PERILAKU SELAMA PERIODE PERKEMBANGBIAKAN PADA BURUNG WALET (Collocalia fuciphaga) RUMAHAN DI KECAMATAN SIDAYU KABUPATEN GRESIK ERHAM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERILAKU SELAMA PERIODE PERKEMBANGBIAKAN PADA BURUNG WALET (Collocalia fuciphaga) RUMAHAN DI KECAMATAN SIDAYU KABUPATEN GRESIK ERHAM"

Transkripsi

1 PERILAKU SELAMA PERIODE PERKEMBANGBIAKAN PADA BURUNG WALET (Collocalia fuciphaga) RUMAHAN DI KECAMATAN SIDAYU KABUPATEN GRESIK ERHAM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perilaku Selama Periode Perkembangbiakan pada Burung Walet (Collocalia fuciphaga) Rumahan di Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2009 Erham NIM G

3 ABSTRACT ERHAM. The Reproductive Period Behaviors of the Man-Made Habitat Whitenest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) in Sidayu Gresik. Under the direction of R.R. DYAH PERWITASARI and ANI MARDIASTUTI The edible-nest swiftlets (Collocalia fuciphaga) are the bird that build nests from their saliva. The nest has a very high economic value. It is believed to be good for the health. Generally, the nest is built in the dark limestone caves or empty buildings which is called swiftlet house. The continuous behavior monitoring of the white-nest swiftlet in their nesting room was performed despite the dark situation in their habitat. The continuous swiftlet activities monitoring has never been done before. Despite darkness, getting the permission from the owner of the swiftlet houses are very difficult. The difficulties are due to the possibility that the birds might leave the nest and it might also disturb the reproductive activity of the birds. Possible security from robbing the nest is consideration factor, as well. It is however very important to build a continuous monitoring tools in order to be able to get the data. Infrared Closed Circuit Television (IR-CCTV) was used throughout the study. The aims of this study were to design the research tools and determine the behavior of man-made habitat white-nest swiftlet during nest-building, incubating, and parental-care phases in Sidayu Gresik. IR-CCTV was used to collect behavior image of three swiftlets pairs in nesting room during August 2008-January Preliminary testing of the tools for a total of 720 hours showed that IR-CCTV could record the swiftlet s behavior in nesting room without disturbing their activities. Focal animal sampling method and continuous recording technique were used to determine frequency and duration of the swiftlets behaviors. Thermo-hygrometer was used to determine the swiftlet microhabitat. The study showed that IR-CCTV was effective for observing reproductive period behaviors. The reproductive period had three phases, there were nest building (38 days), incubating (25 days), and parental-care phase (42 days). Two main categories of swiftlet s behavior were found: swiftlet s common behaviors and specific behaviors. Swiftlet s common behaviors had nine types. Swiftlet s specific behavior in nest-building phase showed three types activities, four types of incubating and four types of parental cares. The results showed that the highest frequency and duration of the swiftlet s common behavior was resting behavior. The highest frequency of the swiftlet s specific behavior was enfolding the juvenile. While the highest duration of the swiftlet s specific behavior was incubating eggs. The temperature of the swiftlet s microhabitat was o C, and its relative humidity was 81-90%. Temperature and relative humidity are suggested to affect the parents and their embryo during incubating phase. Keyword: behavior, duration, frequency, IR-CCTV, man-made habitat swiftlet.

4 RINGKASAN ERHAM. Perilaku Selama Periode Perkembangbiakan pada Burung Walet (Collocalia fuciphaga) di Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik. Dibimbing oleh R.R. DYAH PERWITASARI dan ANI MARDIASTUTI. Walet (Collocalia fuciphaga) merupakan spesies burung yang membuat sarang dari air liurnya. Sarang walet berharga mahal karena dipercaya mengandung khasiat bagi kesehatan, terutama oleh masyarakat etnis Cina. Secara alami walet bersarang di dalam gua-gua yang banyak terdapat di daerah berkapur. Selain di gua, walet juga menempatkan sarangnya di dalam rumah-rumah yang memiliki kondisi habitat mikro menyerupai gua, biasa disebut rumah walet. Pemantauan terhadap perilaku burung walet di dalam ruang bersarangnya, yang dilakukan secara terus-menerus belum pernah dilakukan. Kendala yang umum dijumpai pada penelitian walet adalah sulitnya mendapatkan ijin memasuki rumah walet. Pemilik rumah walet umumnya berkeberatan bila penelitian berlangsung di rumah waletnya. Pertama, untuk mencegah agar sistem keamanan rumah walet tidak dikenali orang lain dan mencegah pencurian sarang walet. Kedua, agar populasi walet tidak terganggu dan berpindah tempat ke rumah walet lain. Ketiga, bila penelitian berlangsung pada musim berbiak dikhawatirkan dapat mengganggu pengeraman dan pengasuhan anak. Selain masalah perijinan, intensitas cahaya yang rendah di dalam rumah walet menyebabkan pengamatan secara langsung tidak mungkin dilakukan tanpa mengganggu aktivitas walet. Tujuan penelitian ini adalah membuat disain susunan alat penelitian dan membuat deskripsi perilaku burung walet rumahan di Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik selama fase pembangunan sarang, pengeraman, dan pengasuhan anak. Infrared Closed Circuit Television (IR-CCTV) digunakan didalam penelitian ini untuk memperoleh data video 3 pasangan walet di dalam ruang bersarangnya sejak bulan Agustus 2008 sampai dengan Januari IR-CCTV merupakan alat yang mampu menangkap gambar obyek secara jelas di tempat gelap selama 24 jam/hari dan berkesinambungan (terus-menerus). Uji coba alat yang dilaksanakan selama 720 jam menunjukkan bahwa alat tersebut mampu merekam perilaku burung walet di dalam ruang bersarang tanpa mengganggu aktivitas harian walet. Pengamatan perilaku menggunakan teknik focal animal sampling dan continuous recording. Data perilaku berbentuk rekaman video dianalisis dan ditabulasikan berdasarkan kategori jenis, frekuensi dan durasi perilaku yang bersesuaian. Kondisi habitat mikro ruang bersarang walet (suhu dan kelembaban) diukur menggunakan termohigrometer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan IR-CCTV di dalam penelitian ini sangat efektif. Keunggulan perangkat ini yaitu mampu menangkap gambar obyek dalam kondisi gelap dan durasi yang panjang secara terus-menerus. Periode perkembangbiakan walet berlangsung dalam tiga fase. Fase tersebut yaitu: fase pembuatan sarang (38 hari), mengeram (25 hari), dan mengasuh anak (42 hari). Ada dua kategori utama perilaku burung walet, yaitu: perilaku umum walet dan perilaku khusus walet. Perilaku umum walet terdiri dari sembilan tipe, yaitu: 1) menelisik bulu berdua, 2) menelisik bulu sendiri, 3) berdiam diri (istirahat), 4)

5 terbang meninggalkan sarang, 5) datang ke sarang, 6) membuang kotoran, 7) berpindah tempat (ke kanan atau ke kiri pasangannya), 8) membentangkan sayap, dan 9) menoleh ke kiri atau ke kanan. Perilaku khusus walet selama fase pembuatan sarang terdiri dari tiga tipe, fase pengeraman ada empat tipe, dan fase pengasuhan ada empat tipe. Perilaku pada fase pembuatan sarang yaitu: 1) membangun sarang, 2) menjauhi sarang, dan 3) melakukan perkawinan. Perilaku pada fase pengeraman yaitu: 1) mengerami telur, 2) membetulkan posisi telur, serta 3) memperbaiki sarang. Perilaku pada fase pengasuhan anak yaitu: 1) memberi makan anak, 2) mendekap tubuh anak, 3) menelisik bulu kepala dan leher anak, serta 4) berpindah tempat ke sisi bawah sarang dan kembali ke tempat semula. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa frekuensi dan durasi tertinggi pada perilaku umum walet yaitu perilaku beristirahat. Frekuensi tertinggi pada perilaku khusus walet yaitu mendekap anak. Durasi tertinggi pada perilaku khusus walet yaitu mengerami telur. Kondisi habitat mikro rumah walet relatif stabil. Suhu di dalam ruang bersarang berkisar o C, sedangkan kelembaban udara relatif 81-90%. Suhu dan kelembaban relatif diduga berpengaruh terhadap proses fisiologis walet induk maupun embrio di dalam telur selama pengeraman. Kata kunci: perilaku, durasi, frekuensi, IR-CCTV, walet rumahan

6 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber, a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.

7 PERILAKU SELAMA PERIODE PERKEMBANGBIAKAN PADA BURUNG WALET (Collocalia fuciphaga) RUMAHAN DI KECAMATAN SIDAYU KABUPATEN GRESIK ERHAM Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Biosains Hewan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc.

9 Judul Tesis : Perilaku Selama Periode Perkembangbiakan pada Burung Walet (Collocalia fuciphaga) Rumahan di Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik Nama : Erham NIM : G Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari, M.Sc. Ketua Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Anggota Diketahui Koordinator Mayor Biosains Hewan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Bambang Suryobroto Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 5 Agustus 2009 Tanggal Lulus: 07 September 2009

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2008 ini ialah perilaku hewan, dengan judul Perilaku Selama Periode Perkembangbiakan pada Burung Walet (Collocalia fuciphaga) Rumahan di Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. R.R. Dyah Perwitasari, M.Sc. dan Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. selaku pembimbing, serta Ibu Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc. yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Koordinator dan staf pengajar Mayor Biosains Hewan IPB atas semua ilmu, bimbingan dan saran yang sangat berarti bagi penulis dalam menyelesaikan studi. Terima kasih pula kepada Ir. H. Ubaidillah Thohir, S.Pd. selaku pemilik rumah walet tempat penelitian, adikku Aunur Rofik yang telah membantu selama pengumpulan data, dan Ainul Maarif, S.Pd. yang membuat gambar sketsa perilaku walet. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua almarhum orang tuaku yang telah mengasuh dan mendidik penulis, Drs. HM. Syafaul Anam, MM., Drs. Ec. Ahmad Sa ad, Dra. Nur Aini, MM., dan Departemen Agama Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2009 Erham

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gresik pada tanggal 2 Pebruari 1968 dari Bapak Mohamad Ilyas dan Ibu Irfah. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri Sidayu dan pada tahun yang sama penulis diterima pada program Diploma 3 di Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Negeri Malang (sekarang FMIPA Universitas Negeri Malang) melalui jalur Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) hingga berhasil menyelesaikan studi pada bulan Juli Sejak tahun 1991 penulis bekerja sebagai staf pengajar di Madrasah Aliyah Kanjeng Sepuh Sidayu sampai sekarang. Pada tahun 2000 penulis mendapatkan beasiswa Development Madrasah Aliyah Project (DMAP) dari Departemen Agama RI untuk melanjutkan studi ke Program Sarjana pada Jurusan Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang. Studi dapat diselesaikan pada bulan Desember Kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister Biosains Hewan Pascasarjana IPB terlaksana pada tahun 2007 dengan beasiswa dari Departemen Agama RI.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xiii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 3 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 5 Taksonomi Burung Walet... 5 Karakteristik Burung Walet... 5 Perilaku Burung Walet... 7 Sumber Makanan Burung Walet Rumah Walet Anatomi Sarang Walet Teknik Mengamati Aktivitas Burung Walet METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Materi Penelitian Metode Pengumpulan Data Analisis Data HASIL Penggunaan Kamera IR-CCTV pada Pengamatan Perilaku Walet Rumahan Perilaku Walet Rumahan Kondisi Habitat Mikro Walet Rumahan PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV Perilaku Walet Rumahan Kondisi Habitat Mikro Walet Rumahan SIMPULAN DAN SARAN... 67

13 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 72

14 DAFTAR TABEL Halaman 1 Jenis dan fungsi alat rancangan dan alat jadi yang digunakan dalam rangkaian alat pengamatan burung walet Fungsi dan cara kerja komponen alat pada unit IR-CCTV... 27

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Burung walet tidak memiliki perbedaan morfologi tubuh Morfologi burung walet Perilaku burung walet membangun dasar sarang Perilaku burung walet memoleskan air liurnya pada lengkung mangkok sarang Dimensi ukuran sarang walet Sirip papan yang dipasang pada plafon rumah walet Anatomi sarang walet Hasil foto inframerah sarang dan telur burung hitam (Turdus merula) Denah rumah walet lokasi penelitian Skema penyusunan IR-CCTV pada pengamatan perilaku walet di dalam rumah walet Penempatan kamera IR-CCTV di dalam ruang bersarang walet Hasil rekaman kamera IR-CCTV pada ruang bersarang walet Perilaku walet sedang menelisik bulu berdua Perilaku walet sedang menelisik bulu sendiri Perilaku walet sedang berdiam diri (istirahat) Perilaku walet sedang terbang meninggalkan sarang Perilaku walet sedang datang ke sarang Perilaku walet sedang membuang kotoran... 33

16 19 Perilaku walet berpindah tempat ke sisi kiri/kanan pasangan Perilaku walet sedang membentangkan sayap Perilaku walet sedang menoleh ke kanan dan ke kiri Perbandingan frekuensi perilaku pad fase pembuatan sarang, pengeraman, dan pengasuhan anak Perbandingan durasi perilaku pad fase pembuatan sarang, pengeraman, dan pengasuhan anak Perilaku walet membangun sarang Perilaku walet sedang menjauhi sarang Perilaku kawin walet Frekuensi perilaku khusus pada fase pembuatan sarang Rataan frekuensi dan persen rataan frekuensi perilaku pada fase pembuatan sarang Durasi perilaku khusus pada fase pembuatan sarang walet Rataan durasi dan persen rataan durasi perilaku pada fase pembuatan sarang walet Perilaku walet mengerami telur Walet menggantikan posisi mengeram Perilaku walet membetulkan posisi telur yang sedang dierami Perilaku kawin pada fase pengeraman Perilaku walet memperbaiki sarang Frekuensi perilaku khusus walet pada fase pengeraman Rataan frekuensi dan persen rataan frekuensi perilaku pada fase pengeraman Durasi perilaku khusus walet pada fase pengeraman... 49

