PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS"

Transkripsi

1 PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh : Ernawati Sengaji C DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul : PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2009 Ernawati Sengaji C

3 RINGKASAN ERNAWATI SENGAJI. PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. DIBIMBING OLEH BISMAN NABABAN dan SYAMSUL BAHRI AGUS. Penelitian dengan judul Pemetaan Tingkat Resiko Tsunami di Kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis dilaksanakan dalam beberapa tahap yaitu penyusunan basis data awal pada bulan Agustus 2007, survei lapang bulan Oktober 2007, pengolahan citra, penyusunan basis data akhir dan pengolahan data spasial sampai bulan November Fokus daerah penelitian adalah wilayah Kabupaten Sikka yang berada pada daratan Pulau Flores. Secara administratif Kabupaten Sikka terletak pada 08 º 22'-08 º 50' Lintang Selatan dan 121 º 55'40"-122 º 41'30 º Bujur Timur. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan tingkat resiko tsunami di wilayah Kabupaten Sikka dengan menggunakan sistem informasi geografis. Metode yang diterapkan adalah metode Cell Based Modelling (CBM). Analisis spasial pada data raster merupakan dasar dari metode CBM. Pada penelitian ini, pemetaan resiko tsunami ditentukan oleh faktor kerawanan (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Parameter kerawanan yang digunakan adalah data run up Tsunami Flores Tahun Sedangkan parameter kerentanan terhadap tsunami meliputi elevasi daratan, slope, morfometri pantai, landuse, jarak dari garis pantai dan jarak dari sungai. Berdasarkan metode CBM keseluruhan parameter tersebut diubah ke dalam format data raster menjadi layer-layer raster. Selanjutnya seluruh data tersebut dioverlay dengan metode Weighted Overlay sehingga didapatkan model peta tingkat resiko tsunami Kabupaten Sikka. Pada penelitian ini, dibuat lima (5) kelas tingkat resiko berdasarkan studi literatur dan konsultasi pakar serta pembimbing. Selang kelas untuk masing-masing tingkat resiko tsunami adalah sebagai berikut : kelas resiko sangat tinggi (R5) = 4,201-5,000; kelas resiko tinggi (R4) = 3,401-4,200; kelas resiko sedang = 2,601-3,400; kelas resiko rendah (R2) = 1,801-2,600; dan kelas resiko sangat rendah (R1) = 1,000-1,800. Berdasarkan hasil analisis spasial dengan metode CBM dapat diketahui bahwa luasan daerah yang beresiko sangat tinggi dan tinggi terhadap bahaya tsunami adalah relatif lebih kecil dari total luas wilayah Kabupaten Sikka (1,7086% pada run up 10 m dan 4% pada run up 20 m). Akan tetapi, lokasi kemungkinan kejadian tsunami tersebut berada pada daerah pemukiman padat penduduk dan banyak terdapat infrastruktur penting sehingga perlu dikembangkan mitigasi tsunami yang komprehensif di Kabupaten Sikka, terutama pada wilayah-wilayah yang beresiko tinggi dan sangat tinggi terhadap tsunami.

4 Hak cipta milik Ernawati Sengaji, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Dilarang memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanan Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya.

5 PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Oleh: Ernawati Sengaji C DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

6 SKRIPSI Judul Skripsi : PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Nama : Ernawati Sengaji NRP : C Disetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. NIP Syamsul Bahri Agus, S.Pi., M.Si. NIP Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. NIP Tanggal Lulus : 27 Januari 2009

7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-nya, penulis bisa menyelesaikan skripsi dengan judul Pemetaan Tingkat Resiko Tsunami di Kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Selama penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak, Mama, Ade Nia dan Ade Muchlas yang telah memberikan kasih sayang, semangat, motivasi dan dukungan tak terhingga kepada penulis hingga detik ini. 2. Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. dan Syamsul Bahri Agus, S.Pi., M.Si. selaku pembimbing yang banyak sekali memberikan bimbingan, arahan, masukan dan motivasi semangat kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 3. Muhammad Helmi, M.Si. dan Wiwin, S.Si. atas bimbingan, arahan dan kritik mengenai Cell Based Modelling. 4. Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. atas masukan ilmu tentang tsunami bagi penulis. 5. Dr. Ir. Subandono Diposaptono, M.Eng. dan Firdaus Agung yang banyak memberikan masukan dalam metode penentuan resiko tsunami. 6. Drs. M. Taufik Gunawan, Dipl.Seis., Drs. Budi Waluyo, Dipl.Seis., Indra Gunawan, S.Si. serta segenap staf Earthquake and Tsunamy BMG atas masukan ilmu kegempaan dan tsunami serta data run up tsunami. 7. Ir. Djoko Hartoyo, Dr. Ir. Fadhli Syamsudin, M.Sc., Dr. Ir. Nawa Suwedi, M.Sc., Yudi Wahyudi, DEA., Dr. Ir. Agus Wibowo, M.Sc. dan Dr. Ir.

8 Udrekh, M.Sc. dari BPPT Jakarta serta Dr. Ir. Widjongkoko, M.Sc. dan Dr. Ir. Chaeroni, M.Sc. dari BPDP-BPPT Yogyakarta atas masukan ilmu tsunami bagi penulis. 8. A.A.G. Conterius S. Sos. dan Mauritius Minggo, ST., MT. dari Bappeda Sikka atas arahan dan bantuan data spasial Kab.Sikka kepada penulis. 9. Kapten Dede Yuliadi, Serka Edi Gunadi dari Dishidros TNI AL atas penjelasan ilmu batimetri dan data pasut. 10. Teman-teman Geologi UNPAD atas literatur geologi bagi penulis. 11. Seluruh dosen, segenap staf Tata Usaha, dan teman-teman (khususnya ITK Angkatan 40) atas bantuan, motivasi, dan kebersamaannya selama ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Bogor, Januari 2009 Ernawati Sengaji

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...xii DARTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv 1. PENDAHULUAN Latar belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Tsunami Karakteristik tsunami Penyebab tsunami Gempa tektonik Letusan vulkanik Longsoran (Landslide) Klasifikasi tsunami Tsunami lokal (near field/local field tsunami) Tsunami jarak jauh (far field tsunami) Penilaian tingkat resiko tsunami (tsunami tisk assesment) Analisis daerah rawan tsunami Analisis kerentanan terhadap tsunami Batimetri wilayah pantai Morfometri pantai Keberadaan pulau-pulau penghalang Ekosistem pesisir Penggunaan lahan Kepadatan pemukiman Pengurangan resiko bencana tsunami Pemetaan resiko tsunami dengan metode Cell Based Modelling Penginderaan jauh sebagai penunjang riset tsunami Aplikasi Cell Based Modelling untuk kajian resiko tsunami Sistem informasi geografis (SIG) Pemodelan spasial dengan Cell Based Modelling Keadaan umum lokasi penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan lokasi penelitian Alat dan bahan Alat Bahan Survei lapang Metode penelitian...29

10 3.5 Pengolahan citra satelit Pengolahan citra awal (Pre processing) Penajaman citra (Image enhancement) Penajaman citra untuk terumbu karang Penajaman citra untuk ekosistem mangrove Klasifikasi citra Metode penentuan tingkat resiko tsunami Penentuan kerawanan tsunami Pemetaan seismisitas Pemetaan daerah rawan tsunami Penentuan tingkat kerentanan terhadap tsunami Pengolahan data dengan Cell Based Modelling Matriks tingkat resiko tsunami Kabupaten Sikka HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan data spasial dari citra satelit Pengolahan citra awal Ekstraksi data citra Analisis kerawanan tsunami di Kabupaten Sikka Seismisitas di Kabupaten Sikka Tingkat kerawanan tsunami di Kabupaten Sikka Analisis tingkat kerentanan tsunami di Kabupaten Sikka Elevasi daratan Kemiringan daratan (slope) Morfometri pantai Penggunaan lahan Jarak dari garis pantai Jarak dari sungai Faktor-faktor pendukung tingkat kerentanan tsunami Batimetri Ekosistem pesisir alami Kabupaten Sikka Pulau-pulau kecil penghalang Analisis spasial tingkat resiko tsunami di Kabupaten Sikka Pemodelan resiko tsunami pada run up tsunami 20 Meter KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran...95 DAFTAR PUSTAKA...96 LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP...113

11 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kajian resiko tsunami Efektivitas peredaman tsunami hutan pantai Karakteristik Citra Landsat 7 ETM Hubungan tingkat kerusakan dengan tinggi run up tsunami Matriks resiko tsunami Luasan ekosistem pesisir Kabupaten Sikka dari citra satelit Luasan daerah kerawanan tsunami Luasan wilayah tingkat kerentanan elevasi Luasan wilayah kerentanan slope Luasan jenis landuse di Kabupaten Sikka Luasan tingkat kerentanan landuse Jumlah sel per parameter hasil klasifikasi Jumlah sel hasil weighted overlay Tingkat resiko tsunami per kecamatan Luasan wilayah tingkat resiko tsunami pada run up 20 meter...93

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Hubungan panjang, kecepatan, dan tinggi tsunami di laut Proses terjadinya tsunami akibat gempa tektonik Lingkar api di daerah Pasifik Tinggi gelombang tsunami saat memasuki teluk Contoh kawasan pesisir yang menyerupai gigi gergaji Pengurangan resiko bencana Konfigurasi Satelit Landsat 7/ETM Perbandingan antara data raster dan data vektor Ilustrasi operasi piksel Peta daerah penelitian Diagam alir penelitian Diagam alir pengolahan citra untuk pemetaan ekosistem pesisir Desain penentuan tingkat resiko tsunami Peta ekosistem pesisir Kabupaten Sikka Peta seismisitas Kabupaten Sikka Peta tinggi run up Tsunami Flores tahun 1992 di berbagai lokasi di Pantai Utara Kabupaten Sikka Peta kerawanan tsunami berdasarkan data run up Tsunami Flores tahun Peta kerentanan elevasi terhadap tsunami Peta kerentanan slope terhadap tsunami Peta kerentanan morfologi terhadap tsunami Peta jenis landuse di Kabupaten Sikka...70

13 22. Peta kerentanan landuse terhadap tsunami Peta jarak dari garis pantai Peta jarak dari sungai Peta 3D batimetri Kabupaten Sikka Peta pulau penghalang yang ada di Kabupaten Sikka Peta tingkat resiko tsunami Kabupaten Sikka Grafik resiko tsunami per kecamatan Peta resiko infrastruktur terhadap tsunami Peta resiko pemukiman terhadap tsunami Peta tingkat resiko tsunami pada run up 20 meter...92

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Posisi pengamatan di lapanga Foto-foto hasil survei lapang Data run up Tsunami Flores tahun Root mean square error koreksi Citra Landsat 7/ETM Hasil analisis statistik Transformasi Lyzenga Peta tingkat resiko tsunami per kecamatan...110

15 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan kondisi geologis yang secara tektonik sangat labil karena merupakan daerah pertemuan Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Laut Filipina (Diposaptono dan Budiman, 2005). Kondisi ini menyebabkan wilayah Indonesia memiliki tingkat kejadian gempa yang tinggi di dunia dan sangat rawan mengalami tsunami. Hampir 90% kejadian tsunami di Indonesia disebabkan oleh gempa tektonik dan sekitar 85% dari kejadian tsunami tersebut terjadi di wilayah Indonesia Timur, termasuk daerah Kabupaten Sikka (Diposaptono dan Budiman, 2006). Kabupaten Sikka yang termasuk dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan kawasan dengan tingkat resiko tsunami yang cukup tinggi karena daerah ini berada dekat dengan zona subduksi lempeng tektonik Australia dan Eurasia serta dipengaruhi oleh sesar-sesar aktif di sepanjang Pulau Flores (Fauzi, 2006). Bencana tsunami merupakan bencana yang bersifat destruktif dan menimbulkan banyak kerugian. Misalnya Tsunami Flores 12 Desember 1992 telah menyebabkan kerugian materi hingga milyaran rupiah dan korban jiwa sekitar 2100 orang. Oleh karena itu, penting sekali dilakukan suatu upaya mitigasi bencana tsunami, yaitu proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk meminimalkan dampak negatif bencana tsunami yang diperkirakan akan terjadi. Salah satu langkah mitigasi adalah dengan membuat peta resiko tsunami (Soegiharto, 2006). Pemetaan tingkat resiko tsunami harus dilakukan dengan pendekatan multikriteria sesuai dengan daerah kajian. Untuk itu, diperlukan suatu perangkat

16 analisis yang tepat untuk membuat peta tersebut. Sistem informasi geografis (SIG) merupakan perangkat yang memiliki kemampuan untuk memvisualisasikan tingkat resiko tsunami. Salah satu metode aplikasi SIG yang sering digunakan saat ini adalah metode Cell Based Modelling (CBM). Analisis spasial pada data raster adalah dasar dari CBM, sehingga luasan area hasil analisis dengan metode ini cukup akurat karena tidak mengalami generalisasi (ESRI, 2002). Kajian mengenai pemetaan tingkat resiko tsunami di Kabupaten Sikka dengan metode CBM belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan (Decision support system) oleh stake holders dalam kerangka mitigasi bencana tsunami di Kabupaten Sikka Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah memetakan dan menentukan tingkat resiko tsunami dengan menggunakan sistem informasi geografis di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

17 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tsunami Karakteristik tsunami Tsunami merupakan gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif pada medium laut yang bersifat transien (gelombangnya bersifat sesar) dan nondispersive (fasa gelombang tidak bergantung pada panjang gelombang). Gangguan impulsif tersebut disebabkan oleh aktivitas gempa tektonik, erupsi vukanik atau longsoran bawah laut (Diposaptono dan Budiman, 2006). Tsunami bergerak keluar dari daerah pembangkitannya dalam bentuk serangkaian gelombang. Kecepatannya bergantung pada kedalaman perairan, akibatnya gelombang tersebut mengalami percepatan atau perlambatan sesuai dengan bertambah atau berkurangnya kedalaman dasar laut. Proses ini menyebabkan arah pergerakan gelombang berubah dengan energi gelombang bisa menjadi terfokus atau menyebar (UNESCO-IOC, 2006). Tsunami bersifat unik karena bentuk gelombangnya memanjang sampai ke seluruh kolom air yaitu dari permukaan sampai ke dasar lautan. Karakteristik inilah yang menjadi penyebab gelombang tsunami berbeda dengan gelombang laut yang terjadi karena terpaan angin dan pasang surut yang hanya mengganggu permukaan laut. Hal ini juga yang merupakan penyebab dasar besarnya jumlah tenaga yang dibentuk oleh suatu gelombang tsunami (UNESCO-IOC, 2006). Pada laut dalam, gelombang tsunami dapat bergerak pada kecepatan 500 sampai kilometer per jam. Periode tsunami (waktu untuk siklus satu gelombang) bisa berkisar dari beberapa menit hingga satu jam. Saat mendekati pantai, kecepatan gelombang melambat menjadi beberapa puluh kilometer per

18 jam dan tinggi tsunami bisa mencapai hingga puluhan meter pada garis pantai seperti yang terlihat pada Gambar 1 (UNESCO-IOC, 2006). Gambar 1. Hubungan panjang, tinggi, dan kecepatan tsunami di laut (UNESCO-IOC, 2006) Tinggi tsunami tersebut disebabkan karena terjadi konversi energi kinetik gelombang menjadi energi potensial. Artinya, kehilangan energi akibat berkurangnya kecepatan ditransfer ke dalam bentuk pembesaran tinggi gelombang (run up) (Diposaptono dan Budiman, 2006). Kecepatan run up ke daratan bisa mencapai km/jam. Kecepatan gelombang tsunami ini yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa, rusaknya lahan pertanian, sarana prasarana wilayah, dan dataran rendah menjadi tergenang membentuk lautan baru. Kembalinya air ke laut setelah mencapai puncak gelombang (run-down) juga bersifat merusak karena menyeret segala sesuatu kembali ke laut (Diposaptono dan Budiman, 2006).

19 2.1.2 Penyebab tsunami Secara umum faktor penyebab terjadinya tsunami adalah gempa tektonik letusan vulkanik, dan longsoran (landslide) (BMG, 2007; Fauzi dan Wandono, 2005; Diposaptono dan Budiman, 2006) Gempa tektonik Gempa tektonik merupakan gempa yang diakibatkan oleh aktivitas tektonik, yaitu pergerakan, pergeseran dan tumbukan lempeng tektonik (Diposaptono dan Budiman, 2006). Gempa ini merupakan penyumbang terbesar terjadinya tsunami.yang biasanya terjadi di zona subduksi atau zona tumbukan antarlempeng tektonik. Pada zona ini, lempeng yang mempunyai berat jenis yang lebih tinggi (lempeng samudera) akan menyusup di bawah lempeng yang berat jenisnya lebih ringan (lempeng benua). Apabila akumulasi tegangan lempeng benua di sekitar tumbukan mencapai batas maksimum maka ujung lempeng samudera akan melenting ke atas yang mengakibatkan terjadinya patahan (sesar) dan selanjutnya menimbulkan tsunami (UNESCO-IOC, 2006; Gambar 2). Gambar 2. Proses terjadinya tsunami akibat gempa tektonik (UNESCO-IOC, 2006)

20 Secara umum karakteristik gempa yang dapat menimbulkan terjadinya tsunami adalah sebagai berikut : 1. Lokasi pusat gempa (episenter) berada di laut dengan magnitudo lebih besar dari 6.0 SR. 2. Kedalaman pusat gempa (hiposenter) kurang dari 60 km dari permukaan bumi (gempa dangkal). 3. Mekanisme patahan gempa tektonik bertipe sesar naik (reverse fault) atau sesar turun (normal fault) (BMG, 2007; International Tsunami Information Center, 2006; Himpunan Ahli Geologi Indonesia, 2006 dan Diposaptono dan Budiman, 2006). Wilayah NTT merupakan kawasan aktif gempa tektonik karena berada dekat lempeng Australia yang menyusup ke lempeng Eurasia. Selain itu, terdapat sesar busur muka dan sesar busur belakang di bagian utara Pulau Flores dan sesar lokal yang memotong Pulau Flores. Sesar busur muka (fore arc) merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan zona tumbukan atau sering di sebut sebagai zona aktif akibat patahan yang biasa terdapat di darat maupun di laut. Sesar busur belakang (back arc) merupakan bagian paling belakang dari rangkaian busur tektonik. Sesar atau patahan merupakan perpanjangan gaya yang ditimbulkan oleh gerakan-gerakan lempeng utama yang akan menghasilkan gempa bumi di daratan dan tanah longsor (Wah, 2006) Letusan vulkanik Aktivitas erupsi vulkanik dapat juga menyebabkan tsunami, namun frekuensinya sangat jarang terjadi karena kekuatan aktivitas vulkanik biasanya tidak terlalu besar dan hanya bersifat lokal (Diposaptono dan Budiman, 2006). Untuk Indonesia, daerah yang berpotensi mengalami tsunami akibat letusan

21 vulkanik merupakan bagian dari lingkar api pasifik (The Pasific Ring of Fire) yang bermula dari Kamchatka Alaska, Jepang, Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Flores, Sulawesi dan berakhir di Filipina (Gambar 3; USGS, 2006). Gambar 3. Lingkar api di daerah Pasifik (USGS, 2006) Menurut data historis, sejak tahun 1814 sampai tahun 2006, dari 25 kali kejadian tsunami di wilayah NTT, hanya dua kejadian yang dipicu oleh letusan gunung berapi yakni meletusnya Gunung Rokatenda tahun 1928 dan longsornya Gunung Werung tahun 1979 (Wah, 2006) Longsoran (Landslide) Longsoran (landslide) dapat mengakibatkan terjadinya tsunami dan biasanya longsoran ini terjadi akibat gempa bumi yang kuat, letusan vulkanik, longsor di dasar laut dan longsor di atas permukaan laut (sea level) (Diposaptono dan Budiman, 2006).

22 2.1.3 Klasifikasi tsunami Berdasarkan jaraknya, tsunami diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: tsunami lokal (near field/local field tsunami) dan tsunami jarak jauh (far field tsunami) (Puspito, 2007 dan ITIC, 2006) Tsunami lokal (near field/local field tsunami) Tsunami lokal adalah tsunami yang terjadi bilamana jarak antara pusat gempa dan daerah bencana tsunami kurang dari 100 km (ITIC, 2006). Dari segi waktu terjadinya tsunami, tsunami lokal terjadi antara 5 sampai 40 menit setelah gempa utamanya. Hal ini menyebabkan bahwa secara teoritis kejadian tsunami lebih mudah diprediksi dibandingkan dengan kejadian gempa (Puspito, 2007). Adanya tenggang waktu antara terjadinya gempa dan tibanya tsunami di pantai memungkinkan tindakan untuk dapat menganalisis karakteristik apakah suatu gempa dapat menimbulkan tsunami atau tidak. Secara umum tsunami yang terjadi di Indonesia adalah tsunami lokal dan mengingat sistem informasi di Indonesia belum memadai maka biasanya sebelum informasi kejadian tsunami sampai ke masyarakat, gelombang tsunami telah menyapu pantai. Hal ini menyebabkan Indonesia belum bisa memaksimalkan sistem peringatan dini tsunami (Tsunami Early Warning System) (Puspito, 2007) Tsunami jarak jauh (far field tsunami) Tsunami jarak jauh (far field tsunami) adalah tsunami yang diakibatkan oleh gempa laut yang jaraknya ribuan kilometer dari pantai (ITIC, 2006). Waktu datang tsunami berkisar antara beberapa jam sampai 24 jam setelah gempa utamanya. Contoh tsunami jarak jauh ini adalah tsunami Aceh yang terjadi tahun 2004, dimana gelombang tsunami tersebut merambat menyebrangi Samudera Hindia sampai ke Pantai Afrika Selatan.

23 2.2 Penilaian tingkat resiko tsunami (Tsunami Risk Assesment) Hakekat dari mitigasi bencana tsunami adalah menekan hingga seminimal mungkin resiko bencana tsunami. Pada dasarnya, resiko sebuah bencana memiliki tiga variabel, yaitu : (1) aspek jenis ancaman, (2) aspek kerentanan, dan (3) aspek kemampuan menanggulangi (Diposaptono dan Budiman, 2006). Dewasa ini banyak terminologi yang digunakan untuk menjelaskan pengertian rawan, rentan dan resiko bencana. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, ancaman adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana. Istilah ini sering disebut juga sebagai kerawanan. Kerentanan (vulnerability) adalah sekumpulan kondisi dan atau suatu akibat keadaan (faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana (Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana, 2007). Resiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan gangguan kegiatan masyarakat (UU RI No.24 Tahun 2007) Hubungan antara kerawanan (hazard), kerentanan (vulnerability), kapasitas penanggulangan (capacity) dan resiko (risk) dirumuskan pada Persamaan 1 di bawah ini (Diposaptono dan Budiman, 2006) : Kerawanan ( H ) x Keren tan an ( V ) Re siko ( R)... (1) Kapasitas Penanggulangan ( C) dimana : R = Resiko; H = kerawanan; V = Kerentanan; dan C = Kapasitas penanggulangan.

24 Parameter kapasitas penanggulangan tidak dikaji dalam penelitian ini karena terkait dengan kemampuan pemerintah dan sumber daya masyarakat dalam penanggulangan bencana tsunami. Resiko berbanding lurus dengan ancaman atau bahaya (kerawanan) dan tingkat kerentanan terhadap tsunami, serta berbanding terbalik dengan kemampuan (kapasitas) dalam menghadapi tsunami. Semakin besar kerawanan dan kerentanan terhadap tsunami, serta semakin rendah kemampuan penanggulangan dalam menghadapi tsunami, maka akan semakin besar resiko tsunami yang timbul. Bilamana jenis kerawanan tsunaminya sama antara satu daerah dengan daerah lainnya, namun jika tingkat kerentanan dan kapasitas penanggulangan yang berbeda-beda, akan mengakibatkan dampak tsunami yang berbeda, antara satu daerah dengan daerah lainnya (Siahaan, 2008). Salah satu contoh analisis resiko tsunami selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kajian Resiko Tsunami (Latief, 2005) Risk = Hazard x Vulnerability Catatan sejarah tsunami Lingkungan bangunan Surat kabar (berita) Infrastruktur Tide gauge Peta topografi Tinggi gelombang Peta hidrografi Level run up Stastistik Potensi kerusakan Kerusakan ikutan (collateral damage) Sosial ekonomi Tsunami katalog Perencanaan bencana (Disaster management) Sumber pembangkit tsunami Emergency management Peta waktu tiba tsunami Local response TSUNAMI RISK ASSESMENT - TSUNAMI ZONATION MAP MITIGATION POLICY FOR TSUNAMI WARNING

25 Tsunami termasuk salah satu jenis ancaman yang bersifat alami (natural hazard) dan mempunyai kemungkinan untuk terjadi lagi pada suatu periode tertentu dan pada suatu area geografis tertentu (Damen, 2005 in Melianawati, 2006). Oleh karena itu, untuk melakukan penilaian tingkat resiko tsunami di suatu wilayah tertentu harus dilakukan analisis potensi bahaya tsunami (kerawanan) dan kerentanan terhadap tsunami Analisis daerah rawan tsunami Menurut Diposaptono dan Budiman (2006), identifikasi daerah yang berpotensi mengalami bencana tsunami dilakukan dengan beberapa cara yaitu identifikasi jalur pertemuan lempeng (tectonic setting plate) yang berpotensi menyebabkan gempa dan tsunami baik near field maupun far field tsunami, analisis aspek historis kejadian gempa yang berpotensi tsunami, analisis historis kejadian tsunami dan pemodelan tsunami terutama pemodelan run up tsunami. Run up tsunami adalah elevasi air laut vertikal yang dapat dicapai oleh tsunami ke arah darat diukur dari muka air laut rata-rata (mean sea level) atau dari garis pantai pada saat tsunami (Diposaptono dan Budiman, 2006). Data run up merupakan data yang penting sebagai parameter kerawanan dalam kajian resiko tsunami. Pembuatan peta resiko tsunami dapat dibuat melalui tiga pendekatan (Diposaptono dan Budiman, 2006), yaitu : 1. Menggunakan data historis genangan dan run up tsunami yang pernah terjadi sebelumnya. Metode ini digunakan jika ada data historis yang lengkap. Sebagai alternatif, digunakan data citra detail sebelum dan sesudah tsunami untuk membandingkan topografi dan landuse sebelum dan sesudah tsunami. 2. Menggunakan simulasi pemodelan matematik untuk pembangkitan, penjalaran, run up dan inundasi tsunami di wilayah pesisir. Pendekatan

26 matematik ini masih mengalami kendala utama yaitu menyangkut ketelitian data batimetri dan topografi yang kurang detail. 3. Menggunakan asumsi gelombang tsunami yang mencapai pantai mempunyai ketinggian yang sama diukur dari permukaan laut (metode kesamaan ketinggian). Cara terakhir inilah yang paling mudah ditempuh. Berdasarkan analisis kontur wilayah, maka distribusi luas dan tinggi genangan secara spasial dapat diperoleh dengan mudah. Hasilnya kita bisa menentukan daerah potensi rawan tsunami yang kemudian dioverlay dengan peta infrastruktur, ekosistem pesisir, tataguna lahan dan kondisi sosial ekonomi, sehingga bisa diperoleh peta resiko tsunami seperti yang pernah diterapkan untuk daerah Padang Analisis kerentanan terhadap tsunami Kerentanan tsunami dapat dikaji dari berbagai faktor antara lain kerentanan fisik (misalnya jenis bahan dan kekuatan struktur bangunan), kerentanan lingkungan (ketinggian dan morfologi), kerentanan infrastruktur (sarana dan prasarana penting), kerentanan sosial kependudukan (jumlah penduduk dan kepadatan penduduk, struktur penduduk lanjut usia dan balita), kerentanan sosial ekonomi (jumlah/proporsi penduduk miskin dan pengangguran), dan kerentanan kelembagaan (Diposaptono dan Budiman, 2006). Pada penelitian ini, analisis kerentanan yang dikaji adalah lingkungan dan sosial kependudukan. Parameter yang dikaji tingkat kerentanannya terhadap tsunami secara rinci dijelaskan sebagai berikut Batimetri wilayah pantai Kondisi batimetri sangat mempengaruhi pembelokan atau penerusan gelombang tsunami yang menjalar ke pantai. Pada saat memasuki perairan dangkal, gelombang mengalami gesekan dengan dasar laut.

27 Hal ini menyebabkan kecepatan dan energi gelombang menurun drastis dengan berkurangnya kedalaman tetapi tinggi gelombang semakin meningkat (Gambar 4; Diposaptono dan Budiman, 2006). Tsunami yang menjalar ke pantai yang sempit dan dangkal akan mengalami proses yang kompleks, yaitu shoaling, refraksi, difraksi dan refleksi. Shoaling adalah proses pembesaran tinggi gelombang karena pendangkalan dasar laut. Tsunami yang terjadi di laut dalam selama penjalarannya ke pantai atau laut yang lebih dangkal akan teramplifikasi karena adanya efek shoaling (Diposaptono dan Budiman, 2006). Refraksi merupakan transformasi (perubahan) gelombang akibat adanya perubahan geometri dasar laut yaitu perubahan kedalaman laut. Sedangkan difraksi adalah transformasi gelombang yang diakibatkan oleh adanya bangunan atau struktur yang menghalangi rambatan tsunami. Rintangan tersebut dapat berupa bangunan pantai atau adanya pulau-pulau kecil (Diposaptono dan Budiman, 2006). Gambar 4. Tinggi gelombang tsunami saat memasuki teluk (Diposaptono dan Budiman, 2006)

28 Tinggi gelombang tsunami berubah sesuai dengan perubahan kedalaman. Jika tinggi gelombang lebih kecil daripada panjang gelombangnya maka perubahan tinggi gelombang akan sesuai dengan Hukum Green yaitu perbandingan tinggi tsunami pada posisi di pantai yang lebih dangkal (H 1 ) dengan tinggi tsunami di pantai yang lebih dalam (H 0 ) sama dengan pangkat ¼ dari perbandingan perubahan kedalaman air laut (h 0 / h 1 ) dikalikan dengan akar dari perbandingan lebar teluk di titik yang lebih dalam (b 0 ) dan lebar teluk di titik yang lebih dangkal (b 1 ). Secara matematis ditulis sebagai berikut (Diposaptono dan Budiman, 2006) :...(2) Keterangan H 1 : Tinggi gelombang tsunami pada laut dangkal H 0 : Tinggi gelombang tsunami pada laut dalam h o /h 1 : Perbandingan perubahan kedalaman air laut b 0 : Lebar teluk di titik yang lebih dalam : Lebar teluk di titik yang lebih dangkal b 1 H1 H 0 h h / 4 b0 b1 1 / Morfometri pantai Morfometri pantai menunjukkan bentuk dan topografi garis pantai. Morfometri merupakan parameter yang sangat penting untuk dikaji karena menentukkan daerah pemusatan atau penyebaran energi gelombang tsunami (Diposaptono dan Budiman, 2006). Gelombang tsunami yang yang bergerak ke pantai akan mengalami perubahan tinggi gelombang yang semakin besar. Perubahan gelombang tersebut sangat dipengaruhi oleh morfometri pantai sebagai berikut (Hendratno, 2005). Geometri pantai (arah horizontal) Secara umum wilayah pesisir Indonesia memiliki teluk yang berbentuk V (V-shape bays) yang berasosiasi dengan tanjung dan muara sungai yang

29 sangat banyak dan berderet satu dengan yang lainnya, sehingga menyerupai gigi gergaji (sawtooth) (Gambar 5). Morfologi pantai yang berbentuk teluk akan mempengaruhi refraksi gelombang dan menyebabkan peningkatan kecepatan dan energi gelombang tsunami (Latief, 2005). Gambar 5. Contoh kawasan pesisir yang menyerupai gigi gergaji (Diposaptono dan Budiman, 2006) Gelombang tsunami yang menjalar ke teluk, tidak dapat keluar lagi karena sebagian atau seluruh gelombang tersebut akan dipantulkan oleh dinding teluk. Akibatnya gelombang tsunami akan meninggi dan interaksi gelombang tersebut berlangsung dalam waktu yang lama. Kelandaian pantai (arah vertikal) Kelandaian pantai sangat mempengaruhi run-up maksimum ke daratan. Pada pantai yang terjal, tsunami tidak terlalu jauh mencapai daratan karena tertahan dan dipantulkan kembali oleh tebing pantai. Sementara pada pantai relatif landai, gelombang tsunami yang tiba akan semakin membesar dan bertambah cepat (Hendratno, 2005).

30 Kekasaran pantai Kekasaran pantai dapat berfungsi sebagai peredam energi gelombang tsunami. Pantai yang kasar (berbukit-bukit, berbatu cadas, berkarang, dan atau ditutupi oleh vegetasi) dapat meredam energi gelombang tsunami, sedangkan pantai yang halus (berupa endapan aluvial dan pasir berukuran sedang sampai halus) kurang efektif dalam meredam energi gelombang tsunami (Hendratno, 2005) Keberadaan pulau-pulau penghalang Pulau-pulau penghalang berperan penting dalam meredam energi gelombang tsunami. Energi gelombang tsunami akan tereduksi dengan adanya pendangkalan kedalaman perairan pada pulau penghalang. Sehingga, energi gelombang yang akan dirasakan oleh pulau-pulau di belakangnya akan menjadi lebih kecil dari energi awal (Hajar, 2006) Ekosistem pesisir Ekosistem pesisir terutama mangrove dan hutan pantai memegang peranan sebagai greenbelt pelindung pantai dalam mereduksi energi gelombang tsunami. Hutan pantai sangat efektif dalam meredam energi gelombang tsunami seperti dilaporkan Harada dan Imamura (2003) (Tabel 2). Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa semakin lebat hutan maka tingkat peredaman energi gelombang tsunami semakin besar. Contohnya gelombang tsunami setinggi 3 m yang menerjang hutan pantai dengan lebar 50 m, maka jangkauan run-up yang masuk ke daratan tinggal 81%, tinggi genangan tinggal 82%, arus setelah melewati pantai tinggal 54 % dan gaya hidrolis tsunami tinggal 39%, sehingga daerah pantai yang mempunyai vegetasi pesisir yang rapat dan tebal, mempunyai resiko kerusakan lebih kecil dibandingkan daerah

31 pantai yang mempunyai kerapatan dan ketebalan yang lebih rendah (Harada dan Imamura, 2003). Keberadaan terumbu karang di wilayah pesisir juga sangat penting. Selain memiliki fungsi ekologis, terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang dan arus kuat yang berasal dari laut (Diposaptono dan Budiman, 2006). Tabel 2. Efektivitas peredaman tsunami oleh hutan pantai (Harada dan Imamura, 2003) Tinggi tsunami (m) Hutan pantai (Shuto, 1985) Jarak run up Lebar hutan Tinggi genangan Lebar hutan Arus Lebar hutan Gaya hidrolis Lebar hutan Mitigasi kerusakan, menghentikan benda yang hanyut dan meredam tsunami 50 m 0,98 0,86 0, m 0,83 0,80 0, m 0,79 0,71 0, m 0,78 0,65 0,57 50 m 0,86 0,86 0, m 0,76 0,74 0, m 0,46 0,55 0, m - 0,11 0,18 50 m 0,71 0,58 0, m 0,57 0,47 0, m 0,56 0,39 0, m - 0,31 0,24 50 m 0,53 0,48 0, m 0,33 0,32 0, m 0,01 0,13 0, m - 0,02 0, Penggunaan lahan Kawasan pesisir termasuk dalam kerentanan yang tinggi terhadap bencana tsunami. Konsep penggunaan lahan harus melihat jarak dari garis pantai agar dapat melindungi daratan dari hantaman gelombang tsunami. Penggunaan lahan pada kawasan pesisir harus memperhitungkan antara tata guna lahan dan tingkat hunian penduduk dengan besar kecilnya resiko bahaya tsunami.

32 Penggunaan lahan yang berkaitan dengan berbagai aktivitas manusia seharusnya tidak dibangun pada daerah yang sangat rawan tsunami (Irfani, 2005) Kepadatan pemukiman Sebaran dan kepadatan pemukiman menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi resiko bencana tsunami yang akan terjadi. Pemukiman penduduk menggambarkan tingkat kepadatan penduduk dan sebaran tempat hunian yang akan mempengaruhi tingkat kerugian akibat tsunami baik dari segi kerugian jiwa maupun harta benda. Penempatan area pemukiman pada zona paling aman dari bahaya tsunami adalah prioritas utama sehingga diletakkan jauh dari laut (Irfani, 2005). Pratikno (2007) menyatakan bahwa pembangunan area pemukiman kurang padat yang efektif adalah minimal dalam radius 500 m dari garis pantai Pengurangan resiko bencana tsunami Bencana tsunami tidak dapat dicegah dan mempunyai kemungkinan kejadian berulang, sedangkan kerentanan merupakan aspek yang relatif dapat dilakukan perubahan. Oleh karena itu, untuk mengurangi resiko bencana, hanya dapat dilakukan dengan cara memperkecil kerentanan (Gambar 6). Resiko 1 > Resiko 2 Gambar 6. Pengurangan Resiko Bencana (Bakornas Penanggulangan Bencana, 2007)

33 Pembuatan dan analisis tingkat resiko tsunami di suatu daerah merupakan masukan penting dalam rancangan tata ruang wilayah pesisir. Di Indonesia, pedoman resmi untuk pembuatan peta resiko tsunami belum ada. Akan tetapi, pada tanggal 14 April 2008 yang lalu, telah diadakan Rapat Pedoman Pembuatan Peta Resiko Tsunami yang dihadiri oleh wakil-wakil dari LIPI, BPPT, PKSPL-IPB, LAPAN, KLH, BMG, ITB, DEPKOMINFO, DEPDAGRI, Artwork dan RISTEK. Salah satu hasil penting dalam rapat tersebut adalah segera menyelesaikan Pedoman Pembuatan Peta Resiko Tsunami agar dapat segera didistribusikan kepada pemerintah daerah melalui Departemen Dalam Negeri (Pusat Riset Informasi Bencana Alam, 2008). 2.3 Pemetaan resiko tsunami dengan metode Cell Based Modelling Penginderaan jauh sebagai penunjang riset tsunami Penginderaan jauh adalah ilmu, seni dan teknologi untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Untuk riset tsunami, citra satelit baik secara global, visual, digital dan multi temporal dapat memberikan informasi mengenai dinamika yang terjadi di daerah pesisir, baik sebelum, sewaktu maupun sesudah tsunami (Diposaptono dan Budiman, 2006). Oleh karena itu, penginderaan jauh (remote sensing) merupakan salah satu alat mutakhir yang sangat menunjang kegiatan riset tsunami, terutama jika diintegrasikan dengan SIG. Data penginderaan jauh seperti citra satelit merupakan input yang terpenting bagi SIG karena ketersediaannya secara berkala dan mencakup area yang relatif luas. Kita bisa memperoleh berbagai jenis citra satelit untuk beragam tujuan pemakaian karena

34 saat ini terdapat bermacam-macam satelit di ruang angkasa dengan spesifikasinya masing-masing (GIS Konsorsium, 2007). Satelit Landsat 7 ETM+ merupakan satelit milik National Atmospheric and Space Administration (NASA) Amerika yang sistem informasinya dilakukan oleh pihak swasta yaitu EOSAT (Earth Observation Satellite). Landsat 7 ETM+ (Gambar 7) diluncurkan pada tanggal 15 April Konfigurasi dasar satelit berbentuk kupu-kupu dengan tinggi ± tiga m, bergaris tengah 1.5 m dan panel matahari yang melintang kurang dari empat m (NASA, 2005). Gambar 7. Konfigurasi Satelit Landsat 7 ETM+ (NASA, 2005) Satelit Landsat 7 ETM+ merupakan satelit dengan orbit polar sun synchronous yang memotong garis khatulistiwa ke arah selatan pada waktu lokal pukul pagi dengan lebar sapuan 185 km dan resolusi spasial 30 x 30 m. Khusus untuk band 6 resolusinya 60 x 60 m dan band 8 adalah 15x15 m. Satelit ini berada pada ketinggian 705 km dengan periode edar 99 menit dan resolusi temporalnya 16 hari (NASA, 2005). Sistem pada Landsat 7 ETM+ yang dirancang khusus untuk mengumpulkan energi pantulan elektromagnetik

35 dilakukan oleh saluran 1-5, saluran 7 dan saluran 8, sedangkan untuk memancarkan energi dilakukan oleh saluran 6 (Purwadhi, 2001). Sensor Landsat 7 ETM+ mengkonversi energi pantulan matahari yang diterimanya menjadi suatu radians. Radians adalah fluks energi per satuan sudut ruang yang meninggalkan satu satuan area permukaan pada arah tertentu. Nilai radians akan dikuantifikasi menjadi nilai kecerahan (brightness values) citra yang tersimpan dalam format digital. Citra satelit Landsat ETM 7+ merupakan citra multispektral sehingga untuk mendapat ketepatan interpretasi citra perlu dipilih saluran yang paling sesuai dengan bidang kajian keadaan ekosistem pesisir (BIOTROP Training and Information Center, 2005). Karakteristik dari Landsat 7 ETM+ selengkapnya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik citra Landsat 7 ETM+ (NASA, 2005) Kanal Spektrum Resolusi spektral (µm) 1 Sinar tampak violet-biru 0,45 0,52 30x30 2 Sinar tampak hijau 0,52 0,60 30x30 3 Sinar tampak merah 0,63 0,69 30x30 4 Infra merah dekat 0,79-0,90 30x30 5 Infra merah menengah x30 6 Infra merah termal x60 7 Infra merah jauh x30 8 Pankromatik x15 Teknologi sensor Scanning mirror spectrometer Altitude 705 km Swath widht (lebar sapuan) Resolusi temporal 185 km 16 hari Resolusi Best 8 of 9 bits radiometrik Perekaman data 250 image per hari pada km 2 Orbit dan inklinasi Sun synchronus; 98,2 0 Peluncuran/operasi 15-April-1999/ 6 tahun Resolusi spasial pada nadir (m) Pada penelitian ini digunakan juga data Digital Elevation Model Shuttle Radar Topographic Mission ( DEM SRTM). Shuttle Radar Topographic Mission

36 yang diluncurkan tanggal 11 Februari 2000 merupakan proyek internasional yang dipelopori oleh National Geospatial-Intelegence Agency (NGA) dan National Atmospheric and Space Administration (NASA). SRTM digunakan untuk menghasilkan data topografi digital dan elevasi dari 80% permukaan daratan bumi melalui sensor radar (Hajar, 2007). Permukaan bumi yang direkam oleh sensor radar tersebut berada pada 60 0 LU sampai 56 0 LS. Keunggulan sistem radar SRTM adalah dapat beroperasi siang dan malam karena menggunakan sensor aktif yang tidak tergantung oleh cahaya matahari dan tidak terpengaruh oleh cuaca dan awan. Data hasil rekaman sensor ini adalah data Digital Elevation Model atau DEM (USGS, 2007). Data DEM merupakan data digital berformat raster yang memiliki informasi koordinat posisi (x,y) dan elevasi (z) pada setiap pixel atau sel. Data DEM dapat menggambarkan kondisi topografi wilayah penelitian. Hasil pengolahan data DEM harus didukung dengan survei lapang sehingga kenampakan topografi wilayah yang direkam akurat. Akurasi data DEM sangat tergantung pada sumber titik tinggi dan resolusi spasial. Resolusi spasial DEM pada penelitian ini adalah 90 x 90 m. Semakin tinggi resolusi spasial maka semakin tinggi pula akurasi data yang diperoleh. Data DEM merupakan salah satu data penting dalam analisis daerah rawan bencana tsunami (Hajar, 2007) Aplikasi Cell Based Modelling untuk kajian resiko tsunami Sistem informasi geografis (SIG) Sistem informasi geografis (SIG) adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografi dan personal yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisis dan menyajikan semua bentuk informasi yang berefensi geografis (Prahasta, 2002).

37 Sebagian besar data yang ditangani dalam SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis, memiliki sistem koordinat tertentu sebagai dasar referensinya dan mempunyai dua bagian penting yang membuatnya berbeda dari data lain, yaitu informasi lokasi (spasial) dan informasi deskriptif (atribute) (GIS Konsorsium, 2007). Data spasial ini dapat dibagi menjadi dua format yaitu data raster dan data vektor. Data vektor merupakan objek geografis yang direpresentasikan ke dalam kumpulan garis, area (daerah yang dibatasi oleh garis yang berawal dan berakhir pada titik yang sama), titik dan nodes (merupakan titik perpotongan antara dua buah garis). Pada data raster, obyek geografis direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan pixel (picture element). Perbandingan visualisasi antara data raster dan vektordisajikan pada Gambar 8 (GIS Konsorsium, 2007). Data Vektor Data Raster Gambar 8. Perbandingan antara data raster dan data vektor Keuntungan data vektor adalah ketepatan dalam merepresentasikan fitur titik, batasan dan garis lurus, akan tetapi, tidak mampu dalam mengakomodasi perubahan gradual. Data raster sangat baik untuk merepresentasikan batasbatas yang berubah secara gradual, seperti jenis tanah dan vegetasi. Keterbatasan utama dari data raster adalah besarnya ukuran file; semakin tinggi

38 resolusi gridnya semakin besar pula ukuran filenya dan sangat tergantung pada kapasistas perangkat keras yang tersedia (GIS Konsorsium, 2007) Pemodelan spasial dengan Cell Based Modelling Salah satu analisis spasial dalam SIG yang saat ini banyak digunakan untuk memodelkan keadaan di alam adalah Cell Based Modelling (ESRI, 2001). Secara umum suatu model mempresentasikan kekompleksitasan dan interaksi di alam dengan suatu penyederhanaan. Permodelan tersebut akan menolong kita untuk mengerti, menggambarkan, dan memprediksi banyak hal di alam. Ada dua model yang dikenal dalam analisis spasial, yaitu model yang merepresentasikan objek atau kenampakan di alam (representation models) dan model yang mensimulasikan proses di alam (process models). Keseluruhan model tersebut akan lebih efisien bila dilakukan pada data raster (ESRI, 2001). Analisis spasial pada data raster ini disebut metode Cell Based Modelling karena bekerja berdasarkan sel atau piksel. Operasi piksel pada Cell Based Modeling dibagi menjadi lima kelompok (ESRI, 2001) : 1. Local Function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan satu sel. Nilai piksel output ditentukan oleh satu piksel input. 2. Focal Function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan beberapa sel terdekat. 3. Zonal Function adalah operasi piksel yang melibatkan suatu kelompok sel yang memiliki nilai atau keterangan yang sama. 4. Global Function yang melibatkan keseluruhan sel dalam data raster dan gabungan antara keempat kelompok tersebut. 5. Application Function adalah gabungan dari keempat operasi di atas yang meliputi Local Function, Focal Function, Zonal Function dan Global Function.

39 Ilustrasi dari keempat operasi Cell Based Modeling dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Ilustrasi operasi piksel (Sumber : ESRI, 2002) Metode Cell Based Modelling memiliki beberapa keunggulan. Menurut Meaden dan Chi (1996), analisis overlay, pembuatan jarak dan pengkelasan parameter lebih mudah dilakukan secara cepat dan teratur pada data raster. Keunggulan lain yaitu struktur data raster lebih sederhana sehingga memudahkan dalam pemodelan dan analisis, kompatibel dengan data satelit serta memiliki variabilitas spasial yang tinggi dalam merepresentasikan suatu kondisi di alam. Metode ini juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu diantaranya membutuhkan space komputer yang besar dan secara spasial memiliki tampilan yang kurang estetik karena berupa data raster yang berbentuk sel (ESRI, 2001).

40 2.4. Keadaan umum lokasi penelitian Kabupaten Sikka adalah salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan ibu kotanya adalah Maumere. Secara geografis Kabupaten Sikka terletak antara ' ' LS dan '40" ' 30" BT. Secara administrasi Kabupaten Sikka berbatasan dengan Laut Flores di sebelah utara, Kabupaten Flores Timur di timur, Laut Sawu di sebelah selatan dan Kabupaten Ende di sebelah barat. Luas wilayah Kabupaten Sikka adalah 2.253,24 km 2 dengan rincian luas wilayah daratan adalah 1.731, 91 km 2 yang terdiri dari daratan di Pulau Flores seluas 1.618,89 km 2 dan daratan pulau-pulau kecil seluas 113,02 km 2 ; luas laut km 2 dan panjang garis pantai adalah 379 km (Poling, 2005). Penduduk Kabupaten Sikka berjumlah sekitar jiwa dan tersebar di 12 kecamatan. Kawasan berpenduduk padat adalah di kawasan utara yang berbatasan dengan Laut Flores, sedang kawasan selatan yang berbatasan dengan Laut Sawu atau Lautan Hindia berpenduduk jarang. Konsentrasi penduduk perkotaan ada di Kota Maumere (Kecamatan Alok) dan kawasan Geliting di Kewapante (Poling, 2005). Kondisi topografis Kabupaten Sikka secara umum merupakan daerah perbukitan. Topografis daerah didominasi oleh wilayah dengan ketinggian >500 m, yakni 42,91% dari luas wilayah daratan. Kondisi kemiringan tanah (lereng) sangat bervariasi, berkisar dari 0 s/d >40% dan didominasi oleh kemiringan tanah yang lebih besar 40% dengan luas 81,641 Ha (Poling, 2005). Pada 12 Desember 1992 Maumere dilanda gempa tsunami 7,8 SR (USGS, 2007) dan mengakibatkan kerusakan harta benda dan lebih dari 2000 penduduk meninggal dunia. Gempa tsunami tersebut disebabkan oleh aktivitas sesar busur belakang yang terletak di sisi utara Maumere, yakni Laut Flores (Poling, 2005).

41 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Lokasi penelitian terletak di Kabupaten Sikka, Propinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak antara 08 º 22'-08 º 50' Lintang Selatan dan 121 º 55'40"-122 º 41'30 º Bujur Timur (Gambar 10). Pada penelitian ini, fokus daerah penelitian adalah daerah Kabupaten Sikka yang berada pada gugus Pulau Flores (hillshade). Gambar 10. Peta daerah penelitian Penelitian ini dimulai dengan penyusunan basis data awal pada bulan Agustus 2007, survei lapang bulan Oktober 2007 dan pengolahan citra, penyusunan basis data akhir serta pengolahan data spasial sampai bulan November 2008 yang dilakukan di Laboratorium Komputer, Departemen Ilmu dan

42 Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan bahan Alat Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Perangkat lunak ER Mapper Perangkat lunak ArcView Perangkat lunak ArcGIS Perangkat lunak Global Mapperv Perangkat lunak Golden Software Surfer Perangkat lunak Mapsource Perangkat lunak Slava ITBD (Integrated Tsunami Data Base) GPS (Global Positionig System) Garmin etrex v Kamera digital untuk dokumentasi di lapangan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1. Citra Landsat 7/ETM+ Kabupaten Sikka akuisisi tanggal 27 September 2001 dan 27 Oktober 2006 path/row 112/66 BTIC BIOTROP 2. Peta batimetri Kab.Sikka 1 : tahun 2001 dari DISHIDROS TNI AL 3. Peta rupabumi Kab.Sikka 1 : tahun 2006 dari Bakosurtanal 4. Data tinggi run up Tsunami Flores 1992 dari BPPT 5. Data seismik Kab.Sikka tahun dari USGS dan BMG 6. Data kependudukan dari BPS Kab.Sikka tahun Data spasial Kab.Sikka dari Bappeda Sikka tahun Data Digital Elevation Model (DEM) SRTM dari NASA tahun 2005 yang didapat dari :

43 3.3 Survei lapang Survei lapang yang dilakukan pada tanggal Oktober 2007 bertujuan untuk mengetahui kondisi daerah penelitian sekaligus verifikasi pemetaan. Survei dilakukan pada 10 daerah pesisir utara Kabupaten Sikka. Posisi dan koordinat titik pengamatan selengkapnya disajikan pada Lampiran 1. Titik pengamatan tersebut merupakan daerah bekas tsunami dengan tingkat kerugian materi dan korban jiwa yang cukup besar akibat Tsunami Pengamatan yang dilakukan waktu survei lapang adalah melihat dan melakukan pengamatan terhadap kondisi pemukiman pesisir, kondisi sarana prasarana penting, ekosistem mangrove dan kondisi perairan yang dapat dilihat pada Lampiran Metode penelitian Pada penelitian ini dilakukan pengintegrasian data penginderaan jauh dan SIG. Alur penelitian ini meliputi input data (data citra, survei lapang dan data sekunder yang terkumpul), pemrosesan dan analisis. Selanjutnya dilakukan penyusunan basis data (baik spasial maupun non spasial) berdasarkan data yang terkumpul, lalu dibuat peta-peta tematik baik untuk parameter kerawanan dan parameter kerentanan. Keseluruhan parameter tersebut berformat raster dan kemudian dioverlay dengan menggunakan metode Weighted Overlay. Selanjutnya dilakukan proses reklasifikasi untuk menentukan tingkat kelas resiko tsunami dengan menggunakan metode Cell Based Modelling seperti terlihat pada diagram alir penelitian (Gambar 11).

44 Mulai Pengumpulan data Citra Landsat 7/ETM 2006 Data Batimetri Data spasial Kab. Sikka Data kegempaan Cropping citra Koreksi Radiometrik Koreksi Geometrik Komposit citra Vegetasi mangrove Terumbu karang dan derivat Verifikasi & editing Konsultasi pakar Basis data spasial Parameter resiko tsunami Diterima Pemodelan spasial Cell Based Modelling Tidak Diterima Peta tingkat resiko tsunami Selesai Gambar 11. Diagam alir penelitian 3.5 Pengolahan citra satelit Pengolahan citra awal (Pre processing) Langkah awal dalam pengolahan citra adalah melakukan penggabungan band dilanjutkan dengan pemotongan citra (cropping/subset) dengan tujuan untuk membatasi area penelitian. Setelah pemotongan citra, dilakukan proses pemulihan citra (image restoration) yang bertujuan untuk memulihkan data citra yang mengalami distorsi akibat proses-proses di atmosfer. Distorsi yang terjadi pada citra dapat dipulihkan dengan melakukan koreksi radiometrik dan koreksi geometrik.

45 Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor yang menurunkan kualitas citra. Metode koreksi radiometrik yang digunakan adalah penyesuaian histogram (histogram adjustment). Teknik ini didasarkan pada pengurangan nilai digital number sebesar bias dari masing-masing band. Nilai bias adalah nilai digital number minimum pada setiap band. Nilai bias diasumsikan sama dengan besarnya pengaruh atmosfer terhadap gelombang cahaya. Pada metode ini ditetapkan bahwa respon spektral terendah pada setiap band nilainya adalah nol, sesuai dengan bit coding sensor. Apabila nilai terendah pixel bukan nol, maka nilai penambah tersebut dianggap sebagai hamburan atmosfer. Oleh karena itu, dilakukan pengurangan nilai digital setiap pixel pada semua band sesuai dengan besarnya nilai penambah, sehingga nilai minimum pada semua band sama yaitu nol. Secara matematis, koreksi pengaruh atmosfer dengan pengaturan histogram dapat dilihat pada Persamaan 3 berikut. DN ijk ( output terkoreksi ) DN ijk bias... (3) dimana: DN = Nilai digital number i = Baris j = Kolom k = Input nilai Bias = Nilai digital terendah ( input asli) Selanjutnya dilakukan koreksi geometrik yang bertujuan untuk memperbaiki distorsi posisi atau letak objek agar mempunyai koordinat yang benar. Distorsi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah variasi tinggi satelit, ketegakan dan kecepatan satelit (Lillesand dan Kiefer, 1990). Koreksi geometrik dilakukan dengan metode rektifikasi, yaitu menggunakan Ground Control Points (GCPs) dengan distribusi penyebaran titik lokasi harus merata.

46 Pada koreksi ini, perubahan posisi pixel juga mencakup perubahan informasi spektralnya. Untuk mengatasi hal ini maka diperlukan interpolasi nilai spektral selama transformasi geometri. Proses interpolasi ini disebut resampling. Algoritma pada koreksi ini meliputi algoritma relokasi pixel sekaligus algoritma interpolasi nilai spektral. Untuk relokasi pixel, algoritma berupa fungsi polynomial dan untuk interpolasi nilai spektral dipakai nearest neighbour karena tidak mengubah nilai spektral. Setelah rektifikasi akan diperoleh posisi citra yang sesuai dengan koordinat sebenarnya di bumi (real world coordinate system). Citra Landsat yang digunakan pada penelitian ini sudah dikoreksi baik secara geometri maupun radiometrik. Akan tetapi, untuk keakuratan data dilakukan koreksi ulang terhadap citra tersebut Penajaman citra (Image Enhancement) Proses penajaman citra dapat didefinisikan sebagai pemilihan manipulasi kontras kenampakan suatu citra sehingga informasi tersebut dapat lebih mudah diinterpretasikan untuk suatu tujuan tertentu. Penajaman citra bertujuan untuk meningkatkan informasi yang ada dalam citra dengan meningkatkan kekontrasan citra. Penajaman citra dilakukan dengan menggunakan komposit warna (colour composite) dan algoritma yang sesuai dengan objek yang ingin diperjelas informasinya. Pada penelitian ini penajaman citra dilakukan untuk mengetahui kondisi ekosistem pesisir Penajaman citra untuk terumbu karang Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir yang penting sebagai peredam energi gelombang tsunami. Pemetaan terumbu karang (Gambar 12) dilakukan dengan pendekatan algoritma Lyzenga (1978) yang dikenal dengan standart exponential attenuation model yang sering digunakan dalam pemetaan-pemetaan terumbu karang (Engel, 1988 in Siregar et al., 1995).

47 Algoritma Lyzenga menggunakan band 1 dan band 2 karena kedua band ini diasumsikan memiliki penetrasi yang baik ke kolom air. Persamaan algoritma Lyzenga tersebut yaitu : Y ln TM1 ki / kj * ln TM 2... (4) dimana : Y = citra hasil ekstraksi TM1 = band 1 Landsat 7/ETM+ TM2 = band 2 Landsat 7/ETM+ ki/kj = koofisien atenuasi, yang diperoleh dari : = a a 2 1 VarTM1 VarTM2 dengan, a.... (5) 2* Co vartm1tm 2 Citra Landsat 7/ETM (corrected and cropped) Komposit 421 Komposit 543 Training area Training area Hitung nilai varian band 1 dan band 2 Hitung covar band 1/2 Hitung nilai a Hitung nilai ki/kj Citra klasifikasi supervised Vegetasi mangrove Penajaman dengan algoritma Lyzenga : Ln TM1+ki/kj ln TM2 Peta tematik vegetasi mangrove Citra hasil penerapan algoritma Klasifikasi Peta tematik terumbu karang dan derivatnya Gambar 12. Diagram alir pengolahan citra untuk pemetaan ekosistem pesisir

48 Penajaman citra untuk ekosistem mangrove Pada penelitian ini dilakukan juga pemetaan ekosistem mangrove, karena mangove merupakan vegetasi pantai yang berperan penting dalam meredam energi gelombang tsunami. Pada komposit citra 453, vegetasi mangrove akan terlihat berwarna merah. Hal ini karena klorofil dalam daun mangrove menyerap dengan kuat sinar merah dan memantulkan kuat sinar infra merah (Earth Observatory NASA, 2007). Setelah dilakukan training area, terbentuk kelas mangrove. Berdasarkan pengolahan data dapat diketahui sebaran dan juga luasan mangrove di Kabupaten Sikka. Selain data terumbu karang dan mangrove, secara visual pada citra dengan komposit citra 321 bisa didapatkan juga data keberadaan pulau-pulau kecil penghalang. Ekosistem pesisir dan pulau penghalang merupakan data pendukung penting dalam mengurangi tingkat resiko tsunami di suatu daerah. 3.6 Klasifikasi citra Citra yang telah ditransformasikan dengan algoritma yang sesuai kemudian diklasifikasi. Klasifikasi merupakan suatu proses pengelompokkan nilai reflektansi dari setiap objek ke dalam kelas-kelas tertentu sehingga mudah dikenali. Pada penelitian ini klasifikasi yang digunakan untuk terumbu karang dan mangrove adalah klasifikasi supervised dengan metode maximum likehood karena metode ini mampu menganalisis fungsi peluang multidimensional untuk menentukan suatu pixel tertentu lebih berpeluang masuk ke dalam suatu kelas tertentu (Pasek, 2007). Tahap ekstraksi keseluruhan data citra dapat dilihat secara lengkap pada Gambar 12.

49 3.7 Metode penentuan tingkat resiko tsunami Penentuan kerawanan tsunami Penentuan tingkat kerawanan tsunami dilakukan dengan tujuan mengetahui daerah-daerah yang berpotensi terhadap bencana tsunami. Penentuan tingkat kerawanan dilakukan dengan dua tahap yaitu : (1) membuat peta seismisitas dan (2) membuat peta rawan tsunami Pemetaan Seismisitas Peta seismisitas adalah peta yang menggambarkan tectonic setting plate dan sebaran titik-titik gempa di suatu wilayah. Peta ini merupakan peta pendukung penting untuk melihat sebaran titik gempa dan tsunami yang pernah terjadi di suatu wilayah, dalam hal ini adalah Kabupaten Sikka. Pada penelitian ini, data yang dipakai untuk membuat peta seismisitas adalah data kegempaan dari BMG selama 107 tahun terakhir. Berdasarkan kumpulan data tersebut, kemudian dipetakan titik-titik gempa dan plate tectonic setting sehingga dapat diketahui dan dianalisis sebaran pusat-pusat gempa bumi dan tsunami yang pernah terjadi di Kabupaten Sikka. Seismisitas merupakan parameter penting dalam pemetaan resiko tsunami karena merupakan preliminary analysis daerah-daerah yang berpotensi terkena tsunami serta untuk mengetahui hubungan antara tektonik setting, kegempaan dan kejadian tsunami Pemetaan daerah rawan tsunami Untuk analisis tingkat kerawanan tsunami harus dilakukan pemetaan daerah rawan tsunami yaitu dengan memetakan data tinggi run up tsunami. Peta run up merupakan parameter penting dalam menentukan tingkat resiko tsunami. Peta run up yang ideal adalah peta run up yang ditunjang dengan data lapang yang lengkap dan data hasil pemodelan. Akan tetapi, pada penelitian ini data run up yang digunakan adalah hanya dari data survei lapang tsunami Flores tahun 1992

50 dari BPPT (Lampiran 3). Data tersebut juga sudah dibandingkan dengan data run up dari BMG dan DKP. Data run up yang diperoleh adalah data titik ketinggian tsunami. Untuk mendapatkan data spasial run up, maka harus dibuat poligon daerah run up, yang nantinya dapat dikelaskan dan dioverlay untuk mendapatkan peta resiko tsunami. Adapun pengolahan data run up dilakukan secara sebagai berikut. - Buat data spasial run up yaitu berupa point ketinggian run up tsunami. - Buat poligon area dengan ketinggian topografi 10 m dari permukaan laut (sesuai dengan tinggi run up maksimum tsunami di Sikka, yaitu 10 m) - Display dan autolabel data titik run up pada poligon area tersebut, sehingga titik-titik run up akan menempel di sepanjang garis pantai daerah penelitian - Antara dua titik run up tarik garis sejajar yang menghubungkan kedua titik tersebut dan tentukan batas tengah dari kedua titik run up tersebut. - Selanjutnya, tarik garis tegak lurus ke arah darat sehingga terbentuk poligon daerah run up tsunami - Untuk mendapatkan data run up yang lebih baik, pada waktu membuat poligon run up, dioverlay dengan data DEM sehingga bisa dilihat daerah yang flat dan daerah yang tinggi. Ketinggian data di DEM dapat dilihat dengan menggunakan tools identify. - Poligon run up tersebut di atas kemudian diberi skor dan dikonvert ke raster dan di reklasifikasi sesuai matriks. Sehingga akhirnya dapat diperoleh data spasial run up tsunami. Menurut Iida (1963) hubungan tingkat kerusakan dengan tinggi run up disajikan pada Tabel 4.

