BAB II TATA CARA PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM. A. Tindak pidana yang Diancam dengan Hukuman Mati dalam Hukum Pidana Islam

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TATA CARA PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM. A. Tindak pidana yang Diancam dengan Hukuman Mati dalam Hukum Pidana Islam"

Transkripsi

1 29 BAB II TATA CARA PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM A. Tindak pidana yang Diancam dengan Hukuman Mati dalam Hukum Pidana Islam Istilah tindak pidana dalam hukum pidana Islam lebih dikenal dengan jarimah. Jarimah berasal dari bahasa Arab جريمة yang berarti perbuatan dosa dan atau tindak pidana. Dalam terminologi hukum Islam, jarimah diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh menurut syara dan ditentukan hukumannya oleh Tuhan, baik dalam bentuk sanksi-sanksi yang sudah jelas ketentuannya (had) maupun sanksi-sanksi yang belum jelas ketentuannya oleh Tuhan (ta'zir). 25 Jarimah yang diancam dengan hukuman mati ialah jarimah hudud. Jarimah hudud berasal dari kata hudud adalah bentuk jama dari kata had artinya baik. Macamnya jarimah maupun hukumnya sudah ditentukan oleh syara, tidak boleh ditambah atau dikurangi dan ia menjadi hak Allah. 26 Para ahli hukum Islam menyebutkan ada lima tindak pidana yang diancam hukuman mati yaitu: 1. Pembunuhan 2. Perzinaan 3. Perampokan 4. Murtad 25 Diakses tanggal 25 Nopember Marsum, Op. cit, 1991, hal. 67

2 30 5. Pemberontakan Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut macam-macam jarimah yang diancam dengan hukuman mati; 1. Pembunuhan Pembunuhan dalam bahasa Indonesia diartikan dengan proses, perbuatan atau cara membunuh. 27 Sedangkan pengertian membunuh adalah mematikan, menghilangkan (menghabisi atau mencabut) nyawa. 28 Dalam bahasa Arab, pemb unuhan disebut al-qattlu berasal dari kata qatala yang sinonimnya amata artinya mematikan. Dalam arti istilah, pembunuhan didefinisikan oleh Wahbah Zuhaili yang mengutip Syabini Khatib sebagai berikut: 29 Pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang. Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa pembunuhan adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang mengakibatkan hilangnya nyawa, baik perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja. Pembunuhan merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara, hal ini berdasarkan pada firman Allah dalam al-qur an surat al-an am: 51, Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari 27 Moeliono, Anton M, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Jakarta, Balai Pustaka. 1996, hal Ibid, hal Zuhaili, Wahbah, al-fiqh Al-Islami wa Adilatuh, Damaskus, Dar al-fikr. 1989, hal. 71

3 31 kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa'atpun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa. Sedangkan macam-macam pembunuhan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut: 30 a. Pembunuhan yang dilarang, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan melawan hukum. b. Pembunuhan dengan hak, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan tidak melawan hukum, seperti membunuh orang murtad, atau pembunuhan oleh seorang algojo yang diberi tugas melaksanakan hukuman mati. Pembunuhan yang dilarang dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut: 31 a. Menurut Imam Malik, pembunuhan dibagi menjadi dua bagian, yaitu, pembunuhan sengaja dan pembunuhan karena kesalahan. b. Menurut jumhur fuqaha, pembunuhan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja dan pembunuhan karena kesalahan. Sebenarnya masih ada pendapat lain yang membagi pembunuhan kepada empat dan lima bagian, namun apabila diperhatikan, pembagian tersebut hanyalah pengembangan dari pembagian yang dikemukakan oleh jumhur fuqaha. Oleh karena itu dalam pembahasan selanjutnya penulis hanya akan mengikuti pendapat 30 Diakses tanggal 13 Agustus Ibid

4 32 jumhur ulama tersebut. 2. Perzinaan Para ulama dalam memberikan definisi zina ini berbeda redaksinya, namun substansinnya hampir sama. Menurut pendapat Malikiyah zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang mukallaf terhadap farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secara disepakati dengan kesengajaan. 32 Menurut pendapat Hanafiyah zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dalam qubul (kemaluan) seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiar (tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang-orang kepadanya berlaku hukum Islam, dan wanita tersebut bukan miliknya dan tidak ada subhat dalam miliknya. 33 Pendapat Syafi iyah berpendapat bahwa zina adalah memasukkan zakar ke dalam farji yang diharamkan karena zatnya tanpa ada subhat dan menurut tabiatnya menimbulkan syahwat. 34 Menurut pendapat Hanabilah zina adalah melakukan perbuatan keji (persetubuhan), baik terhadap qubul (farji) maupun dubur. 35 Apabila diperhatikan maka keempat definisi tersebut berbeda dalam redaksi dan susunan kalimatnya, namun dalam intinya sama, yaitu bahwa zina adalah hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan perempuan di luar nikah. Hanya kelompok hanabilah yang memberikan definisi yang singkat dan umum, 32 Ibid, hal Ibid, hal Ibid, hal Ibid, hal. 234

5 33 yang menyatakan zina adalah perbuatan keji yang dilakukan terhadap qubul (farji) atau dubur. Dengan demikian, Hanabilah menegaskan dalam definisinya bahwa hubungan kelamin terhadap dubur dianggap sebagai zina yang dikenakan hukuman had. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa unsur-unsur zina ada dua, yaitu (1) persetubuhan yang diharamkan (al-wat u al-muharramu) dan (2) adanya kesengajaan atau niat yang melawan hukum. Konsep tentang tindak pidana perzinaan menurut hukum Islam jauh berbeda dengan sistem hukum Barat, karena dalam hukum Islam, setiap hukuman seksual yang diharamkan itulah zina, baik yang dilakukan oleh orang yang telah berkeluarga maupun yang telah berkeluarga asal ia tergolong orang mukallaf, meskipun dilakukan dengan rela sama rela, jadi tetap merupakan tindak pidana. Konsep syari at ini adalah untuk mencegah menyebarluasnya kecabulan dan kerusakan akhlak serta untuk menumbuhkan pandangan bahwa perzinaan itu tidak hanya mengorbankan kepentingan perorangan, tapi lebihlebih kepentingan masyarakat. 3. Perampokan Perampokan (hirabah), para ulama mendefinisikan sebagai berikut: Menurut Hanafiyah, hirabah adalah ke luar untuk mengambil harta dengan kekerasan yang realisasinya menakut-nakuti orang yang lewat di jalan atau

6 34 mengambil harta, atau membunuh orang. 36 Menurut Syafi iyah, hirabah adalah ke luar untuk mengambil harta, atau membunuh atau menakut-nakuti, dengan cara kekerasan dengan berpegang teguh kepada kekuatan dan jauh dari pertolongan (bantuan). 37 Menurut Imam Malik hirabah adalah mengambil harta dengan tipuan (taktik) baik menggunakan kekerasan atau tidak. 38 Imam Ahmad dan Syi ah Zaidiyah memberikan definisi yang sama dengan yang dikemukakan oleh Hanafiyah. Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapat dikemukan bahwa inti persoalan tindak pidana perampokan adalah sekelompok orang dengan maksud untuk mengambil harta dengan terang-terangan dan kekerasan, apakah dalam realisasinya pengambilan tersebut terjadi atau tidak. Di samping itu dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para fuqaha di atas, dapat diketahui bentuk-bentuk tindak pidana perampokan itu ada empat, yaitu sebagai berikut: 39 a. keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian pelaku hanya melakukan intimidasi, tanpa mengambil harta dan membunuh. b. keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia mengambil harta tanpa membunuh. 36 Ibid, hal Azmi, Abdul Qadir, Kritik Terhadap UU Ciptaan Manusia, (terj). Bina Ilmu, Surabaya, 1985, hal Noerwahidah, Op. cit, hal Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani, Jakarta, 2003, hal. 61.

7 35 c. keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia melakukan pembunuhan tanpa mengambil harta. d. keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia mengambil harta dan melakukan pembunuhan. Apabila seseorang melakukan salah satu dari keempat bentuk tindak pidana perampokan tersebut maka ia dianggap sebagai perampok selagi ia keluar dengan tujuan untuk mengambil harta dengan kekerasan. Akan tetapi, apabila seseorang keluar dengan tujuan mengambil harta, namun ia tidak melakukan intimidasi, dan tidak mengambil harta serta tidak melakukan pembunuhan maka ia tidak dianggap sebagai perampok, walaupun perbuatannya itu tetap tidak dibenarkan dan termasuk maksiat yang dikenakan hukuman ta zir. 40 Hukuman mati untuk jarimah hirabah hanya jika pelaku hirabah itu membunuh, meskipun ia tidak mengambil harta serta tidak melakukan intimidasi. 4. Murtad (al-ridda) Arti ridda menurut bahasa adalah arruju a an asha i ila ghairihi yang artinya kembali ke sesuatu yang lain, 41 sedangkan menurut syara adalah kembali dari agama Islam kepada kekafiran, baik dengan niat, perbuatan yang menyebabkan kekafiran, atau dengan ucapan. 42 Dari definisi-definisi di atas, dapat dipahami bahwa orang yang murtad adalah orang yang keluar dari agama 40 Wahbah Zuhaili, Op. cit, hal Ibid, hal Ibid, hal. 120

8 36 Islam dan kembali kepada kekafiran. Riddah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah yang diancam dengan hukuman di akhirat, yaitu dimasukkan ke neraka selama-lamanya. Rasulullah saw. Menjelaskan hukuman untuk orang murtad ini dalam sebuah hadis: Dari ibn Abbas ra. Ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa menukar agamanya maka bunuhlah ia. Dari ibn Abbas ra. Ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa menukar agamanya maka bunuhlah ia. (hadis riwayat Bukhari) Dari Aisyah ra. Telah bersabda Rasulullah saw: Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena tiga perkara, orang yang berzina dan ia muhsan, atau orang yang kafir setelah tadinya ia Islam, atau membunuh jiwa sehingga karenanya ia harus dibunuh pula. (Hadis diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa i, dan Muslim dengan arti yang sama) Pemberontakan (al-bagyu) Pemberontakan atau al-bagyu menurut arti bahasa adalah mencari atau menuntut sesuatu. Pengertian tersebut kemudian menjadi populer untuk mencari dan menuntut sesuatu yang tidak halal, baik karena dosa maupun kedzaliman. Tidak ada kesepakatan di kalangan ulama tentang definisi al-baghyu. Ulama Hanafiyah, misalnya, mengartikannya sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan. Ulama Syafi iyah berkata: 43 Andi Hamzah dan Sumangelipu, A, Pidana Mati di Indonesia di Masa lain, Kini dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 321

9 37 pemberontak adalah orang muslim yang menyalahi Imam dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan, memiliki argumentasi dan memiliki pemimpin. 44 Faktor penyebab perbedaan mereka dalam mendefinisikan al-baghyu adalah perbedaan mereka dalam menentukan syarat-syarat dan bukan perbedaan dalam unsur yang prinsip. Unsur-unsur pemberontakan yang pokok adalah (1) keluar dari imam dengan terang-terangan (2) ada itikad jahat (3) para pemberontak bertanggung jawab terhadap tindak pidana secara khusus sebelum dan sesudah pemberontakan. Adapun kejahatan waktu pemberontakan ada dua macam yaitu kejahatan yang berkaitan langsung dengan pemberontakan dan kejahatan yang tidak berkaitan langsung. Kejahatan yang berkaitan langsung dengan pemberontakan, seperti makar, merusak fasilitas umum, diancam dengan hukuman pemberontakan yang diserahkan kepada Ulil Amri, yakni bisa diberi hukuman mati bila Ulil Amri tidak memberi ampunan secara umum. Adapun kejahatan yang tidak berkaitan langsung, seperti minum minuman keras dan zina yang mereka lakukan pada waktu pemberontakan tetap harus mereka pertanggungjawabkan sebagai tindak pidana hudud biasa. 44 Ibn, al-human, Syarh Fath al-qadir, ttp. t.t, hal. 78

10 38 B. Tata Cara Eksekusi Hukuman Mati Menurut Hukum Islam 1. Alat-alat eksekusi hukuman mati Tidak ada persyaratan khusus mengenai alat yang dipakai untuk membunuh kecuali sarana tersebut nantinya bisa mematikan baik berbentuk tajam maupun yang bersifat membinasakan, karena keduanya dapat mengakibatkan tercabutnya nyawa. 45 Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasul SAW. Pernah menghukum orang Yahudi yang memecahkan kepalanya di antara dua batu besar. Sebelumnya di Yahudi tersebut talah melakukan hal yang sama terhadap salah seorang budak perempuan. 46 Bagi Imam Abu Hanifah dan Ahmad dalam melaksanakan hukuman qishas hanya dibolehkan memakai pedang. Bagaimanapun juga alat yang dipakai si pelaku. Pendapat tersebut berdasarkan atas sabda Rasul saw : Tidak ada hukuman qishas kecuali pedang. Jadi maksud hadis ialah melarang melaksanakan hukuman qishas bukan dengan pedang. 47 Menurut Imam Malik, Syafi i dan beberapa ulama mahdzab Hambali, alat yang dipakai untuk menjalankan qishas harus sama dengan alat yang dipakai oleh pembunuh dan hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an- Nahl: 126. Pemakaian alat yang serupa yang dipakai oleh pembunuh merupakan hak semata, oleh karena itu bisa ditinggalkan dan memakai pedang. Kalau para 45 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah (terj). Beirut, Dar Al-Fikr. 1980, hal Noerwahidah, Op. cit, hal Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, Jakarta, Aksara Persada. 1985, hal. 178

11 39 fuqaha memilih pedang sebagai alat pelaksanaan qishas maka dasarnya ialah karena alat tersebut lebih cepat menghilangkan nyawa. Akan tetapi kalau ada alat lain yang lebih cepat membawa kematian serta lebih sedikit menimbulkan derita, maka tidak ada halangan untuk dipakai seperti kursi listrik atau guillatile. 48 Hukum rajam merupakan hukuman bagi kejahatan zina muhsan sebagaimana yang dilakukan pada zaman Rasulullah saw, yaitu dengan menanam tubuh si pelaku sampai batas dada kemudian dilempar dengan batu hingga mati, bila dilihat pelaksanaan hukuman terhadap zina muhsan di Saudi Arabia yang berdasarkan hukum Islam terhadap Putri Misha dengan Muslih al- Shaer nampak ada perubahan cara eksekusi yang dilakukan di zaman dahulu itu. Putri Misha yang masih termasuk keluarga istana telah dijatuhi hukuman tembak tiga kali, dan Muslih al-shaer yang telah melakukan zina dengan putri tersebut dipancung lehernya. Sekalipun berbeda cara eksekusinya bila dibandingkan dengan zaman Rasul, namun intinya sama yaitu mati Waktu dan tempat eksekusi hukuman mati Hukuman qishas boleh dilaksanakan setelah hadirnya ahli waris orang yang dibunuh yang telah baligh semuanya, dan mereka telah menuntut supaya hukuman qishas dilaksanakan. Pihak pemerintah segera melaksanakan 48 Noerwahidah, Op. cit, hal Ibid, hal. 60

12 40 hukuman qishas itu kecuali pembunuh itu seorang perempuan yang sedang hamil. Maka dalam kasus ini, hukuman qishas itu boleh ditangguhkan sehingga perempuan tadi melahirkan anaknya. 30 Namun pada umumnya Nabi selalu melaksanakan hukuman mati ini setelah salat Jum at. 31 Pada dasarnya eksekusi hukuman mati harus dilakukan di tempat terbuka yang bisa disaksikan oleh khayalak umum. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat an-nur: " Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orangorang yang beriman." Hal ini dimaksudkan disamping hukuman tersebut merupakan pembalasan. Hukuman tersebut juga bertujuan untuk memberikan pelajaran kepada masyarakat agar tidak melakukan kejahatan dan bersifat pencegahan. Dengan dilaksanakannya hukuman di tempat yang dapat disaksikan oleh masyarakat umum, maka hal ini akan menimbulkan rasa takut di hati orang-orang yang menyaksikan jangan sampai untuk melakukan kejahatan serupa. Di samping itu cara ini juga dimaksudkan agar orang menghargai dan mentaati aturan hukum, dengan demikian maka akan tercegah meluasnya kejahatan dan keamanan serta ketentraman masyarakat akan terjamin. Kebahagiaan hidup manusia akan terwujud Noerwahidah, Op. cit, hal. 104

13 41 Atas dasar inilah, maka di Negara Islam, hukuman mati selalu dilaksanakan di muka umum dan disaksikan masyarakat banyak, seperti eksekusi Putri Misha dan Muslih al-shaer di Saudi Arabia Persaksian atas eksekusi hukuman mati Menurut satu pendapat dalam mahdzab Hanafi, ahli waris yang berhak terhadap pelaksanaan qishas diharapkan hadir sendiri dan tidak boleh diwakilkan, menurut pendapat mereka hukuman qishas, hukuman qishas tidak dapat dijalankan tanpa kehadiran orang-orang yang berhak terhadapnya, karena kemungkinan waris yang hadir itu akan memaafkan pembunuh seandainya ia hadir, di saat hukuman akan dilaksanakan. Tetapi ulama lainnya tidak mensyaratkan kehadiran mereka, akan tetapi cukup dengan kehadiran wakilwakil mereka saja. 52 Menurut seorang ulama terkenal di dalam mahdzab Syafi i, yaitu Mawardi, ada sepuluh petugas atau saksi yang diperlukan di dalam melaksanakan hukuman qishas agar pelaksanaanya berlangsung dengan sempurna, beberapa di antaranya adalah: 53 a. Petugas pemerintah, karena tanpa kehadiran dan izin mereka, hukuman qishas tidak dilaksanakan. b. Dua orang saksi 51 Ibid, hal Sayid Sabiq, Op. cit, hal Ibid, hal. 61.

14 42 c. Beberapa orang pembantu, karena kemungkinan dibutuhkan tenaga untuk mengawal pembunuh. 4. Wewenang yang berhak melaksanakan eksekusi hukuman mati Pada zaman jahiliyah, qishas dilakukan oleh perseorangan, keluarga, kabilah. Setelah datang Islam, maka qishas ini diserahkan kepada Ulil Amri sebagai petugas atau pemerintah, pelindung dan pengurus kepentingan rakyat. Hanya Ulil Amri yang diwakili oleh hakim berhak melaksanakan qishas itu bukan perseorangan, keluarga, kabilah. 54 Sudah menjadi kesepakatan para fuqaha, orang yang boleh menjalankan hukuman jarimah hudud adalah Kepala Negara yakni Imam atau wakilnya, yakni petugas yang diberi wewenang, karena hukuman had merupakan hak Tuhan yang dijatuhkan untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu harus diserahkan kepada wakil masyarakat yaitu kepala Negara. 55 Dari Rasulullah diriwayatkan sebagai berikut: empat perkara diserahkan kepada penguasa yaitu hukuman had, harta sedekah, sholat, jum at dan fa i. 56 Untuk jarimah qishas pelaksanaan hukuman bisa dilaksanakan oleh ahli waris sendiri dengan syarat atas persetujuan penguasa. Di kalangan fuqaha, sudah disepakati bahwa wali korban bisa melaksanakan qishas dalam pembunuhan dengan syarat harus dibawah pengawasan penguasa, sebab pelaksanaanya memerlukan pemeriksaan dengan 54 Azmi Abdul Qadir, Op. cit, hal Noerwahidah, Op. cit, hal Ibid, hal. 43

15 43 teliti dan menjauhi kedzaliman, karena kalau tidak diawasi oleh penguasa dalam pelaksaanaanya, akan terjadi qishas pula, meskipun ia dianggap mengkhianati kekuasaan Negara. Melaksanakan qishas merupakan kepentingan umum, maka tidak ada salahnya kalau diangkat orang-orang yang ahli yang berwenang untuk melaksanakan hukuman hudud dan qishas dengan mendapat gaji dari pemerintah. Kalau ahli waris tidak pandai menjalankan qishas, maka pelaksanaanya diserahkan pada orang-orang ahli tersebut Ibid, hal. 50

BAB II JARIMAH HIRABAH. adalah menjalankan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan

BAB II JARIMAH HIRABAH. adalah menjalankan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan 14 BAB II JARIMAH HIRABAH A. Pengertian Jarimah Hirabah 1. Pengertian Jarimah Pengertian jarimah mempunyai arti larangan-larangan syara yang diancam dengan hukuman had atau ta zir. 1 Larangan yang dimaksudkan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TENTANG ZINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PENGATURAN TENTANG ZINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PENGATURAN TENTANG ZINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN A. Zina Dalam Perspektif Hukum Islam Dalam perspektif hukum Islam, zina adalah hubungan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP TINDAK PIDANA ISLAM

BAB II KONSEP TINDAK PIDANA ISLAM BAB II KONSEP TINDAK PIDANA ISLAM A. Pengertian Jarima@h 1. Menurut Bahasa Jarimah berasal dari kata ( ج ج ج ) yang sinonimnya ( ج ج ج ج ج ج ج ) artinya: berusaha dan bekerja. Hanya saja pengertian usaha

Lebih terperinci

Assalamu alaikum wr. wb.

Assalamu alaikum wr. wb. Assalamu alaikum wr. wb. Hukum Jinayat (Tindak Pidana dalam Islam) A. Pengertian Jinayat Jinayat yaitu suatu hukum terhadap bentuk perbuatan kejahatan yang berkaitan pembunuhan, perzinaan, menuduh zina,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dapat dijerat dengan pasal-pasal : (1) Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum

BAB V PENUTUP. dapat dijerat dengan pasal-pasal : (1) Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sanksi hukum bagi seorang ayah melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak kandungnya, berdasarkan ketentuan hukum positif di Indonesia, ia dapat dijerat dengan pasal-pasal

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF Untuk mengetahui bagaimana persamaan dan perbedaan antara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN NO. 488/PID.B/2015/PN.SDA TENTANG PERCOBAAN PENCURIAN

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN NO. 488/PID.B/2015/PN.SDA TENTANG PERCOBAAN PENCURIAN BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN NO. 488/PID.B/2015/PN.SDA TENTANG PERCOBAAN PENCURIAN A. Pertimbangan Hakim terhadap Tindak Pidana Percobaan Pencurian dalam Putusan No 488/Pid.B/2015/PN.Sda

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ANAK DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ANAK DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 62 BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ANAK DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 A. ANALISA TERHADAP HUKUM PEKERJA ANAK MENURUT FIQH JINAYAH 1. Analisis Batasan

Lebih terperinci

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Wasiat Kepada Non Muslim Perspektif Hukum Islam. 1. Syarat-syarat Mushii a. Mukallaf (baligh dan berakal

Lebih terperinci

BAB IV. A. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh dalam Putusan No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO tentang Tindak Pidana Pembakaran Lahan.

BAB IV. A. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh dalam Putusan No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO tentang Tindak Pidana Pembakaran Lahan. BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN NEGERI MEULABOH DALAM PUTUSAN No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO TENTANG TINDAK PIDANA PEMBAKARAN LAHAN PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM A. Pertimbangan Hakim Pengadilan

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA ZINA. cabul secara bahasa pencabulan berarti perbuatan yang keluar dari jalan yang

BAB II TINDAK PIDANA ZINA. cabul secara bahasa pencabulan berarti perbuatan yang keluar dari jalan yang BAB II TINDAK PIDANA ZINA A. Pengertian Menurut istilah pencabulan atau perbuatan cabul bila melihat dari definisi cabul secara bahasa pencabulan berarti perbuatan yang keluar dari jalan yang haq serta

Lebih terperinci

ija>rah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam memenuhi

ija>rah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam memenuhi BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK LELANG UNDIAN DALAM PENYEWAAN TANAH KAS DESA DI DESA SUMBERAGUNG KECAMATAN NGRAHO KABUPATEN BOJONEGORO Dari bab sebelumnya, penulis telah memaparkan bagaimana

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN FIQH JINAYAH TERHADAPPERCOBAAN KEJAHATAN

BAB III TINJAUAN FIQH JINAYAH TERHADAPPERCOBAAN KEJAHATAN BAB III TINJAUAN FIQH JINAYAH TERHADAPPERCOBAAN KEJAHATAN A. Unsur-Unsur Percobaan Kejahatan Di dalam hukum pidana Islam, suatu perbuatan tidak dapat dihukum, kecuali jika dipenuhi semua unsurnya, baik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUMAN DAN MACAM- MACAM HUKUMAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM SERTA CUTI BERSYARAT

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUMAN DAN MACAM- MACAM HUKUMAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM SERTA CUTI BERSYARAT BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUMAN DAN MACAM- MACAM HUKUMAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM SERTA CUTI BERSYARAT A. Pengertian Hukuman dan Macam-Macam Hukuman Menurut Hukum Pidana Islam 1. Pengertian Hukuman

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM DALAM PASAL 55 KUHP TERHADAP MENYURUH LAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM DALAM PASAL 55 KUHP TERHADAP MENYURUH LAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM DALAM PASAL 55 KUHP TERHADAP MENYURUH LAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN A. Analisis Hukum Pidana Islam tentang pasal 55 KUHP terhadap MenyuruhLakukan Tindak Pidana Pembunuhan

Lebih terperinci

A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Kekerasan seksual pada anak, yaitu dalam bentuk pencabulan

A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Kekerasan seksual pada anak, yaitu dalam bentuk pencabulan BAB IV ANALISIS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN HUKUM PIDANA ISLAM ATAS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI SURABAYA DALAM PERKARA PENCABULAN YANG DILAKUKAN ANAK DI BAWAH UMUR A. Analisis

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI LAMONGAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI LAMONGAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI LAMONGAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR A. Analisis Terhadap Pertimbangan Hukum

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK A. Analisis Terhadap Prosedur Pernikahan Wanita Hamil di Luar Nikah di Kantor Urusan Agama

Lebih terperinci

BAB IV. Hakim adalah organ pengadilan yang memegang kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan Negara yang merdeka untuk meyelenggarakan peradilan guna

BAB IV. Hakim adalah organ pengadilan yang memegang kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan Negara yang merdeka untuk meyelenggarakan peradilan guna 65 BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO NO: 832/PID.B/2012/PN.Sda TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN A. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan

Lebih terperinci

E٤٢ J٣٣ W F : :

E٤٢ J٣٣ W F : : [ ] E٤٢ J٣٣ W F : : Masyarakat yang bersih, yang tidak dipenuhi berbagai berita adalah masyarakat yang selamat serta terjaga, dan yang melakukan maksiat tetap tertutup dengan tutupan Allah atasnya hingga

Lebih terperinci

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HUKUM DALAM HUKUM REKAYASA FOTO DENGAN UNSUR PENCEMARAN NAMA BAIK DI FACEBOOK, INSTAGRAM, TWETTER, BBM DAN WHATSAAP

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HUKUM DALAM HUKUM REKAYASA FOTO DENGAN UNSUR PENCEMARAN NAMA BAIK DI FACEBOOK, INSTAGRAM, TWETTER, BBM DAN WHATSAAP 123 BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HUKUM DALAM HUKUM REKAYASA FOTO DENGAN UNSUR PENCEMARAN NAMA BAIK DI FACEBOOK, INSTAGRAM, TWETTER, BBM DAN WHATSAAP DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Persamaan hukum

Lebih terperinci

Rasulullah saw. memotong tangan pencuri dalam (pencurian) sebanyak seperempat dinar ke atas. (Shahih Muslim No.3189)

Rasulullah saw. memotong tangan pencuri dalam (pencurian) sebanyak seperempat dinar ke atas. (Shahih Muslim No.3189) Kitab Hudud 1. Hudud pencurian dan nisabnya Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah saw. memotong tangan pencuri dalam (pencurian) sebanyak seperempat dinar ke atas. (Shahih Muslim No.3189) Hadis

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN CUTI BERSYARAT DI RUTAN MEDAENG MENURUT UU NO. 12 TENTANG PEMASYARAKATAN

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN CUTI BERSYARAT DI RUTAN MEDAENG MENURUT UU NO. 12 TENTANG PEMASYARAKATAN BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN CUTI BERSYARAT DI RUTAN MEDAENG MENURUT UU NO. 12 TENTANG PEMASYARAKATAN A. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Prosedur Pelaksanaan Cuti Bersyarat

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. 1. Sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi dari Pengadilan Tinggi Surabaya dan Pengadilan Negeri Bangkalan

BAB IV PEMBAHASAN. 1. Sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi dari Pengadilan Tinggi Surabaya dan Pengadilan Negeri Bangkalan 54 BAB IV PEMBAHASAN 1. Sanksi pemidanaan tindak pidana perzinaan dalam putusan Kasasi dari Pengadilan Tinggi Surabaya dan Pengadilan Negeri Bangkalan Hukuman yang diterapkan terhadap Edi Purnomo dan Sri

Lebih terperinci

BAB IV. A. Pandangan Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Hukuman Kumulatif. Dari Seluruh Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim, menunjukkan bahwa

BAB IV. A. Pandangan Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Hukuman Kumulatif. Dari Seluruh Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim, menunjukkan bahwa 55 BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI KUMULATIF MENGENAI PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PUTUSAN NOMOR 382/ PID. SUS/ 2013/ PN. MKT. DI PENGADILAN NEGERI MOJOKERTO A. Pandangan Hukum Pidana

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM 62 BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM CUKUP UMUR DI DESA BARENG KEC. SEKAR KAB. BOJONEGORO Perkawinan merupakan suatu hal

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN A. Analisis terhadap ketentuan mengenai batasan usia anak di bawah umur 1. Menurut Hukum

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO A. Analisis Penarikan Kembali Hibah Oleh Ahli Waris Di Desa Sumokembangsri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KHAMR DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KHAMR DALAM HUKUM PIDANA ISLAM BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KHAMR DALAM HUKUM PIDANA ISLAM A. Pengertian Khamr Istilah Narkotika dalam konteks hukum Islam tidak disebutkan secara langsung di dalam Al-Qur an maupun dalam sunnah. Dalam

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. mengambil kesimpulan bahwa:

BAB V PENUTUP. mengambil kesimpulan bahwa: BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Dari beberapa pembahasan yang telah dikaji, penulis mengambil kesimpulan bahwa: 1. Kata zinā berasal dari bahasa arab yang artinya berbuat fajir (nista). Zinā adalah bentuk

Lebih terperinci

BAB III PENCURIAN DALAM HUKUM PIDANA. A. Pengertian Pidana, Hukum Pidana, dan Bentuk-bentuk Pidana

BAB III PENCURIAN DALAM HUKUM PIDANA. A. Pengertian Pidana, Hukum Pidana, dan Bentuk-bentuk Pidana BAB III PENCURIAN DALAM HUKUM PIDANA A. Pengertian Pidana, Hukum Pidana, dan Bentuk-bentuk Pidana 1. Pengertian Pidana Pidana secara bahasa yang dijumpai dalam Kamus Hukum adalah suatu Hukum publik yang

Lebih terperinci

crime dalam bentuk phising yang pernah terjadi di Indonesia ini cukup

crime dalam bentuk phising yang pernah terjadi di Indonesia ini cukup BAB IV ANALISIS TERH}ADAP CYBER CRIME DALAM BENTUK PHISING DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM A. Analisis Cara Melakukan Kejahatan

Lebih terperinci

ANALISIS TENTANG PENYATUAN PENAHANAN ANAK DENGAN DEWASA MENURUT FIKIH JINAYAH DAN UU NO. 23 TAHUN 2002

ANALISIS TENTANG PENYATUAN PENAHANAN ANAK DENGAN DEWASA MENURUT FIKIH JINAYAH DAN UU NO. 23 TAHUN 2002 BAB IV ANALISIS TENTANG PENYATUAN PENAHANAN ANAK DENGAN DEWASA MENURUT FIKIH JINAYAH DAN UU NO. 23 TAHUN 2002 A. Analisis Tentang Penyatuan Penahanan Anak Dengan Nara Pidana Dewasa menurut UU NO. 23 Tahun

Lebih terperinci

SILABUS. I. Mata Kuliah : FIKIH JINAYAH Kode : SYA 018. Program Studi : HKI, PM, HES dan HTN Program : S.1

SILABUS. I. Mata Kuliah : FIKIH JINAYAH Kode : SYA 018. Program Studi : HKI, PM, HES dan HTN Program : S.1 SILABUS I. Mata Kuliah : FIKIH JINAYAH Kode : SYA 018 Fakultas : Syari ah Program Studi : HKI, PM, HES dan HTN Program : S.1 Bobot : 2 sks Sifat : Wajib II. Deskripsi Mata Kuliah Mata Kuliah ini akan membahas

Lebih terperinci

BAB III PEMAAFAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KEADAAN MABUK. A. Alasan Obyektif Pemaafan bagi Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan

BAB III PEMAAFAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KEADAAN MABUK. A. Alasan Obyektif Pemaafan bagi Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan BAB III PEMAAFAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KEADAAN MABUK A. Alasan Obyektif Pemaafan bagi Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan dalam Keadaan Mabuk Pengertian jinayah yang mengacu pada perbuatan-perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan rumah penjara secara berangsurangsur dipandang sebagai suatu

Lebih terperinci

Bahaya Zina dan Sebab Pengantarnya

Bahaya Zina dan Sebab Pengantarnya Bahaya Zina dan Sebab Pengantarnya Khutbah Pertama:??????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????:????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF Salah satu dampak menurunnya moral masyarakat, membawa dampak meluasnya pergaulan bebas yang mengakibatkan banyaknya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA PELANGGARAN HAK PEMEGANG PATEN MENURUT UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA PELANGGARAN HAK PEMEGANG PATEN MENURUT UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA PELANGGARAN HAK PEMEGANG PATEN MENURUT UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN A. Analisis Terhadap Sanksi Pidana Pelanggaran Hak Pemegang Paten Menurut UU.

Lebih terperinci

BAB IV. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana. Korupsi

BAB IV. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana. Korupsi BAB IV Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana Korupsi A. Analisis Pemberian Remisi terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Prespektif Hukum Positif Pada dasarnya penjatuhan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR A. Analisis Terhadap Pidana Cabul Kepada Anak Di Bawah Umur Menurut Pasal 294 Dan Pasal 13 UU No.23 Tahun 2002 Untuk melindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap orang yang hidup di dunia ini. Oleh karena itu untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu

Lebih terperinci

BAB II SANKSI TA ZIR DALAM TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM. A. Pengertian dan Dasar Hukum Sanksi Ta zir dalam Hukum Pidana Islam

BAB II SANKSI TA ZIR DALAM TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM. A. Pengertian dan Dasar Hukum Sanksi Ta zir dalam Hukum Pidana Islam 18 BAB II SANKSI TA ZIR DALAM TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM A. Pengertian dan Dasar Hukum Sanksi Ta zir dalam Hukum Pidana Islam Ta zir adalah bentuk mashdar dari kata yang secara etimologis berarti yaitu

Lebih terperinci

KEDUDUKAN ANAK HASIL HUBUNGAN ZINA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF. Ali Mohtarom Universitas Yudharta Pasuruan

KEDUDUKAN ANAK HASIL HUBUNGAN ZINA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF. Ali Mohtarom Universitas Yudharta Pasuruan Al-Murabbi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Yudharta Pasuruan P-ISSN (Cetak) : 2477-8338 http://jurnal.yudharta.ac.id/v2/index.php/pai E-ISSN (Online) : 2548-1371

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAKAN ASUSILA DAN PENGANIAYAAN OLEH OKNUM TNI

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAKAN ASUSILA DAN PENGANIAYAAN OLEH OKNUM TNI BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAKAN ASUSILA DAN PENGANIAYAAN OLEH OKNUM TNI A. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Militer III-19 Jayapura Nomor: 143-K/PM. III-19/AD/IX/2013.

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. iman.puasa adalah suatu sendi (rukun) dari sendi-sendi Islam. Puasa di fardhukan

BABI PENDAHULUAN. iman.puasa adalah suatu sendi (rukun) dari sendi-sendi Islam. Puasa di fardhukan 1 BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Puasa Ramadhan adalah suatu pokok dari rangkaian pembinaan iman.puasa adalah suatu sendi (rukun) dari sendi-sendi Islam. Puasa di fardhukan atas umat islam yang mukallaf

Lebih terperinci

BAB II PIDANA DALAM FIKIH JINAYAH

BAB II PIDANA DALAM FIKIH JINAYAH 20 BAB II PIDANA DALAM FIKIH JINAYAH A. Definisi Fikih Jinayah Fikih Jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fikih dan jinayah. Pengertian fikih secara bahasa berasal dari lafal faqiha, yafqahu fiqhan, yang

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS. hukum positif dan hukum Islam, dalam bab ini akan dianalisis pandangan dari kedua

BAB III ANALISIS. hukum positif dan hukum Islam, dalam bab ini akan dianalisis pandangan dari kedua BAB III ANALISIS Setelah uraian bab sebelumnya dijelaskan bagaimana gabungan melakukan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh satu orang terhadap beberapa korbannya dengan berbeda masa dan tempat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA BAB IV ANALISIS DATA A. Praktik Jual Beli Kotoran Sapi Sebagai Pupuk Kandang di PT. Juang Jaya Abdi Alam Sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulunya, bahwa jual beli yang terjadi di PT. Juang Jaya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI TINDAK PIDANA PEMERASAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

BAB II LANDASAN TEORI TINDAK PIDANA PEMERASAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM BAB II LANDASAN TEORI TINDAK PIDANA PEMERASAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM A. Definisi Tindak Pidana Dalam hukum Islam ada dua istilah yang digunakan untuk tidak pidana, yaitu jina>yah dan

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN TENTANG JARIMAH DAN MALPRAKTEK MEDIS. Jarimah (tindak pidana) berasal dari kata ( م ) yang berarti

BAB II KETENTUAN TENTANG JARIMAH DAN MALPRAKTEK MEDIS. Jarimah (tindak pidana) berasal dari kata ( م ) yang berarti BAB II KETENTUAN TENTANG JARIMAH DAN MALPRAKTEK MEDIS A. Ketentuan Tentang Jarimah 1. Pengertian Jarimah Jarimah (tindak pidana) berasal dari kata ( م ) yang berarti berusaha dan bekerja yang dalam hal

Lebih terperinci

BAB II PIDANA BERSYARAT DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

BAB II PIDANA BERSYARAT DALAM HUKUM PIDANA ISLAM 20 BAB II PIDANA BERSYARAT DALAM HUKUM PIDANA ISLAM A. Pengertian Jari>mah Ta z>ir Ta z>ir merupakan pemberian pengajaran atas perbuatan-perbuatan yang dilarang dan tidak disyariatkan hukuman hudu>d atasnya,

Lebih terperinci

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Analisis implementasi Hukum Islam terhadap ahli waris non-muslim dalam putusan hakim di Pengadilan Agama

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH A. Persamaan Pendapat Mazhab H{anafi Dan Mazhab Syafi i Dalam Hal Status Hukum Istri Pasca Mula> anah

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGEDARAN SEDIAAN FARMASI TANPA IZIN EDAR

BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGEDARAN SEDIAAN FARMASI TANPA IZIN EDAR BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGEDARAN SEDIAAN FARMASI TANPA IZIN EDAR A. Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Tindak Pidana Pengedaran Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TENTANG SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI

BAB IV ANALISIS TENTANG SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI BAB IV ANALISIS TENTANG SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI A. Analisis tentang Sanksi Pidana atas Pengedaran Makanan Tidak Layak Konsumsi 1. Analisis Tindak Pidana Hukum pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aksara, 1992, h Said Agil al-munawar, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi

BAB I PENDAHULUAN. Aksara, 1992, h Said Agil al-munawar, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman terhadap nas al-quran atau as-sunnah untuk mengatur kehidupan manusia. 1 Prinsip dalam hukum Islam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan yang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum kewarisan, termasuk salah satu aspek yang diatur secara jelas dalam Al-Qur an dan Sunnah Rasul. Hal ini membuktikan bahwa masalah kewarisan cukup penting

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS MENURUT PASAL 49 KUHP

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS MENURUT PASAL 49 KUHP BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS MENURUT PASAL 49 KUHP A. Analisis Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut Pasal 49 KUHP Dalam KUHP pasal 49 ayat 1, dikenal

Lebih terperinci

BAB II TEORI TENTANG ASH SHIHHAH WA AL BUTHLAN. sehat, tidak sakit, sembuh, benar dan selamat. 1

BAB II TEORI TENTANG ASH SHIHHAH WA AL BUTHLAN. sehat, tidak sakit, sembuh, benar dan selamat. 1 17 BAB II TEORI TENTANG ASH SHIHHAH WA AL BUTHLAN A. Shihhah (Sah) Kata shihhah berasal dari bahasa Arab yang secara bahasa berarti sehat, tidak sakit, sembuh, benar dan selamat. 1 Adapun dalam istilah

Lebih terperinci

Munakahat ZULKIFLI, MA

Munakahat ZULKIFLI, MA Munakahat ZULKIFLI, MA Perkawinan atau Pernikahan Menikah adalah salah satu perintah dalam agama. Salah satunya dijelaskan dalam surat An Nuur ayat 32 : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara

Lebih terperinci

Lahirnya ini disebabkan munculnya perbedaan pendapat

Lahirnya ini disebabkan munculnya perbedaan pendapat BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH NAHDLATUL ULAMA (NU) DAN MUHAMMADIYAH KOTA MADIUN TENTANG BPJS KESEHATAN A. Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Tokoh Nahdlatul Ulama NU) Dan Muhammadiyah Kota Madiun

Lebih terperinci

HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN PERBANDINGANNYA DENGAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN PERBANDINGANNYA DENGAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA Hukum Islam, Vol. XV No. 1 Juni 2015 Hukum Pidana...Lysa Angrayni 46 HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN PERBANDINGANNYA DENGAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA Lysa Angrayni Dosen Fakultas Syariah dan Hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIMPIN. 1) Mengetahui atau mengepalai, 2) Memenangkan paling banyak, 3)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIMPIN. 1) Mengetahui atau mengepalai, 2) Memenangkan paling banyak, 3) 12 A. Terminologi Pemimpin BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIMPIN Pemimpin dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti: 1) Orang yang memimpin. 2) Petunjuk, buku petunjuk (pedoman), sedangkan Memimpin artinya:

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA MENURUT PENPRES NO. 2 TAHUN A. Tindak Pidana yang Diancam dengan Hukuman Mati

BAB III PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA MENURUT PENPRES NO. 2 TAHUN A. Tindak Pidana yang Diancam dengan Hukuman Mati 44 BAB III PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA MENURUT PENPRES NO. 2 TAHUN 1964 A. Tindak Pidana yang Diancam dengan Hukuman Mati Menurut KUHP, di Indonesia ada sembilan macam kejahatan yang diancam

Lebih terperinci

I TIKAF. Pengertian I'tikaf. Hukum I tikaf. Keutamaan Dan Tujuan I tikaf. Macam macam I tikaf

I TIKAF. Pengertian I'tikaf. Hukum I tikaf. Keutamaan Dan Tujuan I tikaf. Macam macam I tikaf I TIKAF Pengertian I'tikaf Secara harfiyah, I tikaf adalah tinggal di suatu tempat untuk melakukan sesuatu yang baik. Dengan demikian, I tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah

Lebih terperinci

Dalam memeriksa putusan pengadilan paling tidak harus berisikan. tentang isi dan sistematika putusan yang meliputi 4 (empat) hal, yaitu:

Dalam memeriksa putusan pengadilan paling tidak harus berisikan. tentang isi dan sistematika putusan yang meliputi 4 (empat) hal, yaitu: BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN No. 815 K/PID.SUS/2014 TENTANG HUKUMAN BAGI PEREMPUAN YANG MEMBUJUK ANAK LAKI-LAKI MELAKUKAN PERSETUBUHAN A. Analisis Pertimbangan Hakim dalam Putusan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. sebelumnya, serta arahan dari pembimbing maka dalam bab ini penulis dapat

BAB V PENUTUP. sebelumnya, serta arahan dari pembimbing maka dalam bab ini penulis dapat 89 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, serta arahan dari pembimbing maka dalam bab ini penulis dapat menarik kesimpulan diantaranya:

Lebih terperinci

JABAT TANGAN ANTARA PRIA DAN WANITA

JABAT TANGAN ANTARA PRIA DAN WANITA TADZKIROH DEWAN SYARIAH PUSAT PARTAI KEADILAN SEJAHTERA NOMOR: 08/TK/K/DSP-PKS/II/1430 TENTANG JABAT TANGAN ANTARA PRIA DAN WANITA ( ) Memasuki era mihwar muassasi, interaksi dan komunikasi kader, anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah pada nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir. 1

BAB I PENDAHULUAN. Allah pada nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam adalah suatu agama yang disampaikan oleh nabi-nabi berdasarkan wahyu Allah yang disempurnakan dan diakhiri dengan wahyu Allah pada nabi Muhammad sebagai nabi dan

Lebih terperinci

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Pertanyaan Dari: Ny. Fiametta di Bengkulu (disidangkan pada Jum at 25 Zulhijjah 1428 H / 4 Januari 2008 M dan 9 Muharram 1429 H /

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum ada tiga unsur seseorang dianggap telah melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum ada tiga unsur seseorang dianggap telah melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum ada tiga unsur seseorang dianggap telah melakukan perbuatan jarimah, yaitu: unsur formal (al-rukn al-syar'i), unsur material (alrukn al-mâdî), dan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. A. Batasan Usia dan Hukuman Penjara Bagi Anak Menurut Ulama NU. Khairuddin Tahmid., Moh Bahruddin, Yusuf Baihaqi, Ihya Ulumuddin,

BAB IV ANALISIS. A. Batasan Usia dan Hukuman Penjara Bagi Anak Menurut Ulama NU. Khairuddin Tahmid., Moh Bahruddin, Yusuf Baihaqi, Ihya Ulumuddin, BAB IV ANALISIS A. Batasan Usia dan Hukuman Penjara Bagi Anak Menurut Ulama NU Lampung Berkaitan dengan siapa yang dimaksud dengan anak, dari semua pendapat yang didapat oleh penulis dari para narasumber

Lebih terperinci

Riba, Dosa Besar Yang Menghancurkan

Riba, Dosa Besar Yang Menghancurkan Riba, Dosa Besar Yang Menghancurkan Khutbah Pertama:????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????

Lebih terperinci

RATIOLEGIS HUKUM RIDDAH

RATIOLEGIS HUKUM RIDDAH BAB IV KOMPARASI KONSEP HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA DALAM STUDI RATIOLEGIS HUKUM RIDDAH A. Persamaan Konsep Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia Tentang

Lebih terperinci

Apa itu Nadzar dan Sumpah? NADZAR DAN SUMPAH

Apa itu Nadzar dan Sumpah? NADZAR DAN SUMPAH Pertanyaan: Apa itu Nadzar dan Sumpah? NADZAR DAN SUMPAH Pertanyaan Dari: Dani, Sulawesi Selatan (disidangkan pada hari Jum at, 23 Jumadilakhir 1432 H / 27 Mei 2011 M) As-salaamu alaikum wr. wb. Divisi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM 60 BAB IV ANALISIS PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM A. Tinjauan Hukum Pidana terhadap Sanksi bagi orang tua atau wali dari pecandu

Lebih terperinci

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Terhadap Putusan Waris Beda Agama Kewarisan beda agama

Lebih terperinci

BAB III SANKSI BAGI PELAKU PERZINAAN DALAM PASAL 284 KUHP PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM

BAB III SANKSI BAGI PELAKU PERZINAAN DALAM PASAL 284 KUHP PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM BAB III SANKSI BAGI PELAKU PERZINAAN DALAM PASAL 284 KUHP PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM A. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Unsur-unsur Tindak Pidana Perzinaan Dalam Pasal 284 KUHP Perbuatan pidana

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. sebelumnya, maka Penulis berkesimpulan sebagai berikut: Seksual Terhadap Anak dalam Hukum Pidana Indonesia

BAB V PENUTUP. sebelumnya, maka Penulis berkesimpulan sebagai berikut: Seksual Terhadap Anak dalam Hukum Pidana Indonesia BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang pelah diuraikan sebelumnya, maka Penulis berkesimpulan sebagai berikut: 1. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. problematika dan mengontrol perkembangan tersebut.salah satu problematika

BAB I PENDAHULUAN. problematika dan mengontrol perkembangan tersebut.salah satu problematika BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak sekali berbagai permasalahan dan problematika yang sering muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang semakin berkembang dan tidak sedikit

Lebih terperinci

BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan. 2 Sedangkan Ijbar

BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan. 2 Sedangkan Ijbar 29 BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR A. Pengertian Ijbar Ijbar berarti paksaan, 1 yaitu memaksakan sesuatu dan mewajibkan melakukan sesuatu. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan.

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. hukum, baik itu dari bahan hukum Islam dan bahan-bahan hukum Positif. Maka

BAB IV PENUTUP. hukum, baik itu dari bahan hukum Islam dan bahan-bahan hukum Positif. Maka 68 BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan terhadap bahan-bahan hukum, baik itu dari bahan hukum Islam dan bahan-bahan hukum Positif. Maka penulis dapat menyimpulkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu fitrah manusia adalah adanya perasaan saling suka antara lawan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu fitrah manusia adalah adanya perasaan saling suka antara lawan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sisi keistimewaan agama Islam adalah memberikan perhatian terhadap fitrah manusia dan memperlakukan secara realistis. Salah satu fitrah manusia adalah

Lebih terperinci

BAB III DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM

BAB III DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM BAB III DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM A. Anak Menurut Hukum Islam Hukum islam telah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seorang manusia yang

Lebih terperinci

murtahin dan melibatkan beberapa orang selaku saksi. Alasan

murtahin dan melibatkan beberapa orang selaku saksi. Alasan BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMANFAATAN BARANG JAMINAN DENGAN SISTEM BAGI HASIL DI DESA PENYENGAT KECAMATAN TANJUNGPINANG KOTA KEPULAUAN RIAU A. Analisis Terhadap Akad Pemanfaatan Barang Jaminan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FIKIH JINAYAH TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM UNDANG UNDANG NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM

BAB IV ANALISIS FIKIH JINAYAH TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM UNDANG UNDANG NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM 52 BAB IV ANALISIS FIKIH JINAYAH TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM UNDANG UNDANG NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM Pelanggaran hak asasi manusia memang sering dilakukan oleh masyarakat baik dengan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau 14 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Harta Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi, dan al-mal diartikan sebagai segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA

BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA A. Pengaturan Sanksi Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam terhadap Pedofilia 1. pengaturan Sanksi Menurut

Lebih terperinci

BAB II PENCURIAN DENGAN KEKERASAN PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM. A. Pengertian Jarimah Pencurian dengan Kekerasan (Perampokan/Hirâbah)

BAB II PENCURIAN DENGAN KEKERASAN PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM. A. Pengertian Jarimah Pencurian dengan Kekerasan (Perampokan/Hirâbah) BAB II PENCURIAN DENGAN KEKERASAN PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM A. Pengertian Jarimah Pencurian dengan Kekerasan (Perampokan/Hirâbah) Pencurian merupakan jarimah, kata jarimah identik dengan pengertian

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORITIS TINDAK PIDANA PERZINAAN. pengertian istilah adalah hubungan kelamin diantara seorang lelaki dengan

BAB II KERANGKA TEORITIS TINDAK PIDANA PERZINAAN. pengertian istilah adalah hubungan kelamin diantara seorang lelaki dengan BAB II KERANGKA TEORITIS TINDAK PIDANA PERZINAAN A. Definisi Zina dan Sumber Hukum 1. Definisi Zina Zina secara harfiah artinya fahisyah, yaitu perbuatan keji. Zina dalam pengertian istilah adalah hubungan

Lebih terperinci

Dosa-dosa Besar Yang Dianggap Biasa

Dosa-dosa Besar Yang Dianggap Biasa Dosa-dosa Besar Yang Dianggap Biasa Khutbah Pertama:?????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????.????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????.

Lebih terperinci

FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH HUKUM NIKAH BEDA AGAMA

FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH HUKUM NIKAH BEDA AGAMA FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH HUKUM NIKAH BEDA AGAMA Pertanyaan Dari: Hamba Allah, di Jawa Tengah, nama dan alamat diketahui redaksi (Disidangkan pada hari Jum at, 20 Syakban 1432 H / 22 Juli 2011 M) Pertanyaan:

Lebih terperinci

Surat Untuk Kaum Muslimin

Surat Untuk Kaum Muslimin Surat Untuk Kaum Muslimin Khutbah Pertama:?????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????.????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????.

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Penipuan yang. Berkedok Lowongan Pekerjaan (Studi Direktori Putusan Pengadilan Negeri

BAB IV. A. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Penipuan yang. Berkedok Lowongan Pekerjaan (Studi Direktori Putusan Pengadilan Negeri BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN YANG BERKEDOK LOWONGAN PEKERJAAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KISARAN NO. 317/PID.B/2013/PN.KIS A. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SADD AL-DH>ARI< AH TERHADAP JUAL BELI PESANAN MAKANAN DENGAN SISTEM NGEBON OLEH PARA NELAYAN DI DESA BRONDONG GANG 6 LAMONGAN

BAB IV ANALISIS SADD AL-DH>ARI< AH TERHADAP JUAL BELI PESANAN MAKANAN DENGAN SISTEM NGEBON OLEH PARA NELAYAN DI DESA BRONDONG GANG 6 LAMONGAN BAB IV ANALISIS SADD AL-DH>ARI< AH TERHADAP JUAL BELI PESANAN MAKANAN DENGAN SISTEM NGEBON OLEH PARA NELAYAN DI DESA BRONDONG GANG 6 LAMONGAN A. Analisis Tentang Pelaksanaan Pesanan Makanan Dengan Sistem

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN MATI BAGI PENGEDAR NARKOTIKA. dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN MATI BAGI PENGEDAR NARKOTIKA. dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN MATI BAGI PENGEDAR NARKOTIKA A. Analisis Hukum Pidana Terhadap Pengedar Narkotika Tindak pidana narkotika adalah tindak pidana yang diatur secara khusus

Lebih terperinci

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM A. Hal-Hal Yang Melatarbelakangi Paradigma Sekufu di dalam Keluarga Mas Kata kufu atau kafa ah dalam perkawinan mengandung arti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyaknya mahasiswa dan pegawai pabrik di Ngaliyan yang merupakan pendatang dari luar daerah, mengakibatkan banyaknya pula rumah kos dan kontrakan di Ngaliyan.

Lebih terperinci

A. Analisis Tentang Fenomena Pemasangan Identitas KH. Abdurraman Wahid (Gus Dur) pada Alat Peraga Kampanye PKB di Surabaya

A. Analisis Tentang Fenomena Pemasangan Identitas KH. Abdurraman Wahid (Gus Dur) pada Alat Peraga Kampanye PKB di Surabaya BAB IV ANALISIS KOMPARASI UU NO 2 TAHUN 2011 TENTANG PARPOL DAN FIKIH JINAYAH TENTANG PEMASANGAN GAMBAR GUS DUR PADA ALAT PERAGA KAMPANYE CALEG PKB DI SURABAYA A. Analisis Tentang Fenomena Pemasangan Identitas

Lebih terperinci