BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK"

Transkripsi

1 BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK (studi kasus anak pelaku tindak pidana pencabulan di Karo) Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan terkait, antara lain UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Masalah perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum, yang terdapat dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, menentukan bahwa: a. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi; b. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak; c. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum; d. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang belaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir; e. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya;

2 f. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; g. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum. Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, UU No. 3 Tahun 1997 menggunakan istilah anak nakal. Sehubungan dengan perlindungan terhadap anak nakal, maka menurut undang-undang ini tidak selalu anak pelaku tindak pidana harus mendapatkan hukuman penjara. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997, bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, berupa pengembalian kepada orang tua, wali/orang tua asuh atau menyerahkannya kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja atau menyerahkannya kepada departemen sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Selanjutnya berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2002, ada beberapa pasal berhubungan dengan masalah perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu: a. Pasal 1 angka 2, yang menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. b. Pasal 1 angka 15, menentukan bahwa perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang

3 berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. c. Pasal 2, menentukan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak meliputi: 1. non diskriminasi; 2. kepentingan yang terbaik bagi anak; 3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; 4. penghargaan terhadap pendapat anak. d. Pasal 3, menentukan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. e. Pasal 16, menentukan bahwa: 1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

4 2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. 3) Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. f. Pasal 17, menentukan bahwa: (4) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: 1) mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; 2) memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; 3) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum; (5) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. g. Pasal 17, menentukan bahwa: Pasal 18, menentukan bahwa setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. h. Pasal 59, menentukan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak

5 korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. i. Pasal 64, menentukan bahwa: (6) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berhadapan dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. (7) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui: a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak. b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini. c. penyediaan sarana dan prasarana khusus. d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak. e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum. f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga. g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. Dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa: Pemerintah dan Lembaga negara lainnya wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang

6 menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Dalam salah satu poin pasal tersebut menyebut tentang anak yang berhadapan dengan hukum. Asumsi setiap orang jika mendengar kata anak yang berhadapan dengan hukum seolah terkooptasi pada pemahaman anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Padahal telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 64 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut bahwa: Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui: 1) Perlakuan atas anak secara menusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak. 2) Penyediaan Petugas Pendamping sejak dini. 3) Penyediaan sarana dan prasarana khusus. 4) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. 5) Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum. 6) Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orangtua atau keluarga. 7) Perlindungan dari pemberian identitas melalui media masa untuk menghindari labelisasi. Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus

7 kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir, institusi penghukuman. 30 Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu: a. Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah; b. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum Pelaksanaan Sitem Peradilan Pidana Anak ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, Sitem Peradilan Pidana Anak berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch). Selanjutnya akan dibahas sistem peradilan anak di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. 30 Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003, hlm. 2

8 A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan 1. Tahap Penyidikan Pada hakikatnya ketentuan KUHAP tentang penyidikan didefenisikan sebagai berikut. Penyidikan adalah serangakaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini (KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 31 Tindakan itu dapat meliputi pemanggilan dan pemeriksaan saksi-saksi, penyitaan alat-alat bukti, pengeledahan, pemanggilan dan pemeriksaan tersangka, melakukan penangkapan, melakukan penahanan, dan lain sebagainya. Sementara penyidik sesuai Pasal 1 angka 1 KUHAP, adalah Pejabat Polisi Negara RI atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. Penyidikan yang dilakukan oleh pejabat kepolisian negara RI bertujuan untuk mengumpulkan bukti guna menemukan apakah suatu peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa pidana, dengan penyidikan juga ditujukan untuk menemukan pelakunya. Setelah adanya penyidikan tahapan selanjutnya dilakukan penyelidikan. Penyelidikan kasus pidana dilakukan oleh kepolisian sesuai dengan KUHAP dan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Polisi dalam melakukan penyelidikan terhadap anak pelaku tindak pidana harus memperhatikan berbagai ketentuan mengenai upaya penangan anak mulai dari penangkapan sampai proses penempatan Pasal 1 butir 2 KUHAP 32 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative justice, Bandung,Refika Aditama 2009, hlm.85 (selanjutnya disebut Marlina II)

9 Secara umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 bahwa penyidikan terhadap pelaku tindak pidana anak hanya dapat dilakukan apabila pelaku tindak pidana telah berusia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, tarhadap anak dibawah umur delapan tahun yang melakukan tindak pidana akan mendapat pembinaan dan dikembalikan pada orang tua/wali. Penyidikan terhadap anak dalam hal anak nakal dilakukan oleh Penyidik Anak, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau Pejabat yang ditunjuk olehnya. Dengan demikian Penyidik Umum tidak dapat melakukan penyidikan atas Perkara Anak Nakal, kecuali dalam hal tertentu, seperti belum ada Penyidik Anak di tempat tersebut. Penyidikan terhadap anak nakal berlangsung dalam suasana kekeluargaan, dan untuk itu penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan sesuai Undang-Undang No. 3 Tahun Diperiksa dalam suasana kekeluargaan, berarti pada waktu memeriksa tersangka anak, penyidik tidak memakai pakaian seragam/dinas, dan melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik. Suasana kekeluargaan itu juga berarti tidak ada pemaksaan, intimidasi atau sejenisnya selama dalam penyidikan. Salah satu jaminan terlaksananya suasana kekeluargaan ketika penyidikan dilakukan, adalah hadirnya Penasehat Hukum, disamping itu, karena yang disidik adalah anak, maka juga sebenarnya sangat penting kehadiran orang tua/wali/orang tua asuhnya, agar tidak timbul ketakutan atau trauma pada diri si anak.

