BAB III PERANAN PENGADILAN PERIKANAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADA TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) DIPERAIRAN INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III PERANAN PENGADILAN PERIKANAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADA TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) DIPERAIRAN INDONESIA"

Transkripsi

1 BAB III PERANAN PENGADILAN PERIKANAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADA TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) DIPERAIRAN INDONESIA A. Peranan Pengadilan Perikanan Medan Dalam menyelesaikan Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing) Pengadilan Perikanan merupakan Pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan dan berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang. Berdasarkan UU No. 45 tahun 2009, pasal 71 ayat 3, disebutkan bahwa pengadilan perikanan pertama kalinya dibentuk di Pengadilan Negeri Jakrata Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Sejak tahun 2005 hingga akhir tahun 2009 sudah lebih dari 800 kasus kapal ikan liar yang diproses secara hukum. Sebagian besar pelaku kasus illegal fishing yang terungkap adalah kapal ikan asing seperti dari Vietnam, Thailand, China, Myanmar dan Malaysia. 20 Dengan banyaknya kasus pelanggaran penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) yang dilakukan oleh kapal berbendera asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) maka pemerintah Indonesia harus melakukan upaya penegakan hukum untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana illegal fishing di ZEEI. 20 Wawancara dengan DR. Ir. M. Indah Ginting, MM, Hakim Ad Hoc Peradilan Perikanan Medan, Tanggal 10 Febuari lxxii

2 Untuk memberikan landasan hukum bidang perikanan, telah disahkan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Undang-undang ini merupakan penyempurnaan dari Undang-undang No. 9 Tahun 1985 dan Undang- Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang dipandang belum menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi. Sudah beberapa kali Undang-Undang mengenai perikanan direvisi tetapi implementasi di lapangan masih memprihatinkan. Amanat agar perkara-perkara perikanan dibawa ke pengadilan perikanan dan menjerat pelaku dengan UU Perikanan itu ternyata belum efektif. Setelah lebih dari empat tahun Pengadilan Perikanan beroperasi, penyelesaian kasus-kasus perikanan ternyata kurang memadai. Lebih dari 800 kasus perikanan selama empat tahun terakhir, kebanyakan kasus penangkapan kapal nelayan asing walaupun ada juga kasus penangkapan kapal nelayan Indonesia. Namun, dari 800 kasus tersebut, belum ada tindak lanjut yang efektif. Oleh karena itu untuk meningkatkan kinerja atau peran pengadilan perikanan Medan khususnya dalam menangani kasus-kasus tindak pidana illegal fishing perlu adannya transparansi dalam menindaklanjuti setiap kasus yang masuk kepengadilan perikanan. Bukan hanya itu, di lapangan para instansi yang bertugas untuk mengawasi perairan Indonesia khususnya perairan Sumatera Utara perlu meningkatkan kinerjanya dengan melakukan operasi lxxiii

3 penyisiran wilayah rutin agar dapat mempersempit bahkan menutup ruang gerak dari pelaku tindak pidana illegal fishing itu sendiri. 21 Dengan peningkatan kinerja para instansi pengawas dilapangan, nantinya akan dapat meningkatkan pula peranan pengadilan perikanan. Ini di karenakan semakin rajinnya para instansi pengawas di lapangan melakukan penyisiran, semakin banyak pula para pelaku tindak pidana illegal fishing tertangkap. Dengan demikian kasus-kasus yang masuk ke Pengadilan perikanan akan meningkat sehingga kinerja dari pengadilan perikanan itu sendiri dalam menyelesaikan tindak pidana illegal fishing dapat berjalan efektif. B. Peranan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Perikanan Hakim pada Pengadilan Perikanan terdiri dari Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc yang diangkat dan ditugaskan pada Pengadilan Perikanan, untuk mengadili tindak pidana perikanan. Disamping itu, ada Majelis Kehormatan Hakim Majelis yang memeriksa dan menerima pengajuan pembelaan diri dari Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri, serta memberikan pertimbangan, pendapat dan saran atas pembelaan diri tersebut. Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undangundang. 21 Wawancara dengan DR. Ir. M. Indah Ginting, MM, Hakim Ad Hoc Peradilan Perikanan Medan, Tanggal 10 Febuari lxxiv

4 Hakim Ad Hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Untuk dapat menjadi calon Hakim Ad Hoc, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. berumur paling rendah 40 tahun; e. sehat jasmani dan rohani; f. berwibawa, cakap, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela; g. berpendidikan paling rendah strata satu bidang hukum dan/atau strata satu lainnya yang berasal dari lingkungan perikanan, antara lain perguruan tinggi di bidang perikanan, organisasi di bidang perikanan, dan mempunyai keahlian di bidang hukum perikanan; h. berpengalaman di bidang perikanan paling kurang 5 (lima) tahun; i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; j. tidak menjadi anggota salah satu partai politik; dan k. bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya selama menjadi Hakim Ad Hoc. lxxv

5 Mahkamah Agung dan Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan seleksi administratif dan tes tertulis untuk menetapkan daftar nominasi calon Hakim Ad Hoc. Mahkamah Agung juga melakukan seleksi kompetensi calon Hakim Ad Hoc. Terhadap Calon Hakim Ad Hoc yang telah dinyatakan lulus seleksi kompetensi diwajibkan mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung. Calon Hakim Ad Hoc yang dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden untuk diangkat sebagai Hakim Ad Hoc. Masa tugas Hakim Ad Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa tugas. Penempatan Hakim Ad Hoc ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung. Sebelum memangku jabatan, Hakim Ad Hoc wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya sebagai berikut : Sumpah : Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Hakim Ad Hoc dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan seluruslurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta berbakti kepada nusa dan bangsa. Janji : lxxvi

6 Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Hakim Ad Hoc dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta berbakti kepada nusa dan bangsa. Hakim Ad Hoc dilarang merangkap sebagai: a. pejabat negara b. anggota partai politik c. advokat d. pengurus organisasi perikanan, pengurus asosiasi perusahaan perikanan, dan pengusaha di bidang perikanan atau e. konsultan perikanan. Hakim Ad Hoc dapat diberhentikan dengan hormat maupun dengan tidak hormat dari jabatannya. Hakim Ad Hoc diberhentikan dengan hormat dari jabatannya, karena : a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; c. sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 6 (enam) bulan berdasarkan surat keterangan dokter yang dibuat oleh dokter yang berwenang; d. tidak cakap dalam menjalankan tugas; atau e. telah selesai masa tugasnya. lxxvii

7 Pemberhentian dengan hormat ditetapkan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Hakim Ad Hoc diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, dengan alasan: a. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya tanpa alasan yang sah; c. melanggar sumpah atau janji jabatan; d. melakukan perbuatan tercela; atau e. melanggar larangan jabatan rangkap. Sebelum Hakim Ad Hoc diberhentikan tidak dengan hormat, Pengadilan Negeri membentuk Majelis Kehormatan Hakim untuk memeriksa Hakim Ad Hoc yang bersangkutan. Majelis Kehormatan melaksanakan pemeriksaan dalam tenggang waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Hasil pemeriksaan tersebut disampaikan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Hakim Ad Hoc yang bersangkutan dalam tenggang waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak selesai pemeriksaan. Hakim Ad Hoc diberi kesempatan untuk membela diri dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya pemberitahuan hasil pemeriksaan. Pembelaan diri dilakukan dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Hakim Ad Hoc sebelum diberhentikan tidak dengan hormat, dapat diberhentikan sementara dari jabatannya. Pemberhentian sementaras dilakukan lxxviii

8 untuk kelancaran pemeriksaan oleh Majelis Kehormatan Hakim atau karena perintah penangkapan yang tidak diikuti dengan penahanan. Pemberhentian sementara Hakim Ad Hoc ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Ketua Mahkamah Agung memutuskan untuk mengabulkan atau menolak usulan tersebut dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak usul Ketua Pengadilan Negeri diterima. Apabila alasan pemberhentian tidak dengan hormat tidak terbukti, pemberhentian sementara tersebut harus dicabut. Apabila alasan pemberhentian tidak dengan hormat terbukti, maka pemberhentian tidak dengan hormat ditetapkan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Pegawai Negeri Sipil yang diangkat menjadi Hakim Ad Hoc diberhentikan dari jabatan organiknya selama menjadi Hakim Ad Hoc tanpa kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil dapat dinaikkan pangkatnya setiap kali setingkat lebih tinggi tanpa terikat jenjang pangkat sesuai peraturan perundang-undangan. Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila telah mencapai batas usia pensiun, dan diberikan hak-hak kepegawaiannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hakim Ad Hoc juga berhak mendapat uang kehormatan dan hak-hak lainnya. lxxix

9 C. Pengawasan dan Instansi Penanganan Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing) Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan merupakan amanat dari Pasal 66 UU No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang menyatakan : Pengawas perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan yang bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang perikanan dan terdiri atas penyidik pegawai negeri sipil perikanan dan non penyidik pegawai negeri sipil perikanan. Langkah-langkah dalam pelaksanaan pengawasan di lapangan, telah dilakukan secara bertahap sesuai dengan sistem yang dikembangkan dalam pengawasan sumberdaya ikan. Monitoring, Controll dan Surveillance (MCS) dan ditindaklanjuti dengan Investigasi, merupakan sistem pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan yang diterapkan dan dikembangkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Dalam rangka pengembangan sistem dan teknis pengawasan sumberdaya ikan, khususnya penangkapan ikan, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : 02/MEN/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Penangkapan Ikan, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : 03/MEN/2002 tentang Log Book Penangkapan dan Pengangkutan Ikan. Bedasarkan keputusan tersebut diharapkan pengawasan terhadap kapal perikanan yang beroperasi diwilayah perikanan Indonesia dapat dilakukan dengan lebih baik dan terkoordinasi. lxxx

10 Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan pengawasan, para petugas Pengawas Perikanan sebagian telah dididik menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), sehingga petugas pengawas yang terkualifikasi PPNS tidak saja dibekali pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan dibidang perikanan tetapi juga diberikan keterampilan dan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran tindak pidana di bidang perikanan. Pelaksana pengawasan : Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.05/MEN/2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kelautan dan Perikanan, maka pelaksanaan pengawasan dilakukan secara fungsional. 2. Sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 35/KEP/M.PAN/5/2001 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Perikanan dan Angka Kreditnya, dan Keputusan Bersama Menteri Kelautan dan Perikanan dan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. SKB.53/MEN/2001 dan No. 40 Tahun 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawasan Perikanan dan Angka Kreditnya, maka Pengawas Perikanan yang melaksanakan pengawasan penangkapan ikan adalah Pejabat Fungsional yaitu Pengawas Perikanan Bidang Penangkapan Ikan. 22 Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jendral Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Standar Operasional dan Prosedur Pengawasan Penangkapan Ikan, (Jakarta, 2004),hal 6-7 lxxxi

11 3. Dengan adanya otonomi daerah, kewenangan pengawasan penangkapan ikan dilaksanakan oleh Pengawas Perikanan Bidang Penangkapan Ikan yang dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu : a. Tingkat Kabupaten/Kota Pengawas Perikanan tingkat kabupaten berwenang untuk mengawasi kapal perikanan yang berukuran kurang dari 10 GT dengan daerah operasi (Fishing Ground) kurang dari 4 mil. Petugas Pengawas Perikatnan dikukuhkan oleh Surat Keputusan Bupati/Walikota atau Pejabat yang ditunjuk. b. Tingkat Provinsi Pengawas Perikanan tingkat provinsi berwenang mengawasi kapal yang berukuran > 10 GT sampai dengan 30 GT, dengan daerah operasi (fishing ground) antara 4-12 mil. Petugas Pengawas Perikanan dikukuhkan oleh Surat Keputusan Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk berdasarkan masukan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota. c. Tingkat Pusat Pengawas Perikanan Pusat berwenang mengawasi kapal perikanan yang berukuran > 30 GT dan atau > 90 HP (kapal perikanan dengan izin pusat), dengan daerah operasi (fishing ground) lebih dari 12 mil. Petugas Pengawas Perikanan dikukuhkan oleh Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, berdasarkan masukan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi. lxxxii

12 d. Mengingat kapal-kapal perikanan dalam operasionalnya saling berinteraksi satu dengan yang lain, maka Pengawas Perikanan tingkat Kabupaten dan Provinsi bisa mengawasi kapal-kapal yang berukuran > 30 GT dan atau 90 HP, tetapi harus dikuatkan dengan keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan atau pejabat yang ditunjuk. Selain pengawas perikanan, masyarakat juga ikut serta dalam membantu pengawasan perikanan (pasal 67 UU No. 45 Tahun 2009). Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 58 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengawasan masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, peranan masyarakat juga dibutuhkan dalam menanggulangi terjadinya tindak pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing). Pengawasan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan atas sumber daya kelautan dan perikanan disebut dengan Siswasmas (sistem pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat). Siswasmas adalah sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan secara bertanggung jawab, agar dapat diperoleh manfaat secara berkelanjutan. Tujuan dibentuknya siswasmas adalah untuk memberikan pedoman bagi pihak yang berkepentingan (stakesholder) yaitu pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam pelaksanaan pengawasan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berbasis masyarakat. Sasaran dibentuknya siswasmas adalah : lxxxiii

13 1. Terbentuknya mekanisme pengawasan berbasis masyarakat, yang secara integratif dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan organisasi non pemerintah serta dunia usaha dengan tetap mengacu kepada peraturan dan perundangan yang ada/berlaku. 2. Meningkatkan partisipas masyarakat dalam pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan. 3. Terlaksananya kerja sama pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan oleh aparat keamanan dan penegak hukum, serta masyarakat. Jaringan dan mekanisme operasional siswasmas adalah sebagai berikut : 1. Masyarakat atau anggota Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas) melaporkan informasi adanya dugaan pelanggaran dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan kepada aparat pengawas terdekat (Seperti : koordinator PPNS, Kepala Pelabuhan Perikanan, Kepala Dinas Kelautan dan perikanan, Satpol-Airud (atau polisi terdekat), TNI-AL terdekat, atau petugas karantina dipelabuhan dan PPNS). 2. Masyarakat pengawas juga dapat melaporkan adanya dugaan tindak pidana perikanan oleh kapal ikan Indonesia atau kapal ikan asing serta tindakan Illegal lainnya dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan. 3. Petugas yang menerima laporan dari Pokmaswas melanjutkan informasi kepada PPNS dan/atau TNI-AL, dan/atau Satpol-Airud dan/atau Kapal Inspeksi Perikanan. lxxxiv

14 4. Koordinator pengawas perikanan atau Kepala Pelabuhan Perikanan yang menerima data dan informasi dari nelayan atau masyarakat maritim anggota Pokmaswas, melanjutkan informasi ke petugas pengawas seperti TNI-AL dan Satpol-Airud atau Kapal Inspeksi Perikanan. 5. Berdasarkan laporan tersebut PPNS, TNI-AL, Pol-Airud dan instansi terkait lainnya melaksanakan tindakan (penghentian dan pemeriksaan) pengejaran dan penangkapan pada kapal Indonesia dan kapal ikan asing sebagai tersangka pelanggaran tindak pidana perikanan dan sumberdaya kelautan lainnya, selanjutnya dilakukan proses penyelidikan dan penyidikan. 6. Pada waktu yang bersamaan PPNS, Pengawas Perikanan dan/atau (Koordinator PPNS dan/atau Kepala Pelabuhan Perikanan) meneruskan informasi yang sama kepada Dinas Kabupaten/ Kota dan Instansi terkait provinsi dengan tembusan Direktorat Jenderal Pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan. 7. Dinas perikanan kabupaten dan/atau provinsi melakukan koordinasi dengan petugas pengawas dalam melakukan operasi tindak lanjut atas pelanggaran yang dilakukan. Sedangkan instansi penanganan tindak pidana perikanan diatur dalam pasal 73 Ayat 1 UU No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan yang mengatur: Penyidikan Tindak Pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TN-AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. lxxxv

15 1. Penyidik Pegawai Sipil Perikanan (PPNS) Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983, pengertian PPNS Perikanan adalah : a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II B) atau yang disamakan dengan itu. b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul dari Departemen yang membawahi Pegawai Negeri Sipil tersebut. Menteri Kehakiman sebelum melaksanakan pengangkatan, terlebih dahulu mendengar pertimbangan Jakusa Agung dan Kepala Kepolisian Repoublik Indonesia. c. Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam butir b dapat dilimpahkan kepada Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mempunyai kewenangan sebagai berikut : Berdasarkan Pasal 73 UU No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang : 1. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan. 2. memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi. 3. membawa dan menghadapkan seorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya. lxxxvi

16 4. menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga dipergunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan. 5. menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan. 6. memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan 7. memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan. 8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan. 9. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan. 10. melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana. 11. melakukan penghentian penyidikan. 12. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 2. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) a. Peranan TNI AL dalam pengawasan dan penegakan hukum di laut Secara universal TNI AL mengemban tiga peran yaitu peran militer, peran polisionil dan peran diplomasi yang dilandasi oleh kenyataan bahwa laut merupakan wahana kegiatan laut. Peran polisionil dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum di laut, melindungi sumber daya dan kekayaan laut lxxxvii

17 nasional, memelihara keamanan dan ketertiban di laut serta mendukung pembangunan bangsa. Konvensi Hukum Laut Internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui perundang-undangan nasional secara yuridis formal memberikan kewenangan penegak hukum bagi kapal perang terhadap setiap bentuk kejahatan yang dilakukan di/dari lewat laut, terutama kejahatan yang bersifat internasional. Disamping itu dalam peraturan perundangan nasional juga memberikan kewenangan kepada perwira TNI AL untuk melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu di laut. Salah satu tugas TNI AL adalah menegakkan hukum dan ketertiban di laut sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang mengaturnya serta kebiasaan internasional, agar tugas tersebut dapat dilaksanakan secara profesional dan proporsional untuk itu diperlukan suatu prosedur tetap (protap) tentang langkah-langkah penanganan terhadap tindak pidana di laut oleh unsur operasional TNI AL. b. Dasar Kewenangan Penyidikan oleh TNI AL Pasal 13 Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Laut Larangan (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie) 1939 Stbl Nomor 442 menyatakan bahwa : Untuk memelihara dan mengawasi pentaatan ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini ditugaskan kepada komandan Angkatan Laut Surabaya, Komandan-komandan Kapal Perang Negara dan kamp-kamp penerbangan dari angkatan laut. 23 Ibid, hal lxxxviii

18 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dalam pasal 14 ayat (1) undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Perwira TNI AL yang ditunjuk oleh Pangab sebagai aparat penegak hukum di bidang penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan Pasal 31 ayat (1) undang-undang ini menyatakan : Aparat penegak hukum yang berwenang melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan undang-undang ini diperairan Indonesia adalah pejabat penyidik sebagaimana ditetapkan dalam pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 4. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 memberikan kewenangan kepada pejabat-pejabat, kapal perang dan kapal pemerintah untuk melakukan penegakan hukum di laut. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa pasal antara lain Pasal 107, 110, 111, dan Pasal 224 UNCLOS Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Pasal 39 ayat (2) kewenangan penyidik Kepolisian Negara RI, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana lxxxix

19 diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI dan UU Nomor 9 Tahun 1985 tentang perikanan. 6. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran ditetapkan dalam pasal 99 ayat (1) : selain penyidik pejabat Polisi Negara RI, Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang pelayaran dan perwira Tantara Nasional Indonesia Angkatan Laut tertentu diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pelayaran yang dimaksud dalam undang-undang ini. 7. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP Pasal 17 beserta penjelasannya menyebutkan bahwa : bagi penyidik dalam perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan ZEEI penyidikan dilakukan oleh perwira TNI AL dan pejabat penyidik lainnya yang ditentukan oleh undang-undang yang megaturnya. 8. Udang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia Pasal 24 ayat (3) : Penegakan hukum dilakukan oleh instansi terkait antara lain TNI AL, Polri, Departemen Keuangan dan Departemen Kehakiman sesuai dengan wewenang masing-masing instansi terkait tersebut dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional maupun hukum internasional. 9. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 ayat (5) tentang lingkungan hidup : Bahwa penyidikan tindak pidana dilingkungan hidup di xc

20 perairan Indonesia dan zona ekonomi eksklusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.(lihat pasal 14 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 14 beserta penjelasannya menyebutkan bahwa TNI berperan sebagai alat pertahanan negara termasuk didalamnya mempertahankan keutuhan wilayah, melindungi kehormatan bangsa dan negara, melaksanakan operasi militer selain perang dan ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Dimaksudkan melaksanakan Operasi Militer selain perang antara lain bantuan kemanusiaan, bantuan kepada pemerintahan sipil, pengawasan pelayaran dan/atau penerbangan, bantuan pencarian dan pertolongan, bantuan pengungsian dan korban bencana alam berdasarkan permintaan dan atau peraturan perundang-undangan. c. Kewenangan TNI AL di perairan Indonesia Mempertahankan eksistensi/keberadaan Negara Kesatuan RI dari segala bentuk ancaman dan gangguan. 2. Memelihara stabilitas nasional dan turut serta memelihara stabilitas regional dan internasional. 3. Menegakkan hukum terhadap tindak pidana di wilayah perairan Indonesia, meliputi : a. Illegal entry/pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal asing 24 Ibid, hal 8-9 xci

21 b. Imigran gelap c. Pelanggaran Hak Lintas Damai d. Pelanggaran Hak Lintas Kepulauan e. Pelanggaran Hak Lintas transit f. Pelanggaran Hak akses komunikasi g. Tindakan provokasi oleh kapal-kapal asing di sekitar wilayah perairan Indonesia h. Sabotase obyek vital dan tindakan terorisme lainnya. 4. Melindungi sumber daya alam dan buatan, meliputi : a. Pengamanan sumber daya alam hayati dari kegiatan penangkapan/eksploitasi tanpa izin, antara lain : 1. Perikanan 2. Kehutanan 3. Benda Cagar Budaya 4. Pasir Laut 5. Pencemaran Laut b. Pengamanan sumber-sumber mineral dan sumber daya alam non hayati lainnya dari kegiatan eksplorasi atau eksploitasi tanpa izin c. Perlindungan terhadap pulau buatan atau instansi buatan maupun industri lainnya di laut. 5. Mengamankan pelayaran, meliputi : a. Mencegah dan menindak kegiatan pelayaran yang dilakukan diluar jalur pelayaran yang telah ditentukan xcii

22 b. Mencegah dan menindak penggunaan bendera negara yang tidak sesuai dengan ketentuan penggunaan oleh kapal dilaut c. Mencegah dan menindak perbuatan yang dapat membahayakan keselamatan pelayaran dan keselamatan jiwa di laut d. Memberi bantuan dan pengamanan kegiatan SAR di laut 6. Mengamankan pipa-pipa dan kabel-kabel bawah/dasar laut dan sarana komunikasi lainnya. 7. Mencegah dan menindak kegiatan dan penelitian kelautan tanpa izin 8. Mencegah dan menindak kegiatan pemetaan atau survey hidrooseanografi tanpa izin 9. Mencegah dan menindak perampokan/pembajakan di laut 10. Mencegah dan menindak penyelundupan di laut 11. Mencegah dan menindak pengangkutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Illegal lewat laut 12. Mencegah dan menindak pengangkutan obat-obat terlarang dan senjata api gelap. 3. Polisi Negara Republik Indonesia Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara RI adalah sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo Pasal 73 ayat (4) UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan jo Pasal 73 UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan. Walaupun secara yuridis formil kewenangan penyidikan dibidang tindak pidana perikanan dilakukan oleh PPNS, Perwira TNI AL dan Polri, namun dalam xciii

23 pelaksanaan tugas-tugas penyidikan PPNS perikanan masih memerlukan bantuan/bimbingan teknis penyidikan baik dari TNI AL maupun Penyidik Polri, Sebelum berlakunya Undang-undang Perikanan, di kenal adanya hubungan tata cara kerja antara Polri dan PPNS. Berdasarkan Pasal 107 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Polri dengan PPNS mempunyai hubungan kerja, dimana untuk kepentingan penyidikan, Penyidik Polri memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan yang diperlukan oleh PPNS. Hubungan tata cara kerja Polri dan PPNS dibidang operasional penyidikan dilapangan dilaksanakan secara timbal balik dengan mekanismenya adalah sebagai berikut : Dalam hal penyidik PPNS melaksanakan penyidikan maka PPNS sejak awal menerima laporan/pengaduan wajib memberitahukan hal ini kepada penyidik Polri untuk kemudian diteruskan kepada Penuntut Umum (laporan dimulainya penyidikan). 2. Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik Polri memberikan petunjukpetunjuk baik diminta maupun tidak diminta, berdasarkan tanggung jawabnya wajib memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. 3. Petunjuk yang diberikan meliputi petunjuk teknis, petunjuk taktis dan petunjuk yuridis. Sedangkan bantuan penyidikan meliputi bantuan teknis, bantuan taktis dan bantuan upaya paksa. 25 Himpunan Juklak dan Juknis tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta, 1991), hal. 11 xciv

24 Bantuan upaya paksa adalah bantuan penindakan apabila wewenangnya tidak dimiliki oleh PPNS. 4. Dalam hal tindak pidana yang sedang dilakukan penyidikan oleh PPNS, ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada Penuntut Umum, maka PPNS wajib melaporkan hal ini kepada Penyidik Polri (laporan perkembangan penyidikan). 5. Dalam hal penyidikan PPNS membutuhkan bantuan untuk melakukan upaya paksa/penindakan yang wewenangnya dimiliki oleh PPNS yang bersangkutan, maka untuk kegiatan tersebut dimintakan bantuan penyidik Polri. Pengaturan tata cara kerja antara Polri dengan PPNS ini terutama disebabkan karena sebelum diberlakukannya ketentuan UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan, Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) adalah sangat terbatas dan tidak mempunyai kewenangan untuk menangkap serta menahan tersangka. Demikian juga dalam hal pengajuan berkas penyidikan ke Penuntut Umum, tetap harus melalui Kepala Kepolisian setempat, apakah itu Kepala Kepolisian Sektor (Polsek) maupun Kepala Kepolisian Resort (Polres) xcv

25 D. Kendala-kendala yang dialami dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian ikan (Illegal Fishing) Secara garis besar, beberapa faktor yang menjadi kendala dalam penanganan IUU Fishing di perairan Indonesia, antara lain : Masih lemahnya pengawasan yang antara lain disebabkan oleh : a. Masih terbatasnya sarana prasarana dan fasilitas pengawasan b. SDM pengawasan yang masih belum memadai terutama dari sisi kuantitas c. Belum lengkapnya peraturan perundang-undangan di bidang perikanan d. Masih lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum baik pusat maupun daerah. e. Belum berkembangnya lembaga pengawasan f. Penerapan sistem MCS yang belum optimal 2. Belum tertibnya perizinan yang memberikan peluang terjadinya pemalsuan izin. 3. Masih lemahnya Law Enforcement yang menyebabkan menurunnya kewibawaan hukum, kurangnya rasa keadilan bagi masyarakat dan maraknya pelanggaran. 26 Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP), Op. Cit. hal. 10 xcvi

26 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Ketentuan Hukum terhadap Tindak Pidana Illegal fishing Menurut UU 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Secara umum berdasarkan Pasal 103 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,tindak pidana perikanan di bagi atas 2 jenis tindak pidana, yaitu tindak pidana kejahatan di bidang perikanan dan tindak pidana pelanggaran di bidang perikanan. a. Tindak Pidana Kejahatan di bidang perikanan di atur dalam Pasal 84, 85, 86, 89, 91, 92, 93 dan Pasal 94 UU Perikanan. b. Tindak Pidana Pelanggaran di bidang perikanan di atur dalam Pasal 87, 89, 90, 95, 96, 97, 98,99 dan Pasal 100 UU Perikanan. 2. Peranan Pengadilan Perikanan dalam menyelesaikan tindak pidana illegal fishing. Setelah lebih dari empat tahun Pengadilan Perikanan beroperasi, penyelesaian kasus-kasus perikanan ternyata kurang memadai. Lebih dari 800 kasus perikanan selama empat tahun terakhir, kebanyakan kasus penangkapan kapal nelayan asing walaupun ada juga kasus penangkapan kapal nelayan Indonesia. Namun, dari 800 kasus tersebut, belum ada tindak lanjut yang efektif. Oleh karena itu untuk meningkatkan kinerja atau peran pengadilan perikanan Medan khususnya dalam menangani kasus-kasus tindak pidana illegal fishing xcvii

27 perlu adannya transparansi dalam menindaklanjuti setiap kasus yang masuk kepengadilan perikanan. Bukan hanya itu, di lapangan para instansi yang bertugas untuk mengawasi perairan Indonesia khususnya perairan Sumatera Utara perlu meningkatkan kinerjanya dengan melakukan operasi penyisiran wilayah rutin agar dapat mempersempit bahkan menutup ruang gerak dari para pelaku tindak pidana illegal fishing itu sendiri. Dengan meningkatnya kinerja dari para instansi pengawas dilapangan, nantinya akan dapat meningkatkan pula peranan pengadilan perikanan. Ini di karenakan semakin rajin para instansi pengawas di lapangan melakukan penyisiran, semakin banyak pula para pelaku tindak pidana illegal fishing tertangkap. Dengan demikian kasus-kasus yang masuk ke Pengadilan perikanan akan meningkat sehingga kinerja dari pengadilan perikanan itu sendiri dalam menyelesaikan tindak pidana illegal fishing dapat berjalan efektif. B. Saran 1. Dilakukannya razia rutin di perairan Indonesia guna meminimalisir terjadinya tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing) 2. Untuk menanggulangi terjadinya tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing) di Indonesia, pemerintah hendaknya membentuk forum koordinasi penegak hukum untuk menyamakan persepsi dan langkah-langkah penegakan hukum, sehingga dalam melakukan pengawasan dan penindakan dapat dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan seluruh komponen penegak hukum di laut xcviii

28 selain itu juga melibatkan masyarakat khususnya masyarakat nelayan melalui Siswasmas 3. Tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing) yang sering terjadi di perairan Indonesia adalah karena penangkapan yang dilakukan tidak di sertai oleh SIUP dan SIPI, untuk itu diharapkan kepada pemerintah khususnya institusinya yang terkait (yang memberikan izin dalam melakukan penangkapan ikan), agar benar-benar menertibkan mekanisme penertiban izin bagi kapal-kapal ikan lokal ataupun kapal asing dengan cara memeriksa dan mengevaluasi kapal-kapal yang akan di berikan izin dan merevisi kembali kapal-kapal yang telah di beri izin serta bekerja sama dengan penyidik dilapangan untuk memeriksa kembali izin setiap kapal yang akan melakukan dan atau yang sedang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia. xcix

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD HOC PENGADILAN PERIKANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD HOC PENGADILAN PERIKANAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD HOC PENGADILAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD HOC PENGADILAN PERIKANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD HOC PENGADILAN PERIKANAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD HOC PENGADILAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD HOC PENGADILAN PERIKANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD HOC PENGADILAN PERIKANAN www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD HOC PENGADILAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 5-1991 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 2004 POLITIK. KEAMANAN. HUKUM. Kekuasaaan Negara. Kejaksaan. Pengadilan. Kepegawaian.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa keamanan dalam negeri

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANJUNGPINANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA Bahan Panja Hasil Timus RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 16 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 28-1997 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 2, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 59, 1991 (ADMINISTRASI. LEMBAGA NEGARA. TINDAK PIDANA. KEJAKSAAN. Warganegara. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 35,2004 YUDIKATIF. KEHAKIMAN. HUKUM. PERADILAN. Peradilan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan peran Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, perlu

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

Indeks: ADMINISTRASI. LEMBAGA NEGARA. TINDAK PIDANA. KEJAKSAAN. Warganegara. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

Indeks: ADMINISTRASI. LEMBAGA NEGARA. TINDAK PIDANA. KEJAKSAAN. Warganegara. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright 2002 BPHN UU 5/1991, KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA *7742 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1991 (5/1991) Tanggal: 22 JULI 1991 (JAKARTA) Sumber: LN 1991/59;

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. WALIKOTA

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam upaya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Abdul Muthalib Tahar dan Widya Krulinasari Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA PERIKANAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013 SALINAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT, PEMBERHENTIAN TIDAK DENGAN HORMAT, DAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA, SERTA HAK JABATAN FUNGSIONAL JAKSA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT, PEMBERHENTIAN TIDAK DENGAN HORMAT, DAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA, SERTA HAK JABATAN FUNGSIONAL JAKSA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2009 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2004\uu 8 2004.htm

file://\\172.27.0.12\web\prokum\uu\2004\uu 8 2004.htm Page 1 of 14 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KOMITE NASIONAL KESELAMATAN TRANSPORTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KOMITE NASIONAL KESELAMATAN TRANSPORTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KOMITE NASIONAL KESELAMATAN TRANSPORTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk meningkatkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 SERI E =============================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI

Lebih terperinci

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 3 2013 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, 1 BUPATI BANYUWANGI BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN 2017 TENTANG KONSIL TENAGA KESEHATAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN 2017 TENTANG KONSIL TENAGA KESEHATAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN 2017 TENTANG KONSIL TENAGA KESEHATAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA http://welcome.to/rgs_mitra ; rgs@cbn. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 Draft Final 14 Desember 2011 Jam 15.00 WIB RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2011 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 84, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 84, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 84, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2009 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG TATA LAKSANA JABATAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENCALONAN, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENCALONAN, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENCALONAN, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2009 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA METRO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penegakan atas

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT Menimbang : a. Mengingat : 1. BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH

Lebih terperinci

TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penegakan hukum di

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KOTA PEKALONGAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KOTA PEKALONGAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KOTA PEKALONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN,

Lebih terperinci

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMANDAU DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci