BAB I PENDAHULUAN. hanya berdasarkan keyakinan saja, melahirkan pemahaman agama yang taklid.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. hanya berdasarkan keyakinan saja, melahirkan pemahaman agama yang taklid."

Transkripsi

1 A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pemahaman manusia terhadap makna agama menentukan sikap terhadapnya. Bagi para pemeluk agama yang berusaha taat, agama adalah jalan hidup yang menjadi acuan segala tindakan. Seorang yang memaknai agama sebagai sesuatu yang adanya hanya berdasarkan keyakinan saja, melahirkan pemahaman agama yang taklid. Agama disikapi sebagai suatu prinsip yang tidak perlu diperdebatkan dan cukup diyakini saja. Sehingga, sikap mereka dalam berkehidupan (agama) cenderung tertutup (eksklusif). Sebaliknya, seseorang yang mempunyai pandangan bahwa, agama sebagai jalan hidup yang dinamis harus dimaknai secara kontekstual. Agama dihadirkan sebagai suatu paket produk yang keberadaannya tidak lepas dari campur tangan manusia sehingga layak untuk dipertanyakan. Disisi lain, pesan kebijaksanaan yang melekat pada agama dinilai beberapa kalangan sebagai suatu kerumitan yang tidak menemukan titik kepastian. Kebenaran yang dibawa agama tidak memberikan kejelasan bukti terkait asal-usulnya. Sehingga, orang-orang yang mempunyai pemahaman demikian melahirkan sikap penolakan akan kebenaran agama. Pemahaman mereka tentang kebenaran menegasikan kebijaksanaan yang dibawa oleh agama. Pemaknaan terhadap agama demikian melahirkan pengamalan dan sikap terhadap agama yang beragam pula. Contoh sikap yang didasarkan pada pemahaman terhadap makna agama dapat diangkat pada berbagai periode zaman. Pada zaman modern misalnya; corak 1

2 2 pandang hidup di zaman modern adalah bertumpu pada rasio. Agama sebagai wadah untuk kehidupan yang secara gamblang ditimbang secara rasional. Secara spesifik bagi kaum intelektual zaman modern, segala sesuatu yang misterius tidak lain adalah ketidaktahuan manusia sehingga harus dibuktikan secara positivistik. Padahal, sejatinya setiap agama tentunya mengandung nilai-nilai yang bersifat ortodoks (sakral) yang tidak dapat dijangkau sepenuhnya oleh nalar (rasio). Franz Magnis-Suseno (2006: 53) mengatakan, bagi kaum modern yang mengagungkan rasio, agama seluruhnya harus dapat dimengerti oleh nalar. Sehingga, agama direduksikan menjadi ajaran moral, suatu lembaga untuk membuat manusia bertindak beradab. Takhta rasionalitas dan makna tidak lagi milik Allah melainkan rasio dan kehendak manusia itulah yang menjadi titik fokus kesatuan dan arti (Wora, 2006: 55). Agama bagi kaum modern tidak lain adalah alat untuk suatu tujuan tertentu dan melepaskan makna agama sebagai suatu yang integral dalam kehidupan. Modernisme kemudian berkembang dan memuncak dengan lahirnya saintisme pada perumusan perkembangan budaya manusia melalui konsep positivisme yang dikembangkan Auguste Comte. Perumusan tersebut terdiri atas tiga tingkatan; pertama mitos-agama, kemudian tingkatan kedua yaitu filsafat dan tingkatan ketiga adalah positivistik. Atau dalam bahasa Magnis-Susno (2006: 56) yaitu hokum tiga tahap. Tiga tahap yang bersifat hirarkis ini menurut Comte yang menggerakkan peradaban umat manusia.

3 3 Pola pemikiran yang digagas oleh Auguste Comte ini menjadi peletak dasar perkembangan ilmu pengetahuan yang diikuti dan terus dikembangkan oleh para intelektual/ilmuwan zaman modern. Mitos dan agama yang dianut masyarakat dianggap sebagai tahapan perkembangan kebudayaan manusia yang paling awal. Jadi, menurut Comte, cara berfikir manusia, juga masyarakat di mana pun akan mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah melampui tahap theologik dan metafisik (Wibisono, 6). Tahapan positivistik yang menurutnya puncak kebudayaan manusia dan dapat dipertanggungjawabkan. Peneliti memandang, dalam pola yang dikemukakan Comte tersebut terdapat kekeliruan. Hal ini disebabkan oleh pencampuran atara mitos dengan agama. Agama dinilai Comte adalah suatu yang setara dengan mitos. Padahal, dalam peranan perkembangan ilmu, keduanya an sich berbeda. Agama justru memungkinkan pendekatan ilmiah karena, dengan membedakan antara Tuhan dan alam dunia, agama memungkinkan pendekatan duniawi (Magniz-Suseno, 2006: 63). Hal inilah yang melatarbelakangi sikap orang modern terhadap kebenaran (dalam) agama secara skeptis dan cenderung atheis. Di zaman pra-modern (dimana semua agama-agama besar dunia dapat ditemukan di zaman ini), sikap masyarakat yang mempunyai corak pemikiran Postmodern, yang secara sistemtatis digagas oleh Jean Francois Lyotard memposisikan agama dalam pandangannya juga tidak kalah cerobohnya. Konsepsi individual yang memandang makna kebenaran didasarkan pada konteksnya masing-

4 4 masing membuat universalitas dalam agama gugur. Dalam postmodernisme, segala grand narrative (narasi besar)-jalur strategi intelektual yang mengklaim bahwa ada prinsip-prinsip kebenaran, kesejahteraan, makna kehidupan, dan moral yang bersifat universal- ditolak dan diganti dengan narasi-narasi kecil, dengan nilai-nilai mitos, spiritual, dan ideologinya yang spesifik (Haber, 1994: 4). Postmodernisme yang proyek besarnya lahir sebagai kritik terhadap pemikiran corak modern menyamakan universalitas kebenaran rasio yang dianut oleh kaum modern dengan konsepsi kebenaran universal yang terdapat dalam keyakinan umat beragama. Sehingga masyarakat dengan corak pemikiran Postmodern meyakini kebenaran yang pada kenyataannya adalah bersifat plural. Tidak ada kebenaran universal. Keyakinan akan pluralitas kebenaran kemudian akan melahirkan pemahaman makna hidup yang partikular. Corak pemikiran demikian-lah yang kemudian melahirkan pemahaman akan realitas dan makna hidup yang bermasalah. Kaum perenial berpendapat, pluralitas postmodernisme adalah sebuah pluralitas yang simpang siur, liar dan tak beraturan, serta penuh kontradiksi. Dalam pluralitas postmodernisme, tidak ada saling keterkaitan di antara unsur-unsur pluralitas tersebut (Wora, 2006: 105). Dengan penolakan konsep universalitas ala Lyotard tersebut secara otomatis juga menafikan pembahasan yang masuk pada ranah metafisika. Keyakinan akan adanya realitas dibalik realitas yang tampak dalam kajian metafisika menjadi nihil. Begitupun dalam memahami agama, Tuhan yang terdapat dalam keyakinan umat beragama menjadi tidak terbaca, baik itu Tuhan yang

5 5 bersifat personal (transendent), dan bahkan Tuhan yang diyakini adanya sebagai realitas yang impersonal (immanent). Faktor demikianlah yang menggeser hakikat agama dan pada saat yang sama mencabut rasa religiusitas di zaman ini. Realitas dalam pandangan modern dan postmodern adalah bersifat bineritas; modern dengan corak rasio yang bersifat universal, dan postmodernisme mengakui kebenaran yang bersifat plural, pada posisi tersebut kaum perennial menjadi sintesa dari keduanya. Perenialisme mengakui kebenaran yang plural sekaligus terdapat unsur yang bersifat universal. Pluralitas perenialisme adalah sebuah pluralitas terintegrasi (Wora, 2006: 112). Realitas dipandang sebagai suatu yang bersifat plural juga saling terkait satu sama lain. Jadi, pandangan terhadap realitas itu boleh berbedabeda, namun realitas itu sendiri Cuma satu, dan menyeluruh (Wora, 2006: 114). Adalah Frithjof Schuon sebagai salah satu tokoh religio Perennis yang beranggapan bahwa, salah satu penyelewenangan yang secara tidak langsung diwariskan Renaissance kepada kehidupan modern adalah kebingungan sekitar agama dan tanah air dalam kultus sentimental humanisme (Schuon, 2002: 35). Menurut Schuon, realitas pada hakikatnya adalah satu. Pemahaman akan realitas yang hakiki tersebut adalah ditempuh dengan jalan intuisi. Namun demikian, meskipun pemahaman realitas didasarkan atas pengalaman intuisi yang bersifat personal, pengenalan akan dasar-dasar tentang realitas tersebut adalah dengan jalan agama. Agama adalah metode yang tidak dapat ditinggalkan untuk memahami hakikat realitas.

6 6 Frijhtof Schuon hadir dengan corak filsafat perennial juga religius. Schuon adalah pemikir Muslim kontemporer penganjur pluralisme religius (M. Legenhausen, 2010: 51). Meskipun ia mengakui perbedaan berupa pluralitas kebenaran yang terdapat dalam setiap agama, namun ia juga mengharuskan seseorang yang ingin memahami realitas sejati dengan mengikuti satu jalan (bentuk) melalui agama tertentu, meskipun pada akhirnya akan berakhir pada muara yang sama, yaitu hakikat kebenaran. Menurut Schuon, agama Islam, Kristen, Yahudi dan lain-lain adalah hanya sebuah bentuk. Agama, merupakan jalan-jalan yang dapat mencapai pemahaman akan realitas sejati, yaitu Tuhan. Bagi Schuon, inti agama ditemukan dalam realitas transenden (Smith, 2003: xxi). Hal inilah yang menarik peneliti untuk mengkaji pemikiran Schuon, tentang hakikat agama: adalah bentuk dan Tuhan adalah esensi merupakan pendekatan yang baru dalam ulasan teologis-filosofis. Selain itu, masih jarangnya penelitian yang mengangkat Frithjof Schuon sebagai tokoh kajian menjadi alasan tersendiri bagi peneliti untuk mengkaji pemikirannya. B. Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan tiga masalah kajian dalam penelitian ini. Rumusan masalah tersebut, yaitu: 1. Apa makna agama dalam perspektif filsafat agama? 2. Apa pandangan Frithjof Schuon tentang makna agama? 3. Apa relevansi Pemikiran Frithjof Schuon dengan pluralitas agama di Indonesia?

7 7 C. Keaslian Penelitian Peneliti telah melakukan telaah atas berbagai karya baik berupa buku-buku ilmiah, skripsi, tesis, jurnal, ataupun sumber ilmuah lain, dan berpendapat belum ada kajian pemikiran Frithjof Scoun dalam pespektif filsafat agama di lingkungan Universitas Gadjah Mada. Meskipun banyak pemikir, ahli sejarah dan perbandingan agama sering memakai pola pemikiran yang dikembangkan Schuon sebagai landasan atau dasar dalam teori/konsep mereka, namun belum ada yang mengkaji pemikiran Schuon dengan tema demikian secara sistematis. Peneliti beranggapan, ada beberapa literatur yang relevan dan dapat mendukung penelitian ini baik yang didapat dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dan berbagai penelitian di beberapa lingkungan akademik lainnya. Berikut ulasan singkat terkait penelitian tersebut. Pertama, Metafisika Frithjof Schuon, adalah skripsi yang disusun oleh Guruh Salafi pada tahun Guruh Salafi menjelaskan dalam skripsinya tersebut pengertian dan konsep matafisika secara umum dalam pandangan Fritjhof Schuon. Kedua, Laporan Penelitian (LAPEN) yang berjudul Filsafat Agama yang disusun oleh Mustofa Anshori Lidinillah pada tahun Dalam tulisan tersebut, Mustofa Anshori tidak menyinggung pemikiran Frithjof Schuon, ia hanya mengulas pengertian filsafat agama sebagai metode untuk memahami agama secara filosofis. Ketiga, Disertasi di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2011 berjudul Pluralitas Agama: Studi Komparatif Pemikiran Frithjof Schuon

8 8 dan Nurcholish Madjid. Disertasi yang disusun oleh Ngainun Naim ini mengkaji pemikiran spiritual subjektif Frithjof Schuon yang kemudian ditarik Naim dalam rangka menjawab problem konflik agama di Indonesia. Naim membandingkan pemikiran agama Frithjof Schuon yang bertitik tolak pada pengalaman agama yang bersifat personal dengan pemikiran sosial agama yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid. Naim berpendapat bahwa terdapat keselarasan pemikiran kedua tokoh tersebut dalam menjawab problem pluralitas agama di Indonesia yang masih sering muncul. Hasilnya, pluralitas agama di Indonesia dinilai tidak menjadi penghalang untuk kelangsungan dalam berkehidupan di Indonesia. Keempat, penelitian Disertasi tahun 2012 oleh Dinar Dewi Kania yang berjudul Studi Komparatif Pemikiran Epistemologi Frithjof Schuon dan Syed Muhammad Nuqaib al-attas di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor. Dinar dalam penelitian ini mengulas konsep epistemologi yang menjadi landasan dalam Frithjof Schuon. Dinar mengemukakan bahwa, intuisi yang dikembangkan Schuon telah membuka cakrawala pemikirannya yang lebih luas. Epistemologi dalam corak intuisi Schuon merupakan suatu tawaran perspektif dalam menghadapi krisis kebijaksanaan di abad modern. Berdasarkan hasil telaah peneliti terhadap berbagai karya yang relevan sebagaimana telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada penelitian yang sama dengan akan akan disusun peneliti, baik dalam pemikiran Frithcjof Schuon ataupun konsep eksoterisme dan esoterisme dalam perspektif filsafat agama.

9 9 D. Manfaat Penelitian Penelitian pemikiran dalam filsafat agama dengan tokoh Frithjof Schuon ini diharapkan dapat membawa manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap wawasan dan khazanah keilmuan filosofis terkait makna dan pengahayatan agama. Penelitian ini bisa membawa manfaat bagi kaum intelektual dan akademisi di lingkungan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta secara khusus, maupun bagi bangsa dan Negara secara umum untuk bersikap ilmiah, religius dan bijaksana dalam berbagai segi kehidupan 2. Manfaat Praktis 1. Memperoleh pengetahuan tentang konsep esoterisme dan eksoterisme Frithjof Schuon dalam penghayatan agama. 2. Sebagai tambahan pengetahuan/perspektif untuk mendukung pembangunan karakter bangsa Indonesia. E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Menjabarkan dan menganalisis makna agama dalam perspektif filsafat agama.

