A. Pengertian Hak Politik Perempuan
|
|
- Liani Halim
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Hak Politik Perempuan Secara yuridis formal hak politik perempuan merupakan hak azasi sebagaimana dimuat dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia Tahun Pasal 1 intinya adalah bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang tidak berbeda. Pasal 7 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hukum yang sama dan Pasal 21 menentukan bahwa setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun melalui wakilwakil yang dipilih secara bebas. Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama, untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan di negerinya. Selain itu perlu diperhatikan pula bahwa pemerintah telah meratifikasi konvesi tentang hak politik perempuan sebagaimana tertuang dalam UU No. 68 Tahun Dalam UU tersebut terdapat ketentuan bahwa perempuan berhak memberikan suara dalam semua pemilihan dengan status yang sama dengan pria tanpa diskriminasi. Selain itu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia khususnya Pasal 46 secara tegas memberikan jaminan keterwakilan perempuan. Atas dasar itu semua, kiranya tidak perlu ragu bahwa perempuan pun juga dijamin hak politiknya. Persoalannya terletak pada perempuan sendiri mau atau tidak memanfaatkan jaminan hukum ini. 12
2 Memperhatikan tentang ruang politik yang sudah terbuka bagi kaum perempuan, maka dapatlah dikatakan perempuan dapat mengimplementasikan hak politiknya secara terbuka pula. Adanya jaminan mengenai hak politik, memberikan dampak yang sangat positif bagi pergerakan politik kaum perempuan. Dalam upaya merepresentasikan hak politik dalam keterwakilannya, dalam pengambilan keputusan politik, maka yang perlu untuk dilihat ialah konteks perempuan dan perwakilan politik. Hal ini sangat perlu untuk dicermati guna memperhatikan lebih jauh tentang aktualisasi perempuan dalam perwakilan politik yang mereka jalani. 1 B. Pengaturan Hak Politik Perempuan 1. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Jaminan bagi hak berpartisipasi dalam jaringan pemerintah dan politik di Negara Republik Indonesia, pertama-tama ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Undang-Undang Dasar merupakan ketentuanketentuan fundamental tentang organisasi dan kebijaksanaan Pemerintah, sedangkan GBHN merupakan Garis Besar Kebijaksanaan Pemerintah dan Pembangunan dalam menjalankan ketatalaksanaan pembangunan untuk 1 Utami Santi Wijaya Hesti dkk, Perempuan dalam Pusaran Demokrasi, dari Pintu Otonomi ke Pemerdayaan, Penerbit IP4 Lappera Indonesia, Bantul, 2001, h Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 13
3 mencapai tujuan seperti yang tertuang dalam UUD. Jaminan lainnya tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: 3 Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hukum yang di maksud dalam hal ini meliputi hukum tertulis dan tidak tertulis, hukum nasional dan hukum internasional, hukum publik dan hukum privat yang memberi jaminan hukum bagi berbagai aspek kehidupan rakyat. Pemerintahan yang dimaksud meliputi bidang pemerintahan legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan lain-lainnya pada tingkat pemerintahan baik di pusat maupun daerah yang memberi jaminan hak partisipasi untuk turut menjalankan pemerintahan sepanjang memenuhi prasaratan sebagai diatur dalam perundang-undangan. Sedangkan dalam pasal 28 D ayat (3) UUD telah dikemukakan bahwa adanya persamaan hak bagi setiap warga negara dalam pemerintahan. Dengan adanya ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa adanya jaminan hak yang sama antar laki-laki dan perempuan untuk berkiprah dalam dunia politik. 2. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun tentang HAM Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak azasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus 3 Sastriani Siti Hariti, Gender and Politics,Penerbit Pusat Studi Wanita Universitas Gajah Mada dengan Tiara Wacana, Yogyakarta, 2009, h Pasal 28D ayat (3): Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan 14
4 dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, dan kecerdasan serta keadilan. 5 Hak tersebut meliputi juga hak politik bagi kaum perempuan yang tercantum pada pasal 46 Undang-undang HAM, yang berbunyi sebagai berikut: Siatem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan Di dalam pasal tersebut dicantumkan secara tegas adanya jaminan keterwakilan perempuan dalam siatem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif. Hal tersebut mencerminkan adanya perlindungan hak politik bagi kaum perempuan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya diskriminasi. 3. Menurut Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu Kedua undang-undang ini bersifat diskriminatif karena memberikan perlakuan khusus kepada perempuan dengan mencantumkan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam Partai Politik dan Parlemen. Pengaturan Hak Politik perempuan di dalam Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang PEMILU terdapat pada Pasal 2 ayat (2) dan ayat (5) sedangkan dalam Undang-Undang PEMILU terdapat pada Pasal 8 ayat (2E) dan Pasal 55. Isi dari Pasal-pasal tersebut sebagai berikut: 5 Pasal 2 Undang-Undang HAM 15
5 Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Partai Politik berbunyi: Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Partai Politik berbunyi: Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pasal 8 ayat (2E) Undang-Undang PEMILU: Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat Sedangkan Pasal 55 berbunyi: Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 6 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan 4. Menurut CEDAW CEDAW sebagai salah satu konvensi keperempuanan internasional yang bertujuan meminimalisir diskriminasi terhadap perempuan, mengakomodir hak-hak terhadap perempuan. Hak-hak tersebut adalah hak Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan pada Tingkat Nasional, hak Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan pada Tingkat Internasional, hak Persamaan dalam Hukum Nasional, Hak Persamaan dalam Pendidikan, Persamaan dalam Hak Pekerja dan Buruh, DPR dan DPD. 6 Daftar bakal calon yang dimaksud dalam Pasal 53 adalah daftar bakal calon anggota 16
6 Hak atas Persamaan Kesempatan atas Pelayanan Fasilitas Kesehatan dan hak atas Jaminan Keuangan dan Sosial. Hak politik sebagai salah satu hak perempuan yang dilindungi dalam CEDAW adalah hak Persamaan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan pada Tingkat Nasional dan pada tingkat internasional. Pengaturan mengenai hak politik perempuan dalam CEDAW diatur dalam Pasal tujuh (7) dan Pasal delapan (8). Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa: Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah perlu untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik, kehidupan kemasyarakatan negaranya, dan khususnya menjamin bagi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak sebagai berikut : a. Untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dan referendum publik, dan untuk dipilih pada semua badan badan yang secara umum dipilih; b. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya, serta memegang jabatan publik dan melaksanakan segala fungsi publik di semua tingkat pemerintahan; c. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan Non-Pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara. Pasal 7 menghendaki Negara-negara Pihak untuk melakukan dua tahapan kegiatan, untuk menciptakan persamaan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan bagi perempuan. Pertama, Negara-negara harus menyebarluaskan hak yang telah dijamin berdasarkan Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan memberi jaminan terhadap perempuan untuk memberikan suara pada setiap pemilihan umum dan referendum. Masalah penting bagi perempuan adalah hak untuk 17
7 memberikan suara secara rahasia. Perempuan yang tidak diijinkan memberikan suara secara rahasia sering dipaksa untuk memberikan suara yang sama dengan suami mereka, dan karenanya menghalangi mereka untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri. Kedua, Pasal 7 mengakui bahwa walaupun hal ini penting, hak untuk memilih saja tidaklah cukup untuk menjamin partisipasi yang nyata dan efektif bagi perempuan dalam proses politik. Oleh sebab itu Pasal ini menghendaki Negara untuk memastikan bahwa perempuan mempunyai hak untuk dipilih dalam badan-badan publik dan untuk memegang jabatan publik lainnya dan kedudukan dalam organisasi non-pemerintah. Kewajiban-kewajiban ini dapat dilaksanakan dengan memasukkan perempuan dalam daftar calon pemerintah, affirmative action dan kuota, dengan menghapus pembatasan berdasarkan gender pada posisi tertentu, meningkatkan tingkat kenaikan jabatan bagi perempuan, dan mengembangkan program pemerintah untuk menarik lebih banyak perempuan ke dalam peran kepemimpinan politik yang punya arti penting (tidak sekedar nominal). Dalam Pasal 8 disebutkan bahwa: Negara-negara Pihak harus mengambil semua upaya-upaya yang tepat untuk memastikan agar perempuan memiliki kesempatan mewakili Pemerintah mereka pada tingkat internasional dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional, atas dasar persamaan dengan laki-laki dan tanpa diskriminasi apapun. 18
8 Walaupun banyak keputusan-keputusan yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan perempuan dibuat di dalam negaranya sendiri, kecenderungan politik, hukum dan gejala sosial didorong dan diperkuat pada tingkat internasional. Untuk alasan ini maka pentinglah bahwa perempuan terwakili secara memadai dalam forum internasional sebagai anggota delegasi pemerintah dan sebagai pekerja pada organisasi internasional. Tujuan perwakilan yang setara bagi perempuan dalam tingkat internasional masih jauh dari kenyataan. Dalam rekomendasi umum No 8 yang ditetapkan pada sidang ketujuh tahun 1988, Komite Mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan merekomendasikan agar dalam pelaksanaan Pasal 8 Konvensi, Negaranegara Pihak memberlakukan tindakan khusus yang sementara misalnya affirmative action dan diskriminasi yang positif sebagaimana dituangkan dalam pasal 4. Negara-negara juga harus menggunakan pengaruhnya dalam organisasi internasional untuk memastikan agar perempuan terwakili secara setara dan memadai. Jadi, dalam CEDAW secara jelas telah cukup diakomodir tentang hak-hak politik perempuan, tetapi yang menjadi permasalahan kemudian adalah negara-negara peratifikasi konvensi CEDAW tidak memberikan perhatian khusus terhadap hak politik perempuan. Sehingga relisasi dan perkembangan hak politik perempuan tidak berjalan dengan baik. 19
9 C. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik 1. Pengertian Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik 7 Asas-asas pembentukan perundang-undangan adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundangundangan yang baik. Dalam bidang hukum yang menyangkut pembentukan peraturan perundang-undangan negara, Burkhardt Krems menyebukannya dengan istilah staatsliche Rechtssetzung, sehingga pembentukan peraturan itu menyangkut: 1. Isi peraturan (Inhalt der Regelung) 2. Bentuk dan susunan peraturan (Form der Regelung) 3. Metode pembentukan peraturan(metodhe der Ausarbeitung der Regelung); dan 4. Prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren der Ausarbeitung der Regelung). 7 Indrati Maria Farida, Ilmu PerUndang-Undangan, Cet. 13, Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI), 2007, h
10 Berdasarkan hal-hal tersebut, maka asas bagi pembentukan peraturan perundang-undangan negara akan meliputi asas-asas hukum yang berkaitan dengan itu. Selain itu Paul Scholten mengemukakan bahwa, sebuah asas hukum (rechtsbeginsel) bukanlah sebuah aturan hukum (Rechtsregel). Untuk dapat dikatakan sebagai aturan hukum, sebuah asas hukum adalah terlalu umum sehingga ia atau bukan apa-apa atau berbicara terlalu banyak (of niets of veel te vell zeide). Penerapan asas hukum secara langsung melalui jalan subsumsi atau pengelompokan sebagai aturan tidaklah mungkin, karena itu lebih dulu perlu dibentuk isi yang lebih kongkrit. Dengan perkataan lain, asas hukum bukankah hukum, namun hukum tidak akan dapat dimengerti tanpa asas-asas tersebut. Scholten mengemukakan lebih lanjut, adalah menjadi tugas ilmu pengetahan hukum untuk menelusuri dan mencari asas hukum itu dalam hukum positif. 2. Asas-asas Pembentukan Peraturan Negara yang Baik Menurut I.C.van dwr Vlies 8 Di dalam bukunya yang berjudul Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving I.C van der Vlies membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang material. 8 Ibid., h
11 Asas-asas formal meliputi: 1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling); 2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ); 3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids eginsel); 4. Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid); 5. Asas kosensus (het beginsel van cosensus). Asas-asas yang material meliputi: 1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologi en duidelijke systematiek); 2. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbarheid); 3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkhidsbeginsel); 4. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel); 5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtsbedeling). 3. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Patut Menurut A. Hamid S. Attamimi 9 A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut adalah sebagai berikut: a. Cita hukum Indonesia 9 Ibid., h
12 b. Asas negara berdasar atas hukum dan asas pemerintahan berdasar sisitim konstitusi c. Asas-asas lainnya Dengan demikian, asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh: a. Cita hukum Indonesia yang tidak lain melainkan Pancasila (sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai cita (idee), yang berlaku sebagai bintang pemandu). b. Norma fundamental negara yang juga tidak melainkan Pancasila (sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai norma). (1) asas-asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan Undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum (der Primat des Rechts); (2) Asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang menempatkan Undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut meliputi juga: 1. Asas tujuan yang jelas; 2. Asas perlunya pengaturan; 23
13 3. Asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat; 4. Asas dapatnya dilaksanakan; 5. Asas dapatnya dikenali; 6. Asas perlakuan yang sama dalam hukum; 7. Asas kepastian hukum; 8. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual. Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal dan asas material, maka A. Hamid S. Attamimi cenderung untuk membagi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut tersebut kedalam: a. Asas-asas formal, dengan perincian: 1. Asas tujuan yang jelas; 2. Asas perlunya pengaturan; 3. Asas organ/lembaga yang tepat; 4. Asas materi muatan yang tpat; 5. Asas dapatnya dilaksanakan; dan 6. Asas dapat dikenali; b. Asas-asas material, dengan perincian: 1. Asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma Fundamental Negara; 2. Asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara; 24
14 3. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi. Dengan mengacu pada asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan Indonesia yang patut tersebut, dapat diharapkan terciptanya perturan perundang-undangan yang baik dan dapat mencapai tujuan secara optimal dalam pembangunan hukum di Negara Republik Indonesia. 4. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik Menurut Undang-undang No.10 Th Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik seperti di kemukakan di atas dirumuskan juga dalam Undang-undang No.10 Th tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Pasal 5 dan Pasal 6 yang dirumuskan sebagai berikut: Pasal 5: Dalam membentuk peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik meliputi: a. Kejelasan tujuan; b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan; 10 Ibid., h
15 e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; dan g. Keterbukaan. Asas-asas yang dimaksutkan dalam pasal 5 diberikan penjelasannya dalam penjelasan sebagai berikut: a. Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. c. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya. d. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. 26
16 e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. f. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundangundangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya. g. Asas keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian masyarakat mempunyai kesempatan yang seluasluasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, asas-asas yang harus dikandung dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan di Negara Republik Indonesia dirumuskan dalam Pasal sebagai berikut Pasal 6 1. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas: a. Pengayoman; b. Kemanusiaan; 27
17 c. Kebangsaan; d. Kekeluargaan; e. Kenusantaraan; f. Bhineka Tunggal Ika; g. Keadilan; h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. 2. Selain asas yang dimasud ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Apa yang dimaksutkan dengan asas-asas yang berlaku dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan tersebut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut: Penjelasan Pasal 6 ayat (1): a. Asas pengayoman adalah bahwa setiap peraturan perundangundangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. b. Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan 28
18 pengayoman hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proposional. c. Asas kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralisik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. d. Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. e. Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. f. Asas Bhineka Tunggal Ika adalah materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. g. Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara peroposional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. 29
19 h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa materi muatan peraturan perudang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. i. Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa materi muatan setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Penjelasan Pasal 6 ayat (2) menjelaskan bahwa: Yang dimaksud dengan asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan antara lain: a. Dalam Hukum Pidana, misalnya asas legalitas, asas tidak hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; b. Dalam Hukum Perdata, misalnya dalam hukum perjanjian antara lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikat baik. 30
20 Dari beberapa asas hukum yang dikemukakan oleh I.C.van dwr Vlies, A. Hamid S. Attamimi, dan yang terdapat dalam Undang-undang No.10 Tahun 2004 penulis hanya akan menggunakan tiga asas guna menjawab permasalahan yang sedang penulis teliti yaitu asas kejelasan tujuan, asas kedaya gunaan dan kehasil gunaan dan asas perlakuan yang sama di depan hukum. D. Pengertian Affirmatif Action (Tindakan Khusus Sementara) Pengertian awal affirmative action adalah hukum dan kebijakan yang mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu pemberian kompensasi dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai representasi yang lebih proporsional dalam beragam institusi dan okupasi. Ia merupakan diskriminasi positif (positive discrimination) yang dilakukan untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah satu sarana terpenting untuk menerapkannya adalah hukum, dimana jaminan pelaksanaannya harus ada dalam Konstitusi dan UU. 11 Affirmative action dapat diartikan sebagai A policy or a program that seeks to redress past discrimination through active measures to ensure equal opportunity, as in education and employment. 12 (Kebijakan atau program yang berusaha untuk memperbaiki tindakan diskriminasi yang 11 diakses tanggal 25 mei diakses tanggal 25 mei
21 terjadi pada masa lalu melalui tindakan aktif untuk menjamin kesempatan yang sama, seperti dalam pendidikan dan pekerjaan). Affirmative action merupakan kebijakan khusus yang bersifat sementara dari sekian banyak kebijakan untuk meningkatkan peran serta perempuan dalam dunia sosial, ekonomi dan politik. Sebenarnya masih ada banyak hal yang bisa dilakukan terkait kebijakan affirmative action bidang politik, antara lain seperti yang diterangkan Pippa Norris, bahwa kebijakan affirmative selain menempatkan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif sebagai calon potensial, bisa juga dilakukan dengan memberikan pelatihan khusus, dukungan pendanaan dan publikasi berimbang terhadap calon perempuan tersebut. 13 Tentu saja terminal akhir dari affirmative action itu adalah meningkatkan keterwakilan politik perempuan dan tercapainya kesetaraan gender. E. Tujuan Affirmatif Action Tujuan tindakan afirmatif yang merupakan tindakan sementara adalah mendorong jumlah perempuan lebih banyak di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. 14 Menurut Ani Widyani, 15 bahwa pada awalnya affirmative action dirancang untuk menanggapi kondisi ekonomi kelompok- 13 Jurnal Konstitusi PSHK-FH UII, Volume II Nomor 1, Pippa Norris dalam Masnur Marzuki, Affirmative Action dan Paradoks Demokrasi, Juni 2009 hlm Pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dapat dilihat di bab 3 halaman Widyani Ani, Politik Perempuan Bukan Gerhana: Esai-Esai Pilihan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005, hlm
22 kelompok tertentu dalam masyarakat. Tujuannya saat itu adalah untuk memperbaiki posisi dan kedudukan ekonomi perempuan atau kelompok kulit berwarna di Amerika sebagai dampak dari kebijakan segresasi dan diskriminasi yang menimpa mereka. Implikasi atas berbagai macam diskriminasi terhadap kelompok minoritas yang terjadi selama kurun waktu yang relatif lama itu telah menyebabkan mereka tertinggal dalam segala aspek baik di bidang ekonomi maupun partisipasi di bidang politik. Untuk mengakselerasi dan menciptakan kesetaraan kelompok marjinal tersebut akibat ketidakadilan yang dialaminya, maka berbagai macam hal dilakukan. Termasuk di antaranya adalah dengan mengeluarkan kebijakan affirmative action yaitu memberikan hak istimewa kepada kelompok minoritas agar mampu sejajar kedudukannya dengan kelompok-kelompok lain dalam jangka waktu tertentu sampai kesetaraan itu tejadi. Kebijakan diskriminatif positif yang bersifat sementara ini dibolehkan oleh hukum sebagaimana bunyi Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menetapkan, Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan dan Pasal 4 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang menegaskan bahwa: Penggunaan langkah sementara yang dilakukan pemerintah untuk memacu kesetaraan laki-laki dan perempuan secara de facto tidak dianggap diskriminasi. Tetapi hal itu tidak boleh dilanggengkan 33
23 karena sama dengan memelihara ketidaksetaraan dan standar yang berbeda. Langkah itu harus segera dihentikan ketika tujuan dari kesetaraan, kesempatan dan tindakan telah tercapai. Secara teoritik, kebijakan afirmasi ini tidak ada yang menentangnya. Namun dalam praktek sering muncul perdebatan terutama bila kebijakan affirmative action itu diterjemahkan menjadi penentuan kuota tertentu. Memang ketika berbicara affirmative action, maka persoalan yang terkait di dalamnya adalah persoalan kuota yang di banyak negara banyak dipakai sebagai salah satu cara untuk mengejewantahkan adanya kebijakan affirmative action ini. Para pejuang dan pembela hak-hak perempuan menganggap bahwa kebijakan kuota bisa menjadi salah satu alternatif yang efektif bagi terciptanya kesetaraan kaum minoritas (perempuan) di parlemen. Di sisi lain tidak sedikit pula kelompok-kelompok yang menentang kebijakan kuota ini dengan alasan melanggar asas persamaan di depan hukum (equality before the law) dan cenderung diskriminatif. Padahal, kalau mengingat semangat awal adanya affirmative action itu adalah untuk menciptakan kesetaraan. Sehingga, dengan adanya kuota ini justru bertolak belakang dengan cita-cita awal affirmative action tersebut. Arbi Sanit secara tegas mengatakan jangan memperjuangkan demokrasi dengan semangat anti demokrasi. 16 Bahkan Amich Alhumami menegaskan bahwa: kebijakan afirmatif tidak paralel dengan kuota bagi kaum perempuan atau kelompok minoritas. Ada perbedaan 16 Jemabut Inno, Dampak Suara Terbanyak: Kuota Perempuan 30 Persen Sulit Direalisasikan, Sinar Harapan, Selasa, 30 Desember
24 fundamental antara tujuan kebijakan afirmatif dan kuota. Tujuan utama kebijakan afirmatif adalah pelibatan sekelompok orang, yang semula tereksklusi dan kurang terwakili di arena publik, tanpa pembatasan dan hanya didasarkan kualifikasi individual. Sistem kuota adalah court assigned to redress a pattern of discriminatory hearing. Karena itu, kebijakan afirmatif tak bisa dijadikan dasar untuk mengangkat seseorang yang tak memenuhi standar kualifikasi dan tak layak menduduki posisi di lembaga publik. Kebijakan afirmatif tidak menoleransi seseorang dengan kemampuan minimal dan berkapasitas rendah dengan pertimbangan jender atau keragaman sosial budaya guna menempati jabatan publik. 17 Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia telah berkomitmen untuk terus mendukung terhadap upaya-upaya dalam rangka memajukan kesetaraan jender dalam berbagai bidang. Salah satunya dalam ranah politik upaya yang dilakukan adalah memasukkan ketentuan affirmative action dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 55 ayat (2) UU Pemilu berbunyi Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. Bahkan UU ini telah memberikan keistimewaan kepada kaum hawa sejak proses pengajuan daftar bakal calon legislatif (caleg) oleh partai politik peserta pemilu yang menganjurkan bagi setiap Parpol untuk memenuhi 30% calegnya harus berasal dari perempuan. Selengkapnya Pasal 53 -nya menyebutkan Daftar bakal calon sebagaimana 17 Alhumami Amich, Mitos Kebijakan Afirmatif, Kompas, Kamis, 5 Februari
25 dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong kesetaraan keterwakilan perempuan dan laki-laki di parlemen. F. Perlakuan Khusus Sementara adalah Hak Konstitusional yang Dijamin UUD 1945 Perlakuan khusus sementara merupakan amanat dan mandat konstitusional yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (2). Pasal 28H ayat (2) menyebutkan: "Setiap orang berhak mendapat, kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan". Perlakuan khusus yang dijamin konstitusi yaitu untuk mendapatkan kemudahan dan untuk memperoleh kesempatan sama adalah dalam rangka mencapai persamaan dan keadilan berlaku bagi setiap warga negara yang telah mengalami diskriminasi sehingga hal tersebut dapat mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan. Atas dasar itulah para pembentuk Undang-undang membuat peraturan khusus karena perlakuan khusus tersebut tidak melanggar Undang-Undang G. Mengambil Tindakan Khusus Sementara untuk Mewujudkan Kesetaraan Gender adalah Kewajiban Negara 36
26 Perlakuan khusus atau tindakan khusus sementara dalam rangka mewujudkan kesetaraan jender adalah mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita [Convention the Ellimination of All Forms Discrimination Against Women) (CEDAW)]. Ratifikasi sebuah konvensi internasional menuntut negara pihak (state parties) untuk mengintegrasikan seluruh prinsip-prinsip yang tercantum dalam konvensi ke dalam hukum nasionalnya. Pasal 3 Konvensi CEDAW mewajibkan Negara untuk menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan dengan tujuan untuk menjamin agar perempuan melaksanakan dan menikmati HAM dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan antar pria dan perempuan. 18 Negara mengakui adanya ketimpangan dalam hubungan antar pria dan perempuan, karena ketertinggalan, kekurangan, atau ketidakberdayaan perempuan sehingga perlu dilakukan upaya dan peraturan khusus agar persamaan de facto lebih cepat tercapai. 19 Pasal 4 (1) dan Pasal 7 merupakan dasar kewajiban negara untuk melakukan tindakan affirmatif action dan pemberian jamian kepada perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan Negara, sebagai instrumen untuk mengatasi masalah ketidakadilan jender yang dialami perempuan. 18 Lapan, L. M. Gandhi, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender, Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2012, h Ibid. 37
27 Pasal 4 ayat (1) mengatur sebagai berikut: Pembentukan peraturan peraturan dan melakukan tindakan khusus sementara oleh negara-negara pihak yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, tidak dianggap sebagai diskriminasi seperti ditegaskan dalam konvensi ini, dan sama sekali tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan standar-standar yang tidak sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan dan tindakan tersebut wajib dihentikan jika tujuan, persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai Sedangkan dalam Pasal 7 CEDAW mengatur sebagai berikut: Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat di negaranya, khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak : a. Untuk memilih dalam semua pemilihan dan agenda publik dan berkemampuan untuk dipilih dalam lembaga-lembaga yang dipilih masyarakat; b. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, serta memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkatan; c. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulanperkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara; Dari ketentuan di atas terdapat beberapa esensi yang merupakan prinsip dasar kewajiban negara, antara lain: Menjamin hak perempuan melalui hukum dan kebijakan, serta menjamin hasilnya. 2. Menjamin pelaksanaan praktis dari hak itu melalui langkah dan tindak atau aturan khusus sementara, menciptakan kondisi yang kondusif 20 Irianto Sulistyowati, Perempuan & Hukum, Menuju Hukum yang Berperspektif Gender, Cet, II, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006, h
28 untuk meningkatkan kesempatan dan akses perempuan pada peluang yang ada, dan menikmati manfaat yang sama/adil dari hasil menggunakan peluang itu. 3. Negara tidak saja menjamin tetapi juga merealisasi hak perempuan. 4. Tidak saja menjamin secara de-jure tetapi juga secara de-facto. 5. Negara tidak saja harus bertanggung jawab dan mengaturnya di sektor publik, tetapi juga di sektor privat (keluarga) dan sektor swasta 39
BAB IV PENUTUP. Perempuan Di Partai Politik dan Parlemen, maka kesimpulannya adalah. tujuannya untuk mempercepat tercapainya persamaan de facto antara
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai Penerapan Prinsip Equality Before The Law Dalam Pemberian Kuota 30% kepada Perempuan Di Partai Politik dan Parlemen, maka kesimpulannya
Lebih terperinciDAFTAR BACAAN. Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Penerbit Sinar
1 DAFTAR BACAAN BUKU: Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Budiardjo, Miriam, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Edisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demokrasi di Indonesia merupakan salah satu dari nilai yang terdapat dalam Pancasila sebagai dasar negara yakni dalam sila ke empat bahwa kerakyatan dipimpin oleh hikmat
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH I. UMUM bahwa produk hukum merupakan landasan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU
PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN I. UMUM Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan merupakan pelaksanaan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5234 ADMINISTRASI. Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan. Teknik Penyusunan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) PENJELASAN ATAS
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
BAB II PENGATURAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Landasan Yuridis Partisipasi Perempuan dalam Lembaga Perwakilan Rakyat Keterlibatan perempuan untuk berpartisipasi
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan
Lebih terperinciTENTANG BUPATI MUSI RAWAS,
PEMERINTAH KABUPATEN MUSI RAWAS Menimbang : a. PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI
Lebih terperinciPROSES PEMBENTUKAN PUU BERDASARKAN UU NO 10 TAHUN 2004 TENTANG P3 WICIPTO SETIADI
PROSES PEMBENTUKAN PUU BERDASARKAN UU NO 10 TAHUN 2004 TENTANG P3 WICIPTO SETIADI PENDAHULUAN Pembentukan Peraturan Perundangundangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya
Lebih terperinci2/1/2008 RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN,
1 SALINAN 2/1/2008 RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciDHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG
DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 21 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG
PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG NOMOR 26 TAHUN 2006 T E N T A N G PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciBUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa
Lebih terperinciHASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian 1. Putusan Mahkamah Konstitusi No 22-24/PUU-VI/2008 Terhadap Pemberian Kuota 30% Keeterwakilan Perempuan di Partai Politik dan Parlemen Putusan
Lebih terperinciRINGKASAN PUTUSAN.
RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008 atas Pengujian Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa Peraturan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.1482, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Partisipasi Politik. Perempuan. Legislatif. Peningkatan. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN
Lebih terperinciBUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR
BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN TATA CARA PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciSMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DISIPLIN ITU INDAH
JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DISIPLIN ITU INDAH Makna Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Apa informasi yang kalian peroleh
Lebih terperinciBUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA
BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Meninbang : a. bahwa Negara mengakui
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah
Lebih terperinciMENCEGAH DISKRIMINASI DALAM PERATURAN DAERAH
MENCEGAH DISKRIMINASI DALAM PERATURAN DAERAH (Mengenal Pedoman Pengujian Kebijakan Konstitusional) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Disampaikan dalam Workshop Perencanaan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO,
PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan daerah merupakan bagian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki, maupun perempuan atas dasar perinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah
Lebih terperinci- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH I. UMUM Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka
Lebih terperinciBUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG, Menimbang : a. bahwa pembentukan
Lebih terperinciRINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9
RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51,52,59/PUU-VI/2009 tanggal 18 Februari 2009 atas Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dengan hormat dilaporkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah masyarakat dapat dikatakan demokratis jika dalam kehidupannya dapat menghargai hak asasi setiap manusia secara adil dan merata tanpa memarginalkan kelompok
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara melindungi
Lebih terperinciHAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar
Lebih terperinciBAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK
BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Di dalam UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, pada dasarnya telah dicantumkan hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang atau warga negara. Pada
Lebih terperinciANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014
ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014 PEMBUKAAN Bahwa sesungguhnya hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan fundamental manusia melekat pada setiap orang tanpa kecuali, tidak dapat
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold I. PEMOHON Partai Nasional Indonesia (PNI) KUASA HUKUM Bambang Suroso, S.H.,
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara melindungi dan menjamin
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka tertib
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa pembentukan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PERATURAN DESA
PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOSOBO, Menimbang
Lebih terperinciSEBUAH CATATAN SINGKAT TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN Oleh E. Rial N, SH
SEBUAH CATATAN SINGKAT TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN Oleh E. Rial N, SH Abstraksi Pembentukan peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu sistem. Oleh karena didalamnya
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota,
BAB III TINJAUAN TEORITIS 1.1. Peraturan Daerah Di Indonesia Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota, Marsdiasmo, menyatakan bahwa tuntutan seperti itu adalah wajar,
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA
PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGETAN,
Lebih terperinciLampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum
Lampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum No. Draft RUU Bantuan Hukum Versi Baleg DPR RI 1. Mengingat Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UNDANG-UNDANG KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA GUBERNUR KELUARGA MAHASISWA,
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bahan Raker, 17-05-04 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :a.
Lebih terperinciRANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR.6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR.6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi kebutuhan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebijakan affirmative action merupakan kebijakan yang berusaha untuk menghilangkan tindakan diskriminasi yang telah terjadi sejak lama melalui tindakan aktif
Lebih terperinciSoal LCC 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara :)
Soal LCC 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara :) Berikut ini adalah contoh soal tematik Lomba cerdas cermat 4 pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Ayoo siapa yang nanti bakalan ikut LCC 4 Pilar
Lebih terperinciPENGAWASAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN PERUNDANG- UNDANGAN (KAJIAN POLITIK HUKUM)
Volume 15, Nomor 2, Hal. 73-80 Juli Desember 2013 ISSN:0852-8349 PENGAWASAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN PERUNDANG- UNDANGAN (KAJIAN POLITIK HUKUM) Meri Yarni Fakultas Hukum Universitas Jambi Kampus Pinang
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan
Lebih terperinciDISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK)
DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK) JAKARTA, 3 APRIL 2014 UUD 1945 KEWAJIBAN NEGARA : Memenuhi, Menghormati dan Melindungi hak asasi
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dengan terbitnya Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, upaya membangun demokrasi yang berkeadilan dan berkesetaraan bukan masalah sederhana. Esensi demokrasi adalah membangun sistem
Lebih terperinciPEMERINTAH PROVINSI JAMBI
PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciSTRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN
STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN Oleh: Ignatius Mulyono 1 I. Latar Belakang Keterlibatan perempuan dalam politik dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan. Salah satu indikatornya adalah
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN KERJA SAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN KERJA SAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 85 Peraturan Pemerintah
Lebih terperinciSetiap norma per. Per-UU-an wajib melarang perlakuan : b.perbedaan; c.pengucilan; dan d.pembatasan. Atas dasar jenis kelamin
PENGINTEGRASIAN PARAMETER KESETARAAN GENDER DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Tahapan Teknis dalam menyusun Rancangan PUU dengan Alat /Pisau Analisis Parameter Kesetaraan Gender) PENGANTAR
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% perempuan dan kaitannya dalam penyusunan anggaran responsif gender. Yang menjadi fokus dalam penelitian
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum, 1 tidak berdasarkan kekuasaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum, 1 tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan
Lebih terperinciMewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender
Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 57, 1999 KONVENSI. TENAGA KERJA. HAK ASASI MANUSIA. ILO. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N
PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon 41928 K I S A R A N 2 1 2 1 6 NOMOR 2 TAHUN 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN NOMOR
Lebih terperinciPERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan
PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan I. PEMOHON Sri Sudarjo, S.Pd, SH, selanjutnya disebut
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka
Lebih terperinciBUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA
BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : a.
Lebih terperinciBAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI
BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Diskriminasi merupakan bentuk ketidakadilan. Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menjelaskan bahwa pengertian
Lebih terperinciBAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK
BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk (multi-ethnic society). Kesadaran akan kemajemukan tersebut sebenarnya telah ada sebelum kemerdekaan,
Lebih terperinciMEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)
MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) I Pembahasan tentang dan sekitar membangun kualitas produk legislasi perlu terlebih dahulu dipahami
Lebih terperinciBUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA
BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPELUANG DAN KENDALA MEMASUKKAN RUU KKG DALAM PROLEGNAS Oleh : Dra. Hj. Soemientarsi Muntoro M.Si
PELUANG DAN KENDALA MEMASUKKAN RUU KKG DALAM PROLEGNAS 2017 Oleh : Dra. Hj. Soemientarsi Muntoro M.Si KOALISI PEREMPUAN INDONESIA Hotel Ambara, 19 Januari 2017 Pengertian Keadilan dan Kesetaraan Gender
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang sering kali diperdebatkan. Sejak tahun 2002, mayoritas para aktivis politik, tokoh perempuan dalam partai
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,
PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa Peraturan Daerah merupakan peraturan
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERATURAN DAERAH. 1. Pengertian dan Ruang Lingkup Peraturan Daerah
30 BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERATURAN DAERAH A. Konsep Dasar Peraturan Daerah 1. Pengertian dan Ruang Lingkup Peraturan Daerah Peraturan Daerah merupakan bagian integral dari konsep Peraturan
Lebih terperinciNo ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4919 DISKRIMINASI.Ras dan Etnis. Penghapusan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 170) PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan
Lebih terperinciBUPATI PAMEKASAN PROVINSI JAWA TIMUR. PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEITrI'SUITAIT PERATURAN DI DESA
BUPATI PAMEKASAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEITrI'SUITAIT PERATURAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAMEKASAN, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU
PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinci2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2008 LEMBAGA NEGARA. POLITIK. Pemilu. DPR / DPRD. Warga Negara. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801) UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan menjamin hak asasi manusia dalam proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara serta memberikan
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG SISTEM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ----------- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG SISTEM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN JAKARTA 2010 Sipur 2, 26 Oktober 2010
Lebih terperinciBAB 9 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK
BAB 9 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK A. KONDISI UMUM Dalam rangka mewujudkan persamaan di depan hukum, penghapusan praktik diskriminasi terus menerus dilakukan, namun tindakan pembedaan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN
Lebih terperinciPEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK. MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan
PEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan Tujuan Indonesia Merdeka 1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia 2. Memajukan
Lebih terperinciBUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH
BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TOLITOLI, Menimbang : a.
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka untuk
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOYOLALI,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOYOLALI, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 55 ayat
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI DALAM
Lebih terperinciRESUME PARAMETER KESETARAAN GENDER DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
RESUME RESUME PARAMETER KESETARAAN GENDER DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1. Apa latar belakang perlunya parameter gender dalam pembentukan peraturan perundangundangan. - Bahwa masih berlangsungnya
Lebih terperinci2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P
No.29, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciBAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa
16 BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Pengertian Peraturan Perundang-Undangan Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa kepustakaan mempunyai dua pengertian yang berbeda. Dalam
Lebih terperinciMudjiati Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik indonesia
MEMBANGUN PERSPEKTIF GENDER DALAM MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Mudjiati Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik indonesia Jakarta, 26 Juni 2012 1 Apa Peraturan Perundang-undangan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG, Menimbang : a. bahwa sebagai landasan hukum dalam penyelenggaraan
Lebih terperinci