Kata Kunci : Keanekaragaman, Lichen corticolous, Dataran rendah, Suaka Margasatwa Nantu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Kata Kunci : Keanekaragaman, Lichen corticolous, Dataran rendah, Suaka Margasatwa Nantu"

Transkripsi

1

2 KEANEKARAGAMAN JENIS LICHEN CORTICOLOUS DI DATARAN RENDAH SUAKA MARGASATWA NANTU KABUPATEN GORONTALO Dina Astuti B.Lawira 1, Marini S. Hamidun 2, Sari Rahayu Rahman 2 1) Mahasiswa Jurusan Biologi, 2 ) Dosen Jurusan Biologi, 2 ) Dosen Jurusan Biologi Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Gorontalo Jl. Jend. Sudirman No 6 Kota Gorontalo Dinaastuti2014@gmail.com ABSTRAK Dina Astuti B.Lawira Keanekaragaman Jenis Lichen Corticolous di Dataran Rendah Suaka Margasatwa Nantu Kabupaten Gorontalo. Skripsi, Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan IPA, Universitas Negeri Gorontalo. Pembimbing I Dr.Marini Susanti Hamidun, S.Si, M.Si dan pembimbing II Sari Rahayu Rahman, S.Pd, M.Pd. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis lichen corticolous serta jenis-jenis lichen corticolous. Objek penelitian adalah semua jenis lichen corticolous yang ada di Dataran Rendah Suaka Margasatwa Nantu Kabupaten Gorontalo. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survey teknik penelitian ini menggunakan teknik garis berpetak, yaitu membuat 2 buah jalur/transek pada masing-masing stasiun dengan jarak antara transek 100 meter. Pada setiap jalur/transek dibuat 5 buah plot dengan ukura plot masingmasing plot 20 x 20 meter dan jarak antara plot 20 meter. Hasil penelitian didapatkan nilai indeks keanekaragaman lichen corticolous di Dataran Rendah Suaka Margasatwa Nantu Kabupaten Gorontalo menunjukan bahwa keanekaragaman sedang. Jenis lichen corticolous yang ada di Dataran Rendah Suaka Margasatwa Nantu Kabupaten Gorontalo adalah Bacidia schweinitizii, Cryptothecia striata, Arthonia punctiformis, Hypogymnia physodes, dan I jenis pada kategori genus Usnea. Kata Kunci : Keanekaragaman, Lichen corticolous, Dataran rendah, Suaka Margasatwa Nantu PENDAHULUAN Lichen merupakan gabungan antara fungi dan alga sehingga secara morfologi dan fisiologi merupakan satu kesatuan. Tubuh lichen ini dinamakan thallus yang secara vegetatif mempunyai kemiripan dengan alga dan jamur.

3 Thallus ini ada yang berwarna abu-abu atau abu-abu kehijauan. Beberapa spesies ada yang berwarna kuning, orange, coklat atau merah dengan habitat yang bervariasi. Umumnya lichen dapat ditemukan hidup menempel di atas batu, tanah dan kulit pohon, lichen tidak memiliki syarat hidup yang tinggi, lichen dapat hidup pada lingkungan yang ekstrim dengan suhu yang sangat rendah ataupun sangat tinggi. Lichen hidup tidak terikat pada ketinggian tempat dimana lichen dapat ditemukan hidup di daerah sekitar pantai sampai gunung-gunung yang tinggi (Yurnaliza, 2002). Lichen dapat tumbuh dimana saja atau dikenal dengan sebutan kosmopolit. Habitat dari lichen terdapat di batu, pohon, dan permukaan tanah. Menurut Pratiwi (2006), berdasarkan habitatnya lichen dibagi menjadi lichen corticolous, lichen terricolous dan lichen saxicolous. Lichen saxicolous adalah jenis lichen yang hidup di batu, lichen terricolous adalah jenis lichen yang hidup di permukaan tanah dan lichen corticolous adalah jenis lichen yang hidup pada kulit pohon. Salah satu tempat yang menjadi habitat dari lichen adalah hutan. Umumnya lichen yang hidup di hutan adalah jenis lichen corticolous hal ini karena di hutan tumbuh berbagai macam jenis pohon yang dapat menjadi habitat lichen corticolous. Lichen corticolous merupakan salah satu jenis lichen yang dapat di temukan hidup epifit menempel pada kulit pohon atau kayu yang sudah lapuk. Secara ekologi lichen corticolous merupakan salah satu komponen penting ekosistem hutan sebagai organisme autotrof penyumbang biomassa dalam ekosistem sehingga keberadaan lichens corticolous sangat berpengaruh terhadap stabilitas ekosistem. Selanjutnya lichen dapat mempengaruhi komponen ekosistem dimana beberapa jenis lichen corticolous yang mengandung ganggang Cyanophyta (Cyanobacterium) dalam ekosistem dapat membantu daur nitrogen yang berperan dalam persediaan pupuk alami yang keberadaannya sangat di pengaruhi oleh keadaan lingkungan. Lichen corticolous juga dapat di manfaatkan sebagai sumber bahan obat, bahan tekstil, bahan kosmetik, dan bahan dekorasi. Namun dalam hal ini banyak masyarakat yang belum mengetahui manfaat lichen corticolous khususnya masyarakat Gorontalo. Berdasarkan hasil observasi lichen corticolous dapat ditemukan di Suaka Margasatwa Nantu. Hal ini karena kondisi Suaka Margasatwa Nantu dapat mendukung pertumbuhan lichen corticolous mengingat Suaka Margasatwa Nantu terdapat berbagai macam jenis pohon yang dapat menjadi habitat lichen corticolous. Kondisi pohon yang menjadi habitat lichen corticolous dapat mempengaruhi pertumbuhan lichen corticolous, selain dari itu karena parameter lingkungan Suaka Margasatwa Nantu mendukung pertumbuhan lichen corticolous. Dimana lichen merupakan salah satu organisme rendah yang dapat hidup pada suhu yang sangat rendah sampai pada suhu yang sangat tinggi dan akan segera menyesuaikan diri bila keadaan lingkungannya kembali normal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aththorick dan Siregar (2006) lichen pada umumnya tumbuh baik pada suhu C. Suaka Margasatwa Nantu merupakan salah satu kawasan konservasi dengan topografi sebagian merupakan daerah dataran rendah dan sebagian lagi mempunyai topografi berbukit-bukit dan bergunung-gunung dengan ketinggian maksimum sekitar mdpl. Sebelah selatan kawasan Suaka Margasatwa

4 Nantu merupakan daerah dataran rendah dan membentuk dataran utama yang relative datar (Hamidun, 2012). Dataran rendah Suaka Margasatwa Nantu berada di desa pangahu kecamatan Asparaga, kabupaten Gorontalo. Berdasarkan pada penelitian sebelumnya mengenai vegetasi di kawasan Suaka Margasatwa Nantu seluas Ha oleh Dunggio, (2005) menemukan 76 jenis tumbuhan, selanjutnya pada penelitian yang dilakuakan oleh Hamidun, (2012) di kawasan Hutan Nantu-Boliyohuto dengan luas Ha, menemukan 204 jenis tumbuhan. Dari data tersebut belum ada data mengenai keanekaragaman lichen corticolous. Sehingga perlu dilakukan penelitian tentang keanekaragaman lichen corticolous di Suaka Margasatwa Nantu agar data keanekaragaman lichen corticolous dan informasi mengenai potensi dan manfaat ekologi maupun ekonomi lichen corticolous dapat diketahui oleh masyarakat gorontalo baik di dalam maupun sekitar kawasan Suaka Margasatwa Nantu. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian dengan judul Keanekaragaman Jenis Lichen Corticolous di Kawasan Suaka Margasatwa Nantu. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Jenis-jenis lichen corticolous apa saja yang ada di Kawasan Suaka Margasatwa Nantu? 2. Bagaimana keanekaragaman jenis lichen corticolous di Kawasan Suaka Margasatwa Nantu? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui jenis-jenis lichen corticolous yang ada di Kawasan Suaka Margasatwa Nantu. 2. Untuk mengetahui bagaimana keanekaragaman jenis-jenis lichen corticolous di Kawasan Suaka Margasatwa Nantu. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Sebagai bahan informasi dan rekomendasi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang lichen. 2. Sebagai sumber belajar bagi mahasiswa untuk menambah pengetahuan mengenai tumbuhan tingkat rendah khususnya lichen dalam bidang botani tumbuhan rendah (BTR) dan Ekologi. 3. Sebagai pedoman dan bahan acuan bagi seorang guru dalam memberikan informasi pada peserta didik tentang keanekaragaman organisasi kehidupan dan makhluk hidup pada materi tentang keanekaragaman makhluk hidup di SMP dan SMA. 4. Adanya data ilmiah mengenai keanekaragaman jenis lichen corticolous di Suaka Margasatwa Nantu.

5 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dataran rendah Suaka Margasatwa Nantu Sub Kawasan Kabupaten Gorontalo. Waktu penelitian dilakukan pada bulan November 2014 sampai bulan Juni 2015 dari tahap penelitian sampai dengan penyusunan laporan penelitian. Alat dan BahanPenelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning System), rollmeter,tali raffia, hygrometer, lux meter, thermometer, alat tulis, kamera digital, buku identifikasi karangan Alison 2006 dan Wetmore 2005, buku catatan lapangan yang di gunakan untuk mencatat semua pengamatan yang dilakukan di lapangan dan bahan yang digunakan Semua jenis lichen corticolous yang tersebar di Dataran Rendah Suaka Margasatwa Nantu Kabupaten Gorontalo. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Metode ini dilakukan untuk suatu pemeriksaan dan pengukuran-pengukuran terhadap gejala empirik yang berlangsung di lapangan atau lokasi penelitian (Fathoni, 2011). Teknik Pengumpulan Data Teknik pengambilan data mengunakan teknik garis berpetak. Prosedur Kerja Prosedur kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Menentukan lokasi pengamatan dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Pengamatan dilakukan pada empat stasiun yaitu stasiun I,II,III,dan IV. 2. Pada masing-masing stasiun dibuat 2 buah jalur transek dengan jarak antara transek yaitu 100 m. Panjang setiap jalur transek yaitu 180 m, pada setiap jalur transek dibuat 5 buah plot dengan jarak antar plot yaitu 20 m. Setiap plot berukuran 20x20 m. Hal ini dilakukan mengingat habitat lichen corticolous yang menempel pada kulit pohon sehingga ukuran plot didasarkan pada ukuran plot pengambilan sampel tingkat pohon. 3. Melakukan pengamatan lichen corticolous pada permukaan kulit pohon. Pengamatan dimulai dari dasar hingga percabangan pertama pohon. Pada pohon-pohon yang tidak memiliki percabangan, pengambilan sampel lichen dilakukakan sampai ketinggian ±2 meter (Sudrajat, 2013). 4. Mengidentifikasi setiap jenis lichen corticolous yang ditemukan dan mencatat jenis tumbuhan inang yang menjadi tempat menempelnya lichen. Jenis lichen yang sudah diketahui langsung dicatat nama spesiesnya, sedangkan yang belum diketahui dibuat dokumentasi berupa foto detail bagian-bagiannya yang selanjutnya akan diidentifikasi kembali di laboratorium. 5. Menghitung jumlah koloni setiap jenis lichen corticolous yang ditemukan pada setiap stasiun.

6 6. Mengukuran faktor-faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang di ukur adalah, suhu, kelembaban udara, dan intensitas cahaya. Teknik Analisis Data Data jumlah jenis lichen corticolous yang diperoleh pada setiap stasiun kemudian dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Data tersebut di hitung dengan menggunakan rumus indeks keanekaragaman Shannon dan Wiener. Hasil perhitungan secara kuantitatif ini kemudian dianalisis secara deskriptif dalam pembahasan dan dikaitkan dengan faktor lingkungan yang telah diukur. HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di dataran rendah Suaka Margasatwa Nantu Kabupaten Gorontalo, ditemukan terdapat tiga Family lichen corticolous yang terdiri dari empat spesies lichen corticolous dan satu pada tingkat genus Usnea. Jenis dan jumlah koloni lichen corticolous pada stasiun I sampai stasiun IV disajikan pada Tabel 4.1 Tabel 4.1 : Jenis dan jumlah koloni lichen corticolous pada stasiun I-IV No 1 2 Spesies Arthonia punctiformis Bacidia schweinitzii 3 Cryptothecia striata Stasiun I II III IV Jumlah Koloni Habitat Rao (Dracontomelon dao), Beringin (Ficus benjamina), Nantu (Palaquium obtufolium), Pangi (Pangium edule), Mata putih (Mallotus floribudus). Beringin (Ficus benjamina), Tolotio (Drypetes globose), Rao (Dracontomelon dao), Pangi (Pangium edule), Rao (Dracontomelon dao), Beringin (Ficus benjamina), Nantu (Palaquium obtufolium)

7 Lanjutan No Spesies Stasiun I II III IV Jumlah Koloni 4 Usnea Hypogymnia physodes Habitat Beringin (Ficus benjamina), Tolotio (Drypetes globose) Cempaka (Elmerrillia sp), Kenanga (Cananga odora), Beringin (Ficus benjamina), Tabel 4.2 : Tabel 4.2 Jumlah Total Indeks Keanekaragaman Lichen Corticolous di Dataran Rendah Suaka Margasatwa Nantu Kabupaten Gorontalo Jumlah Total Indek Diversitas Seluruh Stasiun Kategori Keterangan 1,571 Sedang H kurang dari 3, lebih dari 1 (Sumber data primer, 2014) Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di hutan dataran rendah Suaka Margasatwa Nantu Kabupaten Gorontalo, ditemukan terdapat empat jenis lichen corticolous yang termasuk dalam kategori spesies yaitu, Hypogymnia physodes, Criptothecia striata, Arthonia punctiformis, Bacidia schweinitzii dan satu jenis pada tingkatan genus yaitu, genus Usnea dengan indeks keanekaragaman berada pada kategori sedang dengan nilai indeks keanekaragaman yaitu 1,571. Hal ini karena beberapa spesies lichen memilih jenis pohon sebagai inang sehingga berpengaruh terhadap jumlah jenis dan nilai indeks keanekaragaman lichen corticolous di Suaka Margasatwa Nantu. Pada umumnya di Suaka Margasatwa Nantu lichen corticolous ditemukan hidup epifit pada beberapa jenis pohon yaitu, Rao (Dracontomelon dao), Beringin (Ficus benjamina), Tolotio (Drypetes globose), Nantu (Palaquium obtufolium), Pangi (Pangium edule), Cempaka (Elmerrillia sp), Kenanga (Cananga odora), Mata putih (Mallotus floribudus). Hal ini karena jenis-jenis pohon tersebut memiliki tekstur kulit batang yang lembab dimana substrat kulit batang dapat mempengaruhi pertumbuhan lichen corticolous. Substrat kulit batang yang kering dan pecah-pecah dapat mempengaruhi pertumbuhan thallus lichen corticolous, sebaliknya lichen corticolous menyukai substrat kulit pohon yang halus dan datar karena substrat kulit pohon yang halus memiliki kemampuan menyimpan air sehingga permukaan kulit pohon menjadi lembab. Permukaan kulit pohon yang

8 lembab dapat mempengaruhi kestabilan pertumbuhan dan kesuburan lichens corticolous. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian di Dataran Rendah Suaka Margasatwa Nantu Kabupaten Gorontalo terdapat empat jenis lichen corticolous yang termasuk pada kategori spesies yaitu Hypogymnia physodes, Criptothecia striata, Arthonia punctiformis, Bacidia schweinitzii dan satu jenis yang termasuk pada tingkatan genus yaitu genus Usnea. Indeks keanekaragaman lichen corticolous di Dataran Rendah Suaka Margasatwa Nantu Kabupaten Gorontalo, yaitu 1,571 yang dikategorikan indeks keanekaragaman sedang. Saran Berdasarkan hasil indeks keanekaragaman dan pengukuran parameter lingkungan maka di harapkan agar pemerintah maupun masyakat sekitar dapat lebih menjaga kelestarian suaka marga satwa agar keanekaagaman hayati di Suaka Marga Satwa Nantu Kabupaten Gorontalo tetap tejaga kelestariannya. Sehingga mahasiswa dapat mempelajari keaanekaragaman lichen corticolous lebih lanjut sehingga hal ini dapat menambah ilmu pengetahuan di bidang Botani Tumbuhan Rendah maupun di bidang Ekologi, Biodiversitas dan Pengetahuan Lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Alison M. Kelly (Panduan umum Macrolichens dan Bryophytes dari Umatilla Nasional Foresti). United States Department of Agriculture. Aththorick, T. A. dan Siregar, E. S Buku Ajar Taksonomi Tumbuhan. Medan. FMIPA Universitas Sumatera Utara. Dharmawan Ekologi hewan.malang. Universitas Negeri Malang Press Dunggio, Iswan Zonasi Pengembangan Wisata di Suaka Margasatwa Nantu Provinsi Gorontalo. Tesis. Bogor : Institut Pertanian Bogor Fachrul, M.F Metode Sampling Bioekologi. Jilid 1.Hal. 51 Fathoni, A Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: Rineka Cipta. Hamidun, M.S Zonasi Taman Nasional dengan Pendekatan Ekowisata. Disertasi. Institute Pertanian Bogor. Bogor Hardini,Yunita Keanekaragaman Lumut kerak di Denpasar Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara. Jurusan Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Udayana. Bali. Indriyanto Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara

9 Nunuki, JH Analisis Vegetasi dan Pemanfaatannya Oleh Masyarakat Wondama di Sekitar Kawasan Cagar Alam Pegunungan Wondiboy Tanah Papua. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nebore, Idola Dian Yuku. Keanekaragaman lichen Corticolous pada johar (Cassia siamea) Dan palem botol(hyophorbe lagenicalius) sebagai bioindikator pencemaran udara di lingkuongan kampus UNIPA. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Papua. Nursal,Firdaus dan Basori Akumulasi Timbal (Pb) Pada Talus Lichenes di Kota Pekan Baru. Pekan Baru. Universitas Riau Pekan Baru. Lindsey, James Ecology of Commanster Site. Online. Diakses 8 November Pamulardi, B Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Panjaitan, D.M & Fatmawati, Martina A Keanekaragaman Linchen Sebagai Bioindikator Pencemaran Kota Pekanbaru Provinsi Riau. Jurnal Biologi, Volume 01 : Hal Pratiwi, ME Kajian Lumut Kerak Sebagai Bioindikator Kualitas Udara (Studi Kasus: Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan Tegakan Mahoni Cikabayan). Skripsi. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Saipunkaew, W Lichen identification. Biotrop Fifth Regional Training Course on Biodiversity and Conversation of Bryophytes And Lichenes. Bogor Indonsia. Diakses 8 November Septiana, Eris Potensi Lichen Sebagai Sumber Bahan Obat. Cibinong: Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Jurnal, Volume XV No.1. Sharnoff, S.D Lichen Biology And The Environtment The Special Biology Of Lichenes (Online), di akses 14 Februari Silverside Images of British Lichens. (Online). Diakses 8 November Sudrajat,W, Tri Rima Setyawati dan Mukarlina Keanekaragaman Lichen Corticolous Pada Tiga Jalur Hijau Di Kabupaten Kubu Raya. Jurnal Biologi Volume 2 No. 2. Susilawati, P. R Keanekaragaman Corticolous Lichen dan Preferensi Inangnya Dengan Erythrina lithosperma, Pinus merkusii. & Engelhardtia spicata Di Bukit Bibi, Taman Nasional Gunung Merapi. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

10 Taib, E.N dan Cut Ratna Dewi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Angiospermae Di Kebun Biologi Desa Seungko Mulat. Jurnal Biologi Vol. 2, No. 1 Tjitrosoepomo,G Taksonomi Tumbuhan Schizophyta, Thallophyta, Bryophyta, Pteridophyta. Jokjakarta. Gajah Mada University Press. Vashishta, B. R Botany for degree Student fungi. Departemen of Botany Punjab University Press. Wetmore, Clifford. Eys The Lichens Of Minnesota. Departemen of Biologi Universitity Minnesota. Yurnaliza Lichen (Karakteristik, Klasifikasi, dan Kegunaan). Medan : Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. secara vegetatif mempunyai kemiripan dengan alga dan jamur. Thallus ini ada yang

BAB I PENDAHULUAN. secara vegetatif mempunyai kemiripan dengan alga dan jamur. Thallus ini ada yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lichen merupakan gabungan antara fungi dan alga sehingga secara morfologi dan fisiologi merupakan satu kesatuan. Tubuh lichen ini dinamakan thallus yang secara vegetatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lichenes yang lazim dikenal dengan nama lumut kerak merupakan jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui oleh sebagian orang. Dan sesungguhnya berbeda dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap makhluk hidup dalam kehidupannya memiliki lingkungan kehidupan yang asli atau tempat tinggal yang khas untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MORFOLOGI LICHEN CORTICOLOUS DI KAWASAN HUTAN SEKIPAN DESA KALISORO TAWANGMANGU KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH

KARAKTERISTIK MORFOLOGI LICHEN CORTICOLOUS DI KAWASAN HUTAN SEKIPAN DESA KALISORO TAWANGMANGU KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH KARAKTERISTIK MORFOLOGI LICHEN CORTICOLOUS DI KAWASAN HUTAN SEKIPAN DESA KALISORO TAWANGMANGU KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lichenes di Indonesia merupakan salah satu kelompok tumbuhan tingkat rendah dan bagian dari keanekaragaman hayati yang belum banyak mendapat perhatian. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan paling tinggi di dunia. Keanekaragaman tumbuhan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan paling tinggi di dunia. Keanekaragaman tumbuhan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman tumbuhan paling tinggi di dunia. Keanekaragaman tumbuhan merupakan keanekaragaman spesies tumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lumut kerak merupakan salah satu anggota dari tumbuhan tingkat rendah yang mana belum mendapatkan perhatian yang maksimal seperti anggota yang lainnya. Organisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak jenis hutan. Jenis jenis hutan yang ada di Indonesia yaitu hutan alam, hutan buatan, hutan lindung, dan hutan produksi. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

Alamat korespondensi Kampus 1 UNG, Jl. Jend. Sudirman No. 6 kota Gorontalo 96128, Gorontalo Hp

Alamat korespondensi Kampus 1 UNG, Jl. Jend. Sudirman No. 6 kota Gorontalo 96128, Gorontalo Hp KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN LUMUT (BRYOPHYTA) PADA DATARAN RENDAH KAWASAN SUAKA MARGASATWA NANTU KABUPATEN GORONTALO Diversity of Mosses ( Bryophyta) In The Lowland Forest Wildlife Reserve Areas Nantu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI HUTAN PRODUKSI TERBATAS BOLIYOHUTO PROVINSI GORONTALO

ANALISIS VEGETASI HUTAN PRODUKSI TERBATAS BOLIYOHUTO PROVINSI GORONTALO ANALISIS VEGETASI HUTAN PRODUKSI TERBATAS BOLIYOHUTO PROVINSI GORONTALO Marini Susanti Hamidun, Dewi Wahyuni K. Baderan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan IPA Universitas Negeri GorontaloJalan Jendral

Lebih terperinci

LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA (Studi Kasus Di Jalan H.B. Jasin Kelurahan Dulalowo Kecamatan Kota Tengah Kota Gorontalo)

LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA (Studi Kasus Di Jalan H.B. Jasin Kelurahan Dulalowo Kecamatan Kota Tengah Kota Gorontalo) LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA (Studi Kasus Di Jalan H.B. Jasin Kelurahan Dulalowo Kecamatan Kota Tengah Kota Gorontalo) Yuliani Usuli 1, Wirnangsi D. Uno 2, Dewi W. K. Baderan 3 Mahasiswa

Lebih terperinci

Keanekaragaman Lichen Corticolous pada Tiga Jalur Hijau di Kabupaten Kubu Raya

Keanekaragaman Lichen Corticolous pada Tiga Jalur Hijau di Kabupaten Kubu Raya Keanekaragaman Lichen Corticolous pada Tiga Jalur Hijau di Kabupaten Kubu Raya Wendi Sudrajat 1, Tri Rima Setyawati 1, Mukarlina 1 Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, Jl. Prof.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan ini mengunakan metode petak. Metode petak merupakan metode yang paling umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan peradaban kota, kebutuhan akan sarana dan prasarana semakin meningkat, seperti perkembangan pusat-pusat industri dan meningkatnya volume

Lebih terperinci

Kata Kunci : Keanekaragaman, liana, dataran rendah, suaka margasatwa nantu

Kata Kunci : Keanekaragaman, liana, dataran rendah, suaka margasatwa nantu KEANEKARAGAMAN JENIS LIANA DI DATARAN RENDAH SUAKA MARGASATWA NANTU KABUPATEN GORONTALO Serlin Iji 1, Marini Susanti Hamidun 2, Sari Rahayu Rahman 3 1) Mahasiswa Jurusan Biologi, 2) Dosen Jurusan Biologi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia bersama sejumlah negara tropis lain seperti Brazil, Zaire dan Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TAHURA K.G.P.A.A Mangkunagoro 1 Ngargoyoso merupakan Taman Hutan Raya yang terletak di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Provinsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif yaitu BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif yaitu mengadakan kegiatan pengumpulan dan analisis data yang bertujuan untuk menggambarkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN LICHENES DI KAWASAN HUTAN PINUS KRAGILAN KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH

KEANEKARAGAMAN LICHENES DI KAWASAN HUTAN PINUS KRAGILAN KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH KEANEKARAGAMAN LICHENES DI KAWASAN HUTAN PINUS KRAGILAN KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity). Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) adalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapangan dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu bulan Agustus 2015 sampai dengan September 2015. Lokasi penelitian berada di Dusun Duren

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI TUMBUHAN LUMUT (BRYOPHYTA) DI KAWASAN PEGUNUNGAN DUASEN TOHUPODAA DESA MOLANIHU KECAMATAN BONGOMEME KABUPATEN GORONTALO

IDENTIFIKASI TUMBUHAN LUMUT (BRYOPHYTA) DI KAWASAN PEGUNUNGAN DUASEN TOHUPODAA DESA MOLANIHU KECAMATAN BONGOMEME KABUPATEN GORONTALO 1 2 IDENTIFIKASI TUMBUHAN LUMUT (BRYOPHYTA) DI KAWASAN PEGUNUNGAN DUASEN TOHUPODAA DESA MOLANIHU KECAMATAN BONGOMEME KABUPATEN GORONTALO Indriyati Talib 1., Wirnangsi D.Uno 2., Sari Rahayu Rahman 3., I)

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN LUMUT TERESTERIAL DI KAWASAN AIR TERJUN NGLEYANGAN PADA MUSIM KEMARAU SKRIPSI

KEANEKARAGAMAN LUMUT TERESTERIAL DI KAWASAN AIR TERJUN NGLEYANGAN PADA MUSIM KEMARAU SKRIPSI KEANEKARAGAMAN LUMUT TERESTERIAL DI KAWASAN AIR TERJUN NGLEYANGAN PADA MUSIM KEMARAU SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagai Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Pada Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh, makroalga tersebut memerlukan substrat untuk tempat menempel/hidup

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh, makroalga tersebut memerlukan substrat untuk tempat menempel/hidup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi, termasuk keanekaragaman hayati lautnya. Salah satu organisme laut yang banyak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

HABITAT DAN RELUNG EKOLOGI VEGETASI TINGKAT POHOH DI KAWASAN HUTAN GUNUNG DAMAR SUB DAS BIYONGA KABUPATEN GORONTALO

HABITAT DAN RELUNG EKOLOGI VEGETASI TINGKAT POHOH DI KAWASAN HUTAN GUNUNG DAMAR SUB DAS BIYONGA KABUPATEN GORONTALO 1 HABITAT DAN RELUNG EKOLOGI VEGETASI TINGKAT POHOH DI KAWASAN HUTAN GUNUNG DAMAR SUB DAS BIYONGA KABUPATEN GORONTALO Fatma Nurita Lamanaku 1., Ramli Utina., Marini Susanti Hamidun., I) Mahasiswa Jurusan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif - eksploratif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk mengumpulkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah (gugus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah (gugus 42 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang keanekaragaman dan pola distribusi jenis tumbuhan paku terestrial.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

KELIMPAHAN LUMUT KERAK (LICHENS) SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA DI KAWASAN PERKOTAAN KOTA MEDAN

KELIMPAHAN LUMUT KERAK (LICHENS) SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA DI KAWASAN PERKOTAAN KOTA MEDAN ISSN 2598-6015 KELIMPAHAN LUMUT KERAK (LICHENS) SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA DI KAWASAN PERKOTAAN KOTA MEDAN RASYIDAH Prodi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sumatera Utara *Corresponding

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang keanekaragaman dan pola distribusi jenis tumbuhan paku terestrial.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapat sebutan Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. fenomena-fenomena yang ada, baik bersifat alamiah maupun rekayasa manusia. 1

BAB III METODE PENELITIAN. fenomena-fenomena yang ada, baik bersifat alamiah maupun rekayasa manusia. 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif ekploratif yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena

Lebih terperinci

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali. B III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu melakukan pengamatan langsung pada mangrove yang ada

Lebih terperinci

memiliki karakteristik topografi yang berbeda. Penelitian ini dilakukan selama enam

memiliki karakteristik topografi yang berbeda. Penelitian ini dilakukan selama enam BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilksanakan di kawasan pesisir desa pasokan Kecamatan Walea Besar Sulawesi Tengah yakni pantai patulutan, hungun dan jompi. Ketiga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sementara Pasal 2, Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (Convention

BAB I PENDAHULUAN. Sementara Pasal 2, Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (Convention BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk variabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif yang bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

STRUKTUR VEGETASI TINGKAT POHON DI DATARAN RENDAH SUAKA MARGASATWA NANTU KABUPATEN GORONTALO JURNAL OLEH YULIN ISA NIM:

STRUKTUR VEGETASI TINGKAT POHON DI DATARAN RENDAH SUAKA MARGASATWA NANTU KABUPATEN GORONTALO JURNAL OLEH YULIN ISA NIM: STRUKTUR VEGETASI TINGKAT POHON DI DATARAN RENDAH SUAKA MARGASATWA NANTU KABUPATEN GORONTALO JURNAL Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Mengikuti Ujian Sarjana OLEH YULIN ISA NIM: 431 410 081 UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Area pegunungan adalah salah suatu tempat yang sangat menarik

BAB I PENDAHULUAN. Area pegunungan adalah salah suatu tempat yang sangat menarik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Area pegunungan adalah salah suatu tempat yang sangat menarik untuk diteliti. Terdapat berbagai jenis vegetasi yang bisa ditemui di kawasan tersebut. Tanah yang subur

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

LAMPIRAN-LAMPIRAN. Lampiran 1. Karakteristik Stasiun Pengamatan. Stasiun I terletak pada area dengan kepadatan lalulintas yang tinggi yaitu

LAMPIRAN-LAMPIRAN. Lampiran 1. Karakteristik Stasiun Pengamatan. Stasiun I terletak pada area dengan kepadatan lalulintas yang tinggi yaitu LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1. Karakteristik Stasiun Pengamatan a. Stasiun I (Jalan Raya Deket) Stasiun I terletak pada area dengan kepadatan lalulintas yang tinggi yaitu di Jalan raya Deket Lamongan. Satasiun

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode BAB III METODE PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian II. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian, Deskripsi Lokasi 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semut, alkohol 70% dan gliserin. b. Alat Alat-alat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1988:64), yaitu suatu metode penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 51 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Menurut Sugiyono (2013), metode penelitian kuanitatif merupakan metode penelitian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Keanekaragaman tumbuhan yang dimiliki Indonesia menduduki peringkat kelima besar di dunia, yaitu

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU Khairijon, Mayta NovaIiza Isda, Huryatul Islam. Jurusan Biologi FMIPA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif digunakan untuk menggambarkan kondisi pohon pelindung di jalan

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif digunakan untuk menggambarkan kondisi pohon pelindung di jalan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan kondisi pohon pelindung di jalan arteri primer

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan secara langsung. Perameter yang diukur dalam penelitian adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara tropika yang memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Negara Brasil dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif. Pada penelitian deskriptif berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan suatu obyek sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pencemaran udara adalah proses masuknya atau dimasukkannya zat pencemar ke udara oleh aktivitas manusia atau alam yang menyebabkan berubahnya tatanan udara sehingga

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN FAMILI GRAPHIDACEAE DI KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA R. SOERJO, BATU DAN MOJOKERTO, JAWA TIMUR

KEANEKARAGAMAN FAMILI GRAPHIDACEAE DI KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA R. SOERJO, BATU DAN MOJOKERTO, JAWA TIMUR KEANEKARAGAMAN FAMILI GRAPHIDACEAE DI KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA R. SOERJO, BATU DAN MOJOKERTO, JAWA TIMUR Yulya Fatma 1, Susriyati Mahanal 2, Murni Sapta Sari 3 1 Pascasarjana Universitas Negeri Malang,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia tergolong dalam 10 negara megadiversitas dunia yang memiliki keanekaragaman paling tinggi di dunia (Mackinnon dkk dalam Primack dkk, 2007:454). Keanekaragaman

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif (Nazir, 1988), karena penelitian ini hanya memberikan deskripsi mengenai vegetasi pada daerah ekoton

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI

DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI ABSTRAK Gunung Batok merupakan satu diantara gunung-gunung di Taman Nasional Bromo

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Lokasi a. Letak dan Luas Taman Wisata Alam (TWA) Sicike-cike secara administratif berada di Dusun Pancur Nauli Desa Lae Hole, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi Propinsi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode belt transek. Metode ini sangat cocok digunakan untuk mempelajari suatu kelompok

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati nomor dua di dunia yang memiliki keanekaragaman flora, fauna, dan berbagai kekayaan alam lainnnya yang tersebar

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI STRATA TIANG DI BUKIT COGONG KABUPATEN MUSI RAWAS. Oleh ABSTRAK

ANALISIS VEGETASI STRATA TIANG DI BUKIT COGONG KABUPATEN MUSI RAWAS. Oleh ABSTRAK ANALISIS VEGETASI STRATA TIANG DI BUKIT COGONG KABUPATEN MUSI RAWAS Oleh Rahayu Astuti 1, Merti Triyanti 2, Ivoni Susanti 3 1 Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau 2,3 Dosen STKIP-PGRI Lubuklinggau Email:

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bumi, namun demikian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bumi, namun demikian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan Tropis di dunia, walaupun luas daratannya hanya 1.32% dari luas daratan di permukaan bumi, namun demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati merupakan kehadiran berbagai macam variasi bentuk penampilan, jumlah, dan sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan jenis, dan tingkat genetika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berukuran besar ataupun kecil (Arief : 11). yang tersusun atas berbagai komponen yang saling ketergantungan dan saling

BAB I PENDAHULUAN. yang berukuran besar ataupun kecil (Arief : 11). yang tersusun atas berbagai komponen yang saling ketergantungan dan saling BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan merupakan suatu kawasan atau wilayah yang mendukung kehidupan dari berbagai jenis makhluk hidup termasuk manusia.hutan bukanlah tempat tinggaldari satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan flora

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITAN

3. METODOLOGI PENELITAN 3. METODOLOGI PENELITAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pantai Sanur Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali (Lampiran 1). Cakupan objek penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitan ini adalah penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode yang dilakukan dengandesain tujuan utama untuk membuat

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 JENIS TUMBUHAN MORACEAE DI KAWASAN STASIUN KETAMBE TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER ACEH TENGGARA Hasanuddin Magister Pendidikan Biologi FKIP

Lebih terperinci

Jenis-Jenis Lichen Di Kampus Undip Semarang

Jenis-Jenis Lichen Di Kampus Undip Semarang Bioma, Juni 2016 ISSN: 1410-8801 Vol. 18, No. 1, Hal. 20-29 Jenis-Jenis Lichen Di Kampus Undip Semarang Murningsih dan Husna Mafazaa Laboratorium Ekologi dan Biosistematika, Departemen Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MORFOLOGI LICHEN CRUSTOSE DI KAWASAN HUTAN SEKIPAN DESA KALISORO TAWANGMANGU KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH

KARAKTERISTIK MORFOLOGI LICHEN CRUSTOSE DI KAWASAN HUTAN SEKIPAN DESA KALISORO TAWANGMANGU KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH KARAKTERISTIK MORFOLOGI LICHEN CRUSTOSE DI KAWASAN HUTAN SEKIPAN DESA KALISORO TAWANGMANGU KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Jurusan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan 14 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan kiri Jalan Sanggi-Bengkunat km 30 - km 32, Pesisir Barat, Taman Nasional

Lebih terperinci

Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Amna dajafar, 2 Abd Hafidz Olii, 2 Femmy Sahami 1 amanjadjafar@yahoo.co.id 2 Jurusan Teknologi Perikanan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih besar dari luas daratan, oleh karena itu dikenal sebagai negara maritim. Total

BAB I PENDAHULUAN. lebih besar dari luas daratan, oleh karena itu dikenal sebagai negara maritim. Total BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki luas wilayah lautan lebih besar dari luas daratan, oleh karena itu dikenal sebagai negara maritim. Total panjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi dan memiliki begitu banyak potensi alam. Potensi alam tersebut berupa

BAB I PENDAHULUAN. tinggi dan memiliki begitu banyak potensi alam. Potensi alam tersebut berupa 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki begitu banyak potensi alam. Potensi alam tersebut berupa flora dan fauna yang

Lebih terperinci