BAB I PENDAHULUAN. atau perburuan penyihir. Di Eropa tengah, isu witch-hunt

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. atau perburuan penyihir. Di Eropa tengah, isu witch-hunt"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada abad pertengahan, tepatnya abad ke-14 dan ke-15, Eropa dihebohkan oleh isu witch-hunt atau perburuan penyihir. Di Eropa tengah, isu witch-hunt mengakibatkan banyak orang diadili, disiksa, dieksekusi, bahkan digantung atau dibakar hidup-hidup di depan umum karena dianggap penyihir. Larner (2000:3) menyebutkan tiga-perempat dari para korban tersebut adalah perempuan. Pada masa itu, perempuan hampir menjadi jaminan melakukan praktek sihir. Para perempuan Eropa, baik yang masih anak-anak maupun yang sudah dewasa, secara selektif telah ditargetkan untuk menjadi korban kekejaman tersebut. Secara keseluruhan sekitar persen dari mereka yang dituduh dan dihukum karena sihir di masa awal era Eropa Modern adalah perempuan. Sekitar 9 juta perempuan dibakar hidup-hidup. Melihat jumlah ini, dapat dikatakan bahwa perburuan penyihir ini merupakan kasus pembunuhan massal terbesar berbasis gender. Di abad pertengahan, konsep orang Eropa dalam memahami perempuan berangkat dari tradisi teologi tentang Eve dan Lilith. Perempuan dianggap sebagai perwujudan negatif yang tidak ada habisnya. Secara ontologi, perempuan adalah sepupu pertama yang muncul dari kiri atau sisi buruk manusia (Katz, 1994: 435). Sebuah buku berjudul Malleus Maleficarum (The Hammer of Witches) yang diterbitkan oleh Otoritas Inkuisisi Katolik mencatat hal tersebut. Buku ini telah 1

2 menimbulkan aib pada ribuan perempuan, yang sekaligus menjadi penyulut misogini gila. sebagian dari kejahatan adalah kejahatan perempuan perempuan adalah musuh dari persahabatan, hukuman yang tak dapat terhindari, hasrat akan bencana, bahaya yang sifatnya domestik, kelezatan yang merugikan, sebuah sifat jahat, yang terbungkus dalam balutan kecantikan. Pada dasarnya perempuan adalah instrument dari setan mereka pada dasarnya adalah cacat struktural yang berakar pada penciptaannya (Katz, 1994: ). Menurut Katz (1994: 350) ada beberapa aspek yang membuat perempuan dituduh sebagai penyihir. Perempuan yang tampaknya paling independen terhadap norma-norma patriarkal sering dianggap sebagai peyihir. Selain itu, perempuan tua yang hidup sendiri tanpa anak dan suami, serta banyak meminta dari tetangganya untuk bertahan hidup, tetapi tidak banyak yang bisa ia tawarkan sebagai imbalannya adalah golongan yang paling rentan terhadap tuduhan praktik sihir. Perempuan seperti ini dianggap sebagai beban ekonomi oleh lingkungannya, sehingga dirasa merupakan lokus dari sifat dengki yang berbahaya dan kekerasan verbal. Keyakinan bahwa witch adalah perempuan yang memiliki kemampuan magis dan menggunakannya untuk kejahatan, kemudian diadopsi ke dalam cerita anak-anak Barat. Cerita anak yang mengangkat penyihir perempuan (witch) sebagai tokoh antagonis misalnya Sleeping Beauty, Snow White, Rapunsel, Donal Duck, Alice in Wonderland, dan The Chronicle of Narnia. Dalam dongeng-dongeng anak, seperti Sleeping Beauty, Snow White, dan Rapunsel, Witch digambarkan bahwa perempuan 2

3 adalah makhluk yang mengerikan, hidup sendirian di tempat-tempat menyeramkan dan berusaha merusak kebahagiaan orang lain karena rasa iri dan dengki. Sementara di cerita Alice in Wonderland dan The Chronicle of Narnia, Witch adalah perempuan keji yang berusaha menguasai dunia dengan kejahatannya. Deskripsi ini sama persis dengan apa yang diyakini masyarakat di masa awal Eropa Modern tentang perempuan. Cerita-cerita ini terus bertahan dari masa ke masa, dibaca oleh generasi ke generasi, yang tidak diragukan lagi telah membentuk stereotip Witch di masyarakat. Di tahun 1997, seorang penulis perempuan asal Inggris memunculkan novel bertema sihir dengan judul Harry Potter. Dia adalah J.K Rowling. Dia adalah seorang orang tua tunggal dan sebelum menjadi penulis, dia bekerja di lembaga penelitian yang berfokus pada hak asasi manusia. Rowling sudah senang menulis cerita-cerita fantasi sejak kanak-kanak dan mengaku bahwa dia sangat dipengaruhi oleh cerita The Lion, The Witch, and Wardrobe karya C.S. Lewis. Merujuk pada latar belakangnya tersebut, adalah hal yang wajar jika kemudian Rowling menulis cerita bertema sihir yang sarat akan isu persamaan hak. Setelah berabad-abad lamanya, keyakinan tentang penyihir (witch) itu tumbuh di masyarakat khususnya di Eropa, J.K Rowling hadir dengan perspektif berbeda mengenai witch dan witchcraft. Melalui Novel anak fantasi yang ditulisnya, Rowling merekonstruksi definisi penyihir yang diyakini masyarakat selama ini. Dalam novel Harry Potter, tidak ada penyihir nenek-nenek berwajah mengerikan yang tinggal di tempat-tempat menyeramkan dan suka menculik anak-anak. Sebaliknya novel ini 3

4 diisi dengan tokoh-tokoh yang peduli pada anak-anak, misalnya Profesor Albus Dumbledore Kepala sekolah Hogwarts yang pembawaannya tenang, kalem, ramah, lemah lembut dan penuh kasih sayang. Rowling menceritakan kehidupan menyenangkan yang penuh hal-hal fantastik yang dialami anak-anak penyihir di dunia sihir. Di sekolah sihir Hogwarts, ada banyak permainan-permainan luar biasa, seperti : telinga terjulur yang membuat kita bisa menguping dari kejauhan, makanan-makanan yang sangat ajaib seperti cokelat kodok yang bisa melompat seperti kodok sungguhan dan lain sebagainya. Kekuatan sihir yang dimiliki anak-anak dalam novel ini membuat kehidupan di dunia sihir sangat menyenangkan. Novel Harry Potter karya J.K. Rowling ini, ingin mengubah persepsi orang tentang penyihir yang jahat dan menyeramkan. Dia menempatkan Harry Potter yang berpenampilan layaknya orang biasa sebagai pemeran utama, serta menceritakan dunia sihir yang penuh dengan suka ria sebagai fantasi cerita. Bersamaan dengan itu, novel ini juga merombak konstruksi maskulinitas dan femininitas berhubungan dengan isu witch yang telah menjadi momok bangsa Eropa selama berabad-abad. Rowling menggambakan witch tidak selamanya perempuan jahat yang diidentikkan dengan setan. Bangsa Eropa khususnya pada abad pertengahan percaya bahwa witchcraft adalah simbol dari kelemahan perempuan. Oleh karena mereka lemah, tetapi ingin memiliki kuasa, maka mereka keluar dari sistem patriarkal dan bersekutu dengan setan untuk mendapatkan kekuatan. Kondisi ini membuat bangsa Eropa pada 4

5 umumnya menganggap menjadi witch merupakan perbuatan terhina dan perlu dimusnahkan. Posisi perempuan yang dianggap witch diputarbalikkan dan maskulinitas konvensional dibongkar. Novel Harry Potter tetap menggunakan sebutan witch untuk penyihir perempuan dan wizard untuk penyihir laki-laki. Namun, tidak seperti yang lazim terjadi dimana witch diartikan sebagai penyihir perempuan yang jahat dan wizard penyihir laki-laki yang baik dan bijaksana. Di dunia sihir yang diciptakan J.K. Rowling, semua penyihir belajar bersama-sama di sekolah sihir Hogwarts. Apapun yang dilakukan oleh laki-laki juga bisa dilakukan oleh perempuan, misalnya olahraga, menjadi auror semacam polisi yang bertugas menangkap penyalahgunaan sihir hitam, bahkan bertarung. Setiap anak punya kesempatan untuk belajar di Hogwarts, selama mereka memiliki bakat sihir, baik itu laki-laki, perempuan, darah murni, darah campuran, bahkan mugle (orang biasa yang bukan keturunan penyihir). Tokoh perempuan yang sangat menonjol dan berdampingan dengan Harry Potter dalam novel ini adalah Hermione Granger. Dia adalah sahabat Harry Potter yang selalu ada bersama Harry dan memiliki andil yang besar dalam setiap petualangannya. Namun Rowling tidak mengambil Hermione sebagai tokoh utamanya. Ia justru menggunakan seorang anak laki-laki yaitu Harry Potter. Namun begitu, perlu diingat bahwa sosok Harry dalam novel ini bukanlah seperti sosok maskulin yang umumnya dimunculkan dalam cerita-cerita barat misalnya bertubuh kekar, jago berkelahi, ganteng, atau kaya. Sebaliknya, Harry adalah gambaran anak laki-laki yang dalam hirarki maskulinitas barat merupakan laki-laki yang masuk 5

6 dalam kategori tidak maskulin (wimpy boy). Dia adalah anak laki-laki yatim piatu dengan penampilan yang selalu berantakan, memakai kacamata bulat yang gagangnya diselotape, dan tubuh kecilnya tenggelam dalam pakaian lusuh yang kebesaran, serta sangat sentimental dan emosional. Kemenangannya melawan Voldemort yang jahat pun kebanyakan adalah keberuntungan sihir yang melindunginya. Sihir menjadi satusatunya harapan Harry untuk bertahan. Sihir ini menjadikan penampilan yang ditunjukkan Harry tak lagi penting dalam menentukan apakah dia maskulin atau tidak. Ini mengindikasikan bahwa Rowling ingin melakukan perubahan baik itu pada konsep maskulinitas maupun witchcraft. Di satu sisi, witch dan wizard mencoba untuk disatukan untuk memberikan persepsi bahwa sihir merupakan sesuatu yang dapat diterima. Namun di sisi lain, tetap saja simbol-simbol yang digunakannya adalah laki-laki. Namun laki-laki yang digunakan Rowling bukanlah laki-laki seperti yang lazim didefinisikan sebagai maskulinitas hegemonik konvensional. Untuk itu, penelitian ini mencoba menggali lebih dalam makna sihir dalam novel Harry Potter dan bagaimana sihir mengonstruksi maskulinitas dan femininitas, serta citra perempuan tukang sihir (witch) dalam novel tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Mengingat dalam sejarah, witch mendapat perlakuan yang sangat keji di masa lalu, serta persepsi buruk itu terus melekat hingga sekarang, pengarang melalui novelnya Harry Potter jelas ingin mengubah persepsi buruk tersebut. Witch dan 6

7 wizard disatukan untuk menunjukkan bahwa witch tidak selalu buruk. Witchcraft yang pada kenyataannya dianggap sebagai simbol lemahnya perempuan, dalam novel ini dibalik posisinya menjadi simbol kekuatan, tetapi tetap saja simbol-simbol yang digunakan adalah laki-laki. Namun, laki-laki yang dipakai disini bukanlah laki-laki yang kekar, kuat, jago berkelahi, seperti kriteria maskulin yang lazim kita temui melainkan anak laki-laki yang umumnya masuk dalam kelompok wimpy boy yang sering diejek karena penampilan mereka yang tidak maco, misalnya Harry yang berkacamata tebal, berantakan, sentimental, dan emosional. Selain untuk mengangkat posisi sihir, novel ini juga membongkar wacana maskulinitas hegemonik. Berdasarkan rumusan masalah di atas, terdapat tiga pertanyaan yang menjadi dasar dari penelitian ini yaitu: 1) Bagaimana sihir (witchcraft), witch dan wizard diposisikan dalam novel Harry Potter; 2) Bagaimana konstruksi maskulinitas dan femininitas terkait isu witch dan wizard dalam novel Harry Potter; dan 3) Bagaimana pemosisian sentral dan periferi terkait femininitas dan maskulinitas tersebut. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk memperlihatkan makna dari sihir itu diputarbalikkan untuk mengubah persepsi tentang witchcraft yang diyakini merupakan simbol bahwa perempuan adalah mahluk yang lemah. Maka, mereka bersekutu dengan setan. Penelitian ini juga melihat bagaimana melalui sihir tersebut, konstruksi maskulinitas dibongkar, serta melakukan pencitraan ulang terhadap perempuan tukang sihir (witch) dalam novel Harry Potter. 7

8 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian terhadap novel Harry Potter ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan dalam dunia sastra, akademik, dan masyarakat secara luas. Diharapkan nantnya hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan terhadap dunia akademik yang melihat karya sastra sebagai produk budaya yang menjadi cerminan serta refleksi masyarakat serta dapat dijadikan sebagai acuan serta referensi tambahan dalam penelitian selanjutnya. Selain itu, secara praktis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu bukan saja kalangan pendidik, mahasiswa, tetapi secara keseluruhan pada masyarakat agar dapat lebih kreatif dalam menciptakan karya sastra sebagai cerminan dan wujud dari kelompok masyarakat. 1.5 Tinjauan Pustaka Selama beberapa tahun terakhir, sudah sangat banyak penelitian-penelitian yang membahas novel Harry Potter kaitannya dengan gender, feminisme, ataupun unsur-unsur sihir dan magis yang ada di dalamnya. Namun, sampai saat ini penulis belum menemukan ada penelitian yang mengaitkan antara isu gender dan sihir yang ada dalam novel ini. Dalam tesisnya yang mengangkat isu peran gender dalam novel Harry Potter, Tsatsa (2013) menganalisis bagaimana gender ditampilkan oleh tiga pemeran utama dalam novel ini yaitu Harry, Ron dan Hermione. Tsatsa mengfokuskan penelitiannya 8

9 untuk melihat apakah ketiga tokoh tersebut melawan stereotip gender, ataukah mereka membangun sebuah klise, norma, dan sereotype terkait dengan gender. Dengan mengacu pada teori gender yang dikemukakan oleh Judith Butler mengenai gender sebagai sesuatu yang performatif, Tsatsa menemukan bahwa sifat maskulin dan feminin tidak dibatasi oleh jenis kelamin. Ketiga tokoh tersebut merupakan perwakilan performa gender yang berbeda-beda. Harry diperlihatkan sebagai tokoh yang memiliki karakteristik maskulinitas tradisional, Ron sebagai laki-laki yang memiliki sisi-sisi feminin dan Hermione adalah perempuan yang memiliki sisi-sisi maskulin dalam dirinya, tetapi juga tetap sebagai perempuan yang feminin. Oskarsdottir (2012) membandingkan antara representasi gender yang dimunculkan dalam novel dan film Harry Potter dan efeknya sebagai agen sosialisasi gender. Oskarsdottir menemukan bahwa walaupun karakter-karakter perempuan dalam novel ini tidak sepasif karakter dalam cerita-cerita dongeng barat, tapi laki-laki tetap memegang posisi yang lebih tinggi dan menguasai. J.K. Rowling gagal menempatkan tokoh-tokoh perempuan dalam novelnya sejajar dengan laki-laki. Dalam filmnya, persamaan posisi perempuan dengan laki-laki digambarkan dengan lebih baik jika dibandingkan dengan novelnya, khususnya dalam penggambaran tokoh Hermione. Menganalisis karakter keluarga Weasley, Dursley, Harry, Hermione, Nevil, dan Ginny, Oskarsdottir berpendapat bahwa novel Harry Potter memuat opini umum tentang stereotip gender bahwa jenis kelamin secara alamiah berbeda. Menurutnya, buku ini akan berperan sebagai agen untuk meneruskan keyakinan tentang perbedaan 9

10 gender antara feminin dan maskulin, sekaligus mengajarkan anak-anak bagaimana berperilaku sesuai gendernya. Turbiville (2005) melakukan sebuah penelitian untuk melihat apakah ada korelasi antara pencekalan film Bewitch pada era 1960-an dan novel Harry Potter pada awal kemunculannya di tahun Hasilnya, terdapat korelasi antara alasan dicekalnya Bewitch dan Harry Potter, yaitu karena ada unsur witch dan witchcraft dalam film dan novel tersebut. Buku Harry Potter dianggap membahayakan karena unsur witch dan witchcraft yang ada di dalamnya. Milwee (2009) menganalisis apakah Harry Potter adalah novel bertema keluarga atau rahasia sihir hitam. Ia menemukan bahwa Harry Potter adalah bacaan yang menarik, tidak seperti yang dikecam para penganut Kristen fanatik. J.K Rowling berhasil menghadirkan sihir sebagai dunia yang menarik, penuh dengan imajinasi dan humor. Para penyihir yang mengalami berbagai komplikasi yang hampir sama dengan manusia pada umumnya memunculkan persepsi tidak ada perbedaan antara penyihir dan bukan penyihir selain mereka memiliki kemampuan magis namun sama dengan dunia kita, dunia sihir juga bukan dunia yang sempurna. Di tahun 2011, Debbie June Rodrigues menulis sebuah tesis yang menganalisis sihir dan gender dalam novel Harry Potter. Namun, sihir dan gender dibahas secara terpisah dalam dua kerangka yang berbeda. Hal-hal magis yang terjadi dalam novel Harry Potter dianalisis dengan teori semiotik, karena dianggap sebagai simbol dan metafora. Simbol dan metafora ini mewakili fenomena yang terjadi di masyarakat kita, agar pembaca dapat menyadari fenomena yang ada di sekitar mereka 10

11 dengan cara yang lebih segar. Sementara fenomena gender dilihat dari sifat para tokoh dan perubahan yang terjadi pada diri tokoh-tokoh tersebut dari novel seri pertama sampai ke tujuh. Menurut Rodrigues (2011), J.K. Rowling menunjukkan bahwa gender adalah proses sosial. Gender bersifat cair dan asumsi gender yang sudah ada berpotensi untuk ditolak atau diganti dengan perspektif yang baru. Sebagaimana yang ditunjukkan Wannamaker, kemungkinan mendefinisikan ulang asumsi gender menjadi lebih inklusif dan kurang memiliki batasan, karena buku-buku menggambarkan harapan masyarakat melalui tokoh-tokoh yang tidak selalu sesuai atau dengan jelas masuk ke dalam salah satu kategori-kategori gender tertentu. Sama hanya seperti Rowling yang menunjukkan bahwa maskulinitas dan femininitas didefinisikan sebagai konsep yang dapat tumpang tindih dalam diri individu. Krunoslav (2009) menganalisis relasi gender yang terdapat dalam novel Harry Potter karya J.K. Rowling dan menyimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan ditempatkan dalam posisi yang setara tanpa menghilangkan perbedaan-perbedaan yang fundamental dari keduanya. Niat Rowling tidak menghapus perbedaan, sebaliknya dia menempatkan mereka di ujung-ujung lingkaran bayangan, pada lintasan berjarak sama, sehingga mereka tidak pernah menghapuskan satu sama lain. Dalam sistem ini, baik androgenisasi karakter perempuan, maupun feminisasi karakter laki-laki tampaknya diperlukan untuk mencapai saling menghormati dan kesetaraan dalam tekstur sosial dunia modern. Ruthann (2003) mengkritik cara J.K. Rowling dalam mengkonstrusi gender, serta agensi karakter perempuan dengan cara mendekonstruksi representasi dari 11

