Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup"

Transkripsi

1 Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA printed on recycled paper

2

3 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KATA SAMBUTAN Kelemahan peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup (SDA-LH) menjadi salah satu akar masalah buruknya tata kelola SDA-LH di Indonesia. Peraturan yang tidak jelas pada tataran implementasi, adanya ketidakharmonisan peraturan antar sektor, termasuk juga adanya peraturan di daerah yang inkonsisten, mengakibatkan praktik-praktik pengelolaan SDA-LH yang merusak fungsi lingkungan dan mengakibatkan konflik tenurial. Ketidakadilan akses dalam pengelolaan SDA-LH juga menjadi persoalan hingga mengakibatkan berbagai konflik antara masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat lokal dengan pelaku usaha dan pemerintah. Kelemahan tersebut sudah saatnya untuk segera diatasi melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan. Perlunya penyempurnaan peraturan perundang-undangan telah ditegaskan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR IX/2001). TAP MPR tersebut memandatkan untuk dilakukannya pengkajian ulang terhadap peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan SDA-LH dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor. Namun demikian, hingga saat ini cita-cita TAP MPR tersebut belum tercapai. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, Kementerian Hukum dan HAM bersama dengan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP) dan Badan Pengelola REDD+ (sejak masa Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+) menyusun Peta Jalan Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup. Peta Jalan ini menghasilkan suatu mekanisme pengkajian ulang peraturan perundang-undangan dengan indikator turunan dari prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan SDA-LH yang dituangkan dalam TAP MPR. Mekanisme tersebut telah diaplikasikan ke dalam 3 (tiga) isu yang dianggap prioritas dalam upaya perbaikan tata kelola SDA-LH berbasis lahan, yaitu pengukuhan kawasan hutan, perizinan hak guna usaha, serta hak dan kewajiban masyarakat (termasuk masyarakat hukum adat) dalam kedua hal tersebut. Pengkajian ulang peraturan perundang-undangan di ketiga isu tersebut menghasilkan rekomendasi pembaruan peraturan perundang-undangan yang dapat ditemukan dalam Peta Jalan ini. i

4 Upaya pembaruan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksudkan dalam Peta Jalan ini akan mendukung pelaksanaan cita-cita pemerintahan Jokowi-JK sebagaimana tertuang dalam Nawa Cita. Nawa Cita berkeinginan untuk mencapai tata kelola SDA-LH yang bersih, efektif, demokratis, bermartabat dan terpercaya, penguatan perekonomian domestik, serta berdaya guna dalam peningkatan kualitas diri dan penghidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, tindak lanjut dari Peta Jalan ini merupakan hal yang penting untuk segera dilakukan. Tindak lanjut dari Peta Jalan ini adalah diperlukannya keterlibatan seluruh Kementerian- Lembaga serta Pemerintah Daerah dalam hal; Pertama, implementasi rekomendasi pembaruan peraturan mengenai pengukuhan kawasan hutan, perizinan hak guna usaha, dan hak-kewajiban masyarakat yang terdapat dalam Peta Jalan ini. Kedua, pengkajian ulang peraturan perundangundangan di seluruh bidang SDA-LH. Mekanisme yang telah tersusun dalam Peta Jalan ini dapat menjadi pedoman dalam pengkajian ulang tersebut. Ketiga, implementasi rekomendasi hasil pengkajian ulang sebagaimana dimaksud dalam poin kedua. Kerja bersama secara sinergis seluruh Kementerian dan Lembaga terkait sangat penting dalam menyukseskan upaya tersebut. Kementerian Hukum dan HAM berdasarkan tugas dan fungsinya, berkomitmen untuk melakukan koordinasi dan supervisi dalam pelaksanaan pengkajian ulang dan pelaksanaan rekomendasi tersebut. Saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang menyukseskan penyusunan Peta Jalan ini; meliputi para akademisi dan pakar yang membantu penyusunan Peta Jalan ini, Kementerian-Lembaga yang turut berkontribusi, serta segenap elemen masyarakat yang terlibat. Akhir kata, saya berharap Peta Jalan ini menjadi batu pijak dalam realisasi pembaruan peraturan perundang-undangan di sektor SDA-LH hingga tercapai tata kelola SDA-LH yang berkelanjutan dan menyejahterakan masyarakat Indonesia. Jakarta, 25 Februari 2015 ii

5 DAFTAR ISI KATA SAMBUTAN DAFTAR ISI DAFTAR ISTILAH PENDAHULUAN 1 A. LATAR BELAKANG...1 B. TUJUAN...2 C. SISTEMATIKA...3 METODE ANALISIS DAN EVALUASI 5 A. UNIT ANALISIS...5 B. CARA MEMBACA TABEL PRINSIP, INDIKATOR, DAN PISAU ANALISIS...15 HASIL ANALISIS BIDANG KEHUTANAN 17 A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN...17 B. DAFTAR PERMASALAHAN...18 C. TABEL REKOMENDASI...24 HASIL ANALISIS BIDANG PERTANAHAN 27 A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN...27 B. DAFTAR PERMASALAHAN...28 C. TABEL REKOMENDASI...34 HASIL ANALISIS BIDANG HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT TERMASUK MASYARAKAT HUKUM ADAT 37 A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN...37 B. DAFTAR PERMASALAHAN...39 C. TABEL REKOMENDASI...46 REKOMENDASI 49 A. REKOMENDASI PETA JALAN PEMBARUAN HUKUM SDA-LH...49 B. REKOMENDASI PEDOMAN METODE ANALISIS DAN EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM KERANGKA PENYELARASAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR PUSTAKA 67 I III IV iii

6 DAFTAR ISTILAH AMDAL : Analisis Dampak Lingkungan BPN : Badan Pertanahan Nasional DPR : Dewan Perwakilan Rakyat DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah HAM : Hak Asasi Manusia HD : Hutan Desa HK : Hutan Konservasi HKm : Hutan Kemasyarakatan HL : Hutan Lindung HP : Hutan Produksi HPK : Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi HPL : Hak Pengelolaan HPT : Hutan Produksi Terbatas HTI : Hutan Tanaman Industri HTR : Hutan Tanaman Rakyat Illegal Logging : Pembalakan Liar IGD : Integrasi Informasi Geospasial Dasar IGT : Informasi Geospasial Tematik Inpres 2/2013 : Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri IUPHHK-HA : Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam IUPHHK-HTR : Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Tanaman Rakyat Judicial Review : Uji Materiil K/L : Kementerian dan Lembaga Keppres 32/1990 : Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung KLHS : Kajian Lingkungan Hidup Strategis KPH : Kesatuan Pengelolaan Hutan Legal Pluralism : Kemajemukan hukum Legal Uncertainty : Ketidakpastian hukum LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MK : Mahkamah Konstitusi MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat NKB : Nota Kesepahaman Bersama 12 Kementerian/Lembaga NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia NSPK : Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria otda : Otonomi Daerah PerBer : Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 79 Tahun 2014, PB.3/Menhut-11/2014, 17/PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan PerDirjen : Peraturan Direktorat Jenderal PerDirjen 6/2011 : Peraturan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Nomor P.6/VI-KUH/2011 tentang Petunjuk Teknis Pengukuhan Kawasan Hutan Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Tata Ruang PerMen : Peraturan Menteri Permenag 5/1999 : Peraturan Menteri Negara/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Permendagri 24/2006 : Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Permenhut 44/2011 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi Permenhut 2 5 /2014 : P.25/Menhut II/2014 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan Permenhut 6 2 /2013 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62/Menhut-II/2013 jo. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan iv