10 Apabila dipandang perlu, penyidik juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. Sementara untuk kepentingan si anak sendiri, maka proses penyidikan wajib dirahasiakan Tindakan yang dapat dilakukan penyidik oleh seorang penyidik adalah penangkapan, penahanan, mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian, melaksanakan penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penyitaan, penyimpanan perkara dan melimpahkan perkara. 33 Berikut penjelasan prosedur yang dilakukan untuk anak pelaku tindak pidana : a. Penangkapan Penangkapan adalah suatu tindakan Penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang. 34 Mengenai tindakan penangkapan tidak diatur secara rinci dalam Undang- Undang pengadilan anak, sehingga berlaku ketentuan-ketentuan dalam Undang- Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang ini mengatur wewenang polisi dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan yang selanjutnya diatur dalam petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) kepolisian. Aturan tersebut menjadi pedoman bagi setiap anggota kepolisian RI dalam menjalankan tugas dan fungsinya. 33 Paramita dan tamba BIT, perlindungan hak anak dalam proses peradilan pidana pada tahap penyidikan, Jurnal Hukum no 1 Januari 2003, hlm Pasal 1 butir 20 KUHAP

11 Upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, disamping juklak dan juknis yang dimiliki, ada beberapa cara penanganan terhadap anak, seperti : 35 a. Tindakan penangkapan diatur dalam Pasal 16 sampai Pasal 19 KUHAP. Berdasarkan Pasal 16 KUHAP dapat diketahui bahwa tujuan penangkapan tersangka ialah untuk kepentingan penyelidikan dan untuk kepentingan penyidikan. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup 36. Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara RI, dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka suratsurat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka. Menyatakan alasan penangkapan, dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta mengemukakan tempat tersangka diperiksa 37. Adapun waktu penangkapan paling lama satu hari. 38 b. Khusus tindakan penangkapan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, polisi memperhatikan hak-hak anak dengan melakukan tindakan perlindungan terhadap anak, seperti : 1. Perlakukan anak dengan asas praduga tak bersalah. 2. Perlakukan anak dengan arif, santun dan bijaksana, dan tidak seperti terhadap pelaku tindak pidana dewasa. 35 Marlina II, Op.cit, hlm Pasal 17 KUHAP 37 Pasal 18 KUHAP 38 Pasal 19 KUHAP

12 3. Saat melakukan penangkapan segera memberitahukan orang tua dan walinya. 4. Anak tertangkap tangan segera memberitahukan orang tua atau walinya. 5. Wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, polisi atau masyarakat berdasar pada asas kewajiban. 6. Penangkapan terhadap anak yang diduga sebagai tersangka bukan karena tertangkap tangan, merupakan kontak atau tahap pertama pertemuan antara anak dengan polisi. Tahap ini penting bagi seorang polisi menghindarkan anak dari pengalamanpengalaman traumatic yang akan dibawanya seumur hidup. Untuk itu polisi memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Menunjukkan surat perintah penangkapan legal kepada anakyang diduga sebagai tersangka dengan ramah dan bertanggung jawab. Cara yang ramah memberi rasa nyaman terhadap anak daripada rasa takut. 2) Menggunakan pakaian yang sederhana dan hindari penggunaan kendaraan yang bertanda/berciri khas polisi untuk menghindari tekanan mental anak akibat simbol-simbol polisiyang terkesan membahayakan dan mengancam diri anak. 3) Petugas yang melakukan penangkapan tidak boleh menggunakan kata-kata kasar dan bernada tinggi yang akan

13 menarik perhatian orang-orang yang berada di sekeliling anak. Penggunaan kata-kata yang bersahabat akan mempermudah anak menjalani setiap prosesnya dengan tenang dan tanpa rasa takut dan tertekan. 4) Membawa anak dengan menggandeng tangannya untuk menciptakan rasa bersahabat, hindari perlakuan kasar dan menyakitkan seperti memegang kerah baju atau bahkan menyeret dengan kasar. 5) Petugas tidak memerintahkan anak melakukan hal-hal yang mempermalukannya dan merendahkan harkat dan martabatnya sebagai manusia, seperti menyuruh membuka pakaian. Akan tetapi memberikan perlindungan perlindungan mental dan jiwa anak saat ditangkap. 6) Jika keadaan tidak memaksa dan membahayakan, polisi tidak perlu melakukan penangkapan dengan menggunakan borgol terhadap anak, karena perlakuan ini menyakitkan dan membuat trauma serta rasa malu dilihat masyarakat atau tetangganya. 7) Media massa tidak boleh melakukan peliputan proses penangkapan tersangka anak demi menjaga jati diri dan identitas anak. 8) Pemberian pelayanan kesehatan seperti pemeriksaan kesehatan fisik dan psikis anak sesegera setelah penangkapan.

14 Berkas pemeriksaan medis dan pengobatan anak menjadi bagian catatan kasus anak yang berhadapan dengan hukum. 9) Penangkapan yang dilakukan diinformasikan kepada orang tua/walinya dalam waktu tidak lebih dari 24 jam dan kesediaan orang tua/wali mendampingi anak dalam pemeriksaan di kantor polisi. 10) Pemberitahuan penangkapan anak tersangka kepada petugas Bapas di wilayah setempat atau pekerja sosial oleh polisi. Pemberitahuan dilakukan dalam waktu secepatnya tidak lebih dari 24 jam. 11) Polisi melakukan wawancara atau pemeriksaan di ruangan yang layak dan khusus untuk anak guna membrikan rasa nyaman kepada anak. b. Wawancara dan Penyidikan Tahap wawancara dan penyidikan polisi penting untuk kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Wawancara terhadap anak tersangka pelaku tindak pidana dilakukan secara berkesinambungan antara orang tua, saksi, dan orangorang lain yang diperlukan atau berkaitan dengan kasus tersebut. Langkah-langkah yang dapat membantu Polisi dalam melaksanakan wawancara secara efektif adalah sebagai berikut : Anak yang sedang diperiksa saat wawancara dilakukan harus didampingi orang tua/wali, orang terdekat dengan anak, dan atau orang yang paling 39 Marlina II, Op.cit, hlm.88

15 dipercaya oleh anak seperti orang tua angkat, saudara, pengasuh, pekerja sosial, dan sebagainya. Saat wawancara dengan anak seorang pendamping dihadirkan bertujuan untuk membantu kelancaran wawancara dan memberikan perlindungan terhadap anak; 2. Bahasa yang dipergunakan polisi dalam wawancara dengan anak mudah dimengerti, baik oleh anak yang bersangkutan maupun pendampingnya, jika anak dan pendampingnya kesulitan dalam menggunakan bahasa resmi yaitu bahasa Indonesia, maka Polisi harus menghadirkan penerjemah bahasa. Hal ini bertujuan agar pesan yang disampaikan polisi dapat benar-benar dipahami oleh anak dan pendampingnya; 3. Wawancara terhadap anak dilakukan pada kesempatan pertama, di antara wawancara dengan pihak lain seperti pendamping atau orang yang hadir saat itu; 4. Untuk menjaga perasaan anak, polisi menghindari penekanan kebohongan,intimidasi atau perlakuan keras atau kasar terhadap anak selama wawancara berlangsung. Tempat wawancara dilakukan dalam suasana ruangan yang nyaman dan terpisah dengan orang dewasa lainnya, sehingga anak tidak merasa ketakutan. Adapun teknik dasar melakukan wawancara terhadap anak yang harus dilakukan oleh Penyidik atau Polisi adalah : Menginformasikan kepada orang tua atau wali anak sesegera sebelum wawancara dimulai; 40 Ibid, hlm.89

16 2. Menginformasikan bahwa anak berhak mendapat bantuan hukum dari pihak pengacara atau advokat. Polisi juga menyampaikan kepada anak dan orang tua atau walinya mengenai pentingnya anak didampingi oleh penasihat hukum dan pekerja sosial yang kompeten, dan bagaimana cara mengakses bantuan tersebut; 3. Memperlakukan anak dengan pertimbangan keterbatasan kemampuan ataupun verbal dibandingkan dengan orang dewasa bahkan dibandingkan dengan diri Polisi itu sendiri. Tindakan yang salah terhadap anak membuat rasa trauma pada diri anak di masa depan; 4. Mengupayakan terciptanya suasana yang akrab di antara Penyidik yang sedang mewawancarai dan anak yang sedang diperiksa; 5. Tidak melakukan hal-hal yang membentuk tingkah laku anti sosial pada anak sehingga anak-anak putus asa menghadapi masalahnya yang menyebabkan rasa kehilangan masa depan; 6. Memberikan motivasi guna membangun rasa percaya anak dengan sikap peka pada kebutuhan anak, maka akan mempermudah mendapatkan informasi dari anak tersebut; 7. Memperkenalkan diri dengan benar. Hal ini akan membantu dalam memfasilitasi wawancara; 8. Melakukan wawancara sesegera mungkin setelah anak ditangkap atau ditahan. Hal ini akan menunjukkan keseriusan dan menjaga anak dalam membangun alibinya;

17 9. Mengatakan kepada anak bahwa ingin membantunya. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar anak tahu bahwa penyidik ingin bekerjasama dan peduli terhadap hari depannya; 10. Berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak yang bersangkutan, jika mungkin gunakan istilah-istilah yang populer diantara anak-anak; 11. Mengajak anak untuk mau berbicara. Pada umumnya anak akan tertarik pada diskusi tentang hal-hal yang menarik atau digemarinya. Hal ini akan membantunya merasa tenang dan nyaman; 12. Menjadi pendengar yang baik Konsentrasi dalam wawancara, sehingga anak akan merasa diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Hindarkan mengalihkan perhatian kepada orang lain selama wawancara berlangsung; 13. Bersikap sabar dan perlahan. Dalam menyelesaikan setiap kasus jangan menargetkan waktu tertentu antisipasi sejumlah hambatan dan hindari tekanan untuk mengungkapkan fakta-fakta; 14. Menghormati kepribadian anak. Perlakukan anak sebagai orang yang berharga, bermartabat, sebagai seseorang yang memerlukan bantuan dan pengertian; 15. Mengizinkan anak menulis ceritanya. Meninggalkan anak sendirian untuk melakukan ini apabila diperkirakan akan aman. Ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang Polisi dalam melakukan penyidikan terhadap anak, yaitu: Ibid

18 a. Penyidik melakukan kekerasan dan tindakan tidak wajar terhadap anak. Hal ini dapat menimbulkan trauma pada anak. b. Memberikan label buruk pada anak dengan menggunakan kata-kata yang sifatnya memberikan label buruk pada anak, seperti pencuri, maling, pembohong, dan lain-lain c. Penyidik kehilangan kesabaran sehingga menjadi emosi dalam melakukan wawancara terhadap anak d. Penyidik tidak boleh menggunakan kekuatan badan atau fisik atau perlakuan kasar lainnya yang dapat menimbulkan rasa permusuhan pada anak e. Membuat catatan atau mengetik setiap perkataan yang dikemukakan oleh anak pada saat Penyidik melakukan wawancara dengan anak. Seharusnya petugas mencatat poin-poin penting dari hasil wawancara, setelah selesai baru dibuat catatan yang lengkap hasil wawancara tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya Penyidik menggunakan alat-alat perekam yang tersembunyi untuk membantu mengingatnya. Dalam kasus yang tidak memerlukan tindak lanjut atau kasus ringan yang cukup mendapatkan peringatan (cautioning) saja, laporan harus dibuat dengan benar dan secepatnya, dan terpisah dengan laporan bagi kasus-kasus yang memerlukan tindak lanjut. Sebelum melakukan penyelidikan tentu harus diketahui terlebih dahulu apakah telah terjadi suatu tindak pidana. Jalur untuk mengetahuinya adalah melalui pengaduan, 42 laporan, 43 atau tertangkap tangan Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. Pasal 1 butir 25 KUHAP

19 Menurut Pasal 1 butir 5 KUHAP penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang. Dengan melakukan penyelidikan maka dapat ditentukan bahwa suatu peristiwa merupakan suatu peristiwa pidana, maka dilanjutkan dengan tahap penyidikan. Penyidikan terhadap anak pelaku tindak pidana dilakukan oleh penyidik anak, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau Pejabat yang ditunjuk olehnya. Dengan demikian penyidik umum tidak dapat melakukan penyidikan atas perkara anak pelaku tindak pidana, kecuali dalam hal tertentu seperti belum ada penyidik anak di tempat tersebut. 45 Adapun syaratsyarat untuk menjadi penyidik anak sesuai Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 adalah : a b Telah berpengalaman sebagai penyidik; Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. Dalam melakukan penyidikan anak, diusahakan dilaksanakan oleh polisi wanita (Polwan), dan dalam beberapa hal, jika perlu dengan bantuan polisi pria. Penyidik anak, juga harus mempunyai pengetahuan seperti psikologi, psikiatri, 43 Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan Undang-Undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Pasal 1 butir 24 KUHAP 44 Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. Pasal 1 butir 19 KUHAP 45 Darwan Prinst, S.H., Hukum Anak Indonesia, Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hlm.38

20 sosiologi, pedagogi, antropologi, dan juga menyintai anak dan berdedikasi, dapat menyelami jiwa anak dan mengerti kemauan anak. 46 Akan tetapi dalam hal-hal tertentu, karena penyidik anak belum ada, maka tugas penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik biasa bagi tindak pidana yang dilakukan orang dewasa, atau penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan Undang- Undang yang berlaku. Dalam melakukan penyidikan anak pelaku tindak pidana, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya (Pasal 42 ayat [2] Undang-Undang No.3 Tahun 1997). Laporan penelitian kemasyarakatan, dipergunakan oleh Penyidik Anak sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tindakan penyidikan, mengingat bahwa anak pelaku tindak pidana perlu mendapat perlakuan sebaik mungkin dan penelitian terhadap anak dilakukan secara seksama oleh peneliti kemasyarakatan (Bapas), agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar. Sebelum anak pelaku tindak pidana dihadapkan ke persidangan, harus melalui beberapa proses pemeriksaan dari instansi yang terkait dalam proses tata peradilan, dengan harapan untuk memperoleh hasil yang baik. Penelitian kemasyarakatan terhadap anak perlu dilakukan, sehingga keputusan yang dihasilkan mempunyai dampak yang positif, baik bagi anak nakal maupun terhadap pihak yang dirugikan, serta untuk menegakkan hukum dan keadilan. Penelitian kemasyarakatan terhadap anak pelaku tindak pidana, bertujuan agar hasil pemeriksaan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Berdasarkan laporan 46 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2008, hlm.101

21 penelitian kemasyarakatan, Penyidik anak dapat mempertimbangkan berkas perkara/berita Acara Pemeriksaan (BAP) diteruskan kepada pihak kejaksaan atau tidak. Dalam penelitian kemasyarakatan, dilakukan penelitian tentang latar belakang kehidupan dan lingkungan sosial, ekonomi serta hal-hal lain yang ada kaitannya dengan tersangka. Penelitian ini paling tidak harus dapat mengungkapkan seseorang melakukan perbuatan itu karena terpaksa atau akibat dipaksa orang lain, atau situasi/kondisi lingkungan yang memungkinkan dilakukan kejahatan, dan faktor victim (korban) juga dapat mendorong orang melakukan pelanggaran hukum, dan faktor lain yang dapat dijadikan pertimbangan bagi proses perkaranya. 47 Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang No.3 Tahun 1997, menentukan bahwa dalam melakukan penyidikan anak nakal, Penyidik dibantu Pembimbing kemasyarakatan. Pasal 34 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.3 Tahun 1997, menentukan bahwa pembimbing kemasyarakatan bertugas membantu memperlancar penyidikan dengan membuat laporan penelitian kemasyarakatan. Pembimbing Kemasyarakatan harus siap memberikan pertimbangan atau saran yang diperlukan oleh Penyidik. Hal ini mencerminkan perlindungan hukum terhadap anak. Bila penyidikan dilakukan tanpa melibatkan Pembimbing Kemasyarakatan, penyidikan batal demi hukum. 48 Proses penyidikan anak nakal, wajib dirahasiakan (Pasal 42 ayat [3] Undang-Undang No.3 Tahun 1997). Tindakan Penyidik berupa penangkapan, penahanan, dan tindakan lain yang dilakukan secara rahasia. Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap Penyidik, apabila 47 Ibid, hlm Ibid

22 kewajiban ini dilanggar, dan tidak mengatur akibat hukum terhadap hasil penyidikan. Hal ini memengaruhi kualitas kerja pihak Penyidik dan sangat berpengaruh terhadap perlindungan anak. Anak dapat menjadi korban ketidaktegasan Undang-Undang No.3 Tahun hal ini dapat menimbulkan kerugian fisik, mental, sosial anak, karena dapat mengahambat perkembangan fisik, mental dan sosial anak dalam pergaulan hidupnya. Pelanggaran kerahasiaan proses penyidikan anak nakal, tidak dapat digugat melalui sidang pra-peradilan, karena pelanggaran tersebut bukan tergolong alasan untuk diajukan pra-peradilan. Dalam menanggulangi pelanggaran tersebut, ketika perkara anak diperiksa di persidangan, terdakwa atau penasihat hukum dapat menyampaikan keberatan (Pasal 156 ayat [1] KUHAP) terhadap surat dakwaan. Alasan keberatan adalah, bahwa surat dakwaan tidak memiliki landasan hukum yang benar, karena dibuat berdasarkan hasil penyidikan yang tidak sah, yang pada waktu proses penyidikan tidak dirahasiakan oleh Penyidik. Keberatan tersebut didukung oleh bukti-bukti yang dapat meyakinkan Hakim dalam mengambil keputusan selanya, apabila Hakim sependapat dengan terdakwa/penasihat hukumnya. 49 Perkara anak nakal dapat diajukan ke sidang pengadilan, adalah perkara anak nakal yang berumur minimal 8 (delapan) tahun dan maksimum belum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan yang belum pernah kawin. Namun Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997, masih memungkinkan dilakukan penyidikan anak yang berumur di bawah 8 (delapan) tahun, padahal berkas perkaranya tidak akan dilimpahkan ke Kejaksaan, untuk dilakukan penuntutan di persidangan. Tujuan dilakukan penyidikan terhadap anak yang belum berumur 8 49 Ibid, hlm.103

23 tahun yang diduga melakukan kenakalan, adalah untuk mengetahui bahwa anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana seorang diri, atau ada orang lain yang terlibat atau anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang lain, yang dalam hal ini yang berumur 8 tahun keatas dan atau orang dewasa. Apabila anak yang berumur 8 tahun melakukan tindak pidana dengan yang belum berumur 8 tahun, maka penyidikannya dilakukan lebih lanjut. Apabila anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana dengan orang dewasa, maka penyidikannya terpisah dengan anak, dan berkasnya pun dipisah. Demikian juga penuntutan dan persidangannya dengan anak nakal dipisahkan. Penyidikan anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun, tetap menjunjung tinggu asas praduga tak bersalah. Menjadi masalah apabila hal ini dikaitkan dengan tindakan penahanan. Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tidak mengatur dengan tegas, anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun yang diduga melakukan tindak pidana dapat ditahan atau tidak. Dalam kedudukannya sebagai tersangka, bila merujuk pada Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997, Penyidik berwenang melakukan penahanan anak yang diduga keras melakukan kenakalan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Syarat penahanannya sama dengan anak nakal yang berumur 8 (delapan) tahun atau lebih, yaitu sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat (Pasal 45 ayat [1] Undang- Undang No.3 Tahun 1997). Jadi secara yuridis, anak yang belum berumur 8 tahun dapat dilakukan penahanan. 50 Bila ditinjau dari aspek perlindungan anak, ketentuan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 yang berkaitan dengan kemungkinan penahanan anak yang belum 50 Ibid, hlm.104

24 berumur 8 (delapan) tahun, yang diduga keras melakukan tindak pidana, tidak mencerminkan/memberikan perlindungan hukum terhadap anak. Terhadap anak yang bersangkutan dapat dilakukan penyidikan, namun seharusnya tidak dilakukan penahanan. Mengingat anak masih kecil dan perkaranya tidak dilanjutkan ke persidangan/pengadilan serta mengingat tujuan penyidikannya untuk mengetahui keterlibatan pihak lain (anak nakal atau orang dewasa), demi kepentingan anak/perlindungan anak, sebaiknya anak yang berumur dibawah 8 (delapan) tahun yang diduga keras melakukan tindak pidana, tidak ditahan. 51 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 menetukan bahwa bila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak tersebut masih dapat dibina oleh orangtua/wali/orangtua asuhnya, maka Penyidik mengembalikan anak tersebut kepada orangtua/wali/orangtua asuhnya untuk dibina. Hal ini wajar dan logis sebab anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun, bahkan anak yang umurnya 8 (delapan) tahun atau lebih, lebih baik dibina kembali oleh orangtua/wali/orangtua asuhnya, sebab merekalah yang mengetahui karakter anak tersebut. Keputusan pengembalian anak kepada orangtua/wali/orangtua asuhnya, dilakukan oleh Penyidik dengan terlebih dahulu mendengar pertimbanganpertimbangan yang diberikan oleh pembimbing kemasyarakatan, yang telah melakukan penelitian kemasyarakatan terhadap anak tersebut, dan pertimbanganpertimbangan ahli-ahli lainnya. 52 Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang tahun 1997 menentukan bahwa apabila menurut Penyidik, yang bersangkutan tidak dapat dibina kembali oleh orangtua/wali/orangtua asuhnya, maka Penyidik menyerahkannya kepada 51 Ibid 52 Ibid, hlm. 105

25 Departemen Sosial, setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan dan atau pertimbangan ahli-ahli lainnya, seperti pertimbanganpertimbangan kriminolog, psikolog. c. Penghentian Penyidikan Penyidikan merupakan kompetensi Penyidik, termasuk menghentikannya (Pasal 109 ayat [2] KUHAP). Alasan pemberian wewenang penghentian penyidikan ada 2 (dua), yaitu : 53 a. Untuk menegakkan prinsip penegakan hukum yang cepat, tepat, dan biaya ringan, sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika Penyidik berkesimpulan bahwa hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka ke persidangan, Penyidik secara resmi menyatakan penghentian pemeriksaan penyidikan, agar dengan demikian segera tercipta kepastian hukum. b. Supaya penyidikan terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian, jika perkaranya diteruskan ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut ataupun menghukum, dengan sendirinya memberi hak kepada tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan Pasal 95 KUHAP. Dalam menghentikan penyidikan, ada beberapa alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu: Ibid, hlm Ibid

26 a. Tidak diperoleh bukti yang cukup; Penyidik sering tidak mengabaikan kekuatan bukti-bukti perkara yang diajukan ke Penuntut Umum. Hal ini menyulitkan penegakan keadilan. b. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana; jika kasus hukum yang disangkakan bukan termasuk perkara pidana, melainkan perkara perdata, maka pemeriksaan perkara itu dihentikan. c. Penghentian penyidikan demi hukum; pada pokoknya sesuai dengan alasanalasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana. Menegakkan asas nebis in idem (seseorang tidak boleh dituntut untuk kedua kalinya terhadap suatu perkara yang sudah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh Hakim atau pengadilan yang berwenang, dan putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap). Apabila tersangka meninggal dunia, maka perkaranya harus dihentikan dan lain-lain alasan penghentian penyidikan. d. Delik yang terjadi merupakan delik aduan, yang dapat dilakukan pencabutannya e. Penghentian penyidikan juga dilakukan apabila ada perdamaian antara pihak anak pelaku tindak pidana dengan korban. d. Hak-hak Tersangka Hak-hak tersangka meliputi: 55 a. Hak untuk mendapat surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan Hakim (Pasal 21 ayat [2] KUHAP) 55 Ibid, hlm.109

27 b. Hak untuk menerima tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan Hakim (Pasal 21 ayat [3] KUHAP) c. Hak untuk mengajukan keberatan terhadap perpanjangan penahanan (Pasal 29 ayat [7] KUHAP) d. Hak untuk menerima ganti kerugian (Pasal 30 KUHAP) e. Hak segera mendapatkan pemeriksaan Penyidik (Pasal 50 ayat [1] jo Pasal 122 KUHAP) f. Hak agar perkaranya segera dimajukan ke pengadilan dan diadili (Pasal 50 ayat [2] dan ayat [3] KUHAP) g. Hak meminta penjelasan yang disangkakan (Pasal 51 huruf a KUHAP) h. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas (Pasal 52 dan Pasal 117 KUHAP) i. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum (Pasal 54 KUHAP) j. Hak untuk menghubungi dan meminta kunjungan dokter pribadi (Pasal 58 KUHAP) k. Hak untuk diberitahukan tentang penahanan terhadap dirinya (Pasal 59 KUHAP) l. Hak untuk menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarga/yang mempunyai hubungan kekeluargaan (Pasal 60 KUHAP) m. Hak untuk menerima atau mengirim surat kepada penasihat hukum atau sanak keluarganya (Pasal 62 ayat [1] KUHAP) n. Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan (Pasal 63 KUHAP)

28 o. Hak untuk meminta turunan Berita Acara Pemeriksaan (Pasal 72 KUHAP) p. Hak untuk meminta pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan (Pasal 79 dan Pasal 124 KUHAP) q. Hak untuk mengajukan keberatan atas penahanan dan jenis penahanan (Pasal 123 ayat [1] KUHAP) Hak-hak anak yang menjadi sorotan utama dalam proses ini, sebagai berikut: Sebagai tersangka : a. Hak-hak yang diperoleh sebagai tindakan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan (fisik, psikologis, dan kekerasan) b. Hak untuk didampingi pengacara c. Hak untuk mendapatkan fasilitas Sebagai saksi korban (victim): a. Hak untuk dilayani karena penderitaan fisik, mental dan sosial atau penyimpangan perilaku sosial b. Hak didahulukan dalam proses pemeriksaan, penerimaan laporan, pengaduan, dan tindakan lanjutan dari proses pemeriksaan c. Hak untuk dilindungi dari bentuk-bentuk ancaman kekerasan dari akibat laporan dan pengaduan yang diberikan.

29 d. Penahanan Penahanan ialah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh Penyidik, atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang. 56 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 dan KUHAP, menetukan bahwa tersangka atau terdakwa dapat ditahan. Karena ada istilah dapat ditahan, berarti penahanan anak tidak selalu dilakukan, sehingga dalam hal ini Penyidik diharapkan betul-betul mempertimbangkan apabila melakukan penahanan anak. Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP, alasan penahanan adalah karena ada kekhawatiran melarikan diri, agar tidak merusak atau menghilangkan barang bukti, agar tidak mengulangi tindak pidana. Menurut hukum acara pidana, menghilangkan kemerdekaan seseorang tidak merupakan keharusan, tetapi untuk mencari kebenaran bahwa seseorang melanggar hukum, kemerdekaan seseorang itu dibatasi dengan melakukan penangkapan dan penahanan. Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 menentukan bahwa untuk kepentingan penyidikan, Penyidik berwenang melakukan penahanan anak yang diduga keras melakukan tindak pidana (kenakalan) berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Jangka waktu penahanan untuk kepentingan penyidikan, paling lama adalah 20 (dua puluh) hari, untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang paling lama 10 (sepuluh) hari. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, Penyidik harus sudah menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Jangka waktu penahanan anak pelaku tindak pidana lebih singkat daripada penahanan orang dewasa. Hal ini positif dari segi 56 Pasal 1 butir 21 KUHAP

30 aspek perlindungan anak, sebab anak tidak perlu terlalu lama berada dalam tahanan, sehingga tidak mengganggu pertumbuhan anak baik secara fisik, mental maupun sosial. Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997, menetukan bahwa penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No.3 Tahun 1997, menentukan bahwa alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. Tempat penahanan anak, harus dipisahkan dari tempat penahanan orang deawasa dan selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak harus tetap terpenuhi ( Pasal 45 ayat [3] dan ayat [4] Undang-Undang No.3 Tahun 1997). Penahanan anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan anak, yang tempatnya terpisah dari narapidana anak. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan psikologis, untuk mengihindari akibat negatif sebab anak yang ditahan belum tentu terbukti melakukan kenakalan, bergaul dengan narapidana anak, dikhawatirkan dapat menularkan pengalaman-pengalamannya kepada anak yang berstatus tahanan, dan mempengaruhi perkembangan mentalnya. Dalam praktik, diketahui bahwa tahanan anak digabung dengan orang dewasa. Hal ini sangat berbahaya dan tidak mencerminkan perlindungan anak. Narapidana anak dan tahanan anak, terpengaruh dengan sikap dan tindakan tahanan dewasa. Anak bisa saja mengetahui pengalaman-pengalaman melakukan kejahatan yang belum

31 pernah didengar dan dilakukannya, atau bahkan anak dapat menjadi korban pelecehan seksual selama berada dalam tahanan tersebut Tahap Penuntutan a. Penuntut Umum Anak Menurut proses peradilan pidana, tahapan setelah penyidikan yaitu tahapan penuntutan. Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan. 58 Yang dimaksud dengan jaksa yang lebih populer dengan sebutan Penuntut Umum adalah : 59 a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang- Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim. Kedudukan jaksa dalam menjalankan tugas dalam penuntutan anak, diartikan oleh Undang-Undang No.3 Tahun 1997 dengan mengelompokkan secara umum, bahwa penuntutan yang dilakukan jaksa hanya dilakukan kepada anak 57 Op.cit, hlm Pasal 1 butir 7 KUHAP 59 Pasal 1 butir 6 KUHAP

32 pelaku tindak pidana (pengelompokan anak yang melakukan tindak pidana kejahatan dan pelanggaran). Ketentuan Pasal 53 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 menyebutkan ketentuan syarat-syarat seorang jaksa yang layak dan dapat ditugaskan untuk menangani anak yang melakukan tindak pidana. Jaksa yang dimaksud sebagai berikut : Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan SK Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung; 2. Penuntut Umum yang telah berpengalaman dalam menangani masalah penuntutan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; 3. Penuntut Umum yang mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak; 4. dalam hal tertentu dapat ditugaskan kepada Penuntut Umum yang telah melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Kedudukan jaksa sebagai Penuntut Umum menjalankan tugasnya dalam perkara anak wajib dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan dan melakukan penahanan terhadap anak sebagai penahanan lanjutan selama 10 hari dan dapat diperpanjang menjadi 15 hari. Dalam jangka waktu 25 hari dakwaan Penuntut Umum terhadap anak yang melakukan tindak pidana kejahatan dan atau pelanggaran sudah dilimpahkan kepada Pengadilan Anak. 61 Penuntutan dikaitkan dengan prapenuntutan terlihat adanya hubungan yang erat antara jaksa Penuntut Umum dengan pihak penyidik dalam penanganan kasus pidana. Jaksa Penuntut Umum berwenang mengembalikan berkas perkara kepada 60 M. Hassan Wadong, Op.cit, hlm Ibid

33 penyidik dengan tujuan penyempurnaan penyidikan yang disebut dengan prapenuntutan. Tugas penyidik selesai apabila berkas perkara dinyatakan sudah lengkap (telah diterbitkan P-21), berakhirlah masa prapenuntutan beralih menjadi penuntutan. Hubungan jaksa Penuntut Umum sejak penuntutan adalah dengan Hakim dalam penyidangan perkara. Setelah Penuntut Umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, Penuntut Umum segera menentukan apakah berkas perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139 KUHAP). 62 Apabila Penuntut Umum anak berpendapat, bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan (Pasal 54 Undang-Undang No.3 Tahun 1997) maka ia wajib dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai KUHAP. Waktu secepatnya dimaksud, adalah berkaitan dengan masa penahanan atas diri tersangka/terdakwa, sebagaimana diatur dalam Pasal-Pasal 44 sampai dengan 50 Undang-Undang No.3 Tahun Pasal 143 KUHAP menentukan, bahwa Surat Dakwaan harus memenuhi syarat formal dan syarat material. 63 Syarat formal dari suatu surat dakwaan meliputi : a. diberi tanggal b. memuat identitas terdakwa secara lengkap, seperti : 1) nama atau alias; 2) umur/tempat tanggal lahir; 3) jenis kelamin 4) agama; 5) kebangsaan. 62 Marlina II, Op.cit, hlm Darwan Prinst, S.H., Op.cit, hlm.50

34 c. Diberi tanggal dan tempat pembuatan surat dakwaan d. Ditandatangani dan cap jabatan Penuntut Umum Syarat material dari suatu Surat Dakwaan sesuai Pasal 143 ayat (2) KUHAP harus memuat uraian secara: a. Cermat Cermat berarti, bahwa surat dakwaan itu dipersiapkan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku bagi terdakwa, tidak terdapat kekurangan atau kekeliruan, misalnya: 1) Apakah ada pengaduan dalam hal delik aduan? 2) Apakah penerapan hukum/ketentuan pidananya sudah tepat; 3) Apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan? Perhatikan ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHAP. 4) Apakah belum daluwarsa? 5) Apakah tidak nebis in idem? Dalam hal ini juga perlu diperhatikan, apakah terjadi pelanggaran Hukum Acara Pidana (KUHAP) ketika memproses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan atau tidak? Apakah tersangka/terdakwa ketika disidik didampingi oleh penasihat hukum atau tidak? Ini terutama sekali dalam hal-hal yang diwajibkan oleh Pasal 56 KUHAP. b. Jelas Jelas berarti, bahwa surat dakwaan harus mampu merumuskan semua unsur-unsur delik yang didakwakan dan uraian perbuatan material yang dilakukan oleh terdakwa.

35 c. Lengkap Lengkap berarti, bahwa surat dakwaan harus mencakup semua unsurunsur yang ditentukan KUHAP, seperti: 1) Locus delicti (tempat kejadian tindak pidana), dan 2) Tempus delicti (waktu terjadinya tindak pidana). Setelah surat dakwaan diselesaikan dengan sempurna seterusnya dilakukan pelimpahan berkas perkara ke pengadilan. Sebagai tindak lanjut pelimpahan berkas perkara ke pengadilan, penuntut berkewajiban menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada siding yang telah ditentukan. Tindakan untuk memberikan perlindungan terhadap anak sebagai terdakwa, dilakukan oleh jaksa berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh hukum, yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1959 tentang bagaimana memperlakukan sistem peradilan pidana anak yang sebenarnya. Dalam hal jaksa melakukan tugas penuntutan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (7), Pasal 14, Pasal 110 ayat (3), Pasal 138 KUHAP sebagai pedoman pelaksanaan penuntutan dan prapenuntutan; juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan penuntutan yang diatur dalam surat edaran Mahkamah Agung, No.3 Tahun 1959; khususnya yang mengatur tentang sikap jaksa dan cara jaksa dalam melakukan tugas penuntutan terhadap seorang anak yang menjadi terdakwa. Dalam tugastugas, Penuntut Umum diwajibkan untuk mengikuti anjuran yang ditentukan sebagai berikut: M.Hassan Wadong, Op.cit, hlm.72

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.153, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5332 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan wawancara terhadap sejumlah responden yang akan memberikan gambaran

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK TERSANGKA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Dalam hukum acara pidana ada beberapa runtutan proses hukum yang harus dilalui, salah satunya yaitu proses penyidikan. Proses Penyidikan adalah tahapan-tahapan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke- 19, dimana anak

I. PENDAHULUAN. Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke- 19, dimana anak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Pembahasan mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah sekaligus cermin

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam kandungan. Anak sebagai sumber daya manusia dan bagian dari generasi muda, sudah

I. PENDAHULUAN. dalam kandungan. Anak sebagai sumber daya manusia dan bagian dari generasi muda, sudah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak sebagai sumber daya manusia dan bagian dari generasi muda,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA www.legalitas.org UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepolisian Republik Indonesia 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, SALINAN BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2015 JAKSA AGUNG. Diversi. Penuntutan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 006/A/J.A/04/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak kejahatan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak kejahatan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak kejahatan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini adalah kekerasan seksual terhadap anak. Anak adalah anugerah tidak ternilai yang dikaruniakan

Lebih terperinci

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Persamaan Delik Pembunuhan Tidak Disengaja Oleh Anak di Bawah Umur Menurut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

WAWANCARA. Pewawancara : Dame Hutapea (Mahasiswa Fak. Hukum Universitas Esa Unggul)

WAWANCARA. Pewawancara : Dame Hutapea (Mahasiswa Fak. Hukum Universitas Esa Unggul) WAWANCARA Pewawancara : Dame Hutapea (Mahasiswa Fak. Hukum Universitas Esa Unggul) Terwawancara : AKP Sri Pamujiningsih (Kanit dan Penyidik Unit PPA Polres Metro Jakarta Utara. A. Wawancara dengan unit

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI KASUS POLRESTA SURAKARTA) SKRIPSI

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN PENYIDIK DALAM PROSES PENYIDIKAN PIDANA ANAK. 2.1 Prosedur Penyidikan dalam Hukum Acara Pidana

BAB II KEWENANGAN PENYIDIK DALAM PROSES PENYIDIKAN PIDANA ANAK. 2.1 Prosedur Penyidikan dalam Hukum Acara Pidana BAB II KEWENANGAN PENYIDIK DALAM PROSES PENYIDIKAN PIDANA ANAK 2.1 Prosedur Penyidikan dalam Hukum Acara Pidana Dalam sistem hukum Indonesia, hukum pidana dapat diartikan secara sempit dan dapat diartikan

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN SALINAN BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya perlakuan terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 24 BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK A. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Diversi 1. Pengertian Diversi Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Di tangan mereka peranperan strategis

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice

Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice NOVELINA MS HUTAPEA Staf Pengajar Kop.Wil. I dpk Fakultas Hukum USI P.Siantar Ringkasan Undang-undang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dilahirkan sebagai makhluk yang bersifat individual dan juga bersifat sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing yang tentu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga baik oleh masyarakat maupun Negara karena dalam dirinya melekat harkat,

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN RESTITUSI BAGI ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN RESTITUSI BAGI ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN RESTITUSI BAGI ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci