BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindakan kejahatan seksual terhadap anak merupakan salah satu tindakan yang melanggar norma agama, kesusilaan, dan kesopanan. Hal ini merupakan pencerminan moralitas yang buruk di Indonesia yang tidak bisa dibiarkan saja. Moralitas yang buruk akan membuat bangsa yang buruk pula. Kejahatan seksual terhadap anak merupakan pelanggaran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah dilakukan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun Anak dan perempuan yang merupakan golongan yang paling rentan menjadi korban akan kejahatan seksual tentu wajib diutamakan untuk dilindungi. Tindak pidana sejak dulu hingga sekarang selalu mendapatkan sorotan, baik itu dari kalangan pemerintah maupun masyarakat. Persoalan kejahatan bukanlah merupakan persoalan yang sederhana terutama pada masyarakat yang sedang mengalami perkembangan globalisasi seperti Negara Indonesia. Perkembangan itu mengakibatkan terjadinya perubahan tata nilai dan sosial. Perubahan ke arah positif berakibat pada kehidupan masyarakat yang harmonis dan sejahtera sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, sedangkan perubahan yang bersifat negatif akan menjurus ke arah runtuhnya nilai-nilai positif budaya yang sudah ada sehingga menimbulkan suatu tindak pidana di tengah kehidupan masyarakat. Perkembangan masyarakat akibat era globalisasi ini rupanya berdampak pula pada dunia kejahatan, salah satunya yakni kejahatan terhadap kesusilaan menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran bagi masyarakat terutama kejahatan-kejahatan seksual (Wira Pratiwi, 2012: 3). Siapapun dapat menjadi pelaku dalam suatu tindak pidana baik anak-anak, dewasa maupun orang tua, baik laki-laki atau perempuan. Korban akibat tindak pidana ini juga beragam, mulai dari anak-anak, dewasa maupun orang yang berusia lanjut. 1

2 2 Tindak pidana persetubuhan pada anak telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya pada Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 disebutkan bahwa: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp ,00 (enam puluh juta rupiah). Ketentuan ancaman pidana dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah dirubah dan diperberat berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). Perkara pidana persetubuhan terhadap anak dan perkara pidana lain wajib dilakukan pemeriksaan guna mendapatkan kebenaran materiil. Kebenaran materiil adalah kebenaran yang selengkap-lengkapnya sesuai suatu tindak pidana yang telah terjadi. Kebenaran materiil tidak terlepas dari masalah pembuktian. Pembuktian dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya. Dalam Pasal 184 KUHAP diatur mengenai Alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dewasa ini semakin banyak terjadi kasus kejahatan seksual seperti pencabulan, pemerkosaan, dan kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan anak maupun orang dewasa. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, pada terdapat 21,8 juta kasus

3 3 pelanggaran hak anak. Sebanyak 58% dari angka tersebut adalah kasus kekerasan seksual. Berbagai kasus pemerkosaan anak di bawah umur (bahkan oleh keluarga terdekat seperti ayah, kakek, dan paman) kian marak terjadi. Kasus ini menambah daftar panjang kasus kekerasan seksual terhadap anak. Kekerasan pada anak terdiri atas kekerasan seksual fisik, emosional, eksploitasi anak, perdagangan anak, dan penelantaran anak ( diakses tanggal 15 Juni 2016 pukul 17.00). Salah satu cara yang digunakan oleh aparat penegak hukum untuk mengungkapkan tindak pidana ini adalah dengan meminta bantuan ahli. Bantuan ahli dalam menangani kasus persetubuhan memang sangat diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil. Saat menangani perkara, penegak hukum tidak dapat memutuskan sendiri kebenaran suatu perkara dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Menghadapi hal demikian, maka keberadaan seorang ahli sangat membantu dalam pengungkapan suatu perkara pidana. Bantuan ahli tersebut adalah dokter ahli dalam kedokteran kehakiman forensik yang berkaitan erat dengan Ilmu Kedokteran Kehakiman. Menurut Ranoemihardja dalam buku Tolib Setiady mengenai Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman menyatakan bahwa Ilmu Kedokteran Kehakiman adalah ilmu yang menggunakan ilmu kedokteran untuk membantu peradilan baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara lain seperti perdata (Tolib Setiady, 2009: 2). Perkara tindak pidana persetubuhan secara berlanjut yang mengakibatkan kehamilan dilakukan pembuktian dengan cara pemeriksaan dokter forensik yang dituangkan dalam Visum et Repertum. Visum et Repertum sebagai salah satu alat bukti yang berupa surat atau keterangan ahli yang tertuang dalam suatu laporan hasil pemeriksaan berupa perwujudan hasil-hasil yang dibuat berdasarkan atas ilmu, teknik serta pengalaman yang sebaik-baikmya dari seorang ahli, dalam hal ini adalah dokter forensik.

4 4 Dalam memberikan kesaksian di Pengadilan, dokter ini disumpah karena profesinya memang sebagai dokter ahli forensik. Peranan dari alat bukti laporan hasil pemeriksaan yang berupa Visum et Repertum sangat membantu di dalam persidangan oleh Hakim, terutama apabila dalam perkara tersebut hanya ditemukan alat bukti yang sangat minim (Soeparmono, 2011: 17-19). Agar keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti, di samping faktor orang yang memiliki keahlian khusus dibidangnya, harus pula dipenuhi faktor lain yaitu keterangan yang diberikan hendaklah berbentuk keterangan menurut pengetahuannya secara murni (Andi Hamzah, 2013: 300). Visum et Repertum tidak disebutkan secara langsung dan tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), namun tersirat dari ketentuan Pasal 186 dan Pasal 187 yang berbunyi : Pasal 186 KUHAP Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. Pasal 187 (c) KUHAP Surat keterangan dari seorang ahli yang dimuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau seuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. Kedua pasal tersebut termasuk dalam alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan KUHAP. Melalui pendekatan yuridis Visum et Repertum didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menunjukkan terdapat masalah mendasar yaitu kedudukan Visum et Repertum masuk dalam alat bukti keterangan ahli atau alat bukti surat yang kedua alat bukti ini sah menurut hukum sesuai Pasal 184 KUHAP. Kedudukan Visum et Repertum kendatipun isinya berupa keterangan ahli yang diberikan dibawah sumpah dan diluar persidangan dengan kualifikasinya termasuk sebagai alat bukti surat dan bukan alat bukti keterangan ahli. Akan tetapi apabila Visum et Repertum dihubungkan dengan Pasal 1 Staatsblad 1937 Nomor 350 dapat dianggap sebagai keterangan ahli sehingga keterangan ahli merupakan alat bukti yang sah dalam Pasal 184 KUHAP.

5 5 Visum et Repertum harus diakhiri dengan kesimpulan hasil pemeriksaan yang jelas, sehingga kalangan yang mempergunakan alat bukti ini dapat memahami hasil pemeriksaan dokter pada korban, terutama mengenai hubungan sebab-akibat luka atau sebab kematian, sehingga laporan Visum et Repertum dapat menjadi pedoman dalam menuntut penjatuhan hukuman atau membebaskan seorang terdakwa dari tuntutan hukuman (Djisman Samosir, 2013: 136). Visum et Repertum pada korban tindak pidana persetubuhan terdapat beberapa luka pada bagian tertentu dan terdapat beberapa ciri tertentu terhadap korban. Biasanya korban akan mengalami depresi atau tekanan jiwa, yang berakibat dengan masa depan korban sehingga biasanya korban akan merasa dikucilkan dalam kegiatan sehari-hari dilingkungannya. Anak merupakan pihak yang sangat rentan menjadi sasaran tindak kekerasan. Hal ini dikarenakan anak merupakan obyek yang lemah secara sosial dan hukum, sehingga anak sering dijadikan bahan eksploitasi dan pelampiasan tindak pidana karena lemahnya perlindungan yang diperlukan baik oleh lingkungan sosial maupun negara terhadap anak. Hal inilah yang menyebabkan maraknya kasus kekerasan terhadap anak terjadi disekitar lingkup sosial masyarakat indonesia (Nesya Yulia, 2015: 4). Kasus kejahatan asusila terhadap anak yang terjadi di masyarakat salah satunya adalah kasus tindak pidana persetubuhan terhadap anak pada Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor: 32/pid.Sus/2015/PN.Kln. Kasus tindak pidana ini membutuhkan pengajuan alat bukti Visum et Repertum dipersidangan. Terdakwa yang melakukan tindak pidana persetubuhan adalah Laki-laki yang bernama A. Hasyim Asy ari berusia 31 tahun dan korbannya berusia 16 tahun. Peristiwa tindak pidana persetubuhan ini terjadi sebanyak 30 kali dihotel yang berlokasi di wilayah Klaten, terdakwa dan korban bertemu disuatu tempat yaitu diterminal lalu berpindah tempat ke Hotel Srikandi. Kronologi kejadian awal mulanya pada sekitar bulan April 2014, terdakwa yang sedang naik kereta api dari arah cilegon menuju ke

