BAB I PENDAHULUAN MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT Pendahuluan LATAR BELAKANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT Pendahuluan LATAR BELAKANG"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyelenggaraan penataan ruang nasional dilaksanakan berdasarkan asas keterpaduan, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan, perlindungan kepentingan umum, kepastian hukum dan keadilan, serta akuntabilitas. Asas tersebut dilaksanakan untuk mewujudkan keharmonisan antara lingkungan alam dan buatan, keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, serta perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang, sesuai dengan tujuan penyelenggaraan penataan ruang, yaitu mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan ketahanan nasional. Untuk itu, dalam rangka menyelaraskan dan menjabarkan strategi dan arahan kebijakan penyelenggaraan penataan ruang nasional di wilayah provinsi, diperlukan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang mengakomodir kepentingan nasional, regional dan lokal dalam satu kesatuan penataan ruang. Ruang wilayah Provinsi Jawa Barat adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, ruang udara dan ruang dalam bumi, sebagai tempat masyarakat Jawa Barat melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya, serta merupakan suatu sumber daya yang harus ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana. Dengan demikian RTRWP Jawa Barat sangatlah strategis untuk dapat menjadi pedoman dalam penyelenggaraan penataan ruang, serta untuk menjaga kegiatan pembangunan agar tetap sesuai dengan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan, sekaligus mampu mewujudkan ruang yang produktif dan berdaya saing menuju Jawa Barat sebagai Provinsi Termaju di Indonesia pada Tahun Hal ini ditegaskan pula oleh Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang menetapkan kedudukan Rencana Tata Ruang sebagai acuan utama Pendahuluan 1

2 pembangunan sektoral dan wilayah, dan telah ditindaklanjuti dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Jawa Barat. Sebagai matra spasial pembangunan, maka RTRWP Jawa Barat disusun berdasarkan pencermatan terhadap kepentingan-kepentingan jangka panjang, serta dengan memperhatikan dinamika yang terjadi, baik dalam lingkup eksternal maupun internal. Sehubungan dengan itu, dalam proses penyusunannya tidak terlepas dari hasil evaluasi pelaksanaan RTRWP Jawa Barat 2010, sebagai dasar dalam perumusan strategi dan rencana tata ruang ke depan. Hal ini terutama dikaitkan dengan kinerja penataan ruang, yang pada kenyataannya masih terdapat penyimpangan, baik dalam aspek struktur maupun pola ruang. Selanjutnya dari sisi dinamika pembangunan, telah diperhatikan pula beberapa perubahan yang perlu diantisipasi dan direspon dalam suatu substansi rencana tata ruang yang mampu menjamin keberlangsungan pelaksanaannya di lapangan, serta terlebih penting lagi dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan jangka panjang. Dalam konteks penataan ruang wilayah provinsi, dinamika eksternal mencakup pengaruh tataran global, regional dan nasional, seperti tuntutan sistem kepemerintahan yang baik (good governance), tuntutan pasar dunia (global market forces), dan tuntutan setiap orang untuk memenuhi hak hidupnya, bebas menyatakan pendapat, mencapai kehidupan yang lebih baik, serta memenuhi nilai-nilai agama dan kepercayaan yang dianut. Dinamika eksternal ini juga dipengaruhi oleh perkembangan paradigma baru dalam penataan ruang sehubungan dengan terbitnya peraturan perundangan penataan ruang yang baru, serta peraturan perundangan lainnya yang terkait termasuk Norma Standar Pedoman dan Manual (NSPM) yang telah diterbitkan oleh Pemerintah. Sedangkan dalam konstelasi global Indonesia digambarkan sebagai sebuah negara berkembang yang memiliki berbagai tantangan dari segi perekonomian dan pembangunan, di antaranya berupa rendahnya prosentase aliran masuk Foreign Direct Investment (FDI) ke Indonesia, rendahnya posisi Indonesia dalam rangking Global Competitiveness Index (GCI), serta rendahnya total nilai perdagangan Indonesia dalam kegiatan perdagangan intra ASEAN. Fenomena dinamika global juga dipengaruhi faktor urbanisasi dan munculnya lebih banyak Megacities/Megapolitan/Conurbation, revolusi teknologi yang mengurangi peranan faktor jarak, waktu, dan lokasi di dalam penentuan kegiatan-kegiatan ekonomi/ bisnis serta sosial-politik yang melumerkan arti batas-batas antar negara, serta proses perdagangan dalam hal mempercepat masuknya peranan Pendahuluan 2

3 aktor-aktor pasar untuk menguasai sumberdaya alam, energi, air bersih, dan bahanbahan mineral diseluruh dunia, sehingga berimplikasi pada sejauhmana penataan ruang mampu memanfaatkan tantangan yang ada, sebagai peluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dari sisi konservasi lingkungan, isu global warming memberikan pengaruh yang besar terhadap kebijakan penataan ruang dan pembangunan di Indonesia termasuk Provinsi Jawa Barat. Dengan adanya isu tersebut, tentu kebijakan penataan ruang yang dihasilkan harus sejalan dengan konservasi dan preservasi lingkungan secara global, serta upaya-upaya mitigasi bencana. Atau dengan kata lain, kegiatan pembangunan harus tetap dalam koridor daya dukung lingkungan, oleh karenanya keseimbangan alokasi ruang antara kawasan budidaya dan kawasan lindung merupakan prasyarat yang tetap dibutuhkan. Provinsi Jawa Barat juga menghadapi berbagai tantangan dan dinamika pembangunan yang bersifat internal. Dinamika internal tersebut lebih menggambarkan kinerja yang mempengaruhi penataan ruang Jawa Barat, yaitu perubahan fisik, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya yang berasal dari dalam wilayah Jawa Barat. Isu internal terutama tingginya pertumbuhan jumlah penduduk tahun 2007 yang mencapai 41,48 juta jiwa dan dalam waktu 20 tahun mendatang, yaitu tahun 2029 akan berjumlah 54,16 juta jiwa. Hal ini tentu akan berimplikasi pada semakin tingginya kebutuhan akan sumberdaya lahan, air, energi, ketahanan pangan, kesempatan kerja, dan sebagainya. Selain dari aspek kependudukan, dinamika internal juga ditunjukkan oleh masih belum optimalnya pencapaian target Indeks Pembangunan Manusia (IPM), target alokasi luasan Kawasan Lindung sebesar 45%, realisasi pembangunan infrastruktur wilayah, ketersediaan sarana dan prasarana dasar, meningkatnya permasalahan lingkungan dan konflik pemanfaatan ruang, rendahnya kinerja Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), kerjasama pengelolaan kawasan perbatasan, serta upaya-upaya dalam mitigasi bencana yang masih membutuhkan peningkatan lebih lanjut. Berdasarkan penjelasan di atas, perumusan substansi RTRWP Jawa Barat yang memuat tujuan, kebijakan dan strategi, rencana, arahan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, ditujukan untuk dapat menjaga sinkronisasi dan konsistensi pelaksanaan penataan ruang dan mengurangi penyimpangan implementasi indikasi program utama yang ditetapkan, serta diharapkan akan lebih mampu merespon tantangan dan menjamin keberlanjutan pembangunan, melalui berbagai pembenahan dan Pendahuluan 3

4 pembangunan ruang yang produktif dan berdaya saing tinggi demi terwujudnya masyarakat Jawa Barat yang lebih sejahtera. 1.2 FUNGSI DAN KEDUDUKAN RTRWP Jawa Barat merupakan matra spasial dari RPJPD Provinsi Jawa Barat, yang berfungsi sebagai penyelaras kebijakan penataan ruang Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, serta sebagai acuan bagi instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk mengarahkan lokasi, dan menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan RTRWP Jawa Barat adalah sebagai pedoman dalam : a. Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Barat dan rencana sektoral lainnya. b. Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. c. Perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah, Kabupaten/Kota, serta keserasian antarsektor. d. Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi. e. Penataan ruang Kawasan Strategis Provinsi. f. Penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota. 1.3 RUANG LINGKUP Lingkup Wilayah RTRWP Jawa Barat mencakup perencanaan seluruh wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat, yang meliputi : Wilayah daratan, seluas ,44 Ha; Wilayah pesisir dan laut, sepanjang 12 (dua belas) mil dari garis pantai seluas Km 2 ; Wilayah udara; dan Wilayah dalam bumi. Batas koordinat Provinsi Jawa Barat adalah BT BT dan LS LS, dengan batas wilayah sebagai berikut : Sebelah utara, berbatasan dengan Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya dan Laut Jawa; Sebelah timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah; Pendahuluan 4

5 Sebelah selatan, berbatasan dengan Samudera Hindia; dan Sebelah barat, berbatasan dengan Provinsi Banten Lingkup Substansi Lingkup subtansi RTRWP Jawa Barat tidak terlepas dari muatan substansi yang diatur dalam peraturan perundangan yang mengatur tentang penataan ruang. Lingkup substansi mencakup penjelasan kondisi dan permasalahan penataan ruang Jawa Barat selama 5 (lima) tahun, kondisi dan tuntutan penataan ruang Jawa Barat 20 (duapuluh) tahun ke depan, tujuan penataan ruang, kebijakan dan strategi penataan ruang, rencana tata ruang wilayah, arahan pemanfaatan ruang, serta arahan pengendalian pemanfaatan ruang. 1.4 DASAR HUKUM RTRWP Jawa Barat mengacu pada dasar hukum, meliputi : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia tanggal 4 Juli 1950) jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Jakarta Raya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 15) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4010); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274); Pendahuluan 5

6 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472); 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470); 7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 8. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 9. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152); 10. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169); 11. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327); 12. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411); Pendahuluan 6

7 13. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073); 14. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377); 15. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4380); 16. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 17. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 18. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4441); 19. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700); 20. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722); Pendahuluan 7

8 21. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723); 22. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 23. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739); 24. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925); 25. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956); 26. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 27. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); 28. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4974); 29. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 30. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068); 31. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445); Pendahuluan 8

9 32. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3660); 33. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3776); 34. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3816); 35. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 36. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934); 37. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4145); 38. Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4146); 39. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161); 40. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4242); 41. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4254); Pendahuluan 9

10 42. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385); 43. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452); 44. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4489); 45. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 46. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624); 47. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4638); 48. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696); 49. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 50. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858); 51. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859); Pendahuluan 10

11 52. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833); 53. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987); 54. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5004); 55. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern; 56. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur; 57. Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103); 58. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; 59. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional; 60. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah; 61. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang; 62. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi; 63. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor; 64. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan; 65. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan; Pendahuluan 11

12 66. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah; 67. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2008 tentang Pengembangan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh di Daerah; 68. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2009 tentang Batas Daerah Provinsi Jawa Tengah dengan Jawa Barat; 69. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2009 tentang Pedoman Persetujuan Substansi dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota beserta Rencana Rinciannya; 70. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; 71. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.28/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi dalam rangka Pemberian Persetujuan Substansi Kehutanan atas Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah; 72. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah; 73. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pola Induk Pengelolaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa Barat; 74. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2005 Nomor 13 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 15) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2010 Nomor 5 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 71); 75. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 1 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 38); 76. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 8 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 45); Pendahuluan 12

13 77. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 9 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 46); 78. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 6 Tahun 2009 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat (Lembaran Daerah Tahun 2009 Nomor 6 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 64); 1.5 PROFIL WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT Penduduk Jumlah penduduk Jawa Barat tahun 2006 adalah jiwa dengan komposisi penduduk laki-laki jiwa (50,51%) dan penduduk perempuan sebesar jiwa (49,48%). Sebaran penduduk Jawa Barat tersebut sebagian besar terkonsentrasi di Kawasan sekitar Ibukota Negara (Kawasan Bogor, Depok, Bekasi) dan Ibukota Provinsi Jawa Barat (Kawasan Kota Bandung, Cimahi dan sekitarnya). Sebaran jumlah penduduk per kecamatan tahun 2006 dapat dilihat pada Gambar 1.1. GAMBAR 1.1 PETA SEBARAN JUMLAH PENDUDUK PER KECAMATAN TAHUN 2006 Pendahuluan 13

14 Persebaran penduduk berdasarkan kepadatan telah mencapai angka sebesar 1.391,47 jiwa per km 2. Kepadatan penduduk tertinggi dimiliki Kota Bandung, dengan kepadatan ,75 jiwa per km 2, diikuti Kota Cimahi dengan ,89 jiwa per km 2. Sedangkan kepadatan terendah dimiliki Kabupaten Ciamis dengan 691,62 jiwa per km 2 dan Kabupaten Cianjur dengan 713,71 jiwa per km 2. Sebaran kepadatan penduduk per kecamatan di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 1.2. Kepadatan penduduk di Jawa Barat cenderung memperlihatkan pola konsentrasi penduduk di kawasan perkotaan. Hal tersebut terjadi di Kawasan Bodebek yang mencapai persentase sebesar 25,76% dari jumlah penduduk Jawa Barat, diikuti oleh Kawasan Cekungan Bandung yang mencapai persentase sebesar 20,46% dari jumlah penduduk Jawa Barat. Sedangkan secara administratif, wilayah dengan jumlah penduduk terbesar terdapat di Kabupaten Bandung, yang mencapai 10,79% dari jumlah penduduk Jawa Barat dan diikuti oleh Kabupaten Bogor sebesar 10,35% dari jumlah penduduk Jawa Barat. GAMBAR 1.2 PETA SEBARAN KEPADATAN PENDUDUK PER KECAMATAN TAHUN 2006 Ditinjau dari komposisi penduduk terkait dengan kegiatan di kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan, menunjukkan terjadinya peningkatan kegiatan kawasan perdesaan ke kawasan perkotaan, menjadi 58,8% dari jumlah penduduk Jawa Barat, Pendahuluan 14

15 meningkat 8,5% dibandingkan komposisi penduduk 5 (lima) tahun sebelumnya. Peningkatan angka tersebut menunjukkan kegiatan perkotaan yang telah merambah ke kawasan perdesaan di sekitarnya, yang kemudian diikuti dengan perubahan status pada beberapa daerah perdesaan menjadi perkotaan. Ditinjau dari perpindahan penduduk (migrasi) masuk ke Jawa Barat, tahun 2007 terjadi migrasi sebesar orang. 54,73% diantaranya berasal dari Jakarta, dan sebagian besar migran tersebut merupakan pekerja yang bekerja di sentra-sentra industri Kawasan Bodebek. Wilayah yang menjadi tujuan migrasi masuk adalah Cekungan Bandung dan Metro Cirebon, hal ini dipicu oleh peran wilayah tersebut sebagai pusat jasa, pendidikan, industri, dan sebagainya. Dampak migrasi masuk menyebabkan banyaknya angkatan kerja dari luar yang memasuki wilayah tersebut, meningkatnya jumlah pencari kerja (pengangguran), dan pada akhirnya mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk (LPP) rata-rata Jawa Barat selama periode , adalah sebesar 1,94%. Perubahan laju pertumbuhan penduduk secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi struktur penduduk, dalam kondisi ketenagakerjaan, komposisi penduduk usia kerja dan angkatan kerja. Dalam ketenagakerjaan, besar kecilnya kontribusi angkatan kerja dalam perekonomian dapat dipantau melalui suatu indikator, yaitu Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Semakin tinggi TPAK semakin besar bagian dari penduduk usia kerja yang sesungguhnya terlibat, atau berusaha untuk terlibat, dalam kegiatan produktif yaitu memproduksi barang dan jasa, dalam kurun waktu tertentu. Persentase penduduk berdasarkan angkatan kerja dan bukan angkatan kerja dapat dilihat pada Tabel 1.1. TABEL 1.1 PERSENTASE PENDUDUK MENURUT ANGKATAN KERJA DAN BUKAN ANGKATAN KERJA Angkatan Kerja Bukan Angkatan Kerja (BAK) Mengurus % BAK No. Periode Mencari Bekerja TPAK Sekolah Rumah Lainnya thd PUK Kerja Tangga 1. Feb ,27 14,73 62,88 20,31 64,53 15,16 37,12 2. Nop ,47 15,53 61,49 20,86 63,52 15,62 38,51 3. Feb ,50 14,50 61,83 21,02 65,73 13,25 38,17 4. Agust ,41 14,59 61,41 19,25 64,73 16,03 38,59 5. Feb ,49 14,51 60,73 21,66 63,05 15,30 39,27 Sumber : Sakernas Feb 2005-Feb 2007 Pendahuluan 15

16 TPAK kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2006, berkisar antara 80-95%. Hal ini menunjukkan gap partisipasi antara 5-20%, gap ini merupakan angkatan kerja yang belum bekerja. TPAK tertinggi dimiliki Kabupaten Ciamis dengan tingkat partisipasi mencapai 94,35%, sedangkan TPAK terendah dimiliki Kota Cimahi sebesar 82,16%. Berdasarkan data kontribusi sektor yang dominan, sektor sekunder menempati tingkat paling dominan, yaitu sekitar 50,95% dari PDRB dan menyerap sekitar 31,29% tenaga kerja. Sedangkan sektor tersier menyerap tenaga kerja sekitar 39,43% dengan kontribusi sebesar 35,27%. Kualitas penduduk juga diukur menggunakan komponen-komponen target dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu Indeks Pendidikan melalui nilai Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Angka Melek Huruf (AMH), serta Indeks Kesehatan melalui nilai Angka Harapan Hidup (AHH). Peta Indeks Pembangunan Manusia tahun 2007 dapat dilihat pada Gambar 1.3, sedangkan tabel target dan realisasi IPM tahun dapat dilihat pada Tabel 1.2. GAMBAR 1.3 PETA INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA TAHUN 2007 Pendahuluan 16

17 Ditinjau dari Indeks Kemiskinan Manusia (IKM), nilai IKM Jawa Barat pada tahun 2002 sebesar 23,0, menurun dibandingkan tahun 1999 sebesar 26,9, artinya presentase penduduk kategori miskin semakin berkurang dan memperbaiki peringkat Jawa Barat secara nasional dari posisi 15 pada tahun 1999 kemudian menjadi peringkat 11 pada tahun TABEL 1.2 TARGET DAN REALISASI IPM JAWA BARAT TAHUN No. Komponen Nilai IPM Target 68,35 70,89 72,37 73,53 74,50 75,60 76,60 Realisasi 66,10 67,45 67,87 68,36 69,35 70,05 70,76 2. Indeks Pendidikan Target 76,90 79,20 80,20 81,20 82,00 82,80 83,60 Realisasi 64,80 78,30 78,40 79,02 79,56 80,61 81,13 3. Indeks Kesehatan Target 66,53 68,00 68,60 69,20 69,60 69,80 70,00 Realisasi 66,33 66,55 66,57 67,23 69,58 70,13 71,03 4. Indeks Daya Beli Target 55,00 65,60 68,20 70,20 72,30 74,20 76,30 Realisasi 55,10 57,42 58,63 58,83 59,18 59,42 60,13 Sumber : BPS Jabar, 2007 Jumlah keluarga miskin di Jawa Barat ditinjau dari tiga kategori, antara lain kategori hampir miskin, miskin dan sangat miskin. Kategori miskin tertinggi terdapat di Kota Bandung dengan jumlah keluarga miskin sebesar KK (17,58%), dan Kabupaten Bandung sebesar KK (9,79%). Kategori sangat miskin tertinggi terdapat di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi dengan jumlah masing-masing adalah (11,51%) dan KK (10,69%). Jumlah total penduduk miskin Jawa Barat adalah sekitar atau 38,01% dari jumlah penduduk Jawa Barat. Secara umum, indeks IPM dan IKM Jawa Barat relatif tinggi secara nasional, namun masalah kemiskinan dan pengangguran sangat memerlukan penanganan yang serius, berupa optimalisasi pengelolaan dan pengendalian penduduk secara terintegrasi antara pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota. Penanganan kependudukan berkonsekuensi terhadap penataan ruang Jawa Barat, khususnya terhadap guna lahan, kondisi iklim, ketahanan pangan, kesempatan kerja, kecukupan energi dan air baku Ekonomi Perekonomian Jawa Barat ditinjau dari kontribusi PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB total Provinsi Jawa Barat, memperlihatkan 6 (enam) kabupaten/kota yang memiliki rata-rata kontribusi PDRB lebih besar dari 5%, diantaranya Kabupaten Bogor (10,99%), Pendahuluan 17

18 Kabupaten Bandung (8,45%), Kabupaten Karawang (5,91%), Kabupaten Bekasi (18%), Kota Bandung (9,31%) dan Kota Bekasi (5,34%). Perkembangan perekonomian yang ditinjau dari Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE), memperlihatkan rata-rata LPE Jawa Barat tahun adalah sebesar 5,57%. Sedangkan pada tahun 2006, sebesar 7,96% lebih tinggi dibandingkan LPE Nasional sebesar 6,9%. Terdapat 7 (tujuh) Kabupaten yang memiliki rata-rata LPE lebih tinggi dari rata-rata LPE Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Bogor (6,22%), Kabupaten Karawang (6,35%), Kabupaten Bekasi (5,94%), Kota Bogor (5,97%), Kota Sukabumi (5,73%), Kota Bandung (7,47%), dan Kota Depok (6,41%). Pengelompokkan kabupaten/kota berdasarkan rata-rata LPE dan kontribusi sektor ekonomi dapat dilihat pada tabel 1.3. TABEL 1.3 PENGELOMPOKKAN KABUPATEN/KOTA BERDASARKAN RATA-RATA LPE DAN KONTRIBUSI SEKTOR EKONOMI Sektor Primer 1. Kab. Sukabumi 2. Kab. Cianjur 3. Kab. Garut 4. Kab. Tasikmalaya 5. Kab. Indramayu 6. Kab. Subang Sumber : Analisis, 2008 Rata2 LPE 4,20 3,70 3,76 3,49 4,54 4,75 Sektor Sekunder 1. Kab. Bogor 2. Kab. Bandung 3. Kab. Purwakarta 4. Kab. Karawang 5. Kab. Bekasi 6. Kab. Bdg Barat 7. Kota Bekasi 8. Kota Depok 9. Kota Cimahi Rata2 LPE 6,22 1,58 5,02 6,35 5,94 5,04 5,43 6,41 5,32 Sektor Tersier 1. Kab. Ciamis 2. Kab. Kuningan 3. Kab. Cirebon 4. Kab. Majalengka 5. Kab. Sumedang 6. Kota Bogor 7. Kota Sukabumi 8. Kota Bandung 9. Kota Cirebon 10. Kota Tasikamalaya 11. Kota Banjar Rata2 LPE 4,00 4,13 4,79 4,04 4,05 5,97 5,73 7,47 4,57 4,71 4,58 Kontribusi dan pertumbuhan sektor ekonomi, menunjukkan sektor industri pengolahan memberikan kontribusi mencapai 45% pada tahun 2005, meningkat menjadi 45,94% pada tahun Sektor perdagangan, hotel dan restoran berkontribusi sebesar 20,19 pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan tipis menjadi 20,34 % pada tahun Sedangkan sektor pertanian mengalami penurunan kontribusi dari yang semula 14,93% pada 2005 menjadi 13,96% pada Hal diatas menunjukkan bahwa Jawa Barat didominasi oleh sektor sekunder dengan total kontribusi sebesar 48,56%, disusul oleh sektor tersier dengan kontribusi terhadap total PDRB sebesar 45,12% dan terakhir sektor primer menyumbang sebesar 16,33% terhadap total PDRB Jawa Barat. Jika dibandingkan dengan kontribusi sektor Pendahuluan 18

19 sekunder di tingkat nasional, kontribusi sektor sekunder terhadap PDRB Jawa Barat jauh lebih besar. Kontribusi sektor sekunder nasional terhadap PDB Indonesia sebesar 34,57%. Walaupun secara keseluruhan struktur perekonomian Provinsi Jawa Barat didominasi oleh sektor sekunder, namun ada beberapa kabupaten/kota yang kegiatan perekonomiannya didominasi oleh sektor primer dan sebagian lainnya kontribusi terbesarnya berasal dari sektor tersier. Kabupaten yang masih didominasi oleh sektor primer adalah Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Indramayu dan Subang. Walaupun secara persentase kontribusi terbesar terhadap PDRB total Provinsi Jawa Barat berasal dari sektor sekunder, namun ternyata jumlah kabupaten/kota yang ditopang oleh sektor tersier paling banyak, yaitu 11 (sebelas) kabupaten/kota. Kontribusi sektor tersier di kabupaten/kota tersebut terutama ditopang oleh sub sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sub sektor jasajasa, khususnya jasa pariwisata. Dengan memperhatikan kontribusi dan posisi relatif kabupaten/kota terhadap kontribusi tiap sektor maka diperoleh gambaran kabupaten/kota yang unggul atau potensial pada setiap sektor. Pada tahun 2002 kabupaten yang memiliki keunggulan pada sektor pertanian terdiri atas Kabupaten Karawang, Sukabumi, Ciamis, Subang, Bogor, Indramayu, Garut, Cianjur dan Tasikmalaya. Namun saat ini hanya Kabupaten Cianjur dan Tasikmalaya saja yang unggul pada sektor ini. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena produktivitas yang tidak menunjukkan kenaikan yang konstan. Sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar, hingga mencapai 26,39% kemudian disusul dengan sektor perdagangan dan jasa serapan sebesar 25,59%. Hal ini memperlihatkan bahwa ternyata sektor yang berkembang dan memberikan kontribusi tinggi tidak otomatis menjadi penyerap tenaga kerja. Padahal dalam paragraf sebelumnya terlihat bahwa sektor sekunder (industri pengolahan) berkontribusi sampai 45%, namun sektor ini hanya mampu menyerap tenaga kerja sebesar 17,43%. Sektor lain yang memiliki serapan tenaga kerja yang relatif tinggi adalah sektor jasa dengan serapan tenaga kerja sebesar 13,53%. Jawa Barat merupakan daerah tujuan investasi swasta, baik investasi asing maupun domestik. Pada tahun 2007 total nilai PMA Jawa Barat dalam US$ adalah 1.326,9 (dalam juta) dari total US$ ,6 (dalam juta) nilai PMA Indonesia, atau 12,7% dari total nilai investasi asing di Indonesia. Sedangkan untuk alokasi PMDN Jawa Barat adalah sebesar 32,5% dari total investasi domestik yang sebesar Rp ,7 (dalam miliar), Pendahuluan 19

20 atau nilai investasi domestik yang terealisasi di Jawa Barat sebesar Rp ,8 (dalam miliar). Pada tahun sebelumnya, 2006, total nilai PMA Jawa Barat dalam US$ adalah 5.977,0 (dalam juta) dari total US$ 5.977,0 (dalam juta) nilai PMA Indonesia, atau 32,42% dari total nilai investasi asing di Indonesia. Sedangkan untuk alokasi PMDN Jawa Barat adalah sebesar 28,2% dari total investasi domestik yang sebesar Rp ,4 (dalam miliar), atau nilai investasi domestik yang terealisasi di Jawa Barat sebesar Rp ,7 (dalam miliar). Nilai PMA yang dialokasikan di Jawa Barat mengalami penurunan pada tahun 2006 jika dibandingkan dengan tahun Namun nilai PMDN yang dialokasikan pada Jawa Barat tahun 2007 mengalami peningkatan jika dibandingkan nilai pada tahun Penggunaan lahan, sebaran tenaga kerja, dan realisasi investasi merupakan faktor yang cukup berperan dalam perkembangan ekonomi suatu wilayah. Perkembangan luas penggunaan lahan untuk kegiatan ekonomi secara tidak langsung dapat memperlihatkan perkembangan sektor ekonomi terkait. Berdasarkan pergeseran tutupan lahan Jawa Barat tahun , guna lahan untuk kegiatan ekonomi yang dominan meliputi guna lahan pertanian, yaitu sawah berkurang 27,1%, serta kawasan dan zona industri bertambah 37,9%. Dominasi penggunaan lahan lainnya adalah kebun campuran, perkebunan dan hutan, kecuali bagi Kota Bogor, Bandung, Cirebon dan Bekasi yang memiliki dominasi penggunaan lahan permukiman, terkait dengan perannya sebagai PKN di Jawa Barat. Data penggunaan lahan tahun 2005 menunjukkan bahwa di Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut, Kuningan, Indramayu, Purwakarta, Karawang, Bekasi, Kota Sukabumi dan Kota Bekasi tidak ada penggunaan lahan untuk jasa. Namun demikian, statistik kependudukan memperlihatkan bahwa sektor perdagangan dan jasa cukup dominan di wilayah-wilayah tersebut. Sedangkan wilayah-wilayah yang tidak memperlihatkan adanya penggunaan lahan untuk industri adalah Kabupaten/Kota Sukabumi, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Purwakarta Penggunaan Lahan A. Perubahan Guna Lahan Pada tahun 2005 penggunaan lahan terdiri dari hutan primer ha, hutan sekunder ha, kawasan dan zona industri ha, kawasan pertambangan/galian ha, kebun campuran ha, ladang/tegalan ha, padang rumput/ilalang ha, perkebunan ha, permukiman ha, Pendahuluan 20

21 sawah ha, semak belukar ha, sungai/tubuh air/danau/waduk/situ ha, tambak ha dan tanah kosong/terbuka ha. Guna lahan Provinsi Jawa Barat berdasarkan Citra Landsat 2005 dapat dilihat pada Gambar 1.4. GAMBAR 1.4 PETA GUNA LAHAN TAHUN 2005 Perubahan guna lahan dari tahun masih didominasi oleh penggunaan lahan berupa sawah dan kebun campuran. Beberapa fungsi lahan mengalami penurunan, sementara yang lainnya meningkat. Guna lahan yang mengalami penurunan luas paling tinggi hutan sekunder, yang mencapai rata-rata 3,2% per tahun antara tahun Sedangkan permukiman mengalami peningkatan sangat pesat, mencapai rata-rata pertumbuhan 3,8% per tahun dalam rentang waktu yang sama. Penggunaan lahan tahun dapat dilihat pada tabel 1.4. Fenomena pergeseran penggunaan lahan dalam kurun waktu , memperlihatkan terjadinya penurunan luas penggunaan lahan hutan primer ( Ha), hutan sekunder ( Ha) dan sawah ( Ha), dan terjadi penambahan luas penggunaan lahan pemukiman ( Ha), perkebunan ( Ha), serta ladang dan tegalan ( Ha), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.5. Pendahuluan 21

22 TABEL 1.4 PENGGUNAAN LAHAN TAHUN Guna Lahan Tahun Pergeseran Guna Lahan Hutan Primer Hutan Sekunder Semak Belukar Kawasan dan Zona Industri Kawasan Pertambangan / Galian Ladang / Tegalan Padang Rumput/Ilalang Perkebunan Permukiman Sawah Tambak Tanah Kosong / Terbuka Kebun Campuran Sungai/Tubuh Air/Danau/ Waduk/ Situ Jumlah Sumber: Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007 GAMBAR 1.5 GRAFIK PERGESERAN PENGGUNAAN LAHAN JAWA BARAT Hutan Primer 2. Hutan Sekunder 3. Semak Belukar 4. Kawasan Zona Industri 5. Kawasan Pertambangan dan Galian 6. Ladang / Tegalan 7. Padang Rumput / Ilalang 8. Perkebunan 9. Permukiman 10. Sawah 11. Tambak 12. Tanah Kosong 13. Kebun Campuran 14. Sungai Tubuh Air Penurunan luas hutan primer yang paling tinggi terjadi di Kabupaten Bogor ( Ha), diikuti oleh Kabupaten Sukabumi dan Cianjur, yaitu seluas Ha dan Ha. Sementara itu, untuk luas hutan sekunder, penurunan yang paling tinggi terjadi di Kabupaten Garut yaitu Ha dan Kabupaten Bandung yang mencapai Ha. Untuk kawasan lindung non hutan, terutama kawasan perkebunan mengalami Pendahuluan 22