7 Permenhut 5 1 /2013 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 51/Menhut-II/2013 tentang Organisasi Balai Diklat Kehutanan Permenhut 4 3 /2013 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 43/Menhut II/2013 tentang Penataan Batas Areal Kerja Izin Pemanfaatan Hutan, Persetujuan Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan, Persetujuan Prinsip Pelepasan Kawasan Hutan dan Pengelolaan Kawasan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan dan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus. Permenhut 7 /2011 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P/7/Menhut-II/2011 tentang Pelayanan Informasi Publik Permendagri 5 2 /2014 : Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Permenagraria 5/1999 : Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Permenagraria 3/1997 : Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Permenagraria 2/1999 : Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi. Permenagraria 1/1999 : Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan PerKaBAN 6/2013 : Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional. PerKaBAN 2/2013 : Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah. PerKaBAN 2/2010 : Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pengaduan Masyarakat PerKaBAN 1/2010 : Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan. PerKaBAN 7/2007 : Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksa Tanah. Permenagraria 5/1999 : Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Permendagri 76/2012 : Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Permentan 98/2013 : Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/Permentan/Ot.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Permenhut 47/2010 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.47/Menhut-II/2010 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan. Permenhut 67/2006 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.67/Menhut-II/2006 tentang Kriteria dan Standar Inventarisasi Hutan. PermenLH 16/2012 : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan. PermenLH 9/2011 : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis. PermenLH 6/2011 : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pelayanan Informasi Publik. PermenLH 15/2011 : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah Lingkungan Hidup. PermenLH 9/2010 : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 9/2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Penanganan Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan. Permenhut 6 7 /2006 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.67/Menhut-II/2006 tentang Kriteria dan Standar Inventarisasi Hutan Permenhut 52/2011 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.52/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan Permenhut 31/2014 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.31/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi Permenhut 53/2011 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa Permenhut 44/2012 : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan Perpres 61/2005 : Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Legislasi Nasional Perpres 40/2014 : Peraturan Presiden Nomor 40/2014 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Perpres 27/2014 : Peraturan Presiden Nomor 27/2014 tentang Jaringan Informasi Geospasial Nasional. PP : Peraturan Pemerintah PP 24/1997 : Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah PP 12/2010 : Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2010 tentang Penelitian dan Pengembangan, serta pendidikan dan Pelatihan Kehutanan. PP 44/2004 : Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan PP 45/2004 : Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan v

8 PP 3/2008 : Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan PP 10/2010 : Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan PP 15/2010 : Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang PP 68/2010 : Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang PP 96/2012 : Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelayanan Publik PP 11/2010 : Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar PP 24/1997 : Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah PP 40/1996 : Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah PP 27/1999 : Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup PP 27/2012 : Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan PP 47/2012 : Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terbatas PP 60/2012 : Peraturan Pemerintah Nomor. 60 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10/2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan PP 6/2007 : Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan PP 9/2014 : Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Informasi Geospasial RAN HAM : Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia REDD+ : Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan dan lahan gambut plus RIA : Regulatory Impact Assessment RPP : Rancangan Peraturan Pemerintah RPPLH RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup RTRWK : Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten RTRWP : Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi TGHK : Tata Guna Hutan Kesepakatan UUD 1945 : Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UU 5/1960 : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria UU 41/1999 : Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan perubahan setelah Putusan MK No. 35/ PUU-X/2012, Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 Tahun 2011 dan Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 Tahun 2011 UU 12/2001 : Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan UU 38/2014 : Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Perkebunan UU 19/2004 : Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Kehutanan UU 23/2014 : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah UU 26/2007 : Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang UU 14/2008 : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik UU 24/2013 : Undang-Undang Nomor 24/2013 Undang-Undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan UU 2/2012 : Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah UU 16/2010 : Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2010 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum) UU 32/2009 : Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) UU 25/2009 : Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik) UU 14/2008 : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik UU 26/2007 : Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang UU 40/2007 : Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) UU 8/1995 : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal UU 6/2012 : Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Desa UU 4/2014 : Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Informasi Geospasial UU 2/2012 : Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan UU 8/2011 : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi UU 49/2009 : Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum UU 48/2009 : Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman vi

9 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 2001, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR IX) ditetapkan. Sesuai dengan namanya, TAP MPR IX tersebut memberikan arahan tentang pembaruan agraria dan pengelolaan SDA- LH Indonesia pasca reformasi. Secara khusus, di dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) huruf a disebutkan bahwa eksekutif dan legislatif untuk melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dan pengelolaan SDA-LH dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar-sektor demi terwujudnya pzeraturan perundang-undangan yang didasarkan pada kedua belas prinsip yang ada dalam Pasal 4 TAP MPR IX. Sampai saat ini, TAP MPR IX dimaksud belum dilaksanakan secara sistematis sementara berbagai persoalan masih menyelimuti pengelolaan SDA-LH-Lingkungan Hidup (SDA-LH) kita. Pada tahun 2012 saja, tercatat di Kementerian Lingkungan Hidup-Kehutanan (KLHK) Indonesia setidaknya 300 kasus lingkungan hidup seperti kebakaran hutan, pencemaran lingkungan, pelanggaran hukum, dan pertambangan. 1 Kasus lingkungan hidup tersebut berkontribusi terhadap lahan dan hutan yang cenderung menurun (periode : hektar (0,78 persen); : hektar (0,74 persen); dan : hektar (0,41 persen)). 2 Kerusakan lingkungan hanyalah salah satu wajah dari pengelolaan SDA-LH yang carut marut, wajah lain yang juga mendominasi adalah konflik sosial dan korupsi dalam pengelolaan SDA- LH yang pada akhirnya juga berdampak terhadap iklim investasi di Indonesia. Pada tahun 2013 konflik sosial terkait dengan lahan tercatat sebanyak 369 konflik dengan luasan mencapai hektar (Ha) dan melibatkan Kepala Keluarga (KK). 3 Korupsi terkait dengan SDA-LH khususnya hutan juga makin marak terjadi seperti kasus alih fungsi hutan lindung yang menjerat mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin dan kasus alih fungsi lahan kelapa sawit di Riau yang menjerat Gubernur Riau non aktif Anas Mamun. Dalam The Global Competitiveness Report disebutkan bahwa korupsi menjadi salah satu faktor utama penghambat bisnis dan investasi di Indonesia setelah inefisiensi birokrasi pemerintahan. Berbagai persoalan tersebut muncul akibat lemahnya tata kelola SDA-LH secara umum termasuk hutan. 4 Hutan mendapat perhatian khusus mengingat luas hutan secara administratif mencapai hampir 60-70% wilayah Indonesia. Berbagai pengelolaan SDA-LH berbasis lahan lain seperti pertambangan dan perkebunan juga cukup terkonsentrasi di dalam dan sekitar kawasan Mengingat berbagai persoalan tersebut, Pemerintah secara tegas mengagendakan perbaikan tata kelola pengelolaan SDA-LH khususnya di bidang Kehutanan secara menyeluruh. Terdapat dua dokumen kebijakan yang secara tegas memerintahkan hal ini, yaitu Nota Kesepahaman Bersama 1 Olivia Lewi Pramesti, Potret Lingkungan Indonesia Kian Memprihatinkan, National Geographic Indonesia, diakses dari pada tanggal 20 November 2014 pukul WIB. 2 Henry Bastaman, SLHI Tematik 2012 dan IKLH 2012: Laju Kerusakan dan Pencemaran Berkurang, Kementerian lingkungan Hidup, Diakses dari pada tanggal 20 November 2014 pukul Wib. 3 Konsorsium Pembaruan Agraria, Warisan Buruk Masalah Agraria Di Bawah Kekuasaan SBY, Laporan Akhir Tahun 2013 Konsorsium Pembaruan Agraria hlm Situmorang, Abdul Wahab dkk, Indeks tata kelola hutan, lahan dan REDD di Indonesia, (Jakarta : UNDP Indonesia), hlm 22. 1

10 (NKB) 12 Kementerian/Lembaga tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia. (selanjutnya disebut NKB 12 K/L) dan Inpres No. 6/2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (selanjutnya disebut Inpres Moratorium). Salah satu poin penting dalam kedua dokumen adalah memerintahkan kembali agar sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan SDA-LH dilakukan secara sistematis mengingat berbagai persoalan tata kelola tidak dapat dilepaskan dari persoalan carut marut di tingkat pengaturannya, sebagaimana telah diidentifikasi dalam TAP MPR IX. Selain kedua dokumen kebijakan tersebut mengingat pengelolaan SDA-LH yang buruk juga berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan lainnya, maka program penyelarasan ini juga menjadi bagian dalam Inpres No. 2/2013 tentang Penanganan Konflik dan Keamanan serta Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM). Presiden Joko Widodo juga berkomitmen untuk melaksanakan perbaikan tata kelola SDA-LH. Hal ini merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Nawa Cita atau 9 (sembilan) agenda perubahan untuk rakyat Indonesia yang tertera dalam agenda keempat yaitu memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Salah satu bentuk pelaksanaan agendanya adalah membangun politik legislasi yang kuat, pemberantasan korupsi, penegakan HAM, perlindungan lingkungan hidup dan reformasi lembaga penegak hukum. Menindaklanjuti hal tersebut, Kementerian Hukum dan HAM membentuk sebuah Tim Kajian yang ditugaskan untuk menerjemahkan arahan yang tertuang dalam TAP MPR IX ke dalam prinsip-prinsip dan indikator yang lebih operasional dan melakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan pengelolaan SDA-LH dengan merujuk pada prinsip dan indikator tersebut. Dari hasil evaluasi, Tim Kajian ini juga ditugaskan untuk menyusun rekomendasi bagi arah pembaruan peraturan perundang-undangan terkait agraria dan SDA-LH sehingga membantu implementasinya. Namun, mengingat luasnya bidang tersebut, Tim Kajian membatasi ruang lingkup dengan melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi pada tiga isu, yaitu kehutanan (khususnya pengukuhan kawasan hutan), pertanahan (khususnya pemberian Hak Guna Usaha (HGU)), dan hak dan kewajiban masyarakat termasuk didalamnya Masyarakat Hukum Adat (MHA) di kedua kegiatan tersebut. Ketiga isu ini dipilih karena menjadi bagian dari akar masalah penting bagi persoalan yang menimbulkan konflik sosial dan buruknya pengelolaan SDA-LH khususnya yang berbasis lahan. B. Tujuan Peta Jalan ini pada prinsipnya bertujuan untuk: 1. Memberi pedoman serta menyusun secara sistematis langkah-langkah pengkajian ulang berbagai peraturan perundang-undangan. 2. Menerjemahkan prinsip-prinsip yang terdapat pada TAP MPR IX tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA-LH untuk melakukan pembaruan peraturan perundang-undangan terkait dengan pengukuhan kawasan hutan, pemberian Hak Guna Usaha, serta hak dan kewajiban masyarakat termasuk Masyarakat Hukum Adat (MHA) dalam ketiga kegiatan tersebut. 3. Melakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan terkait kehutanan (khususnya pengukuhan kawasan hutan), pertanahan (pemberian Hak Guna Usaha (HGU)) dan hak dan kewajiban masyarakat termasuk MHA di kedua kegiatan tersebut. Dari hasil kajian tersebut, diidentifikasi masalah dan celah hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait ketiga hal tersebut. Berdasarkan hasil evaluasi kemudian disusun rekomendasi arah pembaruan peraturan perundang-undangan yang dapat berupa penyusunan peraturan baru, perubahan atau pencabutan peraturan yang sudah ada. 2

11 C. Sistematika Laporan kajian ini terdiri dari enam bab yang berisi tentang: Bab I: Pendahuluan. Bab ini memberikan pengantar kepada pembaca tentang latar belakang dilaksanakannya penelitian, tujuan penelitian serta sistematika penyajian hasil laporannya. Bab II: Metode penelitian. Pada bab ini dipaparkan tentang metode yang digunakan dalam melaksanakan penelitian. Penelitian dilakukan dengan melakukan evaluasi secara normatif terhadap peraturan yang ada pada 3 (tiga) sektor utama yaitu kehutanan, pertanahan dan masyarakat hukum adat. Bab III, IV dan V merupakan bab yang berisi tentang hasil penelitian. Pada Bab III yang dipaparkan adalah hasil analisis bidang kehutanan yang fokus pada pengukuhan kawasan hutan, Bab IV tentang hasil analisis bidang pertanahan dengan fokus pemberian HGU dan Bab V tentang hasil analisis terkait hak dan kewajiban masyarakat termasuk MHA dalam kaitannya dengan proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU. Secara umum hasil analisis berupa identifikasi permasalahan terkait peraturan perundangundangan dan pelaksanaannya di ketiga bidang tersebut, mulai dari tahap perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan dan penegakan hukum. Bab VI: Rekomendasi. Pada bab terakhir disampaikan rekomendasi yang terdiri atas 2 (dua) bagian, yaitu: Pertama, Rekomendasi bagi pengambil kebijakan untuk menyusun, mengubah atau mencabut peraturan perundang-undangan terkait pembaruan agraria dan SDA-LH; Kedua, Pedoman analisis dan evaluasi dalam rangka penyelarasan peraturan peraturan perundangundangan. 3

12 4

13 METODE ANALISIS DAN EVALUASI Kajian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang berbasis pada 2 (dua) sumber data utama, yaitu pendekatan berbasis normatif dengan sumber data yang berasal dari Undang-undang hingga Peraturan di tingkat Kementerian serta merupakan pendekatan berbasis kajian dari para ahli yang telah dilakukan sebelumnya dengan metodologi masing masing atau dikenal dengan second level data. Titik tolak kajian ini berbasis pada hipotesa bahwa masih lemahnya dan belum selarasnya pengaturan di bidang agraria dan pengelolaan SDA-LH, mulai dari tingkat Undang-Undang hingga peraturan di tingkat Kementerian. Kajian ini mengambil fokus pada tiga bidang yaitu kehutanan khususnya pengukuhan kawasan hutan, pertanahan khususnya pemberian HGU serta hak dan kewajiban masyarakat, khususnya Masyarakat Hukum Adat (MHA). A. Unit Analisis Kajian ini pada awalnya memposisikan keberadaan TAP MPR No. IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR IX) sebagai unit analisis dalam rangka menurunkan pada prinsip dan indikator yang tertuang secara eksplisit dalam dokumen tersebut. Adapun prinsip awal tersebut terdiri dari 12 (dua belas) hal yang meliputi : 1. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. 3. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum. 4. Menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. 5. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat. 6. Mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria dan sumber daya alam. 7. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan. 8. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. 9. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. 10. Mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya alam. 11. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu. 5

14 12. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumber daya agraria dan sumber daya alam. Namun dalam perkembangannya, dilakukan penyesuaian terhadap beberapa hal dalam rangka mengakomodasi analisis antara lain: Pertama, aktualisasi terkait penerapannya agar sesuai dengan dinamika aturan yang ada pada saat ini sehingga menjadi lebih memungkinkan untuk diterapkan. Kedua, menyatukan prinsip yang memiliki kesamaan secara substantif di dalamnya tanpa mengurangi makna yang ada dalam TAP MPR IX. Oleh karena itu, analisis yang dilakukan dan hasilnya disajikan dalam laporan ini bertolak dari lima prinsip, yaitu : 1. Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara konseptual merujuk pada pembaruan agraria dan pengelolaan SDA-LH yang terkoordinasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan antar sektor di tiap tingkatan pemerintahan, sehingga dapat dibangun hubungan dan kerjasama yang saling mendukung, dengan menempatkan kepentingan kelestarian dan keberlanjutan fungsi SDA-LH di atas kepentingan sektoral dan kepentingan nasional di atas kepentingan daerah dan individu. 2. Prinsip Keberlanjutan yang secara konseptual merujuk pada kebijakan pengaturan pengelolaan SDA-LH yang harus mampu menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat SDA-LH bagi negara maupun masyarakat serta bagi generasi sekarang dan mendatang. Pengelolaan tersebut harus dilakukan secara terkoordinasi, berdasarkan ekoregion, mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung, pengendalian produksi, menggunakan prinsip kehatihatian, melindungi keanekaragaman hayati serta mengedepankan kepentingan umum. 3. Prinsip Keadilan yang secara konseptual merujuk pada kebijakan pengaturan pengelolaan SDA-LH berkelanjutan agar dapat memenuhi kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang, memenuhi rasa keadilan masyarakat termasuk di dalamnya keadilan dalam alokasi dan distribusi pemanfaatan SDA-LH, memberi pengakuan dan jaminan perlindungan hak MHA setempat serta kemajemukan tatanan hukum mengenai penguasaan dan pemanfaatan SDA-LH yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional, serta penyelesaian konflik secara bijaksana. 4. Prinsip Demokrasi yang secara konseptual mengacu pada kebijakan pengaturan pengelolaan SDA-LH yang harus dilakukan secara transparan dengan memberikan akses informasi kepada masyarakat, partisipatif dengan memberikan ruang bagi masyarakat dan pihak yang berkepentingan untuk dapat turut serta dalam pengambilan keputusan/kebijakan, dan berkeadilan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan keadilan apabila hak-haknya dilanggar sehingga pengelolaan SDA-LH dapat dilakukan secara bertanggung jawab (akuntabel). 5. Prinsip Kepastian Hukum yang secara konseptual mengacu pada pengaturan pengelolaan SDA-LH yang rinci, jelas dan selaras (tidak bertentangan antar sektor dan antar tingkat pemerintahan) Dalam rangka memberikan pemaknaan yang lebih operasional, maka masing masing prinsip ini dijabarkan ke dalam indikator serta pisau analisis di dalamnya. Dalam rangka memberikan kesamaan konseptual serta definisi operasional yang digunakan serta memberikan persamaan persepsi, maka dalam tabel di bawah ini diuraikan makna masing masing prinsip serta indikator yang digunakan. 6

15 TABEL PRINSIP, INDIKATOR, PISAU ANALISIS I. PRINSIP NKRI NO. INDIKATOR PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN) PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU) PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU I. TAHAP PERENCANAAN 1 Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang pembagian kewenangan dan pedoman hubungan tata kerja antar sektor pembangunan dan antar daerah yang konsisten (tidak bertentangan satu sama lain) dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan SDA- LH. Hubungan dan tata kerja dimaksud harus sejalan dengan kebijakan dan kepentingan nasional. Pembagian kewenangan serta koordinasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Pembagian kewenangan serta koordinasi antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah serta instansi terkait proses pemberian Hak Guna Usaha (HGU). Pembagian kewenangan serta koordinasi antar Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam melakukan pengakuan batasbatas wilayah MHA secara demokratis. 2. Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang kewajiban bagi Pemerintah untuk menyelesaikan batas administrasi wilayah (untuk menghindarkan konflik antar daerah). Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan. - Kewajiban bagi Pemerintah untuk menyelesaikan batas administrasi (untuk menghindarkan konflik antar daerah dan masyarakat). Mandat penyelesaian batas administrasi wilayah segera, dengan mempertimbangkan hak MHA di dalamnya. Kewajiban pemerintah untuk menggunakan satu peta dasar dan tematik termasuk peta keberadaan MHA yang menggunakan kriteria yang sama dan dapat diakses oleh Pemda serta K/L terkait di tingkat nasional. II. TAHAP PEMANFAATAN 1 Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang pembatasan keikutsertaan asing serta mengedepankan kepemilikan/keikutsertaan nasional dalam pengelolaan SDA-LH. Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan. - Penekanan bahwa hanya WNI dan Badan Hukum Indonesia yang dapat memiliki HGU dan HPL serta terikat pada pengutamaan kepentingan nasional. Catatan: Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA - 2 Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang peningkatan kesempatan dan kemampuan daya olah SDA-LH di dalam negeri demi peningkatan kesejahteraan dan kemandirian bangsa. Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan. - Catatan: Tidak berlaku dalam proses pemberian HGU. - Kewajiban Pemerintah untuk meningkatkan kemampuan MHA dalam memanfaatkan dan mengolah hasil hutan. Kewajiban Pemerintah dan Pemda untuk mengembangkan atau memfasilitasi pengolahan produk hasil hutan/lahan yang dilakukan oleh masyarakat (termasuk MHA). 3 Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang pembatasan kepemilikan dan pengelolaan oleh individu dan korporasi atas SDA-LH. Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan. - Pembatasan kepemilikan dan pengelolaan oleh individu dan korporasi atas SDA-LH dalam kepemilikan HGU. Catatan: Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA - III. TAHAP PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM 1 Adanya aturan yang jelas, rinci dan selaras tentang pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pemanfaatan yang mengancam keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan. - Pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pemanfaatan HGU dan HPL yang tetap dalam kerangka NKRI. Pengakuan dan kesempatan bagi masyarakat, termasuk masyarakat lokal, MHA, perempuan dan masyarakat marginal lainnya untuk terlibat dalam pengawasan pelaksanaan: (1) Penyusunan instrumen dasar otda, dan (2) Pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Pemda. 7

16 NO. INDIKATOR PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN) PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU) PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU 2 Adanya aturan yang jelas, rinci dan selaras tentang mekanisme pemberian sanksi terhadap pelanggaran peraturan pada tahap perencanaan dan pemanfaatan kepada pejabat yang bertanggung jawab. Catatan: Indikator ini tidak berlaku untuk MHA Mekanisme pemberian sanksi bila Pemda dan Pemerintah tidak menyelesaikan pengukuhan kawasan hutan berdasarkan mekanisme dan jangka waktu sesuai peraturan perundangundangan. Mekanisme pemberian sanksi terhadap pemda dalam rangka penyusunan instrumen dasar perencanaan dan pemanfaatan lahan, termasuk upaya menyelesaikan HGU yang tumpang tindih dalam kerangka NKRI. Catatan: Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA - II. PRINSIP KEBERLANJUTAN NO INDIKATOR PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN) PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU) PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU I. TAHAP PERENCANAAN 1 Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras yang menjamin pola perencanaan ruang yang terkoordinasi, berdasarkan ekoregion, mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung, pengendalian produksi, kehati-hatian, perlindungan keanekaragaman hayati, dan mengedepankan kepentingan umum. * Prinsip kehati-hatian: jika ada perkiraan bahwa pemanfaatan ruang atau SDA-LH akan berdampak pada pencemaran atau perusakan lingkungan, walaupun belum dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan, maka pemanfaatan tersebut tidak dapat dilanjutkan. Proses pengukuhan kawasan hutan berdasarkan perencanaan ruang yang sesuai dengan kajian ilmiah, mengedepankan prinsip kehati-hatian, perlindungan hayati dan kepentingan umum. - Rencana pemanfaatan yang memberikan prioritas kepada kawasan hutan yang terdegradasi dan seminimal mungkin mengkonversi kawasan hutan yang sesuai daya dukung dan daya tampung. Mekanisme yang selektif dan ketat terhadap pengajuan HGU oleh pihak swasta, khususnya pemeriksaan dokumen AMDAL. Pola perencanaan ruang yang terkoordinasi, berdasarkan ekoregion, mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung, pengendalian produksi, kehati-hatian, perlindungan keanekaragaman hayati, dan mengedepankan kepentingan umum, termasuk di wilayah MHA. Catatan: Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA - 2 Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang perencanaan anggaran pengelolaan SDA-LH yang berkelanjutan. Alokasi anggaran yang memadai dalam pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan. Alokasi pendanaan yang mencukupi untuk melaksanakan penetapan HGU. Alokasi anggaran yang memadai untuk peningkatan kapasitas MHA, untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan SDA-LH. II. TAHAP PEMANFAATAN 1 Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras yang menjamin pola pemanfaatan ruang dan SDA-LH (pemberian izin) yang sesuai dengan perencanaan (terkoordinasi, berdasarkan ekoregion, mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung, pengendalian produksi, kehati-hatian, perlindungan keanekaragaman hayati, dan mengedepankan kepentingan umum). Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan - Memberikan jaminan pemanfaatan lahan yang memperhatikan kepentingan umum serta mekanisme verifikasi, dan mekanisme justifikasi pengelolaan HGU dengan persetujuan masyarakat. Mekanisme/tata cara penerbitan izin yang konsisten (termasuk pengaturan jangka waktu proses penerbitan izin) dan tidak diberikan melebihi batas waktu yang ditentukan. Kewajiban bagi siapa pun, termasuk MHA untuk memanfaatkan SDA-LH sesuai dengan perencanaan ruang yang sesuai dengan RPPLH, KLHS, dan RTRW, termasuk dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Kewajiban bagi masyarakat untuk memanfaatkan SDA-LH melalui cara-cara yang tidak merusak ekosistem. 8

17 NO INDIKATOR PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN) PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU) PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU III. TAHAP PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM 1 Adanya aturan yang jelas, rinci dan selaras tentang pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pemanfaatan dalam konteks keberlanjutan. Kewajiban bagi aparat untuk melakukan pengawasan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan. Kewajiban bagi aparat untuk melakukan pengawasan. Pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pemanfaatan yang berbasis keberlanjutan (menampung dinamika daya dukung dan daya tampung). Catatan: Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA - Sanksi bilamana terdapat pelanggaran dalam penyusunan kajian ilmiah dalam proses perencanaan ruang dan sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan perencanaan dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Sanksi bagi aparat yang tidak melakukan kewajiban melakukan pengawasan dalam proses penetapan HGU. 2 Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang mekanisme pertanggungjawaban pelaku untuk memulihkan dampak. Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan. - Mekanisme pertanggungjawaban pelaku untuk memulihkan dampak, termasuk di dalam mekanisme tersebut: penggunaan prinsip kehati-hatian, mekanisme strict liability, pembuktian terbalik, dan/atau internalisasi eksternalitas, dsb. Sanksi atau denda bagi masyarakat, termasuk MHA apabila terbukti melakukan perusakan/ pencemaran. III. PRINSIP KEADILAN NO INDIKATOR PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN) PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU) PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU I. TAHAP PERENCANAAN 1 Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang jaminan atas kualitas lingkungan hidup dan SDA untuk generasi yang akan yang datang dalam perencanaan pengelolaan SDA (Keadilan Inter dan Intra Generasi). *Indikator ini berlaku untuk semua bidang SDA-LH. Batasan minimal kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagai penyanggah kehidupan generasi akan datang. Perencanaan yang mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung dalam pemberian HGU. Catatan: Tidak berlaku dalam perlindungan dan pengakuan MHA - 2 Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang Jaminan pengakuan dan perlindungan hukum atas hak ulayat dalam perencanaan pengelolaan SDA. Kewajiban Pemerintah dan/ atau Pemda untuk melakukan inventarisasi keberadaan hak ulayat yang wilayahnya akan dikukuhkan menjadi kawasan hutan. Terjaminnya pengakuan hak ulayat dalam proses perencanaan HGU dan HPL. Jaminan pengakuan dan perlindungan hukum atas hak ulayat, berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan bersama antara Pemerintah (Daerah) dan masyarakat (pemetaan partisipatif). *PerMenAgraria No. 5/1999, Ps 1: Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari SDA-LH, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahirian dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. 9

18 NO INDIKATOR PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN) PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU) PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU II. TAHAP PEMANFAATAN 1 Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang jaminan atas kualitas lingkungan hidup dan SDA-LH untuk generasi yang akan yang datang dalam pemanfaatan ruang dan SDA-LH (pemberian izin). Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan. - Jaminan atas kualitas SDA-LH untuk generasi yang akan yang datang dalam pemanfaatan ruang dan SDA-LH (pemberian izin) sesuai dengan daya dukung dan daya tampung. Pengakuan hak dan kesempatan bagi MHA untuk terlibat dalam pengelolaan/ pemanfaatan (hasil) hutan dan lahan. 2 Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang pengakuan hak masyarakat termasuk masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, perempuan dan masyarakat marginal lainnya dalam pemberian izin pengelolaan SDA. Catatan: Tidak berlaku dalam proses pengukuhan kawasan hutan. - Pengakuan hak masyarakat termasuk masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, perempuan dan masyarakat marginal lainnya dalam pemberian HGU dan HPL. Kewajiban terhadap perusahaan untuk menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan hidup bagi MHA. Mekanisme/tata cara yang memastikan adanya tanggung jawab sosial dan lingkungan hidup perusahaan. III. TAHAP PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM 1 Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang pengakuan terhadap hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum negara, termasuk mekanisme absorbsi hukum adat oleh hukum negara dalam pengelolaan SDA-LH. Jaminan pengakuan terhadap penggunaan hukum adat dalam pengelolaan hutan dan lingkungan hidup serta hak atas tanah sepanjang tidak bertentangan dengan hukum negara dan kepentingan nasional. Jaminan pengakuan terhadap penggunaan hukum adat dalam pengelolaan hutan dan lingkungan hidup serta hak atas tanah sepanjang tidak bertentangan dengan hukum negara dan kepentingan nasional. Jaminan pengakuan terhadap penggunaan hukum adat dalam pengelolaan hutan dan lingkungan hidup serta hak atas tanah sepanjang tidak bertentangan dengan hukum negara dan kepentingan nasional. 2 Adanya mekanisme penyelesaian sengketa dalam pengelolaan SDA-LH yang independen dan imparsial. Mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial, independen, biaya terjangkau, serta jangka waktu yang jelas, memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memfasilitasi/ memediasi penyelesaian konflik dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial, independen, biaya terjangkau, serta jangka waktu yang jelas, memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memfasilitasi/ memediasi penyelesaian konflik dalam proses pemberian HGU. Mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial, independen, biaya terjangkau, serta jangka waktu yang jelas, memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memfasilitasi/ memediasi penyelesaian konflik dalam proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU. Kewajiban pemerintah atau pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas aparat dalam menangani penyelesaian sengketa dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Mekanisme penyelesaian sengketa yang imparsial, independen, biaya terjangkau, serta jangka waktu yang jelas, memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memfasilitasi/ memediasi penyelesaian konflik dalam proses pemberian HGU. Kewajiban pemeritah atau pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas aparat dalam menangani penyelesaian sengketa dalam proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU. Kewajiban pemerintah untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat (termasuk MHA). Kewajiban pemerintah untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat (termasuk MHA). Kewajiban pemerintah untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat (termasuk MHA). 10

19 NO INDIKATOR PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN) PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU) PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU 3 Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang jaminan relokasi dan/atau kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak pemanfaatan ruang dan SDA. Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan relokasi dan/ atau kompensasi bagi masyarakat yang memiliki hak dan terkena dampak dari pengukuhan kawasan hutan. Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan relokasi dan/atau kompensasi bagi masyarakat yang memiliki hak dan terkena dampak dari pemberian HGU. Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan relokasi dan/atau kompensasi bagi masyarakat yang memiliki hak dan terkena dampak dari proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU. Sanksi bagi aparat yang lalai dan/atau dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam memberikan jaminan relokasi ataupun kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak dari pengukuhan kawasan hutan. Sanksi bagi pihak yang lalai dan/atau dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam memberikan jaminan relokasi ataupun kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak dari pemberian HGU. Sanksi bagi aparat yang lalai dan/atau dengan sengaja tidak melaksanakan pengawasan terhadap pemberian jaminan relokasi ataupun kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak dari pemberian HGU Sanksi bagi aparat yang lalai dan/atau dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban dalam memberikan jaminan relokasi ataupun kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak proses pengukuhan kawasan hutan dan pemberian HGU. IV. PRINSIP DEMOKRASI NO INDIKATOR PISAU ANALISIS KEHUTANAN (PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN) PISAU ANALISIS PERTANAHAN (PEMBERIAN HGU) PISAU ANALISIS MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA) DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DAN PEMBERIAN HGU I. TAHAP PERENCANAAN 1 Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang akses informasi publik dalam perencanaan pengelolaan SDA-LH. Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat dapat memperoleh akses informasi dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat dapat memperoleh akses informasi atas setiap rencana pemberian HGU secara khusus dan RPPLH, KLHS, RTRW secara umum. Mekanisme/tata cara dan kewajiban pemerintah agar masyarakat (termasuk MHA) dapat memperoleh akses informasi dalam proses penyusunan dokumen perencanaan, antara lain: RPPLH, KLHS, RTRW, dan pengukuhan kawasan hutan 2 Adanya aturan yang jelas, rinci, dan selaras tentang partisipasi masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat, masyarakat local, perempuan dan masyarakat marginal lainnya dalam perencanaan pengelolaan SDA. Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk melakukan partisipasi publik dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW, dan pengukuhan kawasan hutan (termasuk ruang untuk memberikan masukan dan respon dengan berbagai cara dan waktu yang cukup). Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk melakukan partisipasi publik dalam proses perencanaan areal HGU dan HPL. Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk melakukan partisipasi publik dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW (termasuk ruang untuk memberikan masukan dan respon dengan berbagai cara dan waktunya cukup). Mekanisme/tata cara yang memudahkan masyarakat untuk melakukan partisipasi publik dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW, dan pengukuhan kawasan hutan (termasuk ruang untuk memberikan masukan dan respon dengan berbagai cara dan waktu yang cukup). Kewajiban bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW dan pengukuhan kawasan hutan. Kewajiban bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW. Kewajiban bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses penyusunan RPPLH, KLHS, RTRW dan pengukuhan kawasan hutan. 11

PUSANEV_BPHN KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA

PUSANEV_BPHN KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA DISKUSI PUBLIK PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA MEDAN, 12 MEI 2016 Pocut Eliza, S.Sos.,S.H.,M.H. Kepala Pusat Analisis

Lebih terperinci

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TAHUN 2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TAHUN 2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TAHUN 2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN

Lebih terperinci

K E T E T A P A N MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

K E T E T A P A N MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM K E T E T A P A N MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN

Lebih terperinci

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

Lebih terperinci

PAPER KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN

PAPER KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN PAPER KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN PEMDA RIAU HARUS MELIBATKAN PUBLIK DALAM GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM (GNPSDA) KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI PENGANTAR Hasil kajian Jikalahari menunjukkan

Lebih terperinci

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Platform Bersama Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global Kami adalah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan

Lebih terperinci

Kemajuan PENETAPAN KAWASAN HUTAN

Kemajuan PENETAPAN KAWASAN HUTAN Kemajuan PENETAPAN KAWASAN HUTAN Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Jakarta, 10 November 2014 1. Latar Belakang 2. Substansi NKB 3. Target Percepatan Penetapan KH 4. Realisasi Penetapan KH 5. Pengakuan

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

Harmonisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan

Harmonisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan Lampiran KESATU Harmonisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan Bab 1. Pendahuluan Konflik perizinan dan hak terjadi atas klaim pada areal yang sama Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No: 45/PUU-IX/2011

Lebih terperinci

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015 Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015 #1. Sektor Pertambangan Puluhan ribu hektar kawasan hutan lindung dan konservasi di Jabar,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI UNTUK PEMBANGUNAN DILUAR KEGIATAN KEHUTANAN

KEBIJAKAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI UNTUK PEMBANGUNAN DILUAR KEGIATAN KEHUTANAN KEBIJAKAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI UNTUK PEMBANGUNAN DILUAR KEGIATAN KEHUTANAN SOLUSI PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN UNTUK KEGIATAN NON KEHUTANAN Disampaikan oleh : Kementerian

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT (VERSI KEMENDAGRI)

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT (VERSI KEMENDAGRI) DAFTAR INVENTARISASI MASALAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT (VERSI KEMENDAGRI) NO 1. RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...

Lebih terperinci

Oleh : Ketua Tim GNPSDA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pontianak, 9 September 2015

Oleh : Ketua Tim GNPSDA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pontianak, 9 September 2015 Oleh : Ketua Tim GNPSDA Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pontianak, 9 September 2015 Data dan Informasi Kawasan Hutan 2 KAWASAN HUTAN KALIMANTAN BARAT, KALIMANTAN TENGAH, KALIMANTAN SELATAN,

Lebih terperinci

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan NAWACITA Meningkatkan kualitas manusia Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman Membangun Indonesia dari pinggiran

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN OVERVIEW ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA (ANAK)

PUSANEV_BPHN OVERVIEW ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA (ANAK) OVERVIEW ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA (ANAK) PUSANEV_BPHN Oleh: Bidang POLHUKAMPEM Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN FOKUS RPJM 2015-2019 Fokus Pokja

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN. Overview ANALISIS EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK. Oleh:

PUSANEV_BPHN. Overview ANALISIS EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK. Oleh: Overview ANALISIS EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK Oleh: Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan

Lebih terperinci

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Disampaikan pada acara : Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Jakarta, 22

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional UNFCCC dan juga telah menyepakati mekanisme REDD+ yang dihasilkan oleh rezim tersebut dituntut

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 2017 TENTANG PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 2017 TENTANG PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88 TAHUN 2017 TENTANG PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH DALAM KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam

Lebih terperinci

[Opini] Maria SW Sumardjono Jum at, 23 September Menghadirkan Negara

[Opini] Maria SW Sumardjono Jum at, 23 September Menghadirkan Negara Menghadirkan Negara Agenda prioritas Nawacita yang kelima mengamanatkan negara untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mendorong reforma agraria (landreform) dan program kepemilikan tanah 9 juta hektar.

Lebih terperinci

NOMOR : 79 Tahun 2014 NOMOR : PB.3/Menhut-11/2014 NOMOR : 17/PRT/M/2014 NOMOR : 8/SKB/X/2014 TENTANG

NOMOR : 79 Tahun 2014 NOMOR : PB.3/Menhut-11/2014 NOMOR : 17/PRT/M/2014 NOMOR : 8/SKB/X/2014 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA, DAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN. Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN. Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN Disampaikan pada Acara Sosialisasi PP Nomor 10 Tahun 2010 Di Kantor Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

MISKINYA RAKYAT KAYANYA HUTAN

MISKINYA RAKYAT KAYANYA HUTAN SENGKARUT TAMBANG MENDULANG MALANG Disusun oleh Koalisi Anti Mafia Hutan dan Tambang. Untuk wilayah Bengkulu, Lampung, Banten. Jakarta, 22 April 2015 MISKINYA RAKYAT KAYANYA HUTAN No Daerah Hutan Konservasi

Lebih terperinci

NOMOR : 79 Tahun 2014 NOMOR : PB.3/Menhut-11/2014 NOMOR : 17/PRT/M/2014 NOMOR : 8/SKB/X/2014 TENTANG

NOMOR : 79 Tahun 2014 NOMOR : PB.3/Menhut-11/2014 NOMOR : 17/PRT/M/2014 NOMOR : 8/SKB/X/2014 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA, DAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci

-1- DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

-1- DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, -1- PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.74/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016... TENTANG PEDOMAN NOMENKLATUR PERANGKAT DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA YANG MELAKSANAKAN

Lebih terperinci

Yang Terhormat: Sulawesi Tengah

Yang Terhormat: Sulawesi Tengah SAMBUTAN PIMPINAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM KEGIATAN RAPAT MONEV KOORDINASI DAN SUPERVISI GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBERDAYA ALAM SEKTOR KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN MAKASSAR, 26 AGUSTUS 2015

Lebih terperinci

2016, No informasi geospasial dengan melibatkan seluruh unit yang mengelola informasi geospasial; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

2016, No informasi geospasial dengan melibatkan seluruh unit yang mengelola informasi geospasial; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.429, 2016 KEMEN-LHK. Jaringan Informasi Geospasial. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.28/Menlhk/Setjen/KUM.1/2/2016

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

USULAN STRUKTUR KELEMBAGAAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

USULAN STRUKTUR KELEMBAGAAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN USULAN STRUKTUR KELEMBAGAAN Dasar Hukum Lingkungan Hidup UU No. 32/2009: Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No. 18/2008: Pengelolaan Sampah PP turunannnya Kehutanan UU No. 41/1999: Kehutanan

Lebih terperinci

PENYUSUNAN STRATEGI PERCEPATAN PENGAKUAN HUTAN ADAT PASCA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012

PENYUSUNAN STRATEGI PERCEPATAN PENGAKUAN HUTAN ADAT PASCA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012 PENYUSUNAN STRATEGI PERCEPATAN PENGAKUAN HUTAN ADAT PASCA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012 Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 2013 Ketentuan yang dimohonkan Pengujian

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH

PROVINSI JAWA TENGAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG MEKANISME PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 36/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 36/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 36/Menhut-II/2010 TENTANG TIM TERPADU DALAM RANGKA PENELITIAN PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2017 KEMEN-LHK. Pengelolaan Pengaduan Dugaan Pencemaran. Perusakan Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan Hutan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.742, 2015 KEMEN. ATR. Tata Cara Hak Komunal Tanah. Hukum Adat. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU, Menimbang : a. bahwa kualitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN SATU PETA PADA TINGKAT KETELITIAN PETA SKALA 1:50.000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BUPATI GUNUNGKIDUL BUPATI GUNUNGKIDUL,

BUPATI GUNUNGKIDUL BUPATI GUNUNGKIDUL, BUPATI GUNUNGKIDUL PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG POLA HUBUNGAN KERJA ANTAR PERANGKAT DAERAH DAN ANTARA KECAMATAN DENGAN PEMERINTAHAN DESA BUPATI GUNUNGKIDUL, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

LANGKAH STRATEGIS PASKA TERBITNYA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012 TENTANG PENGUKUHAN HUTAN ADAT

LANGKAH STRATEGIS PASKA TERBITNYA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012 TENTANG PENGUKUHAN HUTAN ADAT LANGKAH STRATEGIS PASKA TERBITNYA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012 TENTANG PENGUKUHAN HUTAN ADAT disampaikan oleh: Kustanta Budi Prihatno DIREKTORAT PENGUKUHAN, PENATAGUNAAN DAN TENURIAL KAWASAN HUTAN Denpasar,

Lebih terperinci

Draft 0 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. /Menhut -II/2014 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN

Draft 0 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. /Menhut -II/2014 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN Draft 0 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. /Menhut -II/2014 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan.

I. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan. 7 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 32/Menhut-II/2013 TENTANG RENCANA MAKRO PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN I. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan. Hutan

Lebih terperinci

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN 2010 2014 A. PENDAHULUAN Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.28, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA WILAYAH. Satu Peta. Tingkat Ketelitian. Kebijakan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN SATU

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/Permentan/OT.140/3/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/Permentan/OT.140/3/2015 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/Permentan/OT.140/3/2015 TENTANG SISTEM SERTIFIKASI KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN INDONESIA (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL CERTIFICATION SYSTEM /ISPO)

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan

Lebih terperinci

Perkuat Agenda Perubahan Iklim dan Komitmen Indonesia Melindungi Hutan

Perkuat Agenda Perubahan Iklim dan Komitmen Indonesia Melindungi Hutan Briefing Paper Perkuat Agenda Perubahan Iklim dan Komitmen Indonesia Melindungi Hutan Pada 21 Januari 2015, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2015 tentang Kementerian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I No.165, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK.Kawasan Hutan. Konflik Tenurial. Penanganan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.84/MENLHK-SETJEN/2015 TENTANG

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.228, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Strategis. Penyelenggaraan. Tata Cara. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5941) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

Masyarakat Adat di Indonesia dan Perjuangan untuk Pengakuan Legal

Masyarakat Adat di Indonesia dan Perjuangan untuk Pengakuan Legal Masyarakat Adat di Indonesia dan Perjuangan untuk Pengakuan Legal Pandangan dan Pengalaman AMAN Mina Susana Setra Deputi untuk Advokasi, Hukum dan Politik - AMAN GCF TaskForce REDD+ Training Bali, 20 November

Lebih terperinci

peraturan (norma) dan kondisi pelaksanaannya, termasuk peraturan pelaksanaan dan limitasi pembentukannya. 2. Peninjauan, yaitu kegiatan pemeriksaan

peraturan (norma) dan kondisi pelaksanaannya, termasuk peraturan pelaksanaan dan limitasi pembentukannya. 2. Peninjauan, yaitu kegiatan pemeriksaan LAPORAN KUNJUNGAN KERJA BADAN LEGISLASI DPR RI DALAM RANGKA PEMANTAUAN DAN PENINJAUAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KE PROVINSI ACEH, PROVINSI

Lebih terperinci

KOTA SURAKARTA PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA (PPAS) TAHUN ANGGARAN 2016 BAB I PENDAHULUAN

KOTA SURAKARTA PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA (PPAS) TAHUN ANGGARAN 2016 BAB I PENDAHULUAN - 3 - LAMPIRAN: NOTA KESEPAKATAN ANTARA PEMERINTAH KOTA SURAKARTA DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR : 910/3839-910/6439 TENTANG : PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA APBD KOTA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dengan telah

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) PENGADILAN AGAMA TUAL TUAL, PEBRUARI 2012 Halaman 1 dari 14 halaman Renstra PA. Tual P a g e KATA PENGANTAR Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NKRI) tahun 1945

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 5 TAHUN 2015 BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dengan telah

Lebih terperinci

Penataan Ruang dalam Rangka Mengoptimalkan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Hutan

Penataan Ruang dalam Rangka Mengoptimalkan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Hutan Penataan Ruang dalam Rangka Mengoptimalkan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Hutan Disampaikan oleh: Direktur Jenderal Penataan Ruang Komisi Pemberantasan Korupsi - Jakarta, 13 Desember 2012 Outline I. Isu

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 32/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 32/Menhut-II/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 32/Menhut-II/2013 TENTANG RENCANA MAKRO PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM

PUSANEV_BPHN KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DISKUSI PUBLIK MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA (ANAK) Denpasar Bali, 10 Agustus 2016 Pocut Eliza, S.Sos.,S.H., M.H. Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN SATU PETA PADA TINGKAT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN SATU PETA PADA TINGKAT PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN SATU PETA PADA TINGKAT KETELITIAN PETA SKALA 1:50.000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa Provinsi Jambi merupakan daerah yang

Lebih terperinci

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KOTA BATU

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KOTA BATU SALINAN WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KOTA BATU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT LD. 14 2012 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD. 5 2010 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG MEKANISME PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang BUPATI

Lebih terperinci

BAB III PEMBANGUNAN HUKUM

BAB III PEMBANGUNAN HUKUM BAB III PEMBANGUNAN HUKUM A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang kedua, yaitu mewujudkan supremasi

Lebih terperinci

REDD+: Selayang Pandang

REDD+: Selayang Pandang REDD+: Selayang Pandang Outline Paparan Tentang REDD+ Makna REDD+ bagi Masyarakat Adat Implikasi Operasional 1 1 REDD+ = Apa itu REDD+? Reduksi (=pengurangan) Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO, Menimbang : a. bahwa Lingkungan

Lebih terperinci

KASUS-KASUS HUKUM DAN PENYIMPANGAN PAJAK - PENYELESAIAN INPRES NO. 1 TAHUN

KASUS-KASUS HUKUM DAN PENYIMPANGAN PAJAK - PENYELESAIAN INPRES NO. 1 TAHUN KASUS-KASUS HUKUM DAN PENYIMPANGAN PAJAK - PENYELESAIAN INPRES NO. 1 TAHUN INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 1 TAHUN TENTANG PERCEPATAN PENYELESAIAN KASUS-KASUS HUKUM DAN PENYIMPANGAN PAJAK ABSTRAK : Dalam rangka

Lebih terperinci

PERAN PEMERINTAH KOTA DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

PERAN PEMERINTAH KOTA DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA PEMBANGUNAN DAERAH PERAN PEMERINTAH KOTA DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM PADA ACARA KNOWLEDGE MANAGEMEN FORUM 2015 (ASOSIASI PEMERINTAH KOTA SELURUH INDONESIA)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.25/Menhut -II/2014 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.25/Menhut -II/2014 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.25/Menhut -II/2014 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

LAYANAN UTAMA DAN LAYANAN PENDUKUNG. Untuk Rancangan Lampiran RPP-PUPK

LAYANAN UTAMA DAN LAYANAN PENDUKUNG. Untuk Rancangan Lampiran RPP-PUPK LAYANAN UTAMA DAN LAYANAN Untuk Rancangan Lampiran RPP-PUPK LATAR BELAKANG Konsideran UU 23/ 2014 : Huruf b.: bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

Lebih terperinci

2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M

2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M No.73, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Penyelenggaraan. Pembinaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6041) PERATURAN

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 228

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat I. PEMOHON Assosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang diwakili oleh Ir.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.28/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.28/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.28/Menhut-II/2014 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P. 33/MENHUT-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN

Lebih terperinci

Penyelarasan Teknis dan Prosedur

Penyelarasan Teknis dan Prosedur Lampiran KEDUA Penyelarasan Teknis dan Prosedur Peran hutan bagi negara dan masyarakat Bab 1. Pendahuluan Berdasarkan fungsinya, hutan tidak hanya ditujukan untuk penyangga kehidupan lokal dan penggerak

Lebih terperinci

LAND REFORM ATAS TANAH EKS HGU PT RSI DI KABUPATEN CIAMIS SUATU KAJIAN HUKUM

LAND REFORM ATAS TANAH EKS HGU PT RSI DI KABUPATEN CIAMIS SUATU KAJIAN HUKUM LAND REFORM ATAS TANAH EKS HGU PT RSI DI KABUPATEN CIAMIS SUATU KAJIAN HUKUM Oleh : HENDRA SUKARMAN, S.H., S.E., M.H. *) ABSTRACT Iplementasi of the mandate of the People's Consultative Assembly Decree

Lebih terperinci

PERENCANAAN PERLINDUNGAN

PERENCANAAN PERLINDUNGAN PERENCANAAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP UU No 32 tahun 2009 TUJUAN melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup menjamin keselamatan,

Lebih terperinci

PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN

PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN Press Release PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN Ada dua prestasi Indonesia yang diakui masyarakat dunia. Pertama, salah satu negara dengan praktik korupsi terbesar.

Lebih terperinci