PEMBANGUNAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN BELITUNG: SUATU ANALISIS TRADE-OFF EKONOMI BERBASIS LOKAL. Oleh: M. NIZAR DAHLAN NRP: C

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMBANGUNAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN BELITUNG: SUATU ANALISIS TRADE-OFF EKONOMI BERBASIS LOKAL. Oleh: M. NIZAR DAHLAN NRP: C"

Transkripsi

1 PEMBANGUNAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN BELITUNG: SUATU ANALISIS TRADE-OFF EKONOMI BERBASIS LOKAL Oleh: M. NIZAR DAHLAN NRP: C SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Pembangunan Perikanan Tangkap Di Kabupaten Belitung: Suatu Analisis Trade-Off Ekonomi Berbasis Lokal adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian disertasi ini. Bogor, Januari 2011 M. NIZAR DAHLAN NRP: C

3 ABSTRACT M. NIZAR DAHLAN. Development of Fisheries in Belitung Regency: Local Based Economic Trade-off Analysis. Supervised by Budy Wiryawan, Mulyono S. Baskoro, Akhmad Fauzi, and Bambang Murdiyanto. Although has about 1.06 milion ton/year of the sustainable potential of fisheries resources has been predicted in Belitung Sea, yet it contributes insignificantly to fisheries sector of Belitung Region. Currently, 13 fishing gears have been operated and their possible introduction of site specific gears are also is able to implement. The aims of this research were to determine the appropriateness fishing gear to each sub regions in Belitung Region, also to formulate strategic policies in the development of capture fisheries, and therefore fisheries could become Belitung Region economic base in the future, replacing mining sector. This research was held in Sijuk, Tanjung Pandan, Badau, and Membalong Subregions in Belitung Regency. Analyses that used were descriptive analysis, fish resource analysis, feasibility analysis for catch fisheries effort, Location Quotient (LQ) analysis and micro-macro link analysis which modified with structural equation modelling (SEM) method. The results were from 13 fishing gears usually used in Belitung Regency, only seven fishing gears that appropriate with each sub region, there were troll lines, large stationary fish trap and bubu that suitable if developed in Sijuk Sub-region, boat seine and drift gill net that suitable if developed in Tanjung Pandan Sub-region, trammel net that suitable in developed in Badau Subregion, and the last was boat fishing platform that suitable if developed in Membalong Sub-region. And Micro-Macro Link (MML) analysis show there was significant influence between Belitung fisheries effort with fishing base area (p = 0.008), between fiscal condition to market output growth (p = 0,002) and base area (p = 0,005), between national policy to monetary (p = 0,002) and trade (p = 0,007), between trade to regional economy (p = 0,003), and between regional economic to supporting sector (p = 0,000). The conclusions were Sijuk could become basis for troll lines, large stationary fish trap and bubu; Tanjung Pandan basis for boat seine and drift gill net; Badau basis for trammel net; and Membalong basis for boat fishing platform. And fisheries development strategic policies should be directed to developing catch fisheries effort which have potential based and regional prospect, local fiheries product market redemption, also superior fisheries effort, especially when condition of national financial and global finance not stable, anticipation policy for unsupported condition because of national policy that prevail in Belitung region, developing fisheries product lines of business that could be long term or permanent, and there is guarantee for services business that become main support to fhisheries development. Keywords: fishing gears, fisheries, micro-macro link, Belitung Regency

4 RINGKASAN M. NIZAR DAHLAN. Pembangunan Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung: Suatu Analisis Trade-off Ekonomi Berbasis Lokal. Dibimbing oleh Budy Wiryawan, Mulyono S. Baskoro, Akhmad Fauzi, dan Bambang Murdiyanto. Dalam era globalisasi yang bercirikan liberalisasi perdagangan dan persaingan antarbangsa yang semakin sengit, diperlukan suatu strategi pengembangan perikanan tangkap dengan memperhatikan kondisi kawasan yang dapat membangun perikanan tangkap dengan melakukan pendekatan ekonomi yang berbasis lokal. Bertolak dari hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan yang mengkaji pembentukan sistem pengembangan perikanan untuk membantu pemerintah daerah Kabupaten Belitung dalam usaha perikanan tangkap berbasis kewilayahan. Metode untuk menganalisis kondisi keekonomian perikanan di Kabupaten Belitung, khususnya di daerah penelitian di Kecamatan Sijuk, Kecamatan Tanjung Pandan, Kecamatan Badau dan Kecamatan Membalong,dengan metode wawancara, pengamatan langsung dan survey ke instansi/lembaga terkait dan lokasi penelitian. Pemetaan penelitian yang dilakukan terdiri dari : mengumpulkan data seri produksi ikan tangkap oleh nelayan yang kemudian dilakukan analisis sumberdaya ikan dilihat dari sisi standarisasi dan kondisi lestari dengan harapan dapat memahami potensi dan kapasitas stock sumberdaya ikan; analisis kelayakan usaha dengan menggunakan analisis pendapatan (benefit) dan pembiayaan (cost) dengan memakai parameter Net Present Value (NPV), Net Benefit-Cost Ratio (B/C ratio), Internal Rate of Return (IRR), Return of Investment (ROI) dan Payback Period (PP) (Hanley dan Spash, 1993); analisis kewilayahan yang terdiri dari analisis Location Quotient (LQ) yaitu membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktivitas tertentu dengan pangsa total aktivitas wilayah, dengan asumsi bahwa kondisi geografis relatif seragam, polapola aktivitas seragam dan setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Untuk analisis ekonomi basis, dipergunakan analisis pengganda basis (K) karena sering dijumpai permasalahan time lag yang tidak berlangsung secara tepat, karena perbedaan respon dari sektor basis terhadap permintaan luar wilayah dan respon dari sektor non basis terhadap perubahan sektor basis. Dalam hal ini yang diharapkan adalah untuk mengetahui wilayah basis pengembangan usaha perikanan unggulan. Untuk mengetahui korelasi dan sinergi antara kebijakan perikanan tangkap di tingkat nasional dan daerah, dilakukan analisis Micro-Macro Link (MML) untuk melihat kebijakan makro dan mikro perikanan tangkap tingkat Nasional, Provinsi Bangka Belitung dan Kabupaten Belitung. Analisis Micro- Macro Link ini dikembangkan dengan mempergunakan metode structural equation modeling (SEM) dimana menurut Mueller (1996) dan Ghozali (2006) vii

5 metode SEM merupakan analisis multivariate yang mempunyai kemampuan untuk menganalisis tingkat dan sifat pengaruh interaksi (link) antar komponen pada suatu sistem nyata dengan menggunakan data lapangan yang bersifat multivariable dan multi-hubungan. Untuk meningkatkan keakuratan hasil analisis, metode SEM juga mempunyai alat uji yang dikenal dengan kriteria goodness-of-fit yang dapat digunakan secara terintegrasi. Untuk menunjang hasil yang ingin diperoleh, penelitian juga diarahkan pada kondisi umum dan kapasitas stok sumberdaya ikan dengan melakukan pendataan alat tangkap yang digunakan dalam usaha penangkapan ikan di perairan Kabupaten Belitung. Jenis sumberdaya ikan yang bisa ditangkap di lokasi cukup banyak, baik dari jenis ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal maupun udang dan biota laut non ikan. Alat tangkap yang dominan digunakan diantaranya adalah pancing tonda, payang, jaring insang tetap (JIT), jaring insang lingkar (JIL), jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bagan perahu, bagan tancap, bubu, jermal, pukat udang dan trammel net. Sedangkan armada penangkapan yang dipergunakan terdiri dari tiga kategori besar, yaitu armada/perahu tanpa motor, armada/perahu motor tempel dan armada/perahu motor. Dari sisi perkembangan nelayan, secara umum dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu nelayan tetap, nelayan sambilan dan nelayan sambilan tambahan. Banyak variabel yang diperoleh dari perkembangan nelayan ini, karena fluktuasi nya berfariasi, terutama jumlah nelayan tetap. Hasil penelitian dari alat tangkap yang dipergunakan yang berjumlah tiga belas jenis alat tangkap, ternyata yang dapat diandalkan ada tujuh alat tangkap yaitu pancing tonda, payang, jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bubu dan trammel net. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis Net Present Value (NPV), Net Benefit-Cost Ratio (B/C Ratio) dan Internal Rate Return (IRR) dengan hasil analisis sebagai berikut : 1. Pancing tonda NPV Rp ,- B/C Ratio 1,79. IRR 70,34 %. 2. Payang NPV Rp ,- B/C Ratio 1,31. IRR 18,04 %. 3. Jaring insang hanyut (JIH) NPV Rp ,- B/C Ratio 1,59. IRR 38,81 %. 4. Sero NPV Rp ,- B/C Ratio 2,35 IRR 76,60 %. 5. Pukat pantai NPV Rp ,- B/C Ratio 1,09 IRR 12,60 %. 6. Bubu NPV Rp ,- B/C Ratio 1,65 IRR 43,44 %. 7. Trammel net NPV Rp B/C Ratio 1,27 IRR 15,17 %. Hasil analisis model mikro-makro link I menunjukkan kriteria Goodnessof-Fit, yaitu significance probability, CMIN/DF, RMSEA memiliki nilai yang cukup jauh dari nilai yang dipersyaratkan. Misalnya significance probability, mempunyai nilai 0,000 sedangkan syaratnya > 0,05, kemudian CMIN/DF memiliki nilai 4,404 sedangkan syaratnya < 2,50, sedangkan RMSEA memiliki nilai 0,137 sedangkan syaratnya < 0,08. Sehingga dilakukan pengembangan dari analisis micro-macro link I menjadi analisis micro-macro link II. Hasil uji kesesuaian model micro-macro link II ternyata hasil Chi-square sebagai salah satu kriteria model fit menunjukkan penurunan dari 233,935 pada model micro-macro link I menjadi 114,403 pada model micro-macro link II yang berarti lebih baik dari sebelumnya. Selain itu, jika dilihat dari nilai kriteria goodness-of-fit lainnya, viii

6 yaitu CMIN/DF = 2,600, RMSEA = 0,094, dan TLI = 0,832, maka model yang dikembangkan dapat dikatakan sudah berada pada jalur kesesuaian (fitting). Sedangkan bila dilihat dari nilai GFI = 0,915 dan CFI =905, maka model yang dikembangkan sudah memenuhi kriteria goodness-of-fit yang dipersyaratkan. Oleh karena secara umum model micro-macro link II ini sudah masuk jalur kesesuaian (fitting) dan sudah mempunyai keserupaan yang tinggi dengan sistem nyatanya, maka model relatif dapat diterima dan dapat digunakan untuk menjelaskan interaksi (link) komponen terkait dalam pembangunan perikanan baik dalam lingkup mikro usaha perikanan tangkap di Kabupaten Belitung maupun lingkup makro terkait perekonomian nasional. Kebijakan-kebijakan strategis yang dianggap perlu bagi pembangunan perikanan tangkap terpadu sebagai trade-off ekonomi yang tepat di kawasan adalah: (1) kebijakan teknis pengembangan perikanan berdasarkan wilayah basis, (2) kebijakan penyelamatan pemasaran produk perikanan daerah dan usaha perikanan unggulan terutama bila kondisi ekonomi dan keuangan global tidak stabil, (3) kebijakan antisipasi kondisi kontroversial suatu kebijakan nasional bila diberlakukan di kawasan, (4) kebijakan pengembangan jalur-jalur perdagangan produk perikanan yang permanen dan jangka panjang, dimana Pemerintah Daerah mengambil peran aktif sebagai pengawas dan penggagas kesepakatan perdagangan dengan pasar-pasar strategis, dan (5) Kebijakan yang menjamin terciptanya kondisi kondusif kegiatan pelayanan jasa yang mendukung pembangunan perikanan baik jasa pelabuhan, transportasi udara, darat, dan laut, jasa komunikasi, dan jasa pelayanan lainnya. Kata kunci: alat tangkap, perikanan, micro-macro link, Kabupaten Belitung ix

7 Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

8 PEMBANGUNAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN BELITUNG: SUATU ANALISIS TRADE-OFF EKONOMI BERBASIS LOKAL M.NIZAR DAHLAN Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

9 Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Mustaruddin, M.Sc. 2. Dr. Ir. M. Imron, M.Sc. Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Husni Mangga Barani, M.Sc. 2. Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc.

10 Judul Disertasi Nama NRP : Pembangunan Perikanan Tangkap Di Kabupaten Belitung: Suatu Analisis Trade-Off Ekonomi Berbasis Lokal : M.Nizar Dahlan : C Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Ketua Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc Anggota Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Anggota Prof. Dr. Ir.Akhmad Fauzi, M.Sc Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 24 September 2010 Tanggal Lulus : 6 Januari 2011

11 PRAKATA Mengawali prakata ini, dengan hati yang tulus serta bertawakal kepada Allah SWT, sambil memuji dan bersyukur kehadirat-nya atas segala nikmat dan rahmat yang telah dilimpahkan-nya kepada Penulis, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan naskah disertasi yang berjudul Pembangunan Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung: Suatu Analisis Trade-Off Ekonomi Berbasis Lokal. Bukanlah suatu yang mudah buat penulis untuk menyelesaikan disertasi dengan penelitian yang harus dilaksanakan di lokasi penelitian, karena dengan kesibukan penulis yang duduk sebagai anggota DPR RI membuat disertasi ini menjadi agak tertunda untuk diselesaikan. Pada kesempatan ini, Penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan studi dan disertasi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama kepada yang terhormat : 1. Rektor IPB, Prof. Dr. Ir. H. Herry Suhardiyanto, M.Sc 2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. 3. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof.Dr.Ir. Indra Jaya,M.Sc 4. Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Pascasarjana IPB, Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. 5. Sekretaris Dekan Program S3 Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Si 6. Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. 7. Anggota Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc., Prof. Dr. Ir. A. Fauzi, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. 8. Dosen-dosen yang telah membagi ilmunya dalam kuliah di Program Studi Teknologi Kelautan Pascasarjana IPB. 9. Shinta Yuniarta, M.Si dan Ima Kusumanti, S.Pi yang telah memberikan pelayanan administrasi di Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB, dan M. Khairudin Zakky, S.Si sebagai Asisten Anggota DPR RI. xix

12 10. Ibunda tercinta, Ibu Hj. Rasyidah Musa yang selalu membimbing dan mendoakan agar Penulis selalu dalam lindungan Allah dan kepada Almarhum Ayahanda tercinta H. Dahlan Salim, semoga amal ibadah beliau diterima-nya. 11. Istri Dra. Hj. Noorjannah Shomad, M.Si beserta anak-anak Qorie Aina Nizar, SE., Hafizh Luthfi Nizar, Hilal Nadjmi Nizar, Riezky Ka bah Nizar dan Puti Syafira Rasyidah Nizar yang menjadi pendamping dalam suka dan duka kehidupan, sehingga Penulis selalu mendapat semangat untuk menyelesaikan studi dan disertasi ini. 12. Ketua Komisi IV DPR RI Drs.H.A.Muqowam 13. Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung, terutama Kepada Bupati Ir. H. Darmansyah Husein yang kebetulan juga sebagai teman penulis dan sudah banyak membantu untuk kelancaran penelitian di Belitung, dan kepada pihak-pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu. Saya menyadari sepenuhnya bahwa tiada gading yang tak retak dan bahwa kesempurnaan adalah milik Allah SWT semata, demikian juga dengan hasil penelitian ini masih banyak kekurangan di sana-sini. Oleh karena itu, saya sangat berbahagia apabila para pembaca dapat menyampaikan saran dan kritik membangun untuk penyempurnaan hasil penelitian ini. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Pemerintahan Daerah Kabupaten Belitung dalam mengembangkan perikanan tangkap di wilayahnya, disamping sebagai terobosan sumbang pemikiran bagi dunia pendidikan dan perekonomian yang berkaitan dengan teknologi kelautan di Indonesia. Akhirnya, saya berdoa semoga hasil penelitian ini bermanfaat, tidak saja untuk kalangan para ilmuwan dan calon ilmuwan (peneliti, pendidik dan mahasiswa) di bidang ini. Dengan demikian, kita dapat meningkatkan pendayagunaan perikanan tangkap secara optimal dan lestari bagi kemakmuran dan kemajuan bangsa Indonesia. Jakarta, Januari 2011 Penulis, M. Nizar Dahlan xx

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 24 Februari 1953 sebagai anak ketiga dari pasangan (Alm) H. Dahlan Salim dan Hj. Rasyidah Musa. Pendidikan sarjana muda ditempuh pada Akademi Geologi dan Pertambangan Bandung, suatu akademi kedinasan milik Departemen Pertambangan lulus tahun Kemudian melanjutkan pendidikan sarjana tugas belajar ke Universitas Padjadjaran Bandung di Fakultas MIPA jurusan Teknik Geologi, lulus tahun Pada tahun 2000, penulis melanjutkan Sekolah Pascasarjana Ilmu Administrasi Jurusan Kekhususan Otonomi Daerah Universitas Muhammadiyah Jakarta, lulus tahun 2003, dan pada tahun 2005 mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor ke Sekolah Pascasarjana Program Studi Teknologi Kelautan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan IPB. Pada tahun 2004 sampai 2009 penulis menjadi Anggota DPR RI Komisi 7 dan sekarang bergerak di bidang bisnis pertambangan dan ekspedisi, sebagai Komisaris Utama PT.Alam Tanjung Raya. Selama menjadi mahasiswa Pascasarjana IPB, pernah menerbitkan buku dengan teman-teman sesama mahasiswa pascasarjana dan dosen pascasarjana dengan judul : Sistem Alternatif Manajemen Sumber daya Kelautan dan Perikanan, dan tulisan dengan judul Model Micro-Macro Link Pengembangan Kebijakan Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung pada Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, Vol. 1, No.1, Bulan November. Tahun 2010 (ISSN ) dan Analisis Kesesuaian Alat Tangkap dengan Kewilayahan dalam Menunjang Pembangunan Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung pada Marine Fisheries Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Laut Volume 2, No. 1, edisi Mei xxi

14 DAFTAR ISI xxiii Halaman DAFTAR TABEL... xxvii DAFTAR GAMBAR... xxix DAFTAR LAMPIRAN... xxxi DAFTAR ISTILAH... xxxv 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Kerangka Pemikiran Hipotesis TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pengelolaan perikanan menurut ketentuan hukum Indonesia Pengelolaan perikanan Indonesia menurut Wilayah Pengelolaan Perairan (WPP) Pengelolaan perikanan di Kabupaten Belitung Pembentukan Sistem Pengembangan Perikanan Subsistem kegiatan usaha perikanan Subsistem pelabuhan perikanan, fungsionalitas dan aksesibilitas Subsistem peraturan dan kelembagaan perikanan Usaha Perikanan Tangkap Pengembangan Perikanan Tangkap Trade-off Ekonomi Kebijakan Perikanan Ruang lingkup kebijakan Kebijakan pengembangan perikanan Matriks Penelitian Terdahulu di Kabupaten Belitung METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tahap Penelitian Lapangan Metode Pengumpulan Data Analisis Deskriptif Analisis Sumber Daya Ikan Analisis Kesesuaian Usaha Perikanan Tangkap Analisis Location Quotient (LQ) Analisis Micro-Macro Link (MML)... 56

15 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Kondisi alat tangkap di Kabupaten Belitung Kondisi armada dan daerah penangkapan ikan di Kabupaten Belitung Perkembangan Nelayan Kondisi Produksi Ikan Stok Sumber daya Ikan Stok sumber daya ikan pelagis besar Stok sumber daya ikan pelagis kecil Stok sumber daya ikan demersal Stok Sumber daya Udang dan Biota Laut Non Ikan KELAYAKAN USAHA PERIKANAN TANGKAP Kondisi Pendapatan Usaha Perikanan Tangkap Kondisi pendapatan usaha perikanan pelagis Kondisi pendapatan usaha perikanan demersal, udang dan biota laut non Ikan Kondisi Pembiayaan Usaha Perikanan Tangkap Kondisi pembiayaan usaha perikanan pelagis Kondisi pembiayaan usaha perikanan demersal, udang dan biota laut non ikan Kelayakan Usaha Perikanan Tangkap Kelayakan usaha berdasarkan Net Present Value, Benefit- Cost Ratio, dan Internal Rate Return Kelayakan usaha berdasarkan Return of Investment dan Payback Period Status kelayakan usaha perikanan tangkap PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung Location Quotients (LQ) bagi Usaha Perikanan Tangkap Unggulan Location Quotients (LQ) bagi usaha perikanan pelagis Location Quotients (LQ) bagi usaha perikanan demersal, udang, dan biota laut non ikan Pertumbuhan Tenaga Kerja di Wilayah Basis Pengganda basis Pertumbuhan tenaga kerja di wilayah basis xxiv

16 7 PENGEMBANGAN KEBIJAKAN STRATEGIS DENGAN KONSEP MICRO-MACRO LINK Model Micro-Macro Link Pembangunan Perikanan Tangkap Model Micro-Macro Link I Model Micro-Macro Link II Pengembangan Kebijakan Strategis Pembangunan Perikanan Tangkap Pengembangan kebijakan teknis berbasis kewilayahan Pengembangan kebijakan terkait moneter dan fiskal Pengembangan kebijakan yang mendukung kebijakan nasional yang sudah ada Pengembangan kebijakan terkait trade produk Pengembangan kebijakan terkait ekonomi regional Rumusan Kebijakan Strategis Pembangunan Perikanan Tangkap KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xxv

17

18 DAFTAR TABEL Halaman 1 Potensi perikanan tangkap dan budidaya di Kabupaten Belitung (tahun 2007) Mapping research Jumlah nelayan yang bekerja penuh, sambilan, dan sambilan tambahan periode tahun di Kabupaten Belitung Jumlah produksi ikan selama periode tahun di Kabupaten Belitung Hasil analisis NPV, B/C ratio, dan IRR usaha perikanan tangkap Hasil analisis ROI dan PP usaha perikanan tangkap Status kelayakan usaha perikanan tangkap Hasil analisis LQ usaha perikanan tangkap unggulan Nilai pengganda basis (K) setiap sektor basis Pertumbuhan tenaga kerja (Delta N) di wilayah basis Hasil uji kesesuaian model micro-macro link I terhadap kriteria goodness-of fit Nilai modification index (MI) kovarian dari model micro-macro link I Nilai modification index (MI) regresi dari model micro-macro link I Hasil uji kesesuaian model micro macro link II terhadap kriteria goodness-offit Koefisien pengaruh langsung, tidak langsung, dan pengaruh total dalam interaksi (link) usaha perikanan Belitung Probabilitas pengaruh interaksi (link) usaha perikanan Belitung Koefisien pengaruh langsung, tidak langsung, dan pengaruh total dalam interaksi (link) kondisi fiskal Probabilitas pengaruh interaksi (link) kondisi fiskal Koefisien pengaruh langsung, tidak langsung, dan pengaruh total dalam interaksi (link) kebijakan nasional Probabilitas pengaruh interaksi (link) kebijakan nasional Koefisien pengaruh langsung, tidak langsung, dan pengaruh total dalam interaksi (link) trade produk Probabilitas pengaruh interaksi (link) trade produk xxvii

19 23 Koefisien pengaruh langsung, tidak langsung, dan pengaruh total dalam interaksi (link) ekonomi regional Bangka Belitung Probabilitas pengaruh interaksi (link) ekonomi regional xxviii

20 DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran penelitian Lokasi Penelitian Latar Belakang Studi Logical framework MML Diagram alir tahapan penelitian Pemakaian alat tangkap selama periode tahun di Kabupaten Belitung Peta daerah penangkapan ikan di Kabupaten Belitung Jumlah armada penangkapan yang dioperasikan selama periode tahun di Kabupaten Belitung Jumlah armada/perahu tanpa motor dari jenis jukung dan perahu papan kecil selama periode tahun di Kabupaten Belitung Jumlah armada/perahu motor dari ukuran < 5 GT, 5-10 GT, GT, dan GT selama periode tahun di Kabupaten Belitung Trend upaya penangkapan gabungan (effort-gabungan) selama periode tahun di Kabupaten Belitung Hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan F Optimum untuk ikan pelagis besar di perairan Kabupaten Belitung Perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap ikan pelagis besar di Kabupaten Belitung Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan pelagis besar di perairan Kabupaten Belitung Hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan F Optimum untuk ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Belitung Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten kecil di Kabupaten Belitung Perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap ikan pelagis kecil di Kabupaten Belitung Hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan F Optimum untuk ikan demersal di perairan Kabupaten Belitung Perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap ikan demersal di Kabupaten Belitung xxix Halaman

21 20 Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan demersal di perairan Kabupaten Belitung Hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan F Optimum untuk udang dan biota laut non ikan di perairan Kabupaten Belitung Perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap udang dan biota laut non ikan Kabupaten Belitung Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE udang dan biota laut non ikan di perairan Kabupaten Belitung Perilaku pendapatan usaha perikanan pancing tonda, payang, JIT, dan JIL selama tahun operasi Perilaku pendapatan usaha perikanan JIH, sero, pukat pantai, bagan perahu, dan bagan tancap selama tahun operasi Perilaku pendapatan usaha perikanan bubu dan jermal selama tahun operasi Perilaku pendapatan usaha perikanan pukat udang dan trammel net selama tahun operasi Perilaku pembiayaan usaha perikanan pancing tonda, payang, JIT, dan JIL selama tahun operasi Perilaku pendapatan usaha perikanan JIH, sero, pukat pantai, bagan perahu, dan bagan tancap selama tahun operasi Perilaku pembiayaan usaha perikanan bubu dan jermal selama tahun operasi Perilaku pembiayaan usaha perikanan pukat udang dan trammel net selama tahun operasi Model micro-macro link I pembangunan perikanan tangkap Model micro-macro link II pembangunan perikanan tangkap xxx

22 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Nilai CPUE untuk menentukan alat tangkap standar ikan pelagis besar Nilai FPI alat tangkap ikan pelagis besar Effort standar alat tangkap ikan pelagis besar Penangkapan, CPUE dan MSY sumber daya ikan pelagis besar Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis besar menggunakan pancing tonda Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis besar menggunakan payang Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis besar menggunakan jaring insang tetap (JIT) Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis besar menggunakan jaring insang lingkar (JIL) Nilai CPUE untuk menentukan alat tangkap standar ikan pelagis kecil FPI alat tangkap ikan pelagis kecil Effort standar alat tangkap ikan pelagis kecil Produksi, upaya penangkapan, CPUE dan MSY sumber daya ikan pelagis kecil Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis kecil menggunakan jaring insang lingkar (JIL) Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis kecil menggunakan sero Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis kecil menggunakan jaring insang hanyut (JIH) Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis kecil menggunakan pukat pantai Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis kecil menggunakan bagan perahu Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis kecil menggunakan bagan tancap Nilai CPUE untuk menentukan alat tangkap standar ikan demersal FPI alat tangkap ikan demersal Effort standar alat tangkap ikan demersal Produksi, upaya penangkapan, CPUE dan MSY sumber daya ikan demersal xxxi

23 23 Trend produksi dan upaya penangkapan ikan demersal menggunakan bubu Trend produksi dan upaya penangkapan ikan demersal menggunakan sero Trend produksi dan upaya penangkapan ikan demersal menggunakan pancing tonda Trend produksi dan upaya penangkapan ikan demersal menggunakan jermal Nilai CPUE untuk menentukan alat tangkap standar udang dan biota laut non ikan FPI alat tangkap udang dan biota laut non ikan Effort standar alat tangkap udang dan biota laut non ikan Produksi, upaya penangkapan, CPUE dan MSY sumber daya udang dan biota laut non ikan Trend produksi dan upaya penangkapan udang dan biota laut non ikan menggunakan pukat udang Trend produksi dan upaya penangkapan udang dan biota laut non ikan menggunakan trammel net Trend produksi ikan total selama periode di Kabupaten Belitung Upaya Penangkapan (Effort) selama periode di Kabupaten Belitung Upaya penangkapan standar (standard effort) gabungan dan setiap alat tangkap ikan pelagis besar di Kabupaten Belitung Upaya penangkapan standar (standard effort) gabungan dan setiap alat tangkap ikan pelagis kecil di Kabupaten Belitung Upaya penangkapan standar (standard effort) gabungan dan setiap alat tangkap ikan demersal di Kabupaten Belitung Upaya penangkapan standar (standard effort) gabungan dan setiap alat tangkap udang dan biota laut non ikan di Kabupaten Belitung Hasil analisis kelayakan usaha perikanan pancing tonda Hasil analisis kelayakan usaha perikanan payang Hasil analisis kelayakan usaha perikanan jaring insang tetap (JIT) Hasil analisis kelayakan usaha perikanan jaring insang lingkar (JIL) Hasil analisis kelayakan usaha perikanan jaring insang hanyut (JIH) Hasil analisis kelayakan usaha perikanan sero Hasil analisis kelayakan usaha perikanan pukat pantai Hasil analisis kelayakan usaha perikanan bagan perahu Hasil analisis kelayakan usaha perikanan bagan tancap xxxii

24 48 Hasil analisis kelayakan usaha perikanan bubu Hasil analisis kelayakan usaha perikanan jermal Hasil analisis kelayakan usaha perikanan pukat udang Hasil analisis kelayakan usaha perikanan trammel net Sebaran tenaga kerja nelayan di Kabupaten Belitung Hasil analisis model micro-macro link I (sebagian) Hasil analisis model micro-macro link II Dokumentasi kegiatan penelitian lapang xxxiii

25 DAFTAR ISTILAH Berkelanjutan By-catch CCRF Chi-square CMIN/DF Catch and Effort CPUE Effort et al FAO GDP GFI HTSU IPTEK IRR IUU Location Quotient (LQ) : Pemanfaatan sumber daya secara lestari, yaitu laju pemanfaatan harus lebih kecil atau sama dengan laju pemulihan sumber daya tersebut : Hasil tangkapan sampingan, merupakan bagian dari hasil tangkapan yang didapatkan pada saat operasi penangkapan sebagai tambahan dari tujuan utama penangkapan (target spesies) : Code of Conduct Responsible Fisheries, merupakan tata laksana perikanan yang bertanggung jawab. : menyatakan jumlah simpangan pada model : Chi-square/Degree of Freedom adalah pembandingan chisquare dengan derajat bebas : Hasil tangkapan dan upaya penangkapan : Catch per Unit Effort adalah hasil tangkapan per upaya : Upaya penangkapan ikan : dan kawan-kawan : Food Agriculture Organization, merupakan Badan Pangan Dunia di Perserikatan Bangsa-Bangsa : Gross Domestic Product = Produk Domestik Bruto : Goodness of Fit Index menyatakan perbandingan varian (perbedaan angka-angka komponen sejenis) pada model dengan sistem nyata : Hasil Tangkapan Setiap Unit : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi : Internal Rate of Return, yaitu batas untung rugi dalam berinvestasi dan tingkat keuntungan dalam investasi : Illegal, Unregulated and Unreported : Suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktivitas tertentu dengan pangsa total aktivitas tersebut dalam total aktivitas wilayah

26 MEY MI Micro-Macro Link (MML) MSY Nelayan Net B/C NPV PDRB Pengembangan Perikanan Tangkap PP PPI PPN Probability Renewable Resources RFMO : Maximum Economic Yield (hasil tangkapan maksimum ekonomi lestari) : Modification Index : Teori untuk memudahkan penyusunan konsep kebijakan strategis dengan menghimpun informasi atau data yang saling berkaitan antara kondisi mikro dengan kondisi makro suatu wilayah tertentu : Maximum Sustainable Yield (hasil tangkapan maksimum lestari) : Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air : Net Benefit Cost, merupakan perbandingan antara total penerimaan bersih dan total biaya produksi : Net Present Value, merupakan selisih antara nilai sekarang dari penerimaan dengan nilai sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga tertentu. : Product Domestic Regional Bruto : Usaha perbaikan dari suatu nilai yang kurang kepada sesuatu yang lebih baik, proses yang menuju pada suatu kemajuan. : Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. : Payback Period adalah untuk mengukur lamanya pengembalian investasi dari pendapatan : Pangkalan Pendaratan Ikan : Pelabuhan Perikanan Nusantara : menyatakan tingkat kemiripan model dengan sistem nyata : Sumber daya alam yang dapat diperbaharui : Regional Fisheries Management Organization xxxvi

27 RMSEA RPOA ROI SEM TAC TLI Trade off Unit Penangkapan WPP-RI : The Root Mean Square Error Approximation menyatakan kedekatan angka-angka model dengan angka sistem nyatanya : Regional Plan of Action : Return of Investment adalah tingkat pengembalian investasi dari pendapatan yang diterima : Structural Equation Modeling merupakan metode analisis dengan menggunakan sistem multivariate yang mempunyai kemampuan untuk menganalisis tingkat dan sifat pengaruh interaksi (link) antar komponen pada suatu sistem nyata dengan menggunakan data lapang yang bersifat multivariable dan multi hubungan. : Total Allowable Catch, yaitu jumlah maksimal yang diperbolehkan untuk jumlah tangkapan : Tucker Lewis Index adalah indeks untuk melihat perbandingan secara parsial : Menukar sesuatu untuk atau dengan sesuatu yang lainnya : Suatu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap dan nelayan. : Wilayah Pengelolaan Perairan Republik Indonesia xxxvii

28 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi yang bercirikan liberalisasi perdagangan dan persaingan antarbangsa semakin intensif, segenap sektor ekonomi harus mampu menghasilkan barang dan jasa (goods and services) berdaya saing tinggi, termasuk sektor perikanan. Mengingat potensi perikanan Indonesia yang sangat besar, sementara permintaan pasar terus meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk dunia, menjadikan perikanan di Indonesia sebagai salah satu potensi yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sekarang, hingga saat yang akan datang. Ekonomi kelautan diyakini dapat menjadi keunggulan kompetitif dan memecahkan persoalan bangsa Indonesia. Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi pembangunan ekonomi kelautan yang besar dan beragam. Sedikitnya terdapat 10 sektor yang dapat dikembangkan untuk memajukan dan memakmurkan Indonesia, yang berkaitan dengan teknologi kelautan yaitu: (1) perikanan tangkap; (2) perikanan budidaya; (3) industri pengolahan hasil perikanan; (4) industri bioteknologi kelautan; (5) pertambangan dan energi; (6) pariwisata bahari; (7) transportasi laut; (8) industri dan jasa maritim; (9) pulau-pulau kecil; dan (10) sumberdaya non-konvensional (Dahuri, 2003). Indonesia dengan luas lautannya mencakup 75% dari total luas wilayah Indonesia, termasuk Lautan Teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif, merupakan kekayaan negara yang mempunyai hak berdaulat dalam memanfaatkan sumber daya hayati dan nonhayati berdasarkan ketentuan UNCLOS Hal ini diharapkan dapat mendorong pembangunan nasional ke arah lautan bersamaan dengan pembangunan di daratan. Dalam menata ruang lautan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari usaha untuk menciptakan ocean governance, dan agar terhindar dari konflik dalam penggunaan ruang lautan untuk berbagai usaha eksploitasi di satu pihak dan konservasi di pihak lain, maka perlu suatu peraturan atau kebijakan yang lebih tepat dan menyeluruh, menyangkut semua

29 aspek-aspek yang memiliki potensi konflik antar stakeholders, baik di tingkat pusat, daerah maupun masyarakat. Pada awal berdirinya negara ini, Indonesia mengadopsi produk hukum peninggalan Belanda, yaitu Ordonansi No. 525 Tahun 1939 yang membagi wilayah laut Indonesia menjadi Laut Teritorial dan Laut Pedalaman. Laut Teritorial dinyatakan sebagai wilayah perairan yang membentang ke arah laut sampai jarak 3 mil laut dari garis surut pulau-pulau atau bagian-bagian pulau, termasuk karang-karang, batu-batu karang dan gosong-gosong yang ada di atas permukaan laut pada waktu air surut. Laut Pedalaman adalah perairan pedalaman yang terdiri dari semua perairan yang terletak pada bagian danau dan rawa-rawa, sedangkan wilayah di luar perairan tersebut merupakan laut bebas, yang terdapat di antara pulau-pulau nusantara. Pembagian perairan seperti itu sangat tidak mendukung bagi persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia, karena dapat mendatangkan kerawanan di bidang ekonomi, keamanan bahkan politik. Seiring dengan perkembangan zaman, dengan mempertimbangkan bentuk geografi Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang mempunyai sifat dan corak tersendiri, serta untuk keutuhan daerah teritorial yang mempunyai kelayakan sumberdaya alam berupa kepulauan serta laut yang terletak diantaranya, maka harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat. Selain itu batas penentuan laut teritorial seperti yang terdapat dalam Teritoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 Stbl No. 442 artikel 1 ayat 1 tidak sesuai dengan pertimbanganpertimbangan tersebut di atas, karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian terpisah dengan daerah teritorialnya sendiri. Pemerintah Indonesia pada tanggal 13 Agustus 1957 dalam sidang menteri menyampaikan pengumuman pemerintah mengenai Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia yang dibacakan oleh Perdana Menteri Ir. H. Djoeanda, dinyatakan bahwa: Segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau sebagian pulau-pulau yang termasuk daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian yang wajar daripada wilayah daratan negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah 2

30 kedaulatan mutlak negara Republik Indonesia, lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing terjamin selama dan sekadar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pada pulau-pulau negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undangundang. Pengumuman pemerintah tersebut dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, yang kemudian disampaikan pada Konferensi Internasional mengenai Hak-Hak Atas Lautan yang diselenggarakan pada bulan Februari 1958 di Jenewa, Swiss. Melalui kebijakan Deklarasi Djuanda ditetapkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia, yang pada intinya menyatakan: 1) Kepulauan dari perairan Indonesia menjadi satu kesatuan, sedangkan laut yang menghubungkan pulau demi pulau merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daratannya, untuk itu ditarik garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar atau bagian pulau-pulau terluar dalam wilayah Indonesia. Perairan pada sisi dalam garis-garis pangkal/dasar tersebut disebut Perairan Pedalaman. 2) Lebar laut wilayah dinyatakan 12 mil laut diukur mulai dari garis pangkal tersebut menuju ke luar. 3) Kedaulatan negara Republik Indonesia mencakup perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, beserta sumbersumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. 4) Di perairan dijamin hak lintas damai bagi kendaraan air asing yang pengaturannya akan ditentukan tersendiri. Dengan dikeluarkannya Undang-undang tentang Wilayah Laut Negara Kepulauan melalui konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS United Nations Convention on the Law of the Sea) III Tanggal 30 April 1982 di New York, disepakati pengaturan rezim-rezim hukum laut yang bagi Indonesia merupakan bentuk pengaturan yang penting tentang negara kepulauan. Untuk menindaklanjuti pengakuan dunia internasional itu, diterbitkan UU No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut

31 Kebijakan industri perikanan terpadu merupakan amanat UU No 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan, dimana pada Pasal 1 dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan dan implementasi serta penegakan hukum dari perundang-undangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Penelitian ini, yang berjudul Pembangunan Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung; Suatu Analisis Trade-off Ekonomi Berbasis Lokal, merupakan penelitian dengan analisis trade-off pertama yang dilaksanakan di Kabupaten Belitung. Kata trade-off merupakan gabungan dua kata yang menjadi satu, yaitu kata trade dan off. Menurut Echols dan Shadily (1975), trade adalah perdagangan (kata benda); bertukar, tukar-menukar (kata kerja). Sedangkan off berarti mati (kata benda); salah, mati, putus, gila, miring (kata sifat); lagi (kata kerja). Bila trade dan off digabungkan maka akan menjadi to trade off berarti menjualkan atau menukar. Secara terminologi adalah kegiatan atau proses pembelian, penjualan, atau pertukaran komoditi, baik dijual langsung atau retail, dalam sebuah negara atau antar negara. Atau secara umum dapat diartikan menukar sesuatu untuk atau dengan sesuatu yang lainnya. Trade meliputi setiap jenis perdagangan atau penjualan, termasuk dalam perikanan, pertanian, industri, tagihan, atau keuangan; tetapi saat ini telah mengalami penyempitan makna yaitu lebih banyak diartikan dalam proses pertukaran dan pemesanan atau penjualan barang, alat-alat, dan merchandise, baik dijual langsung atau retail, baik ke internasional maupun domestik. Perdagangan internasional itu meliputi ekspor dan impor barang, atau pertukaran komoditas dari berbagai negara. Perdagangan domestik meliputi pertukaran, pembelian atau penjualan barang dalam sebuah negara. Menurut data tahun 2002 Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Potensi lestari sumberdaya ikan (SDI) laut Indonesia sekitar 6,4 juta ton per tahun atau 7,5 persen dari total potensi lestari ikan laut dunia, dan tingkat pemanfaatannya baru 4,4 juta ton. Masih ada peluang mengembangkan usaha 4

32 perikanan tangkap masih dapat dikembangkan di daerah-daerah seperti pantai Timur Sumatra, pantai Selatan Jawa, Bali, NTB, dan NTT sampai ke Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudra Hindia; Teluk Tomini; Laut Sulawesi; Laut Banda; dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudra Pasifik. Potensi produksi SDI usaha perikanan budidaya jauh lebih besar dibanding perikanan tangkap, sekitar 58 juta ton per tahun, dan baru diproduksi sebesar 1,6 juta ton (0,3 persen). Dengan potensi ini, Indonesia merupakan produsen ikan terbesar keenam di dunia dengan volume produksi enam juta ton (FAO, 2003). Bila Indonesia mampu meningkatkan produksi perikanannya, terutama yang berasal dari usaha perikanan budidaya, menjadi 50 juta ton per tahun (75 persen dari total potensi), maka Indonesia akan menjadi produsen perikanan terbesar di dunia. Sampai saat ini RRC merupakan produsen ikan tertinggi dengan total produksi 41 juta ton per tahun, dengan luas laut dan panjang garis pantainya hanya setengah dari luas perairan Indonesia. Sumberdaya kelautan yang sangat besar itu belum semuanya dikelola atau dimanfaatkan dengan baik. Walaupun kenyataan bahwa eksploitasi sumber daya laut di beberapa daerah di Indonesia telah dimanfaatkan, namun hal ini tidak terjadi di banyak daerah-daerah dan menyebabkan kegiatan perikanan di suatu wilayah berkembang dengan pesat, sebaliknya pada daerah lain kegiatan perikanannya sulit berkembang. Sebagai contoh, jika pengembangan usaha tambak udang seluas 500 ribu hektare dengan produktivitas rata-rata dua ton per hektare per tahun, dilaksanakan satu juta ton udang dan devisa 6 miliar dolar AS per tahun, akan dihasilkan setara dengan total devisa dari seluruh ekspor tekstil Indonesia dan penyerapan tenaga kerja sekitar tiga juta orang, tidak termasuk jenis-jenis lainnya. Secara potensial, nilai ekonomi total dari produk perikanan dan kelautan Indonesia diperkirakan sebesar 82 miliar dolar AS per tahun. Untuk pariwisata bahari, Negara Bagian Queensland, Australia, dengan panjang garis pantai kilometer, mampu menghasilkan devisa 2 miliar dolar AS pada Berdasarkan informasi potensi ekonomi pariwisata bahari Indonesia sebenarnya sangatlah besar. Hampir 70 persen produksi minyak dan gas bumi kita berasal dari kawasan pesisir dan laut. Potensi ekonomi perhubungan laut, juga diperkirakan sekitar 14 5

33 miliar dolar AS per tahun. Ekonomi kelautan makin strategis seiring pergeseran pusat kegiatan ekonomi dunia dari Poros Atlantik ke Poros Pasifik. Hampir 70 persen dari total perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik, dan 75 persen dari barang-barang yang diperdagangkannya ditransportasikan melalui laut Indonesia (Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makassar, dan laut-laut lainnya). Seharusnya Indonesia mendapat keuntungan paling besar dari posisi kelautan global tersebut. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2009, Perairan Kabupaten Belitung termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perairan Republik Indonesia (WPP-RI) 711, dimana pada tahun 2007, produksi perikanan tangkap mencapai ton/tahun dengan nilai Rp. 1,39 triliun. Hal ini berarti bahwa sektor perikanan di Kabupaten Belitung sebenarnya dapat dijadikan sebagai sektor unggulan yang akan membantu meningkatkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat lokal. Namun pandangan ini belum tentu dipahami dan diterima oleh pelaku kebijakan dan pelaku usaha, sehingga sektor perikanan di Kabupaten Belitung belum berkembang sperti yang diharapkan. Oleh karenanya, diperlukan suatu trade off sektor perikanan terhadap sektor lainnya yang menjadi unggulan. Trade off ini dapat dilakukan secara vertikal, yaitu dengan sektor perikanan komersial yang ada di Kabupaten Belitung, atau secara horisontal, yaitu dengan sektor pariwisata dan pertambangan yang selama ini menjadi sektor unggulan di Kabupaten Belitung. Pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kabupaten Belitung masih tergolong sederhana, karena peralatan yang digunakan kebanyakan adalah peralatan tradisional dan sederhana. Sehingga masih banyak nelayan yang kurang dalam pengetahuan tentang penangkapan ikan dan pengolahan ikan hasil produksi atau hasil penangkapan. Hal ini berakibat masih banyak nelayan yang miskin dan belum memiliki penghasilan yang memadai untuk dikategorikan sebagai sejahtera. Disamping itu masih banyaknya pencurian ikan oleh nelayan asing di kawasan yang masih dalam kategori masih dapai dieksploitasi ini. Sumber daya ikan merupakan komoditi yang memiliki karakteristik khusus, sebab ikan yang mengandung protein dan bermanfaat bagi tubuh manusia 6

34 itu, tersedia secara bebas di laut. Namun, karena sumber daya ikan merupakan jenis sumber daya yang renewable, maka tingkat penangkapannya selalu mengancam keberlanjutan sumber daya ikan tersebut. (Kamaluddin, L. 2002) Lingkungan ikan yang berada pada alam (laut) yang setiap orang bebas menangkapnya, tentu tidak boleh melebihi kepunahannya (over fishing). Karena laut masih dianggap sebagai wilayah bebas, maka laut tetap dikategorikan sebagai sumber daya bersifat open acces atau sebagai sumber daya yang setiap individu atau kelompok dengan bebas mengakses sumber dayanya. Pada abad modern ini, kegiatan perikanan semakin merambah yang pada awalnya merupakan urusan ekonomi lokal menjadi kegiatan ekonomi global yang menghasilkan miliaran dollar dari perdagangan dunia. (Fauzi, 2010) Sebagai contoh, pada tahun 1950an nilai perdagangan global dari produk perikanan sudah mencapai 15 miliar dolar AS. Nilai itu kemudian meningkat lebih dari lima kali lipat menjadi 86 miliar dolar AS pada tahun 2006 (FAO,2009). Secara riil, setelah disesuaikan dengan inflasi, nilai perdagangan ini meningkat sebesar 32.1 % pada periode Perikanan Indonesia sendiri pada kurun periode yang sama, meraup devisa sebesar 2,10 miliar dolar AS dari ekspor hasil perikanan (DKP,2007). Selain itu, sekarang ini kegiatan perikanan kini juga telah menjadi sumber energi bagi pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, hal ini ditandai dengan peningkatan produksi perikanan dunia yang sangat nyata. Dengan asumsi perkembangan produksi perikanan yang semakin meningkat ini, dan kondisi perairan Kabupaten Belitung yang bersinggungan dengan Laut China Selatan yang mempunyai potensi perikanan cukup tinggi, maka dilakukan pengamatan secara lebih komprehensif untuk dilakukan penelitian. Berdasarkan hasil pengamatan di wilayah Kabupaten Belitung terhadap pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang masih sederhana tersebut, terdapat beberapa hal penyebab permasalahan masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia, masih rendahnya pengetahuan tentang teknologi penangkapan ikan, baik dari segi jaring ramah lingkungan, kapal tangkap dan teknologi pendeteksi ikan. Selain itu rendahnya penegakan hukum bagi para pelanggaran penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dan pencuri ikan juga masih minim, juga belum adanya kebijakan secara terpadu tentang 7

35 pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Belitung yang dapat dijadikan payung hukum bagi para aparat penegak hukum di daerah agar dapat membantu dalam proses pengelolaan sumberdaya perikanan. 1.2 Perumusan Masalah Potensi sumberdaya ikan yang melimpah yang dimiliki suatu wilayah perairan, belum cukup untuk menggambarkan bahwa kegiatan perikanan di daerah tersebut akan berkembang baik, apabila sarana dan prasarana perikanan yang belum memadai, keterbatasan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, karakteristik sumberdaya ikan, teknologi pemanfaatan, kemampuan investasi dan pemodalan yang minim dari pemerintah dan masyarakat setempat, ketiadaan pasar atau konsumen serta situasi politik yang ada merupakan faktor-faktor yang dapat menghambat keberhasilan pembangunan perikanan di daerah tersebut, apalagi kalau dikaitkan dengan aspek ekonomi perikanan tanpa memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan perikanan dari berbagai perspektif (Fauzi,2010). Sejalan dengan semangat pelaksanaan otonomi daerah, potensi sumberdaya ikan yang besar di Laut Cina Selatan terutama di Kabupaten Belitung, perlu dimanfaatkan untuk dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan perekonomian daerah. Wilayah Pengelolaan Perikanan di Kabupaten Belitung memiliki potensi sumberdaya ikan yang sangat melimpah namun kegiatan perikanannya belum berkembang dengan baik, sehingga perlu dicarikan suatu model pengembangan perikanan yang tepat, yang disesuaikan dengan karakteristik potensi sumberdaya yang ada dan permasalahan yang dihadapi oleh daerah tersebut. Pendekatan pembangunan kewilayahan merupakan pilihan yang tepat untuk mengembangkan kegiatan perikanan di Kabupaten Belitung dan sekitarnya. Dalam pendekatan tersebut, perencanaan didasarkan pada kondisi, potensi dan kebutuhan kewilayahan secara keseluruhan dan memerlukan koordinasi lintas sektoral, sehingga pembangunan akan berjalan secara terpadu, efisien dan berkelanjutan. Partisipasi aktif masyarakat di Kabupaten Belitung dan sekitarnya diperlukan melalui keterlibatannya dalam proses perencanaan, pelaksanaan, 8

36 pengendalian dan pemanfaatan hasil pembangunan. Partisipasi terlihat nyata dari keterlibatan masyarakat menjadi tenaga kerja dalam berbagai aktivitas pembangunan perikanan Berdasarkan uraian di atas, dapat disarikan beberapa permasalahan yang akan diteliti, yaitu: 1) Perairan di Kabupaten Belitung memiliki potensi sumberdaya ikan yang potensial untuk dimanfaatkan, tetapi kegiatan perikanan di daerah ini masih rendah. Kapasitas stok sumberdaya ikan yang belum diketahui dengan baik di perairan Kabupaten Belitung menjadi penyebab dominan rendahnya kegiatan perikanan di lokasi. Hal ini kemudian berlanjut dengan rendahnya sumberdaya manusia di bidang perikanan serta orientasi pembangunan masih ke darat, dan lainnya. 2) Usaha perikanan tangkap yang dikembangkan di lokasi lebih didasarkan pada kebiasaan yang turun temurun, tanpa memperhatikan mana usaha perikanan tangkap yang layak dan mana usaha perikanan tangkap yang tidak layak dikembangkan menurut potensi wilayah dan karakteristik sumberdaya perikanan di Kabupaten Belitung. Pengembangan usaha perikanan tangkap yang layak dan unggulan sesuai dengan potensi dan karakteristik kewilayahan yang ada menjadi hal penting untuk membuat perencanaan pengembangan yang lebih tepat dan terpadu bagi pembangunan perikanan yang berkelanjutan di Kabupaten Belitung yang berasaskan manfaat, keadilan, efektivitas, kemitraan, pemerataan, keterbukaan, dan kelestarian. 3) Belum didapati kebijakan pengembangan perikanan yang tepat untuk mengatasi secara terpadu permasalahan-permasalahan yang bersifat spesifik. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum penelitian ini adalah pembangunan perikanan tangkap untuk kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Belitung Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk: 9

37 1) Memprediksi stok sumberdaya ikan untuk mendukung kegiatan pemanfaatan dan pengembangan perikanan tangkap terpadu. 2) Menentukan jenis usaha perikanan tangkap yang layak dan dapat dijadikan unggulan dalam pembangunan perikanan di Kabupaten Belitung. 3) Menentukan kesesuaian upaya unggulan alat tangkap dan prioritas terhadap wilayah penelitian di Kabupaten Belitung. 4) Mengembangkan model pengelolaan perikanan tangkap yang berbasis lokal, produksi perikanan, pendapatan dan keberlanjutan. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1) Sebagai sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung dalam upaya pemberdayaan nelayan dan pembangunan daerah melalui pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung. 2) Sebagai acuan bagi pelaku bisnis dalam perencanaan maupun implementasi investasi di bidang usaha perikanan tangkap di Kabupaten Belitung. 3) Sebagai dasar penelitian lebih lanjut dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang perikanan. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Agar penelitian tentang Pembangunan Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung: Suatu Analisis Trade-off Ekonomi Berbasis Lokal ini dapat fokus dan tidak melebar sehingga kehilangan manfaatnya, maka perlu ditetapkan ruang lingkup penelitiannya, yaitu: 1) Inventarisasi terhadap faktor-faktor dan pola-pola yang sangat menentukan dalam pencapaian keberhasilan pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung. 2) Analisis terhadap pola-pola pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung yang dipilih dalam penelitian ini. 10

38 3) Analisis kebijakan dalam kaitannya dengan pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung 1.6 Kerangka Pemikiran Dalam membahas masalah perikanan, yang sekarang sudah memegang peranan penting dalam peradaban manusia, muncul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan perikanan tersebut? Istilah perikanan atau fishery memang bisa membingungkan karena banyaknya definisi yang digunakan, baik secata teknis maupun nonteknis. Untuk itu terlebih dahulu harus disamakan persepsi tentang perikanan tersebut. Secara umum, Merriam-Webster Dictionary mendifinisikan perikanan sebagai kegiatan, industri atau musim pemanenan ikan atau hewan laut lainnya. Definisi yang hampir serupa juga ditemukan di Encyclopedia Brittanica yang mendifinisikan perikanan sebagai pemanenan ikan, kerang-kerangan (shellfish) dan mamalia laut. Sementara Hempel dan Pauly (2004) mendefinisikan perikanan sebagai kegiatan eksploitasi sumber daya hayati dari laut. Definisi di atas memang membatasi pada perikanan laut karena perikanan memang semula berasal dari kegiatan hunting (berburu) yang harus dibedakan dari kegiatan farming seperti budi daya. Dalam artian yang lebih luas, perikanan tidak saja diartikan aktivitas menangkap ikan (termasuk hewan invertebrata lainnya seperti finfish atau ikan bersirip) namun juga termasuk kegiatan mengumpulkan kerangkerangan, rumput laut dan sumber daya hayati lainnya dalam suatu wilayah geografis tertentu. (Fauzi,2010) Mengingat masalah yang telah dikemukakan di atas, maka diperlukan suatu pemikiran konseptual untuk memberikan solusi optimal terhadap permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Pengembangan perikanan tangkap merupakan suatu usaha untuk mengembangkan pola atau program perikanan tangkap yang telah ada di Kabupaten Belitung saat ini, sehingga dapat dicapai suatu tingkat dimana nelayan dan pemerintah daerah mendapatkan manfaat yang lebih besar dari industri perikanan tangkap yang ada di Kabupaten Belitung. Pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung ini difokuskan pada peningkatan kemampuan nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan 11

39 ikan yang efektif dan efisien, namun menghasilkan hasil tangkapan yang cukup dan yang lebih utama, tidak mengganggu keseimbangan sumberdaya perikanan dan lingkungan/ekosistem. Mengingat keadaan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Belitung saat ini secara umum masih tradisional, dengan jangkauan usaha penangkapan yang masih terbatas dan produktivitas masih tergolong rendah. Barus et al. (1991) menyatakan bahwa produktivitas yang masih rendah tersebut umumnya disebabkan oleh rendahnya keterampilan dan pengetahuan serta penggunaan alat tangkap maupun perahu yang masih sederhana, sehingga efektivitas dan efisiensi alat tangkap maupun teknologi belum optimal, dan hal ini sangat berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima oleh nelayan, baik secara ekonomi maupun sosial. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup atau pendapatan nelayan antara lain dengan meningkatkan produksi hasil tangkapannya. Peningkatan produksi ini sangat erat hubungannya dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh nelayan, serta sarana pendukung penangkapan yang lainnya. Satu di antaranya adalah dengan mengusahakan unit penangkapan yang produktif, yaitu unit penangkapan yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan tinggi dalam jumlah sehingga didapatkan nilai hasil tangkapan yang maksimal untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Selain itu unit penangkapan tersebut haruslah bersifat ekonomis dan menggunakan teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat, serta tidak merusak kelestarian lingkungan. Oleh karenanya diperlukan suatu kajian yang mendalam tentang pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung untuk menjawab permasalahan yang sedang dihadapi, yang termaktub dalam Gambar 1 tentang kerangka pemikiran yang akan digunakan. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap aspek bioekonomi perikanan di Kabupaten Belitung, pengelolaan perikanan yang ada saat ini, kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan Kabupaten Belitung, sarana dan prasarana produksi, unit penangkapan, unit pengolahan, aspek legal, unit pasar dan keterlibatan nelayan dan stakeholders lainnya, sehingga performance usaha perikanan menyangkut faktor produksi, profit, productivity dan pengembangan 12

40 wilayah basis dapat diandalkan. Untuk lebih jelasnya sistimatika alur kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1. Mulai Masalah perikanan tangkap di Kabupaten Belitung Produksi, profit, produktivitas, dan pengembangan wilayah basis usaha perikanan belum optimal Belum sesuai antara usaha perikanan tangkap dengan karakteristik wilayah basis Usaha perikanan tangkap terkait perdagangan dan mikro maupun makro dalam link pembangunan perikanan belum searah Produktivitas perikanan tangkap tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat Perdagangan produk perikanan dan kebijakan perikanan tangkap tidak sesuai target Upaya peningkatan produktivitas dan usaha perikanan tangkap yang disesuaikan dengan karakteristik wilayah basis Kebijakan usaha perikanan tangkap yang baru atau alternatif Peningkatan produktivitas, pendapatan, ekonomi lokal dan keberlanjutan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Belitung Selesai Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 13

41 1.7 Hipotesis Hipotesis yang menjadi acuan untuk melaksanakan penelitian ini adalah: 1) Produksi, profit dan produktivitas dari perikanan tangkap, serta pengembangan wilayah basis usaha perikanan tangkap di Kabupaten Belitung belum optimal, terutama untuk meningkatkan ekonomi lokal sehingga diperlukan usaha yang lebih terarah dalam mengusahakan peralatan usaha penangkapan ikan. 2) Belum adanya kesesuaian antara pengembangan usaha unggulan perikanan tangkap dan pengembangan wilayah basis bagi usaha perikanan tangkap di Kabupaten Belitung. 14

42 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan FAO (1997) melaporkan bahwa stok sumber daya ikan baik secara global maupun regional pada dekade terakhir ini telah mengalami penurunan yang sangat drastis. Berdasarkan beberapa kajian yang dilakukan, penyebab penurunan stok sumber daya ikan dunia dapat dikelompokkan menjadi dua faktor utama, yaitu adanya perubahan lingkungan baik perubahan iklim global maupun penurunan kualitas lingkungan dan peningkatan pemanfaatan sumber daya ikan yang diakibatkan oleh makin meningkatnya kebutuhan protein hewani masyarakat dunia. Pertambahan penduduk dunia yang begitu cepat telah meningkatkan permintaan ikan. Peningkatan upaya penangkapan ikan baik peningkatan dalam jumlah armada penangkapan ikan maupun teknologi penangkapan yang tidak terkendali pada sebagian besar negara pada masa lalu telah mendorong percepatan terjadinya penurunan stok sumber daya ikan di sebagian besar perikanan dunia. Upaya perbaikan terhadap kondisi sumber daya ikan bukannya tidak dilakukan. FAO dan beberapa negara telah mencoba untuk mengembangkan dan menerapkan beberapa metoda kebijakan pengelolaan sumber daya ikan yang didasarkan pada kajian aspek biologi, seperti penerapan TAC (Total Allowable Catch), ITQ (Individual Transferable Quota), MSY (Maximum Sustainable Yield), dan sebagainya. Namun, upaya tersebut rupanya belum membuahkan hasil yang optimum karena pada beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) tetap terjadi penangkapan berlebih (over exploitation) terhadap sumber daya perikanan yang ada. Satu hal yang sering dilupakan dalam pendekatan klasik yang didasarkan pada aspek biologi adalah, dikesampingkannya aspek perilaku nelayan dalam mengalokasikan atau pengoperasian alat tangkapnya. Sebagai mega-predator, nelayan mempunyai perilaku yang sangat unik dalam merespon baik perubahan sumber daya ikan, iklim maupun kebijakan yang diterapkan. Sejarah collapse-nya perikanan anchovy di Peru telah memberi pelajaran kepada kita bahwa kebijakan pembatasan upaya penangkapan tanpa dibarengi dengan pengetahuan yang baik dalam mengantisipasi perilaku nelayan dalam merespon setiap perubahan, baik

43 internal maupun external stok sumber daya ikan telah menyebabkan gagalnya upaya untuk keberlanjutan kegiatan perikanan Pengelolaan Perikanan Menurut Ketentuan Hukum Indonesia UU Nomor 45 Tahun 2009 mengenai Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, menjelaskan definisi perikanan yaitu semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan, dan pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestraian yang berlanjut. Pengelolaan perikanan di wilayah perairan Indonesia tidak terlepas dari peraturan-peraturan yang berlaku baik berbentuk undang-undang maupun peraturan pemerintah dan keputusan menteri, dan juga peraturan-peraturan yang bersifat internasional. UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan Pasal 1 menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pada Pasal 2 dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Tujuan pengelolaan perikanan tercantum pada Pasal 3, yaitu (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara, (3) mendorong perluasan 16

44 dan kesempatan kerja, (4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan, (5) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan, (6) meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing, (7) meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, (8) mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal, serta (9) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang. Peraturan internasional yang berlaku seperti Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF) mengamanatkan kepada negara-negara di dunia untuk melakukan pemanfaatan sumber daya perikanan secara bertanggungjawab. Perlu disadari, bahwa sesungguhnya pengelolaan sumber daya ikan bukanlah mengatur sumber daya ikan semata, namun yang lebih penting adalah bagaimana mengantisipasi perilaku nelayan sehingga sejalan dengan kebijakan yang diterapkan. Bahwa pengelolaan perikanan dapat juga merupakan upaya yang dinamis, yaitu sesuai dengan perspektif para stakeholders yang senantiasa berkembang. Sebagai implikasi dari perkembangan perspektif tersebut, penyesuaian atau perubahan dapat terjadi pada tujuan, strategi dan kegiatan pengelolaan perikanan. Pada saat kekayaan alam dianggap sebagai milik rakyat maka muncul perhatian agar sumber daya perikanan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat luas, tidak hanya para pelaku utama. Hal ini diwujudkan misalnya dalam bentuk retribusi, pajak, dan sebagainya. Oleh karena itu pengelolaan perikanan saat ini bertujuan untuk melestarikan sumber daya perikanan dan kondisi lingkungan, memaksimumkan manfaat ekonomi sumber daya perikanan, dan memastikan diterapkannya keadilan terhadap para pengguna yang telah memanfaatkan sumber daya alam milik umum tersebut. Dengan tujuantujuan tersebut, kegiatan perikanan diharapkan berkelanjutan (sustainable). Sumber daya perikanan sangat sensitif terhadap tindakan manusia, sehingga harus dikelola dengan baik. Pendekatan apapun yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumber daya perikanan, jika pemanfaatan dilakukan secara berlebihan, pada akhirnya sumber daya akan mengalami tekanan secara ekologi dan selanjutnya menurunkan kualitasnya. Sumber daya perikanan terdiri dari sumber daya ikan, sumber daya lingkungan dan segala jenis sumber daya buatan 17

45 manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya, sehingga pengelolaan sumber daya perikanan itu mencakup penataan pemanfaatan sumber daya ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan kegiatan manusia. Kerjasama regional dalam pengelolaan perikanan akan semakin penting terutama dalam pengelolaan ikan di high seas atau perikanan samudra. Oleh karenanya keanggotaan Indonesia dalam Regional Fisheries Management Organization (RFMO), baik di Samudra Pasifik maupun Samudra Hindia, merupakan keharusan. Demikian pula kerjasama regional dalam pemberantasan Illegal, Unregulated, and Unreported (IUU) fishing menjadi sangat penting. Inisiatif Indonesia bersama Australia dalam membentuk Regional Plan of Action (RPOA) merupakan model pertama FAO yang akan ditiru kawasan lain. Ke depan, jelas merupakan tantangan yang sangat besar bagi Indonesia. Komitmen dalam pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab harus diwujudkan dengan mengendalikan perikanan tangkap untuk menjamin kelestarian sumber daya. Berbagai Wilayah Pengelolaan Perikanan sudah sangat padat, seperti Laut Jawa, Laut Arafura, Selat Karimata, atau Laut Sulawesi. Penambahan kapal harus dihindari, bila perlu malah harus dikurangi. Waktu penangkapan ikan serta peralatan yang digunakan harus diatur secara ketat. Itu semua harus didukung oleh pelaksanaan riset yang mengkaji kondisi atau stok sumber daya ikan. Upaya meningkatkan perikanan budidaya harus dilakukan secara signifikan. Pantai yang panjang dan iklim tropis yang hangat sepanjang tahun merupakan kelebihan komparatif yang tidak boleh diabaikan. Ketersediaan modal harus diperjuangkan, dengan tidak lupa tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Perdagangan produk ikan antar negara akan semakin ketat pengaturannya, karena FAO akan mengadopsi berbagai ketentuan fish trade, baik yang dikehendaki oleh negara pengimpor maupun kolaborasi dengan aturan WTO, serta ketentuan catch certification dan ecolabeling. Adapula yang sudah diketahui sangat luas mengenai food safety, seperti HACCP, traceability, Good Manufacturing Practice, ataupun Good Aquaculture Practice. 18

46 2.1.2 Pengelolaan Perikanan Indonesia Menurut Wilayah Pengelolaan Perairan (WPP) Dalam upaya mencapai pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan dalam pengelolaan perikanan yang menjamin kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan di seluruh Indonesia, Menteri Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI). Peraturan ini sebagai penyempurnaan dan mengganti Keputusan Menteri Pertanian No.996/Kpts/IK.210/9/1999 tentang Potensi Sumber Daya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan. Upaya ini adalah merupakan langkah maju dalam menerapkan ketentuan internasional Code of Conduct for Responsible Fisheries, atau Tatanan Pengelolaan Perikanan yang Bertanggungjawab atau Berkelanjutan. Sumber daya perikanan adalah termasuk sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources). Bila jumlah yang dieksploitasi lebih besar daripada kemampuan alami untuk kembali, maka sumber daya tersebut akan berkurang, bahkan bisa habis. Sederhananya, bila penangkapan ikan lebih banyak dibanding dengan kemampuan ikan memijah, maka wilayah laut tersebut akan miskin, dan kondisi ini dikenal sebagai kondisi tangkap lebih (over fishing). Sehubungan dengan itu terdapat hitungan Total Allowable Catch (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) dan Maximum Sustainable Yield (jumlah ikan maksimum yang tersedia di lautan agar masih bisa lestari). Untuk menyempurnakan manajemen pemanfaatan perairan itulah maka dilakukan penentuan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP- RI) di seluruh Indonesia dari 9 WPP menjadi 11 WPP, yakni merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia. Kesebelas wilayah pengelolaan perikanan tersebut adalah: Kesatu, WPP-RI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman; Kedua, WPP-RI 572 meliputi perairan Samudra Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda; Ketiga, WPP-RI 573 meliputi perairan Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat; 19

47 Keempat, WPP-RI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan; Kelima, WPP-RI 712 meliputi perairan Laut Jawa; Keenam, WPP- RI 713 meliputi perairan Selat Makasar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; Ketujuh, WPP-RI 714 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera; Kedelapan, WPP-RI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau; Kesembilan, WPP-RI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara pulau Halmahera; Kesepuluh, WPP-RI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik; Kesebelas, WPP-RI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur. Setiap WPP pada prinsipnya memiliki karakteristik yang berbeda, dimana WPP di bagian timur umumnya memiliki potensi sumber daya ikan pelagis besar sehingga armada yang beroperasi relatif lebih besar dibandingkan di WPP bagian barat yang sebagian besar potensi sumber daya ikannya adalah jenis ikan pelagis kecil. Namun demikian, dilihat dari tingkat kepadatan nelayan, WPP bagian barat relatif lebih padat dibandingkan bagian timur sehingga di WPP bagian timur banyak terjadi kegiatan illegal fishing karena besarnya potensi sumber daya ikan yang dimiliki di wilayah tersebut. Oleh karena itu, WPP bagian timur sering disebut sebagai golden fishing ground, seperti Laut Arafura, Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik. Nama perairan yang tidak disebut dalam pembagian WPP-RI diatas, tetapi berada di dalam suatu WPP-RI merupakan bagian dari WPP-RI tersebut. Sedangkan WPP-RI yang disebut dalam Peta WPP-RI dan Peta serta diskripsi masing-masing WPP-RI yang memuat kode, wilayah perairan, dan batas dari masing-masing wilayah pengelolaan. Secara khusus untuk kegiatan penangkapan ikan, dalam peraturan ini disebutkan bahwa penentuan daerah penangkapan dalam perizinan usaha perikanan tangkap agar menyesuaikan pada WPP-RI baru dalam kurun waktu paling lambat 3 (tiga) tahun. Penataan WPP hanya merupakan salah satu faktor essensial untuk menata sumber daya perairan. Langkah selanjutnya adalah tetap dilakukan pengkajian stok ikan pada setiap WPP. Atas dasar hasil kajian tersebut maka ditetapkan jenis alat tangkap dan jumlahnya yang dapat diizinkan, dan bila perlu waktu 20

48 penangkapan yang dialokasikan, atau waktu yang dilarang untuk dilakukan penangkapan ikan (open and close system). Manajemen penangkapan ikan tersebut pada beberapa WPP sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan karena indikasi dan fakta lebih tangkap telah nyata terdeteksi. Penerapan kebijakan ini tentu tidak sederhana, karena kenyataan yang ada tidak mudah mengalihkan mata pencaharian nelayan tradisional yang sudah terlanjur banyak. Pemindahan lokasi nelayan juga menghadapi masalah kultural, sosial, dan pemasaran. Di beberapa negara telah dilakukan pembelian terhadap kapal nelayan oleh pemerintah guna dimoratorium, untuk melakukan solusi kelestarian sumber daya perairan. Yang pasti Code of Conduct for Responsible Fisheries harus kita wujudkan, paling tidak secara bertahap, guna kesejahteraan nelayan dan bangsa kita, baik saat ini maupun pada masa yang akan datang Pengelolaan Perikanan di Kabupaten Belitung Adanya UU Nomor 12 Tahun 2008 mengenai Pemerintah Daerah, kewenangan yang ada di Pemerintah Pusat diharapkan dapat terdistribusi atau didesentralisasikan kepada pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah daerah di wilayah kelautan sebagaimana disebutkan pada Pasal 18, meliputi: (1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; (2) Pengaturan administratif; (3) Pengaturan tata ruang; (4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; (5) Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan (6) Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Sedangkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000 Pasal 2 Ayat 2 dinyatakan bahwa kewenangan Pemerintah Pusat mencakup: (1) Penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam perairan di luar perairan 12 mil, termasuk perairan nusantara dan dasar lautnya serta ZEE Indonesia dan landas kontinen; (2) Penetapan kebijakan dan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam di luar perairan 12 mil; (3) Penetapan kebijakan dan pengaturan batas-batas maritim yang meliputi batas-batas daerah otonom di laut dan batas-batas ketentuan hukum laut internasional; (4) Penetapan standar pengelolaan pasir, pantai dan pulau-pulau kecil; dan (5) Penegakan hukum 21

49 di wilayah laut di luar 12 mil dan di dalam perairan 12 mil yang menyangkut hak spesifik serta berhubungan dengan internasional. Pada PP Nomor 25 Tahun 2000 Pasal 3 Ayat 2 dijelaskan mengenai wewenang Pemerintah Pusat yang didesentralisasikan kepada Pemerintah Daerah, yang meliputi: (1) Penataan dan pengelolaan perairan laut provinsi; (2) eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut kewenangan provinsi; (3) Konservasi dan pengelolaan plasma nutfah, spesifik lokasi dan suaka perikanan di wilayah laut kewenangan provinsi; (4) Pelayanan ijin usaha pembudidayaan dan penangkapan ikan pada perairan laut di wilayah laut kewenangan provinsi; dan (5) Pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah laut provinsi. Kabupaten Belitung telah lama dikenal sebagai daerah penghasil timah. Dalam pemerintahan Republik Indonesia, timah pernah menjadi primadona ekspor. Hasil galian tambang yang 95 persen dijual ke pasar Amerika dan Eropa ini, menyumbang devisa bagi negara bersama hasil tambang lainnya seperti minyak, gas bumi, dan aluminium. Namun, mulai tahun 1985 harga pasaran timah dunia terus merosot. Masa kejayaan timah lambat laun memudar. Keadaan ini memaksa PT Timah, badan usaha milik negara yang bergerak dalam industri pertambangan timah di Indonesia mengadakan restrukturisasi. Salah satu tindakan yang dilakukan perusahaan ini adalah membubarkan Unit Penambangan Timah Belitung (UPT-Bel) pada 29 April Kabupaten Belitung juga merupakan kabupaten kepulauan dengan 189 pulau besar dan kecil yang mengelilinginya. Wilayah seluas km persegi ini terdiri dari km persegi luas daratan dan km persegi luas perairan. Kabupaten yang beribu kota Tanjung Pandan ini sebelumnya merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan. Namun, sejak UU pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang ditetapkan 21 November 2000, kabupaten berpenduduk sekitar jiwa ini, bersama Kabupaten Bangka dan Kota Pangkal Pinang menjadi bagian provinsi ke-31 itu. Kabupaten Belitung memang beruntung, karena dikaruniai setumpuk potensi sumber daya alam. Misalnya selain timah, terdapat juga 85 juta ton kaolin, pasir kuarsa, pasir bangunan, dan tanah liat. Kekayaan alam lainnya adalah 22

50 perikanan dan tanaman perkebunan di sektor pertanian, seperti lada dan kelapa sawit. Potensi sumber daya perikanan tangkap di Kabupaten Belitung mencapai ton/tahun, sedangkan perikanan budidaya adalah 1,3 juta ton/tahun (seperti tampak pada Tabel 1). Ada sebanyak rumah tangga nelayan menggantungkan hidup dari hasil laut di perairan ini. Selain kaya akan jenis ikan pelagis seperti ikan tenggiri, kakap dan ekor kuning, perairan wilayah ini juga memiliki jenis ikan demersal seperti ikan pari. Keberadaan ikan ini serta lokasi perairan yang bersifat terbuka, karena berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan sehingga menyebabkan nelayan asing tergiur diam-diam mengeruk isi perairan kabupaten ini. Tabel 1 Potensi Perikanan Tangkap dan Budidaya di Kabupaten Belitung (tahun 2007) No. Uraian Luas Areal 1. Perikanan Tangkap KM 2 Potensi Produksi (Ton/Tahun) Nilai Ekonomi (x Rp. 1000) Perikanan Budidaya Ha J U M L A H Sumber: Kajiskan (2007) 2.2 Pembentukan Sistem Pengembangan Perikanan Upaya pengelolaan terhadap sumber daya perikanan haruslah dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Sistem perikanan mencakup tiga subsistem utama, yaitu (1) sumber daya ikan dan lingkungannya, (2) sumber daya manusia beserta kegiatannya, dan (3) manajemen perikanan. Sumber daya ikan dan lingkungannya meliputi tiga komponen utama, yaitu ikan, ekosistem dan lingkungan biofisik. Sumber daya manusia terdiri dari empat komponen utama, yaitu nelayan dengan kegiatan produksi ikan, kegiatan pasca panen, distribusi, pemasaran dan konsumen, rumah tangga nelayan dan masyarakat perikanan, serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya. Subsistem manajemen perikanan meliputi tiga komponen utama, yaitu perencanaan dan kebijakan perikanan, pengelolaan 23

51 perikanan, pengembangan dan penelitian. Sistem perikanan bersifat dinamis, komponen-komponennya mengalami perubahan sepanjang waktu (Charles, 2001). Sistem yang akan dibentuk untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya perikanan semestinya tidak hanya didekati dari satu arah saja, agar sistem yang terbentuk dapat obyektif sehingga akan melahirkan pemecahan masalah yang optimal dan tepat sasaran. Eriyanto (1999) mengemukakan bahwa pengkajian dengan menggunakan metode pendekatan sistem mencakup berbagai tahapan, yaitu analisis sistem, pemodelan sistem, implementasi sistem dan operasi sistem. Tahap analisis sistem pada dasarnya adalah upaya untuk dapat memahami kinerja dan tingkah laku sistem, identifikasi faktor-faktor penting yang akan mempengaruhi kinerja sistem, identifikasi permasalahan dan solusi yang mungkin. Analisis sistem mencakup enam tahapan, yaitu analisis kebutuhan, identifikasi sistem, formulasi masalah, pembentukan alternatif sistem, determinasi dari realitas fisik, sosial dan politik, serta penentuan kelayakan ekonomi dan finansial. Pemodelan sistem meliputi beberapa tahapan, yaitu seleksi konsep, rekayasa model, implementasi komputer, validasi model, analisis sensitivitas, analisis stabilitas dan aplikasi model. Sistem dikembangkan untuk mendukung fungsi-fungsi operasi, manajemen dan pengambilan keputusan. Pengembangan sistem berangkat dari suatu kebutuhan untuk memecahkan masalah-masalah yang terjadi. Untuk memecahkan masalah perlu disusun kerangka dalam bentuk tahapan-tahapan sebagai wadah berpikir dan bertindak, sehingga pemecahan masalah dapat lebih terarah. Tahapan utama siklus pengembangan sistem terdiri dari tahapan perencanaan sistem, analisis sistem, desain sistem, seleksi sistem, implementasi sistem dan perawatan sistem (Simatupang, 1995). Hal penting dalam perikanan berkelanjutan (sustainability fishery) adalah tidak terbatas hanya pada penentuan jumlah tangkapan dan ketersediaan stok ikan, melainkan juga mencakup keseluruhan aspek perikanan. Keseluruhan aspek perikanan tersebut mulai dari ekosistem, struktur sosial dan ekonomi, hingga masyarakat perikanan dan lembaga pengelolaan perikanan. Keberlanjutan secara ekologi terkait dengan keberlanjutan penangkapan dan perlindungan terhadap sumber daya. Keberlanjutan secara sosial ekonomi, terkait dengan manfaat makro 24

52 yaitu bagi penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan secara layak bagi pelaku pemanfaat sumber daya. Keberlanjutan masyarakat menekankan pada perlindungan atau pengembangan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat yang ada. Keberlanjutan kelembagaan terkait dengan kelembagaan keuangan yang sesuai, penata-usahaan yang tepat dan kemampuan kelembagaan dalam jangka panjang (Charles, 2001). Definisi perikanan menurut UU Nomor 45 Tahun 2009 adalah kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu bisnis perikanan. Untuk itu dalam kajian pengembangan perikanan berbasis potensi daerah, dirancang sebuah sistem pengembangan perikanan dengan tiga subsistem utama, yaitu (1) subsistem kegiatan usaha perikanan, (2) subsistem pelabuhan perikanan, fungsionalitas dan aksesibilitas, dan (3) subsistem peraturan dan kelembagaan perikanan Subsistem Kegiatan Usaha Perikanan Berdasarkan cara produksinya, perikanan dikelompokan menjadi dua, yaitu penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan usaha perikanan merupakan proses untuk menghasilkan produksi ikan yang dilakukan oleh nelayan dengan memanfaatkan potensi sumber daya ikan yang ada, selanjutnya dilakukan proses penanganan, pendistribusian dan pemasaran, dengan tujuan akhir adalah memperoleh nilai manfaat atau keuntungan. Untuk dapat terselenggaranya kegiatan menghasilkan produksi ikan, dapat digunakan berbagai sarana seperti kapal, alat tangkap dan perlengkapan lainnya. Dalam keseluruhan kegiatan usaha perikanan terkait antara sumber daya ikan, manusia, teknologi, modal dan sumber daya informasi, yang masing-masing komponennya perlu dikelola dengan baik untuk tercapainya keuntungan usaha. 25

53 Menurut Dahuri (2003), kebijakan dan program yang berkaitan dengan upaya optimalisasi antara ketersediaan sumber daya (stok) ikan dengan tingkat penangkapan pada setiap wilayah penangkapan ikan (fishing ground) sangat penting, untuk dapat menjamin sistem usaha perikanan yang efisien atau menguntungkan (profitable) secara berkelanjutan. Apabila tingkat penangkapan ikan di suatu wilayah penangkapan melebihi potensi lestarinya (maximum sustainable yield, MSY), maka akan terjadi fenomena penangkapan berlebih (overfishing) yang berakibat pada penurunan hasil tangkapan per satuan usaha (catch per unit effort), yang pada gilirannya mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan. Sebaiknya, jika tingkat penangkapan dibawah potensi lestari (MSY) atau MEY (maximum economic yield), maka terjadi kondisi yang kurang optimal (underutilization). Kondisi ini tidak baik atau sia-sia, karena ikan di laut pada waktunya kalau tidak ditangkap akan mati secara alamiah (natural mortality). Untuk itu, perikanan masa depan Indonesia yang harus diwujudkan adalah sebuah sistem bisnis perikanan yang tangguh, yang dapat menghasilkan keuntungan secara berkelanjutan, sehingga dapat mensejahterakan para pelakunya, berkontribusi secara nyata bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bangsa, dan mampu memelihara kelestarian sumber daya ikan serta lingkungannya Subsistem Pelabuhan Perikanan, Fungsionalitas dan Aksesibilitas Terkait dengan lokasi dari sebuah pelabuhan perikanan yang merupakan pusat kegiatan industri perikanan, faktor geo-topografi merupakan aspek yang penting untuk diperhatikan. Aspek geo-topografi mempunyai pengaruh yang potensial terhadap kegiatan industri. Pengambilan keputusan untuk menentukan lokasi kegiatan industri mempunyai kerangka kerja yang prospektif, yaitu pemilihan lokasi yang strategis atau dengan kata lain lokasi tersebut memiliki pilihan-pilihan yang menguntungkan dari sejumlah akses yang ada. Semakin strategis suatu lokasi untuk kegiatan-kegiatan industri, berarti akan semakin besar peluang untuk meraih keuntungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam menentukan lokasi industri yang strategis adalah bahan baku, modal, tenaga kerja, sumber energi, transportasi, komunikasi, pasar, teknologi, peraturan, iklim dan 26

54 ketersediaan sumber air. Faktor-faktor tersebut perlu diperhitungkan karena tidak semua unsur pendukung dapat tersedia dan mudah diperoleh disuatu lokasi. Oleh karenanya, lokasi yang ideal jarang ditemukan sehingga penempatan lokasi industri harus dipilih berada di antara lokasi-lokasi yang paling menguntungkan. Dalam ilmu perencanaan wilayah dan perkotaan, setiap tata guna lahan memiliki beberapa ciri dan persyaratan teknis yang harus dipenuhi dalam perencanaan dan perancangannya. Daerah pemukiman, industri, pertokoan fasilitas hiburan dan fasilitas sosial, semuanya memiliki beberapa persyaratan teknis dan non-teknis yang harus dipenuhi dalam menentukan lokasinya. Beberapa ciri teknis yang sering dipakai adalah kondisi morfologi (datar, bukit, pegunungan), kesuburan tanah dan geologi. Akibatnya, lokasi kegiatan tersebar secara heterogen di dalam ruang yang ada yang menyebabkan perlu adanya pergerakan atau transportasi yang digunakan untuk proses pemenuhan kebutuhan. Transportasi merupakan satu kesatuan antara aspek alam (iklim, morfologi, keadaan tanah dan struktur geologi) dan aspek manusianya (aktivitas ekonomi, politik dan teknologi). Alam sangat berpengaruh terhadap keberadaan jaringan transportasi, baik darat, laut maupun udara. Adanya transportasi memungkinkan hubungan antar daerah, hubungan antara daerah yang maju dan terbelakang, serta menimbulkan dampak sosial ekonomi penduduk dan penggunaan lahan (Tamin, 2000). Contohnya adalah sebagian besar daerah Pantai Selatan Jawa yang secara geo-morfologi berada pada lokasi yang kurang strategis untuk kegiatan industri perikanan. Lokasi yang terisolir, dengan bentuk permukaan bumi yang berbukitbukit dan berlereng terjal, infrastruktur jalan belum dibangun secara memadai, serta sarana transportasi yang kurang memadai merupakan faktor-faktor penghambat berkembangnya kegiatan industri perikanan di daerah Pantai Selatan Jawa. Biaya transportasi yang tinggi kurang mendukung bagi upaya untuk mendistribusikan ikan ke tempat-tempat tujuan pemasaran, dan berpotensi untuk meningkatkan biaya faktor-faktor produksi. Contohnya seperti di Cilacap yang memiliki morfologi relatif datar, sarana infrastruktur berupa jalan dan sarana transportasi telah terbangun dengan baik, dan hubungan dari Cilacap dengan 27

55 daerah-daerah Bandung, Semarang, Jakarta dan kota-kota tujuan pasaran lainnya dapat dilakukan dengan lebih mudah. Aspek geo-topografi terkait juga dengan pemilihan lokasi wilayah daratan yang tepat untuk pembangunan pelabuhan perikanan. Lokasi pelabuhan perikanan mensyaratkan wilayah daratan yang cukup luas dengan bentuk permukaan hampir rata, dan yang tidak kalah pentingnya adalah arah arus yang terdapat disekitar pelabuhan harus betul-betul dihitung, karena jangan sampai pelabuhan terbangun, terjadi pendangkalan. Areal tanah yang cukup luas diperlukan untuk pembangunan fasilitas-fasilitas seperti tempat pelelangan ikan, tempat pengolahan ikan, bengkel, pabrik es, cold storage, areal parkir, dan lain-lain (Murdiyanto, 2002). Kondisi permukaan tanah yang rata memungkinkan untuk memudahkan transpor aliran barang dari satu fasilitas ke fasilitas lainnya di dalam lokasi pelabuhan. Fasilitas-fasilitas tersebut tentunya akan lebih mudah dibangun pada permukaan tanah yang datar, daripada permukaan tanah yang berbukit-bukit. Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai sarana penunjang untuk meningkatkan kerja. Fungsinya meliputi beberapa aspek yaitu sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil tangkapan, tempat untuk memperlancar kegiatan-kegiatan kapal perikanan, pusat pemasaran dan distribusi, pusat pembinaan, penyuluhan dan pengumpulan data. Kramadibrata (1985) menyatakan bahwa untuk dapat merealisasikan suatu pembangunan pelabuhan minimal ada tujuh data-data pokok yang dibutuhkan, yaitu: 1) asal, tujuan dan jenis muatan; 2) klimatologi, yang meliputi angin, pasang-surut dan sifat air laut; 3) topografi, geologi dan struktur tanah; 4) rencana pembiayaan, ukuran-ukuran keberhasilan secara ekonomis dalam tinjauan investasi; 5) pendayagunaan modal ditinjau dari segi operasional, terutama dalam penanganan muatan; 6) kaitan pelabuhan dengan jenis kapal yang berlabuh dan sarana prasarana angkutan lain, yang mendukung kegiatan pelabuhan dengan daerah dukungannya secara keseluruhan; 28

56 7) kaitan pelabuhan dengan pelabuhan lainnya dalam rangka lalulintas dan sistem jaringan guna mendukung perdagangan Subsistem peraturan dan kelembagaan perikanan Menurut definisi, politik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cara bagaimana masyarakat diperintah oleh lembaganya, penguasanya dan hukumnya. Untuk itu, politik akan berkaitan dengan bentuk pemerintahan, kelembagaan, ideologi, hukum, peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan. Secara umum, orang dapat memahami dan sadar bahwa politik berpengaruh kuat dalam segenap aspek kehidupan manusia, karena manusia beserta seluruh kegiatannya ada dalam lingkup kekuasaan negara. Menurut Saad (2003), politik hukum dirumuskan sebagai kebijakan umum (legal policy) yang hendak atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah yang implementasinya meliputi aspek-aspek: 1) Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan hukum dan pembaharuan terhadap bahan-bahan hukum yang dianggap asing atau tidak sesuai dengan kebutuhan; 2) Pelaksanaan ketentuan hukum telah ada, termasuk penegakan fungsifungsi lembaga dan pembinaan para anggota penegakan hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa politik hukum perikanan merupakan keseluruhan kebijakan pemerintah mengenai perikanan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk produk hukum. Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa produk hukum perikanan merupakan wujud dari kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah untuk mengatur kegiatan perikanan. Jelas bahwa kegiatan perikanan tidak dapat dilepaskan dari aspek politik, hukum, peraturan, kelembagaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Politik mencakup pula aspek kelembagaan, karena hukum atau peraturan dalam implementasinya dilakukan oleh fungsi lembaga atau kelembagaan yang ada. Politik terkait pula dengan orang-orang yang berada di dalam kelembagaan atau pemerintahan. Siapa orang yang berperan sebagai pengambil keputusan di bidang perikanan, akan menentukan arah bagi pengembangan kegiatan perikanan. 29

57 Menurut Purwaka (2003) kelembagaan merupakan suatu perangkat perundang-undangan yang mengatur tata kelembagaan (institutional arrangement) dan mekanisme tata kerja kelembagaan (institutional framework). Kelembagaan memiliki kapasitas daya dukung (carrying capacity) dan kapasitas daya tampung atau daya lentur (absorptive capacity). Kinerja dari suatu kelembagaan merupakan fungsi dari tata kelembagaan, mekanisme kelembagaan dan kapasitas kelembagaan yang dimilikinya. Kelembagaan dapat diartikan dalam dua pengertian, yaitu: 1) Kelembagaan sebagai institusi, merupakan lembaga atau organisasi berbadan hukum untuk mengelola suatu kegiatan; dan 2) Kelembagaan sebagai pelembaga nilai atau institutionalized. Kelembagaan sebagai organisasi merupakan kumpulan orang yang tergabung dalam satu wadah yang disatukan untuk bekerjasama mencapai suatu tujuan. Kelembagaan sebagai organisasi mencakup beberapa komponen, yaitu (1) orang, merupakan pelaksana tugas; (2) teknologi, merupakan sarana yang digunakan untuk melaksanakan tugas; (3) informasi, merupakan pengetahuan untuk menunjang pelaksanaan tugas; (4) struktur, merupakan peraturan dan pembagian tugas; serta (5) tujuan, merupakan maksud dan alasan dari pelaksanaan yang dilembagakan yang dihasilkan oleh lembaga tersebut, misalnya peraturan perundang-undangan. Dalam konsep pengelolaan sumber daya perikanan, faktor kelembagaan merupakan faktor penting yang berperan untuk menggerakkan kinerja dari pengelolaan tersebut. Kelembagaan sebagai aturan main (rule of the game) mencakup himpunan aturan mengenai tata hubungan di antara orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya. Kelembagaan memberikan ketentuan terhadap anggotanya mengenai hak-haknya, kewajiban dan tanggung-jawabnya. Kelembagaan memberikan suatu kondisi bahwa setiap anggota menerima apa yang telah menjadi ketentuan, merasa aman dan hidup sewajarnya. 30

58 2.3 Usaha Perikanan Tangkap Menurut UU RI tahun No. 12 Tahun 2008 Pasal 3 bahwa wilayah Daerah Provinsi, sebagaimana yang dimaksud pasal 2 ayat 1, terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Selanjutnya pasal 10 ayat 2 bahwa kewenangan Daerah di wilayah laut, sebagaimana dimaksud pasal 3 meliputi halhal sebagai berikut : 1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut. 2) Pengaturan kepentingan administrasi 3) Pengaturan tata ruang 4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah. 5) Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan Negara. Selanjutnya pasal 10 ayat 3 menjelaskan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut, sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah sejauh sepertiga dari batas laut daerah provinsi. Usaha perikanan menurut Syafrin (1993) adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan termasuk kegiatan penyimpanan, mendinginkan atau mengawetkan ikan tujuan komersil atau mendapatkan laba dari kegiatan yang dilakukan. Usaha perikanan laut terbagi dua aspek, yaitu penangkapan yang dilakukan di laut, muara sungai, laguna dan sebagainya yang dipengaruhi pasang surut. Aspek usaha perikanan yang lainnya adalah budidaya di laut yaitu semua kegiatan pemeliharaan yang dilakukan di laut atau perairan yang terletak di muara sungai dan laguna. Menurut UU No. 45 Tahun 2009, penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah dan/atau mengawetkannya. Kegiatan penangkapan ikan ditargetkan pada satu atau lebih spesies di dalam suatu ekosistem. Akan tetapi kegiatan penangkapan ikan sering pula mempengaruhi komponen lain dari ekosistem, misalnya hasil tangkapan 31

59 sampingan dari spesies lain, kerusakan fisik pada ekosistem atau melalui efek rantai makanan. Pengelolaan perikanan tersebut terhadap ekosistem sebagai suatu keseluruhan, termasuk keanekaragaman hayatinya dan harus berupaya untuk penggunaan secara lestari seluruh ekosistem berikut komunitas biologi. Jumlah total atau massa ikan yang ditangkap dalam suatu periode yang ditetapkan akan tergantung pada konsentrasi ikan di kawasan penangkapan, banyaknya usaha penangkapan yang digunakan. Hubungan ini menunjukkan bahwa ada sejumlah pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatur penangkapan total yang berarti dapat mengatur moralitas penangkapan. Sebagian besar usaha penangkapan ikan dilakukan oleh nelayan yang dalam memasarkan hasil tangkapan berada dalam posisi yang lemah sehingga sering mendapatkan harga yang tidak wajar. Di lain pihak, harga ikan di tingkat konsumen relatif tinggi karena panjangnya mata rantai pemasaran. Oleh karena itu, untuk mewujudkan harga yang wajar bagi konsumen dan menguntungkan bagi nelayan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan usahanya sekaligus memperpendek rantai pemasarannya, maka penjualannya harus melalui pelelangan. Sehingga pemerintah harus menyediakan tempat pelelangan ikan. 2.4 Pengembangan Perikanan Tangkap Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari, 1989). Nelayan merupakan kelompok sosial yang selama ini terpinggirkan baik secara sosial, ekonomi maupun politik dan belum berdaya secara ekonomi dan politik, masih terkungkung pada ikatan-ikatan tradisional dengan para toke atau tengkulak, belum ada institusi yang mampu menjamin kehidupan nelayan dan secara politik, nelayan masih dijadikan obyek mobilisasi massa untuk kepentingan-kepentingan tertentu. (Arif Satria,2004) Apabila pengembangan perikanan, dari subsistem produksi, pasca panen (penanganan dan pengolahan hasil), sampai pemasaran dikerjakan secara profesional dan berbasis iptek, maka keunggulan komparatif yang dimiliki perikanan akan menjelma menjadi keunggulan kompetitif yang merupakan aset utama bagi kemajuan dan 32

60 kemakmuran bangsa Indonesia. Keunggulan kompetitif perikanan ini akan terwujud apabila lingkungan bisnisnya yang meliputi kebijakan fiskal dan moneter, prasarana dan sarana, sistem hukum dan kelembagaan, serta sumber daya manusia dan iptek, bersifat kondusif bagi tumbuh suburnya usaha perikanan secara efisien, produktif dan berdaya saing tinggi (Dahuri, 2002). Bila dilihat dari sisi ekologis, proses pengembangan perikanan saat ini kurang memperhatikan kelanjutan sumber daya perikanan itu sendiri. Kondisi perikanan tangkap lebih menimpa pada beberapa stok ikan di perairan pantai utara Jawa, Samudera Indonesia, Selat Malaka dan Laut Sulawesi, pencemaran perairan laut, kerusakan lingkungan dan habitat seperti terumbu karang hampir terjadi di semua wilayah pesisir Indonesia (Dahuri, 2002). Oleh karena itu, pengembangan perikanan dalam rangka pemanfaatan sebagaimana yang diharapkan, maka yang pertama harus dilakukan adalah menyatukan kesamaan visi pembangunan perikanan, yaitu pembangunan perikanan yang dapat memanfaatkan sumber daya ikan beserta ekosistemnya secara optimal bagi kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia, terutama nelayan dan petani ikan secara berkelanjutan. Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan umum pembangunan perikanan. Apabila hal ini dapat disepakati, maka syarat-syarat pengembangan teknologi penangkapan ikan di Indonesia haruslah memenuhi kriteria berikut: 1. Menyediakan kesempatan kerja yang baik 2. Menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan 3. Menjamin produksi yang tinggi untuk penyediaan protein hewani 4. Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan biasa diekspor 5. Tidak merusak kelestarian sumber daya ikan Intensifikasi untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan, pada dasarnya adalah penerapan teknologi modern pada sarana dan teknik-teknik yang dipakai, termasuk alat penangkapan ikan, perahu atau kapal dan alat bantu lainnya yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing tempat. Namun modernisasi dapat menghasilkan peningkatan produksi, demikian pula tercapai peningkatan produksi, tapi belum tentu menghasilkan peningkatan pendapatan bersih nelayan. 33

61 Oleh karena itu, introduksi teknik-teknik penangkapan ikan yang baru harus didahului dengan penelitian dan percobaan secara intensif dengan hasil yang meyakinkan. Upaya pengelolaan dan pengembangan perikanan laut di masa mendatang memang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Tetapi dengan pemanfaatan iptek itu pulalah kita diharapkan akan mampu mengatasi keterbatasan sumber daya melalui suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial-budaya dan ekonomi (Barus et al, 1991). Saat ini, nelayan Indonesia belum dapat memanfaatkan sumber daya laut dengan benar karena terbentur pada kualitas sumber daya manusia (SDM) dan teknologi. Untuk dapat memiliki SDM di bidang kelautan yang handal memang membutuhkan waktu dan kemauan, karena itu semua pihak diharapkan ikut berperan. Nuitja (1998) menyatakan bahwa pengetahuan yang tergolong rendah membuat para nelayan kurang memiliki daya nalar untuk menyerap teknologi inovasi di bidang IPTEK kelautan, ditambah lagi dengan keterbatasan modal usaha yang membuat para nelayan terus terbelit dalam kemiskinan. Untuk pengembangan produksi atau pemanfaatan sumber daya perikanan di masa mendatang, langkah-langkah yang harus dikaji dan kemudian diusahakan pelaksanaannya (Ditjen Perikanan, 1990) adalah: 1) Pengembangan prasarana perikanan 2) Pengembangan agroindustri, pemasaran dan permodalan di bidang perikanan 3) Pengembangan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluh perikanan 4) Pengembangan sistem informasi manajemen perikanan Pengembangan perikanan juga tidak dapat dipacu terus tanpa melihat batas kemampuan sumber daya yang ada ataupun daya dukungnya. Pada perikanan yang telah berkembang pesat, upaya pengendalian sangat diperlukan dan apabila upaya ini dilaksanakan maka berarti telah menerapkan pembangunan perikanan 34

62 yang berkelanjutan, sehingga kelestarian sumber daya dan kegiatan perikanan dapat di jamin keberadaannya (Martosubroto, et al, 1991). Menurut Bahari (1989), pengembangan kegiatan perikanan tangkap secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan sisi positif dari beberapa faktor yang berpengaruh, yaitu : 1) Faktor biologi, yang berkaitan dengan sumber daya ikan, penyebaran ikan, komposisi dan jenis sumber daya ikan. 2) Faktor teknis, yang berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana pendukung, seperti unit penangkapan ikan (kapal, alat tangkap dan nelayan), pelabuhan perikanan, sarana dan prasarana transportasi produk perikanan, dan jalur komunikasi perikanan. 3) Faktor sosial, yang berkaitan dengan pengembangan sistem kemitraan, kelembagaan, pengorganisasian nelayan dan tenaga kerja pendukung usaha perikanan. 4) Faktor ekonomi, yang berkaitan dengan hasil produksi, pemasaran, pengeluaran produksi, pendapatan usaha dan lainnya Trade-off Ekonomi Judul Disertasi ini Pembangunan Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung: Suatu Analisis Trade-off Ekonomi Berbasis Lokal, dan memakai istilah trade-off ekonomi. Dalam aktivitas perdagangan (Trade) dapat dilakukan dengan cara penjualan langsung, baik dalam paket-paket tertentu jumlah kecil ataupun dalam jumlah besar, yang secara umum dapat dijual kembali, atau secara retail, dalam paket-paket kecil (parsel). Definisi off adalah akan menjadi atau menjauh/tidak melekat lagi, menjaga jarak, berada disampingnya, dipisahkan, dihitung, dll. Sedangkan istilah Trade off artinya adalah menukar sesuatu untuk atau dengan sesuatu yang lainnya (to exchange something for or with another). Atau juga didefinisikan sebagai cara untuk mereduksi atau mengurangi satu atau lebih keinginan yang ingin dicapai sebagai ganti atas meningkatnya atau bertambahnya keinginan yang lain untuk memaksimalkan keuntungan yang diperoleh atau efektifitas (misalnya antara 35

63 harga dan hasil) pada keadaan yang telah ada. Namun kadang didefinisikan juga sebagai suatu situasi pengorbanan untuk mendapatkan sesuatu yang ingin dicapai dengan melibatkan kehilangan satu kualitas yang lain. Trade-off biasanya akan mendudukkan seseorang dalam suatu kondisi tersulit ketika akan mengambil keputusan dalam bidang ekonomi. Artinya, apapun keputusan yang akan diambil, di satu sisi menimbulkan dampak menguntungkan, tapi di sisi lain harus ada yang dikorbankan. Hal ini terjadi karena segala sesuatu yang ada di dunia ini bersifat terbatas (scarcity). Misalnya, trade-off yang paling klasik adalah trade-off antara keadilan dan pertumbuhan. Ketika pemerintah mengutamakan keadilan dengan mengutamakan pembagian pendapatan secara merata, yaitu dengan memberikan subsidi kepada rakyat miskin dengan menggunakan pajak yang dipungut dari orang kaya, maka pertumbuhan ekonomi akan terancam. Sebab, si miskin yang terus menerus disubsidi akan malas bekerja, begitu juga si kaya yang terus menerus dirongrong pajak yang tinggi. Sebaliknya, jika pemerintah mengutamakan pertumbuhan ekonomi, maka mestilah pemerintah tidak boleh terlalu campur tangan dalam urusan ekonomi. Akibatnya adalah, si kaya yang punya modal akan semakin kaya karena dapat mengeksploitasi si miskin dengan seenaknya, dan si miskin yang hanya mengandalkan upah akan semakin miskin karena terus menerus di manfaatkan tenaganya oleh si kaya untuk menumpuk kekayaannya. Contoh lain trade-off yang juga cukup klasik adalah trade-off antara senjata (gun) dan mentega (cheese). Jika suatu negara terus menerus memperkuat angkatan perangnya, maka pembangunan ekonomi negara itu akan terancam. Lihatlah Amerika Serikat yang saat ini menghadapi ancaman ekonomi serius akibat terlibat perang berkepanjangan di Irak dan Afganistan. Sebaliknya, jika suatu negara hanya fokus mengembangkan ekonominya, maka pertahanan dan keamanan di negara tersebut biasanya melemah. Lihatlah kondisi Hankam Indonesia saat ini yang tidak mampu menyediakan peralatan perang yang mumpuni. Sekali lagi trade-off membuat suatu keputusan menjadi sulit. Lihatlah juga trade-off yang muncul ketika kita ingin berbuat baik. Ketika kita memberikan sedekah kepada pengemis di jalanan misalnya, di satu sisi kita membantu si pengemis untuk tetap bertahan hidup. Tapi di sisi lain kita telah memicu 36

64 munculnya kemalasan dan munculnya pengemis-pengemis baru yang merasa lebih sejahtera dengan cara hidup seperti itu. Kita juga telah menarik anak-anak yang harusnya di bangku sekolah untuk turun ke jalan, akibat kemurahan hati kita tersebut. Coba saja kalau tidak ada satu orangpun yang murah hati yang mau memberi sedekah kepada pengemis di jalanan. Pastilah lambat laun profesi ini kekurangan peminat. Sungguh sangat sulit memutuskan posisi mana yang akan kita ambil dalam kondisi ini. Menurut Stiglitz (2000), ada dua permasalahan yang esensial yang dapat terjadi dalam trade-off. Pertama, untuk mengurangi ketidakadilan yang terjadi, seberapa besarkah efisiensi yang harus dikorbankan. Kedua adalah dengan cara meningkatkan efisiensi sehingga hasil yang dicapai dapat maksimal, dengan begitu akan lebih banyak bagian untuk dibagikan dengan harapan dapat meminimalisir ketidakadilan yang terjadi. Sedangkan menurut Santoso (2005), trade-off adalah kompromi. Kompromi untuk menentukan pilihan - dari pilihan yang ada - yang akan lebih banyak kita perhatikan. Mengalokasikan lebih banyak sumber daya kepada pilihan tersebut, sehingga pilihan lainnya secara otomatis akan terabaikan. Contoh: kalau kita menentukan pekerjaan dipentingkan untuk lebih cepat, maka kita terlalu mengharap adanya pilihan pekerjaan yang hasilnya akurat. Kalau kita melakukan lebih banyak pekerjaan, maka kualitasnya tidak akan sebaik kalau dikerjakan sedikit. 2.6 Kebijakan Perikanan Ruang lingkup kebijakan Kebijakan berasal dari kata policy yang berupa aturan main atau set of rule of law. Kebijakan dapat berupa formal law (positive law) dan informal law. Kebijakan dapat ditingkatkan dan disempurnakan dengan melakukan berbagai analisis kebijakan. Terdapat tujuh variasi kebijakan dalam analisis kebijakan, yang sekaligus menggambarkan ruang lingkup (scope) analisis kebijakan (Hogwod and Gunn, 1986) yaitu: 37

65 1) Studi-studi isi kebijakan (studies of policy content). Maksud studi ini adalah menggambarkan dan menjelaskan asal mula serta perkembangan kebijakan. 2) Studi-studi tentang proses kebijakan yang lebih mengutarakan tahap-tahap yang harus dilalui oleh isu kebijakan pemerintah sebelumnya dengan menilai pengaruh dari usaha-usaha yang dilakukan dari berbagai faktor terhadap perkembangan isu. 3) Studi mengenai output kebijakan (studies of policy output) pada umumnya mengeluarkan tingkat biaya yang berbeda pada setiap daerah. 4) Studi-studi evaluasi (evaluation studies) batas-batas antara analisis untuk melihat kebijakan dampak dari suatu kebijakan terhadap kelompok sasaran. 5) informasi untuk pembuatan kebijakan (information for policy making), maksudnya adalah penyusunan dan pengumpulan data guna membantu pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan. 6) Proses nasehat (process advocacy), yaitu proses penasehatan yang tercermin dalam berbagai upaya yang dilakukan untuk menyempurnakan mesin pemerintahan melalui relokasi tupoksi guna menetapkan landasan pemilihan kebijakan. 7) Nasehat kebijakan (policy advocacy), merupakan kegiatan yang melibatkan analisis dalam pemilihan alternatif yang terdesak dalam proses kebijakan, baik secara perorangan maupun kelompok/kerjasama Kebijakan pengembangan perikanan Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari, 1989). Apabila pengembangan perikanan, dari produksi, pasca panen (penanganan dan pengolahan hasil), sampai pemasaran dikerjakan secara profesional dan berbasis iptek, maka keunggulan komparatif yang dimiliki perikanan akan menjelma menjadi keunggulan kompetitif yang merupakan aset utama bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Keunggulan kompetitif perikanan ini akan 38

66 terwujud apabila lingkungan bisnisnya yang meliputi kebijakan fiskal dan moneter, prasarana dan sarana, sistem hukum dan kelembagaan, serta sumber daya manusia dan iptek, bersifat kondusif bagi tumbuh suburnya usaha perikanan secara efisien, produktif dan berdaya saing tinggi (Dahuri, 2002). Bila dilihat dari segi ekologis, kebijakan pengembangan perikanan saat ini kurang memperhatikan kelanjutan sumber daya perikanan itu sendiri. Selama ini banyak orang menilai masalah Kelautan dan Perikanan adalah masalah investasi dan promosi, sehingga seolah dengan investasi dan promosi besar-besaran sektor kelautan dan perikanan akan mengalami kemajuan. Mengingat dimensi sektor kelautan dan perikanan tidak semata masalah ekonomi, tetapi juga menyangkut ekologi, sosial budaya dan bahkan politik, maka selain promosi juga diperlukan regulasi, seperti kebijakan pengelolaan sumberdaya (fisheries management) yang memungkinkan seluruh dimensi itu tersentuh (Arif Satria,2004). Kebijakan pengembangan perikanan dalam rangka pemanfaatan sebagaimana yang diharapkan, maka yang pertama harus dilakukan adalah menyatukan kesamaan visi pembangunan perikanan, yaitu pembangunan perikanan yang dapat memanfaatkan sumber daya ikan beserta ekosistemnya secara optimal bagi kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia, terutama nelayan dan petani ikan secara berkelanjutan. Kebijakan pengembangan perikanan yang dilakukan harus selalu bertolak pada dasar hukum dan peraturan yang berlaku. Hukum tidak akan terlepas dari roda pemerintahan, baik dalam menjalankan kebijakan maupun dalam pengambilan keputusan. Hukum adalah seluruh norma-norma hukum yang mengatur hubungan antara seseorang, sekelompok orang atau badan hukum, termasuk lembaga pemerintahan dengan sumber daya perikanan tangkap. Hubungan ini meliputi hubungan fisik (cara pemanfaatan sumber daya), hubungan administrasi (perizinan) dan hubungan geografis (lokasi penangkapan ikan). Norma-norma hukum ini dibuat oleh lembaga eksekutif dan legislatif dalam bentuk peraturan perundang-undangan sesuai tingkatannya, dan ditegakkan oleh lembaga eksekutif dan legislatif. Kebijakan terkait pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan umum pembangunan 39

67 perikanan. Kebijakan pengembangan teknologi penangkapan ikan di Indonesia haruslah mengakomodir : 1. Penyediaan kesempatan kerja yang baik 2. Jaminan pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan 3. Jaminan produksi yang tinggi untuk penyediaan protein hewani 4. Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan biasa diekspor 5. Tidak merusak kelestarian sumber daya ikan Intensifikasi untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan, pada dasarnya adalah penerapan teknologi modern pada sarana dan teknik-teknik yang dipakai, termasuk alat penangkapan ikan, perahu atau kapal dan alat bantu lainnya yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing tempat. Namun modernisasi dapat menghasilkan peningkatan produksi, demikian pula tercapai peningkatan produksi, tapi belum tentu menghasilkan peningkatan pendapatan bersih nelayan. Oleh karena itu, introduksi teknik-teknik penangkapan ikan yang baru harus didahului dengan penelitian dan percobaan secara intensif dengan hasil yang meyakinkan. Upaya pengelolaan dan pengembangan perikanan laut di masa mendatang memang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Tetapi dengan pemanfaatan iptek itu pulalah kita diharapkan akan mampu mengatasi keterbatasan sumber daya melalui suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial-budaya dan ekonomi (Barus et al., 1991). Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengendalikan penangkapan ikan dan meningkatkan perikanan budidaya merupakan langkah tepat. Masa depan perikanan dunia tergantung kepada perikanan budidaya, mengingat perikanan tangkap produksinya makin menurun, sementara kebutuhan ikan dunia makin meningkat. Status perikanan dunia pada saat ini berdasarkan statistik tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat keempat dalam produksi. Peringkat diatasnya yaitu RRC, Peru dan USA. Apabila peringkat ini dijadikan acuan menggunakan angka statistik akhir tahun 2008, dimungkinkan Indonesia 40

68 dapat naik peringkat menjadi ketiga. Hal ini tergantung upaya pemerintah dan dukungan masyarakat terutama dari masyarakat nelayan (Committee on Fisheries/COFI, 2009). Saat ini, nelayan Indonesia belum dapat memanfaatkan sumber daya laut dengan benar karena terbentur pada kualitas sumber daya manusia (SDM), teknologi dan modal. Untuk dapat memiliki SDM di bidang kelautan yang handal memang membutuhkan waktu dan kemauan, karena itu semua pihak diharapkan ikut berperan. Nuitja (1998) menyatakan bahwa pengetahuan yang tergolong rendah membuat para nelayan kurang memiliki daya nalar untuk menyerap teknologi inovasi di bidang IPTEK kelautan, ditambah lagi dengan keterbatasan modal usaha yang membuat para nelayan terus terbelit dalam kemiskinan. Dalam hal produksi atau pemanfaatan sumber daya perikanan di masa mendatang, kebijakan pengembangan perikanan perlu mencakup pengembangan beberapa hal sebagai berikut : 1. Pengembangan prasarana perikanan 2. Pengembangan agroindustri, pemasaran dan permodalan di bidang perikanan 3. Pengembangan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluh perikanan 4. Pengembangan sistem informasi manajemen perikanan Citra Indonesia dalam fora perikanan internasional maupun regional semakin baik bila dilihat dari produksi, pengelolaan dan keanggotaannya.issue yang menonjol dalam sidang dan berkait dengan kepentingan Indonesia ada 5 (lima) yaitu: 1). Illegal, Unregulated, and Unreported (IUU) Fishing; 2) Fishing Capacity, atau tingkat ketersediaan stok sumber daya ikan; 3) Small Scale Fisheries, atau perikanan skala kecil; 4) Fish Trade, atau perdagangan internasional; dan 5) Aquaculture, atau budidaya perikanan. Pengelolaan perikanan ke depan memerlukan upaya bersama dan serius dalam mengendalikan penangkapan (fishing capacity) dan pemberantasan IUU fishing melalui berbagai instrumen antara lain, Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau tatanan perikanan yang bertanggung jawab, Port State Measure, Global Record, yaitu system pencatatan semua data kapal yang ada, serta fish trade. 41

69 Pengembangan perikanan juga tidak dapat dipacu terus tanpa melihat batas kemampuan sumber daya yang ada ataupun daya dukungnya. Hal ini perlu menjadi perhatian dalam perumusan kebijakan untuk pengembangan perikanan terutama di daerah dengan sumber daya yang terbatas. Pada perikanan yang telah berkembang pesat, upaya pengendalian sangat diperlukan dan apabila ini dilaksanakan maka berarti telah menerapkan pembangunan perikanan yang berkelanjutan, sehingga kelestarian sumber daya dan kegiatan perikanan dapat dijamin keberadaannya (Martosubroto, et al, 1991). 2.7 Matriks Penelitian Terdahulu di Kabupaten Belitung Peneliti/Tahun/ Tujuan Penelitian Judul Alfino Mengetahui peranan Nedi/2005/Strategi pelabuhan perikanan Peningkatan Peranan ditinjau dari aspek Pelabuhan Perikanan pelayanan fasilitas Nusantara (PPN) pelabuhan Tanjung Pandan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Nelayan di Kabupaten Belitung Kontribusi terhadap nilai dan jumlah produksi perikanan Peranan dalam peningkatan kesejahteraan nelayan Hasil Penelitian Sebagian besar layanan fasilitas Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung Pandan telah berjalan dengan baik namun belum mampu memberikan layanan yang optimal karena kurangnya kapasitas layanan fasilitas dermaga, layanan fasilitas pelelangan, layanan air bersih, layanan penyediaan es dan layanan Bahan Bakar Minyak serta layanan pembinaan mutu hasil perikanan. Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung Pandan secara langsung ataupun tidak langsung memberi kontribusi besar terlihat dari Indeks Relatif Nilai Produksi sebesar 1.24, produktivitas kapal meningkat rata-rata 13.92% dalam enam tahun terakhir serta nilai Location Quotient sebesar kesejahteraan nelayan tidak banyak mengalami perubahan setelah berubahnya status pelabuhan perikanan menjadi Pelabuhan Perikanan Nusantara. Namun dilihat per indikator, terdapat perubahan berupa peningkatan pada indikator pendapatan, pengeluaran dan kondisi perumahan. Sedangkan indikator pendidikan, kesehatan dan fasilitas rumah tidak memperlihatkan perubahan 42

70 Merumuskan prioritas strategi dan program peningkatan peranan pelabuhan perikanan Program Jangka Pendek: (1) Menetapkan prioritas program kerja yang disesuaikan dengan kemampuan pembiayaan, antara lain rencana penambahan panjang dermaga dan pengembangan fasilitas layanan lainnya (2) Menyusun prosedur operasional Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung Pandan antara lain berupa pengaturan bongkar muat dan sandar kapal serta pengelolaan pelelangan ikan (3) Mengevaluasi program dan kegiatan yang selama ini kurang mengarah pada program strategi yang direkomendasikan seperti pengadaan kapal pancing ukuran 5 GT dan pengadaan kapal pengawas ukuran 5 GT (4) Menyusun rencana kegiatan pendidikan dan pelatihan guna peningkatan kualitas sumberdaya manusia aparat dan nelayan (5) Menyusun standar dan prosedur baku agar memenuhi semua kriteria sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara (6) Sosialisasi peraturan perundangundangan dan program kerja (7) Membangun jaringan informasi dan komunikasi bagi Stake Holder di Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung Pandan. Program Jangka Menengah : (1) Membangun dan mengembangkan kapasitas layanan fasilitas pelabuhan perikanan terutama penambahan panjang dermaga, pembangunan Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP), fasilitas layanan air bersih, penyediaan es dan penyediaan bahan bakar minyak (2) Mengoptimalkan pemanfaatkan kawasan pelabuhan melalui penyusunan zonasi tata ruang kawasan pelabuhan (3) Mengintensifkan usaha perbaikan mutu hasil perikanan melalui sosialisasi dan kemudahan pelayanan pembinaan mutu hasil perikanan agar jumlah kegiatan pengiriman ikan antar pulau dan ekspor 43

71 meningkat (4) Menerapkan aturan yang jelas dan tegas terhadap pelaksanaan kegiatan pelelangan ikan, sehingga setiap ikan hasil tangkapan bisa melalui prosedur pelelangan (5) Melaksanakan kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi aparat dan nelayan (6) Mengintensifkan arus informasi dan komunikasi antar Stake Holder di Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung Pandan antara lain melalui penyusunan sis tem dan penyediaan sarana informasi dan komunikasi (7) Memprioritaskan penambahan kapal perikanan berukuran lebih dari 5 GT dan kemampuan melaut lebih lama dan lebih jauh guna memanfaatkan potensi perikanan yang optimal di Laut Cina Selatan. Program Jangka Panjang : Membangun dan mengembangkan kapasitas layanan fasilitas pelabuhan perikanan antara lain melalui usaha yang berkelanjutan dari penambahan panjang dermaga, mengintensifkan pemanfaatan Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP), pengembangan fasilitas layanan air bersih, penyediaan es dan penyediaan bahan bakar minyak (2) Mengupayakan penambahan luas kawasan pelabuhan melalui dukungan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kabupaten Belitung dari pemerintah daerah kabupaten Belitung (3) Menyusun standar dan prosedur baku guna meningkatkan peranan Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung Pandan agar bisa meningkatkan status dan memenuhi kriteria sebagai Pelabuhan Perikanan Samudera (4) Pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan pada daerah-daerah yang sudah padat tangkap terutama di sekitar pantai perairan Belitung melalui identifikasi daerah-daerah yang sudah mengalami padat tangkap 44

72 Marwan Syaukani/2009/ Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap di Wilayah Kepulauan menentukan status sentra industri dalam suatu jaringan industri menyusun model jaringan industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan yang efesien dan menyusun strategi pengelolaan industri perikanan tangkap pada masingmasing pulau Pulau Belitung berstatus sebagai penyedia jasa utama, Pulau Mendanau dan Pulau Seliu sebagai penyedia jasa antara (server) sedangkan Pulau Gersik dan Pulau Sumedang sebagai sumber bahan baku (client) industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung diarahkan pada pengembangan setiap sentra industri sesuai dengan status dalam jaringan industri yang optimum. Herman/2008/Analis is Perkembangan Produksi Perikanan Pada Sub Sektor Perikanan Tangkap Laut di Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung untuk mengetahui perkembangan jumlah produksi perikanan serta variabel-variabel yang mempengaruhi Jumlah Produksi perikanan tangkap seperti jumlah alat tangkap, jumlah nelayan, jumlah kapal perkembangan dari jumlah produksi perikanan tangkap di provinsi kepulauan Bangka Belitung pada tahun sebesar Kg/ tahun atau dengan rata-rata 2,25 %, dan variabel varibel yang mempengaruhi produksi perikanan ialah Variabel X1 (Jumlah alat tangkap) berpengaruh negatif terhadap jumlah produksi perikanan dengan nilai ,1, variabel X2 (Jumlah Nelayan) berpengaruh negatif terhadap Y sebesar , dan variabel X3 (Jumlah kapal) memiliki pengaruh positif terhadap jumlah produksi perikanan sebesar , sedangkan X4 jumlah Rumah Tangga Perikanan memiliki pengaruh negatif terhadap jumlah produksi perikanan 45

73 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Belitung yang meliputi wilayah laut dan pesisir. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sijuk, Kecamatan Tanjung Pandan, Kecamatan Badau, dan Kecamatan Membalong. seperti tampak pada Gambar 2. Keterangan: 1. Kec. Sijuk 2. Kec. Tanjung Pandan 3. Kec. Badau 4. Kec. Membalong Gambar 2 Lokasi penelitian Sumber: Wibisono, et al, 1999 Penelitian lapangan dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan November 2009, dan tahap kedua dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan bulan Maret 2010.

74 3.2 Tahap Penelitian Lapangan Penelitian awal dilakukan pada bulan Oktober sampai November 2009, dan mendapatkan informasi awal tentang keragaan perikanan yang difokuskan pada pengumpulan data jenis alat tangkap, armada, skala usaha, pemasaran, evaluasi fungsionalitas, dan aksesibilitas dari pelabuhan perikanan di Kabupaten Belitung. Penelitian tahap kedua dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2010, untuk melengkapi data sebagai input analisis micro-macro link (MML) dan kelembagaan yang penelitiannya lebih difokuskan pada persepsi stakeholders terkait di Kabupaten Belitung melalui wawancara yang difokuskan pada masalah perumusan kebijakan pengembangan perikanan di Kabupaten Belitung. 3.3 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara, pengamatan langsung, dan survei ke instansi/lembaga terkait dan lokasi penelitian. Pengamatan langsung yang dilakukan meliputi kondisi fisik lokasi penelitian (meliputi lokasi dan fisik PP/PPI, fasilitas pokok, fasilitas fungsional, fasilitas penunjang, aksesibilitas menuju PP/PPI, jaringan telekomunikasi, air bersih dan listrik), pengamatan aktivitas kegiatan perikanan (meliputi kegiatan bongkar dan penanganan ikan hasil tangkapan nelayan, proses pelelangan, distribusi dan pemasaran, kegiatan kapal dan nelayan selama di PP/PPI, serta ketersediaan bahan bakar dan perbekalan lainnya selama pelayaran), serta pengamatan terhadap keberadaan dan aktivitas lembaga-lembaga perikanan di Kabupaten Belitung (meliputi keberadaan dan peran lembaga-lembaga perikanan di lokasi penelitian dan efektivitas lembaga tersebut dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah serta penegakan hukumnya). Wawancara dilakukan kepada perwakilan stakeholders terkait yang meliputi nelayan, pedagang/eksportir, konsumen, pengusaha industri pengolahan ikan, dinas perikanan, BAPPEDA, Pemda, Pengelola KUD, Tokoh Masyarakat dan LSM. Sedangkan wawancara pada sumber lain meliputi wawancara pada kelompok-kelompok tertentu untuk menghasilkan rumusan kebijakan pengembangan perikanan terpadu di Kabupaten Belitung yang tepat untuk 48

75 direkomendasikan. Jumlah responden dari setiap kelompok stakeholders tersebut ditetapkan 5 10 % dari populasinya. Tabel 2 Mapping Research No Jenis Data Analisis Informasi 1 Data seri produksi ikan tangkap oleh nelayan di Kabupaten Belitung 2 Data seri produksi ikan tangkap oleh nelayan di Kabupaten Belitung 3 Data potensi wilayah (ketenagakerjaan) 4 Kebijakan mikro dan makro perikanan tangkap tingkat nasional, Provinsi Bangka Belitung dan Kabupaten Belitung Analisis sumberdaya ikan Analisis Kelayakan Usaha (NPV, B/C ratio, IRR, ROI, dan PP) Analisis Kewilayahan (LQ, K, dan Delta N) Micro Macro Link Approach Potensi dan stok sumberdaya ikan Jenis usaha perikanan tangkap yang layak dan dapat dijadikan unggulan Mengetahui wilayah basis pengembangan usaha perikanan unggulan Mengetahui korelasi dan sinergi antara kebijakan perikanan tangkap di tingkat nasional dan daerah. Data sekunder yang berupa data-data statistik urut waktu (time series) atas landing (produksi), harga per unit output (harga ikan per Kg per tahun), indeks harga konsumen, PDRB Kabupaten Belitung dan data penunjang lainnya. 3.4 Analisis Deskriptif Analisis ini digunakan untuk mengkaji potensi dan memberikan gambaran mengenai kondisi perikanan berdasarkan keragaman data yang tersedia di Kabupaten Belitung. Pendekatan ini tidak dirancang untuk memprediksi dan mencari solusi optimal mengenai pengelolaan perikanan sebagaimana dapat dilakukan pada model bioekonomi, karena sifatnya yang statik dan cenderung bersifat agregat, pendekatan ini harus digunakan secara hati-hati karena secara implisit mengasumsikan beberapa penyederhanaan seperti kompleksitas interaksi antar komponen dalam perikanan serta asumsi mengenai penyederhanaan variasi di antara berbagai komponen yang dianalisis seperti variasi lokasi.(fauzi, 2010) Selain itu analisis deskriptif juga digunakan untuk mempelajari program serta 49

76 karakteristik dan keragaman kelembagaan yang ada pada nelayan. Berdasarkan hasil pengumpulan tersebut, dilakukan interpretasi dan generalisasi keadaan masyarakat nelayan di Kabupaten Belitung secara sosial, ekonomi dan lingkungan. Analisis ini juga difokuskan pada beberapa aspek (Sevilla, et al, 1993), yaitu kelembagaan, modal, pasar, lingkungan serta kondisi sosial masyarakat yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Belitung. Aspek modal merupakan aspek yang memiliki peranan sangat penting bagi nelayan dalam melakukan aktivitas usaha di kawasan pesisir, terutama bidang kelautan dan perikanan. Peranan aspek pasar berpengaruh untuk menjual hasil penangkapan dan usaha perikanan lainnya. Kajian aspek lingkungan bertujuan untuk mengkaji seberapa besar potensi sumberdaya dan lingkungan yang dimiliki Kabupaten Belitung, sehingga nantinya didapatkan kondisi potensi Kabupaten Belitung. 3.5 Analisis Sumber Daya Ikan Analisis sumberdaya ikan ini digunakan untuk mengetahui kapasitas sumberdaya ikan (stock) yang ada di Kabupaten Belitung. Terlebih dahulu harus ditentukan nilai produksi maksimal lestari (Maximum Sustainable Yield=MSY) dengan menggunakan model Schaefer (Pauly, 1983), yaitu dengan memplotkan hasil tangkapan persatuan upaya yang telah distandarisasi (elf) dalam satuan kg/trip; dan upaya penangkapan yang telah distandarisasi (f) dalam satuan trip, kemudian dihitung dengan model regresi linier, sehingga diperoleh nilai konstanta regresi (b) dan intercept (a). nilai konstanta regresi dan intercept ini akan digunakan dalam menentukan beberapa persamaan, yaitu: 1) Hubungan antara HTSU (Hasil Tangkapan Setiap Unit) dengan upaya penangkapan standar (l): HTSU = a bf atau HTSU = c/f. 2) Hubungan antara hasil tangkapan (c) dan upaya penangkapan: c = af bf 3) Upaya penangkapan optimum (f opt ) diperoleh dengan cara menyatakan turunan pertama hasil tangkapan dari upaya penangkapan sama dengan nol; c = af bf, c = a 2bf = 0 f opt = a/2b 50

77 4) Produksi maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan mensubstitusi nilai upaya penangkapan optimum ke dalam persamaan (2) di atas : c max = a(a/2b) b(a 2 /4b 2 ) Dengan demikian, maka tingkat pemanfaatan dapat dirumuskan: Ci Tingkat pemanfaatan = x 100% MSY Dimana: Ci = Jumlah hasil tangkapan MSY = Maximum Sustainable Yield Analisis Bioekonomi digunakan untuk mengetahui hubungan antara Biologi ikan dengan Ekonomi ikan. Berdasarkan pada Prinsip Ekonomi bahwa penangkapan ikan dilakukan sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Mengingat sumber daya ikan di laut itu terbatas (walaupun secara pengertian perikanan itu adalah sumber daya yang dapat diperbaharui), namun perlu diingat bahwa dalam teori MSY (Maximum Sustainable Yield) ikan yang dapat ditangkap adalah 80%. Sisanya yang 20% untuk keberlanjutan dari perikanan itu sendiri. Oleh karenanya perlu suatu analisis pemanfaatan ekonomi ikan yang tidak mengganggu keseimbangan ekologi dan sumberdaya ikan itu untuk masa yang akan datang. 3.6 Analisis Kesesuaian Usaha Perikanan Tangkap Analisis kesesuaian ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis usaha perikanan tangkap yang sesuai dan dapat dijadikan unggulan dalam pembangunan perikanan di Kabupaten Belitung. Analisis kesesuaian ini akan menentukan usaha perikanan tangkap mana saja yang digunakan selama ini oleh nelayan di Kabupaten Belitung yang dapat memberikan keuntungan layak secara finansial dan mana saja yang tidak. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan semua penerimaan dari kegiatan investasi tersebut dengan semua pengeluaran yang harus dikeluarkan selama proses investasi. Untuk dapat diperbandingkan satu sama lain, maka penerimaan dan pengeluaran tersebut dinyatakan dalam bentuk uang dan harus dihitung selama periode operasi yang sama (Garrod dan Willis, 1999). 51

78 Parameter yang digunakan dalam analisis kesesuaian usaha ini didasarkan pada analisis pendapatan (benefit) dan pembiayaan (cost) yang dialami usaha perikanan tangkap selama tahun operasi di perairan Kabupaten Belitung. Adapun parameter tersebut adalah Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (B/C ratio), Internal Rate of Return (IRR), Return of Investment (ROI) dan Payback Period (PP) (Hanley dan Spash, 1993). 1) Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) digunakan untuk menilai manfaat investasi usaha perikanan tangkap yang merupakan jumlah nilai kini dari pendapatan bersih dan dinyatakan dalam rupiah. Bila NPV > 0 berarti investasi menguntungkan atau usaha perikanan tangkap tersebut layak, sehingga menjadi pertimbangan positif untuk pengembangannya. Apabila NPV < 0 berarti investasi tidak menguntungkan atau usaha perikanan tangkap tersebut tidak layak dikembangkan lebih lanjut. Pada keadaan nilai NPV = 0 maka berarti investasi usaha perikanan tangkap tersebut hanya mengembalikan manfaat yang persis sama dengan tingkat pembiayaan yang dikeluarkan. Net Present Value (NPV) dinyatakan dengan rumus : n (Bt - Ct) NPV = t (1 i) t= 1 + Dimana : B = pendapatan (benefit) C = pembiayaan (cost) i = discount rate t = tahun operasi 2) Benefit-Cost Ratio (B/C ratio) Benefit-Cost Ratio (B/C ratio) merupakan perbandingan dimana present value sebagai pembilang terdiri atas total dari pendapatan bersih investasi usaha perikanan tangkap yang bersifat positif, sedangkan sebagai penyebut terdiri atas present value total yang bernilai negatif atau pada keadaan pembiayaan kotor lebih besar daripada pendapatan kotor investasi usaha perikanan tangkap. Nilai B/C ratio akan terhitung bila terdapat paling sedikit satu nilai Bt Ct yang bernilai positif. Bila B/C ratio > 1, maka kondisi ini menunjukkan investasi usaha 52

79 perikanan tangkap menguntungkan (NPV > 0). Terkait dengan ini, maka bila B/C ratio > 1 berarti investasi usaha perikanan tangkap layak sehingga menjadi pertimbangan positif untuk pengembangannya. Sedangkan bila B/C ratio < 1 berarti investasi usaha perikanan tangkap tersebut tidak layak dikembangkan lanjut. Benefit-Cost Ratio (B/C ratio) dinyatakan dengan rumus : B/C ratio = n t= 0 n t= 1 (Bt - Ct) t (1= i) (Ct - Bt) t (1+ i) (Bt - Ct) (Bt - Ct) > 0 < 0 Dimana : B = pendapatan (benefit) C = pembiayaan (cost) i t = discount rate = tahun operasi Bt = pendapatan (benefit) pada tahun operasi tertentu Ct = pembiayaan (cost) pada tahun operasi tertentu 3) Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return (IRR) merupakan nilai suku bunga maksimal yang menyebabkan NPV = 0. Oleh karena itu IRR menjadi batas untung rugi dan juga dapat dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih usaha perikanan tangkap. Usaha perikanan tangkap dinyatakan layak bila IRR > dari interest rate (suku bunga) yang berlaku. Bila IRR sama dengan interest rate yang berlaku maka NPV usaha perikanan tangkap tersebut sama dengan nol. Jika IRR < dari interest rate yang berlaku maka nilai NPV lebih kecil dari 0, berarti usaha perikanan tangkap tersebut tidak layak dikembangkan lebih lanjut. Internal Rate of Return (IRR) dinyatakan dengan rumus : NPV1 IRR = i 1 + ( i 2 - i1) NPV1 - NPV2 Dimana : i 1 = interest rate yang menghasilkan NPV positif i2 = interest rate yang menghasilkan NPV negatif NPV1 = NPV pada discount rate i 1 53

80 NPV 2 = NPV pada discount rate i 2 4) Return of Investment (ROI) Return of Investment (ROI) digunakan untuk mengukur tingkat pengembalian investasi dari pendapatan yang diterima pemilik. Oleh karena itu, ROI merupakan parameter finansial yang paling dalam menyeleksi tingkat pengembalian investasi dari suatu usaha perikanan tangkap. Usaha perikanan tangkap di Kabupaten Belitung dapat dikatakan layak dikembangkan bila mempunyai NPV > 0, B/C ratio > 1, IRR lebih besar dari interest rate (suku bunga) yang berlaku, dan ROI > 1. Interest rate (i) bank yang digunakan dalam analisis ini mengacu kepada Bank Indonesia (2009) yaitu 6.25 %. Return of Investment (ROI) dinyatakan dengan rumus : B ROI = I Dimana : B = pendapatan (benefit) I = investasi usaha perikanan tangkap 5) Payback Period (PP) Payback Period (PP) digunakan untuk mengukur lamanya pengembalian investasi dari pendapatan yang diterima pemilik. Bila nilai Payback Period (PP) semakin kecil, berarti pengembalian investasi semakin cepat. Sedangkan bila nilai Payback Period (PP) semakin besar, berarti pengembalian investasi semakin lama. Payback Period (PP) dinyatakan dengan rumus : PP = Investasi Benefit Keterangan : B = pendapatan (benefit) I = investasi usaha perikanan tangkap 54

81 3.7 Analisis Location Quotient (LQ) Location Quotient merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktivitas tertentu dengan pangsa total aktivitas tersebut dalam total aktivitas wilayah. Secara lebih operasional, LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktivitas pada sub wilayah ke-i terhadap persentase aktivitas total terhadap wilayah yang diamati. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah bahwa (1) kondisi geografis relatif seragam, (2) pola-pola aktivitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Location Quotient (LQ) dinyatakan dengan rumus : eij eij LQ ir = Ei Ei dimana : e ij = output (tenaga kerja) sektor i (perikanan) di daerah (kecamatan) j e ij = total output (tenaga kerja) sektor perikanan di daerah (kecamatan) j E i = output (tenaga kerja) sektor i (perikanan) di Kabupaten/Kota E i = total output (tenaga kerja) sektor perikanan di Kabupaten/Kota Untuk dapat menginterpretasikan hasil analisis LQ, terdapat suatu kesepakatan sebagai berikut : Jika nilai LQ i > 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktivitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah atau terjadi pemusatan aktivitas di sub wilayah ke-i. Jika nilai LQ Jika nilai LQ i = 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa aktivitas setara dengan pangsa total. i < 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas yang secara umum ditemukan di seluruh wilayah. Pada analisis ekonomi basis, sering dijumpai permasalahan time lag yang tidak berlangsung secara tepat, karena perbedaan respon dari sektor basis terhadap 55

82 permintaan luar wilayah dan respon dari sektor non basis terhadap perubahan sektor basis. Untuk mengatasi hal ini, maka dilakukan analisis pengganda basis (K). Perhitungan nilai pengganda basis (sering juga disebut pengganda tenaga kerja) dinyatakan dengan rumus : K = N NB dimana : K = pengganda basis (pengganda tenaga kerja) N = total tenaga kerja NB = tenaga kerja sektor basis Untuk mengontrol nilai pengganda basis (pengganda tenaga kerja) tersebut, maka perlu dilakukan analisis pertumbuhan tenaga kerja di dalam wilayah. Analisis pertumbuhan tenaga kerja ini dinyatakan dengan rumus : N = NB x K Dimana : N NB K = pertumbuhan tenaga kerja di dalam wilayah = pertumbuhan tenaga kerja di sektor basis = pengganda basis (pengganda tenaga kerja) 3.8 Analisis Micro-Macro Link (MML) Menurut Fauzi (2006), Analisis Micro-Macro Link ini digunakan untuk memudahkan penyusunan konsep kebijakan strategis untuk trade-off ekonomi pembangunan perikanan tangkap terpadu di Kabupaten Belitung dan mengetahui sinergi/korelasinya dengan arah pengembangan ekonomi kawasan dan kebijakan pembangunan nasional. Salah satu kendala yang dihadapi dalam sektor perikanan adalah belum tersedianya informasi yang tepat dan akurat mengenai keterkaitan antara mikro dan makro sektor ini dalam perekonomian lokal, regional maupun nasional. Keterkaitan mikro makro ini sangat penting dalam perencanaan pembangunan perikanan ke depan karena dengan diketahuinya keterkaitan mikro- 56

83 makro tersebut, perencanaan ke depan akan lebih terarah dan tepat mengenai sasaran serta tersedianya informasi yang tepat dan relevan menyangkut kinerja sektor perikanan dan kelautan. Berdasarkan alasan di atas, adalah sangat penting untuk melakukan assessment menyangkut keterkaitan micro-macro link yang berisi informasi mengenai pola interaksi komponen ekonomi kegiatan yang berhubungan dengan perikanan dan kelautan di Kabupaten Belitung pada khususnya. Micro Macro Link (MML) perikanan dan kelautan merupakan assessment yang secara umum menyediakan informasi mengenai pola interaksi dan saling membutuhkan komponen ekonomi kegiatan yang berhubungan dengan perikanan dan kelautan di Kabupaten Belitung pada khususnya. Secara khusus informasi ini menyangkut keterkaitan antara kegiatan makro pembangunan dan mikro pembangunan lokal sektor perikanan Kabupaten Belitung. Sektor Perikanan Kontributor Pembangunan Ekonomi skala lokal/reg/nas Sumber penyerap surplus Tenaga kerja skala Lokal/reg/nas Sumber penerimaan Negara dan pendapatan skala lokal/reg/nas Sumber penyedia pangan Bagi penduduk wilayah pesisir Informasi keterkaitan mikro makro sektor Skala lokal/reg/nas Infromasi yang tepat dan relevan kinerja sector perikanan dan kelautan Skala lokal/reg/nas Perencanaan ke depan yang lebih terarah dan tepat mengenai sasaran Sumber: Fauzi, 2006 Gambar 3 Latar belakang studi Micro-Macro Link Untuk merujuk keterkaitan micro-macro link dengan pembangunan sektor perikanan tangkap di Kabupaten Belitung, perlu juga dilihat dari sudut teori 57

84 perubahan struktural. Proses pembangunan pada dasarnya bukanlah sekedar fenomena ekonomi semata, namun lebih dari itu, memiliki perspektif yang luas, termasuk dimensi sosial dalam proses pembangunan dengan mempertimbangkan aspek pertumbuhan dan pemerataan dengan mengubah struktur perekonomian kearah yang lebih baik (Kuncoro, 1997). Dalam Teori Perubahan Struktural, pembahasan pada mekanisme transformasi ekonomi yang dialami oleh negara sedang berkembang seperti Indonesia, semula lebih bersifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian kemudian berubah menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern dan sangat didominasi oleh sektor industri dan jasa (Todaro, 1991). Pada pembahasan teori perubahan struktural ini, akan disinggung secara garisbesar teori pembangunan yang dikemukakan oleh Arthur Lewis dengan konsep teori migrasi. Mengawali teorinya, Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya akan terbagi menjadi dua yaitu: 1) Perekonomian Tradisional dan 2) Perekonomian Industri. Dalam perekonomian tradisional, bahwa di daerah perdesaan, dengan kondisi yang tradisonal, ketersediaan tenaga kerja boleh dikatakan melimpah karena erat kaitannya dengan basis utama perekonomian yang berada di perdesaan dengan tingkat hidup masyarakat yang berada dalam lingkungan marginal, sehingga keberadaan tenaga kerja tidaklah berpengaruh terhadap hasil pertanian yang didapatkan. Dengan demikian, nilai upah riil ditentukan oleh nilai rata-rata produk marginal, dan bukan oleh produk marginal dari tenaga kerja itu sendiri. Sedangkan dalam perekonomian industri, yang rata-rata terletak di perkotaan, dimana sektor yang berpengaruh adalah sektor industri. Ciri dari perekonomian ini ditandai dengan tingkat produktivitas yang tinggi dari input yang digunakan, dalam hal ini termasuk tenaga kerja. Hal ini menyiratkan bahwa nilai produk marginal terutama tenaga kerja, bernilai positif. Dengan demikian, perekonomian perkotaan akan merupakan daerah tujuan bagi para pekerja yang berasal dari perdesaan, karena nilai nilai produk marginal dari tenaga kerja yang positif menunjukkan bahwa fungsi produksi belum berada pada tingkat optimal yang dapat dicapai. 58

85 Dalam Performance ekonomi perikanan dan kelautan secara konvensional, yang kalau dikaitkan dengan teori perubahan struktural terlihat bahwa persoalan tenaga kerja yang bergerak di bidang perikanan tangkap mempunyai beberapa fariabel yang biasanya akan tercermin dari beberapa data dasar yang umum diketahui. Performance tersebut, yang seringkali menjadi bahan pertanyaan umum untuk merencanakan kembali berbagai kebijakan dalam siklus evaluasi kebijakan adalah menyangkut berbagai hal dalam sektor tersebut seperti Product Domestic Regional Bruto (PDRB), produksi Rumah Tangga Perikanan (RTP), armada perikanan, nilai produksi, pendapatan nelayan, konsumsi, perdagangan (trade), maupun potensi yang ada. Dari data-data menyangkut potensi tersebut yang biasanya ditampilkan dalam bentuk tabel data statistik dalam angka pada buku saku atau lainnya. Seringkali angka-angka tersebut tidak dapat berbicara apa-apa jika kita ingin merunut permasalahan yang berkaitan dengan rendahnya kinerja perikanan dan kelautan karena data tersebut tidak menggambarkan keterkaitan antar satu komponen dengan lainnya, artinya setiap data berdiri sendiri. Ada beberapa data kinerja yang hilang pada konvensional tersebut menyangkut hal-hal seperti: - Bagaimana performance usaha perikanan menyangkut faktor produksi, profit, productivity, pengembangan wilayah basis, dan lainnya? - Bagaimana usaha perikanan tangkap mempengaruhi atau dipengaruhi baik secara mikro maupun makro dalam link pembangunan perikanan terpadu? - Bagaimana pengaruh/dampak dan signifikasi pengaruh trade (perdagangan) terhadap komponen lainnya dalam pembangunan perikanan tangkap? - Bagaimana pengaruh/dampak dan signifikasi pengaruh kondisi moneter dan fiskal dan kebijakan nasional terkait sektor perikanan terhadap komponen lainnya dalam pembangunan perikanan tangkap? - Bagaimana pengaruh/dampak dan signifikasi pengaruh kondisi ekonomi regional Bangka Belitung terhadap komponen lainnya dalam pembangunan perikanan tangkap? Hal-hal seperti inilah yang kelak akan terjawab dengan menggunakan analisis Micro Macro Link (MML), yang sebenarnya juga diperoleh dari data 59

86 dasar konvensional yang ada, beserta kondisi realistik di lapangan. MML merupakan data performance endogenous yang diperoleh dari analisis performance konvensional plus data lainnya yang terkait termasuk data primer yang diperoleh dari pengamatan di lapangan. Seperti tampak pada Gambar 4, Analisis mikro-makro link merupakan studi yang menggabungkan berbagai data dan kebijakan yang menyangkut faktor pembangunan mikro dan makro dari sektor perikanan. Faktor mikro akan menyangkut market output yang akan memberikan nilai profit dan productivity dari sektor usaha perikanan. Usaha perikanan juga merupakan performance yang dihasilkan dari market input yang terdiri dari faktor produksi dan faktor tenaga kerja. Di sisi lain pada variabel makro, yang terdiri dari kebijakan nasional, ekonomi regional dan juga trade (perdagangan) yang saling berhubungan dan mempengaruhi satu dengan lainnya. National macro policy yang terdiri dari kebijakan fiskal dan moneter akan memberikan pengaruhnya masing-masing, dimana kebijakan fiskal akan berdampak terhadap market output, market input pada skala mikro, yang akhirnya akan mempengaruhi usaha perikanan itu sendiri. Kebijakan fiskal juga akan mempengaruhi trade pada skala makro. Sementara itu kebijakan moneter secara tidak langsung akan mempengaruhi usaha perikanan melalui dampak terhadap ekonomi regional dan kondisi stok. Hal ini secara teori dapat dijelaskan, salah satu contohnya adalah hubungan antara suku bunga dan kondisi stok sumber daya misalnya. Menurut Fauzi (2010) dalam hal pengelolaan perikanan, terutama yang menyangkut dengan ekonomi perikanan, dibutuhkan regulasi kebijakan perikanan, sehingga dalam pemanfaatan sumber daya ikan tidak terjadi konflik dan dapat dimanfaatkan secara lebih adil. Dengan melihat hasil penelitian empiris tentang teori ekonomi perikanan yang dilakukan oleh Acheson (1975), Townsend (1985) Agnello dan Donneley (1975) menunjukkan bahwa pengaturan akses terhadap sumber daya akan terbukti menghasilkan manfaat ekonomi yang lebih tinggi serta peningkatan produktivitas per tenaga kerja dan produktivitas per unit input. National Macro Policy Ekonomi Regional Trade MAKRO 60 Resource Base Service Base Fiskal Moneter GDP Regional

87 Keterangan: : Memiliki pengaruh secara langsung : Memiliki pengaruh tidak langsung Sumber: Fauzi, 2006 Gambar 4 Logic framework Micro-Macro Link Ekonomi regional merupakan kinerja dari resource based activity dan juga service based activity yang akan memberikan kontribusi terhadap nilai Gross Domestic Product (GDP) regional yang berawal dari kebijakan nasional. Secara makro, keterkaitan dengan Trade, Fiskal dan moneter dalam menentukan kebijakan akan berdampak secara lokal dalam kaitannya dengan garis kebijakan. Secara mikro, usaha perikanan erat sekali hubungannya dengan ketersediaan sumber bahan baku perikanan dan produk yang bisa dijual hasil dari penangkapan ikan. Saling pengaruh mempengaruhi atas ketersediaan tenaga kerja dan tingkat produktivitas untuk menghasilkan tangkapan, menjadikan masalah ini perlu dianalisis secara lebih terintegral dengan mempergunakan analisis MML sebagai bahan perencanaan untuk dapat menghasilkan bentuk policy link yang dapat dijadikan andalan untuk menjelaskan berbagai permasalahan yang ada dalam pengelolaan perikanan di Kabupaten Belitung. 61

88 Analisis MML ini dikembangkan dengan menggunakan metode LISREL (Linear Structural Relationship) yaitu salah satu software statistik yang digunakan untuk mengolah data dengan menggunakan structural equation modelling (SEM). Menurut Mueller (1996) dan Ghozali (2006), metode structural equation modelling (SEM) merupakan analisis multivariat yang mempunyai kemampuan untuk menganalisis tingkat dan sifat pengaruh interaksi (link) antar komponen pada suatu sistem nyata dengan menggunakan data lapang yang bersifat multivariabel dan multihubungan. Untuk meningkatkan keakuratan hasil analisis, metode SEM juga mempunyai alat uji yang dikenal dengan kriteria goodness-of-fit yang dapat digunakan secara terintegrasi. SEM dapat digunakan untuk menganalisis tingkat peran komponen yang berinteraksi dalam sistem, menetapkan komponen yang berpengaruh signifikan dan tidak signifikan, memberikan arahan pemilihan variabel yang menjadi perhatian dalam pengembangan operasi di suatu kawasan. Dalam penelitian ini, analisis SEM digunakan untuk menganalisis berbagai pengaruh dan sifat pengaruh dalam interaksi (link) antar komponen yang mendukung pembangunan perikanan tangkap terpadu seperti diilustrasikan oleh Fauzi (2006) dalam logic framework MML yang terdapat pada Gambar 4. Pada logic framework MML dapat dilihat hubungan antara kondisi mikro di tingkat local dan kondisi makro di tingkat regional yang saling mempengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama dalam hubungan dengan kebijakan nasional. Tingkat pengaruh tersebut ditunjukkan oleh koefisien pengaruh yang dihasilkan model dan dinyatakan fit (sesuai) menurut kriteria goodness-of-fit baik yang bersifat langsung (direct effect), tidak langsung (indirect effect), maupun yang merupakan pengaruh total (total effect). Sifat pengaruh dapat signifikan atau tidak signifikan ditunjukkan oleh nilai probabilitas (P) setiap pengaruh dalam interaksi antar komponen. Mulai 62 Kajian Pustaka Survey Lapangan

89 Gambar 5 Diagram alir tahapan penelitian 63

90 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya (culture) atau ekonomi. Secara budaya, ikan telah menjadi bagian dari menu konsumsi penduduk sejak berabad-abad sebelumnya (Wahyuni, 2007). Pada saat sekarang ini, dengan terjadinya peningkatan kebutuhan terhadap ikan, nilai ekonomisnya menjadi semakin meningkat disamping ikan merupakan salah satu sumber protein murah bagi sebagian besar penduduk. Sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk sebesar 210 juta jiwa pada tahun 2000 dan dalam jangka waktu 35 tahun mendatang, populasi penduduk Indonesia akan bertambah dua kali lipat menjadi 400 juta jiwa sehingga ketersediaan pangan akan menjadi masalah, terutama yang terkait dengan tersedianya ikan sebagai bahan pangan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka sangat dibutuhkan adanya peningkatan penangkapan ikan. Alat tangkap dan armada penangkapan merupakan komponen utama dalam pengembangan kegiatan perikanan tangkap di suatu wilayah. Potensi sumber daya ikan dan kualitas sumber daya manusia yang baik tidak akan menjadi keberhasilan kegiatan perikanan tangkap, bila alat tangkap dan armada penangkapan yang dioperasikan tidak memadai terutama dalam spesifikasinya. Kondisi alat tangkap dan armada penangkapan yang digunakan nelayan akan mempengaruhi jumlah produksi, jenis ikan yang ditangkap, kualitas hasil tangkapan dan jangkauan operasi penangkapan. Dalam kaitan ini, maka kondisi alat tangkap dan armada penangkapan ini harus selalu diperhatikan dalam setiap upaya pengembangan kegiatan perikanan tangkap termasuk di Kabupaten Belitung Kondisi alat tangkap di Kabupaten Belitung Hasil analisis data lapangan menunjukkan bahwa jenis alat tangkap yang digunakan dalam usaha penangkapan ikan di perairan Kabupaten Belitung cukup beragam. Hal ini karena jenis sumber daya ikan yang bisa ditangkap di lokasi cukup banyak baik dari jenis ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal,

91 maupun udang dan biota laut non ikan. Alat tangkap yang dominan digunakan diantaranya adalah pancing tonda, payang, jaring insang tetap (JIT), jaring insang lingkar (JIL), jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bagan perahu, bagan tancap, bubu, jermal, pukat udang, dan trammel net. Gambar 6 memperlihatkan jumlah rata-rata alat tangkap tersebut yang dioperasikan selama periode tahun di Kabupaten Belitung. Trammel Net Pukat Udang Jermal Bubu Bagan Tancap Bagan Perahu Pukat Pantai Sero JIH JIL JIT Payang Pancing Tonda Jumlah Alat Tangkap (unit) Gambar 6 Pemakaian alat tangkap selama periode tahun di Kabupaten Belitung Berdasarkan Gambar 6, bubu merupakan alat tangkap yang jumlahnya paling banyak di Kabupaten Belitung, yaitu mencapai unit. Hal ini cukup wajar karena bubu diusahakan oleh nelayan skala kecil di Kabupaten Belitung, dimana setiap nelayan dapat mempunyai 5-10 unit bubu. Bubu tersebut umumnya dibuat dengan bahan utama berupa bambu yang relatif mudah ditemukan di Kabupaten Belitung, sehingga tidak begitu berat bagi nelayan untuk memilikinya beberapa unit. Alat tangkap lainnya yang cukup tinggi jumlahnya adalah trammel net, pukat udang, dan pancing tonda, yaitu masing-masing 5840 unit, 2253 unit, dan 1354 unit. Trammel net dan pukat udang banyak diandalkan nelayan dalam menangkap udang dan biota non ikan, yang kebutuhan dan potensinya cukup 66

92 tinggi di lokasi penelitian, serta harga jualnya yang mahal. Hal ini membuat nelayan di Kabupaten Belitung banyak tertarik untuk mengusahakannya, meskipun secara finansial belum tentu lebih baik dari yang lainnya. Pukat udang dan trammel net di Kabupaten Belitung termasuk alat tangkap yang mudah rusak karena lokasi pengoperasian pada umumnya adalah perairan dangkal. Perairan Kabupaten Belitung dan sebagian besar Selat Malaka termasuk perairan dangkal, sehingga alat tangkap yang menangkap ikan demersal dan biota laut non ikan sangat mudah tersangkut dengan karang atau benda-benda di dasar perairan. Jermal, sero dan jaring insang lingkar (JIL) termasuk alat tangkap yang jumlahnya sedikit di Kabupaten Belitung, yaitu masing-masing 17 unit, 61 unit, dan 87 unit. Sedikitnya jumlah jermal lebih disebabkan oleh biaya investasinya yang besar sehingga hanya orang tertentu yang bisa mengusahakannya. Sero dan jaring insang lingkar (JIL) juga hanya diusahakan dalam skala besar, dimana setiap alat tangkap tersebut dapat mempekerjakan 8 15 nelayan. Lebih lanjut pembahasan tentang investasi ini disajikan dalam analisis kelayakan usaha pada Bab Kondisi armada dan daerah penangkapan ikan di Kabupaten Belitung Gambar 7 Peta daerah penangkapan ikan di Kabupaten Belitung 67

93 Daerah penangkapan ikan di Kabupaten Belitung, sesuai dengan daerah penelitian terdapat di empat kecamatan yang tersebar di pesisir barat pulau Belitung, yaitu Kecamatan Sijuk, Kecamatan Tanjung Pandan, Kecamatan Badau dan Kecamatan Membalong. Perairan tempat penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan menyebar sampai ke pulau-pulau kecil yang terdapat di sekitar kecamatan-kecamatan itu, sehingga dalam melakukan penelitian, tidak dapat dilakukan spesifikasi secara detail asal muasal nelayan, karena mereka melakukan penangkapan ikan lebih diarahkan insting mereka sebagai nelayan tradisional dengan mempergunakan armada penangkapan yang mereka miliki. Pada Gambar 7 disajikan peta daerah penangkapan ikan yang terdapat di daerah penelitian. Di Kecamatan Sijuk lebih banyak dipakai alat tangkap ikan yang terdiri dari panjing tonda, sero dan bubu, sedangkan di Kecamatan Tanjung Pandan banyak digunakan payang, jaring insang hanyut (JIH), sementara itu di Kecamatan Badau nelayan banyak mempergunakan trammel net dan di Kecamatan Membalong nelayan lebih senang mempergunakan pukat pantai dengan sistem arisan dan berkelompok. Dalam melakukan penangkapan ikan, nelayan mempergunakan bermacam-macam armada untuk menangkap ikan dan dilengkapi dengan alat tangkap ikan yang mereka miliki. Secara garis besar, armada penangkapan yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan dapat dibagi dalam tiga kategori besar, yaitu armada/perahu tanpa motor, armada/perahu motor tempel, dan armada/perahu motor. Armada/perahu motor termasuk yang paling banyak dioperasikan di Kabupaten Belitung, yaitu rata-rata 1976 unit setiap tahunnya (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung, 2008). Gambar 8 menyajikan jumlah armada penangkapan ikan yang dioperasikan selama periode di Kabupaten Belitung, baik untuk armada/perahu tanpa motor, armada/perahu motor tempel, maupun armada/perahu motor. 68

94 Jumlah Armada/Perahu (trip) (unit) Tahun Perahu Tanpa Motor Perahu Motor Tempel Perahu Motor Gambar 8 Jumlah armada penangkapan yang dioperasikan selama periode tahun di Kabupaten Belitung Berdasarkan Gambar 8, jumlah armada/perahu motor yang beroperasi setiap tahunnya di perairan Kabupaten Belitung di atas 1000 unit. Operasi armada/perahu motor dengan jumlah tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sekitar 2225 unit, sedangkan yang paling rendah terjadi pada tahun 2000, yaitu hanya 1637 unit. Banyaknya jumlah armada yang beroperasi pada tahun 2005 diduga karena kegiatan usaha perikanan berkembang dengan baik dan hasil tangkapannya meningkat, sehingga mendorong pertumbuhan jumlah armada penangkapan yang dibutuhkan. Jumlah armada penangkapan yang tinggi ini di tahun 2005 juga terjadi pada jenis armada/perahu tanpa motor dan armada/perahu motor tempel. Pada tahun 2005, armada/perahu tanpa motor dan armada/perahu motor tempel di Kabupaten Belitung masing-masing mencapai 530 unit dan 56 unit. Jumlah yang rendah pada awal periode tahun untuk ketiga kategori armada penangkapan memberi indikasi belum berkembangnya secara maksimal usaha perikanan tangkap di lokasi. Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya pembinaan di kalangan nelayan, nilai produk perikanan yang rendah, perkembangan isu perikanan yang krusial di lokasi dan lainnya. Gambar 9 menyajikan kondisi jumlah armada/perahu tanpa motor dari jenis jukung dan perahu papan kecil selama periode tahun di Kabupaten Belitung. 69

95 Jumlah Armada/Perahu (trip) (unit) Tahun Jukung Perahu Papan Kecil Gambar 9 Jumlah armada/perahu tanpa motor dari jenis jukung dan perahu papan kecil selama periode tahun di Kabupaten Belitung Armada/perahu tanpa motor yang beroperasi di Kabupaten Belitung umumnya dari jenis jukung dan perahu papan kecil, sedangkan untuk perahu papan ukuran sedang dan besar tidak ada (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung, 2008 dan Ditjen Perikanan Tangkap, 2009). Untuk perahu ukuran kecil, pada tahun pernah tidak dioperasikan, namun pada tahun berkembang lagi dengan jumlah yang signifikan, yaitu mencapai 441 unit pada tahun Hal ini diduga karena pola penangkapan yang berubah/belum stabil di lokasi sehingga memberi peluang untuk tumbuh dan tenggelamnya sarana pendukung penangkapan yang digunakan. Pada tahun jukung berkembang baik di Kabupaten Belitung, namun turun kembali pada tahun seiring dengan bertambahnya perahu papan kecil. Melihat kondisi seperti ini, diduga jukung dan perahu papan kecil mempunyai fungsi yang relatif sama, sehingga dapat disubstitusikan dalam mendukung kegiatan perikanan tangkap di lokasi. Dalam kaitan dengan armada/perahu motor, armada yang beroperasi di Kabupaten Belitung berukuran maksimum GT (Gross Tonnes). Gambar 10 menyajikan kondisi jumlah armada/perahu motor dari ukuran < 5 GT, 5-10 GT, GT, dan GT selama periode tahun di Kabupaten Belitung. 70

96 Jumlah Armada/Perahu (trip) (unit) Tahun < 5 GT 5-10 GT GT GT Gambar 10 Jumlah armada/perahu motor dari ukuran < 5 GT, 5-10 GT, GT, dan GT selama periode di Kabupaten Belitung Berdasarkan Gambar 10, diketahui bahwa sebagian besar armada/perahu motor yang beroperasi di Kabupaten Belitung mempunyai ukuran < 5 GT. Hal ini sekaligus memberi penegasan bahwa dominasi perahu motor dalam kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung sebagian besar merupakan kontribusi armada 5 GT ke bawah. Armada/perahu motor dengan ukuran GT paling banyak kedua di Kabupaten Belitung. Armada dengan ukuran ini banyak digunakan dalam operasi alat tangkap skala menengah seperti pancing tonda dan jaring insang Perkembangan Nelayan Kemajuan sektor perikanan sangat tergantung terhadap kondisi nelayan. Bagaimana kebijakan pembangunan ekonomi kelautan yang akan dikembangkan, tidak bisa melepaskan diri dari tersedianya nelayan. Untuk itu perlu sejumlah agenda untuk pemberdayaan nelayan. (Arif Satria, 2004) Pertama, perlu diupayakan skim kredit lunak dan teknologi untuk meningkatkan produktifitas nelayan, sehingga nelayan mampu menjadi tuan rumah di lautnya sendiri. Kedua,memacu peningkatan kualitas SDM nelayan, tidak saja pengetahuan, tetapi juga ketrampilan serta kesehatan baik fisik maupun mental. Ketiga, mengembangkan institusi ekonomi di masyarakat nelayan, untuk menciptakan 71

97 ketahanan ekonomi menghadapi dinamika perubahan luar. Keempat, memperkuat jaringan nelayan untuk membangun kerjasama dan saling pengertian antar masyarakat nelayan, khususnya dalam hal pemanfaatan sumber daya. Hal ini mengingat bahwa kegiatan perikanan adalah lintas wilayah administratif. Jaringan ini diarahkan untuk terintegrasi dalam pengelolaan sumber daya, agar tidak terjadi konflik antar nelayan. Secara umum, nelayan di Kabupaten Belitung terbagi dalam tiga kategori, yaitu nelayan tetap, nelayan sambilan, dan nelayan sambilan tambahan. Nelayan yang bekerja tetap merupakan nelayan yang menjadikan kegiatan penangkapan ikan sebagai sumber penghasilan utama bagi keluarganya. Nelayan sambilan merupakan nelayan yang sebenarnya punya pekerjaan tetap, namun bila tidak ada kesibukan di pekerjaan tetap, mereka akan ikut secara serius bekerja pada kegiatan penangkapan ikan. Di Kabupaten Belitung, pekerjaan tetap dari nelayan sambilan ini biasanya bertani, berkebun atau buruh di perusahaan swasta. Nelayan sambilan merupakan nelayan yang sudah punya pekerjaan tetap dan pekerjaan sambilan bila ada waktu luang, namun bila pekerjaan tetap dan pekerjaan sambilan sedang off, mereka akan melakukan kegiatan penangkapan ikan (Pramono, 2005). Atau mereka juga bisa merupakan remaja yang menyempatkan diri ikut menangkap ikan pada saat libur sekolah yang tidak digunakan untuk bermain. Di Kabupaten Belitung, nelayan sambilan tambahan ini biasanya dari kalangan pedagang di pasar, petani yang mempunyai usaha sambilan di rumah, dan kalangan remaja. Nelayan tersebut dapat mengikuti usaha perikanan tangkap yang berbedabeda dari waktu ke waktu, tergantung pada peluang yang ada. Misalnya nelayan sero, kadang juga mengikuti usaha perikanan jaring insang hanyut (JIH) bila kondisi arus laut kurang baik dan migrasi ikan yang ditangkap sero tidak begitu banyak. Nelayan Kabupaten Belitung punya kebiasaan selalu mengikutkan anak, saudara dan teman dekat pada usaha perikanan tangkap yang mereka jalankan bila mereka membutuhkan pekerjaan. Hal ini tentu memberi dampak sosial yang baik karena dapat meminimalisasi pengangguran dan konflik sosial lainnya. Tabel 3 menyajikan komposisi jumlah nelayan yang bekerja tetap, sambilan, dan sambilan tambahan periode tahun di Kabupaten Belitung. 72

98 Tabel 3 Jumlah nelayan yang bekerja tetap, sambilan, dan sambilan tambahan periode tahun di Kabupaten Belitung Tahun Nelayan Nelayan Nelayan Total Sambilan Tetap Sambilan Nelayan Tambahan (orang) (orang) (orang) (orang) Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung tahun Pada Tabel 3 terlihat jumlah nelayan yang bekerja tetap, berkembang meningkat setiap tahunnya pada periode tahun Jumlah ini kemudian menurun drastis pada tahun 2005 ke 2006, yaitu dari 8940 orang pada tahun 2005 menjadi 4164 orang pada tahun Penurunan ini terjadi karena kalangan nelayan usia muda yang memiliki pendidikan cukup tinggi, serta adanya peluang pekerjaan yang dirasa lebih baik bagi mereka, seperti tawaran menjadi pengawai honorer di instansi pemerintah dengan harapan suatu saat dapat diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan tawaran bekerja di luar daerah, seperti di Batam dan Malaysia. Kenyataannya memang pada masa Kabinet Indonesia Bersatu I lalu, banyak tenaga honorer instansi pemerintah yang diangkat menjadi PNS. Namun jumlah nelayan tetap tersebut meningkat kembali di tahun 2009 menjadi sekitar 6562 orang, hal ini terjadi karena disamping adanya laju pertumbuhan penduduk, juga karena beberapa nelayan usia muda yang menerima tawaran kerja tersebut kembali bekerja sebagai nelayan akibat pekerjaan sebelumnya tidak memberikan kepastian. Jumlah nelayan sambilan cenderung meningkat dari tahun ke tahun meskipun pernah mengalami penurunan, yaitu dari 2145 orang pada tahun 2004 menjadi 1085 orang pada tahun Penurunan tersebut tidak begitu besar bila dibandingkan dengan peningkatan pada tahun berikutnya, yaitu pada tahun

99 meningkat tajam menjadi 5112 orang. Peningkatan yang terjadi pada tahun 2006 terjadi karena terbukanya kesempatan menjadi nelayan sambilan bagi petani dan profesi lainnya akibat ditinggalkan oleh nelayan tetap usia muda yang mencari pekerjaan lain pada tahun Jumlah nelayan sambilan tersebut bertahan terus hingga tahun 2009, yang meningkat menjadi 5441 orang. Meskipun pada tahun 2008 sempat melonjak menjadi 5712 orang. Jumlah nelayan sambilan tambahan relatif berfluktuatif setiap tahunnya, namun secara umum kecenderungannya adalah menurun. Berdasarkan Tabel 3, jumlah nelayan sambilan tambahan pada tahun 2000 sekitar 128 orang, sempat meningkat menjadi 247 orang pada tahun 2003, namun menurun kembali hingga pada tahun 2009 hanya ada sekitar 12 orang. Hal ini terjadi karena kesempatan yang ada lebih banyak diisi oleh nelayan sambilan, dimana intensitas keikutsertaan dan tingkat keseriusannya relatif lebih baik daripada nelayan sambilan tambahan. Hal ini menjadi wajar karena pengusaha atau nelayan pemilik tidak mau kegiatan penangkapannya terganggu akibat ketidakjelasan anggota yang ikut serta. Secara umum, jumlah nelayan di Kabupaten Belitung memperlihatkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun, meskipun tidak terlalu signifikan. Hal ini memberi indikasi bahwa ada dukungan potensi dari sumber daya lokal, bila hal ini dapat diteruskan maka kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung dapat dikembangkan lagi. 4.3 Kondisi Produksi Ikan Sektor perikanan di Kabupaten Belitung dapat memproduksi ikan setiap tahunnya, baik dari jenis ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, maupun udang dan biota laut non ikan lainnya. Produksi setiap jenis ikan tersebut terkadang berfluktuatif dari tahun ke tahun. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca, migrasi ikan, dan upaya penangkapan yang dilakukan nelayan Kabupaten Belitung setiap tahunnya. Alat tangkap yang umum dioperasikan nelayan dalam mendukung produksi ikan tersebut diantaranya adalah pancing tonda, payang, jaring insang tetap (JIT), jaring insang lingkar (JIL), jaring insang hanyut (JIH), sero, jaring insang hanyut (JIH), pukat pantai, bagan perahu, bagan tancap, bubu, jermal, pukat udang, dan trammel net. 74

100 Tabel 4 menyajikan jumlah produksi ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, udang dan biota laut non ikan yang menggunakan alat-alat tangkap tersebut selama periode tahun di Kabupaten Belitung. Tabel 4 Jumlah produksi ikan selama periode tahun di Kabupaten Belitung Tahun Ikan Pelagis Besar (ton) Ikan Pelagis Kecil (ton) Ikan Demersal (ton) Udang dan Biota Laut Non Ikan (ton) Sumber : Olahan data (2010) Berdasarkan Tabel 4, secara umum di Kabupaten Belitung, produksi ikan pelagis besar lebih tinggi daripada produksi ikan pelagis kecil, ikan demersal, maupun udang dan biota laut non ikan. Produksi ikan pelagis besar tertinggi terjadi pada tahun 2005, 2006, dan 2007, yaitu berturut-turut mencapai 10687,28 ton; 10987,00 ton; dan 10939,90 ton. Peningkatan ini terjadi karena aktivitas penangkapan yang cukup tinggi pada tahun-tahun tersebut, disamping terjadi migrasi ikan yang cukup banyak di lokasi tersebut, sehingga hasil tangkapan nelayan lebih baik. Gambar 11 menunjukkan trend upaya penangkapan gabungan (effort-gabungan) selama periode tahun di Kabupaten Belitung. 75

101 Upaya Penangkapan (trip) (unit) Tahun Ikan Pelagis Kecil Ikan Pelagis Besar Ikan Demersal Udang dan Biota Laut Non Ikan Gambar 11 Trend upaya penangkapan gabungan (effort-gabungan) selama periode tahun di Kabupaten Belitung Produksi ikan pelagis kecil dan ikan demersal relatif berimbang selama periode tahun di Kabupaten Belitung. Produksi tertinggi untuk ikan pelagis kecil terjadi pada tahun 2007, yaitu sekitar 6714,40 ton, dan produksi terendah terjadi pada tahun 2004, yaitu sekitar 4428,50 ton. Produksi ikan demersal pada tahun 2007 dan tahun 2008 termasuk paling tinggi, yaitu masingmasing mencapai 6090,20 ton dan 6366,80 ton, dan produksi terendahnya terjadi pada tahun 2004, yaitu sekitar 4350,10 ton. Bila dihubungkan dengan trend upaya penangkapannya (Gambar 11), maka upaya penangkapan ikan demersal lebih tinggi dan meningkat sangat tajam, upaya penangkapan ikan pelagis kecil lebih stabil dan cukup kecil. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: (1) potensi ikan demersal lebih kecil daripada potensi ikan pelagis kecil sehingga dengan upaya penangkapan yang lebih tinggi, jumlah hasil tangkapannya juga tidak meningkat lebih baik, (2) produktivitas penangkapan ikan demersal secara umum tidak lebih baik daripada penangkapan ikan pelagis kecil, sehingga tidak bisa meningkatkan hasil tangkapan meskipun upayanya ditingkatkan. Produksi udang dan biota laut non ikan termasuk paling rendah di Kabupaten Belitung. Hal ini wajar karena sumber daya ini umumnya lebih sedikit penyebarannya di perairan. Fluktuasi produksi udang dan biota laut non ikan ini tidak begitu besar di Kabupaten Belitung, dimana produksi paling tinggi terjadi 76

102 pada tahun 2004 dan 2005, yaitu masing-masing 1002,30 ton dan 1125,50 ton. Sedangkan produksinya yang termasuk rendah terjadi pada tahun 2000 dan 2008, yaitu masing-masing 538,40 ton dan 595,30 ton. Bila jumlah produksi ini dihubungkan dengan upaya penangkapannya, maka akan tampak bahwa upaya penangkapan yang cenderung naik (Gambar 11) tidak menyebabkan kenaikan pada jumlah produksi udang dan biota laut non ikan lainnya di Kabupaten Belitung. Apakah ini merupakan indikasi dari overfishing atau ada penyebab lainnya, pembahasan terkait stok akan menjelaskan kondisi potensi maksimum lestari dan tingkat pemanfaatan sumber daya udang dan biota laut non ikan tersebut. Penyebab lain yang mungkin terjadi adalah teknologi penangkapan udang dan biota laut non ikan yang tidak berkembang dengan baik, sehingga produktivitas penangkapan rendah dan bahkan cenderung turun, seiring bertambahnya umur alat tangkap. Selama ini, pukat udang dan trammel net merupakan alat tangkap yang banyak diandalkan oleh nelayan di Kabupaten Belitung, dan dapat menyebabkan penurunan produktivitas bila tidak dirawat dengan baik, apalagi misalnya dengan alasan ketidak-adaan biaya. Terkait dengan ini, maka pembinaan perlu terus diberikan kepada nelayan tersebut terutama dalam introduksi teknologi penangkapan dan pendugaan daerah penangkapan yang lebih baik. 4.4 Stok Sumber daya Ikan Seiring peningkatan produksi perikanan di Indonesia, penyediaan ikan untuk konsumsi dalam negeri pun mengalami peningkatan. Jika tahun 2001, total penyediaan ikan untuk konsumsi dalam negeri mencapai 4,69 juta ton, pada 2003 telah mencapai 5,30 juta ton. Dengan demikian, pada periode tahun , rata-rata kenaikan konsumsi ikan dalam negeri mencapai 6,41 % per tahun (Wahyuni, 2007) Stok sumber daya ikan pelagis besar Ikan pelagis besar merupakan sumber daya ikan yang sangat penting di Kabupaten Belitung, karena sumber daya ikan tersebut telah menjadi hasil tangkapan yang sangat penting bagi nelayan di Kabupaten Belitung, dimana 77

103 sekitar 44 % dari total hasil tangkapan nelayan, merupakan jenis ikan pelagis besar. Gambar 6 pada bagian sebelumnya menunjukkan hal tersebut. Adapun jenis-jenis ikan pelagis besar yang potensial di Kabupaten Belitung adalah cucut, tongkol, cakalang, dan tenggiri. Ikan tenggiri termasuk jenis ikan pelagis besar yang dominan ditangkap oleh nelayan di Kabupaten Belitung. Nilai produksi pada tahun 2008 mencapai Rp Hal ini didukung oleh alat tangkap yang digunakan nelayan berupa pancing tonda dan payang, dimana mereka lebih terbiasa dan telah menggunakan alat tangkap tersebut secara turun-temurun. Hasil survey menunjukkan bahwa nelayan telah dapat mengadopsi beberapa teknologi dari luar dalam pengembangan alat tangkap yang digunakan, termasuk pada pancing tonda dan payang. Secara detail, alat tangkap yang digunakan dalam penangkapan ikan pelagis besar di perairan Kabupaten Belitung, yang terdiri dari pancing tonda, payang, jaring insang tetap, dan jaring insang lingkar, telah lama digunakan oleh masyarakat di sekitar lokasi penelitian, meskipun dengan intensitas yang berbedabeda dari tahun ke tahunnya. Gambar 12 menyajikan hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan f-optimum untuk ikan pelagis besar di perairan Kabupaten Belitung Produksi (ton) MSY= to F Opt=34364 tri Upaya Penangkapan (trip) Gambar 12 Hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan F Optimum untuk ikan pelagis besar di perairan Kabupaten Belitung 78

104 Hasil analisis potensi sumber daya ikan pelagis besar menggunakan metode Surplus Produksi dengan analisis model Schaefer pada Gambar 12 memperlihatkan nilai dugaan potensi maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) ikan pelagis besar di Kabupaten Belitung, yaitu sekitar 45513,78 ton setiap tahunnya, sedangkan upaya penangkapannya yang optimum (F opt) sekitar unit. Nilai MSY memberi panduan bagi kegiatan produksi ikan pelagis besar di lokasi penelitian sehingga pemanfaatannya dapat berkelanjutan. Sedangkan nilai F optimum memberi batasan bagi setiap upaya penangkapan terhadap sumber daya ikan pelagis besar di lokasi agar tidak melampaui jumlah unit yang ditentukan. Perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap ikan pelagis besar di Kabupaten Belitung disajikan pada Gambar 13. Gambar 13 Perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap ikan pelagis besar di Kabupaten Belitung Produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap ikan pelagis besar pada Gambar 13 tersebut perlu dikontrol dengan baik. Hal ini penting untuk menjamin stok sumber daya ikan pelagis besar di lokasi dan kelangsungan pemanfaatan juga terus dapat dilakukan. Gambar 14 menyajikan hubungan upaya penangkapan dengan Catch Per Unit Effort (CPUE) ikan pelagis besar di perairan Kabupaten Belitung. Berdasarkan Gambar 14 tersebut, slope / kemiringan hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan pelagis besar cukup landai 79

105 yaitu dengan nilai sekitar -0, Hal ini memberi indikasi bahwa bila penangkapan dilakukan secara intensif, maka tidak begitu memberi dampak pada penurunan hasil tangkapan dan hal ini bersesuaian dengan penelitian Karyana (1993) di perairan pantai barat Kalimantan. Lampiran 4 menyajikan hasil analisis lengkap terkait produksi, upaya penangkapan, CPUE dan MSY sumber daya ikan pelagis besar di Kabupaten Belitung. Y = X Gambar 14 Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan pelagis besar di perairan Kabupaten Belitung Hasil analisis lanjutan menunjukkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pelagis besar di perairan Kabupaten Belitung hanya mencapai sekitar 19,91 %. Produksi tahunan rata-rata ikan pelagis besar selama periode tahun sekitar 14953,46 ton, sedangkan produksi pada tahun 2009 mencapai sekitar 7051 ton. Baik produksi tahunan rata-rata maupun produksi tahun terakhir tersebut masih jauh di bawah MSY ikan pelagis besar sebesar ,16 ton di lokasi penelitian. Terkait dengan ini, maka stok sumber daya ikan pelagis besar dapat dikatakan sangat memadai untuk mendukung pengembangan perikanan terpadu di Kabupaten Belitung. Bila pengembangan tersebut direalisasikan dengan komoditas utama berupa ikan pelagis besar, maka tingkat pemanfaatan yang terjadi saat ini, nilai MSY dan F optimum hasil analisis dapat dijadikan acuan pengembangan termasuk dalam memobilisasi tenaga kerja, maupun sarana dan prasarana perikanan yang dibutuhkan di Kabupaten Belitung. 80

106 4.4.2 Stok sumber daya ikan pelagis kecil Sumber daya ikan pelagis kecil juga merupakan komoditas perikanan yang diandalkan di Kabupaten Belitung. Penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Belitung biasanya menggunakan jaring insang lingkar, sero, jaring insang hanyut, pukat pantai, bagan perahu, dan bagan tancap. Alat tangkap tersebut umumnya dikembangkan secara turun temurun dan ada beberapa yang telah mengintroduksi teknologi yang dibawa oleh nelayan pendatang, seperti dari nelayan dari bugis dan jawa untuk alat tangkap jaring insang dan sero. Jenis ikan pelagis kecil yang ditangkap oleh nelayan di Kabupaten Belitung umumnya terdiri dari ikan layur, layang, selar, lemuru, kembung, dan teri. Gambar 15 menyajikan hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan f-optimum untuk ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Belitung. Sedangkan Gambar 16 menyajikan hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Belitung. Produksi (ton) MSY= ton F Opt=78654 trip Upaya Penangkapan (trip) Gambar 15 Hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan F Optimum untuk ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Belitung 81

107 Y = X Gambar 16 Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Belitung Berdasarkan Gambar 15, potensi maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) sumber daya ikan pelagis kecil di Kabupaten Belitung sekitar 7237,78 ton setiap tahunnya, sedangkan upaya penangkapannya yang optimum (F opt) sekitar unit. Lampiran 12 menyajikan hasil analisis lengkap terkait produksi, upaya penangkapan, CPUE dan MSY sumber daya ikan pelagis kecil di Kabupaten Belitung. Gambar 17 Perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap ikan pelagis kecil di Kabupaten Belitung 82

108 Gambar 17 menyajikan perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap ikan pelagis kecil di Kabupaten Belitung yang bisa dikontrol dengan MSY dan F Optimum tersebut. Produksi tahunan rata-rata ikan pelagis kecil di Kabupaten Belitung selama periode 10 tahun terakhir sekitar 5613,43 ton. Bila nilai tersebut dihubungkan dengan nilai potensi maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) maka tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di Kabupaten Belitung sekitar 77,56 %. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada peluang untuk pengembangan lebih lanjut sistem perikanan terpadu di perairan Kabupaten Belitung. Dengan produksi ikan pelagis kecil pada tahun 2009 sekitar 6582,60 ton, masih terdapat kemungkinan untuk lebih ditingkatkan lagi sebesar % per tahun pada tahun-tahun berikutnya. Slope / kemiringan hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan pelagis kecil yang bernilai -0, memberi ruang untuk pengembangan tersebut, dimana dampak penangkapan intensif terhadap penurunan hasil tangkapan tidak begitu besar (slope landai). Bila dibandingkan dengan sumber daya ikan pelagis besar, maka pemanfaatan stok sumber daya ikan pelagis kecil masih tergolong rendah, yang berarti peluang pengembangannya di perairan Kabupaten Belitung tidak sebaik ikan pelagis besar. Terkait dengan hal ini, meskipun pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil masih dapat ditingkatkan, namun menurut Kimker (1994) harus dikontrol dengan baik sehingga pemanfaatan tersebut terus berkelanjutan di kemudian hari Stok sumber daya ikan demersal Ikan pelagis demersal yang terdapat di perairan Kabupaten Belitung umumnya terdiri dari manyung, bawal, kakap, pepetek, kurisi, kerapu, dan pari. Ikan manyung, kurisi, kerapu termasuk ikan demersal andalan di perairan Kabupaten Belitung. Nilai produksinya pada tahun 2008 yaitu sekitar Rp untuk ikan manyung Rp untuk ikan kurisi, dan Rp untuk ikan kerapu. Sedangkan alat tangkap yang diusahakan oleh nelayan di Kabupaten Belitung untuk menangkap ikan demersal tersebut terdiri bubu, sero, pancing tonda, dan jermal. Sebagian besar alat tangkap tersebut telah lama digunakan di lokasi penelitian, dan untuk usaha jermal banyak dipengaruhi oleh nelayan dari 83

109 Sumatera Utara, yaitu berupa bangunan jermal dari kayu gelondongan ukuran besar. Gambar 18 menyajikan hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan f-optimum untuk ikan demersal di perairan Kabupaten Belitung MSY= ton Produksi (ton) F Opt= trip Upaya Penangkapan (trip) Gambar 18 Hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan F Optimum untuk ikan demersal di perairan Kabupaten Belitung Berdasarkan Gambar 18, potensi maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) ikan demersal di Kabupaten Belitung sekitar 10671,05 ton setiap tahunnya, sedangkan upaya penangkapannya yang optimum (F opt) sekitar unit. Nilai MSY dan F Optimum tersebut perlu dijadikan acuan dalam mengukur tingkat produksi dan upaya penangkapan ikan demersal yang dilakukan di Kabupaten Belitung. Bila perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap ikan demersal (lihat Gambar 19) selama ini belum baik di Kabupaten Belitung, maka dengan acuan MSY dan F Optimum tersebut tentu dapat diperbaiki. Produksi tahunan rata-rata ikan demersal di Kabupaten Belitung selama 10 tahun terakhir mencapai sekitar 5335,29 ton (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung, 2008), dan ternyata produksi ini masih jauh di bawah potensi maksimum lestari, dimana hingga saat ini tingkat pemanfaatannya baru mencapai 49,58 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa stok sumber daya ikan demersal di Kabupaten Belitung dapat dikatakan memadai untuk mendukung pengembangan perikanan terpadu di Kabupaten Belitung. 84

110 Gambar 19 Perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap ikan demersal di Kabupaten Belitung Gambar 20 menyajikan hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan demersal di perairan Kabupaten Belitung. Slope / kemiringan hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan demersal sangat landai yaitu dengan nilai sekitar -0, Hal ini menunjukkan bahwa penurunan hasil tangkapan akan kecil kemungkinan untuk terjadi, meskipun pemanfaatan sumber daya ikan demersal melalui kegiatan penangkapan dilakukan lebih intensif lagi. Lampiran 22 menyajikan hasil analisis lengkap terkait produksi, upaya penangkapan, CPUE dan MSY sumber daya ikan demersal di Kabupaten Belitung. Y = X Gambar 20 Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE ikan demersal di perairan Kabupaten Belitung 85

111 4.5 Stok Sumber daya Udang dan Biota Laut Non Ikan Sumber daya udang dan biota laut non ikan juga termasuk komoditas unggulan atau yang diandalkan di Kabupaten Belitung. Sumber daya ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sehingga bila dimanfaatkan secara optimal dengan teknik yang tepat dapat memberikan banyak manfaat, terutama bagi kehidupan nelayan di Kabupaten Belitung. Sumber daya udang dan biota laut non ikan yang biasanya ditangkap oleh nelayan di Kabupaten Belitung umumnya terdiri dari udang putih, udang barong, udang lainnya, rajungan, dan cumi-cumi. Udang putih, rajungan, cumi merupakan komoditas biota laut non ikan andalan di Kabupaten Belitung, dimana nilai produksinya pada tahun 2008, yaitu masing-masing bernilai Rp , Rp , dan Rp Penangkapan sumber daya ini di lokasi penelitian, biasanya menggunakan pukat udang dan trammel net. Selama ini, kegiatan penangkapan udang dan biota laut non ikan ini cukup banyak di lokasi penelitian, namun masih kalah besar bila dibandingkan dengan kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil dan ikan demersal. Penangkapan udang dan biota laut non ikan umumnya dilakukan oleh nelayan lokal, dan beberapa diantaranya mempunyai jaringan dengan restoran Sea Food yang terdapat di Kabupaten Belitung, Bangka maupun Batam MSY= trip 2000 Produksi (ton) F Opt=21022 trip MSY = ton Upaya Penangkapan (trip) Gambar 21 Hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan F Optimum untuk udang dan biota laut non ikan di perairan Kabupaten Belitung 86

112 Gambar 21 menyajikan hubungan upaya penangkapan dengan produksi, MSY dan f-optimum untuk udang dan biota laut non ikan di perairan Kabupaten Belitung. Berdasarkan Gambar 21, potensi maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) sumber daya udang dan biota laut non ikan di Kabupaten Belitung sekitar 2102,80 ton setiap tahunnya, sedangkan upaya penangkapan yang optimum (F opt) sekitar unit. Lampiran 30 menyajikan hasil analisis lengkap terkait produksi, upaya penangkapan, CPUE dan MSY sumber daya udang dan biota laut non ikan di Kabupaten Belitung. Nilai MSY dan F Optimum tersebut dapat menjadi acuan dalam pengendalian produksi udang dan biota laut non ikan di perairan Kabupaten Belitung, sehingga pemanfaatan potensi perikanan jenis ini dapat berkelanjutan hingga ke generasi yang akan datang. Gambar 22 menyajikan perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap udang dan biota laut di Kabupaten Belitung yang perlu dikendalikan menggunakan kedua acuan tersebut. Berdasarkan Gambar 22, upaya penangkapan yang menggunakan pukat udang (udang) meningkat tajam dari tahun ke tahun, sementara hasil tangkapan (produksi) yang didapat tetap rendah. Menurut Monintja (2005), kondisi seperti ini perlu dikaji lanjut apakah disebabkan oleh tingkat pemanfaatan yang sudah berlebihan atau alat tangkapnya yang dinilai tidak layak di lokasi tersebut. Gambar 22 Perilaku produksi dan upaya penangkapan setiap alat tangkap udang dan biota laut non ikan di Kabupaten Belitung 87

113 Produksi tahunan rata-rata udang dan biota laut non ikan di Kabupaten Belitung selama periode 10 tahun terakhir sekitar 806,19 ton. Bila nilai tersebut dihubungkan dengan nilai potensi maksimum lestari, maka tingkat pemanfaatan sumber daya udang dan biota laut non ikan di Kabupaten Belitung mencapai sekitar 38,34 %. Dengan demikian, stok sumber daya udang biota laut non ikan di perairan Kabupaten Belitung masih sangat memadai dan terbuka luas untuk pengembangannya. Terkait ini juga, maka produksi pukat udang yang rendah yang dipertanyakan pada paragraf sebelumnya adalah bukan disebabkan tingkat pemanfaatan yang sudah berlebihan. Bila produksi sumber daya udang dan biota laut non ikan di Kabupaten Belitung pada tahun 2009 baru sekitar 815,90 ton, maka dapat ditingkatkan lagi hingga dua kali lipat dari produksi sekarang. Menurut Judith (1985), produksi biota laut dapat ditingkatkan bila hasil tangkapan masih lebih rendah daripada potensi lestari yang ada dan kecenderungan kegiatan penangkapan tersebut tidak merugikan secara ekonomi. Gambar 23 menyajikan hubungan upaya penangkapan dengan CPUE udang dan biota laut non ikan di perairan Kabupaten Belitung. Y = X Gambar 23 Hubungan upaya penangkapan dengan CPUE udang dan biota laut non ikan di perairan Kabupaten Belitung 88

114 Slope / kemiringan hubungan upaya penangkapan dengan CPUE udang dan biota laut non ikan (Gambar 23) yang bernilai -0, memberi ruang untuk pengembangan usaha penangkapan udang dan biota laut non ikan tersebut. Slope yang landai tersebut menunjukkan bahwa penangkapan yang lebih insentif tidak akan berdampak nyata pada penurunan hasil tangkapan nelayan setiap tripnya. Slope juga memperkuat hasil analisis MSY dalam kaitannnya dengan stok sumber daya udang dan biota laut non ikan untuk mendukung pengembangan perikanan terpadu di Kabupaten Belitung. 89

115 5 KELAYAKAN USAHA PERIKANAN TANGKAP 5.1 Kondisi Pendapatan Usaha Perikanan Tangkap Usaha perikanan tangkap yang berkembang di Kabupaten Belitung terdiri dari usaha perikanan pancing tonda, payang, jaring insang tetap (JIT), jaring insang lingkar (JIL), jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bagan perahu, bagan tancap, bubu, jermal, pukat udang, dan trammel net. Dari 13 (tiga belas) usaha perikanan tangkap tersebut, pancing tonda umumnya digunakan untuk menangkap ikan pelagis besar dan ikan demersal, payang, jaring insang tetap (JIT), dan jaring insang lingkar (JIL) banyak digunakan untuk menangkap ikan pelagis besar. Jaring insang hanyut (JIH), pukat pantai, bagan perahu, bagan tancap umumnya digunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil, sero banyak digunakan untuk menangkap ikan demersal dan biota laut non ikan. Bubu dan jermal banyak digunakan untuk menangkap ikan demersal, sedangkan pukat udang dan trammel net banyak digunakan untuk menangkap udang dan biota laut non ikan. Usaha perikanan tangkap ada yang dikembangkan dalam skala kecil, menengah, maupun besar, namun yang banyak berkembang adalah skala menengah Kondisi pendapatan usaha perikanan pelagis Dalam kaitan dengan analisis kelayakan usaha, pendapatan (benefit) merupakan parameter finansial utama dan pertama diperhatikan dalam pengembangan usaha perikanan. Hal ini karena besar-kecilnya pendapatan akan mencerminkan produktivitas usaha perikanan tangkap yang dikembangkan. Disamping itu, kondisi pendapatan menjadi output dalam pengukuran parameter finansial lainnya misalnya net present value (NPV), B/C ratio, internal rate return (IRR), return of investment (ROI), dan payback period (PP). Gambar 24 menyajikan hasil simulasi kondisi pendapatan (benefit) dari usaha perikanan pancing tonda, payang, jaring insang tetap (JIT), dan jaring insang lingkar (JIL) yang banyak digunakan dalam menangkap ikan pelagis besar. Alat tangkap yang digunakan diestimasi dapat bertahan dalam waktu 9 tahun. Hasil analisis detailnya disajikan pada Lampiran

116 Pendapatan (Rp) 50,000,000 45,000,000 40,000,000 35,000,000 30,000,000 25,000,000 20,000,000 15,000,000 10,000,000 5,000, Operasi Tahun Ke- Pancing Tonda Payang JIT JIL Gambar 24 Perilaku pendapatan usaha perikanan pancing tonda, payang, JIT, dan JIL selama tahun operasi Tahun ke 0, usaha perikanan tangkap baru dalam tahap persiapan alat tangkap dan peralatan lainnya, sehingga belum dioperasikan dan tidak ada pendapatan. Dari keempat usaha perikanan pelagis besar tersebut, pancing tonda mempunyai pendapatan yang paling tinggi. Pendapatan tertinggi pancing tonda terjadi pada operasi tahun ke 5 dan 6, yaitu masing-masing Rp dan Rp Hal ini terjadi karena pancing tonda dianggap lebih fleksibel oleh nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan. Bila payang, JIT, dan JIL memiliki proses setting yang cukup lama, maka pancing tonda tidak demikian. Di samping itu, penanganan payang, JIT, dan JIL lebih sulit bila tersangkut karang dan dasar perairan lainnya. Menurut Aziz (1989), bila pancing tersangkut di perairan, hanya dengan mengganti mata pancingnya sudah cukup sehingga alat ini menjadi lebih fektif dan efisien. Perairan di Kabupaten Belitung termasuk perairan yang dangkal, sehingga hal-hal seperti ini sering terjadi. Hasil tangkap pancing tonda termasuk rendah pada tahun terakhir operasi, yaitu pada tahun ke 9. Hal ini menunjukkan telah terjadi penurunan produktivitas usaha perikanan tangkap tersebut, yang terjadi karena armadanya mengalami penurunan kapasitas, terutama yang menjadi faktor utama dari keberhasilan usaha perikanan pancing tonda adalah mesin armadanya, yang banyak mengalami kerusakan karena usia, maka bila tidak layak lagi untuk beroperasi sebaiknya cepat diganti agar tidak menghambat peningkatan produktivitas. Jaring insang lingkar (JIL) termasuk alat tangkap ikan pelagis besar dengan pendapatan yang 92

117 rendah di Kabupaten Belitung. Pendapatan tertinggi terjadi pada tahun ke 5, yaitu hanya sekitar Rp Hal ini menunjukkan bahwa JIL kurang baik dioperasikan di perairan Kabupaten Belitung, karena kondisi perairan dangkal yang tentu lebih beresiko untuk mengoperasikan alat tangkap jaring lingkar dengan lebih aktif dan dalam skala besar. 300,000, ,000,000 Pendapatan (Rp) 200,000, ,000, ,000,000 50,000, Operasi Tahun Ke- JIH Sero Pukat Pantai Bagan Perahu Bagan Tancap Gambar 25 Perilaku pendapatan usaha perikanan JIH, sero, pukat pantai, bagan perahu, dan bagan tancap selama tahun operasi Gambar 25 menyajikan hasil simulasi kondisi pendapatan (benefit) dari usaha perikanan jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bagan perahu, dan bagan tancap yang banyak digunakan dalam menangkap ikan pelagis kecil. Pada Gambar 25 tersebut, pukat pantai memberikan pendapatan paling tinggi setiap tahunnya dibandingkan empat usaha perikanan tangkap lainnya. Meskipun jumlah pukat pantai hanya sekitar 100 unit di Kabupaten Belitung, tetapi dapat memberikan hasil tangkapan yang relatif tinggi, yaitu rata-rata 2265,45 ton per tahun. Hasil tangkapannya termasuk yang paling tinggi diantara usaha perikanan pelagis kecil, sedangkan jumlah rata-rata jaring insang hanyut (JIH), sero, bagan perahu, dan bagan tancap yang beroperasi setiap tahunnya di Kabupaten Belitung berturut-turut 376 unit, 61 unit, 848 unit, dan 570 unit. Bagan perahu dan bagan tancap termasuk usaha perikanan ikan pelagis kecil dengan pendapatan rendah di Kabupaten Belitung. Hal ini memberi indikasi bahwa kedua usaha bagan ini kurang berkembang di lokasi penelitian. Namun 93

118 apakah masih layak atau tidak untuk dikembangkan sangat tergantung dari analisis finansial lanjutan yang akan dibahas di akhir bab ini. Sero memberikan pendapatan per tahunnya yang cukup baik, namun terjadi penurunan drastis pada tahun ke 4 operasi, yaitu hanya sekitar Rp Penurunan tersebut diduga karena adanya perubahan pola migrasi ikan di perairan Kabupaten Belitung yang umumnya menjauhi fishing ground. Sero merupakan alat tangkap yang dioperasikan secara diam, sehingga sangat tergantung pada pola migrasi atau pergerakan ikan di perairan Kondisi pendapatan usaha perikanan demersal, udang dan biota laut non ikan Di Kabupaten Belitung, bubu dan jermal banyak digunakan untuk mengusahakan ikan demersal. Gambar 26 menyajikan hasil simulasi kondisi pendapatan (benefit) dari usaha perikanan bubu dan jermal tersebut. Selain bubu dan jermal, ikan demersal banyak juga dapat ditangkap dengan pancing tonda dan sero. Berdasarkan Gambar 26, jermal mempunyai pendapatan tahunan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bubu di Kabupaten Belitung. Hal ini terjadi karena jermal umumnya diusahakan dalam skala menengah ke atas, sedangkan bubu umumnya dilakukan secara tradisional oleh nelayan kecil. Pendapatan tertinggi untuk jermal terjadi pada operasi tahun ke 1, yaitu mencapai Rp Meskipun paling tinggi, nilai pendapatan tersebut relatif rendah untuk jenis usaha jermal, karena skala pengusahaan dan biaya investasinya yang besar. Pendapatan yang tinggi untuk usaha perikanan jermal juga terjadi pada operasi tahun ke 4, yaitu sekitar Rp Namun bila melihat trend-nya, maka pendapatan usaha perikanan jermal cenderung menurun dengan bertambahnya tahun operasi. Hal ini terjadi karena banyaknya bagian jermal yang telah rusak seiring dengan bertambahnya waktu pengoperasiannya, sehingga dengan sendirinya berdampak pada penurunan produktivitas alat tangkap tersebut. Selain itu, di Kabupaten Belitung akan terasa cukup sulit untuk mendapatkan kayu gelondongan sebagai bahan perbaikan jermal, sehingga terkadang merepotkan bila ada bagian jermal yang rapuh dan memakan waktu cukup lama untuk dapat menggantikannya. 94

119 Pendapatan (Rp) 8,000,000 7,000,000 6,000,000 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000, Operasi Tahun Ke- Bubu Jermal Gambar 26 Perilaku pendapatan usaha perikanan bubu dan jermal selama tahun operasi Pendapatan tertinggi bubu terjadi pada operasi tahun ke 8, yaitu sekitar Rp Bubu biasanya diusahakan oleh satu orang nelayan. Nelayan bubu di Kabupaten Belitung biasanya mengoperasikan bubu tidak jauh dari tempat tinggalnya dan umumnya menggunakan perahu sederhana, sehingga biaya yang dibutuhkan untuk operasionalnya cukup rendah, dan ini berimbas pada kenaikan pendapatan tahunan nelayan tersebut. 2,500,000 Pendapatan (Rp) 2,000,000 1,500,000 1,000, , Operasi Tahun Ke- Pukat Udang Trammel Net Gambar 27 Perilaku pendapatan usaha perikanan pukat udang dan trammel net selama tahun operasi 95

120 Gambar 27 menyajikan hasil simulasi kondisi pendapatan (benefit) dari usaha perikanan pukat udang dan trammel net yang biasanya digunakan dalam menangkap ikan, udang dan biota laut non ikan di perairan Kabupaten Belitung. Berdasarkan Gambar 27, pendapatan usaha perikanan pukat udang dan trammel net sangat fluktuatif setiap tahunnya. Hal ini karena dalam operasi kedua alat tangkap tersebut cenderung tidak banyak menggunakan alat bantu penangkapan (seperti GPS dan fish finder), seperti alat tangkap skala menengah lainnya. Dalam menangkap udang dan biota laut non ikan, nelayan di Kabupaten Belitung lebih percaya pada kemampuan nalar dan tanda-tanda alam yang dipelajari secara turun temurun, sehingga bila meleset atau tidak tepat, akan mengakibatkan penurunan hasil tangkapan. Di samping itu, udang dan kebanyakan biota laut non ikan biasanya hanya muncul pada waktu tertentu sehingga untuk meningkatkan hasil tangkapan terkadang agak sulit. Pendapatan pukat udang umumnya turun drastis setelah operasi tahun ke 7, 8 dan 9. Hal ini biasanya terjadi karena tingkat kerusakan pukat udang pada tahun-tahun tersebut umumnya sudah tinggi, sehingga tidak begitu produktif dalam pengoperasiannya. Nelayan pukat udang di Kabupaten Belitung umumnya kesulitan pendanaan bila harus memperbaiki kerusakan pukat yang terlalu tinggi, sedangkan hasil tangkapan udang cenderung turun setiap tahunnya. 5.2 Kondisi Pembiayaan Usaha Perikanan Tangkap Kondisi pembiayaan usaha perikanan pelagis Pembiayaan merupakan parameter finansial yang penting, juga perlu diperhatikan selain pendapatan dalam pengembangan usaha perikanan tangkap. Pembiayaan merupakan komponen penting yang dibutuhkan dalam analisis parameter net present value (NPV), B/C ratio, internal rate return (IRR), return of investment (ROI), payback period (PP) dan lainnya, sehingga dengan penentuan analisis parameter tersebut maka suatu usaha perikanan tangkap dapat dikatakan layak atau tidak untuk dikembangkan lebih lanjut. Gambar 28 menyajikan hasil simulasi kondisi pembiayaan (cost) dari usaha perikanan pancing tonda, payang, jaring insang tetap (JIT), dan jaring insang lingkar (JIL) yang banyak digunakan dalam menangkap ikan pelagis besar. 96

121 35,000,000 30,000,000 Pembiayaan (Rp) 25,000,000 20,000,000 15,000,000 10,000,000 5,000, Operasi Tahun Ke- Pancing Tonda Payang JIT JIL Gambar 28 Perilaku pembiayaan usaha perikanan pancing tonda, payang, JIT, dan JIL selama tahun operasi Pada Gambar 28 tersebut, pembiayaan semua usaha perikanan tangkap sangat tinggi pada tahun ke 0. Hal ini karena tahun ke 0 merupakan persiapan dimana usaha perikanan tangkap mengeluarkan biaya untuk investasi alat tangkap dan alat pendukung penangkapan. Biaya untuk investasi usaha perikanan pancing tonda, payang, jaring insang tetap (JIT), dan jaring insang lingkar (JIL) berturutturut mempunyai nilai sebesar Rp , Rp , Rp , dan Rp Pancing tonda dan jaring insang tetap (JIT) termasuk usaha perikanan tangkap dengan produk utama ikan pelagis besar yang mempunyai biaya operasional tahunan relatif besar di Kabupaten Belitung. Untuk usaha perikanan pancing tonda, biaya operasional tertinggi (diluar biaya investasi) terjadi pada operasi tahun ke 3, yaitu sekitar Rp , sedangkan untuk jaring insang tetap (JIT), biaya operasional tertinggi tersebut terjadi pada operasi tahun ke 2, yaitu sekitar Rp Tingginya biaya operasional tersebut diduga karena adanya penambahan beberapa alat bantu yang belum disiapkan pada tahap persiapan/memulai usaha perikanan tangkap tersebut. Beberapa peralatan tersebut diantaranya mata pancing dan senar pada usaha perikanan pancing tonda dan 97

122 pelampung untuk menyempurnakan keseimbangan jaring pada usaha perikanan JIT. Jaring insang lingkar (JIL) mempunyai trend biaya operasi yang terus meningkat mulai pertengahan masa operasi (tahun ke-4) dan trend tersebut berbeda dengan trend biaya operasi jaring insang tetap (JIT), meskipun keduanya merupakan alat tangkap jaring insang. Hal ini diduga karena JIL merupakan jaring insang yang dioperasikan secara aktif sehingga cenderung lebih mudah rusak dalam pengoperasiannya. Gambar 29 menyajikan hasil simulasi kondisi pembiayaan (cost) dari usaha perikanan jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bagan perahu, dan bagan tancap yang banyak digunakan dalam menangkap ikan pelagis kecil di Kabupaten Belitung, sedangkan hasil analisis detailnya disajikan pada Lampiran Pembiayaan (Rp) 200,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000,000 80,000,000 60,000,000 40,000,000 20,000, Operasi Tahun Ke- JIH Sero Pukat Pantai Bagan Perahu Bagan Tancap Gambar 29 Perilaku pembiayaan usaha perikanan JIH, sero, pukat pantai, bagan perahu, dan bagan tancap selama tahun operasi Pada Gambar 29, tahun ke 0, pembiayaan semua usaha perikanan ikan pelagis kecil tinggi, karena adanya investasi alat tangkap dan alat bantu penangkapan tertentu. Biaya investasi untuk usaha perikanan JIH, sero, pukat pantai, bagan perahu, dan bagan tancap di Kabupaten Belitung berturut-turut 98

123 mempunyai nilai sebesar Rp , Rp , Rp , Rp , dan Rp Bila dibandingkan dengan usaha perikanan tangkap lainnya, pukat pantai mempunyai biaya investasi maupun biaya operasional yang paling tinggi. Tingginya biaya tersebut karena ukuran dan pengusahaan pukat pantai di Kabupaten Belitung umumnya dilakukan dalam skala besar. Meskipun rata-rata pukat pantai yang beroperasi hanya sekitar 100 unit, tetapi semua berskala besar dan dioperasikan intensif. Pengusaha pemilik pukat pantai banyak yang merekrut nelayan sekitar tempat operasi untuk terlibat pada usaha penangkapan yang mereka lakukan. Beberapa diantaranya, ada yang mempunyai anggota berlebih yang dipekerjakan bergantian dengan sistem shift. Hal ini tentu akan berpengaruh pada hasil tangkapan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil tangkapan alat tangkap ikan pelagis kecil lainnya (Gambar 29). Sero dan bagan tancap mempunyai trend pembiayaan yang menurun terutama pada operasi tahun ke 5 hingga tahun ke 9. Menurut informasi lapangan, hal ini terjadi karena pengangkatan umumnya dikurangi untuk mencegah kerusakan pada bahan jaring sero dan jaring angkat di bagan tancap. Kondisi ini tentu dapat mengurangi biaya perawatan jaring yang diakibatkan oleh kegiatan operasi. Sedangkan jaring insang hanyut (JIH) mempunyai trend pembiayaan yang meningkat sejak tahun ke 5 dari operasi. Hal ini karena jaring insang hanyut (JIH) dioperasikan secara aktif, yang dengan cara diulurkan, dihanyutkan dan ditarik kembali setelah beberapa lama. Kondisi ini tentu memberi peluang jaring insang hanyut (JIH) cepat rusak apalagi bila usianya semakin meningkat Kondisi pembiayaan usaha perikanan demersal, udang dan biota laut non ikan Usaha perikanan tangkap yang lebih khusus untuk menangkap ikan demersal di Kabupaten Belitung adalah bubu dan jermal, sedangkan untuk menangkap udang dan biota laut lainnya adalah pukat udang dan trammel net. Seperti disebutkan sebelumnya, bubu umumnya diusahakan pada skala kecil sehingga tidak membutuhkan investasi yang besar, hanya sekitar Rp , sedangkan jermal membutuhkan biaya investasi besar, yaitu sekitar Rp. 99

124 karena diusahakan minimal dalam skala menengah. Gambar 30 menyajikan hasil simulasi kondisi pembiayaan (cost) dari usaha perikanan bubu dan jermal di Kabupaten Belitung. Pembiayaan (Rp) 50,000,000 45,000,000 40,000,000 35,000,000 30,000,000 25,000,000 20,000,000 15,000,000 10,000,000 5,000, Operasi Tahun Ke- Bubu Jermal Gambar 30 Perilaku pembiayaan usaha perikanan bubu dan jermal selama tahun operasi Biaya investasi besar jermal (lihat Gambar 30), lebih disebabkan oleh besarnya biaya pengadaan kayu gelondongan dan pemasangannya menjadi jermal. Disamping itu, ukuran jermal juga umumnya dibuat cukup besar disamping untuk memudahkan penangkapan, juga menjadi tempat untuk menjemur hasil tangkapan terutama dari jenis ikan teri dan cumi. Pada operasi tahun ke 1, biaya operasionalisasinya juga masih cukup tinggi, yaitu sekitar Rp , karena masih perbaikan dan penambahan penyempurnaan dan kenyamanan operasi di jermal, misalnya pembenahan rumah jermal, lahan jemur dan lainnya. Meskipun dalam beberapa tahun dioperasikan, pembiayaan jermal dapat meningkat kembali karena ada bagian dari jermal yang kayunya mulai lapuk. Untuk bubu, mulai dari awal hingga akhir masa operasi/penggunaannya tidak membutuhkan biaya besar. Pembiayaan bubu terkadang naik turun setiap tahunnya, karena umumnya bahan bubu yang terbuat dari bambu biasanya bertahan 1 sampai 2 tahun, sedangkan rangka induknya dapat tahan lebih lama. Di luar investasi, pembiayaan tertinggi bubu hanya sekitar Rp yang terjadi pada operasi tahun ke 1. Pembiayaan tersebut lebih disebabkan oleh pembenahan 100

125 beberapa bagian dari rangka bubu untuk kekuatan dan fleksibilitas dalam penggunaannya. Gambar 30 menyajikan hasil simulasi kondisi pembiayaan (cost) dari usaha perikanan pukat udang dan trammel net di Kabupaten Belitung. Pembiayaan (Rp) 10,000,000 9,000,000 8,000,000 7,000,000 6,000,000 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000, Operasi Tahun Ke- Pukat Udang Trammel Net Gambar 31 Perilaku pembiayaan usaha perikanan pukat udang dan trammel net selama tahun operasi Berdasarkan Gambar 31, usaha perikanan pukat udang dan trammel net membutuhkan biaya untuk investasi yang tidak begitu besar, yaitu masing-masing Rp dan Rp Hal ini karena skala pengusahaan pukat dan trammel net di Kabupaten Belitung tidak ada yang besar, dan umumnya dilakukan oleh beberapa orang dari anggota keluarga nelayan. Untuk pukat udang, biaya operasi secara berangsur turun hingga operasi tahun ke 5 dan 6. Hal ini memberi indikasi bahwa pukat udang tersebut dapat difungsikan secara optimal dan tidak banyak masalah. Namun pada tahun ke 7, 8, dan 9, biaya operasi tersebut meningkat kembali, karena digunakan untuk memperbaiki beberapa bagian dari pukat yang sudah banyak rusak. Tentu saja kondisi ini dapat menurunkan produktivitas pukat tersebut secara drastis. Untuk trammel net, perilaku pembiayaannya naik turun setiap dua tahun, namun tidak ada kenaikan yang signifikan pada tahun-tahun akhir operasi. Hal ini menunjukkan bahwa struktur trammel net yang dikembangkan nelayan Kabupaten Belitung umumnya lebih stabil dan lebih kuat daripada pukat udang, meskipun biaya investasi trammel net tersebut relatif lebih rendah. Kondisi ini tentu menjadi 101

126 masukan berarti bagi pemilihan jenis usaha perikanan tangkap dalam mendukung pembangunan perikanan terpadu di Kabupaten Belitung. 5.3 Kelayakan Usaha Perikanan Tangkap Kelayakan usaha berdasarkan Net Present Value, Benefit-Cost Ratio, dan Internal Rate Return Kelayakan pengembangan suatu usaha perikanan tangkap sangat tergantung pada hasil analisis usaha tersebut dari segi finansial (keuangan), karena usaha perikanan tangkap merupakan usaha komersial, dimana banyak nelayan yang menggantungkan hidupnya pada usaha perikanan tangkap, sehingga layak tidaknya suatu usaha perikanan tangkap akan sangat bergantung pada manfaat yang bisa diberikan nelayan dan perekonomian masyarakat pesisir. Ada beberapa parameter penting yang digunakan dalam mengukur kelayakan suatu usaha perikanan tangkap sehingga dapat dikembangkan guna mendukung pengembangan perikanan tangkap terpadu, diantaranya adalah Net Present Value (NPV), Benefit-Cost Ratio (B/C ratio), dan Internal Rate Return (IRR). Tabel 5 menyajikan hasil analisis ketiga parameter keuangan tersebut pada tiga belas usaha perikanan tangkap yang dilakukan di Kabupaten Belitung. Tabel 5 Hasil analisis NPV, B/C ratio, dan IRR usaha perikanan tangkap Usaha Perikanan NPV B/C Ratio IRR Tangkap (Std NPV > 0) Std B/C > 1 (Std IRR > 6.25 %) Pancing Tonda Rp ,79 70,34% Payang Rp ,31 18,04% JIT Rp ( ) 0,70-39,13% JIL Rp ( ) 0,59 0,00% JIH Rp ,59 38,81% Sero Rp ,35 76,60% Pukat Pantai Rp ,09 12,60% Bagan Perahu Rp ( ) 0,95 4,57% Bagan Tancap Rp ( ) 0,56-11,48% Bubu Rp ,65 43,44% Jermal Rp ( ) 0,62-9,00% Pukat Udang Rp ( ) 0,41 0,00% Trammel net Rp ,27 15,17% 102

127 Hasil analisis pendapatan dan pembiayaan pada bagian sebelumnya menjadi output utama dalam analisis NPV, B/C ratio, dan IRR tersebut. Parameter NPV, B/C ratio, dan IRR memberi sudut pandang berbeda dalam analisis, sehingga menopang satu sama lain untuk meningkatkan ketepatan analisis kelayakan. Berdasarkan Tabel 5, usaha perikanan pancing tonda, payang, jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bubu, dan trammel net nilai NPV yang positif, yaitu masing-masing bernilai Rp , Rp , Rp , Rp , Rp , Rp , dan Rp Hasil analisis ini menunjukkan bahwa jika ketujuh usaha perikanan tangkap tersebut dikembangkan pada suku bunga yang berlaku (6,25 %) maka akan dapat memberikan pendapatan bersih sejumlah nilai tersebut kepada nelayan penggunanya selama masa pengoperasian, yaitu selama 9 tahun. Jaring insang tetap (JIT), jaring insang lingkar (JIL), bagan tancap, bagan perahu, jermal, dan pukat udang mempunyai nilai NPV yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa ke enam usaha perikanan tangkap ini membawa kerugian bagi nelayan bila terus dikembangkan. Kerugian tersebut mungkin tidak akan tampak selama pengoperasiannya karena nelayan masih dapat menghidupi keluarganya dari usaha perikanan tangkap tersebut, tetapi dalam jangka panjang akan berdampak jelas, misalnya nelayan tidak bisa membeli peralatan yang dibutuhkan untuk melaut, atau nelayan akan semakin sulit memperbaiki alat tangkap dan tidak bisa berinvestasi lagi untuk mengadakan alat tangkap yang baru. Pada Tabel 5, nilai NPV berbeda untuk setiap usaha perikanan tangkap selain karena skala pengusahaan yang berbeda-beda juga mungkin karena produktivitas dari usaha perikanan tangkap tersebut juga berbeda. Hasil analisis B/C ratio dan IRR dapat meng cross check hal ini. Berdasarkan hasil analisis B/C ratio, maka ketujuh alat tangkap yang NPV-nya positif dan mempunyai nilai B/C ratio > 1 mengindikasikan bahwa produktivitas semua usaha perikanan tangkap tersebut masih positif. Nilai B/C ratio tertinggi dimiliki oleh usaha perikanan sero dengan nilai 2,35. Nilai 2,35 menunjukkan bahwa usaha perikanan tangkap sero dapat memberikan manfaat atau pendapatan berarti bagi nelayan penggunanya, yaitu 2,35 kali lebih besar daripada jumlah pembiayaan yang dikeluarkan selama 103

128 masa pengoperasian sero. Pukat pantai mempunyai nilai B/C ratio sekitar 1,09, yaitu dapat memberi manfaat atau pendapatan berarti bagi nelayan penggunanya sekitar 1,09 kali lebih besar daripada jumlah pembiayaan yang dikeluarkan selama masa pengoperasian pukat pantai. Bila melihat hasil analisis sebelumnya, pukat pantai memberikan pendapatan paling besar dibandingkan usaha perikanan tangkap lainnya di Kabupaten Belitung (Gambar 25), tetapi karena pembiayaannya juga paling besar (Gambar 29), maka manfaat yang akan diberikannya menjadi tidak begitu berarti. Sero dan pancing tonda memberi manfaat lebih besar bagi nelayan penggunanya daripada pukat pantai. Terkait dengan hal ini, maka biaya operasi pukat pantai tersebut perlu lebih ditekan sehingga keberadaannya lebih terasa bagi kehidupan masyarakat di Kabupaten Belitung. Bila melihat nilai IRR nya, maka sero, pancing tonda, dan bubu mempunyai nilai IRR paling baik, yaitu masing-masing 76,36 %; 70,34 %; dan 43,44 %. Untuk bubu misalnya, dengan nilai IRR 43,44 % menunjukkan bahwa menginvestasikan uang pada usaha perikanan bubu akan mendatangkan keuntungan jauh lebih tinggi, yaitu sebesar 43,44 % per tahun, daripada menyimpan uang di bank yang hanya mendapatkan suku bunga sebesar 6,25 % per tahun. Mengingat biaya untuk investasinya relatif kecil, yaitu sebesar Rp , maka bubu ini dapat menjadi alternatif pilihan usaha perikanan tangkap yang utama bagi keluarga nelayan kecil dengan modal terbatas di Kabupaten Belitung. Berbeda dengan bubu, ada enam usaha perikanan tangkap lainnya dengan IRR di bawah 6,25 % (suku bunga bank yang berlaku), maka menginvestasikan uang pada usaha perikanan jaring insang tetap (JIT), jaring insang lingkar (JIL), bagan tancap, bagan perahu, jermal, dan pukat udang tidak menjadi pilihan yang baik karena manfaatnya lebih rendah daripada suku bunga bank yang berlaku. Terkait dengan ini, maka mendiamkan uang di bank masih lebih baik daripada menjalankan usaha jaring insang tetap (JIT), jaring insang lingkar (JIL), bagan tancap, bagan perahu, jermal, dan pukat udang. Nilai IRR yang di bawah 6,25 % dan bahkan ada yang negatif memberi indikasi nyata tentang hal tersebut. 104

129 Nilai NPV, B/C ratio dan IRR tersebut memberi panduan untuk pemilihan usaha perikanan tangkap yang tepat, dan hal ini sangat berguna terutama untuk mengembangkan potensi dan komoditas unggulan pada perikanan daerah secara berkelanjutan. Hal ini karena hanya usaha perikanan tangkap yang layak secara finansial yang dapat berkembang baik dan bertahan lebih lama Kelayakan usaha berdasarkan Return of Investment dan Payback Period Disamping Net Present Value (NPV), Benefit-Cost Ratio (B/C ratio), dan Internal Rate Return (IRR), analisis kelayakan usaha perikanan tangkap juga dapat dilakukan menggunakan parameter lain, misalnya Return of Investment (ROI) dan Payback Period (PP). Parameter Return of Investment (ROI) dan Payback Period (PP) dapat memandu kita untuk menganalisis usaha perikanan tangkap berdasarkan durasi waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian modal investasi maupun siklus pengusahaannya. Tabel 6 menyajikan hasil analisis Return of Investment (ROI) dan Payback Period (PP) pada tiga belas usaha perikanan tangkap yang dilakukan di Kabupaten Belitung. Tabel 6 Hasil analisis ROI dan PP usaha perikanan tangkap Usaha Perikanan Tangkap ROI PP (Std ROI > 1) (Std PP < 1) Pancing Tonda Payang JIT JIL JIH Sero Pukat Pantai Bagan Perahu Bagan Tancap Bubu Jermal Pukat Udang Trammel net

130 Berdasarkan Tabel 6, usaha perikanan pancing tonda, payang, jaring insang tetap (JIT), jaring insang lingkar (JIL), jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bagan perahu, bagan tancap, bubu, pukat udang, dan trammel net mempunyai nilai ROI di atas 1. Hal ini menunjukkan bahwa kedua belas usaha perikanan tangkap tersebut mempunyai tingkat pengembalian investasi (ROI) bagus, dan dari waktu yang dibutuhkan termasuk normal. Jermal mempunyai nilai ROI di bawah 1, berarti bahwa ada kemacetan nyata dalam pengusahaan jermal yang secara mutlak tidak bisa mengembalikan investasi yang ada. Tingkat pengembalian investasi yang paling baik terjadi pada sero, pancing tonda dan bubu yang ditandai oleh nilai ROI yang tinggi, yaitu masing-masing 10,31; 9,19; dan 8,10. Untuk nilai Payback Period (PP), semua usaha perikanan tangkap kecuali jermal mempunyai nilai PP di bawah 1. Nilai PP paling rendah dimiliki oleh sero, yaitu 0,10. Nilai PP sero yang rendah tersebut menunjukkan bahwa perputaran usaha sero termasuk yang paling cepat/singkat di Kabupetan Belitung. Hal ini bisa jadi karena trip penangkapan menggunakan sero dapat hanya dalam hitungan hari dan bahkan dapat dilakukan 2-3 kali sehari tergantung kesediaan nelayan pengguna. Hasil tangkapan sero dapat diambil hanya dengan menggunakan perahu kecil, karena sero dipasang statis di laut, sehingga dapat lebih leluasa dan dapat dilakukan dengan biaya yang murah. Jermal adalah usaha perikanan tangkap di Kabupaten Belitung yang kurang bagus perputaran usahanya karena memiliki nilai PP > 1. Hal ini bisa jadi karena hasil tangkapan jermal umumnya dibuat kering dan dikumpulkan dulu sebelum dijual, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan pendapatan setiap kali operasinya. Namun demikian, tingkat pengembalian investasi dan perputaran usaha ini bukanlah jaminan usaha perikanan tangkap tersebut untuk memberi manfaat nyata bagi nelayan dan masyarakat sekitar di Kabupaten Belitung. Oleh karena kepantasan pendapatan, kelebihan setelah dikurangi pembiayaan termasuk simpanan untuk pengembalian investasi, dan lainnya menjadi hal yang juga penting untuk layak tidaknya suatu usaha perikanan tangkap tersebut dikembangkan. Bagian membahas pertimbangan semua hasil analisis dari parameter finansial yang digunakan. 106

131 5.3.3 Status kelayakan usaha perikanan tangkap Pada bagian ini, hasil analisis kelima parameter finansial akan dipadukan sehingga didapatkan suatu keputusan final tentang mana saja usaha perikanan tangkap yang layak dilanjutkan dalam mendukung perikanan terpadu di Kabupaten Belitung, dan mana saja usaha perikanan tangkap yang tidak layak dilanjutkan. Pertimbangan menyeluruh semua parameter finansial tersebut penting karena jenis usaha perikanan tangkap yang akan dikembangkan ke depan benarbenar merupakan usaha perikanan tangkap terbaik sehingga potensi dan komoditas unggulan perikanan yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan, dan dapat menjadi kebanggaan masyarakat dan pemerintah Kabupaten Belitung. Tabel 7 menyajikan status kelayakan tiga belas jenis usaha perikanan tangkap di Kabupaten Belitung. Tabel 7 Status kelayakan usaha perikanan tangkap Usaha Perikanan B/C NPV Tangkap Ratio IRR ROI PP Keputusan Pancing Tonda S S S S S Layak Payang S S S S S Layak JIT TS TS TS S S Tidak Layak JIL TS TS TS S S Tidak Layak JIH S S S S S Layak Sero S S S S S Layak Pukat Pantai S S S S S Layak Bagan Perahu TS TS TS S S Tidak Layak Bagan Tancap TS TS TS S S Tidak Layak Bubu S S S S S Layak Jermal TS TS TS TS TS Tidak Layak Pukat Udang TS TS TS S S Tidak Layak Trammel net S S S S S Layak Keterangan : S = Sesuai, TS = Tidak Sesuai Berdasarkan Tabel 7, usaha perikanan pancing tonda, payang, jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bubu, dan trammel net merupakan usaha perikanan tangkap yang layak dan unggulan untuk dikembangkan lebih lanjut di Kabupaten Belitung. Ketujuh alat tangkap tersebut layak dikembangkan karena mempunyai nilai NPV, B/C ratio, IRR, ROI, dan PP yang sesuai dengan standar 107

132 kelayakan yang dipersyaratkan. Dalam kaitan ini, tidak ada kekhawatiran apapun dalam pengembangan ketujuh usaha perikanan tangkap tersebut terutama untuk mengangkat kesejahteraan nelayan dan perekonomian masyarakat pesisir di Kabupaten Belitung. Dalam kaitan ini, ketujuh usaha perikanan tangkap tersebut dapat menjadi opsi pilihan dalam setiap program pesisir yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta yang fokus pada upaya pemberdayaan nelayan dan pembangunan perikanan laut.terkait dengan pukat pantai yang secara tradisionil dilaksanakan oleh nelayan di Kecamatan Membalong, mereka melakukan di pantai yang sudah dijadikan tempat untuk menangkap ikan dengan pukat pantai. Secara priodik mereka bergiliran antara kelompok yang sudah ada disana, sehingga dari segi penghasilan, penggunaan pukat pantai sudah terbagi secara merata untuk kelompok nelayan yang ada disana. Jaring insang tetap (JIT), jaring insang lingkar (JIL), bagan tancap, bagan perahu, jermal, dan pukat udang tidak layak dikembangkan di Kabupaten Belitung. Jermal merupakan usaha perikanan tangkap yang tidak memenuhi kelayakan dari semua parameter finansial yang ada. Pemerintah dapat melakukan pembinaan dan pengarahan kepada nelayan yang mengusahakan keenam usaha perikanan tangkap tersebut supaya usaha perikanan tangkap diganti dengan yang lebih layak. Kondisi wilayah perairan dan potensi perikanan yang ada kurang cocok untuk pengembangan keenam usaha perikanan tangkap tersebut. Perimbangan hasil tangkapan, pendapatan, dan pembiayaan yang dibuat dari hasil analisis lima paramater finansial itu, menjadi bukti ilmiah dari ketidaklayakan usaha perikanan tersebut. 108

133 6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung Supaya tujuh usaha perikanan tangkap yang dinyatakan layak (pancing tonda, payang, jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bubu, dan trammel net) dapat dikembangkan secara optimal di Kabupaten Belitung, maka pengembangannya harus dilakukan pada wilayah yang tepat sesuai dengan pola pengembangan alat tangkap yang digunakannya. Bila hal ini dapat dilakukan, maka komoditas perikanan tangkap yang menjadi unggulan di Kabupaten Belitung dapat dikembangkan dengan mudah karena pengembangan dilakukan dengan pola yang ada pada wilayah dan masyarakat pesisirnya. Pengembangan berbasis wilayah ini, juga dapat mengakomodasi pola pengembangan pasar, dimana komoditas perikanan biasanya di-trade-kan dengan berbasiskan kewilayahan. Jaringan pasar komoditas akan mudah berkembang bila suatu wilayah menyediakan supplay komoditas yang cukup. Pemusatan produksi komoditas perikanan tertentu pada suatu wilayah yang sesuai akan menjamin terciptanya supplay komoditas yang memadai dan kontinyu pada pasar komoditas. Kabupaten Belitung merupakan kabupaten yang dihuni oleh berbagai etnis, yaitu etnis melayu, cina, jawa, dan bugis. Keempat etnis tersebut mempunyai akar budaya yang kuat dan berbeda, dan akar budaya tersebut umumnya mempengaruhi perilaku keseharian mereka, sehingga kondisi ini dapat mempengaruhi pola pengembangan ekonomi wilayah Kabupaten Belitung, termasuk pada usaha perikanan tangkap. Usaha ekonomi yang tidak dikembangkan dengan melihat atau mempertimbangkan pada potensi dan kecenderungan yang ada pada setiap wilayah, akan sulit dikembangkan dengan baik. Oleh karena itu, pengembangan ketujuh jenis usaha perikanan tangkap yang dinyatakan layak dan unggulan haruslah berdasarkan potensi yang ada pada setiap wilayah pesisir di Kabupaten Belitung. Kabupaten Belitung berada dekat dengan jalur pelayaran dan perdagangan dunia, yaitu Selat Malaka. Disamping itu, Kabupaten Belitung juga cukup dekat

134 dengan pasar potensial untuk komoditas perikanan tangkap, yaitu Batam, Singapura, dan Jakarta. Kondisi ini tentu membuka peluang besar bagi pemasaran komoditas usaha perikanan tangkap di Kabupaten Belitung. Namun di era globalisasi saat ini, peluang pasar tidak akan bisa diraih bila usaha perikanan tersebut tidak tumbuh kuat dan mengakar di lokasi. Usaha perikanan tangkap yang sesuai dengan potensi wilayahnya akan menjadi perkembangan yang lebih baik pada usaha perikanan tangkap tersebut terutama dapat memenuhi permintaan pasar yang ada. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dikeluarkan oleh Kabupaten Belitung pada tahun 2006, dijelaskan tentang rencana penggunaan lahan di setiap wilayah Kabupaten Belitung termasuk wilayah pesisir untuk menjadi lokasi usaha perikanan. Secara umum, RTRW tersebut menekankan tentang pentingnya pengembangan dan pemanfaatan wilayah termasuk dengan usaha ekonomi yang berbasis perikanan, agar dilakukan berdasarkan potensi yang ada pada wilayah tersebut. Usaha ekonomi tersebut diharapkan supaya dapat memberikan manfaat maksimal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mengacu kepada hal tersebut, maka pengembangan usaha perikanan pancing tonda, payang, jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bubu, dan trammel net, hendaknya dilakukan pada wilayah yang sesuai dengan potensi yang ada saat ini di wilayah Kabupaten Belitung. Salah satu ukuran penting dari potensi atau karakteristik suatu wilayah dalam mendukung usaha ekonomi termasuk usaha perikanan tangkap adalah mata pencaharian atau keahlian yang dimiliki oleh anggota masyarakat nelayan di wilayah tersebut. Jenis tenaga kerja yang ada akan menentukan layak tidaknya suatu usaha ekonomi dikembangkan di wilayah tersebut. Ketidak-sesuaian usaha ekonomi dengan keahlian yang dimiliki oleh tenaga kerjanya tidak akan membuat usaha ekonomi tersebut bertahan lama, apalagi berkembang menjadi lebih baik Location Quotients (LQ) bagi Usaha Perikanan Tangkap Unggulan Secara umum, wilayah pesisir Kabupaten Belitung yang berkembang usaha perikanan tangkapnya adalah Kecamatan Sijuk, Kecamatan Tanjung Pandan, Kecamatan Badau, dan Kecamatan Membalong. Selama ini, kecamatan- 110

135 kecamatan tersebut mempunyai intensitas usaha perikanan tangkap yang berbeda satu sama lain, dimana setiap kecamatan mengembangkan usaha perikanan tangkap berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan secara turun temurun. Beberapa daerah bahkan telah melakukan introduksi atau adopsi teknologi dari luar/pendatang, tetapi hanya dalam desain bagian-bagian tertentu dari alat tangkap tersebut. Analisis Location Quotients (LQ) yang dilakukan akan menentukan apakah kecamatan-kecamatan yang ada dapat menjadi sektor basis bagi pengembangan salah satu atau beberapa usaha perikanan tangkap yang dinyatakan layak dan menjadi unggulan untuk Kabupaten Belitung. Hasil analisis LQ tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa nelayan merupakan tenaga kerja perikanan dan menjadi pelaku langsung untuk tumbuh dan berkembangnya usaha perikanan tangkap di wilayah tersebut. Tabel 8 menyajikan hasil analisis Location Quotients (LQ) bagi pengembangan usaha perikanan pancing tonda, payang, jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bubu, dan trammel net di wilayah Kabupaten Belitung. Tabel 8 Hasil analisis LQ usaha perikanan tangkap unggulan Usaha Perikanan Tangkap Kec. Sijuk Kec. Tanjung Pandan Nilai LQ Kec. Badau Kec. Membalong Pancing Tonda Payang JIH Sero Pukat Pantai Bubu Trammel net Berdasarkan Tabel 8, usaha perikanan pancing tonda, sero, dan bubu di Kecamatan Sijuk mempunyai LQ > 1, yaitu masing-masing 2,49; 1,32; dan 1,61. Dengan demikian, Kecamatan Sijuk dapat menjadi wilayah basis bagi 111

136 pengembangan ketiga usaha perikanan unggulan tersebut di Kabupaten Belitung. Untuk mendukung hal ini, nelayan dan masyarakat yang terkait dengan kegiatan ketiga usaha perikanan tangkap tersebut perlu diberikan pembinaan sehingga usaha perikanan yang dilakukan dapat berkembang lebih baik dan menjadi andalan di Kecamatan Sijuk. Disamping itu, lokasi pusat kegiatan perikanan di Kecamatan Sijuk baik berupa fasilitas TPI, usaha penyediaan bahan perbekalan maupun fasilitas jalan perlu dioptimalkan fungsinya sehingga dapat mendukung pengembangan usaha perikanan pancing tonda, sero, dan bubu di Kecamatan Sijuk. Payang, jaring insang hanyut (JIH), pukat pantai, dan trammel net bukan sektor basis di Kecamatan Sijuk karena keempat usaha perikanan tangkap tersebut mempunyai LQ di bawah 1. Nilai LQ dibawah 1 ini memberi indikasi bahwa intensitas kegiatan keempat usaha perikanan tangkap di Kecamatan Sijuk masih dibawah rata-rata dibandingkan dengan kegiatan usaha perikanan tangkap serupa di kecamatan lain di Kabupaten Belitung. Kecamatan Tanjung Pandan dapat menjadi wilayah basis bagi usaha perikanan payang dan jaring insang hanyut (JIH) yang ditunjukkan oleh nilai LQ yang lebih besar dari 1, yaitu masing-masing 1,88 dan 1,84. Hal ini cukup realistis karena kegiatan perikanan tangkap di Kecamatan Tanjung Pandan sangat dominan, dan Kecamatan Tanjung Pandan dapat menjadi wilayah basis bagi usaha perikanan payang dan jaring insang hanyut (JIH). Dari 1650 payang di Kabupaten Belitung, sekitar 75 % yang menjalankan usahanya di Kecamatan Tanjung Pandan. Sedangkan untuk nelayan jaring insang hanyut (JIH), sekitar 74 % yang menetap dan menjalankan usahanya di Kecamatan Tanjung Pandan. Kondisi ini tentu memperkuat alasan untuk menjadikan Kecamatan Tanjung Pandan sebagai wilayah basis bagi pengembangan kedua usaha perikanan tangkap unggulan tersebut. Menurut Kimker (1994), untuk mendukung pengembangan tersebut, maka nelayan yang terlibat maupun tertarik bekerja pada usaha perikanan dimaksud, perlu dibina dengan baik terutama dengan teknik penangkapan yang efektif, penanganan hasil penangkapan, serta perawatan payang dan jaring insang hanyut (JIH), sehinga usaha mereka dapat berkembang lebih baik. Bila hal ini berlanjut, 112

137 maka produktivitas usaha perikanan payang dan jaring insang hanyut (JIH) di Kecamatan Tanjung Pandan dapat diandalkan dalam memenuhi permintaan pasar perikanan Kabupaten Belitung terutama dari jenis ikan pelagis. Kecamatan Badau dapat menjadi wilayah basis bagi pengembangan usaha perikanan trammel net. Hal ini ditunjukkan oleh nilai LQ-nya yang besar yaitu sekitar 2,83. Sedangkan di tiga kecamatan lainnya, nilai LQ trammel net di bawah 1. Hal ini cukup realitis karena jumlah nelayan yang menjalankan usaha trammel net di Kecamatan Badau (1254 orang) termasuk paling banyak dibandingkan di tiga kecamatan lainnya di Kabupaten Belitung. Disamping sekitar 66,67 % nelayan yang ada di Kecamatan Badau menjalankan usaha perikanan dengan alat tangkap berupa trammel net. Bila dilihat lebih jauh, Kecamatan Badau termasuk kecamatan yang terkenal dengan hasil tangkapan biota laut non ikan, seperti kepiting, rajungan dan cumi-cumi (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung, 2007). Dijadikannya trammel net sebagai sektor basis diharapkan dapat lebih memperkenalkan Kecamatan Badau akan usaha biota laut non ikannya kepada masyarakat luas. Usaha perikanan tangkap lainnya tidak menjadi sektor basis di Kecamatan Badau, karena nilai LQ-nya di bawah 1, yang berarti bahwa selain trammel net, intensitas usaha perikanan tangkap di Kecamatan Badau termasuk rendah, dan di bawah intensitas rata-rata kabupaten. Untuk Kecamatan Membalong, dapat dijadikan sebagai wilayah basis bagi pengembangan usaha perikanan pukat pantai. Hal ini ditunjukkan oleh nilai LQnya yang tinggi, yaitu sekitar 5,40. Dari 916 nelayan yang ada di Kecamatan Membalong, sekitar 62,01 % menjalankan usaha perikanan tangkap jenis pukat pantai. Jumlah ini termasuk paling banyak dibandingkan tiga kecamatan lainnya yang menjadi lokasi pengembangan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Belitung. Usaha pukat pantai di Kecamatan Membalong telah berkembang cukup lama dan berlangsung secara turun termurun dan dilakukan secara priodik ditempat tertentu yang sudah disepakati oleh kelompok-kelompok nelayan yang melakukan penangkapan dengan pukat pantai. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terutama karena pukat pantai termasuk alat tangkap yang kurang selektif, maka bila dikembangkan di kemudian hari, menurut Karyana (1993), 113

138 nelayan atau anggota masyarakat yang terlibat dalam usaha perikanan tersebut harus benar-benar dibimbing dan diberi penyuluhan intensif, sehingga pukat pantai tersebut benar-benar dapat dioperasikan secara ramah lingkungan. Bila hal ini dapat dilakukan, maka usaha perikanan pukat pantai Kecamatan Membalong dapat menjadi bagian dari produksi komoditas perikanan dari jenis ikan pelagis kecil Location Quotients (LQ) bagi usaha perikanan pelagis Usaha perikanan pelagis baik dari jenis ikan pelagis besar maupun ikan pelagis kecil berkembang sangat baik di Kabupaten Belitung. Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, ikan pelagis besar di Kabupaten Belitung mempunyai potensi maksimum lestari sebesar 45513,78 ton, sedangkan tingkat pemanfaatannya baru sekitar 19,91 %. Kondisi ini tentu memberi peluang besar untuk pengembangannya terutama untuk menyediakan suplai yang cukup bagi pasar ikan pelagis besar di Provinsi Bangka Belitung, maupun pasar besar potensial di dalam negeri dan luar negeri. Hal yang sama juga terjadi pada ikan pelagis kecil, yang tingkat pemanfaatannya baru mencapai 77,56 % sehingga memberi peluang untuk pengembangannya. Dari tujuh usaha perikanan tangkap yang dinyatakan layak dan unggulan untuk dikembangkan di Kabupaten Belitung, pancing tonda, payang, jaring insang hanyut (JIH), sero dan pukat pantai dapat diandalkan untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Kabupaten Belitung. Berdasarkan hasil analisis LQ, pancing tonda dan sero menjadi sektor basis di Kecamatan Sijuk, payang dan jaring insang hanyut (JIH) menjadi sektor basis di Kecamatan Tanjung Pandan, sedangkan pukat pantai menjadi sektor basis di Kecamatan Membalong. Dalam kaitan ini, pengembangan usaha perikanan pelagis dari jenis ikan pelagis besar maupun ikan pelagis kecil di Kabupaten Belitung dapat berbasis di tiga wilayah kecamatan tersebut, yaitu Kecamatan Sijuk, Kecamatan Tanjung Pandan, dan Kecamatan Membalong. Untuk mendukung hal ini, pengembangan sarana dan prasarana pendukung dapat dilakukan secara integratif di ketiga kecamatan tersebut, yaitu untuk usaha perikanan pancing tonda, payang, jaring insang hanyut (JIH), sero dan pukat 114

139 pantai. Beberapa sarana dan prasarana pendukung yang dapat difungsikan secara bersama-sama, cukup dibangun satu saja, dan selanjutnya perhatian dapat dicurahkan untuk membangun sarana dan prasarana lain yang juga dibutuhkan. Bila hal ini dijadikan acuan, pengembangan usaha perikanan pelagis dapat lebih efektif dan tepat sasaran, meskipun pada kondisi keuangan yang terbatas. Pembinaan terhadap nelayan terkait, sebaiknya dilakukan secara periodik dan intensif di ketiga kecamatan wilayah basis, sehingga upaya pengembangan tersebut akan mendapat dukungan penuh dari pelaku langsung usaha perikanan tangkap tersebut Location Quotients (LQ) bagi usaha perikanan demersal, udang, dan biota laut non ikan Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, potensi maksimum lestari ikan demersal di perairan Kabupaten Belitung sekitar 10761,05 ton dan tingkat pemanfaatannya sekitar 49,58 %. Sedangkan potensi maksimum lestari udang dan biota laut non ikan sekitar 2102,80 ton dan tingkat pemanfaatannya baru sekitar 38,34 %. Kondisi ini tentu memberi peluang yang besar bagi pengembangan usaha perikanan tangkap unggulan dengan komoditas ikan demersal, udang dan biota laut non ikan tersebut, dimana dapat menggunakan alat-alat tangkap yang memang sesuai untuk dikembangkan di Kabupaten Belitung, seperti pancing tonda, sero, bubu, dan trammel net. Selain menangkap ikan pelagis besar, pancing tonda di Kabupaten Belitung juga dapat diandalkan untuk menangkap ikan demersal, dan sero juga dapat dimanfaatkan untuk menangkap ikan demersal, disamping ikan pelagis kecil. Bubu biasanya digunakan untuk menangkap ikan demersal. Sedangkan trammel net banyak digunakan nelayan Kabupaten Belitung untuk menangkap udang dan biota laut non ikan. Terkait dengan ini, maka keempat alat tangkap ini dapat diandalkan bagi pengusahaan yang lebih besar dari komoditas perikanan tersebut. Berdasarkan hasil analisis LQ pada bagian sebelumnya, pancing tonda, sero, dan bubu dapat menjadi sektor basis di Kecamatan Sijuk dan trammel net menjadi sektor basis di Kecamatan Badau. Dengan demikian, pengembangan 115

140 usaha perikanan komoditas ikan demersal, udang dan biota laut non ikan di Kabupaten Belitung dapat berbasis di kedua kecamatan tersebut. Untuk mendukung pengembangan ini, berbagai fasilitas yang dibutuhkan untuk usaha perikanan pancing tonda, sero, dan bubu sebaiknya diprioritaskan dibangun di Kecamatan Sijuk, sedangkan fasilitas pendukung trammel net sebaiknya dibangun di Kecamatan Badau. Realisasi hal ini perlu mendapat dukungan penuh dari berbagai stakeholders, terutama dari pemerintah Kabupten Belitung dan masyarakat lokal di setiap wilayah kecamatan tersebut. Menurut Kimker (1994), hal yang demikian itu menjadi sangat penting, agar upaya pengembangan perikanan tangkap tersebut dapat berjalan dengan baik di wilayah basis. Pembinaan terhadap nelayan yang merupakan tenaga kerja atau pelaku langsung kegiatan usaha perikanan tersebut juga tidak boleh dilupakan sehingga kegiatan pemanfaatan sumberdaya demersal dan biota laut non ikan dapat berjalan secara baik dan berkelanjutan di Kabupaten Belitung Pertumbuhan Tenaga Kerja di Wilayah Basis Pengganda Basis Pengganda basis (K), dianalisis dengan maksud untuk mengetahui perbandingan tenaga kerja seluruh sektor di wilayah basis dengan tenaga kerja sektor basis. Bila semakin rendah nilai pengganda basis, maka semakin tinggi dominasi sektor basis di wilayah basis. Pengganda basis ini dapat memberi ilustrasi tentang seberapa besar kemungkinan dan dukungan pengembangan sektor basis pada wilayah yang ditetapkan menjadi basis. Tabel 9 menyajikan nilai pengganda basis untuk setiap sektor basis di wilayah basisnya. Tabel 9 Nilai pengganda basis (K) setiap sektor basis Usaha Nilai K Perikanan Kec. Tanjung Kec. Kec. Sijuk Kec. Badau Tangkap Pandan Membalong Pancing Tonda Payang JIH Sero Pukat Pantai Bubu Trammel net

141 Berdasarkan Tabel 9, terlihat bahwa trammel net merupakan sektor basis yang mempunyai pengganda basis (K) paling rendah, yaitu 1,50. Hal ini menunjukkan bahwa usaha perikanan trammel net merupakan usaha perikanan tangkap yang paling dominan di wilayah basisnya yaitu di Kecamatan Badau dibandingkan dengan enam usaha perikanan tangkap unggulan lainnya. Sekitar 66,67 % dari usaha perikanan yang ada di Kecamatan Badau merupakan usaha perikanan trammel net (Statistik DKP Kab. Belitung, 2009). Kondisi ini tentu memberi dukungan yang sangat positif bagi pengembangan usaha perikanan trammel net di wilayah basis yang dipilih. Tenaga kerja (nelayan) yang sebelumnya telah berprofesi sebagai nelayan trammel net tentu lebih mudah diarahkan bila ada program-program pengembangan yang terkait dengan trammel net itu sendiri. Bila hal ini dapat berjalan baik, maka kontribusi Kecamatan Badau dalam menyediakan komoditas perikanan jenis udang dan biota laut lainnya tentu sangat membantu bagi pembangunan perikanan di Kabupaten Belitung. Pukat pantai juga mempunyai nilai pengganda basis (K) yang rendah, yaitu 1,61, yang berarti pengembangan pukat pantai di Kecamatan Membalong juga mendapat dukungan penuh dari masyarakatnya. Hal ini terjadi karena sekitar 62,01 % usaha perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan merupakan jenis pukat pantai (Statistik DKP Kab. Belitung, 2009). Sehingga pemilihan Kecamatan Membalong sebagai wilayah basis bagi pengembangan pukat pantai merupakan keputusan yang sangat tepat, karena mereka melakukan penangkapan ikan dengan mempergunakan pukat pantai hanya pada tempat tertentu saja, yang sudah dilakukan nelayan secara priodik dan berkelompok. Namun demikian, karena pukat pantai mempunyai selektifitas yang rendah, maka program-program pembinaan nelayan yang dilakukan di Kecamatan Membalong harus lebih banyak tentang teknik penangkapan yang ramah lingkungan, ukuran ikan yang boleh ditangkap, teknik-teknik konservasi sumberdaya ikan dan ekosistem, dan lainnya. Sero merupakan sektor basis dengan nilai pengganda basis (K) paling tinggi, yaitu sekitar 13,87. Hal ini menunjukkan bahwa sero bukanlah usaha perikanan tangkap yang paling dominan di Kecamatan Sijuk sebagai wilayah basis. Total semua nelayan di Kecamatan Sijuk sama dengan 13,87 kali jumlah nelayan sero, atau jumlah nelayan sero di Kecamatan Sijuk sebagai wilayah 117

142 basisnya hanya 7,21 % (Statistik DKP Kab. Belitung, 2009). Hal ini dapat dipahami karena alat tangkap sero tidak menjadi basis di Kecamatan Sijuk, sebab kecamatan ini lebih menjadikan pancing tonda dan bubu sebagai basisnya. Dibanding kedua usaha perikanan tangkap ini, usaha perikanan sero termasuk yang rendah dukungannya di Kecamatan Sijuk, namun demikian pemilihan Kecamatan Sijuk sebagai wilayah basis pengembangan sero masih lebih baik dibandingkan tiga kecamatan lainnya (mengingat nilai LQ sero paling tinggi di Kecamatan Sijuk). Terhadap kondisi tersebut, menurut Monintja (2005), program-program pembinaan yang terkait dengan usaha perikanan dimaksud perlu lebih ditingkatkan dibandingkan pembinaan sektor basis lainnya. Bila hal ini dapat dilakukan, maka Kecamatan Sijuk tentu dapat memenuhi harapan pengembangan usaha perikanan tangkap unggulan di Kabupaten Belitung, yaitu Kecamatan Sijuk sebagai wilayah basis pengembangan usaha perikanan pancing tonda, bubu, dan juga sero. Realisasi semua sektor basis di wilayah basisnya perlu mendapat dukungan serius dari pemerintah daerah dan para stakeholders, sehingga usaha perikanan tangkap tersebut benar-benar dapat memberi kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakatnya sekaligus dapat meningkatkan perekonomian Kabupaten Belitung Pertumbuhan tenaga kerja di wilayah basis Pertumbuhan tenaga kerja di bidang perikanan mempunyai arti strategis dalam pencapaian keseluruhan sasaran pembangunan ekonomi perikanan. Angkatan kerja yang produktif merupakan modal untuk membangun keluarga sejahtera yang akan memberikan dampak, baik langsung maupun tidak langsung pada sektor pembangunan perikanan tangkap. Konsekuensi strategis bahwa pembangunan ekonomi perikanan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan adalah dengan jalan meningkatkan produktivitas. Analisis pertumbuhan tenaga kerja dimaksudkan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi di wilayah basis bila sektor basis dikembangkan. Pertumbuhan tenaga kerja ini merupakan cerminan dari pertumbuhan usaha perikanan tangkap bila kegiatan pengembangan dilakukan terus pada tujuh jenis 118

143 usaha perikanan tangkap unggulan. Nilai pengganda basis pada analisis sebelumnya akan menjadi peubah dalam penilaian pertumbuhan tenaga untuk setiap usaha perikanan tangkap unggulan di wilayah basis. Dalam arti lebih luas, pertumbuhan tenaga kerja merupakan cerminan dari kontribusi sektor perikanan dalam memacu pertumbuhan ekonomi di wilayah Kabupaten Belitung. Selain dari itu, masalah tenaga kerja yang sebenarnya adalah masyarakat nelayan, diperlukan program pemberdayaan yang dilengkapi dengan indikator keberhasilan, sehingga masyarakat nelayan dapat dimonitor secara lebih terperinci tingkat keberhasilannya, baik dari dalam hal kesejahteraan maupun dalam jumlah nelayan. Hasil analisis pertumbuhan tenaga kerja di wilayah basis disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Pertumbuhan tenaga kerja (Delta N) di wilayah basis Usaha Perikanan Tangkap Delta N Kec. Kec. Tanjung Sijuk Pandan Kec. Badau Pancing Tonda 165 Payang 173 JIH 182 Sero 140 Pukat Pantai 31 Bubu 176 Trammel net 77 Kec. Membalong Hasil Tabel 10 menunjukkan bahwa pertumbuhan tenaga kerja di wilayah Kecamatan Sijuk karena kontribusi usaha perikanan pancing tonda, sero, dan bubu berturut-turut adalah 165 orang/tahun, 140 orang/tahun, 176 orang/tahun. Pertumbuhan tenaga kerja untuk ketiga usaha perikanan tangkap unggulan tersebut tinggi. Hal ini berarti bahwa ketiga usaha perikanan tangkap tersebut telah berkembang dengan baik di Kecamatan Sijuk, termasuk usaha perikanan sero sebagai usaha perikanan unggulan yang mempunyai dominasi paling rendah di Kecamatan Sijuk. Kondisi ini terjadi karena keaktifan ketiga usaha perikanan tangkap cukup tinggi di lokasi penelitian, dimana cukup banyak nelayan yang terlibat sebagai tenaga kerja, meskipun secara rasio tidak selalu dominan. Pertumbuhan tenaga kerja di wilayah Kecamatan Tanjung Pandan dalam kontribusi usaha perikanan payang dan jaring insang hanyut (JIH) berturut-turut 119

144 adalah 173 orang/tahun dan 182 orang/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tenaga kerja di kedua sektor basis, yaitu usaha perikanan tangkap payang dan jaring insang hanyut (JIH) di Kecamatan Tanjung Pandan termasuk tinggi. Pertumbuhan tenaga kerja pada usaha perikanan jaring insang hanyut merupakan pertumbuhan paling tinggi diantara tujuh usaha perikanan tangkap unggulan lainnya. Hal ini terjadi karena adanya dukungan penuh terhadap pengembangan usaha perikanan tangkap tersebut di hampir semua aspek. Dari aspek nelayan, jumlah nelayan yang bekerja pada usaha perikanan jaring insang hanyut termasuk banyak di Kecamatan Tanjung Pandan (975 orang). Jumlah yang banyak ini juga didukung oleh keaktifan usaha perikanan tangkap yang juga tinggi di lokasi ini, dimana kegiatan penangkapan lebih tertib dan diusahakan minimal oleh skala menengah sehingga mempunyai jangkauan penangkapan yang luas tanpa tidak banyak dipengaruhi musim. Di samping, dari aspek finansial usaha perikanan tangkap ini cukup menguntungkan. Hasil analisis sebelumnya, usaha perikanan jaring insang hanyut mempunyai nilai B/C ratio (1,59) dan IRR (38,81 %) yang baik. Pertumbuhan tenaga kerja di wilayah Kecamatan Badau dalam kontribusi usaha perikanan trammel net cukup tinggi, yaitu 77 orang/tahun. Namun bila dibandingkan dengan sektor basis pada dua kecamatan lainnya, maka pertumbuhan tenaga kerja trammel net di Kecamatan Badau ini lebih rendah. Trammel net mempunyai nilai pengganda basis paling baik yaitu 1,50 dan jumlahnya sangat banyak dan dominan di Kecamatan Badau. Namun karena jumlah tenaga kerja perikanan atau nelayan trammel net di kecamatan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan Kecamatan Sijuk dan Kecamatan Tanjung Pandan, dan juga operasinya biasa-biasa saja (tidak sangat aktif), maka cukup wajar bila pertumbuhan tenaga kerja trammel net tidak terlalu tinggi di Kecamatan Badau. Pertumbuhan tenaga kerja di wilayah Kecamatan Membalong kurang baik, karena kontribusi usaha perikanan pukat pantai termasuk paling rendah diantara tujuh usaha perikanan tangkap unggulan yang dikembangkan, yaitu 31 orang/tahun. Hal ini terjadi karena manfaat ekonomi yang diberikan oleh usaha perikanan pukat ini tidak terlalu baik meskipun termasuk layak, dan ini 120

145 ditunjukkan oleh hasil analisis finansial yang dilakukan, dimana dari tujuh usaha perikanan tangkap unggulan, pukat pantai mempunyai B/C ratio dan IRR yang paling rendah yaitu 1,09 dan 12,60. B/C ratio sebesar 1,09 memberi pengertian bahwa usaha perikanan pukat pantai hanya memberikan pendapatan sekitar 1,09 kali dari biaya yang dikeluarkan. Menurut Syarifin (1993), usaha perikanan pukat pantai dapat merekrut banyak tenaga kerja, yaitu sekitar orang per unitnya, sehingga pengembangannya perlu didukung selama usaha perikanan tangkap tersebut tidak merugikan dan dapat memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan perikanan di Kabupaten Belitung. 121

146 7 PENGEMBANGAN KEBIJAKAN STRATEGIS DENGAN KONSEP MICRO-MACRO LINK 7.1 Model Micro-Macro Link Pembangunan Perikanan Tangkap Model micro-macro link (MML) ini dikembangkan untuk memudahkan penyusunan rekomendasi kebijakan strategis trade-off ekonomi yang terkendali, yaitu menjadikan kegiatan pembangunan perikanan tangkap terpadu Kabupaten Belitung sebagai primadona dan andalan dalam meningkatkan perekonomian kawasan, namun diharapkan dapat dikelola dengan baik sehingga tidak sampai merusak kontribusi sektor lain yang sudah ada. Agar mencapai sasarannya, maka pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung perlu peran serta masyarakat nelayan dengan mengarahkan pada peningkatan produktivitas yang akan memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat, sehingga masalah kemiskinan yang selalu melilit masyarakat nelayan dapat ditanggulangi dengan mengikut-sertakan semua potensi yang ada. Untuk maksud ini, maka penyusunan rekomendasi tersebut akan didasarkan pada kondisi nyata pola interaksi (link) komponen terkait, baik dalam lingkup mikro maupun lingkup makro sehingga terjadi sinergi dengan arah pengembangan ekonomi kawasan dan berkorelasi dengan kebijakan pembangunan nasional. Dalam analisis model micro-macro link yang dikembangkan dalam penelitian ini, semua komponen tersebut diinteraksikan satu sama lain sesuai struktur dan ruang lingkup interaksinya dalam kondisi nyata pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung baik dalam merespon kondisi lokal, regional maupun kondisi yang lebih luas secara nasional. Dalam sektor perikanan, beberapa faktor yang harus dijadikan perhatian adalah : kontributor pembangunan ekonomi skala lokal, regional dan nasional, sumber penyerap surplus tenaga kerja skala lokal, regional dan nasional, sumber penerimaan negara dan pendapatan skala lokal, regional dan nasional serta sumber penyedia pangan bagi penduduk wilayah pesisir. Dengan mempergunakan metode micro-macro link,faktor-faktor tersebut dapat dianalisis secara terperinci, sehingga perencanaan ke depan yang lebih terarah dan tepat sasaran bisa dicapai.

147 7.1.1 Model Micro-Macro Link I Model micro-macro link I ini merupakan model yang dikembangkan dengan menggunakan structural equation modelling (SEM) mengacu kepada rancangan logic framework MML pada metodologi yang interaksi komponennya disesuaikan dengan pola data, namun tanpa terlalu banyak melakukan modifikasi link. Modifikasi yang dilakukan pada tahap ini hanya untuk mengakomodasi pola data lapangan sehingga nilai interaksi (link) dalam model bisa dibaca. Model micro-macro link ini dan hasil pengembangannya disusun mengikuti pola interaksi nyata komponen di lokasi. Menurut Martosubroto (2002),dalam pengelolaan perikanan dibutuhkan persiapan yang mencakup menyediakan dokumen, baik formal maupun informal yang mencakup proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusaan, alokasi sumber daya, formulasi dan implementasinya, disertai dengan pengamanan seperlunya terhadap peraturan yang berlaku demi menjaga kelangsungan produksi dan pencapaian tujuan lainnya. Menurut publikasi FAO tentang pelaksanaan perikanan yang bertanggungjawab, dinyatakan bahwa Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) mencakup penjelasan tentang bagaimana dan oleh siapa suatu kegiatan perikanan tersebut akan dikelola, termasuk di dalamnya penjelasan rinci tentang prosedur dan bagaimana keputusan pengelolaan yang bersangkutan diambil, terutama yang menyangkut perubahan dan perkembangan kondisi sumber daya dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil identifikasi lapangan, komponen-komponen yang terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung, dari perbagai komponen yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung, dijadikan sebagai sumber rujukan untuk menyusun rekomendasi yang akan dijadikan bahan analisis micro-macro link, baik dalam lingkup mikro maupun makro adalah: a. Dalam lingkup usaha perikanan tangkap dapat mencakup faktor produksi, tenaga kerja, profit, produktivitas, dan wilayah basis. b. Dalam lingkup pasar (market) dapat mencakup pasar barang-barang kebutuhan produksi perikanan tangkap (market input) dan barang-barang hasil produksi perikanan tangkap (market output). 124

148 c. Dalam lingkungan kebijakan nasional terutama di bidang keuangan dapat mencakup kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. d. Dalam lingkup perdagangan produk skala lokal, regional maupun yang lebih luas dapat mencakup pertumbuhan dan interaksinya dengan komponen kebijakan, market input dan lainnya. e. Dalam lingkup ekonomi regional Bangka Belitung dapat mencakup basis komponen sumberdaya (resource base), wilayah basis dan basis komponen jasa penunjang (service base). Hasil analisis model micro-macro link I pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung disajikan pada Gambar Chi-Square= Probability =.000 CMIN/DF=4.404 RMSEA =.137 GFI =.825 TLI =.643 CFI = d1.16 d2.20 d3.26 d Market Output X1.32 X X3 X4.22 Market Input Wilayah Basis 1.00 X Usaha Perikanan Belitung 1.27 X6 Z Fiskal Z e Kebijakan Nasional 5.95 Moneter 1.05 e Ekonomi Regional Babel Ser Base 1.21 e2 GDP.22 Trade Res Base 1.14 e e Grow th MICRO MACRO Gambar 32 Model micro-macro link I pembangunan perikanan tangkap Pada Gambar 32, faktor X1, X2, X3, X4, X5, dan X6, masing-masing merupakan faktor produksi, tenaga kerja, profit, produktivitas, pertumbuhan market output, dan pertumbuhan market input yang satu sama lainnya punya keterkaitan dengan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Belitung. Untuk mengukur apakah model micro-macro link pembangunan perikanan tangkap 125

149 tersebut sudah fit atau belum untuk dapat digunakan dalam analisis kebijakan pembangunan perikanan terpadu di Kabupaten Belitung, maka terhadap model tersebut perlu dilakukan analisis kesesuaian menggunakan kriteria goodness-of-fit dalam analisis structural equation modelling (SEM) (Ferdinand, 2002). Tabel 11 menyajikan hasil uji kesesuaian model micro-macro link tersebut dengan kriteria goodness-of-fit menurut SEM. Tabel 11 Hasil uji kesesuaian model micro-macro link I terhadap kriteria goodness-of-fit Kriteria Goodness-of- Syarat Kinerja Keterangan Fit Model Chi-square Diharapkan Kecil 233,395 Cukup baik Significance probability 0,05 0,000 Kurang baik CMIN/DF 2,50 4,404 Kurang baik RMSEA 0,08 0,137 Kurang baik GFI 0,80 0,825 Baik TLI 0,90 0,643 Kurang baik CFI 0,90 0,757 Cukup baik Sumber: Hasil analisis model (2010) Berdasarkan Tabel 11, dapat diuraikan sebagai berikut: Berdasarkan Kriteria Goodness-of-Fit ternyata hasil significance probability, CMIN/DF, RMSEA mempunyai perbedaan yang cukup besar dengan nilai yang dipersyaratkan. Dalam persyaratan yang telah ditentukan, apakah hasil kinerja model mendekati syarat, dimana itu dapat menjelaskan bahwa hasil yang diperoleh sudah mendekati kondisi riil di lapangan. Seperti hasil significance probability, kinerja modelnya mempunyai nilai 0,000 sedangkan syaratnya > 0,05 sehingga hasilnya kurang baik, sedangkan CMIN/DF yaitu perbandingan chisquare dengan derajat bebas juga memperlihatkan hasil yang jauh berbeda dengan yang telah dipersyaratkan, yaitu hasil kinerja model dengan nilai 4,404 sedangkan syaratnya < 2,50. Begitu juga dengan RMSEA yang menyatakan kedekatan angka-angka model dengan angka sitem nyatanya, terlihat nilai kinerja modelnya 0,137 sedangkan dalam kategori syaratnya < 0,08. Dari hasil analisis micro- 126

150 macro link I ini, sudah dapat dipastikan bahwa model tidak mencerminkan data yang ada dan ada perbedaan antara matriks kovarian data dengan matriks yang diestimasi. Kriteria fit lainnya menghasilkan nilai yang belum layak namun bisa diperbaiki dengan melakukan modifikasi yang sesuai adalah TLI, dimana kinerja model menunjukkan nilai 0,643 sedangkan yang dipersyaratkan > 0,90. Salah satu penyebab mengapa model tidak fit adalah interaksi (link) komponen yang masih terbatas sehingga banyak modification index yang belum di follow up. Hasil analisis ini sekaligus memberi petunjuk mengapa model micro-macro link I ini belum ideal (belum fit) digunakan untuk membuat rekomendasi kebijakan strategis untuk pembangunan perikanan di Kabupaten Belitung. Pada Tabel 12 disajikan nilai modification index untuk kovarian dari model micro-macro link I pembangunan perikanan tangkap Kabupaten Belitung. Tabel 12 Nilai modification index (MI) kovarian dari model micro-macro link I Covariances: M.I. Par Change Z2 <--> GDP Z1 <--> e d2 <--> d e5 <--> e e4 <--> GDP Z1 <--> Z e2 <--> e e2 <--> e Market_ Output e2 <--> e1 <--> e e1 <--> e d1 <--> d d1 <--> Z d2 <--> e d3 <--> e d4 <--> d d4 <--> e Sumber: Hasil analisis model (2010) Untuk meningkatkan kinerja model, maka komponen dengan nilai modification index (MI) tinggi dalam hubungan timbal baliknya (covariances) harus dinteraksikan satu sama lain, sehingga nilai modification index (MI) dapat digunakan dan tidak menjadi sumber deviasi/penyimpangan model. Hal yang 127

151 sama juga perlu dilakukan untuk hubungan antar komponen model dalam bentuk regresi. Hubungan antara komponen model dengan nilai modification index (MI) tinggi dalam hubungan regresinya harus dimodifikasi lebih dahulu sehingga kinerja model dapat meningkat tajam. Keterkaitan nilai modification index (MI) dengan faktor-faktor yang ikut dianalisis, baik yang bersifat lokal, regional dan kebijakan nasional yang dapat mempengaruhi hasil analisis, adalah bagian dari model yang dikembangkan dan saling berkaitan seperti fiskal, moneter dan gross domestic product dalam perekonomian nasional. Tabel 13 menyajikan nilai modification index untuk hubungan regresi dalam model micro-macro link I pembangunan perikanan tangkap Kabupaten Belitung. Tabel 13 Nilai modification index (MI) regresi dari model micro-macro link I Regression Weights: M.I. Par Change Kebijakan_Nasional <-- GDP Fiskal <-- Usaha_Perikanan_Belitung Usaha_Perikanan_Belitung <-- Fiskal X5 <-- GDP X5 <-- Growth X1 <-- X X5 <-- Res Base Growth <-- Market_Output Growth <-- Fiskal Growth <-- X Growth <-- Ser Base Growth <-- Res Base Growth <-- X Moneter <-- GDP Ser Base <-- GDP Ser Base <-- Market_Input Ekonomi_Regional Babel <-- GDP Ser Base <-- Fiskal Ser Base <-- X Ser Base <-- X Ser Base <-- Growth Ser Base <-- Res Base Res Base <-- Market_Output Res Base <-- Fiskal Res Base <-- X Res Base <-- Growth

152 Res Base <-- Ser Base X1 <-- Trade X1 <-- Kebijakan_Nasional X1 <-- Ekonomi_Regional Babel X1 <-- Growth X1 <-- Moneter X1 <-- Wilayah Basis X4 <-- Fiskal X4 <-- X X4 <-- Growth X4 <-- Moneter X4 <-- Ser Base Sumber: Hasil analisis model (2010) Model Micro-Macro Link II Hasil dari model micro-macro link I yang dirancang untuk mengembangkan kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung dengan melakukan modifikasi untuk mengakomodir pola data lapang sehingga nilai interaksi (link) dalam model bisa dibaca, kemudian dilanjutkan dengan Model micro-macro link II. Ini merupakan model hasil pengembangan dari model micro-macro link I dengan mengembangkan link lanjutan untuk hubungan komponen model yang mempunyai nilai modification index (MI) tinggi dalam lingkup micro seperti : usaha perikanan Kabupaten Belitung, wilayah basis, market output dan market input serta dalam lingkup macro seperti fiskal, moneter, ekonomi regional Bangka Belitung, gross domestic product (GDP), perdagangan dan kebijakan nasional. Dengan melakukan modifikasi pada model micro-macro link II ini, semua data-data yang diperoleh dari lapang dan telah diakomodir pada model micromacro link I, memberikan gambaran bahwa terlihat ada kesempatan yang cukup signifikan bagi Kabupaten Belitung untuk mengembangkan potensi perikanan tangkap yang selama ini masih dikelola secara tradisional dengan mengembangkan wilayah basis, sesuai dengan potensi perikanannya dan alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan setempat. Hasil analisis model micro-macro link II pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung disajikan pada Gambar

153 -.03 Chi-Square= Probability =.000 CMIN/DF=2.600 RMSEA =.094 GFI =.915 TLI =.832 CFI = d1.17 d d d Market Output 1 X X X X4.22 Market Input Wilayah Basis 1.00 X Usaha Perikanan Belitung 1.02 X6 Z Fiskal Z2.08 Moneter 1.11 e e Kebijakan Nasional Ekonomi Regional Babel Ser Base 1.18 e2 Trade Res Base e1.01 GDP e Grow th MICRO MACRO Gambar 33 Model micro-macro link II pembangunan perikanan tangkap Bila dibandingkan dengan model micro-macro link I, maka model micromacro link II ini dimodifikasi lebih lanjut dengan mengembangkan enam link antar komponen model dalam bentuk kovarian yaitu : d1 - d2, d2 - d3, d3 - d4, e2 - e5, Market output - e2 dan z1 - z2 serta tiga link antar komponen model dalam bentuk regresi, yaitu antara X3 - X1, Growth - X5, dan GDP - Ekonomi Regional Babel. Hasil modifikasi yang dikembangkan dalam model micro-macro link II dengan sejumlah data yang dimasukkan kedalam model yang saling berhubungan seperti hubungan regresi antara profit (x3) dengan produksi (x1) memperlihatkan bahwa dengan bertambahnya produksi, akan menambah profit yang bisa diterima. Itu dilihat dalam sekala lokal. Dari segi pertumbuhan dalam skala regional dapat dilihat hubungan antara growth dengan pertumbuhan market output,sebagai hasil produksi yang dapat menambah penghasilan nelayan, sedangkan dalam skala nasional dapat dilihat dari hasil regresi Gross Domestic Product (GDP) dengan Ekonomi Regional mempunyai pengaruh yang cukup signifikan. Hal ini 130

154 menunjukkan bahwa model micro-macro link II merupakan model yang bisa dikembangkan untuk mengetahui hubungan antara situasi lokal, regional dan nasional dalam suatu analisis trade-off ekonomi berbasis lokal. Hasil uji terhadap kriteria goodness-of-fit yang dipersyaratkan untuk model micro-macro link II pembangunan perikanan tangkap ini disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Hasil uji kesesuaian model micro-macro link II terhadap kriteria goodness-of-fit Kriteria Goodness-of- Syarat Kinerja Fit Model Keterangan Chi-square Diharapkan Kecil 114,403 Baik Significance probability 0,05 0,100 Cukup baik CMIN/DF 2,50 2,600 Cukup baik RMSEA 0,08 0,094 Cukup baik GFI 0,80 0,915 Baik TLI 0,90 0,832 Cukup baik CFI 0,90 0,905 Baik Sumber: Hasil analisis model (2010) Berdasarkan Tabel 14 Hasil uji kesesuaian model micro-macro link II ternyata hasil Chi-square sebagai salah satu kriteria model fit menunjukkan penurunan dari 233,935 pada model micro-macro link I menjadi 114,403 pada model micro-macro link II yang berarti lebih baik dari sebelumnya. Selain itu, jika dilihat dari nilai kriteria goodness-of-fit lainnya, yaitu CMIN/DF = 2,600, RMSEA = 0,094, dan TLI = 0,832, maka model yang dikembangkan dapat dikatakan sudah berada pada jalur kesesuaian (fitting). Sedangkan bila dilihat dari nilai GFI = 0,915 dan CFI =905, maka model yang dikembangkan sudah memenuhi kriteria goodness-of-fit yang dipersyaratkan. Oleh karena secara umum model micro-macro link II ini sudah masuk jalur kesesuaian (fitting) dan sudah mempunyai keserupaan yang tinggi dengan sistem nyatanya, maka model relatif dapat diterima dan dapat digunakan untuk menjelaskan interaksi (link) komponen terkait dalam pembangunan perikanan baik dalam lingkup mikro usaha perikanan 131

155 tangkap di Kabupaten Belitung maupun lingkup makro terkait perekonomian nasional. 7.2 Pengembangan Kebijakan Strategis Pembangunan Perikanan Tangkap Pengembangan kebijakan teknis berbasis kewilayahan Pengembangan kebijakan teknis berbasis kewilayahan ini dikaji untuk menyusun pola interaksi (link) antara komponen usaha perikanan tangkap di Kabupaten Belitung berdasarkan potensi setiap wilayah basis, sehingga dapat menjadi andalan bagi Kabupaten Belitung. Beberapa tradisi kebiasaan yang berkembang dalam suatu wilayah, mempengaruhi kebijakan teknis berbasis kewilayahan, karena dengan kuatnya basis usaha perikanan tangkap ini dapat diharapkan mengangkat kontribusi sektor perikanan dalam lingkup lebih luas yang kemudian menjadi primadona dan sektor andalan utama di regional Propinsi Bangka Belitung umumnya dan Kabupaten Belitung pada khususnya Dalam hal ini, situasi Trade-off ekonomi yang menjadi titik tolak penelitian di Kabupaten Belitung, merupakan suatu hal yang baru untuk mengetahui, apakah kondisi basis kewilayahan dapat dikembangkan dan bukanlah suatu hal yang mustahil untuk dapat dilaksanakan, bila pengelolaan perikanan dilakukan secara maksimal dengan menjadikan wilayah yang memiliki potensi sebagai basis pengembangan perikanan tangkap dan pelaksanaannya didukung oleh kebijakan teknis perikanan yang tepat, serta tidak deskriminatif terhadap sektor lainnya yang ada di lokasi penelitian. Dalam hal pengelolaan berbasis kewilayahan, maka komunitas wilayah setempat menjadi pertimbangan utama untuk dijadikan prioritas pengembangan wilayah. Dengan pengelolaan berbasis komunitas, pengaturan dengan aturan masyarakat setempat nampaknya akan cenderung lebih efektif karena pelaksanaan peraturan dilakukan oleh masyarakat sendiri dan adanya keuntungan langsung dengan keberhasilan yang mereka rasakan secara berkelanjutan. (Murdiyanto,2004). Dengan demikian, pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung yang selama ini dilaksanakan dengan pola tradisional, dapat bergerak ke arah yang lebih fokus untuk peningkatan ekonomi masyarakat nelayan, baik secara lokal maupun regional yang didukung oleh pemerintah 132

156 daerah dan sinergikan dengan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama seperti para penanam modal Tabel 15 Koefisien pengaruh langsung, tidak langsung, dan pengaruh total dalam interaksi (link) usaha perikanan Belitung Komponen Direct Effects Indirect Effects Total Effects (DE) (IE) (TE) Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X X X Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X X X Sumber: Hasil analisis model (2010) Kebijakan perikanan yang tepat bagi usaha perikanan tangkap di Kabupaten Belitung merupakan kebijakan yang dapat mengakomodasi kebutuhan pengembangan pancing tonda, payang, jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bubu, dan trammel net sebagai usaha perikanan tangkap yang layak dan unggulan di Kabupaten Belitung. Pada Tabel 15 disajikan koefisien pengaruh langsung (direct effect), pengaruh tidak langsung (indirect effect), dan pengaruh total (total effect) untuk setiap komponen yang berinteraksi dengan usaha perikanan di Kabupaten Belitung. Koefisien pengaruh tersebut merupakan respon interaksi yang terjadi pada model micro-macro link II sebagai model yang dinyatakan layak dan memenuhi kesesuaian (fitting). Dari pengaruh tersebut, ada empat komponen yang dipengaruhi secara langsung dan ada satu komponen yang dipengaruhi secara tidak langsung. Faktor produksi (X1) merupakan yang 133

157 dipengaruhi secara tidak langsung oleh usaha perikanan Kabupaten Belitung, yaitu dengan koefisien 0,07. Pengaruh langsung merupakan pengaruh yang langsung diterima oleh suatu komponen sistem dari link atau interaksinya dengan komponen sistem lainnya, dimana pengaruh tersebut terlihat dan terasa secara langsung. Oleh karena sifat pengaruhnya yang demikian, maka link tersebut menjadi perhatian dominan. Berdasarkan Tabel 15 pengaruh langsung usaha perikanan di Kabupaten Belitung dalam link terjadi terhadap faktor produksi (X1), tenaga kerja (X2), profit (X3), produktifitas (X4), dan wilayah basis masing-masing dengan koefisien 0,359, 0,425, 1,000, 0,378, dan -2,114. Pengaruh positif usaha perikanan di Kabupaten Belitung terhadap tenaga kerja (X2), profit (X3), dan produktivitas (X4) memberi indikasi bahwa jika usaha perikanan berkembang di Kabupaten Belitung, maka ada kecenderungan terjadi peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja, keuntungan atau profit usaha yang meningkat, dan produktifitas dari usaha perikanan tersebut juga meningkat karena adanya adopsi beberapa teknologi baru dalam usaha penyediaan alat tangkap yang dikembangkan diperairan Kabupaten Belitung. Diantara komponen yang dipengaruhi secara positif tersebut, pengaruh terhadap profit termasuk yang signifikan. Pengaruh usaha perikanan di Kabupaten Belitung terhadap faktor produksi (X1) dan wilayah basis yang negatif menunjukkan bahwa jika usaha perikanan di Kabupaten Belitung berkembang, maka ada kecenderungan akan meninggalkan (trade-off) faktor produksi yang tumbuh dan berkembang secara lokal dan basis kegiatan perikanan yang ada ditinggalkan. Namun demikian, apakah kecenderungan tersebut berpengaruh signifikan dan serius dalam pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung dan regional Propinsi Bangka Belitung? Hal ini dapat ditentukan oleh probabilitas (P) pengaruh interaksi (link) usaha perikanan Kabupaten Belitung terhadap setiap komponen tersebut. Menurut Ferdinand (2001), suatu pengaruh dikatakan signifikan atau berdampak serius bila mempunyai probabilitas < 0,05, artinya probabilitas pengaruh interaksi (link) usaha perikanan dikatakan mirip dengan sistem nyata kalau nilai model yang dikembangkan tersebut kecil dari 0,

158 Pada Tabel 16 dapat dilihat nilai probabilitas pengaruh interaksi (link) atas usaha perikanan Kabupaten Belitung terhadap profit (x3), produktifitas (x4), ketersediaan tenaga kerja (x2) dan wilayah basis yang dapat diandalkan untuk pengembangan pembangunan perikanan di Kabupaten Belitung. Tabel 16 Probabilitas pengaruh interaksi (link) usaha perikanan Kab. Belitung. X3 <-- X4 <-- X2 <-- X1 <-- Wilayah Basis <-- Link Estimate S.E. C.R. P Label Usaha_Perikanan_ Belitung par-1 Usaha_Perikanan_ Belitung 1 Usaha_Perikanan_ Belitung par-2 Usaha_Perikanan_ Belitung par-3 Usaha_Perikanan_ Belitung par-4 Berdasarkan Tabel 16, usaha perikanan Kabupaten Belitung mempengaruhi wilayah basis dengan probabilitas (P) < 0,05, yaitu 0,008, sedangkan tiga komponen lainnya dipengaruhi dengan probabilitas >0,05. Hal ini menunjukkan bahwa hanya wilayah basis yang dipengaruhi signifikan oleh usaha perikanan Kabupaten Belitung. Terkait dengan ini, maka kebijakan teknis pembangunan perikanan di Kabupaten Belitung perlu diperhatian dengan serius, terutama terhadap pengembangan wilayah basis, yang dilakukan dengan mengembangkan usaha perikanan tangkap yang telah menjadi sektor basis di masing-masing wilayah. Koefisien pengaruh dengan nilai -0,359 menunjukkan bahwa pengembangan perikanan yang terjadi cenderung meninggalkan usaha perikanan lokal unggulan yang berkembang pada wilayah basis perikanan bila tidak ada kebijakan teknis yang mengatur dan mengendalikannya. Pembahasan pada Bab 6 menunjukan usaha perikanan unggulan (sektor basis) pada empat wilayah basis yang ada di Kabupaten Belitung, yaitu pancing tonda, sero dan bubu dengan wilayah basis Kecamatan Sijuk, payang dan jaring insang hanyut (JIH) dengan wilayah basis Kecamatan Tanjung Pandan, trammel net dengan wilayah basis Kecamatan Badau, dan pukat pantai dengan wilayah basis Kecamatan Membalong. 135

159 Terkait dengan ini, maka kebijakan teknis perikanan harusnya dibuat berbasiskan kewilayahan sehingga usaha perikanan yang menjadi unggulan dan basis ekonomi masyarakat nelayan dapat berkembang dengan baik. Bila hal ini dilakukan, maka usaha perikanan tangkap dapat terus menjadi andalan dan primadona Kabupaten Belitung maupun Provinsi Bangka Belitung, karena bersesuaian dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat nelayan sekitar sebagai pelaku utamanya Pengembangan kebijakan terkait moneter dan fiskal Supaya kegiatan perikanan Kabupaten Belitung dapat bertahan terutama pada kondisi ekonomi yang tidak stabil, maka kegiatan perikanan tersebut harus dapat mensiasati berbagai kemungkinan terburuk yang dapat menimpa perekonomian nasional maupun regional Provinsi Bangka Belitung. Kebijakan fiskal dan moneter merupakan kebijakan yang sering dikendalikan oleh Pemerintah tatkala kondisi ekonomi global terpuruk. Fiskal adalah hal yang berkenaan dengan urusan pajak dan pendapatan negara, sedangkan moneter berhubungan dengan uang atau keuangan yang beredar. Sehubungan dengan itu, kegiatan perikanan tangkap Kabupaten Belitung perlu memiliki struktur kebijakan yang kuat untuk mensiasati kondisi tersebut, sehingga dalam kondisi ekonomi global yang kurang menguntungkan kegiatan perikanan tangkap, hal tersebut masih dapat diatasi. Menurut Elfindri (2002), kebijakan fiskal tersebut merupakan kebijakan keuangan yang diambil pemerintah untuk mengatasi kondisi ekonomi yang terpuruk dalam bentuk pengurangan pajak dan retribusi sehingga kegiatan usaha dan industri tetap bisa bertahan, sedangkan kebijakan moneter merupakan kebijakan keuangan yang diambil pemerintah untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar di masyarakat, misalnya dalam bentuk penjualan obligasi dan surat berharga lainnya kepada masyarakat. Dalam implementasinya, kebijakan fiskal dan moneter yang terkait kegiatan perikanan di Kabupaten Belitung dengan pancing tonda, payang, jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bubu, dan trammel net sebagai andalannya, dapat dikembangkan dan dikendalikan oleh Pemerintah Daerah. Dimana Pemerintah Daerah dapat menerbitkan beberapa kebijakan perikanan yang melindungi usaha 136

160 perikanan tangkap tersebut, sehingga tidak terpengaruh oleh berbagai perubahan ekonomi dan keuangan yang terjadi di luar. Dalam model micro-macro link II yang dikembangkan dalam penelitian ini (Gambar 33), kondisi fiskal dapat mempengaruhi beberapa hal yang terkait dengan pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung. Kondisi moneter tidak mempunyai hubungan langsung terhadap pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung. Moneter lebih mengarah pada pengaturan jumlah uang yang beredar, dan pelaku usaha perikanan tangkap di Kabupaten Belitung tidak peduli hal-hal seperti itu, begitu juga masyarakat setempat yang menjadi konsumen perikanan tangkap Kabupaten Belitung, sehingga tidak begitu berpengaruh dengan perubahan kebijakan pemerintah di bidang moneter. Tabel 17 menyajikan koefisien pengaruh langsung (direct effect), pengaruh tidak langsung (indirect effect), dan pengaruh total (total effect) dalam interaksi (link) kondisi fiskal. Tabel 17 Koefisien pengaruh langsung, tidak langsung, dan pengaruh total dalam interaksi (link) kondisi fiskal Komponen Direct Indirect Total Effects Effects (DE) Effects (IE) (TE) Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X X X Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X X X Sumber: Hasil analisis model (2010) 137

161 Berdasarkan Tabel 17, dalam lingkup makro, kebijakan fiskal Indonesia berpengaruh terhadap pertumbuhan market output (X5), pertumbuhan market input (X6), dan wilayah basis di Kabupaten Belitung, yaitu dengan koefisien pengaruh masing-masing 0,079 ; 0,301 ; dan -0,073. Oleh karena pengaruh tidak langsung tidak ada, maka pengaruh langsung tersebut menjadi pengaruh total kebijakan fiskal pada pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung. Pengaruh kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan market output (X5), pertumbuhan market input (X6) bersifat positif, sehingga menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang ada cenderung mendukung pemasaran produk perikanan Kabupaten Belitung baik dalam bentuk segar maupun olahan, dan juga pemasaran barang-barang kebutuhan produksi perikanan seperti pemasaran bahan alat tangkap, pendukung penangkapan, bahan bakar minyak, perbekalan melaut dan lainnya. Pengaruh kebijakan fiskal bersifat negatif terhadap wilayah basis, yang menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang mendiskreditkan kepentingan usaha perikanan yang berkembang dengan basis wilayah dan lokal di Kabupaten Belitung. Menurut Nikijuluw (2002) dan Fauzi (2005), kebijakan perikanan perlu mengayomi kepentingan utama perikanan yang ada di kawasan perikanan sehingga lebih membawa manfaat di lokasi. Tabel 18 menyajikan probabilitas pengaruh interaksi (link) kebijakan fiskal. Tabel 18 Probabilitas pengaruh interaksi (link) kondisi fiskal Link Estimate S.E. C.R. P Label X5 <-- Fiskal par-14 X6 <-- Fiskal par-15 Wilayah Basis <-- Fiskal par-20 Berdasarkan Tabel 18, probabilitas pengaruh interaksi (link) kondisi fiskal terhadap pertumbuhan market output (X5) dan wilayah basis bersifat signifikan (P < 0,05), sedangkan terhadap pertumbuhan market input (X6) tidak signifikan (P > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang diambil pemerintah sangat berpengaruh terhadap pemasaran produksi perikanan dan perkembangan usaha perikanan unggulan di wilayah basis. 138

162 Terkait dengan ini, maka Pemerintah Daerah perlu mengembangkan kebijakan yang menyelamatkan pemasaran produk perikanan daerah bila kondisi ekonomi dan keuangan global tidak stabil, seperti dengan mengurangi pajak dan retribusi perikanan sehingga nelayan dapat menjual produk perikanan tersebut dengan harga yang bersaing namun tetap mendapatkan keuntungan yang layak. Menurut Sen (1991), masyarakat kecil termasuk dari kalangan nelayan, umumnya tekun menjalankan suatu pekerjaan selama kebutuhan keluarganya layak. Bila hal ini dilakukan, maka kegiatan perikanan di Kabupaten Belitung akan berkembang pesat dan secara nyata menjadi andalan perekonomian kawasan. Nilai koefisien pengaruh 0,301 (paling tinggi diantara 3 pengaruh lainnya) menunjukkan kemungkinan tersebut. Secara khusus, pemerintah daerah juga perlu menyelamatkan tujuh usaha perikanan unggulan (pancing tonda, payang, jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bubu, dan trammel net) yang ada pada wilayah basis misalnya dengan memudahkan pengurusan perijinan usaha dan pengurangan biaya administrasinya sehingga usaha perikanan unggulan tersebut dapat terus berkembang terutama pada kondisi ekonomi dan keuangan global yang terpuruk. Hal ini perlu dilaksanakan dengan serius oleh pemerintah daerah bila pembangunan perikanan tangkap dilakukan di lokasi. Perlindungan yang lemah pada usaha perikanan unggulan di wilayah basis dapat menjadi sumber demotivasi nelayan yang berakibat pada enggannya nelayan untuk melaut. Bila hal ini terjadi, tentu akan dapat menurunkan secara drastis kontribusi perikanan bagi pembangunan Kabupaten Belitung. Wilayah basis merupakan wilayah yang saat ini menjadi basis atau tempat berkumpulnya banyak nelayan untuk menjalankan usaha perikanan tangkap tertentu, bila mereka tidak dilindungi, maka dampaknya akan besar bagi perekenomian kawasan. Kebijakan yang melindungi usaha perikanan yang mereka jalankan menjadi hal penting dan perlu dilakukan segera, termasuk dalam mensiasati kondisi keuangan global yang tidak menentu Pengembangan kebijakan yang mendukung kebijakan nasional yang sudah ada 139

163 Dalam kaitan dengan kebijakan nasional yang sudah ada, pengembangan kebijakan strategis terkait pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung hendaklah seirama dan mendukung kebijakan nasional, seiring dengan era globalisasi yang telah mulai tampak mempengaruhi percepatan perkembangan teknologi, kecuali adanya kondisi khusus, misalnya adanya bencana alam, peperangan, konflik sosial, pemekaran daerah, dan lainnya. Pada kondisi khusus tersebut, kebijakan nasional tertentu bisa saja tidak diberlakukan untuk memberi ruang bagi penanganan yang lebih cepat dan tepat. Globalisasi menyebabkan kebijakan nasional yang diterapkan tidak dapat dibatasi hanya berlaku pada tataran tertentu saja, apalagi kalau kaitannya dengan ekonomi nasional, yang akan terintegrasi dalam ekonomi global. Persaingan nanti bukan lagi antar negara, melainkan antar unit ekonomi/ produksi karena dalam ekonomi global pengertian asal-muasal suatu produk akan menjadi kabur dan merupakan rangkaian unit-unit produksi yang mata rantai proses produksinya bisa saja berada di perbagai penjuru dunia. (Ginandjar Kartasasmita, 1996) Kondisi yang disebutkan di atas merupakan kondisi ideal pelaksanaan suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Namun demikian, menurut Saaty (1993) dan Kusumastanto (2003), kebijakan nasional bisa saja dikoreksi bila dianggap kurang relevan dengan perkembangan normal yang ada di suatu kawasan. Dalam pengelolaan sumberdaya laut secara berkesinambungan, perlu dirumuskan suatu kebijakan yang memihak kepada kepentingan masyarakat nelayan dengan asumsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan.terlebih dalam pemanfaatan kawasan oleh berbagai pihak, yang sering menimbulkan konflik kepentingaan, sehingga masyarakat lokal harus menghadapi kenyataan pahit, karena tidak memiliki kuasa untuk menolak penetrasi kepentingan pemilik modal. Akibatnya, perubahan-perubahan struktural yang terjadi di kawasan, justru memarginalkan posisi sosial masyarakat nelayan setempat. Hal ini menjadi tanggung jawab semua pihak termasuk kalangan peneliti untuk memberikan masukan yang dibutuhkan. Mengenai kebijakan nasional yang ada hubunganya dengan pendapatan nasional, secara terus menerus akan terjadi fluktuasi pendapatan yang disebabkan oleh pergeseran permintaan dan penawaran jangka pendek, sehingga akan berpengaruh dengan penggunaan 140

164 pengeluaran pemerintah dan kebijakan pajak untuk mencapai sejumlah tujuan pemerintah, karena setiap kebijakan yang berusaha untuk menstabilkan pendapatan nasional pada atau mendekati tingkat yang diinginkan. (Richard G.Lipsey dkk, 1990) Dalam model micro-macro link II yang dikembangkan dalam penelitian ini, pengaruh kebijakan nasional terhadap komponen lainnya terkait pembangunan perikanan tangkap akan dikaji ulang sehingga menjadi masukan berarti bagi pelaksanaan kebijakan nasional tersebut di Kabupaten Belitung dan regional Provinsi Bangka Belitung. Tabel 19 menyajikan koefisien pengaruh langsung (direct effect), pengaruh tidak langsung (indirect effect), dan pengaruh total (total effect) dalam interaksi (link) kebijakan nasional. Tabel 19 Koefisien pengaruh langsung, tidak langsung, dan pengaruh total dalam interaksi (link) kebijakan nasional Komponen Direct Effects Indirect Total Effects (DE) Effects (IE) (TE) Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X X X Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X X X Berdasarkan Tabel 19, kebijakan nasional mempengaruhi semua komponen lainnya terkait pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung, meskipun ada yang bersifat langsung (direct effect) dan tidak langsung (indirect effect). Baik yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung, kebijakan nasional berpengaruh besar terhadap kondisi moneter, dimana pengaruh langsungnya bersifat positif (koefisien pengaruh = 1,088) dan pengaruh 141

165 tidak langsungnya bersifat negatif (koefisien pengaruh = -1,053). Pengaruh tidak langsung yang negatif memberi indikasi bahwa bila kebijakan nasional yang terlalu berlebihan dalam mengatur komponen pembangunan perikanan tangkap dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada usaha perikanan tangkap dan juga perbankkan mitra usahanya sehingga menarik dana investasinya. Menurut Murdiyanto (2004), kepercayaan masyarakat nelayan merupakan kunci utama keberhasilan program pembangunan di bidang perikanan. Bila hal ini terjadi, maka usaha perikanan pancing tonda, payang, jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bubu, dan trammel net yang dianggap unggulan tapi kekurangan modal, sementara uang yang beredar di masyarakat bertambah banyak. Hasil analisis model micro-macro link II pada Tabel 19 menunjukkan bahwa kebijakan nasional berpengaruh langsung terhadap trade, usaha perikanan Belitung, kondisi fiskal, dan kondisi moneter, yaitu masing-masing dengan koefisien 0,963 ; -0,398 ; 1,00 ; dan 1,000. Probabilitas pengaruh interaksi (link) kebijakan nasional tersebut disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Probabilitas pengaruh interaksi (link) kebijakan nasional Usaha_ Perikanan_ <-- Belitung Fiskal <-- Moneter <-- Trade <-- Link Estimate S.E. C.R. P Label Kebijakan_ Nasional Kebijakan_ Nasional Kebijakan_ Nasional Kebijakan_ Nasional par-7 1 Fix par par- 31 Berdasarkan Tabel 20, kebijakan nasional yang ada saat ini berpengaruh signifikan terhadap kondisi moneter dan trade (perdagangan), sedangkan pengaruh terhadap dua komponen lainnya tidak signifikan. Hal ini berarti bahwa setiap kebijakan nasional terkait dengan ekonomi dan pembangunan, termasuk pada usaha perikanan tangkap, akan mempunyai dampak langsung yang serius terhadap kondisi moneter dan perdagangan. Bila kebijakan tersebut pro-ekonomi, maka kondisi moneter dan perdagangan produk termasuk produk perikanan 142

166 stabil. Bila sebaliknya, maka moneter dan perdagangan terganggu, dan hal ini akan dirasakan secara nyata oleh pelaku usaha perikanan tangkap di Kabupaten Belitung. Terkait dengan ini, maka Pemerintah Daerah perlu mengembangkan kebijakan yang bersifat mengantisipasi kondisi kontroversial suatu kebijakan nasional bila diberlakukan di lokasi. Meskipun pada analisis sebelumnya kondisi moneter tidak mempengaruhi interaksi mikro kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung, tetapi secara regional (makro) hal ini harus tetap diantisipasi sehingga dampaknya tidak meluas. Dalam kaitannya dengan trade (perdagangan), pemerintah daerah juga perlu membuat kebijakan sektoral yang merupakan turunan dari kebijakan nasional terkait usaha ekonomi, sehingga tidak terjadi trade-off effect yang luas dan juga pelaku trade (perdagangan) produk perikanan di lokasi mempunyai panduan dalam melaksanakan bisnis perikanan. Terhadap kebijakan nasional yang dianggap terlalu kaku, pemerintah daerah harus dapat memberi pemecahan yang tepat sesuai dengan kewenangannya sehingga kegiatan trade (perdagangan) tersebut dapat terus berjalan dan mendukung pembangunan perikanan tangkap Kabupaten Belitung dan regional Provinsi Bangka Belitung Pengembangan kebijakan terkait trade produk Trade (perdagangan) produk merupakan kegiatan yang sangat vital dalam suatu kegiatan bisnis termasuk di bidang perikanan. Menurut Johnson, et al (1989), perdagangan akan menentukan maju-mundurnya dan bertahan tidaknya suatu kegiatan bisnis hingga di masa mendatang. Bila trade produk baik sehingga memberikan jaminan pasar bagi suatu produk perikanan yang dihasilkan nelayan, maka usaha perikanan yang dilakukannya akan tetap terus dilakukan untuk mendapatkan kesejahteraan keluarga nelayan dan masyarakat sekitar. Terkait dengan ini, maka pengembangan kebijakan trade (pemasaran) produk menjadi hal penting dalam interaksi pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung baik dalam lingkup lokal (micro link) maupun dalam lingkup regional dan nasional (macro link). Salah satu pengembangan kebijakan terkait dengan perdagangan atau pemasaran adalah pengembangan kebijakan ke arah revitalisasi perdagangan 143

167 (pemasaran) hasil-hasil perikanan tangkap. Sebab perdagangan hasil ini yang akan mempengaruhi bagaimana meningkatkan kesejahteraan nelayan, sekaligus meningkatkan penghasilan daerah tingkat kabupaten. Terlebih pengembangan kebijakan tersebut terkait dengan perdagangan yang dapat mencakup sistem perdagangan di dalam negeri dan di luar negeri, serta kebijakan yang mempermudah dalam pelaksanaannya (Somantri dan Nikijuluw, 2007). Tabel 21 menyajikan koefisien pengaruh langsung (direct effect), pengaruh tidak langsung (indirect effect), dan pengaruh total (total effect) dalam interaksi (link) trade produk. Tabel 21 Koefisien pengaruh langsung, tidak langsung, dan pengaruh total dalam interaksi (link) trade produk Komponen Direct Effects Indirect Total Effects (DE) Effects (IE) (TE) Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X X X Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X X X Berdasarkan Tabel 21, pengaruh trade produk sebagian besar bersifat tidak langsung (indirect effect). Pengaruh tidak langsung terhadap ekonomi regional Bangka Belitung merupakan yang paling tinggi diantara komponen lainnya, yaitu dengan koefisien -1,787. Hal ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung pemasaran produk perikanan Kabupaten Belitung dapat membawa ekses negatif bagi perekonomian regional di lokasi. Dalam lingkup regional, perkembangan perikanan tersebut bisa menjadi pesaing bagi sektor ekonomi lainnya seperti 144

168 pertambangan dan pariwisata di kawasan tersebut, sehingga perhatian pemerintah dan masyarakat beralih ke perikanan dan sektor lainnya ditinggalkan. Secara ekonomi, sektor yang tidak berkembang dan ditinggalkan merupakan suatu kerugian bagi pengembangan ekonomi kawasan secara keseluruhan (Glass, 1991), dan kondisi trade-off ekonomi seperti ini kurang disukai. Dalam lingkup internal perikanan, ekses negatif tersebut dapat terjadi, misalnya pemasaran produk timpang, dimana produk pancing tonda, sero dan jaring insang hanyut (JIH) karena skalanya yang besar, dapat lebih cepat berkembang dan punya pengumpul yang pasti. Tentu hal ini dapat menimbulkan kecemburuan pada usaha perikanan yang lebih kecil lainnya seperti bubu yang kemudian menjadi sumber konflik antar nelayan dan ancaman bagi perekonomian. Hal-hal seperti ini perlu dihindari sehingga keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap di lokasi dapat dipertahankan. Terlepas dari pengaruh negatif tersebut, dari analisis koefisien pengaruh langsung, tidak langsung dan pengaruh total dalam interaksi (link) pengaruh trade produk, yang dapat dilihat pada Tabel 21, ternyata trade berpengaruh positif dan langsung terhadap ekonomi regional Bangka Belitung, yaitu dengan koefisien 1,846. Pengaruh langsung lainnya dari trade adalah terhadap growth (pertumbuhan) dari trade (perdagangan) itu sendiri, yaitu dengan koefisien 1,000. Tabel 22 menyajikan probabilitas pengaruh interaksi (link) trade produk di Kabupaten Belitung. Tabel 22 Probabilitas pengaruh interaksi (link) trade produk Link Estimate S.E. C.R. P Label Growth <-- Trade 1 Fix Ekonomi_Regional Babel <-- Trade par-22 Bila melihat Tabel 22, maka pengaruh positif langsung trade terhadap ekonomi regional Bangka Belitung bersifat signifikan (P = 0,003). Hal ini berarti, disamping ada dampak negatif, pengembangan trade perikanan di Kabupaten Belitung memberi manfaat yang besar dan terasa secara jelas bagi perbaikan 145

169 ekonomi masyarakat di regional Bangka Belitung. Usaha perikanan tangkap yang dijalankan dengan baik di Kabupaten Belitung dapat secara nyata mengangkat perekonomi regional. Hal ini dapat dipahami karena Kabupaten Belitung merupakan penghasil utama (tertinggi) produk perikanan di regional Provinsi Bangka Belitung, dimana pada 2008 nilai produksinya mencapai Rp Kabupaten lain berada di bawahnya, antara lain adalah Kabupaten Bangka Selatan dan Kabupaten Belitung Timur masing-masing dengan nilai produksi Rp dan Rp pada tahun Terhadap growth, trade tidak memberi pengaruh signifikan. Terkait dengan hal ini, maka kebijakan dalam hal trade produk harus dilakukan dengan mengembangkan jalur-jalur perdagangan produk perikanan yang permanen dan jangka panjang, dimana Pemerintah Daerah harus mengambil peran lebih, tidak hanya sebagai pengawas perdagangan produk, tetapi juga bisa membuat Memorandum of Understanding (MoU) atau kesepakatan perdagangan produk dengan pasar-pasar strategis seperti dengan Singapura, Batam, dan Jakarta. Menurut Panorel (2000) dan Muchtar (1985), jalur dan tujuan perdagangan yang permanen penting agar semua usaha perikanan yang ada baik besar maupun kecil mempunyai kepastian pasar terhadap produk perikanan yang dihasilkannya. Pemerintah Daerah kemudian secara intensif mensosialisasikan standar dan ketentuan penanganan produk yang dipersyaratkan. Bila hal ini bisa dilakukan, maka potensi perikanan regional seperti dari Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Belitung Timur dan lainnya dapat ditarik untuk memanfaatkan jalur perdagangan tersebut. Bila demikian, maka sektor perikanan Kabupaten Belitung secara nyata dapat menjadi penggerak tumbuhnya ekonomi regional yang berbasis perikanan di kawasan. Dengan didukung oleh pengertian yang mendalam tentang peran sektor perikanan ini dan kualitas SDM yang semakin baik, maka secara jangka panjang, perkembangan ekonomi di sektor perikanan tersebut tidak lagi menjadi penghambat perkembangan sektor lain, tetapi mendukung kegiatan ekonomi lainnya terutama di sektor pariwisata. Jalur perdagangan dan transportasi yang semakin aktif, ekonomi masyarakat dari sektor perikanan yang semakin berkembang akan meningkatkan minat masyarakat dan wisatawan luar untuk 146

170 berlibur dan memanfaatkan potensi wisata yang ada di kawasan Kabupaten Belitung, ini terlihat dengan mulai banyaknya pemilik modal membangun hotel dan fasilitas yang memadai untuk keperluan parawisata, apalagi pantai-pantai yang terdapat di pesisir Kabupaten Belitung mempunyai keindahan tersendiri dengan pasir putihnya yang membentang sepanjang pantai Pengembangan kebijakan terkait ekonomi regional Bila pada bagian sebelumnya, ekonomi regional menjadi komponen yang menerima pengaruh dari trade produk, maka pada bagian ini ekonomi regional menjadi komponen yang mempengaruhi komponen lainnya dalam interaksi micro-macro link pembangunan perikanan tangkap. Kebutuhan kebijakan pada bagian ini akan dikembangkan dengan mengakomodasi interaksi komponen ekonomi regional dengan komponen lainnya yang mempunyai koefisien pengaruh yang tinggi dan bersifat signifikan. Tabel 23 menyajikan koefisien pengaruh langsung (direct effect), pengaruh tidak langsung (indirect effect), dan pengaruh total (total effect) dalam interaksi (link) ekonomi regional. Tabel 23 Koefisien pengaruh langsung, tidak langsung, dan pengaruh total dalam interaksi (link) ekonomi regional Bangka Belitung Komponen Direct Effects Indirect Effects Total Effects (DE) (IE) (TE) Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X X X Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X X X

171 Berdasarkan Tabel 23, ekonomi regional mempunyai pengaruh tidak langsung (indirect effect) dengan komponen lainnya dalam interaksi micro-macro link. Sedangkan pengaruh langsung (direct effect) terjadi hanya terhadap empat komponen, yaitu kebijakan nasional, service base, resource base, dan wilayah basis. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi regional akan menentukan perkembangan komponen lainnya dalam pembangunan perikanan tangkap Kabupaten Belitung, meskipun hal itu tidak terjadi atau dirasakan secara langsung. Hal ini wajar karena menurut Nataatmadja (1991), kondisi ekonomi yang dimiliki merupakan penentu utama setiap orang untuk berbuat dan mengambil keputusan dalam hidupnya termasuk dalam mendukung suatu kegiatan pembangunan kawasan. Terlepas dari itu, pengaruh langsung tetap diberi perhatian serius karena akan langsung dirasakan setiap pengaruh tersebut diberikan. Bila mengacu kepada Tabel 23, pengaruh langsung ekonomi regional Bangka Belitung terhadap kebijakan nasional merupakan pengaruh paling besar namun bersifat negatif, yaitu dengan koefisien sekitar Pengaruh makro ini memberi indikasi bahwa kondisi ekonomi regional di Provinsi Bangka Belitung saat ini mempunyai potensi menghambat terhadap beberapa kebijakan dari pusat. Hal ini mungkin karena Provinsi Bangka Belitung termasuk provinsi muda (baru terbentuk) di Indonesia, sehingga banyak terjadi penyesuaian kebijakan dalam rangka peningkatan status wilayah dari kabupaten menjadi provinsi. Namun apakah pengaruh ekonomi regional tersebut mempunyai dampak serius di kawasan, ataukah justru pengaruh terhadap komponen lainnya yang berdampak serius dan signifikan, Tabel 24 tentang probabilitas menunjukkan hal tersebut. Tabel 24 Probabilitas pengaruh interaksi (link) ekonomi regional Link Estimate S.E. C.R. P Label Ser Base <-- Ekonomi_Regional par-5 Babel Wilayah Basis <-- Ekonomi_Regional par-13 Babel Res Base <-- Ekonomi_Regional 1 Fix 148

172 Kebijakan_ Nasional Babel <-- Ekonomi_Regional Babel par-30 Berdasarkan Tabel 24, pengaruh ekonomi regional Provinsi Bangka Belitung terhadap kebijakan nasional bersifat tidak signifikan karena mempunyai probabilitas (P) > 0,05, yaitu sekitar 0,953. Hal ini berarti bahwa pengaruh langsung dengan koefisien -17,072 tersebut tidak berdampak nyata mengganggu ekskalasi nasional di kawasan, sehingga pengembangan kebijakan terkait tidak perlu difokuskan pada pemulihan ekses kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan pelaksanaan kewenangan pusat dan daerah. Pada daerah pemekaran termasuk di Provinsi Bangka Belitung yang baru terbentuk, berbagai penyesuaian sangat lumrah terjadi (Roger, 1990 dan Elfindri, 2002), dan penyesuaian tersebut tidak bisa disamakan dengan provinsi yang pelaksanaan kewenangan dan kebijakan sudah stabil. Pengaruh ekonomi regional Provinsi Bangka Belitung hanya berpengaruh signifikan terhadap basis komponen jasa penunjang (service base). Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan sektor jasa seperti jasa pelabuhan, jasa penerbangan, jasa komunikasi, dan lainnya sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi regional Provinsi Bangka Belitung. Dalam kaitan ini, maka kebijakan strategis yang dianggap terkait ekonomi regional ini adalah perlu diciptakannya kondisi yang kondusif untuk terlaksananya kegiatan pelayanan jasa di kawasan, baik jasa pelabuhan, transportasi udara, darat, dan laut, jasa komunikasi, dan jasa pelayanan lainnya. Secara langsung terkait ekonomi, hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan produk kualitas terbaik yang bisa dilepas ke pasar nasional dan global, pemberian jaminan usaha kepada investor terutama yang berasal dari luar untuk menggerakkan aktivitas ekonomi terutama di sektor di kawasan, meningkatkan intensitas perdagangan antar daerah dalam regional Provinsi Bangka Belitung, mengintensifkan kegiatan promosi potensi daerah terutama di sektor perikanan kepada masyarakat luas, dan lainnya. Bila hal ini dapat dilakukan, tentu akan memberi peluang untuk lebih berkembanganya kegiatan jasa penunjang terutama di bidang transportasi dan komunikasi. 149

173 Menurut Cochrane (2002) secara jangka panjang, perkembangan sektor jasa penunjang akan memberi feedback yang nyata bagi ekonomi regional karena aktivitas ekonomi apapun yang dikembangkan akan selalu mendapatkan kemudahan dalam pelayanan oleh sektor jasa penunjang yang memadai. Pengiriman produk perikanan hasil tangkap pancing tonda, payang, jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bubu, dan trammel net dapat dilakukan dengan mudah karena transportasinya lancar, kesepakatan transaksi via telepon, internet, dan bank juga semakin mudah dilakukan termasuk di wilayah pelosok karena jaringan komunikasinya lancar. Kebijakan yang memberi ruang luas bagi berkembangnya kegiatan pelayanan jasa penunjang sangat memungkinkan untuk terwujudnya hal tersebut dalam mendukung pembangunan perikanan tangkap di kawasan. 7.3 Rumusan Kebijakan Strategis Pembangunan Perikanan Tangkap Rumusan kebijakan strategis ini merupakan rangkuman dari pengembangan kebijakan menggunakan model micro-macro link yang dibahas pada bagian sebelumnya. Rumusan kebijakan ini diharapkan dapat memberi arahan bagi pengambilan kebijakan pembangunan perikanan tangkap terpadu sebagai trade-off ekonomi yang tepat di kawasan yang mengandalkan pancing tonda, payang, jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bubu, dan trammel net sebagai usaha unggulan. Rumusan kebijakan strategis ini merupakan hasil analisis pengaruh setiap komponen terkait dalam interaksinya pembangunan perikanan tangkap, dimana tingkat pengaruh, lingkup pengaruh, dan signifikasi pengaruh dalam interaksi (link) menjadi perhatian penting dalam penetapan kebijakan strategis yang diambil. Adapun rumusan kebijakan strategis tersebut adalah : a. Perlu dikembangkan kebijakan teknis pembangunan perikanan tangkap yang memberikan perhatian serius terhadap pengembangan perikanan berdasarkan wilayah basis. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan usaha perikanan tangkap unggulan (pancing tonda, payang, jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bubu, dan trammel net) yang telah menjadi sektor 150

174 basis di empat wilayah/kecamatan potensial di Kabupaten Belitung. Pengembangan perikanan seperti ini dapat berkembang pesat karena mempunyai kesesuaian wilayah dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat nelayan sekitar sebagai pelaku utamanya. b. Pemerintah Daerah perlu mengembangkan kebijakan yang menyelamatkan pemasaran produk perikanan daerah, terutama bila kondisi ekonomi dan keuangan global tidak stabil. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan mengurangi pajak dan retribusi perikanan sehingga nelayan dapat menjual produk perikanan tersebut dengan harga yang bersaing namun tetap mendapatkan keuntungan yang layak. c. Perlu dilakukan penyelamatan terhadap usaha perikanan unggulan yang ada pada wilayah basis terutama pada kondisi ekonomi dan keuangan global yang terpuruk, sehingga dapat terus bertahan. Hal ini misalnya dengan memberi kemudahan pengurusan perijinan usaha dan pengurangan biaya administrasi usaha. Perlindungan yang lemah pada usaha perikanan unggulan dapat menurunkan secara drastis kontribusi perikanan bagi pembangunan di Kabupaten Belitung. Salah satu instrumen deteksi pengaruh kebijakan regional yang dapat digunakan untuk penyelamatan usaha perikanan adalah dengan pendekatan minimum requirement approach (MRA) sebagaimana dikemukakan oleh Fauzi (2010). Instrumen ini dapat melengkapi instrumen location quotion (LQ) yang telah dikemukakan sebelumnya dan biasa dikenal di ekonomi regional. Pada prinsipnya konsep MRA berhubungan dengan teori basis ekonomi (economic base theory), karena salah satu output dari MRA adalah pengganda basis yang menunjukan koefisien basis ekonomi. Nilai tersebut dapat dijadikan dasar bagi pengambilan keputusan atau kebijakan disektor perikanan. d. Perlu dikembangkan kebijakan yang bersifat mengantisipasi kondisi kontroversial suatu kebijakan nasional bila diberlakukan di kawasan. Dalam lingkup regional, perlu ditetapkan langkah antisipasi terhadap kebijakan moneter yang kontroversial, sedangkan dalam lingkup mikro (Kabupaten Belitung) perlu diambil langkah antisipasi terhadap kebijakan fiskal yang dapat merugikan usaha perikanan tangkap yang dilakukan nelayan sekitar. 151

175 Dalam kaitan dengan trade (perdagangan), Pemerintah Daerah juga perlu membuat kebijakan sektoral yang merupakan turunan dari kebijakan nasional terkait usaha ekonomi, sehingga pelaku trade (perdagangan) produk perikanan di kawasan mempunyai panduan dalam melaksanakan bisnis perikanan. Terhadap kebijakan nasional yang dianggap terlalu kaku, Pemerintah Daerah harus dapat memberi pemecahan yang tepat sesuai dengan kewenangannya sehingga kegiatan trade (perdagangan) tersebut dapat terus berjalan dan mendukung pembangunan perikanan tangkap Kabupaten Belitung dan regional Provinsi Bangka Belitung. e. Pemerintah Daerah perlu mengembangkan jalur-jalur perdagangan produk perikanan yang permanen dan jangka panjang, dimana Pemerintah Daerah harus mengambil peran lebih baik tidak hanya sebagai pengawas perdagangan produk, tetapi juga bisa membuat Memorandum of Understanding (MoU) atau kesepakatan perdagangan produk dengan pasar-pasar strategis seperti dengan Singapura, Batam, dan Jakarta. Hal ini penting agar semua usaha perikanan yang ada baik besar maupun kecil mempunyai kepastian pasar terhadap produk perikanan yang dihasilkannya. Pemerintah Daerah kemudian secara intensif mensosialisasikan standar dan ketentuan penanganan produk yang dipersyaratkan. Bila hal ini bisa dilakukan, maka potensi perikanan regional seperti dari Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Belitung Timur dan lainnya dapat ditarik untuk memanfaatkan jalur perdagangan tersebut. f. Perlu diciptakannya kondisi yang kondusif untuk terlaksananya kegiatan pelayanan jasa di kawasan, baik jasa pelabuhan, transportasi udara, darat, dan laut, jasa komunikasi, dan jasa pelayanan lainnya. Dalam konteks ekonomi regional, hal ini dapat dilakukan dengan pemberian jaminan usaha kepada investor terutama yang berasal dari luar untuk menggerakkan aktivitas ekonomi kawasan terutama di sektor perikanan, mengembangkan produk berkualitas yang bisa dilepas ke pasar nasional dan global, meningkatkan intensitas perdagangan antar daerah dalam regional Provinsi Bangka Belitung, mengintensifkan kegiatan promosi potensi daerah terutama di sektor perikanan kepada masyarakat luas, dan lainnya. 152

176 g. Menciptakan iklim investasi yang kondusif dan mendorong investasi ramah sosial, terutama dalam soal stabilitas keamanan, kelengkapan infrastruktur, aturan birokrasi serta mudahnya untuk mendapatkan data dan informasi yang akurat, baik menyangkut data potensi produk, wilayah dan pasar, sehingga pihak investor tidaklah menjadi sulit untuk mengembangkan usahanya terutama di bidang perikanan. h. Dalam perencanaan pengembangan perikanan yang berkelanjutan ke depan, pemerintah daerah juga perlu mengamati indikator kapasitas perikanan melalui pengukuran pemanfaatan kapasitas (Capacity Utilization=CU) seperti yang dikemukakan Fauzi (2010). CU merupakan rasio antara output aktual (observed output) dengan output sesuai kapasitas (capacity output). Jika rasionya lebih kecil dari satu (CU<1) menunjukkan terjadinya excess capacity (kapasitas lebih, yaitu perbedaan antara ouput potensial maksimum dengan produksi aktual), sedangkan bila kebalikannya yaitu 1/CU menunjukkan ouput yang dapat dihasilkan jika kapasitas eksistensi digunakan secara optimal. Dengan melakukan pengukuran capacity utilization (CU), maka dapat ditentukan investasi yang tepat bagi pengembangan sektor perikanan. Selain itu daya dorong sektor perikanan perlu dikembangkan dengan memberikan insentif fiskal bagi sektor perikanan. 153

177 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut, Stok sumberdaya ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, udang dan biota laut non ikan masih memadai dalam mendukung pengembangan perikanan terpadu di Kabupaten Belitung, yang ditunjukkan oleh nilai MSY yang cukup tinggi dengan tingkat pemanfaatan yang masih di bawah 100 %. Nilai MSY dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan Kabupaten Belitung adalah 50099,16 ton dan 19,91 % untuk ikan pelagis besar, 7237,78 ton dan 77,56 % untuk ikan pelagis kecil, 10671,05 ton dan 49,58 % untuk ikan demersal, serta 2102,80 ton dan 38,34 % untuk udang dan biota laut non ikan. Jenis usaha perikanan tangkap yang layak dan dapat dijadikan unggulan di Kabupaten Belitung adalah pancing tonda, payang, jaring insang hanyut (JIH), sero, pukat pantai, bubu, dan trammel net. Ketujuh jenis usaha perikanan tangkap tersebut mempunyai nilai NPV, B/C ratio, IRR, ROI, dan PP yang sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Hasil analisis kewilayahan menunjukkan Kecamatan Sijuk dapat menjadi wilayah basis pengembangan usaha perikanan pancing tonda, sero, dan bubu, Kecamatan Tanjung Pandan menjadi wilayah basis pengembangan usaha perikanan payang dan jaring insang hanyut (JIH), Kecamatan Badau menjadi wilayah basis pengembangan usaha perikanan trammel net, dan Kecamatan Membalong menjadi wilayah basis pengembangan pukat pantai. Di wilayah basisnya, usaha perikanan pancing tonda, sero, bubu, payang dan jaring insang hanyut (JIH), trammel net, dan pukat pantai mempunyai nilai LQ masing-masing 2,49, 1,32, 1,61, 1,88, 184, 2,83, dan 5,40, sedangkan nilai pertumbuhan tenaga kerja masing-masing 165 orang/tahun, 140 orang/tahun, 176 orang/tahun, 173 orang/tahun, 182 orang/tahun, 77 orang/tahun, dan 31 orang/tahun. Beberapa kebijakan strategis yang dianggap perlu bagi pembangunan perikanan tangkap terpadu sebagai trade-off ekonomi yang tepat di kawasan

178 adalah: (1) kebijakan teknis pengembangan perikanan berdasarkan wilayah basis, (2) kebijakan penyelamatan pemasaran produk perikanan daerah dan usaha perikanan unggulan terutama bila kondisi ekonomi dan keuangan global tidak stabil, (3) kebijakan antisipasi kondisi kontroversial suatu kebijakan nasional bila diberlakukan di kawasan, (4) kebijakan pengembangan jalur-jalur perdagangan produk perikanan yang permanen dan jangka panjang, dimana Pemerintah Daerah mengambil peran aktif sebagai pengawas dan penggagas kesepakatan perdagangan dengan pasar-pasar strategis, dan (5) Kebijakan yang menjamin terciptanya kondisi kondusif kegiatan pelayanan jasa yang mendukung pembangunan perikanan baik jasa pelabuhan, transportasi udara, darat, dan laut, jasa komunikasi, dan jasa pelayanan lainnya. 8.2 Saran Beberapa hal yang dapat disarankan terkait penelitian ini adalah : 1. Stok sumberdaya ikan yang ada perlu dibakukan oleh Pemerintah Daerah agar dapat dijadikan rujukan teknis dalam setiap upaya pemanfaatan di perairan Kabupaten Belitung. 2. Dalam mengembangkan sektor perikanan di daerah, hendaknya memperhatikan keterkaitan dengan aspek makro yakni kebijakan fiskal dan moneter serta keterkaitan dengan regional development 3. Tujuh usaha perikanan tangkap yang layak dan unggulan hendaknya dijadikan sebagai sasaran utama pembangunan perikanan, dan wilayah basisnya hendaknya sesuai dengan lokasi pilot project pembangunan tersebut, sehingga mendapat dukungan penuh dari masyarakat dan bertahan lama. 4. Supaya dapat diaplikasikan secara nyata, kebijakan strategis pembangunan perikanan tangkap terpadu, harus memperhatikan ketersediaan sumber daya dan dinamika usaha yang terjadi di daerah. 5. Penelitian lanjutan diharapkan menjelaskan aspek kewilayahan berdasarkan kondisi biofisik perairan, dengan memperhatikan pula variable lainnya seperti kegiatan ekonomi penunjang dan pesaing yang ada. 156

179 DAFTAR PUSTAKA Aarset, B. and S. Jakobsen Political regulation and radical institutional change: The case of aquaculture in Norway. Marine Policy (33): Andrianto, L Agenda Makro Revitalisasi Perikanan yang Berkelanjutan. Inovasi 6(12): Ayodhyoa, A.U Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor, hal 97. Aziz, K.A Pendugaan Stok Populasi Ikan Tropis. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor, hal 251. Bahari, R Peran Koperasi Perikanan dalam Pengembangan Perikanan Rakyat. Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Rakyat. Jakarta, Desember Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertaninan. Jakarta, hal 3 dan 7. Barus, H.R., Badrudin dan N. Naamin Prosiding Forum II Perikanan, Sukabumi, Juni Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta, hal 27. Brady, M.and W. Staffan Fixing problems in fisheries - integrating ITQs, CBM and MPAs in management. Marine Policy: Charles, A.T., 2001, Suistainable Fishery Systems, Canada, Blackwell Science Ltd:370. Clark, C.W., 1985, Bioeconomic Modelling and Fisheries Management, Canada, John Wiley and Sons: Cochrane, K. L A Fishery Manager s Guidebook. Management Measures and Their Application. Senior Fishery Resources Officer. Fishery Resources Division, FAO Fisheries Department. Rome. 231p. Crosoer, D., L.v. Sittert and S. Ponte The integration of South African fisheries into the global economy: Past, present and future. Marine Policy (30):8 29 Dahuri, R Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 411 hal.

180 Dahuri, R Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan, Bogor, IPB. hal Dahuri, R Kebijakan dan Program Pengembangan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Jurnal Pesisir dan Lautan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor, hal 47. DKP Kabupaten Belitung Statistik Perikanan Tahun 2008 Kabupaten Belitung. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung. Tanjung Pandan. 48 hal. DKP Kabupaten Belitung Statistik Perikanan Tahun 2007 Kabupaten Belitung. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung. Tanjung Pandan. 52 hal. DKP Kabupaten Belitung Statistik Perikanan Tahun 2006 Kabupaten Belitung. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung. Tanjung Pandan. 56 hal. DKP Kabupaten Belitung Statistik Perikanan Tahun 2005 Kabupaten Belitung. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung. Tanjung Pandan. 40 hal. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Rencana Strategis Pembangunan Perikanan tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 9 hal. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 63 hal. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Statistik Perikanan Tahun 2007 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu. Pelabuhan Ratu. Sukabumi. 45 hal. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 48 hal. Echols, J.M. dan H. Shadily Kamus Inggris Indonesia. Cetakan ke XXI. PT Gramedia. Jakarta. 660 hal. Elfindri Ekonomi Patron-klien. Fenomena Mikro Rumah Tangga Nelayan dan Kebijakan Makro. Andalas University Press. 120 hal. Eriyanto, 1999, Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen, Bogor, IPB Press, p147. Fauzi, A Ekonomi Perikanan; Teori, Kebijakan dan Pengelolaan. PT. Gramedia Pustaka. Jakarta. 224 hal. 158

181 Fauzi, A Kebijakan Perikanan dan Kelautan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. hal Fauzi, A. dan S. Anna Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 343 hal. Fauzi, A Mikro-Makro Link dalam Perikanan. Paper disampaikan pada Seminar Perikda Provinsi Banten. 25 hal. Ferdinand, A Structural Equation Modeling dalam Penelitian Manajemen. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang. 390 hal. Ghozali, I Structural Equation Modeling Metode Alternatif dengan Partial Least Square (PLS). Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 214 hal. Gibbs, M.T Lesser-known consequences of managing marine fisheries using individual transferable quotas. Marine Policy (31): Glass, N.M Pro-active Management: How to Improve Your Management Performance. East Brunswick, NJ: Nichols Publishing:290 Haluan, J., W. Nurani, Wisudo, E.S. Wiyono dan Mustaruddin Manajemen Operasi: Teori dan Praktek pada Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. IPB. Bogor. 236 hal. Hartrisari Sistem Dinamik. Konsep Sistem dan Permodelan untuk Industri & Lingkungan. Seameo Biotrop. Bogor. 125 hal. Heazle, M. and J.G. Butcher Fisheries depletion and the state in Indonesia: Towards a regional regulatory regime. Marine Policy (31): Hilborn, R Defining success in fisheries and conflicts in objectives. Marine Policy (31): Johnson, G., K. Scholes, R.M. Sexty Exploring Strategic Management, Scarborough, Ontario: Prentice Hall. p37 Judith, A.R Natural Resources: Allocation, Economics and Policy, London: Methuen, p85. Kamaluddin, L.M Pembangunan Ekonomi Maritim di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 331 hal. Kartasasmita, G Pembangunan Untuk Rakyat. Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Cides, Jakarta. 517 hal. 159

182 Karyana, B Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Pelagis di Perairan Pantai Barat Kalimantan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (72): Kimker, A. L Tunner Crab Survival in Closed Pots. Alaska Fishery Research Bulletin 1 (2): Kuncoro, M Ekonomi Pembangunan. Teori, Masalah dan Kebijakan, UPP AMPYKPN Yogyakarta. 444 hal. Kusumastanto, T Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 160 hal. Le Floc h, P., F. Daure`s, C. Brigaudeau and J. Bihel A comparison of economic performance in the fisheries sector: A short- and long-term perspective. Elsevier. Marine Policy (32): Leadbitter, D. and T.J. Ward An evaluation of systems for the integrated assessment of capture fisheries. Elsevier. Marine Policy (31): Manetsch, PGW. and Park System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social Science. USA. Michigan State University. p78-81 Mashuri Pasang Surut Usaha Perikanan laut: Tinjauan Sosial Ekonomi Kenelayanan Jawa dan Madura , Masyarakat Indonesia. LIPI. Jakarta. 115 hal. Martosubroto, P., N. Naamin dan B. B. A. Malik Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Puslitbang Perikanan Puslitbang Oseanologi, LIPI. Jakarta. 104p. Mikalsen, K.H., Hernes H.K. and Jentoft S Leaning on user-groups: The role of civil society in fisheries governance. Marine Policy (31): Monintja, D Makalah Seminar Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap di Kabupaten Kupang, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. 25 hal. Muchtar, L Hasil Penelitian. Lembaga Penelitian Pengabdian Pengembangan Ekonomi dan Sosial Masyarakat (LP 3 ES) Universitas Riau Pekanbaru. 221 hal. Mueller, R.O Basic Principles of Structural Equation Modeling: An Introduction to LISREL and EQS. New York: Springer. 57 p. 160

183 Nataatmadja Mencari Akar dan Sumber Kemiskinan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Penanggulangan Kemiskinan, Mei 1991, dalam Kolopaking, LM dan Aminah (editor). Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB). 60 hal. Nielsen, J. Raakjær and M. Hara Transformation of South African industrial fisheries. Marine Policy (30):43 50 Nikijuluw, V. P. H Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Kerja sama Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R), dengan PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta. 254 hal. Nugroho, R.D., Analisis Kebijakan. PT.Elex Media Komputindo Jakarta. 305 hal. Panorel, A.R., 2000, Forging A Unified Fisheries Ordinance in Murcielagos Bay: Lessons in Satkeholders Cooperation, Philipina, Learning Regional Newsletter in CBCRM, p6-14. Pemerintah Kabupaten Belitung (2006). Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Belitung. Tanjung Pandan. 115 hal. Pinkerton, E. and L. John Creating local management legitimacy. Marine Policy 32, p Pramono, D Budaya Bahari. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 215 hal Rais, J Menata Ruang Laut Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta. 251 hal. Rawis, J Menjahit Laut yang Robek: Paradigma Archipelago State Indonesia. Yayasan Malesung. Jakarta. 315 hal. Richard, G. L., D.D. Purvis, P.O. Steiner, and P.N. Courant Pengantar Makroekonomi Bina Aksara Jakarta. 625 hal. Roger, K. M Strategic Market Planning. Allyn and Bacon. Simon and Schuster, Inc. 330 p Saaty, T.L Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. PT. Pustaka Binaman Pressindo, Gramedia, Jakarta. 270 hal. Satria, A dalam Pemimpi Perubahan, PR untuk Presiden RI Kotak Kita Press. Jakarta, hal

184 Schumann, S Co-management and consciousness : Fishers assimilation of management principles in Chile. Elsevier. Marine Policy (31): Sen, A Masih Adakah Harapan Bagi kaum Miskin? : Sebuah Perbincangan Tentang Etika dan Ilmu Ekonomi Di Fajar Milenium Bam, Pustaka Mizan. Jakarta. 320 hal. Sevilla, C. G., Ochave J.A., Punsalan T.G., Regala B.P., and Uriarte G.G An Introduction to Research Methods. University of the Philippine.Diliman, Quezon City. 420 p. Simatupang, T.M., 1995, Teori Sistem, Suatu Perspektif Teknik Industri, Yogyakarta, Andi Offset, 634 hal. Somantri, S. dan Victor P.H. Nikijuluw, 2007, Pengelolaan Perikanan Dalam Konteks Agenda Revitalisasi Perikanan dalam Sistem Alternatif Manajemen Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang disusun oleh Victor P.H. Nikijuluw, Jeti Poeloe, M. Nizar Dahlan dan Charles B. Purba. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal Stiglitz, J.E Economics of Public Sector, Third Edition. New York: W.W. Norton & Company. p76 Tamin, O.Z Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Ed ke-2. Bandung. ITB. 180 hal. Teh, L. and U.R. Sumaila Malthusian overfishing in Pulau Banggi?. Marine Policy (31): Todaro, M.P., Economic Development in the Third World, edisi ke 5, Longman, New York. P.69 Timah, Terobosan Strategis, Laporan Tahunan 2007 (Annual Report). Jakarta. 86 hal. Utne, I.B System evaluation of sustainability in the Norwegian codfisheries. Marine Policy (31): Wahyuni, M Pemanfaatan Hasil Perikanan secara Efisien Menuju Perbaikan Daya Saing Produk melalui Pengembangan Teknologi Pengolahan Nonkonvensional. Dalam Nikijuluw.V.P.H (Penyunting) Meningkatkan Nilai Tambah Perikanan. Satuan Kerja Ditjen P2HP, DKP. Jakarta. 161 hal. Wibisono, CY., M. Zunaidy dan S. Khabibah Atlas Lengkap. CV. Pradika. Jakarta. 40 hal. 162

185

186 Lampiran 1 Nilai CPUE untuk menentukan alat tangkap standar ikan pelagis besar Tahun HTs-PT Fes-PT CPUEs-PT HTs-Py Fes-Py CPUEs-Py (ton) (trip) (ton/trip) (ton) (trip) (ton/trip) Tahun HTs-JIT (ton) Fes-JIT (trip) CPUEs- JIT (ton/trip) HTs-JIL (ton) Fes-JIL (trip) CPUEs- JIL (ton/trip)

187 Tahun Lampiran 2. Nilai FPI alat tangkap ikan pelagis besar CPUEi- PT (ton/trip) FPIi- PT CPUEi- Py (ton/trip) FPIi-Py CPUEi- JIT (ton/trip) FPIi-JIT CPUEi- JIL (ton/trip) FPIi- JIL

188 Lampiran 3. Effort standar alat tangkap ikan pelagis besar Tahun FPIi-PT Fes-PT (trip) SE-PT (trip) FPIi-Py Fes-Py (trip) SE- Py(trip) Tahun FPIi-JIT Fes-JIT SE-JIT Fes-JIL SE-JIL FPIi-JIL (trip) (trip) (trip) (trip)

189 Lampiran 4. Penangkapan, CPUE dan MSY sumberdaya ikan pelagis besar Tahun HTs-total (ton) SE-Gab (trip) CPUE (ton/trip) Total Standar Deviasi Rata-rata Intercep (a) Slope (b) MSY F opt Pemanfaatan (%) 19.91% 170

190 Lampiran 5. Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis besar menggunakan pancing tonda Produksi (ton) Upaya Penangkapan (trip) HTs-PT (ton) Fes-PT (trip) Lampiran 6. Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis besar menggunakan payang Produksi (ton) Upaya Penangkapan (trip) HTs-Py (ton) Fes-Py (trip) 171

191 Lampiran 7. Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis besar menggunakan jaring insang tetap (JIT) Produksi (ton) Upaya Penangkapan (trip) HTs-JIT (ton) Fes-JIT (trip) Lampiran 8. Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis besar menggunakan jaring insang lingkar (JIL) Produksi (ton) Upaya Penangkapan (trip) HTs-JIL (ton) Fes-JIL (trip) 172

192 Lampiran 9. Nilai CPUE untuk menentukan alat tangkap standar ikan pelagis kecil CPUEs- JIL (ton/trip) CPUEs- Se (ton/trip) HTs- JIH (ton) CPUEs- JIH (ton/trip) HTs-JIL Fes-JIL HTs-Se Fes-Se Fes-JIH Tahun (ton) (trip) (ton) (trip) (trip) Tahun HTs-PP (ton) Fes-PP (trip) CPUEs- PP (ton/trip) HTs-BP (ton) Fes-BP (trip) CPUEs-BP (ton/trip) HTs- BT (ton) Fes-BT (trip) CPUEs- BT (ton/trip)

193 Lampiran 10. FPI alat tangkap ikan pelagis kecil Tahun CPUEs- JIL (ton/trip) FPIi-JIL CPUEs- Se (ton/trip) FPIi- Se CPUEs- JIH (ton/trip) FPIi- JIH Tahun CPUEs- PP (ton/trip) FPIi-PP CPUEs- BP (ton/trip) FPIi- BP CPUEs- BT (ton/trip) FPIi-BT

194 Lampiran 11. Effort standar alat tangkap ikan pelagis kecil Tahun FPIi-JIL Fes-JIL SE-JIL Fes-Se SE-Se FPIi-Se FPIi-JIH Fes-JIH SE-JIH (trip) (trip) (trip) (trip) (trip) (trip) Tahun Fes-PP SE-PP Fes-BP SE-BP Fes-BT SE-BT FPIi-PP (trip) (trip) FPIi-BP (trip) (trip) FPIi-BT (trip) (trip)

195 Lampiran 12. Produksi, upaya penangkapan, CPUE dan MSY sumberdaya ikan pelagis kecil Tahun HTs-total (ton) SE-Gab (trip) CPUE (ton/trip) Total Standar Deviasi Rata-rata Intercep (a) Slope (b) MSY F opt Pemanfaatan (%) 77.56% 176

196 Lampiran 13. Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis kecil menggunakan jaring insang lingkar (JIL) Produksi (ton) Upaya Penangkapan (trip) HTs-JIL (ton) Fes-JIL (trip) Lampiran 14. Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis kecil menggunakan sero Produksi (ton) Upaya Penangkapan (trip) HTs-Se (ton) Fes-Se (trip) 177

197 Lampiran 15. Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis kecil menggunakan jaring insang hanyut (JIH) Produksi (ton) Upaya Penangkapan (trip) HTs-JIH (ton) Fes-JIH (trip) Lampiran 16. Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis kecil menggunakan pukat pantai Produksi (ton) Tahun Upaya Penangkapan (trip) HTs-PP (ton) Fes-PP (trip) 178

198 Lampiran 17. Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis kecil menggunakan bagan perahu Produksi (unit) Tahun Upaya Penangkapan (trip) HTs-BP (ton) Fes-BP (trip) Lampiran 18. Trend produksi dan upaya penangkapan ikan pelagis kecil menggunakan bagan tancap Produksi (ton) Tahun Upaya Penangkapan (trip) HTs-BT (ton) Fes-BT (trip) 179

199 Lampiran 19. Nilai CPUE untuk menentukan alat tangkap standar ikan demersal Tahun HTs- Bu (ton) FEs-Bu (trip) CPUEs- Bu (ton/trip) HTs- Se (ton) FEs-Se (trip) CPUEs- Se (ton/trip) Tahun HTs- PT (ton) FEs-PT (trip) CPUEs- PT (ton/trip) HTs- Je (ton) FEs-Je (trip) CPUEs- Je (ton/trip)

200 Lampiran 20. FPI alat tangkap ikan demersal CPUEs- Bu (ton/trip) CPUEs- Se (ton/trip) FPIi- Se (trip) CPUEs- PT (ton/trip) FPIi- Tahun FPIi-Bu PT FPIi-Je CPUEs- Je (ton/trip) 181

201 Lampiran 21. Effort standar alat tangkap ikan demersal Tahun FPIi- Bu FEs-Bu (trip) SE-Bu (trip) FPIi- Se (trip) FEs-Se (trip) SE-Se (trip) Tahun FPIi-PT FEs-PT SE-PT FEs-Je SE-Je FPIi-Je (trip) (trip) (trip) (trip)

202 Lampiran 22. Produksi, upaya penangkapan, CPUE dan MSY sumberdaya ikan demersal Tahun HTs-total (ton) SE-Gab (trip) CPUE (ton/trip) Total Standar Deviasi Rata-rata Intercep (a) Slope (b) MSY F opt Pemanfaatan (%) 49.58% 183

203 Lampiran 23. Trend produksi dan upaya penangkapan ikan demersal menggunakan bubu Produksi (ton) Upaya Penangkapan (trip) HTs-Bu (ton) FEs-Bu (trip) Lampiran 24. Trend produksi dan upaya penangkapan ikan demersal menggunakan sero Produksi (ton) Upaya Penangkapan (trip) HTs-Se (ton) FEs-Se (trip) 184

204 Lampiran 25. Trend produksi dan upaya penangkapan ikan demersal menggunakan pancing tonda Produksi (ton) Upaya Penangkapan (trip) HTs-PT (ton) FEs-PT (trip) Lampiran 26. Trend produksi dan upaya penangkapan ikan demersal menggunakan jermal Produksi (ton) Upaya Penangkapan (trip) HTs-Je (ton) FEs-Je (trip) 185

205 Lampiran 27. Nilai CPUE untuk menentukan alat tangkap standar udang dan biota laut non ikan HTs- PU (ton) CPUEs- PU (ton/trip) HTs- TN (ton) FEs- TN (trip) CPUEs- TN (ton/trip) FEs-PU Tahun (trip)

206 Lampiran 28. FPI alat tangkap udang dan biota laut non ikan Tahun CPUEs-PU (ton/trip) FPIi-PU CPUEs-TN (ton/trip) FPIi-TN (trip)

207 Lampiran 29. Effort standar alat tangkap udang dan biota laut non ikan Tahun FPIi-PU FEs-PU (trip) SE-PU (trip) FPIi-TN (trip) FEs-TN (trip) SE-PU (trip)

208 Lampiran 30. Produksi, upaya penangkapan, CPUE dan MSY sumberdaya udang dan biota laut non ikan Tahun HTs-total (ton) SE-Gab (trip) CPUE (ton/trip) Total Standar Deviasi Rata-rata Intercep (a) Slope (b) MSY F opt Pemanfaatan (%) 38.34% 189

209 Lampiran 31. Trend produksi dan upaya penangkapan udang dan biota laut non ikan menggunakan pukat udang Produksi (ton) Upaya Penangkapan (trip) HTs-PU (ton) FEs-PU (trip) Lampiran 32. Trend produksi dan upaya penangkapan udang dan biota laut non ikan menggunakan trammel net Produksi (ton) Upaya Penangkapan (trip) HTs-TN (ton) FEs-TN (trip) 190

210 Lampiran 33. Trend produksi ikan total selama periode di Kabupaten Belitung Produksi (ton) Tahun Ikan Pelagis Besar Ikan Demersal Ikan Pelagis Kecil Udang dan Biota Laut Non Ikan Lampiran 34. Upaya Penangkapan (Effort) selama periode di Kabupaten Belitung Effort Gabungan (trip) Tahun Ikan Pelagis Ikan Pelagis Udang dan Biota Ikan Demersal Besar Kecil Laut Non Ikan

211 Lampiran 35. Upaya penangkapan standar (standard effort) gabungan dan setiap alat tangkap ikan pelagis besar di Kabupaten Belitung Standard Effort (trip) Tahun SE-PT (trip) SE-Py(trip) SE-JIT (trip) SE-JIL (trip) SE-Gab (trip) Lampiran 36. Upaya penangkapan standar (standard effort) gabungan dan setiap alat tangkap ikan pelagis kecil di Kabupaten Belitung Standard Effort (trip) Tahun SE-JIL (trip) SE-Se (trip) SE-JIH (trip) SE-PP (trip) SE-BP (trip) SE-BT (trip) SE-Gab (trip) 192

212 Lampiran 37. Upaya penangkapan standar (standard effort) gabungan dan setiap alat tangkap ikan demersal di Kabupaten Belitung Standard Effort (trip) Tahun SE-Bu (trip) SE-Se (trip) SE-PT (trip) SE-Je (trip) SE-Gab (trip) Lampiran 38. Upaya penangkapan standar (standard effort) gabungan dan setiap alat tangkap udang dan biota laut non ikan di Kabupaten Belitung Standard Effort (trip) Tahun SE-PU (trip) SE-PU (trip) SE-Gab (trip) 193

213 Lampiran 39. Hasil analisis kelayakan usaha perikanan pancing tonda Akhir Tahun PVi Bt Ct PVi*Bt PVi*Ct NPVi ,204,431-28,204,431 (28,204,431) ,814,734 16,452,585 32,766,809 15,484,786 17,282, ,572,489 19,037,991 34,168,018 16,864,103 17,303, ,584,195 19,978,139 33,835,307 16,655,904 17,179, ,616,322 18,802,954 31,870,204 14,754,019 17,116, ,124,520 19,273,028 33,324,827 14,233,289 19,091, ,953,471 17,627,770 31,245,653 12,252,472 18,993, ,524,372 12,927,031 26,510,244 8,456,608 18,053, ,328,213 16,922,659 21,751,547 10,419,265 11,332, ,503,693 12,927,031 13,619,954 7,490,975 6,128,979 NPV (0.095) 114,276,710 B/C 1.79 IRR 70.34% ROI 9.19 PP 0.11 Lampiran 40. Hasil analisis kelayakan usaha perikanan payang Akhir Tahun PVi Bt Ct PVi*Bt PVi*Ct NPVi ,092,767-28,092,767 (28,092,767) ,031,447 8,262,579 9,441,361 7,776,545 1,664, ,588,050 9,915,094 10,264,847 8,782,921 1,481, ,627,358 6,610,063 9,693,804 5,510,852 4,182, ,731,132 4,131,289 8,420,343 3,241,678 5,178, ,588,050 3,305,031 12,250,411 2,440,793 9,809, ,161,950 9,584,591 11,928,697 6,661,928 5,266, ,169,811 7,601,572 14,503,053 4,972,798 9,530, ,261,006 5,288,050 11,858,983 3,255,848 8,603, ,525,157 7,271,069 9,576,022 4,213,450 5,362,573 NPV (0.095) 22,987,942 B/C 1.31 IRR 18.04% ROI 3.49 PP

214 Lampiran 41. Hasil analisis kelayakan usaha perikanan jaring insang tetap (JIT) Akhir Tahun PVi Bt Ct PVi*Bt PVi*Ct NPVi ,397,799-31,397,799 (31,397,799) ,355,721 19,830,189 14,452,444 18,663,707 (4,211,263) ,603,234 23,135,220 14,707,363 20,493,482 (5,786,119) ,164,179 19,830,189 10,141,355 16,532,557 (6,391,202) ,992,537 16,525,157 10,979,453 12,966,711 (1,987,258) ,151,741 16,029,403 12,666,701 11,837, , ,791,045 15,698,899 11,670,893 10,911, , ,159,204 18,177,673 12,533,573 11,891, , ,833,333 19,830,189 12,827,064 12,209, , ,050,995 18,177,673 10,460,217 10,533,625 (73,408) NPV (0.095) (46,999,345) B/C 0.70 IRR % ROI 3.52 PP 0.28 Lampiran 42. Hasil analisis kelayakan usaha perikanan jaring insang lingkar (JIL) Akhir Tahun PVi Bt Ct PVi*Bt PVi*Ct NPVi ,034,483-21,034,483 (21,034,483) ,517,241 5,258,621 4,251,521 4,949,290 (697,769) ,681,034 6,310,345 4,146,522 5,589,786 (1,443,265) ,224,138 3,681,034 3,521,691 3,068, , ,603,448 3,155,172 3,612,164 2,475,753 1,136, ,448,276 3,838,793 4,023,596 2,834,980 1,188, ,784,483 4,206,897 3,325,534 2,924, , ,939,655 4,995,690 3,231,425 3,268,082 (36,657) ,336,207 6,573,276 3,285,498 4,047,160 (761,662) ,258,621 7,887,931 3,047,273 4,570,910 (1,523,637) NPV (0.095) (22,318,194) B/C 0.59 IRR 0.00% ROI 1.54 PP

215 Lampiran 43. Hasil analisis kelayakan usaha perikanan jaring insang hanyut (JIH) Akhir Tahun PVi Bt Ct PVi*Bt PVi*Ct NPVi ,322,473-40,322,473 (40,322,473) ,326,463 28,225,731 23,836,671 26,565,394 (2,728,723) ,499,335 26,209,608 42,075,536 23,216,815 18,858, ,956,117 16,935,439 34,979,087 14,119,185 20,859, ,972,074 10,080,618 25,872,031 7,909,908 17,962, ,420,213 8,064,495 27,635,133 5,955,695 21,679, ,416,223 10,887,068 34,347,562 7,567,236 26,780, ,561,170 14,112,866 21,300,874 9,232,358 12,068, ,586,436 20,564,461 24,373,332 12,661,520 11,711, ,322,473 24,999,934 23,366,126 14,486,998 8,879,128 NPV (0.095) 95,748,768 B/C 1.59 IRR 38.81% ROI 6.39 PP 0.16 Lampiran 44. Hasil analisis kelayakan usaha perikanan sero Akhir Tahun PVi Bt Ct PVi*Bt PVi*Ct NPVi ,953,689-64,953,689 (64,953,689) ,409,836 60,314,139 89,797,493 56,766,249 33,031, ,372,951 46,395,492 89,797,493 41,097,737 48,699, ,028,689 37,116,393 91,731,632 30,944,178 60,787, ,639,344 18,558,197 38,165,588 14,561,966 23,603, ,295,082 31,548,934 88,838,901 23,299,146 65,539, ,602,459 23,197,746 77,571,132 16,123,976 61,447, ,680,328 21,341,926 70,442,344 13,961,467 56,480, ,487,705 19,486,107 69,258,574 11,997,577 57,260, ,790,984 18,558,197 53,770,655 10,754,131 43,016,524 NPV (0.095) 384,913,697 B/C 2.35 IRR 76.60% ROI PP

216 Lampiran 45. Hasil analisis kelayakan usaha perikanan pukat pantai Akhir Tahun PVi Bt Ct PVi*Bt PVi*Ct NPVi ,260, ,260,400 (174,260,400) ,062, ,624, ,294, ,587,576 (4,293,459) ,640, ,574, ,580, ,864,858 2,715, ,037, ,159, ,080, ,519,548 (8,439,027) ,287, ,523, ,078,682 95,355,386 14,723, ,890, ,109, ,956,482 93,132,897 16,823, ,765, ,645, ,047,302 79,685,901 31,361, ,400, ,038, ,123,782 97,498,043 84,625, ,100, ,523, ,825,256 74,822,028 65,003, ,290, ,645, ,869,306 66,434,653 66,434,653 NPV (0.095) 94,694,920 B/C 1.09 IRR 12.60% ROI 6.66 PP 0.15 Lampiran 46. Hasil analisis kelayakan usaha perikanan bagan perahu Akhir Tahun PVi Bt Ct PVi*Bt PVi*Ct NPVi ,898,905-8,898,905 (8,898,905) ,378,686 8,009,014 4,121,116 7,537,896 (3,416,780) ,369,840 5,784,288 3,870,862 5,123,798 (1,252,937) ,469,334 3,559,562 2,892,407 2,967,630 (75,223) ,471,104 2,224,726 2,723,653 1,745, , ,991,702 1,112,363 3,686, ,489 2,864, ,382, ,385 2,351, ,460 1,701, ,008, ,407 2,622, ,826 2,127, ,042, ,945 2,488, ,952 2,215, ,449, ,473 2,578, ,919 2,449,456 NPV (0.095) (1,306,998) B/C 0.95 IRR 4.57% ROI 3.07 PP

217 Lampiran 47. Hasil analisis kelayakan usaha perikanan bagan tancap Akhir Tahun PVi Bt Ct PVi*Bt PVi*Ct NPVi ,343,850-9,343,850 (9,343,850) ,024,984 8,009,014 1,905,867 7,537,896 (5,632,029) ,852,728 5,784,288 3,412,798 5,123,798 (1,711,001) ,871,795 3,782,035 2,394,234 3,153,107 (758,873) ,514,135 2,224,726 1,972,754 1,745, , ,742,275 1,112,363 1,286, , , ,437, , , , , ,619, ,912 1,059, , , ,621, , , , , ,223, ,967 2,447, ,703 2,292,759 NPV (0.095) (12,761,958) B/C 0.56 IRR % ROI 1.76 PP 0.57 Lampiran 48. Hasil analisis kelayakan usaha perikanan bubu Akhir Tahun PVi Bt Ct PVi*Bt PVi*Ct NPVi ,779,781-1,779,781 (1,779,781) ,910,759 1,423,825 1,798,361 1,340, , ,611,289 1,067,869 1,427, , , ,954,329 1,334,836 1,629,337 1,112, , ,128,806 1,112,363 1,670, , , ,196, ,418 1,622, ,894 1,129, ,213, ,945 1,538, ,267 1,228, ,520,699 1,023,374 1,648, , , ,681, ,890 1,650, ,905 1,103, ,481,926 1,156,858 1,438, , ,853 NPV (0.095) 5,682,810 B/C 1.65 IRR 43.44% ROI 8.10 PP

218 Lampiran 49. Hasil analisis kelayakan usaha perikanan jermal Akhir Tahun PVi Bt Ct PVi*Bt PVi*Ct NPVi ,719,250-46,719,250 (46,719,250) ,409,091 11,123,631 6,973,262 10,469,300 (3,496,038) ,909,091 2,892,144 6,120,164 2,561,899 3,558, ,454,545 1,557,308 5,381,196 1,298,338 4,082, ,363,636 1,112,363 5,777, ,832 4,905, ,000,000 1,245,847 4,431, ,068 3,510, ,681,818 1,067,869 3,949, ,240 3,207, ,000,000 2,892,144 3,925,082 1,891,984 2,033, ,454,545 2,803,155 3,974,058 1,725,900 2,248, ,818,182 5,472,826 3,371,529 3,171, ,127 NPV (0.095) (26,469,645) B/C 0.62 IRR -9.00% ROI 0.94 PP 1.06 Lampiran 50. Hasil analisis kelayakan usaha perikanan pukat udang Akhir Tahun PVi Bt Ct PVi*Bt PVi*Ct NPVi ,898,905-8,898,905 (8,898,905) ,730,001 5,339,343 1,628,236 5,025,264 (3,397,028) ,099,574 3,337,089 1,859,830 2,956,038 (1,096,207) ,022,818 1,557, ,730 1,298,338 (445,608) ,129,539 1,112,363 1,670, , , ,270, ,418 1,676, ,894 1,183, ,230, , , , , ,994 1,156, , ,793 (187,007) ,860 1,512,814 74, ,438 (857,024) ,605 1,957, ,954 1,134,485 (936,531) NPV (0.095) (13,290,303) B/C 0.41 IRR 0.00% ROI 1.05 PP

219 Lampiran 51. Hasil analisis kelayakan usaha perikanan trammel net Akhir Tahun PVi Bt Ct PVi*Bt PVi*Ct NPVi ,339,343-5,339,343 (5,339,343) ,323,923 1,423,825 2,187,222 1,340, , ,216,155 1,334,836 1,077,287 1,182,415 (105,129) ,019, ,890 1,683, , , ,026, ,225 1,590, ,110 1,433, ,306, ,956 1,703, ,877 1,440, ,762, ,418 1,225, , , ,898, ,473 1,242, ,537 1,096, ,497, , , , , ,007, ,923 1,163, , ,331 NPV (0.095) 2,691,128 B/C 1.27 IRR 15.17% ROI 2.40 PP

220 Lampiran 52. Sebaran tenaga kerja nelayan di Kabupaten Belitung Usaha Perikanan Tangkap Kec. Sijuk Jumlah Tenaga Kerja Nelayan (orang) Kec. Tanjung Pandan Kec. Badau Kec. Membalong Total Nelayan Per Usaha Pancing Tonda Payang JIH Sero Pukat Pantai Bubu Trammel Net Total

221 Lampiran 53. Hasil analisis model micro-macro link I (sebagian) Your model contains the following variables X4 observed endogenous X3 observed endogenous X2 observed endogenous X1 observed endogenous Wilayah Basis observed endogenous Res Base observed endogenous Ser Base observed endogenous Moneter observed endogenous Growth observed endogenous Fiskal observed endogenous X5 observed endogenous X6 observed endogenous GDP observed exogenous Usaha_Perikanan_Belitung unobserved endogenous Ekonomi_Regional Babel unobserved endogenous Kebijakan_Nasional unobserved endogenous Trade unobserved endogenous d4 unobserved exogenous d3 unobserved exogenous d2 unobserved exogenous d1 unobserved exogenous e1 unobserved exogenous e2 unobserved exogenous e4 unobserved exogenous e5 unobserved exogenous Market_Output unobserved exogenous Market_Input unobserved exogenous Z1 unobserved exogenous Z2 unobserved exogenous e3 unobserved exogenous Number of variables in your model: 30 Number of observed variables: 13 Number of unobserved variables: 17 Number of exogenous variables: 14 Number of endogenous variables:

222 Summary of Parameters Weights Covariances Variances Means Intercepts Total Fixed Labeled Unlabeled Total The model is nonrecursive. Sample size = 183 Computation of degrees of freedom Number of distinct sample moments = 91 Number of distinct parameters to be estimated = 38 Degrees of freedom = = 53 Minimum was achieved Chi-square = Degrees of freedom = 53 Probability level = Regression Weights Estimate S.E. C.R. P Label Trade <-- Market_Input par-10 Usaha_Perikanan_Belitung <-- Kebijakan_Nas par-7 Usaha_Perikanan_Belitung <-- Market_Output par-8 Usaha_Perikanan_Belitung <-- Market_Input par-9 Fiskal <-- Kebijakan_Nasional X4 <-- Usaha_Perikanan_Belitung X3 <-- Usaha_Perikanan_Belitung par-1 X2 <-- Usaha_Perikanan_Belitung par-2 X1 <-- Usaha_Perikanan_Belitung par-3 Wilayah Basis <-- Usaha_Perikanan_Belitung par-4 Ser Base <-- Ekonomi_Regional Babel par-5 Moneter <-- Kebijakan_Nasional par-6 Wilayah Basis <-- Ekonomi_Regional Babel par-12 X5 <-- Fiskal par-13 X6 <-- Fiskal par-14 X6 <-- Market_Input X5 <-- Market_Output Wilayah Basis <-- Fiskal par

223 Growth <-- Trade Res Base <-- Ekonomi_Regional Babel Ekonomi_Regional Babel <-- Trade par-17 Kebijakan_Nasional <-- Ekonomi_Regional Babel par-21 Trade <-- Kebijakan_Nasional par-22 Standardized Regression Weights Estimate Trade <-- Market_Input Usaha_Perikanan_Belitung <-- Kebijakan_Nasional Usaha_Perikanan_Belitung <-- Market_Output Usaha_Perikanan_Belitung <-- Market_Input Fiskal <-- Kebijakan_Nasional X4 <-- Usaha_Perikanan_Belitung X3 <-- Usaha_Perikanan_Belitung X2 <-- Usaha_Perikanan_Belitung X1 <-- Usaha_Perikanan_Belitung Wilayah Basis <-- Usaha_Perikanan_Belitung Ser Base <-- Ekonomi_Regional Babel Moneter <-- Kebijakan_Nasional Wilayah Basis <-- Ekonomi_Regional Babel X5 <-- Fiskal X6 <-- Fiskal X6 <-- Market_Input X5 <-- Market_Output Wilayah Basis <-- Fiskal Growth <-- Trade Res Base <-- Ekonomi_Regional Babel Ekonomi_Regional Babel <-- Trade Kebijakan_Nasional <-- Ekonomi_Regional Babel Trade <-- Kebijakan_Nasional Covariances Estimate S.E. C.R. P Label Market_Output <--> Market_Input par-11 e3 <--> GDP par-18 e4 <--> Z par-15 e1 <--> GDP par-19 e2 <--> GDP par-20 d1 <--> Market_Output par-23 d4 <--> Market_Input par-24 Correlations Estimate 204

224 Market_Output <--> Market_Input e3 <--> GDP e4 <--> Z e1 <--> GDP e2 <--> GDP d1 <--> Market_Output d4 <--> Market_Input Variances Estimate S.E. C.R. P Label Market_Output par-25 Market_Input par-26 GDP par-27 Z par-28 Z par-29 e par-30 d par-31 d par-32 d par-33 d par-34 e par-35 e par-36 e par-37 e par-38 Total Effects - Estimates Market_Input Market_Output Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Fiskal Usaha_Perikanan_Belitung Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Fiskal Usaha_Perikanan_Belitung X X Growth Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X X X X

225 Direct Effects - Estimates Market_Input Market_Output Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Fiskal Usaha_Perikanan_Belitung Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Fiskal Usaha_Perikanan_Belitung X X Growth Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X X X X Indirect Effects - Estimates Market_Input Market_Output Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Fiskal Usaha_Perikanan_Belitung Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Fiskal Usaha_Perikanan_Belitung X X Growth Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X X X X Fit Measures Fit Measure Default model Saturated Independence Macro Discrepancy CMIN Degrees of freedom DF P P 206

226 Number of parameters NPAR Discrepancy / df CMINDF RMR RMR GFI GFI Adjusted GFI AGFI Parsimony-adjusted GFI PGFI Normed fit index NFI Relative fit index RFI Incremental fit index IFI Tucker-Lewis index TLI Comparative fit index CFI Parsimony ratio PRATIO Parsimony-adjusted NFI PNFI Parsimony-adjusted CFI PCFI Noncentrality parameter estimate NCP NCP lower bound NCPLO NCP upper bound NCPHI FMIN FMIN F F0 F0 lower bound F0LO F0 upper bound F0HI RMSEA RMSEA RMSEA lower bound RMSEALO RMSEA upper bound RMSEAHI P for test of close fit PCLOSE Akaike information criterion (AIC) AIC Browne-Cudeck criterion BCC Bayes information criterion BIC Consistent AIC CAIC Expected cross validation index ECVI ECVI lower bound ECVILO ECVI upper bound ECVIHI MECVI MECVI Hoelter.05 index HFIVE Hoelter.01 index HONE Execution time summary Minimization: Miscellaneous: Bootstrap: Total:

227 Lampiran 54. Hasil analisis model micro-macro link II Your model contains the following variables X4 observed endogenous X3 observed endogenous X2 observed endogenous X1 observed endogenous Wilayah Basis observed endogenous Res Base observed endogenous Ser Base observed endogenous Moneter observed endogenous Growth observed endogenous Fiskal observed endogenous X5 observed endogenous X6 observed endogenous GDP observed exogenous Usaha_Perikanan_Belitung unobserved endogenous Ekonomi_Regional Babel unobserved endogenous Kebijakan_Nasional unobserved endogenous Trade unobserved endogenous d4 unobserved exogenous d3 unobserved exogenous d2 unobserved exogenous d1 unobserved exogenous e1 unobserved exogenous e2 unobserved exogenous e4 unobserved exogenous e5 unobserved exogenous Market_Output unobserved exogenous Market_Input unobserved exogenous Z1 unobserved exogenous Z2 unobserved exogenous e3 unobserved exogenous Number of variables in your model: 30 Number of observed variables: 13 Number of unobserved variables: 17 Number of exogenous variables: 14 Number of endogenous variables: 16 Summary of Parameters Weights Covariances Variances Means Intercepts Total Fixed Labeled Unlabeled Total

228 The model is nonrecursive. Sample size = 183 Computation of degrees of freedom Number of distinct sample moments = 91 Number of distinct parameters to be estimated = 47 Degrees of freedom = = 44 Minimum was achieved Chi-square = Degrees of freedom = 44 Probability level = Stability index for the following variables is Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Regression Weights Estimate S.E. C.R. P Label Trade <-- Market_Input par-10 Ekonomi_Regional Babel<-- GDP par-25 Usaha_Perikanan_Belitung<--Kebijakan_Nasional par-7 Usaha_Perikanan_Belitung<--Market_Output par-8 Usaha_Perikanan_Belitung<--Market_Input par-9 X3 <-- Usaha_Perikanan_Belitung par-1 Fiskal <-- Kebijakan_Nasional Growth <-- Trade X4 <-- Usaha_Perikanan_Belitung X2 <-- Usaha_Perikanan_Belitung par-2 X1 <-- Usaha_Perikanan_Belitung par-3 Wilayah Basis <-- Usaha_Perikanan_Belitung par-4 Ser Base <-- Ekonomi_Regional Babel par-5 Moneter <-- Kebijakan_Nasional par-6 Wilayah Basis <-- Ekonomi_Regional Babel par-13 X5 <-- Fiskal par-14 X6 <-- Fiskal par-15 X6 <-- Market_Input X5 <-- Market_Output Wilayah Basis <-- Fiskal par-20 X5 <-- Growth par-21 X1 <-- X par-24 Res Base <-- Ekonomi_Regional Babel Ekonomi_Regional Babel<--Trade par

229 Kebijakan_Nasional<--Ekonomi_Regional Babel par-30 Trade <-- Kebijakan_Nasional par-31 Standardized Regression Weights Estimate Trade <-- Market_Input Ekonomi_Regional Babel <-- GDP Usaha_Perikanan_Belitung <-- Kebijakan_Nasional Usaha_Perikanan_Belitung <-- Market_Output Usaha_Perikanan_Belitung <-- Market_Input X3 <-- Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal <-- Kebijakan_Nasional Growth <-- Trade X4 <-- Usaha_Perikanan_Belitung X2 <-- Usaha_Perikanan_Belitung X1 <-- Usaha_Perikanan_Belitung Wilayah Basis <-- Usaha_Perikanan_Belitung Ser Base <-- Ekonomi_Regional Babel Moneter <-- Kebijakan_Nasional Wilayah Basis <-- Ekonomi_Regional Babel X5 <-- Fiskal X6 <-- Fiskal X6 <-- Market_Input X5 <-- Market_Output Wilayah Basis <-- Fiskal X5 <-- Growth X1 <-- X Res Base <-- Ekonomi_Regional Babel Ekonomi_Regional Babel <-- Trade Kebijakan_Nasional <-- Ekonomi_Regional Babel Trade <-- Kebijakan_Nasional Covariances Estimate S.E. C.R. P Label Market_Output<-->Market_Input par-11 Z1 <--> Z par-26 e3 <--> GDP par-23 d2 <--> d par-12 e4 <--> Z par-16 d4 <--> d par-17 d4 <--> d par-18 e2 <--> Market_Output par-19 e1 <--> GDP par-27 e2 <--> GDP par-28 e2 <--> e par-29 d1 <--> Market_Output par

230 d4 <--> Market_Input par-33 Correlations Estimate Market_Output <--> Market_Input Z1 <--> Z e3 <--> GDP d2 <--> d e4 <--> Z d4 <--> d d4 <--> d e2 <--> Market_Output e1 <--> GDP e2 <--> GDP e2 <--> e d1 <--> Market_Output d4 <--> Market_Input Variances Estimate S.E. C.R. P Label Market_Output par-34 Market_Input par-35 GDP par-36 Z par-37 Z par-38 d par-39 e par-40 e par-41 d par-42 d par-43 d par-44 e par-45 e par-46 e par-47 Squared Multiple Correlations Estimate Kebijakan_Nasional Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X Moneter Ser Base Res Base X X X

231 Implied Covariances - Estimates GDP Fiskal Growth X3 X6 X5 Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X1 X2 X4 GDP Fiskal Growth X X X Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X X X Implied Correlations - Estimates GDP Fiskal Growth X3 X6 X5 Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X1 X2 X4 GDP Fiskal Growth X X X

232 Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X X X Residual Covariances GDP Fiskal Growth X3 X6 X5 Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X1 X2 X4 GDP Fiskal Growth X X X Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X X X Standardized Residual Covariances 213

233 GDP Fiskal Growth X3 X6 X5 Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X1 X2 X4 GDP Fiskal Growth X X X Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X X X Factor Score Weights - Estimates GDP Fiskal Growth X3 X6 X5 Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X1 X2 X4 Market_Input Market_Output Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Total Effects - Estimates 214

234 GDP Market_Input Market_Output Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X3 Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X X X Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X X X Standardized Total Effects - Estimates GDP Market_Input Market_Output Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X3 Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X X X Moneter

235 Ser Base Res Base Wilayah Basis X X X Direct Effects - Estimates GDP Market_Input Market_Output Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X3 Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X X X Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X X X Standardized Direct Effects - Estimates GDP Market_Input Market_Output Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X3 Trade Kebijakan_Nasional

236 Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X X X Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X X X Indirect Effects - Estimates GDP Market_Input Market_Output Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X3 Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X X X Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis

237 X X X Standardized Indirect Effects - Estimates GDP Market_Input Market_Output Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X3 Trade Kebijakan_Nasional Ekonomi_Regional Babel Usaha_Perikanan_Belitung Fiskal Growth X X X Moneter Ser Base Res Base Wilayah Basis X X X Covariances among Estimates par-1 par-2 par-3 par-4 par-5 par-6 par-7 par-8 par-9 par-10 par-11 par-12 par-13 par-14 par-15 par-16 par-17 par-18 par-19 par-20 par-21 par-22 par-23 par-24 par-25 par-26 par-27 par-28 par-29 par-30 par-31 par-32 par-33 par-34 par-35 par-36 par-37 par-38 par-39 par-40 par-41 par-42 par-43 par-44 par-45 par-46 par-47 par

238 par par par par par par par par par par

239 par par par par par par par par par

240 par par par par par par par par par par

241 par par par par par par par par par

242 par par par par par par par par Correlations among Estimates par-1 par-2 par-3 par-4 par-5 par-6 par-7 par-8 par-9 par-10 par-11 par-12 par-13 par-14 par-15 par-16 par-17 par-18 par-19 par-20 par-21 par-22 par-23 par-24 par-25 par-26 par-27 par-28 par-29 par

243 par-31 par-32 par-33 par-34 par-35 par-36 par-37 par-38 par-39 par-40 par-41 par-42 par-43 par-44 par-45 par-46 par-47 par par par par par par par par par

244 par par par par par par par par par par

245 par par par par par par par par par

246 par par par par par par par par par par

247 par par par par par par par par par

248 Critical Ratios for Differences between Parameters par-1 par-2 par-3 par-4 par-5 par-6 par-7 par-8 par-9 par-10 par-11 par-12 par-13 par-14 par-15 par-16 par-17 par-18 par-19 par-20 par-21 par-22 par-23 par-24 par-25 par-26 par-27 par-28 par-29 par-30 par-31 par-32 par-33 par-34 par-35 par-36 par-37 par-38 par-39 par-40 par-41 par-42 par-43 par-44 par-45 par-46 par-47 par par par par par par par par

249 par par par par par par par par par par

250 par par par par par par par par par

251 par par par par par par par par par par

252 par par par par par par par par par

253 par Fit Measures Fit Measure Default model Saturated Independence Macro Discrepancy CMIN Degrees of freedom DF P P Number of parameters NPAR Discrepancy / df CMINDF RMR RMR GFI GFI Adjusted GFI AGFI Parsimony-adjusted GFI PGFI Normed fit index NFI Relative fit index RFI Incremental fit index IFI Tucker-Lewis index TLI Comparative fit index CFI Parsimony ratio PRATIO Parsimony-adjusted NFI PNFI Parsimony-adjusted CFI PCFI Noncentrality parameter estimate NCP NCP lower bound NCPLO NCP upper bound NCPHI FMIN FMIN F F0 F0 lower bound F0LO F0 upper bound F0HI RMSEA RMSEA RMSEA lower bound RMSEALO RMSEA upper bound RMSEAHI P for test of close fit PCLOSE Akaike information criterion (AIC) AIC Browne-Cudeck criterion BCC Bayes information criterion BIC Consistent AIC CAIC Expected cross validation index ECVI ECVI lower bound ECVILO 234

254 ECVI upper bound ECVIHI MECVI MECVI Hoelter.05 index HFIVE Hoelter.01 index HONE Fit Measures CMIN DF P NPAR CMINDF RMR GFI AGFI PGFI NFI RFI IFI TLI CFI PRATIO PNFI PCFI NCP NCPLO NCPHI FMIN F0 F0LO F0HI RMSEA RMSEALO RMSEAHI PCLOSE AIC BCC BIC CAIC ECVI ECVILO ECVIHI MECVI HFIVE HONE Default model Saturated Independence Execution time summary Minimization: Miscellaneous: Bootstrap: Total:

255 Lampiran 55. Dokumentasi kegiatan penelitian lapangan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tanjung Pandan Puskesmas pembantu untuk nelayan Fasilitas SPBU untuk kegiatan perikanan tangkap Mobil penyedia air bersih untuk kegiatan perikanan tangkap Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Tanjung Pandan Kios penyedia peralatan pendukung penangkapan di Membalong 236

256 Kios penyedia peralatan pendukung penangkapan di Tanjung Pandan Alat tangkap bubu di Sijuk Handling hasil tangkap dari kapal/armada di Badau Alat tangkap jaring insang di Tanjung Pandan Armada penangkapan ikan yang siang berangkat melaut di Tanjung Pandan Armada penangkapan ikan yang bersandar di Sijuk 237

257 Hasil tangkapan ikan pelagis besar Ikan pelagis kecil yang siap dipasarkan Hasil tangkapan biota laut non ikan (jenis udang) Penanganan hasil tangkapan ukuran besar Bengkel yang mendukung usaha perikanan tangkap Pelabuhan pendaratan ikan di Tanjung Pandan 238

BULETIN PSP ISSN: X Volume XIX No. 1 Edisi April 2011 Hal 39-51

BULETIN PSP ISSN: X Volume XIX No. 1 Edisi April 2011 Hal 39-51 BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume XIX No. 1 Edisi April 2011 Hal 39-51 ANALISIS KESESUAIAN ALAT TANGKAP DENGAN KEWILAYAHAN DALAM MENUNJANG PEMBANGUNAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN BELITUNG (Analysis

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung 6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung Supaya tujuh usaha perikanan tangkap yang dinyatakan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Belitung yang meliputi wilayah laut dan pesisir. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sijuk, Kecamatan

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

7 PENGEMBANGAN KEBIJAKAN STRATEGIS DENGAN KONSEP MICRO-MACRO LINK

7 PENGEMBANGAN KEBIJAKAN STRATEGIS DENGAN KONSEP MICRO-MACRO LINK 7 PENGEMBANGAN KEBIJAKAN STRATEGIS DENGAN KONSEP MICRO-MACRO LINK 7. Model Micro-Macro Link Pembangunan Perikanan Tangkap Model micro-macro link (MML) ini dikembangkan untuk memudahkan penyusunan rekomendasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

MODEL MICRO-MACRO LINK PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN BELITUNG

MODEL MICRO-MACRO LINK PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN BELITUNG MODEL MICRO-MACRO LINK PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN BELITUNG (Macro-Micro Linkage Model for the Development of Fishery Policy in Belitung) M. Nizar Dahlan, B. Wiryawan 2, B. Murdiyanto

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perikanan tangkap kini dihadang dengan isu praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau yang disebut IUU (Illegal, Unreported, and

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim terbesar ketiga di dunia yang memiliki luas laut mencapai 7.827.087 km 2 dengan jumlah pulau sekitar 17.504 pulau. Garis pantainya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 3 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu provinsi yang masih relatif muda. Perjuangan keras Babel untuk menjadi provinsi yang telah dirintis sejak

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang 108.000 km, serta

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN Adrian A. Boleu & Darius Arkwright

ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN Adrian A. Boleu & Darius Arkwright ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN 2007 2008 Adrian A. Boleu & Darius Arkwright Abstract Small pelagic fishing effort made bythe fishermen in North Halmahera

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Andi Adam Malik, Henny Setiawati, Sahabuddin Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan Indonesia dalam era perdagangan bebas mempunyai peluang yang cukup besar. Indonesia merupakan negara bahari yang sangat kaya dengan potensi perikananan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 16 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Halmahera Utara sebagai salah satu kabupaten kepulauan di Provinsi Maluku Utara, memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 44 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Selat Malaka Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dan merupakan satu bagian dengan dataran utama Asia serta

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan yang berkaitan dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan panjang garis pantai yang mencapai 95.181 km 2, yang menempatkan Indonesia berada diurutan keempat setelah Rusia,

Lebih terperinci

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Maspari Journal 03 (2011) 24-29 http://masparijournal.blogspot.com Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Onolawe Prima Sibagariang, Fauziyah dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA

PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA FISHING FLEET PRODUCTIVITY AND POTENTIAL PRODUCTION OF SHRIMP FISHERY IN THE ARAFURA SEA ABSTRAK Purwanto Anggota Komisi

Lebih terperinci

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR Nurul Rosana, Viv Djanat Prasita Jurusan Perikanan Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang

Lebih terperinci

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 5.1 Pendahuluan Armada penangkapan yang dioperasikan nelayan terdiri dari berbagai jenis alat tangkap,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

C E =... 8 FPI =... 9 P

C E =... 8 FPI =... 9 P 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan yang meliputi studi literatur, pembuatan proposal, pengumpulan data dan penyusunan laporan. Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis pantai 91.000

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Visi pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia adalah bahwa wilayah pesisir dan laut beserta segenap sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP SEKOLAH PASCA SARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 OPTIMISASI PERIKANAN

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac. KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta rinda@ut.ac.id ABSTRAK Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh dikawasan

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA Oleh : Dr. Dina Sunyowati,SH.,MHum Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum-Universitas Airlangga Email : dinasunyowati@gmail.com ; dina@fh.unair.ac.id Disampaikan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.307, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Kapal Penangkap. Pengangkut. Ikan. Pemantau. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2013

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu pulau. Kenyataan ini memungkinkan timbulnya struktur kehidupan perairan yang memunculkan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI UNTUK SEKTOR PERIKANAN DI PROVINSI GORONTALO

ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI UNTUK SEKTOR PERIKANAN DI PROVINSI GORONTALO Perencanaan Energi Provinsi Gorontalo 2000-2015 ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI UNTUK SEKTOR PERIKANAN DI PROVINSI GORONTALO Hari Suharyono Abstract Gorontalo Province has abundace fishery sources, however the

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdapat dalam sektor perikanan dan kelautan yang meliputi beberapa elemen sebagai subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi

Lebih terperinci

ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO

ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO 1 ANALISIS INVESTASI OPTIMAL PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO SUDARMIN PARENRENGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2

Lebih terperinci

TARGET INDIKATOR KETERANGAN

TARGET INDIKATOR KETERANGAN TARGET INDIKATOR KETERANGAN 14.1 Pada tahun 2025, mencegah dan secara signifikan mengurangi semua jenis pencemaran laut, khususnya dari kegiatan berbasis lahan, termasuk sampah laut dan polusi nutrisi.

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan pembangunan karena investasi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Era

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut Arafura merupakan salah satu bagian dari perairan laut Indonesia yang terletak di wilayah timur Indonesia yang merupakan bagian dari paparan sahul yang dibatasi oleh

Lebih terperinci

POSITION PAPER KPPU TERKAIT KEBIJAKAN KLASTER PERIKANAN TANGKAP

POSITION PAPER KPPU TERKAIT KEBIJAKAN KLASTER PERIKANAN TANGKAP POSITION PAPER KPPU TERKAIT KEBIJAKAN KLASTER PERIKANAN TANGKAP KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA 2010 1 POSITION PAPER KPPU TERKAIT KEBIJAKAN KLASTER PERIKANAN TANGKAP Sektor perikanan

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN Potensi dan Tantangan DI INDONESIA Oleh: Dr. Sunoto, MES Potensi kelautan dan perikanan Indonesia begitu besar, apalagi saat ini potensi tersebut telah ditopang

Lebih terperinci

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia Sejarah Peraturan Perikanan Indonesia Peranan Hukum Laut dalam Kedaulatan RI Laut Indonesia pada awalnya diatur berdasarkan Ordonansi 1939 tentang Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim yg menetapkan laut

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki luas wilayah 20.656.894 Km 2 terdiri dari luas lautan 14,877.771 Km 2 dan daratan 5,779.123 Km 2. Dengan luas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA.

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA Oleh : YULISTYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kelautan dengan kekayaan laut maritim yang sangat melimpah, negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai yang terpanjang

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah perairan yang mencapai 5,8 juta km 2 dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Hal ini membuat Indonesia memiliki

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE

PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN Oleh: Rony Megawanto Kebijakan nasional kelautan dan perikanan Indonesia diawali dengan perjuangan kewilayahan pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis masalah Kemiskinan dan Ketimpangan pendapatan nelayan di Kelurahan Bagan Deli dan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilihan yang strategis untuk dikembangkan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena memiliki potensi yang sangat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2008

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2008 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2008 TENTANG PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN JARING INSANG (GILL NET) DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN NONO SAMPONO SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang. menyimpan kekayaan sumber daya alam laut yang besar dan. belum di manfaatkan secara optimal.

Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang. menyimpan kekayaan sumber daya alam laut yang besar dan. belum di manfaatkan secara optimal. A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang memiliki lebih dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Hal ' ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Perikanan adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau budidaya ikan atau binatang air lainnya serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi perekonomian nasional, termasuk di dalamnya agribisnis. Kesepakatan-kesepakatan pada organisasi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KABUPATEN BELITUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa sebagai kekayaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Daerah Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data

3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Daerah Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Daerah Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan, yaitu mulai dari November 2008 hingga Mei 2009. Penelitian ini dilakukan di Jakarta karena kegiatannya terfokus

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN (The Protection and the Conservation of Fishery Resources in the Economic Exclusive Zone Among the Asean States)

Lebih terperinci