IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Perumusan Standar dan Peraturan oleh BSN, BPOM, dan CAC

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Perumusan Standar dan Peraturan oleh BSN, BPOM, dan CAC"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perumusan Standar dan Peraturan oleh BSN, BPOM, dan CAC Setiap lembaga mempunyai cara yang berbeda dalam perumusan suatu peraturan dan standar. Paling tidak di Indonesia lembaga pemerintah yang berwenang dalam perumusan dan pemberlakuan suatu standar keamanan pangan ada 2 yaitu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI dan Badan Standardisasi Nasional (BSN). Selain dilihat prosedur perumusan dan pemberlakuan suatu standar pangan pada lembaga di tingkat nasional tersebut, di dalam pembahasan ini juga akan dilihat perumusan standar di tingkat internasional oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) Perumusan Standar oleh BSN Perumusan standar di BSN dimulai dengan penyusunan konsep oleh konseptor dari perorangan atau gugus kerja yang ditunjuk oleh panitia teknis (PT) atau subpanitia teknis (SPT). Konseptor dapat berasal dari dalam maupun luar anggota PT/SPT. Panitia teknis terdiri atas beberapa orang yang merupakan perwakilan dari lembaga pemerintah, industri (produsen), konsumen, dan akademisi (pakar). Panitia teknis pada umumnya diketuai oleh seorang dari perwakilan lembaga pemerintah yang terkait dengan standar yang akan dibahas. Misalnya untuk standar yang terkait dengan bahan tambahan pangan dan kontaminan, panitia teknis diketuai oleh pejabat atau staf dari direktorat standardisasi produk pangan BPOM RI dengan sekretariat bertempat di kantor BPOM RI. Hasil dari penyusunan konsep adalah Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) 1. RSNI 1 kemudian dibahas di dalam rapat teknis yang harus dihadiri oleh semua anggota panitia teknis atau dengan jumlah yang memenuhi kuorum dan adanya keterwakilan dari masing-masing lembaga pemerintah, industri, konsumen, dan akademisi. Rapat teknis dihadiri oleh tenaga ahli standardisasi (TAS) sebagai pengendali mutu yang ditugaskan oleh BSN untuk memantau pelaksanaannya. TAS harus memastikan bahwa pelaksanaan rapat

2 36 teknis dihadiri oleh seluruh perwakilan lembaga dan pengambilan keputusan di dalam rapat tersebut telah memenuhi prinsip konsensus. Hasil dari rapat teknis adalah RSNI 2. Jika di dalam rapat teknis telah terjadi konsensus dari semua perwakilan lembaga yang hadir, maka akan langsung diperoleh RSNI 3. RSNI 3 kemudian diajukan kepada BSN untuk dilakukan jajak pendapat. Jajak pendapat dilakukan kepada anggota PT/SPT dan anggota Masyarakat Standardisasi Indonesia (MASTAN) kelompok minat yang relevan. Hasil dari jajak pendapat adalah RSNI 4 atau Rancangan Akhir SNI (RASNI). Jika saat jajak pendapat tidak diperoleh suara yang seluruhnya menyetujui, maka dihasilkan RSNI 4 yang perlu diperbaiki dan dilakukan jajak pendapat kembali hingga diperoleh keputusan yang merupakan kesepakatan bersama dengan minimal 2/3 suara setuju dan maksimal ¼ suara tidak setuju dengan alasan yang jelas. RASNI kemudian diberikan kepada BSN untuk ditetapkan sebagai SNI. Mekanisme perumusan suatu standar yang saat ini berlaku di Badan Standardisasi Nasional (BSN, 2007a) dapat dilihat pada Gambar Perumusan Peraturan dan Pemberlakuan Wajib Standar oleh BPOM Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI yang merupakan salah satu instansi teknis menurut PP No. 102/2000 tentang Standardisasi Nasional, berwenang dalam memberlakukan wajib suatu SNI yang dituangkan dalam suatu peraturan melalui surat keputusan (SK) kepala BPOM RI. Saat ini, BPOM RI juga menetapkan suatu peraturan berupa ketentuan, pedoman, dan kode praktis yang terkait dengan keamanan pangan tanpa melalui prosedur yang ditetapkan oleh BSN. Penyusunan suatu peraturan, pedoman, dan kode praktis di BPOM RI dimulai dengan melakukan pengumpulan materi dan kajian pustaka. Kemudian dilakukan pemetaan dan kaji banding dengan peraturan yang berlaku baik di dalam maupun luar negeri. BPOM RI kemudian mengundang narasumber dan stakeholder untuk memberikan masukan dan dimintai pendapatnya. Pembahasan draf peraturan, pedoman, dan kode praktis dilakukan sebanyak 3 kali untuk meng-

3 37 Penyusunan Standar PROSES HASIL PELAKSANA & PESERTA QC Penyusunan konsep RSNI1 Konseptor dan PT/SPT Rapat teknis RSNI2 PT/SPT dan TAS Tidak Rapat konsensus Ya QC PT/SPT dan TAS Perbaikan RSNI2 RSNI3 PT/SPT Tidak Jajak pendapat disetujui BSN, MASTAN, PT/ SPT Ya 100% RASNI BSN Perbaikan RSNI3 <100% RSNI4 PT/SPT Tidak Pemungutan suara disetujui BSN, MASTAN, PT/ SPT Ya RASNI BSN Penetapan + penomoran BSN Publikasi SNI BSN Rapat teknis DT PT Keterangan: PT : Panitia Teknis SPT : Sub Panitia Teknis TAS :Tenaga Ahli Standardisasi sebagai pengendali mutu yang ditugaskan oleh BSN untuk memantau pelaksanaan rapat teknis BSN : Badan Standardisasi Nasional MASTAN : Masyarakat Standardisasi Indonesia RSNI : Rancangan Standar Nasional Indonesia DT : Dokumen Teknis Gambar 5. Mekanisme Perumusan Suatu Standar di Indonesia (BSN, 2007a)

4 38 hasilkan rumusan yang baik (BPOM, 2010). Mekanisme perumusan suatu peraturan dan pemberlakuan wajib standar yang saat ini berlaku di BPOM RI dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Mekanisme Perumusan Suatu Peraturan dan Pemberlakuan Wajib Standar di BPOM RI (BPOM, 2010) Instansi teknis (misal BPOM RI, Kemenkes, Kementan, KKP, Kemenperin, Kemenhut) dapat memberlakukan wajib SNI yang terkait dengan kesehatan masyarakat, keamanan, keselamatan atau pelestarian lingkungan hidup dan/atau pertimbangan ekonomi. Intansi teknis dapat memberlakukan wajib keseluruhan atau sebagian dan/atau sebagian parameter di dalam suatu SNI. Jika instansi teknis, misalnya BPOM RI ingin memberlakukan wajib SNI, maka perlu mengajukan usulan kepada BSN terlebih dahulu. Usulan tersebut diberikan setahun sebelum rencana penetapan regulasi teknis yang akan

5 39 memberlakukan wajib SNI. BSN memasukkan usulan pemberlakuan regulasi teknis di dalam Program Nasional Regulasi Teknis. Kemudian perumusan regulasi teknis dilakukan oleh instansi teknis dengan memperhatikan berbagai faktor agar regulasi tersebut efektif dijalankan dan tidak memberikan hambatan yang berarti bagi perkembangan dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi nasional. Draf regulasi teknis yang akan diberlakukan terlebih dahulu dilakukan notifikasi kepada World Trade Organization (WTO) untuk mendapatkan tanggapan dari anggota WTO. Notifikasi dilakukan melalui BSN. Jika draf regulasi teknis tersebut dianggap tidak memberatkan bagi negara anggota WTO, instansi teknis dapat menetapkan regulasi teknis tersebut. Regulasi teknis kemudian dapat diimplementasi dengan mempertimbangkan waktu bagi pelaku usaha untuk menyesuaikannya. Waktu implementasi regulasi tersebut minimal 6 bulan setelah ditetapkan. Setelah diimplementasikan, instansi teknis melakukan pengawasan pra pasar, pasar, dan didukung dengan pengawasan oleh masyarakat. Misalkan untuk BPOM RI, melakukan pengawasan pra pasar pada saat registrasi produk dari pelaku usaha. Pengawasan pasar dilakukan melalui surveilan. Pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh lembaga konsumen. Gambar 7. Skema Framework Regulasi Teknis (BSN, 2011b)

6 40 Setelah beberapa waktu pemberlakuan berjalan, regulasi teknis perlu dievaluasi dan dikaji ulang mengenai efektifitas pelaksanaannya. Evaluasi dan kaji ulang minimal dilakukan setelah 5 tahun regulasi teknis berjalan. Jika ada hal yang perlu diperbaiki, maka instansi teknis dapat menyusun kembali draf regulasi teknis yang baru atau perbaikan regulasi teknis yang lama agar dapat diimplementasi secara efektif. Tata cara pemberlakuan SNI secara wajib Proses Pelaksana Waktu Rencana SNI yg akan diberlakukan secara wajib tahun X+1 Kompilasi rencana SNI yg akan diberlakukan secara wajib tahun X+1 Publikasi rencana SNI yg akan diberlakukan secara wajib tahun X+1 Instansi Teknis BSN c.q. Pusat yang terkait dengan penerapan standar BSN Selambatnya bulan April tahun X Minggu kedua bulan Mei tahun X Rapat musyawarah penyelesaian duplikasi wewenang Pejabat Es. I dari instansi terkait Masukan terkait duplikasi kewenangan Masukan thd rencana SNI yg akan diberlakukan secara wajib tahun X+1 Pihak yang berkepentingan 14 hari setelah publikasi Masukan tdk terkait duplikasi kewenangan Tidak ada masukan Program Nasional Regulasi Teknis tahun X+1 BSN Penyampaian Program Nasional Regulasi Teknis tahun X+1 kpd Instansi Teknis BSN Publikasi Program Nasional Regulasi Teknis tahun X+1 BSN Perumusan Rencana Regulasi Teknis dan persiapan infrastruktur pendukungnya Instansi Teknis Tergantung kesiapan Instansi Teknis Ada tanggapan Pembahasan thd tanggapan Negara anggota WTO Notifikasi Rancangan Regulasi Teknis ke WTO Tidak ada tanggapan Notification body Peling singkat 60 hari setelah disampaikan kepada sekretariat WTO Penetapan Regulasi Teknis Instansi Teknis Pemberlakuan Regulasi Instansi Teknis Paling singkat 6 bulan setelah ditetapkan Gambar 8. Tata Cara Pemberlakuan SNI Secara Wajib (BSN, 2011b)

7 41 Berdasarkan keputusan kepala Badan Standardisasi Nasional dalam Peraturan Kepala BSN Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pedoman Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Secara Wajib, setiap intansi teknis seperti BPOM yang akan memberlakukan standar secara wajib harus mengikuti prosedur seperti Gambar 7 dan Gambar 8. Beberapa contoh standar yang diberlakukan wajib di bidang pangan dan pertanian oleh instansi teknis dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7. Di sektor industri makanan dan minuman terdapat 440 SNI, dan 428 SNI di antaranya memiliki relevansi dengan CAFTA (China-ASEAN Free Trade Agreement) sementara 12 SNI lainnya tidak terkorelasi (BSN, 2010). Dari 428 SNI makanan dan minuman tersebut, 9 SNI di antaranya telah ditetapkan sebagai SNI wajib melalui regulasi pemerintah, dengan perincian pada Tabel 6. Tabel 6. Regulasi Teknis Pemberlakuan Wajib SNI Bidang Pangan (BSN, 2010) No SNI Regulasi Pemerintah 1 SNI , Tepung Terigu Peraturan Menteri Perindustrian No. 49/M-IND/PER/7/ SNI , Kakao Bubuk Peraturan Menteri Perindustrian No. 45/M-IND/PER/5/2009 diubah menjadi No. 157/M-IND/PER/11/ SNI , Air Minum dalam Kemasan Peraturan Menteri Perindustrian No. 69/M-IND/PER/7/ SNI , Garam Konsumsi Beryodium Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 29/M/SK/2/ SNI , Gula Kristal Rafinasi Peraturan Menteri Perindustrian No. 27/M-IND/PER/2/ SNI , Gula Keputusan Bersama No. 03/Kpts/ Kristal Mentah (raw sugar) 7 SNI , Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan - Persyaratan Penggunaan dalam Produk Pangan 8 SNI , Bahan Tambahan Makanan 9 SNI , Kodeks Makanan Indonesia KB.410/1/2003 Surat Keputusan Kepala BPOM No Peraturan Menteri Kesehatan No.722/ Menkes/PER/XI/88 Surat Keputusan Kepala BPOM No.HK dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 43/MENKES/SK/II/1979

8 42 Di sektor industri pertanian dan produk pertanian terdapat 121 SNI, dan 117 SNI di antaranya memiliki relevansi dengan CAFTA sementara 4 SNI lainnya tidak terkorelasi (BSN, 2010). Dari 121 SNI pertanian dan produk pertanian tersebut, 81 SNI di antaranya telah ditetapkan sebagai SNI wajib melalui 21 regulasi pemerintah seperti pada Tabel 7. Tabel 7. Regulasi Teknis Pemberlakuan Wajib SNI Bidang Pertanian (BSN, 2010) No Nomor Regulasi Tentang 1 UU No. 12 Tahun 1992 Sistem budidaya tanaman 2 UU No. 16 Tahun 1992 Karantina hewan, ikan dan tumbuhan 3 UU No. 18 Tahun 2004 Perkebunan 4 UU No. 18 Tahun 2009 Peternakan dan kesehatan hewan 5 UU No. 22 Tahun 1983 Kesehatan masyarakat veteriner 6 UU No. 82 Tahun 2000 Karantina hewan 7 UU No. 14 Tahun 2002 Karantina tumbuhan 8 Keputusan Bersama No. 881/MENKES/ SKB/VIII/1996 dan Nomor 711/Kpts/ TP.270/8/1996 Batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian 9 Peraturan Menteri No. 58/Permentan/ OT.140/8/ Keputusan Menteri No. 469/Kpts/ HK.310/8/ Keputusan Menteri No. 380/Kpts/ OT.130/ 10/ Keputusan Menteri No. 381/ Kpts/OT.140/ 10/ Keputusan Menteri No. 37/ Kpts/HK.060/ 1/ Peraturan Menteri No. 18/ Permentan/ OT.140/2/2008 Pelaksanaan sistem standardisasi nasional di bidang pertanian Tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran media pembawa organisme pengganggu tumbuhan karantina Penunjukan direktorat jenderal pengolahan dan pemasaran hasil pertanian sebagai otoritas kompeten (competent authority) pangan organik Pedoman sertifikasi kontrol veteriner unit usaha pangan asal hewan Persyaratan teknis dan tindakan karantina tumbuhan untuk pemasukan buah-buahan dan sayuran buah segar ke dalam wilayah negara RI Persyaratan dan tindakan karantina tumbuhan untuk pemasukan hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar Organisasi dan tata kerja unit pelaksana 15 Peraturan Menteri No. 22/ Permentan/ OT.140/4/2008 teknis karantina pertanian 16 Peraturan Menteri No. Persyaratan dan penerapan cara pengolahan 35/Permentan/ hasil pertanian asal tumbuhan yang baik OT.140/7/2008 (good manufacturing practices) 17 Peraturan Menteri No. 51/ Syarat dan tata cara pendaftaran pangan

9 43 No Nomor Regulasi Tentang Permentan/ OT.140/ segar asal tumbuhan 10/ Peraturan Menteri No. 27/ Permentan/ PP.340/5/2009 Pengawasan keamanan pangan terhadap pemasukan dan pengeluaran pangan segar 19 Peraturan Menteri No. 38/Permentan/ PP.340/8/ Peraturan Menteri No. 20/Permentan/ OT.140/4/ Peraturan Menteri No. 09/Permentan/ OT.140/2/2009 asal tumbuhan Perubahan peraturan menteri pertanian nomor: 27/ Permentan/PP.340/5/2009 tentang pengawasan keamanan pangan terhadap pemasukan dan pengeluaran pangan segar asal tumbuhan Pemasukan dan pengawasan peredaran karkas, daging, dan/atau jeroan dari luar negeri Persyaratan dan tatacara tindakan karantina tumbuhan terhadap pemasukan media pembawa organisme pengganggu tumbuhan karantina ke dalam wilayah negara RI Perumusan Standar oleh CAC Peran Codex Alimentarius Commission (CAC) penting terutama setelah penandatanganan tentang perdagangan dan pengukuran sanitary pada General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) (Rees & Watson, 2000). Pada tahun 1994 Indonesia telah meratifikasi persetujuan pembentukan World Trade Organization (WTO) dan menjadi salah satu negara anggotanya. Untuk itu, produk Indonesia yang akan diekspor ke luar negeri, terutama ke negara anggota WTO, harus memenuhi standar Internasional. Standar internasional yang menjadi acuan adalah standar Codex dari CAC. Jika terjadi perselisihan perdagangan antar negara anggota WTO, maka standar yang menjadi acuan adalah standar Codex. Untuk itu, pengetahuan dan keterlibatan Indonesia di dalam perumusan standar Codex juga sangat diperlukan. Di dalam penelitian ini akan dibahas mengenai mekanisme penyusunan standar internasional yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC). Prinsip-prinsip perumusan standar oleh CAC tersebut akan menjadi acuan dalam membandingkan dengan perumusan dan pemberlakuan wajib standar oleh otoritas di Indonesia (BSN dan BPOM). Mekanisme perumusan standar di Codex Alimentarius Commission (CAC) adalah sebagai berikut (CAC, 2010):

10 44 1. CAC memutuskan untuk menyusun suatu standar dan memberikan tugas kepada suatu komite untuk membahas. Keputusan untuk menyusun suatu standar dapat berasal dari codex committee 2. Sekretariat melakukan persiapan untuk menyusun suatu usulan rancangan standar menggunakan bahan dari codex committee 3. Usulan rancangan standar dikirim ke pemerintah negara serta organisasi internasional untuk mendapatkan komentar seperlunya 4. Sekretariat menyampaikan usul-usul yang diterima kepada codex committee 5. Usulan rancangan standar disampaikan ke CAC, melalui sekretariat untuk disetujui sebagai rancangan standar yang resmi 6. Rancangan standar disampaikan ke berbagai pemerintah dan organisasi internasional 7. Sekretariat menyampaikan kembali ke codex committee 8. Rancangan standar disampaikan kembali ke CAC untuk diterima dan disahkan menjadi CODEX STANDARD Berdasarkan prosedur yang berlaku di CAC, beberapa bagian berperan dalam perumusan standar. Diagram perumusan standar di CAC dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Proses Perumusan Standar Codex (CAC, 2006)

11 45 Tabel 8. Analisis Gap Perumusan Standar BSN, BPOM, dan CAC Berdasarkan Teori dan Naskah Peraturan No Kategori Perumusan Standar Secara Teoritis yang Diterapkan CAC* Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar Berdasarkan Naskah Peraturan BSN** BPOM*** Rekomendasi 1 Transparan Prosedur perumusan standar dapat diakses di website: 2 Terbuka Adanya keterlibatan negara anggota, NGO internasional, pakar dari JECFA/JEMRA/JMPR Setiap delegasi negara anggota dapat mengirim delegasi yang merupakan perwakilan dari industri, organisasi konsumen, dan lembaga akademisi. 3 Konsensus dan Tidak Memihak 4 Efektif dan Relevan odukungan Ilmiah Persetujuan standar melalui konsensus Setiap tahapan draf standar harus dipastikan telah mencapai konsensus sebelum diajukan ke tahap selanjutnya Didukung oleh lembaga bersama FAO/WHO di bidang penelitian, yaitu JMPR (Joint FAO/WHO Meetings on Pesticide Residues), JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives), dan JEMRA (Joint FAO/WHO Expert Meetings on Microbiological Risk Assessment) Lembaga penelitian internasional lain dapat berperan memberikan masukan dan saran dalam penyusunan standar Prosedur perumusan standar dapat diakses di website: dan telah ditetapkan oleh kepala BSN Mengakomodir kepentingan produsen, konsumen, pakar, dan regulator; serta MASTAN (Masyarakat Standardisasi Nasional) Rapat konsensus hanya dapat dilakukan apabila rapat mencapai kuorum Dukungan ilmiah berasal dari individu/pakar perorangan, tanpa ada lembaga khusus yang diminta memberikan saran dan dukungan ilmiah dalam penyusunan standar. Prosedur perumusan peraturan (pemberlakuan standar) belum diketahui secara luas oleh pihak yang berkepentingan Adanya keterlibatan dari BPOM, perwakilan industri, konsumen, dan akademisi dalam penyusunan peraturan (standar) Belum secara eksplisit dijelaskan Dukungan ilmiah berasal dari individu/pakar perorangan dan tim mitra bestari Perumusan standar atau peraturan di BPOM perlu diketahui oleh semua pihak misalnya melalui publikasi di website - BPOM perlu merumuskan prosedur konsensus dalam penetapan standar/peraturan dan prosedur tersebut didokumentasikan dengan baik dan disahkan melalui keputusan kepala BPOM Perlu dilakukan optimalisasi peran tim atau lembaga yang khusus mengkaji kriteria dalam standar secara ilmiah, terutama sebagai pengkaji risiko

12 46 Tabel 8. Analisis Gap Perumusan Standar BSN, BPOM, dan CAC Berdasarkan Teori dan Naskah Peraturan No Kategori Perumusan Standar Secara Teoritis yang Diterapkan CAC* Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar Berdasarkan Naskah Peraturan Rekomendasi BSN** BPOM*** o Penggunaan ilmu pengetahuan dan faktorfaktor yang sah lainnya dalam penyusunan standar Standar pangan, pedoman, dan rekomendasi lain dari CAC harus didasarkan pada prinsip analisis ilmiah yang kuat 5 Koheren Mempertimbangkan peraturan yang berlaku secara regional, seperti UE (Uni Eropa) 6 Berdimensi Pengembangan Mengoptimalkan peran negara berkembang dalam perumusan standar Sedapat mungkin harmonis dengan standar internasional yang telah ada (mengadopsi satu standar internasional yang relevan) Mempertimbangkan kepentingan UMKM dan daerah dengan memberikan peluang untuk dapat berpartisipasi dalam proses perumusan SNI. Melalui Pemetaan dan Kaji Banding (Nasional, Regional, Internasional) Secara eksplisit belum dicantumkan mengenai faktor tertentu yang dijadikan sebagai dimensi pengembangan dalam pemberlakuan standar Perlu dilakukan pernyataan resmi dalam dokumen BSN dan BPOM bahwa standar yang ditetapkan berdasarkan data ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan - BPOM perlu menetapkan faktor yang menjadi dimensi pengembangan Perumusan standar/peraturan di Indonesia perlu memperhatikan kepentingan dan usulan daerah Perwakilan industri berasal dari asosiasi yang juga merepresentasikan kepentingan UMKM Keterangan: *Berdasarkan CAC (2006) dan CAC (2007) **Berdasarkan BSN (2007a) ***Berdasarkan BPOM (2010)

13 Analisis Gap Perumusan Standar Secara Teoritis dan Berdasarkan Dokumen yang Berlaku Setelah dijelaskan mengenai perumusan standar dan peraturan yang berlaku di Indonesia oleh BSN dan BPOM RI, kemudian dibandingkan dengan perumusan standar secara teoritis (ideal) yang diberlakukan oleh CAC. Perbandingan tersebut dituangkan dalam analisis gap yang dapat dilihat pada Tabel Pelaksanaan Perumusan Standar Sebagai tahap awal, pada penelitian ini dilakukan cara untuk mengetahui gambaran tentang permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan standar keamanan pangan di Indonesia yang mengakibatkan rendahnya tingkat implementasi standar. Cara yang dilakukan adalah melaksanakan focus group discussion (FGD) dan penyebaran kuesioner Focus Group Discussion Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mengetahui gambaran tentang permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan standar keamanan pangan di Indonesia. FGD yang telah dilakukan pada tanggal 6 Desember 2010 di SEAFAST Center IPB Baranangsiang, Bogor dihadiri oleh perwakilan pemerintah, industri, lembaga konsumen, dan akademisi. Tujuan FGD adalah menjaring masukan dari pihak industri dan konsumen terhadap kebijakan pangan yang telah dikeluarkan oleh BPOM RI dan masukan untuk mekanisme penyusunan peraturan dan regulasi pangan yang mampu menghasilkan standar dan peraturan dengan tingkat keberterimaan yang tinggi serta dapat melindungi konsumen dan sekaligus mendorong pertumbuhan industri pangan. Beberapa masukan dari perwakilan pemerintah (BPOM, BSN, Kementan, KKP, Kemenperin), Industri (GAPMMI, PIPIMM, ASRIM), Lembaga Konsumen (YLKI), dan akademisi (SEAFAST Center LPPM IPB) secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 9.

14 48 Tabel 9. Hasil Focus Group Discussion (FGD) tentang Kebijakan Pangan Kelompok Tanggapan terhadap Kebijakan Pangan Pengkategorian Berdasarkan Prinsip Perumusan dan Pengembangan Standar* (1) (2) (3) (4) (5) (6) Pemerintah Standar diperlukan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dan menciptakan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab Standar pangan dituntut untuk science & risk based Perumusan dan pemberlakuan standar pangan perlu cepat tanggap dan antisipasi terhadap inovasi Perumusan dan pemberlakuan standar pangan perlu kemitraan atau jejaring dengan pakar Standar pangan perlu pertimbangan antara harmonisasi peraturan dan kemampuan produsen BPOM akan melakukan upaya peningkatan dalam hal tata laksana, sumber daya manusia, sarana prasarana, dan kebutuhan data mengenai keadaan dan masalah kesehatan masyarakat serta studi paparan untuk mendukung perumusan dan pemberlakuan standar dan peraturan pangan Industri Pemberlakuan standar dan peraturan yang belum disahkan secara resmi melalui keputusan kepala BPOM Penyusunan standar dan peraturan pangan kurang melibatkan industri Kurangnya sosialisasi standar dan peraturan pangan Ada standar dan peraturan pangan yang tidak memperhatikan kondisi Indonesia Pemahaman dan koordinasi SDM BPOM terhadap standar dan peraturan pangan masih lemah Tim mitra bestari dan pakar kurang menguasai persoalan saat perumusan standar dan peraturan pangan Adanya peraturan pangan yang tidak konsisten, misal antara SNI dan peraturan BPOM RI (Tanggapan dan masukan dari Industri secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5) Tidak terkait perumusan

15 49 Tabel 9. Hasil Focus Group Discussion (FGD) tentang Kebijakan Pangan (Lanjutan) Kelompok Tanggapan terhadap Kebijakan Pangan Pengkategorian Berdasarkan Prinsip Perumusan dan Pengembangan Standar* (1) (2) (3) (4) (5) (6) Konsumen Penerapan standar pangan oleh industri masih rendah Sosialisasi standar dan peraturan pangan oleh pemerintah kurang maksimal Perlu program untuk mempermudah produsen mensertifikasi produk yang comply dengan standar pangan Penerapan sanksi bagi yang melanggar peraturan pangan masih lemah (-) Pemerintah lemah dalam pengawasan pangan (-) *Keterangan: Prinsip Perumusan dan Pengembangan Standar (1) = Transparan (2) = Terbuka (3) = Konsensus dan Tidak Memihak (4) = Efektif dan Relevan (5) = Koheren (6) = Berdimensi Pengembangan Tidak terkait perumusan Tidak terkait perumusan Akademisi Adanya standar dan peraturan pangan yang terlalu longgar Adanya standar dan peraturan pangan yang terlalu ketat Standar dan peraturan pangan belum menerapkan prinsip analisis risiko Perumusan dan penetapan standar dan peraturan pangan perlu menerapkan prinsip RIA Total Jumlah Persentase terhadap Total (%) 12,5 8,3 4,2 50,0 12,5 12,5 100,0

16 50 Hasil Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan pada tanggal 6 Desember 2010 memperlihatkan bahwa permasalahan utama yang menjadi kendala dalam kebijakan pangan adalah pada saat perumusan peraturan dan standar. Masalah perumusan peraturan dan standar menjadi penyebab munculnya masalah-masalah lain, seperti rendahnya penerapan oleh pelaku usaha, sulitnya pengawasan dikarenakan keterbatasan infrastruktur (laboratorium uji), dan rendahnya tingkat sosialisasi yang hanya mengandalkan satu institusi (pemerintah). Jika dilihat berdasarkan prinsip perumusan dan pengembangan standar, hasil FGD dari keempat kelompok (pemerintah, industri, konsumen, dan akademisi) menunjukkan bahwa penerapan prinsip efektif dan relevan masih rendah. Perumusan kebijakan pangan yang menjadi masalah utama adalah mengenai standar yang diberlakukan wajib dan ditetapkan oleh BPOM RI. Banyak standar pangan SNI yang diberlakukan wajib dan peraturan yang dituangkan dalam surat keputusan (SK) kepala BPOM RI menjadi bermasalah dalam penerapannya oleh industri. Jika dilihat berdasarkan kategori prinsip dan pengembangan standar pada Tabel 9, terlihat bahwa penerapan prinsip yang paling bermasalah adalah prinsip efektif dan relevan (50%). Hal ini perlu menjadi perhatian utama dalam memperbaiki perumusan dan pengembangan standar dan peraturan pangan, agar standar dan peraturan yang dihasilkan dapat diterapkan oleh pelaku usaha secara efektif Survei Berdasarkan informasi dari hasil Focus Group Discussion (FGD), diperoleh kesimpulan bahwa permasalahan utama yang menjadi kendala kebijakan pangan adalah mengenai pengembangan standar keamanan pangan, khususnya terkait dengan perumusan standar dan peraturan. Untuk itu, perlu dilakukan penggalian informasi yang lebih mendalam mengenai permasalahan perumusan dan pengembangan standar dan peraturan tersebut. Penggalian informasi tersebut

17 51 dilakukan melalui survei. Pada survei yang dilakukan, kata Standar termasuk (standar) SNI dan peraturan keamanan pangan. Survei dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada 4 kelompok besar responden, yaitu pemerintah, industri, akademisi, dan lembaga konsumen. Masing-masing responden diberikan pertanyaan yang sama mengenai penerapan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar keamanan pangan di Indonesia, yaitu prinsip transparan, terbuka, konsensus dan tidak memihak, efektif dan relevan, koheren, dan prinsip berdimensi pengembangan. Penilaian umum masing-masing kelompok responden terhadap penerapan prinsip perumusan dan pengembangan standar keamanan pangan dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10. Penilaian Umum Kelompok Responden terhadap Penerapan Prinsip- Prinsip Perumusan dan Pengembangan Standar Pada Gambar 10 terlihat bahwa nilai rata-rata penilaian seluruh responden untuk setiap prinsip perumusan dan pengembangan standar berada pada nilai sekitar 0,5 dari nilai minimal 0 (kurang) dan maksimal 1 (sangat baik). Artinya, rata-rata seluruh responden memberikan penilaian antara baik dan cukup untuk penerapan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar (transparan, terbuka, konsensus dan tidak memihak, efektif dan relevan, koheren, dan berdimensi pengembangan). Hal ini menunjukkan bahwa penerapan dari prinsipprinsip perumusan dan pengembangan tersebut belum sepenuhnya dinilai baik

18 52 oleh rata-rata responden, karena posisi penilaiannya masih berada di tengahtengah skala. Gambar 10 juga memperlihatkan bahwa beberapa kelompok responden memberikan penilaian yang berbeda terhadap penerapan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar keamanan pangan di Indonesia. Pada umumnya kelompok responden pemerintah memberikan penilaian yang baik terhadap penerapan seluruh prinsip perumusan dan pengembangan standar keamanan pangan (transparan, terbuka, konsensus dan tidak memihak, efektif dan relevan, koheren, serta berdimensi pengembangan). Nilai yang berbeda dengan pemerintah terlihat pada penilaian dari responden industri dan lembaga konsumen. Responden dari kelompok industri dan lembaga konsumen masing-masing memberikan penilaian yang hampir separuh lebih rendah dibandingkan dengan penilaian dari responden Pemerintah. Data-data di atas memberikan gambaran bahwa persepsi responden terhadap penerapan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar saat ini berbeda antar kelompok responden. Pemerintah memberikan penilaian yang relatif baik terhadap penerapan prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar. Akan tetapi kelompok industri dan konsumen menilai penerapan prinsip-prinsip tersebut belum diterapkan secara optimal yang terlihat dari penilaiannya yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pihak pemerintah sudah merasa benar dan sesuai dalam menyusun dan mengembangkan standar pangan di Indonesia, sedangkan pihak industri dan konsumen merasa prinsip-prinsip perumusan dan pengembangan standar belum dilaksanakan dengan baik. Jika dilihat perbedaan penilaian antara kelompok responden pemerintah dan industri, penilaian terhadap prinsip Transparan dan Efektif dan Relevan memiliki perbedaan yang paling besar. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa penerapan dari prinsip Transparan dan Efektif dan Relevan belum dijalankan dengan baik saat perumusan dan pengembangan standar terutama bagi kelompok industri.

19 53 A. Prinsip Transparan Codex Alimentarius Commission memberikan rekomendasi bahwa kajian risiko harus dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan oleh semua pihak termasuk pemerintah, industri dan konsumen. Keseragaman kajian harus dilakukan dengan proses yang terbuka dan kemudahan untuk diakses oleh pemerintah dan semua organisasi yang berkepentingan dan tahapannya harus diketahui oleh masyarakat umum (Randel, 2000). Gambar 11. Pengetahuan Responden tentang Tahapan Proses Pembuatan Standar Gambar 11 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden mengetahui tahapan proses pembuatan standar. Beberapa responden (18,33% dari 60 responden) belum mengetahui tahapan proses pembuatan standar, termasuk beberapa lembaga pemerintah, industri, dan konsumen. Jika dilihat masingmasing kelompok responden, maka 13,04% pemerintah, 8,33% industri, 0% akademisi, dan 37,5% lembaga konsumen menyatakan belum mengetahui proses pembuatan standar. Kelompok responden pemerintah dan lembaga konsumen yang menyatakan belum mengetahui proses pembuatan standar adalah responden dari daerah (Tabel 10). Responden pemerintah dan lembaga konsumen yang menyatakan tidak mengetahui proses pembuatan standar 100% dari instansi daerah. Hal ini dapat menjadi perhatian untuk lebih meningkatkan sosialisasi mengenai proses perumusan standar keamanan pangan di Indonesia kepada semua stakeholder, termasuk instansi yang berada di daerah.

20 54 Tabel 10. Pengetahuan Responden Pemerintah dan Lembaga Konsumen Daerah tentang Tahapan Proses Pembuatan Standar Pertanyaan: Apakah Anda mengetahui proses pembuatan standar? Responden Pemerintah Ya Jawaban Tidak Total % Jawaban "Tidak" terhadap Total Daerah ,27 Keseluruhan ,04 % Daerah terhadap Keseluruhan 40,00 100,00 47,83 - Responden Lembaga Konsumen Daerah ,00 Keseluruhan ,50 % Daerah terhadap Keseluruhan 0,00 100,00 37,50 - Meskipun sebagian besar responden (81,67% dari 60 responden) menyatakan bahwa mereka mengetahui tahapan proses pembuatan standar, tetapi masih banyak responden yang menyatakan sulit untuk mendapatkan informasi prosedur perumusan standar tersebut. Tingkat kemudahan responden memperoleh informasi mengenai prosedur perumusan standar dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Tingkat Kemudahan Responden Memperoleh Informasi Prosedur Perumusan Standar Pertanyaan: Seberapa mudah Anda mendapatkan informasi prosedur penyusunan suatu standar? Kelompok Responden Pemerintah Industri Akademisi Lembaga Konsumen Total Jawaban Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1= Sangat mudah 5 21, , ,75 2= Mudah 14 60, , , ,54 3= Sulit 4 17, , , , ,42 4= Sangat sulit , ,5 2 3,279 Total Tabel 11 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (47,54% dari 61 responden) menyatakan bahwa untuk mendapatkan informasi prosedur perumusan suatu standar mudah. Akan tetapi dengan jumlah yang cukup besar juga (34,43% dari 61 responden) responden menyatakan bahwa untuk mendapatkan informasi tersebut sulit. Sebagian besar yang menyatakan bahwa untuk memperoleh informasi prosedur perumusan standar masih sulit adalah dari responden kelompok industri. Bahkan jumlah responden industri yang menyatakan bahwa

21 55 memperoleh informasi prosedur penyusunan standar masih sulit (56,52% dari 23 responden) lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan yang menyatakan mudah (39,13% dari 23 responden). Berbeda dengan kelompok responden industri, kelompok responden pemerintah yang menyatakan sangat mudah dan mudah memperoleh informasi prosedur penyusunan standar jumlahnya lebih besar (21,74% dan 60,87% dari 23 responden) dibandingkan dengan responden yang menyakatan sulit dan sangat sulit (17,39% dan 0% dari 23 responden). Kondisi tersebut dapat dijadikan indikator bahwa penyampaian informasi mengenai prosedur pembuatan standar belum berjalan secara optimal, khususnya kepada industri. Padahal informasi mengenai prosedur penyusunan standar sangat berguna bagi pelaku usaha (industri) yang akan menerapkan standar. Jika informasi prosedur penyusunan ini diketahui oleh semua pihak yang berkepentingan, terutama pelaku usaha, diharapkan keterlibatan mereka di dalam penyusunan standar menjadi besar. Keterlibatan yang besar dari pelaku usaha dalam penyusunan dan konsensus standar diharapkan dapat meningkatkan keberterimaan dan penerapan standar yang dihasilkan. Dari responden yang menyatakan bahwa mereka mengetahui tahapan proses pembuatan standar perlu diketahui juga cara dan media yang dimanfaatkan untuk memperoleh informasi tersebut. Gambar 12 memperlihatkan sumber informasi yang digunakan oleh responden untuk memperoleh inforasi mengenai prosedur penyusunan standar. Gambar 12 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (40,91% dari 66 jawaban responden) menjawab bahwa sumber informasi perumusan standar diperoleh dari website/internet. Hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk meningkatkan keterbukaan informasi perumusan standar akan lebih efektif jika dilakukan melalui website/internet.

22 56 Gambar 12. Sumber Informasi Perumusan Standar Urutan kedua responden menjawab bahwa informasi prosedur penyusunan standar diperoleh dari instansi tempat responden bekerja, dengan jumlah 30,30% dari 66 jawaban responden. Sebagian besar yang menjawab hal tersebut adalah responden kelompok pemerintah. Hal ini dapat dipahami karena pemerintah merupakan lembaga yang berwenang dalam mengkoordinasi perumusan standar dan sebagai regulator yang memberlakukan standar. Sebagian responden yang lain menjawab informasi prosedur penyusunan standar diperoleh melalui surat dari intansi terkait dan perorangan dengan masing-masing jumlah 21,21% dan 1,51% dari total 66 jawaban responden. B. Prinsip Terbuka Terbuka adalah salah satu prinsip yang harus dipenuhi di dalam perumusan dan pengembangan suatu standar. Terbuka dapat diartikan bahwa di dalam menyusun dan menetapkan suatu standar keamanan pangan, semua stakeholder harus dilibatkan. Pihak pemerintah, industri, akademisi, dan konsumen harus terlibat di dalam perumusan dan penetapan standar keamanan pangan. Semua stakeholder diberi kesempatan yang sama dalam menyampaikan aspirasi dan suara dalam pengambilan keputusan saat penetapan suatu standar.

23 57 Gambar 13. Keterlibatan Responden sebagai Panitia Teknis Perumusan Standar Gambar 13 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden yang berpartisipasi dalam survei ini pernah dilibatkan sebagai panitia teknis penyusunan suatu standar (60% dari 60 responden), meskipun masih banyak responden yang merasa belum dilibatkan sebagai panitia teknis perumusan standar (40% dari 60 responden). Hal ini dapat dijadikan dasar untuk mengetahui lebih jauh mengenai pelaksanaan perumusan dan penetapan standar di tingkat panitia teknis berdasarkan informasi dari responden yang berpartisipasi dalam survei ini. Gambar 14. Partisipasi Responden dalam Memberikan Masukan terkait Pembuatan Suatu Standar Pangan

24 58 Gambar 14 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (81,36% dari 59 responden) pernah dimintai/memberikan masukan terkait dengan pembuatan suatu standar. Dalam jumlah yang lebih kecil (18,64% dari 59 responden) menyatakan bahwa mereka tidak pernah dimintai masukan terkait dengan pembuatan suatu standar. Jika dilihat per kelompok responden, 23,81% pemerintah, 17,39% industri, 0% akademisi, 25% lembaga konsumen menyatakan tidak pernah dimintai masukan terkait pembuatan suatu standar. Sebagian besar kelompok responden pemerintah dan lembaga konsumen yang menyatakan tidak pernah dimintai masukan terkait pembuatan standar berasal dari daerah (Tabel 12). Responden pemerintah dan lembaga konsumen yang menyatakan tidak pernah dimintai masukan terkait pembuatan standar masing-masing sebesar 80% dan 100% berasal dari instansi di daerah Tabel 12. Partisipasi Responden Pemerintah dan Lembaga Konsumen Daerah dalam Memberikan Masukan terkait Pembuatan Standar Pangan Pertanyaan: Apakah Anda/instansi Anda pernah dimintai masukan terkait pembuatan suatu standar pangan yang terkait bidang Anda? Ya Jawaban Tidak Total % Jawaban "Tidak" terhadap Total Responden Pemerintah Daerah ,44 Keseluruhan ,81 % Daerah terhadap Keseluruhan 31,25 80,00 42,86 - Responden Lembaga Konsumen Daerah ,67 Keseluruhan ,00 % Daerah terhadap Keseluruhan 16,67 100,00 37,50 - Gambar 15 memperlihatkan jumlah responden yang pernah dan tidak pernah mengusulkan pembuatan standar pangan jumlahnya hampir berimbang. Setiap kelompok responden ada yang pernah mengusulkan pembuatan standar pangan. Akan tetapi jumlah responden yang pernah mengusulkan pembuatan suatu standar pangan jumlahnya lebih kecil (45,61% dari 57 responden) dibandingkan dengan jumlah responden yang tidak pernah mengusulkan pembuatan suatu standar pangan (54,39% dari 57 responden). Sebagian besar kelompok responden industri (65,22% dari 23 responden) menyatakan tidak pernah mengusulkan pembuatan suatu standar pangan.

25 59 Gambar 15. Peran Responden dalam Mengusulkan Pembuatan Standar Pangan Tingkat partisipasi dari semua stakeholder di dalam mengusulkan pembuatan suatu standar pangan sangat penting, terlebih untuk para pelaku usaha (industri) di bidang pangan yang nantinya akan menerapkan standar tersebut. Jika melihat Gambar 15 terlihat bahwa kelompok responden industri sebagian besar tidak pernah mengusulkan pembuatan suatu standar. Hal ini akan menjadi salah satu indikator penyebab rendahnya tingkat penerapan suatu standar. Kondisi tersebut dikhawatirkan membuat para pelaku usaha merasa bahwa standar yang dibuat adalah tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Tabel 13. Peran Responden Pemerintah dan Lembaga Konsumen Daerah dalam Mengusulkan Pembuatan Standar Pangan Pertanyaan: Apakah Anda/instansi Anda pernah mengusulkan pembuatan suatu standar pangan? Jawaban Ya Tidak Total % Jawaban "Tidak" terhadap Total Responden Pemerintah Daerah ,44 Keseluruhan ,84 % Daerah terhadap Keseluruhan 41,67 57,14 47,37 - Responden Lembaga Konsumen Daerah ,00 Keseluruhan ,50 % Daerah terhadap Keseluruhan 0,00 60,00 37,50 - Selain itu, kelompok responden pemerintah juga masih banyak yang tidak pernah mengusulkan pembuatan suatu standar. Kelompok responden pemerintah

26 60 ini pada umumnya berada di daerah yaitu sebesar 57,14% (Tabel 13). Hal ini menjadi tantangan dalam pengembangan standar keamanan pangan di Indonesia. Keterlibatan dan usulan dari daerah sangat diperlukan dalam mempertimbangkan suatu standar, sehingga dapat diaplikasikan dengan mudah oleh semua pihak termasuk bagi instansi pemerintah yang ada di daerah. C. Prinsip Konsensus dan Tidak Memihak Prinsip konsensus dan tidak memihak dapat diartikan bahwa standar yang ditetapkan merupakan hasil kesepakatan di antara semua stakeholder dan mempertimbangkan asas keadilan dalam penetapannya. Gambar 16 dan Tabel 14 menunjukkan pendapat responden dari kelompok pemerintah, industri, akademisi, dan lembaga konsumen tentang pelaksanaan prinsip konsensus dan tidak memihak di dalam penetapan suatu standar pangan. Gambar 16. Keterlibatan Responden dalam Pengambilan Keputusan Saat Penetapan Standar Gambar 16 memperlihatkan bahwa dengan jumlah yang hampir sama responden yang menyatakan bahwa mereka pernah dan tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan dalam penetapan suatu standar pangan dengan jumlah masing-masing 56,67% dan 43,33% dari 60 total responden. Responden kelompok pemerintah (sebagian besar berada di daerah, Tabel 14) yang merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan tersebut juga jumlahnya masih

27 61 relatif besar. Responden pemerintah dan lembaga konsumen yang merasa belum dilibatkan dalam pengambilan keputusan suatu standar pangan masing-masing sebesar 81,82% dan 100% dari instansi di daerah. Ke depan efektifitas peran semua stakeholder dalam pengambilan keputusan dalam penetapan suatu standar sangat diperlukan untuk menghasilkan standar yang baik dan dapat diterapkan dengan efektif. Tabel 14. Keterlibatan Responden Pemerintah dan Lembaga Konsumen Daerah dalam Pengambilan Keputusan Saat Penetapan Standar Pertanyaan: Apakah Anda/instansi Anda pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan suatu standar pangan? Jawaban Ya Tidak Total % Jawaban "Tidak" terhadap Total Responden Pemerintah Daerah ,00 Keseluruhan ,00 % Daerah terhadap Keseluruhan 9,09 81,82 45,45 - Responden Lembaga Konsumen Daerah ,00 Keseluruhan ,50 % Daerah terhadap Keseluruhan 0,00 100,00 37,50 - Jumlah responden yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan suatu standar dan jumlah responden yang terlibat sebagai panitia teknis perumusan standar hampir sama. Total responden yang menyatakan pernah terlibat dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar sebanyak 56,67% dari 60 responden (Gambar 16), sedangkan total responden yang menyatakan pernah terlibat sebagai panitia teknis perumusan standar sebesar 60% dari 60 responden (Gambar 13). Hal ini menunjukkan konsistensi dari data yang diperoleh, yaitu responden yang tidak terlibat sebagai panitia teknis juga tidak akan terlibat dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar. Sekitar 60% responden dari total 60 responden yang menyatakan pernah terlibat dalam pengambilan keputusan saat penetapan suatu standar pangan, kemudian diberikan pertanyaan lanjutan. Pertanyaan tersebut terkait dengan pelaksanaan proses pengambilan keputusan. Tabel 15 menunjukkan pendapat responden terhadap pelaksanaan pengambilan keputusan saat penetapan suatu standar.

28 62 Tabel 15. Pendapat Responden terhadap Pelaksanaan Pengambilan Keputusan Saat Penetapan Standar Pertanyaan 1 : Apakah aspirasi Anda diterima/diakomodasi dalam pengambilan keputusan? Kelompok Responden Pemerintah Industri Akademisi Lembaga Konsumen Total Jawaban Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1= Ya , , ,67 2= Sebagian , ,55 3= Tidak ,67 1 2,78 Total Pertanyaan 2 : Seberapa besar pengaruh Anda/Instansi Anda dalam pengambilan keputusan? Kelompok Responden Pemerintah Industri Akademisi Lembaga Konsumen Total Jawaban Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1= Sangat besar 5 41, , ,44 2= Besar 4 33,33 1 7, , ,22 3= Cukup besar 2 16, , , ,90 4= Kecil 1 8, , , ,44 Total Pertanyaan 3 : Menurut Anda bagaimana proporsi setiap instansi dalam pengambilan keputusan? Kelompok Responden Pemerintah Industri Akademisi Lembaga Konsumen Total Jawaban Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1= Berimbang 10 90, , ,76 2= Tidak berimbang 1 9, , ,24 Total Tabel 15 pada Pertanyaan 1 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (55,56% dari 36 responden) menyatakan bahwa hanya sebagian aspirasi mereka diterima atau diakomodasi dalam pengambilan keputusan saat penetapan suatu standar. Responden yang menyatakan hal tersebut sebagian besar dari kelompok industri (92,31% dari 13 responden kelompok industri). Hal ini berbeda dengan kelompok pemerintah yang menyatakan bahwa aspirasi mereka diterima (sepenuhnya) di dalam pengambilan keputusan dalam penetapan suatu standar (75% dari 12 responden kelompok pemerintah). Perbedaan persepsi ini akan menjadi penghambat dalam penerapan standar. Kelompok industri menganggap bahwa standar yang dibuat adalah bukan hasil kesepakatan yang adil dikarenakan tidak semua aspirasinya diterima di dalam pengambilan keputusan

29 63 dalam penetapan standar tersebut. Untuk itu, mekanisme dan pelaksanaan dalam pengambilan keputusan perlu diperbaiki agar semua stakeholder yang terlibat tidak ada yang merasa tidak atau kurang diperhatikan dalam menyampaikan aspirasinya. Tabel 15 pada Pertanyaan 2 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (38,89% dari 36 responden) menyatakan bahwa pengaruh mereka di dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar cukup besar. Responden yang menyatakan bahwa pengaruhnya kecil dan cukup besar dalam pengambilan keputusan penetapan standar sebagian besar dari responden kelompok industri (30,77% dan 61,54% dari 13 responden kelompok industri). Sebagian besar responden kelompok pemerintah menyatakan bahwa pengaruhnya sangat besar dan besar di dalam pengambilan keputusan saat penetapan suatu standar (41,67% dan 33,33% dari 12 responden kelompok pemerintah). Perbedaan penilaian tersebut juga dapat memperlihatkan persepsi ketidakadilan di dalam pengambilan keputusan saat penetapan suatu standar, terutama bagi kalangan industri/pelaku usaha. Tabel 15 pada Pertanyaan 3 memperlihatkan pendapat responden terhadap proporsi setiap instansi dalam pengambilan keputusan saat penetapan standar. Meskipun secara total sebagian besar responden (61,76% dari 34 responden) menyatakan bahwa proporsi setiap instansi sudah seimbang, tetapi jika dilihat per kelompok responden akan terlihat penilaian yang berbeda. Sebagian besar kelompok responden industri menyatakan bahwa saat ini proporsi setiap instansi dalam pengambilan keputusan penetapan suatu standar tidak berimbang. Dari total 13 responden kelompok industri, 53,85% menyatakan tidak berimbang, sedangkan 46,15% yang menyatakan berimbang. Hal sebaliknya dinyatakan oleh responden kelompok pemerintah yang hampir seluruhnya menyatakan bahwa proporsi pengambilan keputusan sudah berimbang. Dari total 11 responden, 90,91% kelompok responden pemerintah menyatakan berimbang, sedangkan hanya 9,09% yang menyatakan tidak berimbang. Hal tersebut menunjukkan perbedaan persepsi lagi antara responden kelompok pemerintah dan kelompok industri.

30 64 D. Prinsip Efektif dan Relevan Prinsip efektif dan relevan dapat diartikan bahwa standar yang dibuat harus dapat digunakan dan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan para pelaku usaha. Kesiapan pelaku usaha di dalam menerapkan standar yang dibuat harus diperhatikan agar standar dapat digunakan secara efektif. Gambar 17. Pengetahuan Responden terhadap SNI produknya Gambar 17 memperlihatkan bahwa hampir semua responden (92,73% dari 55 responden) mengetahui standar SNI untuk produk yang dihasilkannya. Sebanyak 100% dari 23 responden kelompok industri mengetahui SNI produknya. Hal ini menjadi indikator awal kemungkinan semua responden, terutama pelaku usaha (industri) untuk menerapkan standar pangan yang telah ditetapkan. Akan tetapi, pengetahuan responden (industri) akan SNI produknya belum tentu akan berimplikasi pada penerapan SNI tersebut pada produk yang dihasilkan responden (industri). Tingkat penerapan standar oleh responden (industri) dapat dilihat pada Gambar 18, Gambar 19, dan Gambar 20.

31 65 Gambar 18. Pendapat Responden Mengenai Penerapan Standar Gambar 18 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (65,38% dari 52 responden), termasuk pelaku usaha (industri) telah menerapkan standar yang dikeluarkan oleh BSN/BPOM. Akan tetapi jika dilihat per kelompok responden, terlihat masih banyak pelaku industri (30,43% dari 23 responden) menyatakan hanya sebagian standar yang dikeluarkan/ditetapkan BPOM dan BSN diterapkan di instansinya. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan standar yang dikeluarkan BPOM dan BSN belum sepenuhnya efektif diterapkan oleh pelaku usaha. Kondisi rendahnya penerapan standar pangan terutama yang telah dikeluarkan oleh BSN dapat dilihat kajian BSN (2009). Gambar 19. Pendapat Responden Mengenai Manfaat Penerapan Standar

32 66 Gambar 19 memperlihatkan bahwa hampir semua responden (90,38% dari 52 responden) menyatakan bahwa penerapan standar memberikan manfaat bagi diri atau instansinya. Hanya sebagian kecil (9,62% dari 52 responden) terutama dari responden kelompok industri dan akademisi yang menyatakan bahwa penerapan standar memberikan manfaat sebagian (tidak sepenuhnya). Sebanyak 17,39% dari 23 responden kelompok industri menyatakan bahwa penerapan standar hanya sebagian memberikan manfaat. Gambar 20. Pendapat Responden Mengenai Hambatan dalam Penerapan Standar Kajian BSN (2009) menunjukkan bahwa penerapan penerapan standar pangan SNI yang bersifat sukarela masih rendah, untuk itu perlu dicari faktorfaktor yang menjadi penghambat di dalam penerapan standar pangan SNI tersebut. Gambar 20 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (53,33% dari 60 responden) menyatakan bahwa kesiapan lab uji adalah faktor penghambat utama di dalam penerapan standar (keamanan) pangan. Selain itu, faktor biaya dan teknologi juga menjadi penghambat dalam penerapan suatu standar (keamanan) pangan dengan jumlah responden masing-masing 33,33% dan 13,33% dari total 60 responden. Jika dilihat secara khusus pada jawaban kelompok responden industri sebagai kelompok yang akan menerapkan standar, terlihat bahwa sebanyak 58,62%, 31,03%, 10,35% dari 29 jawaban responden kelompok industri berturutturut memberikan jawaban faktor kesiapan lab uji, biaya, dan teknologi yang

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 58/Permentan/OT.140/8/ TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 58/Permentan/OT.140/8/ TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 58/Permentan/OT.140/8/2007................... TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Standar, Standardisasi, dan Perumusan Standar

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Standar, Standardisasi, dan Perumusan Standar II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Standar, Standardisasi, dan Perumusan Standar Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Standar adalah spesifikasi teknis

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 58/Permentan/OT.140/8/2007 TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 58/Permentan/OT.140/8/2007 TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 58/Permentan/OT.140/8/2007 TENTANG PELAKSANAAN SISTEM STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Sumarto, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo

Sumarto, Purwiyatno Hariyadi, Eko Hari Purnomo A R T I K E L Kajian Proses Perumusan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia Formulation Process Assessment on Food Safety Standards and Regulations in Indonesia Southeast Asian Food and Agricultural

Lebih terperinci

Pedoman Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara Wajib

Pedoman Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara Wajib LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR : 1 TAHUN 20118.A/PER/BSN/2/2010 TANGGAL : 1 Februari 2011 Pedoman Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberlakuan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G STANDARDISASI, PEMBINAAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG INDUSTRI MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN STANDARDISASI NASIONAL. SNI. Pemberlakuan. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN STANDARDISASI NASIONAL. SNI. Pemberlakuan. Pedoman. No.105, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN STANDARDISASI NASIONAL. SNI. Pemberlakuan. Pedoman. PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN STANDARDISASI NASIONAL

Lebih terperinci

PENGGUNAAN STANDAR, PEDOMAN DAN MANUAL DALAM PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KONSTRUKSI

PENGGUNAAN STANDAR, PEDOMAN DAN MANUAL DALAM PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KONSTRUKSI PENGGUNAAN STANDAR, PEDOMAN DAN MANUAL DALAM PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KONSTRUKSI oleh BADAN LITBANG DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Disusun dalam rangka Konsolidasi Perumusan Standar Bahan Konstruksi Bangunan

Lebih terperinci

j ajo66.wordpress.com 1

j ajo66.wordpress.com 1 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 170/Kpts/OT.210/3/2002 TENTANG PELAKSANAAN STANDARDISASI NASIONAL DI BIDANG PERTANIAN MENTERI PERTANIAN Menimbang : a. bahwa sebagai

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.842, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Keamanan Pangan. Pengawasan Pemasukan. Pangan Segar. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M-IND/PER/5/2006 T E N T A N G STANDARDISASI, PEMBINAAN DAN PENGAWASAN STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG INDUSTRI MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 122 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan di dalam bab-bab sebelumnya mengenai pengaturan pengaturan technical barrier to trade sebagai salah satu perjanjian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna

Lebih terperinci

BAB III STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 3.1 Peraturan Perundang Undangan Standar Nasional Indonesia (SNI)

BAB III STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 3.1 Peraturan Perundang Undangan Standar Nasional Indonesia (SNI) BAB III STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 3.1 Peraturan Perundang Undangan Standar Nasional Indonesia (SNI) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun Tentang : Standardisasi Nasional

Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun Tentang : Standardisasi Nasional Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 Tentang : Standardisasi Nasional Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna produksi, mutu barang,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011 TENTANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN TERHADAP PEMASUKAN DAN PENGELUARAN PANGAN SEGAR ASAL TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perdagangan global, tidak dapat dipungkiri bahwa lalu lintas barang semakin terbuka, sehingga memungkinkan tidak adanya batasan negara dalam lalu lintas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Pemerintah Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci

Pengembangan Standar Nasional Indonesia

Pengembangan Standar Nasional Indonesia Pedoman Standardisasi Nasional Pengembangan Standar Nasional Indonesia Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Kata pengantar...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PEINDUSTRIAN. SNI. Industri.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PEINDUSTRIAN. SNI. Industri. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.308, 2009 DEPARTEMEN PEINDUSTRIAN. SNI. Industri. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 86/M-IND/PER/9/2009 TENTANG STANDAR NASIONAL INDONESIA BIDANG

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 199, 2000 BADAN STANDARISASI. Standarisasi Nasional. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

- 2 - Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

- 2 - Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: - 2 - Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN. BAB I

Lebih terperinci

2 Mengingat penyelenggaraan kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hur

2 Mengingat penyelenggaraan kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hur LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.216, 2014 PERDAGANGAN. Standardisasi. Penilaian Kesesuaian Perumusan. Pemberlakuan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5584) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna produksi,

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, - 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Jaminan Mutu Pangan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Jaminan Mutu Pangan. No.81, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Jaminan Mutu Pangan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN

Lebih terperinci

(3) KENALI DENGAN BAIK MANFAAT BAH AN TAMBAHAN PANGAN Ardiansyah PATPI Cabang Jakarta

(3) KENALI DENGAN BAIK MANFAAT BAH AN TAMBAHAN PANGAN Ardiansyah PATPI Cabang Jakarta (3) KENALI DENGAN BAIK MANFAAT BAH AN TAMBAHAN PANGAN Ardiansyah PATPI Cabang Jakarta Perkembangan ilmu dan teknologi pangan mengalami kemajuan yang pesat dewasa ini. Salah satu inovasi yang banyak diaplikasikan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN STANDAR NASIONAL INDONESIA DALAM MENDUKUNG PRODUK UNGGULAN DAERAH SULAWESI SELATAN

PENGEMBANGAN STANDAR NASIONAL INDONESIA DALAM MENDUKUNG PRODUK UNGGULAN DAERAH SULAWESI SELATAN PENGEMBANGAN STANDAR NASIONAL INDONESIA DALAM MENDUKUNG PRODUK UNGGULAN DAERAH SULAWESI SELATAN Dr. Dra. Zakiyah, MM Kepala Pusat Perumusan Standar-BSN Makassar, 25 Oktober 2017 OUTLINE SEJARAH STANDARDISASI

Lebih terperinci

2016, No /Permentan/PP.340/2/2015 tentang Pengawasan Keamanan Pangan terhadap Pemasukan dan Pengeluaran Pangan Segar Asal Tumbuhan; Mengingat

2016, No /Permentan/PP.340/2/2015 tentang Pengawasan Keamanan Pangan terhadap Pemasukan dan Pengeluaran Pangan Segar Asal Tumbuhan; Mengingat No.563, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Keamanan Pangan. Asasl Tumbuhan. Pengawasan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/Permentan/KR.040/4/2016 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA GULA KRISTAL PUTIH SECARA WAJIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA GULA KRISTAL PUTIH SECARA WAJIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA GULA KRISTAL PUTIH SECARA WAJIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

Renstra Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Tahun RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN

Renstra Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Tahun RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN 2015-2019 BADAN STANDARDISASI NASIONAL 2015 Kata Pengantar Dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.148,2012 KEMENTERIAN PERTANIAN. Rekomendasi. Impor. Produk. Hortikultura. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03/Permentan/OT.140/1/2012 TENTANG REKOMENDASI

Lebih terperinci

PSN Pedoman Standardisasi Nasional

PSN Pedoman Standardisasi Nasional PSN Pedoman Standardisasi Nasional Panitia Teknis Perumusan Standar Nasional Indonesia (SNI) BADAN STANDARDISASI NASIONAL Daftar Isi Kata Pengantar...i Daftar Isi...ii 1 Ruang Lingkup... 1 2 Istilah dan

Lebih terperinci

- 7 - BAB III STANDARDISASI. Bagian Kesatu Perencanaan

- 7 - BAB III STANDARDISASI. Bagian Kesatu Perencanaan - 7 - BAB III STANDARDISASI Bagian Kesatu Perencanaan Pasal 10 (1) Perencanaan perumusan SNI disusun dalam suatu PNPS. (2) PNPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat program perumusan SNI dengan judul

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.851, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. SNI. Gula Putih Pemberlakuan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68/Permentan/OT.140/6/2013 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH TAHUN 2016 DEPUTI BIDANG PENELITIAN DAN KERJASAMA STANDARDISASI

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH TAHUN 2016 DEPUTI BIDANG PENELITIAN DAN KERJASAMA STANDARDISASI LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH TAHUN 2016 DEPUTI BIDANG PENELITIAN DAN KERJASAMA STANDARDISASI BADAN STANDARDISASI NASIONAL 2017 LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH TAHUN

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan P

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan P No.1730, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPERIN. SNI. Air Mineral Demineral. Air Mineral CAlami. Air Minum Embun. Pemberlakuan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2016, No diberlakukan Standar Nasional Indonesia dan/atau Persyaratan Teknis secara wajib; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaks

2016, No diberlakukan Standar Nasional Indonesia dan/atau Persyaratan Teknis secara wajib; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaks No.565, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Standadisasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/M-DAG/PER/4/2016 TENTANG STANDARDISASI BIDANG PERDAGANGAN DENGAN

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 06 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN UMUM STANDARDISASI KOMPETENSI PERSONIL DAN LEMBAGA JASA LINGKUNGAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS KEDEPUTIAN BIDANG PENERAPAN STANDAR DAN AKREDITASI BADAN STANDARDISASI NASIONAL TAHUN

RENCANA STRATEGIS KEDEPUTIAN BIDANG PENERAPAN STANDAR DAN AKREDITASI BADAN STANDARDISASI NASIONAL TAHUN RENCANA STRATEGIS KEDEPUTIAN BIDANG PENERAPAN STANDAR DAN AKREDITASI BADAN STANDARDISASI NASIONAL TAHUN 2015 2019 JAKARTA 2015 Kata Pengantar Dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang No. 25 Tahun

Lebih terperinci

2015, No Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2015, No Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No. 1083, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPERIN. Tepung Terigu. Standar Nasional Indonesia. Pemberlakuan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59/M-IND/PER/7/2015

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/Permentan/PD.410/5/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/Permentan/PD.410/5/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/Permentan/PD.410/5/2014 TENTANG TINDAKAN KARANTINA HEWAN TERHADAP PEMASUKAN DAN PENGELUARAN HASIL BAHAN ASAL HEWAN KONSUMSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK PANGAN

DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK PANGAN DIREKTORAT STANDARDISASI PRODUK PANGAN Oleh: Dra. Deksa Presiana, Apt., M.Kes. Kasubdit. Standardisasi Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pangan Disampaikan Pada Acara: Praktek Kerja Profesi Apoteker Jakarta,

Lebih terperinci

P E R K O S M I PERSATUAN PERUSAHAAN KOSMETIKA INDONESIA INDONESIAN COSMETIC ASSOCIATION

P E R K O S M I PERSATUAN PERUSAHAAN KOSMETIKA INDONESIA INDONESIAN COSMETIC ASSOCIATION P E R K O S M I PERSATUAN PERUSAHAAN KOSMETIKA INDONESIA INDONESIAN COSMETIC ASSOCIATION Paparan Regulasi Halal Temu Wicara Halal Bidang Kosmetika Jakarta, 28 Juni 2016 Materi Paparan Undang-undang Jaminan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.912, 2012 KEMENTERIAN PERTANIAN. Lada. SNI. Pascapanen. Pedoman PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55/Permentan/OT.140/9/2012 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.854, 2015 KEMENPERIN. Standar Industri Hijau. Penyusunan. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51/M-IND/PER/6/2015 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.910, 2012 KEMENTERIAN PERTANIAN. Pala. SNI. Pascapanen. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53/Permentan/OT.140/9/2012 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.908, 2012 KEMENTERIAN PERTANIAN. Kakao. SNI. Pascapanen, Pedoman. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51/Permentan/OT.140/9/2012 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN

Lebih terperinci

BAB VI JAMINAN KEHALALAN DAN MEKANISMENYA

BAB VI JAMINAN KEHALALAN DAN MEKANISMENYA 44 BAB VI JAMINAN KEHALALAN DAN MEKANISMENYA Sistem jaminan Pproduk Halal dari berbagai negara dievaluasi dengan mengikuti kerangka infrastruktur sistem jaminan keamanan pangan ditambah beberapa hal yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.82, 2010 Kementerian Pertanian. Babi. Produknya. Pemasukan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.82, 2010 Kementerian Pertanian. Babi. Produknya. Pemasukan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.82, 2010 Kementerian Pertanian. Babi. Produknya. Pemasukan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/Permentan/OT.140/2.2010/ TENTANG PEMASUKAN HEWAN

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik I

2 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik I BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1084, 2015 KEMENPERIN. Biskuit. Wajib. Standar Nasional Indonesia. Pemberlakuan. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60/M-IND/PER/7/2015 TENTANG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.364, 2012 KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI. Standar. Kompetensi. Kerja. Nasional. Indonesia. Pencabutan.

BERITA NEGARA. No.364, 2012 KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI. Standar. Kompetensi. Kerja. Nasional. Indonesia. Pencabutan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.364, 2012 KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI. Standar. Kompetensi. Kerja. Nasional. Indonesia. Pencabutan. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK

Lebih terperinci

PSN Pedoman Standardisasi Nasional

PSN Pedoman Standardisasi Nasional PSN Pedoman Standardisasi Nasional Pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI) BADAN STANDARDISASI NASIONAL Daftar Isi Daftar Isi... i Kata Pengantar... ii 1 Ruang Lingkup... 1 2 Acuan Normatif... 1

Lebih terperinci

Tahapan dan Proses Perumusan Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) Agens Pengendali Hayati (APH)

Tahapan dan Proses Perumusan Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) Agens Pengendali Hayati (APH) Tahapan dan Proses Perumusan Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) (APH) Vikayanti, S.Si POPT Muda Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya Rancangan Standar Nasional Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI BIDANG PANGAN

PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI BIDANG PANGAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI BIDANG PANGAN Disampaikan oleh: Ir. Tetty Helfery Sihombing, MP Direktur Standardisasi Produk Pangan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Visi dan Misi Badan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN DISTRIBUSI PRODUK IMPOR DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN DISTRIBUSI PRODUK IMPOR DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN DISTRIBUSI PRODUK IMPOR DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : bahwa dalam rangka menjaga stabilitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 102 TAHUN 2000 TENTANG STANDARDISASI NASIONAL 1 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Standar adalah spesifikasi

Lebih terperinci

BAB IV KESESUAIAN PENGATURAN PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA SECARA WAJIB DENGAN PENGATURAN TBT DAN GRP

BAB IV KESESUAIAN PENGATURAN PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA SECARA WAJIB DENGAN PENGATURAN TBT DAN GRP 83 BAB IV KESESUAIAN PENGATURAN PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA SECARA WAJIB DENGAN PENGATURAN TBT DAN GRP 4.1 Perbandingan Ketentuan TBT Agreement dengan Peraturan Domestik Indonesia sebagai salah

Lebih terperinci

PEMBINAAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH MELALUI PENERAPAN STANDAR NASIONAL INDONESIA. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Selatan

PEMBINAAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH MELALUI PENERAPAN STANDAR NASIONAL INDONESIA. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Selatan 2014 PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA SELATAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN PEMBINAAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH MELALUI PENERAPAN STANDAR NASIONAL INDONESIA Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP

Lebih terperinci

DEPUTI BIDANG PENELITIAN DAN KERJASAMA STANDARDISASI

DEPUTI BIDANG PENELITIAN DAN KERJASAMA STANDARDISASI LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH DEPUTI BIDANG PENELITIAN DAN KERJASAMA STANDARDISASI BADAN STANDARDISASI NASIONAL 2016 RINGKASAN EKSEKUTIF Sebagai salah satu unit eselon I BSN, Deputi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.911, 2012 KEMENTERIAN PERTANIAN. Nilam. SNI. Pascapanen. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54/Permentan/OT.140/9/2012 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN

Lebih terperinci

2 global sebagai sarana peningkatan kemampuan ekonomi bangsa Indonesia. Untuk melindungi kepentingan negara dalam menghadapi era globalisasi tersebut

2 global sebagai sarana peningkatan kemampuan ekonomi bangsa Indonesia. Untuk melindungi kepentingan negara dalam menghadapi era globalisasi tersebut TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERDAGANGAN. Standardisasi. Penilaian Kesesuaian Perumusan. Pemberlakuan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 216) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

SISTEM STANDARDISASI NASIONAL (SSN)

SISTEM STANDARDISASI NASIONAL (SSN) SISTEM STANDARDISASI NASIONAL (SSN) 1 SISTEM STANDARDISASI NASIONAL 1. Tatanan jaringan sarana dan kegiatan standarisasi yang serasi, selaras dan terpadu serta berwawasan nasional. 2. Merupakan dasar dan

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478) 2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Ka

2016, No Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478) 2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Ka No.803, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Biji Kakao. Mutu dan Pemasaran. Persyaratan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PERMENTAN/KB.320/5/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 60/Permentan/OT.140/9/2012 TENTANG REKOMENDASI IMPOR PRODUK HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 60/Permentan/OT.140/9/2012 TENTANG REKOMENDASI IMPOR PRODUK HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 60/Permentan/OT.140/9/2012 TENTANG REKOMENDASI IMPOR PRODUK HORTIKULTURA Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, bahwa sebagai tindak lanjut

Lebih terperinci

KAJI ULANG STANDAR NASIONAL INDONESIA

KAJI ULANG STANDAR NASIONAL INDONESIA KAJI ULANG STANDAR NASIONAL INDONESIA 1 Ruang lingkup Pedoman ini menetapkan ketentuan yang harus dipenuhi dalam proses kaji ulang Standar Nasional Indonesia (SNI) dan tindak lanjutnya. Pedoman ini digunakan

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PANGAN SEGAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BADAN NASIONAL SERTIFIKASI PROFESI

BADAN NASIONAL SERTIFIKASI PROFESI KEPUTUSAN NO : KEP- 008/BNSP/XII/2005 TENTANG Pedoman BNSP 101-2005 Pelaksanaan Pembakuan SKKNI Menimbang : a. bahwa pelaksanaan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 038 TAHUN 2016

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 038 TAHUN 2016 PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 038 TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN SEGAR HASIL PERTANIAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Kebijakan Penerapan Standar Pedoman dan Manual Sekretariat Komite Teknis Bahan Konstruksi Bangunan dan Rekayasa Sipil

Kebijakan Penerapan Standar Pedoman dan Manual Sekretariat Komite Teknis Bahan Konstruksi Bangunan dan Rekayasa Sipil 1 Kebijakan Penerapan Standar Pedoman dan Manual Sekretariat Komite Teknis 91-01 Bahan Konstruksi Bangunan dan Rekayasa Sipil Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENERAPAN STANDAR BIDANG BIDANG PEKERJAAN UMUM KHUSUSNYA BIDANG KE-CIPTA KARYA-AN

KEBIJAKAN PENERAPAN STANDAR BIDANG BIDANG PEKERJAAN UMUM KHUSUSNYA BIDANG KE-CIPTA KARYA-AN KEBIJAKAN PENERAPAN STANDAR BIDANG BIDANG PEKERJAAN UMUM KHUSUSNYA BIDANG KE-CIPTA KARYA-AN Disampaikan oleh: Sekretariat Badan Litbang PU 1 S INFRASTRUKTUR YANG HANDAL urvey I D C O nvestigation esign

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1071, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Impor. Hortikultura. Rekomendasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG

Lebih terperinci

PENERAPAN SNI PADA UKM DAN KETERSEDIAAN INFRASTRUKTUR MUTU DI BARISTAND INDUSTRI PALEMBANG

PENERAPAN SNI PADA UKM DAN KETERSEDIAAN INFRASTRUKTUR MUTU DI BARISTAND INDUSTRI PALEMBANG PENERAPAN SNI PADA UKM DAN KETERSEDIAAN INFRASTRUKTUR MUTU DI BARISTAND INDUSTRI PALEMBANG Oleh : Dr. HARI ADI PRASETYA BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI PALEMBANG 2014 Dasar Hukum Peraturan Menteri

Lebih terperinci

Terasi udang SNI 2716:2016

Terasi udang SNI 2716:2016 Standar Nasional Indonesia ICS 67.120.30 Terasi udang Badan Standardisasi Nasional BSN 2016 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen ini

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM STANDARDISASI KOMPETENSI KERJA NASIONAL

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM STANDARDISASI KOMPETENSI KERJA NASIONAL MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM STANDARDISASI KOMPETENSI KERJA NASIONAL DENGAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.227, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPERIN. Pupuk Anorganik Majemuk. SNI. Pemberlakuan. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 08/M-IND/PER/2/2014 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR

Lebih terperinci

BADAN STANDARDISASI NASIONAL PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN STANDAR NASIONAL INDONESIA

BADAN STANDARDISASI NASIONAL PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN STANDAR NASIONAL INDONESIA SaIinan BADAN STANDARDISASI NASIONAL PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN STANDAR NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1991 TENTANG TENTANG STANDAR NASIONAL INDONESIA. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1991 TENTANG TENTANG STANDAR NASIONAL INDONESIA. Presiden Republik Indonesia, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1991 TENTANG TENTANG STANDAR NASIONAL INDONESIA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa dalam rangka peningkatan produktivitas dan daya guna

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGAWASAN BARANG BEREDAR YANG SNI NYA DIBERLAKUKAN SECARA WAJIB

KEBIJAKAN PENGAWASAN BARANG BEREDAR YANG SNI NYA DIBERLAKUKAN SECARA WAJIB KEBIJAKAN PENGAWASAN BARANG BEREDAR YANG SNI NYA DIBERLAKUKAN SECARA WAJIB JAKARTA, 16 SEPTEMBER 2014 DIREKTORAT JENDERAL STANDARDISASI DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN KEMENTERIAN PERDAGANGAN R.I. LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 19, 1991 ( EKONOMI. INDUSTRI. PERDAGANGAN Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) AIR MINUM DALAM KEMASAN (AMDK) SECARA WAJIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN

Lebih terperinci

2 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564); 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik

2 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564); 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1629, 2014 KEMENPERIN. Kopi Instan. SNI. Pemberlakuan. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87/M-IND/PER/10/2014 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN NASIONAL SERTIFIKASI PROFESI NOMOR : 4/ BNSP / VII / 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN DAN PEMELIHARAAN SKEMA SERTIFIKASI PROFESI

PERATURAN BADAN NASIONAL SERTIFIKASI PROFESI NOMOR : 4/ BNSP / VII / 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN DAN PEMELIHARAAN SKEMA SERTIFIKASI PROFESI PERATURAN BADAN NASIONAL SERTIFIKASI PROFESI NOMOR : 4/ BNSP / VII / 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN DAN PEMELIHARAAN SKEMA SERTIFIKASI PROFESI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA BADAN NASIONAL

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1553,2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN. Minyak Goreng Sawit. SNI. Pemberlakuan. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87/M-IND/PER/12/2013 TENTANG PEMBERLAKUAN

Lebih terperinci

REKOMENDASI TEMU KOMITE TEKNIS 2017

REKOMENDASI TEMU KOMITE TEKNIS 2017 REKOMENDASI TEMU KOMITE TEKNIS 2017 Rekomendasi Penguatan Pengembangan Standar Jangka Menengah (5 Tahun) 2 1. Forum koordinasi penggalangan umpan balik dari pemangku kepentingan dalam pengembangan SNI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STANDAR KOMPETENSI KERJA NASIONAL

Lebih terperinci

DRAFT PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :

DRAFT PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : DRAFT PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) MINYAK GORENG SAWIT SECARA WAJIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 01/MEN/2007 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 01/MEN/2007 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 01/MEN/2007 TENTANG PENGENDALIAN SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA KERTAS DAN KARTON UNTUK KEMASAN PANGAN SECARA WAJIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN

Lebih terperinci

2011, No Pedoman Standardisasi Nasional tentang panduan keberterimaan regulasi teknis, standar dan prosedur penilaian kesesuaian untuk produk pe

2011, No Pedoman Standardisasi Nasional tentang panduan keberterimaan regulasi teknis, standar dan prosedur penilaian kesesuaian untuk produk pe BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.106, 2011 BADAN STANDARDISASI NASIONAL. Pedoman Standardinasi Nasional. PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) KOPI INSTAN SECARA WAJIB

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) KOPI INSTAN SECARA WAJIB DRAFT PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) KOPI INSTAN SECARA WAJIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. peraturan..

BAB I KETENTUAN UMUM. peraturan.. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.19/MEN/2010 TENTANG PENGENDALIAN SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/M-IND/PER/3/2011 TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) TEPUNG TERIGU SEBAGAI BAHAN MAKANAN SECARA WAJIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BADAN STANDARDISASI NASIONAL PERATURAN KERALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL N0M0R3TAHUN 2017 TENTANG

BADAN STANDARDISASI NASIONAL PERATURAN KERALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL N0M0R3TAHUN 2017 TENTANG Salinan BADAN STANDARDISASI NASIONAL PERATURAN KERALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL N0M0R3TAHUN 2017 TENTANG KOMITE NASIONAL PENANGANAN HAMBATAN TEKNIS PERDAGANGAN DENGAN RAHMATTUHAN YANG MAHA ESA KEPALA

Lebih terperinci