6 6 Yogyakarta kemudian bertemu dan berkenalan dengan saksi Ny. Rabiyem, dalam perkenalan tersebut terdakwa bercerita tentang pribadinya dan mengungkapkan kepada saksi Ny. Rabiyem bahwa ia ingin menjadi anak angkat dari saksi Ny Rabiyem dengan alasan karena bapaknya sudah meninggal dan ibunya sakit-sakitan lalu karena merasa iba dengan diri terdakwa akhirnya saksi Ny. Rabiyem pun menyetujui permintaan terdakwa dan kemudian mereka pun saling bertukar nomor telepon hingga perkenalan tersebut pun berkelanjutan, selang 2 hari kemudian terdakwa datang kerumah saksi Ny. Rabiyem dan menginap kurang lebih selama 3 hari setelah itu terdakwa sempat pamitan mau pergi ke kota padang dengan maksud untuk menengok ibunya yang sedang sakit kritis. Selanjutnya beberapa hari kemudian tepatnya pada hari Jumat tanggal 11 April 2014, sekira pukul Wib terdakwa datang kembali ke rumah saksi Ny. Rabiyem dan malam harinya sekira pukul Wib beberapa teman dari anak saksi Ny. Rabiyem termasuk salah satunya adalah saksi korban Jihan Delhi Romansya datang kerumah saksi Ny. Rabiyem dalam rangka untuk memberikan kejutan ulang tahun kepada saksi Siti Hajarryanti yaitu anak dari saksi Ny. Rabiyem, keesokannya pada hari Sabtu tanggal 12 April 2014 sekira jam Wib sewaktu ada acara perayaan ulang tahun dirumah saksi Siti Hajarryanti ketika terdakwa melihat saksi korban datang ke acara tersebut lalu terdakwa meminta kepada saksi Ny. Rabiyem untuk dikenalkan dengan saksi korban setelah itu saksi Ny. Rabiyem menghampiri saksi korban dan berkata Jihan itu mas ari pengen kenal sama kamu lalu saksi korban menjawab Ya nggak papa dan kemudian terjadilah perkenalan antara terdakwa dengan saksi korban dan setelah itu keduanya saling bertukar nomor Handphone, yang kemudian selang satu bulan proses berjalannya waktu dari perkenalan tersebut kemudian berlanjut menjadi hubungan cinta / pacaran antara terdakwa dan saksi korban, selanjutnya dalam menjalin hubungan pacaran tersebut terdakwa yang statusnya sudah menikah dan mempunyai 1 (satu) orang anak berusaha menyakinkan saksi korban dengan mengatakan bahwa dirinya belum menikah dan belum mempunyai anak selain itu terdakwa juga

7 7 menyampaikan ingin menjalin hubungan yang serius dengan saksi korban bahkan sampai berjanji ingin menikahinya hingga akhirnya saksi korban pun percaya dengan perkataan terdakwa tersebut lalu sejak saat itu lah terdakwa dan saksi korban resmi mulai berpacaran dan terdakwa mulai melakukan persetubuhan terhadap saksi korban secara berulang kali kurang lebih sebanyak 30 kali dan 10 kali diantaranya persetubuhan tersebut dilakukan di hotel yang berlokasi di wilayah Klaten. Saat itu korban dirayu oleh terdakwa untuk melakukan persetubuhan lalu terdakwa juga memberikan janji kepada korban untuk menikahinya, akan tetapi korban tidak dinikahi, akibat perbuatan terdakwa tersebut menyebabkan saksi korban Jihan Delhi Romansya merasa malu, terhina serta menghancurkan nama baik keluarga dan merusak masa depan saksi korban karena saksi korban akhirnya hamil. Keterangan dari dokter ahli forensik dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukan suatu persetubuhan yang terjadi antara korban dengan terdakwa. Keterangan dokter ahli yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis atau dalam bentuk surat pemeriksaan medis. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum dengan judul KEKUATAN ALAT BUKTI VISUM ET REPERTUM DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA MENGAJAK ANAK BERSETUBUH SECARA BERLANJUT SEBAGAI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KLATEN NOMOR 32/Pid. Sus/2015/PN.KLN). B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang penulis paparkan di atas, serta agar permasalahan yang akan diteliti menjadi lebih jelas dan dapat mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan oleh penulis,

8 8 maka perlu adanya perumusan masalah. Adapun perumusan masalah yang akan penulis kaji dalam penelitian hukum ini, yaitu: 1. Apakah hasil Visum et Repertum dapat menunjukan tindak pidana persetubuhan secara berlanjut yang mengakibatkan kehamilan telah sesuai KUHAP? 2. Apakah argumentasi pertimbangan hakim menjatuhkan sanksi pidana penjara dan denda terhadap terdakwa pelaku tindak pidana membujuk anak bersetubuh secara berlanjut telah sesuai KUHAP? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan hal-hal tertentu yang ingin dicapai dalam suatu penelitian. Dalam suatu penelitian hukum, secara umum tujuannya adalah untuk mendapatkan bahan hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang diangkat serta memberikan manfaat bagi pihakpihak yang terkait di dalam penelitian ini. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis membagi tujuan penelitian ini menjadi dua, yaitu : 1. Tujuan Obyektif a. Mengetahui kedudukan Visum et Repertum dalam pembuktian perkara tindak pidana mengajak anak bersetubuh secara berlanjut yang mengakibatkan kehamilan sebagai pertimbangan hakim dalam memutus perkara pada Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor: 32/ Pid. Sus/ 2015/ PN. Kln. b. Mengetahui pertimbangan Hakim atas alat bukti Visum et Repertum sebagai dasar hakim menjatuhkan sanksi pidana penjara dan denda terhadap terdakwa pelaku tindak pidana mengajak anak bersetubuh secara berlanjut pada Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor: 32/ Pid. Sus/ 2015/ PN. Kln. 2. Tujuan Subyektif a. Menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan Penulis di bidang Hukum Acara Pidana khususnya dalam hal penggunaan alat

9 9 bukti Visum et Repertum dalam perkara persetubuhan anak dibawah umur. b. Menerapkan konsep-konsep ataupun teori-teori hukum yang diperoleh penulis dalam mendukung penelitian ini.. c. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar sarjana dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang dilakukan, sebab besar kecilnya manfaat penelitian akan menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan manfaat pada pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu tambahan referensi, masukan data ataupun literatur bagi penelitian hukum selanjutnya yang berguna bagi para pihak-pihak yang berkepentingan. c. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pemecahan atas permasalahan yang diteliti. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang diteliti. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu gambaran dan informasi tentang penelitian yang sejenis serta dapat membantu dan memberi masukan, tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti dan berguna bagi para pihak yang berminat pada masalah yang sama. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pendalaman, pengetahuan dan pengalaman yang baru kepada penulis mengenai

10 10 permasalahan hukum yang dikaji, yang dapat berguna bagi penulis di kemudian hari. d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan wahana bagi penulis dalam mengembangkan penalaran, pola pikir dinamis, dan untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan Ilmu Hukum yang diperoleh selama proses belajar di bangku perkuliahan e. Dapat memberikan data dan informasi tentang kekuatan alat bukti Visum et Repertum dalam pembuktian tindak pidana mengajak anak bersetubuh secara berlanjut sebagai pertimbangan hakim dalam memutus perkara di Pengadilan Negeri Klaten yang nantinya dapat berguna bagi penulis dan masyarakat. f. Memberikan masukan kepada aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya demi menegakkan keadilan bagi masyarakat. E. Metode Penelitian Penelitian hukum (legal research) adalah suatu proses untuk menentukan kebenaran koherensi, yaitu menentukan apakah aturan hukum yang ada sudah sesuai dengan norma hukum, apakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum dan apakah tindakan seseorang sudah sesuai dengan norma hukum atau prinsip hukum (Peter Mahmud Marzuki,2013: 47). Penelitian hukum merupakan suatu penelitian dalam rangka know-how di dalam hukum, bukan sekedar know-about. Kegiatan know-how dalam penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki,2013:60). Dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah peneliti harus terlebih dahulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin ilmunya. Konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan didalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dan

