BAB II. NOTA KESEPAHAMAN (MoU HELSINKI) ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN GERAKAN ACEH MERDEKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II. NOTA KESEPAHAMAN (MoU HELSINKI) ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN GERAKAN ACEH MERDEKA"

Transkripsi

1 BAB II NOTA KESEPAHAMAN (MoU HELSINKI) ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN GERAKAN ACEH MERDEKA A. Dinamika Peraturan Perundang-undangan tentang Aceh Indonesia melalui Peraturan Perundang-undangan mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 18B Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan rakyat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Peraturan Perundang-undangan mengenai Aceh turut mengalami dinamika sesuai dengan Konstitusi yang berlaku di Indonesia, khususnya mengenai substantif terkait kewenangan Aceh. Adapun dinamika Peraturan Perundangundangan tersebut dapat digambarkan melalui skema 2.1 berikut ini: 132 Pasal 18B (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang. 79

2 80 Skema Konstitusi dan dinamika peraturan perundang-undangan tentang Aceh X X X X X X X X 133 xxx

3 81 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah Pada tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) telah menetapkan terkait wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas 8 (delapan) Provinsi, yaitu: 134 a. Provinsi Jawa Barat b. Provinsi Jawa Tengah c. Provinsi Jawa Timur d. Provinsi Sumatera e. Provinsi Borneo f. Provinsi Sulawesi g. Provinsi Maluku h. Provinsi Sunda Kecil Menelaah Ketetapan yang ditetapkan PPKI, dan berdasarkan demografi Aceh secara otomatis berada dalam lingkup Provinsi Sumatera yang berkedudukan di Medan. Selanjutnya Mr T. M. Hasan diangkat sebagai Gubernur Provinsi Sumatera. Pada periode ini Aceh hanya sebagai salah satu keresidenan yang ada dalam Provinsi Sumatera, dengan residennya yang pertama yakni T. Nyak Arif dan Wakil Residennya T. M. Ali Panglima Polim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Depdikbud, Jakarta, 1977, hal Lihat juga dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Loc.Cit.

4 82 Pada perkembangannya kegiatan Pemerintahan di daerah Aceh baru berjalan pada awal bulan Oktober 1945, setelah keluarnya penetapan dari Gubernur Negara Republik Indonesia Provinsi Sumatera, tepatnya pada tanggal 3 Oktober 1945, tentang pengangkatan pejabat Pemerintah Negara Republik Indonesia di seluruh Sumatera. Dalam melaksanakan Pemerintahan di daerah Aceh, T. Nyak Arif dibantu oleh Komite Nasional Daerah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, yang ditetapkan pada tanggal 23 November Perkembangan Residen Aceh, sejak pertengahan bulan Januari 1946, diangkat T. Daud Syah, yang juga merangkap sebagai Ketua Komite Nasional Daerah. Selanjutnya pada 26 Agustus 1947 ditetapkan daerah-daerah Keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat, dan Kabupaten Tanah Karo menjadi suatu Daerah Militer Istimewa, serta mengangkat Tgk M. Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer di daerah tersebut dengan pangkat Jenderal Mayor Tituler Ibid. 137 Perubahan bentuk di Aceh ini adalah sejalan dengan usaha untuk menyusun pertahanan yang kokoh dalam usaha mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia dari Agresi Belanda I dan II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal Adapun latar belakang lahirnya posisi Gubernur Militer diantaranya pada masa Agresi Militer Belanda, terjadi pergolakan pada sistem Pemerintahan di Indonesia, yang selanjutnya dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dengan adanya PDRI, Belanda tidak dapat berkata lagi bahwa Republik Indonesia sudah hancur lebur berhubung Presiden dan Wakil Presiden berada

5 83 2. Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pembagian Sumatera Dalam Tiga Provinsi Lahirnya Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pembagian Sumatera Dalam Tiga Provinsi, yang pada intinya menetapkan bahwa daerah Sumatera dibagi menjadi 3 (tiga) Provinsi, yaitu: 138 a. Provinsi Sumatera Utara, yang meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera timur, dan Tapanuli. b. Provinsi Sumatera Tengah, yang meliputi Keresidenan Sumatera Barat, Riau, dan Jambi. dalam tahanan mereka. Untuk perjuangan selanjutnya Sumatera dijadikan Daerah Militer yang dipimpin oleh Gubernur Militer, hal ini ditujukan untuk memperlancar roda Pemerintahan baik sipil maupun militer. Oleh karena keadaan di Sumatera berlainan dengan di Jawa dan residen-residen Sumatera berpendidikan cukup dan berpengalaman selama 3 (tiga) tahun berevolusi serta cukup berwibawa menghadapi rakyat dan tentara, maka diangkatlah Gubernur Militer yang semuanya adalah terdiri dari orang-orang sipil, sehingga susunan Gubernur Militernya adalah: a. Gubernur Militer untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo adalah Tgk M. Daud Beureueh. b. Gubernur Militer untuk daerah Sumatera timur dan Tapanuli adalah Dr. Ferdinand Lumban Tobing. c. Gubernur Militer untuk daerah Sumatera Barat adalah Mr. St Moh. Rasyid. d. Gubernur Militer untuk daerah Riau adalah R.M. Oetoyo. e. Gubernur Militer untuk daerah Sumatera Selatan dan Jambi adalah Dr. Adnan Kapau Gani. Teuku Moehammad Hasan, Gubernur Sumatera Dari Aceh Ke Pemersatu Bangsa, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 1999, hal Lihat juga dalam Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hal Patut juga untuk ditelaah bahwa paska terjadinya konflik horizontal di Aceh (periode tahun 1946) yakni peristiwa Cumbok. Gubernur Sumatera mengeluarkan Ketetapan No. 204 bertanggal 11 Agustus 1946, bahwa kondisi Pemerintahan di Aceh pada waktu itu dipimpin oleh 2 (dua) Pemerintahan, yaitu sipil dan militer. Adapun Pemerintahan sipil dipimpin oleh Mr. S. M. Amin yang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara yang berkedudukan di Banda Aceh. Sedangkan Pemerintahan militer dipimpin oleh Tgk M. Daud Beureueh yang menjabat Gubernur militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Abdullah Sani Usman, Krisis Legitimasi Politik Dalam Sejarah Pemerintahan di Aceh, Puslitbang Lektur Keagamaan, Jakarta, hal Pasal 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pembagian Sumatera Dalam Tiga Provinsi. Provinsi Sumatera Utara dengan Gubernurnya Mr S. M. Amin, Provinsi Sumatera Tengah dengan Gubernurnya Mr M. Nasrun, Provinsi Sumatera Selatan dengan Gubernurnya Dr. Isa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 184.

6 84 c. Provinsi Sumatera Selatan, yang meliputi Keresidenan Bengkulen, Palembang, Lampung, dan Bangka Belitong. Provinsi Sumatera Utara meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli. Akan tetapi karena suasana/keadaan yang masih belum terjamin keamanannya, berbagai ketetapan-ketetapan tersebut tidak dapat berjalan/dilaksanakan sehingga Daerah Militer Istimewa bagi Aceh Kabupaten Langkat Kabupaten Tanah Karo masih tetap berjalan. Adapun segala pertanggung jawaban Pemerintah Sipil dan Militer tetap dibebankan kepada Gubernur Militer, yakni Tgk M. Daud Beureueh. Posisi Gubernur Sumatera hanya merupakan Komisaris Daerah yang bertugas untuk mengadakan pengawasan dan memberikan tuntutan terhadap jalannya Pemerintahan. Kekuasaan yang diberikan kepada Gubernur Militer ini diperkuat lagi berdasarkan Keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) No. 21/Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949, serta Keputusan No. 22/Pem/PDRI tanggal 17 Mei 1949, yang melimpahkan kekuasaan sipil dan militer berada pada tangan Gubernur Militer, yakni Tgk M. Daud Beureueh. 139 Pada periode Tahun 1948, dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, turut dilahirkan juga Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, kehadiran Undang-Undang tersebut juga 139 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal Lihat juga dalam Keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) No. 21/Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949, serta Keputusan No. 22/Pem/PDRI tanggal 17 Mei 1949.

7 85 berimplikasi terkait Pemerintahan Daerah di Sumatera yang sebelumnya telah lebih dahulu dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pembagian Sumatera Dalam Tiga Provinsi. Kehadiran Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, pada dasarnya membawa implikasi yang positif dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Hal tersebut sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal bahwa daerah-daerah yang dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis, yaitu: a. Daerah Otonom (biasa). b. Daerah Istimewa. 141 Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, substansi lainnya juga membagi daerah Indonesia menjadi 3 (tiga) daerah otonom yang selanjutnya menjadi cikal bakal sampai dengan dewasa ini, yaitu Provinsi, Kabupaten, Desa. Sedangkan Keresidenan meskipun mempunyai lembaga DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) tidak ditetapkan sebagai daerah otonom. Hal ini tentunya berbeda dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-Undang No Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. 141 Adapun yang dimaksud dengan daerah istimewa adalah daerah yang mempunyai hal asalusul dan di zaman Republik Indonesia mempunyai Pemerintahan yang bersifat istimewa (zelfbesturende landschappen). Keistimewaan daerah adalah bahwa Kepala/Wakil Kepala Daerah istimewa diangkat oleh Presiden Republik Indonesia dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 25.

8 86 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional, yang telah menetapkan Keresidenan sebagai daerah otonom Peraturan Wakil-Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM Tahun 1949 tentang Pembentukan Provinsi Aceh Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1949 tentang Kedudukan dan Kekuasaan Wakil Perdana Menteri di Sumatera, 143 yakni pada tanggal 30 September 1949 diangkat Mr Syafruddin Prawiranegara sebagai Wakil Perdana Menteri yang berkedudukan di Sumatera, untuk melancarkan jalannya roda Pemerintahan. Adapun pusat Pemerintahan di Sumatera ini dipindahkan ke Kutaraja, sejak Bukit Tinggi jatuh ke tangan Belanda pada masa Agresi Belanda II , hal Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah, Laksbang Mediatama, Surabaya, 143 Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 1949 tentang Kedudukan dan Kekuasaan Wakil Perdana Menteri di Sumatera, disebutkan bahwa di daerah Sumatera dapat ditempatkan seorang Wakil Perdana Menteri. Selanjutnya pada Pasal 2 disebutkan bahwa Kepada Wakil Perdana Menteri tersebut dalam Pasal 1 diberi kekuasaan, dalam keadaan yang memaksa, untuk daerah Sumatera atau sebagian dari daerah Sumatera, atas nama Presiden menetapkan peraturan: a. Yang masalahnya seharusnya diatur dengan Undang-Undang, Peraturan ini dinamakan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Undang-Undang. b. Yang masalahnya seharusnya diatur dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan ini dinamakan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah. 144 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal Lihat juga dalam Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam, Op.Cit, hal. 285.

9 87 Pada masa Pemerintahan Wakil Perdana Menteri Mr Syafruddin Prawiranegara, bentuk Pemerintahan di Sumatera Utara dan Aceh mengalami perubahan lagi. Dalam hal ini berdasarkan Peraturan Wakil-Wakil Perdana Menteri pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM Tahun 1949, yang selanjutnya Provinsi Sumatera Utara dipecah menjadi 2 (dua) Provinsi, yaitu: 145 a. Provinsi Aceh, untuk Gubernurnya diangkat Tgk M. Daud Beureueh. b. Provinsi Tapanuli Sumatera Timur, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari Perkembangan yang terjadi paska pembagian Provinsi Sumatera Utara, atas Provinsi Aceh, dan Provinsi Tapanuli Sumatera Timur telah menimbulkan friksi dari berbagai pihak, baik dari masyarakat, maupun dari Pemerintah Republik Indonesia. Bagi yang kontra akan hal ini, menilai pembentukan Provinsi Aceh ini jelas sangat bertentangan dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, sekaligus mempersulit Pemerintah Republik Indonesia dalam usaha untuk merealisasikan semua hasil yang dicapai dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Di sisi lain, bagi pihak yang pro akan hal ini tetap berusaha untuk mempertahankan agar status otonom 145 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal Lihat juga dalam Peraturan Wakil-Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM Tahun 1949 tentang Pembentukan Provinsi Aceh.

10 88 bagi Aceh tetap berjalan, sekaligus menyatakan bahwa pembentukan Provinsi Aceh adalah merupakan keinginan dari rakyat Aceh Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Provinsi Pada periode ini, Pemerintah Republik Indonesia telah menghadapi suatu masalah yang rumit, yang mana pada tanggal 19 Agustus 1950 adanya persetujuan RIS (Republik Indonesia Serikat) RI (Republik Indonesia), serta berdasarkan Ketetapan Sidang Dewan Menteri tanggal 8 Agustus 1950 melahirkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Provinsi, yang menetapkan pembagian wilayah Republik Indonesia atas 10 Provinsi, yaitu: Adanya perbedaan pendapat terkait status Provinsi Aceh, yang terjadi dalam rakyat Aceh, maka Pemerintah Republik Indonesia pada bulan Maret 1950, mengirimkan suatu panitia penyelidik mengenai pembentukan Provinsi Aceh yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri (Mr Susanto Tirtoprojo). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Provinsi. Patut untuk ditelaah, bahwa pada periode ini telah lahirnya Konferensi Meja Bundar (KMB). Oleh karenanya, beberapa hari sebelum tercapainya persetujuan antara Negara Bagian Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik Indonesia Serikat (yang bertindak atas nama Negara Indonesia Timur) untuk membentuk Negara Kesatuan, dan untuk menyesuaikan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dengan keadaan yang akan datang pada tanggal 15 Mei 1950 ditetapkan Undang-Undang Negara Indonesia Timur No. 44 Tahun 1950 yang disebut dengan nama Undang-Undang Pemerintahan Daerah-Daerah Indonesia Timur. Hal ini menurut Bagir Manan, Undang-Undang Negara Indonesia Timur No. 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah sengaja dipersiapkan dan ditetapkan untuk menyongsong pembentukan atau reintegrasi Negara Kesatuan, terutama penyesuaian bentuk ketatanegaraan wilayah Negara Indonesia Timur terhadap bentuk Negara Kesatuan. Juanda, Op.Cit, hal. 157.

11 89 a. Jawa Barat b. Jawa Tengah c. Jawa Timur d. Sumatera Utara e. Sumatera Tengah f. Sumatera Selatan g. Kalimantan h. Sulawesi i. Maluku j. Sunda Kecil Dalam rangka meleburkan status Provinsi Aceh yang kembali bergabung dengan Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera, tertanggal 14 Agustus Selanjutnya diamandemen menjadi Undang- Undang Darurat Republik Indonesia No. 16 Tahun 1955 tentang Pengubahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera, yang pada intinya memutuskan mencabut Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM tahun 1949 tentang Pembentukan Provinsi Patut untuk ditelaah pandangan Fachry Ali yang menyatakan bahwa ketika struktur negara mulai mapan pasca KMB, sebagai organisasi kekuasaan yang absah, negara mulai meretas landasan obyektif untuk mempertahankan eksistensi dan otoritasnya atas daerah yang menjadi konstitutennya. Karena itu betapapun Aceh telah telah berfungsi sebagai benteng terakhir Indonesia pada periode 1949 dan mendapat gelar daerah modal, demi tertib administrasi dan kalkulasi ekonomi, status Provinsi Aceh yang pernah diberikan Wakil Perdana Menteri (Syafruddin Prawiranegara) tersebut tetap harus ditanggalkan, demi efisiensi dalam kebijakan fiskal. Fachry Ali, Kalla dan Perdamaian Aceh, LSPEU Indonesia, Jakarta, 2008, hal. 9.

12 90 Aceh, dan sekaligus menetapkan pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang meliputi Keresidenan Aceh, Tapanuli dan Sumatera Timur Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara Paska dileburnya Aceh kedalam Provinsi Sumatera Utara melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tertanggal 14 Agustus 1950 jo Undang- Undang Darurat Republik Indonesia No. 16 Tahun 1955 tentang Pengubahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera. Dalam perkembangannya berbagai konflik telah tercipta di Aceh, khususnya konflik secara vertikal antara rakyat Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia. Untuk mengatasi berbagai konflik vertikal yang terjadi di Aceh, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) melalui sidangnya mengeluarkan usul mosi supaya Pemerintah Republik Indonesia menunjuk Aceh sebagai daerah otonom. Usulan tersebut direspon Pemerintah Republik Indonesia tepatnya pada tanggal 29 Desember 1956, dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun Pasal 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No. 16 Tahun 1955 tentang Pengubahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera. Lihat juga dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 185.

13 91 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara, 149 yang menetapkan Aceh sebagai Provinsi otonom. Hal ini merupakan salah satu upaya dari Pemerintah Republik Indonesia untuk meredam berbagai macam konflik vertikal yang sedang berlangsung di Aceh. Berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk meminimalisir konflik yang terjadi di Aceh, diantaranya Pemerintah Republik Indonesia juga mengangkat Ali Hasymi sebagai Gubernur Aceh, berdasarkan Ketetapan Presiden No 615/M/1957, tanggal 5 Januari Adapun pelantikan Ali Hasymi sebagai Gubernur Aceh dilaksanakan pada tanggal 27 Januari Menyikapi dinamika yang terjadi di Aceh, khususnya mengenai penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh. Sekaligus dalam rangka untuk menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, tidak lama berselang lahir Undang-Undang tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang berlaku secara nasional, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. 149 Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara. 150 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal Lihat juga dalam Ketetapan Presiden No 615/M/1957.

14 92 Adapun karakteristik penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yaitu: 151 a. Otonomi yang diberikan bersifat otonomi riil. Artinya, banyak sedikitnya fungsi atau urusan yang diserahkan kepada daerah otonom didasarkan pada kepentingan dan kemampuan daerah bersangkutan. b. Pembagian daerah otonom yaitu Daerah Tingkat I setingkat Provinsi termasuk Kotapraja Jakarta Raya, Daerah Tingkat II setingkat Kabupaten termasuk Kotapraja, dan Daerah Tingkat III. c. Negara dapat melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan oleh Pemerintahan Daerah baik secara preventif maupun represif. Berdasarkan uraian mengenai karakteristik penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang termaktub di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dapat ditelaah bahwa adanya tindakan hukum agar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahannya dapat menciptakan kondisi yang harmonis, sekaligus mereduksi berbagai konflik yang terjadi di Indonesia, khususnya di Aceh. 6. Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 tentang Penetapan Daerah Swatantra Tingkat I Aceh Sebagai Daerah Istimewa Aceh. 151 Sudono Syueb, Op.Cit, hal Lihat juga dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Op.Cit, hal

15 93 Pemerintah Republik Indonesia kembali mengakomodir aspirasi dari rakyat Aceh untuk mencapai kata sepakat mengenai pemulihan keamanan, dengan mengutus suatu missi di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri I (Mr Hardi). Missi ini dikenal dengan Missi Hardi, pada tanggal 26 Mei 1959 menghasilkan suatu Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 tentang Penetapan Daerah Swatantra Tingkat I Aceh Sebagai Daerah Istimewa Aceh, dengan otonomi yang seluas-luasnya terutama dalam bidang: 152 Keagamaan, Peradatan, Pendidikan. Lahirnya Misi Hardi tersebut merupakan aspirasi-aspirasi yang selama ini telah dikemukakan oleh rakyat Aceh, khususnya terkait dalam bidang keagamaan, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Tgk M. Daud Beureueh kepada Soekarno (Selaku Presiden Republik Indonesia), pada saat kunjungannya di Aceh. Realitanya Pemerintah Republik Indonesia masih terlihat setengah hati dalam mengakomodir aspirasi dari rakyat Aceh. Hal ini dapat ditelaah, bahwa paska lahirnya Misi Hardi Pemerintah Republik Indonesia tidak serta merta merevisi Peraturan Perundang-undangan mengenai Aceh, dan juga tidak melahirkan Undang-Undang baru yang bersifat mengakomodir Misi Hardi 152 Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 tentang Penetapan Daerah Swatantra Tingkat I Aceh Sebagai Daerah Istimewa Aceh, pada Point a. Lihat juga dalam Hardi, Op.Cit, hal Lihat juga dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal Lihat juga dalam M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 175.

16 94 tersebut. Sehingga dalam perkembangan di Aceh, konflik vertikal masih laten terjadi di Aceh. 7. Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dalam konteks penyelenggaraan Pemerintahan Daerah secara nasional, telah mengalami berbagai dinamika, khususnya dalam bentuk peraturan Perundang-undangan, diantaranya: a. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. 153 b. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, masih menganut unsur-unsur yang terkandung di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan Daerah. Oleh karenanya Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan Daerah masih menganut asas otonomi seluas-luasnya, menganut sistem rumah tangga riil/nyata, dan susunan daerah otonomi terdiri atas 3 (tiga) tingkatan yaitu Dati I, Dati II, Dati III. Dengan catatan daerah swapraja sudah tidak dianut lagi. Juanda, Op.Cit, hal Lihat juga dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Op.Cit, hal Sudono Syueb mencatat bahwa pada Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, telah direduksinya kekuasaan DPRD karena kekuasan DPRD diatur sangat minim. Kekuasaan DPRD hanya sebatas pada pembuatan Peraturan Daerah dan mencalonkan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sudono Syueb, Op.Cit, hal Patut untuk ditelaah bahwa lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan Daerah, dilatar belakangi karena adanya gejolak politik yang terjadi di tanah air.

17 95 c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. 155 Bahwa pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terkenal dengan peristiwa G.30.S.PKI, yang berujung pada runtuhnya kekuasaan rezim Orde Lama setelah dilengserkan oleh MPRS akibat Pidato Pertanggungjawaban Presiden Soekarno ditolak MPRS. Selanjutnya lahirlah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Pada awal masa kekuasaan (Presiden Soeharto), salah satu kebijakan yang diterbitkan adalah mencabut Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang didasari atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 50. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, tidak lagi menggunakan prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya, tetapi diubah menjadi prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah, yang dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi bukan sekedar pelengkap terhadap asas desentralisasi, tetapi sama pentingnya dalam peneyelenggaraan Pemerintahan di daerah. Juanda, Op.Cit, hal Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, tidak dapat dipisahkan dari gejolak politik yang terjadi di tanah air. Diantaranya pada tanggal 21 Mei 1998 mengambil keputusan untuk mundur dari jabatan Presiden, hal ini dilandasi dengan keadaan politik di Indonesia yang sedemikian genting, dikarenakan ada beberapa menteri membuat pernyataan tidak bersedia bergabung dengan kabinet reformasi yang dirancang oleh Presiden Soeharto. Serta adanya peningkatan instabilitas keamanan dalam negeri, yang dipicu oleh maraknya aksi demo yang menuntut reformasi. Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 64. Keberlakuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan upaya terus menerus untuk menata sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia yang sebelumnya masih mengalami kekurangan, kelemahan, dan menghambat demokratisasi di Daerah. Oleh sebab itu, di dalam Undang-Undang ini terdapat beberapa perbaikan, antara lain: menguatnya peran dan fungsi DPRD, termasuk adanya pertanggung jawaban Kepala Daerah terhadap DPRD dan dihilangkannya beberapa ketentuan-ketentuan yang memandulkan prinsip demokrasi di Daerah. Sehingga, dengan semangat proporsionalitas yang dilandasi dengan semangat keseimbangan, kesetaraan dan kemitraan setidaknya secara teoretik akan membuka peluang terwujudnya otonomi daerah sekaligus memperkuat pelaksanaan desentralisasi, demokrasi dan pembagian kekuasaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sejahtera, adil, dan teratur. Juanda, Op.Cit, hal. 192 dan 196. Patut juga untuk ditelaah bahwa Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, juga didasari pada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat politik hukum, diantaranya: a. TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. b. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. c. TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pemgaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

18 96 Patut untuk ditelaah bahwa dinamika peraturan Perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah tersebut lahir dalam periode kembalinya Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia. Hal ini tentunya tidak dapat dipisahkan dari berbagai gejolak politik yang terjadi di tanah air, sehingga di dalam penyelenggaraan Pemerintahannya turut mempengaruhi penyelenggaraan Pemerintahan di daerah. Dalam konteks penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, pada tanggal 4 Oktober 1999 lahir Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Lahirnya Undang-Undang ini, pada dasarnya untuk mengakomodir hal-hal yang telah disepakati pada Misi Hardi, baik mengenai keagamaan, peradatan dan pendidikan. Pada periode ini Pemerintah Republik Indonesia mulai menyadari bahwa untuk menghentikan konflik vertikal yang masih terus berlangsung di Aceh, yakni dengan cara mengakomodir aspirasi-aspirasi yang berkembang luas dalam rakyat Aceh. Oleh karenannya, Undang-Undang ini diharapkan dapat diterima oleh segenap lapisan rakyat Aceh. Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, lebih menekankan mengenai

19 97 keistimewaan 156 Aceh. Adapun keitimewaan Aceh berdasarkan Undang- Undang ini yaitu: 157 a. Penyelenggaraan kehidupan beragama. b. Penyelenggaraan kehidupan adat. c. Penyelenggaraan pendidikan. d. Peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Patut untuk ditelaah bahwa kewenangan Aceh yang bersifat istimewa, pada prinsipnya telah disepakati oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Missi Hardi, akan tetapi baru dapat direalisasikan sekitar 40 (empat puluh) tahun kemudian melalui Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Hal ini sebenarnya dapat menentukan perkembangan politik hukum di Aceh, dan akan berbeda hasilnya jika dapat direalisasikan lebih awal. Pada sisi lain, adanya metamorfosa Peraturan Perundang-undangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Aceh, tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Pemerintahan Daerah dalam konteks nasional, yang mana 156 Keistimewaan merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang diberikan kepada Daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan. Pasal 3 (1) Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. 157 Pasal 3 (2) Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

20 98 hal ini merupakan output dari gejolak politik dalam melahirkan tuntutan reformasi yang berlangsung pada periode Tahun Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Perjalanan penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dipandang masih kurang memberikan kehidupan di dalam keadilan, atau keadilan di dalam kehidupan. Dalam perkembangannya kondisi tersebut masih belum dapat mengakhiri konflik vertikal di Aceh sehingga pada tanggal 9 Agustus 2001 lahir Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, hal ini berarti Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 lahir setelah adanya amandemen ke-ii Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan demikian Undang-Undang ini merupakan peraturan organik (Organieke Verordening) untuk Pasal 18B (1) 158 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Pasal 18B (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa: Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang. Menarik untuk ditelaah, bahwa jauh sebelum adanya amandemen ke-ii Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya mengenai rumusan Pasal 18B yang berkaitan dengan suatu Pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Telah lebih dahulu lahir daerah-daerah otonom yang bersifat istimewa dan khusus. Sebagaimana daerah otonom Yogyakarta, yang bersifat istimewa melalui

21 99 Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada umumnya untuk menguatkan perihal keistimewaan bagi Provinsi Aceh yang ada pada Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, tapi disisi lain, pada Undang- Undang No. 18 Tahun 2001 menambahkan beberapa kewenangan yang dimiliki Aceh, diantaranya: a. Pengaturan dana perimbangan, pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Daerah, kecuali ketentuan mengenai Bagi Hasil antara Pusat dan Aceh. Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Pasal 4 (3). Seperti Pajak penghasilan orang pribadi = 20% (Daerah lain = 0), Hasil Pertambangan Minyak Bumi = 70% (Daerah lain = 15%) selama 8 tahun, sesudahnya 50%, Hasil Pertambangan Gas Alam = 70% (Daerah lain = 30%) selama 8 tahun, sesudahnya 50%. Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, jo Undang- Undang No. 9 Tahun 1955 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya di Aceh telah lebih dulu lahir Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang ini lahir pada tanggal 4 Oktober 1999.

22 100 b. Pembentukan Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe sebagai penyelenggara adat, budaya dan pemersatu masyarakat (hanya sebagai simbol, bukan lembaga politik dan Pemerintahan). 159 c. Penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang terdiri atas anggota KPU dan anggota masyarakat. 160 d. Pengangkatan Kepala Kepolisian Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan persetujuan Gubernur. 161 e. Peradilan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai bagian dari sistem peradilan nasional oleh Mahkamah Syar iyah, diberlakukan bagi pemeluk agama Islam. 162 Menarik untuk ditelaah bahwa dalam rangka penyelenggaran Pemerintahan Daerah pada konteks nasional, lahir Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan hak yang sangat besar kepada daerah untuk mengurus rumah tangga dan Pemerintahan Daerah sesuai prakarsa 159 Pasal 10 Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. 160 Pasal 13 (2) Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. 161 Pasal 26 (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. 162 Pasal 25 Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

23 101 sendiri guna mewujudkan kesejahteraan rakyat daerah bersangkutan. Adapun prinsip otonomi daerahnya yaitu otonomi daerah secara luas dan nyata, dengan demikian diharapkan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dapat berlangsung sesuai prinsip demokrasi, baik dalam pemilihan Kepala Daerah dan wakil rakyat di daerah Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk meminimalisir konflik vertikal yang berkesinambungan, baik melalui pendekatan militer, maupun pendekatan Peraturan Perundang-undangan, serta pada era Reformasi tidak luput juga dilakukannya perundingan-perundingan diantara para pihak. Puncaknya pada tanggal 15 Agustus 2005 kedua belah pihak menyepakati lahirnya Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) antara Pemerintah 163 Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 94. Adapun perihal yang paling esensi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, diantaranya pelaksanaan proses demokrasi, yang mengamanatkan bahwa Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyatnya (pilkada langsung). Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 25 (e) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Patut untuk ditelaah bahwa esensinya mengenai pelaksanaan pilkada langsung telah lebih dahulu diatur dan diamanatkan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Khususnya pada Pasal 14 (3) point a, yang berbunyi pemilihan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat pemilih serentak pada hari yang sama di seluruh wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hal ini dapat ditelaah bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Aceh telah menjadi lokomotif dalam perkembangan politik hukum, khususnya bagi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam konteks nasional.

24 102 Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Penandatanganan MoU Helsinki dalam perkembangannya menjadi kilas baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh, serta kehidupan masyarakat menuju keadaan yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Dalam hal ini para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga Pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) tersebut, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, menyepakati hal-hal yang diantaranya Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret Adanya amanat dari Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) untuk melahirkan Undang-Undang yang baru tentang Aceh, hal ini direspon Pemerintah Republik Indonesia dengan lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada tanggal 1 Agustus Aspirasi yang dinamis dari rakyat Aceh bukan saja dalam kehidupan adat, budaya, sosial, dan politik mengadopsi keistimewaan Aceh, melainkan juga memberikan jaminan 164 Point Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Amanat tersebut semestinya sudah direalisasikan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006, tetapi amanat tersebut baru dapat direalisasikan pada tanggal 1 Agustus 2006, dengan lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

25 103 kepastian hukum dalam segala urusan karena dasar kehidupan rakyat Aceh yang religius telah membentuk sikap, daya juang yang tinggi, dan budaya Islam yang kuat. 165 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada prinsipnya mengatur kewenangan yang bersifat khusus kepada Pemerintah Aceh. Adapun kewenangan daerah dalam melaksanakan otonomi khusus yaitu menyelenggarakan wewenang yang masih menjadi kewenangan dari Pemerintah Republik Indonesia. 166 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, telah menjadi esensi dalam menyelenggarakan Pemerintahan Aceh yang lebih baru, 165 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada Penjelasan Umum. 166 Husni Jalil dalam M. Solly Lubis, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010, hal Adapun kewenangan yang berifat khusus dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sesuai dengan Pasal 7, yaitu: (1) Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah. (2) kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan Pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. (3) dalam menyelenggarakan kewenangan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat: a. Melaksanakan sendiri. b. Menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota. c. Melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dan/atau instansi Pemerintah. d. Menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan gampong berdasarkan tugas pembantuan.

26 104 sebagaimana diutarakan Ahmad Farhan Hamid 167 bahwa Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah jembatan emas menuju Aceh baru, yang bukan saja damai, tapi juga berkeadilan dan makmur sejahtera, selanjutnya adalah keikhlasan dan komitmen para pihak untuk mengimplementasikannya. Lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, ternyata juga berimplikasi bagi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam konteks nasional. Hal ini dapat ditelaah bahwa tidak lama berselang lahir juga Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah pada Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan, Pemerintah Aceh memiliki beberapa kewenangan yang bersifat istimewa dan khusus, diantaranya: a. Penyelenggara pemilihan, sesuai dengan amanat Pasal 56 (1), yang berbunyi KIP Aceh menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA, DPRK, dan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. b. Partai politik lokal, sesuai dengan amanat Pasal 75 (1), yang berbunyi Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal. c. Lembaga wali nanggroe, sesuai dengan amanat Pasal 96 (1), yang berbunyi Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembagalembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. d. Syariat Islam, sesuai dengan amanat Pasal 126 (1), yang berbunyi setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam. e. Bendera dan lambang Aceh, sesuai dengan amanat Pasal 246 (2), yang berbunyi selain Bendera Merah Putih, Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan. 167 Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 476.

27 105 dasarnya untuk menyempurnakan regulasi pemilukada 168 secara langsung. 169 Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, pada awalnya dipersiapkan untuk merespons putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007 tanggal 23 Juli Terminologi pemilukada, pada awalnya adalah pilkada. Pemilukada dimaksudkan sebagai suatu bentuk rezim dari pemilu, yang mana hal ini ditegaskan oleh Undang-undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum jo Undang-undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, yang tertera pada Pasal 1 (4), yang berbunyi pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Adapun pertimbangan dilahirkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, diantaranya: a. Bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah terjadi perubahan, terutama setelah Putusan Mahkamah Konstitusi tentang calon perseorangan (independen). b. Bahwa dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum diatur mengenai kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya. c. Bahwa dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum diatur mengenai pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang meninggal dunia, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya. Pada huruf (c), (d), (e) pada konsiderans Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. 170 Putusan MK No. 5/PUU-V/2007 menyatakan adanya pertentangan hukum antara Pasal 56, Pasal 59, dan Pasal 60 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dengan Pasal 18 (4), Pasal 27 (1), Pasal 28D (1 dan 3), serta Pasal 28I (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, proses pencalonan Kepala Daerah lewat jalur perseorangan (independen) sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dimana Pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin hak-hak konstitusional politik setiap warga negara dalam berpolitik. Patut untuk ditelah bahwa mengenai calon independen, pada dasarnya telah lebih dahulu diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sebagaimana yang ditegaskan pada Pasal 67 (1), yang berbunyi pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, dapat diajukan oleh: (a) partai politik atau gabungan partai politik, (b) partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal, (c) gabungan partai politik dan partai politik lokal, serta (d) perseorangan/independen. Berdasarkan ketentuan tersebut, secara normatif dalam pemilukada Aceh mengenal adanya calon Kepala Daerah yang maju dari calon independen. Artinya

28 106 B. Interaksi Antara Republik Indonesia dan Aceh Pasca Proklamasi, Belanda melancarkan 2 (dua) kali Agresi Militer terhadap Republik Indonesia. 171 Agresi Militer Belanda I dilakukan pada tanggal 21 Juli 1947, diiringi dengan pembentukan negara boneka oleh Van Mook di wilayah Indonesia Timur. Agresi Militer Belanda II terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, diiringi pembentukan negara boneka oleh Van Mook dikawasan Pulau Jawa dan Sumatera sebagai basis terakhir Republik Indonesia. Selama revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dapat diduduki oleh Belanda sehingga Aceh disebut sebagai Daerah Modal bagi perjuangan bangsa Indonesia. Dalam era mempertahankan kemerdekaan ini peran para ulama sangat menentukan karena melalui fatwa dan bimbingan para ulama ini rakyat rela bahwa setiap rakyat Aceh dapat mengikuti proses pesta demokrasi lokal atau pemilukada, walaupun tanpa adanya dukungan legal-formal dari partai politik, baik dari partai politik nasional, maupun dari partai politik lokal. Sekali lagi, hal ini dapat ditelaah bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Aceh telah menjadi lokomotif dalam perkembangan politik hukum, khususnya bagi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam konteks nasional. 171 Belanda memakai taktik perang kolonial yang licik dengan cara lama mempertentangkan satu suku dengan suku lain, sekaligus memecah belah persatuan dengan mendirikan negara-negara boneka yang menjamur. Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam, Op.Cit, hal Dalam konsolidasi politiknya setelah Pemerintahan Republik Indonesia dan TNI (Tentara Nasional Indonesia) hijrah meninggalkan kantong-kantong gerilya, mulailah Van Mook menggerayangi daerah tersebut dengan mengadakan kegiatan politik berupa lahirnya konferensikonferensi di daerah yang dikosongkan TNI itu. Sasaran antaranya untuk membentuk Negara boneka ala Van Mook dan pada gilirannya bermuara kepada pembentukan suatu Negara Indonesia Serikat (NIS). Sasaran akhirnya jelas mengeliminir Republik Indonesia dari muka bumi. Guna merealisir citacita NIS ala Van Mook, mereka mengadakan konferensi antara negara boneka, yang kemudian dikenal bernama BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg). BFO inilah nantinya menjelma jadi suatu Negara Federal (selanjutnya dikenal sebagai Republik Indonesia Serikat) untuk menyaingi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tgk A.K. Jakobi, Aceh Daerah, Op.Cit, hal. 216.

29 107 berjuang dan berkorban mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, pada Penjelasan Umum. Sebagaimana yang diutarakan oleh Paul Van T Veer, bahwa Aceh adalah satu-satunya bagian dari hindia belanda yang pada bulan-bulan sebelum Jepang mendarat, telah melakukan pemberontakan teratur terhadap kekuasaan Belanda. Perang Aceh tidaklah berakhir pada Tahun 1913 atau Tahun 1914, dari Tahun 1914 terentang benang merah sampai Tahun 1942, alur pembunuhan dan pembantaian, perlawanan di bawah tanah dan yang terbuka, yang sejak Tahun 1925 sampai Tahun 1927 dan pada Tahun 1933 mengakibatkan pemberontakan-pemberontakan yang luas. Dengan demikian menganggap jangka waktu dari Tahun 1873 sampai Tahun 1942 sebagai satu perang besar Aceh, atau sebagai kesinambungan empat atau lima perang Aceh yang berbeda-beda sifatnya. Paul Van T Veer, Perang Aceh Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Grafiti Press, Jakarta, 1985, hal Ada berbagai pandangan mengenai perang Aceh melawan Belanda, yang pada intinya menyatakan bahwa Aceh tidak pernah mengaku dan menyerah kepada Belanda, argumentasi tersebut diantaranya: a. Perang Aceh melawan Belanda berlangsung selama 30 (tiga puluh) Tahun, dari Tahun Tahun 1903 (dengan menyerahnya sultan Aceh). b. Perang Aceh melawan Belanda berlangsung selama 40 (empat puluh) Tahun, dari Tahun 1873-Tahun 1913 (dengan tertangkapnya dan tewasnya keturunan Tgk Tjik di Tiro), bahwa sebelum sultan Aceh menyerah untuk menebus keluarganya yang ditangkap Belanda, terlebih dahulu mengirim surat kepada Panglima Polim dan Ulama di Tiro, dengan menyerahkan pimpinan perjuangan tertinggi. c. Perang Aceh melawan Belanda tidak pernah habis dan Aceh belum pernah menyerah kepada Belanda, sampai Belanda keluar dari bumi Aceh pada Tahun Hal ini dibuktikan, bahwa selalu saja ada perlawanan dan pertempuran di Aceh dengan Belanda terus menerus sesudah Tahun 1913 itu, dengan peristiwa Cut Ali di Aceh Selatan, kemudian menyusul peristiwa Lhong, Raja Tampok dan seterusnya. Ismail Suny, Bungai Rampai Tentang Aceh, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1980, hal. 9. Lihat juga pandangan Teuku Ibrahim Alfian mengenai perang Aceh melawan Belanda, bahwa perang melawan Belanda itu dapat berlangsung sedemikian lama, oleh karena perang itu dijiwai oleh ideologi perang sabil. Dalam ideologi perang sabil, mereka yang gugur dalam melawan kaphe adalah syahid dan akan masuk surga, serta diampunkan segala dosanya, dan di dalam surga dia akan memperoleh segala kenikmatan yang tiada taranya. Oleh karenanya, perang Aceh melawan Belanda adalah perang yang terlama dan terdahsyat dalam sejarah kolonial. Dalam hal ini tidak kurang dari orang terbunuh di pihak Belanda, dan tidak kurang dari orang korban tewas di pihak Aceh. Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Banda Aceh, 1999, hal. 235.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH SEBAGAI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

SEJARAH PERKEMBANGAN UUD

SEJARAH PERKEMBANGAN UUD SEJARAH PERKEMBANGAN UUD [18 Agustus 1945 dan Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959] Dr. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2017 Pokok Bahasan

Lebih terperinci

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.59, 2008 OTONOMI. Pemerintah. Pemilihan. Kepala Daerah. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

QANUN ACEH NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG

QANUN ACEH NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG QANUN ACEH NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN KEUANGAN PIMPINAN DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia terdapat empat provinsi yang diberikan dan diakui statusnya sebagai daerah otonomi khusus atau keistimewaan yang berbeda dengan Provinsi lainnya,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di KETERANGAN PENGUSUL ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan

I. PENDAHULUAN. pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah dalam proses perjalanan kehidupan bernegara diarahkan pada upaya mewujudkan tujuan dari dibentuknya suatu negara. Di Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

TUGAS KELOMPOK REPUBLIK INDONESIA SERIKAT ( )

TUGAS KELOMPOK REPUBLIK INDONESIA SERIKAT ( ) TUGAS KELOMPOK REPUBLIK INDONESIA SERIKAT (1949-1950) DOSEN PEMBIMBING : ARI WIBOWO,M.Pd Disusun Oleh : Rizma Alifatin (176) Kurnia Widyastanti (189) Riana Asti F (213) M. Nurul Saeful (201) Kelas : A5-14

Lebih terperinci

1. Menjelaskaan kekuasaan dalam pelaksanaan konsitusi.

1. Menjelaskaan kekuasaan dalam pelaksanaan konsitusi. 1. Menjelaskaan kekuasaan dalam pelaksanaan konsitusi. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya didasari oleh keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara demokratis. Terdapat alasan lain

Lebih terperinci

PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA

PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA Modul ke: Fakultas FAKULTAS TEKNIK PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA ERA KEMERDEKAAN BAHAN TAYANG MODUL 3B SEMESTER GASAL 2016 RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH. Program Studi Teknik

Lebih terperinci

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat?

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat? LAMPIRAN Pedoman Wawancara: 1. Bagaimana kinerja aparat desa, terutama dari Sekretaris desa dan juga kaur yang berada dibawah pemerintahan bapak? 2. Bagaimana Hubungan kepala desa dengan BPD di Desa Pohan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), Negara Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai

Lebih terperinci

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan)

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan) JURNAL MAJELIS MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan) Oleh: Dr. BRA. Mooryati Sudibyo Wakil Ketua MPR RI n Vol. 1 No.1. Agustus 2009 Pengantar Tepat pada ulang

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN, KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KABUPATEN ATAU KOTA DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 1969 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH SEBAGAIMANA DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Pengertian Sistem Ketatanegaraan Istilah sistem ketatanegaraan terdiri dari kata sistem dan ketatanegaraan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik.

I. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik. Rakyat, hakikatnya memiliki kekuasaan tertinggi dengan pemerintahan dari, oleh, dan untuk

Lebih terperinci

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP;

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP; UUDS 1950 A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Sementara 1950 (UUDS) Negara Republik Indonesia Serikat yang berdiri pada 27 Desember 1949 dengan adanya Konferensi Meja Bundar, tidak dapat bertahan lama di

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH

KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH OMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH KEPUTUSAN KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH NOMOR 16/Kpts/KIP Aceh/TAHUN 2017 TENTANG PENDAFTARAN, VERIFIKASI, DAN PENETAPAN PARTAI POLITIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.245, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Pemilihan. Gubernur. Bupati. Walikota. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588) PERATURAN

Lebih terperinci

SMP. 1. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara 2. Susunan ketatanegaraan suatu negara 3. Pembagian & pembatasan tugas ketatanegaraan

SMP. 1. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara 2. Susunan ketatanegaraan suatu negara 3. Pembagian & pembatasan tugas ketatanegaraan JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) KONSTITUSI YANG PERNAH BERLAKU A. Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia Konstitusi (Constitution) diartikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 36 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 1969 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DAN DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.23, 2015 PEMERINTAHAN DAERAH. Pemilihan. Gubernur. Bupati. Walikota. Penetapan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB II BIRO KEUANGAN SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA. pemerintahan yang bernama Gouverment van Sumatera, yang meliputi

BAB II BIRO KEUANGAN SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA. pemerintahan yang bernama Gouverment van Sumatera, yang meliputi BAB II BIRO KEUANGAN SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA A. Sejarah Ringkas Di zaman Pemerintahan Belanda, Sumatera Utara merupakan suatu pemerintahan yang bernama Gouverment van Sumatera, yang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 1969 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 1969 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAN

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA SERIKAT ( )

REPUBLIK INDONESIA SERIKAT ( ) REPUBLIK INDONESIA SERIKAT (1949-1950) Disusun Oleh : Rizma Alifatin (14144600176) Kurnia Widyastanti (14144600189) Riana Asti F (14144600213) M. Nurul Saeful (14144600201) Sejarah Singkat RIS Pada tanggal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia,

Presiden Republik Indonesia, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 1969 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aceh dengan fungsi merumuskan kebijakan (legislasi) Aceh, mengalokasikan

BAB I PENDAHULUAN. Aceh dengan fungsi merumuskan kebijakan (legislasi) Aceh, mengalokasikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) merupakan salah satu unsur penyelenggara Pemerintahan Aceh yang bertindak sebagai lembaga legislatif di Aceh dengan fungsi merumuskan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH A. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 1. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN MERANTI

BUPATI KEPULAUAN MERANTI BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 12 TAHUN 20112011 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

APA ITU DAERAH OTONOM?

APA ITU DAERAH OTONOM? APA OTONOMI DAERAH? OTONOMI DAERAH ADALAH HAK DAN KEWAJIBAN DAERAH OTONOM UNTUK MENGATUR DAN MENGURUS SENDIRI URUSAN PEMERINTAHAN DAN KEPENTINGAN MASYARAKATNYA SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Kuliah ke 13) suranto@uny.ac.id 1 A. UUD adalah Hukum Dasar Tertulis Hukum dasar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) Hukum dasar tertulis yaitu UUD, dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945 BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD 1945 A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Dalam UUD 1945, pengaturan tentang pemerintah daerah diatur dalam Bab VI pasal

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PANITIA PENGAWAS PEMILIHAN ACEH, PANITIA PENGAWAS PEMILIHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PEMILIHAN, PENGESAHAN PENGANGKATAN, DAN PEMBERHENTIAN KEPALA

Lebih terperinci

Dari pernyataan di atas, pernyataan yang merupakan hasil dari siding PPKI adalah.

Dari pernyataan di atas, pernyataan yang merupakan hasil dari siding PPKI adalah. Nama kelompok : Achmad Rafli Achmad Tegar Alfian Pratama Lulu Fajar F Nurul Vita C Kelas : XII TP2 1. Perhatikan penyataan-pernyataan berikut. 1. Mengesahkan dan menetapkan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi

Lebih terperinci

QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DAN PARTAI POLITIK LOKAL

QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DAN PARTAI POLITIK LOKAL QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DAN PARTAI POLITIK LOKAL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Menimbang

Lebih terperinci

PERISTIWA YANG TERJADI PADA TAHUN

PERISTIWA YANG TERJADI PADA TAHUN PERISTIWA YANG TERJADI PADA TAHUN 1945-1949 K E L O M P O K 1 A Z I Z A T U L M A R A T I ( 1 4 1 4 4 6 0 0 2 0 0 ) D E V I A N A S E T Y A N I N G S I H ( 1 4 1 4 4 6 0 0 2 1 2 ) N U R U L F I T R I A

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi PEMERINTAHAN DAERAH Harsanto Nursadi Beberapa Ketentuan Umum Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

DINAMIKA PEMBENTUKAN REGULASI TURUNAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH DYNAMICS OF FORMATION OF DERIVATIVES REGULATION THE LAW ON GOVERNMENT OF ACEH

DINAMIKA PEMBENTUKAN REGULASI TURUNAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH DYNAMICS OF FORMATION OF DERIVATIVES REGULATION THE LAW ON GOVERNMENT OF ACEH Vol. 18, No. 3, (Desember, 2016), pp. 459-458. DINAMIKA PEMBENTUKAN REGULASI TURUNAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH DYNAMICS OF FORMATION OF DERIVATIVES REGULATION THE LAW ON GOVERNMENT OF ACEH Fakultas

Lebih terperinci

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH Copyright (C) 2000 BPHN UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH *14124 UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa Indonesia setelah lama berada di bawah penjajahan bangsa asing.

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa Indonesia setelah lama berada di bawah penjajahan bangsa asing. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 yang diucapkan oleh Soekarno Hatta atas nama bangsa Indonesia merupakan tonggak sejarah berdirinya

Lebih terperinci

Argumentasi/ Rasionalisasi

Argumentasi/ Rasionalisasi No Draft DPRD NAD RUU PA (PEMERINTAH) RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2006 Argumentasi/ Rasionalisasi TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2.1. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi 2.1.1. Pengertian Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PEMILIHAN, PENGESAHAN PENGANGKATAN, DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH SEBAGAI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERISTIWA YANG TERJADI PADA TAHUN A ZIZATUL MAR ATI ( )

PERISTIWA YANG TERJADI PADA TAHUN A ZIZATUL MAR ATI ( ) PERISTIWA YANG TERJADI PADA TAHUN 1945-1949 KELOMPOK 1 A ZIZATUL MAR ATI (14144600200) DEVIANA SETYANINGSIH ( 1 4144600212) NURUL FITRIA ( 1 4144600175) A JI SARASWANTO ( 14144600 ) Kembalinya Belanda

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga

BAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga masyarakat suatu negara untuk membentuk suatu negara yang dapat menjamin adanya persatuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan

Lebih terperinci

PROGRAM PERSIAPAN SBMPTN BIMBINGAN ALUMNI UI

PROGRAM PERSIAPAN SBMPTN BIMBINGAN ALUMNI UI www.bimbinganalumniui.com 1. Setelah kabinet Amir Syarifuddin jatuh, atas persetujuan presiden KNIP memilih Hatta sebagai Perdana Menteri. Jatuhnya Amir Syarifuddin membuat kelompok kiri kehilangan basis

Lebih terperinci

QANUN KOTA LANGSA NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG TUHA PEUET GAMPONG DALAM KOTA LANGSA DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATA ALA WALIKOTA LANGSA,

QANUN KOTA LANGSA NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG TUHA PEUET GAMPONG DALAM KOTA LANGSA DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATA ALA WALIKOTA LANGSA, QANUN KOTA LANGSA NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG TUHA PEUET GAMPONG DALAM KOTA LANGSA DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATA ALA WALIKOTA LANGSA, Menimbang : a. bahwa Tuha Peuet Gampong yang merupakan lembaga permusyawaratan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at MPR DAN PERUBAHAN STRUKTUR KETATANEGARAAN Salah satu perubahan mendasar dalam UUD 1945 adalah perubahan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

QANUN ACEH NOMOR 3 TAHUN 2008

QANUN ACEH NOMOR 3 TAHUN 2008 QANUN ACEH NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK LOKAL PESERTA PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN/KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM Menimbang: GUBERNUR

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Ulangan Akhir Semester (UAS) Semester 1 Tahun Pelajaran

Ulangan Akhir Semester (UAS) Semester 1 Tahun Pelajaran Ulangan Akhir Semester (UAS) Semester 1 Tahun Pelajaran 2016 2017 Mata Pelajaran : Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Kelas / Semester : VI (Enam) / 1 (Satu) Hari / Tanggal :... Waktu : 90 menit A. Pilihlah

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN I. UMUM 1. Dasar Pemikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

I. U M U M PASAL DEMI PASAL II.

I. U M U M PASAL DEMI PASAL II. PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2006

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2006 PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP Menimbang:

Lebih terperinci

QANUN ACEH NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT ACEH

QANUN ACEH NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT ACEH -1- QANUN ACEH NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KOTA SUBULUSSALAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KOTA SUBULUSSALAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KOTA SUBULUSSALAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara Indonesia salah satu institusi yang menunjukkan pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung adalah DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN TENTANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008. TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH I. UMUM Sebagaimana

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR/WAKIL GUBERNUR, BUPATI/WAKIL BUPATI

Lebih terperinci

-1- QANUN ACEH NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR, BUPATI DAN WAKIL BUPATI, SERTA WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA

-1- QANUN ACEH NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR, BUPATI DAN WAKIL BUPATI, SERTA WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA -1- QANUN ACEH NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR, BUPATI DAN WAKIL BUPATI, SERTA WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH

Lebih terperinci

Reformasi Kelembagaan MPR Pasca Amandemen UUD 1945

Reformasi Kelembagaan MPR Pasca Amandemen UUD 1945 Reformasi Kelembagaan MPR Pasca Amandemen UUD 1945 Oleh: Jamal Wiwoho Disampaikan dalam Acara Lokakarya dengan tema Penyelenggaraan Sidang Tahunan MPR : Evaluasi Terhadap Akuntablitas Publik Kinerja Lembaga-Lembaga

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG top PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH I. UMUM 1. Dasar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN

Lebih terperinci