya tidak menggunakan mesin, menggunakan teknologi primitif untuk penanganan dan pengolahan (beberapa diantaranya menggunakan es atau fasilitas kamar dingin) dengan akibat bahwa kerugian panenan sungguh berarti, memanen persediaan dengan biomass yang kecil dibandingkan dengan persediaan ikan laut dalam. Salah satu penyebab masih relatif miskin sebagian besar nelayan adalah masih terbatasnya akses modal bagi usaha penangkapan ikan mereka. Terlebih lagi bagi nelayan-nelayan di wilayah perbatasan seperti nelayan Kabupaten Nunukan dimana secara geografi pun akses terhadap wilayah lain di Indonesia \relatif terbatas. Oleh karena itu, adanya hubungan nelayan dengan pedagang pengumpul dan tauke dari Tawau dalam konteks usaha penangkapan ikan merupakan suatu keniscayaan. Pada satu sisi nelayan tidak mempunyai modal untuk melakukan usaha penangkapan ikan dan di sisi lain para tauke mempunyai kepentingan memutarkan dananya untuk mendapatkan keuntungan. Hampir sebagian besar nelayan Kabupaten Nunukan menggantungkan hidupnya dari pinjaman para Tauke. Adalah wajar apabila kemudian hubungan ini lebih dominan daripada hubungan nelayan baik dengan pemodal lain dari dalam negeri maupun dengan lembaga formal pemberi pinjaman seperti bank maupun non bank. Lembaga keuangan konvensional saat ini belum mampu mengimbangi pasokan modal dari para tauke Tawau. Ketidakberdayaan lembaga keuangan formal terutama disebabkan karena adanya informasi yang asimetrik (asymetrical information) dalam mengidentifikasi calon penerima pinjaman dan memonitor usaha mereka. Dalam konteks usaha perbankan yang menekankan pada aspek kepercayaan dan keyakinan akan kemampuan membayar, kedua aspek ini mutlak diperlukan. Lembaga keuangan formal mengatasi ketiadaan informasi dan ketidakmampuan melakukan monitoring ini dengan menggunakan perangkat agunan (collateral) kepada calon peminjam yang justru tidak dapat dipenuhi oleh nelayan.

8 64 Pola hubungan antara nelayan, pedagang pengumpul dan tauke dapat mengatasi permasalahan informasi asimetrik tadi. Para pelaku tersebut tidak hanya menerapkan satu sistem kontrak yaitu kontrak pinjam meminjam, tetapi menerapkan beberapa keterkaitan kontrak-kontrak (contract interlikages) yang diperlukan untuk memperkecil biaya-biaya transaksi yang diakibatkan oleh informasi yang asimetrik tadi. Berbeda dengan lembaga keuangan formal, para tauke melakukan transaksi tidak sebatas transaksi pinjam meminjam tetapi juga transaksi pemasaran dimana tauke melalui para pedagang perantaranya mempunyai kepastian mendapatkan hasil tangkapan dari nelayan. Keterkaitan pinjaman dan pemasaran ini merupakan salah satu karakteristik pasar perikanan yang memperlihatkan bahwa pasar persaingan sempurna tidak terjadi pada pasar produk ini (Charles, 2001). Beberapa asumsi dasar pasar persaingan sempurna tidak terpenuhi oleh pasar produk perikanan yaitu (i) jumlah penjual dan pembeli yang relatif banyak. Tidak ada satu individupun yang mampu mengontrol harga sehingga tidak ada kolusi antara penjual dan pembeli (ii) ada keseimbangan harga antara penawaran dan permintaan dan (iii) ketersediaan informasi yang cukup bagi semua pelaku. Oleh karena itu sistem pemasaran hasil tangkapan bersifat kontraktual antara nelayan dan pemilik modal. Dalam rangka memastikan dana digunakan sesuai dengan tujuannya, pemilik modal menempatkan pedagang pengumpul sebagai penseleksi maupun pemantau penggunaan modal yang diberikannya. Boleh jadi tauke Tawau tidak mengenal secara langsung nelayan-nelayan yang diberi pinjaman, tapi dia menempatkan orang kepercayaannya yaitu pedagang pengumpul untuk berinteraksi langsung dengan nelayan. Pedagang pengumpul ini adalah orangorang yang berasal dari kalangan nelayan atau non nelayan yang dikenal dan mengenal nelayan, bahkan tidak jarang dari mereka merupakan tokoh-tokoh masyarakat. Hal ini sangat memudahkan dalam proses pemantauan usaha. Prinsip yang digunakan dalam hubungan nelayan dan pedagang pengumpul ini adalah kepercayaan (trust). Insentif yang diperoleh pedagang pengumpul ini disamping dari komisi yang diberikan oleh tauke Tawau juga dari margin penjualan ikan hasil tangkapan nelayan.

