BAB II TINJAUAN PUSTAKA. putih. Yang betina jauh lebih besar dari pada jantan. Ukuran cacing betina sampai

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. putih. Yang betina jauh lebih besar dari pada jantan. Ukuran cacing betina sampai"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Kremi (Enterobius vermicularis) 1. Morfologi Cacing Kremi (Enterobius vermicularis) Cacing kremi (Enterobius vermicularis) dewasa berukuran kecil, berwama putih. Yang betina jauh lebih besar dari pada jantan. Ukuran cacing betina sampai 13 mm, sedangkan yang jantan sampai sepanjang 5 mm. Di daerah anterior sekitar leher, kutikulum cacing melebar. Pelebaran yang khas pada cacing ini disebut sayap leher (cevical alae). Usufagus cacing ini juga khas bentuknya oleh karena mempunyai bulbus esophagus ganda (double-bulp-oesophagus). Tidak terdapat rongga mulut pada cacing ini, akan tetapi dijumpai adanya 3 buah bibir. Ekor cacing betina lurus dan runcing sedangkan yang jantan mempunyai ekor yang melingkar. Di daerah ujung posterior ini dijumpai adanya spikulum dan papilpapil. Cacing jantan jarang dijumpai oleh karena sesudah mengadakan kopulasi dengan betinanya ia segera mati. (Dr.Soedarto,1995) Seekor cacing betina memproduksi telur sebanyak butir setiap harinya selama 2-3 minggu, sesudah itu cacing betina akan mati. Telur berbentuk lonjong, asimetrik, tidak berwarna, mempunyai dinding yang tembus sinar dan berisi larva yang hidup. Telur cacing jarang ditemukan di usus, sehingga jarang ditemukan dalam tinja (Dr.Soedarto,1995). Ukuran telur Enterobius vermicularis yaitu mikron x mikron ( rata-rata 55 x 26 mikron).

2 2. Daur Hidup Cacing dewasa terutama hidup di dalam sekum dan sekitar apendiks manusia. Untuk bertelur cacing betina sering kali mengadakan migrasi ke daerah sekitar anus. (Srisasi G,2004) Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Enterobius vermicularis dan tidak diperlukan hospes perantara. Telur yang oleh cacing betina diletakkan di daerah sekitar perianal, dalam waktu enam jam telah menjadi telur yang infektif untuk manusia lain. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Selain itu, dapat pula terjadi autoinfeksi dan retrofeksi terhadap diri penderita sendiri. Telur yang masuk ke mulut atau juga bisa melalui jalan nafas, di dalam duodenum akan menetas. Larva rabditiform kemudian akan tumbuh menjadi cacing dewasa di jejunum dan bagian atas dari ileum. Untuk melengkapi siklus hidupnya, dibutuhkan waktu antara 2 sampai 8 minggu lamanya. (Dr.Soedarto, 1995) Perkawinan atau persetubuhan cacing jantan dan betina kemungkinan terjadi di sekum, usus besar dan usus yang berdekatan dengan sekum. Mereka memakan isi usus penderitanya. Cacing jantan akan mati setelah kopulasi cacing betina mati setelah bertelur.( Fkunair 99 in artikel anak / pediatri, 2008 ) 3. Infeksi Cacing Kremi dan Penularanya Cacingan, salah satu penyakit tergolong tinggi kejadiannya di Indonesia. Penyebabnya hewan parasit berukuran mikro yang mengambil makanan dan usus yang berisi banyak sari makanan. Cacing masuk ke tubuh dalam fase larva

3 merupakan penyakit endemis dan kronis yang bisa meningkat tajam pada waktu musim hujan dan banjir. Infeksi ini kontak langsung dengan telur cacing kremi infektif melalui tangan, dari dubur selanjutnya ke mulut sendiri atau ke orang lain atau secara tidak langsung melalui pakaian, tempat tidur, makanan atau bahan-bahan lain yang terkontaminasi oleh telur cacing kremi tersebut. Penularan melalui debu biasa terjadi pada rumah tangga dan asrama yang terkontaminasi berat. (dr. inyoman kandun, Mph, edisi 17 tahun 2000). Larva cacing biasanya menyebar ke berbagai tempat untuk menginvasi tubuh manusia dengan memasuki tubuh melalui dua jalan yakni mulut saat makan makanan yang tidak dicuci bersih dan dimasak setelah terkontaminasi lalat yang membawa larva cacing, serta lewat pori-pori saat anak tak memakai alas kaki ketika berjalan di tanah. Lewat cara ini larva masuk ke pembuluh darah dan sampai di tempat yang memungkinkan perkembangannya seperti di usus, paruparu, hati dan sebagainya. (Admin, 2008) Telur cacing menjadi infektif beberapa jam setelah diletakkan dipermukaan dubur oleh cacing betina, telur dapat hidup kurang dari 2 minggu diluar pejamu. Larva dari telur cacing kremi menetas di usus kecil. Cacing muda menjadi dewasa di secum dan bagian atas dari usus (cacing betina yang pada masa gravid bermigrasi ke anus dan vagina menyebabkan pruritus setempat). Cacing kremi yang gravid biasanya bermigrasi di rectum dan dapat masuk ke lubang-lubang yang berdekatan. (dr. inyoman kandun,mph, edisi 17 tahun 2000).

4 Perkembangannya membutuhkan waktu 1-3 minggu di tubuh manusia. Tahapan selanjutnya penderita biasanya kondisi gizi menurun sehingga kesehatan mereka terganggu. Bila dibiarkan terlihat kulit anak pucat, tubuh mereka kurus serta perut membuncit karena kekurangan protein. Pada kondisi sangat berat, cacingan bisa menimbulkan peradangan pada paru yang ditandai dengan batuk dan sesak, sumbatan di usus, gangguan hati, kaki gajah dan perforasi usus. Pada keadaan ini obat cacing tidak lagi membantu secara optimal. Cacingan banyak di dapati pada daerah dimana kondisi kebersihan dibawah standar. (Admin, 2008) B. Pendeteksian Infeksi Cacing Kremi Pendeteksian infeksi cacing kremi merupakan suatu kegiatan atau upaya yang dilakukan oleh suatu kalangan untuk mengurangi, mengatasi, dan membantu masalah infeksi cacing kremi. Hal ini dimaksudkan supaya semua hasil riset baik klinis maupun riset laboratorium dapat digunakan sepenuhnya untuk membantu pendiagnosaan dan proteksi dini terhadap infeksi cacing kremi. Pendeteksian infeksi cacing kremi dapat dilakukan dengan beberapa teknik pemeriksaan, salah satunya adalah teknik pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium diyakini dapat memberikan diagnosa pasti akan penyakit yang diderita pasien. a. Teknik Diagnosa Laboratorim Teknik diagnosis laboratorium untuk infeksi cacing kremi memiliki perbedaan yang berarti khususnya pada saat pengambilan spesimen pemeriksaan.

5 Cara memeriksa Enterobiasis yaitu dengan menemukan adanya cacing dewasa atau telur dari Enterobius vermicularis. Adapun caranya sebagai berikut: 1) Cacing Dewasa a). Makroskopis Cacing kremi dapat dilihat secara makroskopis atau dengan mata telanjang pada anus penderita, terutama dalam waktu 1-2 jam setelah anak tertidur pada malam hari. Cacing kremi berwarna putih dan setipis rambut, mereka aktif bergerak. b). Mikroskopis Cacing dewasa dapat ditemukan didalam feses, dengan syarat harus dilakukan enema terlebih dahulu, yaitu memasukkan cairan kedalam rektum agar cacing dewasa keluar dari rectum. (Soejoto dan Soebari, 1996) Cacing dewasa yang ditemukan di dalam feses, dicuci dalam larutan NaCl agak panas, kemudian dikocok sehingga menjadi lemas, selanjutnya diperiksa dalam keadaan segar atau dimatikan dengan larutan fiksasi untuk mengawetkan. Nematoda kecil, seperti Enterobius vermicularis dapat juga difiksasi dan diawetkan dengan alkohol 70% yang agak panas. (Brown H.W, 1983) 2) Telur Cacing Diagnosa dari infeksi cacing kremi didasarkan atas ditemukanya telur yang khas, yaitu berdinding tebal, berbentuk seperti base ball dengan salah satu sisi merata. Karena ukuran telur yang mikro, yaitu mikron x 20 -

6 32 mikron ( rata-rata 55 x 26 mikron), maka telur hanya dapat di diagnosa secara mikroskopis dengan bantuan mikroskop. a). Metode Pemeriksaan Telur Cacing dengan Bahan Tinja 1. Metode Langsung Metode pemeriksaan telur cacing ini paling sederhana dan paling mudah dilakukan. Teknik ini dapat dikerjakan menggunakan kaca penutup maupun tanpa kaca penutup. Prinsip dasar pembuatan sediaan dengan cara langsung yaitu, membuat sediaan setipis mungkin yang tidak ada gelembung udara di dalamnya. Pemeriksaan cacing ini hanya dapat memberikan hasil secara kualitatif dengan hasil positif atau negatif saja.

7 2. Metode Tidak Langsung Metode tidak langsung disebut juga teknik konsentrasi. Dalam metode ini telur cacing tidak lansung dibuat sediaan tetapi sebelum dibuat sediaan sampel diperlakukan sedemikian rupa sehingga telur diharapkan dapat terkumpul. Teknik konsentrasi merupakan teknik yang sering dikerjakan karena cukup murah dan mudah mengerjakanya. Pada teknik konsentrasi ini dapat dibedakan menjadi beberapa cara, yaitu: a. Sedimensi / pengendapan (Metode Faust dan Rossell, 1964) Prinsipnya: Dengan adanya gaya sentifuge dapat memisahkan antara suspensi dan supernatan sehingga telur cacing dapat terendap. b. Flotasi (Pengapungan) dengan larutan NaCl jenuh (Metode Wills,1921) Prinsipnya: Bj telur lebih kecil dari Bj NaCl jenuh sehingga mengakibatkan telur cacing mengapung dan menempel pada kaca penutup. c. Teknik Kato ( Kato dan Miura, 1954) Prinsipnya: Adanya malachylt green dapat memperjelas telur cacing dengan preparat tebal, telur cacing akan mudah ditemukan.(illhude HD, 1992) d. Teknik modifikasi Katokatz (Ritchi, 1960)

8 e. Teknik AMS (Acid - sodium sulfat - tricone-ether concentration) (Hunter et al, 1948) f. Teknik hitung telur (Stall,1923) g. Metode Beaver (1950) b). Metode Pemeriksaan Telur Cacing dengan Anal Swab Metode pemeriksaan telur cacing ini, merupakan metode yang banyak digunakan pada saat ini. Karena telur mudah ditemukan dengan menghapus daerah sekitar anus. Metode ini biasa disebut dengan teknik anal swab. Prinsipnya: Ujung batang gelas atau spatel lidah dilekatkan dengan Scoth Adhesive Tape. Dilakukan pengambilan sampel di daerah anus penderita, sehingga didapat telur cacing yang menempel pada kaca benda.(illhude HD, 1992) b. Keuntungan dan kerugian Teknik Diagnosa Laboratorium Ketepatan memilih teknik laboratorium sangat penting untuk pengetahuan analitik pemeriksaan. Salah satunya adalah mengetahui keuntungan dan kerugian dari masing-masing metode yang akan digunakan. Metode langsung mempunyai keuntungan yaitu lebih murah dikerjakan, sehingga kesalahan tekniknya lebih kecil dan tidak mudah kering atau terkontaminasi dengan lingkungan sekitar. Sedangkan kerugian metode bahan feses ini yaitu jika bahan untuk membuat sediaan secara langsung terlalu banyak, maka preparat menjadi tebal sehingga telur menjadi tertutup oleh unsur-unsur lain

9 yang menyebabkan telur sulit ditemukan dan apabila preparat terlalu tipis, preparat cepat kering sehingga telur mengalami kerusakan. Metode tidak langsung yang sering disebut metode konsentrasi ini mempunyai keuntungan yaitu menghasilkan persediaan yang bersih dari pada metode yang lain karena kotoran didasar lambung dan elemen-elemen parasit ditemukan pada lapisan permukaan larutan. (Lynne S Garcia,1996). Kerugianya yaitu larutan pengapung yang digunakan tidak dapat mengapungkan telur karena berat jenis lebih dari 1,200 dan apabila berat jenis larutan ditingkatkan akan menyebabkan disborksi pada telur dan protozoa. (Lynne S Garcia,1996) Secara umum pemeriksaan telur cacing dikerjakan dengan kedua metode diatas, namun untuk pemeriksaan infeksi cacing kremi sampel feses tidak akan banyak membantu bahkan memberikan peluang terjadinya hasil pemeriksaan yang negatif palsu (false negative). Seperti halnya dengan bahan feases, metode anal swab (Graham Schoth) yang mengunakan teknik pengambilan sampel dari anal mempunyai keuntungan yaitu praktis, mudah dan cepat dikerjakan dalam hitungan waktu. Dapat dibuktikan bahwa alat ini merupakan teknik terbaik pada saat ini untuk pemeriksaan cacing kremi dengan hasil yang diperoleh maksimal. Sedangkan kerugianya adalah mahal, alat susah didapatkan, tidak efektif untuk kegiatan survai, rumit pemakaianya, dan menimbulkan rasa sakit pada probndus. C. Metode Anal Swab 1. Teknik Graham scoth

10 Menurut teknik pengambilan sampel infeksi cacing kremi, telur paling mudah ditemukan dengan menghapus daerah sekitar anus yang biasa disebut teknik anal swab. Anal swab adalah alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya dilekatkan scoth adhesive tape. Menurut Graham 1941, Teknik Anal Swab (Graham scoth) digunakan untuk memperoleh telur Enterobius Vermicularis dari area anal dan perianal dengan perekat Adhesive tape yang kuat yang ada pada sisi luar bagian ujung spatel lidah terbuat dari kayu atau batang gelas. (Paul C, Beaver, Rodner C Jang,1975). Bila adhesive tape ditempelkan di daerah sekitar anus, telur cacing akan menempel pada perekatnya, kemudian adhesive tape diratakan pada kaca benda dan dibubuhi sedikit toluol diantara kaca sediaan tape supaya jernih. Setiap telur berisi embrio yang telah berkembang sempurna akan menjadi infektif dalam beberapa jam setelah diletakkan sediaan pita plastik perekat (scoth Adhesive Tape). (lyne S Grasia David A Bruckner,1996). Pengambilan sampel berdasarkan prinsip teknik anal swab secara umum adalah bermacam-macam modifikasi dari : 1) Penghapus (=swab) N.I.H cellophane 2) Penghapus pita Graham scoth 3) Obyek glass 4) Gelas penumbuk yang dibasahi dengan air yang dikocok (pestle) Macam-macam penghapus lainya, misalnya penghapus dengan kertas toilet kecuali cellophane, penghapus kain dengan air yang dikocok, penghapus

11 kain yang dibasahi dengan campuran vaseline dan paraffin, dan sikat dari bulu unta pernah juga digunakan. Modifikasi dari pita penghapus Graham Scoth memberikan hasil yang terbaik dan merupakan cara yang selalu digunakan kecuali untuk penderita yang berambut pada anusnya. (Bagian bawah penumbuk yang kasar dan basah kira-kira sudah cukup dan memberi contoh yang luas pada daerah kulit). (Soejoto dan Soebari, 1996). Apusan prianal yang diambil dari penderita memprasyaratkan kondisi tertentu sehingga bahan apusan yang diambil layak dan diyakini akan memberikan hasil pemeriksaan laboratorium yang sebenarnya. Bahan apusan perianal yang diambil dari penderita saat pagi hari selepas bangun tidur sebelum mandi, buang air besar dan aktivitas lain yang dapat menghilangkan telur cacing di daerah prianal. (Srisasi, 2004). Menurut Bertinna B Wentworth, phd, bahan perianal sebaikanya dikumpulkan antara jam 9 malam sampai tengah malam atau dikumpulkan beberapa hari untuk menghindari infeksi karena cacing betina yang kemungkinan tidak berpindah setiap hari. Dalam pemeriksaan, teknik ini dilakukan berulang dalam beberapa hari berturut turut, karena cacing betina yang hamil bermigrasi tidak teratur. Sekali pemeriksaan dengan swab hanya menemukan kira kira 50 persen dan pemeriksaan pada 7 hari berturut turut diperlukan untuk menyatakan seorang bebas dari infeksi cacing kremi. (Brown, HW 1985) kemudian diagnosa dilakukan dibawah mikroskop perbesaran 100x. 2. Periplaswab Seperti halnya dengan Graham Scoth, Periplaswab merupakan modifikasi dari teknik Graham scoth yang dirancang untuk pemeriksaan infeksi

12 cacing kremi. Prinsip metode ini didasarkan pada teknik pemeriksaan anal swab dengan scoth Adhsive Tape dan Obyek Glass sebagai bahan utama, dimana pada teknik, persiapan, pengambilan, dan pemeriksaan sampel sama. Bahan yang digunakan berupa mika dan selotipe yang didesain sedemikian rupa dengan cetakan terbuat dari plastik. Cetakan ini dapat digunakan lebih dari satu kali pemeriksaan. Sampel diambil langsung dari probandus dengan cara menempelkan bahan pada perianal sebanyak tiga kali dan kemudian dilakukan pemeriksaan dibawah mikroskop perbesaran 10 x. Berdasarkan pengujianya, teknik modifikasi ini telah diuji coba secara laboratoris yang diharapkan memiliki keunggulan dari segi efisiensi dan efektivitas dalam pendeteksian infeksi cacing kremi. Efisiensi merupakan suatu ketepatgunaan, kedayagunaan, atau keefisienan. Artinya sesuatu yang mudah dan tepat untuk dikerjakan, tidak membuang-buang waktu, tenaga ataupun biaya. Tingkat efisiensi periplaswab dapat diukur dari kemampuannya menekan biaya dan waktu pemeriksaan dengan tidak mengesampingkan hasil laboratorium. Efektivitas merupakan suatu keadaan efektif yang mudah dan tepat dalam memberikan hasil. Efektivitas Periplaswab dapat diukur dari segi ketepatan hasil yang diperoleh dengan cara menemukan jumlah telur persatuan luas (cm 2 ). Selain itu, jumlah telur cacing dapat dihitung dalam satu kali pemeriksaan persatu lapang pandang satuan luas (cm 2 ) Rumus : Jumlah telur cacing Jumlah telur yang ditemukan = Luas lapang pandang = /cm 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Enterobius vermicularis Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut tubuh melalui makanan, udara, tanah yang akan bersarang di usus besar pada waktu malam

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis, merupakan infeksi cacing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis, merupakan infeksi cacing BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Cacing Kremi Penyakit infeksi cacing kremi atau enterobiasis adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis, merupakan infeksi cacing

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dan penyakitnya disebut Enterobiasis atau Oxyuriasis. lingkungan yang sesuai.( Sutanto I. dkk, 2008)

TINJAUAN PUSTAKA. dan penyakitnya disebut Enterobiasis atau Oxyuriasis. lingkungan yang sesuai.( Sutanto I. dkk, 2008) B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. Enterobius vermicularis 1. Distribusi geografis Enterobius vermicularis (cacing kremi, pinworm,seatworm) telah diketahui sejak dahulu dan telah dilakukan penelitian mengenai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. E. Vermicularis (Cacing Kremi) 1. Pengertian Umum Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk ke tubuh melalui makanan, pakaian, bantal, sprai serta inhalasi debu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminth Soil Transmitted Helminth adalah Nematoda Intestinal yang berhabitat di saluran pencernaan, dan siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Soil Transmitted Helminhs Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik. Panjang cacing ini mulai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metode-metode pemeriksaan tinja Dasar dari metode-metode pemeriksaan tinja yaitu pemeriksaan langsung dan tidak langsung. Pemeriksaan langsung adalah pemeriksaan yang langsung

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Trasmitted Helminth Soil Transmitted Helminth ( STH ) merupakan infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing yang penyebarannya melalui tanah. Cacing yang termasuk STH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris Lumbricoides Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering dijumpai. Diperkirakan prevalensi di dunia berjumlah sekitar 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmited Helminths Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen, bilateral simetris, mempunyi saluran cerna yang berfungsi penuh. Biasanya berbentuk silindris serta panjangnya

Lebih terperinci

Kata kunci : periplaswab, apusan perianal, enterobiasis

Kata kunci : periplaswab, apusan perianal, enterobiasis EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS PERIPLASWAB DALAM PEMERIKSAAN ENTEROBIASIS 2 Didik Sumanto Abstrak Latar belakang : Pengambilan spesimen pada malam hingga pagi hari sebelum penderita melakukan aktifitas yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit halus)cacing tersebut menggulung dan berbentuk kumparan dan biasanya mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecacingan 1. Definisi Kecacingan secara umum merupakan infeksi cacing (Soil transmitted helminthiasis) yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara tropis, termasuk Indonesia. Penyakit ini juga paling rentan dialami anak usia Sekolah Dasar (SD). Cacingan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Cacing Tambang Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar 30 50 % di perbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Cacingan Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara 2.1 Helminthiasis Cacing merupakan parasit yang bisa terdapat pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes dari beberapa Nematoda usus. Sebagian besar daripada Nematoda

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Puskesmas Kemangkon Kabupaten

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Puskesmas Kemangkon Kabupaten BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis Penelitian adalah penelitian deskriptif. B. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Puskesmas Kemangkon Kabupaten Purbalingga.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Higiene Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh

Lebih terperinci

GAMBARAN KEBERSIHAN TANGAN DAN KUKU DENGAN INFEKSI ENTEROBIASIS PADA SISWA SEKOLAH DASAR DI KOTA MEDAN

GAMBARAN KEBERSIHAN TANGAN DAN KUKU DENGAN INFEKSI ENTEROBIASIS PADA SISWA SEKOLAH DASAR DI KOTA MEDAN GAMBARAN KEBERSIHAN TANGAN DAN KUKU DENGAN INFEKSI ENTEROBIASIS PADA SISWA SEKOLAH DASAR DI KOTA MEDAN Salbiah Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Medan Abstrak Enterobius vermicularis adalah Nematoda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengetahuan 2.1.1.1 Pengertian Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah terjadinya pengindraan terhadap suatu objek menggunakan panca indra manusia,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang 5 4 TINJAUAN PUSTAKA A. Kutu Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang memiliki bagian-bagian mulut seperti jarum (stilet) yang dapat masuk ke dalam kulit inangnya. Bagian-bagian mulut

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN KEADAAN LUAR

PEMERIKSAAN KEADAAN LUAR NEKROPSI IKAN PEMERIKSAAN KEADAAN LUAR Sebelum dilakukan pengirisan/insisi terlebih dahulu periksalah keadaan luar tubuh ikan tersebut. Periksalah keadaan kulit termasuk sirip-siripnya dan lubang-lubang

Lebih terperinci

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS PARASITOLOGI OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS DEFINISI PARASITOLOGI ialah ilmu yang mempelajari tentang jasad hidup untuk sementara atau menetap pada/ di dalam jasad hidup lain dengan maksud mengambil sebagian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. usus yang masih tinggi angka kejadian infeksinya di masyarakat. Penyakit ini

BAB 1 PENDAHULUAN. usus yang masih tinggi angka kejadian infeksinya di masyarakat. Penyakit ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Enterobius vermicularis atau cacing kremi adalah salah satu jenis cacing usus yang masih tinggi angka kejadian infeksinya di masyarakat. Penyakit ini mempunyai daerah

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. berupa kecepatan pemusingan berbeda yang diberikan pada sampel dalam. pemeriksaan metode pengendapan dengan sentrifugasi.

BAB III METODE PENELITIAN. berupa kecepatan pemusingan berbeda yang diberikan pada sampel dalam. pemeriksaan metode pengendapan dengan sentrifugasi. BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah bersifat analitik karena dengan perlakuan berupa kecepatan pemusingan berbeda yang diberikan pada sampel dalam pemeriksaan metode

Lebih terperinci

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang

BAB 1 PENDAHULUAN. Kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya parasit berupa cacing di dalam tubuh manusia. Kecacingan merupakan penyakit dengan insiden

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006,

I. PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, yaitu sebesar 32,6 %. Kejadian kecacingan STH yang tertinggi terlihat pada anak-anak, khususnya

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI 2016 PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI LABORATORIUM JURUSAN ILMU PETERNAKAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI AS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR I. IDENTIFIKASI EKTOPARASIT A. Pengantar Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. variabel pada satu saat tertentu (Sastroasmoro, 2011). Cara pengumpulan

BAB III METODE PENELITIAN. variabel pada satu saat tertentu (Sastroasmoro, 2011). Cara pengumpulan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan rancangan cross sectional yaitu melakukan observasi atau pengukuran variabel pada satu

Lebih terperinci

2. Strongyloides stercoralis

2. Strongyloides stercoralis NEMATODA USUS CIRI-CIRI UMUM Simetris bilateral, tripoblastik, tidak memiliki appendages Memiliki coelom yang disebut pseudocoelomata Alat pencernaan lengkap Alat ekskresi dengan sel renette atau sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia nematode usus sering disebut cacing perut, yang sebagian besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia nematode usus sering disebut cacing perut, yang sebagian besar BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Nematoda Usus (Soil Transmited Helminth) Di Indonesia nematode usus sering disebut cacing perut, yang sebagian besar penularannya melalui tanah maka di golongkan dalam

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Kesehatan Anak dan parasitologi. 4.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di sekolah dasar di

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Taenia saginata 2.1.1. Definisi Taenia saginata merupakan cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, dan filum Platyhelminthes. Hospes definitif Taenia

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA Disusun Oleh: Mochamad Iqbal G1B011045 Kelompok : VII (Tujuh) LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum Platyhelminthes. Cacing dewasa menempati saluran usus vertebrata dan larvanya hidup dijaringan vertebrata

Lebih terperinci

KETERAMPILAN MEMBUAT APUSAN, MEWARNAI, MENGAWETKAN TINJA, DAN MENGIDENTIFIKASI PARASIT PADA APUSAN TINJA

KETERAMPILAN MEMBUAT APUSAN, MEWARNAI, MENGAWETKAN TINJA, DAN MENGIDENTIFIKASI PARASIT PADA APUSAN TINJA 1 KETERAMPILAN MEMBUAT APUSAN, MEWARNAI, MENGAWETKAN TINJA, DAN MENGIDENTIFIKASI PARASIT PADA APUSAN TINJA Sitti Wahyuni, MD, PhD Bagian Parasitologi Universitas Hasanuddin, wahyunim@indosat.net.id INDIKASI

Lebih terperinci

xvii Universitas Sumatera Utara

xvii Universitas Sumatera Utara xvii BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminths Manusia merupakan hospes yang utama untuk beberapa nematoda usus. Sebagian besar dari nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan yang penting

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PENYAKIT CACINGAN

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PENYAKIT CACINGAN SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PENYAKIT CACINGAN Oleh : Kelompok 7 Program Profesi PSIK Reguler A Prilly Priskylia 115070200111004 Youshian Elmy 115070200111032 Defi Destyaweny 115070200111042 Fenti Diah

Lebih terperinci

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI Oleh: Muhammad Fawwaz (101211132016) FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS AIRLANGGA 1 DAFTAR ISI COVER... 1 DAFTAR ISI... 2 BAB I... 3 A. LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit cacing kremi merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis dan tersebar luas di seluruh dunia baik di negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hygiene Perorangan Hygiene perorangan disebut juga kebersihan diri, kesehatan perorangan atau personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah Yunani

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Soil Transmitted Helminths STH (Soil Transmitted Helminths) adalah cacing golongan nematoda yang memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infektif. Di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Jenis cacing Sebagian besar infeksi cacing terjadi di daerah tropis yaitu di negaranegara dengan kelembaban tinggi dan terutama menginfeksi kelompok masyarakat dengan higiene

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah

Lebih terperinci

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila I. Praktikum ke : 1 (satu) II. Hari / tanggal : Selasa/ 1 Maret 2016 III. Judul Praktikum : Siklus Hidup Drosophila melanogaster IV. Tujuan Praktikum : Mengamati siklus hidup drosophila melanogaster Mengamati

Lebih terperinci

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur kira-kira 28 hari sesudah infeksi. 2. Siklus Tidak Langsung Pada siklus tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichuira, cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator

Lebih terperinci

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2. PROTOZOA Entamoeba coli E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran 15-50 μm 2. sitoplasma mengandung banyak vakuola yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik.

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik. BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik. B. Waktu dan tempat penelitian Tempat penelitian desa Pekacangan, Cacaban, dan Ketosari Kecamatan

Lebih terperinci

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi Distribusi Geografik Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survey yang dilakukan beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi A. lumbricoides masih cukup tinggi, sekitar 60-90%. Etiologi Cara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kondisi ekonomi menengah kebawah. Skabies disebabkan oleh parasit Sarcoptes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kondisi ekonomi menengah kebawah. Skabies disebabkan oleh parasit Sarcoptes BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Skabies 1. Definisi Skabies adalah penyakit kulit yang banyak dialami oleh penduduk dengan kondisi ekonomi menengah kebawah. Skabies disebabkan oleh parasit Sarcoptes scabiei.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nematoda Usus Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia, habitatnya didalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Nematoda Usus ini yang tergolong Soil

Lebih terperinci

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA LANDASAN TEORI Organisme yang akan digunakan sebagai materi percobaan genetika perlu memiliki beberapa sifat yang menguntungkan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecacingan (Ascariasis dan Trichuriasis) 1. Definisi Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing Ascaris lumbricoides dalam tubuh manusia. Spesies cacing yang

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI ISFANDA, DVM, M.Si FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA ACEH BESAR 2016 BAB 1 PEMERIKSAAN TELUR TREMATODA Pemeriksaan Telur Cacing Dengan Metode Natif Tujuan untuk

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ayam dan penampungan semen dilakukan di Kandang B, Laboratorium Lapang, Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006)

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006) CACING TAMBANG Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006) PROGRAM STUDY D-IV ANALIS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG TAHUN 2015/2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Diare Penyakit diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Selain penyakit ini masih endemis di hampir semua daerah, juga sering muncul

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 25 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Kesehatan Anak khususnya parasitologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian telah dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pendahuluan Perkembangan industri peternakan yang semakin pesat menuntut teknologi yang baik dan menunjang. Salah satu industri peternakan yang paling berkembang adalah industri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Tambang dan Cacing Gelang 1. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) a. Batasan Ancylostoma duodenale dan Necator americanus kedua parasit ini di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi dan menyerang semua kelas sosioekonomi (Kim et al., 2013). Hampir 400

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi dan menyerang semua kelas sosioekonomi (Kim et al., 2013). Hampir 400 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Enterobiasis atau oksiuriasis adalah infeksi cacing usus yang disebabkan oleh Enterobius vermicularis atau cacing kremi. Infeksi oleh cacing ini paling sering terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah Tanah memegang peranan penting bagi masyarakat. Kehidupan tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia murni menata tubuh tanah menjadi bagian-bagian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian dilaksanakan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian dilaksanakan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Wilayah BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. B. Tempat dan Waktu Penelitan 1. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat

Lebih terperinci

PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI

PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI Oleh: KHOIRUN NISA NIM. 031610101084 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan. hygiene dan status gizi (Notoatmodjo, 2010).

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan. hygiene dan status gizi (Notoatmodjo, 2010). BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan rancangan cross sectional, yaitu dengan cara pengumpulan data sekaligus pada suatu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, karena hanya. Kabupaten Blora sedangkan pemeriksaan laboratorium

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, karena hanya. Kabupaten Blora sedangkan pemeriksaan laboratorium BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, karena hanya melakukan pemeriksaan parasit cacing pada ternak sapi dan melakukan observasi lingkungan kandang

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Flock Mating dan Pen Mating secara Mikroskopis ini dilaksanakan pada tanggal

BAB III MATERI DAN METODE. Flock Mating dan Pen Mating secara Mikroskopis ini dilaksanakan pada tanggal 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang Perbedaan Kualitas Semen Segar Domba Batur dalam Flock Mating dan Pen Mating secara Mikroskopis ini dilaksanakan pada tanggal 27 Maret sampai dengan 1 Mei

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pekerja Seks Komersiil Umumnya telah diketahui bahwa sumber utama penularan penyakit hubungan seks adalah pekerja seks komersial, dengan kata lain penularan lewat prostitusi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Ascaris lumbricoides a. Morfologi telur Ascaris lumbricoides Secara morfologi dapat dibedakan menjadi 4 macam bentuk: fertil, infertil, dekortikasi, dan embrio.telur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pediculus Humanus Capitis Pediculus humanus capitis merupakan ektoparasit yang menginfeksi manusia, termasuk dalam famili pediculidae yang penularannya melalui kontak langsung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, karena penelitian ini hanya menggambarkan tentang angka kejadian penyakit diare dan infeksi Entamoeba histolytica

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit endemik dan kronik diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan, tetapi menggerogoti kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat memasukkan kelenjar ludah kedalam kulit inangnya serta mengangkut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat memasukkan kelenjar ludah kedalam kulit inangnya serta mengangkut BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pinjal 1. Morfologi Pinjal Pinjal penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang memiliki bagian-bagian mulut seperti jarum (stilet) yang dapat masuk kedalam kulit

Lebih terperinci

PENGARUH PERILAKU HIDUP SEHAT TERHADAP KEJADIAN ASCARIASIS PADA SISWA SD NEGERI SEPUTIH III KECAMATAN MAYANG KABUPATEN JEMBER

PENGARUH PERILAKU HIDUP SEHAT TERHADAP KEJADIAN ASCARIASIS PADA SISWA SD NEGERI SEPUTIH III KECAMATAN MAYANG KABUPATEN JEMBER PENGARUH PERILAKU HIDUP SEHAT TERHADAP KEJADIAN ASCARIASIS PADA SISWA SD NEGERI SEPUTIH III KECAMATAN MAYANG KABUPATEN JEMBER SKRIPSI Oleh Abdi Jauhari NIM 032010101009 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-transmitted helminths Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing ini berbeda satu sama lain dalam habitat, daur hidup dan hubungan

Lebih terperinci

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru 1.1 Pengertian Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis

Lebih terperinci

JMSC Tingkat SD/MI2017

JMSC Tingkat SD/MI2017 I. Pilihlah jawaban yang benar dengan cara menyilang (X)abjad jawaban pada lembar jawaban kerja yang disediakan. 1. Pada sore hari jika kita menghadap pada matahari, bayangan tubuh kita tampak lebih...

Lebih terperinci

Pembuatan Preparat Utuh (whole mounts) Embrio Ayam

Pembuatan Preparat Utuh (whole mounts) Embrio Ayam Pembuatan Preparat Utuh (whole mounts) Embrio Ayam Epy Muhammad Luqman Bagian Anatomi Veteriner (Anatomi Perkembangan) Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Tujuan : mempelajari keadaan morfologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis panelitian yang digunakan adalah analitik, karena akan membahas

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis panelitian yang digunakan adalah analitik, karena akan membahas BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis panelitian yang digunakan adalah analitik, karena akan membahas hubungan antara berat badan ayam broiler dengan infeksi Ascaris lumbricoides. B. Tempat

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trichuris trichiura Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang hidup di sekum dan kolon ascending manusia. Pejamu utama T.trichiura adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian kecacingan di Indonesia yang dilaporkan di Kepulauan Seribu ( Agustus 1999 ), jumlah prevalensi total untuk kelompok murid Sekolah Dasar (SD) (95,1 %),

Lebih terperinci

Panduan Praktikum Manajemen Kesehatan Ternak

Panduan Praktikum Manajemen Kesehatan Ternak Panduan Praktikum Manajemen Kesehatan Ternak Achmad Slamet Aku, S.Pt., M.Si. Drh. Yamin Yaddi Drh. Restu Libriani, M.Sc. Drh. Putu Nara Kusuma Prasanjaya Drh. Purnaning Dhian Isnaeni Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascariasis Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) tahun 2015, infeksi cacing Soil Transmitted Helminth adalah salah satu infeksi yang paling umum di seluruh dunia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Filariasis 1. Filariasis Filariasis adalah suatu infeksi cacing filaria yang menginfeksi manusia melalui gigitan nyamuk dan dapat menimbulkan pembesaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. STH adalah golongan cacing usus (Nematoda Usus) dalam. perkembanganya membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif.

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. STH adalah golongan cacing usus (Nematoda Usus) dalam. perkembanganya membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif. 6 BAB II TINJAUAN PUSATAKA 5 A. Infeksi Soil Transmitted Helminth (STH) STH adalah golongan cacing usus (Nematoda Usus) dalam perkembanganya membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif. Yang termasuk

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Babi merupakan salah satu hewan komersil yang dapat diternakkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dikalangan masyarakat. Babi dipelihara oleh masyarakat dengan

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN

HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN PUSAT STUDI OBAT BAHAN ALAM DEPARTEMEN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. hubungan antara keberadaan Soil Transmitted Helminths pada tanah halaman. Karangawen, Kabupaten Demak. Sampel diperiksa di

BAB III METODE PENELITIAN. hubungan antara keberadaan Soil Transmitted Helminths pada tanah halaman. Karangawen, Kabupaten Demak. Sampel diperiksa di BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik, karena menganalisa hubungan antara keberadaan Soil Transmitted Helminths pada tanah halaman rumah dengan kejadian

Lebih terperinci