10 10 2. Menjabarkan, menganalisis, dan menginterpretasikan makna agama dalam pemikiran Fitjhof Schoun dalam perspektif Filsafat Agama. 3. Kontekstualisasi konsep atau makna agama dalam pandangan Frithjof Shuon dengan pluralitas agama di Indonesia. F. Tinjauan Pustaka Peneliti telah melakukan tela ah terhadap karya-karya yang terbatas, beberapa karya yang relevan dengan penelitian ini antara lain adalah karya Frithjof Schuon sendiri, yaitu, The Transcendent Unity of Religions (1975) yang dialihbahasakan oleh Saafroedin Bahar menjadi Mencari Titik Temu Agama-agama. Pembahasan makna agama dalam buku ini cukup komprehensif. Schuon memaparkan dasar-dasar filosofis dalam pemikirannya, antara lain tentang metafisika dan kebenaran, dan pegertian agama-agama besar dunia. Dimensi-dimensi filosofis tersebut kemudian diulas kembali oleh Schuon dalam karya selanjutnya, Islam and The Perennial Philosophy (1976) yang dialihbahasakan oleh Rahmani Astuti menjadi Islam dan Filsafat Perenial. Pembahasan tentang keragaman agama yang merupakan manifestasi dari Tuhan (yang satu) juga terdapat dalam buku ini, hanya saja, penjelasan tentang agama Islam mendapat porsi yang lebih banyak. Berbeda dengan kedua buku di atas, karya Schuon yang berjudul The Transfiguration of Man (1995) yang diterjemahkan oleh Fakhruddin Faiz menjadi Transfigurasi Manusia: Refleksi Antrosophia Perennialis (2002) mengulas

11 11 perkembangan manusia berkaitan dengan agama. Selain itu, agama-agama besar dalam buku itu diulas dari garis sejarah lahirnya. Pandangan Frithjof Schuon tentang agama sebagaimana yang didiskripsikan di atas, pernah diulas oleh Komar dalam kajian tesisnya yang berjudul Konsep Kesatuan Transenden sebagai Salah Satu Solusi Konflik Atas Nama Agama: Perspektif Filsafat Perennial Frithjof Schuon tahun Dalam kajian tersebut, Komar (2007: iv) mengatakan bentuk agama-agama yang dimaksud Frithjof Schuon adalah dalam dimensi eksoteris yang bersifat relatif, namun di dalamnya terkandung muatan substansi yang sama dan mutlak pada dimensi esoteris. Inilah yang disebut dengan kesatuan transenden agama-agama. Dalam kajiannya tersebut, Komar berpendapat bahwa pemikiran Frithjof Schuon tersebut sangat relevan untuk dijadikan pintu masuk dialog antar umat beragama. Ngainun Naim dalam disertasinya yang berjudul Pluralitas Agama: Studi Komparatif Pemikiran Frithjof Schuon dan Nurcholish Madjid (2011) mempunyai harapan yang sama akan terciptanya pluralitas agama melalui dialog antar agama. Konsep eksoterisme dan esoterisme yang dikemukakan Frithjof Schuon menurut Naim adalah keniscayaan. Keragaman agama-agama adalah kenyataan yang harus dihormati (Naim, 2011: x). Riset kepustakaan yang diterapkan Naim dalam penelitiannya ini adalah dengan metode historis, komparatif, deskriptif-analisis dan sintesis (Naim, 2011: 30-33).

12 12 Nurcholish Madjid dalam Pengantar untuk buku Tiga Agama Satu Tuhan (1990:xxvii) menarik konsep tersebut kerana yang lebih praktis, ia menghimbau kaum inklusif (Muslim) diperintahkan untuk membuka diri dan mengajak kaum ahli kitab menuju ke pokok-pokok kesamaan, yaitu menuju ke ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa (Monoteisme, tawhid). Dengan mengutip N.J. Woly (1998), Nurcholish Madjid memetakan perlunya dialog antar agama untuk memperjernih makna agama dalam tiga sikap dialog berikut: Pertama, sikap yang ekslkusif dalam melihat agama lain. Kedua, sikap inklusif dengan memandang agama-agama lain adalah bentuk implisit agama yang dianut. Ketiga, sikap pluralis dalam pengertian, memandang agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama. Agamaagama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran yang sama. Adapun beberapa karya lain yang cukup relevan dalam penelitian ini diantaranya: Budhy Munawwar-Rachman (2010: 690) dalam buku Reorientasi Pembaruan Islam;Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Barus Islam Indoneia memberikan pandangan makna agama terkait eksoterisme dan esoterisme. Dalam buku tersebut Budhy mengungkapkan; Eksoteris adalah kebenaran dalam partikulasi agama-agama yang berbeda sedangkan esoteris adalah kebenaran agama yang bersifat ebsolut. Akan tetapi keduanya saling berhubungan dan mempengaruhi satusama lain.

13 13 Pentingnya perbincangan bentuk (eksoterik) dan esensi (esoterik) dalam agama juga ditegaskan oleh Eric J. Sharpe (1975: 253) dengan tiga poin berikut: 1. Meningkatkan pengetahuan yang lebih baik antara pemeluk agama dan tradisi. 2. Menegaskan unsur-unsur yang universal di semua agama. 3. Membangkitkan keyakinan bahwa agama-agama mempunyai tanggung jawab besar untuk bekerja sama menyebarkan moralitas di dunia. Beragam bentuk agama (eksoterik) yang bersifat manifestasi dari yang hakikat dipandang berbeda oleh George A. Lindleck (1985: 16) yang dikutip oleh Emanuel Wora (2006: ) dalam buku Perenialisme: Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme. George A. Lindleck memandang bahwa pentingnya rekonsiliasi doktrin untuk memahami permasalahan mengenai agama. Ragamnya bentuk agama dipandang Goerge sebagai ekspresi rasa dan skema interpretatif-komprehensif yang biasanya terkandung di dalam mitos atau cerita yang kemudian diritualkan. Bentuk agama yang identik dengan doktrin-doktrinnya yang kemudian dihadirkan sebagai produk budaya (seperti layaknya mitos). Berbeda dengan tokoh-tokoh yang telah diulas di atas, Sigmund Freud (1927: 30) memandang bahwa kebenaran agama bukanlah kebenaran yang diwahyukan oleh Tuhan, atau kesimpulan logis yang didasarkan pada bukti ilmiah. Kebenaran agama adalah kebenaran yang diinginkan oleh pemeluk-pemeluknya. Kebenaran agama adalah harapan umat manusia yang paling mendesak dan oleh

14 14 karena itu rahasia kekuatannya adalah harapan akan kebenaran itu sendiri. Pengalaman (individual) keagamaan bagi Freud tak lain adalah neurosis psikologis yang akan mengakibatkan neurosis obsesional universal (Freud, 1927: 150). Buku selanjutnya yaitu Tren Pluralisme Agama yang disusun oleh Anis Malik Thoha (2005). Sebagai pemikir/ahli tentang agama, Anis Malik (2005:266) memandang berbeda terkait penggalian hakikat agama secara filosofis. Menurutnya, pendekatan filosofis terhadap agama (khususnya yang dikemukakan John Hick) adalah gagasan yang meredusir dan meminggirkan peran agama. Namun demikian, meskipun kritik yang dikemukakan Anis Malik cukup ketat dan kritis, pada karyanya tersebut, Anis Malik tidak memaparkan secara jelas terkait konsep pengganti dalam mengelola pluralitas agama yang ada. Ia hanya menghimbau kepada umat Muslim dalam menyikapi pluralitas yang ada dengan bertumpu pada penegasan jati diri atau identitas keagamaan dan pemberdayaan hubungan dengan agama, serta pengakuan terhadap peran agama yang meliputi kehidupan manusia. Dalam karyanya tersebut, Anis menegasikan konsep yang dibawa melalui pendekatan ilmu (sejarah, antropologi, budaya dll.), filsafat dan perenial dalam meneropong agama, namun hal ini tidak diafirmasi lebih lanjut dengan menghadirkan konsep pengganti. Peneliti memandang perlunya memperkaya perspektif dalam melihat pemaknaan hakikat agama. Oleh karena itu, peneliti juga menghadirkan pandangan berbeda terkait pendekatan filosofis dalam melihat agama. Hal ini dilakukan dengan