9 65 Disamping itu, terdapat keterikatan sosial antara nelayan, pedagang dan tauke Tawau dimana mereka sama sama berasal dari suku Bugis Sulawesi Selatan. Orang-orang Bugis yang bearada di Tawau (dapat mencapai 70 % dari jumlah penduduk Tawau masih mempunyai keterikatan dengan kampung halamannya di Indonesia. Sebagaimana dikatakan Soekanto (2000) bahwa masyarakat pedesaan termasuk juga nelayan-nelayan Nunukan- mempunyai hubungan yang erat dan mendalam atas dasar sistem kekeluargaan. Keeratan hubungan ini kemudian dimanfaatkan dalam membangun hubungan antar pelaku perikanan tangkap. Dengan berbagai kelebihan tersebut, maka permasalahan informasi asimetrik (yang berupa informasi identifikasi nelayan calon peminjam dan pengawasan perilaku usaha para nelayan) dapat diatasi. Dengan demikian, persyaratan-persyaratan administrasi sebagaimana diberlakukan pada lembaga keuangan formal tidak ada seperti (i) para pemilik modal tidak mensyaratkan agunan untuk setiap transaksi (ii) penyediaan pinjaman yang tidak terbatas jumlahnya dan (iii) dapat melakukan transaksi kapan saja diperlukan tanpa aturanaturan administrasi yang berbelit. Pola hubungan sebagaimana yang disebutkan diatas merupakan pola hubungan yang optimal dilaksanakan. Pola hubungan ini banyak terjadi pada perikanan tangkap skala kecil. Memang dalam pola hubungan tersebut ada dua hal yang terjadi yaitu rendahnya pendapatan nelayan di satu sisi dan resiko yang tinggi yang ditanggung tauke pada sisi yang lain (Charles, 2001). Namun demikian, pola tersebut masih belum memberikan peluang bagi nelayan untuk berkembang lebih baik. Nelayan menanggung seluruh resiko kegagalan dari usaha penangkapannya sementara margin keuntungan terbesar ada pada pemilik modal. Para pemilik modal meski ada resiko dananya tidak kembali akibat kegagalan usaha penangkapan, tapi mereka dapat menutupinya dari penjualan hasil tangkapannya pada trip-trip penangkapan sebelumnya. Sedangkan bagi nelayan, mereka harus menanggung seluruh kerugian dan harus tetap membayar walaupun dengan cara mencicil dengan batas waktu yang lama. Oleh karena itu, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan melalui berbagai skema pengaturan penangkapan hendaknya memperhatikan pola-pola hubungan ada.

10 66 Ketidakcermatan dalam menentukan sasaran dan metode yang digunakan akan menjadi kebijakan yang salah (misleading policy), yang tidak hanya nasib nelayan tidak akan beranjak dari kemiskinan tetapi justru memberikan keuntungan kepada pihak-pihak lain di luar nelayan Indonesia. Contoh kasus adalah kebijakan pemerintah tentang penggunaan pukat hela (PER.06/MEN/2008). Secara keseluruhan kebijakan tersebut akan sangat direspon positif oleh para pemilik modal dari Tawau. Hal ini karena memberikan peluang yang lebih besar bagi mereka dari hasil tangkapan nelayan menggunakan pukat hela tersebut. Namun demikian, dengan pola hubungan seperti disebutkan diatas, kebijakan ini tidak akan berdampak signifikan terhadap peningkatan pendapatan nelayan. Pengembangan pasar sangat penting dalam upaya mengembangkan industri perikanan tangkap. Hasil tangkapan nelayan hanya akan bernilai ekonomi apabila dipasarkan. Lebih dari itu pengembangan pasar dapat meningkatkan perekonomian. Charles (2001) mengatakan bahwa interaksi pemasaran ikan dan pengembangan ekonomi dapat dilihat dari tiga dampak yaitu (i) dampak pemasaran (peningkatan permintaan konsumen, perbaikan sistem distribusi, perbaikan akses pasar, peningkatan alternatif pekerjaan dan peningkatan pemberdayaan nelayan), (ii) dampak menengah (peningkatan produksi pada ikan yang belum dimanfaatkan, saluran pemasaran yang lebih baik, peningkatan ekspor/pertukaran luar negeri, pengurangan ketergantungan nelayan dan pedagang perantara berkurang yang menyebabkan peningkatan pendapatan nelayan), dan (iii) dampak pengembangan (kesempatan kerja yang lebih dan ketersediaan makanan, ketersediaan protein yang lebih, perbaikan keseimbangan pasar, penurunan kebutuhan terhadap kredit dengan suku bunga tinggi dan pembangunan masyarakat perikanan). Dalam konteks pemasaran hasil tangkapan di wilayah perbatasan, terdapat dua hal yang menjadi tujuan utama pemasaran yaitu adanya kepastian harga produk hasil tangkapan dan daya serap pasar terhadap produk hasil tangkapan. Selama ini hampir sebagian besar hasil tangkapan ikan dipasarkan ke wilayah Tawau Malaysia dalam bentuk segar. Namun demikian, harga hasil tangkapan tersebut dikendalikan oleh tauke di Tawau. Hal ini disebabkan adanya ketergantungan nelayan terhadap para pemilik modal tersebut melalui pedagang