23 peningkatan yang cukup signifikan, yaitu Ha. Luasan dan persentase tutupan lahan berfungsi lindung dapat dilihat pada Tabel 1.5. TABEL 1.5 LUASAN DAN PERSENTASE TUTUPAN LAHAN BERFUNGSI LINDUNG Tutupan Lahan Luas Th.2001 (Ha) Persentase dari Luas Jawa Barat Luas Th.2005 (Ha) Persentase dari Luas Jawa Barat Perubahan (Ha) Persentase perubahan Hutan Primer 325, ,8 322, ,7-3, ,1 Hutan Sekunder 291, ,9 270, ,3-21, ,6 Perkebunan 620, ,3 648, ,5 + 27, ,2 Sumber: Analisis, 2007 Pada kurun waktu , dari tiga jenis tutupan lahan berfungsi lindung yang mengalami perubahan paling besar terjadi pada luasan perkebunan yaitu meningkat ,7 Ha (1,2%). Sedangkan luasan hutan primer maupun sekunder mengalami penurunan sebesar ,1 Ha (0,6%), untuk luasan hutan primer terjadi penurunan luasan sebesar 3.103,3 Ha (0,1%). B. Sumberdaya Hutan Kerusakan (degradasi) hutan merupakan salah satu masalah lingkungan yang paling serius, karena berdampak terhadap persediaan kayu, sumberdaya non-kayu, serta konservasi keanekaragamanhayati dan fungsi ekologis hutan bagi kepentingan hidup manusia. Besarnya degradasi hutan di Jawa Barat digambarkan dengan luasan tegakan hutan saat ini kurang dari 10%, dibandingkan fakta bahwa 23% luas wilayah Provinsi diklasifikasikan sebagai kawasan hutan negara. Pada tahun 1994 sampai dengan 2001, luas tegakan hutan lindung berkurang sekitar 24%, dan hutan produksi berkurang sekitar 31%. Diperkirakan jika tidak ada upaya-upaya pengendalian konversi fungsi hutan dan pengendalian penggunaan lebih (over utilization), hutan primer di Jawa Barat akan hilang. Kerusakan hutan menjadi semakin serius akibat tindakan perambahan secara langsung oleh beberapa keluarga petani miskin, dan secara tidak langsung oleh pengusaha komersial karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Statistik menunjukkan bahwa industri perkayuan di Jawa Barat memerlukan sekitar 2,5 juta m 3 per tahun kayu untuk bahan bakunya. Namun, produksi kayu legal dari Perum Perhutani hanya berkisar sampai dengan m 3 per tahun. Ketidakseimbangan antara permintaan dan pemenuhan kayu membuat penebangan liar menjadi lebih marak. Pendahuluan 23

24 Kerusakan hutan cenderung merubah lahan subur menjadi lahan kritis, dan secara langsung menurunkan fungsi lindungnya, sehingga tidak dapat melindungi kawasan bawahannya secara maksimal, dan dapat menyebabkan terjadinya kekeringan, longsor, dan bencana lainnya. Peristiwa kebakaran hutan juga menjadi salah satu penyebab berubahnya lahan subur menjadi lahan kritis, dimana kebakaran hutan berdampak pada hilangnya tegakan tanaman hutan, sehingga tingkat erosi menjadi tinggi. Kenyataan ini merupakan masalah makro karena mempunyai keterkaitan dengan sistem ekologi dan hidrologi. Tingkat erosi atau erosifitas di Jawa Barat telah mencapai ton per tahun. Erosifitas berdasarkan guna lahan tahun 2005 dapat dilihat pada Gambar 1.6. GAMBAR 1.6 PETA EROSIFITAS BERDASARKAN GUNA LAHAN TAHUN 2005 Berdasarkan analisis peta kawasan lindung dan peta sebaran lahan kritis tahun 2006, luas kawasan lindung yang berada dalam kondisi kritis mencapai 8,06%. Kondisi lahan kritis yang cukup parah terjadi di Kawasan Priangan Timur (17,95%), Bopunjur ,4 Ha (9,52%), dan Bandung Utara. Peta lahan kritis dapat dilihat pada Gambar 1.7, dan luas lahan kritis per kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 1.6. Lahan kritis di Kawasan Priangan Timur disebabkan konversi lahan menjadi perumahan, penebangan liar di kawasan lindung, pemanfaatan kawasan lindung menjadi Pendahuluan 24

25 kawasan pertanian, dan lemahnya penegakan hukum. Sedangkan lahan kritis di kawasan Bandung Utara (KBU) dan Bopunjur disebabkan proses pembukaan lahan yang terus berlangsung. Hal tersebut diatas terjadi karena lemahnya pengawasan dan pengendalian terutama dalam pemberian ijin lokasi pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peraturan rencana tata ruang. GAMBAR 1.7 PETA SEBARAN LAHAN KRITIS BERDASARKAN KRITERIA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 TABEL 1.6 LUAS LAHAN KRITIS PER KABUPATEN/KOTA TAHUN 2003 NO KABUPATEN/KOTA LUAS (HA) 1 KAB. GARUT 82, KAB. SUKABUMI 67, KAB. BANDUNG 47, KAB. MAJALENGKA 47, KAB. CIANJUR 46, KAB. BOGOR 45, KAB. INDRAMAYU 40, KAB. KARAWANG 31, KAB. SUBANG 30, KAB. CIAMIS 25, KAB. SUMEDANG 23, KAB. TASIKMALAYA 23, Pendahuluan 25

26 NO KABUPATEN/KOTA LUAS (HA) 13 KAB. PURWAKARTA 18, KAB. KUNINGAN 18, KAB. BEKASI 13, KAB. CIREBON 8, KOTA TASIKMALAYA 4, KOTA BANJAR 2, KOTA BOGOR KOTA CIMAHI KOTA DEPOK KOTA BANDUNG KOTA SUKABUMI KOTA BEKASI KOTA CIREBON JUMLAH 580, Sumber : Biro Bina Produksi, 2003 C. Alih Fungsi Lahan Hutan Berdasarkan kesepakatan seluruh pemangku kawasan hutan di Jawa Barat, yang mengacu pada peta tematik dasar kehutanan, luas Kawasan Hutan Jawa Barat adalah ,74 Ha, meliputi kawasan hutan daratan ,74 Ha dan kawasan hutan perairan 1.710,00 Ha, dengan perincian Hutan Lindung ,73 Ha, Hutan Konservasi ,20 Ha, dan Hutan Produksi ,81 Ha. Peta penunjukkan kawasan hutan dapat dilihat pada Gambar 1.8. GAMBAR 1.8 PETA PENUNJUKKAN KAWASAN HUTAN Pendahuluan 26

27 Beberapa status dan fungsi kawasan hutan lindung tersebut dalam prosesnya mengalami perubahan, diantaranya perubahan status Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, perubahan fungsi kawasan lindung kelompok hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai, serta perubahan fungsi kawasan hutan lindung Ujung Karawang Muaragembong. Sejak penetapan kawasan hutan Provinsi Jawa Barat tahun 1934 sampai dengan akhir tahun 2007 telah terjadi proses tukar-menukar kawasan hutan sebanyak 33 lokasi seluas ,44 Ha. Sesuai peraturan perundangan kehutanan tentang prosedur tukarmenukar kawasan hutan, seharusnya luas kawasan hutan Jawa Barat bertambah karena ada kewajiban untuk menyediakan lahan pengganti dengan perbandingan minimal 1:1. Sampai saat ini sebagian besar kawasan yang dimohon dan lahan pengganti belum ada pengukuhan serta penetapannya. D. Alih Fungsi Lahan Sawah Penurunan luas kawasan pertanian lahan basah beririgasi teknis pada tahun 2004 seluas Ha, tahun 2005 menjadi Ha dan tahun 2006 menjadi Ha. Lahan kawasan pertanian lahan basah beririgasi teknis diharapkan dapat lebih produktif dibandingkan lahan sawah yang menggunakan jenis irigasi lainnya, namun yang terjadi adalah penurunan kinerja untuk kawasan sawah. Walaupun luasan pada lahan sawah dengan irigasi sederhana dan tadah hujan meningkat, namun hal tersebut tidak memberikan peningkatan kinerja lahan sawah. Penyebabnya adalah kemampuan desa dalam mengelola dan menggunakan sistem irigasi sederhana, sedangkan lahan sawah tadah hujan sangat tergantung pada musim untuk memulai masa tanamnya. Sehubungan dengan hal tersebut, lahan sawah yang menggunakan dua sistem irigasi diatas (irigasi sederhana dan tadah hujan) tidak seproduktif lahan sawah beririgasi teknis. Secara agregat, luas lahan sawah di Jawa Barat mengalami penurunan antara tahun , namun meningkat kembali di tahun 2006 menjadi Ha, terutama disebabkan oleh peningkatan luas lahan tadah hujan dan irigasi sederhana. Sedangkan ditinjau dari pergeseran luas lahan sawah menurut kabupaten/kota selama rentang tahun , memperlihatkan penurunan sebesar ,01 Ha (18,4%), dimana Kabupaten Tasikmalaya mencapai ,63 Ha (15,8%). Pendahuluan 27

28 GAMBAR 1.9 PETA TUTUPAN LAHAN SAWAH TAHUN 2005 TABEL 1.7 PERGESERAN LAHAN SAWAH MENURUT JENIS PENGAIRANNYA TAHUN 2007 No Kabupaten/ Kota Areal Irigasi Pemerintah (Ha) Potensial Fungsional Areal Irigasi Perdesaan (Ha) Areal Tadah Hujan (Ha) Jumlah Areal (Ha) 1 Kab Bogor Kota Bogor Kota Depok Kab Sukabumi Kota Sukabumi Kab Cianjur Kab Bandung Kota Bandung Kota Cimahi Kab Garut Kab Tasikmalaya Kota Tasikmalaya Kab Ciamis Kota Banjar Kab Cirebon Kota Cirebon Kab Kuningan Kab Majalengka Pendahuluan 28

29 No Kabupaten/ Kota Areal Irigasi Pemerintah (Ha) Potensial Fungsional Areal Irigasi Perdesaan (Ha) Areal Tadah Hujan (Ha) Jumlah Areal (Ha) 19 Kab Sumedang Kab Indramayu Kab Karawang Kab Bekasi Kota Bekasi Kab Subang Kab Purwakarta Total Sumber: Analisis, 2007 TABEL 1.8 PERGESERAN LUAS LAHAN SAWAH MENURUT KABUPATEN/KOTA TAHUN (HA) No Kabupaten/Kota Luas Tahun 1994 Luas Tahun 2005 Pergeseran Luas 1 Kab Bogor , , ,90 2 Kab Sukabumi , , ,90 3 Kab Cianjur , , ,40 4 Kab Bandung , , ,30 5 Kab Garut , , ,60 6 Kab Tasikmalaya , , ,60 7 Kab Ciamis , , ,30 8 Kab Kuningan , , ,90 9 Kab Cirebon , , ,40 10 Kab Majalengka , , ,10 11 Kab Sumedang , , ,20 12 Kab Indramayu , , ,30 13 Kab Subang , , ,80 14 Kab Purwakarta , , ,40 15 Kab Karawang , , ,70 16 Kab Bekasi , , ,80 17 Kota Bogor 2.077, ,60-527,30 18 Kota Sukabumi 2.663, ,50-171,40 19 Kota Bandung 3.397, , ,20 20 Kota Cirebon 422,9 96,7-326,20 21 Kota Bekasi 669,8 294,8-375,00 22 Kota Depok 5.712, ,30-800,50 23 Kota Cimahi 973,9 844,9-129,00 24 Kota Tasikmalaya 9.803, ,10-796,00 25 Kota Banjar 3.642, ,60 Total , , ,80 Sumber: Dinas PSDA Jawa Barat, 2008 Pendahuluan 29

30 1.5.4 Infrastruktur Wilayah Sumber Daya Air dan Irigasi Jawa Barat memiliki curah hujan tahunan rata-rata berkisar antara mm/tahun dan memiliki potensi sumber daya air khususnya air permukaan mencapai rata-rata 48 Milyar m 3 /tahun dalam kondisi normal. Potensi tersebut baru dimanfaatkan sekitar 50% atau 24 Milyar m 3 /tahun, sedang sisanya langsung terbuang ke laut. Potensi sumber daya air tersebut mengalir pada 5 (lima) Wilayah Sungai (WS) yang terbagi dalam 41 Daerah Aliran Sungai (DAS) atau sekitar buah sungai induk dan anak-anak sungainya. Peta pembagian WS dapat dilihat pada Gambar 1.10, dan peta DAS dapat dilihat pada Gambar Sekitar 35,9 Milyar m 3 /tahun (75%) dari jumlah potensi tersebut mengalir pada buah sungai yang secara geografis lintas kabupaten/kota, sedangkan sisanya yaitu 12,1 Milyar m 3 /tahun (25%) berada pada buah sungai. Potensi air permukaan dan luas setiap wilayah sungai yang terdapat di Jawa Barat, dapat dilihat pada Tabel 1.9. Wilayah Sungai di Jawa Barat, sesuai penetapan wilayah sungai, terbagi dalam 2 wewenang dan tanggung jawab, terdiri atas : Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah : 1. Cidanau-Ciujung-Cidurian-Cisadane-Ciliwung-Citarum 2. Cimanuk-Cisanggarung 3. Citanduy Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah Provinsi: 1. Ciwulan-Cilaki 2. Cisadea-Cibareno No TABEL 1.9 POTENSI DAN LUAS WILAYAH SUNGAI MENURUT KEWENANGAN Wilayah Sungai 1. Cidanau-Ciujung- Cidurian-Cisadane- Ciliwung-Citarum Juta m 3 / tahun Luas (Km2) Lintas Prov./ Lokal Total Kab./Kota Kab./Kota , , , ,06 2. Cimanuk-Cisanggarung 6.972, ,64 305, ,07 3. Citanduy 8.033, , , ,19 4. Ciwulan-Cilaki 5. Cisadea-Cibareno 8.813, , , ,47 Total , , , ,77 Sumber : Dinas PSDA dan Hasil Analisis, 2008 Pendahuluan 30

31 GAMBAR 1.10 PETA PEMBAGIAN WILAYAH SUNGAI Kewenangan Provinsi GAMBAR 1.11 PETA DAERAH ALIRAN SUNGAI Pendahuluan 31

32 Selain sumber daya air alami, Jawa Barat memiliki situ-situ dan waduk-waduk buatan. Tidak kurang dari 20 waduk mempunyai kapasitas tampung lebih dari 6,8 Milyar m 3, diantaranya 3 waduk dibangun pada Sungai Citarum yaitu Waduk Saguling, Waduk Cirata, dan Waduk Juanda. Ketiga waduk tersebut mempunyai daya tampung total mencapai 5,83 Milyar m 3. Sedangkan situ/danau dan embung, sampai dengan tahun 2004 telah terinventarisir sebanyak 456 buah situ. Namun sebagian besar situ/danau yang ada tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan mengalami penurunan kapasitas tampung. Peta infrastruktur sumberdaya air dapat dilihat pada Gambar Secara umum pola pemanfaatan sumber daya air hanya diarahkan pada air permukaan. Pemanfaatan air tanah sifatnya conjunctive use dan diprioritaskan untuk keperluan domestik serta dikembangkan hanya untuk daerah-daerah tertentu yang benarbenar tidak bisa terpenuhi oleh air permukaan. Namun eksisting pemanfaatan sumberdaya air juga menggunakan air tanah, terutama oleh kegiatan perkotaan dan industri yang tumbuh dengan pesat. GAMBAR 1.12 PETA INFRASTRUKTUR SUMBERDAYA AIR Potensi air tanah terdiri dari air tanah dangkal dan air tanah dalam. Air tanah dangkal pada umumnya dipergunakan untuk keperluan domestik yang kapasitasnya kecil. Ketersediaan air tanah dangkal biasanya akan bergantung dari curah hujan, karena Pendahuluan 32

33 proses imbuhnya terjadi secara langsung dari curah hujan. Dari hasil estimasi, potensi air tanah dangkal adalah sebesar 16,8 Milyar m 3 /tahun. Estimasi lainnya, dengan asumsi bahwa tebal rata-rata akuifer 3 m, potensi air tanah dangkal yang dapat dimanfaatkan adalah sebesar 2.20 Milyar m 3 /tahun. Sedangkan potensi air tanah dalam yang bisa dimanfaatkan di Jawa Barat adalah sekitar 3.52 Milyar m 3 /tahun, yang terdiri 2.04 Milyar m 3 /tahun air tanah dalam semi tertekan dan 1.48 Milyar m 3 /tahun air tanah dalam tertekan. Pengembangan sumber daya air pada wilayah sungai ditujukan untuk peningkatan kemanfaatan fungsi sumber daya air guna memenuhi kebutuhan air baku untuk rumah tangga, pertanian, industri, pariwisata, dan untuk keperluan lainnya. Pemenuhan kebutuhan air baku untuk pertanian dilakukan dengan pengembangan sistem irigasi dan merupakan wewenang dan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Kriteria pembagian tanggung jawab pengelolaan irigasi selain didasarkan pada keberadaan jaringan tersebut terhadap wilayah administrasi juga didasarkan pada strata luasannya sebagai berikut : Daerah Irigasi (DI) dengan luas < 1000 Ha dan berada dalam satu kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Daerah Irigasi (DI) dengan luas Ha atau DI yang bersifat lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah provinsi. Daerah Irigasi (DI) dengan luas > 3000 Ha atau DI yang bersifat lintas provinsi, strategis nasional, dan lintas negara menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah. Sawah beririgasi di Jawa Barat seluas Ha (6.954 DI) terbagi menjadi kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan desa, dapat dilihat dalam Gambar Pada Tahun 2008, kondisi daerah irigasi kewenangan Provinsi di Jawa Barat menunjukkan bahwa sebagian besar daerah irigasi mengalami rusak ringan dan rusak berat yang mencapai 41%. Kinerja pengelolaan jaringan irigasi kewenangan pemerintah Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel Pendahuluan 33

34 GAMBAR 1.13 SKEMA PEMBAGIAN LUASAN SAWAH BERDASARKAN JENIS PENGAIRAN DAN KEWENANGAN LUAS SAWAH HA (6.954 DI) SAWAH BERIRIGASI HA (6.954 DI) 89,52% SAWAH TADAH HUJAN HA (10,48 %) KEWENANGAN PUSAT Ha (20 DI) 41,67 % KEWENANGAN PROV Ha (89 DI) 9,11 % KEWENANGAN KAB/KOTA Ha (396 DI) 9,93 % LUAS IRIGASI DESA Ha (6.449 DI) 39,29 % Lintas Provinsi Ha (2 DI) Lintas Kab/Kota Ha (47 DI) Areal > Ha Ha (18 DI) Areal ha Ha (42 DI) Sumber : Dinas PSDA, 2008 TABEL 1.10 KINERJA PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT URAIAN TAHUN Jumlah daerah irigasi (DI) Prov (buah) Intensitas tanam (%) Jaringan irigasi yang rusak (%) Sumber : PSDA, Jalan dan Perhubungan A. Jalan Berdasarkan pembagian kewenangan penanganan jalan, sistem jaringan jalan di Jawa Barat ditinjau dari status jalan, terdiri atas jalan nasional sepanjang 1.140,69 Km, jalan provinsi sepanjang 2.199,18 Km, dan jalan kabupaten/kota sepanjang ,18 Km. Selain itu, terdapat pula ruas-ruas jalan yang belum memiliki status dan fungsi yang seharusnya menjadi bebannya. Salah satu ruas jalan yang masih belum memiliki status, namun memiliki urgensi dalam meningkatkan pengembangan wilayah adalah ruas- Pendahuluan 34

35 ruas jalan dalam koridor horisontal bagian selatan, yang membentang dari Kabupaten Sukabumi (Surade) sampai dengan perbatasan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis (Kalapagenep), dengan panjang 257,74 km. Kondisi jalan di Jawa Barat digambarkan melalui kondisi kemantapan jalan. Pada Tahun 2007, kemantapan jalan nasional di Jawa Barat mencapai 85%, sementara kondisi kemantapan untuk ruas jalan provinsi berdasarkan survey Integrated Road Management System (IRMS) tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel TABEL 1.11 KONDISI KEMANTAPAN JALAN Kondisi Jalan Mantap Jalan Tidak Mantap Baik Sedang Jumlah Rusak Ringan Rusak Berat Jumlah Jumlah Total Panjang (Km) 504, , ,14 182,70 96,34 279, ,18 Persentase (%) 22,95 % 64,36 % 87,31 % 8,31 % 4,38 % 12,69 % 100,00 % Untuk ruas jalan kabupaten/kota memiliki tingkat kemantapan yang lebih rendah, bahkan di beberapa wilayah banyak yang berada dibawah angka 50%. Selain ruas-ruas jalan tersebut, terdapat juga jaringan jalan tol, dengan panjang sekitar 251 Km, dengan perincian sebagai berikut : Jalan Tol Jakarta Cikampek, dengan panjang 72 km Jalan Tol Jagorawi, dengan panjang 46 km Jalan Tol Palimanan-Kanci, dengan panjang 26 km Jalan Tol Padaleunyi, dengan panjang 47 km Jalan Tol Cipularang, dengan panjang 60 km Dalam pengembangan jalan tol yang ditujukan terutama untuk mendukung pusat pertumbuhan ekonomi, menghubungkan antar kawasan, serta mengatasi kemacetan di daerah perkotaan, terdapat rencana jalan tol yang masih dalam proses pembangunan, meliputi : Jalan Tol Cinere-Jagorawi, dengan panjang 15 km Jalan Tol Depok-Antasari, dengan panjang 21 km Jalan Tol Bogor Ring Road, dengan panjang 11 km Jalan Tol Cimanggis-Cibitung, dengan panjang 25,4 Km Pendahuluan 35

36 Kebijakan pengembangan jalan tol lainnya yang sedianya diperlukan dalam mendukung perkembangan pembangunan Jawa Barat, diarahkan pada : Pengembangan Jalan Sekunder dan pendukung Pulau Jawa yang meliputi: Ciawi- Sukabumi-Bandung dan Cileunyi-Sumedang-Dawuan, Pengembangan Jalan tol daerah perkotaan, antara lain di wilayah Jabodetabek dan Bandung. Pola jaringan jalan di Jawa Barat terdiri dari tiga jaringan utama, yaitu : 1. Koridor Utara : DKI Jakarta Cikampek Cirebon 2. Koridor Tengah : Jasinga Bogor Cianjur Bandung Banjar 3. Koridor Selatan : Pelabuhanratu Sagaranten Sindangbarang Pameungpeuk Cipatujah Kalapagenep Pangandaran. Secara umum kondisi jaringan jalan di Jawa Barat bagian utara dan tengah relatif baik, terutama untuk sistem horizontal. Untuk Jawa Barat bagian selatan, koridor Pelabuhanratu-Sagaranten Sindangbarang Pameungpeuk Cipatujah Pangandaran Kelapagenep, belum memiliki kondisi yang baik, dalam sistem jaringan lintas vertikal maupun horizontal. GAMBAR 1.14 PETA INFRASTRUKTUR JALAN DAN PERHUBUNGAN EKSISTING Pendahuluan 36

37 B. Perhubungan Darat Berkaitan dengan jaringan pelayanan kereta api, tidak semua jaringan yang tersedia dioperasikan. Kondisi jalur-jalur tersebut dipandang masih cukup prospektif untuk dikembangkan, mengingat sarana transportasi ini memiliki daya tarik yang kuat bagi masyarakat, selain juga sejalan dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan ketersediaan transportasi masal. Jalur-jalur yang tidak dimanfaatkan adalah Rancaekek Tanjung Sari, Banjar Cijulang, Bandung Soreang Ciwidey. Adapun jalur-jalur yang masih dapat dioperasikan, namun perlu peningkatan kualitas adalah jalur Bandung Cianjur Sukabumi, Sukabumi Bogor, Padalarang Cicalengka. Selain jaringan rel, terdapat pula jaringan prasarana yang terdiri dari simpulsimpul berupa stasiun kereta api. Stasiun kereta api yang cukup besar di Jawa Barat adalah : 1. Jalur Selatan, yang meliputi Stasiun Bandung, Stasiun Tasikmalaya, Stasiun Banjar 2. Jalur Utara, yang meliputi Stasiun Bekasi, Stasiun Cikampek, Stasiun Cirebon. B. Perhubungan Laut Pelabuhan Laut yang terdapat di Jawa Barat, terdiri dari : Pelabuhan Regional Muara Gembong, Kab. Bekasi, merupakan pelabuhan kelas V Pelabuhan Regional Pangandaran, Kab. Ciamis, merupakan pelabuhan kelas V dengan kapasitas 300 DWT Pelabuhan Internasional Cirebon, Kota Cirebon, dengan kapasitas DWT, yang dikelola oleh PT. Pelindo II (Cabang Cirebon) Pelabuhan Regional Khusus Kejawanan, Kab. Cirebon Pelabuhan Regional Indramayu, Kab. Indramayu, merupakan pelabuhan kelas V dengan kapasitas 300 DWT Pelabuhan Nasional Pamanukan, Kab. Subang, merupakan pelabuhan kelas V dengan kapasitas 300 DWT Pelabuhan Regional Pelabuhan Ratu, Kab. Sukabumi, merupakan pelabuhan kelas V dengan kapasitas 500 DWT. Selain pelabuhan laut yang berfungsi sebagai moda transportasi laut, yang berorientasi ekonomi dan distribusi orang dan barang, Jawa Barat juga memiliki pelabuhan khusus, yaitu : Pelabuhan khusus Pertamina untuk BBM dan PLTG di Balongan Kabupaten Indramayu Pendahuluan 37

38 Pelabuhan Khusus milik PT. PLN yaitu Pelabuhan Khusus PLTU Muara Tawar di Kabupaten Bekasi Pelabuhan Khusus milik PT. Pupuk Kujang di Pamanukan Kabupaten Subang Pelabuhan Khusus yang berlokasi di Kabupaten Sukabumi yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera Pelabuhan Khusus PT. Sinar Surya Makmur yang dikhususkan untuk memuat dan membongkar bahan Batubara. C. Perhubungan Udara Sampai dengan tahun 2007, Jawa Barat memiliki beberapa bandar udara yang cukup mendukung pergerakan orang dan barang, diantaranya : Bandara Husein Sastranegara, Bandung, dengan run way m x 45 m, dikelola oleh PT. Angkasa Pura II Bandara Udara Nusa Wiru, Pangandaran dengan run way m x 30 m, dikelola oleh TNI Bandara Penggung/Cakrabuana, Cirebon, dengan run way m x 30 m, yang dikelola oleh UPT Ditjen Perhubungan Udara, merupakan pelabuhan kelas IV. GAMBAR 1.15 PETA BANDAR UDARA DAN PANGKALAN UDARA Pendahuluan 38

39 Energi dan Telekomunikasi Jawa Barat memiliki potensi energi fosil berupa gas dan minyak bumi, tenaga air yang digunakan sebagai pembangkit listrik, dan sumberdaya panas bumi. Selain itu, memiliki potensi sumberdaya terbarukan lainnya, yaitu energi surya dan energi angin yang sudah dikembangkan. Energi terbarukan yang akan dikembangkan yaitu biomasa dan energi gelombang laut. Potensi cadangan minyak bumi Jawa Barat tersebar di daerah Bekasi, Indramayu, Karawang, Majalengka dan Subang. Cadangan minyak awal di kelima daerah tersebut adalah MSTB (ribu stok tank barrel) dengan pengambilan maksimum MSTB. Dari sejumlah cadangan minyak yang ada, telah diproduksi sebanyak MSTB sehingga sisa cadangan yang tersisa sebesar MSTB. Operator Migas dilaksanakan oleh BP. Indonesia dan PT. Pertamina EP dengan total produksi Minyak Bumi 4% dan Gas 11% dari total produksi Migas Indonesia yang dihasilkan dari 58 lapangan Migas. Potensi sumber daya gas alam di Jawa Barat terdapat di Indramayu, Karawang, Majalengka dan Subang. Cadangan Gas Awal (IGIP Initial Gas In Place) di daerah tersebut mencapai ,70 MMSCF, pengambilan maksimum adalah ,90 MMSCF, produksi kumulatif mencapai ,96 MMSCF sehingga masih terdapat sisa cadangan sebesar ,94 MMSCF (MMSCF = juta kaki kubik). Potensi sumber daya gas alam di Jawa Barat lebih besar dibandingkan potensi minyak bumi, namun potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa Barat. Peta infrastruktur minyak dan gas dapat dilihat pada Gambar Jawa Barat juga memanfaatkan potensi energi yang berasal dari sumber daya air sebagai sumber pembangkit listrik baik dalam skala besar maupun dalam skala mikro. Tiga waduk besar yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, menjadi sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang terkoneksi dalam sistem Jawa Bali. Ketiga waduk tersebut adalah Waduk Jatiluhur yang memberikan kontribusi listrik sebesar 150 MW, Waduk Cirata dengan kapasitas MW, dan Waduk Saguling dengan kapasitas 700 MW. Pendahuluan 39

40 GAMBAR 1.16 PETA INFRASTRUKTUR MIGAS EKSISTING TAHUN 2006 Pemanfaatan sumberdaya air untuk pengembangan pembangkit listrik skala mikro (mikrohidro), tersebar di beberapa kabupaten, terutama di wilayah Jawa Barat Bagian Selatan. Pengembangan mikrohidro dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan listrik perdesaan yang tidak terlayani melalui jaringan listrik PLN. Potensi sebaran potensi mikrohidro dapat dilihat pada Tabel TABEL 1.12 POTENSI TENAGA AIR SKALA MIKRO UNTUK TENAGA LISTRIK Tahun Kabupaten Kecamatan Desa Jumlah KK Daya (kva) Pembiayaan 2001 Garut Bungbulang Mekarbakti APBD Prop 2002 Sukabumi Cisolok Simaresmi APBD Prop Cianjur Cidaun Mekarjaya APBD Prop Garut Cikelet Linggamanik APBD Prop 2003 Tasikmalaya Cipatujah Nagrog APBN 2004 Garut Bungbulang Mekarwangi 50 17,5 APBN 2005 Cianjur Sd. Barang Girimukti APBD Prop Ciamis Cigugur Harumandala ,6 APBD Prop Tasikmalaya Cipatujah Mertajaya APBN Pendahuluan 40

41 Tahun Kabupaten Kecamatan Desa Jumlah KK Daya (kva) Pembiayaan 2006 Sukabumi Cidadap Hegarmulya APBD Garut Cibalong Segara APBD Jumlah Keseluruhan ,1 APBD Provinsi Jawa Barat ,6 APBN (Dekonsentrasi) ,5 Sumber: Distamben Jawa Barat, 2005 Potensi panas bumi di Jawa Barat berasal dari gunung berapi aktif yang berada di daerah patahan geologi dan memiliki potensi panas bumi yang cukup besar, diperkirakan mencapai MW (± 21,7% dari total potensi panas bumi Indonesia dan tersebar di 43 lokasi di 11 Kabupaten). Distribusi potensi geothermal dapat dilihat pada Gambar 1.17 dan Gambar GAMBAR 1.17 PETA DISTRIBUSI POTENSI GEOTHERMAL DI JAWA BARAT 0 40 Km PLTP Awibengkok G. Salak PLTP Kamojang REGENCY 1. BOGOR 2. SUKABUMI 3. BANDUNG 4. SUBANG 5. CIANJUR 6. GARUT 7. TASIKMALAYA 8. CIAMIS 9. KUNINGAN 10. CIREBON 11. SUMEDANG PLTP Darajat DISTRIBUTION MAP OF GEOTHERMAL POTENTIAL IN WEST JAVA PLTP Wayang Windu TOTAL POTENTIAL = 6101 SPECULATIVE : 1850 MW MW ESTIMATED : 1457 MW HYPOTHETICAL : 864 MW PROBABLE : 488 MW PROVEN : 1442 MW Pendahuluan 41

42 GAMBAR 1.18 PETA SEBARAN POTENSI PANAS BUMI YANG DIMANFAATKAN SEBAGAI ENERGI LISTRIK TOTAL LISTRIK TERBANGKITKAN : 749 MW BEKA Cadangan = 600 MWe Kapasitas terpasang = 354 MW INDRAMA BOG PURWAKA Sumber daya = 75 MWe Cadangan = 385 MWe Kapasitas terpasang = 110 SUKABU CIANJ SUMEDA BANDUNG GAR CIREB KUNING TAS BANJ Cadangan = 350 MWe Kapasitas terpasang = 145 MW Cadangan = 300 MWe Kapasitas terpasang = 140 MW Sumber : Distamben, 2004 Sebagian potensi panas bumi telah dieksplorasi untuk pembangkit listrik sebesar 705 MW, (sekitar 93,6% dari potensi listrik panas bumi nasional), yakni PLTP Kamojang sebesar 140 MW, PLTP Darajat sebesar 145 MW, PLTP Gunung Salak sebesar 380 MW dan PLTP Wayang Windu sebesar 110 MW. Jumlah energi terpasang ini hanya sekitar 35% dari cadangan terbukti (sekitar 3% dari total potensi energi panas bumi yang tersedia). Sebagian potensi lainnya telah direncanakan sebagai proyek komitmen sebesar MW. Dengan demikian masih terdapat potensi panas bumi sebesar MWe yang belum termanfaatkan. Pengembangan panas bumi sebagai sumber energi listrik akan dikembangkan di 3 (tiga) lokasi yaitu Gunung Tangkuban Parahu dengan kapasitas 2 x 30 MW, Cisolok-Sukarame dengan kapasitas 2 x 15 MW, dan Gunung Tampomas dengan kapasitas sebesar 30 MW. Tabel 1.13 menunjukkan potensi pengembangan panas bumi pada ketiga lokasi tersebut. Pendahuluan 42

43 TABEL 1.13 PEMANFAATAN ENERGI PANAS BUMI UNTUK TENAGA LISTRIK Description Cisolok-Sukarame Cisukarame Ciater Tampomas Generated Power 30 MW (2x15 MW) 60 MW (2x30 MW) 30 MW Total Investment US $ Million US $ Million US $ Million NPV US $ Million US $ Million US $ Million IRR % % % Payout Time Between year 11 to 12 Between year 9 to 10 Between year 10 to 11 Pengembangan energi surya telah dilakukan dalam skala kecil (rumah tangga), ditujukan bagi masyarakat yang tidak mendapatkan jaringan listrik PLN. Kendala yang dihadapi pada pengembangan energi surya adalah elemen dan pemeliharaan yang masih cukup mahal. Disamping itu, efisiensi tenaga surya masih dianggap terlalu kecil, yaitu sekitar 5%, sehingga pemanfataan energi surya hanya dapat digunakan untuk kebutuhan dasar saja (penerangan). Pengembangan energi angin skala kecil baru dikembangkan di wilayah Pantura Jawa Barat, berupa pemanfaatan angin untuk memompa air bagi lahan pertanian. Pengembangan energi alternatif lainnya adalah bioenergi, yaitu biomasa dan biofuel. Biomasa yang dikembangkan sampai dengan saat ini adalah yang berasal dari kotoran ternak. Sedangkan biofuel baru mulai dikembangkan melalui pengembangan bioethanol dan biokerosin, yang ditujukan untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap energi fosil. Pengembangan pemanfaatan energi surya untuk tenaga listrik (solar home system) secara kontinyu dikembangkan untuk memfasilitasi daerah terpencil, dapat dilihat pada Tabel Pendahuluan 43

44 TABEL 1.14 PEMANFAATAN ENERGI SURYA UNTUK TENAGA LISTRIK Tahun Kabupaten Jumlah (unit) 2004 Majalengka, Kec. Kertajati, UPT 60 Sukamaju Desa Mekarjaya 2005 Cianjur 50 Majalengka 2006 Majalengka 32 Indramayu 57 Cianjur 100 Kuningan 3 Jumlah 302 Sumber: Distamben Jawa Barat, 2006 Terkait dengan pemanfaatan listrik yang berasal dari PLN, pasokan listrik dipenuhi dari Sistem Ketenagalistrikan Jawa Madura Bali (Jamali). Pengelolaan pasokan listrik dilakukan oleh : 1. PT. PLN P3B (Persero) Region Jawa Barat, untuk daerah Karawang, Cianjur, Purwakarta, Cimahi, Bandung, Majalaya, Sumedang, Cirebon, Garut, Tasikmalaya. 2. PT. PLN P3B (Persero) Region Jakarta dan Banten, untuk daerah Sukabumi, Bogor, Depok dan Bekasi. Distribusi pasokan Listrik Provinsi Jawa Barat mempunyai dua mekanisme pasokan, yakni melalui pasokan listrik PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten, dan sumber listrik sendiri (captive power) yang digunakan untuk memenuhi berbagai sektor pengguna, termasuk yang berada pada kawasan industri Jababeka dan Cikarang Listrindo yang mempunyai hak khusus (IUKU) menyediakan listrik untuk kawasan tersebut. Rasio jumlah captive power yang tersambung dengan jaringan listrik PLN sebesar 70,2%. Hal ini menunjukkan bahwa sudah cukup besar captive power yang terinterkoneksi dengan sistem jaringan listrik nasional. Selain itu terdapat juga berbagai captive power yang digunakan oleh masyarakat untuk kepentingannya sendiri, yang berasal dari berbagai jenis pembangkit, seperti PLTD, PLTMH, PLTS dan sebagainya. Peta infrastruktur listrik dapat dilihat pada Gambar Pendahuluan 44

45 GAMBAR 1.19 PETA INFRASTRUKTUR LISTRIK PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2006 Kebutuhan listrik Provinsi Jawa Barat dari tahun ke tahun dapat dilihat dalam Neraca Daya Listrik. Dalam membuat Neraca Daya Listrik, diambil suatu asumsi bahwa kebutuhan daya listrik Provinsi Jawa Barat harus dipenuhi oleh pembangkit listrik yang ada di Provinsi Jawa Barat. Beban Puncak dalam Neraca Daya ini adalah hasil prakiraan beban puncak Provinsi Jawa Barat tahun Pasokan daya listrik dalam neraca daya ini adalah Daya Mampu Netto pembangkit di Provinsi Jawa Barat yang ada saat ini. Daya Mampu Netto (DMN) pembangkit di Jawa Barat sampai dengan akhir tahun 2007 adalah 4.337,05 MW. Jumlah pelanggan listrik PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten di Provinsi Jawa Barat hingga Oktober 2007 adalah pelanggan, terdiri dari pelanggan rumah tangga ( rumah tangga atau 87%), sedangkan sisanya adalah pelanggan bisnis, publik, sosial, dan pelanggan industri. Walaupun pelanggan rumah tangga memiliki jumlah pelanggan terbesar, tetapi bila dilihat dari daya tersambung serta jumlah konsumsi dari setiap tipe pelanggan, pelanggan industri merupakan pelanggan dengan komsumsi listrik paling besar di Jawa Barat. Pendahuluan 45

46 Untuk tingkat pedesaan, berdasarkan cakupan infrastruktur ketenagalistrikan di Jawa Barat telah menunjukkan data yang menggembirakan dengan telah tercapainya tingkat elektrifikasi sebesar 99,59%, dimana hanya tinggal 12 desa yang belum teraliri listrik yaitu 7 desa di Kabupaten Cianjur (Desa Cibuluh, Desa Cimaragang, Desa Mekarjaya, Desa Gelarpawitan, Desa Karangwangi, Desa Puncak Sari, dan Desa Mekarlaksana) dan 5 desa di Kabupaten Garut (Desa Cikarang, Desa Karangsewu, Desa Purwajaya, Desa Mekarmukti, dan Desa Girimukti). Walaupun tingkat elektrifikasi telah memberikan angka yang tinggi, angka rasio elektrifikasi (RE) rumah tangga pada akhir 2007 baru mencapai 60,41%, atau setara rumah tangga dari total rumah tangga di Jawa Barat yang dapat mengakses listrik. Dari 16 Kabupaten/Kota di Jawa Barat, rasio elektrifikasi terbesar adalah 76,62% (Kabupaten Kuningan), sedangkan rasio elektrifikasi terkecil adalah 41,76% (Kabupaten Subang). Konsumsi listrik Jawa Barat sebesar 594,36 kwh/kapita, menunjukkan konsumsi masyarakat Jawa Barat diatas rata-rata nasional yang hanya mencapai 428 kwh/kapita. Namun masih terdapat disparitas yang sangat besar antar wilayah Jawa Barat, dimana untuk Jawa Barat bagian selatan memiliki konsumsi listrik perkapita yang masih sangat jauh dibawah rata-rata Jawa Barat. Untuk melayani jasa telekomunikasi telepon tetap bagi masyarakat di wilayah Jawa Barat, PT. Telkom membaginya dalam 2 (dua) Divisi Regional (Divre) yaitu Divre II Jakarta dan Divre III Jawa Barat dengan area pelayanan sebagai berikut : 1. Divre II Jakarta melayani kebutuhan telekomunikasi masyarakat Jakarta, Banten, dan sebagian Jawa Barat. Divre II Jakarta mempunyai 8 (delapan) Kantor Daerah Pelayanan Telekomunikasi (Kandatel), di mana 2 (dua) Kandatel melayani sebagian wilayah Jawa Barat, dengan area pelayanan sebagai berikut: a. Kandatel Bekasi Area pelayanan Bekasi, Purwakarta dan Karawang b. Kandatel Bogor Area pelayanan Bogor dan Depok 2. Divre III Jawa Barat melayani kebutuhan telekomunikasi masyarakat sebagian besar wilayah Jawa Barat. Divre III Jawa Barat mempunyai 7 (tujuh) Kandatel dengan area pelayanan sebagai berikut : a. Kandatel Bandung Area Pelayanan Bandung dan Sumedang Pendahuluan 46

47 b. Kandatel Garut Area Pelayanan Garut c. Kandatel Subang Area Pelayanan Subang d. Kandatel Cirebon Area Pelayanan Cirebon, Kuningan, Indramayu dan Majalengka e. Kandatel Tasikmalaya Area Pelayanan Tasikmalaya dan Ciamis f. Kandatel Cianjur Area Pelayanan Cianjur g. Kandatel Sukabumi Area Pelayanan Sukabumi Jumlah satuan sambungan telepon (SST) dari PT. Telkom secara rinci untuk wilayah Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel No Kabupaten/ Kota TABEL 1.15 DATA JUMLAH SST DI JAWA BARAT Jumlah Penduduk (jiwa) Jumlah Telepon SST Jumlah Pengguna Telepon *) Jml Penduduk yg belum terlayani % Pengguna Telepon Teledensitas 1 Kabupaten Bogor 3,060, , ,795 2,254, % Kabupaten Sukabumi 1,956,188 26, ,785 1,822, % Kabupaten Cianjur 1,964,571 31, ,635 1,804, % Kabupaten Bandung 3,326,899 87, ,235 2,891, % Kabupaten Garut 1,919,711 29, ,600 1,774, % Kabupaten Tasikmalaya 1,408,903 8,182 40,910 1,367, % Kabupaten Ciamis 1,574,298 16,734 83,670 1,490, % Kabupaten Kuningan 966,958 7,207 36, , % Kabupaten Cirebon 1,843,096 21, ,025 1,736, % Kabupaten Majalengka 1,129,738 9,910 49,550 1,080, % Kabupaten Sumedang 904,063 9,589 47, , % Kabupaten Indramayu 1,563,323 15,393 76,965 1,486, % Kabupaten Subang 1,248,047 27, ,980 1,109, % Kabupaten Purwakarta 638,964 21, , , % Kabupaten Karawang 1,649,219 47, ,660 1,409, % Kabupaten Bekasi 1,330,389 42, ,405 1,118, % Kota Bogor 691,421 58, , , % Kota Sukabumi 246,847 13,927 69, , % 5.6 Pendahuluan 47

48 No Kabupaten/ Kota Jumlah Penduduk (jiwa) Jumlah Telepon SST Jumlah Pengguna Telepon *) Jml Penduduk yg belum terlayani % Pengguna Telepon Teledensitas 19 Kota Bandung 1,806, ,279 1,286, , % Kota Cirebon 252,180 26, , , % Kota Bekasi 1,294, ,448 1,002, , % Kota Depok 949,207 61, , , % Kota Cimahi 368,343 34, , , % Kota Tasikmalaya 516,054 24, , , % 4.7 Sumber : Data Survey Infrastruktur Telekomunikasi, Sekda Jawa Barat, 2002 Catatan : Perhitungan jumlah pengguna telepon menggunakan asumsi 1 sst (atau satuan sambungan) dipakai untuk 1 KK atau oleh 5 (lima) orang % Pengguna dihitung dari : jumlah pengguna dibagi jumlah penduduk Teledensitas dihitung dari : jumlah sst dibagi jumlah penduduk dikali 100 Data SST tersebut menunjukkan bahwa teledensitas tinggi (lebih besar dari 10) terdapat di Kota Bandung (14.2), Kota Cirebon (10.6) dan Kota Bekasi (15.5); teledensitas sedang (5-10) terdapat di Kota Cimahi, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor; teledensitas rendah (lebih kecil dari 5) untuk kabupaten lainnya. Coverage area pelayanan telepon seluler dan telepon tetap di Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar GAMBAR 1.20 PETA KONDISI COVERAGE AREA PELAYANAN TELEPON SELULER & TETAP Pendahuluan 48

49 1.5.5 Sumberdaya Alam, Lingkungan Hidup & Kelautan A. Pertambangan Jawa Barat memiliki potensi bahan galian (mineral) yang beraneka ragam dan tersebar di 17 (tujuh belas) Kabupaten. Bahan galian meliputi bahan galian mineral logam, mineral industri, dan bahan galian konstruksi. Bahan galian mineral logam (base metal) yang ada di Jawa Barat antara lain emas, timbal (timah hitam), besi (bijih besi dan pasir besi) dan mangan. Bahan galian industri antara lain barit, batuapung, batugamping, belerang, bentonit, bond clay, chert (rijang), diatomea, dolomit, felspar, fosfat, gipsum, jasper, kalsedon, kalsit, kaolin, lempung, marmer, obsidian, oker, oniks, pasir kuarsa, perlit, toseki, dan zeolit. Sedangkan bahan galian konstruksi antara lain batu andesit, pasir, sirtu, tanah urug dan lain-lain. Peta potensi mineral dan bahan tambang dapat dilihat pada Gambar GAMBAR 1.21 PETA POTENSI MINERAL DAN BAHAN TAMBANG PROVINSI JAWA BARAT Sebaran beberapa jenis sumber daya bahan galian mineral logam di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1.16 dan Gambar 1.22 dan Gambar Pendahuluan 49

50 Jenis Mineral Emas Tabel 1.16 Sebaran Beberapa Komoditi Mineral (Logam Dasar) Kecamatan/Kabupaten Nanggung dan Leuwiliang Kab. Bogor. Ciemas, Ciracap, Pelabuhan Ratu, Warung Kiara, Cikidang, dan Tegal Buleud Kab. Sukabumi. Cibeber, Kab. Cianjur Keterangan Merupakan urat kuarsa pada zona sesar. Merupakan urat kuasa pada zona sesar maupun akibat terobosan andesit basal pada Formasi Jampang. Merupakan urat kuarsa pada andesit tua terpropilitkan Merupakan urat kuarsa Sukatani dan Campaka, Kab. Purwakarta Kec. Cililin, Kab. Bandung Urat sulfida pada andesit terpropilitkan. Kec. Salopa, Pancatengah, Cineam Merupakan endapan placer (Kec. Salopa), Kab. Tasikmalaya stockwork pada batuan andesit dan breksi gunungapi (Kec. Pancatengah), urat kuarsa yang berkembang dalam tuff Formasi Jampang (Kec. Cineam). Timbal Kec. Jasinga dan Cigudeg Kab. Merupakan endapan hidrothermal. Bogor Tembaga Kec. Karangnunggal Kab. Urat kuarsa pada granit-granodiorit, tuf dan Tasikmalaya breksi, dan berasosiasi dengan timbal dan seng Kec. Ciamis, Ciamis Urat kuarsa pada andesit, berasosiasi dengan timbal dan seng Alumunium Kec. Pangalengan, Kab. Bandung Terbentuk oleh kegiatan vulkanik pada andesit di bawah kaldera. Mangan Kec. Karangnunggal, Pancatengah, Bijih mangan terdapat pada lapisan dan Cikatomas, Kab. Tasikmalaya batugamping berbentuk lensa-lensa, serta Besi Titan Besi Kec. Ciracap, Surade, dan Pelabuhan Ratu Kab. Sukabumi, Kec. Cibuaya Kab. Karawang, Kec. Sindang Barang Kab. Cianjur, Kec. Pamanukan Kab. Subang, Kec. Cipatujah, Bantarkalong, Cikalong Kab. Tasikmalaya, Kec. Cijulang & Pangandaran Kab. Ciamis. Kec. Sindangbarang Kab. Cianjur, Kec. Cisalak Kab. Subang, Kec. Pamengpeuk Kab. Garut adanya pengayaan supergen. Umumnya merupakan endapan pasir pantai yang mengandung ilmenit dan magnetit. Berupa limonit dan hematit sedimenter, serta endapan pasir besi. Seng Kec. Sukatani, Kab. Purwakarta Berupa endapan primer yang berupa urat-urat yang terdapat pada batuan andesit. Sumber : Direktorat Sumber daya Mineral, 1994 Pendahuluan 50

51 GAMBAR 1.22 PETA POTENSI LOGAM DAN MINERAL DALAM ZONA KELAYAKAN TAMBANG GAMBAR 1.23 PETA POTENSI LOGAM DAN ZONA LAYAK TAMBANG Pendahuluan 51

52 Bahan galian industri dan konstruksi termasuk dalam bahan galian Golongan C, berupa bahan galian utama pasir dan batu di sepanjang alur sungai, basalt dan andesit dari daerah pegunungan, tanah lempung-tanah liat dari endapan alluvial yang digunakan sebagai bahan dan/atau konstruksi bangunan dan juga batugamping. Bahan galian konstruksi masih merupakan primadona investasi, diterbitkan dan dari dilihat pada Tabel terlihat dari jumlah SIPD yang jumlah luasan SIPD. Distribusi pemegang SIPD Gubernur dapat Tabel 1.17 Distribusi Pemegang SIPD Gubernur di Jawa Barat Menurut Jumlah pada Kondisi Triwulan II Tahun 2008 Pasir- Sirtu Andesit Batukapur / Gamping Marmer Trass/ Tanah urug Feldsfar zeolite Bentonit Batu Ares Galena/ Spalerit KAB. Bekasi Karawang Purwakarta Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Bandung Barat Subang Sumedang Garut Tasikmalaya Ciamis Majalengka 10 Indramayu 18 Kuningan 12 Cirebon Jumlah Jabar Sumber : Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat, 2008 B. Air Permukaan Kuantitas dan kualitas sumberdaya air di Jawa Barat mengalami penurunan. Lima sungai besar di Jawa Barat yaitu Ciliwung, Cileungsi, Citarum, Cimanuk dan Citanduy dinyatakan tidak layak untuk bahan baku air minum, karena telah terkontaminasi bakteri coli melampaui baku mutu air minum, yaitu lebih dari 2000/100ml. Sungai Citarum memiliki kualitas air yang paling buruk, akibat pertumbuhan industri, permukiman, pertanian dan peternakan di sepanjang wilayah DAS Citarum. Di Pendahuluan 52

53 sekitar DAS tersebut terdapat 542 industri dengan jumlah penduduk sebanyak 8,6 juta jiwa dan sekitar 79,8 ha sawah pertanian yang berpotensi menyumbang limbah. Kondisi ini diperparah dengan semakin tingginya fluktuasi debit antara musim hujan dan musim kemarau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun semua industri mengolah limbahnya, namun jika fluktuasi debit tidak berubah, maka kualitas sungai akan tetap buruk. Demikian halnya dengan Sungai Citarum, kualitas kelima sungai utama lainnya juga dalam kondisi tercemar berat dari hulu sampai hilir. Berdasarkan pemantauan terhadap 7 sungai lintas DAS Provinsi yaitu Citarum, Ciliwung, Cisadane, Cileungsi, Cilamaya, Cimanuk dan Citanduy menunjukkan bahwa ketujuh sungai tersebut status mutunya tercemar berat (D). C. Air Tanah Potensi air tanah di Jawa Barat terbagi menjadi 15 cekungan lintas kabupaten/kota, 8 cekungan non lintas (lokal) dan 4 cekungan lintas provinsi, dapat dilihat pada Gambar Kondisi saat ini memperlihatkan ketidakseimbangan antara pengambilan dan kemampuan pengimbuhan air tanah yang ditandai dengan semakin menurunnya permukaan air tanah bahkan di beberapa daerah kondisinya sudah mencapai kriteria kritis. GAMBAR 1.24 PETA CEKUNGAN AIR BAWAH TANAH Pendahuluan 53

54 CAT Bandung, CAT Bogor dan CAT Bekasi Karawang, sudah termasuk dalam zona kritis. Dari ketiga cekungan tersebut CAT Bandung merupakan cekungan yang tingkat kerusakan paling parah, di beberapa tempat sudah dalam kondisi kritis. Pengukuran di beberapa tempat menunjukkan penurunan muka air tanah sejak tahun 1960 sampai tahun 2005 antara meter. Kerusakan sumber daya air tanah ini akan semakin parah apabila tidak segera dilakukan langkah-langkah pengendalian secara sinergis melalui strategi kebijakan pengelolaan air tanah yang utuh menyeluruh dan dilaksanakan secara terkoordinasi. D. Udara Penurunan daya dukung udara diakibatkan semakin meningkatnya berbagai polutan dari aktivitas manusia. Kontribusi terbesar pencemaran udara berasal dari penggunaan energi fosil untuk transportasi, industri, pembangkit listrik dan rumah tangga, pembakaran sampah serta konversi lahan dan kebakaran hutan. Pencemaran udara terutama terjadi di beberapa kota besar seperti seperti Bandung, Bogor, Bekasi, dan Cirebon. Secara umum pengukuran kualitas udara ambien di beberapa kota besar menunjukkan kualitas udara ambien di bawah nilai ambang batas. Transportasi dianggap sebagai penyumbang polutan tertinggi (sekitar 60% dari pencemaran total), karena semakin tingginya pengguna kendaraan pribadi terutama kendaraan bermotor roda dua. Hasil pengukuran yang dilakukan tahun 2007 bahwa 38 % kendaraan bermotor dengan bahan bensin dan lebih dari 75% kendaraan berbahan bakar solar yang diuji tidak memenuhi Bahan Mutu Emisi (BME). Kecenderungan kandungan Hidrokarbon (HC) juga meningkat di atas ambang batas hingga 4-8 kali dari konsentrasi ambang batas baku mutu udara ambien (169 mg/m3/3 jam). Sebagai Contoh, Kota Bandung hanya memiliki 55 hari sehat dalam 1 tahunnya. Sumber polutan lainnya adalah kegiatan industri, sejalan dengan naiknya harga minyak bumi banyak industri yang mulai mengalihkan sumber energinya ke batu bara, walaupun kandungan polutan yang dimiliki lebih tinggi dibanding minyak bumi dan gas. Lemahnya pengendalian pencemaran udara serta penggunaan teknologi yang tidak ramah lingkungan menyebabkan masalah pencemaran udara dari pemenuhan kebutuhan energi masih terus menjadi permasalahan utama. Batu bara menghasilkan emisi terbesar sedangkan gas menghasilkan emisi yang paling rendah, karena itu sering kali gas dianggap sebagai energi yang ramah lingkungan. Pendahuluan 54

55 TABEL 1.18 PERBANDINGAN EMISI PADA PEMBANGKIT LISTRIK Type of Emission (pound/109 BTU of Energi) emission Coal Crude Oil Gas CO SOx ,122 1 PM NOx CO Sumber: Bappenas 2006 Pencemaran udara yang terjadi berkontribusi terhadap terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Efek pemanasan global terhadap perubahan iklim terutama terjadi karena peningkatan secara gradual temperatur permukaan global akibat efek emisi gas-gas rumah kaca (terutama CO 2 ). Kemudian, terkait pula dengan keberadaan luasan hutan yang semakin berkurang serta meningkatnya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Perubahan iklim berimplikasi sangat luas terhadap berbagai aspek, seperti perubahan musim dan bencana. Kejadian bencana banjir tahunan di musim hujan dan kekeringan panjang di musim kemarau, memberi dampak ikutan seperti kebakaran hutan, penyebaran penyakit dan keringnya sumber air bersih, yang juga tidak luput mengancam keberadaan lahan pangan di Jawa Barat. Potensi terjadinya hujan asam juga harus dicermati, karena tingginya tingkat konsentrasi CO 2 yang bercampur dengan air hujan juga akan membentuk asam karbonat yang menyebabkan tingginya tingkat keasaman. Hal tersebut menimbulkan kerugian terhadap berbagai infrastruktur pembangunan, karena mempercepat korosi dan juga sangat berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem. E. Pesisir dan Laut Kewenangan provinsi dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah laut mencakup eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh provinsi atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan pertahanan kedaulatan negara. Dalam hal ini kewenangan pengelolaan sumberdaya di wilayah laut paling jauh adalah 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas, dan atau ke arah perairan kepulauan provinsi. Secara geografis wilayah pesisir dan laut Provinsi Jawa Barat terbagi menjadi 2 wilayah, yaitu wilayah pantai utara (Pantura) dan wilayah pantai selatan (Pansela). Pendahuluan 55

56 Panjang pantura adalah 417,5 km, dan panjang pansela adalah 399,32 km, sehingga luas wilayah lautan Jawa Barat sampai wilayah 12 mil laut adalah km2. Kondisi fisik dasar pesisir utara Jawa Barat yang terdiri dari dataran pantai dan rawa alluvial pantai dengan kemiringan lereng 0% -5%, merupakan daerah yang bertopografi landai, perairan dangkal, memiliki substrat lumpur, berpasir dan berawa, pola arus yang dipengaruhi arus laut Jawa, serta bervegetasi mangrove dan terumbu karang. Sungai-sungai yang bermuara ke pantura diantaranya Sungai Cimanuk, Cipunagara, Citarum, Kali Bekasi, Pagadungan, Cilamaya, Ciasem, Kali Beji, Cipanas, Cimanggis, Ciwaringin, Kali Bunder, Bangkaderes, dan Cisanggarung. Perairan laut relatif tenang menjadi lingkungan yang kondusif bagi perkembangan wilayah, dimana aktivitas sosial dan pertumbuhan ekonomi relatif berkembang cukup pesat. Sementara di pesisir selatan, kondisi yang berbukit dengan seismisitas relatif tinggi, bertopografi terjal, perairan dalam, memiliki substrat pasir dan karang, pola arus dipengaruhi arus Samudera Hindia, dan vegetasi cenderung berupa hutan pantai dan mangrove. Batimetri pantai umumnya curam dan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, sehingga timbul gelombang laut yang besar, kadang dapat timbul gelombang badai (2-5 m), serta arus laut yang relatif kuat, menjadi faktor kendala di dalam pengembangan wilayah. Selain itu pemanfaatan pelayaran memerlukan tingkat keamanan yang cukup tinggi. Perbedaan kondisi fisik tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi ketimpangan perkembangan wilayah antara pesisir utara dan selatan. Sungai-sungai yang bermuara ke pansela diantaranya Sungai Citepus, Cimandiri, Cikaso, Cibuni, Cisokan, Cisadea, Ciujung, Cipandak, Cilaki, Cikandang, Cipalebuh, Cikaengan, Cisanggiri, Cipatujah, Ciwulan, Cimedang, Cijulang, dan Citanduy. Selain itu, wilayah Pansela ini terletak di Lempeng Eurosia dan Lempeng Australia yang merupakan zona aktif gempa dan berpotensi bencana tsunami. Ancaman lainnya adalah gelombang laut pasang, akresi dan abrasi, sedimentasi yang besar di muara-muara sungai yang menyebabkan pendangkalan, penyumbatan aliran sungai, rawan banjir bandang, erosi sungai, dan terbentuknya delta baru. Abrasi yang telah terjadi sejak lama terdapat di Teluk Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Wilayah pesisir dan laut Jawa Barat memiliki pulau-pulau kecil, di pesisir selatan pesisir Pulau Nusamanuk dan Batukolotok serta di pesisir utara yaitu Gugusan Pulau Biawak. Pendahuluan 56

57 GAMBAR 1.25 PETA ZONA WILAYAH LAUT PROVINSI JAWA BARAT Wilayah Pesisir dan Laut Jawa Barat memiliki potensi kegiatan perekonomian beragam, seperti perikanan baik tangkap maupun budidaya (tambak), pertanian, pemukiman, pariwisata, pelayaran, pertambangan, pelabuhan, perdagangan serta konservasi alam. Produksi perikanan tangkap Jawa Barat tahun 2008 adalah sebesar ,77 ton, yang didominasi dari produksi Kabupaten Cirebon, Indramayu, Subang dan Sukabumi. Sedangkan produksi perikanan budidaya tambak adalah sebesar ,33 ton, yang didominasi dari produksi Kabupaten Bekasi, Cirebon dan Subang. Kegiatan pariwisata pesisir dan laut berupa wisata alam pantai dan laut, wisata budaya, serta wisata pendidikan dan penelitian. Potensi pariwisata terkonsentrasi di Pansela, namun belum berkembang secara optimal, karena rendahnya aksesibilitas, kurangnya infrastruktur pendukung, sarana dan prasarana wisata, serta rendahnya investasi, sehingga menyebabkan kurangnya minat wisatawan untuk berkunjung ke Pansela. Wilayah Pantura merupakan bagian dari lintasan jalur perekonomian utama Jawa sehingga perkembangan fisik wilayah ini tumbuh dengan pesat. Disisi lain, wilayah ini memiliki kepadatan penduduk lebih tinggi dengan aktivitas yang tinggi pula. Percepatan pertumbuhan tersebut menimbulkan tingkat perubahan fungsi lahan lebih cepat Pendahuluan 57

58 dibandingkan wilayah Pansela. Perubahan fungsi lahan dan aktivitas penduduk di wilayah pesisir tentunya mengurangi daya dukung dan daya tampung yang dimiliki, dan berdampak pada kualitas lingkungan, terutama pencemaran air laut, akresi, abrasi dan fenomena gelombang laut pasang. Indeks pencemaran air laut di Pantura antara 7,391-9,843 yang menunjukan bahwa wilayah ini sudah tercemar berat. Tingkat abrasi di pantura sebesar 370,3 ha/tahun, sedangkan di pansela tingkat abrasi sebesar 35,35 ha/tahun. Gelombang laut pasang lebih intens terjadi di Pantura, karena kondisi geografis yang relatif landai. Perubahan iklim yang sudah menjadi isu global diyakini telah menyebabkan perubahan sistem alam termasuk wilayah pesisir. Gelombang pasang yang terjadi pada setiap awal dan akhir tahun semakin meluas jangkauannya, dengan periode yang semakin singkat dan intensitas yang semakin meningkat. Ekosistem pesisir Pantura adalah mangrove, terumbu karang dan rumput laut. Mangrove ditemui di Kabupaten Bekasi ( Ha), Karawang ( Ha), Kabupaten Subang (3.886,08 Ha), Kabupaten Cirebon ( 347 Ha ), Kota Cirebon (21.96 Ha) dan Kabupaten Indramayu (1.103,46 Ha ). Berdasarkan hasil survey, kondisi hutan mangrove di pesisir utara Jawa Barat dapat dikategorikan sebagai rusak sampai dengan rusak berat, ditunjukkan oleh persen tutupan kurang dari 50% dan kerapatan pohon per hektare kurang dari Data menunjukkan bahwa umumnya ketebalan mangrove berkisar meter, sementara di beberapa tempat bahkan tipis sekali, kurang dari 30 meter. Meski mungkin saja persen tutupan lebih dari 50% dan jumlah pohon per hektare (setelah konversi luasan) mencapai lebih dari 1.000, rendahnya ketebalan ekosistem mangrove menunjukan bahwa secara umum kondisi ekosistem mangrove di pesisir utara Jawa Barat masuk ke dalam kategori rusak sampai dengan rusak berat. Terumbu karang pada umumnya dalam kondisi rusak dan mengancam perkembangbiakan ikan dan biota laut lainnya. Kerusakan disebabkan oleh eksploitasi dalam mencari ikan dan tingkat pencemaran yang tinggi. Terumbu karang terdapat di di pesisir Kabupaten Subang (Brobos) dan Kabupaten Karawang (Karang Sedulang Kec. Cilamaya) dan Kabupaten Indramayu (Pulau Rakit, Pulau Gosong, dan Pulau Cendikian, Majakerta dan Kec. Indramayu). Padang lamun terdapat di perairan Pulau Biawak, dalam keadaan sedang sampai rusak, dengan ketebalan rendah (sekitar 20 meter), umumnya dijumpai dalam bentuk gugusan/patch berukuran kecil dan tidak ada yang memiliki tutupan diatas 5%. Pendahuluan 58

59 Ekosistem pesisir di Pansela berupa ekosistem mangrove terdapat di pesisir Kabupaten Ciamis (Bojong Salawe) seluas 237,59 ha, Kabupaten Sukabumi seluas 9 ha, Kabupaten Garut 50,9 ha, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Cianjur. Ekosistem mangrove di Pansela tidak banyak dijumpai karena kondisi fisik pantai pesisir selatan yang tidak landai, terjal dan berbatu. Sehingga ekosistem pesisir yang lebih dominan berupa hutan pantai, yang berfungsi sebagai kawasan perlindungan setempat berupa suaka margasatwa dan cagar alam, diantaranya di Cagar Alam Pananjung Pangandaran-Ciamis, Suaka Margasatwa Laut Sindang Kerta Cipatujah-Tasikmalaya, Cagar Alam Leuweung Sancang Cibalong-Garut, Cagar Alam Jayanti Cidaun-Cianjur, dan Suaka Margasatwa Cikepuh Ciracap-Sukabumi. Ekosistem terumbu karang ditemui di perairan Ujung Genteng Kabupaten Sukabumi, perairan Pameungpeuk dan Rancabuaya Kabupaten Garut, perairan Parigi dan Pangandaran di Kabupaten Ciamis. Selain sebagai habitat dari ikan hias, terumbu karang juga berfungsi sebagai obyek wisata bahari dan penahan gelombang alamiah. Selain itu ditemui pula ekosistem rumput laut di pantai Pangandaran, dan pantai Ujung Genteng Kecamatan Surade. Pengembangan budidaya rumput laut dilakukan di perairan Kabupaten Ciamis, Pameungpeuk Kabupaten Garut dan Kecamatan Cidaun Kabupaten Cianjur. Padang lamun terdapat di perairan Pangandaran, Batukaras dan Madasari Kabupaten Ciamis, dengan kondisi yang jauh lebih baik dibandingkan Pantura. Ketebalan padang lamun mencapai meter di beberapa lokasi, kondisi tutupan pada umumnya tinggi, berkisar 60-80% dan diikuti dengan tutupan ganggang laut yang mencapai 100 m. Wilayah Pansela, walaupun memiliki tingkat pencemaran dan abrasi yang relatif rendah dibandingkan Pantura, namun tetap harus mewaspadai tingginya aktivitas pertambangan yang tidak mempertimbangkan lingkungan. Potensi pertambangan di pantai diantaranya adalah pasir besi, fosfat, kalsit, bentonit, dan zeolit, namun sumberdaya pertambangan tersebut belum terukur baik lokasi maupun besaran kandungannya. Karakteristik Pantura dan Pansela diuraikan dalam Tabel , serta Gambar Pendahuluan 59

60 TABEL 1.19 KARAKTERISTIK PANTAI UTARA No. Kabupaten/ Kota Sungai Ekosistem Pesisir 1 Kab. Bekasi, panjang pantai 37,829 km 2 Kab. Karawang, panjang pantai 84,230 km 3 Kab. Subang, panjang pantai 68 km 4 Kab. Indramayu, panjang pantai 114 km 5 Kab. Cirebon, panjang pantai 54 km 6 Kota Cirebon, panjang pantai 7 km Kali Bekasi, Cikarang, Citarum Cijalu, Jarong, Cilamaya Ciasem, Cipunagara Cilalanang, Cemara, Cimanuk Ciwaringin Cisanggarung - Mangrove seluas 590,98 ha. Lokasi dominan di Kec. Babelan, Muaragembong, dan Tarumajaya. Ekosistem mangrove berkurang, akibat penebangan untuk tambak, permukiman, fasilitas umum & fasilitas sosial lainnya. - Terumbu karang di sekitar Cilamaya (Gugus Karang Sedulang). Kondisi sebagian besar telah mati karena sedimentasi dan kegiatan manusia. - Rumput laut di Gugus Karang Sedulang. Jumlahnya sangat sedikit, dan kondisi perairan yang tidak memungkinkan pembudidayaan rumput laut. - Mangrove di Cibuaya & Cilamaya, luas 332,43 ha. Terjadi penurunan hutan mangrove sejak 1984, akibat konversi menjadi tambak & industri. Rehabilitasi oleh Perhutani Unit III Jabar, BKPH Cikeong. - Terumbu karang di daerah Bobos, dan terdapat pula terumbu karang buatan sebanyak 3 unit. - Mangrove di bagian utara, binaan Perum Perhutani BKPH Ciasem-Pamanukan bersama masyarakat. Luas 3886,08 ha. Daerah wisata Pondok Bali. - Terumbu karang di Majakerta Kec. Indramayu, P. Rakit, P. Gosong, P. Rakit Utara, Cantikian ha. - Ekosistem mangrove 1.103,46 ha. Di Losarang relatif sedikit. Pengelolaan dilakukan oleh Perhutani BKPH Indramayu. Selain itu ditemukan juga di Kadanghaur, Sindang, dan Eretan (relatif lebih sedikit). - Padang lamun di perairan Pulau Biawak, kondisi sedang sampai rusak. Mangrove seluas 275,49 ha. Di Kec. Babakan seluas 0,25 ha. Penanaman mangrove oleh penduduk setempat. Luas ekosistem mangrove 21,96 ha Pendahuluan 60

61 TABEL 1.20 KARAKTERISTIK PANTAI SELATAN No. Kabupaten Flora/Fauna Ekosistem pesisir Lain-lain 1 Kabupaten Sukabumi, panjang pantai 114 km Flora : - Kerusakan hutan pantai - Di Ciracap, Ciomas pelabuhan ratu Fauna : - Kerusakan habitat penyu Ciracap - Tempat bertelur penyu di Ujung Genteng - Mangrove seluas 9 ha, mengalami konversi untuk kayu bakar dan kegiatan lain, Cikepuh, Pangumbahan - Terumbu karang di pantai Karang Hawu, Cisolok, Citepus 150m-500m. ditemukan juga di Surade (pantai Ujung Genteng luas ha), Ciracap dan Ciwaru. - Rumput laut di Ujung Genteng - Potensi kerusakan akibat pertambangan Pelabuhan ratu - Abrasi terjadi di bagian barat Pelabuhan Ratu 2 Kabupaten Cianjur, panjang pantai 80km Flora : - Pandan laut di Cidaun - Perambahan hutan cagar alam di Cidaun - Mangrove di S. Cisokan, Cisadea, Cidamar, Ciujung dan Cipandan - Rumput laut pembudidayaan di Kecamatan Cidaun - Penambangan pasir besi di Sindang barang dan Cidaun seluas 450 ha Fauna : - Penyu di Sindangkerta dan Cipatujah 3 Kabupaten Garut panjang pantai 50 km Cagar alam Sancang sepanjang 12 km. Berkurangnya hutan pantai Sepanjang Caringin, Bungbulang, Pameung-peuk - Mangrove seluas 50,9 ha, di Santolo dan Cagar Alam Sancang - Terumbu karang di Kecamatan Pameungpeuk seluas ha, kondisi relatif baik, kerusakan hanya terjadi di deka pantai akibat lego jangkar. ditemui juga di Ranca Buaya. - Penambangan tak terkendali - Abrasi di Cipatujah - Rumput laut pembudidayaan di Pantai Sayang Heulang Pamengpeuk 4 Kabupaten Tasikmalaya, panjang pantai 49 km Flora : - Hutan pandan Cikalong sepanjang 22 km Fauna : - Penyu di Sindangkerta - Mangrove di muara Sungai Cimedang, Ciwulan, Cipatireman dan Cilangla - Terumbu karang terhampar dari Cipatujah sampai Karangtawulang, sepanjang 32 km-100m, dan Cikalong. - Sungai Ciwulan, erosi tebing. - Penambangan di Cipatujah Pendahuluan 61

62 No. Kabupaten Flora/Fauna Ekosistem pesisir Lain-lain 5 Kabupaten Ciamis, panjang pantai 62 km Pantai Keusik Luhur Cimerak tempat bertelur penyu - Mangrove seluas 237,59 ha, berbenturan dengan pariwisata, terdapat di Kec. Kalipucang, Citanduy. Kerusakan mangrove di Kalipucang - Terumbu karang di pantai Krapyak sepanjang 2,5 km - lebar 75 km. Di pantai timur dan barat CA Pananjung 1,5 km -50m. dan di pantai Karang Jaladri 200m-100m. Kerusakan terumbu karang. Terumbu karang di Kalipucang dan Pangandaran rusak akibat penangkapan ikan tidak ramah lingkungan. Di Kecamatan Sidamulih, Parigi, Cijulang dan Cimerak dalam kondisi baik. - Abrasi di Pangandaran, Pantai Panunjang dan sekitar Pantai Krapyak - Rumput laut di Pangandaran dan pembudidayaan rumput laut di Pantai Sayang Heulang Pamengpeuk - Padang lamun di perairan Pangandaran, Batukaras, Madasari GAMBAR 1.26 PETA SEBARAN EKOSISTEM WILAYAH PANTURA Pendahuluan 62

63 GAMBAR 1.27 PETA ISU LINGKUNGAN WILAYAH PANTURA GAMBAR 1.28 PETA SEBARAN EKOSISTEM WILAYAH PANSELA Pendahuluan 63

64 GAMBAR 1.29 PETA POTENSI PERIKANAN DAN UPWELLING WILAYAH PANSELA F. Keanekaragaman Hayati Pelestarian keanekaragaman hayati (termasuk plasma nutfah) Jawa Barat tersebar dalam kawasan konservasi sebagai lokasi konservasi keanekaragaman ekosistem yang dilakukan secara insitu dan menekankan terjaminnya dan terpeliharanya keanekaragaman hayati secara alami melalui proses evolusi, yaitu di kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata, taman buru, taman nasional, taman hutan raya, dan taman laut. Selain pelestarian secara insitu, dilakukan pula secara eksitu, dengan cara memindahkan jenis dan habitat untuk diletarikan dan diamankan. Pendirian Kebun Raya Bogor, kebun binatang, penangkaran hewan, dan lain-lain merupakan upaya eksitu yang tidak perlu mengganggu populasi alaminya. Pemanfaatan sumberdaya hayati untuk berbagai keperluan secara tidak seimbang ditandai dengan makin langkanya beberapa jenis flora dan fauna yang kehilangan habitatnya, kerusakan ekosistem dan menipisnya plasma nutfah. Sebagai upaya mempertahankan keanekaragaman hayati upaya yang harus dilakukan berupa perlindungan, dan penegakan hukum lingkungan, terutama terhadap berbagai kasus dan ancaman seperti perburuan dan perdagangan satwa langka, serta perambahan hutan/ penebangan liar. Pendahuluan 64

65 Keanekaragaman Flora Jawa Barat memiliki keanekaragaman tumbuhan yang tinggi, terdapat jenis (spesies) tumbuhan berbunga dan tumbuhan paku asli Jawa Barat dan 258 jenis yang dimasukkan dari luar. Khusus untuk anggrek (Orchidaceae) terapat 607 jenis alami, 302 jenis (50%) hanya ada di Jawa Barat (Van Steenis dalam Backer & Bakhuizen van de Brink, 1965). Menurut Comber (1990) di Jawa Barat terdapat 642 jenis anggrek dan yang hanya terdapat di Jawa Barat 248 jenis. Tumbuhan yang termasuk pohon, di Jawa Barat terdapat jenis (Prawira, tbt.) dengan 51 jenis disebut dengan pohon-pohon yang penting, diantaranya jati (Tectona grandis), rasamala (Altingia excelsa), kepuh (Sterculia foetida), jamuju (Podocarpus imbricatus), bayur (Pterospermum javanicum), puspa (Schima wallichii), kosambi (Schleichera oleosa), beleketebe (Sloenea sigun), pasang (Lithocarpus spp.), pedada (Sonneratia alba), bakau (Rhizhopora mucronata), dll. Tipe-tipe vegetasi yang ada di Jawa Barat adalah (Van Steenis, 1965): - Vegetasi litoral, termasuk di sini jenis-jenis tumbuhan lamun seperti setu (Enhalus acoroides), Thalassia hemprichii, dan berbagai jenis alga seperti Gelidium, Gracilaria dan Euchema yang menghasilkan agar-agar - Hutan bakau (mangrove), antara lain bakau (Rhizophora spp.), pedada (Sonneratia spp.), api-api (Avicennia spp.), tarungtung (Lumnitzera littorea). - Formasi pantai antara lain formasi Barringtonia yang ditandai oleh keben (Barringtonia asiatica), ketapang (Terminalia catappa), nyamplung (Calophyllum inophyllum), dll. - Hutan rawa dataran rendah, antara lain reungas (Gluta renghas), bungur (Lagerstroemia spp.), cangkring (Erythrina fusca) dll. - Hutan hujan dataran rendah dan perbukitan. Formasi ini terdapat pada ketinggian di bawah 1500 dpl. (Zona tropis dpl., zona submontana dpl.). Antara lain berbagai jenis bambu (Bambusa spp., Gigantochloa spp.), mara (Mallotus spp., Macaranga spp.), kareumbi (Omalanthus populneus), dan teureup (Artocarpus elasticus). - Hutan hujan pegunungan (zona Montana) pada ketinggian m dpl. Antara lain rasamala (Altingia excelsa), pasang (Lithocarpus spp.), saninten (Castanopsis argentea), hamirung (Vernonia arborea), puspa (Schima wallichii), huru (Litsea spp., Phoebe spp.), jamuju (Podocarpus imbricatus), dan kihujan (Engelhardia spp.) dll. Pendahuluan 65

66 - Danau dan rawa pegunungan, tumbuhan rawa seperti Eriocaulon spp., Xyris campestris, dll. Lumut Sphagnum ditemukan di Gunung Gede dan Patuha. - Vegetasi sub alpin, di atas 2400 m dpl. Daerah ini lebih miskin daripada hutan hujan pegunungan, didominasi oleh suku Ericaceae seperti cantigi (Vaccinium spp.), Rhododendron spp., gandapura (Gaultheria spp.), dan jenis-jenis lain yang khas seperti ramo kasang (Schefflera spp.), kiteke (Myrica javanica), jirak (Symplocos sessilifolia) dll. Menurut Van Steenis (1972) terdapat 39 jenis tumbuhan pegunungan yang dikategorikan jarang di Jawa Barat, 18 jenis diantaranya sejauh ini diduga endemik (meskipun ada diantaranya yang ditemukan di tempat lain). Di antara yang endemik tersebut, 11 jenis adalah anggrek (Orchidaceae). Sebelumnya Van Steenis (dalam Backer & Bakhuizen van de Brink, 1965) menyebutkan ada dua jenis yang endemik di Jawa Barat yaitu Heynella lactea (Tjadasmalang) dan Silvorchis colorata (di sekitar Garut). Menurut Van Steenis (dalam Backer & Bakhuizen van de Brink, 1965) di Pulau Jawa, dari jenis yang ada, jenis (23,4 %) adalah tanaman budidaya, sisanya adalah tumbuhan liar (4.598 jenis) dan tumbuhan asing yang ternaturalisasi (413 jenis). Sebagian dari tumbuhan alami terdapat di kawasan konservasi yaitu hutan lindung, cagar alam, suaka margasatwa dan taman nasional. Di Taman Nasional Gunung Gede- Pangrango terdapat 844 jenis tumbuhan berbunga. Keanekaragaman Fauna Secara umum dunia fauna dapat dikelompokkan ke dalam kelompok: serangga, pisces, amfibi, reptil, aves dan mamalia. Jenis fauna dari kelompok-kelompok tersebut ada yang langsung berhubungan dengan kepentingan manusia yaitu bisa bermanfaat bagi manusia, bersifat hama, disukai untuk dipelihara atau dikonsumsi dan juga fauna dengan status khusus seperti fauna endemik (hanya ditemui di suatu daerah tertentu), langka/hampir punah dan punah. Hal tersebut berlaku juga untuk fauna di Jawa Barat dan pada umumnya akan dilihat berdasarkan bioregion Jawa dan Bali. Kelompok serangga seperti belalang dan jangkerik, biasa dimanfaatkan sebagai sumber makanan burung, reptil dan amfibi. Namun jika populasi jenis belalang tertentu tidak terkendali dapat bersifat hama terhadap tanaman budidaya seperti padi. Kelompok ikan, hingga saat ini diketahui ada 132 jenis ikan air tawar yang tercatat di region Jawa dan Bali, 13 jenis diantaranya adalah jenis endemik. Terjadi kelangkaan Pendahuluan 66

67 dan kepunahan beberapa jenis ikan indigenous di daerah aliran Sungai Citarum yang disebabkan karena perubahan habitat dari sungai ke danau/waduk, pencemaran dan overfishing yang dilakukan untuk kebutuhan pangan. Jenis ikan yang punah tersebut, yaitu walangi Bagatius yarrelli, dan belut terbesar di dunia Thysoidea macrurus yang ada di beberapa muara di Jawa Barat. Kelompok amfibi dan reptil semakin langka, karena habitat yang tersedia semakin berkurang dan belum satupun dari jenis kelompok ini yang sudah bisa didomestikasi dan dibudidaya. Kelangkaan beberapa spesies kelompok ini terjadi sebagai akibat perburuan oleh manusia untuk dikonsumsi dan dipelihara antara lain seperti katak sawah, katak catang, beberapa jenis ular, biawak, bunglon, kura-kura, dan lain- lain. Beberapa jenis amfibi dan reptil masih sering dijumpai di beberapa daerah di Jawa Barat seperti biawak (disekitar daerah aliran Sungai Citarum dan waduk, danau Sanghyang di Tasikmalaya, dan di Pulau Biawak di Indramayu), kura-kura (di sekitar daerah aliran Sungai Citarum dan waduk, sungai-sungai di daerah Bogor/Sentul) Di Jawa dan Bali tercatat setidaknya 142 jenis reptil dan 36 jenis amfibi. Amfibi di Jawa dan Bali terdapat 42 jenis, termasuk di antaranya 11 jenis amfibi endemik. Jenis amfibi Jawa yang perlu dicatat adalah jenis dari ordo Gymnophiona karena penampakannya sering dikelirukan dengan cacing. Catatan tentang diskripsi dan temuan kedua jenis amfibi, yaitu Ichtyophis javanicus dan Ichtyophis bernisi sejak pertama kalinya belum ada. Kelompok burung di Jawa dan Bali tercatat ada 466 jenis burung, termasuk tiga jenis yang mungkin sudah punah. Tiga jenis burung di Jawa yang dianggap telah punah, satu diantaranya adalah endemik Jawa yaitu trulek Jawa Hoplopterus macropterus, mentok rimba Cairina scutulata dan cucak rawa Pycnonotus zeylanicus. Dari jumlah total jenis burung, Jawa dan Bali merupakan wilayah biogeografi terkaya ketiga setelah Papua (647 jenis) dan Sumatera (605 jenis). Dari sejumlah tersebut 29 jenis di antaranya adalah endemik Jawa dan Bali. Hampir semua jenis burung endemik Jawa dan Bali tersebut hanya dapat dijumpai di hutan-hutan pegunungan, walaupun beberapa di anataranya dahulu mungkin terdapat di dataran rendah pada saat hutan dataran rendah masih ada. Elompok mamalia di Jawa erdapat 137 jenis mammalia daratan, 22 jenis diantanya adalah jenis endemik. Jenis mammalia endemik Jawa yang terkenal adalah surili Presbytis comata, owa jawa Hylobates moloch, babi jawa Sus verrucosus dan rusa jawa Pendahuluan 67

68 Cervus timorensis. Penyebaran mammalia terpecah-pecah dalam kantung-kantung hutan yang relatif kecil. Kelangkaan jenis mamalia disebabkan oleh dua faktor utama yaitu aktivitas perburuan dan habitat aslinya terganggu. Salah satu contoh penurunan drastis kelompok ini adalah jarang dijumpainya lagi banteng Bos sondaicus di hutan Sancang (Garut) dan di Pangandaran. Banteng ini sebenarnya sudah lama menjadi maskot di kedua daerah tersebut. Jenis primata endemik Jawa perlu mendapat perhatian khusus yaitu owa jawa Hylobates moloch, lutung jawa Trachypithecus auratus dan surili Presbytis comata. Tiga jenis ini awalnya dikatakan sebagai jenis satwa dataran rendah, karena habitatnya hutan dataran rendah rusak terdesak ke hutan-hutan dataran tinggi. Ketiga jenis primata ini di Indonesia menempati urutan jenis primata yang paling terancam punah. Usaha penangkaran kelompok mamalia yang ada seperti penangkaran rusa di Ranca Upas akan sangat bermanfaat bagi kelestarian spesies ini dan juga bisa dijadikan tempat tujuan wisata dan pendidikan/penelitian. G. Kebencanaan Struktur geologi yang bersifat kompleks menjadikan sebagian wilayah Jawa Barat memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dari ancaman bencana alam. Sumber-sumber potensi penyebab bencana alam di Jawa Barat yang perlu diwaspadai adalah 7 (tujuh) gunung api aktif, 5 (lima) sesar aktif serta aktivitas lempeng tektonik di selatan Jawa Barat. Sumber penyebab bencana lainnya adalah tingginya intensitas curah hujan yang memicu gerakan tanah terutama di wilayah Jawa Barat bagian selatan, serta banjir di wilayah pantai utara dan Cekungan Bandung. Kawasan rawan bencana dapat dilihat pada Gambar Pendahuluan 68

69 GAMBAR 1.30 PETA KAWASAN RAWAN BENCANA Bahaya lingkungan beraspek geologi yang sering terjadi di Jawa Barat antara lain masalah kegempaan, letusan gunungapi dan aliran lahar, longsor (gerakan tanah), perubahan garis pantai dan Erosi tebing sungai. Jawa Barat secara geologi terletak disebelah utara lajur pertemuan dua lempeng aktif yang saling bertumbukan. Kedua lempeng tektonik yang saling bertumbukan tersebut yaitu lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eropa-Asia. Tumbukan ini mengakibatkan Jawa Barat sering merasakan getaran dan di landa gempa bumi tektonik serta letusan gunung api. Bencana gempabumi guncangan tanah menempati urutan pertama sebagai bencana perusak, diikuti oleh gerakan tanah dan pelulukan. Patahan permukaan dan tsunami sangat jarang terjadi disebabkan kekuatan gempabumi di Jawa Barat umumnya lebih kecil dari 6 pada Skala Richter. Gempabumi tektonik Jawa Barat berasal dari dua sumber yakni sumber gempabumi penunjaman dan sumber gempabumi sesar aktif. Bencana dan risiko yang diakibatkan oleh kedua sumber gempabumi tersebut, dikontrol oleh kekuatan gempabumi, kedalaman gempabumi, jarak pusat gempabumi, kondisi geologi, kepadatan penduduk serta infrastruktur. Penyebab terjadinya banjir di wilayah Jawa Barat disebabkan oleh intensitas curah hujan yang tinggi dengan durasi di atas normal sehingga menghasilkan air limpasan yang Pendahuluan 69

70 melebihi daya dukung sistem drainase, perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali serta kondisi geologi dan morfologi lahan. Beberapa wilayah rawan banjir terlihat pada Gambar 2.32 dengan konsentrasi banjir berada di pesisir pantai utara Jawa Barat yang meliputi Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon (DAS Cimanuk dan Cipunagara) dan beberapa kecamatan di Cekungan Bandung seperti Kecamatan Majalaya, Ciparay, Banjaran dan Dayeuh Kolot (DAS Citarum), serta Kecamatan Padaherang di Kabupaten Ciamis (DAS Citanduy). Daerah rawan banjir dapat dilihat pada Gambar Daerah rawan kejadian angin ribut terdapat secara tidak menetap pada suatu zona yang pasti di Jawa Barat. Umumnya angin ribut terbentuk pada saat terjadi perubahan cuaca yang drastis dan pada daerah tekuk lereng yang memungkinkan terjadinya perubahan tekanan angin. Sebagian wilayah pesisir utara seperti daerah Majalengka dan Purwakarta merupakan daerah yang rawan terhadap potensi bencana angin ribut ini. Daerah rawan bencana gempa bumi merupakan daerah yang memiliki nilai intensitas atau tingkat kerusakan yang sama dihubungkan oleh suatu garis isoseismal. Intensitas yang dipakai ialah Modified mercelli Intensity (MMI), dengan kurun nilai dari I sampai XII. GAMBAR 1.31 PETA SEBARAN DAERAH RAWAN BANJIR Sumber : Dinas Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat Pendahuluan 70

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2009-2029 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH Penetapan indikator kinerja daerah bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai ukuran keberhasilan pencapaian visi dan misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang 56 BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN A. Letak Wilayah dan Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 Lintang selatan dan 104 48-108 48 Bujur Timur, dengan luas

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

No Kawasan Andalan Sektor Unggulan

No Kawasan Andalan Sektor Unggulan LAMPIRAN I PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 22 TAHUN 2010 TANGGAL : 30 NOVEMBER 2010 TENTANG : RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT ARAHAN PEMBAGIAN WILAYAH PENGEMBANGAN I. KAWASAN

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 5.1. Kondisi Geografis V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 Lintang Selatan dan 104 o 48-108 o 48 Bujur Timur, dengan batas wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur Jawa Barat Akhir Tahun Anggaran 2011 disusun berdasarkan ketentuan sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950

Lebih terperinci

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI...... i 1. GEOGRAFI Tabel : 1.01 Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat Dan Kabupaten/Kota... 1 Tabel : 1.02 Jumlah Kecamatan Dan Desa Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011... 2 2. KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang merupakan bagian dari wilayah pantai utara Pulau Jawa, dalam hal ini kabupaten yang termasuk dalam wilayah tersebut yaitu Kabupaten

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota eranan ekonomi wilayah kabupaten/kota terhadap perekonomian Jawa Barat setiap tahunnya dapat tergambarkan dari salah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota oda perekonomian yang bergulir di Jawa Barat, selama tahun 2007 merupakan tolak ukur keberhasilan pembangunan Jabar.

Lebih terperinci

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017 DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017 I. REALISASI INVESTASI PMA & PMDN 1. Total Realisasi Investasi PMA dan PMDN berdasarkan Laporan

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR GRAFIK... xiii BAB I PENDAHULUAN... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... I-5

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH JAWA BARAT SELATAN

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH JAWA BARAT SELATAN BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH JAWA BARAT SELATAN Bab sebelumnya telah memaparkan konsep pembangunan wilayah berkelanjutan dan indikator-indikatornya sebagai landasan teoritis sekaligus instrumen dalam

Lebih terperinci

PROFIL PEMBANGUNAN JAWA BARAT

PROFIL PEMBANGUNAN JAWA BARAT 1 PROFIL PEMBANGUNAN JAWA BARAT A. GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI WILAYAH Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 Lintang Selatan dan 104 o 48-108o48 Bujur Timur, dengan batas

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG Rencana Tata Ruang Wilayah diharapkan menjadi pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pembangunan di berbagai

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN 2011 2031 UMUM Ruang wilayah Kabupaten Karawang dengan keanekaragaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma Kabupaten Seluma merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM KABUPATEN KUNINGAN, KECAMATAN CIBEUREUM, CIBINGBIN, DAN CIGUGUR

BAB 3 GAMBARAN UMUM KABUPATEN KUNINGAN, KECAMATAN CIBEUREUM, CIBINGBIN, DAN CIGUGUR BAB 3 GAMBARAN UMUM KABUPATEN KUNINGAN, KECAMATAN CIBEUREUM, CIBINGBIN, DAN CIGUGUR Bab ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan menjelaskan mengenai gambaran umum Kabupaten Kuningan dan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga termasuk pula percepatan/akselerasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

Dalam rangka melaksanakan pembangunan daerah Kabupaten Sukabumi, telah

Dalam rangka melaksanakan pembangunan daerah Kabupaten Sukabumi, telah MATERI TEKNIS BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dalam rangka melaksanakan pembangunan daerah Kabupaten Sukabumi, telah diupayakan adanya keterpaduan pembangunan sektoral dan wilayah. Wujud operasionalnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kelemahan strategi pembangunan ekonomi di masa lalu dan krisis ekonomi yang berkepanjangan, telah menimbulkan berbagai persoalan yang

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

Draft 18/02/2014 GUBERNUR JAWA BARAT,

Draft 18/02/2014 GUBERNUR JAWA BARAT, Draft 18/02/2014 Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN BANTUAN KEUANGAN KEPADA KABUPATEN UNTUK KEGIATAN FASILITASI DAN IMPLEMENTASI GREEN PROVINCE

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1 Wilayah Administrasi dan Letak Geografis Wilayah administrasi Kota Tasikmalaya yang disahkan menurut UU No. 10 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pemerintah Kota Tasikmalaya

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah.

BAB I PENDAHULUAN. dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional khususnya daerah-daerah. Sektor pertanian sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km

Lebih terperinci

oleh para pelaku pembangunan dalam mengembangkan Kabupaten Pacitan.

oleh para pelaku pembangunan dalam mengembangkan Kabupaten Pacitan. 1.1 LATAR BELAKANG Kabupaten Pacitan merupakan bagian dari Koridor Tengah di Pantai Selatan Jawa yang wilayahnya membentang sepanjang pantai Selatan Pulau Jawa. Berdasarkan sistem ekonomi, geokultural

Lebih terperinci

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT 1.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) beserta Komponennya Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP meningkat di tahun 2013 sebesar 1.30 persen dibandingkan pada tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu dari delapan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis terletak antara 116-117

Lebih terperinci

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan.... DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Gambar Daftar Grafik i ii vii viii Bab I Pendahuluan. 1.1. Dasar Hukum..... 1.2. Profil Wilayah Kabupaten Sijunjung... 1.2.1 Kondisi Fisik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom baru yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Tangerang Provinsi Banten berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman BAB I. PENDAHULUAN... I-1 1.1 Latar Belakang... I-1 1.2 Dasar Hukum Penyusunan... I-3 1.3 Hubungan Antar Dokumen... I-4

Lebih terperinci

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV LAMPIRAN I PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, 30 Juni 30 Juni 2008 2008 PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa pengaturan

Lebih terperinci

NO SERI. D PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT. NO SERI. D 6 Nopember 2008

NO SERI. D PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT. NO SERI. D 6 Nopember 2008 PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 21 2008 SERI. D 6 Nopember 2008 PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 22 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT, BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa merupakan unit terkecil dalam sistem pemerintahan di Indonesia namun demikian peran, fungsi dan kontribusinya menempati posisi paling vital dari segi sosial dan

Lebih terperinci

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12 BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai negara kesatuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 24

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025 PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Geografis Daerah Kota Bengkulu merupakan ibukota dari Provinsi Bengkulu dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola pemanfaatan ruang pada kawasan perkotaan dicirikan dengan campuran yang rumit antara aktivitas jasa komersial dan permukiman (Rustiadi et al., 2009). Hal ini sejalan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN... 1

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 EVALUASI HASIL PELAKSANAAN RKPD TAHUN LALU DAN CAPAIAN KINERJA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN... 1 1 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Dasar Hukum...... 2 1.3. Hubungan Antar Dokumen... 5 1.4. Sistematika Dokumen RKPD... 5 1.5. Maksud dan Tujuan... Hal BAB II EVALUASI HASIL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya berasal dari sektor pertanian. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat

Lebih terperinci

BAB VI OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENTAAN RUANG DALAM RANGKA PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI KAWASAN PANTURA

BAB VI OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENTAAN RUANG DALAM RANGKA PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI KAWASAN PANTURA 6-1 BAB VI OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENTAAN RUANG DALAM RANGKA PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI KAWASAN PANTURA Kecenderungan dan pola spasial alih fungsi lahan sawah yang telah terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bencana banjir berdasarkan data perbandingan jumlah kejadian bencana di Indonesia sejak tahun 1815 2013 yang dipublikasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN KARO

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN KARO IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN KARO 4.1. Keadaan Geografis Kabupaten Karo terletak diantara 02o50 s/d 03o19 LU dan 97o55 s/d 98 o 38 BT. Dengan luas wilayah 2.127,25 Km2 atau 212.725 Ha terletak pada ketinggian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Kebijaksanaan pembangunan dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV KONTEKS LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONTEKS LOKASI PENELITIAN 27 BAB IV KONTEKS LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Kuningan 4.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kuningan terletak di ujung Timur Laut Provinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Provinsi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat Undang-undang Nomor 24 Tahun

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan, pencemaran, dan pemulihan kualitas lingkungan. Hal tersebut telah menuntut dikembangkannya berbagai

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS A. Permasalahan Pembangunan Dari kondisi umum daerah sebagaimana diuraikan pada Bab II, dapat diidentifikasi permasalahan daerah sebagai berikut : 1. Masih tingginya angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Provinsi Jawa Barat Kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat berjumlah 26 kabupaten/kota yang terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota dengan 625 kecamatan dan 5.877 desa/kelurahan. Jawa

Lebih terperinci