51 Tabel 4. Hubungan tingkat kerusakan dengan tinggi run up tsunami No. Tinggi run up (m) Daya rusak Skala 1 >16 Sangat besar Besar Menengah Kecil 2 5 <0.75 Sangat kecil 1 Klasifikasi di atas adalah acuan yang digunakan untuk mengkelaskan tingkat kerawanan tsunami. Pada pembuatan peta run up di atas memang tidak menggambarkan secara detail, kondisi run up yang sebenarnya. Akan tetapi, setelah dioverlay dengan algoritma, baru menunjukkan suatu peta resiko tsunami yang komprehensif Penentuan tingkat kerentanan terhadap tsunami Analisis kerentanan yang dikaji pada penelitian ini adalah kerentanan lingkungan, infrastruktur dan kerentanan sosial kependudukan. Akan tetapi, parameter yang dikelaskan dalam matriks, hanya parameter kerentanan lingkungan karena dapat dispasialkan. Sedangkan parameter kerentanan infrastruktur dan sosial kependudukan, tidak dikelaskan dalam matriks tetapi akan dioverlay dengan peta resiko tsunami untuk mendapatkan peta resiko kependudukan terhadap tsunami dan peta resiko infrastruktur terhadap tsunami. Parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerentanan lingkungan terhadap tsunami adalah elevasi daratan, slope (kemiringan), morfometri pantai, penggunaan lahan, jarak dari garis pantai dan jarak dari sungai. Dasar pengambilan parameter tersebut ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya dengan melihat parameter penentu tingkat kerentanan di suatu wilayah yang kemudian dimodifikasi sesuai dengan konsultasi pakar dan pembimbing berdasarkan kondisi daerah penelitian. Beberapa hasil penelitian terdahulu yang dijadikan acuan yaitu penelitian yang pernah dilakukan oleh

52 Bakosurtanal dan Pusat Studi Bencana Alam UGM (PSBA UGM) (2002); Papathoma et al., (2003), Diposaptono dan Budiman (2005), dan Agung (2006). Setiap parameter memilki kontribusi yang berbeda terhadap tingkat kerentanan dan resiko bencana tsunami. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan sistem penentuan bobot dan skor untuk masing-masing parameter sesuai dengan besarnya pengaruh parameter tersebut. Parameter yang dianggap memiliki pengaruh paling besar terhadap resiko tsunami, diberikan bobot paling besar. Jadi, semakin besar bobot parameter pemicu resiko bencana tsunami, semakin besar kontribusinya terhadap resiko tsunami dan sebaliknya. Penjelasan masing-masing parameter adalah sebagai berikut. 1. Elevasi daratan Elevasi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi resiko tsunami yang akan terjadi. Daerah dengan elevasi rendah, akan mudah dihantam gelombang tsunami, dan sebaliknya. Kelas ketinggian daratan menurut Bappeda Kab.Sikka (2003) adalah 0-25 m, m, m, m, dan > 1000 m. Akan tetapi, dengan melihat data run up maksimum yang terjadi waktu tsunami Flores adalah 26.2 m dan untuk Kabupatan Sikka adalah 10 m serta untuk mempermudah dalam pengolahan dan analisis data raster (karena cakupan daerah yang luas), maka dalam penelitian ini dilakukan pengkelasan ulang elevasi sebagai berikut : 10 m; m; m; m dan >100 m. 2. Kemiringan Kemiringan daratan akan mempengaruhi tinggi run up tsunami di wilayah pesisir. Semakin besar kemiringan daratan (curam), maka tinggi run up semakin rendah, dan sebaliknya. Pengkelasan serta pembobotan kemiringan daratan dalam penelitian ini mengacu pada pembagian

53 kemiringan wilayah oleh Bappeda Kabupaten Sikka yang kemudian dimodifikasi yaitu 10%; >10-20%; >20-30%; >30-40%; dan >40%. 3. Morfometri pantai Morfologi pantai sangat berpengaruh besar terhadap tingkat energi tsunami yang akan terhempas ke daratan. Tipe pantai teluk akan mengalami amplifikasi energi gelombang dan tipe tanjung akan mereduksi energi gelombang. Pada penelitian ini digunakan lima kelas tipe morfometri pantai hasil modifikasi berdasarkan penelitian dari Bakosurtanal-PSBA UGM (2002), konsultasi pakar dan pembimbing yaitu tipe teluk V, tipe teluk U, tipe tanjung, tipe pantai lurus dan non teluk atau tanjung. 4. Penggunaan lahan (landuse) Penggunaan lahan merupakan salah satu parameter yang mempengaruhi tingkat resiko tsunami. Tsunami dapat menyebabkan perubahan tata guna lahan, contohnya Tsunami Aceh 2004 telah menyebabkan beberapa wilayah pemukiman maupun lahan potensial, sekarang berubah menjadi lahan kosong. Oleh karena itu, perlu penataan ruang dengan baik dalam rangka mengurangi resiko tsunami. Acuan penggunaan lahan dalam penelitian ini dibagi berdasarkan klasifikasi Bakosurtanal-PBSA UGM (2002) dan Diposaptono dan Budiman (2006) serta berdasarkan konsultasi pakar. Pengkelasan untuk landuse dapat dilihat pada matriks resiko tsunami. 5. Jarak dari garis pantai Tsunami merupakan fenomena alam yang bersifat merusak, sehingga perlu memperhatikan adanya kawasan penyangga (buffer zone). Oleh karena itu, pembangunan kawasan untuk pemukiman dan pusat-pusat kegiatan penting lainnya harus memperhatikan jarak dari garis pantai guna mengurangi resiko tsunami. Acuan dasar untuk pembuatan jarak (buffer) merujuk pada UU RI No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

54 yaitu sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Pada penelitian ini jarak dari garis pantai diklasifikasi menjadi lima kelas yaitu <200 m; m; ; m dan >1500 m. 6. Jarak dari sungai Jarak dari sungai merupakan parameter yang mempengaruhi tingkat resiko tsunami. Tsunami yang memasuki kanal banjir/sungai akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar karena adanya pemusatan energi tsunami sehingga semakin mendorong tsunami masuk lebih jauh ke daratan. Contohnya Tsunami California yang melewati kanal-kanal pengendali banjir dapat masuk ke daratan sampai 1 mil (1,802 km). Oleh karena itu, perlu dilakukan buffer dari sungai. Pada penelitian ini buffer dari sungai dilakukan pada jarak <100 m; m; m; m; dan >500 m. 3.8 Pengolahan data dengan cell based modelling Cell based modelling (selanjutnya disingkat CBM) merupakan metode yang digunakan dalam pengolahan data pada penelitian ini. Oleh karena itu, berbagai parameter kerentanan tersebut di atas harus dikonversi ke bentuk raster. Untuk parameter topografi, input layer data berupa data line contour yang selanjutnya diolah menjadi data set TIN (Triangulated Irregular Network). Data set TIN adalah suatu struktur data yang digunakan untuk model permukaan seperti ketinggian yang berbentuk jejaring triangular (ESRI, 2002). Besar kecilnya ukuran segitiga pada data TIN tergantung dari banyaknya data. Semakin banyak data, semakin rapat/kecil ukuran segitiga yang menunjukkan interpolasi yang detail. Hasil TIN berupa topografi yang smooth dengan kenampakan informasi yang cukup detail. Selanjutnya data TIN tersebut

55 dikonversi ke raster dengan fungsi convert feature to raster pada menu 3D Analyst. Selanjutnya dilakukan pengkelasan sesuai matriks untuk mendapatkan kelas elevasi daratan. Untuk data kemiringan langsung diturunkan dari data elevasi dengan fungsi Slope Surface Analyst pada menu Spatial Analyst sehingga sudah berformat raster. Selanjutnya tinggal diklasifikasi berdasarkan matriks. Untuk morfologi pantai, penulis tidak mendapatkan data spasial digital morfologi pantai. Oleh karena itu, input data morfologi diambil dengan cara melakukan on screen digitize pada peta batimetri Dishidros TNI AL skala 1: Sebelum dilakukan proses digitasi, terlebih dahulu dilakukan konversi peta analog ke format digital melaui proses scanning, registrasi peta (menggunakan software Global Mapper 10), transformasi koordinat dan kemudian baru dilakukan proses digitasi. Pada pembuatan peta morfologi, dilakukan buffering area satu (1) km dari garis pantai. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa batas limpasan tsunami ke daratan tidak sampai sejauh 1 km. Digitasi dilakukan dengan teknik visual pada kenampakan daerah pantai bertipe pantai teluk V, teluk U, tanjung, pantai lurus dan non teluk/tanjung. Selanjutnya data tersebut dikonversi ke format raster dan dikelaskan berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Input data penggunaan lahan sudah dalam bentuk digital spasial. Untuk mendapatkan data yang benar, dilakukan proses re-editing data landuse (mengacu juga pada kenampakan pada citra satelit). Tahap selanjutnya adalah mengkonversi data ke dalam bentuk raster dan dilakukan pengkelasan. Pada pembuatan buffer zone untuk jarak dari garis pantai dan sungai, dilakukan buffering dan reclassify. Selanjutnya dikonversi ke format data raster dan dikelaskan berdasarkan matriks.

56 Selain pengolahan di atas juga dilakukan pemetaan batimetri dari peta batimetri dengan cara digitize on screen dan outputnya berupa point kedalaman. Selanjutnya diinterpolasi dengan metode Natural Neighbours. Metode ini merupakan metode interpolasi yang paling efektif jika sel inputnya cukup banyak, sehingga akan dihasilkan peta batimetri yang mirip dengan kondisi real di alam dan hasilnya juga lebih smooth. Pada pengolahan data raster di ArcGIS 9.1, seluruh output cell size adalah 30x30 m. Pemilihan resolusi spasial tersebut mengikuti resolusi spasial citra Landsat7/ETM+ supaya mudah dalam overlay raster. Gambaran desain fisik penentuan tingkat resiko tsunami selengkapnya disajikan pada Gambar 13. Elevasi Slope Morfometri Landuse Kerentanan lingkungan Analisis seismisita s Jarak dari garis pantai Parameter Kerentanan Parameter Kerawanan Jarak dari sungai Overlay Daerah rawan tsunami Pemukiman & infrastruktur Kerentanan sosial kependudukan & infrastruktur Peta Resiko Tsunami Kab. Sikka Analisis resiko tsunami Gambar 13. Desain penentuan tingkat resiko tsunami

57 Analisis spasial yang digunakan untuk penentuan resiko tsunami menggunakan metode CBM, baik untuk pengkelasan maupun untuk overlay setiap parameter yang diperoleh. Seluruh parameter yang digunakan akan berformat grid yang terdiri atas sekumpulan sel. Setiap sel memiliki nilai tertentu yang besarnya tergantung dari besarnya nilai masing-masing parameter. Sel-sel tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan nilainya ke dalam lima kelas (zona), yaitu kelas resiko sangat tinggi, resiko tinggi, resiko sedang, resiko rendah dan resiko sangat rendah. Pengelompokkan sel dalam data raster ini mengikuti operasi zonal function karena setiap sel akan dikodekan berdasarkan kriteria yang membentuk suatu zona. Setiap zona akan memiliki kisaran nilai parameter sebagaimana yang terdapat dalam Tabel 5. Selanjutnya dilakukan proses overlay seluruh parameter penentu resiko tsunami dengan sistem pembobotan dan skoring. Tabel 5. Matriks Resiko Tsunami No Parameter Bobot* (%) 1 Run up tsunami (m) Resiko Sangat Tinggi Skor Resiko Tinggi Skor Kerawanan Resiko Sedang Skor Resiko Rendah Skor Resiko Sangat Rendah 20 >16 5 > >2-6 3 > < Kerentanan 2 Elevasi (m) 15 <10 5 > > > > Slope (%) 15 < > > > Morfometri 15 Teluk V 5 Teluk U 4 Tanjung 3 Lurus 2 Non teluk/ 1 pantai tanjung 5 Landuse 10 Pemukiman, 5 Kebun 4 Ladang/ 3 Semak 2 Hutan, 1 sawah, mangrove, hutan rawa tegalan belukar, rumput/ tanah kosong batuan cadas dan gamping 6 Jarak dari > >500-3 > > garis pantai (m) Jarak dari sungai (m) > > > >500 1 Jumlah bobot x skor (Sumber : UU RI No.27 Tahun 2007; Bappeda Kab. Sikka 2006; Bakosurtanal-Pusat Studi Bencana Alam UGM 2002; Diposaptono dan Budiman 2006; *modifikasi berdasar konsultasi pakar dan pembimbing) Skor 3.9 Matriks tingkat resiko tsunami Kabupaten Sikka Pembuatan matriks resiko ini dimulai dengan menentukan parameter apa saja yang berpengaruh terhadap tingkat kerawanan dan kerentanan wilayah dan

58 penduduk Sikka terhadap tsunami. Penentuan kriteria pun harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan di Kabupaten Sikka. Kriteria yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari beberapa sumber pustaka hasil penelitian terdahulu, hasil konsultasi dengan pembimbing dan beberapa pakar tsunami-kegempaan. Parameter yang digunakan dalam penentuan resiko tsunami adalah tinggi run up tsunami, topografi, morfologi pantai, penggunaan lahan, jarak dari garis pantai dan jarak dari sungai. Berdasarkan parameter tersebut, maka dapat disusun matriks untuk menentukan tingkat resiko tsunami seperti yang disajikan pada Tabel 5. Pembuatan matriks ditentukan dengan pembobotan dan skor. Pemberian skor dimaksudkan untuk menilai faktor pembatas pada setiap parameter, sedangkan pembobotan setiap parameter berdasarkan pada dominannya pengaruh parameter tersebut dalam penentuan tingkat resiko tsunami. Komponen pemicu yang dianggap memiliki pengaruh yang paling besar terhadap tsunami, diberikan bobot dan skor yang paling besar, dan sebaliknya. Pemberian bobot pada penelitian ini adalah berkisar dari 10-20% dan pemberian skor dalam kisaran 1-5 yang menunjukkan kelas tingkat resiko tsunami. Nilai tiap kelas didasarkan pada perhitungan rumus berikut (Pasek, 2007) : N B x S. (6) i dimana : N = Total bobot nilai B i = Bobot pada tiap kriteria S i = Skor pada tiap kriteria i = Parameter i Selang tiap-tiap kelas diperoleh dari jumlah perkalian nilai maksimum dari tiap bobot dan skor dikurangi jumlah perkalian nilai minimumnya yang kemudian

59 dibagi dengan jumlah parameter yang digunakan. Secara matematis selang kelas tingkat resiko dirumuskan sebagai berikut (Pasek, 2007) : ( Bi Si ) max ( Bi Si ) min Lebar selang kelas ( L)... (7) n dimana : L = Lebar selang kelas n = Jumlah kelas Berdasarkan perhitungan di atas akan diperoleh nilai lebar selang kelas tingkat resiko tsunami sebesar dengan nilai N minimum sebesar satu (1) dan nilai N maksimum sebesar lima (5). Kelas resiko sangat rendah (R1) didapatkan dari 1 ditambah dengan 0,800. Nilai kelas resiko rendah (R2) didapat dari selang kelas maksimum R1 yaitu 1,800 ditambah 0,800. Nilai selang kelas resiko sedang (R3) didapatkan dari selang maksimum R2 yaitu 2,600 ditambah dengan 0,800. Nilai selang kelas resiko tinggi (R4) didapatkan dari selang maksimum R3 yaitu 3,400 ditambah dengan 0,800. Nilai selang kelas sangat tinggi (R5) didapatkan dari selang maksimum R4 yaitu 4,200 ditambah dengan 0,800. Secara singkat selang kelas masing-masing kelas resiko dapat ditetapkan sebagai berikut. Kelas R5 (Resiko Sangat Tinggi) = jika 4,201 N 5,000 Kelas R4 (Resiko Tinggi ) = jika 3,401 < N 4,200 Kelas R3 (Resiko Sedang) = jika 2,601 N 3,400 Kelas R2 (Resiko Rendah) = jika 1,801 N 2,600 Kelas R1 (Resiko Sangat Rendah) = jika 1,000 N 1,800 Pada waktu pengolahan data dengan ArcGIS 9.1, secara otomatis nilai tersebut akan dideskripsikan berupa model tingkat resiko tsunami wilayah

60 Kabupaten Sikka dengan lima kelas resiko tsunami. Berdasarkan peta resiko tsunami tersebut kemudian dibuat juga peta resiko tsunami per kecamatan. Untuk melihat tingkat resiko sosial kependudukan dan infrastruktur terhadap tsunami, maka peta resiko dioverlay dengan data sosial kependudukan dalam hal ini adalah data pemukiman dan untuk melihat tingkat resiko infrastruktur terhadap tsunami, dioverlay data infrastruktur dengan resiko tsunami. Pada penelitian ini dilakukan juga pemodelan peta resiko tsunami Kabupaten dengan run up tsunami 20 meter sehingga dapat diketahui perbedaaan luasan dengan pemodelan sebelumnya dan sebagai salah satu upaya antisipasi dalam rangka mitigasi bencana tsunami di wilayah Kabupaten Sikka.

61 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan data spasial dari citra satelit Pengolahan citra awal Citra satelit yang digunakan adalah Citra Landsat 7/ETM+ path/row 122/066 akuisisi 27 Oktober Penulis menggunakan data citra tersebut karena selain harganya terjangkau, resolusi spasialnya cukup tinggi yaitu 30x30 m, sehingga bisa mewakili pemetaan resiko tsunami untuk skala satu kabupaten. Perbandingan citra satelit sebelum dan sesudah tsunami 1992 tidak dapat dilakukan karena tidak tersedianya data citra pra tsunami Data citra yang diperoleh dalam penelitian ini sudah terkoreksi baik secara radiometrik maupun geometrik. Akan tetapi, untuk mendapatkan data dan hasil yang lebih akurat, dilakukan pengkoreksian ulang secara radiometrik dan geometrik. Koreksi radiometrik citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh hamburan atmosfer yang mempengaruhi nilai spektral citra. Metode yang digunakan dalam koreksi ini adalah metode penyesuaian histogram (histogram adjustment). Metode ini dipilih karena dapat dilakukan dengan mudah, tidak menggunakan algoritma yang rumit serta memberikan hasil yang baik (Susilo dan Lumban Gaol, 2008). Pada metode ini nilai respon terendah dari setiap band adalah nol, sehingga dilakukan pengurangan nilai digital setiap piksel pada semua band, sehingga nilai minimumnya sama yaitu nol. Pada waktu pengolahan data citra 2006, keseluruhan band sudah memiliki nilai spektral minimum nol dan nilai spektral maksimum 255, sehingga pengolahan langsung dilanjutkan dengan koreksi geometrik.

62 Koreksi geometrik citra dilakukan dengan metode rektifikasi (image to image rectification) dengan acuan citra akuisisi tanggal 27 September 2001 path/row yang sama. Metode rektifikasinya adalah polynomial dan tipe resampling citra adalah nearest neighbour dengan mengambil beberapa titik kontrol bumi (Ground Control Point). GCP yang diambil adalah sebanyak 30 titik yang menyebar merata pada permukaan objek daratan pada citra. Kualitas pada GCP yang digunakan cukup baik dengan nilai root mean square error (RMSE) yang kecil yaitu 0.3 (Lampiran 4). Ini berarti simpangan kesalahan yang dapat ditoleransi adalah 9 m (didapatkan dari perkalian RMSE dengan piksel Citra Landsat). RMSE merupakan sebuah standar pengukuran statistika yang menjelaskan perbedaan antara lokasi titik yang sebenarnya di alam (actual point location) dan lokasi titik yang diestimasi secara matematik (mathematically estimated point location) (Earth Resource Mapping Ltd., 2008). Nilai RMSE sebaiknya kurang dari satu. Hal ini berarti bahwa rata-rata kesalahan di titik lokasi (X, Y) kurang dari satu sel citra Ekstraksi data citra Data yang diekstrak dari Citra Landsat 7/ETM+ adalah data ekosistem pesisir yang meliputi ekosistem terumbu karang, lamun, dan mangrove. Ekosistem pesisir merupakan ekosistem penting yang berperan sebagai peredam energi gelombang tsunami, sehingga bisa meminimalkan dampak resiko tsunami. Pada penelitian ini, ekosistem pesisir termasuk ke dalam parameter pendukung sehingga tidak dikelaskan dalam matriks resiko tsunami. Pendugaan awal ekosistem pesisir dilakukan dengan penajaman citra. Penajaman citra untuk terumbu karang adalah komposit 421 dan untuk mangrove adalah komposit 453. Penajaman tersebut akan memberikan

63 gambaran yang interpretatif tentang kenampakan atau keberadaan ekosistem di wilayah pesisir. Untuk mendapatkan data ekosistem mangrove, setelah dilakukan training area, akan didapatkan data kelas mangrove. Berdasarkan pengolahan data citra, diketahui bahwa ekosistem mangrove umumnya terdapat di bagian pesisir utara Kabupaten Sikka, sedangkan di bagian selatan tidak ditemukan adanya ekosistem mangrove. Hal ini diduga karena wilayah pesisir selatan Sikka merupakan daerah bertebing dan berarus cukup besar, sehingga mangrove sulit tumbuh dan berkembang biak. Mangrove merupakan vegetasi pesisir pantai yang hidup pada daerah yang terlindung seperti muara sungai. Sebaran mangrove tidak ditemukan pada semua wilayah kecamatan di Kabupaten Sikka. Mangrove dominan terdapat di sekitar pulau-pulau kecil, terutama di Pulau Besar. Selain itu, terdapat juga di Kecamatan Alok dan Talibura dan serta sedikit terdapat pada Kecamatan Magepanda dan Waigete. Luasan vegetasi mangrove yang diekstrak dari citra adalah 249,30 Ha. Berdasarkan laporan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sikka diketahui bahwa luas vegetasi mangrove tahun 2007 adalah 219,74 Ha (dengan perincian mangrove yang baik adalah 73,88 Ha dan mangrove yang rusak adalah 145,76 Ha). Hasil wawancara dengan penduduk pesisir, diketahui bahwa semakin banyak hutan mangrove yang rusak di Kabupaten Sikka. Hal ini disebabkan karena adanya kegiatan destruktif masyarakat yang mengganggu keberadaan ekosistem mangrove, seperti pembabatan liar. Ekosistem mangrove yang dominan di Kabupaten Sikka adalah jenis Rhizopora (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sikka, 2007). Rhizopora merupakan jenis mangrove yang paling mampu meredam abrasi dan tinggi gelombang tsunami dibandingkan jenis lainnya. Hal ini disebabkan karena

64 Rhizopora memiliki formasi akar, batang, ranting, dan daun yang lebih rapat (Whitten et al., 1987 in Yuwono, 2005). Selain ekosistem mangrove, hampir di keseluruhan daerah pesisir Kabupaten Sikka terdapat vegetasi pantai lain yang berperan penting dalam meredam energi gelombang tsunami yaitu pohon kelapa, enau, dan lontar. Selanjutnya untuk mendapatkan data ekosistem terumbu karang dilakukan dengan menggunakan Transformasi Lyzenga. Setelah penulis melakukan training area dan mengekstrak nilai digital Band 1 dan Band 2 didapat nilai koofisien atenuasi perairan (ki/kj) sebesar 1,1527 (Lampiran 5) sehingga algoritma Lyzenga yang digunakan adalah Y= ln (TM1) + 1, ln (TM2). Selanjutnya nilai spektral citra hasil transformasi tersebut diklasifikasikan dengan metode supervised. Hasil pengolahan yang didapat adalah data ekosistem terumbu karang, karang mati, lamun dan pasir. Terumbu karang jarang hidup pada kedalaman sampai m. Oleh karena itu, pada pemetaan terumbu karang, data terumbu karang yang diambil hanya sampai pada kedalaman 25 m saja. Berdasarkan pemetaan ekosistem terumbu karang dan derivatnya (Gambar 14) terlihat bahwa terumbu karang hidup hampir menyebar di sepanjang utara Kabupaten Sikka, kecuali di daerah Kecamatan Kewapante. Sedangkan karang mati banyak tersebar di sepanjang pantai selatan Kabupaten Sikka dan terlihat juga pada pulau-pulau kecil. Hal ini diduga karena pengaruh gelombang yang cukup besar di daerah pantai selatan. Ekosistem lamun tersebar pada semua wilayah tapi dalam jumlah yang sangat sedikit.

65 Gambar 14. Peta ekosistem pesisir Kabupaten Sikka Ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang yang sudah diekstrak tersebut kemudian digabung menjadi satu data spasial ekosistem pesisir Kabupaten Sikka dengan luasan seperti disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Luasan ekosistem pesisir Kabupaten Sikka dari citra satelit No Ekosistem Luasan (Ha) 1 Mangrove 249,3 2 Terumbu karang 1.125,18 3 Karang mati 2.453,4 4 Lamun 489,24 Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang paling luas, akan tetapi didominasi oleh karang mati. Hal ini diduga karena pengaruh faktor lingkungan dan aktivitas masyarakat yang

66 menangkap ikan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan, sehingga banyak karang yang mati. Resiko tsunami umumnya paling parah menimpa daerah pesisir. Keberadaan ekosistem pesisir merupakan ekosistem penting sebagai penghalang pertama untuk meredam energi gelombang tsunami. 4.2 Analisis kerawanan tsunami di Kabupaten Sikka Seismisitas di Kabupaten Sikka Tsunami merupakan salah satu fenomena bencana alam yang tidak dapat dihindari ataupun dicegah dan memiliki kemungkinan untuk terjadi lagi, sehingga yang dapat dilakukan adalah mengurangi kemungkinan resikonya. Langkah awal penentuan resiko tsunami adalah menentukan tingkat kerawanan suatu wilayah terhadap tsunami. Kabupaten Sikka merupakan wilayah yang berpotensi tinggi dilanda tsunami. Berdasarkan Gambar 15 dapat dilihat bahwa Kabupaten Sikka yang berada di tengah Pulau Flores, diapit oleh Florest Thrust di utara, Wetar Thrust di bagian Timur, Banda Arc di bagian tenggara, dan Sunda Arc di bagian barat daya yang merupakan daerah patahan lempeng. Daerah tersebut adalah zona seismik aktif yang merupakan sumber gempa dan tsunami. Hal ini menyebabkan Kabupaten Sikka sering mengalami gempa bumi, baik gempa dalam, menengah maupun gempa dangkal (yang dapat menyebabkan tsunami). Adanya sesarsesar di daratan juga menyebabkan gempa-gempa yang bersifat merusak. Besarnya tingkat kegempaan dapat diketahui dengan melihat penyebaran pusatpusat gempa bumi seperti pada Gambar 15 berikut.

67 Gambar 15. Peta seismisitas Kabupaten Sikka Peta seismisitas Kabupaten Sikka dibuat berdasarkan kumpulan data kegempaan dari tahun 1900 sampai Oktober Gempa dalam (>300 m) ditunjukkan dengan node bulat hijau, gempa menengah ( m) ditunjukkan dengan node bulat kuning, dan gempa dangkal (<60 m) ditunjukkan dengan node bulat merah. Besarnya ukuran node menunjukkan besarnya magnitudo gempa. Berdasarkan Gambar 15 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar gempa bumi terjadi di laut dan berada di daerah dangkal dengan kedalaman kurang dari 60 km dari dasar laut. Gempa bumi yang berpusat di laut dangkal merupakan pemicu timbulnya tsunami. Pusat gempa bumi dangkal di laut tersebut menyebar merata dan dominan di bagian utara dan selatan Pulau Flores. Pada bagian utara berpusat pada patahan naik Flores (Flores thrust) dan bagian selatan berpusat pada daerah subduksi Sunda Arc dan Banda Arc.

68 Frekuensi gempa dangkal relatif sering terjadi di zona-zona aktif gempa tersebut. Hampir sebagian besar gempa yang terjadi di Kabupaten Sikka, dipicu oleh gempa tektonik yang bermagnitudo lebih dari lima SR berpusat di laut. Besarnya frekuensi dan intensitas gempa tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Sikka rawan terhadap gempa dan tsunami. Kelompok pantai yang rawan terhadap tsunami adalah kelompok pantai yang langsung menghadap ke laut karena langsung berhadapan dengan daerah patahan subduksi yang merupakan sumber gempa besar dan sumber pembangkit tsunami Tingkat kerawanan tsunami di Kabupaten Sikka Berdasarkan sejarah kegempaan, diketahui Tsunami Flores 1992 merupakan tsunami terbesar yang pernah melanda wilayah NTT, khususnya Kabupaten Sikka. Oleh karena itu, untuk kajian resiko tsunami, data run up Tsunami Flores 1992 dijadikan sebagai acuan parameter kerawanan tsunami. Pada saat Tsunami Flores, ketinggian gelombang maksimum saat mencapai pantai adalah 10 m dengan inundasi lebih dari 600 m. Tinggi tsunami di setiap lokasi tidaklah sama (Gambar 16). Hal ini sangat ditentukan oleh kondisi fisik wilayah itu sendiri. Peta run up tsunami merupakan parameter penting dalam analisis resiko tsunami karena dijadikan sebagai input utama dalam parameter kerawanan tsunami. Peta run up ini dibuat berdasarkan data survei lapang Tsunami Flores 1992 (Lampiran 3). Pengolahan data run up tersebut dilakukan dengan metode manual untuk menspasialkan tingkat kerawanan daerah berdasarkan kelas tinggi run up tsunami.

69 Gambar 16. Peta tinggi run up Tsunami Flores tahun 1992 di berbagai lokasi Pantai Utara Kabupaten Sikka Berdasarkan data survei yang diperoleh diketahui bahwa tinggi run up tsunami di setiap tempat berbeda-beda. Tinggi run up maksimum yang terjadi di Kabupaten Sikka adalah 10 m, sedangkan yang terendah adalah 1.7 m. Run-up maksimum terjadi pada pantai yang landai dan berteluk. Run-up tsunami tidak hanya ditentukan oleh magnitudo gempa, tetapi juga sangat ditentukan oleh morfologi dasar laut, bentuk pantai serta karakteristik penjalaran gelombangnya (Fauzi, 2006). Selanjutnya, berdasarkan peta run up hasil survei lapang tersebut kemudian dibuat peta kerawanan tsunami berdasarkan matriks resiko tsunami (Gambar 17). Pada dasarnya peta tersebut menunjukkan tingkat kerawanan suatu daerah terhadap bencana tsunami.

70 Gambar 17. Peta kerawanan tsunami berdasarkan data run up Tsunami Flores tahun 1992

71 Setelah dilakukan pengolahan spasial tinggi run up tsunami, didapatkan tiga kelas kerawanan tsunami di Kabupaten Sikka berdasarkan skala Iida yaitu kelas kerawanan tinggi, kelas kerawanan sedang dan kelas kerawanan rendah. Berdasarkan peta run up tsunami (Gambar 17) di atas dapat diketahui bahwa hanya wilayah utara Kabupaten Sikka saja yang tergenang oleh limpasan tsunami, sedangkan daerah selatan tidak terkena limpasan tsunami. Hal ini disebabkan karena pusat tsunami terletak di wilayah utara Flores. Akan tetapi, dampak dari gempa dan tsunami tersebut dirasakan ke seluruh wilayah Kabupaten Sikka. Kelas kerawanan tinggi memiliki tinggi run up >6-16 m yang meliputi daerah Kecamatan Alok dan sebagian kecil wilayah Kecamatan Talibura. Selanjutnya, kelas kerawanan sedang memiliki tinggi run up >2-6 m, meliputi wilayah Kecamatan Waigete, Magepanda dan sebagian Kecamatan Talibura, Kewapante, dan Alok. Kerawanan rendah memiliki ketinggian > m, meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Kewapante. Kelas kerawanan tinggi merupakan daerah yang beresiko tinggi terhadap tsunami. Berdasarkan pengukuran dengan menggunakan tools measure diketahui jarak jangkauan tsunami (inundasi) pada wilayah kerawanan tinggi adalah ± 1500 m ke darat. Besarnya kemungkinan jangkauan limpasan tsunami yang masuk ke daratan tersebut menunjukkan pula batas kawasan rawan tsunami. Setiap kecamatan memiliki tinggi run up dan inundasi tsunami yang berbeda-beda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik lingkungan di masing-masing wilayah tersebut. Jika kerentanan lingkungannya tinggi, maka akan mudah untuk terpapar tsunami, sehingga resikonya pun akan lebih besar. Wilayah pesisir Sikka bagian utara adalah daerah yang memiliki potensi tinggi terkena tsunami, sedangkan daerah selatan relatif lebih aman.

72 Hal ini terutama disebabkan karena topografi wilayah utara Sikka lebih rendah daripada daerah selatan. Pengolahan data pada ArcGIS 9.1 dapat diketahui luas daerah kerawanan tsunami yaitu pada Tabel 7 berikut. Tabel 7. Luasan daerah kerawanan tsunami No. Tingkat kerawanan Jumlah sel Luas (m 2 ) Luas (Ha) 1 Sangat Tinggi Tinggi ,94 3 Sedang ,18 4 Rendah ,15 5 Sangat Rendah Berdasarkan Tabel 7 di atas, diketahui bahwa luasan daerah kerawanan tinggi adalah 509,94 Ha; luasan daerah kerawanan sedang adalah 306,91 Ha; dan luasan daerah kerawanan sedang adalah 363,15 Ha. Berdasarkan Skala Iida (Tabel 4), diketahui bahwa sebagian besar tinggi Tsunami Flores termasuk dalam skala menengah. Skala Iida ini merupakan skala yang digunakan sebagai acuan parameter kerawanan dalam kajian resiko tsunami. Untuk mendapatkan tingkat resiko tsunami, maka parameter kerawanan akan diintegrasikan dengan data-data parameter kerentanan. 4.3 Analisis tingkat kerentanan tsunami di Kabupaten Sikka Daerah yang berpotensi tinggi rawan tsunami, belum tentu memiliki tingkat resiko yang tinggi terhadap tsunami. Besar kecilnya resiko tsunami sangat tergantung dari kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan fisik lingkungan sekitarnya (Diposaptono dan Budiman, 2006). Pada penelitian ini, parameter kerentanan yang dikelaskan adalah parameter lingkungan, sedangkan parameter yang tidak dikelaskan adalah parameter sosial kependudukan dan infrastruktur wilayah.

73 Kajian parameter kerentanan lingkungan yang mempengaruhi tingkat resiko tsunami di Kabupaten Sikka adalah sebagai berikut Elevasi daratan Elevasi daratan merupakan parameter penting yang mempengaruhi tingkat kerentanan tsunami. Semakin rendah suatu daratan, akan mudah terkena limpasan tsunami dan sebaliknya, semakin tinggi suatu daratan, maka jangkauan tsunami pun akan semakin rendah. Jadi, tinggi dan rendah suatu daratan, sangat mempengaruhi jarak dan tinggi run up tsunami. Oleh karena itu, pada penelitian ini parameter topografi diberikan bobot sebesar 15%. Topografi Kabupaten Sikka terdiri atas daratan yang sempit di pesisir utara dan makin ke selatan wilayahnya berbukit-bukit dan bergunung-gunung, sehingga banyak terdapat pantai curam dan terjal. Pemetaan topografi dalam penelitian ini dilakukan secara digital menggunakan data topografi TIN yang disudah diubah ke dalam format raster. Pemetaan topografi pun dapat dilakukan dengan menggunakan data Digital Elevation Model (berformat raster). Untuk mempermudah dalam analisis topografi, penulis menggunakan tampilan data raster dengan pemodelan cahaya (sun angle shadding) atau hillshade. Hillshade adalah suatu tampilan data raster dengan pencahayaan matahari dari berbagai arah dan ketinggian sudut matahari. Efek dari tampilan hillshade adalah sisi permukaan yang terkena cahaya dan sisi yang tidak terkena pencahayaan, sehingga mempermudah melihat cepat profil ketinggian (ESRI, 2002). Pada penelitian ini, pemodelan cahaya dilakukan dengan perangkat lunak ArcGIS 9.1 dengan azimuth (sudut arah pencahayaan matahari) 315º dan elevation (ketinggian pencahayaan matahari) 45º dengan efek transparansi 67%.

74 Peta topografi yang sudah dikelaskan berdasarkan matriks, kemudian dioverlay dengan peta hillshade tersebut. Pemodelan hillshade ini diterapkan pada semua peta dalam penelitian ini, seperti yang sudah diaplikasikan pada peta daerah penelitian. Pemetaan elevasi dapat dilihat pada Gambar 18. Berdasarkan Gambar 18 dapat diketahui Kabupaten Sikka merupakan daerah yang memiliki topografi yang kompleks mulai dari dataran rendah sampai dengan topografi terjal yang mencapai ketinggian 1700 m di atas permukaan laut. Akan tetapi, secara umum dapat dilihat dari peta bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Sikka berbukit-bukit (topografi kasar). Hal ini ditandai dengan banyak terdapat dataran tinggi yang berbukit dan bergunung-gunung. Daerah utara Sikka merupakan daerah yang cukup landai dibandingkan dengan daerah selatan. Hal ini ditandai yaitu warna-warna ketinggiaan rendah lebih banyak terdapat di daerah utara daripada selatan. Kabupaten Sikka bagian utara terdiri atas daratan yang sempit dan makin ke selatan wilayahnya berbukitbukit dan bergunung. Untuk kajian resiko tsunami, topografi dibagi dalam lima kelas yaitu kelas kerentanan sangat tinggi (<10 m), kelas kerentanan tinggi (>10-25 m), kerentanan sedang (>25-50 m), kerentanan rendah (> m) dan kerentanan sangat rendah (>100 m).

75 Gambar 18. Peta kerentanan elevasi terhadap tsunami

76 Berdasarkan hasil perhitungan jumlah sel, dapat diketahui luasan wilayah per kelas kerentanan elevasi seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Luasan wilayah tingkat kerentanan elevasi No Tingkat Kerentanan Jumlah sel Luas (m 2 ) Luas (Ha) 1 Sangat Tinggi ,16 2 Tinggi ,55 3 Sedang ,79 4 Rendah ,32 5 Sangat Rendah ,60 Total ,43 Berdasarkan hasil pemetaan klasifikasi topografi berdasarkan matriks resiko tsunami, dapat diketahui bahwa daerah yang ketinggiannya kurang dari 10 m memiliki luas 4.649,16 Ha yang menyebar sepanjang pantai utara meliputi Kecamatan Talibura, Waigete, Kewapante, Alok, Maumere, dan Nita serta sebagian kecil terlihat di sepanjang pesisir selatan Kecamatan Paga dan Bola. Wilayah dengan ketinggian >10-25 m memiliki luas 6.686,55 Ha juga masih dominan berada pada pesisir utara dan sebagian di pesisir selatan. Untuk wilayah dengan ketinggian di atas m dan m masih dominan terdapat di wilayah utara Kabupaten Sikka, sedangkan ketinggian >100 m menyebar rata pada bagian tengah Kabupaten Sikka. Secara umum, dapat diketahui bahwa wilayah pesisir Kabupaten Sikka yang berelevasi rendah membuat tingkat kerentanan tsunami di daerah ini lebih tinggi daripada wilayah selatan. Semakin rendah elevasi suatu daerah, maka tingkat kerentanan terhadap bahaya tsunami semakin besar. Semakin besar tingkat kerentanan, maka semakin besar resikonya, dan sebaliknya. Oleh karena itu, peta topografi merupakan peta penting dalam kajian resiko tsunami.

77 4.3.2 Kemiringan daratan (slope) Kemiringan merupakan parameter penting dalam menentukan tingkat kerentanan tsunami di suatu daerah. Kemiringan daratan akan mempengaruhi tinggi run up tsunami yang akan terjadi. Semakin curam suatu daratan, maka tinggi run up akan semakin rendah. Satuan kemiringan daratan yang digunakan adalah dalam persentase (%). Range slope dalam persen berkisar dari 0-200%. Nilai kemiringan 0% mengindikasikan flat area/no slope (area datar). Nilai kemiringan 100% mengindikasikan kemiringan area 45º dan nilai 200% menunjukkan vertical slope (Earth Resource Mapping Ltd, 2008). Peta slope (Gambar 19) merupakan peta yang diturunkan dari peta topografi. Pada waktu processing data, data topografi dijadikan input dalam algoritma matematis, yang dapat mengubah setiap nilai elevasi menjadi sebuah nilai baru yang menggambarkan kemiringan lahan daratan dengan menggunakan fungsi surface analyst pada menu spatial analyst. Pada kajian resiko tsunami ini, parameter kemiringan daratan juga dibagi ke dalam lima kelas kerentanan yaitu kelas kerentanan sangat tinggi (2%), kerentanan tinggi (>2-10%), kerentanan sedang (>10-15%), kerentanan rendah (>15-40%) dan kerentanan sangat rendah (>40%). Hasil pemetaan slope (Gambar 19) menunjukkan bahwa kondisi kemiringan tanah (kelerengan) di wilayah Kabupaten Sikka cukup bervariasi. Berdasarkan laporan dari Kantor Bappeda Kabupaten Sikka (2005), kisaran kemiringan tanah di Kabupaten Sikka adalah dari 0 sampai dengan 70% dan didominasi oleh kemiringan tanah yang lebih besar dari 40% dengan luas 81,167 Ha atau sekitar 46,87% dari total luas wilayah Kabupaten Sikka.

78 Gambar 19. Peta kerentanan slope terhadap tsunami

79 Berdasarkan pengolahan data dengan ArcGIS 9.1 didapat luasan wilayah sebagaimana Tabel 9 di bawah ini. Tabel 9. Luasan wilayah kerentanan slope No Tingkat kerentanan Jumlah sel Luas (m 2 ) Luas (Ha) 1 Sangat Tinggi ,55 2 Tinggi ,26 3 Sedang ,07 4 Rendah ,06 5 Sangat Rendah ,49 Total ,43 Berdasarkan Tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa daerah yang kerentanan sangat tinggi memiliki luas 6.749,55 Ha dan daerah yang kerentanannya tinggi memiliki luas ,26 Ha. Daerah yang berada pada kelas kerentanan sangat tinggi dan tinggi, sebagian besar berada pada wilayah pesisir utara. Wilayahnya meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Alok, Maumere, Kewapante, Waigete, dan Talibura. Daerah ini akan merupakan daerah yang resiko tsunaminya tinggi jika tidak ada upaya penataan ruang yang baik terutama yang menyangkut area padat penduduk dan basis ekonomi penting. Berdasarkan hasil konsultasi dan studi literatur, diketahui bahwa penempatan kawasan pemukiman dapat dibagi dalam empat kelas kemiringan yaitu : 0-8º, 8-25º, 25-35º dan lebih dari 35º. Daerah yang memiliki tingkat kerentanan sangat tinggi dan tinggi umumnya terletak pada wilayah pesisir kabupaten dan dominan terlihat pada wilayah pesisir utara. Luas wilayah kerentanan sangat tinggi dan tinggi masing-masing adalah 6.749,55 Ha dan ,26 Ha.

80 Daerah kerentanan sedang meliputi daratan tengah sebagian Kecamatan Lela, Bola, Talibura, Waigete, Kewapante dan Alok. Daerah kerentanan sangat rendah dan rendah, tersebar merata pada bagian tengah wilayah Kabupaten Sikka. Sehingga dapat diketahui bahwa daerah kerentanan rendah dan sangat rendah adalah daerah yang hampir mendominasi wilayah Kabupaten Sikka yang dicirikan dengan wilayah perbukitan dan pegunungan. Slope merupakan faktor penting yang menentukan sejauh mana limpasan tsunami ke daratan. Daerah yang memiliki slope yang landai merupakan daerah yang beresiko tinggi terhadap tsunami. Oleh karena itu, slope dijadikan sebagai salah satu parameter penting dan diberikan bobot sama seperti elevasi yaitu 15% Morfometri pantai Bentuk morfometri pantai sangat berpengaruh besar terhadap tingkat energi tsunami yang akan terhempas ke daratan. Meskipun besaran gempa tektonik yang mengakibatkan gelombang tsunami relatif kecil, tetapi jika morfometrinya mendukung untuk memberikan penguatan terhadap limpasan tsunami, maka resiko korban jiwa dan kerusakan akan semakin besar. Hal ini juga didukung bilamana sedimen pantainya berupa pasir halus. Hal ini juga akan menambah penguatan run up dan mengakibatkan jarak run up yang semakin jauh ke daratan (Istiyanto et al., 2005). Oleh karena itu peta morfometri ini diberikan bobot sebesar 15%. Pada penelitian ini, bentuk morfometri pantai diklasifikasikan dalam lima kelas yaitu teluk V, teluk U, tanjung, pantai lurus dan non teluk atau tanjung. Pemetaan morfometri pantai dilakukan dengan metode on screen digitize berdasarkan hasil visualisasi manual kenampakan topografi daerah pesisir.

81 Untuk keakuratan data, hasil pemetaan tersebut juga dibandingkan dengan data citra satelit. Pada pemetaan ini dilakukan teknik pembufferan sejauh m dari garis pantai. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa daerah limpasan tsunami tidak akan sampai sejauh satu km dari garis pantai. Peta morfometri pantai disajikan pada Gambar 20. Morfometri pantai berpengaruh terhadap besar kecilnya energi limpasan tsunami ke arah darat. Kabupaten Sikka memiliki morfometri yang unik. Berdasarkan Gambar 20 dapat dilihat bahwa daerah utara Sikka umumnya didominasi oleh teluk, sedangkan daerah selatan merupakan daerah yang didominasi oleh tanjung. Beberapa teluk yang terdapat di Kabupaten Sikka diantaranya yaitu Teluk Maumere, Teluk Rung, Teluk Paga, Teluk Wodong, dan Teluk Pedang. Masingmasing teluk tersebut, memiliki bentuk yang berbeda, dimana ada yang berbentuk U dan ada yang berbentuk V. Sedangkan beberapa tanjung yang terdapat di Kabupaten Sikka yaitu diantaranya Tanjung Wokar, Tanjung Watuntou, Tanjung, dan Tanjung Watunkelahi. Selain teluk dan tanjung, terdapat juga daerah pesisir dengan morfometri pantai lurus. Setiap morfometri pantai memberikan dampak yang berbeda terhadap limpasan gelombang tsunami di pantai. Pantai teluk V memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan pantai teluk U. Hal ini karena, pantai teluk V lebih memusatkan energi tsunami. Akan tetapi, secara umum pantai yang berteluk memiliki tingkat kerentanan yang tinggi daripada tipe pantai yang lain. Hal ini karena morfometri pantai yang berbentuk teluk akan mempengaruhi refraksi gelombang tsunami sehingga kecepatan dan energi gelombang tsunami bertambah. Akibatnya, akumulasi massa air yang terjadi akan meningkatkan ketinggian serta kecepatan gelombang tsunami di pantai.

82 Gambar 20. Peta kerentanan morfologi terhadap tsunami

83 Jika tidak ada penghalang alami dan topografi pantainya landai, maka gelombang tsunami akan jauh masuk ke daratan. Berbeda dengan pantai berteluk, pada pantai bertanjung akan menyebarkan energi gelombang tsunami, sehingga penjalaran dan tinggi run up pun lebih rendah. Pada pantai yang lurus, energi merambat secara lurus tanpa ada pembelokan. Pantai tanjung termasuk ke dalam kerentanan sedang dan pantai lurus termasuk ke dalam kerentanan rendah. Daerah di luar buffer satu km termasuk ke dalam daerah non teluk atau tanjung. Daerah ini dianggap sudah tidak dipengaruhi oleh gelombang tsunami. Selain bentuk pantai, tipe pantai juga sangat mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap tsunami karena tipe pantai (berpasir, berlumpur, berbatu, berkarang, atau berawa) turut mempengaruhi run up tsunami. Pada penelitian ini, penulis tidak mendapatkan data geomorfologi daerah Sikka. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagian besar daerah pesisir utara dan selatan Kabupaten Sikka pantainya berupa batuan, pecahan karang, tetapi terdapat juga pasir halus sampai kasar dan ada yang berasal juga dari pecahanpecahan karang (rubble) Penggunaan lahan Pemetaan penggunaan tanah pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data spasial dari Bappeda Kabupaten Sikka tahun Berdasarkan data yang didapat diketahui bahwa jenis penggunaan tanah yang terdapat di wilayah Kabupaten Sikka terdiri dari beberapa jenis penggunaan tanah yaitu batuan cadas, batuan gamping, hutan, hutan rawa, kebun, mangrove, pemukiman, rumput/tanah kosong, sawah irigasi, semak belukar, dan tegalan/ladang. Jenis penggunaan lahan di Kabupaten Sikka dapat dilihat pada Gambar 21.

84 Gambar 21. Peta jenis landuse di Kabupaten Sikka

85 Berdasarkan Gambar 21 di atas dapat diketahui luasan dari masing-masing landuse tersebut seperti Tabel 10 berikut. Tabel 10. Luasan jenis landuse di Kabupaten Sikka Landuse Jumlah sel Luas m 2 Luas (Ha) Batuan cadas ,85 Batuan gamping ,79 Hutan ,29 Hutan rawa ,66 Kebun ,71 Mangrove ,56 Pemukiman ,37 Rumput/tanah kosong ,41 Sawah irigasi ,08 Semak/belukar ,96 Tegalan/ladang ,99 Total ,67 Dari Tabel 10 dapat diketahui bahwa tipe penggunaan tanah di wilayah Kabupaten Sikka didominasi oleh jenis semak belukar, tegalan/ladang, hutan belukar dan kebun. Dampak yang ditimbulkan oleh bencana tsunami terhadap masing-masing landuse tidak sama. Hal ini karena masing-masing landuse memiliki tingkat reduksi tertentu saat terkena gelombang tsunami. Misal untuk sawah irigasi. Sawah irigasi penting diketahui tingkat kerentanannya karena sawah merupakan sumber ekonomi pokok masyarakat. Apabila sawah irigasi terkena limpasan tsunami, maka areal sawah tersebut akan tergenang air laut dan tanah sawah yang terkena air asin akan menjadi tanah mati. Dampaknya adalah areal sawah tersebut tidak dapat digunakan lagi untuk bercocok tanam. Artinya, bencana tsunami dapat menyebabkan terjadi perubahan lahan. Oleh karena itu, perlu dilihat tingkat kerentanan landuse terhadap tsunami. Pemetaan kerentanan landuse di Kabupaten Sikka dapat dilihat pada Gambar 22.

86 Gambar 22. Peta kerentanan landuse terhadap tsunami

87 Berdasarkan Gambar 22 dapat diketahui bahwa daerah yang termasuk ke dalam kerentanan sangat tinggi dan tinggi banyak terdapat di wilayah pesisir, terutama pesisir utara Kecamatan Alok dan Kewapante. Hal ini karena pada daerah tersebut, banyak dimanfaatkan sebagai daerah pemukiman. Wilayah dengan tingkat kerentanan sedang, rendah dan sangat rendah sebagian besar terdapat pada bagian tengah Kabupaten Sikka. Luas dari masing-masing kelas kerentanan dapat terlihat pada Tabel 11 berikut. Tabel 11. Luasan tingkat kerentanan landuse No Tingkat Kerentanan Jumlah sel Luas (m 2 ) Luas (Ha) 1 Sangat Tinggi ,67 2 Tinggi ,71 3 Sedang ,99 4 Rendah ,77 5 Sangat Rendah ,53 Total ,67 Tabel 11 di atas menunjukkan bahwa luasan tingkat kerentanan tinggi dan sangat tinggi berturut-turut adalah ,71 Ha dan 4.811,67 Ha. Pada daerah ini, tingkat resikonya akan semakin besar. Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat juga tingkat penggunaan lahan di Kabupaten Sikka sebagian besar berada pada tingkat kerentanan sedang. Untuk kajian resiko tsunami, area pemukiman merupakan area yang paling rentan. Sebagian besar daerah pemukiman terletak di daerah pesisir yang berpotensi besar terhadap bahaya tsunami. Penggunaan lahan yang tidak banyak melibatkan manusia seperti hutan lebat, berada pada daerah yang aman. Oleh karena itu, penggunaan lahan pada kawasan pesisir harus memperhatikan konsep penataan ruang yang berbasis bencana alam, dalam hal ini adalah bencana tsunami.

88 4.3.5 Jarak dari garis pantai Mengingat tsunami bersifat merusak, maka dalam penataan ruang harus memperhatikan kawasan penyangga (buffer zone). Jarak dari garis pantai merupakan parameter penting dalam kajian resiko tsunami, sehingga diberi bobot 15%. Berdasarkan kejadian Tsunami Flores, banyak warga pesisir yang meninggal dunia dan berbagai sarana penting mengalami kerusakan karena berada di wilayah yang mudah terpapar tsunami. Oleh karena itu, pembuatan jarak dari garis pantai merupakan salah satu faktor penting dalam analisis kerentanan tsunami. Sebagian besar pemukiman dan sarana penting biasanya berada pada daerah pesisir yang sangat rentan terhadap tsunami. Hampir 140 juta penduduk (60%) penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir dan sekitar 80% dari industri Indonesia memanfaatkan sumberdaya pesisir (Diposaptono dan Budiman, 2006). Oleh karena itu, penataan ruang wilayah pesisir harus melihat konsep jarak dari garis pantai. Pada penelitian ini pembuatan jarak dari garis pantai dilakukan dengan menggunakan data spasial garis pantai yang kemudian dilakukan buffering dan dikelaskan sesuai dengan matriks resiko tsunami. Peta jarak dari garis pantai dapat dilihat pada Gambar 23.

89 Gambar 23. Peta jarak dari garis pantai

90 Berdasarkan Gambar 23 di atas dapat diketahui bahwa daerah yang berwarna merah tua menunjukkan daerah yang paling rentan terhadap tsunami yang berada pada radius 200 m dari garis pantai. Daerah yang semakin dekat dengan pantai merupakan daerah yang paling rentan, dan sebaliknya. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pemukiman yang rentan sekali terhadap tsunami yaitu pemukiman di daerah Wuring (Kecamatan Alok). Desa Wuring terletak dalam kawasan Teluk Maumere. Masyarakat pada daerah tersebut membangun rumahnya ke arah laut dan bahkan ada yang di laut. Areal pemukiman tersebut semakin lama, semakin bertambah banyak, sehingga semakin menjorok ke laut. Selain Wuring, areal pemukiman di daerah Desa Nangahale (Kecamatan Talibura) juga daerah-daerah pemukiman di pulau-pulau kecil Kabupaten Sikka, umumnya dekat dengan pantai. Dasar pondasi untuk pemukiman di daerah pesisir tersebut banyak yang terbuat dari rubble sehingga sangat rentan bila terhempas gelombang tsunami (Lampiran 2). Oleh karena itu, penting sekali menerapkan penataan ruang yang baik untuk mengurangi resiko tsunami khususnya di daerah pesisir Jarak dari sungai Jarak dari sungai (Gambar 24) juga merupakan parameter penting dalam kajian resiko tsunami. Pada umumnya tsunami yang melewati sungai akan menimbulkan kerusakan yang besar. Pada daerah yang menyempit seperti sungai, akan terjadi peningkatan kecepatan dan ketinggian muka air karena dengan debit massa air yang sama harus menjalar melalui celah yang sempit. Oleh karena itu, dalam penataan ruang harus memperhatikan jarak dari sungai.

91 Gambar 24. Peta jarak dari sungai

92 Pemetaan jarak dari sungai ini dibatasi sampai ketinggian 10 m di daratan sesuai dengan run up Tsunami Flores (10 m) dan pemetaan dilakukan pada sungai-sungai besar saja. Pada pemetaan di atas dapat dilihat bahwa Kabupaten Sikka memiliki sedikit sungai-sungai besar. Pada umumnya sungai-sungai besar tersebut terdapat pada daerah selatan dan jarak antara sungai pun sangat berjauhan. Berdasarkan literatur ilmiah, pada saat limpasan tsunami ke daratan, jika jarak antara dua sungai saling berdekatan akan menimbulkan kerusakan yang besar karena terjadi akumulasi energi gelombang tsunami dan massa air. Penempatan area pemukiman padat pada zona paling aman dari bahaya tsunami merupakan prioritas utama, sehingga harus diletakkan pada daerah yang jauh dari perkiraan jangkauan tsunami. Berdasarkan Gambar 23 di atas dapat dilihat bahwa daerah yang berwarna merah merupakan daerah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap tsunami. Area padat penduduk dan area akonomi penting, sebaiknya berada pada jarak >100 m dari sungai. 4.4 Faktor-faktor pendukung tingkat kerentanan tsunami Parameter-parameter yang sudah dibahas sebelumnya merupakan parameter utama penentu tingkat resiko tsunami yang dikelaskan dalam matriks. Selain parameter di atas, terdapat parameter lain yang menentukan tingkat resiko tsunami yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu batimetri, ekosistem pesisir, dan pulau penghalang. Parameter tersebut tidak dibobotkan dan dikelaskan dalam matriks sehingga tidak dioverlay pada pemodelan spasial tingkat resiko tsunami Batimetri Batimetri merupakan parameter yang penting dikaji karena mempengaruhi refraksi gelombang dan tinggi run up. Kecepatan dan energi gelombang tsunami

93 akan menurun sejalan dengan berkurangnya kedalaman, akan tetapi tinggi gelombang semakin meningkat. Batimetri Kabupaten Sikka dapat dilihat pada Gambar 25. Secara umum dapat dilihat bahwa batimetri Kabupaten Sikka termasuk dalam perairan dalam. Kisaran kedalaman perairan laut adalah m. Kedalaman dekat pantai umumnya dangkal dan semakin ke tengah laut, perairan semakin bertambah dalam. Perairan bagian utara yang merupakan wilayah perairan Flores, batimetrinya kasar karena banyak terdapat pulau-pulau, sedangkan pada bagian selatan batimetrinya halus Laut Sawu Gambar 25. Peta 3D batimetri Kabupaten Sikka Berdasarkan Gambar 25 di atas dapat diketahui bahwa daerah pesisir utara Sikka memiliki tingkat resiko yang lebih besar daripada daerah selatan. Hal ini karena pada daerah utara, batimetrinya perairan dekat pantai dalam dan curam. Jika batimetri curam, maka jarak daerah pecah gelombang dengan pesisir akan semakin kecil. Akan tetapi, energi yang dibawa oleh tsunami sangat besar.

94 Akibatnya pada daerah utara, run up tsunami akan semakin besar. Pada daerah selatan batimetrinya cenderung dalam dan landai. Pada daerah yang batimetrinya landai, jarak gelombang pecah dengan pesisir jauh, sehingga dampak kerusakan yang ditimbulkan akan lebih rendah dibandingkan dengan perairan yang curam. Berdasarkan pemetaan di atas dapat diketahui bahwa daerah pesisir utara Sikka lebih rentan terhadap tsunami daripada daerah selatan Ekosistem pesisir alami Kabupaten Sikka Keberadaan ekosistem pesisir merupakan pelindung alami terhadap ancaman gelombang tsunami. Yang termasuk dalam ekosistem pesisir alami adalah mangrove, lamun, dan terumbu karang. Data ekosistem pesisir ini, keseluruhannya diekstrak dari citra seperti yang sudah dijelaskan pada ekstraksi data citra. Ekosistem pesisir di Kabupaten Sikka dapat dilihat pada Gambar 14. Terumbu karang merupakan penghalang pertama di laut terhadap ancaman tsunami. Ekosistem terumbu karang banyak dijumpai di pesisir Kabupaten Sikka. Akan tetapi, ekosistem yang paling dominan adalah karang mati. Ekosistem lamun dan mangrove, meskipun jumlahnya sedikit tapi masih dijumpai di daerah pesisir. Ekosistem ini berperan penting dalam meredam energi gelombang tsunami Dalam kerangka mitigasi tsunami, ekosistem pesisir sering disebut soft structure mitigation Pulau-pulau kecil penghalang Keberadaan pulau penghalang (Gambar 26) terbukti sangat efektif dalam meredam energi gelombang tsunami. Berdasarkan kejadian Tsunami Flores 1992, gelombang datang dari arah barat laut dan dalam waktu tiga menit sudah menghantam pesisir utara Sikka. Daerah yang terhalangi oleh pulau penghalang, mengalami kerusakan yang tidak terlalu parah. Jarak, bentuk, dan ukuran pulau

95 sangat menentukan tingkat resiko tsunami. Sebagai contoh, bencana Tsunami Flores paling parah dialami oleh Pulau Bater yang berjarak lima km dari pesisir utara Flores. Pulau tersebut berbentuk konikal. Bentuk pulau ini menyebabkan gelombang yang datang mengalami refraksi dan difraksi serta terperangkapnya energi gelombang di pulau tersebut (wave trapping) (Diposaptono dan Budiman, 2006). Gambar 26. Peta pulau penghalang 4.5 Analisis spasial tingkat resiko tsunami di Kabupaten Sikka Analisis resiko tsunami merupakan analisis yang penting dalam kerangka mitigasi bencana alam. Karena mitigasi baru akan diambil setelah diketahui tingkat resikonya. Analisis resiko tsunami yang ideal mencakup fungsi sistematis mulai dari mengidentifikasi perilaku alami, lokasi, intensitas, dan kemungkinan berulangnya suatu kejadian bencana, menentukan keberadaan dan tingkat

96 kerentanan, mengidentifikasi tingkat kapasitas dan sumberdaya yang tersedia, serta menentukan tingkat resikonya yang biasanya disajikan dalam bentuk petapeta dan analisis kawasan spesifik (site specific). Kebijakan yang diambil berdasarkan GIS juga banyak diyakini banyak pihak lebih akurat dan tepat sasaran (Diposaptono dan Budiman, 2006). Pada penelitian ini, penulis memetakan secara spasial tingkat resiko tsunami di Kabupaten Sikka dengan metode Cell Based Modeling (CBM). Analisis spasial pada data raster merupakan dasar dari pemodelan spasial berbasis sel. Hal ini karena setiap sel memiliki nilai tertentu, sehingga akan mempermudah dalam analisis spasial. Pemodelan tingkat resiko tsunami dilakukan dengan menspasialkan terlebih dahulu keseluruhan parameter utama yang mempengaruhi resiko tsunami. Setiap parameter utama yang sudah berformat raster, direklasifikasi menjadi kelas kerawanan dan kerentanan. Pengelompokkan setiap parameter tersebut mengikuti operasi zonal function karena setiap parameter akan mengelompok berdasarkan kesamaan nilai sel tersebut. Setelah dikelompokkan, pengkodean sel (calculation) dilakukan secara otomatis oleh perangkat lunak ArcGIS 9.1 menurut selang nilai parameter yang ditentukan. Apabila keseluruhan parameter sudah disiapkan, maka dilakukan proses overlay berdasarkan pembobotan sesuai Tabel 5. Oleh karena itu, overlay yang digunakan dalam penelitian ini adalah overlay dengan sistem pembobotan (weighted overlay). Setelah direklasifikasi jumlah sel untuk setiap parameter disajikan pada Tabel 12.

97 Tabel 12. Jumlah sel per parameter hasil klasifikasi Parameter Jumlah sel Total Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah Elevasi Slope Morfologi Landuse Jarak dari gp Jarak dari sungai Run up tsunami Overlay data raster dilakukan dengan menggunakan fungsi raster calculator pada menu spatial analyst pada perangkat lunak ArcGIS 9.1. Setiap layer parameter akan dikalikan dengan bobotnya masing-masing. Secara matematis, overlay setiap layer parameter dapat ditulis sebagai berikut. [( run up *0,20) ( elevasi*0,15) ( slope*0,15) ( morfometri*0,15) ( landuse*0,10) ( jarak dari garis pantai*0,15) ( jarak dari sungai*0,10)] Setelah proses overlay, akan didapatkan lima kelas tingkat resiko tsunami, yaitu resiko sangat tinggi, resiko tinggi, resiko sedang, resiko rendah dan resiko sangat rendah. Luasan masing-masing kelas resiko ini disajikan pada Tabel 13. Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa luasan daerah resiko sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah berturut-turut adalah 34,04 Ha; 2.733,93 Ha; 3.615,3 Ha; Ha; dan ,6 Ha. Tabel 13. Jumlah sel hasil weighted overlay No Kelas resiko Jumlah sel Luas (Ha) 1 Sangat Tinggi ,04 2 Tinggi ,93 3 Sedang ,3 4 Rendah Sangat Rendah ,6 Total ,9

98 Daerah resiko sangat tinggi terdapat di dua wilayah pesisir utara kecamatan yaitu Kecamatan Alok dan Magepanda. Daerah resiko tinggi terdapat sebagian besar di pesisir utara. Daerah resiko sedang, rendah dan sangat rendah terdapat di sepanjang bagian tengah wilayah utara dan selatan Kabupaten Sikka. Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui luasan daerah resiko sangat tinggi adalah 32,04 Ha dari total luas wilayah Kabupaten Sikka dan luasan resiko tinggi adalah 2.733,93 Ha dari total luas wilayah Kabupaten Sikka. Pada pemodelan spasial daerah resiko tsunami dapat dilihat bahwa pada area di tengah Kabupaten Sikka masih terdapat warna biru yang menunjukkan daerah resiko rendah. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh dari parameter slope, dimana pada daerah Kecamatan Alok sampai Maumere slopenya masih landai. Sehingga area tersebut masih termodelkan sebagai daerah yang beresiko rendah. Hal ini menunjukkan bahwa faktor pembobotan sangat penting kontribusinya dalam memetakan suatu model yang ideal yang sesuai pada tingkat lokal. Peta tingkat resiko tsunami Kabupaten Sikka dapat dilihat pada Gambar 27.

99 Gambar 27. Peta tingkat resiko tsunami Kabupaten Sikka

100 Berdasarkan Gambar 27 juga dapat dilihat bahwa tingkat resiko tsunami di setiap wilayah kecamatannya berbeda-beda. Hal ini sangat tergantung dari tingkat kerentanan yang ada di wilayah tersebut. Tingkat resiko tsunami setiap kecamatan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Tingkat resiko tsunami per kecamatan Kecamatan Persentase tingkat resiko (%) Total (%) Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah Alok Bola Kewapante Lela Magepanda Maumere Mego Nita Paga Talibura Waigete Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa kecamatan yang beresiko paling tinggi terhadap tsunami terdapat pada Kecamatan Alok yaitu sebesar 0,44% dari total luas Kecamatan Alok. Daerah dengan tingkat resiko tinggi yang terbesar terdapat pada Kecamatan Alok juga yaitu sebesar 9,24% dari total luas Kecamatan Alok. Hal ini disebabkan wilayah Kecamatan Alok berada pada elevasi dan slope yang rendah. Dalam rangka mitigasi tsunami, daerah resiko sedang, rendah dan sangat rendah dijadikan sebagai area evakuasi jika terjadi tsunami. Secara visual tingkat persentase resiko tsunami dapat dilihat pada Gambar 28 berikut. Pemetaan resiko per kecamatan dapat dilihat pada Lampiran 6.

101 Gambar 28. Grafik resiko tsunami per kecamatan Untuk melihat tingkat resiko tsunami terhadap berbagai sarana dan prasarana sosial ekonomi masyarakat, dilakukan pemetaan tingkat resiko kerusakan infrastruktur fisik dan ekonomi dengan mengoverlay antara peta resiko dengan data infrastruktur yang ada di Kabupaten Sikka. Hal ini penting dilakukan terkait dengan pentingnya keberadaan sarana prasarana penting guna mendukung aktivitas penduduk. Sarana dan prasarana penting yang dipetakan yaitu pusat listrik, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana peribadatan, sarana ekonomi, pelabuhan dan lapangan udara. Berdasarkan overlay dengan peta infrastruktur dapat diketahui sarana dan prasarana yang berpotensi terkena dampak tsunami (Gambar 29).

102 Gambar 29. Peta resiko infrastruktur terhadap tsunami

103 Berdasarkan Gambar 29 dapat diketahui bahwa sebagian besar infrastruktur penting berada pada daerah beresiko sangat tinggi dan tinggi. Dengan demikian, berdasarkan hasil pemetaan di atas, diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi pengambil kebijakan untuk mengambil upaya dan strategi mitigasi yang sesuai pada daerah yang bersangkutan. Untuk melihat tingkat resiko tsunami terhadap data sosial kependudukan dengan mengoverlay peta resiko tsunami dengan sebaran pemukiman. Sebaran dan kepadatan pemukiman menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi resiko bencana tsunami yang akan terjadi. Pemukiman penduduk menggambarkan tingkat kepadatan penduduk dan sebaran tempat hunian yang akan mempengaruhi tingkat kerugian akibat tsunami baik dari segi kerugian jiwa maupun harta benda. Tingkat resiko penduduk tersebut dapat dilihat pada Gambar 30. Berdasarkan Gambar 30 dapat dilihat bahwa sebagian besar masyarakat tinggal di daerah dekat pantai, daerah yang bertopografi rendah serta kemiringannya landai. Pemukiman penduduk tersebar di keseluruhan wilayah, tetapi kepadatan pemukiman di tiap wilayah berbeda-beda. Kecamatan yang terpadat adalah Kecamatan Alok dengan kepadatan penduduk 761,76 jiwa/km 2. Lalu diikuti dengan kecamatan Kewapante dengan kepadatan penduduk 460,52 jiwa/km 2. Sedangkan kepadatan penduduk terendah terdapat di Kecamatan Talibura yaitu 62,62 jiwa/km 2 (Bappeda Sikka,2006). Oleh karena itu, penduduk yang tinggal di wilayah Kecamatan Alok dan Kewapante memiliki resiko terhadap tsunami yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk di kecamatan lain.

104 Gambar 30. Peta resiko pemukiman terhadap tsunami

105 Secara fisik lingkungan daerah-daerah padat penduduk yang berada dekat dengan pantai, aliran sungai, serta mempunyai elevasi yang rendah, akan sangat rentan terhadap bahaya tsunami. Sehingga tingkat resikonya pun akan semakin besar. Oleh karena itu, dengan mengetahui tingkat kerentanan di setiap wilayah dapat dilakukan prioritas upaya pengurangan resiko bencana secara lebih spesifik untuk masing-masing variabel. Mitigasi dapat dilakukan jika tingkat kerentanan dan resiko tsunami sudah ditentukan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pakar, acuan yang jelas tentang peta resiko tsunami masih sedang dibuat. Selain itu, penulis juga memperoleh informasi bahwa, sekarang ini peta resiko bencana dijadikan dasar untuk semua perencanaan keruangan yang berada di wilayah pesisir. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ataupun Rencana Tata Ruang Detail Kota (RTDK) baik di tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan harus berbasis bencana. Oleh karena itu, kajian mendalam tentang analisis resiko tsunami penting untuk dilakukan di suatu wilayah tertentu Pemodelan resiko tsunami pada run up tsunami 20 meter Pada penelitian ini dilakukan juga pemodelan tingkat resiko tsunami di Kabupaten Sikka dengan menggunakan run up tsunami 20 meter. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya mitigasi terhadap tsunami dengan membuat perkiraan daerah rawan adalah 2 kali run up maksimum yang dicapai saat Tsunami Flores. Perkiraan daerah resiko berdasarkan run up 20 m dapat dilihat pada Gambar 31.

106 Gambar 31. Peta tingkat resiko tsunami pada run up 20 meter

107 Berdasarkan Gambar 31 dapat dilihat bahwa daerah yang beresiko tinggi terhadap tsunami terutama adalah di pesisir utara Kecamatan Alok, Talibura dan Magepanda. Luasan daerah tingkat resiko pun bertambah karena daerah yang rawann semakin luas. Besarnya luasan area per tingkat resiko tsunami dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Luasan wilayah tingkat resiko tsunami pada run up 20 meter No Kelas resiko Jumlah sel Luas (Ha) 1 Sangat Tinggi ,86 2 Tinggi Sedang ,75 4 Rendah ,66 5 Sangat Rendah ,2 Total ,5 Berdasarkan Tabel 15 di atas dapat diketahui bahwa luasan wilayah untuk tiap kelas resiko berbeda-beda. Luasan daerah resiko sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah berturut-turut adalah 553,86 Ha; Ha; 3.993,75 Ha; 7.827,66; dan ,2 Ha. Apabila dibandingkan dengan pemetaan resiko pada run up 10 meter dapat dilihat bahwa luasan daerah resiko tinggi dan sangat tinggi pada run up 20 meter lebih luas daripada run up 10 meter. Secara matematis diketahui bahwa luasan daerah beresiko sangat tinggi dan tinggi pada run up 10 m adalah 1,7086% dari total luas wilayah Kabupaten Sikka. Sedangkan luasan daerah beresiko sangat tinggi dan tinggi pada run up 20 m adalah sebesar 4 % dari total luas wilayah Kabupaten Sikka. Hal ini menunjukkan bahwa luasan daerah yang beresiko tinggi dan sangat tinggi terhadap bahaya tsunami adalah relatif lebih kecil dari total luas wilayah Kabupaten Sikka. Akan tetapi, lokasi kemungkinan kejadian tsunami tersebut

108 berada pada daerah pemukiman padat penduduk dan terdapat banyak infrastruktur penting. Oleh karena itu, pada daerah-daerah yang beresiko tinggi dan sangat tinggi inilah, upaya mitigasi penting untuk diterapkan. Pengembangan mitigasi tsunami yang komprehensif di Kabupaten Sikka dapat dilakukan secara struktural diantaranya yaitu dengan membangun breakwater. Selain itu, dapat juga dilakukan upaya mitigasi non struktural, yaitu salah satunya dengan membuat peta evakuasi terutama pada wilayah-wilayah yang beresiko tinggi dan sangat tinggi terhadap tsunami.

109 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis SIG dengan metode CBM diperoleh bahwa tingkat resiko tsunami di setiap wilayah kecamatan di Kabupaten Sikka berbeda-beda. Daerah resiko sangat tinggi terdapat di dua wilayah pesisir utara kecamatan yaitu Kecamatan Alok dan Magepanda dengan luasan daerah resiko sangat tinggi adalah 32,04 ha dan luasan resiko tinggi adalah 2.733,93 ha. Secara umum dapat diketahui bahwa luasan yang beresiko sangat tinggi dan tinggi terhadap bahaya tsunami adalah relatif lebih kecil (1,7086% pada run up 10 m dan 4% pada run up 20 m) dari total luas wilayah Kabupaten Sikka. Akan tetapi, lokasi kemungkinan kejadian tsunami tersebut berada pada daerah pemukiman padat penduduk sehingga perlu dikembangkan mitigasi tsunami yang komprehensif di Kabupaten Sikka, terutama pada wilayah-wilayah yang beresiko tinggi dan sangat tinggi terhadap tsunami. 5.2 Saran Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini yaitu : 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan memasukan data pemodelan tsunami dengan model pusat gempa tsunami dari arah yang berbeda untuk memetakan daerah resiko tsunami yang lebih detail. 2. Penerapan soft mitigation dan hard mitigation structure penting untuk dilakukan pada daerah yang beresiko tinggi terhadap bahaya tsunami. 3. Perlu dibuat evacuation zone route map dan database bencana alam tsunami sebagai input penting untuk perkembangan daerah berbasis bencana.

110 DAFTAR PUSTAKA Badan Meteorologi dan Geofisika Tsunami. [6 Juni 2007] Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Fasilitasi Rencana Penanggulangan Bencana : Materi 2. Bakornas PB. Jakarta [19 Juni 2007] Bakornas Penanggulangan Bencana Operasionalisasi Program Penanganan Bencana Alam Bidang Penataan Ruang. [19 Juni 2008] Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional Inventarisasi Kerawanan Bencana Alam Wilayah Pesisir dan Laut Indonesia. Bakosurtanal. Cibinong, Bogor. BIOTROP Training and Information Center Training Course on Remote Sensing Satellite Data Processing For Land Feature Mapping and Monitoring. BTIC BIOTROP. Bogor. Diposaptono, S dan Budiman Tsunami. Buku Ilmiah Populer. Bogor. Diposaptono, S Mitigasi Bencana Wilayah Pesisir Berbasis Ekosistem Mangrove. Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil DKP. Jakarta. Earth Observatory Measuring Vegetation : Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). [26 April 2008] Environmental System Research Institute Using ArcGis Spatial Analyst. ESRI Institute, Inc. New York. USA. Environmental System Research Institute Using ArcGis Spatial Analyst. ESRI Institute, Inc. New York. USA. Earth Resource Mapping Inc User Guide : Slope. [8 Agustus 2008]

111 Fauzi Daerah Rawan Gempa Tektonik di Indonesia. [5 Juni 2007] Fauzi dan Wandono Penentuan Episenter Untuk Analisa Resiko Limpasan Tsunami in Penerapan Hasil Riset Untuk Penanggulangan Bencana Tsunami di Indonesia (Sadikin et al. eds). Prosiding Seminar Tsunami dalam Kerangka Research on Tsunami Hazard and Its Effect on Indonesian Coastal Region ( ). BPPT Press. Jakarta. Pp GIS Konsorsium Aceh Nias Modul Pelatihan ArcGIS Tingkat Dasar. Pemerintah Kota Banda Aceh. Nangroe Aceh Darussalam Hajar, M Penentuan Kawasan Rawan Bencana Tsunami di Kota Padang, Sumatera Barat. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Harada, K dan Imamura, F Study on The Evaluation of Tsunami Reducing by Coastal Control Forest for Actual Conditions. Asia and Pasific Coast. Japan Hendratno, A Peta Resiko Limpasan Tsunami Dalam Perbaikan Tata Ruang Pantai in Penerapan Hasil Riset Untuk Penanggulangan Bencana Tsunami di Indonesia (Sadikin et al. eds). Prosiding Seminar Tsunami dalam Kerangka Research on Tsunami Hazard and Its Effect on Indonesian Coastal Region ( ). BPPT Press. Jakarta. Pp Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) Pengenalan Tsunami. [5 Januari 2007] Iida, K Magnitude, Energy And Generation Mechanism Of Tsunami And A Catalogue Of Earthquacke Associated With Tsunami. International Union Geodesy and Geophysics Monograph. 24 : 7-17 ITIC Tsunami Glossary. [12 Februari 2006] Istiyanto, D. C., K. S. Utomo, Suranto dan M. Z. Jauzi Studi Model Fisik Perambatan dan Limpasan Tsunami pada Berbagai Variasi Bentuk Pantai. dalam Penerapan Hasil Riset Untuk Penanggulangan Bencana Tsunami di Indonesia (Sadikin et al. eds). Prosiding Seminar Tsunami dalam Kerangka Research on Tsunami Hazard and Its Effect on

112 Indonesian Coastal Region ( ). BPPT Press. Jakarta. Pp Irfani, M Pola Lansekap di Kawasan Rawan Tsunami in Penerapan Hasil Riset Untuk Penanggulangan Bencana Tsunami di Indonesia (Sadikin et al. eds). Prosiding Seminar Tsunami dalam Kerangka Research on Tsunami Hazard and Its Effect on Indonesian Coastal Region ( ). BPPT Press. Jakarta. Pp Latief Prakiraan Pembangkitan Tsunami Menyusul Kejadian Gempa (Studi Kasus Tsunami Flores 1992) in Penerapan Hasil Riset Untuk Penanggulangan Bencana Tsunami di Indonesia (Sadikin et al. eds). Prosiding Seminar Tsunami dalam Kerangka Research on Tsunami Hazard and Its Effect on Indonesian Coastal Region ( ). BPPT Press. Jakarta. Pp Lillesand, T. M. dan F. W. Kiefer Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Alih Bahasa : Dulbahri, Prapto Suharsono, Hartono, Suharyadi; Sutanto (penyunting). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Meaden, G. J. dan T. D. Chi Geographical information Systems : Application to Marine Fisheries. FAO Fisheries Technical Paper No Rome. Melianawati, B. D Tsunamy Risk Assesment Using Probabilistic Approach and GIS Based SAW Method : Case Study Coastal of Padang, West Sumatera, Indonesia. Graduated School Bogor Agriculture University. Bogor. National Atmospheric and Space Administration (NASA) Landsat 7 Science Data Users Handbook. [6 Agustus 2007] Pasek, I. M. R. S Penentuan Zona Potensial Budidaya Mutiara (Pinctada spp.) dengan Cell Based Modelling : Studi Kasus Perairan Sekotong, Lombok Barat NTB. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Poling, P Sikka Dalam Kenangan 12 Desember 1992 dalam Penerapan Hasil Riset Untuk Penanggulangan Bencana Tsunami di Indonesia (Sadikin et al. eds). Prosiding Seminar Tsunami dalam Kerangka Research on Tsunami Hazard and Its Effect on Indonesian Coastal Region ( ). BPPT Press. Jakarta. Pp 3-14.

113 Prahasta, E Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika. Bandung. Pratikno, W. A Disusun, Tata Ruang Kota Pesisir Rawan Bencana. [7 Januari 2008] Puntodewo, A Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam. Center for International Forestry Research. Bogor. Purwadhi, F.S.H Interpretasi Citra Digital. Gramedia. Jakarta. Puspito, N Indonesia memang Rawan Tsunami. [12 April 2007] Pusat Informasi Riset Bencana Alam Pembuatan Peta Resiko. [14 Oktober 2008] Pusat Riset Teknologi Kelautan Penanganan Abrasi, Erosi dan Tsunami dengan Optimasi Vegetasi. Badan riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Siahaan, F. R Perlu Manajemen Resiko Bencana Tsunami Di Mentawai. [15-31 Mei 2008] Siregar, V., D. Soedharma dan J. L. Gaol Pemetaan Tematik Terumbu Karang dengan Menggunakan Data Landsat TM. Fakultas Perikanan IPB. Bogor. Soegiharto, R Mitigasi Bencana Di Kampung Nelayan : Upaya Sistematis Mengurangi Kerugian Jiwa, Harta Benda dan Kerusakan Lingkungan. [12 April 2007] Susilo, S. B Penginderaan Jauh Kelautan Terapan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. Susilo, S. B. dan J.L. Gaol Dasar-dasar Penginderaan Jauh Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. UNESCO-IOC Tsunami Glossary: IOC Information document No Paris. [26 April 2008]

114 United State Geologyc Survey (USGS) Seamless Shuttle Radar Topography Mission (SRTM). [1 Mei 2007] United State Geologyc Survey (USGS) Data Tsunami. [28 Agustus 2007] Wah NTT Rawan Gempa dan Tsunami. [12 Januari 2007] Yuwono Karakteristik Hidraulik Hutan Bakau dalam Meredam Energi Tsunami. Prosiding Seminar Tsunami dalam Kerangka Research on Tsunami Hazard and Its Effect on Indonesian Coastal Region ( ). BPPT Press. Jakarta. Pp

115 L A M P I R A N

116 Lampiran 1. Posisi pengamatan di lapangan Waypoint Longitude Latitude Elevasi (m)

117 Lampiran 2. Foto-foto hasil survei lapang Pemukiman di laut (Wuring) Jarak rumah <5 m dari garis pantai (Nangahale) Pondasi rumah dari rubble (Nangahale) Ekosistem mangrove (Wuring) Vegetasi pantai di P. Babi (Barier Island) Stasiun Pasut Bakosurtanal di Maumere

118 Lampiran 3. Data run up Tsunami Flores tahun 1992

119

120

121

122

123 Lampiran 4. Root mean square error koreksi Citra Landsat 7/ETM # GCPs for dataset : D:\Processing data\#data\image_2006\citra_2006.ers # Total number of GCPs: 30 # Number turned on : 30 # Warp order : 1 # GCP CORRECTED map projection details: # Map Projection : SUTM51 # Datum : WGS84 # Rotation : # RMS error report: # Warp Type - Polynomial # -----ACTUAL PREDICTED--- # Point Cell-X Cell-Y Cell-X Cell-Y RMS # "1" # "2" # "3" # "4" # "5" # "6" # "7" # "8" # "9" # "10" # "11" # "12" # "13" # "14" # "15" # "16" # "17" # "18" # "19" # "20" # "21" # "22" # "23" # "24" # "25" # "26" # "27" # "28" # "29" # "30" # Average RMS error : # Total RMS error : # End of GCP details

124 Lampiran 5. Hasil analisis statistik Transformasi Lyzenga Means Summary Report Class/Region Band1 Band2 Band3 Band4 Band5 Band6 Band All Darat Laut Varian band 1 = Nilai batas darat laut adalah 23 Varian band 2 = Formula Lyzenga = Covar band 1 2= if band 4 <=23 then log band log band 2 else null a = (var b1-var b2)/(2*cov b1 b2) = ki/kj = a + (a 2 +1) =

125 Lampiran 6. Peta tingkat resiko tsunami per kecamatan

126

127

128 113 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sikka 24 Juli Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Manduli Swa Sengaji, Bc.Ku. dan Ibu Nurhayati Bonda S.Pd.I. Pada tahun 2003 penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menjalani perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan yaitu staf Hubungan Luar dan Komunikasi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (Hublukom HIMITEKA) tahun 2004/2005 dan sebagai staf Pengembangan Sumber Daya Manusia HIMITEKA pada tahun 2005/2006. Pada tahun yang sama, penulis juga menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (BEM FPIK) dan anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan se- Indonesia (HIMITEKINDO). Pada bidang akademis, penulis merupakan asisten luar biasa mata kuliah Ekologi Perairan (2004/2005, 2005/2006 dan 2009), asisten mata kuliah Ekologi Laut Tropis tahun 2007, asisten mata kuliah Oseanografi Umum tahun 2007/2008, asisten mata kuliah Sistem Informasi Geografis tahun 2008/2009. Untuk memperoleh gelar sarjana, penulis menyelesaikan tugas akhirdengan judul Pemetaan Tingkat Resiko Tsunami di Kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis.

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh : Ernawati Sengaji C64103064 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP Lailla Uswatun Khasanah 1), Suwarsito 2), Esti Sarjanti 2) 1) Alumni Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan

Lebih terperinci

Gb 2.5. Mekanisme Tsunami

Gb 2.5. Mekanisme Tsunami TSUNAMI Karakteristik Tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu dari kata tsu dan nami. Tsu berarti pelabuhan dan nami berarti gelombang. Istilah tersebut kemudian dipakai oleh masyarakat untuk menunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Konsekuensi tumbukkan lempeng tersebut mengakibatkan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA, NUSA TENGGARA TIMUR (TSUNAMI RISK LEVEL MAPPING IN SIKKA COUNTY, EAST NUSA TENGGARA)

PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA, NUSA TENGGARA TIMUR (TSUNAMI RISK LEVEL MAPPING IN SIKKA COUNTY, EAST NUSA TENGGARA) E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.1, No.1, Hal. 48-61, Juni 2009 PEMETAAN TINGKAT RESIKO TSUNAMI DI KABUPATEN SIKKA, NUSA TENGGARA TIMUR (TSUNAMI RISK LEVEL MAPPING IN SIKKA COUNTY, EAST

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian berada di kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan Lhoknga mempunyai 4 (empat)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng/kulit bumi aktif yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian utara dan Lempeng Pasifik

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah Indonesia merupakan salah satu negara dengan kondisi geologis yang secara tektonik sangat labil karena dikelilingi oleh Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia

Lebih terperinci

Penyebab Tsunami BAB I PENDAHULUAN

Penyebab Tsunami BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana adalah peristiwa/rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor

Lebih terperinci

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT YUNITA SULISTRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang ada di dalamnya. Indonesia

Lebih terperinci

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu 364 Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu Rahmad Aperus 1,*, Dwi Pujiastuti 1, Rachmad Billyanto 2 Jurusan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan dengan tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah penduduk lebih

Lebih terperinci

ANALISIS PROBABILITAS GEMPABUMI DAERAH BALI DENGAN DISTRIBUSI POISSON

ANALISIS PROBABILITAS GEMPABUMI DAERAH BALI DENGAN DISTRIBUSI POISSON ANALISIS PROBABILITAS GEMPABUMI DAERAH BALI DENGAN DISTRIBUSI POISSON Hapsoro Agung Nugroho Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar soro_dnp@yahoo.co.id ABSTRACT Bali is located on the boundaries of the two

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM TSUNAMI BAGI KOMUNITAS SDN 1 LENDAH KULON PROGO. Oleh: Yusman Wiyatmo ABSTRAK

MITIGASI BENCANA ALAM TSUNAMI BAGI KOMUNITAS SDN 1 LENDAH KULON PROGO. Oleh: Yusman Wiyatmo ABSTRAK MITIGASI BENCANA ALAM TSUNAMI BAGI KOMUNITAS SDN 1 LENDAH KULON PROGO Oleh: Yusman Wiyatmo Jurdik Fisika FMIPA UNY, yusmanwiyatmo@yahoo.com, HP: 08122778263 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengetahui

Lebih terperinci

KETENTUAN PERANCANGAN KAWASAN PESISIR SEBAGAI MITIGASI TSUNAMI (Studi Kasus: Kelurahan Weri-Kota Larantuka-Kab. Flotim-NTT) TUGAS AKHIR

KETENTUAN PERANCANGAN KAWASAN PESISIR SEBAGAI MITIGASI TSUNAMI (Studi Kasus: Kelurahan Weri-Kota Larantuka-Kab. Flotim-NTT) TUGAS AKHIR KETENTUAN PERANCANGAN KAWASAN PESISIR SEBAGAI MITIGASI TSUNAMI (Studi Kasus: Kelurahan Weri-Kota Larantuka-Kab. Flotim-NTT) TUGAS AKHIR Oleh: GRASIA DWI HANDAYANI L2D 306 009 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersumber dari ledakan besar gunung berapi atau gempa vulkanik, tanah longsor, atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersumber dari ledakan besar gunung berapi atau gempa vulkanik, tanah longsor, atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tsunami Tsunami biasanya berhubungan dengan gempa bumi. Gempa bumi ini merupakan proses terjadinya getaran tanah yang merupakan akibat dari sebuah gelombang elastis yang menjalar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bencana 1. Pengertian Bencana Menurut UU No.24/2007 tentang penanggulangan bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

tektonik utama yaitu Lempeng Eurasia di sebelah Utara, Lempeng Pasifik di

tektonik utama yaitu Lempeng Eurasia di sebelah Utara, Lempeng Pasifik di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan suatu wilayah yang sangat aktif kegempaannya. Hal ini disebabkan oleh letak Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama yaitu

Lebih terperinci

PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS. Bayu Baskara

PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS. Bayu Baskara PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS Bayu Baskara ABSTRAK Bali merupakan salah satu daerah rawan bencana gempa bumi dan tsunami karena berada di wilayah pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik),

BAB I PENDAHULUAN. dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis, posisi Indonesia yang dikelilingi oleh ring of fire dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik), lempeng eura-asia

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

Uji Kerawanan Terhadap Tsunami Dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) Di Pesisir Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta

Uji Kerawanan Terhadap Tsunami Dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) Di Pesisir Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta ISSN 0853-7291 Uji Kerawanan Terhadap Tsunami Dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) Di Pesisir Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta Petrus Subardjo dan Raden Ario* Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Ring of fire ini yang menjelaskan adanya

BAB 1 : PENDAHULUAN. bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Ring of fire ini yang menjelaskan adanya BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang tergolong rawan terhadap kejadian bencana alam, hal tersebut berhubungan dengan letak geografis Indonesia yang terletak di antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang dilewati oleh dua jalur pegunungan muda dunia sekaligus, yakni pegunungan muda Sirkum Pasifik dan pegunungan

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN 16/09/2012 DATA Data adalah komponen yang amat penting dalam GIS SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN Kelas Agrotreknologi (2 0 sks) Dwi Priyo Ariyanto Data geografik dan tabulasi data yang berhubungan akan

Lebih terperinci

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*)

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*) POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA Oleh : Hendro Murtianto*) Abstrak Aktivitas zona patahan Sumatera bagian tengah patut mendapatkan perhatian,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN 1950-2013 Samodra, S.B. & Chandra, V. R. Diterima tanggal : 15 November 2013 Abstrak Pulau Sumatera dan Pulau Jawa merupakan tempat yang sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Barat memiliki garis pantai sepanjang lebih kurang 375 km, berupa dataran rendah sebagai bagian dari gugus kepulauan busur muka. Perairan barat Sumatera memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Lempeng Euro-Asia dibagian Utara, Lempeng Indo-Australia. dibagian Selatan dan Lempeng Samudera Pasifik dibagian Timur.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Lempeng Euro-Asia dibagian Utara, Lempeng Indo-Australia. dibagian Selatan dan Lempeng Samudera Pasifik dibagian Timur. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepulauan Indonesia secara astronomis terletak pada titik koordinat 6 LU - 11 LS 95 BT - 141 BT dan merupakan Negara kepulauan yang terletak pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan Indonesia tersebar sepanjang nusantara mulai ujung barat Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, tertib dan teratur, nyaman dan efisien,

Lebih terperinci

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN Informasi geografis merupakan informasi kenampakan permukaan bumi. Sehingga informasi tersebut mengandung unsur posisi geografis, hubungan keruangan, atribut

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki wilayah yang luas dan terletak di garis khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera, berada dalam

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA Oleh Riza Aitiando Pasaribu C64103058 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara dimana terdapat pertemuan 3 lempeng tektonik utama bumi. Lempeng tersebut meliputi lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

MELIHAT POTENSI SUMBER GEMPABUMI DAN TSUNAMI ACEH

MELIHAT POTENSI SUMBER GEMPABUMI DAN TSUNAMI ACEH MELIHAT POTENSI SUMBER GEMPABUMI DAN TSUNAMI ACEH Oleh Abdi Jihad dan Vrieslend Haris Banyunegoro PMG Stasiun Geofisika Mata Ie Banda Aceh disampaikan dalam Workshop II Tsunami Drill Aceh 2017 Ditinjau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara

Lebih terperinci

VISUALISASI PENJALARAN GELOMBANG TSUNAMI DI KABUPATEN PESISIR SELATAN SUMATERA BARAT

VISUALISASI PENJALARAN GELOMBANG TSUNAMI DI KABUPATEN PESISIR SELATAN SUMATERA BARAT VISUALISASI PENJALARAN GELOMBANG TSUNAMI DI KABUPATEN PESISIR SELATAN SUMATERA BARAT Dwi Pujiastuti Jurusan Fisika Universita Andalas Dwi_Pujiastuti@yahoo.com ABSTRAK Penelitian ini difokuskan untuk melihat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENANGANAN KAWASAN BENCANA ALAM DI PANTAI SELATAN JAWA TENGAH Totok Gunawan dkk Balitbang Prov. Jateng bekerjasama dengan Fakultas Gegrafi UGM Jl. Imam Bonjol 190 Semarang RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang subduksi Gempabumi Bengkulu 12 September 2007 magnitud gempa utama 8.5

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang subduksi Gempabumi Bengkulu 12 September 2007 magnitud gempa utama 8.5 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan antara lempeng Australia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng Australia dan lempeng Pasifik merupakan jenis lempeng samudera dan bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permukaan Bumi mempunyai beberapa bentuk yaitu datar, berbukit. atau bergelombang sampai bergunung. Proses pembentukan bumi melalui

BAB I PENDAHULUAN. Permukaan Bumi mempunyai beberapa bentuk yaitu datar, berbukit. atau bergelombang sampai bergunung. Proses pembentukan bumi melalui 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Permukaan Bumi mempunyai beberapa bentuk yaitu datar, berbukit atau bergelombang sampai bergunung. Proses pembentukan bumi melalui berbagai proses dalam waktu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia terletak di Pacific ring of fire atau cincin api Pasifik yang wilayahnya terbentang di khatulistiwa dan secara geologis terletak pada pertemuan tiga lempeng

Lebih terperinci

Kondisi Kestabilan dan Konsistensi Rencana Evakuasi (Evacuation Plan) Pendekatan Geografi

Kondisi Kestabilan dan Konsistensi Rencana Evakuasi (Evacuation Plan) Pendekatan Geografi DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... i PERNYATAAN... ii PRAKATA... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix INTISARI... xii ABSTRACT... xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 1. 1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terletak di wilayah pantai dan pesisir Pangandaran Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Batas koordinat wilayah penelitian berada pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di ring of fire (Rokhis, 2014). Hal ini berpengaruh terhadap aspek geografis, geologis dan klimatologis. Indonesia

Lebih terperinci

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20 Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-2 IV.7 Gelombang Menabrak Suatu Struktur Vertikal Pemodelan dilakukan untuk melihat perilaku gelombang ketika menabrak suatu struktur vertikal. Suatu saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia (Irsyam dkk, 2010). P. Lombok

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia (Irsyam dkk, 2010). P. Lombok 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempabumi sangat sering terjadi di daerah sekitar pertemuan lempeng, dalam hal ini antara lempeng benua dan lempeng samudra akibat dari tumbukan antar lempeng tersebut.

Lebih terperinci

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA Oleh 1207055018 Nur Aini 1207055040 Nur Kholifah ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS MULAWARMAN

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI Oleh : Lili Somantri Abstrak Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana, baik karena faktor alam maupun karena

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Arif Roziqin 1 dan Oktavianto Gustin 2 Program Studi Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam, Batam 29461 E-mail : arifroziqin@polibatam.ac.id

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gempa bumi sebagai suatu kekuatan alam terbukti telah menimbulkan bencana yang sangat besar dan merugikan. Gempa bumi pada skala kekuatan yang sangat kuat dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian I.2. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian I.2. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Hubungan Persebaran Episenter Gempa Dangkal dan Kelurusan Berdasarkan Digital Elevation Model di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta I.2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana alam agar terjamin keselamatan dan kenyamanannya. Beberapa bentuk

BAB I PENDAHULUAN. bencana alam agar terjamin keselamatan dan kenyamanannya. Beberapa bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia, baik kerugian harta benda maupun korban jiwa. Hal ini mendorong masyarakat disekitar bencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan

Lebih terperinci

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Jalur tektonik di Indonesia (Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2015)

Gambar 1.1 Jalur tektonik di Indonesia (Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2015) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di antara pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasific. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Australia dan Lempeng Pasifik (gambar 1.1). Pertemuan dan pergerakan 3

BAB I PENDAHULUAN. Australia dan Lempeng Pasifik (gambar 1.1). Pertemuan dan pergerakan 3 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dipaparkan : (a) latar belakang, (b) perumusan masalah, (c) tujuan penelitian, (d) manfaat penelitian, (e) ruang lingkup penelitian dan (f) sistematika penulisan. 1.1. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api merupakan refleksi fenomena

BAB I PENDAHULUAN. Gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api merupakan refleksi fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api merupakan refleksi fenomena alam yang secara geografis sangat khas untuk wilayah tanah air Indonensia. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki potensi bencana alam yang tinggi. Jika dilihat secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang berada pada pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di sepanjang pesisir barat pulau Sumatera bagian tengah. Provinsi ini memiliki dataran seluas

Lebih terperinci

Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan.

Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan. 1.1 Apakah Gempa Itu? Gempa atau gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada lokasi tertentu pada permukaan bumi, dan sifatnya tidak berkelanjutan. Getaran tersebut disebabkan oleh pergerakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

C I N I A. Pemetaan Kerentanan Tsunami Kabupaten Lumajang Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Dosen, FTSP, Teknik Geofisika, ITS 5

C I N I A. Pemetaan Kerentanan Tsunami Kabupaten Lumajang Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Dosen, FTSP, Teknik Geofisika, ITS 5 C I N I A The 2 nd Conference on Innovation and Industrial Applications (CINIA 2016) Pemetaan Kerentanan Tsunami Kabupaten Lumajang Menggunakan Sistem Informasi Geografis Amien Widodo 1, Dwa Desa Warnana

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG Oleh : Yofri Furqani Hakim, ST. Ir. Edwin Hendrayana Kardiman, SE. Budi Santoso Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa,

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan sebuah fenomena yang dapat dijelaskan sebagai volume air yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa, termasuk genangan

Lebih terperinci

Kata kunci : Tsunami, Tsunami Travel Time (TTT), waktu tiba, Tide Gauge

Kata kunci : Tsunami, Tsunami Travel Time (TTT), waktu tiba, Tide Gauge Analisis Penjalaran dan Ketinggian Gelombang Tsunami Akibat Gempa Bumi di Perairan Barat Sumatera dengan Menggunakan Software Tsunami Travel Time (TTT) Retno Juanita M0208050 Jurusan Fisika FMIPA, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT BAHAYA TSUNAMI DI DESA ULEE LHEUE KECAMATAN MEURAXA KOTA BANDA ACEH

ANALISIS TINGKAT BAHAYA TSUNAMI DI DESA ULEE LHEUE KECAMATAN MEURAXA KOTA BANDA ACEH ANALISIS TINGKAT BAHAYA TSUNAMI DI DESA ULEE LHEUE KECAMATAN MEURAXA KOTA BANDA ACEH Siti Nidia Isnin Dosen Program Studi Geografi FKIP Universitas Almuslim ABSTRAK Tsunami yang terjadi di Aceh pada 26

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia termasuk daerah yang rawan terjadi gempabumi karena berada pada pertemuan tiga lempeng, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Aktivitas kegempaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT -

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT - 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai suatu negara kepulauan yang mempunyai banyak sekali gunungapi yang berderet sepanjang 7000 kilometer, mulai dari Sumatera, Jawa,

Lebih terperinci

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Oleh : Linda Ardi Oktareni Pembimbing : Prof. DR. Ir Bangun M.S. DEA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Studi Daerah yang menjadi objek dalam penulisan Tugas Akhir ini adalah pesisir Kecamatan Muara Gembong yang terletak di kawasan pantai utara Jawa Barat. Posisi geografisnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

PENYEBAB TERJADINYA TSUNAMI

PENYEBAB TERJADINYA TSUNAMI Pengenalan Tsunami APAKAH TSUNAMI ITU? Tsunami adalah rangkaian gelombang laut yang mampu menjalar dengan kecepatan hingga lebih 900 km per jam, terutama diakibatkan oleh gempabumi yang terjadi di dasar

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin jelas dengan disahkannya peraturan pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2007 berupa PP No 64 Tahun 2010 tentan

di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin jelas dengan disahkannya peraturan pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2007 berupa PP No 64 Tahun 2010 tentan Gempa bumi, tsunami, erosi, banjir, gelombang ekstrem dan kenaikan paras muka air laut adalah ancaman wilayah pesisir. Tapi tidak berarti hidup di negara kepulauan pasti menjadi korban bencana.. Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Posisi Indonesia dalam Kawasan Bencana

BAB I PENDAHULUAN Posisi Indonesia dalam Kawasan Bencana Kuliah ke 1 PERENCANAAN KOTA BERBASIS MITIGASI BENCANA TPL 410-2 SKS DR. Ir. Ken Martina K, MT. BAB I PENDAHULUAN Bencana menjadi bagian dari kehidupan manusia di dunia, sebagai salah satu permasalahan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Weh yang berada di barat laut Aceh merupakan pulau kecil yang rentan akan bencana seperti gempabumi yang dapat diikuti dengan tsunami, karena pulau ini berada pada

Lebih terperinci

Apa itu Tsunami? Tsu = pelabuhan Nami = gelombang (bahasa Jepang)

Apa itu Tsunami? Tsu = pelabuhan Nami = gelombang (bahasa Jepang) Bahaya Tsunami Apa itu Tsunami? Tsu = pelabuhan Nami = gelombang (bahasa Jepang) Tsunami adalah serangkaian gelombang yang umumnya diakibatkan oleh perubahan vertikal dasar laut karena gempa di bawah atau

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Indonesia terletak pada zona subduksi (http://ramadhan90.wordpress.com/2011/03/17/lempeng-tektonik/)

Gambar 1.1. Indonesia terletak pada zona subduksi (http://ramadhan90.wordpress.com/2011/03/17/lempeng-tektonik/) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia terletak pada batas pertemuan tiga lempeng tektonik bumi (triple junction plate convergence) yang sangat aktif sehingga Indonesia merupakan daerah yang sangat

Lebih terperinci