11 67 pengumpul yang menjadi kepanjangan tangan tauke tersebut. Oleh karena itu ada beberapa kerugian yang dialami pihak Indonesia yaitu (i) nelayan mendapatkan bagian keuntungan yang relatif kecil. Margin keuntungan terbesar diperoleh para pemilik modal dari Tawau Malaysia, (ii) Nunukan tidak mendapatkan nilai tambah dari produk hasil tangkapan karena hampir sebagian besar hasil tangkapan dipasarkan dalam bentuk segar. Proses pengolahan pasca panen dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perikanan di Tawau dan (iii) terdapat potensi kerugian negara akibat tidak diperolehnya pendapatan dari pemasaran produk perikanan ke Tawau. Namun demikian, di sisi lain pemasaran hasil tangkapan ke wilayah Tawau merupakan pilihan rasional untuk saat ini. Faktor kedekatan geografis, potensi pasar yang cukup besar sehingga mampu menyerap hasil tangkapan yang ada, maupun karena relatif jauhnya Nunukan dengan wilayah lain di Indonesia yang dapat dijadikan pasar ada merupakan alasan nelayan memasarkan produknya ke Tawau. Sehubungan dengan hal tersebut perlu ada skenario pengembangan pasar yang memberikan keadilan (fairness) dan dampak bagi pengembangan ekonomi wilayah Nunukan. Ketergantungan nelayan pada pemilik modal dari Tawau merupakan permasalahan mendasar dalam pengembangan pemasaran hasil tangkapan nelayan. Oleh karena itu upaya yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan kemandirian dan posisi tawar nelayan ketika berhadapan dengan pedagang dan pemilik modal. Kemandirian merujuk pada pemahaman bahwa manusia sejati adalah mereka yang berada di tengah-tengah orang banyak dan tetap menjaga independensi atau ketidaktergantungan pada orang lain (Emerson 1996 dalam Mardin 2009). Dalam konteks nelayan Nunukan kemandirian dimaksud adalah keterbebasan mereka dari subordinasinya dengan pemilik modal ; dalam arti mereka mempunyai kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri dalam menjalankan usaha penangkapan ikan. Sedangkan posisi tawar merupakan kekuatan/kelebihan yang dimiliki sehingga mereka mampu mempengaruhi orang lain supaya menerima keinginannya. Kondisi nelayan Nunukan saat ini yang tidak mempunyai kemampuan yang menyebabkan mereka mempunyai kemandirian (permodalan, intelektualitas,

12 68 pemasaran dan lain-lain). Hal ini terjadi karena mereka menjalankan usaha secara individual. Oleh karena itu salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam menumbuhkan kemandirian dan posisi tawar ini adalah mengumpulkan mereka dalam suatu wadah/perkumpulan. Wadah ini merupakan upaya penyatuan kekuatan nelayan dalam menghadapi mitra kerja mereka seperti pemodal dan pedagang.

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP.. Rumahtangga Nelayan Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang berperan dalam menjalankan usaha perikanan tangkap. Potensi sumberdaya

Lebih terperinci

5 KETERLIBATAN TENGKULAK DALAM PENYEDIAAN MODAL NELAYAN

5 KETERLIBATAN TENGKULAK DALAM PENYEDIAAN MODAL NELAYAN 56 5 KETERLIBATAN TENGKULAK DALAM PENYEDIAAN MODAL NELAYAN 5.1 Bentuk Keterlibatan Tengkulak Bentuk-bentuk keterlibatan tengkulak merupakan cara atau metode yang dilakukan oleh tengkulak untuk melibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu wilayah yang termasuk ke dalam pesisir laut di Sumatera Utara adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah 5.625 km 2. Posisinya sangat strategis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Wilayah laut dewasa ini mendapat perhatian cukup besar dari pemerintah dan

I. PENDAHULUAN. Wilayah laut dewasa ini mendapat perhatian cukup besar dari pemerintah dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Wilayah laut dewasa ini mendapat perhatian cukup besar dari pemerintah dan masyarakat, hal ini karena wilayah laut diyakini memiliki potensi sumberdaya yang dapat memberikan

Lebih terperinci

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN PENDAHULUAN Sektor pertanian (dalam arti luas termasuk peternakan, perikanan dan kehutanan) merupakan sektor yang paling besar menyerap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terluas di dunia, dengan panjang pantai 81.000 km serta terdiri atas 17.500 pulau, perhatian pemerintah Republik Indonesia terhadap sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian global yang melanda perekonomian negara-negara di dunia dengan

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian global yang melanda perekonomian negara-negara di dunia dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Seperti yang kita lihat beberapa tahun belakangan ini telah terjadi gejolak perekonomian global yang melanda perekonomian negara-negara di dunia dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikan atau nelayan yang bekerja pada subsektor tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. ikan atau nelayan yang bekerja pada subsektor tersebut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor perikanan berperan penting dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau daerah. Sumber daya alam ini diharapkan dapat mensejahterakan rakyat

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY KEBIJAKAN PENDUKUNG KEBERLANJUTAN USAHA KECIL DAN MENENGAH (STUDI KASUS KABUPATEN BOGOR DAN KOTA MALANG)

EXECUTIVE SUMMARY KEBIJAKAN PENDUKUNG KEBERLANJUTAN USAHA KECIL DAN MENENGAH (STUDI KASUS KABUPATEN BOGOR DAN KOTA MALANG) EXECUTIVE SUMMARY KEBIJAKAN PENDUKUNG KEBERLANJUTAN USAHA KECIL DAN MENENGAH (STUDI KASUS KABUPATEN BOGOR DAN KOTA MALANG) Peneliti: SAHAT ADITUA FANDHITYA SILALAHI PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN SETJEN

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Nelayan mandiri memiliki sejumlah karakteristik khas yang membedakannya dengan nelayan lain. Karakteristik tersebut dapat diketahui dari empat komponen kemandirian, yakni

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung sumber daya ikan yang sangat banyak dari segi keanekaragaman jenisnya dan sangat tinggi dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang ke-4 di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang ke-4 di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang ke-4 di dunia (http://www.kkp.go.id). Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan luas laut

Lebih terperinci

7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN

7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN 78 7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN 7.1 Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah terkait sistem bagi hasil nelayan dan pelelangan Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkadang UMKM seolah tidak mendapat dukungan dan perhatian dari. selama memiliki izin usaha dan modal cukup.

BAB I PENDAHULUAN. terkadang UMKM seolah tidak mendapat dukungan dan perhatian dari. selama memiliki izin usaha dan modal cukup. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pilar perekonomian suatu negara tidak lepas dari bagaimana Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjalankan perannya demi meningkatkan taraf hidup orang banyak.

Lebih terperinci

VII. IMPLEMENTASI MODEL

VII. IMPLEMENTASI MODEL VII. IMPLEMENTASI MODEL A. HASIL SIMULASI Simulasi model dilakukan dengan menggunakan data hipotetik berdasarkan hasil survey, pencarian data sekunder, dan wawancara di lapangan. Namun dengan tetap mempertimbangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. produksi hanya diterima petani setiap musim sedangkan pengeluaran harus

I. PENDAHULUAN. produksi hanya diterima petani setiap musim sedangkan pengeluaran harus I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Keterbatasan modal merupakan permasalahan yang paling umum terjadi dalam usaha, terutama bagi usaha kecil seperti usahatani. Ciri khas dari kehidupan petani adalah perbedaan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan sektor pertanian sampai saat ini telah banyak dilakukan di Indonesia. Selain sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan pendapatan petani, sektor pertanian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, kelestarian ekosistem, serta persatuan dan kesatuan. Sedangkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PEMERINTAH KOTA KEDIRI PEMERINTAH KOTA KEDIRI SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota pada seluruh pemerintahan daerah bahwa pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA, Menimbang : a. bahwa usaha mikro, kecil dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara optimal dapat menjadi penggerak utama (prime mover)

I. PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara optimal dapat menjadi penggerak utama (prime mover) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kepulauan, Indonesia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan 81.000 km panjang garis pantai, memiliki potensi beragam sumberdaya pesisir dan laut yang

