GAMBARAN POLA KONSUMSI PANGAN KELUARGA PESERTA PROGRAM PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DI KELURAHAN MABAR HILIR KECAMATAN MEDAN DELI TAHUN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "GAMBARAN POLA KONSUMSI PANGAN KELUARGA PESERTA PROGRAM PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DI KELURAHAN MABAR HILIR KECAMATAN MEDAN DELI TAHUN"

Transkripsi

1 GAMBARAN POLA KONSUMSI PANGAN KELUARGA PESERTA PROGRAM PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DI KELURAHAN MABAR HILIR KECAMATAN MEDAN DELI TAHUN 2014 Titin Herlina 1, Fitri Ardiani 2, Albiner Siagian 2 1 Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara 2 Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara ABSTRACT Patterns of food consumption group of Food Consumption Diversification Acceleration program which do not meet the recommended ideal composition characterized by a score of Desirable Dietary Pattern were low at 77, is below the target set by the government. The purpose of this research was to know describe the family food consumption patterns of the participants Food Consumption Diversification Acceleration program, in Mabar Hilir sub district, Medan Deli district, This research was a descriptive study by cross sectional research design. The population were families of Food Consumption Diversification Acceleration program for 30 families and then to be total sampling. Type data was using primary data and secondary data. Primary data (characteristic family, and pattern of food consumption family) was collected by food frequency, food recall and characteristic family form. Secondary data were about the location of this study has obtained from village office of Mabar Hilir while about Food Consumption Diversification Acceleration program has obtained from Food Security Agency, Medan. The results showed that the consumption of energy in medium category (50,00%), and consumption of protein in lower category (43,33%).The diversification of food consumption status of families are in the high category (90,00%) and medium category (10,00%). There needs to be an construction continuity for all members of the group Food Consumption Diversification Acceleration on the application of diverse food consumption. And family groups Food Consumption Diversification Acceleration to optimize their courtyards as a source of household food and consume foods with adequate amounts. Keywords: food consumption, food diversification, group of Food Consumption Diversification Acceleration PENDAHULUAN Kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) merupakan implementasi dari Rencana Strategis Kementerian Pertanian yaitu Empat Sukses Pertanian, yang salah satunya ialah mengenai Peningkatan Diversifikasi Pangan. Kegiatan P2KP merupakan salah satu kontrak kerja antara Menteri Pertanian dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun , yang bertujuan untuk meningkatkan keanekaragaman pangan sesuai dengan karakteristik wilayah. Kontrak kerja ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/ OT.140/10/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Peraturan tersebut kini menjadi acuan untuk mendorong upaya

2 penganekaragaman konsumsi pangan dengan cepat melalui basis kearifan lokal serta kerja sama terintegerasi antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Di tingkat provinsi, kebijakan tersebut telah ditindaklanjuti melalui surat edaran atau Peraturan Gubernur (Pergub), dan di tingkat kabupaten/kota ditindaklanjuti dengan Surat Edaran atau Peraturan Bupati/Walikota (Perbup/Perwalikota) (Badan Ketahanan Pangan, 2014). Sebagai bentuk keberlanjutan program P2KP berbasis sumber daya lokal Tahun 2010, pada tahun 2014 program P2KP diimplementasikan melalui kegiatan: (1) Optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), (2) Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L), serta (3) Sosialisasi dan Promosi P2KP. Melalui 3(tiga) kegiatan besar ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat untuk membentuk pola konsumsi pangan yang baik. Sesuai dengan tujuan kegiatan program P2KP untuk memfasilitasi dan mendorong terwujudnya pola konsumsi pangan masyarakat yang beragam, bergizi, seimbang dan aman yang diindikasikan dengan meningkatnya skor Pola Pangan Harapan (PPH). Berdasarkan Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2011 dan triwulan I tahun 2012, selama tahun terjadi penurunan kuantitas konsumsi energi sebesar 99 kkal/kapita/hari (dari 1952 kkal/kapita/hari menjadi 1853 kkal/kapita/hari). Penurunan konsumsi energi selama tahun menyebabkan penurunan PPH sebesar 1,9 poin (dari 77,3 menjadi 75,4). Hal ini disebabkan masih rendahnya konsumsi pangan hewani, sayur dan buah. Situasi seperti ini terjadi karena pola konsumsi pangan masyarakat yang kurang beragam, bergizi seimbang serta diikuti dengan semakin meningkatnya konsumsi terhadap produk impor, antara lain gandum dan terigu. Sementara itu, konsumsi bahan pangan lainnya dinilai masih belum memenuhi komposisi ideal yang dianjurkan, seperti pada kelompok umbi, pangan hewani, sayuran dan aneka buah (Badan Ketahanan Pangan, 2014). Pada tahun 2013 Program P2KP di Kota Medan dilaksanakan di 18 Kelurahan dengan kegiatan utama yaitu Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Melalui Konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari, dan tahun yang sama telah dilakukan evaluasi pelaksanaan program ini di Kota Medan terhadap 6 kelompok P2KP di Kelurahan Mabar Hilir, Rengas Pulau, Tembung, Sei Putih Barat, Titi Rantai dan Ladang Bambu, dan hasilnya menunjukkan bahwa Skor PPH kelompok P2KP di Kelurahan Mabar Hilir adalah yang paling rendah yaitu 77. Skor PPH tersebut belum mencapai target yang ditetapkan pemerintah yaitu 95 pada tahun 2014 dan beberapa konsumsi bahan pangan dinilai masih belum memenuhi komposisi ideal yang dianjurkan, seperti kelompok umbiumbian, minyak/lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur/buah masih berada dibawah skor ideal. Survei awal yang dilakukan di kelompok P2KP Kelurahan Mabar Hilir, ditemukan bahwa pekarangan dimanfaatkan untuk menanam tanaman yang terdiri dari umbi-umbian (singkong), sayur-sayuran (sawi, bayam, daun katuk, kangkung, cabe), buah-buahan (pepaya, pisang) dan bumbu-bumbuan (lengkuas, kunyit, jahe, daun serai) serta dimanfaatkan untuk memelihara ternak sebagai sumber pangan hewani (ikan lele). Namun, jenis pangan yang ditanam serta ternak yang dipelihara belum terlalu beragam, hal ini diindikasikan menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya skor PPH di kelompok tersebut. Pola konsumsi pangan yang seimbang adalah konsumsi pangan yang dapat menyediakan zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur dalam jumlah yang cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktifitas fisik, yang terdiri dari pangan yang beragam. Keragaman konsumsi pangan sangat penting, hal ini karena tidak ada satu jenis panganpun yang mengandung zat gizi secara lengkap baik jenis maupun jumlah. Dengan 2

3 mengonsumsi pangan yang beragam, maka kekurangan zat gizi dalam satu jenis akan dilengkapi oleh zat gizi dari jenis pangan lainnya. Adanya prinsip saling melengkapi antar berbagai pangan tersebut akan menjamin terpenuhinya mutu gizi seimbang dalam jumlah cukup. Keragaman konsumsi pangan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kualitas zat-zat gizi dalam pangan. Hal ini dapat diketahui bahwa pilihan yang luas dari kelompok pangan yang berbeda menunjukkan jaminan perlindungan terhadap zat-zat gizi esensial. Rendahnya skor PPH yang diakibatkan ketidakseimbangan konsumsi pangan, dalam jangka panjang akan berdampak pada status gizi maupun kualitas sumber daya manusia. Berbagai data menunjukkan bahwa kekurangan gizi pada anak-anak sebagai akibat rendahnya konsumsi pangan akan berdampak terhadap pertumbuhan fisik, mental dan intelektual. Sebagai ilustrasi kekurangan energy protein yang diakibatkan kekurangan makanan bergizi dan infeksi berdampak pada kehilangan 5-10 IQ poin (UNICEF, 1997). Fakta di atas mengindikasikan bahwa keanekaragaman konsumsi pangan sebagai upaya meningkatkan status gizi harus terus dilaksanakan guna menciptakan sumber daya manusia yang lebih berkualitas dan berdaya saing. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran pola konsumsi pangan keluarga peserta program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Kelurahan Mabar Hilir Kecamatan Medan Deli Tahun Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran pola konsumsi pangan keluarga peserta program P2KP di Kelurahan Mabar Hilir Kecamatan Medan Deli Tahun Manfaat penelitian adalah sebagai bahan masukan dan informasi untuk meningkatkan pola konsumsi pangan keluarga peserta program P2KP di Kelurahan Mabar Hilir Kecamatan Medan Deli Tahun Serta sebagai bahan masukan bagi Badan Ketahanan Pangan dalam meningkatkan kualitas penyelenggaraan program P2KP kota Medan. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain penelitian cross sectional. Populasi adalah keluaga yang menjadi peserta program P2KP dengan jumlah sebanyak 30 keluarga dan seluruhnya dijadikan sampel (total sampling). Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik keluarga, jenis, frekuensi, dan jumlah konsumsi pangan keluarga Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan formulir karakteristik keluarga, formulir food frequency, dan formulir food recall. Data sekunder mengenai keadaan umum wilayah diperoleh dari kantor kelurahan Mabar Hilir sedangkan data tentang Program P2KP diperoleh dari Badan Ketahanan Pangan Kota Medan. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kelurahan Mabar Hilir adalah salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Medan Deli, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara yang memiliki luas wilayah 3,16 Ha. Jumlah penduduknya sebanyak jiwa, yang terdiri atas laki-laki sebanyak orang (51,72%) dan jumlah perempuan sebanyak orang (48,28%). Jumlah kepala keluarga di desa ini sebanyak 6009 kepala keluarga. Kelompok P2KP di Kelurahan Mabar Hilir bernama Melati terletak di Jalan Pancing IV dengan jumlah anggota sebanyak 30 orang wanita. Karakteristik keluarga peserta program P2KP dalam penelitian ini meliputi umur, pendidikan, pekerjaan dan jumlah anggota keluarga. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh jumlah kepala keluarga berdasarkan umur, yang terbesar adalah tahun, sedangkan jumlah kepala keluarga berdasarkan pendidikan sebagian besar yaitu SMA. Jumlah kepala keluarga berdasarkan jenis pekerjaan sebagian besar sebagai karyawan swasta. Jumlah kepala keluarga berdasarkan 3

4 jumlah anggota keluarga sebagian besar yaitu 4. Secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Keluarga di Kelurahan Mabar Hilir Kecamatan Medan Deli Tahun 2014 No Karakteristik Keluarga N Persentase 1 Umur Kepala Keluarga tahun 2 6, tahun 20 66, tahun 8 26,66 Jumlah ,00 2 Pendidikan SD 2 6,67 SMP 5 16,66 SMA 20 66,67 PT 3 10,00 Jumlah ,00 3 Pekerjaan Kontraktor 1 3,33 Satpam 2 6,67 Kepling 1 3,33 Karyawan Swasta 12 40,00 Guru 2 6,67 Wirausaha 1 3,33 Supir 5 16,67 Mocok 1 3,33 Tukang Becak 1 3,33 Pengacara 1 3,33 Buruh Cuci 1 3,33 Tukang Bangunan 2 6,67 Jumlah , 00 4 Jumlah Anggota Keluarga 4 (kecil) 19 63, ( Sedang) 11 36,67 7 (Besar) 0 0 Jumlah ,00 Pola Konsumsi Pangan Keluarga Konsumsi pangan keluarga berdasarkan jenis dan frekuensi konsumsi pangan padi-padian, diketahui bahwa seluruh responden mengonsumsi padi/nasi dengan frekuensi lebih dari 10x/5 hari sebagai makanan pokok. Hal ini dikarenakan, pola konsumsi keluarga yang masih bergantung kepada satu jenis pangan pokok saja sebagai sumber karbohidrat, serta mengganggap bahwa hanya dengan mengonsumsi nasilah baru bisa dikatakan telah makan. Sedangkan jenis padi-padian yang lain seperti jagung dan gandum hanya dikonsumsi masing-masing dua keluarga (6,67%) dan bahkan tidak pernah dikonsumsi sama sekali dalam seminggu. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada penganekaragaman sumber karbohidrat dari jenis padi-padian. Hanya ada tambahan konsumsi dari beberapa jenis yaitu jagung dan gandum namun tetap bukan sebagai makanan pokok dikarenakan sekalipun sudah mengkonsumsi jagung ataupun gandum, keluarga tetap harus makan nasi. Hasil penelitian dalam mengkonsumsi umbi-umbian menunjukkan bahwa keluarga mengkonsumsi singkong dengan frekuensi 1-2x/5 hari sebesar 63,33%. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok pangan umbi-umbian yang juga sebagai sumber karbohidrat belum dikonsumsi secara teratur sebagai pengganti padi/nasi. Hanya dikonsumsi sebagai makanan selingan bukan sebagai makanan pokok dikarenakan sekalipun sudah mengkonsumsi umbi-umbian, tidak dianggap lengkap dan sering orang yang mengkonsumsinya mengatakan belum makan, meskipun telah kenyang olehnya (Sediaoetama, 1996). Program P2KP dengan optimalisasi pemanfaatan pekarangan diharapkan dapat meningkatkan pola konsumsi masyarakat lebih beragam, bergizi, seimbang dan aman dalam jumlah dan komposisi pangan yang cukup berdasarkan komposisi pangan yang dianjurkan dalam PPH, dimana setiap harinya dibutuhkan konsumsi umbiumbian minimal 0,5% dari angka kecukupan energi (100 kkal). Namun hal tersebut belum tercapai dengan baik karena anggota kelompok P2KP belum mengkonsumsi umbi-umbian secara rutin. Selain itu, rendahnya konsumsi umbiumbian menjadi salah satu indikasi yang menyebabkan tujuan P2KP untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan pangan pokok beras belum tercapai. Konsumsi jenis pangan hewani dapat menunjukkan bahwa banyak keluarga yang mengkonsumsi telur dengan frekuensi 6-10x/5 hari sebanyak 70%, 4

5 sedangkan daging tidak pernah dikonsumsi sama sekali sebesar 93,33%, karena berkemungkinan harga telur yang lebih terjangkau dibandingkan dengan harga daging yang relatif mahal. Namun, sebaiknya keluarga diberikan makanan yang beranekaragam begitu juga dengan sumber protein karena protein sangat dibutuhkan dalam pembentukan sel-sel tubuh manusia, bahkan antibodi tubuh untuk melawan semua penyakit juga berasal dari protein. Begitu juga dengan semua enzim pencernaan dan berbagai hormon juga berasal dari protein (Mitayani dan Sartika, 2010). Kelompok P2KP dalam mengoptimalkan lahan pekarangan untuk sumber protein hewani yaitu dengan mengelola kolam ikan lele, yang diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber pangan hewani. Namun hal ini belum tercapai maksimal dikarenakan ikan lele yang dihasilkan bisa dikonsumsi apabila telah panen saja. Kemudian selebihnya dijual dan dijadikan sebagai kas kelompok untuk dijadikan lagi sebagai modal pembelian bibit dan pengelolaannya. Berdasarkan hasil penelitian dengan jenis pangan minyak/lemak dapat dilihat bahwa semua keluarga mengkonsumsi minyak kelapa sawit dengan frekuensi lebih dari 10x/5 hari. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh keluarga mengkonsumsi minyak kelapa sawit sebagai sumber lemak. Selain itu pada Tabel 4.6 untuk jenis pangan buah/ biji berminyak dapat dilihat juga bahwa sebagian besar keluarga mengkonsumsi kelapa dengan frekuensi 1-2x/5 hari yaitu sebesar 56,67%. Sedangkan kemiri dikonsumsi sebesar 43,33% dengan frekuensi 1-2x/5 hari. Mengkonsumsi minyak dan kelapa sebagai sumber lemak berguna untuk tubuh karena lemak merupakan zat makanan yang penting dalam menjaga kesehatan. Selain untuk menambah citarasa, lemak juga merupakan sumber energi selain karbohidrat dan protein. Satu gram lemak dapat menghasilkan sembilan kkal. Lemak juga berfungsi sebagai sumber dan pelarut bagi vitamin A, D, E, dan K. Namun jika mengkonsumsi lemak secara berlebihan, akan memberikan efek buruk bagi kesehatan seperti terjadinya kegemukan, diabetes, dan lain-lain (Mitayani dan Sartika, 2010). Hasil penelitian jenis pangan kacang-kacangan diketahui bahwa tempe dikonsumsi keluarga sebesar 46,67% dengan frekuensi 3-5x/5 hari. Diantara sumber protein salah satunya berasal dari kelompok kacang-kacangan, dimana tempe dan tahu adalah yang sering dikonsumsi. Peranan tempe dan tahu nampak sangat penting dalam pola konsumsi keluarga dibandingkan kelompok kacang-kacangan yang lain. Selain karena cita rasanya digemari oleh semua lapisan masyarakat, tempe dan tahu merupakan sumber protein yang harganya relatif murah dibandingkan sumber protein hewani. Jenis pangan gula dapat dilihat hasil penelitiannya bahwa semua keluarga mengkonsumsi gula pasir dengan frekuensi 6-10x/5 hari. Hal ini menunjukkan bahwa gula sebagai sumber karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi selalu dikonsumsi keluarga terutama dalam bentuk teh manis karena biasanya gula dijadikan sebagai pemanis dalam makanan maupun minuman. Jenis pangan buah dan sayur, dijumpai bahwa keluarga paling banyak mengkonsumsi sawi yaitu sebesar 43,33% dengan frekuensi 3-5x/5 hari, sedangkan yang paling rendah dikonsumsi adalah brokoli sebesar 3,33% dengan frekuensi 1-2x/5 hari. Untuk sayuran, biasanya keluarga hanya mengkonsumsi pada siang hari, sedangkan untuk malam hari hanya dikonsumsi jika masih ada sisa sayur pada siang hari, namun jika sudah habis maka untuk malam hari tidak dikonsumsi lagi. Pada pagi hari hampir seluruh keluarga tidak pernah mengkonsumsi sayuran. Untuk buah-buahan sebagian besar keluarga jarang mengkonsumsinya. Hal ini berkemungkinan karena harga buah yang relatif mahal dan biasanya buah disediakan apabila pohon buah yang ditanam dikebun sendiri sudah panen saja. Keadaan tersebut menyebabkan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh dari sayur dan buah-buahan belum 5

6 terpenuhi smedangkan sayur-sayuran dan buah-buahan merupakan sumber vitamin dan mineral dalam tubuh yang berfungsi sebagai zat pengatur. Vitamin dan mineral adalah zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit namun bila tidak mencukupi akan mengganggu dalam proses pertumbuhan dan metabolisme (Kaleka, 2013). Berdasarkan hasil penelitian untuk jenis pangan bumbu-bumbuan dapat dilihat bahwa seluruh keluarga yang mengkonsumsi cabe dan bawang dengan frekuensi lebih dari 10x/5 hari, sedangkan pala dan cengkih dikonsumsi paling sedikit yaitu masing-masing sebanyak 3,33% dengan frekuensi 1-2x/5 hari. Hal ini dikarenakan bahwa jenis pangan bumbubumbuan selalu digunakan untuk meningkatkan cita rasa pangan olahan sehingga mengkonsumsi makanan jadi lebih enak. Pola konsumsi pangan untuk jenis pangan sayuran dan bumbu-bumbuan masih ada beberapa keluarga yang memanfaatkan dari lahan pekarangan sendiri sebagai sumber pangan tersebut. Selain itu kelompok P2KP juga mengelola satu lahan pekarangan yang dimanfaatkan secara bersama untuk tanaman sayur dan bumbu-bumbuan dan setiap anggota bebas memanfaatkannya kecuali sayuran yang harus ditunggu sampai masa panen kemudian dibagikan kepada semua anggota. Dan selebihnya dijual dan dijadikan sebagai kas kelompok untuk dipergunakan kembali oleh kelompok. Namun, pemanfaatan pekarangan tersebut tidak maksimal dikarenakan banyaknya pot yang kosong dan lahan yang banyak ditumbuhi rumput Hal ini kemungkinan disebabkan karena kurangnya pembinaan serta kegiatan kelompok yang tidak rutin menyebabkan rendahnya pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan keluarga. Serta kebun bibit yang sudah tidak digunakan lagi sesuai dengan fungsinya sebagai sumber bibit kelompok karena terlihat sudah tidak terawat dan tidak ada tanamannya lagi. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Tingkat konsumsi energi dan protein dilihat dari jumlah kalori yang dikonsumsi keluarga dalam sehari. Hasilnya dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini : Tabel 4.2 Distribusi Tingkat Kecukupan Energi di Kelurahan Mabar Hilir Kecamatan Medan Deli Tahun 2014 No Tingkat Kecukupan Energi N Persen Tase 1 Baik 8 26,67 2 Sedang 15 50,00 3 Kurang 7 23,33 Jumlah ,00 Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar keluarga memiliki tingkat kecukupan energi sedang. Pada umumnya, sumber energi terbesar keluarga adalah nasi dimana keluarga mengonsumsi nasi dengan porsi lebih dari satu piring. Konsumsi energi yang kurang akan menyebabkan cadangan energi dalam tubuh yang berada dalam jaringan otot/lemak digunakan untuk menutupi kekurangan tersebut. Apabila hal ini berlanjut, maka dapat menurunkan daya kerja dan kreativitas. Kemudian diikuti oleh menurunnya produktivitas kerja, malas dan mengantuk. Kekurangan energi yang berlangsung lama pada seseorang akan mengakibatkan penurunan berat badan dan kekurangan zat gizi lain. Penurunan berat badan yang berlanjut akan menyebabkan keadaan gizi kurang. Selain itu, ia mudah terkena penyakit infeksi. 6

7 Tabel 4.3 Distribusi Tingkat Kecukupan Protein di Kelurahan Mabar Hilir Kecamatan Medan Deli Tahun 2014 No Tingkat Kecukupan N Persentase Protein 1 Baik 6 20,00 2 Sedang 11 36,67 3 Kurang 13 43,33 Jumlah ,00 Rendahnya tingkat konsumsi protein keluarga kelompok program P2KP menunjukkan bahwa dalam mengonsumsi pangan hanya untuk pemuasan rasa lapar dan haus tanpa memperhatikan pemenuhan akan zat gizi yang diperlukan tubuh. Konsumsi protein sangat dibutuhkan dalam membentuk jaringan baru untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh, memelihara serta memperbaiki jaringan tubuh yang rusak dan menyediakan asam amino yang diperlukan dalam pembentukan enzim-enzim pencernaan serta antibodi yang diperlukan. Kekurangan konsumsi protein akan menyebabkan Kurang Kalori Protein (KEP) seperti marasmus dan kwashiorkor (Suhardjo, dkk,1986). Tingkat Keragaman Konsumsi Pangan Tingkat keragaman pangan konsumsi pangan dapat dilihat dari Tabel 4.13 berikut ini : Tabel 4.4 Distribusi Tingkat Keragaman Pangan di Kelurahan Mabar Hilir Kecamatan Medan Deli Tahun 2014 No Keragaman Pangan N % 1 Sedang 3 10,00 2 Tinggi 27 90,00 Jumlah ,00 Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga memiliki tingkat keragaman pangan yang tinggi. Namun, karena tingkat konsumsi energi dan protein masih belum sesuai anjuran tetap diperlukan perbaikan pola konsumsi. Karena gizi harus diterima secara seimbang baik kualitas maupun Tingkat Kecukupan Energi Keluarga Berdasarkan Karakteristik Keluarga Tingkat kecukupan energi berdasarkan karakteristik keluarga dapat dilihat dari hasil tabulasi silang yang menunjukkan bahwa pada umumnya keluarga dengan tingkat kecukupan energi baik adalah keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga kategori sedang, tingkat pendidikan SMA dan bekerja sebagai guru. Sedangkan hasil tabulasi silang tingkat kecukupan protein berdasarkan karakteristik keluarga didapatkan bahwa pada umumnya keluarga dengan tingkat kecukupan protein baik adalah keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga kategori kecil dan sedang yaitu masingmasing sebesar 50,00%, tingkat pendidikan SMA dan sarjana yaitu sebesar 50,00% dan bekerja sebagai guru sebesar 33,33%.Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fransiska (2013) yang menjumpai bahwa jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap konsumsi pangan rumah tangga sedangkan untuk tingkat pendidikan menurut Husaini (1989) dalam penelitian Ampera, dkk perilaku konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau pengetahuan terhadap pangan itu sendiri dan untuk jenis pekerjaan (Supariasa, 2002) disebutkan bahwa pekerjaan atau pendapatan keluarga berpengaruh terhadap masukan zat gizi. Tingkat Keragaman Konsumsi Pangan Berdasarkan Karakteristik Keluarga Berdasarkan hasil tabulasi silang tingkat keragaman konsumsi pangan berdasarkan karakteristik keluarga didapatkan bahwa pada umumnya keluarga dengan tingkat keragaman konsumsi pangan tinggi adalah keluarga yang bekerja sebagai karyawan swasta, memiliki jumlah anggota keluarga kategori kecil dan tingkat pendidikan SMA. Hal ini sejalan dengan 7

8 penelitian Meitasari (2008), yang menunjukkan bahwa pendidikan kepala keluarga berpengaruh terhadap keragaman konsumsi pangan, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga maka semakin tinggi keragaman konsumsi pangannya. Penelitian Widadie (2008) juga menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap diversifikasi konsumsi pangan adalah jumlah anggota rumahtangga, pendapatan perkapita. Semakin tinggi jumlah anggota rumahtangga dan pendapatan perkapita, akan semakin mempertinggi tingkat diversifikasi konsumsi pangannya. Tingkat Keragaman Konsumsi Pangan Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Keluarga Tingkat keanekaragaman konsumsi pangan berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein diketahui bahwa keanekaragaman konsumsi pangan tinggi berada pada tingkat konsumsi energi dan protein sedang. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pangan yang dikonsumsi sudah beragam namun belum menjamin energi dan protein yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup dapat dipenuhi dengan baik. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan Meitasari (2008), yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat keragaman konsumsi pangan dengan konsumsi energi dan protein, dikarenakan energi tertinggi masih berasal dari jenis pangan padipadian. KESIMPULAN 1. Konsumsi pangan keluarga P2KP menurut jenis pangan dan frekuensi yang dikonsumsi paling sering sama seperti konsumsi pangan keluarga pada umumnya yaitu nasi, singkong, telur, kelapa, minyak kelapa sawit, tempe, gula pasir, sawi, dan bumbubumbuan. Beberapa jenis pangan sayuran dan bumbu-bumbuan yang dikonsumsi keluarga berasal dari pekarangan. 2. Tingkat konsumsi energi keluarga masih banyak yang berada pada tingkat sedang, sedangkan tingkat konsumsi protein banyak yang berada pada tingkat kurang. 3. Tingkat keanekaragaman pangan keluarga sebagian besar berada pada tingkat tinggi. Ini berarti bahwa keluarga kelompok P2KP sudah mengonsumsi pangan beranekaragam ditandai dengan konsumsi jenis pangan lebih atau sama dengan enam kelompok pangan. 4. Tingkat keanekaragaman konsumsi pangan sudah tinggi namun tingkat konsumsi energi dan protein masih berada pada tingkat sedang. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan yang beragam tidak menjamin energi dan protein yang dibutuhkan tubuh sudah terpenuhi dengan baik. Karena jumlah energi dan protein yang dikonsumsi belum memenuhi angka kecukupan energi yang dianjurkan. SARAN 1. Badan Ketahanan Pangan perlu melakukan pembinaan berkelanjutan kepada anggota kelompok P2KP tentang penerapan konsumsi pangan dengan jumlah energi dan protein yang baik. 2. Keluarga kelompok P2KP agar dapat meningkatkan kesadaran dalam melaksanakan program P2KP sehingga lahan pekarangan dapat dioptimalkan sebagai sumber pangan karena keluarga telah dibina untuk melakukan hal tersebut, sehingga seharusnya keluarga kelompok P2KP bisa lebih baik dalam mengkonsumsi pangan. 3. Keluarga kelompok P2KP agar dapat meningkatkan jumlah konsumsi pangan sesuai dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. 8

9 DAFTAR PUSTAKA Ampera, D., Ingtyas, F.T., dan Wahidah, S., Hubungan Pendapatan Keluarga, Pendidikan dan Pengetahuan Gizi Ibu Terhadap Pola Konsumsi dalam Menanggulangi Gizi Buruk (Marasmus Kwasiorkhor) pada Anak Balita di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, Medan : Fakultas Tekhnik Universitas Medan. Supariasa, I.D.N., Bakri, B., dan Fajar, I., Penilaian Status Gizi, Jakarta : EGC. Widadie, F., Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumahtangga Perdesaan Dalam Mewujudkan Diversifikasi Konsumsi Pangan (Studi Kasus di Desa Putukrejo Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang), Surakarta : Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Badan Ketahanan Pangan, Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor : 09/Permentan/Ot.140/1/2014 Tanggal : 27 Januari 2014 Pedoman Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Tahun 2014, Jakarta: Badan Ketahanan Pangan. Fransiska, E.D., Analisis Diversifikasi Konsumsi Pangan Beras dan Pangan Non Beras (Studi Kasus : Desa Bagan Serdang, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang), Medan : Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Kaleka, N., Sayuran Hijau Apotik dalam Hidup, Surakarta : Arcita. Meitasari, D., Analisis Determinan Keragaman Konsumsi Pangan Pada Keluarga Nelayan, Bogor : Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Mitayani dan Sartika, W., Buku Saku Ilmu Gizi, Jakarta : Trans Info Media. Sediaoetama, A. D., Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I, Jakarta: Dian Rakyat. Suhardjo. Harper, L.J., Deaton, B. J., dan Driskel, J. A., Pangan, Gizi dan Pertanian. Jakarta : UI-Press. 9

10 10

11 SUBSTITUSI TEPUNG PISANG AWAK MASAK(Musa paradisiaca var. awak) DAN KECAMBAH KEDELAI (Glycine max ) PADA PEMBUATAN BISKUIT SERTA DAYA TERIMA. Vinni Ardwifa 1, Jumirah 2, Etty Sudaryati 2 1 Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, Medan 2 Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, Medan ABSTRAK Tepung pisang awak masak (Musa paradisiaca var. awak) dan kecambah kedelai (Glycine max ) dapat diolah menjadi biskuit. Biskuit merupakan makanan yang disenangi semua kalangan usia termasuk balita. Biskuit memiliki bentuk yang menarik dan rasa yang manis.tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui daya terima dan kandungan gizi dari biskuit yang disubstitusikan tepung pisang awak masak dan kecambah kedelai. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan rancangan acak lengkap dengan dua faktor dan tiga perlakuan yaitu penambahan tepung pisang awak masak 40%, tepung kecambah kedelai 40% dan campuran tepung pisang awak masak dan kecambah kedelai masing masing 20%. Uji daya terima biskuit substitusi tepung pisang awak masak dan kecambah kedelai dilakukan terhadap 30 ibu balita dan balita di posyandu Namogajah Kecamatan Medan Tuntungan dan analisis zat gizi dilakukan di Laboratorium Badan Riset dan Standarisasi Industri Medan. Hasil penelitian uji organoleptik terhadap warna, aroma, rasa, dan tekstur, biskuit oeleh 30 ibu balita yang paling disukai adalah biskuit dengan campuran tepung pisang awak masak 20% dan kecambah kedelai 20%. Daya terima pada anak balita menunjukkan semua balita menyukai ketiga perlakuan biskuit. Hasil analisis Kandungan gizi ketiga perlakuan mengandung karbohidrat sebesar 61,95%, 55,47%, 55,46%, protein sebesar 7,69%, 13,7%, 10,3%, lemak sebesar 22,4%, 24,3%, 25,9%. Disarankan kepada masyarakat agar dapat menjadikan biskuit substitusi tepung pisang awak masak dan kecambah kedelai sebagai alternatif makanan tambahan untuk balita. Kata kunci: tepung pisang awak masak, kecambah kedelai, biskuit PENDAHULUAN Gizi sangat penting bagi kehidupan. Kekurangan gizi pada balita dapat menimbulkan beberapa efek negatif seperti lambatnya pertumbuhan badan, rawan terhadap penyakit, menurunnya kecerdasan dan gangguan mental. Kekurangan gizi yang serius dapat menyebabkan kematian. Masalah gizi di Indonesia meliputi anemia, kekurangan vitamin A, gangguan akibat kekurangan yodium, defisiensi zat besi, dan kekurangan energi protein (KEP).Balita termasuk kelompok rawan kekurangan zat gizi termasuk KEP. Ini

12 terjadi tidak hanya didahulukan dari kelaparan atau kekurangan pangan tetapi dapat terjadi dari aspek makanan yang kandungan gizinya belum sesuai dengan kebutuhan balita. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi kurang gizi di Indonesia menunjukkan peningkatan dari 17,9% pada tahun 2010 menjadi 19,6% pada tahun Diantara 33 provinsi di Indonesia, Sumatera Utara menempati urutan ke 16 dari 18 provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk dan kurang di atas angka prevalensi nasional yaitu berkisar antara 21,2 persen sampai dengan 33,1 persen. Peningkatan masalah gizi tersebut kemungkinan disebabkan oleh asupan yang tidak sesuai dengan kebutuhan balita baik zat gizi makro dan mikro. Semakin meningkat usia balita maka semakin meningkat pula kebutuhan zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan. Salah satu upaya untuk memperbaiki asupan zat gizi pada balita melalui pemberian makanan.biskuit merupakan makanan yang disenangi balita karenamemiliki variasi bentuk yang menarik dan rasa yang manis. Jajanan sehat seperti biskuit dengan penambahan beberapa jenis bahan makanan yang mengandung zat gizi yang tinggi sangat tepat dijadikan sebagai tambahan makanan. Pertimbangannya balita telah dikategorikan mampu mengkonsumsi makanan padat yang memiliki tekstur renyah dan memiliki varian rasa. Disamping itu sistem pencernaan yang telah mampu mencerna makanan padat dan gigi yang mulai tumbuh, membantu proses peralihan makanan dari hanya mengkonsumsi ASI saja menjadi mengkonsumsi makanan padat. Hasil penelitian tentang modifikasi biskuit dengan penambahan berbagai jenis makanan bergizi antara lain telah dilakukan oleh Febrina (2012), yang menambahkan tepung wortel dalam pembuatan biskuit. Berdasarkan penambahan tepung wortel 5%, 15%, dan 25% terbukti menambah kadar vitamin A. Selain itu pembuatan biskuit dengan penambahan tepung ceker ayam yang dilakukan oleh Ramadhani (2013) menunjukkan semakin banyak tepung ceker ayam yang ditambahkan dalam pembuatan biskuit maka semakin tinggi kandungan kalsium pada biskuit. Kadar kalsium biskuit ceker ayam per 100 gram biskuit dengan perbandingan 15%, 20%, 25% yaitu 201,0 mg 237,9 mg, 313,6 mg. Penelitian Mervina (2009) tentang formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan isolat protein kedelai (Glycine max) sebagai makanan potensial untuk anak balita gizi kurang.dengan memberikan kontribusi protein 25.12% dan 39.20% dari AKG, produk biskuit dapat dikatakan biskuit tinggi protein karena memberikan kontribusi yang cukup terhadap pemenuhan zat gizi, terutama protein dan energi. Tujuan penambahan isolat protein kedelai selain sebagai penambah kandungan protein juga untuk memperbaiki tekstur biskuit. Bahan yang diperlukan dalam pembuatan biskuit umumnya adalah tepung terigu. Biskuit yang berbahan dasar tepung terigu hanya mengandung zat gizi makro seperti karbohidrat, protein, lemak dan sedikit mengandung zat gizi mikro seperti fosfor, kalsium dan zat besi. Banyak biskuit yang beredar dipasaran mengandung terlalu banyak gula. Baik didalam adonan maupun sebagai pelengkap misalnya selai atau salut coklat. Selain itu sedikit biskuit yang mengandung karbohidrat kompleks seperti tepung gandum. Salah satu alternatif pembuatan biskuit adalah dengan penambahan

13 pisang awak masak dan kecambah kedelai yang telah dibuat menjadi tepung. Pisang awak sering dimanfaatkan masyarakat sebagai makanan bayi, keripik, makanan tradisional seperti godok-godok, pisang sale. Hasil penelitian Puspita (2011) terdapat 83,3 persen bayi di Desa Paloh Gadeng Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara diberikan pisang awak dengan cara dilumatkan, dikerok dan terkadang dicampur bersama nasi. Pisang Awak yang telah dibuat menjadi tepung dapat dijadikan bahan tambahan dalam pembuatan biskuit. Untuk menambah zat gizi dapat ditambahkan tepung kecambah kedelai pada proses pembuatannya. Proses bahan makanan yang dijadikan tepung dapat menambah masa ketahanan bahan makanan tersebut. Sehingga jangka waktu penyimpanannya dapat lebih lama daripada sebelum dijadikan tepung. Kedelai dalam bentuk kering yang dikecambah mengalami peningkatan protein dan dapat melipatgandakan jumlah vitamin A sebanyak 300% dan vitamin C hingga % (Cahyadi,2007) sedangkan menurut hasil penelitian pengembangan formula MP-ASI tepung pisang awak dengan kecambah kedelai yang dilakukan oleh Jumirah & Fitri (2013) ternyata mampu meningkatkan kandungan zat gizi terutama serat (7,5%), karbohidrat (54,43%), energi (400,27 kkal), lemak (10%), dan protein (17,85%). Selain itu campuran tepung pisang awak dan kecambah kedelaimengandung sejumlah zat prebiotik yaitu Inulin sebesar 3,53%, Frukto Oligo Sakarida (FOS) sebesar 2,72 dan Galakto Oligo Sakarida (GOS) sebesar 0,36. Sejalan dengan fenomena diatas penulis tertarik membuat biskuit dengan substitusi tepung pisang awak masak dan kecambah kedelai. Hal ini didasarkan pada kandungan gizi dari tepung pisang awak masak dan kecambah kedelai yang hanya dari zat gizi makro tetapi juga zat gizi mikro. Selain itu jenis bahan makanan ini belum banyak dimanfaatkan menjadi biskuit, khususnya terkait perbaikan gizi pada anak balita. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen, menggunakan rancangan penelitian acak lengkap yang terdiri dari dua faktor yaitu tepung pisang awak masakdan tepung kecambah kedelaidengan 3 perlakuan.dengan perbandingan tepung terigu dengan tepung pisang awak 60% : 40%, tepung terigu dengan kecambah kedelai sebesar 60%:40%, dan tepung terigu dengan tepung pisang awak dan kecambah kedelai 60%:20%:20%. Pembuatan biskuit dilakukan di Laboratoriun FKM USU. Pengujian zat gizi dilakukan di Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan. Pelaksanaan uji daya terima dilakukan di posyandu Namogajah kecamatan Medan tuntungan.penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai Juni Data yang dikumpulkan, diolah secaramanual. Hasil nilai rata-rata dianalisisuntuk mengetahui apakah databerdistribusi normal atau tidak denganmenggunakan Uji Kesamaan Varians(Uji Bartlet). Apabila data berdistribusinormal maka dilanjutkan denganmenggunakan Analisa Sidik Ragam.Apabila data tidak berdistribusi normalmaka dilanjutkan dengan Uji Kruskal Wallis. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari ketiga perlakuan yang berbeda terhadap biskuit maka

14 dihasilkan biskuit yang berbeda. Biskuit tepung pisang awak A1 berwarna coklat, aroma biskuit pisang, rasa khas pisang, dan memiliki tekstur sedikit keras. Biskuit kecambah kedelai A2 berwarna putih kekuningan, beraroma biskuit kedelai, rasa khas kedelai, dan tekstur renyah. Biskuit dengan campuran tepung pisang awak dan kecambah kedelai berwarna kuning kecoklatan, beraroma pisang dan sedikit kedelai, rasa khas pisang dan sedikit kedelai gurih, dan memiliki tekstur renyah. Analisis Organoleptik Warna Biskuit Hasil analisis organoleptik warna biskuit dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini Tabel 1. Hasil Analisis Organoleptik Warna Biskuit Kriteria A1 A2 A3 Warna Panelis Skor Panelis Skor Panelis Skor Suka Kurang suka Tidak suka Total % 76,6 90,0 88,9 Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat total skor biskuit pada perlakuan A 2 memiliki skor tertinggi 81 (90,0%). Berdasarkan uji Barlett maka dapat diketahui bahwa varians data populasi dimana sampel ditarik adalah seragam (homogen) yaitu b h (0,940) > b c (0,93)sehingga dapat dilanjutkan ke Analisis Sidik Ragam. Tabel 2. Hasil Analisis Sidik Ragam Terhadap Warna Sumber perlakuan Galat Total keragaman Db JK 2,96 29,27 32,23 KT 1,48 0,34 F hitung 4,39 F tabel (α=0,05) 3,15 Keterangan Ada perbedaan Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa nilai F hitung (4,39) > F tabel (3,15). Hal ini berarti bahwa ada perbedaan warna pada setiap biskuit yang dihasilkan pada perlakuan A 1, A 2 dan A 3. Maka dapat dilanjutkan uji ganda duncan. Tabel 3. Hasil Uji Ganda Duncan terhadap Warna Perlakuan A1 A3 A2 Rata-rata 2,3 2,67 2,7 A2 A3 = 2,7 2,67 = 0,03 < 0,31 A2 A1 = 2,7 2,3 = 0,4 > 0,32 A3 A1 = 2,67 2,3 = 0,37 > 0,31 Jadi A2 = A3 Jadi A2 A1 Jadi A3 A1 Berdasarkan Uji Duncan seperti pada tabel 3, dapat disimpulkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap warna biskuit A3 sama dengan A2, namun biskuit A1 berbeda dengan kedua biskuit lainnya. Hal ini berarti bahwa warna biskuit A2 dan A3 lebih disukai daripada warna biskuit A1 karena biskuit A1 mempunyai penilaian yang paling rendah (2,3) dimana semakin rendah tingkat penilaian maka biskuit akan kurang disukai. Analisis Organoleptik Aroma Biskuit Hasil analisis organoleptik aroma biskuit dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini Tabel 4. Hasil Analisis Organoleptik AromaBiskuit Kriteria A1 A2 A3 Warna Panelis Skor Panelis Skor Panelis Skor Suka Kurang suka Tidak suka Total % 95,6 85,6 96,7 Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat total skor biskuit pada perlakuan

15 A 3 memiliki skor tertinggi yaitu 87 (96,7%). Dari uji Barlett maka dapat diketahui bahwa varians data populasi dimana sampel ditarik adalah tidak seragam (tidak homogen) yaitu b h (0,649)< b c (0,93)sehingga dapat dilanjutkan ke Analisis Kruskal Wallis. Tabel 5. Hasil Analisis Kruskal Wallis terhadap AromaBiskuit Aroma N Mean Rank p-value Perlakuan A1 3 45,50 A ,36 0,939 A ,91 Total 90 Berdasarkan hasil analisis Kruskal Wallis pada Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa nilai p-value = 0,939 >α=0,05. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan aroma pada setiap biskuit yang dihasilkan pada perlakuan A 1, A 2 dan A 3. Analisis Organoleptik Rasa Biskuit Hasil analisis organoleptik rasa biskuit dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini Tabel 6.Hasil Analisis Organoleptik AromaBiskuit Kriteria A1 A2 A3 Rasa Panelis Skor Panelis Skor Panelis Skor Suka Kurang suka Tidak suka Total % 92,3 84,5 94,5 Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat total skor biskuit pada perlakuan A 3 memiliki skor tertinggi 85(94,5%). Dari uji Barlett maka dapat diketahui bahwa varians data populasi dimana sampel ditarik adalah seragam (homogen) yaitu b h (0,972)> b c (0,93)sehingga dapat dilanjutkan ke Analisis Sidik Ragam. Tabel 7. Hasil Analisis Sidik Ragam Terhadap Rasa Sumber keragaman perlakuan Galat Total Db JK 1,49 21,00 22,49 KT 0,74 0,24 F hitung 3,08 F tabel (α=0,05) 3,15 Keterangan Tidak ada perbedaan Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 7 di atas dapat dilihat bahwa nilai F hitung (3,08) < F tabel (3,15). Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan rasa pada setiap biskuit yang dihasilkan pada perlakuan A 1, A 2 dan A 3. Analisis Organoleptik Tekstur Biskuit Hasil analisis organoleptik tekstur biskuit dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini Tabel 8. Hasil Analisis Organoleptik teksturbiskuit Kriteria A1 A2 A3 warna Panelis Skor Panelis Skor Panelis Skor Suka Kurang suka Tidak suka Total % 91,1 88,9 90,0 Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat total skor biskuit pada perlakuan A 1 memiliki skor tertinggi 82 (91,1%). Dari uji Barlett maka dapat diketahui bahwa varians data populasi dimana sampel ditarik adalah seragam (homogen) yaitu b h (0,99)> b c (0,93)sehingga dapat dilanjutkan ke Analisis Sidik Ragam.

16 Tabel 9. Hasil Analisis Sidik Ragam Terhadap Tekstur Sumber Perlakuan Galat Total Keragaman Db JK 0,07 22,83 22,90 KT 0,03 0,26 F hitung 0,127 F tabel (α=0,05) 3,15 Keterangan Tidak ada perbedaan Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa nilai F hitung (0,127) < F tabel (3,15). Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan tekstur pada setiap biskuit yang dihasilkan pada perlakuan A 1, A 2 dan A 3. Analisis Kandungan Karbohidrat, Protein, Lemak, Abu dan Air pada Biskuit Substitusi Tepung Pisang Awak Masak dan Kecambah Kedelai Hasil analisis kandungan karbohidrat, protein, lemak, abu dan air pada biskuit dengan tiga perlakuan dapat dilihat pada tabel 10 Tabel 10. Kandungan Zat Gizi dalam 100 grambiskuit Zat Gizi A1 A2 A3 Karbohidrat 61,95 55,47 55,46 (gr) Protein (gr) 7,69 13,7 10,3 Lemak (gr) 22,4 24,3 25,9 Kadar Air (gr) 6,69 4,88 6,76 Kadar Abu (gr) 1,27 1,65 1,58 Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat hasil dari kandungan gizi biskuit menunjukkan kandungan karbohidrat paling tinggi terdapat pada A1 yaitu biskuit dengan substitusi tepung pisang awak sebesar 61,95%. Kandungan protein paling tinggi terdapat pada A2 yaitu biskuit dengan substitusi kecambah kedelai yaitu sebesar 13,7%. Sedangkan pada A3 terdapat kandungan lemak paling tinggi yaitu 25,9%. Biskuit dengan subtitusi tepung pisang awak masak memberi kontribusi karbohidrat sebesar 61,95%, biskuit dengan penambahan tepung kecambah kedelai 55,47% dan biskuit dengan campuran tepung pisang dan kecambah kedelai mengandung 55,46% karbohidrat. Menurut syarat mutu biskuit SNI kandungan karbohidrat mencapai 70% sedangkan biskuit substitusi tepung pisang awak masak dengan kecambah kedelai dengan tiga perlakuan belum mencapai 70%. Kandungan protein yang terdapat pada biskuit masing masing sebesar 7,69%, 13,7%, 10,3% ini menunjukkan sudah memenuhi syarat mutu biskuit menurut SNI dengan minimum kadar protein sebesar 6%. Biskuit dengan penambahan tepung kecambah kedelai menyumbang protein paling banyak dari ketiga perlakuan pada biskuit. Kandungan Protein yang tinggi dalam suatu makanan berfungsi sebagai zat pengatur dan pembangun yang dapat berperan dalam proses pertumbuhan dan pembentukan jaringan pada masa pertumbuhan khusus nya pada balita. Kandungan lemak pada biskuit yaitu sebesar 22,4% pada perlakuan pertama, 24,3%, dan 25,9% untuk perlakuan kedua dan ketiga, sudah memenuhi syarat yaitu minimum kandungan lemak 9,5% dalam 100 gram biskuit. Lemak merupakan zat gizi penghasil energi yang paling tinggi konsentrasinya. Energi yang diperoleh dari lemak menghemat protein agar digunakan untuk sintesis jaringan. Untuk menjaga pertumbuhan dan perkembangan neurologis makanan balita mengandung asam lemak esensial berupa asam linoleat dan asam linolenat. (Almatsier, 2011). Kandungan air pada biskuit yaitu masing masing sebesar 6,69%,

17 4,88% dan 6,76%, hanya perlakuan kedua yaitu biskuit dengan penambahan tepung kecambah kedelai yang memenuhi syarat yaitu maksimal kandungan air 5%. Dengan kandungan air yang banyak pada biskuit menurunkan daya tahan biskuit untuk jangka waktu simpan yang lama. Pada kadar abu maksimum 2% pada biskuit menurut syarat SNI sedangkan biskuit dengan penambahan tepung pisang awak masak dan kecambah kedelai mengandung masing masing 1,27%, 1,65% dan 1,58% sudah memenuhi. Balita dianjurkan mengkonsumsi protein perharinya yaitu sebesar 35 gram perhari menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.75 tentang Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Untuk Bangsa Indonesia. Biskuit dengan substitusi tepung pisang awak masak dan kecambah kedelai dapat menyumbang 5,3% - 9,4% protein dari kebutuhan perhari balita. Karbohidrat paling banyak terkandung dalam biskuit dengan penambahan tepung pisang awak masak. Jika balita mengkonsumsi sebanyak 24 gram biskuit diperkirakan dapat menyumbang karbohidrat sebanyak 6,7% dari kebutuhan karbohidrat perhari yaitu 220 gram. Dengan demikian biskuit dapat dijadikan makanan selingan atau cemilan pada balita karena telah diperkaya akan protein. Protein yang lebih banyak didapat dari biskuit kecambah kedelai dan biskuit dengan campuran tepung pisang awak masak sedangkan untuk karbohidrat paling banyak terdapat biskuit dengan penambahan tepung pisang awak masak. KESIMPULAN DAN SARAN Penambahan tepung pisang awak masak dan kecambah kedelai pada biskuit menunjukkan ada perbedaan berdasarkan warna, tidak ada perbedaan berdasarkan indikator aroma, rasa dan tekstur Berdasarkan uji daya terima panelis ibu balita menunjukkan biskuit campuran tepung pisang awak masak dan kecambah kedelai yang paling disukai, uji daya terima panelis balita menunjukkan biskuit tepung pisang awak masak, kecambah kedelai, campuran tepung pisang awak masak dan kecambah kedelai disukai balita. Kandungan gizi pada biskuit substitusi tepung pisang awak masak, kecambah kedelai, campuran tepung pisang awak masak dan kecambah kedelai memberikan kontribusi karbohidrat sebesar 61,95%, 55,47%, 55,46%. Protein sebesar 7,69%, 13,7%, 10,3%, lemak sebesar 22,4%, 24,3%, 25,9%. Disarankan agar ketiga perlakuan biskuit dapat dimanfaatkan sebagai alternatif makanan tambahan. Jika ditinjau dari kandungan protein biskuit kecambah kedelai lebih disarankan agar dapat dikonsumsi balita sebagai makanan tambahan untuk pencegahan gizi kurang. DAFTAR PUSTAKA Almatsier Sunita, Susirah Soetardjo, Moesjianti Soekatri Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Ardiani Fitri dan Jumirah Pengembangan formula MP-ASI dari bahan dasar pisang awak (Musa paradisiaca var Awak) dengan kecambah kedelai (Glycin max) dan ikan lele dumbo(claria gariepinus). Cahyadi, W Kedelai Khasiat dan Teknologi. Bumi Aksara. Jakarta Depkes R.I.,2013.Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia

18 (Riskesdas) 2013, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta Febrina, Y Pengaruh Penambahan Tepung Wortel Terhadap Daya Terima Dan Kadar Vitamin A Pada Biskuit. Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan Mervina, Formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo (clarias gariepinus) dan isolat protein kedelai (glycine max) sebagai makanan potensial untuk anak balita gizi kurang. Skripsi, departemen gizi masyarakat fakultas ekologi manusia, IPB, Bogor. / /12282 PerMenKes R.I. No Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2013 Tentang Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Dibuka pada website pada tanggal 30 mei 2015 Puspita Winda, Pola Pemberian Pisang Awak (Musa Paradisiaca Var. Awak), Status Gizi Dan Gangguan Saluran Pencernaan Pada Bayi Usia 0-12 Bulan Di Desa Paloh Gadeng Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara Tahun Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan Ramadhani, M Pemanfaatan Tepung Ceker Ayam Pada Pembuatan Biskuit Dan Uji Daya Terima. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan Standar Nasional Indonesia (SNI) Syarat Mutu Biskuit. Departemen Perindustrian RI

19 DAYA TERIMA BROWNIES TEPUNG BIJI KECIPIR DAN KANDUNGAN GIZINYA Elvira Dewinta Indria 1, Ernawati Nasution 2, Albiner Siagian 3 1 Alumni Program Sarjana IKM FKM USU, Medan 2,3 Staf Pengajar IKM FKM USU, Medan ABSTRACT Wing bean is a plant that started forgotten and not used. Wing bean only used as seed and the rest thrown away. Wing bean contain proteins that similar to soy bean s proteins, amount 32,8 mg. Therefore, wing bean processed into brownies to make wing bean more used and increase the nutritional value of brownies. The aim of this researched were to know acceptable of wing beans s brownies. The type of this researched were experiment using a completely randomized design. Panelists in this research are 30 people. Data received processed manually and analyzed by using descriptive analysis percentage. The result showed that the organoleptic test based on taste, scent, colour, and texture, the panelists like the wing bean s brownies with percentage of taste 93,3 %, scent 82,3 %, colour 88,9 % and texture 96,7 %. Based on calculating using nutrisurvey of 100 gr material, obtained energy 289,5 kcal, protein 10,1 gr carbohydrate 20,8 gr and fats 27,0 gr. The conclusion of this researched were the taste, scent, colour and texture of wing bean s brownies liked. Wing bean s brownies has advantages than wheat flour brownies, because the energy and carbohydrate is lower than wheat flour brownies and the protein is higher than wheat flour brownies. Suggestions of this research is the people can use the wing bean brownies as the alternative of meal that high protein and low carbohydrate. Moreover, it need future research to reduce the original scent of wing bean flour. Keyword : Acceptibility test, Brownies, Wing bean, Nutrient Content PENDAHULUAN Tanaman kecipir (Psophocarpus tertagonolobus) merupakan tanaman tropis yang mudah dibudidayakan dan sudah dikenal dimasyarakat. Umumnya tanaman kecipir digunakan sebagai sayur. Namun, saat ini kecipir sudah mulai dilupakan dan tidak dimanfaatkan secara maksimal. Tanaman kecipir bisa tumbuh dengan mudah, namun banyak masyarakat yang hanya menjadikan kecipir sebagai tanaman pagar atau semak semata. Padahal kecipir memiliki banyak manfaat, mulai daun, polong, dan biji bisa dimanfaatkan. Polong mudanya bisa dikonsumsi sebagai sayuran, sedangkan bijinya bisa dikonsumsi setelah disangrai atau direbus. Tekstur biji kecipir yang keras dan bau langu yang khas, menyebabkan masyarakat masih kurang memanfaatkan biji kecipir. Biji Kecipir memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap. Dalam 100 gr biji kecipir mengandung energi sebesar kkal, protein 29,4 37,4 gr, karbohidrat 25,2 38,4 gr, dan lemak 15 18,3 gr (Haryoto, 1996). Protein berperan penting dalam pertumbuhan tulang, otot, dan organ tubuh lainnya. Kekurangan protein pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan anak mengalami kelainan pertumbuhan (Wasis, 2008). Tak hanya protein, 1

20 2 kecipir mengandung lemak tak jenuh yang baik untuk mengikat kolestrol jahat dan menurunkan trigliserida. 70 % asam lemak pada kecipir adalah asam linolenat atau omega 3 yang baik untuk kesehatan jantung. Pada anak-anak, asam linolenat berguna dalam pertumbuhan, kesehatan retina, dan perkembangan otak. Brownies adalah jenis makanan yang tidak asing lagi saat ini. Brownies merupakan salah satu pangan yang terkenal dan menjadi favorit banyak orang. Brownies umumnya dibuat dengan cara dipanggang. Namun, sudah banyak juga pengolahan dengan cara dikukus. Brownies memiliki tekstur yang padat, tidak berongga, dan tidak begitu empuk, karena brownies tidak begitu mengembang seperti cake pada umumnya (Ayustaningwarno, 2014). Saat ini brownies sudah diolah dengan berbagai campuran. Mulai dari ubi jalar, labu, hingga tempe. Namun kesemuanya tetap menggunakan bahan utama yang sama, yaitu tepung terigu. Tepung terigu merupakan tepung atau bubuk yang berasal dari biji gandum. Kata terigu dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Portugis, trigo yang berarti gandum. Tepung terigu banyak mengandung zat pati, yaitu karbohidrat komplek yang tidak larut dalam air. Selama ini kebutuhan tepung terigu di Indonesia diperoleh dengan cara mengimpor dalam jumlah besar. Berdasarkan data BPS, dikatakan bahwa impor terigu sepanjang tahun 2013 mencapai ton. Impor tersebut turun dibandingkan tahun 2012 yang mencapai ton. Sedangkan pada tahun 2011 impor tepung terigu mencapai ton. Walaupun telah terjadi penurunan, impor terigu masih termasuk tinggi. Sebenarnya masih ada bahan pangan yang bisa dijadikan alternatif penggunaan tepung terigu, yang akan mampu membantu mengurangi ketergantungan akan tepung terigu (BPS, 2013). Dewasa ini sudah banyak dikembangan penggunaan tepungtepung dari bahan umbi seperti ubi, kentang, bahkan biji buah-buahan seperti durian, nangka, dan lainnya. Akan tetapi, kacang-kacangan juga bisa kita jadikan sebagai bahan pembuatan tepung. Di Indonesia banyak terdapat jenis kacang-kacangan, seperti kacang kedelai, kacang hijau, kacang merah, dan lainnya. Ada satu jenis biji yang bisa digunakan sebagai salah satu pilihan dalam pembuatan tepung yaitu biji kecipir. Dibandingkan dengan tepung terigu, tepung biji kecipir lebih unggul dalam beberapa zat gizi seperti protein, lemak tidak jenuh, dan rendah karbohidrat. Selain itu, kandungan mineral seperti kalsium dan fosfor lebih tinggi daripada tepung terigu (Djarir, 1982). Kecipir juga merupakan sumber protein nabati yang baik karena mengandung asam amino yang cukup lengkap (Haryoto, 1996). Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk mengolah biji kecipir menjadi tepung dan mengolahnya menjadi bahan baku pembuatan brownies. Sebelumnya, sudah pernah ada penelitian dengan menggunakan biji kecipir, akan tetapi biji kecipir tersebut diolah menjadi tempe (Nababan, 2012). Dan penelitian lainnya membuat cookies dengan menggunakan tepung biji kecipir, akan tetapi tepung biji kecipir yang digunakan ditambahkan dengan tepung ubi jalar (Pamungkas, 2008). Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana daya terima brownies tepung biji kecipir. Tujuan umum dari peneitian ini adalah untuk mengetahui hasil uji daya terima dari brownies tepung biji kecipir dan kandungan gizinya.

21 3 METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Penelitian ini terdiri dari satu faktor yaitu tepung biji kecipir dengan satu perlakuan yaitu substitusi tepung terigu 100 %. Pembuatan tepung biji kecipir, brownies biji kecipir, dna uji daya terima dilakukan di laboratorium Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU. Data uji daya terima, diolah secara manual dan dianalisis dengan menggunakan analisa deskriptif persentase. Kandungan gizi dari brownies tepung biji kecipir dihitung dengan menggunakan nutrisurvey. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Brownies yang Dihasilkan Berdasarkan hasil penelitian, brownies tepung biji kecipir memiliki bentuk dengan motif bunga mawar. Brownies dicetak dengan motif bunga mawar untuk mempercantik penampilan. Brownies memiliki diameter sekitar 5 cm dengan berat sekitar 22 gr per potongnya. Brownies juga memiliki warna coklat dan memiliki aroma khas kecipir. Teksturnya lembut mengembang, karena diolah dengan cara dikukus. Analisa Organoleptik Rasa Brownies Tepung Biji Kecipir Berdasarkan uji daya terima kepada panelis terhadap rasa dari brownies tepung biji kecipir, menunjukkan bahwa panelis menyukai rasa dari brownies tepung biji kecipir 93,3 %. Hasil organoleptik aroma brownies tepung biji kecipir dapat dililhat pada tabel berikut : Tabel 1. Hasil Analisa Organoleptik Rasa Brownies Biji Kecipir Kriteria Penerimaan Panelis Skor % Suka ,0 Kurang Suka ,3 Tidak Suka 0 0 0,0 Total ,3 Rasa pada brownies, dipengaruhi oleh tepung biji kecipir, gula, margarin, dan coklat. Penggunaan tepung biji kecipir sebagai pengganti tepung terigu memberikan rasa yang berbeda pada brownies dibandingkan dengan brownies pada umumnya yang menggunakan tepung terigu. Menurut Gracia (2009) dalam penelitiannya dikatakan bahwa penambahan margarin, gula, dan telur dalam pembuatan bolu sangat mempengaruhi rasa. Semakin tinggi nilai penambahan bahan-bahan tersebut semakin disukai karena rasanya semakin enak. Dikatakan oleh Winarno (1997), bahwa rasa banyak melibatkan panca indera yaitu lidah. Agar suatu senyawa dapat dikenali rasanya, senyawa tersebut harus dapat mengadakan hubungan dengan mikrovilus dan impuls akan dikirim ke pusat susunan syaraf. Rasa suatu bahan makanan dipengaruhi oleh senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa lainnya. Setiap orang memiliki batas konsentrasi yang berbeda terhadap rasa. Sehingga penilaian setiap panelis terhadap brownies berbeda-beda, karena adanya kemungkinan peningkatan atau penurunan intensitas rasa. Analisa Organoleptik Aroma Brownies Tepung Biji Kecipir Berdasarkan hasil penelitian terhadap aroma pada brownies tepung biji kecipir, didapatkan hasil bahwa panelis menyukai aroma brownies tepung biji kecipir 82,3 %. Hasil uji organoleptik aroma brownies tepung

22 4 biji kecipir dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 2. Hasil Analisa Organoleptik Aroma Brownies Tepung Biji Kecipir Kriteria Penerimaan Panelis Skor % Suka ,7 Kurang Suka ,6 Tidak Suka 0 0 0,0 Total ,3 Brownies tepung biji kecipir memiliki aroma khas biji kecipir. Biji kecipir memiliki bau yang tajam, namun hal ini bisa dikurangi dengan merendam dan merebus biji kecipir sebelum diolah menjadi tepung dan kemudian melakukan penyangraian pada tepungnya (Sutomo, 2014). Selain itu, ditambahkan vanili pada pembuatan brownies biji kecipir agar membuat brownies menjadi lebih harum dan mengurai bau langu pada brownies. Analisa Organoleptik Warna Brownies Tepung Biji Kecipir Pada warna brownies tepung biji kecipir, setelah dilakukan uji organoleptik didapatkan bahwa panelis menyukai warna brownies 88,9 %. Hasil analisa organoleptik warna brownies tepung biji kecipir dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3. Hasil Analisa Organoleptik Warna Brownies Tepung Biji Kecipir Kriteria Penerimaan Panelis Skor % Suka ,0 Kurang Suka ,8 Tidak Suka 1 1 1,1 Total ,9 Brownies tepung biji kecipir memiliki warna coklat. Warna pada brownies dihasilkan dari penggunaan pasta coklat. Menurut Winarno (1997), warna memiliki fungsi yang sangat penting pada makanan karena dapat meningkatkan selera. Warna makanan yang menarik dapat mempengaruhi penerimaan konsumen. Betapapun lezatnya makanan apabila penampilannya tidak menarik saat dihidangkan, maka tidak akan membangkitkan selera orang yang akan memakannya (Moehyi, 1992). Analisa Organoleptik Tekstur Brownies Tepung Biji Kecipir Selain rasa, aroma dan warna dilakukan pennilaian terhadap tekstur brownies tepung biji kecipir. Berdasarkan uji organoleptik panelis menyukai tekstur dari brownies biji kecipir yaoti 96,7 %. Hasil analisa organoleptik tekstur brownies tepung biji kecipir dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4. Hasil Analisa Organoleptik Tekstur Brownies Tepung Biji Kecipir Kriteria Penerimaan Panelis Skor % Suka ,0 Kurang Suka 3 6 6,7 Tidak Suka 0 0 0,0 Total ,7 Brownies tepung biji kecipir memiliki tekstur yang lembut dan mengembang. Hal ini juga dipengaruhi oleh cara pengolahan brownies yaitu dengan cara dikukus. Dibandingkan dengan brownies panggang, brownies kukus memiliki tekstur yang lebih mengembang dan lembut. Brownies yang dipanggang memiliki tekstur yang padat dan tidak mengembang. Dalam Gracia (2009), Fellows mengatakan bahwa tekstur pada brownies meliputi kekerasan dan kelembutan. Tekstur pada makanan sangat dipengaruhi oleh kadar air, kadar lemak, jumlah dan jenis karbohidrat serta protein yang menyusunnya. Pada brownies biji kecipir, komposisi bahan berpengaruh terhadap rasa, aroma, warna, dan tekstur brownies. Penggunaan gula yang berlebih dapat membuat tekstur brownies menjadi lebih lembek dan basah. Selain itu, rasanya menjadi terlalu manis. Tepung biji kecipir yang terlalu banyak dan terlalu sedikit dapat mempengaruhi tekstur dari brownies.

23 5 Apabila tepung digunakan terlalu banyak maka adonan menjadi keras atau tidak mengembang, sedangkan tepung yang terlalu sedikit akan membuat adonan menjadi lembek. Selain itu, tepung biji kecipir dapat juga mempengaruhi aroma broenies karena secara alami tepung biji kecipir memiliki bau langu yang khas. Warna pada brownies didapat dengan menggunakan pasta coklat. Penggunaan pasta yang terlalu banyak membuat warna terlalu pekat dan rasa menjadi pahit. Kandungan Gizi Brownies Tepung Biji Kecipir Dari setiap 100 gr biji kecipir tua, dapat dihasilkan gr tepung biji kecipir. Untuk melihat kandungan gizi brownies tepung biji kecipir digunakan nutrisurvey. Nilai gizi yang dihitung terutama energi, karbohidrat, protein dan lemak. Nilai energi dan karbohidrat dalam brownies tepung biji kecipir dapat dilihat dalam tabel di bawah ini : Tabel 5. Hasil Perhitungan Energi dan Karbohidrat dalam Brownies Tepung Biji Kecipir Nama Makanan Jumlah (gr) Energi (kkal) Karbo (gr) Tepung Biji Kecipir 70 67,8 25,5 Telur Ayam ,3 2,6 Gula Pasir ,0 99,9 Margarin ,0 0,0 Tepung Maizena 15 57,1 13,7 Total ,1 141,8 Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa 1 adonan brownies biji kecipir menghasilkan energi sebesar 1520,1 kkal dan karbohidrat 141,8 gr. Satu adonan brownies tepung biji kecipir dapat menghasilkan 24 potong brownies. Sehingga bisa dihitung nilai energi untuk satu potong brownies tepung biji kecipir adalah 63,3 kkal dan karbohidrat 5,8 gr. Kandungan gizi dari brownies tepung biji kecipir adalah sebagai berikut : Tabel 6. Kandungan Gizi Brownies Tepung Biji Kecipir Kandungan Gizi Jumlah Total Jumlah Per Potong Energi (kkal) 1520,1 63,3 Protein (gr) 53,2 2,2 Lemak (gr) 109,4 4,6 Karbohidrat (gr) 141,8 5,9 Vitamin A ( g) 706,0 29,4 Vitamin B ( g) 1,2 0,1 Fosfor (mg) 416,8 17,4 Zat Besi (mg) 3,1 0,1 Berdasarkan tabel di atas, didapatkan bahwa sepotong brownies tepung biji kecipir mengandung 63,3 kkal energi, 2,2 gr protein, 4,6 gr lemak, dan 5,91 gr karbohidrat. Jika dibandingkan dengan AKG untuk lakilaki berumur tahun, maka sepotong brownies dapat menyumbang sebanyak 2,32 % energi, 3,58 % protein, 5,01 % lemak dan 1,58 % karbohidrat. Sedangkan untuk perempuan berumur tahun, sepotong brownies menyumbang sebanyak 2,82 % energi, 3,96 % protein, 6,08 % lemak, dan 1,91 % karbohidrat. Dilihat dari persentase berikut, sepotong brownies memberikan sedikit kontribusi untuk kecukupan gizi harian (AKG, 2013). Dibandingkan brownies tepung terigu, brownies tepung biji kecipir memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 7. Perbedaan Kandungan Gizi Brownies Kecipir dan Brownies Terigu dalam 100 gr bahan Kandungan Gizi Brownies Kecipir Brownies Terigu Energi (kkal) 289,5 434,0 Protein (gr) 10,1 4,0 Lemak (gr) 20,8 14,0 Karbohidrat(gr) 27,0 76,6 Fosfor (mg) 79,4 82,0 Zat Besi (mg) 0,6 1,0 Brownies tepung biji kecipir mengandung 289,5 kkal energi. Jumlah

24 6 ini lebih rendah dibandingkan dengan brownies tepung terigu yang mengandung 434,0 kkal energy (Djarir, 1982). Pada orang yang ingin mengkonsumsi makanan yang rendah kalori, biji kecipir dapat menjadi salah satu pertimbangan. Selain energi, jumlah protein, lemak, dan karbohidrat pada brownies biji kecipir juga berbeda dari brownies tepung terigu. Kandungan protein pada brownies tepung biji kecipir adalah 10,1 gr, lebih tinggi dibandingkan dengan brownies tepung terigu yang hanya mengandung 4,0 gr protein (Djarir, 1982). Hal ini dikarenakan biji kecipir mengandung protein yang cukup tinggi. Protein pada kecipir setara dengan kacang kedelai, dimana kacang kedelai merupakan sumber protein nabati yang baik bagi tubuh. Protein pada kecipir adalah 29,4 37,4 mg (Haryoto, 1996). Gandum sebagai bahan dasar pembuatan tepung terigu mengandung lebih sedikit protein dibandingkan dengan biji kecipir. Sebagaimana diketahui, protein memiliki fungsi yang baik untuk pertumbuhan, pemeliharaan sel, dan pengatur jaringan. Saat cadangan energi dari karbohidrrat tidak mencukupi, protein juga dapat menjadi pengganti sumber energi bagi tubuh (Almatsier, 2004) Dalam 100 gr bahan brownies tepung biji kecipir mengandung 27,0 gr karbohidrat, sedangkan pada brownies tepung terigu mengandung karbohidrat sebesar 76,6 gr (Djarir, 1982). Pada orang yang sedang melalukan diet rendah karbohidrat, brownies tepung biji kecipir bisa menjadi pilihan cemilan brownies karena mengandung karbohidrat yang lebih rendah dibandingkan dengan brownies tepung terigu. Karbohidrat merupakan salah satu zat gizi makro yang dapat dicerna tubuh untuk menghasilkan glukosa dan energi. Fungsi utama karbohidrat adalah menyediakan energi bagi sel terutama otak. Kekurangan glukosa dalam darah dapat menyebabkan lemas dan pingsan, sedangkan kelebihannya dapat meningkatkan resiko diabetes (Marks, 2000). KESIMPULAN 1. Brownies biji kecipir memiliki rasa seperti brownies pada umumnya, berwarna coklat, beraroma khas kecipir, dan teksturnya lembut. 2. Berdasarkan uji organoleptik, brownies tepung biji kecipir disukai dari rasa, aroma, warna, dan tekstur. 3. Berdasarkan uji kandungan gizi, brownies tepung biji kecipir mengandung energi dan karbohidrat yang lebih rendah dari brownies tepung terigu, sedangkan kandungan proteinnya lebih tinggi dibandingkan brownies tepung terigu. SARAN 1. Brownies tepung biji kecipir dapat dijadikan sebagai cemilan atau variasi panganan jananan pada keluarga, anak sekolah, ataupun remaja, yang mana merupakan cemilan yang rendah energi dan karbohidrat serta tinggi protein. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menghilangkan bau langu yang khas pada tepung biji kecipir. DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia. Angka Kecukupan Gizi (AKG) Jakarta Ayustaningwarno, dkk Aplikasi Pengolahan Pangan. Yogyakarta. Deepublish. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam agro.kemenperin.go.id/1969- Naiknya-Kebutuhan-Gandum- Untuk-Produksi-Terigu. Diakses tanggal 1 April 2015.

25 7 Djarir, M Deskripsi Pengolahan Hasil Nabati. Yogyakarta. Agritech. Gracia, C, S dan Haryanto, B Kajian Formula Biskuit Jagung Dalam Rangka Substitusi Tepung Terigu. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol XX No. 1 Haryoto, Tempe dan Kecap kecipir. Yogyakarta : Kanisius. Marks, D.B, dkk Biokimia Kedokteran Dasar. : Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta : EGC. Moehyi, S Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Tata Boga. Jakarta : Bhratara. Nababan, F.E Uji Daya Terima Tempe Biji Kecipir Beras Merah dan Kandungan Gizinya. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, Medan. Pamungkas, E.S Pemanfaatan Tepung Ubi Kayu dan Tepung Biji Kecipir Sebagai Substitusi Terigu dalam Pembuatan Cookies. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Sutomo, B Rebus Kecipir Untuk Hilangkan Aroma Langu dalam /03/10/298 diakses tanggal 2 April Wasis Ilmu Pengetahuan Alam 2 : SMP/MTs Kelas VIII. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional. Winarno, F.G Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

26 ANALISIS INDEKS GLIKEMIK PADA NASI CAMPURAN ANTARA BERAS (Oriza sp) DENGAN UBI JALAR ORANGE (Ipomoea batatas L) Fannisa Izzati 1, Evawany Y Aritonang 2, Albiner Siagian 2 1 Alumni Program Sarjana IKM FKM USU, Medan 2 Staf Pengajar IKM FKM USU, Medan ABSTRACT Sweet potato rice is an alternative food are substituting rice with sweet potatoes. Orange sweet potatoes orange contents much β-carotene which is caused sweet potato rice as a kind of rice rich in antioxidants. Orange sweet potato can be processed into refined products, one of them into flour. Through the orange sweet potato flour can also be processed into orange sweet potato rice. The glycemic index is a blood glucose response to food compared with blood glucose response to pure glucose. The glycemic index is purpose for determining the blood glucose response to the type and amount of food consumed. The type of research used in this study is an experimental research, namely to produce rice from the rice with the addition of orange sweet potato flour with the ratio of one to one (1: 1). The purpose of this study was to determine the glycemic index food such as sweet potato rice test closer glycemic index rice or sweet potato glycemic index and how the velocity raise blood sugar levels after eating the test food. The composition of nutrients in orange sweet potato rice is water 52.6%, dust 0.29%, protein 4.74%, fat 0.57%, carbohydrate 41.2% and crude fiber 0.44%. The energy content contained on orange sweet potato rice amounting to kcal. The results of this study indicate that the glycemic index is based on the measurement of orange sweet potato rice by using a reference food such as white bread showed that orange sweet potato rice has a glycemic index value of 83% and this figure is included in the category of food that has a high glycemic index value (> 70 ). Need to do further research on the glycemic index orange sweet potatoe rice with a composition ratio of the other as an ingredient in the produce of orange sweet potato rice and more further research on the measurement of glycemic index value of other processed foods made from sweet potato (Ipomoea batatas L). Keywords: nabilar, orange sweet potato flour, glycemic index PENDAHULUAN Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kemampuan dan kualitas sumber daya manusianya. Menurut Kusharto dan Muljono (2010) dalam Maulana (2012), kualitas SDM ditandai dengan kondisi fisik dan mental yang kuat, kesehatan yang prima dan pendidikan yang baik, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi terkini. Mengingat hal tersebut, dalam rangka mendukung pembangunan nasional, perlu dilakukan upaya-upaya untuk menanggulangi permasalahan gizi dan kesehatan. Menurut Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa untuk prevalensi angka gizi lebih diperoleh sebesar 13,5% dan obesitas sebesar 1

27 2 15,4%, prevalensi diabetes militus yang terdiagnosa dokter dengan gejala adalah 2,1 % dari jumlah penduduk usia > 15 tahun. Dan diperkirakan bahwa pada tahun 2030 mendatang prevalensi diabetes militus di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Diabetes care, 2004 dalam Depkes, 2009) Pada penatalaksanaan permasalahan gizi, baik gizi lebih maupun gizi kurang salah satu caranya adalah dengan cara pengaturan makan atau diet. Cara ini dapat dilakukan melalui pemilihan jumlah dan jenis karbohidrat yang tepat dengan menggunakan konsep indeks glikemik. Indeks Glikemik (IG) ialah tingkatan pangan yang berpengaruh terhadap kadar gula darah dengan kisaran Jarvi, dkk (1999) dalam Listiati (2011) mengatakan bahwa, pada penderita diabetes, fakta dari penelitian jangka menengah menunjukkan bahwa penggantian karbohidrat yang memiliki IG tinggi dengan pangan yang memiliki IG rendah akan memperbaiki pengendalian gula darah. Beberapa jenis umbi-umbian yang ada di Indonesia, ubi jalar (Ipomoea batatas L) adalah jenis umbi yang pemanfaatannya masih terbatas. Pemanfaatan ubi jalar di Indonesia pada umumnya masih relatif sedikit dan baru dikonsumsi dalam bentuk olahan primer yaitu dibuat menjadi makanan kecil seperti ubi rebus, ubi kukus, ubi panggang, keripik ubi dan kolak ubi. Hanya di beberapa daerah seperti Irian Jaya dan Maluku ubi jalar dikonsumsi sebagai makanan pokok (Lisnan, 2008). Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang berasa manis dan indeks glikemik lebih rendah dibanding beras, sehingga baik dikonsumsi sebagai pengganti beras bagi penderita diabetes. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) dapat dikonsumsi sebagai makanan utama maupun kudapan. Sebagai makanan utama ubi ini dapat diolah menjadi nasi yaitu nasi yang dicampur dengan ubi jalar. Ubi jalar dapat dicampurkan dalam bentuk pasta (Murdiati & Amaliah, 2013). Menurut Sentra Informasi Iptek (2005) dalam Ginting (2010), kandungan energi pada 100g ubi jalar yaitu 71,1 kal, protein 1,4g, lemak 0,17g, pati 22,4g, gula 2,4g dan seratnya 1,6g. Ubi jalar juga mengandung vitamin A 0,01mg, vitamin B 0,09mg, vitamin C sebesar 24 mg, fosfor 51g, besi 0,49g, dan kalsium 29mg. Menurut Murtiningsih dan Suyanti (2011) bahwa nilai indeks glikemik pada ubi jalar orange sebesar 64. Beras (Oriza sp) merupakan makanan sumber energi yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi namun proteinnya rendah. Kandungan gizi beras per 100 gram bahan adalah 360 kkal energi, 6,6gr protein, 0,58gr lemak, dan 79,34gr karbohidrat. Beras putih merupakan bahan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi beras putih berkaitan dengan peningkatan resiko diabetes tipe 2 (Larasati, 2013). Pada artikel penelitian Isa (2014), penelitian yang dilakukan oleh Annisa Sekar Latih yaitu indeks glikemik nasi beras putih sebesar 64, nasi beras hitam 42,3, nasi beras coklat 55 dan nasi beras merah 59. Hasil penelitian yang dilakukan Setyo Harini yaitu nasi beras putih memiliki nilai indeks glikemik 97,58, nasi beras hitam 19,04, nasi beras merah 43,30. Proses pemasakan dapat memengaruhi indeks glikemik suatu pangan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwani, dkk (2007) mengenai IG beras, maka dalam

28 3 penelitian ini menggunakan beras dengan jenis IR 64 yang memiliki IG tinggi yaitu sebesar 70, kemudian dicampurkan dengan ubi jalar orange yang memiliki IG sebesar 54. Pada penelitian eksperimen ini digukanan perbandingan 1:1 yaitu, beras (oriza sp) 50% dan tepung ubi jalar 50%. Penelitian ini menggunakan perbandingan 1:1 untuk mengetahui indeks glikemik pangan uji berupa nasi ubi jalar lebih mendekati indeks glikemik beras atau indeks glikemik ubi jalar dan bagaimana kecepatan menaikkan kadar gula darah setelah mengonsumsi pangan uji tersebut. Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana nilai indeks glikemik nasi ubi jalar orange dengan penambahan 50% tepung ubi jalar orange (50gr). KERANGKA KONSEP Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) Nasi ubi jalar dengan penambahan 50% tepung Ubi Jalar Orange (Ipomoea batatas L) - Kandungan Gizi (Air, Abu, Lemak, Protein, Serat kasar dan Karbohidratamilosa) - Nilai Indeks Glikemik Gambar 1 Kerangka Konsep Penelitian METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Metode penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan (Sugiyono, 2011). Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian eksperimen ini yaitu desain variable tunggal, one shot case study (studi kasus satu tembakan). Pada desain penelitian eksperimen ini terdapat suatu kelompok diberi perlakuan (treatment) dan selanjutnya observasi hasilnya. Dalam eksperimen ini subyek disajikan dengan beberapa jenis perlakuan lalu diukur hasilnya (Ullfah, 2013). Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Penelitian yang dilakukan dengan cara eksperimen ini, memberikan 2 perlakuan kepada relawan. Perlakuan pertama yaitu pemberian pangan acuan berupa roti putih kepada relawan dan perlakuan kedua yaitu pemberian pangan uji berupa nasi ubi jalar orange kepada relawan. Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2014 Juni Pada tanggal 18 dan 19 Mei 2015 dilakukan pemberian pangan acuan kepada 6 relawan berupa roti putih dan diambil sampel darahnya. Pada tanggal 1 dan 2 Juni 2015 dilakukan pemberian pangan uji kepada relawan berupa nasi ubi orange dan diambil sampel darahnya. Subyek dan Obyek Penelitian Pemilihan subyek pada penelitian ini dengan metode purposive sampling. Subyek penelitian ini harus memenuhi beberapa kriteria antara lain:

29 4 subyek merupakan angkatan 2011 dengan rentang usia tahun, dalam keadaan sehat, memiliki indeks masa tubuh normal antara 18,5-24,9 kg/m 2, tidak memiliki riwayat DM, tidak sedang mengalami gangguan pencernaan, tidak sedang menjalani pengobatan, tidak menggunakan obatobatan terlarang dan tidak meminum minuman beralkohol serta bersedia menjadi relawan, dengan persyaratan tersebut diatas yang memenuhi kriteria jadi subyek penelitian hanya 6 orang. Subyek dalam penelitian ini mendapatkan penjelasan rinci mengenai penelitian, yaitu subyek diharuskan puasa ± 10 jam (kecuali air), sampel darah finger-prick capillary blood diambil pada menit ke 0 (saat subyek masih puasa dan sebelum diberikan pangan uji/acuan), kemudian subyek mengkonsumsi pangan uji/acuan dan sampel darah subyek diambil kembali pada menit ke-15, 30, 45, 60, 90, 120 setelah pemberian pangan uji/acuan. Selama penelitian, subyek mendapatkan pergantian biaya transportasi serta berhak untuk mengundurkan diri dari penelitian. Selain itu, subyek juga diminta untuk menandatangi formulir informed consent sebagai bukti bersedia menjadi relawan. Objek penelitian ini adalah nasi ubi jalar dengan pemanfaatan tepung ubi jalar (Ipomoea batatas L) sebesar 50%, hal ini berbeda dengan penelitian Susilowati (2010) yang menggunakan pemanfaat tepung ubi jalar sebesar 30-40%. Ubi jalar yang digunakan adalah dengan kriteria ubi yang masih segar, tidak bercak hitam, tidak berlubang. Metode Pengumpulan Data Data primer merupakan data jumlah mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat yang diperoleh melalui bagian pendidikan Fakultas Kesehatan Masyarakat tempat peneliti melakukan penelitian. Sedangkan data sekunder merupakan data diri para relawan yang harus memenuhi persyaratan yang diperoleh dengan cara wawancara. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: pisau, talenan, baskom/wadah, sendok, ayakan tepung, rice cooker, blender, oven, alat pengukur glukosa darah berupa SD Check Gold, strip analisis glukosa, lancet, jarum, kapas dan alkohol 70%. Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu: roti tawar/roti putih, nasi ubi jalar, sampel darah. Pengolahan dan Analisa Data Data hasil analisis zat gizi yang mencakup kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat diolah meggunakan Microsoft Excell. Hasil glukosa darah subyek pada setiap waktu pegambilan (15 menit pada 1 jam pertama dan 30 menit pada jam ke-2 (menit ke 15, 30, 45, 60, 90, dan ke 120) dirata-ratakan kemudian ditebarkan dalam sumbu x (waktu) dan sumbu y (kadar glukosa darah) menggunakan grafik, maka akan diperoleh sebuah kurva yang menunjukkan respon glukosa darah terhadap pangan yang diberikan untuk masing-masing subyek. Data yang dikumpulkan, disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Kandungan Zat Gizi pada Nasi Ubi Jalar Orange Hasil analisis kandungan kadar air, kadar abu, protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat pada nasi ubi jalar dengan penggunaan 50% tepung ubi jalar orange dan 50% beras yang dianalisis di Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

30 5 Tabel 1 Kandungan Air, Abu, Protein, Lemak, Serat dan Karbohidrat pada Nasi Ubi Jalar Orange No Komposisi Zat Gizi per 100 gram Hasil Kandungan Gizi 1 Air 52,6% 2 Abu 0,29% 3 Protein 4,74% 4 Lemak 0,57% 5 Karbohidrat 41,2% 6 Serat kasar 0,44% Karbohidrat merupakan sumber kalori. Jumlah kalori yang dihasilkan dari 1 gram karbohidrat yaitu 4 kkal. Berdasarkan hasil analisis, kadar karbohidrat pada nasi ubi jalar orange dengan penambahan 50% tepung ubi jalar orange yaitu 41,2%. Sumbangan energi dari karbohidrat pada nasi ubi jalar orange yaitu sebesar 234,6 kkal. Kadar karbohidrat yang terdapat pada nasi ubi jalar orange lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Murni dan Moeljaningsih (2011) yaitu sebesar 75,72% dan juga lebih rendah dari ketepan yang ditetapkan oleh SNI yaitu 70%. Hal ini dapat disebabkan karena ubi jalar orange yang digunakan berasal dari daerah yang berbeda karena tempat penanaman mempengaruhi komposisi zat gizi yang terkandung didalamnya dan proses pemasakan juga dapat mempengaruhi komposisi zat gizi tersebut. Protein berperan sebagai zat pembangun. Dalam 1 gram protein menghasilkan 4 kkal energi. Berdasarkan hasil analisis, kadar protein pada nasi ubi jalar orange adalah 4,74%. Kadar protein pada nasi ubi jalar orange lebih rendah dari kadar protein yang ditetapkan oleh SNI yaitu 9%. Dan penelitian yang dilakukan oleh Murni dan Moeljaningsih (2011) yaitu 11,16%. Lemak memberikan nilai energi lebih besar daripada karbohidrat dan protein, yaitu 9 kkal per gram. Berdasarkan hasil analisis, kadar lemak pada nasi ubi jalar orange yaitu 0,60% lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Murni dan Moeljaningsih (2011) yaitu 0,86%. Kadar air pada nasi ubi jalar orange yaitu 52,6%, lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Murni dan Moeljaningsih (2011) yaitu 7,10%. Adanya perbedaan kadar air pada nasi ubi jalar orange dapat disebabkan karena perbedaan pada proses pemasakan nasi ubi jalar orange yang dilakukan oleh peneliti. Kadar abu merupakan unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas karbon. Berdasarkan hasil analisis, kadar abu pada nasi ubi jalar orange yaitu sebesar 0,29%, lebih rendah dibandingkan penelitian Murni dan Moeljaningsih (2011) yaitu sebesar 2,55%. Kadar abu yang terkandung dalam bahan pangan menunjukkan jumlah kandungan mineralnya. Serat pada nasi ubi jalar orange yaitu 0,44%, lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Murni dan Moeljaningsih (2011) yaitu 2,61%. Pada penelitian ini, jika pangan uji nasi ubi jalar orange dibandingkan dengan nasi putih biasa, nasi ubi jalar orange kaya akan protein, karbohidrat, serat. Nasi putih biasa memiliki kandungan protein sebesar 2,1%, karbohidrat sebesar 40,6%, kadar air 57%, serat 0,13% (Direktorat Gizi dalam Depkes RI, 1995). Nasi ubi jalar orange baik di konsumsi karena mengandung protein, karbohidrat dan serat yang tinggi.

31 Kadar Glukosa Darah (mg/dl 6 Berdasarkan hasil pengukuran glukosa darah yang dilakukan dengan menggunakan alat glukometer SD Check Gold diperoleh respon glukosa darah responden terhadap pemberian pangan acuan (roti tawar) dan dapat dilihat pada table berikut ini: Tabel 2 Respons Glukosa Darah terhadap Roti Tawar Respons Glukosa Darah Terhadap Pangan Subyek Acuan (Roti Tawar/Roti Putih) Satuan menit mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl Rata-rata 80,1 79,5 100, ,3 96,3 78,8 mg/dl Pemberian roti tawar menaikan kadar glukosa darah pada t.0 80,.1 mg/dl menjadi 115 mg/dl pada t.45. Pada hasil pengukuran tersebut, mengalami kenaikan sebesar 34,9 mg/dl atau 43,57 %. Hasil untuk respon glukosa darah responden terhadap pemberian pangan uji berupa nasi ubi jalar orange dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 3 Respons Glukosa Darah terhadap Nasi Ubi Jalar Orange Respons Glukosa Darah Terhadap Pangan Subyek Acuan (Roti Tawar/Roti Putih) Satuan menit mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl Rata-rata 84,1 89,8 123,8 132,8 126,1 100,6 87,8 mg/dl Pemberian nasi ubi jalar orange menaikan kadar glukosa darah pada t.0 84,1 mg/dl menjadi 132,8 mg/dl pada t.45. Pada hasil pengukuran tersebut, mengalami kenaikan sebesar 48,7 mg/dl atau 57,9 %. Nilai ini merupakan puncak kenaikan karena pada menit selanjutnya kadar glukosa darah menurun. Data dari hasil pengukuran glukosa darah pada subjek terhadap pangan acuan (roti tawar/roti putih) dan pangan uji (nasi ubi jalar orange) ditebarkan dalam sumbu X (waktu) dan sumbu Y (kadar glukosa darah). Dengan demikian, akan diperoleh sebuah kurva terhadap pangan yang diberikan. Berdasarkan hasil pengukuran kadar glukosa subyek, ratarata respon glikemik subyek penelitian dapat dilihat pada gambar berikut ini: Kurva Respon Glukosa Darah tehadap Roti Tawar dan Nasi Ubi Jalar Orange Gambar 2 Kurva Roti Tawar dan Nasi Ubi Jalar Orange Roti Tawar Nasi Ubi Orange Waktu Pengambilan Darah (menit) Berdasarkan kurva respon glukosa darah yang dibuat dengan bantuan Microsoft Excell dapat digunakan untuk menghitung luas area bawah kurva (Incremental Area Under the blood glucose Curve, IAUC) dengan mengabaikan daerah dibawah konsentrasi puasa. Luas daerah di bawah kurva dapat dihitung secara manual dengan cara menarik garis horizontal dan membuat garis vertikal. Luas daerah di bawah kurva diperoleh dengan cara menjumlahkan masingmasing luas bangun. Indeks glikemik dihitung dengan membandingkan interval kurva pangan uji dengan interval kurva pangan acuan. Nilai indeks glikemik pangan uji diperoleh dari hasil rata-rata nilai indeks glikemik individu enam orang subyek penelitian. Pengukuran nilai indeks glikemik pangan uji ini menggunakan

32 7 metode kertas milimeter. Pengukuran dengan menggunakan metode ini dilakukan secara manual yaitu dengan menggambarkan kurva respons glukosa darah subyek pada kertas millimeter blok. Setelah menggambarkan kurva pada kertas millimeter blok, ditarik garis vertikal dan horizontal pada kurva sehingga membentuk bangunan persegi panjang. Persegi panjang yang terbentuk memiliki sisi yang diambil dari luar kurva dan memiliki sisi yang dibuang dari dalam kurva. Sisi persegi panjang yang diambil dari luar kurva harus sama besar dengan sisi persegi panjang yang dibuang dari dalam kurva. Interval roti tawar dibagi menjadi beberapa subinterval yaitu 15 subinterval. Masing-masing subinterval ini dijadikan alas persegi panjang P 1, P 2, P 3, P 4, P 5, P 6, P 7, P 8, P 9, P 10, P 11, P 12, P 13, P 14 dan P 15. Perhitungan interval roti tawar dapat dilihat pada kurva berikut ini: Gambar 2 Kurva Perhitungan Roti Tawar Tabel 4 Perhitungan Interval Roti Tawar Area Sisi P L Luas Area P P P P P P P P P P P 11 P 12 P 13 P 14 P Luas Area Total Berdasarkan perhitungan interval kurva roti tawar pada tabel diatas, diperoleh hasil perhitungan luas area roti tawar yang memiliki 15 subinterval yaitu sebesar Perhitungan interval roti tawar ini dilakukan dengan cara melakukan perkalian luas area persegi panjang yaitu panjang x lebar (P x L). Luas total interval roti tawar (pangan acuan) dijadikan angka yang dibagi dalam rumus perhitungan indeks glikemik. Sedangkan interval nasi ubi jalar orange dibagi menjadi 14 subinterval. Masing-masing subinterval ini dijadikan alas persegi panjang P 1, P 2, P 3, P 4, P 5, P 6, P 7, P 8, P 9, P 10, P 11, P 12, P 13 dan P 14. Perhitungan interval nasi ubi jalar orange dapat dilihat pada kurva berikut: Berdasarkan kurva perhitungan interval roti tawar diatas, diperoleh hasil perhitungan untuk 15 subinterval (bangunan persegi panjang) adalah sebagai berikut: Gambar 3 Kurva Perhitungan Nasi Ubi Jalar Orange

SUBSTITUSI TEPUNG PISANG AWAK MASAK(Musa paradisiaca var. awak) DAN KECAMBAH KEDELAI (Glycine max ) PADA PEMBUATAN BISKUIT SERTA DAYA TERIMA.

SUBSTITUSI TEPUNG PISANG AWAK MASAK(Musa paradisiaca var. awak) DAN KECAMBAH KEDELAI (Glycine max ) PADA PEMBUATAN BISKUIT SERTA DAYA TERIMA. SUBSTITUSI TEPUNG PISANG AWAK MASAK(Musa paradisiaca var. awak) DAN KECAMBAH KEDELAI (Glycine max ) PADA PEMBUATAN BISKUIT SERTA DAYA TERIMA. Vinni Ardwifa 1, Jumirah 2, Etty Sudaryati 2 1 Alumni Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kandungan gizinya belum sesuai dengan kebutuhan balita. zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan.

BAB I PENDAHULUAN. kandungan gizinya belum sesuai dengan kebutuhan balita. zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gizi sangat penting bagi kehidupan. Kekurangan gizi pada balita dapat menimbulkan beberapa efek negatif seperti lambatnya pertumbuhan badan, rawan terhadap penyakit,

Lebih terperinci

GAMBARAN POLA KONSUMSI PANGAN KELUARGA PESERTA PROGRAM PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DI KELURAHAN MABAR HILIR KECAMATAN MEDAN DELI TAHUN

GAMBARAN POLA KONSUMSI PANGAN KELUARGA PESERTA PROGRAM PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DI KELURAHAN MABAR HILIR KECAMATAN MEDAN DELI TAHUN GAMBARAN POLA KONSUMSI PANGAN KELUARGA PESERTA PROGRAM PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DI KELURAHAN MABAR HILIR KECAMATAN MEDAN DELI TAHUN 2014 Titin Herlina 1, Fitri Ardiani 2, Albiner Siagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun , yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun , yang bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) merupakan implementasi dari Rencana Strategis Kementerian Pertanian yaitu Empat Sukses Pertanian, yang

Lebih terperinci

GAMBARAN POLA KONSUMSI PANGAN KELUARGA PESERTA PROGRAM PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DI KELURAHAN MABAR HILIR KECAMATAN MEDAN DELI TAHUN

GAMBARAN POLA KONSUMSI PANGAN KELUARGA PESERTA PROGRAM PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DI KELURAHAN MABAR HILIR KECAMATAN MEDAN DELI TAHUN GAMBARAN POLA KONSUMSI PANGAN KELUARGA PESERTA PROGRAM PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DI KELURAHAN MABAR HILIR KECAMATAN MEDAN DELI TAHUN 2014 SKRIPSI OLEH : TITIN HERLINA 101000408 FAKULTAS

Lebih terperinci

SUBTITUSI TEPUNG PISANG AWAK (Musa paradisiaca var Awak) DAN IKAN LELE DUMBO (Clariasis garipinus) DALAM PEMBUATAN BISKUIT SERTA UJI DAYA TERIMANYA

SUBTITUSI TEPUNG PISANG AWAK (Musa paradisiaca var Awak) DAN IKAN LELE DUMBO (Clariasis garipinus) DALAM PEMBUATAN BISKUIT SERTA UJI DAYA TERIMANYA SUBTITUSI TEPUNG PISANG AWAK (Musa paradisiaca var Awak) DAN IKAN LELE DUMBO (Clariasis garipinus) DALAM PEMBUATAN BISKUIT SERTA UJI DAYA TERIMANYA Rini Puspa Sari 1, Jumirah 2, Fitri Ardiani 2 1 Alumni

Lebih terperinci

DAYA TERIMA BROWNIES TEPUNG BIJI KECIPIR DAN KANDUNGAN GIZINYA. Alumni Program Sarjana IKM FKM USU, Medan. Staf Pengajar IKM FKM USU, Medan ABSTRACT

DAYA TERIMA BROWNIES TEPUNG BIJI KECIPIR DAN KANDUNGAN GIZINYA. Alumni Program Sarjana IKM FKM USU, Medan. Staf Pengajar IKM FKM USU, Medan ABSTRACT DAYA TERIMA BROWNIES TEPUNG BIJI KECIPIR DAN KANDUNGAN GIZINYA Elvira Dewinta Indria 1, Ernawati Nasution 2, Albiner Siagian 3 1 Alumni Program Sarjana IKM FKM USU, Medan 2,3 Staf Pengajar IKM FKM USU,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi makanan beranekaragam yang dapat memberikan sumber zat gizi yang cukup bagi tubuh, dengan adanya program

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan salah satu kelompok usia yang memiliki tingkat kerentanan cukup tinggi disaat masa pertumbuhan dan pada masa ini terjadi proses kehidupan menuju kematangan

Lebih terperinci

UJI DAYA TERIMA DAN KANDUNGAN GIZI NASI DENGAN PENAMBAHAN LABU KUNING DAN JAGUNG MANIS

UJI DAYA TERIMA DAN KANDUNGAN GIZI NASI DENGAN PENAMBAHAN LABU KUNING DAN JAGUNG MANIS UJI DAYA TERIMA DAN KANDUNGAN GIZI NASI DENGAN PENAMBAHAN LABU KUNING DAN JAGUNG MANIS Acceptability test and nutrient compositon of rice with the addition of pumpkin and sweet corn Hadiah Kurnia Putri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas (golden

Lebih terperinci

SUBSTITUSI TEPUNG PISANG AWAK MASAK (Musa paradisiaca var. awak) DAN KECAMBAH KEDELAI (Glycine max) PADA PEMBUATAN BISKUIT SERTA DAYA TERIMA SKRIPSI

SUBSTITUSI TEPUNG PISANG AWAK MASAK (Musa paradisiaca var. awak) DAN KECAMBAH KEDELAI (Glycine max) PADA PEMBUATAN BISKUIT SERTA DAYA TERIMA SKRIPSI SUBSTITUSI TEPUNG PISANG AWAK MASAK (Musa paradisiaca var. awak) DAN KECAMBAH KEDELAI (Glycine max) PADA PEMBUATAN BISKUIT SERTA DAYA TERIMA SKRIPSI Oleh : VINNI ARDWIFA NIM. 101000268 FAKULTAS KESEHATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat

BAB I PENDAHULUAN. yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan setiap orang akan makanan tidak sama, karena kebutuhan akan berbagai zat gizi juga berbeda. Umur, Jenis kelamin, macam pekerjaan dan faktorfaktor lain menentukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Esa Unggul

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Esa Unggul 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada 2013 menunjukan bahwa prevalensi balita stunting di Indonesia mencapai 37% (terdiri dari 18% sangat pendek dan 19,2% pendek)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk, 2.1 Pola Konsumsi Pangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk, 2010). Pola

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

POLA PANGAN HARAPAN (PPH) PANDUAN PENGHITUNGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) Skor PPH Nasional Tahun 2009-2014 75,7 85,7 85,6 83,5 81,4 83,4 Kacangkacangan Buah/Biji Berminyak 5,0 3,0 10,0 Minyak dan Lemak Gula 5,0 Sayur & buah Lain-lain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengalaman langsung maupun dari pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2005, hal. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengalaman langsung maupun dari pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2005, hal. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan what, misalnya apa air, apa alam, dan sebagainya, yang dapat

Lebih terperinci

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun DIVERSIFIKASI KONSUMSI MASYARAKAT BERDASARKAN SKOR POLA PANGAN HARAPAN PADA LOKASI MKRPL DI KEC. KRAMATWATU KAB. SERANG Yati Astuti 1) dan Fitri Normasari 2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat, baik perkotaan maupun di pedesaan. Anak-anak dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat, baik perkotaan maupun di pedesaan. Anak-anak dari berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan jajanan sudah menjadi kebiasaan yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik perkotaan maupun di pedesaan. Anak-anak dari berbagai golongan apapun

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi.

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial budaya dipengaruhi banyak hal yang saling kait mengait, di samping untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dilihat dari letak geografis, Indonesia merupakan negara yang terletak pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dilihat dari letak geografis, Indonesia merupakan negara yang terletak pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dilihat dari letak geografis, Indonesia merupakan negara yang terletak pada garis khatulistiwa. Hal ini mempengaruhi segi iklim, dimana Indonesia hanya memiliki 2 musim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan atau kelebihan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola Konsumsi adalah susunan tingkat kebutuhan seseorang atau rumahtangga untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam menyusun pola konsumsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang di makan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 1. Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN 1 KUESIONER PENELITIAN PENGARUH PENYULUHAN GIZI TERHADAP PERILAKU IBU DALAM PENYEDIAAN MENU SEIMBANG UNTUK BALITA DI DESA RAMUNIA-I KECAMATAN PANTAI LABU KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2010 Tanggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan dalam unsur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan dalam unsur 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan dalam unsur pembangunan. Peningkatan kemajuan teknologi menuntut manusia untuk dapat beradaptasi dengan

Lebih terperinci

UJI DAYA TERIMA ROTI TAWAR DENGAN MODIFIKASI TEPUNG JAGUNG DAN KENTANG DAN KONTRIBUSINYA DALAM PEMENUHAN KECUKUPAN ENERGI PADA ANAK SD

UJI DAYA TERIMA ROTI TAWAR DENGAN MODIFIKASI TEPUNG JAGUNG DAN KENTANG DAN KONTRIBUSINYA DALAM PEMENUHAN KECUKUPAN ENERGI PADA ANAK SD UJI DAYA TERIMA ROTI TAWAR DENGAN MODIFIKASI TEPUNG JAGUNG DAN KENTANG DAN KONTRIBUSINYA DALAM PEMENUHAN KECUKUPAN ENERGI PADA ANAK SD (The acceptability test of white bread modified with corn flour and

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada anak-anak membuat anak buta setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada anak-anak membuat anak buta setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Defisiensi vitamin A merupakan penyebab kebutaan yang paling sering ditemukan pada anak-anak membuat 250.000-500.000 anak buta setiap tahunnya dan separuh diantaranya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Secara umum pangan diartikan sebagai segala sesuatu

Lebih terperinci

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Syarat Sidang Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup semakin dituntut

BAB I PENDAHULUAN. peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup semakin dituntut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan manusia sehingga ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha mencukupi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pangan merupakan bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi

PENDAHULUAN. Pangan merupakan bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi 53 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang berfungsi sebagai pemeliharaan, pertumbuhan, kerja dan penggantian jaringan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya dengan ketersediaan pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu padi-padian, umbi-umbian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang selalu berupaya melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang selalu berupaya melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang selalu berupaya melakukan peningkatan derajat kesehatan masyarakat karena pemerintah memiliki kewajiban terhadap kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu masalah gizi di Indonesi adalah gizi kurang yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu masalah gizi di Indonesi adalah gizi kurang yang disebabkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah gizi di Indonesi adalah gizi kurang yang disebabkan rendahnya asupan energi dan protein dalam makanan sehari hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan

Lebih terperinci

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

Pengertian Bahan Pangan Hewani Dan Nabati Dan Pengolahannya

Pengertian Bahan Pangan Hewani Dan Nabati Dan Pengolahannya Pengertian Bahan Pangan Hewani Dan Nabati Dan Pengolahannya Secara garis besar, bahan pangan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan pangan asal tumbuhan (nabati) dan bahan pangan asal hewan (hewani).

Lebih terperinci

PEMBUATAN ROMO (ROTI MOCAF) YANG DIPERKAYA DENGAN TEPUNG KACANG HIJAU (Vigna radiata L.) SEBAGAI SUMBER PROTEIN SKRIPSI OLEH:

PEMBUATAN ROMO (ROTI MOCAF) YANG DIPERKAYA DENGAN TEPUNG KACANG HIJAU (Vigna radiata L.) SEBAGAI SUMBER PROTEIN SKRIPSI OLEH: PEMBUATAN ROMO (ROTI MOCAF) YANG DIPERKAYA DENGAN TEPUNG KACANG HIJAU (Vigna radiata L.) SEBAGAI SUMBER PROTEIN SKRIPSI OLEH: NEZLY NURLIA PUTRI No. BP 07117037 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penganekaragaman produk pangan, baik berupa serealia (biji-bijian), tahun terjadi peningkatan konsumsi tepung terigu di

BAB I PENDAHULUAN. penganekaragaman produk pangan, baik berupa serealia (biji-bijian), tahun terjadi peningkatan konsumsi tepung terigu di BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki potensi yang besar dalam pengembangan penganekaragaman produk pangan, baik berupa serealia (biji-bijian), legum (polong-polongan) dan umbi-umbian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara eksklusif selama 6 bulan kehidupan pertama bayi. Hal ini dikarenakan ASI

BAB I PENDAHULUAN. secara eksklusif selama 6 bulan kehidupan pertama bayi. Hal ini dikarenakan ASI BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Status gizi yang baik pada masa bayi dapat dipenuhi dengan pemberian ASI secara eksklusif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemenuhan kebutuhan pangan menurut Indrasti (2004) adalah dengan

I. PENDAHULUAN. pemenuhan kebutuhan pangan menurut Indrasti (2004) adalah dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Ketergantungan manusia terhadap pangan yang tinggi tidak diimbangi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Amang (1993), Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya I PENDAHULUAN Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya dibutuhkan penulisan laporan mengenai penelitian tersebut. Sebuah laporan tugas akhir biasanya berisi beberapa hal yang meliputi

Lebih terperinci

SUBSTITUSI TEPUNG BIJI NANGKA PADA PEMBUATAN KUE BOLU KUKUS DITINJAU DARI KADAR KALSIUM, TINGKAT PENGEMBANGAN DAN DAYA TERIMA

SUBSTITUSI TEPUNG BIJI NANGKA PADA PEMBUATAN KUE BOLU KUKUS DITINJAU DARI KADAR KALSIUM, TINGKAT PENGEMBANGAN DAN DAYA TERIMA SUBSTITUSI TEPUNG BIJI NANGKA PADA PEMBUATAN KUE BOLU KUKUS DITINJAU DARI KADAR KALSIUM, TINGKAT PENGEMBANGAN DAN DAYA TERIMA Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Gizi

Lebih terperinci

PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi

PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi Tanggal 16 Oktober 2014 PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi PENDAHULUAN Usia 6 bulan hingga 24 bulan merupakan masa yang sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pola konsumsi pangan di Indonesia saat ini belum sesuai dengan. Harapan (PPH) merupakan rumusan komposisi pangan yang ideal yan g

BAB I PENDAHULUAN. Pola konsumsi pangan di Indonesia saat ini belum sesuai dengan. Harapan (PPH) merupakan rumusan komposisi pangan yang ideal yan g xiv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola konsumsi pangan di Indonesia saat ini belum sesuai dengan pola pangan harapan ideal seperti yang tertuang dalam PPH. Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan rumusan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG BAB I LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan daerah tropis yang kaya akan hasil sumber daya alam. Salah satu hasilnya adalah umbi-umbian, salah satunya adalah singkong yang mempunyai potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan. penduduk yang mempunyai angka pertumbuhan yang tinggi sekitar 1.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan. penduduk yang mempunyai angka pertumbuhan yang tinggi sekitar 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan penduduk yang mempunyai angka pertumbuhan yang tinggi sekitar 1.35% per tahun, sehingga setiap tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk memulihkan dan memperbaiki jaringan

Lebih terperinci

Pola Konsumsi Pangan Penyandang Disabilitas di Kota Malang

Pola Konsumsi Pangan Penyandang Disabilitas di Kota Malang Indonesian Journal of Disability Studies ISSN : - Pola Konsumsi Pangan Penyandang Disabilitas di Kota Malang * Agustina Shinta Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD), Universitas Brawijaya, Malang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tingkat Konsumsi Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 FORMULIR FOOD RECALL 24 JAM

LAMPIRAN 1 FORMULIR FOOD RECALL 24 JAM LAMPIRAN 1 FORMULIR FOOD RECALL 24 JAM No. Responden : Nama : Umur : Jenis Kelamin : Tinggi Badan : Berat Badan : Waktu makan Pagi Nama makanan Hari ke : Bahan Zat Gizi Jenis Banyaknya Energi Protein URT

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bahan utama pembuatan biskuit pada umumnya adalah dengan

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bahan utama pembuatan biskuit pada umumnya adalah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan utama pembuatan biskuit pada umumnya adalah dengan menggunakan tepung terigu, namun tepung terigu adalah produk impor. Untuk mengurangi kuota impor terigu tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kekurangan protein merupakan salah satu masalah gizi utama di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kekurangan protein merupakan salah satu masalah gizi utama di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekurangan protein merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Oleh karena itu peningkatan konsumsi protein perlu digalakkan, salah satunya melalui penganekaragaman

Lebih terperinci

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian Kode Responden:

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian Kode Responden: LAMPIRAN Lampiran 1 Kuesioner Penelitian Kode Responden: KUESIONER PENELITIAN POLA KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT PAPUA (Studi kasus di Kampung Tablanusu, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sarapan Pagi Sarapan pagi adalah makanan atau minuman yang memberikan energi dan zat gizi lain yang dikonsumsi pada waktu pagi hari. Makan pagi ini penting karena makanan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbukti berperan penting dalam menunjang kesehatan tubuh.

BAB I PENDAHULUAN. terbukti berperan penting dalam menunjang kesehatan tubuh. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan daerah tropis yang kaya akan hasil sumber daya alam. Salah satu hasilnya adalah sayuran. Seperti yang kita ketahui sayuran dan buahbuahan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan laut di Indonesia mengandung sumberdaya kelautan dan perikanan yang siap diolah dan dimanfaatkan semaksimal mungkin, sehingga sejumlah besar rakyat Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh berbagai macam masalah. Menurut McCarl et al., (2001),

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh berbagai macam masalah. Menurut McCarl et al., (2001), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bidang pangan telah menjadi aspek yang penting karena berkaitan erat dengan kebutuhan pokok masyarakat. Pada umumnya, masalah yang berkaitan dengan pangan dapat menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berlanjut hingga dewasa bila tidak diatasi sedari dini.

BAB 1 PENDAHULUAN. berlanjut hingga dewasa bila tidak diatasi sedari dini. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Periode emas tersebut dapat diwujudkan apabila pada masa ini, bayi dan anak mendapatkan asupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan

I. PENDAHULUAN. dan siap untuk dimakan disebut makanan. Makanan adalah bahan pangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan dasar paling utama bagi manusia adalah kebutuhan pangan. Pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun

Lebih terperinci

POLA MAKAN DAN KERAGAMAN MENU ANAK BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN TAHUN 2005

POLA MAKAN DAN KERAGAMAN MENU ANAK BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN TAHUN 2005 HASSIILL PPEENEELLIITTIIAN POLA MAKAN DAN KERAGAMAN MENU ANAK BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN TAHUN 25 Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM USU Jl. Universitas No. 21 Kampus

Lebih terperinci

ANALISIS ZAT GIZI DAN UJI DAYA TERIMA FLAKES DARI TEPUNG PISANG BARANGAN MENTAH DAN TEPUNG TALAS

ANALISIS ZAT GIZI DAN UJI DAYA TERIMA FLAKES DARI TEPUNG PISANG BARANGAN MENTAH DAN TEPUNG TALAS ANALISIS ZAT GIZI DAN UJI DAYA TERIMA FLAKES DARI TEPUNG PISANG BARANGAN MENTAH DAN TEPUNG TALAS SKRIPSI Oleh: VELLA REGALIA NIM: 091000026 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) sehat adalah suatu keadaan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) sehat adalah suatu keadaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO) sehat adalah suatu keadaan sejahtera yang meliput fisik, mental,dan sosial dan tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhannya menjadi bagian dari hak asasi setiap individu. Di Indonesia,

Lebih terperinci

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN

KUESIONER PENELITIAN Kode : KUESIONER PENELITIAN GAMBARAN POLA MAKAN DAN STATUS GIZI ANAK BALITA DITINJAU DARI KARAKTERISTIK KELUARGA DI KECAMATAN DOLOK MASIHUL KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2011 Tanggal Wawancara : A. Identitas

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta lokasi penelitian Puskesmas Putri Ayu Kecamatan Telanaipura

Lampiran 1. Peta lokasi penelitian Puskesmas Putri Ayu Kecamatan Telanaipura Lampiran 1. Peta lokasi penelitian Puskesmas Putri Ayu Kecamatan Telanaipura 66 67 Lampiran 2. Kisi-kisi instrumen perilaku KISI-KISI INSTRUMEN Kisi-kisi instrumen pengetahuan asupan nutrisi primigravida

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sayuran merupakan salah satu sumber mineral mikro yang berperan sangat penting dalam proses metabolisme tubuh (Indira, 2015). Mineral mikro sendiri merupakan mineral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air) menjadi. ditemui, tetapi KVA tingkat subklinis, yaitu tingkat yang belum

BAB I PENDAHULUAN. (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air) menjadi. ditemui, tetapi KVA tingkat subklinis, yaitu tingkat yang belum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia untuk bertahan hidup. Pangan sebagai sumber gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk olahan yang paling strategis untuk dikembangkan dalam. rangka menunjang penganekaragaman (diversifikasi) pangan dalam waktu

BAB I PENDAHULUAN. Produk olahan yang paling strategis untuk dikembangkan dalam. rangka menunjang penganekaragaman (diversifikasi) pangan dalam waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Produk olahan yang paling strategis untuk dikembangkan dalam rangka menunjang penganekaragaman (diversifikasi) pangan dalam waktu dekat adalah tepung yang berkualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sasaran pembangunan pangan dalam GBHN 1999 adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun

Lebih terperinci

MENU BERAGAM BERGIZI DAN BERIMBANG UNTUK HIDUP SEHAT. Nur Indrawaty Liputo. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

MENU BERAGAM BERGIZI DAN BERIMBANG UNTUK HIDUP SEHAT. Nur Indrawaty Liputo. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas MENU BERAGAM BERGIZI DAN BERIMBANG UNTUK HIDUP SEHAT Nur Indrawaty Liputo Bagian Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Disampaikan pada Seminar Apresiasi Menu Beragam Bergizi Berimbang Badan Bimbingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat

BAB I PENDAHULUAN. berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat mempengaruhi seseorang di saat mereka dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi

BAB I PENDAHULUAN. Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi makanan beranekaragam yang dapat memberikan sumbangan zat gizi yang cukup bagi tubuh, dengan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. KEP disebabkan karena defisiensi zat gizi makro. Meskipun

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. KEP disebabkan karena defisiensi zat gizi makro. Meskipun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia KEP merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. KEP disebabkan karena defisiensi zat gizi makro. Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN ton (US$ 3,6 juta) (Jefriando, 2014). Salah satu alternatif pemecahan

I. PENDAHULUAN ton (US$ 3,6 juta) (Jefriando, 2014). Salah satu alternatif pemecahan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tepung terigu sangat dibutuhkan dalam industri pangan di Indonesia. Rata-rata kebutuhan terigu perusahaan roti, dan kue kering terbesar di Indonesia mencapai 20 ton/tahun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbasis Sumber Daya Lokal yang tertulis dalam Peraturan Presiden RI

BAB I PENDAHULUAN. Berbasis Sumber Daya Lokal yang tertulis dalam Peraturan Presiden RI 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal yang tertulis dalam Peraturan Presiden RI Nomor 22 tahun 2009 merupakan strategi untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penambahan bahan-bahan lain. Bahkan fast food (makanan cepat saji) semakin

BAB I PENDAHULUAN. penambahan bahan-bahan lain. Bahkan fast food (makanan cepat saji) semakin 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan harta yang sangat berharga dan patut dipelihara. Gaya hidup sehat harus diterapkan untuk menjaga tubuh tetap sehat. Salah satu cara agar kesehatan

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu keanekaragaman tersebut adalah bunga Tasbih (Canna edulis Ker.) dan ikan

BAB I PENDAHULUAN. satu keanekaragaman tersebut adalah bunga Tasbih (Canna edulis Ker.) dan ikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati dan hewani Indonesia sangat berlimpah. Salah satu keanekaragaman tersebut adalah bunga Tasbih (Canna edulis Ker.) dan ikan Patin (Pangansius hypopthalmus).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seluruh penduduk Indonesia. Pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan

I. PENDAHULUAN. seluruh penduduk Indonesia. Pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran strategis sektor pertanian yakni menghasilkan bahan pangan bagi seluruh penduduk Indonesia. Pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan mengingat pangan merupakan

Lebih terperinci

kabar yang menyebutkan bahwa seringkali ditemukan bakso daging sapi yang permasalahan ini adalah berinovasi dengan bakso itu sendiri.

kabar yang menyebutkan bahwa seringkali ditemukan bakso daging sapi yang permasalahan ini adalah berinovasi dengan bakso itu sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakso adalah makanan yang banyak digemari masyarakat di Indonesia. Salah satu bahan baku bakso adalah daging sapi. Mahalnya harga daging sapi membuat banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting, mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Menurut Saliem dkk dalam Ariani dan Tribastuti (2002), pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cookies merupakan alternatif makanan selingan yang cukup dikenal dan digemari oleh masyarakat. Cookies dikategorikan sebagai makanan ringan karena dapat dikonsumsi setiap

Lebih terperinci

Peran Perempuan Pada Upaya Penganekaragaman Pangan Di Kecamatan Maduran Kabupaten Lamongan

Peran Perempuan Pada Upaya Penganekaragaman Pangan Di Kecamatan Maduran Kabupaten Lamongan 16 INOVASI, Volume XVIII, mor 2, Juli 2016 Peran Perempuan Pada Upaya Penganekaragaman Pangan Di Kecamatan Maduran Kabupaten Lamongan Diah Tri Hermawati dan Dwi Prasetyo Email : diah_triuwks@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak usia sekolah mempunyai laju pertumbuhan fisik yang lambat tetapi konsisten. Kebiasaan yang terbentuk pada usia ini terhadap jenis makanan yang disukai merupakan

Lebih terperinci

POLA MAKAN, KECUKUPAN GIZI DAN STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI PERUMNAS MANDALA, KELURAHAN KENANGAN BARU

POLA MAKAN, KECUKUPAN GIZI DAN STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI PERUMNAS MANDALA, KELURAHAN KENANGAN BARU 1 POLA MAKAN, KECUKUPAN GIZI DAN STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI PERUMNAS MANDALA, KELURAHAN KENANGAN BARU Chintya Nurul Aidina¹, Zulhaida Lubis², Fitri Ardiani² ¹Mahasiswi Departemen Gizi Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Meksiko. Tanaman yang

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Meksiko. Tanaman yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buah naga (Hylocereus sp.) merupakan tanaman jenis kaktus yang berasal dari Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Meksiko. Tanaman yang awalnya dikenal sebagai tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah maupun yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muda, apalagi mengetahui asalnya. Bekatul (bran) adalah lapisan luar dari

BAB I PENDAHULUAN. muda, apalagi mengetahui asalnya. Bekatul (bran) adalah lapisan luar dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bekatul tidak banyak dikenal di masyarakat perkotaan, khususnya anak muda, apalagi mengetahui asalnya. Bekatul (bran) adalah lapisan luar dari beras yang terlepas saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdapat tanaman pisang, hal ini dikarenakan tanaman cepat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdapat tanaman pisang, hal ini dikarenakan tanaman cepat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman pisang (Musa paradisiaca) merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggara yang kini sudah tersebar luas ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Hampir seluruh

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling hakiki dan mendasar bagi sumberdaya manusia suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kembangnya dan untuk mendapatkan derajat kesehatan yang baik.

BAB I PENDAHULUAN. kembangnya dan untuk mendapatkan derajat kesehatan yang baik. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan harta yang tak ternilai harganya yang kelak akan menjadi pewaris dan penerus, begitu juga untuk menjadikan suatu bangsa menjadi lebih baik kedepannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan vitamin A (KVA). KVA yaitu kondisi kurang zat gizi mikro

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan vitamin A (KVA). KVA yaitu kondisi kurang zat gizi mikro BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah gizi pada anak-anak di Indonesia adalah kekurangan vitamin A (KVA). KVA yaitu kondisi kurang zat gizi mikro yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi

Lebih terperinci