11 11 aktualisasinya. Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum normatif, yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui tinjauan hukum terkait kedudukan Visum et Repertum dalam pembuktian perkara mengajak anak bersetubuh secara berlanjut yang mengakibatkan kehamilan pada Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 32/Pid.Sus/2015/PN.Kln sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya pada Pasal Sifat Penelitian Ilmu hukum mempunyai karakterisktik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 22) Objek dari ilmu hukum adalah koherensi antara norma hukum dan prinsip hukum, antara aturan hukum dan norma hukum, serta koherensi antara tingkah laku dengan norma hukum. (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 41). Preskriptif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti, sifatnya memberi petunjuk atau ketentuan yang bergantung atau menurut ketentuan resmi yang berlaku. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas ataupun hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu yang terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuanketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 22). 3. Pendekatan Penelitian Penelitian hukum mempunyai beberapa pendekatan penelitian yang dapat digunakan yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Berbagai macam

12 12 pendekatan penelitian tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Mengenai penelitian hukum ini, penulis menggunakan pendekatan kasus (case approach) yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan sudah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasioning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan, baik untuk keperluan praktik maupun untuk kajian akademis. Ratio decidendi atau reasioning tersebut merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum. Beberapa perkara pendekatan kasus (case approach) ditelaah untuk referensi bagi suatu isu hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: ). 4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Mengenai penelitian ini bahan hukum yang dipakai adalah bahan hukum primer dan sekunder. Bahan-bahan hukum primer bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas dalam pelaksanaannya meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang dan putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 181). Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Bahan hukum primer 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP); 2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

13 13 3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak; 4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak; 5) Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor: 32 /Pid.Sus /2015 /PN.KLN. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini meliputi: 1) Buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum; 2) Jurnal-jurnal hukum; 3) Artikel; dan 4) Bahan dari media internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian ini teknik yang digunakan untuk mengumpulkan bahan hukum yaitu adalah studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan sangat penting sebagai dasar teori maupun sebagai bahan pendukung. Dalam studi kepustakaan (library research) ini peneliti mengkaji dan mempelajari buku-buku, jurnal, arsip-arsip, dan dokumen maupun peraturan perundang-undangan, dokumen, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini adalah bersifat deduksi dengan metode silogisme. Arti dari deduksi silogisme adalah merumuskan fakta hukum dengan cara membuat kesimpulan atas premis mayor dan premis minor. Pola berpikir deduktif adalah dari pernyataan mayor yang bersifat umum ke pernyataan minor yang bersifat khusus. Premis mayor yang dimaksud adalah aturan hukum dan premis minor adalah fakta hukum sehingga dapat ditarik kesimpulan dari kedua premis tersebut (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 89-90).

14 14 F. Sistematika Penulisan Hukum Penulisan hukum memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, dan tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : BAB I BAB II BAB III : PENDAHULUAN Bab ini penulis akan memaparkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum (Skripsi). : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini penulis menguraikan dua sub bab yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Sub bab kerangka teori diuraikan mengenai tinjauan tentang pembuktian dan alat bukti yang di dalamnya terdapat Visum et Repertum, tinjauan tentang putusan dan pertimbangan hakim serta tinjauan tentang tindak pidana persetubuhan terhadap anak. Sub bab kedua menerangkan tentang bagan kerangka pemikiran penulis untuk mempermudah pemahaman. : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini penulis akan menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat dua pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu Apakah hasil Visum et Repertum dapat menunjukan tindak pidana persetubuhan secara berlanjut yang mengakibatkan kehamilan telah sesuai KUHAP dan Apakah argumentasi

15 15 BAB IV hukum hakim menjatuhkan sanksi pidana penjara dan denda terhadap terdakwa pelaku tindak pidana membujuk anak bersetubuh secara berlanjut telah sesuai KUHAP? : PENUTUP Bab ini penulis akan menguraikan mengenai simpulan yang diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan juga berisi saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan penulisan hukum ini. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana bisa terjadi kepada siapa saja dan dimana saja. Tidak terkecuali terjadi terhadap anak-anak, hal ini disebabkan karena seorang anak masih rentan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman yang sangat pesat ini mengakibatkan meningkatnya berbagai tindak pidana kejahatan. Tindak pidana bisa terjadi dimana saja dan kapan saja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era Globalisasi dan seiring dengan perkembangan zaman, tindak pidana kekerasan dapat terjadi dimana saja dan kepada siapa saja tanpa terkecuali anak-anak. Padahal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana diketahui salah satu asas yang dianut oleh KUHAP adalah asas deferensial fungsional. Pengertian asas diferensial fungsional adalah adanya pemisahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak terjadi kasus kejahatan seksual seperti pemerkosaan, pencabulan, dan kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penipuan merupakan salah satu tindak pidana terhadap harta benda yang sering terjadi dalam masyarakat. Modus yang digunakan dalam tindak pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan atau tindak pidana merupakan sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Perkembangan serta dinamika masyarakat menyebabkan hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana bertujuan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. commit to user digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Uang mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia. Selain berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah dalam suatu negara, uang juga merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi dapat dipastikan tidak akan pernah berakhir sejalan dengan perkembangan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah tindak pidana pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu

Lebih terperinci

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya,

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam persidangan perkara pidana saling berhadapan antara penuntut umum yang mewakili Negara untuk melakukan penuntutan, berhadapan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Penipuan yang berasal dari kata tipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur atau bohong, palsu dan sebagainya dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH digilib.uns.ac.id 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia adalah negara yang termasuk dalam kategori negara berkembang dan tentunya tidak terlepas dari permasalahan kejahatan. Tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pencurian sering terjadi dalam lingkup masyarakat, yang kadang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Tindak pidana pencurian dilakukan seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan dengan tujuan untuk mengatur tatanan masyarakat, dan memberikan perlindungan bagi setiap komponen yang berada dalam masyarakat. Dalam konsideran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 amandemen ke-empat, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, negara Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum, Indonesia menjujung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke empat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur tindak pidana terhadap harta kekayaan yang merupakan suatu penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan suatu Negara yang berdasarkan atas hukum, ketentuan ini tercantum dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini kejahatan meningkat dalam berbagai bidang, baik dari segi intensitas maupun kecanggihan. Demikian juga dengan ancaman terhadap keamanan dunia. Akibatnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku yang tidak sesuai dengan norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narkotika dan psikotropika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan pada sisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 perpustakaan.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Amendemen ke- IV. Sehingga setiap orang harus

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia merupakan Negara hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke IV yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk politik (zoonpoliticon). Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa berhubungan dengan sesamanya, dan sebagai makhluk politik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia dan kepentingan manusia tersebut harus terlindungi, sehingga hukum harus ditegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai fakta-fakta. Dengan adanya bahan yang mengenai fakta-fakta itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Page 14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara Hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19945. Salah satu prinsip penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan cara terbaik dalam menegakan keadilan. Kejahatan yang menimbulkan penderitaan terhadap korban, yang berakibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi kemerdekaan adalah buah perjuangan untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia dalam kehidupan bangsa yang lebih baik, adil, dan sejahtera. Nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah i BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 ayat (3) Amandemen ke-iv Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Dengan dimasukkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Internet berkembang demikian pesat sebagai kultur masyarakat modern, dikatakan sebagai kultur karena melalui internet berbagai aktifitas masyarakat cyber seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bidang hukum ditinjau dari beberapa aspek. Ditinjau dari hubungan hukum yang diatur dikenal Hukum Publik dan Hukum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan Hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman di masyarakat. Aparatur penegak hukum merupakan pelengkap dalam hukum

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3), menjelaskan dengan tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangan zaman pada saat ini, adanya pembangunan nasional ke depan merupakan serangkaian upaya untuk memajukan perkembangan pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip prinsip hukum, maupun doktrin doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang sedang dihadapi. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebarkan seluruh tubuh pemerintahan sehingga sejak tahun 1980 an langkah-langkah pemberantasannya pun masih tersendat-sendat

Lebih terperinci

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA Yusup Khairun Nisa 1 Johny Krisnan 2 Abstrak Pembuktian merupakan hal terpenting dalam proses peradilan, proses ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya peredaran narkotika di Indonesia apabila di tinjau dari aspek hukum adalah sah keberadaanya. Undang-undang narkotika nomor 35 tahun 2009 mengatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bersendikan keadilan agar ketertiban, kemakmuran dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), dilaksanakan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi merupakan proses semakin terbukanya kemungkinan interaksi ekonomi, politik, sosial, dan ideologi antar manusia sebagai individu maupun kelompok,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan yang sedang dilaksanakan, baik sejak masa pemerintahan Orde Baru maupun masa reformasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan yang sedang dilaksanakan, baik sejak masa pemerintahan Orde Baru maupun masa reformasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan yang sedang dilaksanakan, baik sejak masa pemerintahan Orde Baru maupun masa reformasi sasaran utamanya adalah terciptanya landasan yang kuat bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Setiap manusia dalam hidup bermasyarakat tidak pernah terlepas dari hubungan satu sama lain dalam berbagai hal maupun aspek. Manusia senantiasa melakukan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan;

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN P U T U S A N Nomor 412/PID SUS/2017/PT MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan yang memeriksa dan mengadili perkara-pekara pidana pada pengadilan tingkat banding

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah termasuk perbankan/building society (sejenis koperasi di Inggris),

BAB I PENDAHULUAN. adalah termasuk perbankan/building society (sejenis koperasi di Inggris), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fasilitas kredit umumnya diberikan oleh lembaga keuangan. Lembaga keuangan dalam dunia keuangan bertindak selaku lembaga yang menyediakan jasa keuangan bagi nasabahnya.

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR : 687/PID.SUS/2014/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N NOMOR : 687/PID.SUS/2014/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 1 P U T U S A N NOMOR : 687/PID.SUS/2014/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ----- PENGADILAN TINGGI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara perkara pidana dalam tingkat banding,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan teknologi, membawa perubahan yang signifikan dalam pergaulan dan moral manusia, sehingga banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara merupakan empat badan Peradilan yang ada di Indonesia. Masing-masing badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanahkan beberapa kewajiban negara, salah satu yang penting adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa orang lain untuk membantu memenuhi kebutuhannya sehari-hari, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat dikatakan bahwa kejahatan pemerkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya jenis tindak pidana dan modus

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para aparat penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur publik yang artinya hukum pidana mengatur hubungan antara warga dengan negara dan menitikberatkan kepada kepentingan umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa ditentukan, dan hanya dengan

Lebih terperinci

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Peranan Dokter Forensik, Pembuktian Pidana 127 PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang

BAB I PENDAHULUAN. adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Umumnya tindak pidana atau pelanggaran hukum pidana didasari adanya kehendak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang mudah, jalan pintas serta mendapatkan

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR : 323/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

P U T U S A N NOMOR : 323/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. P U T U S A N NOMOR : 323/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. ----- PENGADILAN TINGGI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam tingkat banding, telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia, hal ini dikarenakan hukum dan Hak Asasi Manusia saling berkaitan satu sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap pelanggaran kaedah hukum pada dasarnya harus dikenakan sanksi : setiap pembunuhan, setiap pencurian harus ditindak, pelakunya harus dihukum. Tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan merupakan lembaga keuangan yang sering muncul sengketa yang bersentuhan dengan hukum dalam menjalankan usahanya. Sengketa Perbankan bisa saja terjadi antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

III. METODE PENELITIAN. hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang III. METODE PENELITIAN Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsipprinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 30 A. Pendekatan Masalah

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 4/PID.SUS/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 4/PID.SUS/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 4/PID.SUS/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah norma atau peraturan mengikat bagi sebagian atau seluruh masyarakat yang harus dipatuhi untuk mewujudkan suatu tatanan kemasyarakatan. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu hal yang penting bagi kelangsungan hidup manusia. Dimana salah satu tujuan perkawinan dilakukan adalah untuk memperpanjang garis keturunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial, yang berarti saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain. Di dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial tersebut

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 14 /PID.A/2013/PT-MDN.-

P U T U S A N Nomor : 14 /PID.A/2013/PT-MDN.- P U T U S A N Nomor : 14 /PID.A/2013/PT-MDN.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHAESA PENGADILAN TINGGI SUMATERA UTARA DI MEDAN, yang mengadili perkara-perkara Pidana dalam peradilan tingkat banding,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) hasil amandemen ketiga menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Jimly

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris adalah Pejabat umum yang diangkat oleh Pemerintah untuk membantu masyarakat umum dalam hal membuat perjanjian-perjanjian yang ada atau timbul dalam masyarakat.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Suatu penelitian memiliki arti ilmiah apabila menggunakan metodologi yang sesuai dengan tujuan dan sasaran yang akan dicapai. Metode penelitian merupakan bagian yang terpenting

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam perkembangan era globalisasi ini, yang semuanya serba modern dengan keterbukaan di semua lini, masalah-masalah cenderung meningkat pesat, mulai dari kurang

Lebih terperinci