15 15 harapan terjadinya dialektika perspektif dalam melihat dan kemudian menganalisis konsep-konsep terkait objek material dan objek formal dalam penelitian ini agar dapat mendapatkan makna yang jelas dan komprehensif. G. Landasan Teori Peneliti mengangkat pemikiran tokoh Frithjof Schuon tentang Hakikat agama dalam perspektif filsafat agama. Objek formal ini dimaksudkan untuk menjernihkan makna agama yang terkadang masih menjadi masalah. Perbincangan filsafat agama tentang hakikat agama adalah penggalian bentuk dan hakikat agama. Frithjof Schuon, dalam buku Mencari Titik Temu Agamaagama (1975: 77) sebagai objek material dalam penelitian ini mengatakan: Agama adalah bentuk dari jiwa. Agama dianggap sebagai sesuatu yang bersifat esensi dan termanifestasi menjadi bentuk-bentuk agama tertentu. Huston Smith (1975: 11), selaku Pengantar dalam buku tersebut berpendapat semua agama hanya berbeda dalam bentuknya saja yaitu pada ranah. Meskipun kesatuan absolut, yaitu Tuhan, tidak dapat dilukiskan atau bahkan dijelaskan secara tepat, akan tetapi penjelasan seperti itu tetap diperlukan. Seyyed Hossein Nasr (1975: 8) dengan memakai istilah yang sering digunakan Frithjof Schuon; religio perennis atau religio cordis adalah dengan menggabungkan wawasan metafisika dengan pengetahuan yang luas mengenai berbagai agama dalam aspek doktrinal, etika dan artistik. Pemahaman akan suatu

16 16 bentuk, yaitu agama akan mengantarkan manusia pada pemahaman yang hakiki. Menurut Nasr, religio perenis adalah penjelasan tentang aspek-aspek yang lebih dalam dari tradisi-tradisi (khususnya yang berkaitan dengan agama) dengan bahasa yang dapat dimengerti secara murni sekaligus setia kepada kebenaran Kekal. Filsafat agama mempunyai orientasi penggalian makna hakikat dari setiap agama. Wilfred Cantwell Smith dalam The Meaning and The End of Religion (1962: 17) menyatakan perlunya mengkaji ulang terminologi agama. Menurut Smith, terminologi agama sangat problematik, ambigu, kontroversial yang mengundang polemik tak berujung dan tidak dapat dikenali di alam nyata. Sehingga menurut Smith, pentingnya pengkajian ulang atas terminologi agama baik secara historis maupun filosofis (filsafat agama). Whitehead memandang agama sebagai entitas yang terus berproses. Menurutnya, agama selalu dalam proses menjadi dan proses situ tidak akan pernah selesai dan tidak dapat didefinisikan dalam konteks das sein (Religion as it is) melainkan lebih pada agama sebagai das sollen ( religion as it should be ) (Whitehead, 2009: 33). Muhammad Iqbal (1966:4) berpendapat terkait perbincangan filsafat tentang hakikat agama, menurutnya, filsafat (agama) diharapkan tidak menempatkan agama lebih rendah dari pada ilmu-ilmu lain. Agama bukanlah bagian dari masalah kehidupan manusia, bukan hanya sekedar pikiran, bukan hanya sekedar tindakan saja, agama adalah pernyataan manusia yang selengkapnya. Jadi, didalam menilai agama,

17 17 filsafat mesti mengakui posisi agama yang asasi, dan tidak menganggap agama sebagai alternatif lain dalam proses pemikiran yang sintesis melainkan harus menerimanya sebagai suatu sumber kekuatan. H. Metode Penelitian Metode penelitian adalah suatu cara bertindak menurut sistem aturan yang bertujuan agar kegiatan praktis terlaksana secara rasional dan terarah sehingga dapat mencapai hasil yang optimal (Anton H. Barkker: 1986, 6). Adapun metode dalam penelitian ini dilalui dengan penentuan tiga tahap berikut: 1. Bahan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan berdasarkan dua macam bahan yakni pustaka utama dan pustaka sekunder. Pustaka utama terdiri atas karya-karya Frithjof Schuon, sedangkan pustaka sekunder merupakan materi yang bersumber dari berbagai buku, jurnal, artikel dan tulisan lain, yang terkait dengan tema penelitian ini. a. Pustaka utama: i. Islam and The Perennial Philosophy (1976) dialihbahasakan oleh Rahmani Astuti menjadi Islam dan Filsafat Perenial (Bandung: Mizan, 1993). ii. Esoterism as Principle and as Way (1978).

18 18 iii. The Transfiguration of Man (1990) dialihbahasakan oleh Fakhruddin Faiz menjadi Transfigurasi Manusia (Yogyakarta: Qalam, 2002). iv. The Transcendent Unity of Religions (1945). Dialihbahasakan oleh Saafroedin Bahar menjadi Mencari Titik Temu Agama-agama (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003). v. Ringkasan Metafisika yang Integral dalam Ahmad Norma Permata (ed.), Perennialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996). b. Pustaka sekunder: i. Aymard, Jean-Baptiste dan Laude, Patrick, 2005, Frithjof Schuon; Life and Teachings, Suhail Academy Lahore, Pakistan. ii. iii. Magniz-Suseno, Franz, 2006, Menalar Tuhan, Kanisius, Yogyakarta. Nasr, Seyyed Hossein, 1975, Kata Pengantar dalam Frithjof Schuon, 1993, Islam dan Filsafat Perenial, Mizan, Bandung. iv. Smith, Huston, 1973, Kata Pengantar dalam Frijhtof Schuon, 1994, Mencari Titik Temu Agama-agama, (terj.) Safroedin, 1994, Pustaka Firdaus, Jakarta. v. Smith, Huston, 1991, Agama-agama Manusia Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

19 19 vi. Thoha, Anis Malik, 2005, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Perspektif, Jakarta. 2. Jalan Penelitian Proses penelitian akan dilaksanakan melalui tahapan-tahapan berikut: i. Pembagian objek kajian. Pembagian ini berdasarkan pada objek formal dan objek material. Data yang pertama berisi pustaka mengenai filsafat agama. Data yang kedua terbagi pada dua objek, pertama berisi tentang pustaka mengenai pemikiran Frithjof Schuon yang terdapat dalam karya-karyanya yang merupakan sumber primer dan, kedua berupa kajian tokoh yang berkaitan dengan objek (formal dan material) yang diangkat. ii. Pengklasifikasian data. Jika pada tahap pengumpulan data penulis mengumpulkan data sebanyak mungkin, maka pada tahap ini data-data yang telah diperoleh mulai diklasifikasikan dan dipilah-pilah berdasarkan bab dan sub-sub bab yang telah penulis susun sesuai dengan rencana dan kebutuhan penelitian. iii. Analisis data. Data yang telah diklasifikasikan dianalisis oleh peneliti sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. iv. Penyajian data, pada tahap ini peneliti akan memaparkan hasil analisis secara sistematis berdasarkan sub-sub bab yang telah ditentukkan. Penyajian data

20 20 diawali dari pokok-pokok pikiran atau unsur-unsur yang paling mendasar dan sederhana, kemudian menuju pada pokok pembahasan yang lebih rumit. 3. Analisis Penelitian Analisis data adalah usaha konkrit untuk memberikan interpretasi terhadap data-data yang telah tersedia. Penelitian ini akan menggunakan analisis kualitatif karena data-data yang digunakan adalah data kualitatif, serta penjelasannya dalam bentuk ungkapan-ungkapan dan kalimat. Data dalam penelitian ini akan dianalisis menggunakan metode Hermeneutika yang terdiri atas tiga unsur metodis; deskriptif, verstehen dan interpretasi. i. Deskriptif: konsep-konsep pemikiran filsuf dijabarkan dan dijelaskan dalam bentuk kalimat penjabaran maupun parafrase, sehingga dapat dipahami pola pemikiran, paham-paham apa yang mempengaruhinya dan kemungkinannya mempengaruhi pemikir lain. ii. Verstehen: data yang telah dikumpulkan akan dipahami karakteristik masing-masing, kemudian diketahui makna tiap-tiap data. iii. Interpretasi: pemahaman atas data yang telah diperoleh dan diketahui maknanya melalui penerjemahan karya filsuf dan memberikan pandangan penulis atas karya-karya tersebut. Pembahasaan peneliti atas pemahaman terhadap pemikiran yang diteliti.

21 21 I. Jadwal Penelitian Penelitian ini dijadwalkan akan berlangsung secara kondisional, dengan dua pembagian tahap penelitian. Tahap pertama adalah pengumpulan bahan berupa materi atau data yang terkait dengan penelitian ini. Tahap selanjutnya adalah penyusunan hasil penelitian sesuai dengan analisis sebagaimana yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya. Tahap yang terakhir adalah penjabaran deskriptif-analisis. Tahap ini akan dilengkapi dengan hasil konsultasi atau bimbingan, revisi dan diskusi dengan pembimbing penelitian, sehingga rumusan masalah dapat terjawab, dan tujuan penelitian dapat dipenuhi. J. Sistematika Penulisan Penulisan hasil penelitian ini akan dipaparkan sesuai dengan sistematika berikut: Bab I, memaparkan penjelasan secara umum penelitian terkait isi penelitian. Secara berurutan: terdiri atas latar belakang penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, jadwal penelitian, dan sistematika penulisan dalam penelitian. Bab II, berisi paparan tentang filsafat agama: terdiri dari definisi filsafat agama, ruang lingkup filsafat agama, hubungan filsafat agama dan pengertian/hakikat agama, dan persoalan-persoalan yang menjadi kajian dalam Filsafat Agama.

22 22 Bab III, berisi biografi Frithjof Schuon. Pada bagian ini akan dijabarkan secara garis besar karya-karya, tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran, pokok pemikiran, paradigma dan orientasi pemikiran Frithjof Schuon. Bab IV, memaparkan hasil analisis atas pemikiran Frithjof Schuon tentang makna agama. Pada bab ini akan dijelaskan makna agama berupa hakikat dan bentuk dalam pandangan Frithjof Schuon. Hakikat dan bentuk dalam bahasa Frithjof Schuon adalah Esoterisme dan Eksoterisme dalam pengahatan agama. Urutan penyusunan hasil analisis penelitian ini adalah analisis filosofis terkait sikap Frithjof Schuon terhadap keberagaman agama, pengertian istilah dan batasan-batasan Eksoterisme. Dalam bab ini juga akan dijelaskan Konsep Esoterisme dalam pandangan Frithjof Schuon, meliputi pengertian esoterisme dan konsep universalitas dalam agamaagama. Bab V, berisi kontribusi pemikiran Frithjof Schuon tentang hakikat agama. Kontribusi tersebut dijabarkan dalam poin-poin berikut, pertama, dijelaskan terlebih dahulu agama-agama yang terdapat di Indonesia. Kedua, pemaparan bentuk penghayatan (Religious Experience) masyarakat Indonesia terhadap agama yang dianut. Ketiga, analisis peneliti berupa pertautan hakikat agama dalam pandangan Frithjof Schuon dengan pluralitas agama di Indonesia. Bab VI, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan umum dari semua bab, dan pengusulan beberapa saran dari peneliti.

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut:

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut: BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Uraian akhir dari analisa atas pemikiran Frithjof Schuon tentang makna agama dalam perspektif Filsafat Agama adalah bagian kesimpulan, yang merupakan rangkuman jawaban atas

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. A.Sudiarja, 2006, Agama (di Zaman) yang Berubah, Yogyakarta: Penerbit

DAFTAR PUSTAKA. A.Sudiarja, 2006, Agama (di Zaman) yang Berubah, Yogyakarta: Penerbit DAFTAR PUSTAKA A.Sudiarja, 2006, Agama (di Zaman) yang Berubah, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Abbas, Zainal Arifin, 1984, Perkembangan Pikiran terhadap Agama, Jakarta: Pustaka Al Husna. Bagus, Lorens,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Filsafat Perennial menurut Smith mengandung kajian yang bersifat, pertama, metafisika yang mengupas tentang wujud (Being/On) yang

BAB V PENUTUP. 1. Filsafat Perennial menurut Smith mengandung kajian yang bersifat, pertama, metafisika yang mengupas tentang wujud (Being/On) yang 220 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa krisis spiritual manusia modern dalam perspektif filsafat Perennial Huston Smith dapat dilihat dalam tiga

Lebih terperinci

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Erna Karim DEFINISI AGAMA MENGUNDANG PERDEBATAN POLEMIK (Ilmu Filsafat Agama, Teologi, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Perbandingan Agama) TIDAK ADA DEFINISI AGAMA YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada abad pencerahan (Aufklarung) telah membawa sikap kritis atas metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- 19) di Jerman,

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latarbelakang Pluralitas agama merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat lagi dihindari atau disisihkan dari kehidupan masyarakat umat beragama. Kenyataan akan adanya pluralitas

Lebih terperinci

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA Dosen : Mohammad Idris.P, Drs, MM Nama : Dwi yuliani NIM : 11.12.5832 Kelompok : Nusa Jurusan : S1- SI 07 SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

Lebih terperinci

BAB IV KETUHANAN SEYYED HOSSEIN NASR PERSPEKTIF FILSAFAT PERENIAL

BAB IV KETUHANAN SEYYED HOSSEIN NASR PERSPEKTIF FILSAFAT PERENIAL BAB IV KETUHANAN SEYYED HOSSEIN NASR PERSPEKTIF FILSAFAT PERENIAL A. Tradisi; Menghidupkan Kembali Prinsip Ilahi Dalam melihat pandangan ketuhanan Nasr dalam hubungannya dengan filsafat perennial, tidak

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Permasalahan The Meeting Place of World Religions. 1 Demikianlah predikat yang dikenakan pada Indonesia berkaitan dengan kemajemukan agama yang ada. Selain majemuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pemikiran Yoga dapat dilihat sebagai suatu konstelasi pemikiran filsafat, bukan hanya seperangkat hukum religi karena ia bekerja juga mencapai ranah-ranah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di dunia memungkinkan manusia untuk terarah pada kebenaran. Usahausaha

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di dunia memungkinkan manusia untuk terarah pada kebenaran. Usahausaha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kebenaran selalu aktual di zaman yang dipengaruhi perkembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi. Berbagai perkembangan yang terjadi di dunia memungkinkan manusia

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus 195 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai bagian akhir tesis ini, peneliti memberikan kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah

Lebih terperinci

RACIKAN KESATUAN TRANSENDENTAL ALA IBN ARABI, RUMI, DAN AL-JILI

RACIKAN KESATUAN TRANSENDENTAL ALA IBN ARABI, RUMI, DAN AL-JILI RESENSI RACIKAN KESATUAN TRANSENDENTAL ALA IBN ARABI, RUMI, DAN AL-JILI Fina Ulya* Judul : Satu Tuhan Banyak Agama: Pandangan Sufistik Ibn Arabi, Rumi dan al-jili Penulis : Media Zainul Bahri Penerbit

Lebih terperinci

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain.

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain. TUHAN? Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah, karena gagasan itu selalu mempunyai arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya di berbagai periode waktu. Gagasan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah kehidupan beragama di dunia banyak diwarnai konflik antar

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah kehidupan beragama di dunia banyak diwarnai konflik antar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan beragama di dunia banyak diwarnai konflik antar pemeluk agama, misalnya Hindu, Islam, dan Sikh di India, Islam, Kristen dan Yahudi di Palestina,

Lebih terperinci

Wassalam. Page 5. Cpt 19/12/2012

Wassalam. Page 5. Cpt 19/12/2012 satu cara yang perlu ditempuh adalah mengembangkan model home schooling (yang antara lain berbentuk pembelajaran personal ) seperti yang pernah diterapkan pada masa kejayaan Islam abad pertengahan. - Membangun

Lebih terperinci

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN A. Objek Bahasan 1. Objek materi Filsafat Indonesia ialah kebudayaan bangsa. Menurut penjelasan UUD 1945 pasal 32, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik praktis artinya tidak terlibat dalam kegiatan politik yang berkaitan dengan proses

Lebih terperinci

Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam Oleh: Maman Suratman

Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam Oleh: Maman Suratman Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam Oleh: Maman Suratman Berbicara mengenai filsafat, yang perlu diketahui terlebih dahulu bahwa filsafat adalah induk dari segala disiplin ilmu pengetahuan yang

Lebih terperinci

FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( )

FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( ) FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE (1866-1952) Filsafat Sejarah Croce (1) Benedetto Croce (1866-1952), merupakan pemikir terkemuka dalam mazhab idealisme historis. Syafii Maarif mengidentifikasi empat doktrin

Lebih terperinci

Sumbangan Pembaruan Islam kepada Pembangunan

Sumbangan Pembaruan Islam kepada Pembangunan c Sumbangan Pembaruan Islam kepada Pembangunan d Sumbangan Pembaruan Islam kepada Pembangunan Oleh Tarmidzi Taher Tema Sumbangan Pembaruan Islam kepada Pembangunan di Indonesia yang diberikan kepada saya

Lebih terperinci

ALLAH, UNIVERSALITAS, DAN PLURALITAS

ALLAH, UNIVERSALITAS, DAN PLURALITAS ALLAH, UNIVERSALITAS, DAN PLURALITAS Achmad Jainuri, PhD IAIN Sunan Ampel, Surabaya Abstraksi Harold Coward menulis sebuah buku menarik, Pluralism Challenge to World Religions. Gagasan pluralisme dewasa

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia selalu diperhadapkan dengan berbagai keragaman, baik itu agama, sosial, ekonomi dan budaya. Jika diruntut maka banyak sekali keragaman yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik,

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Masyarakat dewasa ini dapat dikenali sebagai masyarakat yang berciri plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, kelompok budaya dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan berbagai macam perubahan-perubahan status sosial, tingkatan sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan berbagai macam perubahan-perubahan status sosial, tingkatan sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah membuktikan bahwa perkembangan zaman yang semakin cepat dengan berbagai macam perubahan-perubahan status sosial, tingkatan sosial maupun kemajemukan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Manusia adalah makhluk yang unik, banal, serta ambigu, ia senantiasa

BAB V PENUTUP. 1. Manusia adalah makhluk yang unik, banal, serta ambigu, ia senantiasa BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan penelusuran ini, akhirnya penulis menarik beberapa poin penting untuk disimpulkan, yakni: 1. Manusia adalah makhluk yang unik, banal, serta ambigu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Restu Nur Karimah, 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Restu Nur Karimah, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam mempelajari suatu agama, aspek yang pertama dipertimbangkan sekaligus harus dikaji ialah konsep ketuhanannya. Dari konsep ketuhanan, akan diketahui

Lebih terperinci

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada KESIMPULAN UMUM 303 Setelah pembahasan dengan menggunakan metode tiga telaah, deskriptif-konseptual-normatif, pada bagian akhir ini, akan disampaikan kesimpulan akhir. Tujuannya adalah untuk menyajikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh

BAB I PENDAHULUAN. teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Novel merupakan salah satu jenis media dimana penyampaianya berupa teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh tertentu ataupun

Lebih terperinci

Islam dan Sekularisme

Islam dan Sekularisme Islam dan Sekularisme Mukaddimah Mengikut Kamus Dewan:- sekular bermakna yang berkaitan dengan keduniaan dan tidak berkaitan dengan keagamaan. Dan sekularisme pula bermakna faham, doktrin atau pendirian

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. dan di kritisi dalam menganalisis isu-isu pendidikan kontemporer. Berdasarkan

BAB VII PENUTUP. dan di kritisi dalam menganalisis isu-isu pendidikan kontemporer. Berdasarkan BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Pemikiran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme menarik untuk dicermati dan di kritisi dalam menganalisis isu-isu pendidikan kontemporer. Berdasarkan hasil penelitian ini

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Permasalahan Pluralitas, merupakan kata yang tak asing terdengar di era ini. Suatu terminologi yang bukan hanya mencerminkan keadaan melainkan juga tantangan. Pluralitas,

Lebih terperinci

SAMSURI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

SAMSURI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Handout 4 Pendidikan PANCASILA SAMSURI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA PANCASILA sebagai Sistem Filsafat Kita simak Pengakuan Bung Karno tentang Pancasila Pancasila memuat nilai-nilai universal Nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih

BAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Munculnya feminisme memang tak lepas dari akar persoalan yang ada di kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih dianggap sebagai makhluk inferior.

Lebih terperinci

Deskripsi Mata Kuliah

Deskripsi Mata Kuliah Minggu ke Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah ini menyajikan bahasan tentang: manusia dan hakekatnya, arti filsafat dan Kristen, manusia dan filsafat, manusia dan, aliran-aliran filsafat, filsafat Kristen,

Lebih terperinci

2014 PEMIKIRAN MUBYARTO TENTANG EKONOMI INDONESIA

2014 PEMIKIRAN MUBYARTO TENTANG EKONOMI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan Ekonomi disuatu Negara memang sudah menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa ditinggalkan atau dikesampingkan karena pada hakikatnya kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN

BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN 84 BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN Keyakinan agama dewasa ini telah dipinggirkan dari kehidupan manusia, bahkan harus menghadapi kenyataan digantikan oleh ilmu pengetahuan. Manusia modern merasa tidak perlu

Lebih terperinci

PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK

PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK 31 Jurnal Sains Psikologi, Jilid 6, Nomor 1, Maret 2017, hlm 31-36 PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK Fadhil Hikmawan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada fadhil_hikmawan@rocketmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pada Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Etika merupakan refleksi atas moralitas. Akan tetapi, sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, etika bukan sekedar refleksi tetapi refleksi ilmiah tentang tingkah

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Al Banna, G. (2006). Pluralisme Agama. Jakarta: Mata air.. (2006). Doktrin Pluralisme dalam Al Quran. Jakarta: Menara.

DAFTAR PUSTAKA. Al Banna, G. (2006). Pluralisme Agama. Jakarta: Mata air.. (2006). Doktrin Pluralisme dalam Al Quran. Jakarta: Menara. DAFTAR PUSTAKA Al Banna, G. (2006). Pluralisme Agama. Jakarta: Mata air.. (2006). Doktrin Pluralisme dalam Al Quran. Jakarta: Menara. Ali, F. (2001). Diaspora Cak Nur, dalam dalam Pustaka Pelajar. (2001),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN KAJIAN KETERBACAAN DAN NILAI KARAKTER TEKS ARTIKEL HARIAN KOMPAS SERTA UPAYA PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR MEMBACA KRITIS

BAB I PENDAHULUAN KAJIAN KETERBACAAN DAN NILAI KARAKTER TEKS ARTIKEL HARIAN KOMPAS SERTA UPAYA PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR MEMBACA KRITIS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membaca merupakan salah satu keterampilan yang berkaitan erat dengan keterampilan dasar terpenting manusia yaitu berbahasa. Oleh karena itu, keterampilan membaca

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah pengetahuan. Kemudian Plato, menurutnya baik itu apabila ia dikuasai oleh

BAB I PENDAHULUAN. adalah pengetahuan. Kemudian Plato, menurutnya baik itu apabila ia dikuasai oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika di mulai pada abad ke lima sebelum masehi. Berbagai mazhab di yunani yang ditandai dengan kehadiran Socrates, yang mengatakan bahwa kebaikan itu adalah

Lebih terperinci

maupun perbuatan- perbuatan-nya Nya.

maupun perbuatan- perbuatan-nya Nya. ILMU TAUHID / ILMU KALAM Ilmu Tauhid sering disebut juga dengan istilah Ilmu Kalam, Ilmu 'Aqaid, Ilmu Ushuluddin, dan Teologi Islam. Menurut bahasa (etimologis) kata "tauhid" merupakan bentuk masdar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. filsafat. Setiap tradisi atau aliran filsafat memiliki pemikiran filosofis masingmasing

BAB I PENDAHULUAN. filsafat. Setiap tradisi atau aliran filsafat memiliki pemikiran filosofis masingmasing BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kebebasan adalah salah satu tema yang sering muncul dalam sejarah filsafat. Setiap tradisi atau aliran filsafat memiliki pemikiran filosofis masingmasing tentang kebebasan.

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan BAB VII KESIMPULAN Kesimpulan Setiap bangsa tentu memiliki apa yang disebut sebagai cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa. Indonesia, negara dengan beragam suku, bahasa, agama dan etnis, juga pastinya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kesimpulan akhir dari penelitian tentang teologi kontekstual berbasis budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata peribadahan GKJ di dalam menanamkan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman senantiasa memberikan perubahan yang cukup besar pada diri manusia. Perubahan yang cukup signifikan pada diri manusia adalah gaya hidup (lifestyle).

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN 1. Latar Belakang Masalah a) Gambaran GKP Dan Konteksnya Secara Umum Gereja Kristen Pasundan atau disingkat GKP melaksanakan panggilan dan pelayanannya di wilayah Jawa

Lebih terperinci

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PERENIALISME

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PERENIALISME ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PERENIALISME oleh : Drs. IBNU UBAIDILAH, MA STKIP BINA MUTIARA SUKABUMI PENGERTIAN Pengertian secara Etimologi Istilah perenialisme berasal dari bahasa latin, yaitu dari akar

Lebih terperinci

EMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN

EMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN EMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN EMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN Oleh Nurcholish Madjid Seorang Muslim di mana saja mengatakan bahwa agama sering mendapatkan dukungan yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Annisa Shara,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Annisa Shara,2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pandangan bahwa manusia dibentuk oleh dunia ide dan cita-cita, bukan oleh situasi sosial yang nyata begitu pula dengan pendidikan yang masih dipandang sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Rekonstruksi teologi antroposentris Hassan Hanafi merupakan

BAB V PENUTUP. 1. Rekonstruksi teologi antroposentris Hassan Hanafi merupakan 344 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan tiga rumusan masalah yang ada dalam penelitian tesis berjudul Konstruksi Eksistensialisme Manusia Independen dalam Teologi Antroposentris Hassan Hanafi, maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang memuat banyak sekali tanda dan makna yang menggambarkan suatu paham tertentu. Selain itu, film juga merupakan

Lebih terperinci

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah satunya karena Indonesia berdasar pada Pancasila, dan butir sila pertamanya adalah Ketuhanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Ia mustahil dapat hidup sendirian saja. Seseorang yang mengalami

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Ia mustahil dapat hidup sendirian saja. Seseorang yang mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk sosial karena merupakan bagian dari masyarakat. Ia mustahil dapat hidup sendirian saja. Seseorang yang mengalami kecelakaan lalu lintaspun pasti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sulit diterima bahkan mustahil diamalkan (resistensi) 4. Dan yang lebih parah,

BAB I PENDAHULUAN. sulit diterima bahkan mustahil diamalkan (resistensi) 4. Dan yang lebih parah, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Quran diwahyukan Allah untuk menjadi petunjuk (huda) dan pembeda (al-furqan) antara kebenaran dan kebatilan, sekaligus menjadi pedoman dan kebanggaan umat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik, dengan cara mendorong dan memfasilitasi kegiatan

Lebih terperinci

FILSAFAT PENGANTAR TERMINOLOGI

FILSAFAT PENGANTAR TERMINOLOGI FILSAFAT PENGANTAR Kata-kata filsafat, filosofi, filosofis, filsuf, falsafi bertebaran di sekeliling kita. Apakah pemakaiannya dalam kalimat-kalimat sudah tepat atau sesuai dengan arti yang dimilikinya,

Lebih terperinci

Etika dan Filsafat. Komunikasi

Etika dan Filsafat. Komunikasi Modul ke: Etika dan Filsafat Komunikasi Pokok Bahasan Fakultas Ilmu Komunikasi Pengantar Kepada Bidang Filsafat Dewi Sad Tanti, M.I.Kom. Program Studi Public Relations www.mercubuana.ac.id Pengantar Rasa

Lebih terperinci

The Elements of Philosophy of Science and Its Christian Response (Realism-Anti-Realism Debate) Rudi Zalukhu, M.Th

The Elements of Philosophy of Science and Its Christian Response (Realism-Anti-Realism Debate) Rudi Zalukhu, M.Th The Elements of Philosophy of Science and Its Christian Response (Realism-Anti-Realism Debate) Rudi Zalukhu, M.Th BGA : Kel. 14:15-31 Ke: 1 2 3 APA YANG KUBACA? (Observasi: Tokoh, Peristiwa) APA YANG KUDAPAT?

Lebih terperinci

PANCASILA PENDAHULUAN. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Sistem Informasi.

PANCASILA PENDAHULUAN. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Sistem Informasi. PANCASILA Modul ke: PENDAHULUAN Fakultas FASILKOM Nurohma, S.IP, M.Si Program Studi Sistem Informasi www.mercubuana.ac.id Pancasila PENDAHULUAN Kontrak perkuliahan, Rencana Pembelajaran, Deskripsi Perkuliahan,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. serta merta membuat sosiologi ilmu menggunakan metode-metode filsafat.pada

BAB V PENUTUP. serta merta membuat sosiologi ilmu menggunakan metode-metode filsafat.pada BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sejarah sosiologi ilmu tidak lain adalah sejarah dari pelimpahan warisan metafisika perkemabangan filsafat ilmunya. Terbentang dari tradisi keilmuan China, Yunani, dan kemudian

Lebih terperinci

Pendidikan Pancasila. Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom. Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis

Pendidikan Pancasila. Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom. Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis Modul ke: Pendidikan Pancasila Berisi tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Fakultas Fakultas Ekonomi Bisnis Dosen : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom Program Studi Akuntansi www.mercubuana.ac.id Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan karakter saat ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa. Dalam UU No 20 Tahun 2003

Lebih terperinci

TANTANGAN UMAT BERAGAMA PADA ABAD MODERN

TANTANGAN UMAT BERAGAMA PADA ABAD MODERN TANTANGAN UMAT BERAGAMA PADA ABAD MODERN Oleh Nurcholish Madjid Agama merupakan suatu cara manusia menemukan makna hidup dan dunia yang menjadi lingkungannya. Tapi, hidup kita dan ling kungan abad modern

Lebih terperinci

SILABUS. III. Skema Perkuliahan No Kompetensi Dasar Materi Pokok Indikator Kegiatan Perkuliahan 1.1 Mendeskripsikan Ilmu Sosial Profetik

SILABUS. III. Skema Perkuliahan No Kompetensi Dasar Materi Pokok Indikator Kegiatan Perkuliahan 1.1 Mendeskripsikan Ilmu Sosial Profetik SILABUS Fakultas : Ilmu Sosial Mata Kuliah & Kode : Ilmu Sosial Profetik Jumlah SKS : 2 SKS Dosen : I. Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah ini akan membahas tentang konsep-konsep dasar Ilmu Sosial Profetik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang membuat kalangan lain merasa dirugikan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang membuat kalangan lain merasa dirugikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Potensi dan kemampuan manusia untuk mengembangkan sangat beragam. Keragaman tersebut antara lain dalam pengembangan kreatifitasnya. Seperti halnya dalam manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA TEORI ANALISIS

BAB III KERANGKA TEORI ANALISIS BAB III KERANGKA TEORI ANALISIS 3.1 Teori Kritis Jurgen Habermas Habermas berasumsi bahwa modernitas merupakan sebuah proyek yang belum selesai. Ini artinya masih ada yang perlu untuk dikerjakan kembali.

Lebih terperinci

BAB III PERKEMBANGAN SENI. terkait dengan karakteristik-karakteristik tertentu dari tempat penerimaan wahyu al-

BAB III PERKEMBANGAN SENI. terkait dengan karakteristik-karakteristik tertentu dari tempat penerimaan wahyu al- BAB III PERKEMBANGAN SENI A. Islam dan Seni Menurut Seyyed Hossein Nasr, seni Islam merupakan hasil dari pengejawantahan Keesaan pada bidang keanekaragaman. Artinya seni Islam sangat terkait dengan karakteristik-karakteristik

Lebih terperinci

Seminar Pendidikan Agama Islam

Seminar Pendidikan Agama Islam Seminar Pendidikan Agama Islam Peran Pendidikan Karakter Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani Latar Belakang: Dalam konteks masyarakat Indonesia keinginan reformasi dengan sendirinya memerlukan pula perubahan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,2009

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,2009 BAB I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang Berangkat dari sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa Estetika sebagai logika, mengantarkan saya untuk mencoba mendalami dan menelusuri tentang keduanya, serta

Lebih terperinci

Pendahuluan. Ainol Yaqin. Pertemuan ke-1 M E T O D O L O G I S T U D I I S L A M

Pendahuluan. Ainol Yaqin. Pertemuan ke-1 M E T O D O L O G I S T U D I I S L A M M E T O D O L O G I Pertemuan ke-1 S T U D I I S L A M Pendahuluan Ainol Yaqin Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Kontrak Perkuliahan Pendahuluan Outline Kontrak Perkuliahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang Tuhan yang bahasannya sangat teosentris. Namun, dalam

BAB I PENDAHULUAN. tentang Tuhan yang bahasannya sangat teosentris. Namun, dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama ini teologi lazim dimaknai sebagai suatu diskursus seputar tentang Tuhan yang bahasannya sangat teosentris. Namun, dalam perkembangan selanjutnya pemikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta :

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan karakter saat ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa. Dalam UU No 20 Tahun 2003

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Penelitian Terdahulu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Penelitian Terdahulu BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Penelitian Terdahulu Pembahasan masalah nilai etika dalam kaitannya dengan naskah ADK menjadi topik penting yang selalu dibicarakan, karena masalah ini menyangkut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. menurut Muhammad Abduh dan Muhammad Quthb serta implikasinya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. menurut Muhammad Abduh dan Muhammad Quthb serta implikasinya 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai perbandingan konsep pendidikan Islam menurut Muhammad Abduh dan Muhammad Quthb serta implikasinya terhadap pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Ketuhanan

BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Ketuhanan BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Ketuhanan Filsafat merupakan disiplin ilmu yang terkait dengan masalah kebijaksanaan. Hal yang ideal bagi hidup manusia adalah ketika manusia berpikir

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. tesis ini yang berjudul: Konsep Berpikir Multidimensional Musa Asy arie. dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam, sebagai berikut:

BAB V PENUTUP. tesis ini yang berjudul: Konsep Berpikir Multidimensional Musa Asy arie. dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam, sebagai berikut: 254 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penulis menganggap bahwa, makna tidak selalu merujuk pada kesimpulan-kesimpulan yang dibuat. Namun demikian, kesimpulan menjadi sebuah prasyarat penting dari sebuah penulisan

Lebih terperinci

JUJUR PADA PLURALIS. Ch. Daniel Saduk Manu

JUJUR PADA PLURALIS. Ch. Daniel Saduk Manu JUJUR PADA PLURALIS Ch. Daniel Saduk Manu Prawacana Perdebatan seputar paham pluralisme agama yang dilakukan oleh seorang pengajar teologi sistematis dan seorang mahasiswa teologi tak terasa telah menarik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apabila dilihat dari sudut pandang spiritual, dunia ini terbagi ke dalam dua karakter kehidupan spiritual, yaitu: Bangsa-bangsa barat yang sekuler dalam arti memisahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial yang berlaku dan berlangsung

Lebih terperinci

NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati

NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati I Proses pendidikan ada sebuah tujuan yang mulia, yaitu penanaman nilai yang dilakukan oleh pendidik terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan manusia menjadi penunjang keberlangsungan hidup manusia. Manusia dengan akal budinya

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. (tradisional) adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab

BAB IV PENUTUP. (tradisional) adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam khas Indonesia merupakan pendidikan alternatif dari pendidikan formal yang dikelola oleh pemerintah. Pertama, karena pesantren

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi hasil penelitian yang telah disajikan pada Bab IV, dapat ditarik kesimpulan dan rekomendasi penelitian sebagai berikut: A. Kesimpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus memiliki kemampuan memaksa dan mengendalikan orang lain karena

BAB I PENDAHULUAN. harus memiliki kemampuan memaksa dan mengendalikan orang lain karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Politik sering disebut sebagai kekuasaan. Terkadang seorang penguasa harus memiliki kemampuan memaksa dan mengendalikan orang lain karena manusia kadang-kadang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus dijaga di Indonesia yang hidup di dalamnyaberbagai macam suku, ras,

BAB I PENDAHULUAN. harus dijaga di Indonesia yang hidup di dalamnyaberbagai macam suku, ras, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kerukunan antar umat beragama merupakan satu unsur penting yang harus dijaga di Indonesia yang hidup di dalamnyaberbagai macam suku, ras, aliran dan agama. Untuk

Lebih terperinci

ISLAM DAN MITOLOGI Oleh Nurcholish Madjid

ISLAM DAN MITOLOGI Oleh Nurcholish Madjid c Demokrasi Lewat Bacaan d ISLAM DAN MITOLOGI Oleh Nurcholish Madjid Mereka yang tidak menerima ajaran Nabi Muhammad saw, barangkali memandang ajaran Islam itu, sebagian atau seluruhnya, tidak lebih daripada

Lebih terperinci

PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL

PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL Memahami Paradigma positivistik (fakta sosial) menganggap realitas itu sebagai sesuatu yang empiris atau benar-benar nyata dan dapat diobservasi. Dalam meneliti,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial terutama filsafat dan sosiologi, oposisi diantara subjektivisme dan objektivisme merupakan bagian yang selama ini tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dilihat dari perspektif filsafat ilmu, paradigma Pendidikan Bahasa Indonesia berakar pada pendidikan nasional yang mengedepankan nilai-nilai persatuan bangsa.

Lebih terperinci

BOOK REVIEW SAINS: BAGIAN DARI AGAMA

BOOK REVIEW SAINS: BAGIAN DARI AGAMA BOOK REVIEW SAINS: BAGIAN DARI AGAMA Judul Penerjemah Judul AsU Pengarang Penerbit Tahun Tebal Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains Ahsin Muhammad Issues in Islam and Science Mehdi

Lebih terperinci

MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim

MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim Jika Tuhan itu ada, Mahabaik, dan Mahakuasa, maka mengapa membiarkan datangnya kejahatan?

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode merupakan cara kerja dalam memahami objek yang menjadi

BAB III METODE PENELITIAN. Metode merupakan cara kerja dalam memahami objek yang menjadi 58 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode merupakan cara kerja dalam memahami objek yang menjadi sasaran penelitian. Peneliti dapat memilih salah satu dari berbagai metode yang ada sesuai

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci