PEMBAHARUAN MUHAMMADIYAH DALAM DIALEKTIKA RASIO DAN TRADISI. Oleh: Saefur Rochmat
|
|
- Lanny Sasmita
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 PEMBAHARUAN MUHAMMADIYAH DALAM DIALEKTIKA RASIO DAN TRADISI Oleh: Saefur Rochmat Abstrak: Sudah lebih dari 8 Indonesia belum bisa bangkit dari situasi krisis ekonomi, hal ini terjadi karena Indonesia mengalami krisis multidimensional yang muaranya adalah krisis budaya. Benar kata Tony Barnett, kita tidak kekurangan tenaga profesional dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, namun permasalahannya terletak pada konteks budaya bagi impelentasi keputusan teknis. Max Weber juga berkeyakinan kalau pemikiran agama mempunyai pengaruh besar bagi diterimanya sistem industri kapitalis. Atau dengan kata lain, industri modern berkembang di Eropa setelah tersebarnya teologi Protestan dari Jean Calvin. Hal itu menyanggah pandangan bahwa agama merupakan unsur yang paling sulit mengalami perubahan dan perubahannya itu bersifat reaksioner terhadap perubahan masyarakat. Islam belum bisa tampil sebagai peradaban yang unggul karena belum berhasil mengembangkan suatu pemikiran keagamaan yang menyeluruh. Dalam kasus Indonesia, umat Islam dituntut mampu merumuskan budaya Islam Indonesianis. Pembaharuan Muhammadiyah juga masih bersifat parsialis karena hanya didasarkan pada aspek rasio (bersifat normatif berdasarkan al-qur an dan Hadits) dan melupakan tradisi bangsa Indonesia. Akibatnya, pembaharuan itu ditentang oleh mereka yang tinggal di daerah pedesaan yang hidup selaras dengan tradisi. I. Pendahuluan Pembangunan ekonomi di negara kita masih belum beranjak jauh dari situasi ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada bulan November 1997, walaupun Era Reformasi sudah dicanangkan sejak Soeharto turun tahta pada tanggal 21 Mei Era Reformasi sudah berlangsung lebih dari 8 tahun, tapi belum ada hasil yang signifikan. Hal ini terjadi karena krisis yang terjadi di negara kita bukan hanya sekedar krisis ekonomi tetapi krisis budaya. Memang terdapat hubungan yang paralel antara aspek ekonomi atau material dan aspek budaya (immaterial) (Rochmat, 2005). Dalam bidang immaterial ini, kita belum berhasil merumuskan bentuk identitas budaya bangsa. Yang dimaksud dengan negara Pancasila sebenarnya masih berproses mencari bentuk. Negara Pancasila berpretensi sebagai negara yang tidak sekuler dan tidak berdasarkan agama. Bentuk negara Pancasila dijadikan alternatif untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang pluralis. Ancaman bangsa kita sudah dirumuskan sebagai SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan). Diharapkan umat Islam dapat memainkan peranan yang besar bagi terciptaya identitas bangsa ini, mengingat mereka merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Kenyataannya, umat Islam belum berhasil merumuskan kebudayaan Islam Indonesianis (budaya Pancasila) karena berbagai kelompok umat Islam masih mengalami hambatan 1
2 komunikasi, dan kadang-kadang mereka mengembangkan ideologi yang tidak mudah dicarikan titik temunya. Adopsi ideologi tertentu oleh suatu kelompok adalah konsekuensi logis bagi agama yang memiliki hubungan erat dan berpretensi untuk mengatur urusan duniawi. Hendaknya tiap-tiap ideologi agama tidak mengklaim sebagai satu-satunya kebenaran mutlak, walaupun hal itu merupakan suatu sikap yang tidak mudah diwujudkan bagi gerakan yang berpretensi dengan gerakan revolusioner. Hendaknya, mereka menyadari bahwa agama bukanlah suatu ideologi, dan karenanya ideologi harus diarahkan untuk mewujudkan suatu misi agama yang ingin menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia, seperti hak hidup manusia, keadilan, kebebasan, kesejahteraan dan kemakmuran. Bila mereka menyadari relasi peran ideologi dan agama maka tidaklah sulit bagi mereka untuk mengembangkan suatu dialog bagi upaya mencari dan merumuskan suatu program bersama yang berguna bagi kemanusiaan. Tulisan ini membatasi keterkaitan agama sebagai ancaman kesatuan bangsa, khsusnya dengan menganalisis model pembaharuan Muhammadiyah dilihat dari aspek epistemologisnya agar mendapatkan gambaran mengenai proses perumusan kebenaran. Untuk itu berturut-turut akan dibahas Pembaharuan Parsial Muhammadiyah, Pembaharuan Kontekstual, dan diakhiri dengan Penutup. II. Pembaharuan Parsial, Berdasarkan Rasio Para tokoh pembaharu Islam cenderung melakukan pembaharuan yang sifatnya normatif (berdasarkan rasio) dengan melupakan realitas sosiologis-historis suatu komunitas Islam. Mereka hanya mendasarkan pada Al-Qur an dan Hadits sebagai pedoman. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan berkaitan dengan suatu komunitas yang menjadi sasaran dari pembaharuan itu, sehingga pembaharuan dapat berjalan secara efektif. Komunitas tidak berada dalam suatu ruang hampa udara, di dalamnya berkembang suatu tradisi/budaya yang hendaknya diperhitungkan agar pembaharuan dapat berjalan efektif dan bukannya kontra-produktif. Pembaharuan berdasarkan rasio memang dicanangkan sebagai paket sekali jadi, ibarat obat yang dapat menyembuhkan segala penyakit. Ini mustahil, karena tantangan 2
3 suatu zaman berbeda-beda maka obatnya pun tentu berbeda. Memang secara rasio, suatu obat A akan dapat mengobati suatu penyakit A, namun masing-masing pasien memerlukan dosis yang berbeda-beda, disesuaikan dengan umur, kondisi kesehatan, dan ada tidaknya alergi terhadap unsur obat tertentu. Pembaharuan Muhammadiyah berangkat dari segi rasio ini. Memang rasionalitas normatif ini dapat diterima umat Islam di daerah perkotaan yang relatif sudah terlepas dari tradisi dan karenanya sedang memerlukan ikatan sosial baru. Kenyataanya, secara tidak disadari Muhammadiyah berangkat dari realitas sosiologis-historis masyarakat Islam di kauman Yogyakarta. Boleh dikata mereka adalah penduduk kota, karena tinggal di sekitar keraton dan pada umumnya pendatang dari berbagai daerah. Mereka memerlukan ikatan sosial baru yang dapat digunakan juga untuk mengatasi permasalahan yang melilitnya seperti pekerjaan non-agraris, kesehatan, pendidikan, dan anak yatim piatu. A. Praksis Muhammadiyah Vs Ideologi Apa yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan merupakan suatu terobosan dengan membentuk organisasi yang bentuknya bukan partai politik. Bentuk organisasi diadopsi dari cara-cara modern yang diperkenalkan oleh penjajah Belanda. Sehingga tidak mengherankan bila KH Ahmad Dahlan tidak menghasilkan sejumlah buku keagamaan karena dia lebih menekankan pada usaha paksis untuk merebut urusan duniawi. Berikut komentar Prof. Dr. M. Amin Abdullah (1995: 27): pilihan itu bukan didasarkan pada hasil cermatan kajian literatur Islam klasik dan juga tidak memperoleh inspirasi dari konsep-konsep teologis atau kalam klasik yang telah baku dan mapan dalam literatur-literatur khazanah intelektual lama. K.H. Dahlan meyakini agama bersifat manusiawi, agama yang mampu memberikan sesuatu kepada manusia melalui berbagai bentuk amaliyah. Oleh karena itu dia menghindari persoalan teologis, karena akan menghalangi agama untuk melakukan suatu tindakan nyata melalui berbagai bentuk amaliyah yang bermanfaat bagi siapa saja tanpa memandang afiliasi teologisnya. Teologi disini bukanlah sebagai suatu ilmu Ketuhanan yang bias nilai, melainkan ada suatu bias kepentingan karena dirumuskan sendiri oleh manusia; dan hal ini seringkali tidak disadari oleh umat Islam. Ketika ada salah seorang santrinya mengusulkan agar agar K.H. Ahmad Dahlan menulis kitab untuk menjelaskan pemikirannya yang inovatif itu, maka dia menjawab: 3
4 Apakah saudara ini menganggap saya orang gila? dan jawaban itu diulangi sampai tiga kali. Kyai Dahlan melihat sudah banyak kitab yang ditulis, yang menyebabkan umat terpecah belah; dan ia tidak ingin menambah satu kitab lagi karena dikhawatirkan dapat menambah runyam suasana. Dengan demikian, model dakwah K.H. Dahlan bersifat praktis dan bukan ideologis (teologis) (Fachruddin, 1990: 420). Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 Nopember 1912 oleh KH Ahmad Dahlan ( ). Muhammadiyah merupakan gerakan pembaharuan dalam Islam dengan menempuh jalan para modernis gerakan Salafiyah dari abad ke-19 seperti Jamaluddin al- Afghani ( ), Muhammad Abduh ( ), Rasyid Ridla ( ). Gerakan Salafiyah ini dipandang sebagai kelanjutan dari gerakan pembaharuan yang Qoyyim al-jauziyah ( ), yang berusaha untuk membuka pintu ijtihad; dan dilanjutkan oleh Gerakan Wahabi di Saudi Arabia yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahad ( ) (Kamal, 1994: 6-7). K.H. Ahmad Dahlan merumuskan gerakan pembaharuannya dalam bentuk Purifikasi dan Dinamisasi. Purifikasi didasarkan pada asumsi bahwa kemunduran umat Islam terjadi karena umat Islam tidak mengembangkan aqidah Islam yang benar, sehingga harus dilakukan purifikasi dalam bidang aqidah-ibadah dengan doktrin segala sesuatu diyakini dan dilaksanakan bila ada perintah dalam Al-Qur an dan Hadits. Sedangkan dinamisasi diterapkan dalam bidang muammallah, dengan melakukan gerakan modernisasi sepanjang sesuai dengan doktrin semuanya boleh dikerjakan selama tidak ada larangan atau tidak bertentangan Al-Qur an dan Hadits. Dari penelitian terbaru diketahui ada beberapa perbedaan antara pembaharuan Muhammadiyah dengan pembaharuan yang dilakukan Abduh tersebut. Abduh lebih menekankan pada pembaharuan di bidang muammalah (the social aspect of Islam) atau lebih dikenal dengan progam modernisasi. Sementara Muhammadiyah lebih cenderung menempuh jalan Muhammad Abdul Wahab dengan gerakan purifikasinya (the belief aspect of Islam). Artinya Muhammadiyah menekankan ijtihad dalam bidang aqidah (ibadah) dan sebaliknya Abduh menyeru ijtihad dalam bidang muammallah (duniawi) seperti politik, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi. 4
5 Saya melihat ijtihad dalam bidang aqidah yang dilakukan Muhammadiyah adalah aqidah yang memiliki keterkaitan dengan aspek sosial kemasyarakatan (budaya), bukan aqidah mahdlah (ibadah murni). Karena ijtihad dalam bidang ibadah murni seperti shalat, puasa, dan haji, dalam pandangan Syaikh Muhammad Al-Ghazali (1996: 129) sebaiknya ditutup untuk mengurangi perpecahan di kalangan umat Islam. Dan kenyataannya Muhammadiyah mendasarkan gerakan purifikasinya pada pemikiran madzhab fiqih yang sudah ada, disamping dicari rujukannya langsung pada Al-Qur an dan Hadits. Ijtihad dalam bidang aqidah yang berkaitan dengan aspek budaya ini memang penuh resiko karena pembicaraan mengenai iman (lebih luas dari aqidah) merupakan pembicaraan yang sangat luas. Iman menempati segala sesuatu. Iman memiliki sifat-sifat dan karakter tertentu, tetapi secara praktis tidak berbentuk tertentu. Ia teoritis dan konseptual. Sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imran 193 Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu), Berimanlah kamu kepada Tuhanmu. Maka kami pun beriman. (Ghazali, 1996: 129). Iman tidak bisa dibatasi pada masalah aqidah saja maka pelaksanaan purifikasi di lapangan mengalami kesulitan karena bid ah yang dianggap dalam wilayah aqidah bercampur aduk dengan bid ah dalam wilayah budaya. Jika memang begitu yang terjadi, maka pecoretan tradisi, budaya, adat istiadat perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian, lantaran apa yang disebut budaya dan tradisi sesungguhnya jauh lebih luas daripada aqidah (Abdullah, 2000: 11). B. Ijtihad Muhammadiyah Vs Tradisi Pembaharuan Muhammadiyah yang beranjak dari latar belakang sosio-historis masyarakat kota itu, tidak dapat diterima dan menuai reaksi negatif dari kalangan umat Islam di daerah pedesaan yang masih mempertahankan tradisi. Seperti dijelaskan di atas, iman itu suatu konseptual, dan konsep yang ditawarkan Muhammadiyah tersebut tidak sesuai dengan realitas kontekstual masyarakat desa yang memegang teguh tradisi. Bagi Muslim di pedesaan, tradisi ini sangat penting karena telah memberi makna dan identitas bagi kehidupannya. Bahkan kedalam tradisi ini telah diinfuskan nilai-nilai Islam. Karena itu tuduhan sebagai penyebar penyakit TBC (Tahayyul, Bid ah, da Churafat) sangat menyakitkan. 5
6 Kita bisa mengatakan pembaharuan Muhammadiyah itu masih bersifat realitas parsial, karena hanya berangkat dari latarbelakang masyarakat perkotaan; dan karenanya menuai reaksi negatif dari komunitas Islam di daerah pedesaan. Ini sangat disayangkan karena Muhammadiyah juga berkepentingan untuk melakukan dinamisasi melalui program modernisasi dalam bidang muammallah. Sebenarnya reaksi negatif ini dapat diminimalkan menjadi sikap saling menghormati satu-sama lain, atau kalau mungkin dikembangkan sikap kerjasama satu sama lain bila umat Islam Indonesia telah berhasil mengembangkan kegiatan intelektual yang baik. Tentunya kegiatan intelektual waktu itu masih terbatas, karena kita masih di bawah belenggu penjajah Belanda. Situasi sekarang saja belum ada usaha yang serius dari seluruh komponen bangsa, terutama pemerintah dan ormas Islam, untuk mengembangkan kajian Islam dari berbagai disiplin ilmu, sebagai bahan referensi untuk merumuskan pembaharuan Islam dengan daya jangkau yang lebih luas lagi. Memang perlu disadari sejak awal kalau pembaharuan itu masih bersifat parsialis agar ada kesadaran untuk melakukan pembaharuan yang terus-menerus. Karena pembaharuan Islam memang bukan paket sekali jadi. Memang untuk merumuskan pembaharuan Islam yang memiliki kemampuan sinergis dengan managerial global membutuhkan waktu dalam proses sejarah yang lama dan kadang tidak mulus. Adalah sulit untuk sejak dini merumuskan pembaharuan yang memiliki daya jangkauan global bila kita belum memiliki informasi yang lengkap mengenai realitas sosiologis-historis semua komunitas Islam. Karena masing-masing komunitas Islam tersebut memiliki keunikan budaya yang harus diperlakukan secara khusus pula. Yang perlu diperhatikan, setiap melakukan pembaharuan harus mengakui realitas sosiologis-historis suatu komunitas Islam terlebih dahulu. Kemudian baru dilakukan modifikasi terhadap suatu tradisi agar dapat menjawab tuntutan zaman. Caranya dengan melakukan pemurnian alam pemikiran Islam yang masih terpengaruh oleh lapisan tipis tradisi Hindu-Budha maupun nenek moyang, dengan tidak menghilangkan tradisi tersebut yang merupakan konvensi atas keberterimaannya terhadap Islam. Pembaharuan diarahkan untuk mendekati perintah yang tercantum di dalam Quran maupun Hadits, sebagai idealisasinya. 6
7 Variasi budaya berimplikasi pada variasi pembaharuan Islam. Memang disadari atau tidak pembaruan selalu berangkat dari realitas sosiologis-historis suatu budaya. Karena itu pembaharuan Islam seringkali dipandang penuh curiga oleh komunitas Islam lainnya yang memiliki realitas sosiologis-historis yang berlainan. Memang ini wajar setiap memulai pembaharuan dan kita dituntut bersikap dewasa terhadap mereka yang masih sangsi terhadap komitment pembaharuan ini. Kita hendaknya mampu meyakinkan pembaharuan ini juga sangat diperlukan dan selanjutnya berusaha menjalin kerjasama dengan berbagai kelompok lain. Toleransi yang tulus di antara berbagai organisasi Islam di Indonesia ini merupakan prasyarat bagi terciptanya budaya Islam Indonesianis. Perlu diketahui, sepanjang sejarah Islam kita mendapatkan suatu fakta bahwa sesama organisasi Islam sangat sulit mewujudkan suatu sikap toleransi. Konflik antara Kekhalifahan Abbasiyah di Bangdad dengan Kekhalifahan Muawiyah di Spanyol tidaklah karena perbedaan teologis/ideologis, tetapi mereka berebut klaim sebagai satu-satunya penegak kebenaran yang sah. Demi menghancurkan lawannya, Kekhalifahan Abbasiyah menjalin kerjasama dengan kerajaan-kerajaan Kristen seperti Kerajaan Perancis. Pertentangan sesama umat itu melemahkan umat Islam sendiri, bahkan akhirnya Islam harus tunduk pada peradaban Barat. Pada sisi lain, sejarah Islam mencatat dengan tinta emas sikap toleransi umat Islam terhadap penganut beragama lain. Mereka menghargai keyakinan agama lain, apalagi agama Kristen, yang tergolong kedalam golongan ahli kitab (ahlul kitab) yang diakui keberadaannya oleh al-qur an. Dalam situasi seperti itu umat Kristen belajar dari kesalahan masa lalunya, dan mereka mengadopsi peradaban Islam yang lebih maju pada masanya. Pada abad ke-12-14, Barat masih ketinggalan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun kemudian mereka berhasil membidani kelahiran modern science karena telah berhasil mengembangkan suasana free and open discourse. Hal inilah yang menjadi starting point Toby E. Huff untuk menulis bukunya The Rise of Early Modern Science. Dia benar ketika mengatakan The path to modern science is the path to free and open discourse. (Huff, 1998: 46). Tidak lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern dari dunia Islam bukan karena Islam tidak cocok dengan ide-ide modern, tetapi karena umat Islam gagal dalam 7
8 mengembangkan free and open discourse. Karena hanya dengan toleransi dan kebebasan memungkinkan kita mengadopsi unsur-unsur peradaban lain yang positif bagi upaya mengembangkan peradaban Islam sendiri dan memang kegiatan budaya dan intelektual bersifat lintas budaya. Sebenarnya permasalahan umat Islam tidak bersifat filosofis karena al-qur an tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern. Persoalannya terkait dengan permasalahan sosia-kultural, berkaitan dengan hasil interpretasi terhadap al-qur an, yang seharusnya bersifat relatif karena sebagai hasil pemikiran manusia yang terikat oleh ruang dan waktu; namun pemikiran keagamaan itu dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak yang tidak boleh dikritik karena diyakininya sebagai teologi. Dengan demikian suatu persoalan sosiokultural telah diganti peran sebagai persoalan teologi, sehingga persoalan itu menjadi sulit untuk diurai benang kusutnya. Contohnya, sampai awal abad ke-19 Kekhalifahan Turki melarang penggunaan mesin print untuk menulis huruf Arab yang dianggapnya sebagai bahasa Tuhan, namun bisa digunakan untuk mencetak huruf dari bahasa lainnya. Hal ini berakibat pada mandegnya intelektual Islam, dan sebaliknya huruf Latin menjadi berkembang pesat (Huff, 1998: 46). C. Tradisi Muhammadiyah? Selama ini orang selalu menentangkan istilah modern dengan tradisi, tidak terkecuali dengan Muhammadiyah yang mengklaim dirinya sebagai organisasi Islam modern. Konsekuensinya, apakah Muhammadiyah mengembangkan suatu tradisi, karena tradisi selalu berakar dari masa lalu. Dalam bidang kebudayaan Muhammadiyah meniru ide-ide kebudayaan modern tentang pertumbuhan (growth) dan kemajuan (progress), yang merupakan turunan dari materialisme. Dengan demikian Muhammadiyah mgadopsi struktur masyarakat modern. Dalam melakukan pembaharuan, kaitannya dengan upaya dinamisasi, Muhammadiyah mengembangkan pendekatan strukturalisme transendental di dalam pemikiran keagamaannya, yaitu bertujuan menerapkan ajaran-ajaran sosial yang terkandung dalam teks lama pada konteks sosial masa kini tanpa mengubah strukturnya, sebagaimana diyakini oleh cendekiawan Muhammadiyah Prof. Dr. Kuntowijoyo (2001: 9-29). Dengan begitu Muhammadiyah meniru struktur masyarakat modern untuk 8
9 mengimplementasikan ajaran Islam itu. Memang Muhammadiyah telah berhasil mengisi struktur masyarakat modern di Indonesia dalam birokrasi, industri, perdagangan, pendidikan, militer, dll. Cendekiawan dari Muhammadiyah Abdul Munir Mulkhan (2000: v-xiv) menyebut ada dua konsekuensi dari arah kebudayaan seperti itu, yaitu: Pertama adalah sifat elitisme yang telah menjadikan Muhammadiyah sebagai privilege golongan menengah-ke-atas. Kedua adalah pergeseran dari gerakan pembaharu sosial budaya menjadi gerakan yang terjebak pada persoalan-persoalan fiqhiah. Hal itu terjadi karena orang modernis telah melangkah terlalu jauh dengan menjadikan materialisme dan rasionalisme bukan lagi sekedar perangkat analisis, melainkan sebagai ideologi. Lebih lanjut Kuntowijoyo menjelaskan dampak negatif lainnya, kalu Muhammadiyah sebagai gerakan kebudayaan tanpa kebudayaan, karena kebudayaan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah bersifat elitis sehingga tidak dapat menjangkau lapisan bawah umat Islam. Hal itu terjadi karena Muhammadiyah tidak berusaha merubah tradisi dari dalam, melainkan dengan membentuk gerakan baru yang berbasis masyarakat kota. Dan untuk waktu yang lama tidak mengakomodasi masyarakat di daerah pedesaan yang masih memegang tradisi. Kuntowijoyo menganalisa keringnya misi kebudayaan dalam Muhammadiyah pada struktur yang melatar belakangi para pendukung awal Muhammadiyah, yaitu masyarakat kampung-kota, yang perhatiannya lebih tertuju pada pemenuhan tuntutan modernisasi yang bersifat materialistis. Muhammadiyah cenderung bersifat pragmatis, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesaat dalam masyarakat modern dan belum sempat mengupas hakekat kemanusiaan. Seolah-olah hidup ini hanya dapat dibereskan secara teknis formal dan organisatoris (Kuntowijoyo, 1991: 269). Berdasarkan kritik-kritik dari kalangan intern di atas kita tahu ada unsur plus minus yang inheren dalam hampir setiap tindakan. Dan kita konsisten untuk meminimalkan segi minusnya dengan serangkaian kegiatan yang reformatif. Modal sudah ada. Eksistensi Muhammadiyah sendiri suatu yang luar biasa. Hal ini tentu akan lain bila Muhammadiyah 9
10 mengambil bentuk organisasi politik. Bukankah partai politik Islam mengalami pasang surut, timbul dan tenggelam. Muhammadiyah relatif sukses dalam menarik jumlah anggota maupun simpatisan dan menjadi ormas keagaman terbesar kedua. Secara tidak langsung Muhammadiyah mendorong lahirnya berbagai organisasi lain seperti Nahdlatul Ulama (NU) demi menggairahkan modernisasi dalam agama Islam. Selanjutnya warna pembaharuan Islam lebih menonjol ditentukan oleh proses dialektika Muhammadiyah dan NU di pentas sejarah Indonesia. III. Pembaharuan Konstektual, Mempertimbangkan Tradisi Biasanya diterima asumsi bahwa agama dianggap sebagai unsur yang paling sukar dan paling lambat berubah atau terpengaruh oleh kebudayaan lain, bila dibandingkan dengan unsur-unsur lain seperti: sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, ikatan-ikatan yang ditimbulkan oleh sistem mata pencaharian, sistem teknologi dan peralatan. Tetapi sejarah kehidupan bangsa kita yang panjang tidak sepenuhnya dapat disesuaikan dengan asumsi tersebut. Berbagai agama datang dan berkembang secara bergelombang ke Indonesia, mengganti agama yang lama dan menanamkan ajaran-ajaran agama yang baru secara silih berganti, tetapi dalam kenyataannya sistem mata-pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan yang dikatakan sebagai unsur yang paling mudah, ternyata yang paling sedikit mengalami perubahan sejak pra-hindu sampai kepada masa sekarang. Pengalaman sejarah itu justru menunjukkan agama berubah lebih cepat, ia berubah lebih dahulu sebelum yang lain-lain menglami perubahan. Pandangan Snouck Hurgronje juga bertentangan dengan kenyataan sejarah bangsa kita bahwa tiap-tiap periode sejarah kebudayaan sesuatu bangsa, memaksa kepada orang beragama untuk meninjau kembali isi dari kekayaan aqidah dan agamanya. Pandangan itu secara implisit bermakna bahwa proses peninjauan kembali isi ajaran-ajaran agama oleh para penganutnya sifatnya reaktif karena adanya perubahan periode kebudayaan di mana agama itu hidup. Ini juga bertentangan dengan pengalaman sejarah kebudayaan pada umumnya yang menunjukkan bahwa pemahaman baru terhadap ajaran agama justru 10
11 menumbuhkan periode baru dalam kebudayaan bangsa-bangsa (Wahid, 1999: 72). Sejarah membuktikan bahwa pemikiran agama sangat berpengaruh bagi perkembangan aspek material (kehidupan di dunia ini), baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Atau dengan kata lain, ada hubungan yang sangat signifikan antara kemajuan dalam bidang pemikiran (immaterial) dan kemajuan dalam bidang material. Hal tersebut telah menjadi perhatian sosiolog Max Weber ( ) dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam buku tersebut dirumuskan pertanyaan: Why capitalist industrialisation became a society-wide system in Europe and not in the other places?. Jawabannya adalah pemikiran agama mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi diterimanya sistem industri kapitalis. Dia menjelaskan industri modern berkembang di Eropa setelah tersebarnya dan diterimanya teologi Protestan dari Jean Calvin ( ). Calvin sangat menekankan peranan rasio (akal) dalam pemahaman agama, dan karenanya para pendukungnya bersikap rasional dalam kehidupan di dunia ini. Max Weber berkesimpulan bahwa penganut Calivinisme bekerja keras, menabung uang, dan hidup ekonomis. Dalam kasus agama Islam, pemikiran agama juga terus-menerus mengalami pembaharuan untuk memberi makna terhadap perubahan dan perkembangan dalam kehidupan di dunia dalam setiap manifestasinya. Akan tetapi pembaharuan Islam di era modern masih belum berhasil secara optimal dan terasa kurang efektif; sebagai konsekuensinya di bidang materi, umat Islam juga masih tertinggal dari peradaban Barat. Memang beberapa negara Islam telah dapat mengikuti perkembangan teknologi modern, tapi karena belum didukung oleh pemikiran agama yang mampu menopangnya maka hasilnya masih jauh dari memuaskan. Tony Barnett (1995: vii) benar bahwa: the main problems in the Third World are not, by and large, the absence of technical specialists - countries such as Pakistan have these aplenty;. The main problems are sociological and political problems, the contexts within which apparently technical decisions are taken. [cetak tebal penulis]. Dengan kata lain, kemampuan teknis di dunia Islam belum dapat memberikan kontribusi yang positif bagi kemajuan material secara luas karena belum ada kondisi yang kondusif dalam aspek immaterial, seperti pemikiran agama. M. Amin Abdullah (Abdullah, 2000: 13) menilai akar penolakan tradisi yang berbau 11
12 TBC didasarkan pada keilmuan klasik yang sangat terpengaruh logika Yunani yang bersifat hitam-putih, sehingga tidak dapat menjelaskan realitas kehidupan yang ada di lapangan. Konfigurasi dan peta tata pola pikirnya terlalu skematis, sehingga tidak dapat mempertimbangkan adanya bentuk konfigurasi yang over lapping (posisi jumbuh), yang melibatkan sebagian dari dua sisi sekaligus. Padahal nash-nash al-qur an sendiri memungkinkan adanya kategori middle, yang perlu dicermati secara lebih serius. Kuntowijoyo (1995: 86-87) mengkritik TBC masih ditampilkan dalam realitas subyektif, dan belum ditampilkan secara empiris-obyektif, dimana kita berada dalam stuktur sosial yang berbeda. Konsep klasik tentang TBC yang disusun dengan cara pikir deduktif yang menekankan segi rasio perlu dilengkapi dengan cara pikir induktif yang bersifat empiris-historis. Dominasi pemahaman keagamaan yang tekstual normatif cenderung mengabaikan kajian keislaman yang kontekstual hisorik. Inilah yang menjadikan pemikiran Muhammadiyah terasa kurang aktual dan irrelevan dengan perubahan sosial yang begitu cepat. Karenanya orang lebih mengenal gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan anti-tbc (Tahayul, Bid ah dan Churafat), dan bukan gerakan pembaharu sosialbudaya (Mulkhan, 2000: ix). Pendapat Syafii Maarif (2000: xxviii) bisa dijadikan starting point untuk menjelaskan hubungan agama dengan peradaban. Beliau mengutip Al-Qur an surat-surat al-shaf 9, al-fath 28, dan al-taubah 33 dan sampai pada kesimpulan kalau Islam harus unggul dan menang berhadapan dengan agama-agama manapun di muka bumi ini. Menurutnya keunggulan itu tidak saja dalam domain teologis-eskatologis, tetapi juga dalam perlombaan peradaban. Dia menilai Islam yang unggul dalam sistem iman tapi kalah dalam perlombaan peradaban karena ketegangan purifikasi dan dinamisasi belum menemukan satu titik yang stabil. Agar Islam dapat unggul dalam masalah peradaban modern maka Islam perlu menangani persoalan peradaban, atau dengan kata lain Islam perlu menangani permasalah kehidupan di dunia ini yang bersifat duniawi pula. Dalam konteks sekarang ini Islam perlu merumuskan secara jelas partisipasinya dalam kehidupan modern, disamping tradisi. Dengan begitu Islam tidak bisa lepas dari persoalan modernisasi dan globalisasi. 12
13 Sedangkan dalam konteks Indonesia, Islam perlu merumuskan budaya Islam dalam konteks Indonesia. Gerakan-gerakan Islam harus dikaitkan dengan gerakan nasional bangsa Indonesia yang lebih luas agar mereka tidak teralienasi dari jaringan koalisi nasional, disamping agar gerakan nasional itu selalu mendapat bimbingan dari agama. Bila terisolasi dari koalisi nasional itu, gerakan Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan akhirnya akan menciptakan perasaan tak diikutkan (sense of exclusion), sehingga melahirkan sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu. Hendaknya umat Islam membangun budaya yang bisa membangkitkan rasa memiliki pada Islam dan sekaligus mengembangkan rasa cinta tanah air Indonesia yang memiliki ciri kebhinekaan, yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanankeimanan yang lain dan kepribadian global (Wahid, 1998: 72). Karena Islam belum berhasil mengembangkan suatu budaya Islam Indonesianis maka selama ini yang dikenal sebagai pendukung gerakan nasional adalah partai-partai nasionalis seperti PNI. Bahkan PKI yang berkeyakinan kemerdekaan sebagai suatu batu loncatan saja dianggap lebih nasionalis. Hal ini terjadi karena gerakan Islam lebih asyik berbicara tentang masyarakat Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW yang sudah berlangsun 14 abad yang lalu daripada berbicara bagaimana mengisi kemerdekaan. Islam yang dikaitkan dengan persoalan peradaban berarti menempatkan Islam sebagai agama realitas, agama yang berpretensi untuk menangani masalah kemanusiaan pada umumnya; dan di Indonesia, perlu menangani masalah keindonesiaan yang bhineka tunggal ika. Gagasan Islam realitas merupakan konstruksi baru bagi umat Islam dalam menghadapi persoalan-persoalan kontekstual. Di tengah kebingungannya menghadapi realitas ini, Islam realitas seakan membuka tabir baru wajah Islam yang penuh dengan khazanah dan nomenklatur berbagai aura pemikiran keagamaan yang kemudian dipadukan dengan kondisi kontekstual. Gagasan itu juga tidak hendak menanggalkan teks-teks keagamaan, atau apalagi memisahkan agama dari realitas seperti gagasan sekularisasi. Tetapi, Islam realitas mempunyai pretensi, bahwa ajaran agama tidak seharusnya dibawa hanya pada persoalan simbolitas dan praktik-praktik 'mistifikasi', sehingga ajaran agama tidak mengena pada aspek substansinya. 13
14 Perhatian terhadap realitas sosiologis-historis berbagai komunitas Islam sangat penting, mengingat masing-masing mewakili budaya tersendiri dengan berbagai bentuk konvensinya, seperti diyakini sejarawan Thomas L. Haskell (1999: 3) bahwa: Nietzsche, who had no qualms at all about asserting the priority of convention over reason, just so long as he secured recognition that both were subordinate to the will to power. Konvensi sebagai kesepakatan dari suatu komunitas harus dipertimbangkan terlebih dulu, karena hal ini terkait erat dengan konteks sejarah berlangsungnya konvensi tersebut. Baru dilakukan dialog seiring dengan berlalunya waktu agar dianggap lebih rasional. Karena rasio bukan satu-satunya patokan bagi segala sesuatu. Sebagaimana dikatakan Ibn Taimiyyah al-haqiqatu fii al-a yan laa fii al-adzhan (Kebenaran adalah pada realita, bukan pada konsepsi-teoritis pada akal semata) (Abdullah, 2000: 2). Manusia juga punya aspek perasaan, sebagai pemberi makna bagi hidup manusia di dunia. Hal tersebut hanya didapatkan pada budaya atau tradisi suatu kelompok. Karena itu tradisi harus diperhitungkan di dalam merumuskan pembaharuan Islam. Hal itu karena tradisi merupakan realitas sosiologis-historis suatu komunitas, suatu yang dapat berubah tapi tidak dapat dihilangkan sama sekali. Memang harus disadari kalau tradisi bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi pembangunan. Sebagaimana dikatakan Tony Barnett (1995) that the development process requires an understanding of the economic, cultural and political ways in which people organize their lives. Ahli sosiologi Lithman (1983), juga berkeyakinan that development and underdevelopment relate not only to all aspects of living of its society but also its relations to boarder social system that are to its neighboring societies, to the city network, to the state system, regional system and the global system. Namun secara internal, faktor yang paling mempengaruhi pembangunan adalah tradisi. Memang kita tidak dapat mengabaikan faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial, sejarah, geografi, dan agama; tetapi semuanya itu secara substansial terkait dengan tradisi sebagai pemberi makna kehidupan, disamping sebagai pemberi identitas kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lain. Hal ini berarti perlu diterapkan strategi pembangunan yang berbeda sesuai dengan tradisi yang ada (Ross, 1999: 42). 14
15 Memang sulit melihat tradisi sebagai faktor dominan dalam revolusi (radical development) karena tradisi itu sendiri multidimensi, namun tradisi ini menjadi kerangka bagi perubahan yang radikal (revolusi). Revolusi ini sebenarnya bersifat multidimensional, namun memanifestasi dalam aspek tertentu seperti politik atau ekonomi sebagai penyebab langsungnya (casus belly). IV. KESIMPULAN Siapa pun yang melakukan pembaharuan hendaknya selalu menyadari sifat keterbatasan yang melekat pada manusia. Sikap seperti itu menjadikan mereka berusaha terus menyempurnakan usaha-usaha pembaharuan itu, disamping adanya kesediaan untuk melakukan dialog konstruktif dengan berbagai kelompok lain dari kultur yang berbeda. K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah sudah menyadari sifat keterbatasan pemikiran manusia, dan kareanya dia tidak mau menuliskan hasil pemikirannya itu, namun dia lebih menekankan pada segi praksis dari agama demi mengangkat harkat dan martabat manusia. Dia tidak mau terlibat perdebatan sengit persoalan teologi/ideologi, dan dia betul dalam memandang teologi sebagai alat yang harus tunduk pada misi agama yang pada prinsipnya menekankan segi amalan/praksis demi mengangkat harkat dan martabat manusia. Muhammadiyah didirikan di daerah perkotaan dan pemikirannya itu tentunya cocok bagi mereka yang memiliki realitas sosi-historis yang sama. Dan Muhammadiyah kurang mendapat sambutan di daerah pedesaan karena dalam Muhammadiyah belum dilakukan modifikasi pemikiran yang memungkinkan mencakup realitas sosio-historis daerah pedesaan. Memang Muhammadiyah mendapat pengikut juga di daerah pedesaan berkat amalan Muhammadiyah, dan bukankah Islam mengharapkan umatnya melakukan amalan yang bias kepentingan, sebagaimana misi Islam adalah rahmatan lil alamin (memberi manfaat bagi semua orang, terlepas dari pertimbangan agama yang mereka anut). Keberhasilan suatu pembaharuan sangat ditentukan oleh tingkat kecanggihan suatu pemikiran. Fakta mayoritas Muslim dari daerah pedesaan tidak masuk Muhammadiyah menunjukkan bahwa pemikiran Muhammadiyah masih belum mengakomodasi realitas sosio-historis daerah pedesaan. Bila fakta ini disadari dan memang hal itu dianggapnya 15
16 sebagai suatu ciri khas maka mereka akan dapat mengembangkan dialog yang konstruktif dengan Nahdhatul Ulama (NU), suatu organisasi yang menjadi afiliasi mayoritas Muslim daerah pedesaan. Bila semua organisasi atau kelompok Islam mampu memahami hal ini maka mereka akan dapat menciptakan budaya Islam yang Indonesianis. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, H.M. Amin, 2000, Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Keislaman, in Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi, Yogyakarta: LPP. Abdullah, M. Amin, 1995, Pendekatan Teologis dalam Memahami Muhammadiyah, Dalam Kelompok Studi Lingkaran (ed.). Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru. Bandung: Mizan & KSL. Barnett, Tony, 1995, Sociology and Development, London: Routledge. Fachruddin, KH A.R., 1990, Dari KH. A.R. Fachruddin untuk DR. Nurcholish Madjij, dalam Sujarwanto dkk Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan: Sebuah Dialog Intelektual, Yogyakarta: Tiara Wacana. Ghazali, Syaikh Muhammad Al-, 1996, Berdialog dengan Al-Qur an: Memahami Pesan Kitab Suci dalam Kehidupan Masa Kini, Bandung: Mizan. Haskell, Thomas L., 1999, 3. Huff, Toby E., 1998, The Rise of Modern Sciences, Cambridge: Cambridge University Press. Kamal, Musthafa (dkk.), 1994, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Persatuan. Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan. Kuntowijoyo, 2001, Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan. Lithman, Yngve Georg., 1983, The Practice of Underdevelopment and the Theory of Development: the Canadian Indian Case. Stockholm: Stockholm Studies in Social Anthropology. Maarif, Syafi i, 2000, Antara Purifikasi dan Dinamisasi, dalam Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi, Yogyakarta: LPPI. Mulkhan, Abdul Munir, 2000, Menggugat Muhammadiyah, Yogyakarta: Fajar Pustaka. Rochmat, Saefur, 2005, Aspek Immaterial dalam Modernisasi, Inovasi Vol. 17, No. 3. Ross, Marc Howard, 1999, Culture and Identity in Comparative Political Analysis. In Lichbach and Zuckerman (ed.) Comparative Politics: Rationality, Culture, and Structure. New York: Cambridge University Press. Wahid, Abdurrahman, 1998, Islam, Anti-kekerasan, dan Transformasi Nasional, dalam Glenn D. Paige, Chaiwat Satha Anand, dan Sarah Gilliatt, Islam tanpa Kekerasan, A.b. M. Taufik Rahman, Yogyakarta: LKIS. Wahid, Abdurrahman, 1999, Penafsiran Kembali Ajaran Agama: Dua Kasus Dari Jombang, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.), Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LkiS. 16
17 BIODATA PENULIS Saefur Rochmat, MIR lahir di Kebumen 22 November Dia adalah dosen Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY sejak tahun Pendidikan S1 diperoleh dari IKIP Yogyakarta dan S2 dari Ritsumeikan University, Jepang. Tulisannya dimuat pada jurnal internasional maupun nasional seperti Ritsumeikan International Affairs; International Journal of Social Sciences; Inovasi; MILLAH; Hermeneutik; Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan; dan Cakrawala Pendidikan. 17
Kelindan Aspek Immaterial dalam Modernisasi Ekonomi
Kelindan Aspek Immaterial dalam Modernisasi Ekonomi Saefur Rochmat Dosen Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, UNY; Mahasiswa S-2 International Relations, Ritsumeikan University, Kyoto Jepang rochmat@yahoo.com
Lebih terperinciMENUJU REVITALISASI DAN TRANSFORMASI GERAKAN PENCERAHAN MUHAMMADIYAH 1
MENUJU REVITALISASI DAN TRANSFORMASI GERAKAN PENCERAHAN MUHAMMADIYAH 1 *Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH. MH 2 Para tokoh pembaharu Islam cenderung melakukan pembaharuan yang sifatnya normatif (berdasarkan
Lebih terperinciSumbangan Pembaruan Islam kepada Pembangunan
c Sumbangan Pembaruan Islam kepada Pembangunan d Sumbangan Pembaruan Islam kepada Pembangunan Oleh Tarmidzi Taher Tema Sumbangan Pembaruan Islam kepada Pembangunan di Indonesia yang diberikan kepada saya
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus
195 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai bagian akhir tesis ini, peneliti memberikan kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah
Lebih terperinciEMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN
EMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN EMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN Oleh Nurcholish Madjid Seorang Muslim di mana saja mengatakan bahwa agama sering mendapatkan dukungan yang paling
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian
A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pembaharuan Islam yang dilakukan oleh umat Islam di Saudi Arabia, Mesir, dan India
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. Universitas Indonesia Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010.
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Islam kultural dalam konsep Nurcholish Madjid tercermin dalam tiga tema pokok, yaitu sekularisasi, Islam Yes, Partai Islam No, dan tidak ada konsep Negara Islam atau apologi
Lebih terperinciSUMBER-SUMBER DAN NILAI DALAM PERILAKU ETIKA. Week 6
SUMBER-SUMBER DAN NILAI DALAM PERILAKU ETIKA Week 6 Agama Islam menganggap etika sebagai cabang dari Iman, dan ini muncul dari pandangan dunia islam sebagai cara hidup manusia. Istilah etika yang paling
Lebih terperinciPELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA. Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. sendiri. Jadi, hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan hukum Islam di
PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag. I Hukum Islam telah ada dan berkembang seiring dengan keberadaan Islam itu sendiri. Jadi, hukum Islam mulai ada sejak Islam ada. Keberadaan
Lebih terperinciMUHAMMADIYAH DI MATA MAHASISWA NON IMM
BAHAN DISKUSI KELAS MUHAMMADIYAH DI MATA MAHASISWA NON IMM Oleh Kelompok 1 Muhammad Arifin (201410070311086); Arista Mutiara Risa (201410070311087) M. Prayogi Anggoro (201410070311089); Paksindra Agustina
Lebih terperinciBAB V PENUTUP Kesimpulan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melalui pembahasan dan analisis dari bab I sampai bab IV, maka ada beberapa hal yang sekiranya perlu penulis tekankan untuk menjadi kesimpulan dalam skripsi ini, yaitu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terlepas dari kondisi sosial kultural masyarakat. Pendidikan memiliki tugas
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan memiliki peran yang penting dalam suatu negara yakni sebagai saran untuk menciptakan manusia yang unggul. Pendidikan tidak bisa terlepas dari kondisi
Lebih terperinciSEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA
HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA Dosen : Mohammad Idris.P, Drs, MM Nama : Dwi yuliani NIM : 11.12.5832 Kelompok : Nusa Jurusan : S1- SI 07 SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA
Lebih terperinciPANCASILA PANCASILA DAN AGAMA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Sistem Informasi.
PANCASILA Modul ke: PANCASILA DAN AGAMA Fakultas FASILKOM Nurohma, S.IP, M.Si Program Studi Sistem Informasi www.mercubuana.ac.id PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA ABSTRACT Menjelaskan ideologi Pancasila
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sampai pada periode modern, mengalami pasang surut antara kemajuan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjalanan umat Islam dari periode Nabi Muhammad Saw. diutus sampai pada periode modern, mengalami pasang surut antara kemajuan dan kemunduran yang dialami
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan
BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan organisasi politik namun sepanjang
Lebih terperinciPEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM INTELEKTUAL MUSLIM NEO-MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY
DAFTAR ISI Halaman Lembar Persetujuan... ii Lembar Pernyataan.... iii Abstrak... iv Abstract... v Kata Pengantar... vi UcapanTerima Kasih... viii Daftar Isi... xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik praktis artinya tidak terlibat dalam kegiatan politik yang berkaitan dengan proses
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS APLIKASI KONESP EKSISTENSI PROFETIK KUNTOWIJOYO. Dunia yang senantiasa berkembang, berkonsekuensi pada perubahan realitas,
78 BAB IV ANALISIS APLIKASI KONESP EKSISTENSI PROFETIK KUNTOWIJOYO Dunia yang senantiasa berkembang, berkonsekuensi pada perubahan realitas, baik yang tampak ataupun tidak tampak. Manusia pun mau tidak
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan
Lebih terperinciBAB IV ANALISA. masyarakat Jemur Wonosari yang beragama Islam meyakini bahwa al-qur an
BAB IV ANALISA Melihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan, bahwa mayoritas masyarakat Jemur Wonosari yang beragama Islam meyakini bahwa al-qur an merupakan acuan moral untuk memecahkan problem
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Saeful Ulum, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Alasan rasional dan esensial yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini di antaranya berdasarkan pada dua hal utama, yaitu 1) Opini masyarakat
Lebih terperinciSEKULARISASI DITINJAU KEMBALI 1
SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI 1 Oleh Nurcholish Madjid Pertama perlu ditegaskan bahwa saya membuat perbedaan prinsipal antara sekularisme dan sekularisasi. Sekularisme adalah suatu paham yang tertutup,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era global, plural, multikultural seperti sekarang setiap saat dapat saja terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak dapat terbayangkan dan tidak terduga sama
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberagamaan orang Maluku, dapat dipahami melalui penelusuran sejarah yang memberi arti penting bagi kehidupan bersama di Maluku. Interaksiinteraksi keagamaan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. yang berbeda. Muhammadiyah yang menampilkan diri sebagai organisasi. kehidupan serta sumber ajaran. Pada sisi ini, Muhammadiyah banyak
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Metode pehamanan hadis Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dalam memahami hadis ada beberapa sisi persamaan dan perbedaan. Secara garis besar antara Muhammadiyah dan NU menggunakan
Lebih terperinciPENDIDIKAN DAN PEMBEBASAN DALAM PANDANGAN PAULO FREIRE
PENDIDIKAN DAN PEMBEBASAN DALAM PANDANGAN PAULO FREIRE Pandangan Freire tentang Netralitas Kelompok Netralitas yang memiliki ideologi yang sama Netralitas gereja yang berkaitan dengan sejarah dan politik
Lebih terperinciBAB II KONSEP SYURA DALAM ISLAM ATAS PELAKSANAAN DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DI INDONESIA
18 BAB II KONSEP SYURA DALAM ISLAM ATAS PELAKSANAAN DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DI INDONESIA A. Konsep Syura dalam Islam Kata syura berasal dari kata kerja syawara>> yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. beragama itu dimungkinkan karena setiap agama-agama memiliki dasar. damai dan rukun dalam kehidupan sehari-hari.
1 BAB I A. Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN Dengan tumbuhnya pengetahuan tentang agama-agama lain, menimbulkan sikap saling pengertian dan toleran kepada orang lain dalam hidup sehari-hari, sehingga
Lebih terperinciPeran PTAIN Dalam Pengembangan Pendidikan Islam Di Indonesia
Peran PTAIN Dalam Pengembangan Pendidikan Islam Di Indonesia Berbicara PTAIN dikaitkan dengan pengembangan pendidikan, maka yang lebih relevan adalah mengungkap tentang Fakultas atau Jurusan Tarbiyah.
Lebih terperinciWassalam. Page 5. Cpt 19/12/2012
satu cara yang perlu ditempuh adalah mengembangkan model home schooling (yang antara lain berbentuk pembelajaran personal ) seperti yang pernah diterapkan pada masa kejayaan Islam abad pertengahan. - Membangun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang dilihat dari letak geografis
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara yang dilihat dari letak geografis merupakan negara yang kaya dibandingkan dengan negara yang lainnya, hal ini dapat dibuktikan
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN DAN SARAN
BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi ini akan dipaparkan simpulan dan saran berdasarkan hasil penelitian mengenai permasalahan yang penulis kaji. Sebagaimana yang telah dikaji
Lebih terperinciBAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN
BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN Pada umumnya manusia dilahirkan seorang diri. Namun demikian, mengapa manusia harus hidup bermasyarakat. Manusia tanpa manusia lainnya pasti akan mati. Bayi misalnya,
Lebih terperinciMakalah Pendidikan Pancasila
Makalah Pendidikan Pancasila PANCASILA MELAWAN AGAMA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Di susun oleh : Nama : Anggita Dwi Chrisyana No : 11.12.6279 Jurusan : S1-Sistem Informasi FAKULTAS S1 SISTEM INFORMASI STMIK
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. khususnya Agama Islam. Hal ini dibuktikan dengan adanya sekolah-sekolah yang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari sentuhan ajaran agama, khususnya Agama Islam. Hal ini dibuktikan dengan adanya sekolah-sekolah yang bernuansa
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sejarah fundamentalisme Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis dari era orde lama sampai orde reformasi saat ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. 1. konsep upah perspektif Hizbut Tahrir adalah sebagai berikut:
284 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. konsep upah perspektif Hizbut Tahrir adalah sebagai berikut: a. Standar penentuan upah menurut Hizbut Tahrir ditakar berdasarkan jasa atau manfaat tenaganya (manfa at
Lebih terperinciMata Kuliah Kewarganegaraan
Mata Kuliah Kewarganegaraan Modul ke: 04 Fakultas Design Komunikasi dan Visual Program Studi Pokok Bahasan IDENTITAS NASIONAL SEBAGAI KARAKTER BANGSA Dosen : Cuntoko, SE., MM. Informatika dan Sistem Informasi
Lebih terperinciBAB V ANALISIS. melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja ini menjadi
BAB V ANALISIS Adanya sekolah dan madrasah di tanah air sebagai institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENGAJIAN TAFSIR AL-QUR AN DAN UPAYA PEMECAHANNYA DI DESA JATIMULYA KEC. SURADADI KAB. TEGAL
86 BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENGAJIAN TAFSIR AL-QUR AN DAN UPAYA PEMECAHANNYA DI DESA JATIMULYA KEC. SURADADI KAB. TEGAL 4.1. Analisis Pelaksanaan Pengajian Tafsir Al-Qur an di Desa Jatimulya Kec.
Lebih terperinciSEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG
Jurnal Sejarah. Vol. 1(1), 2017: 151 156 Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia DOI: 10.17510/js.v1i1. 59 SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG Sumber Gambar: Tempo.co Professor
Lebih terperinciKONFLIK ANTAR UMAT BERAGAMA
KONFLIK ANTAR UMAT BERAGAMA Dosen : Drs.Tahajudin Sudibyo N a m a : Argha Kristianto N I M : 11.11.4801 Kelompok : C Program Studi dan Jurusan : S1 TI SEKOLAH TINGGI TEKNIK INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Bab ini berisi interpretasi penulis terhadap judul skripsi Penerimaan Asas
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini berisi interpretasi penulis terhadap judul skripsi Penerimaan Asas Tunggal Pancasila oleh Nahdlatul Ulama : Latar Belakang dan Proses 1983-1985 yang menjadi bahan
Lebih terperinciKhatamul Anbiya (Penutup Para Nabi)
Muhammad SAW adalah seorang nabi terakhir yang diutus ke bumi oleh Allah SWT. Sebagai seorang nabi dan rasul, nabi Muhamad SAW membawakan sebuah risalah kebenaran yaitu sebuah agama tauhid yang mengesakan
Lebih terperinciMata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar Dosen : Muhammad Burhan Amin. Topik Makalah/Tulisan RUH 4 PILAR KEBANGSAAN DIBENTUK OLEH AKAR BUDAYA BANGSA
1 Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar Dosen : Muhammad Burhan Amin Topik Makalah/Tulisan RUH 4 PILAR KEBANGSAAN DIBENTUK OLEH AKAR BUDAYA BANGSA Kelas : 1-IA21 Tanggal Penyerahan Makalah : 25 Juni 2013 Tanggal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perjalanan Islam di Nusantara (Indonesia) erat kaitannya dengan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perjalanan Islam di Nusantara (Indonesia) erat kaitannya dengan perkembangan Islam di Timur Tengah. Jaringan ulama yang terbentuk sejak abad ke-17 dan ke-18
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi ini akan dituangkan kesimpulan
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi ini akan dituangkan kesimpulan dan rekomendasi berdasarkan hasil penelitian mengenai permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang begitu unik. Keunikan negara ini tercermin pada setiap dimensi kehidupan masyarakatnya. Negara kepulauan yang terbentang dari
Lebih terperinciBAB V PENUTUP A. Kesimpulan
75 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari paparan bab-bab sebelumnya dalam skripsi ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Kuran Jawi merupakan produk terjemah tafsir Al-Qur'a>n yang merujuk kepada
Lebih terperinciTEOLOGI SOSIAL : Telaah Pemikiran Hassan Hanafi
TEOLOGI SOSIAL : Telaah Pemikiran Hassan Hanafi i ii TEOLOGI SOSIAL: Telaah Pemikiran Hassan Hanafi TEOLOGI SOSIAL : Telaah Pemikiran Hassan Hanafi iii iv TEOLOGI SOSIAL: Telaah Pemikiran Hassan Hanafi
Lebih terperincibarakah sesuai dengan sosio-kultural yang membentuknya dan mendominasi cara
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Konsep barakah dimaknai oleh para peziarah di makam KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidaklah tunggal. Artinya, latar belakang peziarah turut mempengaruhi makna barakah sesuai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah
BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dibahas beberapa hal sebagai berikut: 1.1 Latar Belakang Dalam sebuah sistem demokrasi, rakyat adalah sumber hukum dan hukum pada gilirannya berfungsi menjamin perlindungan
Lebih terperinciBAB V KESMPULAN. Jemaah Ahmadiyah, demikian mereka memanggil dirinya, di Pakistan,
BAB V KESMPULAN 5.1. kesimpulan Jemaah Ahmadiyah, demikian mereka memanggil dirinya, di Pakistan, negara kelahirannya sendiri, sejak 1889, secara konstitusional pada tahun 1984, dianggap sebagai kelompok
Lebih terperinciMuhammadiyah Sebagai. Gerakan Tajdid
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Tajdid Latar Belakang Muhammadiyah didirikan Kondisi pengamalan ajaran Islam masyarakat Indonesia yang mengalami pencampuran dengan ajaran yang bertentangan dengan Islam (adanya
Lebih terperinciEKSISTENSI PANCASILA DALAM KONTEKS MODERN DAN GLOBAL PASCA REFORMASI
EKSISTENSI PANCASILA DALAM KONTEKS MODERN DAN GLOBAL PASCA REFORMASI SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA NAMA : FELIX PRASTYO NIM : 11.12.6219 KELOMPOK : J PROGRAM STUDI
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dari segala dimensi. Sebagai sebuah bangsa dengan warisan budaya yang
1 A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia yang menjadi negara kepulauan, mempunyai kemajemukan dari segala dimensi. Sebagai sebuah bangsa dengan warisan budaya yang masih mengakar dalam perkembangan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai
BAB V PENUTUP Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai hubungan antara kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan yang terjadi di Suriah dengan persepsi Amerika Serikat, yang
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. telah dikaji oleh banyak sejarawan. Hubungan historis ini dilatarbelakangi dengan
201 BAB V PENUTUP A. Simpulan Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hubungan historis antara Turki Utsmani dan Hindia Belanda sejatinya telah terjalin lama sebagaimana yang telah dikaji oleh banyak
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1 Pendidikan sosial yang dimaksud adalah pendidikan bagi berbagai komponen dalam pesantren
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pondok pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan yang menjadi model khas yang dimiliki oleh Indonesia. Kekhasan yang dimiliki ini menjadi salah satu nilai sosial
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia selalu diperhadapkan dengan berbagai keragaman, baik itu agama, sosial, ekonomi dan budaya. Jika diruntut maka banyak sekali keragaman yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kesatuan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas hingga Pulau Rote yang penuh dengan keanekaragaman dalam berbagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara alamiah manusia tumbuh dan berkembang sejak dalam kandungan sampai meninggal serta mengalami proses tahap demi tahap. Demikian pula dengan pendidikan sebagai
Lebih terperinciMenyoal Kesiapan AMM dalam Upaya Revitalisasi Ideologi dan Reaktualisasi Gerakan Islam yang Berkemajuan
1 Menyoal Kesiapan AMM dalam Upaya Revitalisasi Ideologi dan Reaktualisasi Gerakan Islam yang Berkemajuan Saleh P. Daulay (Ketua Umum PP. Pemuda Muhammadiyah) Pengantar Penggunaan istilah Islam yang Berkemajuan,
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN Penelitian merupakan kerja akademik yang menuntut penerapan prosedur ilmiah tertentu sehingga hasil riset dapat dipertanggungjawabkan. Atas dasar inilah penulis memandang penting
Lebih terperinciMENJADI MUSLIM DI NEGARA SEKULER
l Edisi 001, Oktober 2011 Edisi 001, Oktober 2011 P r o j e c t i t a i g D k a a n MENJADI MUSLIM DI NEGARA SEKULER Ihsan Ali Fauzi 1 Edisi 001, Oktober 2011 Informasi Buku: Abdullahi Ahmed An- Na`im,
Lebih terperinciBAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan judul Pendidikan Islam Berwawasan kebangsaan menurut perspektif KH.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan judul Pendidikan Islam Berwawasan kebangsaan menurut perspektif KH. Abdurrahman Wahid, terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Lebih terperinciA Vision serves to create a sense of purpose that encourages people to change their actions Michael Fairbanks -
Merajut Mozaik Kebhinekaan, Penyerbukan Silang Antar Budaya dan Nasionalisme A Vision serves to create a sense of purpose that encourages people to change their actions Michael Fairbanks - Indonesia adalah
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Turki merupakan negara Islam yang merupakan salah satu tempat bersejarah
PENDAHULUAN Turki merupakan negara Islam yang merupakan salah satu tempat bersejarah perkembangan Islam di Dunia. Turki juga merupakan wilayah yang terdiri dari dua simbol peradaban di antaranya peradaban
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin modern dan maju secara tidak langsung menuntut setiap orang untuk mampu bersaing dalam mewujudkan tujuan
Lebih terperinciSOSIOLOGI PENDIDIKAN
SOSIOLOGI PENDIDIKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL KONFLIK TOKOH PEMIKIR ANTARA LAIN: 1. KARL MARX (1818-1883) 5. JURGEN HABERMAS 2. HEGEL 6. ANTONIO GRAMSCI 3. MAX HORKHEIMER (1895-1973) 7. HERBERT
Lebih terperinciMUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN PENDIDIKAN
MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN PENDIDIKAN M.Nidhamul Maulana 1 (2014100703111119), Mumtaza Ulin Naila 2 (201410070311120), Zubaidi Bachtiar 3 (201410070311121), Maliatul Khairiyah 4 (201410070311122), Devi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi dilengkapi dengan perangkat lain yang menunjang segala kehidupan makhluk- Nya di muka bumi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Menurut ajaran Islam, kepada tiap-tiap golongan umat pada
Lebih terperincimaupun perbuatan- perbuatan-nya Nya.
ILMU TAUHID / ILMU KALAM Ilmu Tauhid sering disebut juga dengan istilah Ilmu Kalam, Ilmu 'Aqaid, Ilmu Ushuluddin, dan Teologi Islam. Menurut bahasa (etimologis) kata "tauhid" merupakan bentuk masdar yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah gerbang yang utama dan pertama dalam usaha
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah gerbang yang utama dan pertama dalam usaha mewujudkan sumber daya manusia yang lebih baik. Pendidikan harus mampu dalam perbaikan dan pembaharuan
Lebih terperinciSEKULARISME, ISLAM DAN DEMOKRASI DI TURKI
, Edisi 003, Oktober 2011 i g i t a l l i m e m o k r a t i s m o k r a t i s. c o m SEKULARISME, ISLAM AN EMOKRASI I TURKI Ihsan Ali-Fauzi 1 Informasi Buku: Hakan Yavuz, Secularism and Muslim emocracy
Lebih terperinciSAINS, ISLAM, DAN REVOLUSI ILMIAH
l Edisi 048, Februari 2012 P r o j e c t SAINS, ISLAM, DAN REVOLUSI ILMIAH i t a i g k a a n D Sulfikar Amir Edisi 048, Februari 2012 1 Edisi 048, Februari 2012 Sains, Islam, dan Revolusi Ilmiah Tulisan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. 1. Filsafat Perennial menurut Smith mengandung kajian yang bersifat, pertama, metafisika yang mengupas tentang wujud (Being/On) yang
220 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa krisis spiritual manusia modern dalam perspektif filsafat Perennial Huston Smith dapat dilihat dalam tiga
Lebih terperinciPERLUASAN KEANGGOTAAN MUHAMMADIYAH DAN KRISIS PARADIGMA
PERLUASAN KEANGGOTAAN MUHAMMADIYAH DAN KRISIS PARADIGMA Abstrak: KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, memiliki pandangan yang cerdas dan cukup jernih melihat kondisi umatnya, sehingga dalam berdakwah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa saling
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa saling memerlukan adanya bantuan dari orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Manusia dituntut untuk saling
Lebih terperinciAPATISME PEMBICARAAN NEGARA ISLAM 1
TIDAK USAH MUNAFIK! APATISME PEMBICARAAN NEGARA ISLAM 1 Oleh Nurcholish Madjid Dengan memperhitungkan mayoritas orang Indonesia beragama Islam, maka nilai yang paling baik mewarnai adalah nilai Islam.
Lebih terperinciGagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain.
TUHAN? Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah, karena gagasan itu selalu mempunyai arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya di berbagai periode waktu. Gagasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh berbagai krisis yang melanda, maka tantangan dalam
1 BAB I PENDAHULUAN Pada saat bangsa Indonesia menghadapi permasalahan komplek yang disebabkan oleh berbagai krisis yang melanda, maka tantangan dalam menghadapi era globalisasi yang bercirikan keterbukaan
Lebih terperinciISLAM, DEMOKRASI DAN TANTANGAN GLOBAL
ISLAM, DEMOKRASI DAN TANTANGAN GLOBAL Chairman The Institute, Jakarta Islam adalah salah satua agama besar di dunia, dimana saat ini diperkirakan terdapat antara 1.250 juta hingga 1,4 milyar umat Muslim
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai suatu negara multikultural merupakan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai etnik yang menganut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Amin Abdullah, studi mengenai agama-agama ini bertujuan untuk
BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pada akhir abad 19, mulai berkembang sebuah disiplin ilmu baru yang terpisah dari disiplin ilmu lainnya. Pada awal perkembangannya ilmu
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. sekularisasi dari istilah sosiologis merupakan menduniawikan nilai-nilai
BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan Hisotris Dari hasil penelitian ini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sekularisasi dari istilah sosiologis merupakan menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Munculnya feminisme memang tak lepas dari akar persoalan yang ada di kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih dianggap sebagai makhluk inferior.
Lebih terperinciBimbingan Ruhani. Penanya:
Bimbingan Ruhani Hazrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifah ke empat dari Jemaat Islam Ahmadiyah selalu memberikan kesempatan dari waktu ke waktu kepada semua orang dari segala bangsa, agama dan keyakinan untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010.
BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan 7 sub bab antara lain latar belakang penelitian yang menjelaskan mengapa mengangkat tema JFC, Identitas Kota Jember dan diskursus masyarakat jaringan. Tujuan penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia sebagai salah satu Negara demokrasi. Pemilihan legislatif yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Pemilihan umum legislatif telah dilaksanakan pada 9 april 2014 lalu oleh Negara Indonesia sebagai salah satu Negara demokrasi. Pemilihan legislatif yang meliputi
Lebih terperinciMata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar Dosen : Muhammad Burhan Amin. Topik Makalah. RUH 4 PILAR KEBANGSAAN DIBENTUK OLEH AKAR BUDAYA BANGSA Kelas : 1-IA21
Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar Dosen : Muhammad Burhan Amin Topik Makalah RUH 4 PILAR KEBANGSAAN DIBENTUK OLEH AKAR BUDAYA BANGSA Kelas : 1-IA21 Tanggal Penyerahan Makalah : 25 Juni 2013 Tanggal Upload
Lebih terperinciAtika Puspita Marzaman. Recep Tayyib Erdogan:
Atika Puspita Marzaman Recep Tayyib Erdogan: Turki, Islam, dan Uni Eropa HEPTAcentrum Press Recep Tayyib Erdogan: Turki, Islam, dan Uni Eropa Oleh: Atika Puspita Marzaman Copyright 2011 by Atika Puspita
Lebih terperinciPERAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENGATASI GERAKAN RADIKALISME. Oleh: Didik Siswanto, M.Pd 1
PERAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENGATASI GERAKAN RADIKALISME A. Pengantar Oleh: Didik Siswanto, M.Pd 1 Tulisan pada artikel ini akan menyajikan persoalan peran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah menciptakan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki kesempurnaan lebih dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dalam al-quran, Allah berfirman:
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS HEDGING TERHADAP KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK-BBM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
BAB IV ANALISIS HEDGING TERHADAP KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK-BBM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Analisis Hedging Terhadap Dampak Kenaikan Harga BBM Ditinjau Dari Hukum Islam. Sebagaimana dijelaskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah seorang ulama, tokoh pendidikan, dan juga merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah seorang ulama, tokoh pendidikan, dan juga merupakan pahlawan perjuangan sebelum kemerdekaan. Beliau adalah seorang revolusioner
Lebih terperinciPENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1
Modul ke: 05Fakultas Gunawan EKONOMI PENDIDIKAN PANCASILA Pancasila Sebagai Ideologi Negara Wibisono SH MSi Program Studi Manajemen S1 Tujuan Perkuliahan Menjelaskan: Pengertian Ideologi Pancasila dan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. A. Simpulan
BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran
Lebih terperinci