BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN"

Transkripsi

1 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Mengacu pada diskusi pada bab sebelumnya, dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: Kesimpulan Pertama, Nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Bugis secara umum tertuang dalam konsep siri na pesse yang meliputi nilai siri (harga diri), nilai were (nasib), dan nilai pesse (solidaritas). Walaupun banyak terpengaruh oleh aspek modernisasi dan globalisasi, pola hidup masyarakat Bugis tetap terikat oleh nilai-nilai sosiokultural yang dipahami dalam membentuk lingkungan binaannya. Nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Bugis ternyata masih eksis dan berperan dalam pembentukan kota Makassar. Manifestasi keberadaan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Bugis dalam wujud kotanya, menjadi dasar terbentuknya konsep wujud kota yang berbasis budaya, yaitu konsep wujud kota yang mencerminkan identitas budaya Bugis yang meliputi nilai siri, were, dan pesse. Konsep tersebut lahir secara alami, terbentuk dari perpaduan antara prinsip dan gaya hidup serta aktifitas masyarakat sehari-hari sesuai nilai-nilai sosio-kultural, dan kondisi lingkungan binaannya. Konsep wujud kota berbasis budaya pada masyarakat Bugis meliputi tiga unsur, yaitu: Konsep wujud kota berbasis siri merupakan wujud pembentukan kota sebagai manifestasi ekspresi eksistensi diri masyarakat Bugis, baik secara individu maupun kelompok, dalam upaya menjaga perilaku dan penampilan hasil karyanya berdasarkan aturan atau norma-norma yang dipahami. Konsep wujud kota berbasis were merupakan pembentukan kota sebagai manifestasi ekspresi eksistensi diri masyarakat Bugis baik secara individu maupun kelompok, yang diwujudkan melalui ikhtiar yang tinggi dalam memperbaiki nasib atau kualitas hidupnya melalui berbagai usaha, terutama sektor perdagangan dan bisnis lainnya. Konsep wujud kota berbasis pesse merupakan pembentukan kota sebagai 437

2 manifestasi ekspresi kekerabatan (solidaritas) masyarakat Bugis baik secara individu maupun kelompok, dalam upaya membentuk hubungan sesama manusia dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi melalui perinsip sipakatau, sipakalebbi, dan sipammase-mase. Kesimpulan Kedua, Berdasarkan pada kajian nilai siri, were, dan pesse yang dipahami masyarakat Bugis serta implikasinya dalam wujud lingkungan binaan, akhirnya ditemukan beberapa aturan dasar sebagai konsekuensi nilai yang meruang. Aturan dasar yang berbasis nilai siri meliputi: pemanfaatan (fungsi) ruang, pusat kota, pola jaringan jalan, orientasi bangunan, dan bentuk bangunan arsitektur tradisional. Aturan dasar yang berbasis nilai were berupa bentuk bangunan komersil. Aturan dasar yang berbasis nilai pesse meliputi: tata letak bangunan, bentuk bangunan, dan pola ruang terbuka. Dapat dikemukakan bahwa kota yang bisa mewadahi kebutuhan sosio-kultural masyarakat Bugis adalah sebuah kota yang elemenelemen wujud kotanya mencerminkan beberapa aturan dasar sebagai implikasi dari nilai siri, were, dan pesse. Elemen pembentukan kota yang mencerminkan aturan dasar Bugis dapat dirangkum dalam enam aspek: Satu, Pola pemanfaatan ruang kota yang dapat memenuhi tuntutan kegiatan masyarakat Bugis, terutama ketersediaan lahan permukiman (hunian), lahan perairan, dan lahan yang menunjang perekonomian kota. Konsep pemanfaatan ruang tersebut sangat terkait dengan kepatuhan masyarakat Bugis pada norma/aturan adat yang dipahami sebagai cerminan nilai siri. Pembentukan kota berasal dari perpaduan antara beberapa unit kawasan permukiman sebagai cerminan nilai pesse yang mengandung makna kekerabatan dan persaudaraan yang tinggi. Sistem pusat kota berupa pusat pemerintahan dan beberapa fasilitas sosial ekonomi yang ditandai dengan adanya ruang terbuka sebagai cerminan nilai siri dan nilai pesse. Dua, Pola jalan kota yang berbentuk kisi persegi panjang. Pola jalan ini pada awalnya terbentuk secara linier yang melalui pusat permukiman, kemudian terbentuk beberapa pola jalan pembagi yang diikuti oleh terbentuknya jalan yang paralel dengan jalan linier sebelumnya. Pola jalan tersebut cenderung terjadi 438

3 secara berulang dan pada akhirnya terbentuk pola jalan kisi persegi panjang sebagai pembentuk struktur kota. Pembentukan pola jalan tersebut, di samping mengadopsi filosofi sulapa eppa wolasuji sebagai cerminan nilai siri yang dipahami, juga berdasar pada pembentukan jalur jalan yang saling terhubung (interconected) sebagai cerminan nilai pesse. Tiga, Orientasi bangunan pada kota Bugis meliputi arah Barat - Timur dan arah Utara Selatan, yang mengandung makna keseimbangan antara aspek kehidupan dan aspek ibadah kepada Tuhan, sebagai cerminan nilai siri. Di samping itu, khusus bangunan yang terletak di pinggir perairan luas seperti laut, cenderung menghadap ke perairan tersebut. Masyarakat Bugis memandang laut sebagai potensi alam yang banyak memberi peran dan manfaat dalam kehidupannya. Empat, Bentuk bangunan yang mencerminkan wujud arsitektur tradisional Bugis. Pola dasar bangunan mencerminkan filosofi sulapa eppa wolasuji baik secara vertikal (bentuk panggung) maupun secara horizontal (pola ruang berbentuk segi empat) sebagai cerminan nilai siri. Setiap bangunan yang dihasilkan, cenderung diwujudkan dengan bentuk yang baik dan menarik sebagai simbol harga diri. Di samping itu, bentuk bangunan rumah cenderung berbentuk massa tunggal yang dilengkapi dengan lego-lego (teras) dan bentuk rumah yang berdasar pada tata ruang dalam, sebagai cerminan nilai pesse. Selanjutnya, terbentuk beberapa bangunan produktif yaitu fungsi bangunan hunian yang terpadu dengan fungsi usaha yang cenderung terdistribusi pada kawasan perdagangan dan di sepanjang jalan utama sebagai cerminan nilai were. Lima, Tata letak bangunan yang berdasar pada tata letak rumah tradisional Bugis sebagai cerminan nilai pesse yaitu: tata letak bangunan rumah yang cenderung berdampingan/berdekatan dengan rumah kerabat (terutama orang tua), tata letak bangunan rumah yang terkait dengan rumah tetangganya, tata letak bangunan yang terletak di tengah persil yang dilengkapi dengan pembatas halaman yang berkesan terbuka. Enam, Pola ruang terbuka pada kota yang dibangun oleh masyarakat Bugis, di samping terdapat di tengah kota sebagai fungsi pusat permukiman dan fasilitas sosial, juga terdapat pada sepanjang pesisir perairan yang berfungsi sebagai fasilitas rekreasi. Pembentukan ruang terbuka merupakan cerminan nilai pesse. 439

4 Aturan-aturan dasar tersebut di atas dapat dijadikan sebagai pegangan dalam kegiatan perancangan kota serta dapat berperan dalam menegaskan karakter dan identitas rancangan kota-kota yang dibangun oleh masyarakat Bugis. Hal tersebut dapat menjadi arahan kepada pihak penentu kebijakan dalam menetapkan karakter khas rancangan kota-kota yang diperuntukan pada masyarakat Bugis. Kesimpulan Ketiga, Berdasar pada aplikasi aturan dasar, peranan nilai-nilai sosio-kultural Bugis dalam pembentukan kota Makassar memperlihatkan empat pola yang dikategorikan sebagai berikut: Kategori I = Peranannya tergolong kurang terlihat lagi di seluruh kawasan studi, karena aturan dasar yang dilihat telah mengalami banyak perubahan, yang meliputi: Satu, pemanfaatan ruang kota sebagai implikasi nilai siri telah mengalami perkembangan yang cenderung semakin kompleks pada saat ini. Dua, pusat kota Makassar sebagai implikasi nilai siri yang terbentuk sejak masa kolonial menjadi kurang berperan lagi saat ini disebabkan oleh: perkembangan kota yang semakin tidak konsentris, terbentuknya sub-sub pusat kota yang kurang terkait dengan pusat kota, perubahan fungsi ruang serta berpindahnya fungsi strategis, dan pusat kota kurang menyajikan fasilitas publik yang menarik. Kategori II = Peranannya tergolong masih terlihat di seluruh kawasan studi, tetapi aturan dasar yang dilihat sudah mulai mengalami beberapa perubahan, yang meliputi: Satu, tata letak bangunan sebagai implikasi nilai pesse berupa penerapan tata letak bangunan di tengah persil yang dilengkapi dengan pembatas halaman yang berkesan terbuka, kurang terlihat lagi secara dominan saat ini. Hal ini terkait dengan gejala perkembangan perkotaan terutama menyangkut keterbatasan lahan kota. Tata letak bangunan di kota Makassar bervariasi antara: tata letak bangunan yang masih memperhatikan kekerabatan dan yang kurang memperhatikan kekerabatan. Tata letak bangunan yang memperhatikan 440

5 kekerabatan sebagai cerminan nilai pesse terutama terlihat pada daerah yang dominan dihuni masyarakat Bugis, seperti tata letak rumah yang cenderung berdampingan kerabat dan tata letak rumah yang terkait dengan rumah-rumah tetangganya. Sedangkan tata letak bangunan yang kurang memperhatikan kekerabatan cenderung terjadi pada daerah pusat kota atau pusat bisnis. Dua, ruang terbuka sebagai implikasi nilai pesse, dimana fungsi ruang terbuka yang sangat berperan sebagai fasilitas sosial dan pembentuk pusat kota, kini cenderung bergeser ke fungsi komersil. Demikian pula beberapa ruang terbuka pinggir laut yang menjadi area rekreasi cenderung hilang akibat desakan berbagai pembangunan fisik di sekitar area pantai. Kategori III = Peranannya sangat terlihat, karena aturan dasar yang dilihat diterapkan secara meluas di seluruh kawasan studi, yang meliputi: Satu, pola jaringan jalan dengan bentuk kisi persegi panjang sebagai implikasi nilai siri, sangat tercermin pada pola jaringan jalan di kota Makassar. Hanya saja bentuk jalan kisi yang ada sebagian kurang teratur dibandingkan dengan yang diterapkan pada daerah lain yang lebih maju. Hal ini disebabkan oleh pengaruh: bentuk kota, belum adanya rancangan kota pasca kolonial saat itu, pengetahuan masyarakat/pemerintah masih terbatas pada saat itu, dan pembentukan kota yang berasal dari kampung yang tumbuh secara organis. Dua, bentuk rumah yang menggunakan konsep rumah produktif dan bangunan perdagangan yang berbentuk ruko cenderung berkembang pesat tidak hanya di kawasan studi, tapi meluas di wilayah Kota Makassar sebagai implikasi nilai were. Fasilitas komersil yang berkembang, cenderung terdistribusi pada area pusat perbelanjaan dan sepanjang jalur jalan utama. Sejak dahulu masyarakat Bugis cenderung menempatkan bangunan usaha pada daerah tersebut yang didorong oleh motivasi bisnis yang kuat berdasarkan nilai were. Kategori IV = Peranannya sangat terlihat, tetapi penerapan aturan dasar hanya dominan pada daerah-daerah tertentu saja dalam kawasan studi, yang meliputi: Satu, orientasi bangunan cenderung sesuai arah mata angin sebagai implikasi nilai siri. Orientasi bangunan yang dipahami masyarakat Bugis tersebut berperan sebagai pembentuk linkage kawasan. Gejala ketidaksesuaian arah 441

6 orientasi beberapa bangunan kota Makassar disebabkan oleh faktor: teknis pelaksanaan, paradigma pembangunan yang mengikuti jalan, heterogenitas masyarakat, dan faktor perkembangan masyarakat kota. Di samping itu, juga dipertegas bahwa masyarakat Bugis memahami bahwa bangunan yang terletak di pinggir perairan sebaiknya berorientasi ke arah perairan sebagai implikasi nilai siri. Beberapa bangunan yang sebelumnya berorientasi ke arah laut, kini tidak menghadap laut lagi akibat beberapa perkembangan kota seperti: pembangunan fasilitas perbelanjaan di Jl. Pasar Ikan yang membelakangi laut, pembangunan kawasan pelabuhan Soekarno-Hatta dan Paotere menghalangi bangunan sekitarnya yang menghadap ke laut, dan beberapa kawasan sempadan laut yang dijadikan lahan perumahan. Dua, bentuk bangunan Bugis yang berbentuk panggung dengan pola sesuai folosofi sulapa eppa, dan dengan bentuk atap pelana yang dilengkapi dengan penutup atap berupa timpa laja ; merupakan cerminan dari nilai siri. Masyarakat Bugis mewujudkan karakternya yang suka menghasilkan karya yang baik dan menarik sebagai cerminan nilai siri melalui wujud penampilan bangunan yang dilengkapi dengan beberapa ornamen seperti: ornamen tangga, ornamen jendela, ornamen atap (anjong), dan ornamen balkon. Tiga, bentuk bangunan rumah Bugis berupa rumah tunggal yang memiliki lego-lego (teras) di bagian depan maupun samping/belakang. Bentuk bangunan rumah tersebut berdasar pada tata ruang dalam sebagai implikasi nilai pesse. Searah dengan perkembangan kota, bentuk tersebut juga telah mengalami banyak perubahan saat ini. Peranan dari nilai-nilai sosio-kultural terhadap bentuk-bentuk bangunan Bugis tersebut dominan masih terlihat pada daerah bagian Utara kota khususnya di Kecamatan Ujung Tanah dan bagian Utara Kecamatan Wajo. Namun demikian pada daerah lainnya terutama di pusat kota, kurang diterapkan lagi akibat pengaruh perkembangan kota. Kesimpulan Keempat, Perkembangan fisik kota mengacu pada pola perkembangan kehidupan solidaritas masyarakat dari solidaritas mekanis ke solidaritas organis. Hal ini terungkap 442

7 dalam teori logika ruang (Hillier and Hanson, 1994). Teori yang melihat hubungan antara konfigurasi ruang dengan interaksi sosial tersebut mengacu pada teori solidaritas yang dikemukakan oleh Durkheim. Kehidupan solidaritas mekanis yang ditandai dengan kerukunan masyarakat berdasarkan kesamaan keyakinan yang kuat akan berimplikasi pada pembentukan wujud ruang yang terintegrasi secara spasial. Perkembangan kehidupan solidaritas organis yang ditandai oleh terbentuknya hubungan eksternal yang membuat saling ketergantungan masyarakat, akan berimplikasi pada pembentukan wujud ruang yang bersifat trans-spasial. Gejala perkembangan kehidupan masyarakat tersebut yang menurut Durkheim akan berkembang terus di era pasca modern, akan berpengaruh terhadap perkembangan wujud kota. Selanjutnya, lebih spesifik lagi Bill Hillier mengkaji keterhubungan antara struktur ruang kota dengan perilaku sosial khususnya tentang pergerakan alami dan ekonomi di dalam ruang kota. Studi ini mengacu pada hubungan antara wujud kota (city form) dan perilaku sosial yang tercermin dalam budaya meruang (spatial culture) (Hillier, 1996). Kedua kajian struktur ruang kota tersebut pada dasarnya mengemukakan bahwa wujud kota akan berkembang terus sesuai perkembangan perilaku sosial masyarakat. Eksistensi masyarakat yang berpengaruh terhadap wujud ruang kota cenderung dilihat secara seragam, yang seharusnya berbeda sesuai budaya yang dipahami. Di samping itu, kajian tersebut mencerminkan perilaku budaya masyarakat Eropa seperti kurangnya kebersamaan dalam pergerakan orang dewasa dan anak-anak. Dengan demikian kajian tersebut lebih berfokus pada dimensi sosial dari pada dimensi kultural yang dapat mencerminkan karakter masyarakat dalam membentuk wujud perkotaan seperti yang telah diungkapkan Rapoport (1977, 1983, 1986, 2005), Altman & Chemers (1984), Ronald (2005), Chapin (1965), Catanese (1995), dan Santoso (2008). Kajian di atas sangat berbeda dengan kajian nilai-nilai sosio-kultural Bugis dalam kaitannya dengan pembentukan kota Makassar. Kajian wujud ruang kota seyogyanya dilihat dalam aspek budaya secara spesifik yang dipahami masyarakat. Masyarakat Bugis memandang penting arti kebersamaan dalam kehidupannya sesuai nilai-nilai sosio-kuluralnya seperti sipakatau, sipakalebbi, sipammase-mase, dan siwolong-polong. Walaupun masyarakat Bugis telah 443

8 mengalami perubahan hidup seperti terlihat pada terbentuknya wujud ruang kota secara trans-spatial, akan tetapi dalam pembentukan elemen kotanya masih terlihat beberapa dimensi budaya sebagai implikasi dari nilai-nilai sosiokulturalnya. Dalam hal ini pembentukan kota Makassar menunjukkan konsep wujud kota yang berbasis nilai siri, were, dan pesse. Oleh karena itu, kajian ini akan memberikan kontribusi pengembangan terhadap teori logika ruang atau teori pergerakan alami dan ekonomi, khususnya menyangkut kajian nilai-nilai sosiokultural. Lebih jelasnya skema pengembangan teori tersebut sebagai berikut: Terkait dgn teoriteori sosial budaya perkotaan: Daldjoeni, Koentjaraningrat, Schneider, Kahl, Boas, Daeng, Boedihartono, dll. Terkait dgn teori2 pembentukan lingkungan binaan dan kota: Rapoport, Madanipour, Zahnd, Altman, Chapin, Shevky & Bill, dll. Teori Solidaritas Perubahan kehidupan masyarakat dari kehidupan solidaritas mekanis (ikatan sosial yang kuat) menuju solidaritas organis (individual & mengelompok). Teori Logika Ruang (The Logic of Space) Perubahan paradigma ruang, dari wujud bersifat spasial (berdasarkan solidaritas mekanis), menjadi ruang yang bersifat transspatial (berdasarkan solidaritas organis) yg dikaitkan dengan konsep sosio-spasial. Teori Pergerakan Alami dan Ekonomi (Natural Movement and City as Movement Economy). Pembentukan struktur ruang kota dalam hubungannya dengan perilaku sosial. Studi ini mengacu pada hubungan antara wujud kota (urban form) dan perilaku sosial yang tercermin dalam budaya meruang (spatial culture) Durkheim Hillier & Hanson Bill Hillier Nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Bugis (konsep siri na pesse) ternyata masih eksis dan berperan dalam pembentukan kota Makassar. Dengan demikian konsep pembentukan kota yang mencerminkan nilai-nilai sosio-kultural masyarakatnya tersebut, kemudian disebut Konsep Wujud Kota Berbasis Budaya. Arifuddin 2011 Gambar 6.1 Skema Struktur Pengembangan Teori Perancangan Kota Kesimpulan Kelima, Kajian wujud kota berbasis budaya ini dilakukan dengan menggunakan teknik presentasi dan interpretasi data sosio-kultural, yaitu suatu teknik yang 444

9 bertujuan untuk mengkonkritkan informasi yang bersifat abstrak melalui presentasi dan interpretasi data yang bersifat abstrak ke dalam wujud meruang. Teknik ini merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengkaji keterkaitan antara nilai-nilai sosio-kultural yang bersifat abstrak dan wujud kota yang berdimensi ruang. Di samping itu, teknik ini juga dapat digunakan untuk memahami nilai-nilai sosio-kultural masyarakat dalam kegiatan analisis perancangan kota. Pemilihan teknik ini, berawal dari permasalahan dalam analisis nilai-nilai sosiokultural masyarakat yang bersifat abstrak dalam sebuah wujud kota. Akhirnya ditemukan sebuah solusi pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaji terlebih dahulu nilai-nilai sosio-kultural masyarakat khususnya yang berpengaruh terhadap wujud kota yaitu dengan melakukan kajian literatur maupun wawancara. Nilai-nilai yang teridentifikasi kemudian dikaitkan dengan mengkaji pola ruang permukiman, kampung atau kota tradisional yang dihasilkan oleh masyarakatnya berdasarkan indikator yang tentukan. Temuan analisis awal kemudian divalidasi lagi ke beberapa wujud kota yang dibangun oleh masyarakat sesuai referensi budaya yang dikaji. Hasil analisis tersebut akan menghasilkan implikasi nilai-nilai sosio-kultural ke dalam wujud meruang yang disebut aturan dasar. Selanjutnya, untuk melihat peranan nilai-nilai sosio-kultural yang abstrak tadi, maka aturan dasar yang telah ditemukan tersebut dijadikan dasar dalam melihat atau menganalisis wujud kota. Pendekatan ini merupakan salah satu teknik dalam kajian perancangan kota yang melihat keterkaitan wujud kota (city form) dengan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat. Penerapan teknik presentasi dan interpretasi data sosio-kultural dalam studi ini menggunakan referensi khusus pada budaya Bugis dan referensi wujud kota Makassar khususnya pada indikator pola pemanfaatan ruang, jaringan jalan, ruang terbuka, dan tata bangunan. Dalam pengembangan penelitian, teknik ini dapat diaplikasikan pada kasus kota tertentu yang memiliki kekhasan nilai-nilai sosiokultural tertentu, dan hasilnya dapat memberi kontribusi dalam metode analisis pada bidang ilmu perancangan kota. Jika penelitian-penelitian sejenis dapat diwujudkan dari berbagai latar belakang budaya (nilai sosio-kultural) tertentu, akan dihasilkan sebuah temuan yang memiliki tingkat universal yang lebih tinggi. 445

10 Urutan kegiatan analisis dalam menentukan aturan dasar pada teknik presentasi dan interpretasi data sosio-kultural, dapat digambarkan pada skema berikut: NILAI-NILAI SOSIO- KULTURAL ARTEFAK BUGIS Konsep Siri na Pesse Siri Were Pesse Data Sosio-Kultural Rumah Perumahan Permukiman (Kampung) Kota Pustaka (Naskah Kuno), Interview, dan Observasi Prinsip Hidup Gaya Hidup TEORI - TEORI TERKAIT INDIKATOR Pola Pemanfaatan Ruang, Jaringan Jalan, Ruang Terbuka, dan Tata Bangunan Implikasi Nilai dalam Wujud Meruang Arah proses ATURAN DASAR Implikasi Nilai Siri dalam Wujud Kota Implikasi Nilai Were dalam Wujud Kota Implikasi Nilai Pesse dalam Wujud Kota Arah masukan Gambar 6.2 Skema Teknik Presentasi dan Interpretasi Data Sosio-Kultural Kesimpulan Keenam, Penelitian ini difokuskan pada kajian karakteristik wujud kota di Kota Makassar - Sulawesi Selatan dalam kaitannya dengan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Bugis. Penelitian ini berperan untuk menghidupkan nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki setiap masyarakat sesuai warisan budayanya menjadi sebuah kebanggaan. Unsur fisik kota sebagai sebuah kearifan unik yang mengakar pada sosio-kultural masyarakat Bugis, perlu dikembangkan di perkotaan dalam rangka menciptakan identitas kotanya. Dalam konteks wilayah yang dihuni oleh masyarakat Bugis secara keseluruhan, tentu saja referensi kota Makassar ini masih bersifat kecil. Namun demikian berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Pelras, C (2006); Latief, H (2005); Mattulada (1975); Mardanas (1985); Data, Y (1977); dan Hamid, A (2003) antara lain menunjukkan bahwa nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Bugis yang terangkum dalam konsep siri na pesse akan selalu dipahami dan tercermin dalam pola permukiman, tata letak, dan bentuk bangunannya. Dari beberapa pengaruh eksternal yang mempengaruhi termasuk 446

11 budaya lain, wujud permukiman atau perkotaan di daerah lain yang dihuni masyarakat Bugis mungkin memperlihatkan beberapa hal yang beragam. Secara keseluruhan, Indonesia mencakup berbagai macam budaya yang memiliki karakter nilai-nilai sosio-kultural yang berbeda. Hingga saat ini pengkajian budaya secara detail tentang nilai-nilai sosio-kultural masyarakat dalam kaitan dengan wujud kotanya tergolong masih sedikit. Untuk mengisi kekosongan dan untuk pengembangan keilmuan dalam bidang perancangan kota, khususnya kajian yang mengaitkan antara nilai budaya dan wujud kota, maka penelitian ini menjadi salah satu alternatif. Kajian ini menggunakan referensi masyarakat Bugis dan referensi kota Makassar sebagai wujud kota pantai yang telah mengalami perkembangan modernisasi dan globalisasi. Dengan demikian penelitian ini telah membentuk kerangka atau metodologi yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi keterkaitan antara pembentukan kota dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat pada daerah lain, khususnya di wilayah Indonesia. 6.2 Saran Saran Pertama, Pendekatan teknik presentasi dan interpretasi data sosio-kultural yang digunakan pada penelitian ini seperti yang tercantum pada gambar skema 3.7 pada bab 3, atau skema 6.2 pada bab 6, dapat digunakan pada penelitian sejenis dengan latar belakang sosio-kultural atau kasus kota yang berbeda. Selanjutnya, dari beberapa penelitian sejenis akan ditemukan karakteristik elemen pembentukan kota yang bersifat universal. Saran Kedua, Penelitian ini menggunakan empat jenis indikator dalam melihat wujud pembentukan kota, sehingga konsekuensi meruang yang dihasilkan hanya terkait dengan indikator-indikator tersebut. Disarankan agar mengembangkan penelitian ini dengan melihat pada elemen pembentuk kota yang lain, seperti yang terkait dengan kajian estetika kota. 447

12 Saran Ketiga, Kecenderungan pergeseran dalam pemahaman terhadap nilai-nilai sosio-kultural Bugis, seperti munculnya sifat-sifat yang tidak mengacu pada keaslian prinsipprinsip hidup menurut nilai siri, were, dan pesse, perlu menjadi perhatian seluruh masyarakat. Hal ini karena faktor tersebut dapat berpengaruh terhadap pemahaman aturan dasar Bugis (implikasi nilai Bugis dalam wujud meruang) yang tidak tepat. Selanjutnya hal tersebut dapat berdampak pada aplikasi pembangunan yang cenderung menghilangkan identitas kota (belajar dari pola pembentukan kota kategori II di atas). Berdasarkan hal tersebut, disarankan agar pihak pemerintah selaku penentu kebijakan untuk mengantisipasi hal tersebut melalui berbagai strategi termasuk sosialisasi kearifan budaya masyarakat dan menyiapkan aturan-aturan formal (regulasi). 448

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks,

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks, terdiri dari berbagai sarana dan prasarana yang tersedia, kota mewadahi berbagai macam aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perancangan Marina Central Place di Jakarta Utara (Sebagai Lokasi Sentral Bisnis dan Wisata Berbasis Mixed Use Area)

BAB I PENDAHULUAN. Perancangan Marina Central Place di Jakarta Utara (Sebagai Lokasi Sentral Bisnis dan Wisata Berbasis Mixed Use Area) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pengertian Judul Perancangan Marina Central Place di Jakarta Utara (Sebagai Lokasi Sentral Bisnis dan Wisata Berbasis Mixed Use Area) Perancangan : Proses penerapan berbagai teknik

Lebih terperinci

KAJIAN PERKEMBANGAN KOTA BATANG BERDASARKAN STRUKTUR RUANG KOTA TUGAS AKHIR

KAJIAN PERKEMBANGAN KOTA BATANG BERDASARKAN STRUKTUR RUANG KOTA TUGAS AKHIR KAJIAN PERKEMBANGAN KOTA BATANG BERDASARKAN STRUKTUR RUANG KOTA TUGAS AKHIR Oleh: RINA AFITA SARI L2D 306 021 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 ABSTRAKSI

Lebih terperinci

2. Tata Ruang adalah wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak (Kamus Tata Ruang, Ditjen Cipta Karya, 1997).

2. Tata Ruang adalah wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak (Kamus Tata Ruang, Ditjen Cipta Karya, 1997). Oleh: Zaflis Zaim * Disampaikan dalam acara Sosialisasi Kebijakan Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Hotel Sapadia Pasir Pengaraian, 21 Desember 2011. (*) Dosen Teknik Planologi, Program Studi Perencanaan

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI VII. 1. Kesimpulan Penelitian proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata ini bertujuan untuk membangun teori atau

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Permukiman tradisional nelayan suku Makasar dengan permukiman resettlement Untia memiliki banyak perbedaan dibanding persamaan ditinjau dari aspek budaya dan gaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kota Jakarta pada akhirnya menuntut tersedianya wadah fisik untuk menampung

BAB I PENDAHULUAN. kota Jakarta pada akhirnya menuntut tersedianya wadah fisik untuk menampung BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Latar Belakang Proyek Jakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang pertumbuhan kotanya cenderung pesat. Sebagai ibukota negara, Jakarta menjadi pusat dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Latar Belakang Perancangan. Pusat perbelanjaan modern berkembang sangat pesat akhir-akhir ini.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Latar Belakang Perancangan. Pusat perbelanjaan modern berkembang sangat pesat akhir-akhir ini. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Latar Belakang Perancangan Pusat perbelanjaan modern berkembang sangat pesat akhir-akhir ini. Khususnya di DKI Jakarta. Di berbagai wilayah terus tumbuh pusat-pusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan perekonomian dan pembangunan di Indonesia yang didukung kegiatan di sektor industri sebagian besar terkonsentrasi di daerah perkotaan yang struktur dan infrastrukturnya

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN April :51 wib. 2 Jum'at, 3 Mei :48 wib

Bab I PENDAHULUAN April :51 wib. 2  Jum'at, 3 Mei :48 wib Bab I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek A. Umum Pertumbuhan ekonomi DIY meningkat 5,17 persen pada tahun 2011 menjadi 5,23 persen pada tahun 2012 lalu 1. Menurut Kepala Perwakilan Bank Indonesia

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI MASALAH PERMUKIMAN PADA KAMPUNG NELAYAN DI SURABAYA

IDENTIFIKASI MASALAH PERMUKIMAN PADA KAMPUNG NELAYAN DI SURABAYA IDENTIFIKASI MASALAH PERMUKIMAN PADA KAMPUNG NELAYAN DI SURABAYA Vippy Dharmawan 1, Zuraida 2 1+2 Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surabaya Jl. Sutorejo Nomor 59 Surabaya

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN Masyarakat Bugis di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki ciri khas dan budaya yang unik. Rumah tinggal berbentuk panggung, aksara khusus, dan catatan kuno yang disebut lontaraq.

Lebih terperinci

POLA PERMUKIMAN RUMAH BERLABUH MASYARAKAT SERUI ANSUS DI KOTA SORONG

POLA PERMUKIMAN RUMAH BERLABUH MASYARAKAT SERUI ANSUS DI KOTA SORONG Oleh : Devy Sarah Sahambangun ( Mahasiswa Prodi Magister Arsitektur Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi ) Fella Warouw ( Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik / Prodi Magister Arsitektur

Lebih terperinci

STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR. Oleh : PRIMA AMALIA L2D

STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR. Oleh : PRIMA AMALIA L2D STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR Oleh : PRIMA AMALIA L2D 001 450 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baru, maka keberadaan seni dan budaya dari masa ke masa juga mengalami

BAB I PENDAHULUAN. baru, maka keberadaan seni dan budaya dari masa ke masa juga mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proyek Di Indonesia seni dan budaya merupakan salah satu media bagi masyarakat maupun perseorangan untuk saling berinteraksi satu sama lain. Dengan adanya arus globalisasi

Lebih terperinci

Perspektif Sosio-Kultural: Sebuah Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan Perancangan Kota Makassar

Perspektif Sosio-Kultural: Sebuah Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan Perancangan Kota Makassar Perspektif Sosio-Kultural: Sebuah Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan Perancangan Kota Makassar Ananto Yudono 1, Arifuddin Akil 2, Dana Rezky Arisandy 3 1,2,3 Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi

Lebih terperinci

Perkuatan Struktur pada Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya Kasus Studi: Toko Dynasti, Jalan AM Sangaji Yogyakarta

Perkuatan Struktur pada Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya Kasus Studi: Toko Dynasti, Jalan AM Sangaji Yogyakarta SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 KASUS STUDI Perkuatan Struktur pada Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya Kasus Studi: Toko Dynasti, Jalan AM Sangaji Yogyakarta Augustinus Madyana Putra (1), Andi Prasetiyo Wibowo

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. Arsitektur rumah tradisional yang tersebar hingga ke pelosok Nusantara

1 BAB I PENDAHULUAN. Arsitektur rumah tradisional yang tersebar hingga ke pelosok Nusantara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arsitektur rumah tradisional yang tersebar hingga ke pelosok Nusantara memiliki berbagai keistimewaan masing-masing. Proses pembuatan atau pembangunan rumah tersebut,

Lebih terperinci

RENTAL OFFICE DI DEPOK

RENTAL OFFICE DI DEPOK LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR RENTAL OFFICE DI DEPOK Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Diajukan Oleh : Devy Renita Aninda L2B

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman tradisional Kelurahan Melai, merupakan permukiman yang eksistensinya telah ada sejak zaman Kesultanan

Lebih terperinci

BAGIAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proyek

BAGIAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proyek BAGIAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proyek Kota merupakan wadah bagi penduduk didalamnya untuk beraktivitas dan berinteraksi antar individu yang kemudian memunculkan ide-ide baru yang dapat memicu

Lebih terperinci

Tranformasi Ruang Awa bola Pada Rumah Tradisional Nelayan Di Pesisir Pantai Kabupaten Bone

Tranformasi Ruang Awa bola Pada Rumah Tradisional Nelayan Di Pesisir Pantai Kabupaten Bone TEMU ILMIAH IPLBI 2016 Tranformasi Ruang Awa bola Pada Rumah Tradisional Nelayan Di Pesisir Pantai Kabupaten Bone Syahriana Syam 1 (1), (1) Lab. Sejarah Dan Teori Arsitektur/Departemen Arsitektur, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Pada dasarnya hunian tidak dapat dilihat sebagai tempat hidup saja

BAB I PENDAHULUAN. 1 Pada dasarnya hunian tidak dapat dilihat sebagai tempat hidup saja BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATARBELAKANG Indonesia sebagai negara berkembang dengan kondisi kependudukan yang tidak stabil tercermin pada angka pertumbuhan penduduk yang tak terkendali. Hal tersebut tampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Jakarta merupakan Ibukota dari Indonesia, oleh sebab itu industri dan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Jakarta merupakan Ibukota dari Indonesia, oleh sebab itu industri dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Jakarta merupakan Ibukota dari Indonesia, oleh sebab itu industri dan teknologi berkembang secara pesat, sehingga permasalahan urbanisasi meningkat per tahunnya. Peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Hubungan antara kota dengan kawasan tepi air telah terjalin sejak awal peradaban manusia.

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Hubungan antara kota dengan kawasan tepi air telah terjalin sejak awal peradaban manusia. BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Hubungan antara kota dengan kawasan tepi air telah terjalin sejak awal peradaban manusia. Dimana pada masa perkembangan peradaban kota badan air merupakan satu-satunya

Lebih terperinci

BAB V PENERAPAN KONSEP MAGERSARI DI KAWASAN PERMUKIMAN

BAB V PENERAPAN KONSEP MAGERSARI DI KAWASAN PERMUKIMAN BAB V PENERAPAN KONSEP MAGERSARI DI KAWASAN PERMUKIMAN Penerapan konsep magersari pada kawasan permukiman magersari adalah berupa usulan perbaikan terhadap kawasan permukiman magersari, yang menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suku bangsa Melayu di Sumatera Timur mendiami daerah pesisir timur

BAB I PENDAHULUAN. Suku bangsa Melayu di Sumatera Timur mendiami daerah pesisir timur BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suku bangsa Melayu di Sumatera Timur mendiami daerah pesisir timur Propinsi Sumatera Utara, yang membentang mulai dari Kabupaten Langkat di sebelah Utara, membujur

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI

BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI 8.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan dalam penelitan ini maka dibuat kesimpulan dari fokus kajian mengenai, perubahan ruang hunian, gaya hidup dan gender,

Lebih terperinci

PENATAAN PEMUKIMAN NELAYAN TAMBAK LOROK SEMARANG

PENATAAN PEMUKIMAN NELAYAN TAMBAK LOROK SEMARANG LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENATAAN PEMUKIMAN NELAYAN TAMBAK LOROK SEMARANG Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik Diajukan Oleh

Lebih terperinci

BAGIAN 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Persoalan Perancangan

BAGIAN 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Persoalan Perancangan BAGIAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persoalan Perancangan Karakteristik kawasan permukiman kumuh di Kota Yogyakarta adalah kawasan permukiman dengan tingkat kepadatan bangunan yang tinggi dan terletak

Lebih terperinci

Penerapan Budaya Sunda dalam Perancangan Pasar Rakyat Kasus: Pasar Sederhana, Bandung

Penerapan Budaya Sunda dalam Perancangan Pasar Rakyat Kasus: Pasar Sederhana, Bandung TEMU ILMIAH IPLBI 2016 Penerapan Budaya Sunda dalam Perancangan Pasar Rakyat Atika Almira (1), Agus S. Ekomadyo (2) (1) Mahasiswa Program Sarjana Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bermukim merupakan salah satu cerminan budaya yang. merepresentasikan keseluruhan dari teknik dan objek, termasuk didalamnya cara

BAB I PENDAHULUAN. Bermukim merupakan salah satu cerminan budaya yang. merepresentasikan keseluruhan dari teknik dan objek, termasuk didalamnya cara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bermukim merupakan salah satu cerminan budaya yang merepresentasikan keseluruhan dari teknik dan objek, termasuk didalamnya cara berfikir, lingkungan, kebiasaan, cara

Lebih terperinci

Pengertian Kota. Pengertian Kota (kamus)

Pengertian Kota. Pengertian Kota (kamus) Pengertian Kota Urban seringkali juga dimengerti sebagai kota, untuk membedakannya nya dengan rural, pengertian urban sendiri lebih kepada permukiman, dimana kawasan terbangun lebih mendominasi, sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Malang sebagaimana umumnya wilayah Jawa Timur lainnya,

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Malang sebagaimana umumnya wilayah Jawa Timur lainnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Alasan Pemilihan Judul Kabupaten Malang sebagaimana umumnya wilayah Jawa Timur lainnya, sangat kuat memegang tradisi pesantren yang hampir di setiap kecamatannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa dengan masyarakatnya yang Pluralistic mempunyai berbagai macam bentuk dan variasi dari kesenian budaya. Warisan kebudayaan tersebut harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar ke kota Medan (Sinar, 1996). Orang Cina dan Jawa didatangkan sebagai kuli

BAB I PENDAHULUAN. besar ke kota Medan (Sinar, 1996). Orang Cina dan Jawa didatangkan sebagai kuli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 terjadi gelombang migrasi besar ke kota Medan (Sinar, 1996). Orang Cina dan Jawa didatangkan sebagai kuli kontrak akibat

Lebih terperinci

PERANCANGAN ARSITEKTUR dan PERANCANGAN KOTA

PERANCANGAN ARSITEKTUR dan PERANCANGAN KOTA PERANCANGAN ARSITEKTUR dan PERANCANGAN KOTA TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS Setelah mengikuti kuliah ini, mahasiswa Magister Manajemen Pembangunan Kota Semester 2 akan dapat menjelaskan hubungan perancangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG EKSISTENSI PROYEK Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan tempat terjadinya pola aktivitas masyarakat mulai dari sosial, ekonomi, budaya dan politik. Kota yang berhasil tidak lepas dari penggunaan fungsi kota

Lebih terperinci

Identitas, suatu objek harus dapat dibedakan dengan objek-objek lain sehingga dikenal sebagai sesuatu yang berbeda atau mandiri.

Identitas, suatu objek harus dapat dibedakan dengan objek-objek lain sehingga dikenal sebagai sesuatu yang berbeda atau mandiri. PENDAHULUAN.1 Latar Belakang Dalam memahami citra kota perlu diketahui mengenai pengertian citra kota, elemenelemen pembentuk citra kota, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan citra kota dan metode

Lebih terperinci

BAB 3 METODA PERANCANGAN. Lingkup metoda penyusunan rencana Pembangunan Pusat Sains dan Teknologi di

BAB 3 METODA PERANCANGAN. Lingkup metoda penyusunan rencana Pembangunan Pusat Sains dan Teknologi di BAB 3 METODA PERANCANGAN Lingkup metoda penyusunan rencana Pembangunan Pusat Sains dan Teknologi di kawasan Pantai Panjang Kota Bengkulu ini secara umum mencakup hal-hal sebagai berikut: 3.1 Ide Perancangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan untuk fasilitas-fasilitas pendukungnya. menginap dalam jangka waktu pendek.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan untuk fasilitas-fasilitas pendukungnya. menginap dalam jangka waktu pendek. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.1.1. Latar Belakang Proyek Indonesia sebagai negara berkembang terus menerus berusaha untuk meningkatkan hasil yang maksimal di segala bidang pembangunan, salah

Lebih terperinci

SUMBU POLA RUANG DALAM RUMAH TINGGAL DI KAWASAN PECINAN KOTA BATU

SUMBU POLA RUANG DALAM RUMAH TINGGAL DI KAWASAN PECINAN KOTA BATU SUMBU POLA RUANG DALAM RUMAH TINGGAL DI KAWASAN PECINAN KOTA BATU Maharani Puspitasari 1, Antariksa 2, Wulan Astrini 2 1 Mahasiswa Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya 2 Dosen Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di. Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di. Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul 1.1.1 Judul Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual 1.1.2 Pemahaman Esensi Judul Ruang komunal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk Kota Bandung membawa konsekuensi pada masalah lingkungan binaan yang makin memprihatinkan. Beberapa kawasan terutama kawasan pinggiran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Kota Balikpapan di pulau Kalimantan Timur Sumber: RTRW Kota Balikpapan

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Kota Balikpapan di pulau Kalimantan Timur Sumber: RTRW Kota Balikpapan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Balikpapan merupakan salah satu kota yang terletak di pulau Kalimantan, tepatnya di provinsi Kalimantan Timur. Balikpapan terdiri dari 5 kecamatan, diantaranya kecamatan

Lebih terperinci

BAB II STEP BY STEP, UNDERSTANDING THE WHOLE PICTURE

BAB II STEP BY STEP, UNDERSTANDING THE WHOLE PICTURE BAB II STEP BY STEP, UNDERSTANDING THE WHOLE PICTURE Pemograman merupakan bagian awal dari perencanaan yang terdiri dari kegiatan analisis dalam kaitan upaya pemecahan masalah desain. Pemograman dimulai

Lebih terperinci

SURAT PERNYATAAN KATA PENGANTAR... DAFTAR GAMBAR v DAFTAR TABEL vii ABSTRAK viii ABSTRACT. ix

SURAT PERNYATAAN KATA PENGANTAR... DAFTAR GAMBAR v DAFTAR TABEL vii ABSTRAK viii ABSTRACT. ix DAFTAR ISI halaman SURAT PERNYATAAN KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI i DAFTAR GAMBAR v DAFTAR TABEL vii ABSTRAK viii ABSTRACT. ix BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Permasalahan.. 5 1.3 Keaslian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di Indonesia. Hal itu juga terjadi di bidang perdagangan antara lain adalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di Indonesia. Hal itu juga terjadi di bidang perdagangan antara lain adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Di era globalisasi sekarang ini gaya hidup modern sudah menjadi dambaan bagi masyarakat di Indonesia. Hal itu juga terjadi di bidang perdagangan antara lain

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Pemahaman Judul dan Tema

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Pemahaman Judul dan Tema BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkotaan dengan kompleksitas permasalahan yang ada di tambah laju urbanisasi yang mencapai 4,4% per tahun membuat kebutuhan perumahan di perkotaan semakin meningkat,

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Perkembangan kepariwisataan dunia yang terus bergerak dinamis dan kecenderungan wisatawan untuk melakukan perjalanan pariwisata dalam berbagai pola yang berbeda merupakan

Lebih terperinci

Teori Urban Desain. Mata Kuliah Arsitektur Kota. Figure ground

Teori Urban Desain. Mata Kuliah Arsitektur Kota. Figure ground Teori Urban Desain Mata Kuliah Arsitektur Kota Figure ground 1 Teori Figure/ ground Teori ini dapat dipahami melalui pola perkotaan dengan hubungan antara bentuk yang dibangun (building mass) dan ruang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 I d e n t i f i k a s i P e r u b a h a n R u m a h T r a d i s i o n a l D e s a K u r a u, K e c. K o b a

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 I d e n t i f i k a s i P e r u b a h a n R u m a h T r a d i s i o n a l D e s a K u r a u, K e c. K o b a BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman budaya baik berupa fisik maupun non fisik. Budaya yang berupa fisik Salah satunya adalah arsitektur tradisional. Rumah tradisional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar kota di Negara Indonesia tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir. Setiap fenomena kekotaan yang berkembang pada kawasan ini memiliki karakteristik

Lebih terperinci

PENATAAN KORIDOR JALAN LETJEN S. PARMAN SEBAGAI KAWASAN PERDAGANGAN DI PURWOKERTO

PENATAAN KORIDOR JALAN LETJEN S. PARMAN SEBAGAI KAWASAN PERDAGANGAN DI PURWOKERTO LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENATAAN KORIDOR JALAN LETJEN S. PARMAN SEBAGAI KAWASAN PERDAGANGAN DI PURWOKERTO Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar

Lebih terperinci

HILLSIDE HOTEL DI SEMARANG Penekanan Desain Arsitektur Neo Vernakular

HILLSIDE HOTEL DI SEMARANG Penekanan Desain Arsitektur Neo Vernakular LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR HILLSIDE HOTEL DI SEMARANG Penekanan Desain Arsitektur Neo Vernakular Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Yogyakarta merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian utama di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertumbuhan ekonomi Kota Yogyakarta pertahun untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Perkembangan dalam bidang perekonomian semakin meningkat, di

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Perkembangan dalam bidang perekonomian semakin meningkat, di BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG Perkembangan dalam bidang perekonomian semakin meningkat, di tambah dengan kebutuhan hidup sehari hari yang harus terpenuhi. Suatu lahan kota akan mengalami perkembangan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu kota pada mulanya berawal dari suatu pemukiman kecil, yang secara spasial mempunyai lokasi strategis bagi kegiatan perdagangan (Sandy,1978). Seiring dengan perjalanan

Lebih terperinci

Eksplorasi Kearifan Budaya Lokal Sebagai Landasan Perumusan Tatanan Perumahan dan Permukiman Masyarakat Makassar

Eksplorasi Kearifan Budaya Lokal Sebagai Landasan Perumusan Tatanan Perumahan dan Permukiman Masyarakat Makassar TEMU ILMIAH IPLBI 2014 Eksplorasi Kearifan Budaya Lokal Sebagai Landasan Perumusan Tatanan Perumahan dan Permukiman Masyarakat Makassar Syarif Beddu, Arifuddin Akil, Wiwik Wahidah Osman, Baharuddin Hamzah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space) dengan unsur vegetasi yang dominan. Perancangan ruang hijau kota harus memperhatikan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERSEPSI DAN PREFERENSI MASYARAKAT TENTANG ASPEK PERANCANGAN KOTA

BAB IV ANALISIS PERSEPSI DAN PREFERENSI MASYARAKAT TENTANG ASPEK PERANCANGAN KOTA BAB IV ANALISIS PERSEPSI DAN PREFERENSI MASYARAKAT TENTANG ASPEK PERANCANGAN KOTA Dalam pembahasan bab ini akan menjelaskan persepsi dan preferensi masyarakat, analisis gap dan analisis kuadran. Dari hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemakaian energi karena sumbernya telah menipis. Krisis lingkungan sangat mempengaruhi disiplin arsitektur di setiap

BAB I PENDAHULUAN. pemakaian energi karena sumbernya telah menipis. Krisis lingkungan sangat mempengaruhi disiplin arsitektur di setiap BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Arsitek pada jaman ini memiliki lebih banyak tantangan daripada arsitekarsitek di era sebelumnya. Populasi dunia semakin bertambah dan krisis lingkungan semakin menjadi.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB II KAJIAN LITERATUR BAB II KAJIAN LITERATUR 2.1 Pengertian Pelestarian Filosofi pelestarian didasarkan pada kecenderungan manusia untuk melestarikan nilai-nilai budaya pada masa yang telah lewat namun memiliki arti penting

Lebih terperinci

sekitarnya serta ketersediaannya yang belum optimal (pada perbatasan tertentu tidak terdapat elemen gate). d. Elemen nodes dan landmark yang

sekitarnya serta ketersediaannya yang belum optimal (pada perbatasan tertentu tidak terdapat elemen gate). d. Elemen nodes dan landmark yang BAB 5 KESIMPULAN 1. Berdasarkan hasil pengamatan dan penilaian secara subyektif (oleh peneliti) dan obyektif (pendapat responden) maka elemen identitas fisik yang membentuk dan memperkuat karakter (ciri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman kumuh di kota yang padat penduduk atau dikenal dengan istilah urban

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman kumuh di kota yang padat penduduk atau dikenal dengan istilah urban BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota Jakarta sebagai ibu kota negara yang terus berkembang mengalami permasalahan dalam hal penyediaan hunian yang layak bagi warga masyarakatnya. Menurut data kependudukan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki sejumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki sejumlah masalah perkotaan yang sangat kompleks. Salah satu ciri negara berkembang adalah pesatnya perkembangan

Lebih terperinci

EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR

EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR Oleh : MANDA MACHYUS L2D 002 419 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

Gambar 6.1 Alternatif Gambar 6.2 Batara Baruna. 128 Gambar 6.3 Alternatif Gambar 6.4 Alternatif Gambar 6.

Gambar 6.1 Alternatif Gambar 6.2 Batara Baruna. 128 Gambar 6.3 Alternatif Gambar 6.4 Alternatif Gambar 6. DAFTAR ISI Contents HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... vi ABSTRAKSI... xii BAB I... 1 PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Kondisi Umum Kelautan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dominan berupa tampilan gedung-gedung yang merupakan karya arsitektur dan

BAB I PENDAHULUAN. yang dominan berupa tampilan gedung-gedung yang merupakan karya arsitektur dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam beraktivitas di ruang kota pasti akan disajikan pemandangan yang dominan berupa tampilan gedung-gedung yang merupakan karya arsitektur dan menjadi bagian

Lebih terperinci

Rumah Tinggal Dengan Gaya Arsitektur Bali Modern Di Denpasar

Rumah Tinggal Dengan Gaya Arsitektur Bali Modern Di Denpasar Rumah Tinggal Dengan Gaya Arsitektur Bali Modern Di Denpasar Oleh : Naya Maria Manoi nayamanoi@gmail.com Mahasiswa Desain Interior FSRD ISI Denpasar ABSTRAK Arsitektur tradisional Bali merupakan budaya

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORI SUSTAINABLE ARCHITECTURE

BAB III TINJAUAN TEORI SUSTAINABLE ARCHITECTURE BAB III TINJAUAN TEORI SUSTAINABLE ARCHITECTURE 3.1. SUSTAINABLE ARCHITECTURE Sustainable Architecture (arsitektur berkelanjutan) memiliki tujuan untuk mencapai kesadaran lingkungan dan memanfaatkan sumber

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Auditorium Universitas Diponegoro 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. Auditorium Universitas Diponegoro 2016 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Diponegoro merupakan salah satu Universitas terkemuka di Indonesia serta termasuk ke dalam lima besar Universitas terbaik seindonesia, terletak di provinsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Budaya Lanskap adalah suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dimana karakter tersebut menyatu secara harmoni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan kebudayaan mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan kebudayaan mulai dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan kebudayaan mulai dari ujung Utara sampai Selatan dan Timur sampai ke Barat baik kebudayaan asli dari bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Menurut sejarah yang diceritakan K.R.T. Darmodipuro, dahulu di tepi sungai

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Menurut sejarah yang diceritakan K.R.T. Darmodipuro, dahulu di tepi sungai BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Menurut sejarah yang diceritakan K.R.T. Darmodipuro, dahulu di tepi sungai Kabanaran, dibagian timur sungai Premulung, terdapat sebuah pasar yang besar yang termasuk

Lebih terperinci

STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA MASYARAKAT MAJEMUK MEMILIKI SUB STRUKTUR DENGAN CIRI YANG SANGAT BERAGAM SEHINGGA DISEBUT MAJEMUK

STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA MASYARAKAT MAJEMUK MEMILIKI SUB STRUKTUR DENGAN CIRI YANG SANGAT BERAGAM SEHINGGA DISEBUT MAJEMUK STRUKTUR MAJEMUK MASYARAKAT INDONESIA MASYARAKAT MAJEMUK MEMILIKI SUB STRUKTUR DENGAN CIRI YANG SANGAT BERAGAM SEHINGGA DISEBUT MAJEMUK MASING-MASING SUB STRUKTUR BERJALAN DENGAN SISTEMNYA MASING-MASING

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERANCANGAN BAB V KONSEP PERANCANGAN V.1. KONSEP DASAR PERANCANGAN Dalam konsep dasar pada perancangan Fashion Design & Modeling Center di Jakarta ini, yang digunakan sebagai konsep dasar adalah EKSPRESI BENTUK dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Arsitektur merupakan hasil dari faktor-faktor sosiobudaya, sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Arsitektur merupakan hasil dari faktor-faktor sosiobudaya, sebuah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Arsitektur merupakan hasil dari faktor-faktor sosiobudaya, sebuah perancangan yang mencakup pengubahan-pengubahan terhadap lingkungan fisik, arsitektur dapat dianggap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemicu munculnya permasalahan lingkungan baik biotik, sosial, kultural,

BAB I PENDAHULUAN. pemicu munculnya permasalahan lingkungan baik biotik, sosial, kultural, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan spasial kota yang tidak terkendali diyakini akan menjadi pemicu munculnya permasalahan lingkungan baik biotik, sosial, kultural, ekonomi pada masa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seiring perjalanan waktu, baik dimensi kenampakan fisik maupun non fisiknya.

BAB I PENDAHULUAN. seiring perjalanan waktu, baik dimensi kenampakan fisik maupun non fisiknya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu kawasan (wilayah) akan selalu bertumbuh dan berkembang dinamis seiring perjalanan waktu, baik dimensi kenampakan fisik maupun non fisiknya. Perubahan(evolusi)

Lebih terperinci

Solusi Hunian Bagi Pekerja dan Pelajar di Kawasan Surabaya Barat Berupa Rancangan Desain Rusunawa

Solusi Hunian Bagi Pekerja dan Pelajar di Kawasan Surabaya Barat Berupa Rancangan Desain Rusunawa JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 2, No.2, (2013) 2337-3520 (2301-928X Print) G-58 Solusi Hunian Bagi Pekerja dan Pelajar di Kawasan Surabaya Barat Berupa Rancangan Desain Rusunawa Laras Listian Prasetyo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHALUAN. termanfaatkan dalam penataan kotanya. Kota Medan memiliki luas 265,10 Km 2,

BAB I PENDAHALUAN. termanfaatkan dalam penataan kotanya. Kota Medan memiliki luas 265,10 Km 2, BAB I PENDAHALUAN 1.1 Latar Belakang Kota Medan merupakan salah satu kota terpenting dan terbesar di Indonesia bagian Barat. Kota Medan memiliki sejarah dan karakter kota yang belum digali dan termanfaatkan

Lebih terperinci

SEA SIDE MALL PADA KAWASAN WATERFRONT KOTA BENGKALIS-RIAU (Studi Kasus pada Pantai Andam Dewi Bengkalis) Penekanan Desain Arsitektur Morphosis

SEA SIDE MALL PADA KAWASAN WATERFRONT KOTA BENGKALIS-RIAU (Studi Kasus pada Pantai Andam Dewi Bengkalis) Penekanan Desain Arsitektur Morphosis LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR SEA SIDE MALL PADA KAWASAN WATERFRONT KOTA BENGKALIS-RIAU (Studi Kasus pada Pantai Andam Dewi Bengkalis) Penekanan Desain Arsitektur Morphosis Diajukan

Lebih terperinci

PERUBAHAN NILAI RUANG DAPUR DALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT MAKASSAR

PERUBAHAN NILAI RUANG DAPUR DALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT MAKASSAR PERUBAHAN NILAI RUANG DAPUR DALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT MAKASSAR Prawira Yudha Mappalahere, Imam Santosa & Andrianto Wibisono Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesa 10, Bandung 40132, Indonesia Prawirayudhamappalahere@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan Isu Perkembangan Properti di DIY

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan Isu Perkembangan Properti di DIY BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan 1.1.1 Isu Perkembangan Properti di DIY Jogjakarta semakin istimewa. Kekuatan brand Jogja di industri properti merupakan salah satu kota atau daerah paling

Lebih terperinci

BAB II RUANG BAGI KEHIDUPAN

BAB II RUANG BAGI KEHIDUPAN BAB II RUANG BAGI KEHIDUPAN Untuk memperoleh hasil pemrograman yang maksimal, proses analisa yang dilakukan sebaiknya bersumber pada data yang tersusun dengan sempurna. Data yang sudah terkumpul kemudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proyek Seiring dengan perkembangan jaman, terjadi pergeseran budaya, semua serba canggih, praktis, tersaji dengan cepat mungkin, seiring itu juga timbul masalahmasalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bambang Herawan ( ) Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Bambang Herawan ( ) Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota Medan, ibukota propinsi Sumatera Utara, merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia. Dengan posisi strategis sebagai pintu gerbang utama Indonesia di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informal ini menunjukan bukti adanya keterpisahan secara sistemis-empiris antara

BAB I PENDAHULUAN. informal ini menunjukan bukti adanya keterpisahan secara sistemis-empiris antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Integritas Bangsa Indonesia sedang menghadapi tantangan era globalisasi. Berbagai macam budaya global yang masuk melalui beragam media komunikasi dan informasi. Dengan

Lebih terperinci

VI. PERENCANAAN LANSKAP PEDESTRIAN SHOPPING STREET

VI. PERENCANAAN LANSKAP PEDESTRIAN SHOPPING STREET 42 VI. PERENCANAAN LANSKAP PEDESTRIAN SHOPPING STREET Pengembangan konsep dalam studi perencanaan kawasan ini akan terbagi ke dalam empat sub konsep, yaitu perencanaan lanskap pedestrian shopping street,

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Bappeda Kota Bogor Berdasarkan tugas dan fungsi pelayanan yang dilaksanakan

Lebih terperinci

BELAWAN INTERNATIONAL PORT PASSANGER TERMINAL 2012 BAB I. PENDAHULUAN

BELAWAN INTERNATIONAL PORT PASSANGER TERMINAL 2012 BAB I. PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota Medan dewasa ini merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia yang mengalami perkembangan dan peningkatan di segala aspek kehidupan, mencakup bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Friedman (2000) mengatakan, dalam perspektif global saat ini tidak banyak dipertentangkan tentang fakta bahwa homogenisasi dunia barat, tetapi kebanyakan masyarakat

Lebih terperinci

PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN PERKOTAAN MELALUI PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU TERINTEGRASI IPAL KOMUNAL

PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN PERKOTAAN MELALUI PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU TERINTEGRASI IPAL KOMUNAL PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN PERKOTAAN MELALUI PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU TERINTEGRASI IPAL KOMUNAL Ingerid Lidia Moniaga & Fela Warouw Laboratorium Bentang Alam, Program Studi Perencanaan Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Latar Belakang Proyek. Angka pertambahan penduduk yang tinggi dan perkembangan pesat di

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Latar Belakang Proyek. Angka pertambahan penduduk yang tinggi dan perkembangan pesat di BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Latar Belakang Proyek Angka pertambahan penduduk yang tinggi dan perkembangan pesat di bidang industri menyebabkan berbagai macam permasalahan dalam kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Aerotropolis adalah pengembangan dari konsep aerocity, yang merupakan konsep paling modern dalam pembangunan dan pengelolaan bandara dewasa ini. Pada konsep aerotropolis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pariwisata sekarang sudah merupakan suatu tuntutan hidup dalam zaman modern ini. Permintaan orang-orang untuk melakukan perjalanan wisata, dari tahun ke tahun terus

Lebih terperinci