17 39 Rataan durasi dan persen rataan durasi perilaku pada fase pengeraman Perilaku induk memberi makan anak walet Perilaku induk mendekap anak walet Perilaku induk walet sedang menelisik bulu kepala anak Perilaku induk walet pindah ke sisi bawah dan kembali ke bibir sarang Frekuensi perilaku khusus walet pada fase pengasuhan anak Rataan frekuensi dan persen rataan frekuensi perilaku walet pada fase pengasuhan anak Durasi perilaku khusus walet pada fase pengasuhan anak Rataan durasi perilaku dan persen rataan durasi Suhu di dalam ruang bersarang walet Kelembaban relatif di dalam ruang bersarang walet... 58

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Perbandingan frekuensi dan durasi perilaku umum Walet pada Periode Pengamatan Frekuensi dan durasi perilaku khusus walet selama fase pembuatan sarang Frekuensi perilaku khusus walet pada fase pengeraman Durasi perilaku khusus walet pada fase pengeraman Frekuensi perilaku khusus walet pada fase pengasuhan anak Durasi perilaku walet khusus pada fase pengasuhan anak Contoh tabulasi data harian frekuensi perilaku walet Contoh tabulasi data harian durasi perilaku walet Kondisi habitat mikro pada fase pembuatan sarang Kondisi habitat mikro pada fase pengeraman Kondisi habitat mikro pada fase pengasuhan anak... 83

19 PENDAHULUAN Latar Belakang Walet (Collocalia fuciphaga) merupakan spesies burung yang membuat sarang dari air liurnya. Air liur tersebut dihasilkan oleh sepasang kelenjar sublingualis (Lim & Cranbrook 2002; Nguyen 2002) yang berukuran besar di sepanjang musim berbiak. Perubahan ukuran kelenjar ini berhubungan erat dengan produksi air liur selama proses pembuatan sarang (Chantler & Driessens 1995). Menurut Lim & Cranbrook (2002) walet memiliki kaki yang sangat kecil dengan jari pamprodactyl (semua jari menghadap ke depan), sehingga tidak memungkinkan untuk membawa bahan sarang seperti burung lain. Karena ketidakmampuan ini maka walet hanya mengandalkan air liurnya sendiri untuk pembuatan sarangnya (Mardiastuti 1999). Sarang yang terbuat dari air liur burung walet dipercaya mengandung khasiat bagi kesehatan, terutama oleh masyarakat etnis Cina di dunia (Mardiastuti et al. 1998; Lim & Cranbrook 2002; Nguyen 2002). Permintaan terhadap sarang walet yang tinggi di pasar internasional disebabkan oleh keyakinan mengenai khasiat yang terkandung di dalamnya. Sarang walet dipercaya sebagian orang dapat menjaga kesegaran tubuh, menyembuhkan penyakit pernafasan, meningkatkan vitalitas, obat awet muda, dan memelihara kecantikan. Sebagian orang lagi percaya bahwa sarang walet berkhasiat menghambat pertumbuhan kanker, menghilangkan pengaruh alkohol dan meningkatkan konsentrasi (Mardiastuti et al. 1998). Hasil analisis laboratorium membuktikan bahwa sarang walet mengandung zat-zat makanan berkualitas tinggi. Sarang walet mengandung protein tinggi, lemak rendah, mineral, dan asam lemak omega-6 tinggi untuk kebugaran tubuh (Huda et al. 2008). Secara alami walet bersarang di dalam gua-gua yang banyak terdapat di daerah berkapur. Selain di gua, sejak 1880 diketahui bahwa walet juga menempatkan sarangnya di dalam rumah-rumah yang memiliki kondisi habitat mikro menyerupai gua. Rumah-rumah ini memiliki ruang yang gelap dengan suhu o C dan kelembaban 85-98% (Mardiastuti et al. 1998).

20 Di Indonesia, sarang walet umumnya dipanen untuk tujuan ekspor, khususnya ke Hongkong dan Singapura. Indonesia merupakan salah satu negara produsen sarang walet terbesar di dunia. Sebanyak 50-60% pangsa pasar sarang walet dunia diperkirakan dikuasai Indonesia (Mardiastuti et al. 1998). Harga sarang walet dari produsen di Sidayu pada bulan April 2008 yaitu Rp10-12 juta per kilogram (Thohir U 27 April 2008, komunikasi pribadi). Harga sarang walet yang tinggi menyebabkan para pemilik modal berlomba-lomba membangun rumah walet agar segera dihuni walet (Rahardi 2001). Mengingat walet memiliki manfaat ekonomis tinggi, maka pemerintah ikut berperan dalam menjaga keberadaan dan kelestarian walet. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan nomor: 449/Kpts-II/1999 tentang Pengelolaan Burung Walet di Habitat Alami (in-situ) dan Habitat Buatan (ex-situ) memiliki dua tujuan utama. Pertama, untuk melindungi kelestarian burung walet baik di habitat alami maupun habitat buatan dari bahaya kepunahan. Kedua, untuk meningkatkan produksi sarang burung walet dalam upaya pemanfaatan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Beberapa penelitian tentang walet telah dilakukan, baik yang berkaitan dengan nilai ekonomis atau kegiatan konservasi walet. Kendala yang umum dijumpai pada penelitian walet adalah kesulitan mendapat ijin memasuki rumah walet. Pemilik rumah walet umumnya berkeberatan bila penelitian berlangsung di rumah walet. Pemilik berkeberatan karena sistem keamanan rumah walet akan mudah dikenali orang lain. Hal ini dilakukan untuk mencegah pencurian sarang walet. Pemilik takut populasi walet terganggu sehingga berpindah tempat ke rumah walet lain. Bila penelitian berlangsung pada musim berbiak dikhawatirkan dapat mengganggu pengeraman dan pengasuhan anak (Mardiastuti et al. 1998). Hal tersebut mengakibatkan terbatasnya aspek biologi reproduksi walet yang dapat diteliti. Selain masalah perijinan, intensitas cahaya yang rendah di dalam rumah walet menyebabkan pengamatan secara langsung tidak mungkin dilakukan tanpa mengganggu aktivitas burung (Yusuf et al. 1999). Oleh karena itu penelitian walet umumnya hanya terbatas pada kondisi habitat tempat tumbuh dan morfologi burung tersebut. Pengamatan langsung secara terus-menerus terhadap

21 aktivitas/perilaku walet di dalam rumah walet belum pernah dilakukan. Intensitas cahaya sangat rendah di dalam rumah walet menyebabkan pengamatan secara langsung tidak mungkin dilakukan. Beberapa jenis peralatan untuk mengamati obyek dalam gelap telah banyak dikembangkan. Lim & Cranbrook (2002) menggunakan infrared scope (teropong inframerah) untuk mengamati aktivitas walet di dalam gua-gua di Serawak. Lamprecht & Schmolz (2004) menggunakan Infrared Thermography (IR- Thermography) untuk mendeteksi telur dan sarang beberapa jenis burung. Kendala yang menyebabkan penelitian walet sulit dilaksanakan dapat diatasi dengan penggunaan sinar inframerah. Perumusan Masalah Penelitian perilaku walet rumahan selama periode perkembangbiakan dengan pengamatan langsung secara terus-menerus sulit dilakukan. Hal ini disebabkan intensitas cahaya di dalam rumah walet sangat rendah. Pengamatan dengan jarak dekat dikhawatirkan mengganggu perilaku alami walet. Oleh sebab itu diperlukan unit alat yang menggunakan sinar inframerah dan berkemampuan merekam video perilaku walet selama 24 jam/hari. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan. Pertama, untuk membuat disain susunan alat penelitian yang mampu menangkap gambar obyek pada kondisi gelap. Alat penelitian harus memiliki kemampuan merekam gambar obyek secara terusmenerus dalam jangka waktu lama. Kedua, untuk mendeskripsikan perilaku walet rumahan pada fase pembuatan sarang, pengeraman, dan pengasuhan anak. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. memperoleh data perilaku walet rumahan pada fase pembuatan sarang, pengeraman, dan pengasuhan anak untuk mendukung pengusahaan sarang walet.

22 2. memberikan pemahaman perilaku walet kepada pemerintah dan masyarakat agar ikut berpartisipasi terhadap kelestarian walet dari bahaya kepunahan. 3. menghasilkan alat efektif untuk penelitian aktivitas walet di dalam kondisi gelap.

23 TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Burung Walet Nama baku burung walet di dalam bahasa Indonesia adalah Walet Sarang Putih (MacKinnon et al. 1992). Di dalam publikasi ilmiah terdapat dua versi nama latin walet yaitu: Aerodramus fuciphagus dan Collocalia fuciphaga. Klasifikasi dan tata nama kerabat walet di Indonesia banyak dipengaruhi oleh hasil penelitian Somadikarta (1967; 1968). Oleh karena itu tata nama yang digunakan pada penelitian walet di Indonesia mengikuti Somadikarta dan Chantler & Driessens (1995), yaitu Collocalia fuciphaga. Menurut Chantler dan Driessens (1995) taksonomi burung walet (Collocalia fuciphaga) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animal Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Class : Aves Ordo : Apodiformes Family : Apodidae Subfamily : Apodinae Genus : Collocalia Species : Collocalia fuciphaga Karakteristik Burung Walet Burung walet jantan dan betina sulit dibedakan berdasar morfologi karena tidak memiliki dimorfisme seksual (Mardiastuti et al. 1998; Lim & Cranbrook 2002) (Gambar 1). Ciri morfologi antara walet jantan dan betina atau bahkan antara anak (juvenil) dan walet dewasa juga hampir sama (Nguyen et al. 2002). Hal ini disebabkan warna burung walet secara keseluruhan berwarna abu-abu tua dan bulu dada abu-abu muda (Mardiastuti et al 1998). Secara umum walet merupakan burung yang berukuran kecil. Tubuh memiliki panjang 12 cm, ekor sedikit menggarpu (Gambar 2a), tubuh bagian bawah (ventral) berwarna abu-abu muda kecokelatan. Tubuh bagian atas (dorsal)

24 berwarna abu-abu cokelat kehitaman (MacKinnon et al. 1992; Chantler & Driessens 1995). Walet memiliki mata lebar dan berwarna gelap. Bentuk mata lebar menunjukkan bahwa walet mampu melihat obyek secara tajam (Lim & Cranbrook 2002). Gambar 1 Burung walet jantan dan betina tidak memiliki perbedaan morfologi tubuh (Erham, penelitian ini) Walet memiliki paruh melengkung pendek berwarna hitam (Gambar 2b). Sayap mempunyai panjang 10 cm dan berat tubuh 7 g. Kaki dan cakar juga berwarna hitam (Gambar 2c). Kaki walet terlalu pendek dan lemah untuk berjalan atau hinggap pada suatu tempat. Oleh karena itu kaki walet memiliki kemampuan menggantung pada permukaan kasar atau dinding gua. (Lim & Cranbrook 2002). Burung walet memiliki kemampuan ekolokasi. Ekolokasi merupakan kemampuan mendeteksi obyek di sekitar walet dengan cara memantulkan gelombang suara dan menganalisis pantulan suara yang diterima oleh pendengarannya. Dengan kemampuan ini walet dapat mengetahui kecepatan terbang dan posisinya terhadap obyek di sekitarnya meskipun dalam kondisi gelap (Thomassen 2005). Burung walet memiliki daerah penyebaran global di China selatan, Asia Tenggara, Filipina, dan Kepulauan Sunda Besar (Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan). Seluruh Sunda Besar merupakan daerah penyebaran lokalnya. Walet

25 di Sumatera dan Kalimantan mampu hidup pada ketinggian sampai m. Keberadaan walet di Jawa dan Bali umumnya tergantung pada ketersediaan tempat untuk bersarang (MacKinnon et al. 1992). Gambar 2 Morfologi burung walet: ekor sedikit menggarpu (a), paruh melengkung pendek dan mata lebar (b), kaki pendek dengan cakar tajam (c), walet tampak lateral (d) (Nguyen et al. 2002) Perilaku Burung Walet Walet secara umum memiliki pola aktivitas harian yang sama. Walet meninggalkan tempat bersarangnya pada siang hari dan kembali menjelang hari gelap (Lim & Cranbrook 2002; Nguyen et al. 2002). Walet gua di Vietnam memiliki perilaku berburu makanan (foraging), membuat sarang (nest-building), dan kawin (copulation) (Nguyen et al. 2002). Perilaku Mencari Makan Walet adalah aerial insectivora, yaitu jenis burung yang menangkap pakan serangga pada saat terbang. Populasi serangga pakan sangat bervariasi pada setiap musim. Nguyen et al. (2002) mengamati kelimpahan serangga tertinggi di Vietnam terjadi pada musim penghujan, yaitu selama bulan Januari-April.

26 Walet di Vietnam memiliki aktivitas harian berburu makanan yang berbeda selama kurun waktu satu tahun. Ketika musim penghujan walet meninggalkan tempat bersarangnya lebih lambat (November-April pukul ) dan datang lebih awal dari pada musim kemarau (Maret-Oktober pukul ). Perilaku ini terjadi karena walet lebih mudah mendapatkan makanan pada musim penghujan dari pada musim kemarau. Pada musim penghujan makanan walet berupa serangga terbang biasanya melimpah. Walet di Vietnam juga memiliki kemampuan jelajah berburu makanan yang berkaitan dengan musim berbiak. Pada musim berbiak, walet berburu makanan tidak jauh dari tempat bersarangnya. Setelah musim berbiak berakhir, walet berburu makanan sampai ke daerah yang jauh dari tempat bersarangnya. Kemampuan jelajah walet berburu makanan terjauh mencapai km dari tempat bersarangnya (Nguyen et al. 2002). Perilaku Membuat Sarang Menjelang musim kawin kelenjar air liur walet membesar. Hal ini menunjukkan kelenjar air liur berkaitan erat dengan proses pembangunan sarang. Sarang walet berbentuk seperti mangkuk yang tersusun dari serat air liur. Tidak semua anggota famili burung layang-layang (Apodidae) membuat sarangnya dari air liur. Sebagian besar dari mereka membuat sarangnya dari tumbuh-tumbuhan, dan hanya walet yang berkemampuan membangun sarang dari air liur (Mardiastuti et al. 1998). Nguyen et al. (2002) melaporkan tentang periode walet di Vietnam membuat sarangnya. Walet tidak melakukan aktivitas membuat sarang pada siang hari, karena sejak pukul walet sedang berburu makanan. Dua jam setelah kembali dari berburu makanan, pasangan walet secara bergantian mulai membangun sarang. Aktivitas membuat sarang ini dilanjutkan pada malam hari, dengan durasi 3-4 jam. Setelah sarang terbentuk, walet melakukan perkawinan di atas sarangnya. Perkawinan dilakukan beberapa hari sampai menjelang walet bertelur.

27 Viruhpintu et al. (2002) melaporkan tentang tempat yang biasa digunakan walet di Thailand membangun sarang. Sebelum membuat sarang, walet lebih dulu memilih tempat yang sesuai. Walet memilih permukaan halus pada cekungan dinding gua sebagai tempat bersarang. Hal ini berguna untuk mencegah agar predator tidak mampu menjangkau telur dan anak walet di dalam sarang. Nguyen et al. (2002) melaporkan deskripsi perilaku walet di Vietnam ketika membangun sarang. Walet mengoleskan serat air liurnya dan melekatkannya di dinding batu dengan lidahnya. Setelah sebagian serat air liur menempel, walet bergerak dari satu sisi ke sisi lain sambil menyebarkan air liur pada dinding gua. Pada tahap awal walet membuat pondasi sarang lebih dulu. Selanjutnya walet berpindah ke bawah dasar sarang sambil mengoleskan air liur pada dinding sarang (Gambar 3). Gambar 3 Perilaku burung walet membangun dasar sarang tampak depan (a), tampak samping (b) (Nguyen et al. 2002) Setelah sebagian sarang terbentuk, walet menggunakannya sebagai tempat bertengger sambil memperlebar ukuran sarang. Walet mengoleskan air liur pada dasar dan interior sarang sambil bertengger di bibir sarang (Gambar 4). Walet kemudian pindah ke samping sarang untuk melanjutkan pengolesan air liur pada bibir sarang. Walet tetap membangun sarang sampai terbentuk struktur serat penyusun sarang yang berlapis-lapis. Hampir setiap malam, pasangan walet melanjutkan proses pembangunan sarang (Nguyen et al. 2002).

28 Gambar 4 Perilaku burung walet memoleskan air liurnya pada lengkung mangkok dan bibir sarang (Nguyen et al. 2002) Pada saat membangun sarang, walet mengeluarkan air liur berbentuk seratserat lunak. Serat air liur secara perlahan-lahan mengering dan mengeras bila terkena udara. Walet menambahkan susunan serat air liur setiap hari hingga terbentuk mangkuk sarang (Lim & Cranbrook 2002). Proses pembangunan sarang berakhir setelah sarang terbentuk utuh, kemudian walet betina bertelur. Sarang masih terus disempurnakan meskipun pada saat mengerami telur. Bila mangkuk sarang berukuran kecil dapat mengakibatkan anak walet terjatuh dari sarangnya (Mardiastuti 1999). Pada satu musim berbiak, walet di gua-gua Serawak memerlukan waktu kurang lebih empat bulan untuk membangun sarang, mengeram, dan mengasuh anak (Lim & Cranbrook 2002). Walet rumahan di Jawa membangun sarang selama hari. Setelah sarang selesai, walet betina menghasilkan dua butir telur dengan selang waktu peneluran tiga hari. Walet mengerami telur selama 21 hari. Setelah telur menetas, anak walet dipelihara oleh induk di dalam sarang selama hari. Anak walet rata-rata dapat meninggalkan sarang setelah 40 hari (Mardiastuti et al. 1998). Musim berbiak walet bersamaan dengan datangnya musim hujan. Walet rumahan di Jawa berbiak pada bulan September-April. Pada musim hujan jumlah serangga melimpah sehingga mendorong walet berkembang biak. Pada musim ini walet membuat sarang selama kurang lebih 40 hari. Pada musim kemarau pembuatan sarang biasanya membutuhkan waktu lebih lama. Hal ini disebabkan

29 produksi air liur di luar musim berbiak sangat sedikit dan serangga yang tersedia di alam juga berkurang (Looho 2000). Musim berbiak walet biasanya berlangsung pada September dan mencapai puncak pada November, selanjutnya menurun sampai April. Walet dapat membuat sarang sepanjang tahun tanpa berhenti. Sarang walet yang dibuat di luar musim berbiak biasanya berukuran kecil dan memiliki bentuk tidak sempurna. Sarang hanya berfungsi sebagai tempat beristirahat tetapi tidak untuk mengerami telur dan membesarkan anak. Sarang yang dibangun pada musim berbiak berbentuk lebih besar dan sempurna karena digunakan sebagai tempat bertelur dan mengeram (Whendrato & Madyana 1991). Nguyen et al. (2002) melaporkan adanya perbedaan ukuran sarang walet di Vietnam selama masa pembangunan sarang. Pengukuran sarang walet dilakukan tiga periode pembangunan sarang pada individu yang sama. Sarang walet yang dibuat pada pembangunan sarang kedua dan ketiga berukuran sama, tetapi lebih kecil dari ukuran sarang pertama. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa lebar sarang (D) hampir sama pada ketiga sarang. Panjang lengkung mangkok sarang (R), ketebalan (H), dan berat pada sarang kedua dan ketiga ternyata lebih kecil dari sarang pertama (Gambar 5). Hal ini disebabkan sarang pertama dibangun walet dalam kondisi prima. Pemanenan sarang menyebabkan walet membangun sarang kedua dan ketiga lebih cepat agar segera digunakan untuk bertelur dan mengeram. Gambar 5 Dimensi ukuran sarang walet: panjang dasar sarang (D), panjang lengkung mangkok sarang (R), dan tebal sarang (H) (Nguyen et al. 2002)

30 Perilaku Kawin Musim kawin burung walet ditandai oleh walet beterbangan dan berkejaran di udara dalam jumlah besar. Walet memilih pasangannya di luar rumah walet. Walet jantan dan betina mencari pasangan dengan cara terbang berputar mengelilingi rumah walet sambil mengeluarkan bunyi tek.tek. Setelah masing-masing walet mendapat pasangan maka dilanjutkan dengan membuat sarang pada sirip kayu di dalam rumah walet (Mardiastuti 1999). Apabila sarang telah sempurna maka pasangan walet melakukan perkawinan. Perilaku kawin didahului oleh suara cicitan burung betina. Suara walet betina menyebabkan walet jantan segera terbang dan hinggap di punggung walet betina. Pasangan walet merenggangkan kedua sayapnya pada waktu kawin. Setelah kawin, walet jantan berpindah tempat dan bergantung pada sirip kayu rumah walet (Looho 2000). Perkawinan walet biasanya terjadi di dalam sarang atau di dekat sarang pada malam hari (Nguyen et al. 2002). Walet betina bertelur setelah 5-10 hari setelah kawin. Walet rumahan di Semarang menghasilkan dua butir dengan selang waktu bertelur antara 1-6 hari (Gultom 1996). Walet di Gua Situlung memiliki selang waktu bertelur 1-7 hari (Kartiwa 1997). Telur dierami secara bergantian oleh induk jantan dan betina. Periode pengeraman pada walet rumahan di Semarang antara hari (Gultom 1996). Periode pengeraman pada walet di Gua Situlung antara hari (Kartiwa 1997). Mardiastuti et al. (1998) melaporkan bahwa pada waktu menetas, anak walet tidak berbulu dan mata masih tertutup (altricial). Kedua induk bergantian memelihara anaknya. Masa sapih anak walet yang bersarang di gua Situlung bervariasi antara hari (rataan 41.31±2.38 hari). Pada walet rumahan memiliki masa sapih yang hampir sama. Walet mempunyai rentang masa sapih antara hari, meskipun sebagian anak walet telah mulai meninggalkan sarang sejak berumur 17 hari. Masa sapih anak walet memiliki rataan 40.1±3.7 hari. Kemungkinan besar faktor cuaca dan lokasi sangat mempengaruhi masa penyapihan ini, meskipun secara umum masa sapihan walet antara hari.

31 Sumber Makanan Burung Walet Makanan utama burung walet adalah serangga. Jenis serangga yang dikonsumsi walet dalam jumlah besar yaitu serangga yang tergolong dalam ordo Hymenoptera (Mardiastuti et al. 1998). Andriana (1999) melaporkan walet rumahan di Kragilan Serang memiliki makanan utama serangga anggota famili Formicidae (semut terbang) Ordo Hymenoptera. Selain Hymenoptera walet juga memakan serangga dari Ordo Coleoptera, Homoptera, Diptera, dan Hemiptera. Perbedaan tempat mencari makan (feeding area) dan ketersediaan serangga akan mempengaruhi serangga yang dimakan. Lim & Cranbrook (2002) melaporkan walet gua di Serawak juga memakan rayap dalam jumlah besar. Hal ini membuktikan bahwa walet tidak terlalu selektif memilih jenis makanan (serangga), tetapi lebih cenderung pada kelimpahan serangga saat berburu makanan. Walet di Vietnam memiliki sumber makanan berupa serangga terbang dan laba-laba. Serangga melimpah selama musim kemarau (Januari-April) kemudian menurun pada awal musim hujan (Juni). Jumlah serangga terbang antara Juli- Desember sangat sedikit. Hal ini terjadi karena serangga terbang tersapu oleh air hujan atau patogen. Ketersedian serangga pakan walet berbeda antara negara beriklim tropis dengan negara beriklim sedang dan dingin. Di daerah katulistiwa memiliki kelembaban tinggi konstan sehingga serangga dapat tersedia sepanjang tahun (Nguyen et al. 2002). Rumah Walet Habitat asli burung walet adalah gua (Sankaran 2001; Viruhpintu et al. 2002). Walet juga dapat hidup dengan baik pada bangunan/rumah yang memiliki kondisi habitat mikro hampir mirip dengan gua. Dibanding dengan kondisi gua, rumah walet memiliki bentuk yang sangat berbeda. Gua berbentuk acak dan terletak di tempat yang terpencil, sedangkan rumah walet memiliki bentuk yang bersudut dan selalu berdekatan dengan manusia. Dari pengamatan yang dilakukan Mardiastuti et al. (1998) terhadap bentukbentuk rumah walet, disimpulkan bahwa arsitektur rumah secara umum tidak

32 mempengaruhi pemilihan walet untuk memilih tempat bersarang. Keberadaan manusia di sekitar rumah walet juga bukan merupakan kendala walet untuk memilih tempat bersarang. Rumah walet memiliki pengaturan tata ruang yang sama dengan tata ruang gua, yaitu mencakup penyediaan halaman putar (roving area), ruang putar (roving room) dan ruang untuk bersarang (nesting room). Tempat keluar-masuk burung yaitu lubang sempit berbentuk persegi panjang dengan ukuran maksimum 60x30 cm. Para pemilik rumah walet biasanya berusaha untuk menyediakan halaman putar seluas-luasnya. Halaman putar merupakan tempat walet berburu serangga sebelum memasuki rumah walet. Area ini juga merupakan tempat bersosialisasi dengan sesamanya, termasuk kegiatan untuk mencari pasangan. Walet memiliki kebiasaan terbang mengelilingi ruangan sebelum hinggap di tempat bersarang. Ruang putar yang berada tepat setelah lubang masuk merupakan ruangan yang disediakan agar walet dapat terbang berkeliling ruang. Ruang putar merupakan ruangan yang lapang tanpa sekat, sehingga memberi keleluasaan terbang bagi walet (Mardiastuti et al. 1998). Walet memerlukan ruangan gelap untuk membuat sarang. Nesting room lebih gelap dari pada roving room (intensitas cahaya sama dengan atau mendekati 0 luks). Untuk mendapatkan kondisi gelap, ruang tempat bersarang biasanya disekat menjadi beberapa ruang-ruang kecil. Peletakan ruang ini mempertimbangkan faktor kemudahan walet untuk mencapainya. Untuk memaksimalkan hasil sarang, peternak kemudian memasang papan tambahan yang menggantung pada plafon, disebut sirip (Gambar 6). Menurut Mardiastuti et al. (1998), rumah walet di Jawa tersebar di sepanjang pantai utara Jawa, dengan beberapa pusatnya di Indramayu, Pemalang, Sidayu-Gresik, serta Pasuruan dan sekitarnya. Letak rumah walet bervariasi mulai dari persawahan sampai perkotaan, bahkan ada yang berdekatan dengan pasar. Komponen habitat yang selalu terdapat di sekitar rumah walet adalah badan air (sungai, waduk, danau, tambak, laut), sawah/tegalan serta kebun/hutan.

33 Sirip Walet Gambar 6 Sirip merupakan papan tambahan yang dipasang menggantung pada plafon rumah walet. Sirip berguna sebagai tempat walet membangun sarang (Erham, penelitian ini) Koloni walet umumnya ditemukan bersama-sama dengan burung seriti (Collocalia linchi). Pembagian ruang bersarang antara walet dengan seriti terutama ditentukan oleh faktor cahaya. Walet membuat sarang pada ruang yang lebih gelap (0-0.9 luks), sedangkan seriti bersarang pada ruang yang intensitas cahaya lebih dari 1 luks (Mardiastuti et al. 1998). Iklim mikro di dalam rumah walet selalu dipertahankan konstan, misalnya dengan pemberian bak-bak air sehingga suhu berkisar o C dan kelembaban relatif berkisar 85-98%. Untuk mengurangi jumlah cahaya yang masuk biasanya digantungkan kain goni/karung di dekat tempat keluar- masuk walet (Mardiastuti et al.1998). Anatomi Sarang Walet Adiwibawa (2000) menyatakan bahwa menurut fungsinya sarang walet dibagi menjadi empat bagian yaitu bagian pondasi dan kaki sarang, bibir sarang, dinding sarang, dan lapisan berongga (Gambar 7). Pondasi dan Kaki Sarang Pondasi dan kaki sarang adalah bagian dari sarang yang melekat pada sirip. Kaki sarang adalah sarang bagian atas yang menempel pada sirip. Kaki sarang terbuat dari air liur kering yang tidak berbentuk serat, tetapi berupa gumpalan atau lembaran tipis yang bertumpuk. Kaki sarang berukuran lebar berguna sebagai pengikat sarang agar tetap melekat pada sirip.

34 Pondasi sarang adalah sarang bagian bawah yang menempel pada sirip. Pondasi sarang berbentuk setengah lingkaran yang menghubungkan dua kaki sarang. Pondasi sarang terbentuk dari gumpalan masa atau serat air liur walet yang saling melekat dan menempel pada sirip. Fungsi pondasi sarang adalah untuk merekatkan dinding sarang. Bibir Sarang Bibir sarang adalah bagian atas dinding sarang. Bibir sarang merupakan tempat untuk mengaitkan kaki walet ketika menggantung pada sarang. Sarang walet terdiri dari kumpulan serat yang tersusun dari air liur. Serat ini saling berikatan dengan kuat dan sulit dipisahkan. Jika walet memperbesar sarangnya dengan menambah ketinggian bibir sarang, maka bibir sarang awal akan menjadi bagian dari dinding sarang. Dinding Sarang Dinding sarang adalah bagian luar sarang yang berbentuk bidang lengkung (mangkok). Dinding sarang dibatasi oleh pondasi dan bibir sarang. Dinding sarang mempunyai ketebalan 1-2 mm yang terdiri atas serat sejajar yang saling melekat membentuk ikatan padat dan rapat. Dinding sarang berfungsi melindungi telur atau anak walet agar tidak terjatuh dari sarang. Dinding sarang juga berfungsi menjaga telur dan anak walet dari pengaruh udara dingin waktu pengeraman, terutama di malam hari. Dinding sarang terbuat dari bahan yang merupakan isolator panas/dingin yang baik sehingga dapat menjaga stabilitas suhu dan kelembaban selama pengeraman. Lapisan Berongga Lapisan berongga adalah bagian dalam mangkok sarang yang berada dekat pondasi sarang. Lapisan ini tersusun atas serat-serat bulat membujur dan melintang sehingga terbentuk rongga udara di antara serat tersebut. Diameter serat sarang umumnya kurang dari 0.3 mm. Jalinan antar serat tak padat menyebabkan terbentuknya rongga udara. Fungsi lapisan berongga adalah sebagai bantalan

35 udara ketika masa pengeraman dan pengasuhan anak. Adanya lapisan berongga dapat menjaga ruang di dalam sarang tetap hangat dan lembab (Adiwibawa 2000). Gambar 7 Anatomi sarang walet (Adiwibawa 2000) Teknik Mengamati Aktivitas Burung pada Tempat Gelap Walet memilih tempat gelap untuk meletakkan sarangnya, sedangkan teropong/kamera konvensional tidak dapat menangkap gambar obyek pada kondisi gelap. Sumber cahaya inframerah digunakan untuk mengatasi keterbatasan cahaya di dalam ruang bersarang pada rumah walet. Inframerah mampu menangkap gambar obyek pada kondisi gelap. Lim & Cranbrook (2002) menggunakan infrared scope (teropong inframerah) untuk mengamati aktivitas walet gua di Serawak. Lamprecht & Schmolz (2004) menggunakan Infrared Thermography (IR- Thermography) untuk mendeteksi telur dan sarang beberapa jenis burung. Alat ini dapat mendeteksi suhu permukaan obyek dan penyebaran suhu di sekitar obyek dengan inframerah. Teknik ini dapat menggambarkan warna gradien panas yang berbeda di dalam sarang, di antara telur, dan dinding sarang (Gambar 8). Keunggulan teknik ini yaitu obyek dapat diamati tanpa harus didekati, dan sekaligus dapat memperkirakan suhu obyek yang sedang diamati.

36 Gambar 8 Hasil foto inframerah sarang dan telur burung hitam (Turdus merula). Warna berbeda menunjukkan suhu obyek yang berbeda (Lamprecht & Schmolz 2004) Yusuf et al. (1999) menggunakan unit kamera video untuk mengamati aktivitas walet rumahan. Unit peralatan terdiri dari kamera, detektor ultrasonik, inframerah, TV monitor, video recorder, regulator dan unit mixer (Tabel 1). Unit alat ini mampu merekam secara otomatis ketika obyek sedang beraktivitas dan menghentikannya pada saat aktivitas terhenti. Tabel 1 Jenis dan fungsi alat rancangan dan alat jadi yang digunakan dalam rangkaian alat pengamatan burung walet (Yusuf et al. 1999) No. Jenis Alat 1. Kamera Untuk menangkap obyek burung yang diamati. Kamera dihadapkan kearah sarang burung walet. 2. Detektor Ultrasonik Sebagai alat pendeteksi getaran. Getaran yang terjadi pada medium udara mengakibatkan terjadinya pemampatan dan perenggangan udara yang membentuk gelombang bunyi. Gerakan-gerakan aktivitas burung merupakan getaran yang akan dideteksi oleh detektor. 3. Inframerah Sebagai sumber penerangan. Sinar ini tidak dapat direfleksikan oleh benda sehingga tidak terlihat. 4. Monitor TV Digunakan untuk menampilkan obyek yang ditangkap oleh kamera dan obyek yang direkam pada pita perekam. 5. Video Rekorder Digunakan sebagai alat perekam dan pembaca hasil rekaman. 6. Regulator/ Digunakan sebagai sumber catu daya inframerah. Stabiliser DC 7. Unit Mixer Merupakan alat penerjemah dan penerus informasi fungsi kerja suatu alat ke alat yang lainnya.

37 Penempatan alat di dalam rumah walet diatur sehingga tidak mengganggu aktivitas walet. Jarak optimal alat untuk mendapatkan hasil rekaman yang baik adalah pada jarak kamera 25 cm dan inframerah 75 cm dari sarang. Waktu pemasangan alat-alat di dalam rumah walet dilakukan ketika walet sedang berburu makanan,yaitu pukul Hal ini bertujuan agar burung walet tidak terganggu (Yusuf et al. 1999).

38 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di rumah walet milik Ir. H. Ubaidillah Thohir, S.Pd. mulai bulan Agustus 2008 sampai Januari Lokasi penelitian di Desa Meriyunan Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik Jawa Timur. Bahan dan Alat Obyek penelitian yaitu burung walet yang tinggal di lokasi penelitian. Obyek penelitian sebanyak 3 (tiga) pasang walet dalam satu lokasi yang sama. Peralatan yang digunakan dalam penelitian yaitu: 1. Kamera video Infrared Closed Circuit Television (IR-CCTV) merk LYD type 802 CMOS sebanyak empat unit 2. Digital Video Recorder System (DVR) merk Zestron type ZTD425-U satu unit 3. Kabel audio-video High Grade 20 meter (merk JMK) empat buah 4. Sumber tegangan (adaptor DC 12 volt tiga amp) satu unit 5. Televisi monitor merk AIWA 14 inchi satu unit 6. Personal Komputer (PC) satu unit 7. Pengatur Tegangan Listrik (Regulator AC)/UPS 600 ma merk Advance satu unit 8. Kamera Digital SLR merk Nikon D-40 satu unit 9. Termo-higrometer merk Matsutek type HTM Kabel Local Area Network (LAN) 11. Kepingan DVD 150 buah Tahapan Penelitian Survei Lapangan Survei lapangan berguna untuk mengetahui lokasi pembuatan sarang burung walet rumahan yang terdapat di Kecamatan Sidayu. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi sarang burung walet rumahan yang akan dipasangi perangkat penelitian. Lokasi yang digunakan merupakan rumah walet yang dibangun tahun

39 1960 berlantai satu yang memiliki luas 9x12 m 2. Pada tahun rumah walet direnovasi menjadi bangunan berlantai lima. Lokasi pengamatan adalah salah satu ruang bersarang pada lantai dasar dengan luas 3x9 m 2 yang memiliki sarang walet 46 buah. Lokasi pengamatan berjarak 6 m dari ruang monitor. Ruang monitor memiliki luas 6x3 m 2, terpisah dari bangunan utama rumah walet (Gambar 9). Rumah walet ini dipilih karena mewakili keadaan rumah walet yang berada di Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik. Rumah walet ini juga memiliki disain rumah walet modern. Negosiasi yang sulit dengan pemilik rumah walet juga menjadi kendala untuk memperoleh lokasi penelitian yang memiliki tata ruang ideal. Gambar 9 Denah rumah walet lokasi penelitian

40 Uji Coba Penggunaan IR-CCTV Uji coba IR-CCTV bertujuan mengetahui kemampuan kerja alat dan respon walet terhadap alat yang telah dipasang. Tahap ini diperlukan untuk mencegah kegagalan sebelum digunakan pada tahap pengambilan data. Penempatan kamera dan kabel diusahakan tidak mengganggu aktivitas walet di dalam rumah walet (Yusuf et al. 1998). Kamera dipasang pada plafon di atas sarang walet yang diamati. Jarak antara kamera dan sarang walet yaitu 15 cm. Uji coba dilakukan dalam dua tahap selama 30 hari. Uji coba tahap pertama mulai hari ke-1 sampai hari ke-7. Pada tahap ini IR-CCTV tidak dinyalakan. Hal ini dilakukan agar perlengkapan IR-CCTV yang sudah terpasang dipastikan tidak mengganggu aktivitas walet. Uji coba tahap kedua dilaksanakan mulai hari ke-8 sampai hari ke-30. IR-CCTV diaktifkan secara terus-menerus selama 23x24 jam untuk mengetahui kemampuan kerja dan kepekaan walet terhadap kinerja alat. Evaluasi terhadap kinerja alat dilakukan setiap hari selama uji coba alat. Kualitas gambar video dan audio IR-CCTV dianalisis secara rutin. Hasil evaluasi terhadap kinerja IR-CCTV menjadi acuan baku pengoperasian alat pada tahap pengambilan data. Beberapa jenis kegagalan mungkin terjadi selama uji coba IR-CCTV. Jenis kegagalan misalnya: (1) pasangan walet tidak menempati sarangnya lagi, (2) kualitas gambar kurang jelas (kurang fokus), dan (3) pada TV monitor tampak posisi walet terlalu dekat/jauh. Kegagalan jenis pertama dapat diatasi dengan menempatkan kamera pada posisi yang tidak mengganggu aktivitas walet. Apabila kamera ditempatkan dengan jarak kurang dari 15 cm dapat mengurangi ruang gerak walet. Kegagalan jenis kedua diatasi dengan memutar lensa kamera (focusing) hingga gambar video jelas. Kegagalan jenis ketiga diatasi dengan mengubah jarak antara kamera dan obyek. Penempatan kamera berjarak kurang dari 15 cm menyebabkan gambar obyek tidak utuh (terlalu dekat). Demikian juga, bila kamera ditempatkan lebih dari 15 cm menyebabkan gambar obyek terlihat kecil (terlalu jauh).

41 Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan selama masa pembuatan sarang selama hari, mengeram selama hari, dan masa pengasuhan anak selama hari (Mardiastuti et al 1998). Pengamatan dilakukan secara terus menerus di dalam rumah walet selama periode pengamatan. Pengamatan di dalam ruang bersarang dilakukan oleh kamera IR-CCTV yang terpasang pada plafon. Kamera ini mampu menangkap gambar obyek pengamatan dengan baik dalam kondisi gelap, sehingga tidak mengganggu perilaku alami walet. Materi Penelitian Penelitian ini memiliki dua materi yaitu: (1) perilaku selama periode pembuatan sarang dan (2) kondisi habitat mikro walet. Perilaku selama periode pembuatan sarang meliputi: perilaku pada fase pembuatan sarang, pengeraman, dan pengasuhan anak. Kondisi habitat mikro walet meliputi: suhu dan kelembaban relatif. Metode Pengumpulan Data Dua kategori data dikumpulkan yaitu: perilaku burung walet selama periode pembuatan sarang dan kondisi habitat mikro walet. Data masing-masing kategori dikumpulkan dengan metode sebagai berikut: 1. Pengamatan perilaku selama periode pembuatan sarang walet Pengamatan perilaku burung walet selama periode pembuatan sarang menggunakan teknik focal animal sampling. Focal sampling merupakan teknik pengamatan pada satu individu/kelompok pada rentang waktu tertentu dengan cara merekam semua kejadian dari perilaku tersebut (Martin & Bateson 1993). Berdasarkan aturan melakukan perekaman data perilaku yang paling sesuai maka dipilih teknik continuous recording. Continuous recording adalah teknik yang mampu menghasilkan rekaman data perilaku secara terus-menerus, tepat dan menyeluruh. Teknik ini mampu mengukur frekuensi dan durasi secara benar serta menunjukkan waktu pola perilaku dimulai dan berakhir (Martin & Bateson 1993).

42 Oleh karena itu penelitian ini menggunakan perangkat perekam kamera IR-CCTV yang dilengkapi dengan unit penyimpan data. Pada tahap ini dilakukan rekapitulasi data yang berasal dari rekaman perilaku walet selama 24 jam/hari. Tabel data terbagi menjadi tiga fase (fase pembuatan sarang, pengeraman, dan pengasuhan anak). Tabel data juga berisi pengulangan kejadian per perilaku dan lama waktu yang diperlukan per perilaku. Pencatatan dilakukan setiap tiga hari sekali. 2. Pengamatan kondisi habitat mikro Pengukuran kondisi habitat mikro ruang bersarang di dalam rumah walet yang meliputi suhu dan kelembaban menggunakan termohigrometer. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan sebanyak empat kali pada pukul 00.00, 06.00, dan Analisis Data A. Perilaku selama periode pembuatan sarang Data perilaku berbentuk rekaman video dianalisis dan ditabulasikan berdasarkan kategori jenis, frekuensi dan durasi perilaku yang bersesuaian. Data video merupakan rekaman perilaku walet pada ruang bersarang yang berlangsung 24 jam/hari selama periode pengamatan. Persentase frekuensi dan durasi perilaku berturut-turut dihitung menggunakan persamaan berikut: Persentase frekuensi perilaku = x 100% dimana, X = jumlah pengulangan satu perilaku tertentu Y = jumlah pengulangan seluruh perilaku yang diamati Persentase durasi perilaku = x 100% dimana, X = jumlah durasi per perilaku Y = jumlah seluruh durasi perilaku

43 B. Kondisi habitat mikro Data suhu dan kelembaban digunakan untuk mengetahui kondisi habitat mikro pada ruang bersarang walet. Dari data tersebut diketahui kisaran suhu dan kelembaban relatif (terendah dan tertinggi) selama periode pengamatan. Kisaran suhu dan kelembaban ini selanjutnya dikategorikan ideal atau tidak bagi kelangsungan hidup walet rumahan.

44 HASIL Penggunaan Kamera IR-CCTV pada Pengamatan Perilaku Walet Rumahan Pengamatan perilaku walet rumahan diamati dengan tiga unit kamera IR- CCTV. Satu unit kamera IR-CCTV tambahan digunakan untuk mengamati kondisi habitat mikro di dalam ruang melalui pengamatan panel display termohigrometer. Keempat kamera dihubungkan dengan kabel audio-video sampai ke ruang monitor pada input DVR. Output DVR dihubungkan pada TV monitor. DVR juga dihubungkan dengan PC menggunakan kabel LAN (Gambar 10). Setiap komponen alat pada unit IR-CCTV memiliki fungsi kerja tersendiri (Tabel 2). Nesting room di dalam rumah walet Ruang Monitor A B 2 C 3 D 4 5 Keterangan: A. Pasangan walet 1 B. Pasangan walet 2 C. Pasangan walet 3 D. Termohigrometer 1.Kamera penera perilaku pasangan walet 1 2.Kamera penera perilaku pasangan walet 2 3.Kamera penera perilaku pasangan walet 3 4.Kamera penera skala pengukuran termohigrometer 5.Digital Video Recorder System (DVR) 6.TV Monitor 7.Unit Komputer (PC) Gambar 10 Skema penyusunan IR-CCTV pada pengamatan perilaku walet di dalam rumah walet Kamera IR-CCTV yang ditempatkan pada tiga sarang yang menjadi obyek pengamatan memiliki fungsi yang berbeda. Kamera nomor 1 berfungsi mengamati fase pembuatan sarang. Kamera nomor 2 berfungsi mengamati fase pengeraman. Kamera nomor 3 berfungsi mengamati fase pengasuhan anak. Kamera nomor 4 berfungsi untuk mengamati skala pengukuran pada termohigrometer (Gambar 10).

45 Tabel 2 Fungsi dan cara kerja komponen alat pada unit IR-CCTV No Jenis Alat Fungsi Alat 1. Kamera IR- CCTV 2. Digital Video Recorder System (DVR) Untuk menangkap gambar obyek pasangan walet yang diamati di dalam rumah walet. Kamera diarahkan ke sarang walet. Sinar inframerah berguna sebagai sumber penerangan untuk menangkap gambar obyek pengamatan di tempat gelap. Sinar inframerah tidak dapat direfleksikan oleh benda sehingga tidak terlihat. Digunakan sebagai alat perekam dan pembaca hasil rekaman. Data rekaman video tersusun secara sistematis berdasar hari, tanggal, bulan, tahun, jam, menit, dan detik. 3. TV Monitor Digunakan menampilkan gambar obyek yang ditangkap kamera IR-CCTV dan hasil rekaman video. Pada layar monitor dapat ditampilkan chanel (saluran) yang diinginkan. Layar monitor dapat berisi empat chanel gambar sekaligus atau berisi satu chanel gambar saja. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan. 4. Adaptor 12 volt 3 amp 5. Pengatur Tegangan (Regulator) AC/UPS 6. Unit Komputer (PC) 7. Kabel Audio- Video Digunakan sebagai sumber catu daya kamera IR- CCTV pada ruang bersarang walet. Digunakan sebagai sumber catu daya DVR dan PC. Alat ini mengatur tegangan agar tetap stabil pada 220 volt. Digunakan untuk mengakses gambar video hasil rekaman DVR. Data kemudian di-download, diback up, diputar ulang, dan di bakar pada keping DVD. Antara DVR dan PC terhubung dengan Local Area Network (LAN). Kabel berisi tiga kabel sekaligus. Kabel berujung merah berguna sebagai penghubung sumber tegangan dari adaptor ke kamera IR-CCTV. Kabel berujung kuning sebagai pembawa sinyal gambar video dari kamera. Kabel berujung putih berguna sebagai pembawa sinyal audio dari kamera. Penempatan kamera IR-CCTV untuk mengamati proses pembuatan sarang didasarkan pertimbangan terhadap kebiasaan walet. Walet memiliki kebiasaan membuat sarang pada sirip yang sama seperti sarang sebelumnya. Sirip adalah

46 papan kayu tambahan yang dipasang di bawah plafon rumah walet. Dalam penelitian ini, penentuan lokasi kamera IR-CCTV secara efektif didasarkan pada pengetahuan pemilik rumah walet yang telah memiliki data mengenai keberadaan sarang walet sebelumnya. Ciri-ciri tempat yang berpeluang besar ditempati untuk membuat sarang walet antara lain: 1) sirip yang sudah pernah ditempati walet bersarang, 2) sirip yang memiliki sisa pondasi sarang, 3) kotoran walet segar banyak ditemukan pada lantai yang berada di bawah sirip. Gambar 11 Penempatan kamera IR-CCTV di dalam ruang bersarang walet. Letak kamera dilihat dari tampak depan sarang (a), dan tampak samping sarang (b) Kamera diletakkan pada plafon dengan jarak 15 cm dari obyek/pasangan walet. Jarak antara kamera dan sirip tempat walet bersarang adalah 15 cm dengan sudut 45 o (Gambar 11b). Sudut antara kamera dengan plafon sebesar 20 o -40 o (Gambar 11a). Penempatan kamera dengan cara tersebut bertujuan agar perilaku pasangan walet dapat diamati dengan jelas.

47 Gambar 12 Hasil rekaman kamera IR-CCTV pada ruang bersarang walet yang dilengkapi data tahun, bulan, tanggal, jam, menit, dan detik. Fase pembuatan sarang sarang (1), pengeraman (2), pengasuhan anak, dan skala pengukuran termohigrometer (4) Hasil rekaman video perilaku walet diperoleh dengan cara memindahkan data video dari DVR menggunakan unit PC. Data yang telah tersimpan di dalam PC kemudian dipindahkan ke dalam keping DVD. Satu keping DVD berisi rekaman video perilaku walet dalam durasi 24 jam. Rekaman video dilengkapi dengan data tahun, bulan, tanggal, jam, menit, dan detik berlangsungnya perilaku walet (Gambar 12). Perilaku Walet Rumahan Pengamatan yang dilakukan 24 jam/hari selama 105 hari menunjukkan bahwa periode perkembangbiakan berlangsung dalam tiga fase. Fase tersebut yaitu: fase pembuatan sarang (38 hari), mengeram (25 hari), dan mengasuh anak (42 hari). Selama periode tersebut walet memiliki dua kategori perilaku, yaitu perilaku umum dan perilaku khusus. Kategori fase selama periode perkembangbiakan walet pada penelitian ini mengacu pada Withers (1977); Mardiastuti et al. (1998): Nguyen et al. (2002); Lim & Cranbrook (2002). Penamaan jenis perilaku pada masing-masing fase dilakukan peneliti berdasarkan aktivitas harian yang diamati selama periode perkembangbiakan walet.

48 A. Perilaku Umum Walet Rumahan Perilaku umum adalah perilaku yang berlangsung dari awal pembangunan sarang sampai dengan anak walet mampu terbang mandiri. Perilaku umum walet terdiri dari: 1) menelisik bulu berdua, 2) menelisik bulu sendiri, 3) berdiam diri (istirahat), 4) terbang meninggalkan sarang, 5) datang ke sarang, 6) membuang kotoran, 7) berpindah tempat (ke kanan atau ke kiri pasangannya), 8) membentangkan sayap, dan 9) menoleh ke kiri atau ke kanan. 1. Perilaku menelisik bulu berdua Perilaku pasangan walet saling menelisik bulu merupakan perilaku seharihari. Salah satu walet mematuk secara perlahan bulu leher dan kepala pasangannya. Pasangan walet yang sedang ditelisik bulunya berdiam diri. Beberapa saat kemudian walet berganti menelisik pasangannya (Gambar 13). Perilaku ini biasa dilakukan setelah mencari makan atau di sela waktu istirahat. Perilaku ini juga dilakukan setelah usai perkawinan atau pada saat sedang membangun sarang. Gambar 13 Perilaku walet sedang menelisik bulu berdua 2. Perilaku menelisik bulu sendiri Perilaku walet menelisik bulu sendiri merupakan cara untuk membersihkan tubuh walet. Walet mematuk secara halus bagian tubuh yang terjangkau paruhnya, misalnya: leher, bulu sayap, punggung, abdomen, toraks dan ekor (Gambar 14). Perilaku ini dilakukan walet setelah berburu makanan, sedang beristirahat, sebelum/setelah menelisik bulu berdua, setelah melakukan perkawinan, sebelum/sesudah membangun sarang, dan sebelum membuang kotoran.

49 Gambar 14 Perilaku walet sedang menelisik bulu sendiri. Perilaku ini bertujuan membersihkan tubuh dengan cara mematuk-matuk bulu-bulunya 3. Perilaku berdiam diri atau istirahat Perilaku berdiam diri atau beristirahat merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan walet. Walet banyak menghabiskan waktu untuk beristirahat selama di ruang bersarangnya. Perilaku ini paling mudah diamati karena walet dalam keadaan tidak melakukan kegiatan apapun. Walet mencengkeramkan kakinya pada bibir sarang dengan posisi tubuh menggantung di luar sarang atau bertengger di atas bibir sarang. Walet memiliki tiga macam posisi perilaku beristirahat. Pertama, hanya satu walet yang mengantung pada bibir sarang (Gambar 15a). Kedua, terdapat sepasang walet yang menggantung pada bibir sarang (Gambar 15b). Ketiga, salah satu walet bertengger di atas bibir sarang sedangkan pasangannya menggantung di bibir sarang (Gambar 15c). (a) (b) Gambar 15 Perilaku berdiam diri (istirahat). Walet mencengkeramkan kaki pada bibir sarang serta tidak melakukan aktivitas apapun. Variasi perilaku beristirahat: hanya terdapat satu walet yang menggantung pada bibir sarang (a); sepasang walet menggantung pada bibir sarang (b); salah walet salah satu walet bertengger di atas bibir sarang dan pasangannya menggantung pada bibir sarang (c) (c)

50 4. Perilaku terbang meninggalkan sarang Perilaku ini dilakukan walet sekitar pukul menjelang berburu makanan. Perilaku ini juga dilakukan walet ketika akan melakukan terbang berkeliling di dalam ruang bersarang walet. Ketika walet terbang meninggalkan sarangnya, walet melepaskan kakinya dari sirip atau bibir sarang. Dengan sayap terbentang, walet membiarkan tubuhnya mengikuti gaya gravitasi bumi kemudian mengepakkan sayapnya untuk terbang meninggalkan sarang (Gambar 16). Gambar 16 Walet terbang meninggalkan sarang. Perilaku ini dilakukan ketika menjelang pagi untuk berburu makanan atau pada waktu walet akan terbang berkeliling di dalam ruang bersarangnya 5. Perilaku datang ke sarang Perilaku ini dilakukan walet setelah aktivitas berburu makanan. Perilaku ini juga terjadi pada saat walet setelah terbang berkeliling di dalam ruang bersarangnya. Walet menangkupkan kedua sayap dengan sudut ± 60 o ke belakang, tubuh dalam posisi vertikal, kedua kaki ditekuk ± 45 o menghadap ke depan dengan kaki siap mencengkeram sirip atau bibir sarang. Ketika mendekati tempat bersarangnya, posisi ekor sedikit ditekuk ke depan ± 30 o dengan bulu ekor mengembang. Posisi ekor ini berguna untuk mengurangi kecepatan gerak tubuhnya sebelum walet bertengger/menggantung pada sirip/bibir sarang (Gambar 17).

51 Gambar 17 Walet datang ke sarang. Perilaku ini biasa dilakukan setelah berburu makanan atau setelah terbang berkeliling ruang bersarangnya 6. Perilaku membuang kotoran Walet selalu membuang kotoran di luar sarangnya. Walet menggantung pada bibir sarang ketika membuang kotoran. Dengan kaki tetap mencengkeram bibir sarang, walet membentangkan sayap ± 45 o, antara ekor dan abdomen membentuk sudut ± 60 o. Perilaku ini dilakukan agar kotoran yang keluar tidak jatuh ke sarangnya (Gambar 18). Gambar 18 Walet sedang membuang kotoran. Kaki mencengkeram bibir sarang dan sayap dibentangkan, agar kotoran tidak jatuh ke sarangnya 7. Perilaku pindah posisi ke sisi kiri atau kanan pasangan Perilaku ini berlangsung ketika pasangan walet sedang beristirahat, mengeram, dan mendekap anaknya. Perilaku dilakukan dengan terbang ke sisi kiri atau sisi kanan pasangannya. Hal ini juga dilakukan dengan cara berpindah ke sisi bawah sarang lebih dulu kemudian bergerak ke bibir sarang pada sisi yang lain. Perilaku ini dilakukan karena salah satu induk walet tidak mendapatkan tempat bertengger pada saat istirahat. Pada fase inkubasi, walet yang sedang mengerami telur sering mengubah posisinya. Akibat perubahan posisi tersebut, walet pasangan yang menggantung di bibir sarang terkadang berada di bagian posterior (ekor). Walet yang berada di

52 bagian posterior kemudian berpindah ke sisi bibir lain. Penyebab lainnya adalah anak walet selalu bergerak sehingga mengakibatkan induk walet tidak mendapat tempat bertengger. Perilaku ini juga berguna memberi sinyal kepada walet lain agar tidak mendekati sarang mereka (Gambar 19). Gambar 19 Walet berpindah tempat ke sisi kiri atau kanan pasangan. Perilaku dilakukan untuk memperoleh tempat istirahat yang benar atau untuk member isyarat agar walet lain tidak mendekati sarangnya 8. Perilaku membentangkan sayap Perilaku ini dilakukan waktu istirahat atau sedang menelisik bulu tubuhnya. Walet melakukan perilaku dalam posisi tubuh tetap bertengger/ menggantung pada bibir sarang. Ketika sedang beristirahat atau menelisik bulu, walet membentangkan sayapnya secara perlahan sampai membentuk sudut kurang lebih 75 o dari tubuhnya. Usai melakukan perilaku ini walet menutup sayapnya kembali seperti semula secara perlahan. Pada saat membentangkan sayap, posisi kepala menunduk kurang lebih 20 o dan posisi ekor ditekuk ke depan kurang lebih 30 o (Gambar 20). Diduga walet berperilaku ini berguna untuk relaksasi setelah sehari berburu makanan. Gambar 20 Walet sedang membentangkan sayap 9. Perilaku menoleh ke kanan atau ke kiri Perilaku ini ditunjukkan dengan gerakan kepala berputar ± 45 o ke kiri atau ke kanan dan kepala membentuk sudut dengan leher ± 60 o. Pada saat melakukan

53 perilaku ini posisi walet sedang menggantung di bibir sarang (Gambar 21a) atau sedang berada di dalam sarang (Gambar 21b). Perilaku ini dilakukan untuk mengamati walet pasangan ketika terbang berkeliling di dalam ruang bersarang. Kegiatan ini biasanya berlangsung sebelum terbang berburu makanan pada pagi hari atau sesudah berburu makanan pada sore hari. (a) (b) Gambar 21 Walet sedang menoleh ke kanan dan ke kiri Frekuensi Perilaku Umum Walet Rumahan Perbandingan frekuensi perilaku fase pembuatan sarang, pengeraman, dan pengasuhan anak menunjukkan bahwa secara umum frekuensi perilaku umum walet paling tinggi berlangsung pada fase pembuatan sarang. Perilaku menelisik bulu berdua paling sering dilakukan pada fase pembuatan sarang (34.54 kali/hari). Frekuensi perilaku ini semakin menurun pada fase pengeraman dan pengasuhan anak (Gambar 22). Frekuensi perilaku menelisik bulu sendiri paling sering dilakukan pada fase pembuatan sarang (45.08 kali/hari). Perilaku ini menurun pada fase pengeraman, dan meningkat kembali pada fase pengasuhan anak. Frekuensi perilaku berdiam diri paling sering dilakukan pada fase pembuatan sarang. Perilaku ini paling dominan dibanding perilaku umum lainnya (91.62 kali/hari). Pada fase pengeraman dan pengasuhan anak, frekuensi perilaku ini makin menurun (Gambar 22). Frekuensi perilaku terbang meninggalkan sarang paling sering dilakukan pada fase pembuatan sarang (17.15 kali/hari) Perilaku ini makin menurun pada fase pengeraman dan pengasuhan anak. Frekuensi perilaku datang ke sarang

54 tertinggi pada fase pembuatan sarang (16.62 kali/hari). Perilaku ini makin menurun pada fase pengeraman dan pengasuhan anak (Gambar 22). Keterangan: U1 Menelisik bulu berdua U2 Menelisik bulu sendiri U3 Berdiam diri/istirahat U4 Terbang meninggalkan sarang U5 Datang ke sarang U6 Membuang kotoran U7 Berpindah tempat (kiri/kanan) U8 Membentangkan sayap U9 Menoleh (kiri/kanan) Gambar 22 Perbandingan frekuensi perilaku pada fase pembuatan sarang, pengeraman dan pengasuhan anak Frekuensi perilaku membuang kotoran paling sering dilakukan pada fase pembuatan sarang (8.92 kali/hari). Frekuensi menurun pada fase pengeraman dan meningkat pada fase pengasuhan anak. Frekuensi tertinggi perilaku berpindah tempat ke sisi kanan dan kiri pasangan berlangsung pada fase pembuatan sarang (21.46 kali/hari). Frekuensi perilaku ini menurun tajam pada fase pengeraman dan meningkat kembali pada fase pengasuhan anak (Gambar 22). Perilaku membentangkan sayap paling sering dilakukan pada fase pembuatan sarang (12.69 kali/hari). Frekuensi menurun tajam pada fase pengeraman dan meningkat pada fase pengasuhan anak. Frekuensi tertinggi perilaku menoleh ke kanan dan kiri berlangsung pada fase pembuatan sarang (19.31 kali/hari). Frekuensi makin menurun pada fase pengeraman dan pengasuhan anak (Gambar 22). Durasi Perilaku Umum Walet Rumahan Perilaku berdiam diri/istirahat merupakan perilaku yang berdurasi paling tinggi dibanding perilaku umum lainnya. Perilaku berdiam diri pada fase

55 pembuatan sarang berlangsung selama menit/hari. Durasi menurun pada fase pengeraman dan meningkat pada fase pengasuhan anak (Gambar 23). Perilaku menelisik bulu berdua paling sering dilakukan pada fase pembuatan sarang (47.56 menit/hari). Durasi menurun tajam pada fase pengeraman dan makin menurun pada fase pengasuhan anak. Perilaku menelisik bulu sendiri berdurasi tertinggi pada fase pembuatan sarang (89.71 menit/hari). Durasi menurun tajam pada fase pengeraman dan meningkat selama fase pengasuhan anak (Gambar 23). Perilaku berdiam diri berdurasi tertinggi pada fase pembuatan sarang ( menit/hari). Durasi menurun tajam pada fase pengeraman dan meningkat kembali selama fase pengasuhan anak (Gambar 23). Durasi perilaku terbang meninggalkan sarang pada fase pengeraman lebih tinggi dibanding pada fase pembuatan sarang dan pengasuhan anak (10.61 menit/hari). Perilaku datang ke sarang berdurasi tertinggi pada fase pembuatan sarang (6.54 menit/hari). Durasi perilaku ini makin menurun pada fase pengeraman dan pengasuhan anak (Gambar 23). Perilaku membuang kotoran berdurasi paling tinggi berlangsung pada fase pembuatan sarang (0.94 menit/hari) kemudian menurun menjadi 0.08 menit/hari pada fase pengeraman, dan sedikit meningkat menjadi 0.16 menit/hari selama fase pengasuhan anak. Perilaku berpindah tempat berdurasi tertinggi berlangsung pada fase pembuatan sarang (2.06 menit/hari) kemudian menurun menjadi 0.05 menit/hari pada fase pengeraman, dan sedikit meningkat menjadi 0,16 menit/hari selama fase pengasuhan anak (Gambar 23). Perilaku berpindah tempat ke sisi kanan atau kiri pasangan berdurasi paling tinggi pada fase pembuatan sarang (2.06 menit/hari). Durasi menurun pada fase pengeraman dan meningkat selama pengasuhan anak. Perilaku membentangkan sayap berdurasi tertinggi pada fase pembuatan sarang (3.83 menit/hari). Durasi menurun pada fase pengeraman dan meningkat selama fase pengasuhan anak. Perilaku menoleh ke kanan dan ke kiri bedurasi tertinggi pada fase pembuatan sarang (20.29 menit/hari). Durasi perilaku ini semakin menurun pada fase pengeraman dan pengasuhan anak (Gambar 23).

56 !" # Gambar 23 Perbandingan durasi perilaku pada fase pembuatan sarang, pengeraman dan pengasuhan anak B. Perilaku Khusus Walet Rumahan Perilaku khusus adalah perilaku yang hanya berlangsung pada tiap-tiap fase. Perilaku pada fase pembuatan sarang yaitu: 1) membangun sarang, 2) menjauhi sarang, dan 3) melakukan perkawinan. Perilaku pada fase pengeraman yaitu: 1) mengerami telur, 2) membetulkan posisi telur, serta 3) memperbaiki sarang. Perilaku pada fase pengasuhan anak yaitu: 1) memberi makan anak, 2) mendekap tubuh anak, 3) menelisik bulu kepala dan leher anak, serta 4) berpindah tempat ke sisi bawah sarang dan kembali ke tempat semula. B.1 Perilaku Khusus pada Fase Pembuatan Sarang Walet Rumahan 1. Perilaku membangun sarang Walet yang telah memiliki pasangan akan mencari tempat untuk membuat sarang. Salah satu dari pasangan walet mencari dan menentukan sirip bakal tempat sarang. Sirip tempat sarang biasanya merupakan sirip yang pernah ditempati walet bersarang. Hal ini dibuktikan oleh hasil rekaman kamera yang diarahkan pada sirip yang terdapat sisa pondasi sarang. Kamera berhasil merekam perilaku sepasang walet ketika membangun sarang pada sirip tersebut. Bahan untuk membuat sarang seluruhnya terbuat dari air liur. Pembangunan sarang dilakukan dengan menggunakan paruh. Dengan menekankan paruh secara berulang maka serabut air liur dapat menempel pada sirip. Kegiatan ini diulang Keterangan: U1 Menelisik bulu berdua U2 Menelisik bulu sendiri U3 Berdiam diri/istirahat U4 Terbang meninggalkan sarang U5 Datang ke sarang U6 Membuang kotoran U7 Berpindah tempat (kiri/kanan) U8 Membentangkan sayap U9 Menoleh (kiri/kanan)

57 terus-menerus sampai terbentuk mangkok sarang yang sempurna. Ada dua posisi walet ketika membangun sarang. Pertama, walet dalam posisi vertikal, kaki mencengkeram sirip, kepala dan paruh menghadap bakal sarang (Gambar 24a). Kedua, walet berada di atas bakal sarang dengan posisi horizontal sejajar dengan bakal sarang, dan kepala menghadap ke bakal sarang (Gambar 24b). Sarang dibangun oleh pasangan walet secara bergantian. Proporsi lama waktu membangun sarang antara walet jantan dan betina tidak diketahui, karena walet tidak memiliki dimorfisme seksual. (a) Gambar 24 Walet membangun sarang dengan posisi vertikal (a) dan posisi horizontal (b) 2. Perilaku menjauhi sarang Pada saat salah satu pasangan walet sedang membangun sarang, pasangan lainnya segera menjauh dari bakal sarang. Pasangan dapat berpindah ke sisi atas bakal sarang, bawah sarang, atau sisi kanan-kiri bakal sarang (Gambar 25). Perilaku ini berguna untuk memberi ruang gerak leluasa pada pasangannya ketika sedang membangun sarang. (b) Gambar 25 Walet sedang bergerak menjauhi sarang agar walet pasangan leluasa membangun sarang 3. Perilaku kawin Tidak seperti jenis burung lainnya, walet tidak melakukan perilaku percumbuan (courtship) terlebih dahulu sebelum melakukan perkawinan. Perilaku

58 kawin biasanya berlangsung tiba-tiba ketika keduanya sedang dalam keadaan berdiam diri, menelisik bulu sendiri atau pada saat walet betina sedang membangun sarang. Pada aktivitas kawin, walet jantan berada di punggung betina sambil mengepakkan sayap untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Kloaka jantan didekatkan pada kloaka betina (Gambar 26). Setelah melakukan perkawinan walet jantan berpindah ke sisi kanan atau kiri walet betina. Gambar 26 Perilaku kawin walet. Walet jantan dengan sayap tetap mengepak berada di punggung betina yang sedang tergantung pada bibir sarang Frekuensi Perilaku Khusus pada Fase Pembuatan Sarang Walet Rumahan Perilaku membuat sarang memiliki frekuensi semakin meningkat sampai hari ke-19 (53 kali/hari). Frekuensi semakin menurun menjelang sarang terbentuk sempurna pada hari ke-38 (Gambar 27). Selama fase pembuatan sarang, frekuensi perilaku membangun sarang memiliki rataan kali/hari (Gambar 28a) atau 11.11% dari seluruh perilaku (Gambar 28b). Gambar 27 Frekuensi perilaku khusus pada fase pembuatan sarang walet

59 Frekuensi perilaku menjauhi sarang meningkat sampai hari ke-13 (14 kali/hari). Frekuensi semakin menurun sampai dengan hari ke-38 (Gambar 27). Selama fase pembuatan sarang, walet memiliki frekuensi perilaku menjauhi sarangnya memiliki rataan kali/hari (Gambar 28a) atau 5.18% dari seluruh perilaku (Gambar 28b). (a) Menoleh (kiri/kanan), Membangun sarang, Membentangkan sayap, Menjauhi sarang, 5.85 Berpindah tempat (kekiri/kekanan), Kawin, Membuang kotoran, 8.92 Datang ke sarang, Menelisik bulu berdua, Terbang meninggalkan sarang, Menelisik bulu sendiri, Berdiam diri/istirahat, (b) Menoleh (kiri/kanan) 6.02% Membentangkan sayap 3.96% Membangun sarang 11.11% Menjauhi sarang 1.82% Berpindah tempat (kekiri/kekanan) 6.70% Kawin 3.62% Membuang kotoran 2.78% Datang ke sarang 5.18% Menelisik bulu berdua 10.78% Terbang meninggalkan sarang 5.35% Menelisik bulu sendiri 14.07% Berdiam diri/istirahat 28.59% Gambar 28 Rataan frekuensi perilaku pada fase pembuatan sarang (a); persentase rataan frekuensi perilaku pada fase pembuatan sarang (b)

60 Frekuensi perilaku kawin semakin meningkat sampai menjelang proses pembuatan sarang selesai (29 kali/hari) (Gambar 27). Selama fase pembuatan sarang, frekuensi perilaku kawin walet memiliki rataan kali/hari (Gambar 28a) atau 3.62% dari seluruh perilaku (Gambar 28b). Durasi Perilaku Khusus pada Fase Pembuatan Sarang Walet Rumahan Durasi perilaku pada fase pembuatan sarang menunjukkan bahwa durasi perilaku membangun sarang meningkat secara perlahan sampai hari ke-19 ( menit/hari). Frekuensi kemudian menurun pada hari ke-22 dan meningkat lagi sampai hari ke-31 ( menit/hari). Hari ke-34 menurun tajam selanjutnya relatif konstan sampai hari ke-38 (Gambar 29a). Durasi perilaku membangun sarang pada fase ini memiliki rataan 2.71 menit/perilaku atau menit/hari (Gambar 30a) atau 14.82% dari seluruh perilaku (Gambar 30b). (a) (b) Gambar 29 Durasi perilaku khusus pada fase pembuatan sarang walet: (a) membangun sarang, (b) menjauhi dan kawin

61 Perilaku menjauhi sarang memiliki durasi tinggi antara hari ke-1 sampai dengan puncak pada hari ke-13 (1.95 menit/hari) kemudian menurun sampai hari ke-38 (Gambar 29b). Durasi perilaku menjauhi sarang memiliki rataan 5.21 detik/perilaku atau 0.51 menit/hari (Gambar 30a) atau 0.08% dari seluruh perilaku (Gambar 30b). Perilaku kawin memiliki durasi relatif konstan sampai hari ke-19. Durasi meningkat mulai hari ke-22 sampai hari ke-38 (4.20 menit/hari) (Gambar 29b). Durasi perilaku kawin memiliki rataan 9.72 detik/perilaku atau 1.88 menit/hari (Gambar 30a) atau 0.29% dari seluruh perilaku (Gambar 30b). (a) (b) Berdiam diri/istirahat, Berdiam diri/istirahat 58.40% Perilaku lainnya, Perilaku lainnya 5.33% Membangun sarang, Membangun sarang 14.82% Menjauhi sarang, 0.51 Kawin, 1.88 Menelisik bulu berdua, Menelisik bulu sendiri, Menjauhi sarang 0.08% Kawin 0.29% Menelisik bulu berdua 7.30% Menelisik bulu sendiri 13.77% Gambar 30 Rataan durasi perilaku pada fase pembuatan sarang (a); persentase rataan durasi perilaku pada fase pembuatan sarang walet (b)

62 B.2 Perilaku Khusus pada Fase Pengeraman 1. Perilaku mengerami telur Walet mengerami telur secara bergantian. Pengeraman ini bertujuan agar embrio di dalam telur mendapatkan panas konstan dari tubuh walet induk. Cara mengerami telur pada walet yaitu salah satu dari pasangan walet masuk ke dalam mangkok sarang. Walet mengerami telur dengan permukaan perutnya. Telur-telur ini selalu mendapatkan transfer panas dari walet induk. Kegiatan pengeraman berlangsung sepanjang hari. Ketika salah satu walet sedang mengerami telur, walet pasangan menggantung pada bibir sarang (Gambar 31a). Perilaku tersebut berlangsung pada malam hari. Pada siang hari biasanya walet mengerami telur tanpa ditunggui pasangannya (Gambar 31b). Perilaku walet mengerami telur biasanya dilakukan secara bergantian diantara anggota pasangan. Dengan mendorongkan kepala ke sisi perut walet pengeram telur maka walet pasangan menggantikan posisi mengeram (Gambar 32). Walet yang digantikan berpindah tempat bertengger pada bibir sarang. (a) (b) Gambar 31 Walet mengerami telur. Satu walet mengeram dan walet pasangan menggantung di bibir sarang (a); hanya satu walet yang mengeram (b) Walet yang menggantikan mengeram Walet yang digantikan Gambar 32 Salah satu walet mendorongkan kepala di bawah perut pasangannya agar dapat menggantikan posisi mengeram

63 2. Perilaku membetulkan posisi telur Perilaku membetulkan posisi telur dilakukan pada waktu mengeram. Walet induk beberapa kali mengubah arah posisi mengeram. Ketika posisi telur tidak mendapatkan panas merata maka walet mengubah posisi telurnya. Walet menjepit telur dengan paruhnya sambil memutar letak telur agar sejajar dengan telur lainnya (Gambar 33). Gambar 33 Perilaku walet membetulkan posisi telur yang sedang dierami. Walet memutar posisi telur dengan menggunakan paruhnya 3. Perilaku kawin Perilaku kawin pada fase ini biasanya berlangsung ketika walet betina sedang beristirahat. Aktivitas kawin pada fase ini hampir sama dengan fase pembuatan sarang. Walet jantan berada di punggung betina sambil mengepakkan sayap untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Kloaka jantan didekatkan ke kloaka betina. Kepala walet betina menghadap ke jantan sambil melakukan sentuhan paruh (Gambar 34). Gambar 34 Perilaku kawin pada fase pengeraman. Setelah walet betina mengeram, jantan di punggung betina sambil mengepakkan sayap. Keduanya saling bersentuhan paruh bersamaan dengan kopulasi 4. Perilaku memperbaiki sarang Pada waktu mengeram, walet masih tetap menggunakan air liur sebagai bahan baku sarangnya. Perilaku ini hanya berfungsi sebagai usaha merawat sarang dan menambah ketinggian bibir sarang. Walet menambah ketinggian bibir sarang

64 pada posisi sedang mengeram. Walet menekankan paruh pada bibir sarang yang berbentuk huruf U sambil memutar posisi tubuhnya hingga 180 o (Gambar 35). Gambar 35 Walet memperbaiki sarang. Dengan posisi tetap mengeram walet dapat menambah ketinggian bibir sarang Frekuensi Perilaku pada Fase Pengeraman Frekuensi perilaku pada fase pengeraman menunjukkan bahwa pola perilaku walet mengerami telur memiliki dua puncak, yaitu hari ke-4 (61 kali/hari) dan hari ke-16 (72 kali/hari). Frekuensi semakin menurun sampai pada hari ke-25. (Gambar 36). Frekuensi perilaku selama fase pengeraman mengerami telur mempunyai rataan kali/hari atau 39.04% dari seluruh perilaku. Perilaku mengerami telur merupakan perilaku dominan pada fase ini (Gambar 37). $% " " &' ( " & Gambar 36 Frekuensi perilaku khusus walet pada fase pengeraman Frekuensi membetulkan posisi telur berfluktuasi sampai hari ke-16. Selanjutnya frekuensi perilaku ini semakin menurun sampai pada hari ke-25 (Gambar 36). Selama fase pengeraman, frekuensi perilaku membetulkan posisi telur mempunyai rataan 5.33 kali/hari atau 3.77% dari seluruh perilaku (Gambar 37).

65 (a) Datang ke sarang, Perilaku lainnya, 5.55 Terbang meninggalkan sarang Mengerami telur, Berdiam diri/istirahat, Menelisik bulu sendiri, Menelisik bulu berdua, 13 Memperbaiki sarang, 8.44 Membetulkan posisi telur, 5.33 Kawin, 4.33 (b) Datang ke sarang Terbang meninggalkan 8.41% sarang 8% Berdiam diri/istirahat 10.53% Perilaku lainnya 3.92% Mengerami telur 39.04% Menelisik bulu sendiri 7.70% Menelisik bulu berdua 9.19% Memperbaiki sarang 5.97% Membetulkan posisi telur 3.77% Kawin 3.06% Gambar 37 Rataan frekuensi perilaku pada fase pengeraman (a) dan persentase rataan frenkuensi perilaku pada fase pengeraman (b) Frekuensi perilaku kawin pada pasangan walet memiliki pola semakin menurun. Frekuensi kawin tertinggi pada hari ke-1 (19 kali/hari), selanjutnya menurun sampai hari ke-10. Walet tidak melakukan perkawinan mulai hari ke-13 sampai telur menetas pada hari ke 25 (Gambar 36). Selama fase pengeraman,

66 frekuensi perilaku kawin pasangan walet memiliki rataan 4.33 kali/hari atau 3.06% dari seluruh perilaku (Gambar 37). Frekuensi perilaku memperbaiki sarang memiliki pola menurun. Frekuensi tertinggi pada hari ke-1 (19 kali/hari), dan menurun sampai telur menetas pada hari ke-25 (Gambar 36). Frekuensi perilaku memperbaiki sarang memiliki rataan 8.44 kali/hari atau 5.97% dari seluruh perilaku (Gambar 37). Durasi Perilaku pada Fase Pengeraman Durasi perilaku mengeram pada fase ini meningkat sampai hari ke-10. Selanjutnya konstan sampai dengan hari ke-22 ( menit/hari). Menjelang fase pengeraman selesai pada hari ke-25 durasi mengerami telur menurun tajam (Gambar 38a). Pada fase ini mengerami telur merupakan perilaku yang memiliki durasi paling tinggi, yaitu dengan rataan menit/perilaku atau menit/hari (Gambar 39a) atau 91.25% dari seluruh perilaku (Gambar 39b). Durasi perilaku walet membetulkan posisi telur meningkat hingga hari ke- 13 (2,97 menit/hari), kemudian menurun perlahan sampai hari ke-25 (Gambar 38c). Durasi membetulkan posisi telur memiliki rataan detik/perilaku atau 0.99 menit/hari (Gambar 39a) atau 0.08% dari seluruh perilaku (Gambar 39b). Durasi perilaku kawin memiliki pola menurun. Durasi tertinggi di hari ke-1 (3.42 menit/hari) kemudian terus menurun sampai hari ke-10. Walet tidak kawin mulai hari ke-13 sampai dengan fase pengeraman selesai (Gambar 38c). Diduga penurunan durasi perilaku kawin dilakukan agar pasangan walet lebih berkonsentrasi pada pengeraman. Durasi perilaku kawin memerlukan waktu rataan 8.74 detik/perilaku atau 0.63 menit/hari (Gambar 39a) atau 0.05% dari seluruh perilaku (Gambar 39b). Durasi perilaku memperbaiki sarang memilki pola semakin menurun. Durasi tertinggi terdapat pada hari ke-1 (34.12 menit/hari). Durasi turun-naik sampai hari ke-13. Selanjutnya, durasi semakin menurun sampai hari ke-25 (Gambar 38b). Durasi perilaku memperbaiki sarang memiliki rataan 2.24 menit/perilaku atau menit/hari (Gambar 39a) atau 1.52% dari seluruh perilaku (Gambar 39b).

67 (a)! # $% " " &' ( " & (b)! # ) ) ) ) ) ) ) ) ) $% " &' ( " & (c)! # ) ) ) ) ) ) ) ) ) $% " &' ( Gambar 38 Durasi perilaku khusus walet pada fase pengeraman: (a) mengerami telur, (b) memperbaiki sarang, (c) membetulkan posisi telur dan kawin

68 (a) (b) Membetulkan posisi telur, 0.99 Memperbaiki sarang, Kawin, 0.63 Memperbaiki sarang 1.52% Membetulkan posisi telur 0.08% Kawin 0.05% Berdiam diri/istirahat, Perilaku lainnya, Berdiam diri/istirahat 3.35% Mengerami telur, Perilaku lainnya 3.75% Mengerami telur 91.26% Gambar 39 Rataan durasi perilaku pada fase pengeraman (a); persentase rataan durasi perilaku pada fase pengeraman (b) B.3 Perilaku Khusus pada Fase Pengasuhan Anak 1. Perilaku memberi makan anak Anak walet selama berada di dalam sarang masih dalam pengasuhan kedua induknya. Pakan anak walet selama fase pengasuhan berasal dari kedua induknya. Ada dua variasi posisi ketika induk walet memberi makan anaknya. Pertama, walet induk mencengkeramkan kakinya pada bibir sarang. Walet induk berada di atas bibir sarang, kemudian mendekatkan paruh berisi makanan ke paruh anak. Anak walet membuka lebar paruhnya sambil menerima gumpalan makanan dari

69 paruh induknya (Gambar 40a). Kedua, posisi walet induk menggantung pada bibir sarang. Paruh induk berada persis di atas bibir sarang. Anak walet memajukan paruh dalam keadaan terbuka untuk menerima gumpalan makanan dari paruh induknya (Gambar 40b). Gambar 40 Perilaku induk walet memberi makan anak dengan posisi bertengger di atas bibir sarang (a), dan posisi menggantung pada bibir sarang (b) 2. Perilaku mendekap tubuh anak Perilaku mendekap dilakukan dengan menempatkan anak walet di sela sayap dan tubuh walet induk. Perilaku walet induk mendekap tubuh anaknya memiliki tiga variasi. Pertama, salah satu walet induk menempati seluruh area sarangnnya dengan posisi tubuh horizontal sejajar dengan sirip. Perilaku ini dilakukan pada pukul ketika hanya terdapat satu walet induk (Gambar 41a). Pada waktu bersamaan walet induk pasangannya sedang berburu makanan. (a) (b) (a) (b) (c) Gambar 41 Perilaku mendekap anak. Satu walet induk menempati mangkok sarang (a); pasangan walet induk bertengger saling berhadapan di bibir sarang (b); salah satu walet induk berada di dalam mangkok sarang dan pasangannya menggantung pada bibir sarang (c) Kedua, anak walet berada di bagian tengah sarang, sedangkan kedua induknya saling berhadapan di ujung bibir sarang yang berlawanan arah (Gambar

PERILAKU SELAMA PERIODE PERKEMBANGBIAKAN PADA BURUNG WALET (Collocalia fuciphaga) RUMAHAN DI KECAMATAN SIDAYU KABUPATEN GRESIK ERHAM

PERILAKU SELAMA PERIODE PERKEMBANGBIAKAN PADA BURUNG WALET (Collocalia fuciphaga) RUMAHAN DI KECAMATAN SIDAYU KABUPATEN GRESIK ERHAM PERILAKU SELAMA PERIODE PERKEMBANGBIAKAN PADA BURUNG WALET (Collocalia fuciphaga) RUMAHAN DI KECAMATAN SIDAYU KABUPATEN GRESIK ERHAM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 9 PERNYATAAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Burung Walet Karakteristik Burung Walet

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Burung Walet Karakteristik Burung Walet TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Burung Walet Nama baku burung walet di dalam bahasa Indonesia adalah Walet Sarang Putih (MacKinnon et al. 1992). Di dalam publikasi ilmiah terdapat dua versi nama latin walet

Lebih terperinci

PERILAKU SELAMA PERIODE PERKEMBANGBIAKAN PADA BURUNG WALET (Collocalia fuciphaga) RUMAHAN DI KECAMATAN SIDAYU KABUPATEN GRESIK ERHAM

PERILAKU SELAMA PERIODE PERKEMBANGBIAKAN PADA BURUNG WALET (Collocalia fuciphaga) RUMAHAN DI KECAMATAN SIDAYU KABUPATEN GRESIK ERHAM PERILAKU SELAMA PERIODE PERKEMBANGBIAKAN PADA BURUNG WALET (Collocalia fuciphaga) RUMAHAN DI KECAMATAN SIDAYU KABUPATEN GRESIK ERHAM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 9 PERNYATAAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di rumah walet milik Ir. H. Ubaidillah Thohir, S.Pd. mulai bulan Agustus 2008 sampai Januari 2009. Lokasi penelitian di Desa Meriyunan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV Kendala utama penelitian walet rumahan yaitu: (1) rumah walet memiliki intensitas cahaya rendah, (2) pemilik tidak memberi ijin penelitian menggunakan metode pengamatan

Lebih terperinci

HASIL. Penggunaan Kamera IR-CCTV pada Pengamatan Perilaku Walet Rumahan. Nesting room di dalam rumah walet

HASIL. Penggunaan Kamera IR-CCTV pada Pengamatan Perilaku Walet Rumahan. Nesting room di dalam rumah walet HASIL Penggunaan Kamera IR-CCTV pada Pengamatan Perilaku Walet Rumahan Pengamatan perilaku walet rumahan diamati dengan tiga unit kamera IR- CCTV. Satu unit kamera IR-CCTV tambahan digunakan untuk mengamati

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung 7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Taksonomi dan Deskripsi Burung Walet Terdapat beberapa jenis Burung Walet yang ditemukan di Indonesia diantaranya Burung Walet Sarang Putih, Burung Walet Sarang Hitam, Burung

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung Walet memiliki beberapa ciri khas yang tidak dimiliki oleh burung lain. Ciri khas tersebut diantaranya melakukan hampir segala aktivitasnya di udara seperti makan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Sarang Burung Seriti (Collocalia esculenta). a. Peletakkan dan Jumlah Sarang Seriti. Dari hasil perhitungan jumlah sarang seriti yang ada di bawah jembatan dan di dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dijumpai hampir di seluruh pelosok Indonesia. Menurut Thomassen (2006),

I. PENDAHULUAN. dijumpai hampir di seluruh pelosok Indonesia. Menurut Thomassen (2006), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung walet sarang putih (Collocalia fuciphaga) dengan mudah dijumpai hampir di seluruh pelosok Indonesia. Menurut Thomassen (2006), famili Apodidae dijumpai di setiap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Burung Walet ( Collocalia fuciphaga) Habitat Burung Walet

TINJAUAN PUSTAKA Burung Walet ( Collocalia fuciphaga) Habitat Burung Walet TINJAUAN PUSTAKA Burung Walet (Collocalia fuciphaga) Collocalia fuciphaga merupakan spesies dari burung walet yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia. Menurut MacKinnon (1995), spesies ini berukuran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioekologi Burung Seriti. 1. Klasifikasi dan Morfologi. Menurut Peterson (2005) klasifikasi burung Seriti dapat diklasifikasikan dalam Taksonomi adalah: Kingdom : Animalia Phylum

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI 1 PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

USAHA SAMBILAN BUDIDAYA WALET DI MENDATI NGAMBUR LAMPUNG BARAT. Suyadi L

USAHA SAMBILAN BUDIDAYA WALET DI MENDATI NGAMBUR LAMPUNG BARAT. Suyadi L USAHA SAMBILAN BUDIDAYA WALET DI MENDATI NGAMBUR LAMPUNG BARAT Suyadi L200100015 TEKNIK INFORMATIKA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2012 1 Tentang Burung Walet Burung Walet merupakan burung pemakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN Oleh : Taufik Rizky Afrizal 11.12.6036 S1.SI.10 STMIK AMIKOM Yogyakarta ABSTRAK Di era sekarang, dimana ekonomi negara dalam kondisi tidak terlalu baik dan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : kuntul kecil, pulau serangan, aktivitas harian, habitat, Bali

ABSTRAK. Kata kunci : kuntul kecil, pulau serangan, aktivitas harian, habitat, Bali ABSTRAK Penelitian tentang aktivitas burung kuntul kecil (Egretta garzetta) dilakukan di Pulau Serangan antara bulan Mei dan Juni 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas harian burung

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati )

TINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati ) TINJAUAN PUSTAKA Merpati Menurut Yonathan (2003), penyebaran merpati hampir merata di seluruh bagian bumi kecuali di daerah kutub. Merpati lokal di Indonesia merupakan burung merpati yang asal penyebarannya

Lebih terperinci

7. PEMBAHASAN UMUM. Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nop Des. Gambar 21 Ukuran testis walet linchi selama 12 bulan

7. PEMBAHASAN UMUM. Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nop Des. Gambar 21 Ukuran testis walet linchi selama 12 bulan 7. PEMBAHASAN UMUM Morfologi Gonad dan Kelenjar Mandibularis Walet Linchi Dari hasil pengamatan selama 12 bulan terhadap perubahan morfologi yang terjadi pada gonad jantan dan betina. Tampak perubahan

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM TENTANG PERDAGANGAN SARANG BURUNG WALET INDONESIA. Ani Mardiastuti

GAMBARAN UMUM TENTANG PERDAGANGAN SARANG BURUNG WALET INDONESIA. Ani Mardiastuti GAMBARAN UMUM TENTANG PERDAGANGAN SARANG BURUNG WALET INDONESIA Ani Mardiastuti PENDAHULUAN Sejak ratusan tahun yang lalu, diketahui bahwa sarang dari beberapa jenis walet dapat dikonsumsi manusia dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kuntul 2.1.1 Klasifikasi Burung Kuntul Burung kuntul termasuk ordo Ciconiiformes dan famili Ardeidae (Mackinnon, 1993). klasifikasi Kuntul besar (Egretta alba) adalah

Lebih terperinci

Gambar 1. Koloni Trigona sp

Gambar 1. Koloni Trigona sp BUDIDAYA LEBAH MADU TRIGONA SP Oleh : Victor Winarto *) Rusmalia *) I. PENDAHULUAN Madu adalah salah satu produk primadona HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) di Indonesia. Banyaknya manfaat madu bagi kesehatan,

Lebih terperinci

Ayo Belajar IPA. Ilmu Pengetahuan Alam Kelas VI semester 1. Elisabeth Sekar Dwimukti Universitas Sanata Dharma

Ayo Belajar IPA. Ilmu Pengetahuan Alam Kelas VI semester 1. Elisabeth Sekar Dwimukti Universitas Sanata Dharma Ilmu Pengetahuan Alam Kelas VI semester 1 Elisabeth Sekar Dwimukti Universitas Sanata Dharma Peta Konsep Ciri khusus mahkluk hidup 1. Mencari makan 2. Kelangsungan hidup 3. Menghindari diri dari Hewan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA,

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, Trogoderma granarium Everts., (COLEOPTERA: DERMESTIDAE) DAN HAMA GUDANG LAINNYA DI WILAYAH DKI JAKARTA, BEKASI, SERANG, DAN CILEGON MORISA PURBA SEKOLAH

Lebih terperinci

KAJIAN TENTANG USAHA SARANG BURUNG WALET DI KABUPATEN SAMPANG (TINJAUAN EKONOMIS) SKRIPSI

KAJIAN TENTANG USAHA SARANG BURUNG WALET DI KABUPATEN SAMPANG (TINJAUAN EKONOMIS) SKRIPSI KAJIAN TENTANG USAHA SARANG BURUNG WALET DI KABUPATEN SAMPANG (TINJAUAN EKONOMIS) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur Untuk Menyusun Skripsi S-I

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

3,35 3,96 Jumlah

3,35 3,96 Jumlah HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Haurgeulis secara geografis terletak di ujung Barat Kabupaten Indramayu dan terletak antara 107 o 51 107 o 54 Bujur Timur dan 6 o 35 6 o 35

Lebih terperinci

Penyiapan Mesin Tetas

Penyiapan Mesin Tetas Dian Maharso Yuwono Pemeliharaan unggas secara intensif memerlukan bibit dalam jumlah yang relatif banyak, sehingga penetasan dengan mesin semakin diperlukan. Penetasan telur unggas (ayam, itik, puyuh,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Merak hijau 2.1.1 Taksonomi Grzimek (1972) menyatakan bahwa klasifikasi merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) sebagai berikut : Kingdom Phyllum : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Lampung Timur. berbatasan langsung dengan garis pantai Laut Jawa. Kabupaten Lampung Timur

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Lampung Timur. berbatasan langsung dengan garis pantai Laut Jawa. Kabupaten Lampung Timur 22 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Lampung Timur Kabupaten Lampung Timur merupakan salah satu dari 15 kabupaten di Provinsi Lampung. Kabupaten ini berada di ujung Timur Provinsi Lampung

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN

PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PERBAIKAN DAN EVALUASI KINERJA ALGORITMA PIXEL- VALUE DIFFERENCING ( PVD) ROJALI

PERBAIKAN DAN EVALUASI KINERJA ALGORITMA PIXEL- VALUE DIFFERENCING ( PVD) ROJALI PERBAIKAN DAN EVALUASI KINERJA ALGORITMA PIXEL- VALUE DIFFERENCING ( PVD) ROJALI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di peternakan merpati di area Komplek Alam Sinar Sari, Desa Sinarsari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini berlangsung selama bulan

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR @ 2004 Untung Bijaksana Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor September 2004 Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng IKAN HARUAN DI PERAIRAN KALIMANTAN

Lebih terperinci

PROFIL FOTO BERITA DALAM SURAT KABAR REPUBLIKA EDISI TAHUN 2004

PROFIL FOTO BERITA DALAM SURAT KABAR REPUBLIKA EDISI TAHUN 2004 1 PROFIL FOTO BERITA DALAM SURAT KABAR REPUBLIKA EDISI TAHUN 2004 RR. BRAMAYANTI KRISMASAKTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei

Lebih terperinci

MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA

MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PERILAKU ANAK ORANGUTAN (Pongo pygmaeus pygmaeus) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, TAMAN MARGASATWA RAGUNAN DAN TAMAN SAFARI INDONESIA

PERILAKU ANAK ORANGUTAN (Pongo pygmaeus pygmaeus) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, TAMAN MARGASATWA RAGUNAN DAN TAMAN SAFARI INDONESIA 1 PERILAKU ANAK ORANGUTAN (Pongo pygmaeus pygmaeus) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, TAMAN MARGASATWA RAGUNAN DAN TAMAN SAFARI INDONESIA IDAM RAGIL WIDIANTO ATMOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Penangkaran UD Anugrah Kediri, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Juni-Juli 2012.

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut

Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut Karya Ilmiah Di susun oleh : Nama : Didi Sapbandi NIM :10.11.3835 Kelas : S1-TI-2D STMIK AMIKOM YOGYAKARTA TAHUN PELAJARAN 2010 / 2011 Abstrak Belut merupakan

Lebih terperinci

PEMODELAN PENENTUAN KOMPOSISI PRODUK UNTUK MEMAKSIMALKAN KEUNTUNGAN PERUSAHAAN JENANG KUDUS ROSMA MULYANI

PEMODELAN PENENTUAN KOMPOSISI PRODUK UNTUK MEMAKSIMALKAN KEUNTUNGAN PERUSAHAAN JENANG KUDUS ROSMA MULYANI PEMODELAN PENENTUAN KOMPOSISI PRODUK UNTUK MEMAKSIMALKAN KEUNTUNGAN PERUSAHAAN JENANG KUDUS ROSMA MULYANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Mega Bird and Orchid farm, Bogor, Jawa Barat pada bulan Juni hingga Juli 2011. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada

Lebih terperinci

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua) SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Sarjana Pendidikan (S-1)

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pendahuluan Perkembangan industri peternakan yang semakin pesat menuntut teknologi yang baik dan menunjang. Salah satu industri peternakan yang paling berkembang adalah industri

Lebih terperinci

Disusun oleh Malang Eyes Lapwing, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang

Disusun oleh Malang Eyes Lapwing, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang Disusun oleh Malang Eyes Lapwing, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang Mengapa kita mengamati burung? Berbagai jawaban bias diberikan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ada yang tertarik karena

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT RAMAH LINGKUNGAN DARI BAMBU, FINIR DAN LOG CORE KAYU KARET (Hevea brasiliensis (Willd.Ex A.Juss.) Mull. Arg.

PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT RAMAH LINGKUNGAN DARI BAMBU, FINIR DAN LOG CORE KAYU KARET (Hevea brasiliensis (Willd.Ex A.Juss.) Mull. Arg. PENGEMBANGAN PAPAN KOMPOSIT RAMAH LINGKUNGAN DARI BAMBU, FINIR DAN LOG CORE KAYU KARET (Hevea brasiliensis (Willd.Ex A.Juss.) Mull. Arg.) SUKMA SURYA KUSUMAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA 2 CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH

PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA 2 CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

LOVEBIRD. Semoga bermanfaat.

LOVEBIRD. Semoga bermanfaat. LOVEBIRD Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Aves Order : Psittaciformes Superfamily : Psittacoidea Family : Psittaculidae Subfamily : Agapornithinae Genus : Agapornis Species: 1. Agapornis Personatus

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian dimulai

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

ANALISIS KETAHANAN DAN APLIKASINYA UNTUK PEMODELAN INTERVAL KELAHIRAN ANAK PERTAMA HARNANTO

ANALISIS KETAHANAN DAN APLIKASINYA UNTUK PEMODELAN INTERVAL KELAHIRAN ANAK PERTAMA HARNANTO ANALISIS KETAHANAN DAN APLIKASINYA UNTUK PEMODELAN INTERVAL KELAHIRAN ANAK PERTAMA HARNANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat

ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat ADSORPSI ION Cr 3+ OLEH SERBUK GERGAJI KAYU ALBIZIA (Albizzia falcata): Studi Pengembangan Bahan Alternatif Penjerap Limbah Logam Berat I NYOMAN SUKARTA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,

Lebih terperinci

PETUNJUK PRAKTIS. Petunjuk Praktis Pengukuran Ternak Sapi

PETUNJUK PRAKTIS. Petunjuk Praktis Pengukuran Ternak Sapi PETUNJUK PRAKTIS i PENGUKURAN TERNAK SAPI POTONG Penyusun : Awaluddin Tanda Panjaitan Penyunting : Tanda Panjaitan Ahmad Muzani KEMENTERIAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BALAI BESAR

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Burung Puyuh Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS. Kemampuan Fisik. 1. Menggali (digging)

BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS. Kemampuan Fisik. 1. Menggali (digging) BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS Kemampuan Fisik 1. Menggali (digging) Tikus terestrial akan segera menggali tanah jika mendapat kesempatan, yang bertujuan untuk membuat sarang, yang biasanya tidak melebihi

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian 2015 LUWAK Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian LUWAK A. Biologi Luwak Luwak merupakan nama lokal dari jenis musang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap daerah mempunyai potensi pendapatan yang berbeda karena

BAB I PENDAHULUAN. Setiap daerah mempunyai potensi pendapatan yang berbeda karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap daerah mempunyai potensi pendapatan yang berbeda karena perbedaan kondisi ekonomi, sumber daya alam, besaran wilayah dan besaran penduduk sehingga memungkinkan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KEKONVERGENAN BEBERAPA MODEL BINOMIAL UNTUK PENENTUAN HARGA OPSI EROPA PONCO BUDI SUSILO

PERBANDINGAN KEKONVERGENAN BEBERAPA MODEL BINOMIAL UNTUK PENENTUAN HARGA OPSI EROPA PONCO BUDI SUSILO PERBANDINGAN KEKONVERGENAN BEBERAPA MODEL BINOMIAL UNTUK PENENTUAN HARGA OPSI EROPA PONCO BUDI SUSILO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Kondisi Lingkungan Kelinci dipelihara dalam kandang individu ini ditempatkan dalam kandang besar dengan model atap kandang monitor yang atapnya terbuat dari

Lebih terperinci

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keterkontrolan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIK SARANG BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) DI SUAKA MARGASATWA PINJAN-TANJUNG MATOP, SULAWESI TENGAH

KARAKTERISTIK FISIK SARANG BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) DI SUAKA MARGASATWA PINJAN-TANJUNG MATOP, SULAWESI TENGAH KARAKTERISTIK FISIK SARANG BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) DI SUAKA MARGASATWA PINJAN-TANJUNG MATOP, SULAWESI TENGAH Indrawati Yudha Asmara Fakultas Peternakan-Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang

Lebih terperinci