RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA"

Transkripsi

1 Bahan Rapat Konsinyering Tanggal 9-11Agustus 2010 di Hotel Salak, Bogor RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset hasil tindak pidana berikut instrumen yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa pengaturan yang jelas dan komprehensif mengenai pengelolaan aset yang telah dirampas akan mendorong terwujudnya penegakan hukum yang profesional, transparan, dan akuntabel; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana; Mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Perampasan Aset Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Perampasan Aset adalah upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk merampas aset tindak pidana berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya. 2. Aset Tindak Pidana adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud dan mempunyai nilai ekonomis, yang diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana. 3. Penelusuran adalah serangkaian tindakan untuk mencari, meminta, memperoleh, dan menganalisis informasi untuk mengetahui atau mengungkap asal-usul dan keberadaan Aset Tindak Pidana. 4. Pemblokiran adalah pembekuan sementara Aset Tindak Pidana dengan tujuan untuk mencegah aset tersebut dialihkan atau dipindahtangankan. 5. Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik atau Penuntut Umum untuk mengambil alih dan/atau menyimpan Aset Tindak Pidana di bawah penguasaannya baik untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan atau untuk kepentingan Perampasan Aset menurut undang-undang ini. 6. Pengelolaan Aset Tindak Pidana adalah kegiatan penyimpanan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, penjualan, penggunaan, pemanfaatan, pembagian, pengawasan, dan/atau pengembalian Aset Tindak Pidana. 7. Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana yang selanjutnya disebut LPA adalah suatu lembaga yang berada dan bertanggung jawab kepada Menteri yang membidangi urusan keuangan dalam pemerintahan, yang mempunyai fungsi mengelola aset yang berasal dari penyitaan dan perampasan aset. 2

3 8. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a. tulisan, suara, atau gambar; b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. 9. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Pasal 2 (1) Perampasan aset menurut ketentuan dan cara yang diatur di dalam Undang- Undang ini dilakukan dalam hal sebagai berikut: a. tersangka atau terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya; b. terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan; c. perkara pidananya belum atau tidak dapat disidangkan; atau d. perkara pidana yang telah diputus oleh pengadilan dan berkekuatan hukum tetap, dan di kemudian hari ternyata diketahui terdapat aset dari tindak pidana yang belum dinyatakan dirampas. (2) Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. seluruh atau sebagian aset yang diduga diperoleh dari tindak pidana termasuk kekayaan yang ke dalamnya kemudian diubah, atau digabungkan dengan kekayaan yang diperoleh atau dihasilkan dari aset tindak pidana tersebut, termasuk pendapatan, modal, atau keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut; b. aset yang diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana maupun prasarana untuk melakukan tindak pidana; c. aset lainnya yang sah sebagai pengganti Aset Tindak Pidana. (3) Aset tindak pidana yang dapat dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas : 3

4 a. Aset yang bernilai paling sedikit Rp ,- (seratus juta rupiah); atau b. Aset yang berasal dari tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih. (4) Dalam hal terjadi perubahan nilai minimum maka penyesuaian nilai minimum diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 3 Barang temuan yang diduga berasal dari tindak pidana dapat juga dirampas berdasarkan Undang-Undang ini. BAB II PENELUSURAN, PEMBLOKIRAN, PENYITAAN, DAN PERAMPASAN Bagian Kesatu Penelusuran Pasal 4 (1) Dalam hal terdapat aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan Penelusuran. (2) Dalam melaksanakan Penelusuran, penyidik atau penuntut umum sesuai dengan kewenangannya dapat meminta Dokumen atau bahan lainnya kepada setiap orang, Korporasi, atau instansi pemerintah. (3) Setiap orang, Korporasi, atau instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberikan informasi dengan menyerahkan dokumen atau bahan lainnya kepada penyidik atau penuntut umum. (4) Penyerahan Dokumen oleh orang, Korporasi, atau instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan. 4

5 Pasal 5 Orang, Korporasi, atau instansi pemerintah yang memberikan informasi dengan beriktikad baik dan bertanggung jawab tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Pasal 6 Dalam hal Penelusuran terhadap Aset Tindak Pidana diduga berada di luar negeri, maka penelusuran dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur oleh perjanjian bilateral, regional, serta multilateral dan/atau atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip resiprositas dengan memperhatikan peraturan perundangundangan. Bagian Kedua Pemblokiran dan Penyitaan Pasal 7 (1) Jika dari hasil Penelusuran diperoleh dugaan kuat mengenai asal usul atau keberadaan Aset Tindak Pidana, penyidik atau penuntut umum dapat memerintahkan Pemblokiran kepada lembaga yang berwenang. (2) Tindakan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diikuti dengan tindakan Penyitaan. (3) Lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan Pemblokiran segera setelah perintah Pemblokiran diterima. Pasal 8 Pelaksanaan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak perintah Pemblokiran diterima. 5

6 Pasal 9 Penyidik atau penuntut umum yang memerintahkan pemblokiran dan Lembaga yang melaksanakan pemblokiran aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 yang beriktikad baik tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Pasal 10 Selama masa Pemblokiran, Aset Tindak Pidana tidak dapat dialihkan atau dipindahtangankan. Pasal 11 (1) Penyitaan menurut ketentuan Undang-Undang ini dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. (2) Dalam keadaan yang mendesak penyitaan terhadap benda bergerak dapat dilakukan tanpa mendapatkan surat izin terlebih dahulu dan wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. Pasal 12 (1) Penyitaan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum menurut Undang-Undang ini harus didasarkan surat perintah penyitaan. (2) Dalam hal penyidik atau penuntut umum melakukan penyitaan, penyidik atau penuntut umum wajib menunjukkan surat perintah penyitaan kepada orang yang memiliki atau menguasai aset tersebut. (3) Setelah penyitaan dilakukan, penyidik atau penuntut umum segera membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan tembusan berita acara penyitaan kepada orang yang memiliki atau menguasai aset tersebut. Pasal 13 (1) Aset Tindak Pidana yang telah dikenakan Penyitaan beserta dokumen pendukungnya oleh penyidik atau penuntut umum wajib diserahkan kepada LPA. 6

7 (2) LPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib untuk melakukan kegiatan penyimpanan, pemeliharaan, pengamanan, dan penilaian Aset Tindak Pidana. (3) Dalam hal diperlukan, LPA wajib menghadirkan Aset Tindak Pidana beserta dokumennya pada setiap tingkat pemeriksaan. Pasal 14 Dalam hal Pemblokiran atau Penyitaan dilakukan terhadap Aset Tindak Pidana yang berada di luar negeri, maka penyidik atau penuntut umum melakukan kerjasama dengan negara tempat aset tersebut berada dengan dilakukan berdasarkan perjanjian, baik bilateral, regional, maupun multilateral, atau atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip resiprositas sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 15 Dalam hal permintaan Pemblokiran atau Penyitaan aset yang berada di luar negeri ditolak, maka penyidik atau penuntut umum dapat memblokir atau menyita aset lainnya yang terdapat di Indonesia yang nilainya setara dengan nilai aset yang akan diblokir atau disita. Bagian Ketiga Perampasan Paragraf 1 Umum Pasal 16 Perampasan aset tidak menghapuskan kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana. 7

8 Pasal 17 (1) Sebelum terdapat putusan Perampasan Aset yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPA dapat menunjuk pihak ketiga yang telah mempergunakan atau memanfaatkan aset tersebut sepanjang dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. tidak mengubah bentuk fisik aset; b. tidak dialihkan penggunaan atau pemanfaatannya; c. dilakukan pemeliharaan dan perawatan; atau d. tidak dipergunakan untuk melakukan perbuatan melawan hukum. (2) Segala biaya perawatan, pajak, rekening tagihan, maupun pengeluaran lain yang diperlukan selama menggunakan atau memanfaatkan aset tersebut menjadi kewajiban bagi pihak yang menggunakan atau memanfaatkan aset. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penunjukan pihak ketiga oleh LPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 2 Pemberkasan Permohonan Perampasan Aset Pasal 18 Setelah penyidik atau penuntut umum melakukan pemblokiran dan/atau penyitaan, penyidik atau penuntut umum segera melakukan pemberkasan baik terhadap Dokumen maupun bukti yang dapat mendukung permohonan Perampasan Aset. Pasal 19 (1) Dalam hal pemberkasan dilakukan oleh penyidik, maka setelah dilakukan pemberkasan, penyidik segera menyerahkan berkas tersebut kepada penuntut umum untuk diteliti. 8

9 (2) Penuntut umum dalam waktu 14 (empat belas) hari harus menentukan sikap apakah berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah memenuhi syarat untuk disidangkan atau tidak. (3) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa berkas perkara tersebut belum lengkap segera dikembalikan kepada penyidik, dan penyidik dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari wajib melengkapi berkas dimaksud. Paragraf 3 Wewenang Mengajukan Permohonan Perampasan Aset dan Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Pasal 20 (1) Permohonan perampasan aset diajukan oleh penuntut umum secara tertulis dalam bentuk surat permohonan, ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, dengan permintaan agar segera memeriksa dan memutus perkara perampasan aset tersebut. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. nama dan jenis aset; b. jumlah menurut jenis masing-masing aset; c. tempat, hari, dan tanggal penyitaan; e. identitas orang dari mana aset itu disita, jika ada; f. dasar hukum dan alasan dilakukan permohonan perampasan aset; dan g. dokumen pendukung yang dianggap perlu. (3) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberi tanggal dan ditandatangani oleh Penuntut Umum. Pasal 21 Penuntut umum berdasarkan Undang-Undang ini diberi wewenang untuk melakukan tindakan untuk dan atas nama negara tanpa perlu adanya surat kuasa khusus untuk itu. 9

10 Pasal 22 (1) Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perampasan aset adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat keberadaan aset. (2) Apabila terdapat beberapa aset yang dimohonkan untuk dirampas dalam daerah hukum beberapa Pengadilan Negeri, maka masing-masing Pengadilan Negeri tersebut berwenang mengadili perkara Perampasan Aset itu. Pasal 23 Dalam hal keadaan daerah tidak memungkinkan suatu Pengadilan Negeri untuk memeriksa suatu permohonan Perampasan Aset, maka atas usul Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung menetapkan atau menunjuk Pengadilan Negeri lain yang layak untuk memeriksa permohonan dimaksud. Pasal 24 Apabila aset yang dimohonkan untuk dirampas berada di luar negeri, namun telah memenuhi syarat sebagai objek Perampasan Aset menurut ketentuan undangundang ini, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa. Paragraf 4 Pemeriksaan Permohonan Perampasan Aset Pasal 25 (1) Panitera Pengadilan Negeri memanggil secara sah para pihak untuk datang ke sidang pengadilan melalui alamat atau tempat tinggalnya. (2) Dalam hal alamat atau tempat tinggal para pihak tidak diketahui, panggilan disampaikan di tempat kediaman terakhir. (3) Apabila para pihak tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa/kelurahan atau nama lainnya dalam daerah hukum tempat tinggal para pihak atau tempat kediaman terakhir. 10

11 (4) Dalam hal terdapat pihak yang ditahan dalam Rumah Tahanan Negara, surat panggilan disampaikan melalui pejabat Rumah Tahanan Negara. (5) Surat panggilan yang diterima oleh para pihak sendiri atau oleh orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan. (6) Apabila tempat tinggal ataupun tempat kediaman terakhir tidak diketahui, surat panggilan ditempelkan pada papan pengumuman di gedung pengadilan tempat perkara Perampasan Aset diperiksa. (7) Apabila para pihak adalah korporasi maka panggilan disampaikan kepada Pengurus di tempat kedudukan korporasi sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar korporasi tersebut. (8) Salah seorang pengurus korporasi wajib menghadap di sidang pengadilan mewakili korporasi. Pasal 26 (1) Dalam menetapkan hari persidangan, panitera harus mempertimbangkan jarak antara alamat tempat tinggal pihak yang berperkara dengan pengadilan tempat persidangan dilakukan (2) Tenggang waktu antara pemanggilan pihak yang berperkara dan waktu sidang tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari, kecuali dalam hal sangat perlu dan mendesak untuk diperiksa dan hal tersebut dinyatakan dalam surat panggilan Paragraf 5 Memutus Sengketa mengenai Wewenang Mengadili Pasal 27 (1) Setelah Pengadilan Negeri menerima surat permohonan Perampasan Aset dari penuntut umum, Ketua Pengadilan Negeri menentukan apakah perkara yang disampaikan tersebut termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya. (2) Salinan permohonan Perampasan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada para pihak yang diketahui berkepentingan dengan aset tersebut. 11

12 Pasal 28 (1) Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri berpendapat bahwa permohonan Perampasan Aset tersebut tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk wewenang Pengadilan Negeri lain, maka Ketua Pengadilan Negeri menyerahkan permohonan Perampasan Aset tersebut secara tertulis kepada Pengadilan Negeri lain melalui Kejaksaan Negeri yang mengajukan permohonan dimaksud. (2) Salinan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada para pihak yang diketahui berkepentingan dengan aset tersebut. Paragraf 6 Acara Pemeriksaan Pasal 29 Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini, pemeriksaan di semua tingkatan dalam perkara Perampasan Aset ini dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana. Pasal 30 (1) Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan perampasan aset dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk majelis hakim atau hakim tunggal yang akan menyidangkan perkara tersebut. (2) Hakim yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan Panitera untuk mengumumkan tentang permohonan Perampasan Aset dimaksud. (3) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pengumuman tentang permohonan perampasan aset dimaksud, hakim menetapkan hari sidang. (4) Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerintahkan kepada panitera pengadilan negeri untuk memanggil Penuntut Umum/jaksa pengacara negara dan/atau pihak yang mengajukan perlawanan untuk hadir di sidang pengadilan. 12

13 Pasal 31 (1) Pada hari sidang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), Pengadilan wajib membuka persidangan. (2) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia. Pasal 32 (1) Hakim membuka sidang perkara permohonan Perampasan Aset dengan menyebut objek Perampasan Aset dan menyatakan sidang terbuka untuk umum. (2) Penuntut umum menyampaikan permohonan Perampasan Aset beserta dalildalil tentang alasan mengapa aset tersebut harus dirampas. (3) Penuntut umum menyampaikan alat bukti tentang asal usul dan keberadaan aset yang mendukung alasan Perampasan Aset. (4) Dalam hal diperlukan, penuntut umum dapat menghadirkan aset yang akan dirampas atau berdasarkan perintah hakim dilakukan pemeriksaan terhadap Aset Tindak Pidana di tempat aset tersebut berada. (5) Dalam hal ada perlawanan dari pihak ketiga, maka hakim memberikan kesempatan kepada pihak ketiga untuk mengajukan alat bukti berkenaan dengan keberatannya dimaksud. (6) Setelah mendengarkan pembuktian dari pihak ketiga, penuntut umum dapat memanggil saksi atau ahli tambahan untuk menyanggah pembuktian dari pihak ketiga selama persidangan. (7) Hakim mempertimbangkan seluruh dalil-dalil yang diajukan oleh penuntut umum dan/atau pihak ketiga sebelum memutus apakah akan menerima atau menolak permohonan Perampasan Aset. Pasal 33 Hakim ketua sidang meneliti apakah semua saksi atau ahli yang dipanggil telah hadir dan memberi perintah untuk mencegah saksi atau ahli berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi keterangan di sidang. 13

14 Pasal 34 (1) Penuntut umum terlebih dahulu mengajukan pertanyaan kepada saksi atau ahli yang dihadirkan oleh penuntut umum. (2) Setelah penuntut umum selesai mengajukan pertanyaan, pihak ketiga dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi atau ahli. (3) Penuntut umum dapat mengajukan pertanyaan kembali kepada saksi atau ahli untuk memperjelas setiap jawaban yang diberikan kepada pihak ketiga. (4) Pihak ketiga mengajukan pertanyaan kepada saksi atau ahli yang dihadirkan oleh pihak ketiga. (5) Setelah pihak ketiga selesai mengajukan pertanyaan, penuntut umum dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi atau ahli. (6) Pihak ketiga selanjutnya dapat mengajukan pertanyaan kembali kepada saksi atau ahli untuk memperjelas setiap jawaban yang diberikan kepada penuntut umum. (7) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum atau pihak ketiga kepada saksi atau ahli apabila hakim ketua sidang menilai bahwa pertanyaan tersebut tidak relevan dengan perkara yang disidangkan dan menyebutkan alasannya mengapa pertanyaan tertentu tidak diperbolehkan. (8) Dalam hal diperlukan, Hakim berwenang mengajukan pertanyaan untuk mengklarifikasi pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum atau pihak ketiga kepada saksi atau ahli. (9) Hakim ketua sidang dan hakim anggota dapat meminta kepada saksi segala keterangan yang dipandang perlu untuk mendapatkan kebenaran. Pasal 35 (1) Setelah memberi keterangan, saksi diharuskan tetap hadir di sidang, kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkannya. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan, jika penuntut umum atau pihak ketiga mengajukan permintaan agar saksi tersebut tetap menghadiri sidang. (3) Para saksi selama sidang berlangsung dilarang saling bercakap-cakap. 14

15 Pasal 36 (1) Seseorang yang dapat diminta memberikan keterangan tanpa sumpah atau janji adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. (2) Keterangan saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk memperkuat keyakinan Hakim. Pasal 37 (1) Setelah saksi memberi keterangan, maka pihak ketiga dapat mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang agar di antara saksi tersebut yang tidak dikehendaki kehadirannya dikeluarkan dari ruang sidang, dan saksi yang lain dipanggil masuk oleh hakim ketua sidang untuk didengar keterangannya, baik seorang demi seorang maupun bersama-sama tanpa hadirnya saksi yang dikeluarkan tersebut. (2) Apabila dipandang perlu, hakim karena jabatannya dapat meminta agar saksi yang telah didengar keterangannya keluar dari ruang sidang untuk selanjutnya mendengar keterangan saksi yang lain. Pasal 38 (1) Apabila keterangan saksi di sidang diduga palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepada saksi agar memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada saksi apabila tetap memberikan keterangan palsu. (2) Apabila saksi tetap memberikan keterangan yang diduga palsu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan para pihak dapat memberi perintah agar saksi ditahan dan dituntut dengan dakwaan sumpah palsu. (3) Panitera dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari membuat Berita Acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan bahwa keterangan saksi tersebut palsu dan Berita Acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan Undang-Undang ini. 15

16 Pasal 39 (1) Jika pihak ketiga atau saksi bisu, tuli, atau tidak dapat menulis, maka hakim ketua sidang dapat menunjuk seorang penerjemah atau orang yang pandai bergaul dengan mereka untuk mendampingi mereka dalam memberikan keterangan di sidang. (2) Jika pihak ketiga atau saksi bisu atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran secara tertulis kepada pihak ketiga atau saksi tersebut untuk diperintahkan menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan. Pasal 40 (1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. (2) Semua ketentuan mengenai saksi, berlaku juga bagi ahli yang memberikan keterangan, dengan ketentuan bahwa ahli yang mengucapkan sumpah atau janji tersebut akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Pasal 41 (1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduk persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat meminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. (2) Dalam hal timbul perlawanan yang beralasan dari salah satu pihak terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hakim memerintahkan agar hal tersebut dilakukan penelitian ulang, termasuk penelitian ulang atas keterangan ahli tersebut. (3) Penelitian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personal yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu. 16

17 Pasal 42 (1) Sesudah kesaksian dan bukti disampaikan oleh kedua belah pihak, masingmasing pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan keterangan lisan yang menjelaskan tentang bukti yang diajukan di persidangan mendukung pendapat mereka mengenai perkara tersebut. (2) Dalam hal pemeriksaan dinyatakan selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup. Pasal 43 (1) Dalam hal tertentu, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya maupun atas permintaan salah satu pihak dengan memberikan alasan yang dapat diterima, sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dapat dibuka kembali. (2) Setelah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan. (3) Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus didasarkan atas surat permohonan Perampasan Aset dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. (4) Dalam musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan kepada setiap hakim anggota dan setelah itu ketua majelis hakim mengemukakan pendapatnya. (5) Pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disertai dengan pertimbangan beserta alasannya. Pasal 44 (1) Putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika permufakatan tersebut setelah diusahakan dengan sungguhsungguh tidak dapat dicapai, maka putusan diambil dengan suara terbanyak. (2) Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam buku himpunan putusan yang sifatnya rahasia yang disediakan khusus untuk keperluan tersebut. (3) Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum dan/atau pihak ketiga. 17

18 Pasal 45 (1) Keterangan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) sebagai alat bukti adalah segala hal yang dinyatakan oleh saksi di sidang pengadilan. (2) Dalam hal saksi tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual dengan dihadiri oleh para pihak. (3) Keterangan 1 (satu) orang saksi hanya dapat menjadi alat bukti yang sah apabila diperkuat dengan alat bukti lain. (4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. (5) Keterangan beberapa saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus saling berhubungan satu sama lain sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. (6) Pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran belaka bukan merupakan keterangan saksi. (7) Dalam menilai kebenaran keterangan saksi, hakim wajib memperhatikan : a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain; c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu; d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dipercayanya keterangan tersebut; dan/atau e. keterangan saksi sebelum dan pada waktu sidang. (8) Keterangan saksi yang tidak disumpah yang sesuai satu dengan yang lain, walaupun tidak merupakan alat bukti, dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah apabila keterangan tersebut sesuai dengan keterangan yang diperoleh dari alat bukti lainnya. Pasal 46 Keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) adalah apa yang dinyatakan oleh seorang ahli berdasarkan keahliannya di depan persidangan. 18

19 Pasal 47 Surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c, dibuat berdasarkan sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, yakni : a. Berita Acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialami sendiri disertai dengan alasan yang tegas dan jelas tentang keterangannya; b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam ketatalaksanaan yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan; c. surat keterangan ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi darinya; d. surat lain yang hanya dapat berlaku, jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Pasal 48 Hakim hanya dapat memutuskan suatu aset dapat dirampas jika dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa Negara berwenang mengajukan permohonan perampasan dan berhak atas aset tersebut karena memang merupakan objek dari perampasan aset berdasarkan undangundang ini. (1) Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Dokumen Pasal 49 e. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. 19

20 (2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan Pasal 50 (1) Dalam hal hakim menyatakan permohonan Perampasan Aset diterima, maka hakim mengeluarkan putusan yang menyatakan merampas aset tersebut untuk negara. (2) Dalam hal permohonan Perampasan Aset ditolak, maka hakim mengeluarkan putusan yang menyatakan aset tersebut dikembalikan kepada yang berhak. Pasal 51 (1) Terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dapat diajukan upaya hukum kasasi. (2) Tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum kasasi tersebut adalah 14 (empat belas hari) sejak putusan dibacakan. Pasal 52 (1) Hakim, penuntut umum, atau panitera wajib mengundurkan diri dari menangani perkara apabila mempunyai kepentingan dengan aset yang dimohonkan perampasan. (2) Jika dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mereka yang mengundurkan diri harus diganti. Pasal 53 Sebelum majelis memutuskan, Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai dapat atau tidaknya permohonan perampasan aset dikabulkan. Paragraf 7 Pembuktian dan Penetapan/Putusan 20

21 Pasal 54 (1) Alat bukti yang diberikan oleh pemerintah, orang, atau perusahaan negara lain yang sudah disahkan oleh pemerintah negara yang bersangkutan dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti yang sah. (2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dipertimbangkan jika terdapat perbedaan prosedur untuk mendapatkan alat bukti tersebut antara peraturan perundang-undangan di Indonesia dengan peraturan perundang-undangan di negara tempat alat bukti tersebut diperoleh, sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan atau perjanjian internasional. Pasal 55 Pemilik aset yang tidak mampu membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh melalui perbuatan yang sah menurut hukum, dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi Hakim bahwa aset tersebut merupakan hasil dari suatu tindak pidana sehingga dapat dirampas untuk Negara. Pasal 56 Jika penuntut umum mengajukan permohonan Perampasan Aset dengan alasan aset tersebut digunakan sebagai alat atau sarana untuk melakukan suatu tindak pidana, maka penuntut umum harus dapat membuktikan bahwa terdapat hubungan yang erat antara aset yang digugat untuk dirampas dengan tindak pidana yang terjadi. Pasal 57 Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. (1) Putusan memuat : Pasal 58 a. kepala penetapan/putusan yang dituliskan berbunyi : DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 21

22 b. nama, jenis, berat, ukuran dan/atau jumlah masing-masing aset; c. permohonan perampasan aset; d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat bukti yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan diterima atau ditolaknya permohonan perampasan aset; e. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan, f. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim, g. pernyataan diterima atau ditolaknya permohonan perampasan aset; h. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti; i. perintah agar aset dirampas untuk negara atau tetap dalam status sitaan atau blokir atau dibebaskan dari status sitaan atau blokir atau dikembalikan kepada pemilik yang sah; dan j. hari dan tanggal putusan, nama para pihak, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus, dan nama panitera; dan k. putusan mengenai pemberian ganti kerugian dalam hal memungkinkan. (2) Petikan putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera segera setelah putusan diucapkan. Pasal 59 Putusan dilaksanakan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut disampaikan kepada penuntut umum. Pasal 60 (1) Panitera membuat Berita Acara sidang dengan memperhatikan persyaratan yang diperlukan dan memuat segala kejadian di sidang yang berhubungan dengan pemeriksaan. (2) Berita Acara sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga hal yang penting dari keterangan para pihak, saksi, dan ahli. 22

23 (3) Atas permintaan penuntut umum atau pihak ketiga, hakim ketua sidang wajib memerintahkan kepada panitera supaya dibuat catatan secara khusus tentang suatu keadaan atau keterangan. (4) Berita Acara sidang ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan panitera, kecuali apabila salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal tersebut dinyatakan dalam Berita Acara. BAB III PENGELOLAAN ASET Bagian Kesatu Umum Pasal 61 (1) Pengelolaan aset dilaksanakan berdasarkan asas profesional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, dan akuntabilitas. (2) Pengelolaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh LPA yang bertanggung jawab kepada menteri yang membidangi urusan keuangan dalam pemerintahan. Bagian Kedua Fungsi, Tugas, dan Kewenangan Pasal 62 (1) Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) mempunyai fungsi pengelolaan Aset. (2) Dalam menjalankan fungsi pengelolaan aset, ditetapkan suatu lembaga pengelola aset yang berada dan bertanggung jawab kepada menteri yang membidangi urusan keuangan dalam pemerintahan. 23

24 Pasal 63 Dalam melaksanakan fungsi pengelolaan Aset, lembaga bertugas melakukan penyimpanan, pengamanan pemeliharaan, penilaian, penjualan, penggunaan, pemanfaatan, pembagian, pengawasan, dan/atau pengembalian Aset Tindak Pidana. Pasal 64 (1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, LPA mempunyai wewenang sebagai berikut: a. menerima Aset hasil sitaan atau rampasan yang diserahkan oleh penyidik atau penuntut umum termasuk dokumen-dokumen pendukungnya; b. menunjuk atau menetapkan pihak lain yang bertugas melakukan pengurusan Aset Tindak Pidana yang bersifat khusus atau kompleks; c. membantu penyidik atau penuntut umum dalam melaksanakan eksekusi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu dengan melaksanakan penjualan, pemusnahan, pengembalian kepada pemilik sesuai dengan putusan pengadilan. (2) LPA atas permintaan penyidik atau penuntut umum berwenang menjual aset sebelum adanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dalam hal: a. Aset yang disita mempunyai sifat mudah rusak, mudah busuk, atau nilai ekonomisnya cepat menurun, atau penyimpanan, pemeliharaan, dan pengamanan aset tersebut memerlukan biaya yang cukup besar; atau b. Apabila perkara masih ada di tangan penyidik atau penuntut uumum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum dan LPA, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya, Bagian Ketiga Proses/Tata Cara Pengelolaan Aset Paragraf 1 Pengelolaan Aset yang Disita Penyimpanan, Pengamanan, dan Pemeliharaan 24

25 Pasal 65 (1) LPA bertanggungjawab atas penyimpanan, pengamanan, dan pemeliharaan aset yang ada di bawah penguasaannya. (2) Penyimpanan, pengamanan, dan pemeliharaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk menjaga atau mempertahankan nilai Aset. (3) Dalam melakukan penyimpanan, pengamanan, dan pemeliharaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LPA dapat menunjuk pihak lain untuk membantu melakukan pemeliharaan Aset. Pasal 66 (1) Pengamanan terhadap aset meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum. (2) Dalam melakukan pengamanan fisik aset, LPA dapat bekerja sama dengan aparat keamanan. Paragraf 2 Penilaian Pasal 67 (1) Terhadap aset yang diterima oleh LPA dilakukan penilaian. (2) Hasil penilaian aset dituangkan dalam bentuk laporan hasil penilaian aset. (3) Laporan hasil penilaian aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada penyidik atau penuntut umum. Paragraf 3 Pengelolaan Aset yang Dirampas Pasal 68 (1) Penjualan Aset yang telah diputus dirampas dilakukan dengan lelang melalui Kantor Lelang. 25

26 (2) Dalam hal aset tidak terjual melalui lelang, LPA melakukan lelang ulang paling banyak 3 (tiga) kali. (3) Hasil lelang Aset disetor langsung ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak. Pasal 69 Dalam hal aset tidak terjual setelah dilakukan lelang ulang paling banyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2), maka Pengelolaan aset yang dirampas berlaku ketentuan perundang-undangan tentang pengelolaan barang milik negara. Pasal 70 (1) Penggunaan Aset yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi LPA dapat dilakukan oleh LPA dengan persetujuan menteri yang membidangi urusan keuangan dalam pemerintahan. (2) Dalam hal Aset yang dirampas diperlukan penggunaannya oleh instansi Pemerintah maka dapat dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan menteri yang membidangi urusan keuangan dalam pemerintahan. (3) Dalam hal persetujuan menteri yang membidangi urusan keuangan dalam pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak diperoleh maka Aset harus dijual. (4) Penggunaan Aset dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara dan kepentingan umum. Paragraf 4 Pengembalian Pasal 71 Pengembalian Aset baik sebagian atau seluruhnya dilakukan terhadap pihak ketiga atau orang lain sebagaimana disebutkan dalam Putusan perampasan Aset. 26

27 Paragraf 5 Pengawasan Pasal 72 (1) LPA dapat meminta lembaga pemerintah yang berwenang untuk melakukan audit atas pelaksanaan pengembalian Aset. (2) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada LPA untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat Hasil Pengelolaan Aset dan Penggunaannya Pasal 73 (1) Hasil yang diperoleh dari pengelolaan Aset disetorkan langsung ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak. (2) Terhadap pihak yang telah berjasa dalam upaya perampasan dan pengelolaan Aset yang menghasilkan penerimaan negara bukan pajak dapat diberikan insentif. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian insentif diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 74 (1) Sebagian dana dari penerimaan negara bukan pajak dari hasil pengelolaan aset rampasan dapat digunakan untuk kegiatan: a. Pendidikan dan pelatihan; b. Penegakan hukum; (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 27

28 BAB IV PERLINDUNGAN DAN KOMPENSASI Pasal 75 (1) Dalam hal pelaku tidak terbukti bersalah dan Perampasan Aset telah dilakukan sebelum dikeluarkannya putusan pengadilan dan dikemudian hari Aset tersebut dapat dibuktikan bukan merupakan hasil dari kejahatan maka Aset tersebut harus dikembalikan kepada tersangka atau kuasanya atau pihak yang berhak. (2) Pihak ketiga yang beriktikad baik wajib membuktikan hak kepemilikannya atas Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pengembalian Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sebagai berikut: a. Dalam hal aset telah dijual melalui lelang atau telah dilakukan penggunaan, maka pengembalian dilakukan atas uang hasil lelang sebesar nilai yang diperoleh pada saat lelang, paling lama 2 (dua) tahun sejak pengajuan anggaran. b. Dalam hal aset masih dikuasai LPA, maka aset langsung dikembalikan, paling lama 3 (tiga) bulan setelah putusan diterima. (4) Selain mengembalikan Aset, terhadap tersangka juga diberikan rehabilitasi. Pasal 76 (1) Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat dilakukannya pemblokiran, penyitaan, dan/atau Perampasan Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi. (2) Dalam hal kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa hilang atau musnahnya Aset yang dirampas, maka pemiliknya berhak atas ganti kerugian sebesar jumlah yang setara dengan harga Aset tersebut. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengembalian Aset, rehabilitasi, dan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 28

29 BAB V PERLINDUNGAN TERHADAP PIHAK KETIGA YANG BERIKTIKAD BAIK Pasal 77 (1) Dalam hal Aset Tindak Pidana yang diajukan permohonan perampasan terdapat milik pihak ketiga yang beriktikad baik, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan keberatan terhadap permohonan perampasan kepada Ketua Pengadilan Negeri. (2) Pihak ketiga yang beriktikad baik wajib membuktikan hak kepemilikannya atas Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencegah atau menunda pelaksanaan putusan permohonan Perampasan Aset. BAB VI KERJASAMA INTERNASIONAL Pasal 78 Kerjasama internasional mengenai bantuan untuk pemblokiran, penyitaan, perampasan, dan pengelolaan Aset Tindak Pidana dilakukan berdasarkan perjanjian, baik bilateral, regional, maupun multilateral, atau atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip resiprositas sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pasal 79 Permintaan bantuan Perampasan Aset oleh negara lain dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia jika hukum di negara tersebut juga mengatur pelaksanaan Perampasan Aset. 29

30 BAB VII PEMBIAYAAN Pasal 80 Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan Undang-Undang ini dibebankan kepada anggaran pendapatan belanja negara. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 81 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Aset Tindak Pidana yang disita yang telah ditempatkan dalam Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan Rampasan Negara tetap disimpan dan dikelola oleh Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan Rampasan Negara, yang penyimpanan dan pengelolaannya dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang ini sampai terbentuknya LPA. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 82 LPA melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 83 Sebelum terbentuknya LPA, tugas dan fungsi penyimpanan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, penjualan, penggunaan, pemanfaatan, pembagian, pengawasan, dan/atau pengembalian Aset Tindak Pidana dilaksanakan oleh unit yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan aset yang berada di bawah Kementerian Keuangan. 30

31 Pasal 84 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan berlaku surut terhadap Aset yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan sejak tahun Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DR.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal... MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN... NOMOR... 31

32 RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA I. UMUM Konstruksi sistem hukum pidana yang dikembangkan saat ini masih difokuskan pada upaya untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan pelakunya serta menghukum pelaku tindak pidana dengan sanksi pidana, terutama pidana badan baik pidana penjara maupun pidana kurungan. Sementara itu, masalah penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana dan instrumen tindak pidana belum menjadi bagian penting di dalam sistem hukum pidana. Berdasarkan pengalaman bahwa mengungkap tindak pidana, menemukan pelakunya dan menempatkan pelaku tindak pidana di dalam penjara dengan membiarkan pelaku tindak pidana tetap menguasai hasil dan instrumen tindak pidana serta memberikan peluang kepada pelaku tindak pidana atau orang lain yang memiliki keterkaitan dengan pelaku tindak pidana untuk menikmati hasil tindak pidana dan menggunakan kembali instrumen tindak pidana atau bahkan mengembangkan tindak pidana yang pernah dilakukan, ternyata belum cukup efektif untuk menekan tingkat kejahatan jika tidak disertai dengan upaya untuk menyita dan merampas hasil dan instrumen tindak pidananya Saat ini bentuk-bentuk kejahatan telah berkembang diantaranya dengan adanya kejahatan yang terorganisir atau organized crime. Bentuk kejahatan ini selain melibatkan sekumpulan orang yang mempunyai keahlian di dalam melaksanakan tindak pidana juga didukung oleh beragam instrumen tindak pidana sehingga mereka bisa menghimpun hasil tindak pidana dalam jumlah yang sangat besar. Upaya untuk melumpuhkan bentuk kejahatan seperti ini hanya akan efektif jika pelaku tindak pidana ditemukan dan dihukum serta hasil dan instrumen tindak pidananya disita dan dirampas oleh negara. 32

33 Beberapa ketentuan pidana sudah mengatur mengenai kemungkinan untuk menyita dan merampas hasil dan instrumen tindak pidana. Namun demikian, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, perampasan hanya dapat dilaksanakan setelah pelaku tindak pidana terbukti di pengadilan secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana. Padahal terdapat berbagai kemungkinan yang dapat menghalangi penyelesaian mekanisme penindakkan seperti itu misalnya tidak ditemukannya atau meninggalnya atau adanya halangan lain yang mengakibatkan pelaku tindak pidana tidak bisa menjalani pemeriksaan di pengadilan atau tidak ditemukannya bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan dan sebab yang lainnya. Selain hal tersebut di atas, upaya untuk menekan kejahatan dengan mengandalkan penggunaan ketentuan-ketentuan pidana juga menghadapi kendala lain dimana terdapat beberapa tindak pidana atau pelanggaran hukum yang tidak dapat dituntut dengan menggunakan ketentuan-ketentuan pidana. Sebagai contoh, pada saat ini perbuatan melawan hukum materiel yang mengakibatkan kerugian kepada negara tidak bisa dituntut dengan ketentuan tindak pidana korupsi. Pada saat ini perkembangan hukum di dunia internasional menunjukkan, bahwa penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana menjadi bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan. Selain mengungkap tindak pidana dan menemukan pelakunya, penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana menjadi bagian utama dari penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana. Selain itu dalam rangka memperkuat ketentuanketentuan pidana yang sudah ada, beberapa negara mengadopsi ketentuanketentuan yang berasal dari ketentuan-ketentuan perdata untuk menuntut pengembalian hasil tindak pidana. Penuntutan secara perdata tersebut dapat dilakukan secara terpisah dari upaya penuntutan pidana terhadap pelaku tindak pidana. Berdasarkan pengalaman yang ada, penerapan pendekatan seperti ini di sejumlah negara terbukti efektif dalam hal meningkatkan nilai hasil tindak pidana yang dapat dirampas. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, terlihat adanya kebutuhan untuk merekonstruksi sistem hukum pidana dengan mengatur mengenai penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana di dalam suatu undang-undang. Pengaturan tersebut selain harus komprehensif juga harus terintegrasi dengan pengaturan lain dan harus sejalan dengan pengaturan yang berlaku umum di dunia internasional untuk memudahkan pemerintah dalam meminta bantuan kerjasama dari pemerintahan negara lain berdasarkan hubungan baik dengan berlandaskan prinsip resiprositas. 33

34 Secara khusus tujuan dari Undang-Undang ini adalah untuk: - mengatasi kendala-kendala yang timbul dalam upaya penarikan atau pengembalian aset melalui mekanisme pidana (in personam), sehingga walaupun tersangka/terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana tetap dapat dilakukan secara fair karena melalui pemeriksaan sidang pengadilan. - mendorong terwujudnya pengelolaan aset tindak pidana yang profesional, transparan dan akuntabel dengan pembentukan lembaga pengelola aset. - memudahkan Pemerintah Indonesia dalam meminta bantuan kerjasama pengembalian aset (aset recovery) dari pemerintahan negara lain yang pada umumnya mensyaratkan adanya putusan pengadilan baik pidana maupun perdata. Batasan jumlah aset yang kejar dengan pendekatan Undang-Undang ini, jumlah nominalnya Rp ,- ( Seratus Ratus Juta Rupiah ) dan aset di bawah nilai tersebut tidak menggunakan pendekatan Undang-Undang ini, melainkan menggunakan cara konvensional. Jika terjadi perubahan nilai minimum maka penyesuaian nilai minimum tersebut diatur dengan peraturan pemerintah Kemudian undang-undang ini juga mendorong mengelola aset yang professional, transparan, dan akuntabel dengan dibentuknya lembaga pengelolaan aset yang bertanggungjawab kepada menteri yang membidangi urusan keuangan dalam pemerintahan agar tidak disia-siakan atau ada yang disalahgunakan sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan negara dan untuk memudahkan pemerintah meminta bantuan kerja sama pengembalian aset dari negara lain yang pada umumnya mensyaratkan adanya putusan pengadilan. Undang-Undang ini berlaku surut terhadap aset yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan sejak tahun 1998 tetapi bukan memberlakukan surut pemidanaan tapi pemberlakuan surut mengenai hasil-hasil kejahatan. 34

35 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal 2 Pasal 3 Pasal 4 Ayat (1) Ayat (2) Cukup jelas Huruf a Huruf b Huruf c Termasuk aset dalam ayat ini adalah aset-aset lainnya yang telah dialihkan pada pihak ketiga. Cukup Jelas. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menggantikan Aset Tindak Pidana yang hilang, telah habis digunakan, tidak dapat ditemukan, telah dialihkan kepada pihak ketiga, telah ditempatkan di luar yurisdiksi pengadilan, ditiadakan nilainya, atau bercampur dengan properti lain. Ketentuan ini dimaksudkan untuk merampas barang-barang hasil kejahatan yang tidak diketahui pelakunya, misalnya kayu-kayu gelondongan di hutan atau barang-barang selundupan di pelabuhan tidak resmi. Ayat (1) Dalam ketentuan ini PPATK dapat membantu penyidik atau penuntut umum untuk melakukan penelusuran dalam rangka mengoptimalkan upaya pengembalian aset, Ayat (2) Ayat (3) 35

36 Pasal 5 Pasal 6 Pasal 7 Pasal 8 Pasal 9 Pasal 10 Pasal 11 Ayat (4) Jika tidak memberikan yang asli maka dokumen tersebut harus dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. Cukup jelas Ayat (1) Ayat (2) Ayat (3) Yang dimaksud dengan lembaga yang berwenang antara lain Penyedia Jasa Keuangan baik bank maupun non bank, Badan Pertanahan Nasional, atau Perum Pegadaian. Dalam ketentuan ini, pemblokiran terhadap Aset Tindak Pidana yang disimpan dalam rekening perbankan, sebesar perkiraan nilai Aset yang diduga diperoleh atau terkait dengan tindak pidana Yang dimaksud dengan segera adalah tanpa ditunda atau tindakannya diprioritaskan. 36

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset hasil tindak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA

RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA I. UMUM Pembangunan hukum dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T No. 339, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Pencucian Uang. Asal Narkotika. Prekursor Narkotika. Penyelidikan. Penyidikan. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELIDIKAN

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kejahatan yang menghasilkan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia \ Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 01 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA PELAKSANAAN KEMITRAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 76, 1981 (KEHAKIMAN. TINDAK PIDANA. Warganegara. Hukum Acara Pidana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kejahatan yang menghasilkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

2017, No kementerian/lembaga tanpa pernyataan dirampas, serta relevansi harga wajar benda sitaan Rp300,00 (tiga ratus rupiah) yang dapat dijual

2017, No kementerian/lembaga tanpa pernyataan dirampas, serta relevansi harga wajar benda sitaan Rp300,00 (tiga ratus rupiah) yang dapat dijual BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.751, 2017 KEJAKSAAN. Benda Sitaan atau Barang Rampasan Negara atau Sita Eksekusi. Pelelangan atau Penjualan Langsung. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan telah diratifikasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

TENTANG TATA BERACARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

TENTANG TATA BERACARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01/DPR RI/IV/2007-2008 TENTANG TATA BERACARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 3 TAHUN 2014 T E N T A N G

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 3 TAHUN 2014 T E N T A N G PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 3 TAHUN 2014 T E N T A N G TATA BERACARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN DAN PENITIPAN GANTI KERUGIAN KE PENGADILAN NEGERI DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN

Lebih terperinci

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 01 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA PELAKSANAAN KEMITRAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi dan

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci