PENYALAHGUNAAN HAK ATAS BENDA JAMINAN YANG DIKAITKAN DENGAN GADAI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENYALAHGUNAAN HAK ATAS BENDA JAMINAN YANG DIKAITKAN DENGAN GADAI"

Transkripsi

1 PENYALAHGUNAAN HAK ATAS BENDA JAMINAN YANG DIKAITKAN DENGAN GADAI SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Oleh : NAZARIAH NIM : Jurusan : Hukum Keperdataan Program Kekhususan : Perdata Dagang FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008

2 Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar SARJANA HUKUM Oleh : NAZARIAH NIM : Jurusan : Hukum Keperdataan Program Kekhususan : Perdata Dagang Disetujui, Ketua Jurusan (Prof. Dr. Tan Kamello, SH, M.S.) NIP Pembimbing I, Pembimbing II, (M. Husni, S.H., MHum) (Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum) NIP NIP FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008

3 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih serta Maha Penyayang atas segala rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang merupakan sebagian syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat dalam menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum jurusan Hukum Perdata Dagang (S1) di Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai. Pemilihan judul ini didasari oleh rasa ketertarikan penulis tentang gadai dan penyalahgunaan hak atas benda jaminan gadai tersebut. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bukan hanya pada penulis sendiri, tetapi juga bagi masyarakat umumnya, dan bagi mahasiswa khususnya yang berada di lingkungan pendidikan hukum. Sebuah pepatah mengatakan tak ada gading yang tak retak, demikian juga dengan penulisan skripsi ini. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena penulis adalah manusia biasa dan tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada semua pihak yang telah memberikan dukungannya baik moril

4 maupun materil. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Keluarga besar Universitas Sumatera Utara terutama Fakultas Hukum : a. Rektor USU : Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. AK b. Dekan Fakultas Hukum : Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. c. Ketua Departemen Hukum Keperdataan : Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S. d. Ketua Jurusan kekhususan Perdata Dagang : Puspa Melati, S.H., M.Hum. e. Dan seluruh staf pengajar pada Fakultas Hukum USU. 2. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing : a. Bapak M. Husni, S.H., M. Hum. b. Ibu Rosnidar Sembiring, S H., M. Hum (yang telah membantu memberikan ide-ide dalam penulisan skripsi ini) 3. Seluruh pihak yang telah membantu memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharap kritik dan saran dari semua pihak atas segala kekurangan yang penulis sadari sepenuhnya terdapat dalam skripsi ini, guna perbaikan di kemudian hari. Wassalam Medan, Oktober 2008 Penulis,

5 (NAZARIAH) DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... i iii ABSTRAK... vii BAB I : PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Permasalahan... 1 B. Perumusan Masalah... 3 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 4 D. Keaslian Penulisan... 4 E. Tinjauan Kepustakaan... 5 F. Metode Penelitian... 5 G. Sistematika Penulisan... 8 BAB II : TINJAUAN UMUM TERHADAP GADAI A. Pengertian Gadai B. Proses Pemberian gadai Gadai hanya diberikan atas benda bergerak Gadai harus dikeluarkan dari kekuasaan pemberi gadai Gadai memberikan hak droit de preference C. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai D. Hak dan Kewajiban Penerima Gadai BAB III : HAK ATAS BENDA JAMINAN... 31

6 A. Pengertian benda B. Macam dan jenis benda Benda bergerak Benda tidak bergerak C. Hak atas Benda Jaminan Menurut KUH Perdata a. Pandrecht atau hak gadai b. Hipotek c. Penanggungan Utang Menurut KUH Dagang a. Objek jaminan hutang yang berupa kapal laut berukuran kurang dari 20 m3 yang tidak terdaftar di syahbandar b. Objek jaminan hutang yang berupa kapal laut berukuran 20 m3 atau lebih yang terdaftar di syahbandar BAB IV : PENYALAHGUNAAN HAK ATAS BENDA JAMINAN YANG DIKAITKAN DENGAN GADAI 53 A. Pengaturan tentang Hak atas Benda Jaminan di Indonesia Ruang lingkup hukum jaminan a. Ketentuan jaminan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang b. Gadai c. Hipotek d. Penanggungan utang... 58

7 2. Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Peraturan Pelaksanaan dari Undang-undang tentang Penjaminan Utang. 61 B. Penyalahgunaan Hak atas Benda Jaminan yang dikaitkan dengan gadai BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA... 71

8 Penyalahgunaan Hak Atas Benda Jaminan yang Dikaitkan dengan Gadai M. Husni, SH, M.Hum *) Rosnidar Sembiring, S.H MHum. **) Nazariah ***) Abstrak Gadai merupakan salah satu jenis dari hak kebendaan, hak gadai adalah mungkin atas benda bergerak sejauh mana benda-benda tersebut diserahkan atau dipindahkan. Adanya persyaratan, dapatnya diserahkan itu sejajar dengan kenyataan, bahwa gadai itu memberikan kekuasaan (kewenangan) khusus kepada pemegang gadai untuk memperoleh ganti rugi dari sebagian harta tertentu debitur. Namun, pada kenyataannya terdapat suatu penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang digadaikan tersebut oleh si pemegang gadai, dimana ia secara melawan hak menggunakan benda-benda atas benda jaminan gadai tersebut untuk kepentingannya sendiri. Dari ketentuan pasal 1159 KUH Perdata secara a contrario ternyata, bahwa penyalahgunaan benda gadai itu menghapuskan hak gadai. Kapankah dianggap ada penyalahgunaan? Pada dasarnya penggunaan adalah sama dengan penyalahgunaan. Pemegang gadai boleh menahan benda itu padanya, tetapi menggunakannya sekali-kali tidak boleh. Akan tetapi pada pihak-pihak diperkenankan untuk menyimpangi ketentuan itu dan bagi pemegang gadai dapat diberi wewenang untuk menggunakan barang tersebut. Akan tetapi lain halnya apabila benda gadai itu terlepas dari kekuasaan pemegang gadai dan diperoleh oleh seorang pihak ketiga yang beritikad baik. Pemegang gadai tidak hanya harus menguasai gadainya, bahkan untuk itu ia wajib, dalam arti, bahwa bilamana pemegang gadai melepaskan barang tersebut ke tangan pihak ketiga, yang pada akhirnya menimbulkan penyalahgunaan dan akibatnya hapusnya hak gadai. Pengaturan tentang hak atas benda jaminan di Indonesia terdapat (tercantum) dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan beberapa undang-undang tersendiri yang ditetapkan secara terpisah. Penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang dikaitkan dengan gadai, diatur dalam Pasal 1159 KUH Perdata. Dari ketentuan pasal 1159 KUH Perdata secara a contrario ternyata, bahwa penyalahgunaan benda gadai itu menghapuskan hak gadai. Key Word : 1. Penyalahgunaan 2. Hak Atas Benda Jaminan 3. Gadai *) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II ***) Mahasiswa FH USU

9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hak harta kekayaan secara tradisional dipisahkan dalam hak-hak kebendaan (zakelijke rechten) dan hak-hak pribadi (persoonlijke rechten). Hak kebendaan kerapkali diberi definisi sebagai suatu hak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda tertentu, sedangkan suatu hak pribadi didefinisikan sebagai suatu hak atas seseorang tertentu. Singkatnya suatu hak atas suatu benda berhadapan dengan suatu hak terhadap seseorang. Terutama terhadap definisi tentang suatu hak kebendaan sebagai suatu hak atas suatu benda timbul kritikkritik. 1 Pertama-tama, seperti yang diketahui bahwa setiap hubungan hukum (rechtsrelatie) menurut sifatnya adalah hubungan antara orang-orang (personen). Demikian juga dengan suatu hak kebendaan adalah suatu hubungan hukum antara orang-orang yang berhak atas benda dengan orang-orang lain. 2 Sedangkan suatu keberatan terhadap definisi, bahwa suatu hak kebendaan itu sebagai suatu penguasa terhadap suatu benda tertentu, hampir-hampir tidak dapat dibedakan, mengingat juga pada banyak pola penguasaan hak-hak pribadi terhadap suatu benda itu menjadi titik pusat. Juga hak-hak pribadi seperti sewa menyewa dan pinjam meminjam memberikan hak atas suatu benda dalam pengertian, bahwa si penyewa dan si peminjam boleh menggunakan benda yang dipinjam atau 1 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Bab-Bab tentang Hukum Benda, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1980, hal Ibid.

10 disewa itu. Lebih-lebih sekarang, pembedaan hak-hak kebendaan dan hak-hak pribadi dititikberatkan pada sifat kemutlakan (absoluut) daripada hak-hak kebendaan terhadap pengaruh relatif (relatieve werking) dari hak-hak pribadi (persoonlijke rechten). 3 Sifat khas (karakteristik) untuk perbedaan antara hak kebendaan sebagai eigendom dan hak pribadi sebagai suatu tagihan daripada pinjaman uang (vordering uit geldleen), ialah bahwa yang pertama ini adalah absolut, artinya bahwa terhadap siapapun juga dapat berlaku, sedangkan hak pribadi A atas Rp ,- yang ia pinjamkan kepada B adalah relatif, artinya bahwa hanya dapat melaksanakan haknya terhadap B. 4 Seperti diketahui, adalah suatu kenyataan bahwa suatu hak kebendaan yang mempunyai hubungan atas suatu benda, tidaklah menentukan pembedaan antara hak pribadi dan hak kebendaan. Ini adalah kejadian dalam hubungannya untuk pembatasan dari hak-hak kebendaan atas yang lain, yaitu hak-hak absolut yang bukan kebendaan. Hak pengarang, hak cipta, dan lain-lain yang sama, adalah mutlak, akan tetapi bukanlah hak-hak kebendaan, oleh karena yang menjadi sasarannya bukanlah benda, akan tetapi suatu hasil karya kesusasteraan, ilmu pengetahuan atau seni (kunst) dan suatu penemuan cara kerja baru atau produk baru. 5 Kebendaan hanyalah hak-hak dimana yang menjadi sasarannya itu suatu benda. Benda disini ialah dalam pengertian luas dari bagian harta kekayaan dan hak-hak harta kekayaan.jadi, hak-hak kebendaan misalnya eigendom, hak milik, 3 Ibid. 4 Ibid. 5 Ibid.

11 hak erfpacht, dan vruchtgebruik. Yang tidak kebendaan sebgai kebalikannya adalah suatu hak cipta (octooirecht), karena ini bukan suatu benda bertubuh juga bukan suatu hak atas suatu objek (tidak punya objek). 6 Demikian juga gadai adalah merupakan salah satu jenis dari hak kebendaan tersebut, hak gadai adalah mungkin atas benda bergerak sejauh mana benda-benda tersebut diserahkan atau dipindahkan. Adanya persyaratan, dapatnya diserahkan itu sejajar dengan kenyataan, bahwa gadai itu memberikan kekuasaan (kewenangan) khusus kepada pemegang gadai untuk memperoleh ganti rugi dari sebagian harta tertentu debitur. Pada galibnya pemegang gadai dalam menjalankan hak ganti ruginya itu dengan cara menjual dan menyerahkan benda yang digadaikan itu. 7 Namun, pada kenyataannya terdapat suatu penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang digadaikan tersebut oleh si pemegang gadai, dimana ia secara melawan hak menggunakan benda-benda atas benda jaminan gadai tersebut untuk kepentingannya sendiri. Hal ini mendorong penulis untuk membahasnya dan memilih judul tersebut. B. Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut, yaitu : 1. Bagaimanakah pengaturan tentang hak atas benda jaminan di Indonesia? 2. Bagaimanakah penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang dikaitkan dengan gadai? 6 Ibid. 7 Ibid, hal 98.

12 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan penulisan ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui pengaturan tentang hak atas benda jaminan di Indonesia. b. Untuk mengetahui penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang dikaitkan dengan gadai. Sedangkan manfaat dari penulisan ini antara lain : 1. Bagi masyarakat diharapkan dengan tulisan ini dapat menambah wawasan masyarakat tentang masalah hak atas benda jaminan di Indonesia. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan kepustakaan ilmu hukum dalam bidang hak atas benda jaminan dan penyalahgunaannya sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembinaan hukum dimasa yang akan datang. D. Keaslian Penulisan Penulisan ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari penulis sendiri dengan masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penulisan ini, karena melihat fenomena penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang dikaitkan dengan gadai. Skripsi ini belum pernah dibuat oleh mahasiwa fakultas hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya, kalaupun ada kesamaan, hal itu pastilah dilakukan dengan tidak sengaja dan tentunya dilakukan dengan pendekatan masalah yang berbeda.

13 E. Tinjauan Kepustakaan Pengertian yang paling luas dari benda (zaak) ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang. Disini benda berarti objek sebagai lawan dari subjek atau orang dalam hukum. Ada juga perkataan benda itu dipakai dalam arti yang sempit, yaitu sebagai barang yang dapat terlihat saja. Ada lagi dipakai, jika yang dimaksudkan kekayaan seseorang. 8 Pengertian hak kebendaan atau hak atas benda adalah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang. Jadi suatu hak kebendaan dapat dipertahankan terhadap tiap orang yang melanggar hak itu. 9 Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur, atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada kreditur itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biayabiaya mana harus didahulukan. 10 F. Metode Penelitian 8 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 1985, hal Ibid, hal Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

14 Dalam penyusunan skripsi ini, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan atau mencari data-data yang terdapat dalam praktek, metode-metode pengumpulan bahan ini antara lain : 1. Metode pendekatan Metode pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yurisdis normatif, yaitu pendekatan dimana penelitian terutama dilakukan untuk meneliti hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaedah atau apabila hukum dipandang sebagai sebuah kaedah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat, yang kemudian didukung dengan data-data sekunder yang diperoleh dari buku-buku, hasil-hasil penelitian, surat kabar, makalah, dan sebagainya. 2. Sifat penelitian Penelitian ini bersifat deskriftif, artinya bahwa penelitian ini nantinya dapat memberikan data yang seteliti mungkin tentang penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang terjadi dalam gadai, sehingga dapat diketahui menggambarkan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam gadai baik oleh orang yang menggadaikan barangnya ataupun oleh si pemberi gadai tersebut. 3. Data yang digunakan Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder, yaitu data yang tidak diperoleh langsung dari sumber pertama, yang meliputi : a. Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan penulisan skripsi. b. Buku-buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi.

15 c. Keterangan-keterangan yang berasal dari literatur. d. Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan judul penulisan. 4. Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian ini dirumuskan adalah mencari bahan-bahan atau data-data untuk keperluan penulisan ini melalui kepustakaan dengan cara membaca, menafsirkan atau mentransfer buku-buku atau literatur, baik berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan lainnya, yang penulis anggap penting sebagai pendukung dalam pembuatan skripsi ini. 5. Alat pengumpulan data Alat pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah : a. Studi dokumen yang terdiri dari : 1) Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan penulisan skripsi. 2) Buku-buku yang berhubungan dengan penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang dikaitkan dengan gadai. 3) Keterangan-keterangan yang berasal dari literatur. 4) Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan judul penulisan. 6. Analisa data Analisa data yang dilakukan oleh penulis adalah dengan cara menerangkan dan menjelaskan semua data yang diterima dan didapat dari sumber-sumber data.

16 Semua data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. G. Sistematika Penulisan Suatu penulisan ilmiah perlu dibatasi ruang lingkupnya, agar hasil yang akan diuraikan terarah dan data yang diperoleh relevan untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya dan menghindari data yang membias. Untuk mempermudah pemahaman seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka pembahasan penulisan ini mencakup 5 bab, yaitu : BAB I : PENDAHULUAN Merupakan pendahuluan yang menguraikan apa yang menjadi latar belakang permasalahan dari skripsi ini, merumuskan masalah yang menjadi pokok pembahasan, memaparkan tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini, keaslian penulisan dan tinjauan kepustakaan, juga mengenai metode dan sistematika penulisan dari skripsi ini. BAB II : TINJAUAN UMUM TERHADAP GADAI Berisi uraian secara teoritis secara umum, yaitu membahas mengenai gadai dan juga peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang itu. BAB III : HAK ATAS BENDA JAMINAN

17 Berisikan suatu masalah mengenai pengertian tentang benda, macam dan jenis benda, serta hak-hak atas benda jaminan BAB IV :PENYALAHGUNAAN HAK ATAS BENDA JAMINAN YANG DIKAITKAN DENGAN GADAI Berisikan tentang pengaturan tentang hak atas benda jaminan di Indonesia serta penyalahgunaan hak atas benda jaminan yang dilakukan oleh si pemegang gadai, hal-hal apa saja yang dapat disebut sebagai penyalahgunaan. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Berisi kesimpulan dan saran-saran yang ditarik berdasarkan hasil analisa data, dimana berdasarkan kesimpulan ini kemudian diberikan saran-saran yang dianggap dapat memberikan masukan untuk semua pihak, minimal dapat memperluas wacana dan wawasan berpikir pembaca.

18 A. Pengertian Gadai BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP GADAI Gadai sebagai suatu hak yang mendahulu dari seorang kreditur untuk memperoleh pelunasan piutangnya dapat dibaca dalam rumusan pasal 1133 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan : menyatakan : Hak untuk didahulukan di antara para kreditur terbit dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotek. Tentang gadai dan hipotek diatur dalam Bab XX dan Bab XXI buku ini. Dan dalam pasal 1134 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh Undang-undang diberikan kepada seorang kreditur sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada kreditur lainnya, semata-mata berdasarkan sifatnya piutang. Gadai dan hipotek adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana oleh Undang-undang ditentukan sebaliknya. Dari rumusan kedua pasal tersebut dapat diketahui bahwa gadai adalah suatu hak yang memberikan kepada kreditur pelunasan yang mendahulu dari

19 kreditur-kreditur lainnya. 11 Pengertian dari gadai sendiri diatur dalam pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang merumuskan sebagai berikut : Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur, atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada kreditur itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan. Dari rumusan yang diberikan tersebut dapat diketahui bahwa untuk dapat disebut gadai, maka unsur-unsur dibawah ini harus dipenuhi : 1. Gadai diberikan hanya atas benda bergerak. 2. Gadai harus dikeluarkan dari penguasaan pemberi gadai. 3. gadai memberikan hak kepada kreditur untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas piutang kreditur (droit de preference). 4. Gadai memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mengambil sendiri pelunasan secara mendahulu tersebut. 12 B. Proses Pemberian Gadai Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan suatu formalitas tertentu bagi pemberian gadai. Dengan rumusan pasal 1151 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa : Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan pokoknya. 11 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan : Hak Istimewa, Gadai dan Hipotek, Kencana, Jakarta, 2005, hal Ibid, hal 72.

20 Dapat diketahui bahwa pemberian gadai harus mengikuti suatu perjanjian pokok. Dalam hal perjanjian pokok yang menjadi dasar pemberian gadai adalah suatu perjanjian yang tidak memerlukan suatu bentuk formalitas bagi sahnya perjanjian pokok teresbut, maka berarti gadai juga dapat diberikan dengan cara yang sama, yaitu menurut ketentuan yang berlaku bagi sahnya perjanjian pokok tersebut. Dengan demikian berarti sahnya suatu pemberian gadai harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian secara umum sebagaimana diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 13 Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian. Dengan rumusan yang menyatakan bahwa : Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat : a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. c. Suatu hal tertentu. d. Suatu sebab yang tidak terlarang. Ilmu hukum selanjutnya membedakan keempat hal tersebut ke dalam dua syarat, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. 14 a. Pemenuhan syarat subjektif pemberian gadai Sebagai suatu bentuk perjanjian, maka pemberian gadai harus memenuhi syarat subjektif sahnya perjanjian. Sebagaimana dilihat dari rumusan pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, syarat subjektif sahnya perjanjian dapat dibedakan kedalam dua hal pokok, yaitu : 1) Adanya kesepakatan dari mereka yang mengikatkan diri. 2) Adanya kesepakatan dari para pihak untuk membuat perikatan Ibid, hal Ibid.

21 Keterangan : 1) Tentang kesepakatan untuk memberikan gadai. Kesepakatan merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak mengenai hal-hal yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, mengenai cara melaksanakannya, saat pelaksanaannya, dan mengenai pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan hal-hal yang telah disepakati tersebut. 16 Sebelum kesepakatan tercapai di antara para pihak, maka pada umumnya diantara para pihak akan terlebih dahulu dilakukan pembicaraan atau yang umumnya dinamakan negosiasi. Dalam negosiasi tersebut salah satu atau lebih pihak akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai halhal yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. 17 Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama penawaran. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian yang disampaikan kepada lawan pihaknya tersebut, yang nantinya akan terwujud sebagai perjanjian yang mengikat kedua belah pihak. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus menentukan apakah ia akan menerima penawaran yang disampaikan oleh pihak yang melakukan penawaran tersebut. Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran, menerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut Ibid. 16 Ibid, hal Ibid. 18 Ibid.

22 Sedangkan jika pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui hal tersebut, maka ia dapat melakukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat dipenuhi, atau yang sesuai kehendaknya, yang dapat dilaksanakan, dipenuhi atau diterima olehnya. Dalam hal demikian maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak secara bertimbal balik adalah saat terjadinya kesepakatan. 19 Gadai adalah suatu perjanjian riil, oleh karena sebagaimana ditentukan dalam pengertian gadai itu sendiri, gadai hanya ada, manakala benda yang akan digadaikan secara fisik telah dikeluarkan dari kekuasaan pemberi gadai. Pengeluaran benda yang digadaikan dari kekuasaan pemberi gadai ini bersifat mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar. Pengeluaran benda yang digadaikan dari kekuasaan pemberi gadai dapat dilakukan, baik dengan menyerahkan kekuasaan atas benda yang digadaikan tersebut kepada kreditur atau pihak ketiga, untuk kepentingan kreditur sebagai pemegang gadai. Kesepakatan untuk memberikan gadai tidak dengan begitu saja melahirkan gadai, melainkan sampai perbuatan pengeluaran benda gadai dari kekuasaan debitur atau pemberi gadai dilakukan. 20 Pasal 1152 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan bahwa : 19 Ibid, hal Ibid.

23 Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya dibawah kekuasaan kreditur atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak. Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan debitur atau pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan kreditur. Hak gadai hapus, apabila barang gadainya keluar dari kekuasaan penerima gadai. Apabila namun itu barang tersebut hilang dari tangan penerima gadai ini atau dicuri daripadanya, maka hendaklah ia menuntutnya kembali, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1977 ayat kedua, sedangkan apabila barang gadai didapatnya kembali, hak gadai dianggap tidak pernah hilang. Hal tidak berkuasanya pemberi gadai untuk bertindak bebas dengan barang gadainya, tidaklah dapat dipertanggung jawabkan kepada kreditur yang telah menerima barang tersebut dalam gadai, dengan tak mengurangi hak yang kehilangan atau kecurian barang itu, untuk menuntutnya kembali. Perlunya benda yang digadaikan dikeluarkan dari penguasaan debitur atau pihak ketiga yang memberikan benda tersebut sebagai jaminan dalam bentuk gadai, adalah karena sifat dari benda bergerak itu sendiri, yang menurut ketentuan pasal 1977 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi : Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak harus dibayar kepada pembawa, maka barang siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya. Dengan demikian berarti, selama benda tersebut tidak dikeluarkan dari penguasaan pemberi gadai, maka pemberi gadai, selaku pemilik dari benda tersebut, yang menurut ketentuan pasal 1977 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata jo pasal 572 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dapat setiap

24 saat menjual atau mengalihkan kepemilikan atas benda yang digadaikan tersebut. Hal ini tentu saja menjadikan gadai menjadi tidak ada artinya sama sekali. 21 Dengan demikian tepatlah jika dikatakan bahwa Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan debitur atau pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan kreditur, dan bahwa Hak gadai hapus, apabila barangnya gadai keluar dari kekuasaan penerima gadai. Penerima gadai atau pemegang gadai berkewajiban untuk menjaga dengan baik, benda yang digadaikan, yang berada dalam penguasaannya. Dalam hal benda gadai hilang dari penguasaan penerima gadai, karena kemauan penerima gadai sendiri, maka sudah selayaknya jika gadai tersebut hapus demi hukum, dengan tidak menutup kemungkinan pemilik benda yang menyerahkan benda tersebut sebagai jaminan dalam bentuk gadai (pemberi gadai), untuk menuntut kerugian yang terjadi. 22 Jadi sebagai suatu bentuk perjanjian yang riil, kesepakatan pemberi gadai lahir pada saat barang atau benda yang hendak dijaminkan dalam bentuk gadai diserahkan oleh, dengan pengertian dikeluarkan penguasaannya dari pemilik benda tersebut sebagai pemberi gadai, yang dapat saja merupakan kreditur atau pihak ketiga yang telah disepakati secara bersama oleh kreditur dan pemberi gadai. Adanya kesepakatan dibuktikan dengan dikeluarkannya benda gadai dari penguasaan pemilik benda tersebut Ibid, hal Ibid, hal Ibid, hal 79.

25 Selain benda bergerak yang berwujud dan piutang-piutang kepada pembawa, ketentuan pasal 1152 bis Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan lebih lanjut : Untuk meletakkan hak gadai atas surat-surat tunjuk diperlukan, selainnya endosemennya, penyerahan suratnya. Dan pasal 1153 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi : Hak gadai atas benda-benda bergerak yang tak bertubuh, kecuali suratsurat tunjuk atau surat-surat bawa, diletakkan dengan pemberitahuan perihal penggadaiannya, kepada orang terhadap siapa hak yang digadaikan itu harus dilaksanakan. Oleh orang ini, tentang hal pemberitahuan tersebut serta tentang izinnya pemberi gadai dapat dimintanya suatu bukti tertulis. Dari ketentuan tersebut diatas, dapat diketahui bahwa : a) Terhadap piutang atas tunjuk, maka harus dilakukan endosemen atau penyerahan surat piutang atas tunjuk tersebut oleh pemberi gadai, selaku pemilik piutang atas nama tersebut, kepada kreditur atau pihak ketiga yang disetujui bersama, sebagai penerima gadai. Perlu diperhatikan bahwa endosemen dan penyerahan disini tidak dimaksudkan untuk mengalihkan atau menyerahkan hak milik atas piutang atas tunjuk tersebut, melainkan hanya sebagai jaminan utang dalam bentuk gadai. Ini berarti ketentuan Pasal 584 jo. Pasal 613 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak berlaku. 24 b) Terhadap piutang atas nama, maka gadai baru berlaku manakala pemberitahuan, kepada siapa gadai dilaksanakan, telah dilakukan. Kitab 24 Ibid, hal 80.

26 Undang-Undang Hukum Perdata tidak menentukan pemberitahuan tersebut. Dengan demikian, maka pemberitahuan tersebut dapat dilakukan secara lisan. Selanjutnya menunjuk pada rumusan : Oleh orang ini (orang terhadap siapa yang digadaikan itu harus dilaksanakan), tentang hal pemberitahuan tersebut serta tentang izinnya pemberi gadai dapat dimintanya suatu bukti tertulis, dapat dikatakan bahwa pemberitahuan mengenai adanya gadai disampaikan oleh penerima gadai, dengan persetujuan atau izin dari pemberi gadai. Dalam hal tidak ternyata adanya izin dari pemberi gadai, maka orang terhadap siapa gadai harus dilaksanakan, dapat meminta bukti tertulis sehubungan dengan janji pemberian gadai tersebut oleh pemberi gadai kepada penerima gadai. Ketentuan ini secara prinsip berbeda dari cessie, sebagai suatu bentuk levering yang dilakasanakn menurut pasal 613 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang telah sah pada saat akta cessie dibuat. Pemberitahuan menurut pasal 613 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata hanyalah merupakan syarat terikatnya debitur dengan pengalihan piutang atas nama tersebut. 25 Perlu diperhatikan ketentuan gadai saham sebagaimana diatur dalam Undangundang Perseroan Terbatas Pasal 53 yang pada pokoknya mengatur bahwa saham baik saham atas tunjuk (aantonder) maupun saham atas nama dapat digadaikan. Gadai saham harus dicatat dalam Daftar Pemegang Saham oleh pihak yang ditunjuk dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas, yaitu 25 Ibid.

27 biasanya Direksi. Direksi baru dapat mencatat gadai saham dalam Daftar Pemegang Saham jika ia telah diberi tahu adanya gadai tersebut. 26 Hal lain yang perlu diperhatikan lebih lanjut sehubungan dengan adanya kesepakatan ini, adalah ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 1321 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa : Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. Berdasarkan rumusan tersebut dapat dikatakan bahwa Kitab Undangundang Hukum Perdata memberikan beban tidak adanya kesepakatan pada pihak yang menyatakan bahwa terhadap dirinya telah terjadi kekhilafan, paksaan, atau penipuan. Dalam ketiga hal tersebut tidak daapt dibuktikan keberdaannya, maka kesepakatan harus dianggap tercapai antara para pihak. 2) Kecakapan untuk memberikan gadai Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subjektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah diantara para pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kecakapan untuk bertindak berkaitang dengan masalah kemampuan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum (yang pada umumnya dilihat dari sisi kedewasaan), masalah kewenangan 26 Ibid.

28 berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut untuk bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja orang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Sebaliknya, seorang yang dianggap berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata, karena suatu hal dapat menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum. 27 Penilaian mengenai kecakapan bertindak dan kewenangan bertindak ini harus dibuat atau dilakukan secara berurutan. Sebelum seseorang berbicara mengenai kewenangan untuk bertindak, haruslah terlebih dahulu dicari tahu mengenai kecakapan bertindak dalam hukum. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak (yang pada umumnya dikaitkan dengan tindakan yang dilakukan untuk dan atas namanya sendiri), baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut, juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu (yang dalam hal ini biasanya dihubungkan dengan kapasitas dari orang perorangan tersebut dengan yang diwakilinya ). 28 b. Syarat objektif Syarat objektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam : 1) Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian. 27 Ibid, hal Ibid.

29 2) Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai kewajiban adanya suatu sebab yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak. 29 Keterangan : 1) Tentang hal tertentu Kitab Undang-undang Hukum Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi sebagai berikut : Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Ketentuan pasal 1332 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : Hanya kebendaan yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian. Pada dasarnya hanya menegaskan kembali bahwa yang masuk dalam rumusan perjanjian ini, yang dapat menjadi kewajiban dalam perikatan adalah kebendaan yang masuk dalam lapangan harta kekayaan. 30 Jadi kebendaan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang berada di luar lapangan harta kekayaan (yang terutama diatur dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang kebendaan) tidaklah dapat menjadi 29 Ibid, hal Ibid.

30 pokok perjanjian, karena kebendaan tersebut tidaklah termasuk kedalam rumusan kebendaan menurut pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sehingga tidak dapat dijadikan jaminan bagi pelunasan perikatan orang perorangan tersebut. 31 Pasal 1334 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai perjanjian yang melahirkan perikatan bersyarat. Dengan rumusan sebagai berikut : Barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidak diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal yang mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakat orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal-pasal 169, 176, dan 178. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk penegasan bahwa dalam suatu perjanjian, hanya seseorang yang dapat berbuat bebas dengan kebendaan yang menjadi pokok perjanjian saja yang dapat membuat perjanjian yang mengikat kebendaan tersebut. Dalam perjanjian pemberian gadai, seperti telah disebutkan diatas, ada tiga ketentuan yang mengatur mengenai benda yang menjadi objek gadai, yaitu yang diatur dalam pasal 1152, yang berbunyi : Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya dibawah kekuasaan kreditur atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak. Tak sah adalah gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan debitur atau pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan kreditur. Hak gadai hapus, apabila barangnya gadai keluar dari kekuasaan penerima gadai. Apabila namun itu barang tersebut hilang dari tangan penerima gadai atau dicuri daripadanya, maka berhaklah ia menuntutnya kembali, 31 Ibid.

31 sebagaimana disebutkan dalam pasal 1977 ayat kedua, sedangkan apabila barang gadai didapatnya kembali, hak gadai dianggap tidak pernah hilang. Hal tidak berkuasanya pemberi gadai untuk bertindak bebas dengan barang gadainya, tidaklah dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditur yang telah menerima barang tersebut dalam gadai, dengan tak mengurangi hak yang kehilangan atau kecurian barang itu, untuk menuntutnya kembali. Juga Pasal 1152 bis, yang berbunyi : Untuk meletakkan hak gadai atas surat-surat tunjuk diperlukan, selainnya endosemennya, penyerahan suratnya. Dan Pasal 1153, yang berbunyi : Hak gadai atas benda-benda bergerak yang tak bertubuh, kecuali suratsurat tunjuk atau surat-surat bawa, diletakkan dengan pemberitahuan perihal pegadaiannya, kepada orang terhadap siapa hak yang digadaikan itu harus dilaksanakan. Oleh karena ini, tentang hal pemberitahuan tersebut serta tentang izinnya pemberi gadai dapat diminta suatu bukti tertulis. Rumusan ketiga pasal tersebut diatas menunjukkan adanya pembedaan pemberian gadai kedalam tiga cara pemberian gadai berdasarkan pada sifat atau wujud benda yang digadaikan tersebut, yaitu : a) Untuk benda-benda bergerak dan piutang-piutang kepada pembawa, maka gadai baru terjadi, jika benda-benda tersebut telah dikeluarkan dari penguasaan pemberi gadai yang memiliki benda tersebut. b) Bagi piutang-piutang atas tunjuk, untuk sahnya, gadai harus dilaksanakan dengan cara endorsemen yang disertai dengan penyerahan surat piutang atas tunjuk tersebut oleh pemberi gadai, selaku pemilik piutang atas nama tersebut, kepada kreditur atau pihak ketiga yang telah disetujui bersama, sebagai penerima gadai.

32 c) Selanjutnya terhadap piutang-piutang atas nama, maka gadai baru sah dan berlaku manakala pemberitahuan kepada siapa gadai harus dilaksanakan, telah dilakukan. 32 2) Tentang sebab yang halal dalam pemberian gadai Sebab yang halal diatur dalam pasal 1335 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa : Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Dari rumusan pasal tersebut diatas, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah : a) Bukan tanpa sebab. b) Bukan sebab yang palsu. c) Bukan sebab yang terlarang. 33 Selanjutnya dalam pasal 1336 KUH Perdata, dinyatakan lebih lanjut bahwa : Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, atau jika ada suatu sebab lain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian itu adalah sah. Adapun proses pemberian gadai adalah sebagai berikut : 1. Gadai hanya diberikan atas benda bergerak 32 Ibid, hal Ibid, hal 165.

33 Unsur pertama dari suatu gadai seperti dikatakan sebelumnya hanya dapat diberikan terhadap benda yang bergerak, yang dalam hal ini menurut ketentuan pasal 1152, pasal 1152 bis, dan pasal 1153 KUH Perdata, dapat diberikan terhadap : a) Benda bergerak, yang berwujud dan piutang-piutang kepada pembawa, yang dilaksanakan dengan cara melepaskan benda tersebut dari penguasaan pemberi gadai. Hal ini berdasar kepada pasal 1152 KUH Perdata yang berbunyi : Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan kreditur atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak. Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan debitur atau pemberi gadai, ataupun yang kembali atas kemauan kreditur. Hak gadai hapus apabila barangnya keluar dari kekuasaan penerima gadai ini atau dicuri daripadanya, maka berhaklah ia menuntutnya kembali, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1977 ayat kedua, sedangkan apabila barang gadai didapatnya kembali, hak gadai dianggap tidak pernah hilang. Hal tidak berkuasanya pemberi gadai untuk bertindak bebas dengan barang gadainya, tidaklah dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditur yang telah menerima barang tersebut dalam gadai, dengan tak mengurangi hak yang kehilangan atau kecurian barang itu untuk menuntutnya kembali. b) Piutang kepada pihak yang ditunjuk, yang pemberian gadainya dilakukan dengan cara endosemen yang disertai dengan penyerahan surat piutang atas tunjuk tersebut. Berdasar pasal 1152 bis KUH Perdata, yang berbunyi: Untuk meletakkan hak gadai atas surat-surat tunjuk diperlukan, selainnya endosemennya, penyerahan suratnya.

34 c) piutang-piutang atas nama, pemberian gadainya hanya sah jika telah diberitahukan mengenai pemberian gadai tersebut kepada orang, terhadap siapa gadai tersebut akan dilaksanakan Gadai harus dikeluarkan dari kekuasaan pemberi gadai Dari penjelasan yang diberikan dimuka dapat diketahui bahwa sebagai benda bergerak, maka gadai harus dikeluarkan dari kekuasaan pemberi gadai, yang caranya dilakukan menurut wujud masing-masing dari benda bergerak tersebut. Bagi benda bergerak yang berwujud dan bagi piutang-piutang kepada pembawa, maka cara mengeluarkan benda gadai dari pemberi gadai adalah dengan menyerahkannya kepada penerima gadai, yang dapat merupakan kreditur atau pihak ketiga yang ditunjuk atau disepakati bersama. Selanjutnya bagi benda bergerak yang tidak berwujud dalam bentuk piutang atas tunjuk, maka surat piutang atas tunjuk tersebut harus di endorse dan selanjutnya diserahkan kepada pemegang gadai. Dalam hal piutang atas nama, maka wujud pengeluarang piutang tersebut dari penguasaan pemberi gadai dilakukan dengan cara pemberitahuan akan gadai yang diberikan tersebut kepada orang terhadap siapa gadai dilaksanakan Gadai memberikan hak droit de preference Pemberian gadai sebagai suatu bentuk jaminan yang diberikan sebagai pelunasan mendahulu (droit de preference) dapat dilihat pengaturannya dari ketentuan pasal 1150 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa : 34 Ibid, hal Ibid, hal 171.

35 Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur, atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada kreditur itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan. Jelas bahwa gadai adalah hak yang bersifat mendahulu dari seorang kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari benda yang digadaikan tersebut, manakala debitur tidak memenuhi kewajibannya. Hak ini memberikan hak mendahulu dari kreditur konkuren, berdasarkan ketentuan pasal 1132 KUH Perdata, Pasal 1133 KUH Perdata dan Pasal 1134 KUH Perdata. 36 C. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai 1. Hak pemberi gadai Adapun hak dari pemberi gadai adalah : a. Hak milik yang dimiliki seseorang atas kebendaan tertentu memberikan kepadanya hak untuk memberikan hak-hak kebendaan lain diatasnya, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat terbatas. b. Hak untuk tetap memiliki barang yang digadaikan bila debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya (Pasal 1154 KUH Perdata) Kewajiban pemberi gadai Adapun kewajiban pemberi gadai adalah : Ibid, hal Ibid, hal Ibid, hal 183.

36 a. Pemberi gadai harus melepaskan kekuasaan nyatanya atas benda-benda yang digadaikan itu. Caranya dilakukan menurut wujud masing-masing dari benda bergerak tersebut. Bagi benda bergerak yang berwujud dan bagi piutangpiutang kepada pembawa, maka cara mengeluarkan benda gadai dari pemberi gadai adalah dengan menyerahkannya kepada penerima gadai, yang dapat merupakan kreditur atau pihak ketiga yang ditunjuk atau disepakati bersama. Selanjutnya bagi benda bergerak yang tidak berwujud dalam bentuk piutang atas tunjuk, maka surat piutang atas tunjuk tersebut harus di endorse dan selanjutnya diserahkan kepada pemegang gadai. Dalam hal piutang atas nama, maka wujud pengeluarang piutang tersebut dari penguasaan pemberi gadai dilakukan dengan cara pemberitahuan akan gadai yang diberikan tersebut kepada orang terhadap siapa gadai dilaksanakan. 39 b. Pemberi gadai atau debitur diwajibkan mengganti kepada kreditur segala biaya yang berguna dan perlu, yang telah dikeluarkan oleh pihak yang tersebut belakangan ini guna keselamatan barang gadainya (Pasal 1157 KUH Perdata). 40 D. Hak dan Kewajiban Penerima Gadai 1. Hak penerima gadai Adapun hak dari penerima gadai atau kreditur adalah sebagai berikut : a. Hak retentie 39 Ibid, hal Ibid, hal 176.

37 Hak gadai hanyalah ada bilamana pemberi gadai telah menyerahkan barang yang digadaikan. Kebanyakan pemberi gadai akan menyerahkan barang tersebut kepada pemegang gadai. Sedangkan pemegang gadai tidak perlu mengembalikan benda tersebut sebelum hutang, rente, dan biaya-biaya dibayar. Di dalam hukum pemegang gadai atau penerima gadai menguasai benda tersebut sampai tagihannya itu dilunasi, hak retentie adalah suatu upaya penting untuk mendorong pemberi gadai untuk membayar hutangnya. Pemegang gadai harus menjaga bahwa nilai daripada benda yang digadaikan tersebut, harus lebih tinggi dari hutang yang diikatkan dengan gadai. Oleh karena itu, maka pemberi gadai atau debitur mempunyai kepentingan untuk dapat memperoleh kembali bendanya dengan jalan melunasi hutang itu. b. Hak executie yang dipermudah Pada umumnya secara normal debitur atau pemberi gadai akan memenuhi kewajiban-kewajibannya dan benda tersebut akan dikembalikan padanya setelah ia melunasi hutangnya. Memang hak gadai itu diciptakan dengan maksud adanya kemungkinan debitur tidak akan memnuhi kewajibankewajibannya. Dalam kasus demikian, setiap kreditur bebas memperoleh ganti rugi dari harta benda debitur, tetapi kreditur yang minta janji suatu hak gadai memperoleh kemungkinan ganti rugi yang lebih mudah. Didalam beberapa segi, maka pemegang gadai didalam memperoleh ganti rugi mempunyai suatu posisi yang lebih menguntungkan daripada kreditur lain yang tagihannya tidak dijamin dengan gadai.

38 c. Hak yang didahulukan untuk memperoleh ganti rugi. Kreditur yang mempunyai tagihan yang diperkuat dengan hak gadai untuk mencapai tidak hanya bahwa ia tidak harus menunggu-nunggu pembayarannya, akan tetapi dengan cara sederhana dapat melakukan eksekusi atas benda gadai tersebut. Di samping itu, bahwa tagihannya itu akan memperoleh ganti rugi yang paling didahulukan dari hasil benda gadai itu. Pemegang gadai didalam pembagian hasil eksekusi, haknya tidak hanya diatas para kreditur concurrent saja, melainkan juga diatas kreditur-kreditur yang diberikan prefentie (voorrang) menurut Undang-undang (Pasal 1134 ayat (2) BW) Kewajiban penerima gadai Hal ini sebagaimana tertuang dalam pasal 1157 KUH Perdata, yang berbunyi: Kreditur bertanggung jawab untuk hilangnya atau kemerosotan barangnya sekedar itu telah terjadi karena kelalaiannya. Sebaliknya debitur diwajibkan mengganti kepada kreditur segala biaya yang berguna dan perlu, yang telah dikeluarkan oleh pihak yang tersebut belakangan ini guna keselamatan barang gadainya. Rumusan tersebut pada prinsipnya menunjukkan kembali bahwa sebagai seorang yang memegang atau memangku sesuatu kedudukan berkuasa atas segala benda milik orang lain berkewajiban untuk memelihara benda tersebut dengan 41 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Bab-Bab tentang Hukum Benda, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984, hal 101.

39 baik, sebagaimana halnya seorang pemilik sejati. Dalam hal demikian maka ia berkewajiban untuk mengeluarkan biaya yang diperlukan untuk menyelamatkan benda tersebut. Selanjutnya pemilik sejati dari benda tersebut berkewajiban untuk menggantikan segala biaya yang telah dikeluarkan oleh pemangku kedudukan berkuasa ini untuk menyelamatkan benda tersebut. 42 BAB III HAK ATAS BENDA JAMINAN A. Pengertian Benda Pengertian benda dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat ditemukan dalam Pasal 499, yang berbunyi : Menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah, tiaptiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. 42 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op Cit, hal 176.

40 Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa dalam pandangan undangundang (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) yang dimaksud dengan kebendaan adalah segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan hak milik, tanpa mempedulikan jenis atau wujudnya. Satu hal yang perlu dicatat dan diperhatikan disini adalah bahwa penguasaan dalm bentuk hak milik ini adalah penguasaan yang memiliki nilai ekonomis. Suatu kebendaan yang dapat dimiliki tetapi tidak memiliki nilai ekonomis bukanlah kebendaan yang menjadi objek pembicaraan. 43 Hal ini membawa konsekuensi logis kepada ketentuan Pasal 1131 Kitab Undangundang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : Segala kebendaan yang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatanperikatan perorangan debitur itu. Dengan ketentuan tersebut dalam Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, jelas bahwa hanya kebendaan yang memiliki nilai ekonomis saja yang dapat menjadi jaminan bagi pelaksanaan perikatan, kewajiban prestasi atau utang seorang debitur. Dalam konteks tersebut diatas, perlu dipahami bahwa adakalanya dalam pandangan umum, suatu kebendaan, misalnya udara dan air, dapat dianggap tidak memiliki nilai ekonomis, namun oleh karena sifat dan penggunaannya, kebendaan tersebut, yaitu udara dan air tersebut, pada lain ketika dapat menjadi kebendaan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Dengan demikian, seharusnya dipahami bahwa makna ekonomis, menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata tidaklah bersifat rigrid. Pemahaman makna ekonomis 43 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Kebendaan pada Umumnya, Kencana, Jakarta, 2003, hal 31.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA NO. URAIAN GADAI FIDUSIA 1 Pengertian Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditor (si berpiutang) atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Oleh FITRI ZAKIYAH NIM :

SKRIPSI. Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Oleh FITRI ZAKIYAH NIM : Perbandingan Sistem Bunga Pada Perbankan Konvensional dengan Prinsip Bagi hasil Pada Perbankan Syariah (Studi Kasus Bank Mandiri dan Bank Syariah Mandiri Pekanbaru) SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan dalam kehidupan dewasa ini bukanlah merupakan sesuatu yang asing lagi. Bank tidak hanya menjadi sahabat masyarakat perkotaan, tetapi juga masyarakat perdesaan.

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di. Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah

PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di. Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah penduduk di Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

II.1 Tinjauan Teoritis Gadai dalam Jaminan Kebendaan II.1.1 Pengertian Jaminan

II.1 Tinjauan Teoritis Gadai dalam Jaminan Kebendaan II.1.1 Pengertian Jaminan 8 BAB II TINJAUAN TEORITIS GADAI DALAM JAMINAN KEBENDAAN DAN KETENTUAN PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI TERHADAP JAMINAN GADAI REKENING BANK SERTA ANALISA KASUS II.1 Tinjauan Teoritis Gadai dalam Jaminan Kebendaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 2.1 Pengertian Gadai Salah satu lembaga jaminan yang obyeknya benda bergerak adalah lembaga gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.

Lebih terperinci

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh: Nama

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR A. Pengertian Kreditur dan Debitur Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adapun pengertian

Lebih terperinci

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam Meminjam Di Kabupaten Sleman Perjanjian adalah suatu hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk

Lebih terperinci

GADAI DAN HAK KEBENDAAN TINJAUAN YURIDIS GADAI SEBAGAI HAK KEBENDAAN UNTUK JAMINAN KREDIT

GADAI DAN HAK KEBENDAAN TINJAUAN YURIDIS GADAI SEBAGAI HAK KEBENDAAN UNTUK JAMINAN KREDIT GADAI DAN HAK KEBENDAAN TINJAUAN YURIDIS GADAI SEBAGAI HAK KEBENDAAN UNTUK JAMINAN KREDIT SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN A. Tinjauan Terhadap Hipotik 1. Jaminan Hipotik pada Umumnya Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum BAB I PENDAHULUAN Hukum perjanjian adalah bagian dari Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum Perdata, karena Hukum Perdata banyak mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan itu berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI 2.1 Asas Subrogasi 2.1.1 Pengertian asas subrogasi Subrogasi ini terkandung dalam ketentuan Pasal 284 Kitab Undang- Undang Hukum Dagang

Lebih terperinci

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract) Definisi pinjam-meminjam menurut Pasal 1754 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian,

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan memegang peranan sangat penting dalam bidang perekonomian seiring dengan fungsinya sebagai penyalur dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana kepada

Lebih terperinci

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT Rochadi Santoso rochadi.santoso@yahoo.com STIE Ekuitas Bandung Abstrak Perjanjian dan agunan kredit merupakan suatu hal yang lumrah dan sudah biasa dilakukan dalam

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN BAGI PEMILIK BENDA DAN KREDITUR PENERIMA GADAI APABILA OBJEK GADAI DIJAMINKAN OLEH PIHAK YANG BUKAN PEMILIK BENDA

BAB III PERLINDUNGAN BAGI PEMILIK BENDA DAN KREDITUR PENERIMA GADAI APABILA OBJEK GADAI DIJAMINKAN OLEH PIHAK YANG BUKAN PEMILIK BENDA BAB III PERLINDUNGAN BAGI PEMILIK BENDA DAN KREDITUR PENERIMA GADAI APABILA OBJEK GADAI DIJAMINKAN OLEH PIHAK YANG BUKAN PEMILIK BENDA 3.1 Perlindungan hukum bagi kreditur penerima gadai dari tuntutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidaklah semata-mata untuk pangan dan sandang saja, tetapi mencakup kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. tidaklah semata-mata untuk pangan dan sandang saja, tetapi mencakup kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan masyarakat dewasa ini semakin luas, dimana kebutuhan tersebut tidaklah semata-mata untuk pangan dan sandang saja, tetapi mencakup kebutuhan yang lain seirng

Lebih terperinci

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti

Lebih terperinci

TANGGUNGJAWAB KREDITUR (BANK) DALAM MENGEMBALIKAN PIUTANG DENGAN JAMINAN FIDUSIA (Studi pada Bank Perkreditan Rakyat Mitra Dana Madani Medan)

TANGGUNGJAWAB KREDITUR (BANK) DALAM MENGEMBALIKAN PIUTANG DENGAN JAMINAN FIDUSIA (Studi pada Bank Perkreditan Rakyat Mitra Dana Madani Medan) TANGGUNGJAWAB KREDITUR (BANK) DALAM MENGEMBALIKAN PIUTANG DENGAN JAMINAN FIDUSIA (Studi pada Bank Perkreditan Rakyat Mitra Dana Madani Medan) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pada masa sekarang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi ketimpangan ekonomi guna mencapai kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

Pembebanan Jaminan Fidusia

Pembebanan Jaminan Fidusia Jaminan Fidusia Fidusia menurut Undang-Undang no 42 tahun 1999 merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI Menurut ketentuan pasal 1233 KUH Perdata, perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Dari kedua hal tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa salah satu

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN 31 BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN A. PENANGGUNGAN ADALAH PERJANJIAN Sesuai defenisinya, suatu Penanggungan adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SEBAGAI KONSEKUENSI JAMINAN KREDIT UNTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KEPENTINGAN KREDITUR DI MEDAN S K R I P S I Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Lebih terperinci

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA A. Sejarah dan Pengertian Jaminan Fidusia Fidusia berasal dari kata fides yang artinya adalah kepercayaan. Sesuai dengan arti dari kata ini, maka hubungan hukum

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat dewasa ini karena masyarakat sekarang sering membuat perikatan yang berasal

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM MENINGGALNYA DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT USAHA PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT S K R I P S I

AKIBAT HUKUM MENINGGALNYA DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT USAHA PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT S K R I P S I AKIBAT HUKUM MENINGGALNYA DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT USAHA PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT S K R I P S I Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Oleh

Lebih terperinci

zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin

zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin BAB III JAMINAN GADAI PERSPEKTIF HUKUM PERDATA A. Pengertian Jaminan Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa belanda, yaitu zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makmur berdasaarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka

BAB I PENDAHULUAN. makmur berdasaarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasaarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka pelaksanaan pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hal ini dikarenakan manusia diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah sekarang ini, tidak hanya harga kebutuhan sehari-hari yang semakin tinggi harganya, namun harga-harga produksi

Lebih terperinci

Benda??? HUKUM/OBYEK HAK Pengertian Benda secara yuridis : Segala sesuatu yang dapat menjadi obyek Hak Milik (Sri soedewi M.

Benda??? HUKUM/OBYEK HAK Pengertian Benda secara yuridis : Segala sesuatu yang dapat menjadi obyek Hak Milik (Sri soedewi M. HUKUM BENDA Benda??? Benda merupakan OBYEK HUKUM/OBYEK HAK Pengertian Benda secara yuridis : Segala sesuatu yang dapat menjadi obyek Hak Milik (Sri soedewi M.,1981:13) Aspek yang diatur dalam Hukum Benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering kita mendapati perbuatan hukum peminjaman uang antara dua orang atau lebih. Perjanjian yang terjalin antara dua orang atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTENG LEVERING SEBAGAI CARA UNTUK MEMPEROLEH HAK MILIK DALAM JUAL BELI MENURUT HUKUM PERDATA

BAB II TINJAUAN TENTENG LEVERING SEBAGAI CARA UNTUK MEMPEROLEH HAK MILIK DALAM JUAL BELI MENURUT HUKUM PERDATA BAB II TINJAUAN TENTENG LEVERING SEBAGAI CARA UNTUK MEMPEROLEH HAK MILIK DALAM JUAL BELI MENURUT HUKUM PERDATA Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia memerlukan usaha-usaha yang dapat menghasilkan barang-barang

Lebih terperinci

BAB VI PERIKATAN (VERBINTENISSEN RECHT)

BAB VI PERIKATAN (VERBINTENISSEN RECHT) BAB VI PERIKATAN (VERBINTENISSEN RECHT) A. DASAR-DASAR PERIKATAN 1. Istilah dan Pengertian Perikatan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan, definisi, maupun arti istilah Perikatan.

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi 142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan oleh bank sebagai suatu lembaga keuangan, sudah semestinya. hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan oleh bank sebagai suatu lembaga keuangan, sudah semestinya. hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu produk yang diberikan oleh bank dalam membantu kelancaran usaha debiturnya, adalah pemberian kredit dimana hal ini merupakan salah satu fungsi bank yang sangat

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY Atik Indriyani*) Abstrak Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) diatur dalam buku III, bab XVII mulai pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUHPerdata tentang penanggungan utang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam Pasal 1234 KHUPerdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu, sebaiknya dianggap

Lebih terperinci

Sistem Pembukuan Dan, Erida Ayu Asmarani, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UMP, 2017

Sistem Pembukuan Dan, Erida Ayu Asmarani, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UMP, 2017 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Ketentuan mengenai gadai ini diatur dalam KUHP Buku II Bab XX, Pasal 1150 sampai dengan pasal 1160. Sedangkan pengertian gadai itu sendiri dimuat dalam Pasal

Lebih terperinci

BAB 2 KONOS EMEN S EBAGAI OBYEK JAMIN AN KEBENDAAN

BAB 2 KONOS EMEN S EBAGAI OBYEK JAMIN AN KEBENDAAN BAB 2 KONOS EMEN S EBAGAI OBYEK JAMIN AN KEBENDAAN 2.1 TINJAUAN UMUM BENDA M anusia dalam kehidupan kesehariannya tidak pernah terlepas dari materi atau kebendaan, bahkan seringkali kita mendengar isitilah

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH Oleh : Gostan Adri Harahap, SH. M. Hum. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Labuhanbatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, bangsa dan negara sebagaimana disebut di dalam Pembukaan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, bangsa dan negara sebagaimana disebut di dalam Pembukaan Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka pembangunan Ekonomi Indonesia yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sebagaimana disebut di dalam Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA 53 BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengertian Hutang Piutang Pengertian hutang menurut etimologi ialah uang yang dipinjam dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli Sebelum membahas tentang pengertian dan pengaturan juali beli, terlebih dahulu perlu dipahami tentang

Lebih terperinci

HUKUM KEBENDAAN PERDATA

HUKUM KEBENDAAN PERDATA HUKUM KEBENDAAN PERDATA Hukum Kebendaan Perdata Barat (HPE 20103) I. Posisi Hukum Kebendaan dlm KUHPerdata Pembidangan hukum perdata: 1. KUHPerdata Buku I : Tentang Orang Buku II : Tentang Benda Buku III

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian, 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI 2.1 Pengertian Perjanjian Kredit Pasal 1313 KUHPerdata mengawali ketentuan yang diatur dalam Bab Kedua Buku III KUH Perdata, dibawah judul Tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Didalam masyarakat yang sedang berkembang seperti sekarang ini, kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Didalam masyarakat yang sedang berkembang seperti sekarang ini, kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Didalam masyarakat yang sedang berkembang seperti sekarang ini, kebutuhan manusia akan semakin kompleks jika dibandingkan dengan kebutuhan manusia pada zaman dahulu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA. Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sudah sejak masa

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA. Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sudah sejak masa BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA A. Pengertian Jaminan Fidusia Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sudah sejak masa penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir dari

Lebih terperinci

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA A. PENDAHULUAN Pada era globalisasi ekonomi saat ini, modal merupakan salah satu faktor yang sangat dibutuhkan untuk memulai dan mengembangkan usaha. Salah satu cara untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing lagi di masyarakat dan lembaga jaminan memiliki peran penting dalam rangka pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia kodratnya adalah zoon politicon, yang merupakan makhluk sosial. Artinya bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi.

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya 36 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi Indonesia, sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyahkt yang adil dan makmur

Lebih terperinci

PENJUALAN DIBAWAH TANGAN TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENYELESAIAN KREDIT NARATAMA BERSADA CABANG CIKUPA, KABUPATEN

PENJUALAN DIBAWAH TANGAN TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENYELESAIAN KREDIT NARATAMA BERSADA CABANG CIKUPA, KABUPATEN PENJUALAN DIBAWAH TANGAN TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT.BANK PERKREDITAN RAKYAT NARATAMA BERSADA CABANG CIKUPA, KABUPATEN TANGERANG Disusun Oleh : Nama NIM : Bambang

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang diartikan buruk,

BAB III PEMBAHASAN. Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang diartikan buruk, BAB III PEMBAHASAN A. Pengertian Wanprestasi Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang diartikan buruk, tidak memenuhi, terlambat, ceroboh, atau tidak lengkap memenuhi suatu perikatan. Wanprestasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Hukum Perikatan Pada Umumnya 1. Pengertian Perikatan Hukum perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata. Definisi perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang bermacam-macam. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus berusaha dengan cara bekerja.

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN GADAI DEPOSITO DALAM KERANGKA HUKUM JAMINAN. mungkin akan terhindar dari itikad tidak baik debitur pemberi jaminan kebendaan

BAB II PENGATURAN GADAI DEPOSITO DALAM KERANGKA HUKUM JAMINAN. mungkin akan terhindar dari itikad tidak baik debitur pemberi jaminan kebendaan BAB II PENGATURAN GADAI DEPOSITO DALAM KERANGKA HUKUM JAMINAN A. Kerangka Hukum Jaminan Lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, hal ini sesuai dengan tugas pokok bank

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dibuat secara sah yaitu berdasarkan syarat sahnya perjanjian, berlaku sebagai undang-undang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dibuat secara sah yaitu berdasarkan syarat sahnya perjanjian, berlaku sebagai undang-undang BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Secara umum pengertian perjanjian terdapat dalam Pasal 1313 KUHPdt yaitu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D101 07 022 ABSTRAK Perjanjian kredit merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pemberian kredit. Tanpa perjanjian kredit yang

Lebih terperinci

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( ) PENGERTIAN PERJANJIAN KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) (166010200111038) FANNY LANDRIANI ROSSA (02) (166010200111039) ARLITA SHINTA LARASATI (12) (166010200111050) ARUM DEWI AZIZAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. KUHPerdata Buku II mengenal adanya hak kebendaan yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. KUHPerdata Buku II mengenal adanya hak kebendaan yang bersifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang KUHPerdata Buku II mengenal adanya hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan. Untuk benda jaminan yang berupa benda bergerak, maka hak kebendaan tersebut adalah

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENAHANAN BENDA GADAI ATAU HAK RETENSI TERHADAP BENDA MILIK DEBITUR OLEH PERUM PEGADAIAN APABILA DEBITUR WANPRESTASI

PELAKSANAAN PENAHANAN BENDA GADAI ATAU HAK RETENSI TERHADAP BENDA MILIK DEBITUR OLEH PERUM PEGADAIAN APABILA DEBITUR WANPRESTASI PELAKSANAAN PENAHANAN BENDA GADAI ATAU HAK RETENSI TERHADAP BENDA MILIK DEBITUR OLEH PERUM PEGADAIAN APABILA DEBITUR WANPRESTASI TESIS Disusun Oleh : Nama Nim : SUSILOWATI ANGGRAENI : B4B006240 PROGRAM

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pengertian perjanjian di dalam Buku III KUH Perdata diatur di dalam Pasal 1313 KUH Perdata,

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kebutuhan yang sangat besar

Lebih terperinci

(Studi Kasus di Bank HSBC Wilayah Medan) SKRIPSI

(Studi Kasus di Bank HSBC Wilayah Medan) SKRIPSI PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN (Studi Kasus di Bank HSBC Wilayah Medan) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PERUM PEGADAIAN TERHADAP PENJUALAN (LELANG) BARANG GADAI

TANGGUNG JAWAB PERUM PEGADAIAN TERHADAP PENJUALAN (LELANG) BARANG GADAI TANGGUNG JAWAB PERUM PEGADAIAN TERHADAP PENJUALAN (LELANG) BARANG GADAI (Study Kasus Perum Pegadaian Cabang Cokronegaran Surakarta) Skripsi Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu

Lebih terperinci