12 agensi perempuan dalam teks. Ruthann melihat agensi perempuan dalam novel Harry Potter dengan menggunakan analisis wacana kritis. Interpretasi agensi perempuan dalam disertasinya ditekankan pada 5 tema: taat/pelanggar aturan, kecerdasan, pengesahan/kemungkinan, perempuan tipe pengasuh dan perlawanan yang tertahan. kelima tema ini mengandung unsur oposisi biner, ikatan gender, dan perempuan sebagai yang lain/ other. Dalam disertasinya Ruthann menemukan adanya konstruksi gender tradisional dalam novel Harry Potter. Menurut Ruthann (2003), J.K Rowming mengkonstruksi perempuan dan lakilaki dalam sebuah oposisi yang sangat jelas satu sama lain. Petualangan dalam novel ini menonjolkan karakter laki-laki yang aktif, sementara karakter perempuan yang pasif hanya sekedar sebagai tubuh di belakang laki-laki yang mendukun aksi lakilaki. Adapun yang membuat novel ini menjengkelkan dan menarik di saat yang bersamaan adalah perlawanan tokoh perempuan. Kebanyakan tokoh perempuan dalam teks melakukan perlawanan, tetapi ketika mereka melawan hanya sampai pada titik tertentu dan kemudian mundur kembali. Dengan mengkonstruksi karakter perempuan seperti ini, Rowling memberikan pesan kepada pembaca bahwa perempuan harus menunjukkan diri, tetapi hanya sampai pada titik tertentu dan tidak mengambil posisi laki-laki. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ketujuh penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menganalisis unsur gender dalam novel Harry Potter hanya pada tataran yang sangat umum. Ketujuh penelitian tersebut juga hanya sampai pada menjelaskan bagaimana karakteristik dan pemosisian laki-laki dan perempuan dalam 12

13 novel ini. Untuk itu, penelitian yang penulis lakukan ini mengaitkan unsur sihir yang menjadi tema novel ini sekaligus menjadikan novel ini populer dengan konstruksi maskulin feminin dan posisi laki-laki perempuan, serta melihat dampaknya terhadap citra perempuan yang dalam novel ini merupakan perempuan tukang sihir (witch). 1.6 Landasan Teori Gender dan Konstruksi Maskulinitas dan Femininitas Dalam ruang kajian gender, laki-laki dan perempuan dibagi ke dalam dikotomi maskulin dan feminin yang kemudian melahirkan oposisi biner dalam hubungan keduanya. Oleh karena gender merupakan sebuah pencapaian status (Connell, 1995:71) baik laki-laki maupun perempuan memerankan gendernya masing-masing. Relasi gender ini pada dasarnya merupakan relasi power (Cornwall, 1997:8). Bagi laki-laki, gender tidak hanya menyangkut fisik, tetapi juga menyangkut sikap, persepsi, dan kecerdasan. Secara historis, kecerdasan itu sendiri adalah sifat yang hanya ada pada diri laki-laki, khususnya dalam bidang seperti psikoanalisis, filosofi, dan ilmu kedokteran. Secara tradisional, maskulinitas identik dengan seorang laki-laki yang kuat, rasional, penentu, kompetitif, kuat secara fisik, mengesampingkan aspek emosional, dan non-feminin (Connell via Barker 2011: 53) dan perempuan adalah seseorang yang menarik secara fisik, pengasuh/pemelihara, emosional, dan peduli. 13

14 Dalam sebuah proses pengulangan praktik sosial yang terjadi secara terus menerus, kualitas konten maskulinitas dan femininitas menjadi bukan hanya sekedar identitas gender atau menunjukkan jenis individu, tetapi juga yang lebih penting, pengulangan kolektif dalam bentuk budaya, struktur sosial, dan organisasi sosial. Ciri-ciri ideal maskulinitas dan femininitas sebagai dua kubu yang saling melengkapi dan hirarkis memberikan alasan adanya relasi-relasi sosial antara laki-laki dan perempuan pada semua level organisasi sosial mulai dari diri, interaksi, struktur institusional, sampai pada hubungan global dominasi. Individu, kelompok, dan masyarakat menggunakan maskulinitas dan femininitas sebagai alasan atas apa yang dilakukan, bagaimana melakukannya, dan secara kolektif melakukannya secara berulang pada berbagai keadaan institusional. Tidak hanya perbedaan gender, tetapi juga hubungan implisit antara gender yang menjadi ciri-ciri taken-for-granted dari relasi interpersonal, budaya, dan struktur sosial. Artinya, perbedaan gender kini dilembagakan, begitu pula rasionalitas gender (Schippers, 2007: 91). Dalam suatu masyarakat, selalu terdapat lebih dari satu jenis maskulinitas dan femininitas. Jenis-jenis maskulinitas dan femininitas ini tidak begitu saja saling berdampingan satu sama lain. Ada sebuah relasi dimana jenis maskulinitas tertentu lebih dihargai dan lebih tinggi posisinya dibandingkan dengan jenis maskulinitas yang lain, begitu pula yang terjadi dalam relasi antar femininitas. Maskulinitas dan femininitas ini mendominasi pada waktu dan tempat tertentu, tetapi bukan berarti mematikan jenis maskulinitas dan femininitas yang lain. Jenis- jenis maskulinitas dan femininitas yang lain masih tetap bertahan, tetapi menjadi yang subordinat. 14

15 Maskulintas dan femininitas hegemonik merupakan ideologi tentang bagaimana menjadi laki-laki atau perempuan yang dapat diterima (Connell, 2000:4). Maskullinitas dan femininitas yang lebih tinggi posisinya disebut sebagai maskulinitas dan femininitas hegemonik. Hegemonik berarti berkaitan dengan dominasi budaya dalam masyarakat secara keseluruhan (Connell, 1995:78). Jadi, wacana maskulinitas dan/atau femininitas ini menggunakan aspek budaya, institusi, dan cara-cara persuasif untuk meyakinkan masyarakat sampai masyarakat tidak menyadari bahwa mereka sedang dipengaruhi untuk ikut pada satu ideologi. Oleh karena itu, Connell menyebutnya sebagai maskulinitas dan/atau femininitas yang mendominasi secara kultural. Femininitas hegemonik yang konvensional mengatur penampilan dan perilaku perempuan, bahwa perempuan dinilai dari proporsi tubuh, penampilan dan kecantikan mereka. Salah satu contohnya adalah keyakinan bahwa perempuan yang ideal harus bertubuh langsing. Penelitian menunjukkan adanya tekanan sosial budaya yang signifikan pada perempuan untuk menjadikan tubuhnya kurus. Dalam masyarakat Amerika mas kini, gemuk disamakan dengan "devaluasi feminin" (Dworkin & Wachs, 2004: 611). Dworkin dan Wachs menemukan bahwa tekanan untuk menjadi kurus dan bugar telah meningkat dengan sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan tubuh perempuan sebelum, selama, dan setelah kehamilan dinilai berdasarkan penampilan bugar, yang berhubungan dengan femininitas. Pentingnya tipe tubuh tertentu untuk mencapai femininitas memupuk sikap usaha untuk mendorong penampilan. 15

16 Selain tubuh langsing sebagai tolak ukur ideal perempuan, kosmetik dan rambut adalah penanda lain dari femininitas. Rambut yang panjang dan sehat sebagai tipe yang ideal. Koppelman (1996:87) menyebutkan bahwa perempuan dengan kepala botak atau rambut berwarna abu-abu atau putih dianggap menentang konstruksi sosial kecantikan perempuan. Kata feminin pada dasarnya merupakan naskah yang diikuti oleh perempuan untuk bisa menjadi menarik dan diinginkan oleh laki-laki heteroseksual, serta untuk membuat perempuan lain iri (Leavy, 2009: 272). Artinya, terjadi sebuah kompetisi di antara perempuan untuk menunjukkan dirinya sebagai yang paling tinggi posisinya dalam hirarki femininitas, berdasarkan kriteria femininitas hegemonik. Meskipun keduanya hegemonik, femininitas dan maskulinitas hegemonik adalah struktur yang tidak setara. Maskulinitas hegemonik adalah suprastruktur dominasi sementara femininitas hegemonik terbatas pada hubungan kekuasaan kalangan perempuan. Namun begitu, kedua struktur ini saling terkait dimana femininitas hegemonik dibangun untuk melayani maskulinitas hegemonik, sebagaimana legitimasi yang diberikan terhadap femininitas (Schippers, 2007: 88). Femininitas hegemonik tidak pernah bisa berada sejajar dengan maskulinitas hegemonik. Connell (1987: 187) menyebutkan bahwa semua bentuk femininitas di masyarakat dikonstruksi dalam konteks subordinsi penuh perempuan pada laki-laki. Untuk alasan ini, tidak ada femininitas yang memegang kekuasaan di antara perempuan yang mampu memperoleh posisi dalam maskulinitas hegemonik laki-laki. 16

17 Femininitas hegemonik sekalipun akan selalu berada di bawah maskulinitas. Ia kemudian membuat istilah emphasized femininity : Salah satu bentuk [femininitas] didefinisikan semacam kepatuhan terhadap subordinasi ini dan diorientasikan untuk mengakomodasi kepentingan dan keinginan laki-laki. Saya akan menyebutnya emphasized feminity. Bentuk yang lain ada yang diartikan secara sentral dengan strategi-strategi resistensi atau bentuk-bentuk ketidakpatuhan. Yang lainnya lagi diartikan dengan kombinasi strategi kompleks kepatuhan, resistensi, dan kerjasama (Connell, 1987: ) Disini Connell mengungkapkan bahwa ada banyak bentuk femininitas, tetapi fokus dari kesemuanya itu lebih pada relasi dengan maskulinitas. Connell (1987:188) menulis bahwa femininitas diatur sebagai bentuk adaptasi kekuasaan laki-laki, dan menekankan kerelaan, pengasuhan, dan empati sebagai sifat kebajikan feminin untuk membentuk hegemoni atas semua bentuk femininitas. Berbeda halnya dengan femininitas hegemonik yang hanya membawahi femininitas-femininitas lain yang subordinat, maskulinitas hegemonik tidak hanya hegemonik dalam konteks hubungannya dengan bentuk maskulinitas yang lain, melainkan dalam relasinya dengan susunan gender secara umum. Maskulinitas hegemonik merupakan wujud hak istimewa laki-laki secara kolektif terhadap perempuan. Identitas maskulinitas hegemonik dibentuk menentang yang lain (otherness) baik itu perempuan pada umumnya dan homosexual khususnya, kebencian terhadap perempuan dan homophobia. Di bawah hirarki maskulinitas hegemonik ini, hadir maskulinitas subordinat, femininitas hegemonik, dan 17

18 femininitas subordinat, yang artinya mereka tunduk di bawah dominasi maskulinitas hegemonik dan mengikuti segala aturan yang diberlakukan oleh maskulinitas ideal dalam patriarki. Maskulinitas hegemonik sebagai kualitas kelaki-lakian yang membentuk dan melegitimasi relasi hirarkis dan saling melengkapi dengan femininitas (Connell, 1995: 78 80). Berangkat dari definisi ini, Schippers, 2007: 94) mendefinisikan femininitas hegemonik terdiri dari ciri-ciri yang mendefinisikan keperempuanan yang membentuk dan meligitimasi relasi hirarkis, sehingga saling melengkapi dengan maskulinitas hegemonik. Dengan demikian, konsep itu menjamin posisi dominan laki-laki dan subordinasi perempuan. Hegemoni gender beroperasi tidak hanya melalui subordinasi femininitas pada maskulinitas hegemonik, tetapi juga melalui subordinasi dan marginalisasi maskulinitas lainnya. Jadi, meskipun penekanannya lebih pada femininitas sebagai pusat dominasi maskulin, hal itu bukan satu-satunya mekanisme untuk memastikan dominasi laki-laki. Dalam hegemoni gender, pengaruh maskulinitas hegemonik atas kelompok maskulinitas terpinggirkan lainnya sama pentingnya dengan kekuasaan maskulin terhadap kelompok tersubordinasi (perempuan). Maskulinitas hegemonik memastikan dominasi laki-laki, sehingga semua laki-laki bisa mendapatkan keuntungan pada tingkat-tingkat tertentu meskipun kebanyakan laki-laki tidak harus "di garis depan" atau mewujudkan maskulinitas hegemonik dalam dirinya. Connell (1995:77) mendefinisikan maskulinitas hegemonik sebagai konfigurasi praktek gender yang memberikan jawaban yang dapat diterima menyangkut masalah legitimasi partiarki, yang menjamin (atau memberikan jaminan) posisi dominan laki- 18

19 laki dan subordinasi perempuan. Maskulinitas hegemonik, ketika diwujudkan oleh sekurangnya beberapa laki-laki dari waktu ke waktu, akan melegitimasi dominasi laki-laki atas perempuan sebagai kelompok. Stereotip maskulinitas hegemonik itu, menurut Barker (2011: 241) umumnya adalah maskulinitas tradisional yang merupakan suatu generalisasi yang menjelaskan nilai-nilai kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kontrol, independensi, keswadayaan, perkawanan/ jalinan persahabatan laki-laki, kerja dan lain-lain. Adapun yang dipandang rendah adalah dependensi, kemampuan verbal, kehidupan domestik, kelembutan, komunikasi, perempuan, dan anak-anak. Sejalan dengan itu, Connel (1995:68) menyebutkan konsep mendasar dari maskulinitas hegemonik adalah kekuatan fisik, heteroseksualitas eksklusif, daya saing, homofobia, ketangguhan emosional, kemampuan untuk menggunakan kekerasan interpersonal, kemampuan dalam menghadapi konflik, dan pemilik otoritas. Karakteristik ini menjamin dominasi yang sah laki-laki atas perempuan, hanya ketika mereka secara simbolis dipasangkan dengan sifat-sifat inferior yang melekat pada femininitas. Sifat-sifat itu meliputi kerentanan, ketidakmampuan untuk menggunakan kekerasan secara efektif, dan kepatuhan. Laki-laki heteroseksual pada umumnya mendapatkan apa yang diistilahkan sebagai keuntungan patriarkal, misalnya gaji yang lebih tinggi, kesempatan yang lebih luas dalam hal pekerjaan dan partisipasi politik dibandingkan perempuan. Namun, ada grup-grup laki-laki tertentu yang tidak mendapatkan hal tersebut. Kelompok-kelompok ini biasa disebut kelompok maskulinitas yang termarginalkan, 19

20 yaitu mereka yang dianggap tidak dapat memenuhi kriteria maskulinitas hegemonik. Laki-laki yang masuk dalam golongan ini misalnya mereka yang memiliki sifat menyerupai perempuan, lemah, atau karena kelas sosial dan ras mereka otomatis menjadi laki-laki yang terpinggirkan (Connell, 1997:64). Maskulinitas marginal bisa juga mereka yang berasal dari kelas atau ras subordinat/ kelompok etnis tertentu. Sementara hegemoni, subordinasi, dan komplisitas adalah aspek-aspek dari aturan gender. Oleh karena alasan tersebut, laki-laki menggunakan tingkat maskulinitas untuk berkompetisi satu sama lain. Mereka mereka saling membandingkan satu sama lain berdasarkan segala jenis sumberdaya yang mereka miliki, yang dianggap dapat menunjukkan maskulinitasnya. Semakin besar ciri-ciri maskulinnya dan paling mendekati kriteria maskulinitas hegemonik yang diperesyaratkan oleh lingkungan tempat mereka hidup, maka semakin tinggi pula posisinya (top level masculinity). Sebaliknya, jika seorang laki-laki tidak mampu memenuhi dan jauh dari stereotip maskulinitas hegemonik, maka dia dianggap bukan bagian dari mereka (low level masculinity). Dalam konteks lingkungan sekolah misalnya, laki-laki yang masuk dalam kelompok high level masculinity adalah kelompok remaja laki-laki yang dianggap memiliki pengaruh besar di lingkungannya dan diidolakan oleh anak-anak lain yang tidak mampu meniru penampilan mereka, sementara low level masculinity ini biasanya yang berkacamata, berkawat gigi, berpenampilan culun, kutu buku, dan/atau berasal dari kelas sosial yang dianggap lebih rendah. Maskulinitas dapat dipaparkan sebagai nilai-nilai yang membangun identitas kelaki-lakian dalam 20

21 masyarakat sebagai pembatas tentang nilai-nilai, bukan feminin atau dengan kata lain merupakan perwujudan ideal laki-laki. Oleh karena legitimasi bahwa ciri-ciri maskulin adalah milik laki-laki, serta melekat pada tubuh laki-laki, maka perempuan yang menunjukkan ciri maskulin dianggap keluar dari jalurnya. Mereka dicela karena dianggap sebagai perempuan yang rendah kualitas femininitasnya, karena femininitas mereka dicemari oleh sifatsifat maskulin. Schippers (2007: 95) mengistilahkan perempuan seperti ini sebagai pariah femininity. Pariah artinya kasta yang terendah bahkan arti kasarnya sampah masyarakat. Perempuan yang masuk dalam kategori ini misalnya mereka yang tangguh dan agresif dicela sebagai badass girl, yang membebaskan dari kekuasaan patiarki disebut bitch, atau yang mandiri dan tidak mudah mengalah ( cock-teaser and slut). Perempuan yang seperti ini secara sosial tidak diinginkan dan dianggap mencemari masyarakat. sebaliknya jika sifat seperti ini melekat pada laki-laki, posisinya akan sangat positif. Schippers (2007: 97) meyakini bahwa hal ini dilakukan untuk menjaga tatanan gender, serta hubungan subordinasi dan dominasi antara lakilaki dan perempuan. Sama halnya dengan perempuan, laki-laki yang menunjukkan ciri-ciri feminin misalnya tertarik pada laki-laki, lemah, selalu tunduk dan mengalah juga dianggap sebagai pencemaran dan meresahkan masyarakat. Laki-laki seperti ini menjadi sasaran stigma dan sanksi sosial. Laki-laki seperti ini biasa diejek sebagai fag, pussy, dan the wimp. Apa yang oleh Connell disebut sebagai maskulinitas subordinat. 21

22 Maskulinitas dan femininitas bisa menjadi "proyek gender" dalam kehidupan individu, tetapi tidak mengacu pada fitur atau jenis orang tertentu. Alih-alih menguasai atau memiliki maskulinitas, individu juga akan bergerak dan menghasilkan maskulinitas dengan terlibat dalam praktik maskulin. Dengan begitu, maskulinitas adalah praktek teridentifikasi yang muncul di seluruh ruang, dari waktu ke waktu, akan diakui dan disahkan secara kolektif oleh kelompok, komunitas, dan masyarakat. Dengan pengesahan yang berulang dari waktu ke waktu, praktek-praktek ini membentuk sebuah produksi dan distribusi sumber daya, distribusi kekuasaan dalam bentuk otoritas, cathexis, dimana Connell mengartikannya sebagai arena sosial keinginan dan seksualitas, dan simbolisme atau produksi makna dan nilai-nilai. Oleh karena itu, secara ringkas dapat dikatakan bahwa maskulinitas adalah posisi sosial, seperangkat praktek, dan efek dari perwujudan kolektif praktek-praktek pada individu, hubungan, struktur institusional, dan hubungan global dari dominasi. Konsep maskulinitas dan femininitas dihasilkan, diperebutkan, dan diubah melalui proses diskursif, dan karena itu dapat tertanam dengan baik, serta sarat dengan hubungan kekuasaan. Dalam model ini, maka, dinamika kekuasaan adalah pusat, tidak hanya dalam fokus konseptual pada hubungan hirarkis antara maskulinitas dan femininitas daripada karakteristik tertentu ideal, tetapi juga dalam hal dinamika produksi, proliferasi, dan kontestasi wacana yang mengartikulasikan apa laki-laki dan perempuan dan hubungan mereka satu sama lain. Femininitas dan maskulinitas sebenarnya merupakan suatu konsep yang sangat kompleks dan dapat selalu berubah (shifting). Penelitian di bidang sosiologi menemukan bahwa 22

23 masyarakat dengan budaya dan periode sejarah yang berbeda mengkonstruksi karakter maskulinitas yang berbeda (Connell, 2000:3). Dalam setiap lingkungan kerja, bertetangga atau kelompok teman sebaya misalnya, masing-masing memiliki pemahaman yang berbeda mengenai karakter laki-laki maskulin. Apa yang disebut sebagai isu-isu perempuan menyangkut opresi dan patriarki juga adalah isu-isu laki-laki, karena sama seperti halnya perempuan, lakilaki juga tergenderkan (Connel, 1997: 63). Adanya stereotip maskulin dan feminin membuat perempuan tersubordinasi karena dianggap lemah. Sementara bagi laki-laki hirarki maskulinitas dalam dunia mereka membuat mereka yang tidak dapat menunjukkan ciri-ciri maskulinitas hegemonik menjadi laki-laki yang terpinggirkan. Pendikotomian gender menjadi maskulin dan feminin telah memunculkan dualisme dalam diri perempuan dan laki-laki. Hasil penelitian terbaru meyakini bahwa gender tidak boleh dilekatkan pada tubuh seperti yang selama ini diartikan bahwa maskulinitas melekat pada tubuh laki-laki dan femininitas pada tubuh perempuan, melainkan lebih sebagai seperangkat perilaku yang dominan dan diekspresikan melalui wacana seksual. Connell (1987:67) menyatakan bahwa dalam diri setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, sama-sama memiliki sisi maskulin dan feminin. Sementara itu gender memaksa mereka untuk memilih masuk ke kategori maskulin atau feminin. Ketika dikotomi gender ini dihilangkan, maka sifat-sifat feminin dan maskulin dalam diri individu dapat dinegosiasikan, sehingga terjadi keselarasan antar keduanya. 23

24 Penelitian yang dilakukan oleh Barker di tahun 2011 pada sebuah sekolah gulat menunjukkan bahwa bahkan di lingkungan sekolah gulat yang sangat menekankan kekuatan fisik, homofobia, daya saing, dan mengesampingakan perasaan (emosi), tetap ditemukan perilaku-perilaku inklusif yang mengarah ke feminin. Sejalan dengan pernyataan Connel dan hasil penelitian Barker, Cornwall (1997: 11) menerangkan bahwa walaupun maskulinitas hegemonik berhubungan dengan dominasi dan kekuasaan (power), tetapi atribut yang menandakan maskulinitas tidak selalu berasosiasi dengan laki-laki. Perempuan juga dapat memiliki beberapa atribut ini. Dengan begitu, tidak semua laki-laki memiliki power, dan tidak semua yang memiliki power adalah laki-laki. Dalam konseptualisasi yang ditawarkan di sini, maskulinitas bukanlah sebuah tempat, praktik, atau struktur yang dihasilkan. Bagi Connell (1997: 66), "tempat" merujuk pada posisi sosial "perempuan" dan "laki-laki", sementara perwujudan karakter maskulinitas atau femininitas oleh individu adalah perwujudan gender atau display. Mewujudkan dan memproduksi relasi antara maskulinitas dan femininitas dalam interaksi sosial adalah "doing gender". Sejauh mana relasi hirarkis dan saling melengkapi antara maskulinitas dan femininitas yang dilembagakan merupakan struktur gender (Schippers, 2007: 93). Hal ini menawarkan jalur konseptual dan empirik keluar dari peleburan antara praktik laki-laki dan perempuan, dengan maskulinitas dan femininitas yang memungkinkan mereka menduduki posisi sebagai "perempuan" untuk terlibat dalam praktik atau mewujudkan ciri-ciri yang dianggap maskulin, serta bagi "laki-laki" untuk mewujudkan ciri-ciri femininitas. Maskulinitas 24

25 dan femininitas beserta konstruksi relasi mereka satu sama lain merupakan sebuah alasan yang terbuka untuk praktik, sekaligus sebagai rujukan yang dapat digunakan untuk menafsirkan dan menilai, tidak hanya sekedar display gender dan praktik individu, tetapi semua relasi sosial, kebijakan, aturan, dan praktik institusional dan struktur (Schippers, 2007: 93). Connell (1997:67) tidak setuju dengan dimensi tubuh gender yang sering dianggap batas absolut perubahan. Menurutnya, jika kita memahami gender sebagai cara tubuh ditarik ke dalam proses historis, maka kita bisa mengenali kontradiksi dalam perwujudan yang ada, serta dapat melihat besar kemungkinan untuk perwujudan kembali tubuh laki-laki. Menurut Connell (1997:66), ada banyak cara berbeda untuk menggunakan, merasakan, dan menunjukkan tubuh laki-laki. Hubungan gender bersifat historis, sehingga hierarki gender dapat berubah. Oleh karena itu, maskulinitas hegemonik muncul dalam situasi tertentu dan terbuka untuk perubahan yang sifatnya historis. Penggunaan kostum berwarna pink oleh tim tasional sepak bola Amerika yang tidak menimbulkan komentar negatif, adalah bukti bahwa gender bisa dinegosiasikan, sehingga perubahan selalu terbuka (Barker, 2011: 61). Di tahun 1970, sebuah gerakan yang disebut men s Liberation menyimpulkan bahwa feminisme baik untuk laki-laki, karena laki-laki juga menderita akibat dikotomi jenis kelamin ini. Tujuan yang diusung oleh kelompok ini adalah penghapusan maskulinitas (dan femininitas) melalui sebuah gerakan menuju androgini, pencampuran dua sex roles yang berarti bahwa kita harus mengubah kehidupan pribadi. Namun, menurut Connell hal ini meremehkan kompleksitas 25

26 maskulinitas dan femininitas, sehingga pembahasan terlalu banyak menekankan sikap pada kesenjangan material dan isu-isu kekuasaan. Untuk itu, Connell (1997: 66) lebih menyarankan mengubah komposisi elemen gender; membuat berbagai macam simbolisme gender dan kegiatan yang didesain terbuka untuk semua orang. Contohnya di sekolah siswa perempuan diberi peluang untuk mempelajari sains dan teknologi, sehingga mendukung siswa laki-laki untuk belajar memasak dan menjahit. Connell (1995: 71) mendefinisikan gender sebagai sebuah cara dimana arena reproduksi, yang mencakup "struktur tubuh dan proses reproduksi manusia", mengatur praktik di semua tingkat organisasi sosial mulai dari identitas, ritual simbolik, sampai ke lembaga-lembaga dalam skala besar. Sebagai fitur utama dari relasi gender, ia mendefinisikan maskulinitas sebagai sebuah posisi dalam relasi gender yang secara bersamaan merupakan praktek, dimana laki-laki dan perempuan terlibat pada posisi tersebut dalam gender, dan efek dari praktek tersebut terhadap pengalaman tubuh, kepribadian dan budaya. Menurut Schippers (2007: 86), maskulinitas memiliki tiga komponen; pertama, maskulinitas merupakan lokasi sosial perorangan, terlepas dari jenis kelamin, dapat berpindah melalui praktek; kedua, merupakan serangkaian praktek dan karakteristik yang dipahami sebagai "maskulin"; ketiga, ketika praktik-praktik ini diwujudkan terutama oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan, maka akan memberikan efek budaya dan sosial yang luas. Dari berbagai penelitian empirik mengenai relasi maskulinitas dan femininitas, Schippers (2007: 97) menyimpulkan bahwa karakteristik dan praktik ideal maskulinitas dan femininitas merupakan hal yang bervariasi tergantung pada 26

27 konteks, kelompok, dan masyarakatnya. Variasi budaya, ekonomi, dan politik di semua kelompok dan masyarakat, serta ciri-ciri khusus dari maskulinitas dan femininitas yang memastikan dominasi laki-laki terhadap perempuan akan berbedabeda sesuai dengan konteks. Di tahun 2002, Schippers melakukan sebuah penelitian empiris dan menyimpulkan bahwa terdapat peluang untuk secara sengaja mengganti maskulinitas hegemonik, femininitas hegemonik, pariah feminity, male femininities dengan maskulinitas dan/atau femininitas alternatif. Dalam penelitiannya, Schippers mengidentifikasi bagaimana anggota subkultur musik rock tertentu menolak maskulinitas dan femininitas hegemonik yang telah menjadi wacana mainstream dalam komunitas rock. Wacana baru yang mereka bentuk untuk menolak wacana yang lama merupakan maskulinitas dan femininitas alternative (Schippers, 2007: 97) Cornwall (1997:12) menyatakan bahwa hanya karena beberapa laki-laki menempati posisi subyek pada beberapa keadaan yang memberikan mereka kekuasaan atas orang lain, tidak berarti bahwa posisi ini kongruen dengan semua aspek kehidupan mereka. Dia kemudian menyimpulkan bahwa gender adalah masalah setiap orang baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, kita perlu menemukan cara konstruktif yang lebih baik untuk menyelesaikan permasalahan dikotomi laki-laki perempuan ini. Ia menyarankan merekonstruksi asumsi kultural tentang menjadi laki-laki. Menurutnya, dengan begitu akan dicapai sebuah kesadaran bahwa gender menempatkan banyak orang pada posisi yang tidak menguntungkan dan membangun kepercayaan diri untuk bersikap berbeda. 27

28 Menurutnya sudah waktunya keluar dari ide-ide lama tentang peran gender dan dominasi laki-laki yang universal. Ini adalah waktunya untuk menemukan cara berpikir dan analisis gender yang lebih masuk akal, serta cocok dengan kompleksitas realitas hidup masyarakat Gender dan Posisi Sentral Periferi Periferi adalah sebuah kondisi. Kondisi dimana seseorang menjadi periferi atau sentral sangat tergantung dengan konteks keberadaan, sehingga periferi dan sentral adalah posisi yang selalu berubah (shifting). Cornwall (1997: 10) menjelaskan bahwa setiap hari dalam hidup, identitas kita sebagai perempuan atau laki-laki tidak pernah tetap atau absolut, melainkan beragam dan berubah-ubah. Menurut Cornwall (1997: 10), relasi gender tergantung pada konteks di mana kita berada. Hollway menyebutnya subject-position. Saat perempuan menganalisis kehidupannya, tidak satu pun dari perempuan yang selalu berada dalam posisi subordinasi orang lain. Hubungan perempuan dengan orang-orang di sekitarnya mungkin merupakan hubungan gender, dalam artian hubungan jenis kelamin yang membuat perbedaan, tetapi tidak dalam arti hanya satu dimensi hubungan kekuasaan. Sebagai perempuan, mungkin memiliki anak laki-laki, ayah, saudara, teman-teman laki-laki atau karyawan laki-laki. Dengan orang-orang yang posisinya berbeda-beda ini, tentunya perempuan juga memiliki pola hubungan yang berbeda dibandingkan dengan hubungan dibandingkan dengan kekasih, suami atau atasan. Oleh karena itu, dalam konteks 28

29 yang menempati posisi sentral atau periferi, bisa saja laki laki dan perempuan saling tumpang tindih. Dikotomi laki-laki perempuan, maskulin-feminin telah menghasilkan sebuah oposisi biner yang membuat dua kubu ini bertentangan satu sama lain. Laki-laki ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi (sentral) dan perempuan pada posisi marginal (periferi). Bartky (1988: 30) menuliskan hal tersebut. Ruang perempuan bukan bidang di mana intensionalitas tubuhnya dapat secara bebas direalisasikan, tetapi sebuah kandang di mana dia merasa dirinya diposisikan, serta di mana dia di kurung. Konsepsi ruang perempuan menggambarkan ide umum dari ruang tertutup, daya / ketidakberdayaan, dan tubuh sebagai situs gender performativity (Butler via Leavy, 2009: 261). Hubungan antara feminin dan maskulin ini telah membentuk sebuah hirarki gender dimana perempuan sebagai yang feminin berada pada posisi di bawah, diyakini menjadi pihak yang terdomestifikasi, teropresi, dan korban kekerasan berbasis gender. Sementara itu, laki-laki sebagai yang maskulin berada di posisi atas hirarki, sebab dianggap memiliki power untuk menguasai. Kalkulasi, kompetensi, dan logika yang dianggap merupakan kemampuan laki-laki memungkinkan laki-laki untuk memiliki kontrol atas konstruksi kultural femininitas, serta telah memposisikan tubuh perempuan sebagai situs objektifikasi (Leavi, 2009: 262). Baik secara pikiran maupun fisik laki-laki, selalu diletakkan dalam posisi menguasai perempuan atau sebagai perbandingan dengan tubuh perempuan, untuk membuat pemisahan antara yang kuat dan kurang kuat (Leavy, 2009: 262). Melalui seksualisasi tubuh 29

30 perempuan, tubuh fisik itu sendiri menjadi situs seksualitas, di mana kepribadian dan emosi dihapus atau diabaikan. Dalam konteks dunia barat, hubungan sentral dan periferi umumnya ditentukan oleh ras dan kelas. Konsep ini didasarkan pada etnosentrisme yang dianut oleh ras kulit putih. Imperialisme Barat yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih memungkinkan kolonisasi oleh bangsa kulit putih terhadap ras dan kelompok lain, utamanya ras kulit hitam dan negara dunia ketiga. Dengan demikian, ras kulit putih mampu menempati posisi sentral dan ras kulit hitam, serta negara dunia ketiga sebagai the other (periferi). Berbagai penelitian dalam bidang kajian gender membuktikan bahwa ketidaksetaraan gender bisa sangat beragam diakibatkan oleh ras/etnisitas dan kelas. Gender, ras dan kelas saling mempengaruhi sistem dominasi yang berefek pada akses terhadap kekuasaan dan hak-hak istimewa, mempengaruhi relasi sosial, mengkonstruksi makna, dan membentuk pengalaman sehari-hari masyarakat (Cotter dkk, 1999: 433). Dalam relasi laki-laki kulit putih dan kulit hitam, laki-laki kulit putih merupakan sentral, sementara laki-laki kulit hitam menempati posisi periferi. Namun, antara laki-laki kulit hitam dan perempuan kulit hitam, lakilaki kulit hitam menempati posisi sentral dan perempuan kulit hitam merupakan periferi. Dalam hirarki ini, perempuan kulit hitam selalu menempati posisi periferi baik dalam relasinya dengan laki-laki kulit hitam, laki-laki kulit putih, maupun dengan perempuan kulit putih. Hirarki ini terjadi karena posisi sentral dan periferi merupakan posisi yang dinamis, tergantung dengan siapa seseorang direlasikan. 30

31 Dalam teori Connell (1997:64), ada yang dia sebut sebagai maskulinitas yang termarginalisasi. Connell memberikan istilah marginalisasi untuk mengkarakterisasi hubungan antara laki-laki yang merupakan hasil dari persinggungan antara kelas, ras dan gender. Maskulinitas yang terpinggirkan (marginalized masculinity) adalah mereka yang berasal dari kelas-kelas atau kelompok ras/etnis subordinat. Hubungan ini merupakan salah satu otorisasi dan marjinalisasi, karena maskulinitas hegemonik digabungkan dengan kulit putih dan status kelas menengah, dimana laki-laki kulit putih diberikan kewenangan, sementara ras dan kelas lain yang dianggap marginal tidak (Schippers, 2007: 88). Schippers (2007:88) menyebutkan bahwa di tahun 2003, Peaky dan Johnson mengaplikasikan teori Connell dalam penelitian terhadap perempuan generasi ke-2 di Korea dan Vietnam. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat relasi subordinasi dan dominasi antara perempuan kulit putih dan perempuan Asia. Hasil penelitian ini menemukan bahwa perempuan kulit putih menduduki posisi hegemonic, sedangkan perempuan Asia pada posisi subordinasi. Studi ini meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana kinerja gender rasial yang terlibat dalam ketidaksetaraan antara perempuan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa ada femininitas yang lebih berkuasa dari femininitas yang lain, karena aspek ras. Tentunya, hubungan antara perempuan kulit putih dan perempuan Asia adalah hasil dari persimpangan gender dan ras. Penelitian lain dilakukan oleh Bettie pada tahun 2003 di sebuah sekolah di Inggris mengenali pola hirarki femininitas, yaitu hubungannya dengan ras dan kelas. 31

32 Ia menemukan bahwa perempuan kulit putih kelas menengah yang menunjukkan heterosexualitas, dianggap sebagai perwujudan gadis baik dan siswa yang baik. Sementara Las Chilas, siswa keturunan Mexico-Amerika yang berasal dari golongan kelas pekerja (working class) dianggap sebagai hiper-seksual dan lebih fokus pada hetero-romance daripada sekolah karena alasan race-class femininity (Schippers, 2007:99). Apa yang dialami oleh Chilas, bukan lagi hanya masalah gendernya, melainkan ras dan kelasnya. Meskipun dia tidak benar-benar mengacuhkan sekolah, orang-orang tetap berpendapat demikian, karena melihat latar belakang ras dan kelasnya. Butler via Schippers (2007:99) mengungkapkan bahwa tidak memasukkan ras dan kelas subordinat dalam kategori laki-laki dan perempuan "sejati", berarti memberikan legitimasi yang sangat jelas akan subordinasi sosial, politik, dan ekonomi mereka. Selain itu hal ini, berarti melegitimasi supremasi dan hak istimewa bangsa kulit putih, dan bahwa kualitas ideal konten maskulinitas dan femininitas ditekankan pada posisi seseorang secara social, apakah dia berada pada kelompok dominan atau subordinat (Schippers, 2007:100). Schippers (2007: 99) menambahkan bahwa kelompok ras/etnis minoritas, serta kelas pekerja dan ekonomi kelas bawah dikonstruksi sebagai the other yang tidak memiliki kelayakan atau sebagai kelompok bermasalah, karena praktik gender mereka. Kondisi ini ditunjukkan oleh Pyke dan Johnson bahwa stereotip praktik gender yang sesungguhnya dari kelompok ras dan kelas subordinat seringkali mendukung hegemoni gender, tetapi terhalangi oleh hegemoni ras dan kelas. 32

BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang

BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang BAB IV KESIMPULAN Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang terjadi pada abad pertengahan, sampai saat ini masih menyisakan citra negatif yang melekat pada perempuan. Sampai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam BAB V KESIMPULAN 5.1. Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum 2013 Konstruksi Identitas Nasional Indonesia tidaklah berlangsung secara alamiah. Ia berlangsung dengan konstruksi besar, dalam hal ini

Lebih terperinci

yaitu budaya Jawa mempengaruhi bagaimana maskulinitas dimaknai, seperti pendapat Kimmel (2011) bahwa maskulinitas mencakup komponen budaya yang

yaitu budaya Jawa mempengaruhi bagaimana maskulinitas dimaknai, seperti pendapat Kimmel (2011) bahwa maskulinitas mencakup komponen budaya yang yaitu budaya Jawa mempengaruhi bagaimana maskulinitas dimaknai, seperti pendapat Kimmel (2011) bahwa maskulinitas mencakup komponen budaya yang bervariasi antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat hidup secara berkelompok dalam suatu kesatuan sistem sosial atau organisasi. Salah satu bidang dalam organisasi yaitu bidang politik (Wirawan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan kesempatan tersebut terjadi baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak merepresentasikan perempuan sebagai pihak yang terpinggirkan, tereksploitasi, dan lain sebagainya. Perempuan sebagai

Lebih terperinci

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

Sesi 8: Pemberitaan tentang Masalah Gender

Sesi 8: Pemberitaan tentang Masalah Gender Sesi 8: Pemberitaan tentang Masalah Gender 1 Tujuan belajar 1. Memahami arti stereotip dan stereotip gender 2. Mengidentifikasi karakter utama stereotip gender 3. Mengakui stereotip gender dalam media

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan BAB VI KESIMPULAN Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A.

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A. BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Nikmawati yang berjudul Perlawanan Tokoh Terhadap Diskriminasi

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. 6.1 Perempuan Berdaya Bukanlah Mitos Belaka

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. 6.1 Perempuan Berdaya Bukanlah Mitos Belaka BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Perempuan Berdaya Bukanlah Mitos Belaka Ada sebuah lagu klise yang sudah lama bergema di Indonesia. Wanita dijajah pria sejak dulu kala 1, begitu penggalan liriknya. Saat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok digilib.uns.ac.id BAB V PENUTUP A. Simpulan Fokus kajian dalam penelitian ini adalah menemukan benang merah hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok Sawitri terhadap

Lebih terperinci

Budaya dan Komunikasi 1

Budaya dan Komunikasi 1 Kejujuran berarti integritas dalam segala hal. Kejujuran berarti keseluruhan, kesempurnaan berarti kebenaran dalam segala hal baik perkataan maupun perbuatan. -Orison Swett Marden 1 Memahami Budaya dan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana hitam sering identik dengan salah dan putih identik dengan benar. Pertentangan konsep

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik 68 BAB IV KESIMPULAN Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik (ekonomi) merupakan konsep kesetaraan gender. Perempuan tidak selalu berada dalam urusan-urusan domestik yang menyudutkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

BAB 4 KESIMPULAN. Universitas Indonesia. Dinamika dominasi..., Ely Nurmaily, FIB UI, 2009

BAB 4 KESIMPULAN. Universitas Indonesia. Dinamika dominasi..., Ely Nurmaily, FIB UI, 2009 78 BAB 4 KESIMPULAN Rowling di dalam salah satu wawancaranya bersama O Malley dalam Connie Ann Kirk mengatakan bahwa sekolah penyihir yang ia ciptakan merupakan analogi dari sebuah arena potensi atau kekuatan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Sebagai sistem yang memihak kepada laki-laki, patriarki telah membuat

BAB IV KESIMPULAN. Sebagai sistem yang memihak kepada laki-laki, patriarki telah membuat BAB IV KESIMPULAN Sebagai sistem yang memihak kepada laki-laki, patriarki telah membuat perempuan mengalami opresi di berbagai aspek kehidupan. Ideologi patriarki tersebar begitu luas dan kekuatannya pun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan oleh masyarakat kadang-kadang masih dianggap sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan tidak lebih penting

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Tipe Penelitian ini adalah kualitatif eksploratif, yakni penelitian yang menggali makna-makna yang diartikulasikan dalam teks visual berupa film serial drama

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. dalam menentukan dan membentuk konstruksi sosial, yaitu aturan-aturan dan batasan

BAB IV KESIMPULAN. dalam menentukan dan membentuk konstruksi sosial, yaitu aturan-aturan dan batasan BAB IV KESIMPULAN Secara formal, Era Victoria dimulai pada tahun 1837 hingga 1901 dibawah pimpinan Ratu Victoria. Era Victoria yang terkenal dengan Revolusi industri dan kemajuan di berbagai bidang kehidupan

Lebih terperinci

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional.

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional. Definisi Global Profesi Pekerjaan Sosial Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi yang berdasar pada praktik dan disiplin akademik yang memfasilitasi perubahan dan pembangunan sosial, kohesi sosial dan pemberdayaan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Kehadiran dan kepiawaian Zulkaidah Harahap dalam. memainkan instrumen musik tradisional Batak Toba, secara tidak

BAB V PENUTUP. Kehadiran dan kepiawaian Zulkaidah Harahap dalam. memainkan instrumen musik tradisional Batak Toba, secara tidak BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kehadiran dan kepiawaian Zulkaidah Harahap dalam memainkan instrumen musik tradisional Batak Toba, secara tidak langsung membawa Opera Batak kepada perubahan yang berarti.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki pada posisi dan kekuasaan yang lebih dominan dibandingkan perempuan. Secara

Lebih terperinci

Gambar 1.1 : Foto Sampul Majalah Laki-Laki Dewasa Sumber:

Gambar 1.1 : Foto Sampul Majalah Laki-Laki Dewasa Sumber: BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Menurut Widyokusumo (2012:613) bahwa sampul majalah merupakan ujung tombak dari daya tarik sebuah majalah. Dalam penelitian tersebut dideskripsikan anatomi sampul

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 2008:8).Sastra

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab IV maka terdapat beberapa hasil yang dapat disimpulkan di dalam penelitian ini, yaitu: Tingkat kecenderungan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Disney merupakan salah satu rumah produksi yang telah banyak menghasilkan film-film animasi. Namun berbeda dengan rumah produksi lainnya, film-film animasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau

BAB I PENDAHULUAN. tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Mendengar kata kekerasan, saat ini telah menjadi sesuatu hal yang diresahkan oleh siapapun. Menurut Black (1951) kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan 5.1.1 Struktur Naskah Pertja Objek penelitian yang digunakan dalam kajian skripsi ini adalah naskah drama yang berjudul Pertja karya Benjon atau Benny Yohanes. Lakon

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam BAB V P E N U T U P A. Kesimpulan Berdasarkan uraian bab demi bab dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam kepercayaan kepada Gikiri Moi

Lebih terperinci

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU RESENSI BUKU JUDUL BUKU : Cultural Studies; Teori dan Praktik PENULIS : Chris Barker PENERBIT : Kreasi Wacana, Yogyakarta CETAKAN : Ke-IV, Mei 2008 TEBAL BUKU : xxvi + 470 halaman PENINJAU : Petrus B J

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi fisik yang lebih lemah dan dikenal lembut sering menjadi alasan untuk menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang lebih rendah dari lakilaki. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengetahui pandangan budaya dalam suatu masyarakat, tidak hanya didapatkan dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang bersangkutan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena gay dan lesbi nampaknya sudah tidak asing lagi di masyarakat luas. Hal yang pada awalnya tabu untuk dibicarakan, kini menjadi seolah-olah bagian dari

Lebih terperinci

Media & Cultural Studies

Media & Cultural Studies Modul ke: Media & Cultural Studies Feminisme dalam perspektif Cultural Studies Fakultas ILMU KOMUNIKASI ADI SULHARDI. Program Studi Penyiaran www.mercubuana.ac.id FEMINISME DAN CULTURAL STUDIES Pemikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perawatan wajah identik bagi para wanita saja, namun saat ini para pria mulai menyadari akan pentingnya untuk menjaga kesehatan kulit wajah. Berbagai macam produk perawatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hal itulah yang juga tercipta dalam Antologi Cerpen Ironi-ironi Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. hal itulah yang juga tercipta dalam Antologi Cerpen Ironi-ironi Kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengkajian cerpen sebagai suatu objek yang akan diteliti bukanlah hal baru lagi. Cerpen sebagai bagian dari karya sastra dalam kehidupan bisa mencakup beberapa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki dan perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. masyarakat Eropa pada umumnya. Semangat revolusi Perancis sangat

BAB IV PENUTUP. masyarakat Eropa pada umumnya. Semangat revolusi Perancis sangat 119 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Didasarkan pada apa yang sudah ditanyakan pada penelitian ini sebagai rumusan masalah dan dibahas pada bab II dan III dapat ditarik kesimpulan bahwa revolusi perancis

Lebih terperinci

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN G E N D E R B R I E F S E R I E S NO. 1 GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN The Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development Local Governance and Community Infrastructure for Communities

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting mengenai peran serta posisi seseorang di kehidupan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. penting mengenai peran serta posisi seseorang di kehidupan sosial. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di dalam sebuah lingkungan sosial seorang individu cenderung ingin dilihat dan diterima di tengah eksistensinya individu lain. Menampilkan identitas diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam penelitian ini, peneliti meneliti mengenai pemaknaan pasangan suami-istri di Surabaya terkait peran gender dalam film Erin Brockovich. Gender sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Semua orang melalui proses pertumbuhan dari bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa dan tua. Masa kanak-kanak merupakan masa bermain dan umumnya kita memiliki mainan kesukaan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai

BAB VI PENUTUP. Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai 286 BAB VI PENUTUP A. Simpulan Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai lembaga yang mengalami proses interaksi sosial, baik secara pribadi maupun kolektif, tetap saja dipahami

Lebih terperinci

KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA

KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA MUKADIMAH Konsil LSM Indonesia menyadari bahwa peran untuk memperjuangkan partisipasi masyarakat dalam segala proses perubahan membutuhkan pendekatan dan pentahapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sering kita jumpai banyak wanita masa kini yang mengadopsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sering kita jumpai banyak wanita masa kini yang mengadopsi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sering kita jumpai banyak wanita masa kini yang mengadopsi penuh gaya hidup luar negeri. Pakaian yang terbuka dan minimalis, gaya hidup yang hedonis dan konsumtif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam masalah kehidupan manusia secara langsung dan sekaligus.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam masalah kehidupan manusia secara langsung dan sekaligus. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra hadir sebagai wujud nyata hasil imajinasi dari seorang penulis. Penciptaan suatu karya sastra bermula dari pengalaman batin pengarang yang dikontruksikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metodologi guna mendapatkan data-data dari berbagai sumber sebagai bahan analisa. Menurut Kristi E. Kristi Poerwandari dalam bukunya yang berjudul Pendekatan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB V PENUTUP Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang lain karena mengangkat konsep multikulturalisme di dalam film anak. Sebuah konsep yang jarang dikaji dalam penelitian di media

Lebih terperinci

Seks Laki-laki dan Laki-laki, perempuan, interseks, transgender

Seks Laki-laki dan Laki-laki, perempuan, interseks, transgender Dari Suara Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT)- Jalan Lain Memahami Hak Minoritas Konsep tentang Seksualitas Esensialism vs Social Constructionism Memperbincangkan LGBT tak dapat dilepaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lurus. Mereka menyanyikan sebuah lagu sambil menari. You are beautiful, beautiful, beautiful

BAB I PENDAHULUAN. lurus. Mereka menyanyikan sebuah lagu sambil menari. You are beautiful, beautiful, beautiful BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada suatu scene ada 9 orang perempuan dengan penampilan yang hampir sama yaitu putih, bertubuh mungil, rambut panjang, dan sebagian besar berambut lurus.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu budaya yang melekat pada diri seseorang karena telah diperkenalkan sejak lahir. Dengan kata lain,

Lebih terperinci

Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut

Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut Leif STENBERG Direktur, AKU- Dalam makalah berikut ini, saya akan mengambil perspektif yang sebagiannya dibangun

Lebih terperinci

BAB 4 KESIMPULAN Citra Tokoh Utama Perempuan die Kleine sebagai Subordinat dalam Novel RELAX karya Henni von Lange RELAX RELAX

BAB 4 KESIMPULAN Citra Tokoh Utama Perempuan die Kleine sebagai Subordinat dalam Novel RELAX karya Henni von Lange RELAX RELAX BAB 4 KESIMPULAN Berdasarkan teori yang sudah dipaparkan dalam bab dua dan analisis yang telah dilakukan dalam bab tiga, maka kesimpulan dari skripsi yang berjudul Citra Tokoh Utama Perempuan die Kleine

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender,

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat masih terkungkung oleh tradisi gender, bahkan sejak masih kecil. Gender hadir di dalam pergaulan, percakapan, dan sering juga menjadi akar perselisihan.

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab lima ini peneliti memaparkan beberapa kesimpulan mengenai analisis nilai patriarkal dan ketidaksetaraan gender dalam roman L Enfant de sable karya Tahar Ben Jelloun

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gender Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan Tuhan dan mana

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL 2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum pernah ditulis di penelitian-penelitian di Kajian Wanita Universitas Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah bentuk dari gambaran realita sosial yang digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan suatu objek

Lebih terperinci

Teori Sosial. (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat)

Teori Sosial. (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat) Teori Sosial (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat) Apa itu Teori dalam Sosiologi? Pada saat kita menanyakan mengapa dunia sosial kita seperti ini dan kemudian membayangkan bagaimana

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki ukuran dan proporsi tubuh yang berbeda-beda satu

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki ukuran dan proporsi tubuh yang berbeda-beda satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki ukuran dan proporsi tubuh yang berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan bentuk tubuh satu sama lain seringkali membuat beberapa orang

Lebih terperinci

BAB 6 PENUTUP. 6.1 Kesimpulan. Kritik ekofeminisme..., Ketty Stefani, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 6 PENUTUP. 6.1 Kesimpulan. Kritik ekofeminisme..., Ketty Stefani, FIB UI, Universitas Indonesia 111 diajak untuk bersama-sama dengan perempuan dalam posisi yang setara untuk membangun kehidupan yang bebas gender yang akan sangat bermanfaat dalam usaha penyelamatan dan perlindungan alam sehingga tercipta

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN. digunakan sebagai acuan dasar adalah teori Alan Swingewood. Dalam teorinya,

BAB III KESIMPULAN. digunakan sebagai acuan dasar adalah teori Alan Swingewood. Dalam teorinya, BAB III KESIMPULAN Penelitian ini menggunakan teori kekuasaan Lord Acton dan teori teokrasi St.Agustinus dengan pendekatan sosiologi sastra. Teori sosiologi sastra yang digunakan sebagai acuan dasar adalah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Relasi Kekuasaan Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu BAB II LANDASAN TEORI A. Sibling Rivalry 1. Pengertian Sibling Rivalry Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu keluarga yang sama, teristimewa untuk memperoleh afeksi atau

Lebih terperinci

Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed

Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed Oleh: Tedi Permadi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN A. Persamaan antara Pemikiran Riffat Hassan dan Mansour Fakih tentang Kesetaraan Jender

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial.

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penerimaan masyarakat terhadap kelompok berorientasi homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial. Mayoritas masyarakat menganggap homoseksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ciri khas merupakan tuntutan dalam derasnya persaingan industri media massa yang ditinjau berdasarkan tujuannya sebagai sarana untuk mempersuasi masyarakat. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan

BAB V PENUTUP. Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan BAB V PENUTUP Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan kesimpulan dan saran sebagai penutup dari pendahuluan hingga analisa kritis yang ada dalam bab 4. 5.1 Kesimpulan

Lebih terperinci

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan di radio komunitas. Karakteristik radio komunitas yang didirikan oleh komunitas, untuk komunitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain.

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain. TUHAN? Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah, karena gagasan itu selalu mempunyai arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya di berbagai periode waktu. Gagasan

Lebih terperinci

Gender, Interseksionalitas dan Kerja

Gender, Interseksionalitas dan Kerja Gender, Interseksionalitas dan Kerja Ratna Saptari Disampaikan dalam Seminar Nasional "Jaringan dan Kolaborasi untuk Mewujudkan Keadilan Gender: Memastikan Peran Maksimal Lembaga Akademik, Masyarakat Sipil,

Lebih terperinci

MISTIFIKASI MITOS PSIKOLOGIS PEREMPUAN DALAM CERITA KECIL- KECIL PUNYA KARYA (KKPK) KARYA PENULIS PEREMPUAN ANAK

MISTIFIKASI MITOS PSIKOLOGIS PEREMPUAN DALAM CERITA KECIL- KECIL PUNYA KARYA (KKPK) KARYA PENULIS PEREMPUAN ANAK MISTIFIKASI MITOS PSIKOLOGIS PEREMPUAN DALAM CERITA KECIL- KECIL PUNYA KARYA (KKPK) KARYA PENULIS PEREMPUAN ANAK Ari Ambarwati PBSI-FKIP Universitas Islam Malang a.arianya@gmail.com Abstrak Kemunculan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus informasi dan teknologi yang canggih yang menuntut masyarakat untuk lebih berperan aktif

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I

BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I hingga V penulis menyimpulkan beberapa hal berikut. Pertama, bahwa tidur tanpa kasur di dusun Kasuran

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. memfokuskan pada Ideologi Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Surga Yang Tak

BAB V PENUTUP. memfokuskan pada Ideologi Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Surga Yang Tak BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Novel Surga Yang Tak Dirindukan adalah karya Asma Nadia. Penelitian ini memfokuskan pada Ideologi Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Surga Yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia Kajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan 7 sub bab antara lain latar belakang penelitian yang menjelaskan mengapa mengangkat tema JFC, Identitas Kota Jember dan diskursus masyarakat jaringan. Tujuan penelitian

Lebih terperinci

BAB III GAGASAN BERKARYA

BAB III GAGASAN BERKARYA BAB III GAGASAN BERKARYA 3.1 Tafsiran Tema Karya untuk Tugas Akhir ini mempunyai tema besar Ibu, Kamu dan Jarak. Sebuah karya yang sangat personal dan dilatar belakangi dari pengalaman personal saya. Tema

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Politik Identitas Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas tentunya menjadi sesuatu yang sering kita dengar. Terlebih lagi, ini merupakan konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. realitas kehidupan sosial. Karya sastra pada umumnya bersifat dinamis, sesuai

BAB I PENDAHULUAN. realitas kehidupan sosial. Karya sastra pada umumnya bersifat dinamis, sesuai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu cipta karya masyarakat, sedangkan masyarakat adalah salah satu elemen penting dalam karya sastra. Keduanya merupakan totalitas

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan Konstruksi sosial yang dibangun oleh warga RW 11 Kampung Badran mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan berlangsung secara dialektis yakni

Lebih terperinci

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA Disusun Oleh : ANDRE RISPANDITA HIRNANTO D 1114001 SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. efektif dan efisien untuk berkomunikasi dengan konsumen sasaran.

BAB I PENDAHULUAN. efektif dan efisien untuk berkomunikasi dengan konsumen sasaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri periklanan belakangan ini menunjukan perubahan orientasi yang sangat signifikan dari sifatnya yang hanya sekedar menempatkan iklan berbayar di media massa menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Iklan merupakan bentuk komunikasi persuasif yang menyajikan informasi tentang aneka ragam produk, gagasan, serta layanan yang tujuan akhirnya adalah memenuhi

Lebih terperinci

BAB V. Refleksi Hasil Penelitian

BAB V. Refleksi Hasil Penelitian BAB V Refleksi Hasil Penelitian 5.2.1 Implikasi Teoritis Implikasi teoritis yang didapatkan dalam penelitian ini yaitu media menciptakan pesan yang disampaikan kepada khalayak dan khalayak memaknai pesan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan pribadi individu untuk menjadi dewasa. Menurut Santrock (2007),

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan pribadi individu untuk menjadi dewasa. Menurut Santrock (2007), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang berada diantara masa anak dan dewasa. Masa ini dianggap sebagai suatu bentuk transisi yang cukup penting bagi pembentukan pribadi

Lebih terperinci