VIABILITAS EMBRIO MENCIT (Mus musculus albinus) SETELAH KRIOPRESERVASI GANDA DENGAN METODE VITRIFIKASI PADA TAHAP PEMBELAHAN DAN BLASTOSIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VIABILITAS EMBRIO MENCIT (Mus musculus albinus) SETELAH KRIOPRESERVASI GANDA DENGAN METODE VITRIFIKASI PADA TAHAP PEMBELAHAN DAN BLASTOSIS"

Transkripsi

1 VIABILITAS EMBRIO MENCIT (Mus musculus albinus) SETELAH KRIOPRESERVASI GANDA DENGAN METODE VITRIFIKASI PADA TAHAP PEMBELAHAN DAN BLASTOSIS RISKA SAFTIANY DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 ABSTRAK RISKA SAFTIANY. Viabilitas Embrio Mencit (Mus musculus albinus) setelah Kriopreservasi Ganda dengan Metode Vitrifikasi pada Tahap Pembelahan dan Blastosis. Dibimbing oleh TRI HERU WIDARTO dan ARIEF BOEDIONO. Teknik pembekuan embrio saat ini berkembang pesat sejalan dengan keberhasilan teknologi rekayasa embrio. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan dan daya hidup embrio mencit setelah kriopreservasi ganda pada tahap 8 sel dan blastosis dengan metode vitrifikasi. Media yang digunakan yaitu: a) media ekuilibrasi (Phosphate Buffer Saline (PBS) + 20% serum + 10% etilen glikol), b) media vitrifikasi (PBS + 20% serum M sukrosa + 15% etilen glikol + 15% DMSO), c) media rehidrasi (PBS + 20% serum + larutan sukrosa bertingkat (0.5M, 0.25M, 0.1M sukrosa)), dan d) media kultur in vitro G2 (Vitrolife, Swedia). Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa viabilitas embrio yang mencapai blastosis hatched setelah vitrifikasi ganda (42.11%) tidak berbeda (P>0.05) dengan viabilitas embrio setelah vitrifikasi tunggal baik pada tahap 8 sel, mencapai blastosis hatched (52.38%) atau vitrifikasi tunggal blastosis, mencapai blastosis hatched (51.72%) dan berbeda (P<0.05) dengan kontrol 94.87% embrionya mencapai blastosis hatched. ABSTRACT RISKA SAFTIANY. Viability of Mice (Mus musculus albinus) Embryo after Double Vitrification at the Cleavage and Blastocysts stage. Supervised by TRI HERU WIDARTO and ARIEF BOEDIONO. Embryo freezing technique nowadays has developed rapidly in accordance with the success of embryo engineering technology. The objective of this research was to test the endurance and the survival rate of the mice embryos after double cryopreservation of 8 cells and blastocysts stages by vitrification method. The media used for this study were: a) equilibrium media (Phosphate Buffer Saline, (PBS)) + 20% serum + 10% ethylene glycol), b) vitrification media (PBS + 20% serum M sucrose + 15% ethylene glycol + 15% DMSO), c) rehydration media (PBS + 20% serum + different concentration of sucrose solution (0.5M, 0.25M, 0.1M sucrose)), and d) in vitro culture media (G2, Vitrolife, Swedia). The results showed that the viability of mice embryos developed to hatched blastocysts after double vitrification (42.11%) were similar (P>0.05) to embryo viability after single vitrification of 8 cells or blastocysts stages. However, it was different (P<0.05) with the control (94.87%) of the embryo reached hatched blastocysts stages.

3 VIABILITAS EMBRIO MENCIT (Mus musculus albinus) SETELAH KRIOPRESERVASI GANDA DENGAN METODE VITRIFIKASI PADA TAHAP PEMBELAHAN DAN BLASTOSIS RISKA SAFTIANY Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biologi DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

4 Judul Skripsi : Viabilitas Embrio Mencit (Mus musculus albinus) Setelah Kriopreservasi Ganda dengan Metode Vitrifikasi pada Tahap Pembelahan dan Blastosis Nama : Riska Saftiany NIM : G Disetujui Ir. Tri Heru Widarto, M,Sc Prof. drh. Arief Boediono, Ph.D, PAVet (K) NIP: NIP: Diketahui Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si NIP Tanggal Lulus :

5 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan atas segala kebesaran Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pembekuan embrio mencit, dengan judul Viabilitas Embrio Mencit (Mus musculus albinus) Setelah Kriopreservasi Ganda dengan Metode Vitrifikasi pada Tahap Pembelahan dan Blastosis, yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Oktober Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Ir. Tri Heru Widarto, M.Sc dan bapak Prof. drh. Arief Boediono, Ph.D, PAVet (K) selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, dan kritik yang membangun sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan serta Ibu Dr. Ir. Dorly. M.Si selaku dosen penguji atas saran yang membangun. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada mamah dan bapak serta seluruh keluarga kami, atas cinta, pengorbanan, dukungan, kesabaran, dan doa tulusnya untuk mendukung penulis lebih giat belajar. Dzulfaqor atas cinta, dukungan dan bantuan sehingga penulis lebih semangat dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi, seluruh staf dan pegawai Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi Farmakologi Fisiologi (AFF), FKH, IPB. Serta teman-teman Bio 43, Rani, Ka amin, Adhil, dan Vin atas dukungan dan bantuannya Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2011 Riska Saftiany

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 September 1988 dari ayah Kusnadi dan ibu Teti Susilowati. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2006 penulis lulus dari SMU Negeri 59 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Departemen Biologi, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi anggota UKM Gentra Kaheman divisi tari periode , penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMABIO) divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) periode Pada tahun 2008, penulis melaksanakan Studi Lapangan di Situ Gunung, Sukabumi, Jawa Barat. Pada tahun 2009, penulis melaksanakan Praktik Lapangan di Laboratorium Andrologi, Bunda International Clinic, Jakarta dengan tema Analisa dan preparasi sperma manusia. Pada tahun 2010 penulis menjadi asisten praktikum Perkembangan Hewan.

7 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...viii DAFTAR GAMBAR...viii PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat... 2 Metode Penelitian... 2 Superovulasi... 2 Koleksi Embrio... 2 Pembekuan dengan Metode Vitrifikasi... 2 Penghangatan (Warming)... 3 Rancangan Penelitian... 3 Analisis Data... 3 HASIL Perbandingan Viabilitas Embrio Setelah Vitrifikasi Tunggal dengan Vitrifikasi Ganda... 3 Viabilitas Blastomer dalam Embrio Setelah Vitrifikasi pada Tahap 8 Sel... 5 PEMBAHASAN... 6 SIMPULAN... 8 SARAN... 8 DAFTAR PUSTAKA... 8

8 DAFTAR TABEL Halaman 1 Perbandingan viabilitas embrio mencit setelah vitrifikasi tunggal dan vitrifikasi ganda Viabilitas blastomer setelah vitrifikasi pada tahap 8 sel... 5 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Perkembangan embrio mencit tahap praimplantasi pada saluran reproduksi betina Teknik pemaparan embrio di atas straw 0.25ml yang telah disayat ujungnya Viabilitas embrio setelah vitrifikasi pada tahap 8 sel Viabilitas embrio setelah vitrifikasi dua kali (ganda) tahap 8 sel dan blastosis pada embrio yang sama Viabilitas blastomer setelah vitrifikasi pada tahap 8 sel... 6

9 1 Latar Belakang PENDAHULUAN Tiga dekade terakhir ini perkembangan rekayasa bioteknologi embrio berkembang pesat, yang bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hasil produk. Teknik rekayasa bioteknologi embrio yang sedang berkembang saat ini antara lain pengembangan fertilisasi in-vitro (IVF), manipulasi embrio dan transfer embrio (Madihah et al. 2006). Transfer embrio merupakan tindakan mentransfer embrio dari satu induk ke dalam rahim induk titipan (resipien). Tetapi produksi embrio dalam jumlah besar mengalami kendala yaitu terbatasnya jumlah resipien untuk menerima embrio dan lokasi ternak resipien yang jauh. Hal tersebut dapat diatasi dengan teknik pembekuan embrio. Teknik pembekuan pada embrio (kriopreservasi) pertama kali dilaporkan oleh Whittingham (1971). Pembekuan embrio adalah proses penghentian sementara metabolisme suatu sel tanpa mematikan fungsi sel, dimana proses metabolisme sel dapat berlangsung kembali setelah pembekuan dihentikan (Boediono1995). Pembekuan embrio ini bermanfaat agar embrio dapat digunakan kembali dimasa yang akan datang (Boediono 2005). Secara umum metode pembekuan embrio yang dilakukan saat ini adalah kriopreservasi konvensional dan vitrifikasi. Kriopreservasi konvensional merupakan proses pembekuan embrio yang disertai dengan terbentuknya kristal es pada suhu rendah menggunakan alat terprogram dan memerlukan waktu relatif lama (Mochida 2010). Sedangkan vitrifikasi merupakan teknik pembekuan embrio secara cepat pada suhu rendah (-196ºC) dengan krioprotektan konsentrasi tinggi sehingga dapat menghidari terbentuknya kristal es yang dapat mengganggu dan merusak sel saat pembekuan (Arav et al. 1993). Vitrifikasi selain dapat dilakukan satu kali juga dapat dilakukan lebih dari satu kali, yang disebut vitrifikasi ganda. Pada vitrifikasi ganda proses pembekuan dilakukan pada embrio yang sama dan mampu hidup setelah penghangatan atau setelah periode kultur in vitro. Vitrifikasi ganda memiliki fungsi yang berkaitan dengan waktu perkembangan embrio yang sesuai untuk ditransfer terutama pada program bayi tabung pada manusia (Isachenko et al. 2003). Krioprotektan adalah substansi (zat) kimia yang di tambahkan ke dalam larutan pembekuan dan akan mempertahankan hidup sel yang dibekukan, dapat mencegah dan mengubah kristalisasi es serta menstabilkan membran sel sehingga dapat mengurangi kerusakan sel selama proses pembekuan (Nawawi 1997). Berdasarkan sifat krioprotektan terhadap permeabilitas sel yang dibekukan, krioprotektan dikelompokkan menjadi dua yaitu: 1) krioprotektan ekstraseluler, yang tidak dapat masuk ke dalam sel dan ukuran molekul yang cukup besar contohnya sukrosa, rafinosa, protein, lipoprotein, serum, kuning telur dan PVP, 2) krioprotektan intraseluler, dapat masuk kedalam membran sel dan ukuran molekul yang lebih kecil contohnya gliserol, dimetilsulfoksida (DMSO), etilen glikol (EG), 1.2-propanadiol (PROH), dan 1.3-butanadiol. Pembekuan embrio pertama kali yang dilakukan oleh Whittingham menggunakan embrio mencit. Mencit (Mus musculus albinus) yang memiliki ukuran tubuh kecil, termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mamalia, ordo Rodentia, famili Muridae, sub-famili Murinae, genus Mus, dan spesies Mus musculus. Mencit sebagian besar digunakan sebagai hewan uji coba, sebanyak 70% mencit digunakan untuk penelitian biomedis. Karena mencit memiliki daya reproduksi tinggi, umur relatif singkat, variasi genetik cukup besar, dan siklus estrus yang pendek dengan fase siklus yang jelas. Mencit memiliki siklus estrus yang terdiri atas proestrus, estrus, mesestrus dan diestrus. Secara umum siklus estrus terbagi menjadi a) phase folikel (fase pertumbuhan, yang ditandai dengan tingkat estrogen tinggi, dan b) fase luteal memiliki waktu yang cukup panjang ditandai dengan perkembangan corpus luteum dan kadar progesteron tinggi) sekresi FSH (Follicle stimulating hormone) terjadi secara ritmis selama 4 sampai 5 hari sebelum birahi, menjelang fase luteal berakhir konsentrasi FSH dalam plasma meningkat dan secara sinergis dengan LH (Luteinizing hormone), akan merangsang pertumbuhan folikel. Folikel akan mencapai stadium folikel tersier yang matang (Wilson 1962). Estrus mencit terjadi pada malam hari selama 12 jam. Perkawinan mencit terjadi pada saat fase estrus. Mencit tergolong hewan multipara, mampu menghasilkan beberapa sel telur (oosit) dalam satu siklus birahi (Handayani 2006). Ovulasi pada mencit ratarata menghasilkan 7-10 oosit melalui perkawinan normal dan mampu menghasilkan

10 embrio melalui superovulasi (Rianti 2005). Superovulasi pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan derajat ovulasi, sehingga dapat meningkatkan jumlah sel telur atau embrio. Superovulasi dilakukan dengan menyuntikkan hormon Preagnant Mare s Serum Gonadotropin (PMSG) dan Human Chorionic Gonadotropin (HCG) secara bertahap. PMSG berfungsi untuk merangsang pematangan folikel, menunjang produksi estrogen, pembentukkan hormon untuk proses ovulasi, dan merangsang sintesis progesteron pada hewan yang dihipofasektomi sedangkan HCG untuk menginduksi ovulasi (Hernawan 2003). Keberhasilan pembekuan embrio tergantung dari jenis embrio, konsentrasi krioprotektan, percepatan derajat pembekuan, pengaturan suhu selama pemaparan, pendinginan, pencairan, dan penyimpanan (Takagi et al. 1994). Embrio yang telah dibekukan dapat ditumbuhkan kembali dengan cara in vitro melalui kultur embrio maupun in vivo melalui transfer embrio. Kultur embrio dilakukan menggunakan media yang sesuai dengan kondisi asli saluran reproduksi agar embrio tetap hidup dengan baik (Lisanti 1998). mencit telah kawin. Mencit betina yang telah positif kawin dipisahkan dalam kandang individu dan ditetapkan sebagai hari pertama kebuntingan mencit. Koleksi Embrio Embrio dikoleksi saat embrio berumur dua setengah hari (4-8 sel), dikoleksi dengan menoreh tuba fallopii di daerah kantung fertilisasi (Gambar 1) dan membilas uterus menggunakan media flushing berupa phosphate buffered saline (PBS) yang ditambahkan 20% serum dan selanjutnya disebut modified phosphate buffered saline (mpbs). Embrio dikoleksi secara aseptik menggunakan jarum suntik 26 Gauge yang terhubung dengan spuit 1cc. Embrio dikoleksi dibawah mikroskop stereo binokuler (Nikon SMZ-2T) dengan perbesaran 40x. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan dan daya hidup embrio mencit setelah kriopreservasi ganda pada tahap 8 sel dan blastosis dengan metode vitrifikasi. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Oktober 2010 di Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi FKH, IPB. Metode Superovulasi Mencit betina yang telah dewasa kelamin (umur 8-12 minggu) sebanyak 95 ekor, disuperovulasi dengan disuntikkan hormon PMSG 5IU per ekor, 48 jam kemudian disuntik hormon HCG 5IU per ekor secara intraperitonial. Kemudian mencit betina yang telah disuntik hormon tersebut dikawinkan dengan pejantan dengan perbandingan 1:1. Pemeriksaan sumbat vagina (vaginal plug) dilakukan hari berikutnya pada pagi hari, adanya plug di vagina mencit menandakan Gambar 1 Perkembangan embrio mencit tahap praimplantasi pada saluran reproduksi betina (Hogan et al. 1994). Pembekuan dengan Metode Vitrifikasi Vitrifikasi dilakukan dua tahap yaitu vitrifikasi tunggal dan vitrifikasi ganda. Vitrifikasi tunggal dilakukan hanya pada tahap pembelahan 8 sel atau tahap blastosis saja. Sedangkan vitrifikasi ganda dilakukan dua kali pada tahap 8 sel setelah penghangatan dan kultur in vitro mencapai tahap blastosis, dilakukan vitrifikasi yang kedua pada tahap blastosis. Embrio hasil koleksi dipapar dalam medium mpbs selama 1-2 menit. Selanjutnya embrio dipapar kedalam medium ekuilibrasi

11 3 (PBS + 20% serum + 10% etilen glikol) selama menit. Lalu embrio dipindahkan kedalam medium vitrifikasi (PBS + 20% serum M sukrosa + 15% etilen glikol + 15% DMSO) selama 30 detik, kemudian embrio diteteskan di atas straw 0.25 ml yang telah disayat ujungnya dengan medium vitrifikasi kurang dari 5µl. Terakhir straw dengan embrio diuapi nitrogen cair selama 5 detik dan langsung dimasukkan dalam nitrogen cair -196 C (Vanderzwalmen et al. 2003). Straw 0.25ml Medium V3+ embrio kontrol, vitrifikasi tunggal tahap 8 sel, vitrifikasi tunggal tahap blastosis dengan vitrifikasi ganda saat tahap blastosis ekspan sampai blastosis hatched. Percobaan kedua mengamati rasio hidup dan mati blastomer dalam embrio yang telah divitrifikasi pada tahap 8 sel. Analisis Data Data viabilitas dan perkembangan embrio yang dihasilkan, disajikan dalam bentuk persentase. Hasil yang didapatkan diolah menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga kali ulangan menggunakan uji Duncan pada tingkat kepercayaan 95%. HASIL Gambar 2 Teknik pemaparan embrio di atas straw 0.25ml yang telah disayat ujungnya. Penghangatan (Warming) Straw berisi embrio yang telah dibekukan dianginudarakan selama 10 detik kemudian rehidrasi secara berturut-turut dalam media warming yang terdiri dari : 1) PBS + 20% serum + 0.5M sukrosa selama 1.5 menit; 2) PBS + 20% serum M sukrosa selama 2.5 menit; dan 3) PBS + 20% serum + 0.1M sukrosa selama 7 menit. Embrio yang telah direhidrasi kemudian dikultur dalam cawan petri berisi tetesan (drop) media G2 (Vitro Life, Swedia) yang telah ditutupi minyak mineral dan diinkubasi dalam inkubator CO 2 5% pada suhu 37ºC. Selanjutnya viabilitas blastomer dan embrio diamati. Rancangan Penelitian Penelitian ini terbagi menjadi dua kelompok perlakuan, yaitu 1) membandingkan viabilitas embrio pada setiap tahap perkembangan (8 sel, morula, dan blastosis) setelah vitrifikasi tunggal, vitrifikasi ganda dengan yang tidak divitrifikasi (kontrol), 2) Mengamati viabilitas blastomer dalam embrio yang telah di vitrifikasi pada tahap 8 sel dalam kultur in vitro. Percobaan pertama yaitu mengamati perkembangan embrio setelah 24 jam kultur untuk mengetahui kemampuan embrio bertahan hidup setelah divitrifikasi. Hasil dari pengamatan kemudian dibandingkan antara kontrol dengan vitrifikasi pada tahap 8 sel, membandingkan antara vitrifikasi tunggal tahap blastosis dengan vitrifikasi ganda (vitrifikasi tahap 8 sel dan tahap blastosis pada embrio yang sama) pada tahap blastosis setelah vitrifikasi, dan membandingkan antara Perbandingan Viabilitas Embrio Setelah Vitrifikasi Tunggal dengan Vitrifikasi Ganda Viabilitas embrio yang baik setelah vitrifikasi ditandai morfologi embrio yang sempurna yaitu masih adanya zona pellusida (ZP), plasma membran, sitoplasma, blastomer, fragmentasi < 10% (Gambar 3). Pada perlakuan vitrifikasi tunggal, perkembangan embrio secara in vitro setelah vitrifikasi tahap 8 sel mampu berkembang sebanyak 77.50% dan untuk vitrivikasi ganda pada pembekuan pertama tahap 8 sel mampu berkembang 80.00% (pada pengamatan satu jam setelah vitrifikasi). Perbandingan perkembangan embrio yang berhasil mencapai tahap blastosis antara kontrol dengan vitrifikasi tunggal 8 sel, vitrifikasi tunggal blastosis sebelum divitrifikasi dan vitrifikasi ganda yang mencapai tahap blastosis setelah vitrifikasi pertama (tahap 8 sel) tidak berbeda nyata (P>0.05). Pada perlakuan vitrifikasi tunggal tahap blastosis embrio mampu berkembang sebanyak 82.86% tidak berbeda (P>0.05) dengan vitrifikasi ganda, embrio berkembang pada tahap blastosis sebanyak 79.17% (pada pengamatan tiga jam setelah vitrifikasi). Kecepatan berkembang embrio yang divitrifikasi lebih lambat daripada yang tidak divitrifikasi (Tabel 1). Embrio mampu bertahan hidup setelah divitrifikasi baik vitrifikasi tunggal pada tahap 8 sel saja atau tahap blastosis saja atau vitrifikasi ganda pada embrio yang sama. Pada pengamatan 48 jam saat tahap blastosis ekspan, viabilitas embrio setelah vitrifikasi ganda mencapai 63.16% tidak berbeda (P>0.05) dengan vitrifikasi tunggal blastosis

12 4 a b c d e f zp bl Gambar 3 Viabilitas dan perkembangan embrio setelah vitrifikasi pada tahap 8 sel: a. viabilitas embrio tahap 8 sel sebelum vitrifikasi, b. viabilitas embrio tahap 8 sel setelah vitrifikasi c. morula, d. blastosis, e. blastosis hatching, ditandai pecahnya zona pellusida (tanda panah), f. blastosis hatched; blastosul (bl), zona pellusida (zp), a-f skala: 50µm. a b c d Gambar 4 Viabilitas embrio setelah vitrifikasi ganda tahap 8 sel dan blastosis pada embrio yang sama: a. embrio tahap 8 sel sebelum vitrifikasi, b. viabilitas embrio setelah vitrifikasi pada tahap 8 sel, c. viabilitas embrio setelah vitrifikasi ganda tahap blastosis, d. blastosis hatching, a-d skala: 50µm.

13 5 Tabel 1. Perbandingan viabilitas embrio mencit setelah vitrifikasi tunggal dan vitrifikasi ganda Embrio Tahap perkembangan Kontrol Vitrifikasi 8sel Perlakuan Vitrifikasi blastosis Vitrifikasi 8sel dan blastosis 8 sel Setelah vitrifikasi 8 sel - 31 (77.50) a - 36 (80.00) a Blastosis 39 (88.64) a 21 (67.74) a* 35 (87.50) a 24 (66.67) a* Setelah vitrifikasi Blastosis (82.86) a* 19 (79.17) a* Blastosis Ekspan 38 (97.44) a 18 (85.71) a 23 (79.31) a 12 (63.16) a Blastosis Hatching 37 (94.87) a,b 14 (66.67) a 18 (62.06) a 10 (52.63) a Blastosis Hatched 37 (94.87) b 11 (52.38) a 15 (51.72) a 8 (42.11) a Keterangan : - Angka dalam kurung adalah persentase jumlah embrio - Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (a-b, P< 0.05) - * Jumlah embrio setelah vitrifikasi tunggal dan vitrifikasi ganda yang berkembang mencapai tahap blastosis (79.31%), vitrifikasi tunggal 8 sel (85.71%), dan kontrol (97.44%). Perkembangan dan ketahanan embrio setelah vitrifikasi ganda mampu berkembang hingga tahap blastosis hatching (52.63%) tidak berbeda (P>0.05) terhadap vitrifikasi tunggal 8 sel (66.67%) dan vitrifikasi tunggal blastosis (62.06%), akan tetapi embrio hasil vitrifikasi ganda (52.63%) yang berkembang hingga tahap blastosis hatching ini berbeda nyata (P<0.05) terhadap kontrol (94.87%). Sedangkan embrio yang berkembang dan baik viabilitasnya sampai tahap blastosis hatched untuk vitrifikasi ganda (42.11%), vitrifikasi tunggal 8 sel (51.72%), dan vitrifikasi tunggal blastosis (52.38%) berbeda (P<0.05) terhadap kontrol yang mampu berkembang mencapai blastosis hatched sebanyak 94.87% (pada pengamatan 69 jam). Hal ini dapat disebabkan terjadinya penurunan tingkat perkembangan embrio setelah vitrifikasi, selain itu dapat disebabkan terbentuknya zona hardening (pengerasan zona pellusida) pada embrio yang divitrifikasi (Gambar 4, Tabel 1). Viabilitas Blastomer dalam Embrio Setelah Vitrifikasi pada Tahap 8 Sel Embrio dikatakan baik jika jumlah blastomer yang hidup lebih dari setengah jumlah blastomer awal sebelum embrio divitrifikasi. Dari hasil perlakuan vitrifikasi embrio tahap 8 sel, embrio dengan seluruh blastomer (8/8) yang masih hidup sebanyak 27.50%. Embrio yang telah divitrifikasi tidak semuanya memiliki blastomer yang hidup, sebanyak 7.50% embrio hanya memiliki empat blastomer hidup (Tabel 2). Embrio yang memilki lima sampai delapan blastomer hidup setelah vitrifikasi mampu berkembang ke tahap morula sampai tahap blastosis sebanyak 67.74%. Blastomer dalam embrio hasil vitrifikasi juga dapat mengalami kerusakan (degenerasi), yang ditandai dengan bentuk blastomer tidak simetris, terdapat banyak fragmentasi, warna blastomer gelap, sitoplasma tidak ada dan blastomer lisis (Gambar 5). Tabel 2. Viabilitas blastomer dalam embrio setelah vitrifikasi pada tahap 8 sel Jumlah embrio awal blastomer Jumlah embrio (Blastomer dalam embrio (8/8)) hidup/total setelah vitrifikasi (%) 40 8/ / / / / < 4/

14 6 Pada vitrifikasi tahap 8 sel embrio yang mengalami degenerasi sebanyak 22.50%. Degenerasi embrio hasil vitrifikasi tahap 8 sel ditandai dengan jumlah blstomer kurang dari setengah jumlah blastomer awal sebelum embrio divitrifikasi. Dari data blastomer yang hidup, memberikan hasil yang sama dengan perkembangan embrio setelah vitrifikasi pada tahap 8 sel sebanyak 77.50% pada (Tabel 1). blst a Gambar 5 Viabilitas blastomer setelah vitrifikasi pada tahap 8 sel : a. delapan blastomer hidup dari embrio tahap 8 sel, b. degenerasi (blastomer < 4/8); blastomer (blst), a-b skala: 50 µm. PEMBAHASAN Prinsip utama pembekuan embrio menggunakan prinsip dehidrasi, dimana air harus dikeluarkan sebanyak mungkin dari dalam sel, untuk mencegah pembentukan es selama pembekuan dan pemanasan. Karena dalam sel memiliki konsentrasi air 80%, jika dehidrasi tidak terjadi secara sempurna akan terbentuk kristal-kristal es intraseluler yang dapat merusak sel (Renard et al. 1984). Menurut Mukaida et al. (2003) pada proses vitrifikasi dan penghangatan mengalami penyesuaian terlebih dahulu terhadap media kultur, efek toksik krioprotektan, terjadi kerusakan fisik akibat pembentukan kristal es selama pembekuan, stress osmotik selama pengeluaran krioprotektan dari sel saat warming, dan kualitas embrio yang kurang baik. Pembekuan embrio saat ini lebih banyak menggunakan metode vitifikasi karena lebih sederhana, cepat, dan ekonomis dibandingkan pembekuan konvensional (Saha et al. 1994). Pembekuan embrio menggunakan metode vitrifikasi dilakukan untuk menghindari terbentuknya kristal es saat pembekuan embrio. Kristal es yang terjadi selama pembekuan dapat menyebabkan kerusakan pada sel trofektoderm (TE) dan juga inner cell mass (ICM), penurunan jumlah mikrofili di krista mitokondria dalam sel, kehilangan integritas membran plasma, perubahan b mitokondria, pembengkakan retikulum endoplasma kasar, dan pembentukan vesikula kecil. Beberapa perubahan sel akibat kristal es dapat menyebabkan kematian sel pada embrio (Kaidi et al. 2001). Vitrifikasi banyak digunakan untuk pembekuan embrio mamalia seperti domba, sapi, murine, kuda, dan babi pada berbagai tahap perkembangan embrio termasuk tahap blastosis (Kuleshova 2002). Pada penelitian ini dilakukan vitrifikasi pada embrio mencit tahap 8 sel, tahap blastosis, serta vitrifikasi ganda tahap 8 sel dan blastosis pada embrio yang sama. Untuk vitrifikasi pada tahap 8 sel, embrio yang telah divitrifikasi tidak berbeda (P>0.05) dengan embrio yang tidak divitrifikasi (kontrol) mulai dari tahap 8 sel hingga tahap blastosis hatching, akan tetapi setelah embrio berkembang menjadi blastosis hatched hasil menunjukan berbeda nyata (P<0.05) terhadap kontrol. Dari hasil penelitian ini, embrio yang telah divitrifikasi pada tahap 8 sel dapat tumbuh secara in vitro sampai tahap blastosis sebanyak 67.74% hingga tahap blastosis hatced sebanyak 52.38% (Tabel 1), hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Supriatna (2005), embrio yang divitrifikasi pada tahap cleavage mampu bertahan sampai tahap blastosis sebanyak 60.61% hingga tahap blastosis hatched sebanyak 21.21% menggunakan metode Hemi-straw. Hasil pada tahap blastosis yang menunjukan berbeda nyata terhadap kontrol, disebabkan karena embrio saat tahap 8 sel (cleavage) belum memiliki sel (blastomer) yang kompak sehingga blastomer mudah mati dan lisis saat proses vitrifikasi, sehingga tidak mampu berkembang menjadi blastosis. Sel blastomer yang tidak simetris, lisis, bahkan mati dapat disebabkan oleh lamanya pemaparan dalam krioprotektan saat proses vitrifikasi, kerusakan zona pellusida, dan kualitas embrio itu sendiri. Menurut Abbeel dan Steirteghem (1999) kerusakan sel blastomer dapat dilihat baik sebelum pembekuan, setelah warming, atau setelah beberapa jam dalam kultur. Meskipun demikian, blastomer yang masih tetap utuh dan hidup setelah vitrifikasi masih mampu berkembang membentuk sel yang kompak hingga mencapai tahap selanjutnya. Embrio dikatakan baik saat tahap 8 sel ini jika sel blastomer simetris, inti tunggal, dan fragmentasi <10% (Toukhy et al. 2003). Dari pengamatan viabilitas blastomer dalam embrio yang telah divitrifikasi pada penelitian ini, blastomer dalam embrio yang dapat

15 7 bertehan 50% jumlah blastomer sebelum vitrifikasi sebanyak 77.50%, ini setara dengan jumlah embrio setelah vitrifikasi tahap 8 sel. Akan tetapi embrio yang berkembang sampai tahap blastosis hanya 67.74% dan blastosis hatched 52.38%, hal tersebut disebabkan karena blastomer yang lisis dapat bersifat racun terhadap blastomer yang masih utuh, kerusakan blastomer secara signifikan mengurangi kapasitas embrio hasil vitrifikasi untuk membelah dan membentuk sel yang kompak (morula) dalam kultur in vitro. Terjadinya kerusakan zona pellusida dan blastomer dapat diatasi dengan hati-hati menggunakan prosedur vitrifikasi yang optimal, diantaranya dengan pengoptimalan proses vitrifikasi dan warming, konsentrasi krioprotektan yang sesuai, serta penggunaan mini-straw sebagai wadah penyimpanan. Pada vitrifikasi ganda, embrio dari vitrifikasi ganda setelah tahap blastosis tidak berbeda dengan jumlah embrio dari vitrifikasi tunggal tahap 8 sel dan vitrifikasi tunggal tahap blastosis (Tabel 1). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini tidak berbeda dengan yang dilaporkan oleh Isachenko et al. (2003) yang melakukan vitrifikasi ganda pada tahap morula dan blastosis tikus dengan survival rate blastosis awal 82.60%. Vitrifikasi ganda bermanfaat sebagai tes resistensi stres, mengetahui kualitas fungsional secara umum, dan membantu mngembangkan prosedur kriopreserfasi yang lebih baik. Manfaat dan penerapan vitrifikasi ganda yang terpenting adalah berkaitan dengan waktu perkembangan embrio yang cocok untuk ditransfer pada resipien. Pada kasus program bayi tabung manusia, bila didapatkan tiga embrio setelah warming tahap perkembangan (8 sel) dan berkembang mencapai tahap blastosis dengan kualitas yang bagus, sementara embrio transfer hanya diperlukan satu atau dua embrio, maka sisa embrio yang telah diwarming dan tidak ditransfer dapat divitrifikasi kembali agar dapat digunakan dan ditransfer dimasa datang (Isachenko et al. 2003). Meskipun demikian, embrio hasil vitrifikasi baik satu kali atau dua kali vitrifikasi tidak semuanya berkembang dengan baik dan mecapai blastosis hatched. Hal ini karena terjadi penurunan tingkat perkembangan embrio setelah vitrifikasi, selain itu dapat disebabkan terbentuknya zona hardening (pengerasan zona pellusida) pada embrio yang divitrifikasi. Menurut Vincent et al. (1990) pengerasan zona pellusida disebabkan oleh lamanya pemaparan dalam krioprotektan yang menyebabkan menipisnya jumlah butiran kortikal yang mendasari permukaan embrio. Pengerasan zona pellusida akibat lamanya pemaparan dapat diatasi dengan menyayat zona pellusida sehingga sel mudah keluar, dan mengurangi konsentrasi kalsium pada krioprotektan (Larman et al. 2006). Krioprotektan dapat mempengaruhi efektifitas embrio setelah vitrifikasi, agar vitrifikasi dapat ditingkatkan efektifitasnya digunakan krioprotektan yang memiliki tingkat toksiksitas rendah dan mengkombinasikan larutan krioprotektan intraseluler dengan menambahkan larutan krioprotektan ekstraseluler. Syarat dari krioprotektan yang digunakan untuk kriopreservasi sel embrio harus tidak beracun, murah, memiliki daya preservasi tinggi, menjamin kehidupan sel dari pengaruh coldshock, harus mempertahankan tekanan osmotik dan keseimbangan elektrolit yang sesuai, serta mampu mencegah timbulnya kuman. Krioprotektan memiliki fungsi untuk menurunkan titik beku, mengurangi efek dehidrasi akibat konsentrasi molekul tinggi, mengikat air sehingga tekanan mekanis akibat kristal es dapat teratasi (Nawawi 1997). Krioprotektan intraseluler yang umum digunakan dalam kriopreservasi antara lain gliserol, etilen glikol (EG), dan dimetilsulfoksida (DMSO), dengan berat molekul yang relatif kecil (Saha et al. 1996), sedangkan krioprotektan ekstraseluler mempunyai berat molekul yang relatif besar misalnya sukrosa, rafinosa dan protein. Krioprotektan ini dapat dikombinasikan untuk mengurangi efek toksik tanpa mempengaruhi viabilitas embrio setelah pembekuan. Krioprotektan yang umum digunakan untuk mamalia biasanya menggunakan etilen glikol (EG), etilen glikol telah berhasil digunakan untuk pembekuan cepat dan vitrifikasi embrio tikus tahap morula dan embrio Drosophila. Etilen glikol mampu melindungi protoplas dari dehidrasi selama vitrifikasi, mempunyai daya permeabilitas tinggi terhadap embrio, mampu melewati membran sel embrio dengan mudah selama proses pemaparan dan mudah dihilangkan selama proses pembilasan, dapat meningkatkan viabilitas embrio, mampu mereduksi pengaruh toksik, dan cepat keluar dari dalam sel sewaktu rehidrasi tanpa merusak sel (Valdez et al. 1992). Suplementasi jenis krioprotektan yang bersifat non-permeabel seperti sukrosa dan

16 8 trehalose membantu kebutuhan sel-sel selama proses pembekuan, sehingga proses dehidrasi dapat berlangsung dengan baik. Proses dehidrasi yang baik tergantung dari penggunaan krioprotektan ekstraseluler (nonpermeabel) yang tepat, dan penambahannya dalam larutan vitrifikasi mampu mengurangi toksiksitas. Krioprotektan ekstraseluler yang mampu mengurangi toksiksitas salah satunya adalah sukrosa, sukrosa juga berguna untuk mengatasi pembengkakan sel saat proses warming karena sukrosa mampu menghilangkan krioprotektan intraseluler selama warming (Kasai et al. 1990). Embrio memiliki kemampuan untuk beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya dengan memilih alternatif substrat energi yang tersedia dan adanya hubungan antara kebutuhan embrio dengan aktivitas genom embrio. Setelah proses warming embrio dibilas pada larutan hipertonik untuk mengeluarkan krioprotektan sebelum embrio dibilas ke medium kultur yang bersifat isotonis. Menurut Biggers dan McGinnis (2001) medium kultur yang baik digunakan untuk mendukung perkembangan embrio mulai dari tahap pembelahan sampai tahap blastosis salah satunya adalah kalium simplex optimized medium (KSOM). Pada penelitan ini medium yang digunakan adalah medium G2 (Vitrolife, Swedia), medium G2 baik digunakan untuk mendukung perkembangan embrio mulai tahap 8 sel sampai blastosis karena memiliki kondisi yang sesuai dengan kondisi asli saluran reproduksi. Kondisi kandungan medium yang digunakan sebagai kultur yang terpenting harus memiliki fungsi menyediakan suatu penyangga (buffer) untuk mencegah perubahan ph akibat pembentukan asam laktat dari hasil metabolisme sel, sebagai sumber nutrisi yang menyediakan zat-zat makanan untuk energi bagi embrio. Keberhasilan dan efektifitas vitrifikasi dapat dipengaruhi oleh banyak variabel, diantaranya: temperatur, jenis dan konsentrasi krioprotektan, volume larutan, lama waktu pemaparan sel pada krioprotektan, pendinginan, pencairan, penyimpanan, dan kualitas sel yang digunakan sebagai sampel vitrifikasi (Cremades et al. 2004; Takagi et al. 1993). SIMPULAN Viabilitas embrio setelah vitrifikasi ganda tidak berbeda dengan viabilitas embrio setelah vitrifikasi tunggal baik pada tahap 8 sel atau vitrifikasi blastosis. Viabilitas blastomer setelah vitrifikasi tahap 8 sel, blastomer masih dapat berkembang dengan baik membentuk sel yang kompak (morula). SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mentransfer embrio hasil pembekun ganda ke resipien, untuk mengetahui tingkat keberhasilan implantasi embrio hasil pembekuan ganda menggunakan metode vitrifikasi. DAFTAR PUSTAKA Abbeel EV, Steirteghem AV Zona pellucid damage to human embryos after cryopresrvation and consequences for their blastomere survival and in-vitro viability. Hum Reprod 15: Arav A, Shebu D, Mattioli M Osmotic and cytotoxic study of vitrification of immature bovine oocytes. J Reprod 99: Biggers JD, Mc Ginnis LK Evidence that glocose is not always an inhibitor of mouse preimplantation development invitro. Hum Reprod 16: Boediono A Kriopreservasi embrio. Bogor: Konferensi Nasional II PERMI dan Temu Ilmiah FER. Boediono A Use of the recent animal reproduction biotechnology for improvement of animal production and quality. Inovasi 6: Cremades N, Sousa M, Silva J Experimental vitrification of human compacted morulae and early blastocysts using fine diameter plastic micropipettes. Hum Reprod 19: Handayani N Efektifitas Metode Cryoloop dalam Vitrifikasi Blastosis Mencit (Mus musculus albinus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Hernawan E Peningkatan Kinerja Reproduksi pada Fase Kebuntingan Melalui Teknik Superovulasi pada Ternak Domba [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hogan B, Beddington R, Costantini F, Lacy E Manipulating the mouse embryos a laboratory manual. New York: Cold Spring Harbor Laboratory Press. Isachenko V, Folch J Double vitrification of rat embryos at different

17 9 development stages using an identical protocol. Theriogenology 60: Kasai M, Komi JH, Takakamo A, Tsudera A, Sakurai T A simple method for mouse embryo cryopreservation in a low toxicity vitrification Solution without appreciable loss of viability. Reprod Fertil 89: Kaidi S, Bernard S, Lambert P, Massip A, Dessy F, Donnay I. Effect of conventional controlled-rate freezing and vitrification on morphology and metabolism of bovine blastocysts produced in vitro. Biol Reprod 65: Kulesova LL, Lopata A Vitrification can be more favorable than slow cooling. Fertil Steril 78: Larman MG, Sheehan CB, Gardner DK Calsium-free vitrification reduces cryoprotectant-induced zona pellucida hardening and increases fertilization rates in mouse oocytes. Reprod Fertil 131: Lisanti E Seplementasi Piruvat dan Laktat dalam Medium Kultur Modifikasi M-16 Guna Meningkatkan Perkembangan Embrio Mencit (Mus musculus albinus) In- Vitro [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Madihah, Kusumaningtyas H, Boediono A, Sumarsono SH The quality, implantation rate and in-vivo viability of the swiss webster mouse (Mus musculus albinus) embryo after vitrification. Biota 11: Mochida K, Ogura A, Kobayashi Y, Egawa G Equlibrium vitrification of mouse embryos. Biol Reprod 82: Mukaida T, Nakamura S, Tomiyama T, Wada S, Oka C, Kasai M, Takahashi K Vitrification of human blastocysts using cryoloops: clinical outcome of 223 cycles. Hum Reprod 18: Nawawi Kriopreservasi Embrio Ikan Mas (Cyprinus corpio linn) dengan Menggunakan Krioprotektan Etilen Glikol [tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Renard JP, Nguyen BX, Garnier V Two-step freezing of two-cell rabbit embryos after partial dehydration at room temperature. Reprod Fertil 71: Rianti P Perkembangan Embrio Mencit Tahap Pra Implantasi pada Kultur In-Vitro [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Saha S, Boediono A, Takagi M, Suzuki T Direct rehydration of in-vitro fertilised bovine embryos after vitrification. Vet Record 134: Saha S, Boediono A, Rajamahendra R Viability of bovine blastocysts obtained after 7, 8, or 9 days of culture in-vitro following vitrification and one-step rehydration. Theriogenology 46: Supriatna E Viabilitas Embrio Mencit Setelah Pembekuan Pada Berbagai Tahap Perkembangan [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Takagi M, Otoi T, Boediono A, Saha S, Suzuki T Viability of frozen-thawed bovine IVM/IVF embryos in relation to aging using various cryoprotectants. Theriogenology 41: Toukhy TEI, Khalaf Y, Wharf E, Taylor A, Braude P Cryo-thawed embryos obtained from conception cycles have double the implantation and pregnancy potential of those from unsuccesful cycles. Hum Reprod 18: Valdez CA, Mazni OA, Takahashi Y Succesful cryopreservation of mouse blastocysts using a new vitrification solution. Reprod Fertil 96: Vanderzwalmen P, Bertin G, Debauche CH, Standaert V, Bollen N Vitrification of human blastocysts with the Hemi-Straw carrier: application of assisted hatching after thawing. Hum Reprod 18: Vincent C, Pickering SJ, Johnson MH The hardening effect dimethylsulphoxide on the mouse zona pellucida requires the presence of an oocyte and is associated with a reduction in the number of cortical granules present. Reprod Fertil 89: Wilson ED, Zarrow MX Comparison of superovulation in the immature mouse and rat. Reprod Fertil 3: Whittingham DG Survival of mouse embryos after freezing and thawing. Nature (London) 233:

HASIL. Medium V3+ embrio

HASIL. Medium V3+ embrio 3 (PBS + 20% serum + 10% etilen glikol) selama 10-15 menit. Lalu embrio dipindahkan kedalam medium vitrifikasi (PBS + 20% serum + 0.5 M sukrosa + 15% etilen glikol + 15% DMSO) selama 30 detik, kemudian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Superovulasi. Perkembangan Embrio Praimplantasi

TINJAUAN PUSTAKA. Superovulasi. Perkembangan Embrio Praimplantasi TINJAUAN PUSTAKA Superovulasi Superovulasi adalah usaha meningkatkan jumlah sel telur yang diovulasikan dengan stimulasi hormon. Superovulasi pada mencit dapat dilakukan dengan menyuntikkan hormon gonadotropin

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2010 sampai dengan Januari 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2011 s.d. Februari 2012. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Teknologi reproduksi manusia telah berkembang. sangat pesat pada beberapa dekade terakhir ini.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Teknologi reproduksi manusia telah berkembang. sangat pesat pada beberapa dekade terakhir ini. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Teknologi reproduksi manusia telah berkembang sangat pesat pada beberapa dekade terakhir ini. Ruang lingkup teknologi reproduksi antara lain meliputi fertilisasi in

Lebih terperinci

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh. MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO DOSEN PENGAMPU Drh. BUDI PURWO W, MP SEMESTER III JUNAIDI PANGERAN SAPUTRA NIRM 06 2 4 10 375

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Viabilitas berdasarkan morfologi zigot dan blastosis Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan terhadap morfologi zigot sebelum dan setelah vitrifikasi tunggal (Gambar 3) dan morfologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggulan dalam memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di dalamnya pemanfaatan proses rekayasa fungsi

Lebih terperinci

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

Embrio ternak - Bagian 1: Sapi

Embrio ternak - Bagian 1: Sapi Standar Nasional Indonesia Embrio ternak - Bagian 1: Sapi ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada

I. PENDAHULUAN. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada ternak sapi telah banyak diterapkan di Indonesia. Menurut SNI 4896.1 (2008),

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

KRIOPRESERVASI DENGAN VITRIFIKASI GANDA PADA TAHAP PERKEMBANGAN ZIGOT DAN DILANJUTKAN PADA TAHAP BLASTOSIS CANDRANI KHOIRINAYA

KRIOPRESERVASI DENGAN VITRIFIKASI GANDA PADA TAHAP PERKEMBANGAN ZIGOT DAN DILANJUTKAN PADA TAHAP BLASTOSIS CANDRANI KHOIRINAYA VIABILITAS EMBRIO MENCIT (Mus musculus albinus) SETELAH KRIOPRESERVASI DENGAN VITRIFIKASI GANDA PADA TAHAP PERKEMBANGAN ZIGOT DAN DILANJUTKAN PADA TAHAP BLASTOSIS CANDRANI KHOIRINAYA FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

PRlNSlP KERJA PEMBEKUAN

PRlNSlP KERJA PEMBEKUAN PRlNSlP KERJA PEMBEKUAN SULAXONO HAD1 B 19.1338 FAKULT'AS KEDOKTERAN HEWAN 1NSTlf Uf PERTANIAN BOGOR 1 9 8 8 SULAXONO HADI. Prinsip Kerja Pembekuan Embrio (Dibawah bimbingan Soebadi Partodihardjo dan Iman

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari September 2006 sampai dengan Mei 2007, di Laboratorium Embriologi dan Laboratorium Histologi, Departemen Anatomi, Fisiologi,

Lebih terperinci

Kebuntingan Hasil Transfer Blastosis Mencit yang Dibekukan dengan Metode Vitrifikasi Kriolup

Kebuntingan Hasil Transfer Blastosis Mencit yang Dibekukan dengan Metode Vitrifikasi Kriolup Jurnal Veteriner September 211 Vol. 12 No. 3: 185-191 ISSN : 1411-8327 Kebuntingan Hasil Transfer Blastosis Mencit yang Dibekukan dengan Metode Vitrifikasi Kriolup (THE PREGNANCY OF THE MOUSE AFTER TRANFER

Lebih terperinci

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN (Fertilization and Development of Oocytes Fertilized in Vitro with Sperm after Sexing) EKAYANTI M. KAIIN, M. GUNAWAN, SYAHRUDDIN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Dalam penelitian eksperimen terdapat kontrol sebagai acuan antara keadaan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SEL KUMULUS PADA MEDIUM KULTUR IN VITRO EMBRIO MENCIT TAHAP SATU SEL

PEMANFAATAN SEL KUMULUS PADA MEDIUM KULTUR IN VITRO EMBRIO MENCIT TAHAP SATU SEL PEMANFAATAN SEL KUMULUS PADA MEDIUM KULTUR IN VITRO EMBRIO MENCIT TAHAP SATU SEL EFFICIENCY OF CUMULUS CELL ON CULTURE MEDIUM IN VITRO ONE CELL STAGE IN MICE EMBRYOS E. M. Luqman*, Widjiati*, B. P. Soenardirahardjo*,

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Semen Kambing Semen adalah cairan yang mengandung gamet jantan atau spermatozoa dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari suspensi

Lebih terperinci

Jurnal Sains & Matematika (JSM) ISSN Volume 14, Nomor 4, Oktober 2006 Artikel Penelitian:

Jurnal Sains & Matematika (JSM) ISSN Volume 14, Nomor 4, Oktober 2006 Artikel Penelitian: Jurnal Sains & Matematika (JSM) ISSN 0854-0675 Volume 14, Nomor 4, Oktober 2006 Artikel Penelitian: 183-189 Agregasi Embrio Tahap Pembelahan 8 Sel pada Medium Kultur KSOMaa untuk Menghasilkan Embrio Hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Sistem reproduksi sapi betina lebih kompleks daripada sapi jantan, dimana terdiri dari beberapa organ yang memiliki peran dan fungsi masing-masing. Ovarium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi

TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi Fertilisasi merupakan proses bertemunya sel sperma dengan sel telur. Sel telur diaktivasi untuk memulai perkembangannya dan inti sel dari dua gamet akan bersatu untuk menyempurnakan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN TELUR ITIK SEBAGAI PENGENCER SEMEN KAMBING. Moh.Nur Ihsan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK

PENGGUNAAN TELUR ITIK SEBAGAI PENGENCER SEMEN KAMBING. Moh.Nur Ihsan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK PENGGUNAAN TELUR ITIK SEBAGAI PENGENCER SEMEN KAMBING Moh.Nur Ihsan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK Suatu penelitian untuk mengetahui penggunaan kuning telur itik

Lebih terperinci

Pada rnasa kini, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk. mempercepat peningkatan populasi, produksi dan mutu ternak adalah dengan

Pada rnasa kini, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk. mempercepat peningkatan populasi, produksi dan mutu ternak adalah dengan 1. Latar Belakang Pada rnasa kini, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat peningkatan populasi, produksi dan mutu ternak adalah dengan penyediaan bibit berkuaiitas tinggi meialui penerapan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sehingga dapat memudahkan dalam pemeliharaannya. Kurangnya minat terhadap

PENDAHULUAN. sehingga dapat memudahkan dalam pemeliharaannya. Kurangnya minat terhadap I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang dikenal di Indonesia sebagai ternak penghasil daging dan susu. Kambing adalah salah satu ternak yang telah didomestikasi

Lebih terperinci

Vitrifikasi Blastosis Mencit dengan Metode Kriolup

Vitrifikasi Blastosis Mencit dengan Metode Kriolup Jurnal Veteriner Desember 2009 Vol. 10 No. 4 : 219-226 ISSN : 1411-8327 Vitrifikasi Blastosis Mencit dengan Metode Kriolup (VITRIFICATION OF MOUSE BLASTOCYSTS USING CRYOLOOP METHOD) I Wayan Batan 1, I

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental (experimental research) yaitu penelitian yang berusaha mencari pengaruh variabel tertentu terhadap

Lebih terperinci

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN MEMBRAN PLASMA UTUH. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN MEMBRAN PLASMA UTUH. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN MEMBRAN PLASMA UTUH Gambar mas Disusun oleh Mas Mas Mas Faisal Ernanda h0510030 Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta 2012 Mas tolong

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3

LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3 LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3 MEMPELAJARI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MANUSIA MELALUI BIOTEKNOLOGI Bioteknologi berkebang sangat pesat. Produk-produk bioteknologi telah dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dengan kambing Kacang (Devendra dan Burns, 1983). Menurut tipenya, rumpun

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dengan kambing Kacang (Devendra dan Burns, 1983). Menurut tipenya, rumpun 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Kambing Peranakan Etawah Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Etawah yang berasal dari India yang memiliki iklim tropis/subtropis dan beriklim kering dengan

Lebih terperinci

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

Pengaruh Pemberian Susu Skim dengan Pengencer Tris Kuning Telur terhadap Daya Tahan Hidup Spermatozoa Sapi pada Suhu Penyimpanan 5ºC

Pengaruh Pemberian Susu Skim dengan Pengencer Tris Kuning Telur terhadap Daya Tahan Hidup Spermatozoa Sapi pada Suhu Penyimpanan 5ºC Sains Peternakan Vol. 9 (2), September 2011: 72-76 ISSN 1693-8828 Pengaruh Pemberian Susu Skim dengan Pengencer Tris Kuning Telur terhadap Daya Tahan Hidup Spermatozoa Sapi pada Suhu Penyimpanan 5ºC Nilawati

Lebih terperinci

PEMANFAATAN METODE VITRIFIKASI UNTUK KRIOPRESERVASI OOSIT MAMALIA

PEMANFAATAN METODE VITRIFIKASI UNTUK KRIOPRESERVASI OOSIT MAMALIA PEMANFAATAN METODE VITRIFIKASI UNTUK KRIOPRESERVASI OOSIT MAMALIA FITRA AJI PAMUNGKAS Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih, PO Box I, Galang 20585, Sumatera Utara (Makalah diterima 30 April 2010 Revisi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Seiring bertambahnya jumlah penduduk tiap tahunnya diikuti dengan

PENDAHULUAN. Seiring bertambahnya jumlah penduduk tiap tahunnya diikuti dengan I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring bertambahnya jumlah penduduk tiap tahunnya diikuti dengan semakin meningkat pula permintaan masyarakat terhadap bahan pangan untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang.

KAJIAN KEPUSTAKAAN. 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang. II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang. Persilangan antara kedua jenis kambing ini telah

Lebih terperinci

KEMAMPUAN MENCIT SWISS WEBSTER BERSUPERKEHAMILAN DAN MEMELIHARA ANAKNYA

KEMAMPUAN MENCIT SWISS WEBSTER BERSUPERKEHAMILAN DAN MEMELIHARA ANAKNYA KEMAMPUAN MENCIT SWISS WEBSTER BERSUPERKEHAMILAN DAN MEMELIHARA ANAKNYA T 599. 323 3 SIM ABSTRAK Mencit Swiss Webster dewasa dapat dirangsang untuk bersuperovulasi, tetapi tidak diketahui apakah semua

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam upaya menjadikan subsektor peternakan sebagai pendorong kemandirian pertanian Nasional, dibutuhkan terobosan pengembangan sistem peternakan. Dalam percepatan penciptaan

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO

PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO (The Effects of Spermatozoa Concentration of Postcapacity on In Vitro Fertilization Level) SUMARTANTO EKO C. 1, EKAYANTI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan dari

PENDAHULUAN. kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan dari 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing merupakan komoditas ternak yang banyak dikembangkan di Indonesia. Salah satu jenis kambing yang banyak dikembangkan yaitu jenis kambing Peranakan Etawah (PE).

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EMBRIO PRAIMPLANTASI MENCIT

PERKEMBANGAN EMBRIO PRAIMPLANTASI MENCIT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini industri dan perdagangan produk herbal serta suplemen makanan di seluruh dunia yang berasal dari bahan alami cenderung mengalami peningkatan. Di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi. Nama : Hernawati NIM : 09027 Saya mengkritisi makalah kelompok 9 No 5 tentang siklus menstruasi. Menurut saya makalah mereka sudah cukup baik dan ketikannya juga sudah cukup rapih. Saya di sini akan sedikit

Lebih terperinci

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C Disajikan oleh : Hotmaria Veronika.G (E10012157) dibawah bimbingan : Ir. Teguh Sumarsono, M.Si 1) dan Dr. Bayu Rosadi, S.Pt. M.Si 2)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

EMBRIOGENESIS DAN INDUKSI EMBRIO (BAGIAN I) LABORATORIUM EMBRIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Indikator pencapaian: Definisi dan tahapan embriogenesis (pembelahan, blastulasi,

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU DOMBOS TEXEL DI KABUPATEN WONOSOBO

PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU DOMBOS TEXEL DI KABUPATEN WONOSOBO PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU DOMBOS TEXEL DI KABUPATEN WONOSOBO (Effect of Various Diluter on Frozen Semen Quality of Dombos Texel in Wonosobo Regency) YON SUPRI ONDHO, M.I.S.

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Hasil percobaan perkembangan bobot dan telur ikan patin siam disajikan pada Tabel 2. Bobot rata-rata antara kontrol dan perlakuan dosis tidak berbeda nyata. Sementara

Lebih terperinci

PERBAIKAN TEKNIK PEMBEKUAN SPERMA: PENGARUH SUHU GLISEROLISASI DAN PENGGUNAAN KASET STRAW

PERBAIKAN TEKNIK PEMBEKUAN SPERMA: PENGARUH SUHU GLISEROLISASI DAN PENGGUNAAN KASET STRAW PERBAIKAN TEKNIK PEMBEKUAN SPERMA: PENGARUH SUHU GLISEROLISASI DAN PENGGUNAAN KASET STRAW (The Effect of Temperature of Glycerol and Straw Cassette on Sperm Cryopreservation) F. AFIATI, E.M. KAIIN, M.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

Viabilitas Demi Embrio Sapi In Vitro Hasil Splitting Embrio Segar dan Beku

Viabilitas Demi Embrio Sapi In Vitro Hasil Splitting Embrio Segar dan Beku JITV Vol. 12 No. 2 Th. 2007 Viabilitas Demi Embrio Sapi In Vitro Hasil Splitting Embrio Segar dan Beku M. IMRON 1, A. BOEDIONO 2 dan I. SUPRIATNA 2 1 Balai Embrio Ternak Cipelang, PO Box 485 Bogor 16004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Seorang wanita disebut hamil jika sel telur berhasil dibuahi oleh sel sperma. Hasil pembuahan akan menghasilkan zigot, yang lalu berkembang (dengan cara pembelahan sel

Lebih terperinci

Perlakuan Superovulasi Sebelum Pemotongan Ternak (Treatment Superovulation Before Animal Sloughter)

Perlakuan Superovulasi Sebelum Pemotongan Ternak (Treatment Superovulation Before Animal Sloughter) JURNAL ILMU TERNAK, DESEMBER 2006, VOL. 6 NO. 2, 145 149 Perlakuan Superovulasi Sebelum Pemotongan Ternak (Treatment Superovulation Before Animal Sloughter) Nurcholidah Solihati, Tita Damayanti Lestari,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak yang dapat menyediakan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia selain dari sapi, kerbau dan unggas. Oleh karena itu populasi dan kualitasnya

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya protein hewani bagi tubuh. Hal ini

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI ENERGI MITOKONDRIA SEL-SEL TROFOBLAS BLASTOSIS MENCIT(Mus musculus albinus) ROZA HELMITA

POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI ENERGI MITOKONDRIA SEL-SEL TROFOBLAS BLASTOSIS MENCIT(Mus musculus albinus) ROZA HELMITA POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI ENERGI MITOKONDRIA SEL-SEL TROFOBLAS BLASTOSIS MENCIT(Mus musculus albinus) ROZA HELMITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Pola kenaikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Embrio partenogenetik memiliki potensi dalam mengatasi permasalahan etika pada penelitian rekayasa embrio. Untuk memproduksi embrio partenogenetik ini, sel telur diambil dari individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus reproduksi adalah perubahan siklus yang terjadi pada sistem reproduksi (ovarium, oviduk, uterus dan vagina) hewan betina dewasa yang tidak hamil, yang memperlihatkan

Lebih terperinci

(Biopotency Test of Monoclonal Antibody Anti Pregnant Mare Serum Gonadotropin in Dairy Cattle)

(Biopotency Test of Monoclonal Antibody Anti Pregnant Mare Serum Gonadotropin in Dairy Cattle) Hayati, September 1998, hlm. 73-78 ISSN 0854-8587 Uji Biopotensi Antibodi Monoklonal Anti Pregnant Mare Serum Gonadotropin pada Sapi Perah Vol. 5. No. 3 (Biopotency Test of Monoclonal Antibody Anti Pregnant

Lebih terperinci

Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan

Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan Media Peternakan, April 2008, hlm. 22-28 ISSN 0126-0472 Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005 Vol. 31 No. 1 Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan E.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara

I PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kambing merupakan salah satu jenis ternak yang mudah dipelihara dan dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara tradisional. Salah satu bangsa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peternakan babi yang ada di Indonesia khususnya di daerah Bali masih merupakan peternakan rakyat dalam skala kecil atau skala rumah tangga, dimana mutu genetiknya masih kurang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus A. Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian mengenai pengruh pemberian ekstrak kacang merah (Phaseolus vulgaris, L.) terhadap perkembangan folikel ovarium tikus putih diambil

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA THAWING DALAM AIR ES (3 C) TERHADAP PERSENTASE HIDUP DAN MOTILITAS SPERMATOZOA SAPI BALI (Bos sondaicus)

PENGARUH LAMA THAWING DALAM AIR ES (3 C) TERHADAP PERSENTASE HIDUP DAN MOTILITAS SPERMATOZOA SAPI BALI (Bos sondaicus) PENGARUH LAMA THAWING DALAM AIR ES (3 C) TERHADAP PERSENTASE HIDUP DAN MOTILITAS SPERMATOZOA SAPI BALI (Bos sondaicus) The effect of Thawing Lenght in Ice Water (3 o C) to viability and motility of Bali

Lebih terperinci

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12 Nama : Kristina vearni oni samin Nim: 09031 Semester 1 Angkatan 12 Saya mengkritisi tugas biologi reproduksi kelompok 7 tentang siklus menstruasi yang dikerjakan oleh saudari Nela Soraja gusti. Tugas mereka

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo. Tabel 4 Karakteristik fisik reproduksi lele dumbo

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo. Tabel 4 Karakteristik fisik reproduksi lele dumbo HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo Lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan konsumsi air tawar yang memiliki bentuk tubuh memanjang, memiliki sungut dengan permukaan tubuh

Lebih terperinci

PENGARUH LEVEL GLISEROL DALAM PENGENCER TRIS- KUNING TELUR TERHADAP MEMBRAN PLASMA UTUH DAN RECOVERY RATE SPERMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH POST THAWING

PENGARUH LEVEL GLISEROL DALAM PENGENCER TRIS- KUNING TELUR TERHADAP MEMBRAN PLASMA UTUH DAN RECOVERY RATE SPERMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH POST THAWING PENGARUH LEVEL GLISEROL DALAM PENGENCER TRIS- KUNING TELUR TERHADAP MEMBRAN PLASMA UTUH DAN RECOVERY RATE SPERMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH POST THAWING THE EFFECT OF GLYCEROL LEVEL ON TRIS-YOLK EXTENDER

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit

PEMBAHASAN Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit 17 PEMBAHASAN Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit Efek Whitten merupakan salah satu cara sinkronisasi siklus berahi secara alami tanpa menggunakan preparat hormon. Metode

Lebih terperinci

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba 17 III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2010. Penelitian dilakukan di kandang Mitra Maju yang beralamat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik semen

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik semen HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Segar Dari hasil penampungan semen yang berlangsung pada bulan Oktober 2003 sampai dengan Juli 2004 dan rusa dalam kondisi rangga keras memperlihatkan bahwa rataan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak dipelihara petani-peternak di Sumatra Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi Pesisir mempunyai

Lebih terperinci

MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI

MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI MK. ILMU REPRODUKSI 1 SUB POKOK BAHASAN Transport spermatozoa pada organ reproduksi jantan (tubuli seminiferi, epididimis dan ejakulasi) Transport spermatozoa

Lebih terperinci

PENGARUH AKAR GINSENG ( Wild ginseng ) DALAM RANSUM MENCIT ( Mus musculus) TERHADAP JUMLAH ANAK DAN PERTUMBUHAN ANAK DARI LAHIR SAMPAI DENGAN SAPIH

PENGARUH AKAR GINSENG ( Wild ginseng ) DALAM RANSUM MENCIT ( Mus musculus) TERHADAP JUMLAH ANAK DAN PERTUMBUHAN ANAK DARI LAHIR SAMPAI DENGAN SAPIH PENGARUH AKAR GINSENG ( Wild ginseng ) DALAM RANSUM MENCIT ( Mus musculus) TERHADAP JUMLAH ANAK DAN PERTUMBUHAN ANAK DARI LAHIR SAMPAI DENGAN SAPIH KADARWATI D24102015 Skripsi ini merupakan salah satu

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Perlakuan penyuntikan hormon PMSG menyebabkan 100% ikan patin menjadi bunting, sedangkan ikan patin kontrol tanpa penyuntikan PMSG tidak ada yang bunting (Tabel 2).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak ke arah pencapaian swasembada protein hewani untuk memenuhi

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi. Evaluasi semen segar yang telah

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi. Evaluasi semen segar yang telah 7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Karakteristik Semen Kambing Semen adalah sekresi kelamin jantan yang secara umum diejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi. Evaluasi semen segar yang

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan ini termasuk ke dalam jenis penelitian eksperimental. Pada kelompok eksperimen, dilakukan sebuah perlakuan terhadap subjek penelitian

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SEKSI PRODUKSI DAN APLIKASI (PA)

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SEKSI PRODUKSI DAN APLIKASI (PA) STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SEKSI PRODUKSI DAN APLIKASI (PA) BALAI EMBRIO TERNAK CIPELANG DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTERIAN PERTANIAN BalaiEmbrioTernakCipelang BET STANDAR

Lebih terperinci

PENAMBAHAN DAUN KATUK

PENAMBAHAN DAUN KATUK PENAMBAHAN DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr) DALAM RANSUM PENGARUHNYA TERHADAP SIFAT REPRODUKSI DAN PRODUKSI AIR SUSU MENCIT PUTIH (Mus musculus albinus) ARINDHINI D14103016 Skripsi ini merupakan

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Domba Segera Setelah Koleksi Pemeriksaan karakteristik semen domba segera setelah koleksi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pemeriksaan secara makroskopis

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT THOMAS MATA HINE

PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT THOMAS MATA HINE PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT THOMAS MATA HINE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar HASIL DAN PEMBAHASAN Semen adalah cairan yang mengandung suspensi sel spermatozoa, (gamet jantan) dan sekresi dari organ aksesori saluran reproduksi jantan (Garner dan Hafez, 2000). Menurut Feradis (2010a)

Lebih terperinci

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus)

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SKRIPSI SRINOLA YANDIANA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

AKTIVITAS UREASE DAN FOSFOMONOESTERASE ASAM, SERTA PRODUKTIVITAS KACANG TANAH DENGAN PEMBERIAN PUPUK ORGANIK KURTADJI TOMO

AKTIVITAS UREASE DAN FOSFOMONOESTERASE ASAM, SERTA PRODUKTIVITAS KACANG TANAH DENGAN PEMBERIAN PUPUK ORGANIK KURTADJI TOMO AKTIVITAS UREASE DAN FOSFOMONOESTERASE ASAM, SERTA PRODUKTIVITAS KACANG TANAH DENGAN PEMBERIAN PUPUK ORGANIK KURTADJI TOMO PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak di pelihara petani-peternak di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi pesisir dapat

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNOLOGI KULTUR OVARI SEBAGAI SUMBER OOSIT UNTUK PRODUKSI HEWAN DAN BANTUAN KLINIK BAGI WANITA YANG GAGAL FUNGSI OVARI

PEMANFAATAN TEKNOLOGI KULTUR OVARI SEBAGAI SUMBER OOSIT UNTUK PRODUKSI HEWAN DAN BANTUAN KLINIK BAGI WANITA YANG GAGAL FUNGSI OVARI 2004 Retno Prihatini Makalah Pribadi Posted: 20 December 2004 Pengantar ke Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pascasarjana/S3 Institut Pertanian Bogor Tanggal 1 Desember 2004 Pengajar: Prof.Dr.Ir.Rudy C.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan, Viabilitas, dan Abnormalitas Kultur Primer Sel Paru-Paru Fetus Hamster Yang Dipapar Etanol

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat produksi daging domba di Jawa Barat pada tahun 2016 lebih besar 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging domba dan kambing di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki kebutuhan konsumsi daging sapi yang meningkat setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi. Ketersediaan daging sapi ini

Lebih terperinci

MUHAMMAD RIZAL AMIN. Efektivitas Plasma Semen Sapi dan Berbagai Pengencer

MUHAMMAD RIZAL AMIN. Efektivitas Plasma Semen Sapi dan Berbagai Pengencer MUHAMMAD RIZAL AMIN. Efektivitas Plasma Semen Sapi dan Berbagai Pengencer dalam Meningkatkan Kualitas Semen Beku Kerbau Lumpur (Bubalzts bztbalis). Dibimbing oleh MOZES R. TOELlHERE sebagai Ketua, TUTY

Lebih terperinci

PEMBEKUAN VITRIFIKASI SEMEN KAMBING BOER DENGAN TINGKAT GLISEROL BERBEDA

PEMBEKUAN VITRIFIKASI SEMEN KAMBING BOER DENGAN TINGKAT GLISEROL BERBEDA PEMBEKUAN VITRIFIKASI SEMEN KAMBING BOER DENGAN TINGKAT GLISEROL BERBEDA Moh Nur Ihsan Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB Malang ABSTRAK Suatu penelitian dengan tujuan untuk mengetahui kualitas

Lebih terperinci

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. Kebuntingan dan Kelahiran Kebuntingan Fertilisasi: Proses bersatunya/fusi antara sel kelamin betina (oosit)

Lebih terperinci