Lebih terperinci

Strategi Pengembangan UMKM dengan Mengatasi Permasalahan UMKM Dalam Mendapatkan Kredit Usaha

Strategi Pengembangan UMKM dengan Mengatasi Permasalahan UMKM Dalam Mendapatkan Kredit Usaha Strategi Pengembangan UMKM dengan Mengatasi Permasalahan UMKM Dalam Mendapatkan Kredit Usaha Oleh : Nama : Debby Fuji Lestari NIM : 2107130015 Kelas : 2D Dosen : Ade Suherman, M.Pd PROGRAM STUDI AKUNTANSI

Lebih terperinci

7 TINGKAT PEMANFAATAN KAPASITAS FASILITAS DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN

7 TINGKAT PEMANFAATAN KAPASITAS FASILITAS DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN 7 TINGKAT PEMANFAATAN KAPASITAS FASILITAS DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN 7.1 Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tempat pelelangan ikan (TPI) merupakan tempat untuk melelang hasil tangkapan, dimana terjadi pertemuan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 47 TAHUN : 2010 SERI : E PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 63 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi secara nyata telah menyebabkan jatuhnya ekonomi nasional khususnya usaha-usaha skala besar. Dampak nyata dari kondisi tersebut adalah terjadinya peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan UMKM berdasarkan jumlah tenaga kerja. Usaha yang memiliki 1-4 orang tenaga kerja dikelompokkan

Lebih terperinci

VI. KERAGAAN USAHATANI KENTANG DAN TOMAT DI DAERAH PENELITIAN

VI. KERAGAAN USAHATANI KENTANG DAN TOMAT DI DAERAH PENELITIAN 73 VI. KERAGAAN USAHATANI KENTANG DAN TOMAT DI DAERAH PENELITIAN 6.1. Karakteristik Lembaga Perkreditan Keberhasilan usahatani kentang dan tomat di lokasi penelitian dan harapan petani bagi peningkatan

Lebih terperinci

hampir selalu merujuk pada maksimalisasi profit. Perekonomian yang telah mendominasi kehidupan sosial membuat segala sesuatunya dinilai dengan

hampir selalu merujuk pada maksimalisasi profit. Perekonomian yang telah mendominasi kehidupan sosial membuat segala sesuatunya dinilai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan manusia yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan hidupnya atau bersifat ekonomi terlihat jelas di era persaingan dan perdagangan bebas saat ini, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk konsumsi, investasi, atau modal usaha. Dalam pemenuhan kebutuhan itu,

BAB I PENDAHULUAN. untuk konsumsi, investasi, atau modal usaha. Dalam pemenuhan kebutuhan itu, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat dikatakan tidak lepas dari uang, baik untuk konsumsi, investasi, atau modal usaha. Dalam pemenuhan kebutuhan itu, seringkali masyarakat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Modal tanah, tenaga kerja dan manajemen adalah faktor-faktor produksi,

I. PENDAHULUAN. Modal tanah, tenaga kerja dan manajemen adalah faktor-faktor produksi, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Modal tanah, tenaga kerja dan manajemen adalah faktor-faktor produksi, baik di sektor pertanian/usahatani maupun di luar sektor pertanian. Tanpa salah satu faktor produksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering dijumpai perbuatan hukum peminjaman uang antara dua orang atau lebih. Perjanjian yang terjalin antara dua orang atau disebut

Lebih terperinci

BAB II Kajian Pustaka. mampu diserap dari masyarakat dan disalurkan kembali kepada masyarakat yang

BAB II Kajian Pustaka. mampu diserap dari masyarakat dan disalurkan kembali kepada masyarakat yang BAB II Kajian Pustaka 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Bank Dunia keuangan khususnya perbankan dari tahun ketahun telah mengalami peningkatan yang signifikan. Peningkatan ini ditunjukkan dari jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada pertumbuhan tanaman, hewan, dan ikan. Pertanian juga berarti kegiatan pemanfaatan sumber daya

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Masih ditemukannya banyak penduduk miskin wilayah pesisir Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, menunjukkan adanya ketidakoptimalan kegiatan pemberdayaan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah pengembangan hortikultura untuk meningkatkan pendapatan petani kecil. Petani kecil yang dimaksud dalam pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa Orde Baru terjadi kegoncangan ekonomi dan politik. Perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. pada masa Orde Baru terjadi kegoncangan ekonomi dan politik. Perusahaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang telah menorehkan catatan khusus bagi perkembangan perekonomian di Indonesia. Ketika krisis ekonomi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG Nomor : 08 Tahun 2015 Menimbang : Mengingat : PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG USAHA MIKRO DAN KECIL DI KABUPATEN SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan usaha yang tergolong besar (Wahyu Tri Nugroho,2009:4).

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan usaha yang tergolong besar (Wahyu Tri Nugroho,2009:4). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertengahan tahun 1997 terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan perekonomian Indonesia terpuruk. Fenomena yang menggambarkan hal ini yaitu tingginya tingkat inflasi,

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT 7.1. Kinerja Lembaga Penunjang Pengembangkan budidaya rumput laut di Kecamatan Mangarabombang membutuhkan suatu wadah sebagai

Lebih terperinci

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 55 V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Pelaksanaan PKBL PTPN VII Kemitraan adalah pemberian kredit modal kerja yang diberikan oleh PTPN VII kepada usaha mikro, kecil dan koperasi yang memiliki usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh suatu bangsa dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan dan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh suatu bangsa dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ekonomi diartikan sebagai suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh suatu bangsa dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaku bisnis di Indonesia sebagian besar adalah pelaku usaha mikro, kecil

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaku bisnis di Indonesia sebagian besar adalah pelaku usaha mikro, kecil BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaku bisnis di Indonesia sebagian besar adalah pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Peranan UMKM di Indonesia sangat penting sebagai penggerak ekonomi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perantara keuangan antara pihak yang memiliki dana dan pihak yang

BAB I PENDAHULUAN. perantara keuangan antara pihak yang memiliki dana dan pihak yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bank adalah lembaga financial intermediary yang berfungsi sebagai perantara keuangan antara pihak yang memiliki dana dan pihak yang memerlukan dana serta sebagai

Lebih terperinci

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH I. UMUM Penerapan otonomi daerah sejatinya diliputi semangat untuk mewujudkan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN MANAGEMEN RESIKO

KEBIJAKAN MANAGEMEN RESIKO 1. Risiko Keuangan Dalam menjalankan usahanya Perseroan menghadapi risiko yang dapat mempengaruhi hasil usaha Perseroan apabila tidak di antisipasi dan dipersiapkan penanganannya dengan baik. Kebijakan

Lebih terperinci

1.I. Latar Belakang lkan tuna sebagai salah satu sumber bahan baku bagi perekonomian

1.I. Latar Belakang lkan tuna sebagai salah satu sumber bahan baku bagi perekonomian I. PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang lkan tuna sebagai salah satu sumber bahan baku bagi perekonomian lndonesia memegang peran yang cukup penting, mengingat potensi sumberdaya ikan tuna di perairan lndonesia

Lebih terperinci

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Sinungan (1991 : 46), tentang kredit sebagai berikut :

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Sinungan (1991 : 46), tentang kredit sebagai berikut : BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Kredit 2.1.1.1 Pengertian Kredit Menurut Sinungan (1991 : 46), tentang kredit sebagai berikut : Permberian prestasi oleh

Lebih terperinci

Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan

Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, kelestarian ekosistem, serta persatuan dan kesatuan. Sedangkan sasaran program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perekonomian suatu negara bisa dilihat dari minimalnya dua sisi, yaitu ciri perekonomian negara tersebut, seperti pertanian atau industri dengan sektor perbankan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penggunaan amplas di Indonesia sudah lama dikenal oleh. masyarakat namun pada saat itu penggunaannya masih terbatas untuk

I. PENDAHULUAN. Penggunaan amplas di Indonesia sudah lama dikenal oleh. masyarakat namun pada saat itu penggunaannya masih terbatas untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan amplas di Indonesia sudah lama dikenal oleh masyarakat namun pada saat itu penggunaannya masih terbatas untuk usaha tertentu saja, yaitu untuk produk yang terbuat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan pembangunan ekonomi adalah peningkatan pendapatan nasional dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dikembangkan dan dikelola sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap nasional masih dicirikan oleh perikanan tangkap skala kecil. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan perikanan tangkap di Indonesia yang masih

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dengan

Lebih terperinci

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit Kehadiran bank dirasakan semakin penting di tengah masyarakat. Masyarakat selalu membutuhkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membiayai usaha yang dijalankan. Peran bank bagi perkembangan dunia usaha. permodalan dan pengembangan usaha masyarakat.

I. PENDAHULUAN. membiayai usaha yang dijalankan. Peran bank bagi perkembangan dunia usaha. permodalan dan pengembangan usaha masyarakat. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang berkontribusi cukup tinggi dalam perekonomian nasional, khususnya dalam membantu masyarakat membiayai usaha yang dijalankan.

Lebih terperinci

2017/04/10 07:20 WIB - Kategori : Warta Penyuluhan SELAMAT HARI NELAYAN NASIONAL KE-57

2017/04/10 07:20 WIB - Kategori : Warta Penyuluhan SELAMAT HARI NELAYAN NASIONAL KE-57 2017/04/10 07:20 WIB - Kategori : Warta Penyuluhan SELAMAT HARI NELAYAN NASIONAL KE-57 BANGKA BARAT (10/04/2017) www.pusluh.kkp.go.id Nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudra, menerjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh di kawasan sentra nelayan dan pelabuhan perikanan yang tersebar di wilayah pesisir Indonesia. Indonesia memiliki potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi dunia usaha termasuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) saat

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi dunia usaha termasuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) saat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aktivitas bisnis merupakan fenomena yang sangat kompleks karena mencakup berbagai bidang diantaranya hukum, ekonomi, dan politik. Perkembangan perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima, Keenam, Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima,

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima, Keenam, Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima, I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kebijakan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (KUKM) dewasa ini telah diatur di dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 7 Tahun

Lebih terperinci

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

VI HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran dan Lembaga Tataniaga Dalam menjalankan kegiatan tataniaga, diperlukannya saluran tataniaga yang saling tergantung dimana terdiri dari sub-sub sistem atau fungsi-fungsi

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP-258/BL/2008 TENTANG PEMBIAYAAN TRANSAKSI

Lebih terperinci

HASIL SURVEI KREDIT KONSUMSI A. Karakteristik Bank

HASIL SURVEI KREDIT KONSUMSI A. Karakteristik Bank BOKS 2 HASIL SURVEI KREDIT KONSUMSI DAN PERTANIAN DI PROVINSI BENGKULU TAHUN 2007 Pada tahun 2007, Kantor Bank Indonesia Bengkulu melakukan dua survei yaitu Survei Kredit Konsumsi dan Survei Survei Kredit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pendapatan yang merata. Namun, dalam

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pendapatan yang merata. Namun, dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan pembangunan ekonomi tujuan utamanya adalah untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera dengan cara mencapai pertumbuhan ekonomi yang

Lebih terperinci

BUSINESS PLAN RUMAH PRODUKSI KEPITING SOKA

BUSINESS PLAN RUMAH PRODUKSI KEPITING SOKA BUSINESS PLAN RUMAH PRODUKSI KEPITING SOKA PIU KABUPATEN KUBU RAYA TAHUN 2014 BUSINESS PLAN INFRASTRUKTUR KOMPONEN 2 RUMAH PRODUKSI KEPITING SOKA A. LATAR BELAKANG Business Plan (Rencana Bisnis) adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mencolok agar anak-anak tertarik untuk mengisinya dengan tabungan

BAB I PENDAHULUAN. yang mencolok agar anak-anak tertarik untuk mengisinya dengan tabungan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya bank dikenal sebagai sebuah tempat dimana kita menyimpan uang kita, tempat yang sangat identik dengan kata menabung. Orang tua kita selalu mengajari kita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar. Sektor sektor ekonomi yang menopang perekonomian di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar. Sektor sektor ekonomi yang menopang perekonomian di Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peranan perbankan dalam memajukan perekonomian suatu negara sangat besar. Sektor sektor ekonomi yang menopang perekonomian di Indonesia seperti sektor perdagangan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan masih menjadi masalah yang mengancam Bangsa Indonesia. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta jiwa yang berarti sebanyak 16,58

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pangan, dimana kebutuhan protein dunia dapat dipenuhi oleh sumber daya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pangan, dimana kebutuhan protein dunia dapat dipenuhi oleh sumber daya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan memiliki arti penting dalam mendukung rantai ketahanan pangan, dimana kebutuhan protein dunia dapat dipenuhi oleh sumber daya perikanan, baik dari perikanan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Proyek Kegiatan proyek dapat diartikan sebagai satu kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas, dengan alokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal merupakan salah satu alternatif pilihan sumber dana jangka panjang bagi

BAB I PENDAHULUAN. Pasar modal merupakan salah satu alternatif pilihan sumber dana jangka panjang bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pasar modal merupakan salah satu alternatif pilihan sumber dana jangka panjang bagi perusahaan. Termasuk didalamnya adalah perusahaan-perusahaan pada sektor

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MADIUN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. (Mulyadi, 2010:5). Prosedur adalah suatu urutan pekerjaan klerikal

BAB II KAJIAN PUSTAKA. (Mulyadi, 2010:5). Prosedur adalah suatu urutan pekerjaan klerikal BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Prosedur pengertian prosedur adalah suatu urutan kegiatan klerikal, biasanya melibatkan beberapa orang dalam satu departemen atau lebih, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (growth). Pembangunan ekonomi yang mengalami pertumbuhan yaitu apabila tingkat

BAB I PENDAHULUAN. (growth). Pembangunan ekonomi yang mengalami pertumbuhan yaitu apabila tingkat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi suatu Negara secara umum beroreintasi pada pertumbuhan (growth). Pembangunan ekonomi yang mengalami pertumbuhan yaitu apabila tingkat kegiatan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Tidak perlu di ragukan lagi

BAB I PENDAHULUAN. energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Tidak perlu di ragukan lagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peran yang sangat strategis dalam mendukung perekonomian nasional. Di sisi lain

I. PENDAHULUAN. peran yang sangat strategis dalam mendukung perekonomian nasional. Di sisi lain I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan produksi dan distribusi komoditi pertanian khususnya komoditi pertanian segar seperti sayur mayur, buah, ikan dan daging memiliki peran yang sangat strategis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekomplekkan ini telah menciptakan suatu sistem dan pesaing baru dalam dunia

BAB I PENDAHULUAN. Kekomplekkan ini telah menciptakan suatu sistem dan pesaing baru dalam dunia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia perbankan telah terlihat kompleks, dengan berbagai macam jenis produk dan sistem usaha dalam berbagai keunggulan kompetitif. Kekomplekkan

Lebih terperinci

Pengembangan BADAN USAHA MILIK DESA (BUM DESA) Dalam Mendukung Poros Maritim

Pengembangan BADAN USAHA MILIK DESA (BUM DESA) Dalam Mendukung Poros Maritim Pengembangan BADAN USAHA MILIK DESA (BUM DESA) Dalam Mendukung Poros Maritim Arif Satria Disajikan pada Focus Group Discussion Mendorong BUM Desa Menjadi Kekuatan Baru Ekonomi di Desa Staf Ahli Menteri

Lebih terperinci

Tabungan, Investasi dan Sistem Keuangan. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

Tabungan, Investasi dan Sistem Keuangan. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM Tabungan, Investasi dan Sistem Keuangan Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM Untuk membuka Usaha membutuhkan Investasi. Definisi Investasi secara Makro adalah terkait dengan barang modal, diantaranya: a. Pembelian

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Perikanan Tangkap

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Perikanan Tangkap 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Perikanan dapat didefinisikan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan diperhadapkan dengan sumber pendapatan yang tidak mencukupi

BAB I PENDAHULUAN. dan diperhadapkan dengan sumber pendapatan yang tidak mencukupi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring berkembangnya zaman kebutuhan masyarakat terus meningkat dan diperhadapkan dengan sumber pendapatan yang tidak mencukupi sehingga kredit menjadi salah satu alternatif

Lebih terperinci

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Manajemen Usaha Ternak Saragih (1998) menyatakan susu merupakan produk asal ternak yang memiliki kandungan gizi yang tinggi. Kandungan yang ada didalamnya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Kasmir (2010:11) Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatan. kemasyarakat serta memberikan jasa bank lainnya.

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Kasmir (2010:11) Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatan. kemasyarakat serta memberikan jasa bank lainnya. 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Bank 2.1.1 Pengertian Bank Menurut Kasmir (2010:11) Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dana dan menyalurkannya kembali dana tersebut kemasyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruh yang sangat besar dalam perekonomian nasional.

BAB I PENDAHULUAN. pengaruh yang sangat besar dalam perekonomian nasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses perubahan kondisi ekonomi secara terus menerus kearah yang lebih baik dengan harapan terwujudnya pemerataan pendapatan, kemakmuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat mendukung untuk pengembangan usaha perikanan baik perikanan

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat mendukung untuk pengembangan usaha perikanan baik perikanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan suatu Negara yang memiliki kawasan perairan yang hampir 1/3 dari seluruh kawasannya, baik perairan laut maupun perairan tawar yang sangat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa Koperasi dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi a. Letak Geografis BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kota Gorontalo merupakan ibukota Provinsi Gorontalo. Secara geografis mempunyai luas 79,03 km 2 atau 0,65 persen dari luas Provinsi

Lebih terperinci

BUPATI POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT

BUPATI POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT BUPATI POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT PERATURAN DAERAH POLEWALI MANDAR NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI LAPORAN KEGIATAN KAJIAN ISU-ISU AKTUAL KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 2013 ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI Oleh: Erwidodo PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007 Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian Oleh : Sahat M. Pasaribu Bambang Sayaza Jefferson Situmorang Wahyuning K. Sejati Adi Setyanto Juni Hestina PUSAT ANALISIS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci