IDENTIFIKASI DAERAH JELAJAH ORANGUTAN SUMATERA MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IDENTIFIKASI DAERAH JELAJAH ORANGUTAN SUMATERA MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS"

Transkripsi

1 IDENTIFIKASI DAERAH JELAJAH ORANGUTAN SUMATERA MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DESLI TRIMAN ZENDRATO DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009

2 IDENTIFIKASI DAERAH JELAJAH ORANGUTAN SUMATERA MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI Oleh: DESLI TRIMAN ZENDRATO / MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009

3 IDENTIFIKASI DAERAH JELAJAH ORANGUTAN SUMATERA MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI Oleh: DESLI TRIMAN ZENDRATO / MANAJEMEN HUTAN Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009

4 LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian : Identifikasi Luas Daerah Jelajah Orangutan Sumatera Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis Nama : Desli Triman Zendrato NIM : Departemen : Kehutanan Program Studi : Manajemen Hutan Disetujui Oleh Komisi Pembimbing, Pindi Patana, S.Hut, M.Sc Ketua Bejo Slamet, S.Hut, M.Si Anggota Mengetahui, Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S. Ketua Departemen Kehutanan Tanggal lulus: April 2009

5 ABSTRAK DESLI TRIMAN ZENDRATO. Identifkasi Daerah Jelajah Orangutan Sumatera Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis. Dibawah Bimbingan Akademis PINDI PATANA dan BEJO SLAMET. Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) saat ini diperkirakan hanya tersisa sekitar individu yang sebagian besar tersebar di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dan sekitar 255 diantaranya berada di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok. Dibandingkan daerah lain, informasi mengenai daerah jelajah orangutan di PPOS Bohorok sangat sedikit. Daerah jelajah orangutan betina dewasa dan jantan dewasa mungkin sulit memperkirakan daerah jelajah orangutan secara umum. Namun, informasi yang ada dapat digunakan untuk mengetahui pola pemanfaatan ruang orangutan di suatu daerah dengan mempelajari aktifitas harian orangutan. Seekor orangutan betina dewasa memiliki jelajah harian sejauh 916,4 meter/hari yang menjelajah dalam area seluas 12,4909 Ha (Metode Kernel) atau 71,549 Ha (Metode MCP). Sedangkan seekor orangutan jantan dewasa memiliki jelajah harian sejauh 651,28 meter/hari yang menjelajah dalam area seluas 46,017 Ha (Metode Kernel) atau 58,5601 Ha (Metode MCP). Daerah jelajah seekor orangutan yang sangat luas memungkinkan daerah jelajahnya saling bertautan dengan indidividu orangutan lainnya. Faktor yang mempengaruhi variasi jarak jelajah dan daerah jelajah orangutan yaitu: ketersediaan sumber makanan di hutan dan interaksi sosial. Kata Kunci: Orangutan Sumatera, aktifitas harian, jelajah harian, daerah jelajah, sumber makanan, interaksi sosial.

6 ABSTRACT DESLI TRIMAN ZENDRATO. Identification of Sumatran Orangutan Home Range Used Geographic Information System Application. Under Academic Supervision of PINDI PATANA and BEJO SLAMET. Today Sumatran Orangutans (Pongo abelii) population is estimated just left around individual that distributed largely at Gunung Leuser National Park and about 255 there found at Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok. Than the other site, the information about orangutans home range is too slightly. The adult male and female orangutans may difficult to estimated the orangutan home range commonly. However, the information can used to understand the orangutans spatial patterns used on an area by studied the orangutan daily activity. An adult female orangutan have a daily range by as far as 916,4 meter/day that covered area 12,4909 Ha (Kernel Method) or 71,549 Ha (MCP Method). Whereas, an adult male orangutan have a daily range by as far as 651,28 meter/day that covered area 46,017 (Kernel Method) or 58,5601 Ha (MCP Method). A wide home range of an orangutan enable the home range overlap with other orangutan home range. Factor that influence the variation of orangutans daily range and home range that is: availability of food resources in the forest and social interaction. Key Words: Sumatran Orangutan, daily activity, dailiy range, home range, food resources, social interaction.

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pemantang Siantar pada tanggal 6 Desember 1986 dari ayah Atieli Zendrato dan ibu Sarifati Harefa. Penulis merupakan putra ketiga dari tiga besaudara. Tahun 1998 penulis lulus dari Sekolah Dasar Swasta Sultan Agung Pematang Siantar, tahun 2001 lulus dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Swasta Santa Maria Medan, tahun 2004 lulus dari Sekolah Menengah Atas Swasta Kristen Immanuel Medan, dan pada tahun 2004 lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata Kuliah Pengantar Inventarisasi Hutan. Penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Sylva Universitas Sumatera Utara (HIMAS USU) pada tahun ajaran 2006/2007, 2007/2008 dan pada tahun ajaran 2008/2009 menjabat sebagai Sekretaris Umum. Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Balai Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) tahun 2006 dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) pada tahun 2008/2009. Pelatihan pernah mengikuti Pelatihan Standar Survey dan Inventarisasi Flora dan Fauna bagi Staf Fungsional Balai Taman Nasional Gunung Leuser, Bukit Lawang (2007); Pelatihan Perlindungan Satwa Liar, Medan (2007); dan Pekan Peduli Lingkungan Indonesia/Kongres Nasional Sylva Indonesia (PPLI/KNSI), Medan (2008).

8 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan anugerah-nya penulis dapat menyelesaiakan laporan Praktik Kerja Lapang ini sesuai pada waktu yang telah ditentukan. Penelitian ini berjudul Identifikasi Daerah Jelajah Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok). Penelitian ini menyajikan variasi daerah jelajah antara orangutan jantan dewasa dengan orangutan betina dewasa yang disertai pembahasan mengenai faktor yang mempengaruhinya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam terlaksananya PKL di Taman Nasional Gunung Leuser, diantaranya: 1. Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S. selaku Kepala Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara; 2. Pindi Patana, S.Hut, M.Sc. dan Bejo Slamet, S.Hut, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing baik dalam pelaksanaan hingga pembuatan hasil penelitian; 3. Orangtua dan Kakanda yang telah memberikan dukungan moril dan materil bagi kelancaran pelaksanaan penelitian; 4. Ir. Nurhadi Utomo selaku Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Ir. Ari Subiantoro, M.Si selaku Kepala BPTN III Stabat, Hendra

9 Wijaya, S.Hut selaku Kepala SPTN V Bohoro, dan seluruh petugas Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser; 5. Ian Singleton. Ph.D dan Nuzuar, S.Hut serta segenap staf Yayasan Ekosistem Leuser Sumatran Orangutan Conservation Programme (YEL-SOCP) yang telah memberikan bantuan dana dan bimbingan penelitian; 6. Sindrayana dan Tumino yang telah mendampingi selama pengamatan di lapang an; dan 7. Rekan-rekan angkatan 2004 dan seluruh mahasiswa Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Penulis pun menyadari, meskipun telah berusaha semaksimal mungkin, masih terdapat kekurangan maupun kesalahan dalam penulisan laporan ini. Oleh karena itu, penulis berlapang dada atas saran dan kritik yang membangun dan menyempurnakan laporan ini. Akhir kata, penulis mengharapkan laporan ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkannya. Medan, Maret 2009 Penulis

10 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii PENDAHULUN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian... 3 Hipotesa Penelitian... 3 Kerangka Pemikiran... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 6 Distribusi Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827)... 6 Klasifikasi Orangutan Sumatera... 8 Tahapan Perkembangan Orangutan Aktifitas Harian Orangutan Daerah Jelajah Orangutan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daerah Jelajah Orangutan Sistem Informasi Geografis Definisi Sistem Informasi Geografis Ekstensi Animal Movement Analyst dalam Aplikasi SIG METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Pengumpulan Data Pencarian (Searching) Orangutan Pengamatan Perilaku Harian Orangutan Analisa Data Metode Minimum Convex Polygon (MCP) Metode Kernel Home Range Tumpang Susun (Overlay) Peta KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Luas, Letak dan Iklim Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera... 33

11 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan Orangutan Karakteristik Orangutan Fokal Betina Dewasa (adult female) Jantan Dewasa (adult male) Aktifitas Harian Orangutan Fokal Makan (Feeding) Istirahat (Resting) Bergerak Pindah (Moving) Bersarang (Nesting) Sosial (Social) Jelajah Harian Orangutan Daerah Jelajah Orangutan Metode Kernel Metode Minimum Convex Polygon KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Perbandingan data penjelajahan Pemanfaatan waktu aktifitas harian fokal Jarak jelajah harian orangutan fokal Daerah jelajah orangutan jantan dan betina dewasa

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Skema berbagai pola penjelajahan orangutan Kondisi yang mempengaruhi kebutuhan untuk menjelajah Poligon MCP Poligon kernel dengan tingkat kemungkinan 50%, 75% dan 90% Poligon kernel menggunakan LSCV Fokal Minah dan bayi orangutan Chaterine Fokal Jenggot Orangutan betina dewasa Suma Variasi pemanfaatan waktu aktifitas harian fokal Pemanfaatan waktu aktifitas makan (feeding) fokal Pemanfaatan waktu aktifitas istirahat (resting) fokal Pemanfaatan waktu aktifitas gerak berpindah (moving) fokal Pemanfaatan waktu aktifitas bersarang (nesting) fokal Pemanfaatan Waktu Aktifitas Sosial Fokal Minah Jelajah harian fokal Minah dan fokal Jenggot Jalur jelajah fokal Minah selama periode pengamatan tanggal Juli Jalur jelajah gokal Jenggot selama periode pengamatan tanggal 4-11 dan Agustus Daerah jelajah fokal Minah menggunakan metode Kernel Daerah jelajah fokal Jenggot menggunakan metode Kernel Daerah jelajah fokal Jenggot dan fokal Minah dengan metode MCP... 59

14 DAFTAR LAMPIRAN 1. Dokumentasi Pegamatan Orangutan. 2. Dokumentasi Aktifitas Harian Fokal Minah. 3. Dokumentasi Aktifitas Harian Fokal Jenggot. 4. Rekapitulasi Waktu Pengamatan Aktifitas Harian Orangutan di Stasiun Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok-TNGL: Fokal Minah. 5. Rekapitulasi Waktu Pengamatan Aktifitas Harian Orangutan di Stasiun Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok-TNGL: Fokal Jenggot. 6. Koordinat Titik Sampel Fokal Minah. 7. Koordinat Titik Sampel Fokal Jenggot. 8. Contoh Lembar Identifikasi Orangutan 9. Contoh Lembar Pengisian Data

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Status orangutan Sumatera (Pongo abelii) menghadapi resiko kepunahan yang sangat cepat dibandingkan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), dimana orangutan Sumatera termasuk satwa dengan status sangat genting (critically endangered) (Singleton et al., 2006). Orangutan Sumatera merupakan jenis endemik yang ada di pulau Sumatera, dan keberadaannya terbatas di seluruh hutan dataran rendah provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara. Singleton et al. (2006) mencatat populasi orangutan Sumatera saat ini diperkirakan hanya sekitar individu (berdasarkan tampilan citra satelit tahun 2002), hidup di 13 unit kawasan terfragmentasi mulai dari utara provinsi Nangroe Aceh Darussalam hingga bagian selatan daerah Sibolga, Tarutung dan Padang Sidempuan. Sedangkan orangutan Kalimantan saat ini diperkirakan kurang dari individu, dan beberapa orang memperkirakan hanya tersisa setengahnya saja yang masih hidup alam liar (Meijard et al., 1999 dalam Johnson et al., 2004). Dengan kondisi status keberadaan orangutan saat ini terlihat jelas resiko kepunahan yang dihadapi orangutan Sumatera lebih berat dibandingkan orangutan Kalimantan. Dan tanpa mengabaikan status orangutan Kalimantan, penelitian ini hanya dibatasi pada orangutan Sumatera. Semakin menurunnya populasi orangutan Sumatera mungkin diakibatkan berbagai faktor. Meijard et al. (2001) menjelaskan orangutan ternyata memiliki persyaratan yang cukup rumit untuk dapat bertahan hidup, terutama mengenai habitat dan daerah jelajahnya yang umumnya terbatas pada ketinggian tertentu. Lebih detail dijelaskan bahwa tekanan langsung terhadap populasi orangutan,

16 yaitu perburuan dan penangkapan ilegal dan tekanan terhadap habitat orangutan. Tekanan terhadap habitat orangutan berupa kehilangan, kerusakan dan fragmentasi habitat, yang sangat mempengaruhi kehidupan dan kemampuan untuk melakukan reproduksi, yang akhirnya akan menurunkan populasi orangutan di alam. Diluar tekanan langsung tersebut, juga ada tekanan lainnya yang mengancam kehidupan orangutan, seperti konflik dan perubahan tata guna lahan, lemahnya kerangka hukum dan penegakannya, dan berbagai kelemahan kelembagaan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dari seluruh faktor yang mempengaruhi populasi orangutan di atas, yang menjadi perhatian utama penelitian ini adalah keterbatasan daerah jelajah orangutan. Luas daerah jelajah orangutan dapat diketahui dengan menggunakan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan aplikasi sistem informasi geografis (SIG). Sistem informasi geografis merupakan suatu teknologi baru yang saat ini menjadi alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan kembali kondisikondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial (Prahasta, 2005). Untuk mengidentifikasi luas daerah jelajah orangutan Sumatera (Pongo abelii) digunakan program Animal Movement Analysis ArcView Extension (AMAE) yang dapat diintegrasikan di dalam aplikasi sistem informasi geografis ArcView. Program AMAE memiliki banyak kegunaan untuk menganalisa fenomena titik dan juga fungsi-fungsi yang sangat berguna untuk berbagai tipe penggunaan sistem informasi geografis lainnya (Hooge dan Eichenlaub, 1997).

17 Tujuan Penelitian 1. Memperoleh informasi luas daerah jelajah Orangutan Sumatera dengan menggunakan aplikasi sistem informasi geografis (SIG). 2. Membandingkan luas daerah jelajah antara orangutan jantan dan betina dewasa yang menjadi objek pengamatan. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi terbaru mengenai luas daerah jelajah Orangutan Sumatera yang terdapat di kawasan Pusat Rehabilitasi Orangutan Sumatera Bukit Lawang. 2. Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan daerah jelajah Orangutan Sumatera. 3. Merupakan bahan kajian dalam melakukan upaya konservasi orangutan Sumatera. Hipotesis Penelitian Luas daerah jelajah orangutan jantan dewasa lebih luas dibandingkan orangutan betina dewasa.

18 Kerangka Pemikiran Saat ini sebaran orangutan Sumatera terbatas hanya pada bagian utara pulau Sumatera yaitu di Propinsi Sumatera Utaran dan Nangroe Aceh Darussalam. Populasi Orangutan Sumatera diperkirakan hanya tersisa sekitar orangutan dan orangutan diantaranya tersebar di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Dari orangutan tersebut, sekitar 229 orangutan terdapat di dalam kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS) Bohorok. Sebagian besar orangutan yang hidup di PPOS Bohorok tersebut adalah orangutan semi liar hasil rehabilitasi dan terkadang dapat dijumpai orangutan liar. Orangutan rehabilitan tersebut berasal dari berbagai lokasi yang diserahkan secara sukareal maupun yang ditangkap dengan paksa dari pemiliknya. Menurut data IUCN (2007) Orangutan Sumatera merupakan salah satu spesies paling tercancam punah (Critically Endangered, sedangkan Orangutan Kalimantan masuk dalam kategori terancam punah (Endangered). Populasi Orangutan Sumatera yang semakin menurun menyebabkan daerah penyebarannya semakin sempit dan terbatas, sehingga perlu adanya peneliitian mengenai pola daerah jelajah orangutan. Penelitian daerah jelajah orangutan dilakukan berdasarkan jenis kelamin antara jantan dan betina yang masuk dalam dalam tahap kematangan seksual atau dewasa. Kerangka pemikirian penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

19 Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) IUCN Critically Endangered Species Fragmentasi Habitat Daerah Jelajah Pusat Pengamatan Orangutan Bahorok-Bukit Lawang Pengumpulan data lapangan (primer) Orangutan Betina Dewasa Semi Liar Orangutan Jantan Dewasa Liar Metode Minimum Convex Polygon (MCP) Metode Kernel Perbandingan Luas Daerah Jelajah Orangutan Jantan dan Betina Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian.

20 TINJAUAN PUSTAKA Distribusi Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang ditemukan di luar Afrika (Parsons, 2006). Sekitar dua juta tahun yang lalu orangutan tersebar di wilayah sangat luas, mulai dari Jawa hingga selatan Cina (von Koenigswald, 1982 dalam Schaik, 1996). Namun, sebaran orangutan saat ini hanya berupa kawasan terfragmentasi yang lebih kecil dari sebelumnya, dimana saat ini hanya terdapat di pulau Kalimantan dan Sumatera (Schaik, 1996). Saat ini orangutan hanya dapat ditemukan di Sumatera, Kalimantan, Sabah dan Sarawak dan lebih dari 90% habitatnya berada di wilayah Republik Indonesia (Meijard et al., 2001). Di Kalimantan orangutan tersebar dalam wilayah yang lebih luas, sedangkan orangutan yang ada di Sumatera tersebar secara terbatas pada bagian ujung utara pulau tersebut (Galdikas, 1986). Orangutan yang tinggal di pulau Sumatera saat ini hanya dapat ditemukan di kawasan hutan dataran rendah di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Singleton et al., 2006). Pada awal abad ke-20 orangutan diduga dapat ditemukan di hutan yang luasnya paling sedikit km 2 di Sumatera bagian utara dari khatulistiwa, dan jumlahnya tidak kurang dari orangutan. Populasi orangutan saat itu terpusat di Suaka Margasatwa Gunung Leuser dan terpecah menjadi empat subpopulasi utama, yaitu: (1) subpopulasi di dekat Aceh, di sebelah barat Sungai Alas dan Sungai Wampu; (2) subpopulasi di hutan lindung Dolok Sembelin dan Batu Ardan di Kabupaten Dairi dan kawasan hutan yang bersambungan di sebelah timur Sungai Alas, membentang di sepanjang kaki-kaki bukit pesisir barat dan

21 menurun sampai ke pantai Sibolga; (3) subpopulasi Tapanuli bagian tenggara di antara Sungai Asahan dan Sungai Baruman; dan (4) subpopulasi di Anggolia, Angkola, dan Pasaman, semuanya di sepanjang bagian barat kaki Bukit Barisan, dari hilir Sungai Batang Toru membentang ke arah selatan di antara Padang Sidempuan dan daerah sekitar Pariaman di Propinsi Sumatera Barat, sekitar 50 km di sebelah utara Padang (Meijard et al., 2001). Setelah tahun 1997 (pasca kebakaran hutan), Meijard et al. (2001) memperkirakan bahwa populasi orangutan berada di hutan yang luasnya km 2, yaitu kira-kira setara dengan unit daya dukung. Berdasarkan perkiraan kepadatan orangutan pada habitat yang berbeda-beda di Sumatera, jumlah orangutan yang bertahan pada populasi sekarang hanya sekitar Tetapi, dari orangutan yang tersisa diperkirakan telah berkurang hingga sekitar orangutan saja (Singleton et al., 2006) Dari orangutan Sumatera yang tersisa (berdasarkan citra satelit tahun 2002), hidup di 13 unit habitat terfragmentasi yang terbentang mulai sebelah utara Nangroe Aceh Darussalam (NAD), sebelah selatan sungai Batang Toru di Sumatera Utara. Lebih jauh dijelaskan populasi orangutan dalam jumlah yang besar, sekitar orangutan, ditemukan di dalam ekosistem Leuser, yang merupakan sebuah daerah konservasi seluas km 2 yang ditetapkan melalui keputusan presiden dimana di dalamnya terdapat Taman Nasional Gunung Leuser ( km 2 ) dan km 2 Kawasan Reservasi Rawa Singkil (Singleton et al., 2006). Berdasarkan ketinggian tempat, orangutan terutama hidup di dataran rendah dan kepadatan tertinggi terdapat di antara ketinggian mdpl

22 (Payne, 1988; van Schaik dan Azwar, 1991 dalam Meijard et al., 2001). Groves (1971) dalam Meijard et al. (2001) juga mencatat bahwa orangutan kadang ditemukan di lereng gunung pada ketinggian lebih dari mdpl, khususnya jantan dewasa, dan populasi pada ketinggian di atas 500 mdpl kini semakin jarang. Di Kalimantan, batas ketinggian dimana komunitas orangutan berada adalah sekitar 500 mdpl. Sedangkan di Sumatera, Ellis (2005) mencatat bahwa populasi orangutan secara bertahap berkurang pada ketinggian hingga mdpl. Di dataran rendah orangutan juga tidak tersebar merata. Berdasarkan tinjauan pustaka yang tersedia, dan dari data survei orangutan dari berbagai lokasi di Sumatera dan Kalimantan, orangutan diketahui lebih umum terdapat di dekat sungai-sungai kecil atau besar dan di dekat rawa-rawa. Alasan utama orangutan lebih menyukai lingkungan ini hampir pasti karena di dekat sungai lebih banyak pohon buah yang disukai, tetapi mungkin juga karena sungai-sungai besar dan kecil merupakan tanda-tanda geografis yang terbaik untuk mengetahui arah keberadaannya. Orangutan jarang atau hampir tidak ada di hutan-hutan dataran rendah yang luas dan relatif seragam, yang tumbuh di atas tanah rata yang kering, demikian pula di jajaran pegunungan di atas ketinggian tertentu (Meijard et al., 2001). Klasifikasi Orangutan Sumatera Orangutan Sumatera adalah salah satu dari dua spesies yang termasuk ke dalam genus Pongo (Singleton et al., 2006). Selain Orangutan Sumatera (Pongo abelii) juga dikenal Orangutan Kalimantan/Borneo (Pongo pygmaeus). Meskipun

23 awalnya kedua jenis orangutan tersebut dianggap sama dan hanya dikenal sebagai Pongo pygmaeus, tetapi Singleton et al. (2006) menjelaskan bahwa saat ini mereka dikenal sebagai spesies yang berbeda. Lebih lanjut dijelaskan bahwa orangutan Kalimantan dibagi dalam tiga subspesies berbeda yang termasuk dalam spesies Pongo pygmaeus, sedangkan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) hanya dipandang sebagai satu unit taksonomi. Secara ilmiah struktur taksonomi Orangutan Sumatera adalah sebagai berikut (IUCN, 2007; Brandon dan Jones, 2004): Kingdom Filum Kelas Ordo Famili : Animalia : Chordata : Mammalia : Primata : Hominidae Sub Famili : Ponginae Eliot, 1912 Genus : Pongo Lacépède, 1799 Spesies : Pongo abelii Lesson, 1827 Meijard et al. (2001) menjelaskan bahwa perbedaan antara Orangutan Sumatera dan Orangutan Kalimantan dapat dilihat dari perbedaan genetis dan morfologis yang dikarenakan kedua jenis tersebut terisolasi secara geografis sekitar tahun yang lalu. Tetapi, pola-pola perilaku kedua jenis hampir seluruhnya identik, walaupun ada perbedaan dalam kemampuan sosialnya (Markham, 1980 dalam Meijard et al., 2001). Galdikas (1986) menjelaskan perbedaan morfologis kedua jenis tersebut dapat dibedakan dengan dasar warna bulunya, dimana Orangutan Kalimantan bila telah dewasa mengarah kepada

24 warna coklat kemerah-merahan, sedangkan Orangutan Sumatera biasanya berwarna lebih pucat. Meskipun perbedaan tersebut bukan merupakan sifat yang tetap tetapi dapat digunakan sebagai penuntun secara umum. Galdikas (1986) juga menemukan adanya rambut putih di bagian muka Orangutan Sumatera dan tidak pernah dijumpai pada Orangutan Kalimantan. Selain itu Orangutan Sumatera biasanya memiliki rambut yang lebih lembut dan lemas, sedangkan Orangutan Kalimantan kasar dan jarang-jarang. Gambar 1. Orangutan Sumatera (Pongo abelii). Tahapan Perkembangan Orangutan Menurut Rijksen (1986) dalam Mapple (1980) tahapan perkembangan orangutan di alam dapat digolongkan dalam beberapa kelompok berdasarkan umur, seks, morfologi dan tingkah laku, seperti dijelaskan di bawah ini: a. Bayi (infant): kisaran umur 0-2,5 tahun, berat badan 2-6 kg. Lingkaran sekitar mata berwarna merah jambu terang, mempunyai rambut yang panjang dan

25 berdiri di sekitar wajah. Selalu berpegang pada induknya selama waktu perpindahan, kebutuhan makan sepenuhnya bergantung kepada induk dan tidur juga di sarang yang sama dengan induknya. b. Kanak-kanak (juvenile): kisaran umur sekitar 2,5-5 tahun, berat badang 6-15 kg. Ciri morfologi masih sama seperti bayi. Masih sering berpegang pada induknya, tetapi telah melakukan perjalanan pendek sendiri dalam pengawasan induknya, bermain sendiri atau dengan kawan sebayanya, awalnya masih tidur bersama induknya tetapi kemudian mulai membangun sarangnya sendiri dekat induknya, akhir dari tahapan ini terkadang si induk melahirkan bayi baru dan perhatiannya terhadap si kanak-kanak mulai semakin berkurang. c. Remaja (adolescent): kisaran umur 5-8 tahun, berat badan sekitar kg. Rambut panjang dan berdiri masih terdapat di sekitar wajahnya, warna lingkaran sekitar mata berubah gelap, gigi berubah, jantan dan betina sulit dibedakan kecuali benar-benar diperhatikan daerah genitalianya. Sering berhubungan dengan induknya, berhubungan dengan golongan sebayanya, bermain bersama mereka dan bergerak bersama-sama dalam grup remaja, berhati-hati ketika bertemu orangutan dewasa, khususnya jantan dewasa, kadang-kadang masih melakukan pergerakan bersama induknya, mulai menunjukkan perilaku sosial, kematangan seksual betina sekitar 7 tahun. d. Jantan pra dewasa (sub adult): kisaran umur sekitar 8-13/15 tahun, berat badan kg. Keseluruhan wajah gelap, bantalan pipi (cheek pads) dan kantong suara belum berkembang; janggut mulai tumbuh, rambut di sekitar wajah pendek dan tidak berdiri tetapi merata pada tulang dahi, kemaluan tampak

26 jelas. Tahap ini kematangan seksual dimulai dan berkelanjutan sampai individu tersebut mencapai kematangan seksual, menghindari pertemanan dengan jantan dewasa. e. Betina dewasa (adult female): kisaran umur di atas 8 tahun, berat badan kg. Betina yang sudah tua memiliki jenggot, dan sulit dibedakan dengan jantan pra-dewasa jika tidak disertai dengan anaknya, puting susu membesar. Betina dewasa biasanya disertai anaknya. f. Jantan dewasa (adult male): kisaran umur di atas 13/15 tahun, berat badan kg. Besarnya luar biasa, karakteristik seksual sekunder berkembang maksimal, memiliki bantalan pipi, janggut, kantong suara dan rambut yang panjang. Matang secara seksual dan secara sosial, melakukan penjelajahan sendiri, bergerak dengan hati-hati, menyuarakan seruan panjang (long call). Aktifitas Harian Orangutan Seperti daerah lainnya yang ada di Sumatera dan Kalimantan, orangutan dewasa di Suaq Balimbing menghabiskan banyak waktu aktifitas hariannya untuk makan (55%), beristirahat (25%), bergerak pindah (7%), membuat sarang (2%), dan aktifitas lainnya termasuk interaksi sosial (1%). Perbandingan relatif dari kedua aktifitas yang biasa dilakukan orangutan, makan dan istirahat, menunjukkan perbedaan yang sangat nyata, dengan waktu yang digunakan untuk makan jauh lebih banyak dibandingkan untuk beristirahat. Periode aktifitas harian rata-rata orangutan untuk semua kelas kematangan seks adalah 11,5 jam (Fox et al., 2004).

27 Untuk menganalisa pemanfaatan waktu oleh orangutan, Galdikas (1986) membuat catatan mengenai individu-individu sasaran ke dalam tujuh kategori utama aktifitas orangutan, yaitu: 1. Makan, meliputi semua waktu yang digunakan orangutan untuk persiapan, pemetikan, penggapaian, pengambilan, pengunyahan atau penelanan makanan, dan juga waktu untuk bergerak di dalam sumber makanan (pohon, tanaman menjalar atau pokok kayu yang mengandung rayap). Aktifitas selipan antara aktifitas-aktifitas utama tersebut (kurang dari 1-2 menit) misalnya berupa defekasi (buang hajat besar), urinasi (buang hajat kecil), menggaruk-garuk atau bermain-main dengan anggota badan, mulut atau gigi selama masih ada di dalam sumber makanan. 2. Berisitirahat, meliputi semua aktifitas yang berlangsung pada waktu orangutan relatif tidak bergerak, yaitu duduk, berdiri, atau tiduran pada cabang, di dalam sarang, atau pada permukaan tanah. Saling merawat, merawat diri sendiri, bermain dengan benda atau bahan, dan menggaruk-garuk badan, semuanya dimasukkan ke dalam kategori beristirahat (kecuali apabila menggaruk-garuk tersebut dilakukan sebagai aktifitas sisipan selama makan seperti disebutkan di atas). Sasaran yang berupa hewan jantan yang sedang menerima tanggapan kesediaan seks betina, dihitung sebagai sedang beristirahat, kecuali apabila ia bergerak pindah dari pohon, begitu pula betina sasaran yang memperlihatkan kesediaan seksnya tanpa merangsang tanggapan yang memperlihatkan kesediaan. 3. Bergerak pindah, meliputi semua waktu yang digunakan orangutan untuk bergerak pindah pada dasar hutan atau dari satu pohon ke pohon yang lain.

28 Orangutan bergerak pindah secara lamban dan tidak teratur. Setiap saat tidak bergerak antara aktifitas pergerakan yang lebih lama dari satu menit dihitung sebagai beristirahat. 4. Kopulasi, dimulai semenjak jantan mulai menempatkan betina pada posisi yang memungkinkan intromisi dan berakhir dengan ejakulasi atau perpisahan secara jelas/sempurna antara pasangan yang berkopulasi itu. 5. Mengeluarkan seruan panjang, dihitung semenjak jantan mengeluarkan geraman mula-mula sampai geraman yang terakhir. Pada umumnya, seruan panjang yang kurang dari ½ menit tidak dimasukkan dalam pemanfaatan waktu untuk kategori seruan panjang. 6. Agresi, terutama menyangkut pameran kemarahan terhadap pengamat, orangutan dan hewan lain, tetapi meliputi pula perkelahian, pengejaran dan pertempuran antara individu. Pameran kemarahan terdiri atas pengeluaran suara, pematahan atau pelemparan cabang dan menjatuhkannya, serta penumbangan pohon tua. Akan tetapi bilamana suatu pohon tua ditumbangkan bersama-sama dengan dikeluarkannya seruan panjang, tidak dimasukkan ke dalam perilaku agresi tetapi ke dalam kategori seruan panjang. 7. Bersarang, meliputi pematahan dan perlakuan cabang-cabang dan/atau tanaman untuk menyusun sarang untuk tidur, bangunan alas untuk tempat makanan atau pelindung tubuh di atas kepala untuk menahan hujan. Daerah Jelajah Orangutan Daerah jelajah adalah suatu paham abstrak yang menyatakan jumlah gerakan pindah suatu hewan selama masa tertentu (Galdikas, 1986). Singleton dan

29 Schaik (2001) menjelaskan bahwa ada dua alasan utama pentingnya informasi pola jelajah dan faktor-faktor yang menentukannya. Yang pertama, adalah membuat data dasar untuk penelitian selanjutnya mengenai organisasi sosial, khususnya bagi spesies soliter yang organisasi sosialnya tidak begitu nyata. Yang kedua, adanya indikasi mengenai kebutuhan ruang individu dan populasi, karena itu, sepanjang adanya informasi pola keruangan tentang kaitan genetik, akan memberikan alat-alat yang penting untuk manajemen konservasi. Dari hasil penelitian jangka panjang terhadap orangutan, secara umum ada tiga kelas kegiatan jelajahnya: (1) penetap, yang selama beberapa tahun berada dengan sebagian besar waktunya dalam satu tahun di satu daerah tertentu; (2) penglaju, yang secara teratur selama beberapa minggu atau beberapa bulan setiap tahun hidup nomadis ; dan (3) pengembara, yang tidak pernah, atau sangat jarang (atau hanya sekali) kembali ke tempatnya yang semula dalam waktu paling sedikit tiga tahun. Orangutan penetap umumnya adalah minoritas dalam populasi yang diteliti. Di habitat kecil yang berkualitas tinggi, seluas sekitar 2 km 2, mungkin ada satu atau dua jantan penetap dan sampai tiga ekor betina dewasa (dengan anakanaknya) yang berada dalam suatu komunitas yang paling sedikit berisi 30 individu. Bagi komunitas orangutan di Ketambe, yang menikmati habitat kecil berkualitas baik (seluas sekitar 1 km 2 ) pada awal tahun 1970-an, persentase antara penetap, penglaju dan pengembara, beruturut-turut adalah 30%, 60%, dan 10%; dan penglaju merupakan bagian terbesar populasi. Namun suatu kajian terhadap laporan-laporan penelitian lapangan lainnya menunjukkan bahwa beberapa daerah tampaknya tidak terdapat orangutan penetap sama sekali (Meijard et al., 2001).

30 Tabel 1. Perbandingan data penjelajahan. Peneliti Horr 75 Mitani 82 Rodman 73 Suzuki 87 Galdikas 78 Rijksen 78 Schurmann 82 van Schaik 94 Lokasi K o K o K o K o K S* S* S Luas daerah penelitian (km 2 ) Waktu (th) Jum. Individu 27 > Penetap? ? Bukan penetap - > ? Daerah jelajah jantan (km 2 ) 5, >8 >5 Daerah jelajah betina (km 2 ) Nama-nama dengan tanda (*) melakukan penelitian di Ketambe dalam Ekosistem Leuser, Aceh; ( o ) di Mentoko/Sangatta di Kutai, Kalimantan Timur; Galdikas di Suaka Margasatwa Tanjung Puting (Kalimantan Tengah); dan van Schaik di Suaq-Balimbing, Aceh bagian barat. Sumber: Meijard et al., ,6 1,5 0,5 0, >3 >3 Penelitian jangka panjang mengenai interaksi sosial mengungkapkan bahwa orangutan penetap biasanya adalah yang berstatus sosial tinggi. Seekor orangutan penetap menempati habitat berkualitas tinggi, yang dalam kasus betina dewasa penetap bersama dengan yang lainnya, luasnya mungkin hanya 0,6-1 km 2 (Tabel 1). Jantan dewasa penetap umumnya menjelajah daerah yang lebih luas, diduga untuk kepentingan sosial-reproduksi, tetapi daerah jelajahnya jarang melebihi 10 km 2 di habitat yang berkualitas tinggi. Para penglaju menempati daerah yang jauh lebih luas, dan memanfaatkan lebih dari satu lokasi habitat utama yang berkualitas tinggi atau cukup tinggi. Jarak antara lokasi satu dengan lainnya mungkin cukup jauh, yaitu lebih dari 5 km, dan dipisahkan oleh hutan yang berkualitas lebih buruk atau sangat buruk, atau oleh daerah jelajah orangutan lainnya sehingga kehadiran penglaju ini tidak dapat diterima (Meijard et al., 2001). Pola pertumbuhan orangutan muda sering mengikuti urutan penetap dependen (selama tahap bayi dan anakannya), ke penglaju (sosial) selama masa remaja dan pradewasanya, dan akhirnya menjadi penetap (semi soliter) dalam

31 masa dewasanya, jika habitat dan status sosial individu memungkinkannya. Mungkin ada orangutan yang tetap menjadi penglaju dan menjadi pengembara selama masa dewasanya, jika status sosialnya tetap rendah (Meijard et al., 2001). Gambar 2. Skema berbagai pola penjelajahan orangutan (Meijard et al., 2001). Para pengembara tampaknya tidak memiliki daerah jelajah yang tetap sama sekali, tetap terus mengembara, menjelajah sampai jarak yang jauh, untuk mencari makanan dan mungkin juga untuk kawin. Pengembara mungkin (mencoba) bergabung selama beberapa waktu dengan kelompok penglaju. Karena semua pengembara tampaknya adalah jantan dewasa atau pradewasa, mereka ini diduga telah gagal diterima oleh kelompok penglaju dan penetap, atau bahkan diusir. Dari hasil penelitian struktur komunitas orangutan, mungkin sekitar 20% dari seluruh orangutan akan bernasib menjadi pengembara (Meijard et al., 2001). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daerah Jelajah Orangutan Daerah jejalah orangutan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Mapple (1980) menjelaskan ketersediaan makanan merupakan hal yang paling menentukan

32 ukuran daerah jelajah orangutan. Hal ini mungkin dikarenakan orangutan bersifat frugivora (Galdikas, 1986). Pola makan ini sangat mempengaruhi kondisi biologis dan cara hidup orangutan. Oleh karena itu, distribusi jumlah dan kualitas makanannya menurut waktu dan tempat tertentu merupakan faktor penentu utama perilaku pergerakan (Meijard et al., 2001). Di habitat yang berkualitas baik, antara 57% (jantan) dan 80% (betina) waktu makannya dihabiskan untuk memakan buah-buahan. Walaupun ada sekitar 200 jenis buah yang dimakan, beberapa jenis buah tertentu ternyata jauh lebih tinggi dalam komposisi makanan orangutan. Buah-buahan ini berdaging lembek, berbiji, termasuk buah berbiji tunggal dan buah beri. Orangutan juga lebih menyukai pohon-pohon yang berbuah lebat. Selain buah, orangutan juga memakan daun (termasuk tunas muda dan tangkai), serangga (semut, rayap, belalang, jangkrik, kutu, dan lain-lain.), lapisan di bawah kulit pohon tertentu (khususnya Ficus dan pohon lainnya dari suku Moraceae, misalnya Payena spp.), bunga, telur burung, vertebrata kecil (tokek, tupai, dan kukang), dan madu (Meijard et al., 2001). Buah merupakan sumber makanan yang tersebar dalam ruang yang terbatas dan hanya teredia untuk sementara. Oleh karena itu, hewan frugivora harus menyesuaikan keputusan jelajahnya dalam kaitannya dengan distribusi buah (Yamagiwa dan Mwanza, 1994 dalam Parsons, 1999). Dalam penelitian yang dilakukan Parsons (1999), orangutan jantan hanya melakukan perjalanan singkat pada hari-hari makanan berlimpah, orangutan juga berkecenderungan melakukan perjalanan dengan lambat dan jelajah harian yang lebih singkat. Hal ini mungkin dapat dimengerti sebagai dua hal, yaitu: orangutan jantan mungkin mengurangi

33 pergerakannya ketika buah yang menjadi makanannya berlimpah dan tidak perlu berpindah lebih jauh untuk mendapatkan sumber makanan atau alternatif lainnya, orangutan jantan meningkatkan pergerakannya ketika kelimpahan buah sangat sedikit dengan maksud mencari sumber makanannya. Selain makanan, daerah jelajah orangutan juga dipengaruhi oleh perilaku sosial (Parsons, 1999). Orangutan memperlihatkan banyak variasi ekologi dan sosial individualnya karena perbedaan seks, umur, kondisi reproduksi, status sosial dan juga keterampilannya (Meijard et al., 2001). Orangutan betina bersifat soliter dan menggunakan sebuah daerah jelajah yang terkadang tumpang tindih dengan daerah jelajah betina lainnya (Parsons, 1999). Orangutan jantan juga soliter, tetapi mereka memiliki daerah jelajah yang lebih luas yang berkaitan dengan beberapa daerah jelajah betina (Rijksen, 1975 dalam Parsons, 1999). Orangutan pada umumnya memiliki tiga kelas kegiatan jelajah, yaitu: penetap, penglaju, dan pengembara (Meijard, 2001). Penelitian jangka panjang mengenai interaksi sosial mengungkapkan bahwa orangutan penetap biasanya adalah yang berstatus sosial tinggi. Jantan dewasa penetap umumnya menjelajah daerah yang lebih luas, diduga untuk kepentingan sosial-reproduksi, tetapi daerah jelajahnya jarang melebihi 10 km 2 di habitat yang berkualitas tinggi. Para penglaju menempati daerah yang jauh lebih luas, dan memanfaatkan lebih dari satu lokasi habitat utama yang berkualitas tinggi atau cukup tinggi. Jarak antara lokasi satu dengan lainnya mungkin cukup jauh, yaitu lebih dari 5 km, dan dipisahkan oleh hutan yang berkualitas lebih buruk atau sangat buruk, atau oleh daerah jelajah orangutan lainnya sehingga kehadiran penglaju ini tidak dapat diterima (Meijard et al., 2001).

34 Orangutan jantan memerlukan sikap tegas dan berani untuk mendapatkan statusnya sebagai penetap. Jantan dewasa penetap biasanya berstatus tinggi dalam hal dominasinya dibandingkan dengan jantan lainnya, dan kelihatannya ada kompetisi (meskipun lebih banyak tersembunyi) di antara jantan dewasa penglaju dan pradewasa calon penetap (dan/atau pengembara) yang berlangsung terusmenerus untuk memperoleh status. Jadi, status jantan dewasa penetap akan terkait dengan suatu kawasan yang meliputi habitat kecil yang berkualitas lebih baik daripada habitat lain di sekitarnya yang mencakup daerah jelajah untuk paling sedikit lima ekor penetap (Meijard et al., 2001). Yang menarik perhatian, orangutan betina tampaknya berperan aktif dalam dinamika status sosial di antara jantan dewasa penetap di daerah tersebut (Utami dan Mitrasetia, 1995 dalam Meijard et al., 2001). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, salah satu yang mempengaruhi perilaku sosial orangutan dikarenakan adanya perbedaan kondisi reproduksi (Meijard et al., 2001), seperti yang terlihat pada Gambar 2. Van Hooff (1995) dalam Meijard (2001) menjelaskan bahwa struktur sosial-ekologi orangutan terutama ditentukan oleh kepentingan reproduksi betina. Karena orangutan bukan hewan yang hidup dalam kelompok, masalah yang mula-mula menghadapi suatu individu dalam hal reproduksi ialah justru menemukan pasangan jenis kelaminnya. Masalah utama bagi jantan untuk mencapai reproduksi yang berhasil ialah menemukan atau menarik betina yang birahi. Jantan dewasa menunjukkan dua pola untuk mendapatkan betina. Jantan tertentu tetap tinggal pada daerah jelajahnya yang terbatas selama beberapa tahun, sedang yang lain agaknya mengembara lebih jauh tanpa tinggal terlalu lama pada suatu daerah jelajah

35 tertentu. Sedangkan orangutan betina tidak meninggalkan daerah jelajah umum induknya untuk kawin (Galdikas, 1986). EKOLOGI Bergizi Cukup? Dimana? Kapan? Kualitas makanan Jumlah makanan Lokasi makanan Ketersediaan makanan musiman Siapa yang kuinginkan? Siapa yang bersedia? Reproduksi SOSIAL/SEKSUAL Bisakah aku pergi ke tempat yang kuinginkan? Siapa yang kutakuti? Status Sosial Gambar 3. Kondisi yang mempengaruhi kebutuhan untuk menjelajah (Meijard et al., 2001). Selain status sosial dan reproduksi, Parsons (1999) menyatakan bahwa seruan panjang orangutan jantan dewasa merupakan faktor potensial yang dapat mempengaruhi perilaku jelajah. Seruan panjang adalah suara orangutan yang paling sering dikeluarkan dan satu-satunya suara yang secara tetap dapat terdengar dari jarak-jarak yang jauh. Seruan berfungsi untuk merangsang perilaku seks pada betina, dan kenyataan bahwa orangutan jantan dewasa selalu mengawali kopulasi dengan mengeluarkan seruan atau menggeram, menandakan bahwa pengeluaran

36 seruan tersebut memegang peranan penting penting dalam reproduksi. Seruan panjang juga menjadi sarana untuk menyatakan hubungan kekuasan antara jantanjantan dewasa yang jarang bertemu satu dengan lainnya (Galdikas, 1986). Meijard et al. (2001) menjelaskan seruan panjang orangutan jantan (keras dan berkepanjangan) jelas menunjukkan sifat percaya diri yang kuat, tetapi mungkin pada awalnya merupakan suatu indikasi untuik melindungi dan menunjukkan keinginan untuk mengawini betina-betina (penglaju), daripada untuk menunjukkan minat seksual terhadap betina-betina penetap, atau merupakan ancaman bagi jantan pesaing. Seruan panjang ini juga mungkin mempunyai fungsi lain untuk mengumumkan ketersediaan makanan, meskipun kemungkinan isi pesan berbagai jeritan keras orangutan masih belum banyak diketahui. Sistem Informasi Geografis Teknologi yang ada saat ini telah berkembang di berbagai bidang, khususnya di bidang komputer grafik, basis data, teknologi informasi, dan teknologi satelit penginderaan jarak jauh. Kondisi seperti ini menjadikan kebutuhan mengenai penyimpanan, analisa dan penyajian data yang berstruktur kompleks dengan jumlah besar semakin mendesak. Dengan demikian, untuk mengelola data yang kompleks ini, diperlukan suatu sistem informasi yang secara terintegrasi mampu mengolah baik data spasial maupun data atribut secara efektif dan efisien, serta mampu menjawab dengan baik pertanyaan spasial maupun atribut secara simultan (Prahasta, 2005). Sistem informasi geografis (SIG) merupakan salah satu solusi untuk masalah tersebut. SIG menjadi suatu teknologi baru yang pada saat ini menjadi

37 alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisa dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial (grafis) (Prahasta, 2005). Lebih lanjut Nuarsa (2005) juga mengatakan bahwa SIG merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mengelola (input, manajemen, proses dan output) data spasial atau data yang bereferensi geografis. Definisi Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis hingga saat ini belum memiliki definisi baku yang disepakati bersama. Sebagian besar definisi yang diberikan di dalam berbagai pustaka masih bersifat umum, belum lengkap, tidak presisi, dan bersifat elastik hingga sering kali agak sulit untuk membedakannya dengan sistem-sistem informasi lainnya (Prahasta, 2005). Definisi sistem informasi geografis (SIG) selalu berkembang, bertambah dan bervariasi. Hal ini terlihat dari banyaknya definisi SIG yang beredar. Selain itu, SIG juga merupakan suatu bidang kajian ilmu dan teknologi yang relatif baru, digunakan oleh berbagai bidang disiplin ilmu, dan berkembang dengan cepat (Prahasta, 2005). Dikarenakan begitu banyaknya definisi yang berkembang, maka digunakan salah satu definisi yang sesuai dengan penelitian ini, yaitu definisi dari ESRI (Environmental Service Researcd Institute) yang mendefinisikan SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, memperbaharui (update), memanipulasi, menganalisa dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi.

38 Ekstensi Animal Movement Analyst dalam Aplikasi SIG Ekstensi Animal Movement Analyst (dikembangkan oleh Badan Survei Geologi Amerika Serikat/USGS untuk mempelajari pola migrasi dan pergerakan satwa), telah digunakan untuk memperhitungkan dan memetakan daerah jelajah jantan dan betina, derajat tumpang tindih daerah jelajah, dan luas penggunaan habitat. Ekstensi Animal Movement Analyst, bekerja sama dengan ekstensi ArcView Spatial Analyst, bekerja dalam berbagai sistem proyeksi, menggunakan rekaman data yang terpilih (dapat menggunakan query atau pemilihan), dan terintegrasi dengan banyak tipe data spasial (ESRI, 2007). Hooge dan Eichenlaub (1997) menjelaskan bahwa ekstensi Animal Movement Analyst juga dipergunakan untuk menganalisa fenomena berupa titik dan fungsi-fungsi yang ada dapat digunakan untuk banyak tipe penggunaan sistem informasi geografis. Kebanyakan fungsi-fungsi yang ada bekerja pada tema-tema (themes) berupa titik, yang mana dapat diciptakan dengan berbagai metode yang dapat digunakan oleh ArcView. Data dapat memiliki berbagai jumlah atribut yang dapat digunakan dalam beberapa fungsi (sesuai dengan fungsi standar ArcView) (Hooge dan Eichenlaub, 1997). Ada dua metode utama dalam menentukan poligon daerah jelajah (Bajjali, 2006), yaitu: 1. Metode Minimum Convex Polygon (MCP) Metode Minimum Convex Polygon (MCP) adalah poligon terkecil (convex) yang mencakup semua titik-titik yang dikunjungi oleh kelompok satwa. Umumnya metode ini juga mencakup sebagian besar ruang kosong yang tidak pernah dikunjungi oleh satwa, seperti tampak pada Gambar 3.

39 2. Metode Kernel Home Range Metode Kernel Home Range merupakan metode yang populer dalam menduga daerah jelajah, tetapi ukuran sampel dan tingkat akurasinya masih belum diketahui. Tingkat pendugaan daerah jelajah dihasilkan oleh kernel yang telah ditetapkan dan yang dapat disesuaikan (Gambar5), menggunakan referensi dan metode least square cross validation (LSCV) untuk menentukan tingkat kehalusan poligon (Gambar 4). Simulasi daerah jelajah bervarisasi mulai dari bentuk yang sederhana hingga yang kompleks, dibentuk distribusi normal campuran. Gambar 4. Poligon MCP (Hooge dan Eichenlaub, 1997). Gambar 5. Poligon kernel dengan tingkat kemungkinan 50%, 75% dan 90% (Hooge dan Eichenlaub, 1997).

40 Gambar 6. Poligon kernel menggunakan LSCV (Hooge dan Eichenlaub, 1997). Metode Kernel Home Range lebih kompleks dari metode Minimum Convex Polygon (MCP). Metode ini menghitung besaran setiap unit daerah dari titik-titik tanda menggunakan fungsi kernel menyesuaikan kehalusan permukaan setiap titik. Nilai tertinggi terdapat di lokasi titik tersebut berada dan semakin berkurang jika jarak dari titik tersebut semakin jauh, nilainya akan menjadi 0 pada jarak radius pencarian dari titik tersebut (Bajjali, 2006). Hasil yang diperoleh dari metode ini, yaitu: sebuah gambaran distribusi penggunaan (Utilization Distribution) berupa grid, sebuah poligon shapefile yang mencakup poligon setiap kemungkinan yang dipilih, sebuah tabel atribut yang mencakup kemungkinan dan data lapangan untuk setiap poligon, dan sebuah kotak pesan yang menyajikan perhitungan setiap kemungkinan. Perlu diketahui yaitu tingkat kemungkinan awal dengan menggunakan metode ini adalah 50% dan 95%, dan tampilan tema harus diperbesar secukupnya hingga daerah dengan kemungkinan terbesar dapat terlihat untuk membentuk poligon (95% dan lainlain.) (Hooge dan Eichenlaub, 1997).

41 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Waktu penelitian dimulai dari bulan Maret sampai dengan selesai. Sedangkan penelitian lapangan akan dilaksanakan dari bulan Juni-Agustus Lokasi penelitian dilakukan di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS) Bohorok Taman Nasional Gunung Leuser. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: - Peta Studi Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bohorok Alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: - Perangkat komputer dengan aplikasi ArcView Global Positioning System (GPS) Garmin 60CSx - Kamera digital - Binokular - Jam tangan digital - Clinometer - Kompas - Alat tulis menulis

42 Metode Pengumpulan Data a. Data Primer Data primer yang dikumpulkan berdasarkan hasil observasi di lapangan yang dicatat dalam tabulasi data. b. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari buku teks, artikel, jurnal, laporan dan sumber-sumber pustaka lainnya. Pencarian (searching) Orangutan Pencarian dilakukan dengan menelusuri jalan-jalan setapak yang ada di kawasan penelitian dan penelusuran diarahkan ke daerah-daerah jelajah inti dan daerah-daerah sumber pakan yang diperkirakan adanya kehadiran orangutan di tempat tersebut. Daerah yang dipilih tersebut memiliki sifat-sifat sebagai berikut (mengacu pada Galdikas, 1986): - Seluruh daerah jelajah dari sekurang-kurangnya beberapa orangutan taraf dewasa baik jantan maupun betina termasuk dalam daerah inti; - Suatu contoh populasi orangutan yang representatif terdapat dalam daerah penelitian itu, yang memungkinkan untuk mengamati interaksi berbagai individu dari berbagai golongon umur/jenis kelamin yang ada. Dalam penelitian ini yang diamati hanya orangutan jantan dan betina yang sudah masuk dalam taraf dewasa (adult dan subadult). Selama pencarian, diperhatikan beberapa hal sebagai indikasi adanya orangutan, seperti pergerakan pohon, vokalisasi (seruan panjang atau long call,

TINJAUAN PUSTAKA. Pongo pygmaeus di Borneo dan orangutan Pongo abelii di Sumatera merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Pongo pygmaeus di Borneo dan orangutan Pongo abelii di Sumatera merupakan TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Orangutan Sumatera Orangutan berasal dari bahasa melayu yaitu orang hutan. Orangutan Pongo pygmaeus di Borneo dan orangutan Pongo abelii di Sumatera merupakan satu-satunya kera

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang membentang di wilayah 10 Kabupaten dan 2 Provinsi tentu memiliki potensi wisata alam yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI Oleh : MUHAMMAD MARLIANSYAH 061202036 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Orangutan yang sedang beraktivitas di hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Orangutan yang sedang beraktivitas di hutan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Orangutan Orangutan termasuk ke dalam Ordo Primata dan merupakan salah satu jenis dari anggota keluarga kera besar (Pongidae) yang berada di benua Asia yang masih hidup

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Secara morofologis orangutan Sumatera dan Kalimantan sangat serupa, tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya (Napier dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Orangutan dan Klasifikasi Istilah orangutan diambil dari bahasa Melayu, yang berarti manusia (orang) hutan. Dalam pemberian nama ini para ahli anthropologi fisik mengalami kesulitan

Lebih terperinci

EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA

EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA Jito Sugardjito Fauna & Flora International-IP Empat species Great Apes di dunia 1. Gorilla 2. Chimpanzee 3. Bonobo 4. Orangutan Species no.1 sampai

Lebih terperinci

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SKRIPSI SANTY DARMA NATALIA PURBA MANAJEMEN HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SKRIPSI SANTY DARMA NATALIA PURBA MANAJEMEN HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN KELIMPAHAN JENIS DAN ESTIMASI PRODUKTIVITAS Ficus spp. SEBAGAI SUMBER PAKAN ALAMI ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI PUSAT PENGAMATAN ORANGUTAN SUMATERA (PPOS) TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SKRIPSI SANTY

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: 978-602-18962-5-9 PERBANDINGAN PERILAKU BERSARANG ORANGUTAN JANTAN DENGAN ORANGUTAN BETINA DEWASA (Pongo abelii) DI STASIUN PENELITIAN SUAQ BALIMBING Fauziah

Lebih terperinci

PENDUGAAN PRODUKTIVITAS POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) PADA KAWASAN PPOS (PUSAT PENGAMATAN ORANGUTAN SUMATERA, BUKIT LAWANG

PENDUGAAN PRODUKTIVITAS POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) PADA KAWASAN PPOS (PUSAT PENGAMATAN ORANGUTAN SUMATERA, BUKIT LAWANG PENDUGAAN PRODUKTIVITAS POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) PADA KAWASAN PPOS (PUSAT PENGAMATAN ORANGUTAN SUMATERA, BUKIT LAWANG SKRIPSI Bungaran M R Naibaho 101201131 Manajemen Hutan PROGRAM

Lebih terperinci

Informasi singkat tentang jenis primata baru khas Sumatera. Orangutan Tapanuli. Pongo tapanuliensis. Jantan dewasa Orangutan Tapanuli Tim Laman

Informasi singkat tentang jenis primata baru khas Sumatera. Orangutan Tapanuli. Pongo tapanuliensis. Jantan dewasa Orangutan Tapanuli Tim Laman Informasi singkat tentang jenis primata baru khas Sumatera Orangutan Tapanuli Pongo tapanuliensis Jantan dewasa Orangutan Tapanuli Tim Laman Baru-baru ini Orangutan Tapanuli dinyatakan sebagai spesies

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Orangutan 2.1.1 Klasifikasi Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di benua Asia dan satu-satunya kera besar yang rambutnya berwarna coklat kemerahan.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2011. Lokasi penelitian berada di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli

Lebih terperinci

PENGELOLAAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) SECARA EX-SITU, DI KEBUN BINATANG MEDAN DAN TAMAN HEWAN PEMATANG SIANTAR

PENGELOLAAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) SECARA EX-SITU, DI KEBUN BINATANG MEDAN DAN TAMAN HEWAN PEMATANG SIANTAR PENGELOLAAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) SECARA EX-SITU, DI KEBUN BINATANG MEDAN DAN TAMAN HEWAN PEMATANG SIANTAR SKRIPSI Oleh: LOLLY ESTERIDA BANJARNAHOR 061201036 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PEMETAAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI PESISIR KOTA MEDAN DAN KABUPATEN DELI SERDANG

PEMETAAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI PESISIR KOTA MEDAN DAN KABUPATEN DELI SERDANG PEMETAAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI PESISIR KOTA MEDAN DAN KABUPATEN DELI SERDANG SKRIPSI SEPTIAN HARDI PUTRA 061201011 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2012 PEMETAAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 11 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna yang sangat tinggi, salah satu diantaranya adalah kelompok primata. Dari sekitar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU SKRIPSI OLEH: BASA ERIKA LIMBONG 061201013/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG)

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) SKRIPSI Oleh: RICKY DARMAWAN PRIATMOJO 071201030 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN SKRIPSI Oleh : WARREN CHRISTHOPER MELIALA 121201031 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Area. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Area. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Area Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan kawasan pelestarian alam, seluas 1.094.692 Hektar yang terletak di dua propinsi, yaitu Propinsi Nanggroe Aceh

Lebih terperinci

PEMETAAN SEBARAN DAUN SANG (Johannesteijsmannia spp) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN SEBARAN DAUN SANG (Johannesteijsmannia spp) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN SEBARAN DAUN SANG (Johannesteijsmannia spp) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI SITI HARIANTI MANURUNG 071201002/MANAJEMEN HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumatera. Klasifikasi orangutan sumatera menurut Singleton dan Griffiths

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumatera. Klasifikasi orangutan sumatera menurut Singleton dan Griffiths 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Orangutan Sumatera Indonesia memiliki dua jenis orangutan, salah satunya adalah orangutan sumatera. Klasifikasi orangutan sumatera menurut Singleton dan Griffiths

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah sebagai berikut : Kerajaan Filum Subfilum Kelas Bangsa Keluarga

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBEBASAN FRAGMENTASI HABITAT ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI HUTAN RAWA TRIPA Wardatul Hayuni 1), Samsul

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di stasiun penelitian Yayasan Ekosistem Lestari Hutan Lindung Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera

Lebih terperinci

PENILAIAN KUALITAS LINGKUNGAN PADA KEGIATAN WISATA ALAM DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN

PENILAIAN KUALITAS LINGKUNGAN PADA KEGIATAN WISATA ALAM DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN PENILAIAN KUALITAS LINGKUNGAN PADA KEGIATAN WISATA ALAM DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN SKRIPSI Oleh : Melyana Anggraini 061201022 / Manajemen Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

STUDI MITIGASI KONFLIK ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI SEKITAR TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

STUDI MITIGASI KONFLIK ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI SEKITAR TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER STUDI MITIGASI KONFLIK ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI SEKITAR TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SKRIPSI Oleh: JUANG ABDUL HALIM SIREGAR Manajemen Hutan/121201013 PROGRAM

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014 PEMETAAN DAERAH RAWAN KONFLIK ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DENGAN MANUSIA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus : Desa Aek Nabara, Batu Satail, Bulu Mario, dan Sitandiang) SKRIPSI Oleh

Lebih terperinci

ANALISIS KERUGIAN DAN PEMETAAN SEBARAN SERANGAN RAYAP TERHADAP BANGUNAN SMP NEGERI DI KOTA MEDAN

ANALISIS KERUGIAN DAN PEMETAAN SEBARAN SERANGAN RAYAP TERHADAP BANGUNAN SMP NEGERI DI KOTA MEDAN ANALISIS KERUGIAN DAN PEMETAAN SEBARAN SERANGAN RAYAP TERHADAP BANGUNAN SMP NEGERI DI KOTA MEDAN Hasil Penelitian Oleh : Hendra Simanjuntak 051203010 Teknologi Hasil Hutan DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Kampus USU Medan 20155

Kampus USU Medan 20155 Analisis Karakteristik Pohon dan Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Bukit Lawang Kabupaten Langkat Analysis of the Trees and Nest Characteristics of Sumatran Orangutan (Pongo abelii) in Bukit

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA HASIL PENELITIAN OLEH: ANITA NAOMI LUMBAN GAOL 061201012/ MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

KORELASI FENOLOGI TIANG DAN POHON DENGAN JUMLAH SARANG ORANGUTAN ( Pongo abelii ) DI HUTAN SEKUNDER RESORT SEI BETUNG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

KORELASI FENOLOGI TIANG DAN POHON DENGAN JUMLAH SARANG ORANGUTAN ( Pongo abelii ) DI HUTAN SEKUNDER RESORT SEI BETUNG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER KORELASI FENOLOGI TIANG DAN POHON DENGAN JUMLAH SARANG ORANGUTAN ( Pongo abelii ) DI HUTAN SEKUNDER RESORT SEI BETUNG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SKRIPSI Gabriella Yohana 111201039 Manajemen Hutan PROGRAM

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI HUTAN SEBAGAI PENYEDIA JASA WISATA ALAM DI KAWASAN DAS DELI

VALUASI EKONOMI HUTAN SEBAGAI PENYEDIA JASA WISATA ALAM DI KAWASAN DAS DELI VALUASI EKONOMI HUTAN SEBAGAI PENYEDIA JASA WISATA ALAM DI KAWASAN DAS DELI HASIL PENELITIAN Oleh : WELLY MANURUNG/041201020 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 ABSTRAK

Lebih terperinci

PERILAKU DAN JELAJAH HARIAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelli Lesson, 1827) REHABILITAN DI KAWASAN CAGAR ALAM HUTAN PINUS JANTHO, ACEH BESAR ABSTRACT

PERILAKU DAN JELAJAH HARIAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelli Lesson, 1827) REHABILITAN DI KAWASAN CAGAR ALAM HUTAN PINUS JANTHO, ACEH BESAR ABSTRACT PERILAKU DAN JELAJAH HARIAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelli Lesson, 1827) REHABILITAN DI KAWASAN CAGAR ALAM HUTAN PINUS JANTHO, ACEH BESAR HADI SOFYAN 1 *, SATYAWAN PUDYATMOKO 2, DAN MUHAMMAD ALI IMRON

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ilmiah Pengklasifikasian primata berdasarkan 3 (tiga) tingkatan taksonomi, yaitu (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mempunyai kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman

TINJAUAN PUSTAKA. mempunyai kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman TINJAUAN PUSTAKA A. Cagar Alam Cagar Alam adalah Kawasan Suaka Alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan/keunikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman tumbuhan beserta gejala alam dan ekosistemnya

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013 ANALISIS KERUGIAN EKONOMI, SERTA PENGETAHUAN MASYARAKAT TERHADAP KONFLIK ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) (Studi Kasus Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru dan Desa Besilam Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR

NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR (Studi Kasus: Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang) SKRIPSI Oleh: ERWIN EFENDI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Di seluruh dunia, terdapat 20 jenis spesies Macaca yang tersebar di Afrika bagian utara, Eropa, Rusia bagian tenggara, dan Asia (Nowak, 1999). Dari 20 spesies tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Orangutan 2.1.1 Klasifikasi Nama orangutan merujuk pada kata orang (manusia) dan hutan yang berarti manusia hutan (Galdikas 1978). Sebelum genus Pongo digunakan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

POLA AKTIVITAS ORANGUTAN (Pongo abelii) DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER KETAMBE ACEH TENGGARA

POLA AKTIVITAS ORANGUTAN (Pongo abelii) DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER KETAMBE ACEH TENGGARA Jurnal Biotik, ISSN: 2337-9812, Vol. 3, No. 2, Ed. September 2015, Hal. 133-137 POLA AKTIVITAS ORANGUTAN (Pongo abelii) DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER KETAMBE ACEH TENGGARA 1 Afkar dan 2 Nadia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan III. METODE PENELTIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat (Gambar 6) pada bulan Mei

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Elang jawa (Spizaetus bartelsi) merupakan salah satu dari 3 spesies burung pemangsa yang menjadi perhatian dunia selain burung elang irian (Harpyopsis novaeguineae)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SEBARAN DAN POTENSI AGROFORESTRI MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM 5 DI KECAMATAN WAMPU DAN SAWIT SEBERANG KABUPATEN LANGKAT

IDENTIFIKASI SEBARAN DAN POTENSI AGROFORESTRI MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM 5 DI KECAMATAN WAMPU DAN SAWIT SEBERANG KABUPATEN LANGKAT IDENTIFIKASI SEBARAN DAN POTENSI AGROFORESTRI MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM 5 DI KECAMATAN WAMPU DAN SAWIT SEBERANG KABUPATEN LANGKAT ADE OKTAVIA SIRAIT 051201012 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelola Hutan Lindung (KPHL) Model Gunung Rajabasa Kabupaten

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017 ANALISIS TUTUPAN VEGETASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN JUMLAH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI AREAL RESTORASI RESORT SEI BETUNG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SKRIPSI Oleh : MARLINANG MAGDALENA SIHITE 131201122/MANAJEMEN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu dari 3 negara yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Fauna merupakan bagian dari keanekaragaman hayati di Indonesia,

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data untuk membuat model kesesuaian habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii) dilakukan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau.

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 PENDUGAAN JUMLAH INDIVIDU HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) DENGAN MENGGUNAKAN CAMERA TRAP SKRIPSI Oleh: DELCIA SEPTIANI 071201003 PROGRAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

PERILAKU MAKAN DAN JENIS PAKAN ORANGUTAN(Pongo pygmaeus) DI YAYASAN INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (YIARI) KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

PERILAKU MAKAN DAN JENIS PAKAN ORANGUTAN(Pongo pygmaeus) DI YAYASAN INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (YIARI) KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT PERILAKU MAKAN DAN JENIS PAKAN ORANGUTAN(Pongo pygmaeus) DI YAYASAN INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (YIARI) KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT (Feeding Behavior And The Food Types Of Orangutans

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI HUTAN RAWA GAMBUT TRIPA KABUPATEN NAGAN RAYA PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM SKRIPSI Oleh SUSILO SUDARMAN BUDIDAYA HUTAN / 011202010 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Faktor Faktor Penentu Keberhasilan Pelepasliaran Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh

Faktor Faktor Penentu Keberhasilan Pelepasliaran Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Desember 2012 ISSN 0853 4217 Vol. 17 (3): 186 191 Faktor Faktor Penentu Keberhasilan Pelepasliaran Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA

MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

POLA PENGGUNAAN WAKTU OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E

POLA PENGGUNAAN WAKTU OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E POLA PENGGUNAAN WAKTU OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung proses-proses ekologis di dalam ekosistem. Kerusakan hutan dan aktivitas manusia yang semakin meningkat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus) Lutung (Trachypithecus auratus cristatus) Oleh: Muhammad Faisyal MY, SP PEH Pelaksana Lanjutan Resort Kembang Kuning, SPTN Wilayah II, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Trachypithecus auratus cristatus)

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DESKRIPSI PEMBANGUNAN JAVAN RHINO STUDY AND CONSERVATION AREA (Areal Studi dan Konservasi Badak Jawa) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Informasi Geografis 2.1.1. Pengertian dan Konsep Dasar Prahasta (2001) menyebutkan bahwa pengembangan sistem-sistem khusus yang dibuat untuk menangani masalah informasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

PEMETAAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI KECAMATAN PESISIR KABUPATEN SERDANG BEDAGAI SKRIPSI

PEMETAAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI KECAMATAN PESISIR KABUPATEN SERDANG BEDAGAI SKRIPSI PEMETAAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI KECAMATAN PESISIR KABUPATEN SERDANG BEDAGAI SKRIPSI Oleh: HARIANTO 061201029 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 PEMETAAN PERUBAHAN

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) DI KECAMATAN SINGKOHOR KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2015

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) DI KECAMATAN SINGKOHOR KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2015 EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) DI KECAMATAN SINGKOHOR KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2015 SKRIPSI Oleh: Chandra Pangihutan Simamora 111201111 BUDIDAYA HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci