BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab II dalam tesis ini menekankan pada tinjauan pustaka yang dibagi atas 4 (empat) bagian, yaitu: Bagian pertama, membahas mengenai posisi dominan yang berisi pengaturan posisi dominan di Uni Eropa dan Amerika serta pengaturan posisi dominan di Indonesia. Bagian kedua, membahas mengenai penyalahgunaan posisi dominan yang berisi pengaturan penyalahgunaan posisi dominan di Uni Eropa dan Amerika serta pengaturan penyalahgunaan posisi dominan di Indonesia. Bagian ketiga, membahas mengenai pasar bersangkutan. Alasan penulis memuat sub-bab sendiri karena pasar bersangkutan ini sama-sama digunakan dalam pengaturan posisi dominan dan juga pengaturan penyalahgunaan posisi dominan. Bagian keempat, membahas mengenai teori tujuan hukum menurut Roscoe Pound dan Gustav Radbruch. Kedua teori ini dianggap relevan untuk membahas mengenai konsep penyalahgunaan posisi dominan di Indonesia. Teori Pound digunakan sebagai pisau 44

2 analisis putusan-putusan KPPU mengenai penyalahgunaan posisi dominan yang menekankan pada law is a tool of a social engineering. Hukum sebagai alat kontrol sosial yang digunakan untuk menjaga kepentingan umum dan mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Selanjutnya hukum sebagai alat rekayasa sosial digunakan untuk meningkatkan ekonomi nasional, dan lain sebagainya. Sementara teori Gustav Radbruch menekankan pada 3 (tiga) tujuan hukum yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga tujuan hukum ini digunakan untuk menganalis putusanputusan KPPU tentang penyalahgunaan posisi dominan dan dikaitkan atau berdasarkan Pasal 25 UU No.5 tahun A. Posisi Dominan 1. Pengaturan Posisi Dominan di Uni Eropa dan Amerika Serikat a) Uni Eropa UU Antimonopoli mengikuti EU Article 102 ( ex Article 82) European Community Treaty yang menggunakan istilah dominan position. Adapun bunyi Article 102 yaitu 45

3 one or more undertakings of a dominant position with the common market or a substantial part of it shall be prohibited such abuse in particular, consist in: (a) Directly or indirectly imposing unfair purchase or selling prices or unfair trading conditions; (b) Limiting production, market or technical development to the prejudice of consumers; (c) Applying dissimilar conditions to equivalent transactions with other trading parties, thereby placing them at a competitive disadvantage; (d) Making the conclusion of contracts subject to acceptance by the other parties of supplementary obligations which, by their nature or according to commercial usage, have no connection with the subject of such contracts. Di Uni eropa, dalam kasus continental Can 1, European Commission menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai posisi dominan apabila mempunyai kekuatan untuk melakukan tindakan secara independen, tanpa mempertimbangkan pesaingpesaingnya, pembeli-pembelinya atau pemasokpemasoknya. Posisi dominan terjadi apabila pelaku usaha dapat menentukan harga, mengontrol produksi atau distribusi untuk jumlah produk yang signifikan karena pelaku usaha tersebut mempunyai pangsa pasar tertentu atau karena mempunyai pangsa pasar ditambah dengan adanya kemampuan ilmu teknologi 1 Continental Can Co Inc, Re (1972) JO L7/25, (1972) CMLR D11 259, 262, 272,

4 bahan mentah atau modal tertentu. 2 Jadi, menurut European Commission dalam kasus ini, unsur terpenting dalam posisi dominan adalah independensi dan kekuatan untuk menentukan harga. Pelaku usaha hanya dikatakan mempunyai posisi dominan apabila tindakan-tindakannya tidak terhambat oleh pesaingpesaingnya. 3 Kasus lain yang dapat untuk menjelaskan posisi dominan di eropa ini yaitu putusan ECJ (European Court of Justice) yang melibatkan Hoffman La Roche v. Commission of the European Communities) yaitu according to the classical test, a dominant position under Article 102 ( ex Article 82) of the Treaty is a position of economic strength enjoyed by an undertaking which enables it to prevent effective competition being maintained on the relevant market by affording it the power to behave to an appreciable extent independently of its competitors, its customers and ultimately of the consumers. ECJ (European Court of Justice) dalam Hoffmann- La Roche 4 menegaskan bahwa penyalahgunaan (abuse) 2 Ibid 3 M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya, CICODS FH-UGM, Yogyakarta, 2009, hal Hoffmann-La Roche & Co AG v. Commission (1979) ECR 461, (1979) 3 CMLR

5 posisi dominan menurut Pasal 102 European Community Treaty merupakan konsep yang objektif berkaitan dengan tingkah laku pemegang posisi dominan yang mempengaruhi struktur pasar yang menyebabkan persaingan dalam pasar tersebut menjadi lemah. b) Amerika Serikat Posisi dominan di Amerika Serika tidak diatur secara jelas dalam UU Persaingan Usaha Amerika Serika, yang diatur hanya penyalahgunaan posisi dominan. Namun meskipun demikian, dari berbagai literatur yang dibaca penulis. Posisi dominan di Amerika menekankan istilah market power 5. Pelaku usaha yang mempunyai substantial market power secara unilateral dapat menaikkan harga produknya di atas tingkat harga yang kompetitif dalam waktu yang cukup lama dengan meraih keuntungan. Pelaku usaha yang tidak mempunyai substantial market power harus membutuhkan pelaku usaha lain dengan cara 5 Market Power atau kekuatan pasar yang dimaksud adalah kemammpuan pelaku usaha untuk meningkatkan harga menjauhi biaya marjinalnya. Kemampuan tersebut didapat melalui penetapan harga yang tinggi tanpa menimbulkan kerugian berarti maupun dengan menekan biaya produksi yang timbul. Pelaku usaha dengan kekuatan pasar yang besar mampu menyerap surplus lebih dibandingkan konsumennya maupun suppliernya pada saat bertransaksi. (Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009, hal.109). 48

6 membuat perjanjian kolusif (collusive dealing) untuk melakukan hal yang sama. 6 Berbeda dengan pendapat ECJ (European Court of Justice) yang menekankan faktor independensi, pengadilan-pengadilan di AS dan Australia menekankan pada kekuatan untuk mengontrol harga. Ada beberapa sarjana yang mengatakan bahwa kriteria independensi yang dipakai oleh ECJ adalah cacat dan tidak dapat secara memuaskan membedakan antara pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dan yang tidak. Beberapa sarjana ini mengatakan bahwa ukuran yang lebih baik adalah kemampuan untuk membatasi output secara substansial dalam pasar. 7 Kekuatan untuk membatasi output berarti kekuatan untuk mengontrol harga. Jadi, beberapa sarjana ini mengikuti ukuran yang dipakai di AS. 2. Pengaturan Posisi Dominan di Indonesia Pengaturan posisi dominan di Indonesia tercantum dalam pasal 1 angka (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yaitu: 6 M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya, CICODS FH-UGM, Yogyakarta, 2009, hal.76 7 Ibid 49

7 Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Ketentuan ini menetapkan syarat atau parameter posisi dominan. Syarat yang dimaksud adalah pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan dalam kaitan pangsa pasarnya, kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, dan kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Syarat yang ditetapkan oleh Pasal 1 angka (4) UU No. 5/1999 yang penting adalah bahwa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pasa pasokan atau penjualan, dan kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Namun ketentuan ini tidak menjelaskan syarat-syarat tersebut harus dipenuhi oleh suatu 50

8 pelaku usaha secara kumulatif atau tidak. Artinya, apakah jika salah satu syarat tersebut dimiliki oleh pelaku usaha dapat dinyatakan bahwa pelaku usaha tersebut sudah mempunyai posisi dominan? Dari pengertian posisi dominan Pasal 1 angka (4) tersebut dapat diketahui 3 (tiga) unsur penting tersebut diuraikan dan juga ditafsirkan di bawah ini yaitu 8 1. Kemampuan keuangan Salah satu unsur yang menyatakan bahwa suatu pelaku usaha mempunyai posisi dominan adalah apabila pelaku usaha mempunyai keuangan yang lebih besar (kuat) dibandingkan dengan keuangan pelaku usaha pesaingnya. Pengertian kemampuan keuangan suatu pelaku usaha dapat dipahami khususnya kemampuan ekonomi pelaku usaha tersebut yang pada pokoknya mempunyai kemungkinan keuangan artinya kemampuan keuangan yang dimiliki sendiri, untuk melakukan investasi sejumlah uang tertentu dan mempunyai akses menjual kepada pasar modal. Secara sederhana dilihat dari keberadaan pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi (besar) dibandingkan dengan pelaku usaha 8 Ibid 51

9 pesaingnya, pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi akan mempunyai keuangan yang lebih besar dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya. Karena presentase nilai jual atau beli yang lebih tinggi atas suatu barang atau jasa tertentu dibandingkan dengan nilai jual atau beli pesaingpesaingnya akan menunjukkan ke kemampuan keuangan yang lebih kuat atau lebih besar. Faktorfaktor menetapkan pelaku usaha mempunyai keuangan yang kuat adalah dapat dilihat dari: a. Modal dasar b. Cash flow Pengertian cash flow adalah aliran kas perusahaan yang secara riil diterima dan dikeluarkan oleh perusahaan untuk keperluan operasi, pendanaan, dan investasi. 9 Aliran kas yang masuk ke perusahaan disebut dengan cash in flow, sedangkan aliran kas yang keluar dari perusahaan dinamai cash out flow. Aliran kas dapat dibedakan menjadi 3 jenis : Aliran kas awal (Initial Cash Flow) merupakan aliran kas yang berkaitan dengan pengeluaran untuk kegiatan

10 investasi misalnya; pembelian tanah, gedung, biaya pendahuluan dan lain sebagainya. Aliran kas awal dapat dikatakan aliran kas keluar (cash out flow). Aliran kas operasional (Operational Cash Flow) merupakan aliran kas yang berkaitan dengan operasional proyek seperti penjualan, biaya umum, dan administrasi. Oleh sebab itu aliran kas operasional merupakan aliran kas masuk (cash in flow) dan aliran kas keluar (cash out flow). Aliran kas akhir (Terminal Cash Flow) merupakan aliran kas yang berkaitan dengan nilai sisa proyek (nilai residu) seperti sisa modal kerja, nilai sisa proyek yaitu penjualan peralatan proyek. c. Omzet Omzet adalah nilai transaksi yang terjadi dalam hitungan waktu tertentu, misalnya harian, mingguan, bulanan, tahunan. 10 d. Keuntungan

11 e. Batas kredit dan f. Akses ke pasar keuangan nasional dan internasional. 2. Kemampuan Pada Pasokan atau Penjualan Unsur kemampuan mengatur pasokan atau penjualan adalah salah satu ciri pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan. Kemampuan ini dapat dilakukan oleh suatu pelaku usaha jika memiliki pangsa pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan pangsa pasar pesaing-pesaingnya. Oleh karena itu penilaian atau penetapan pangsa pasar pelaku usaha pada pasar bersangkutan sangat penting. Untuk itu, pengertian pangsa pasar harus dipahami terlebih dahulu, yaitu persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu. Jika pangsa pasar pelaku usaha sudah ditetapkan, mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi daripada pesaingnya, maka dapat ditentukan apakah pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar dalam persentase tertentu dapat melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat pada pasar 54

12 yang bersangkutan yaitu melalui kemampuan pengaturan jumlah pasokan atau penjualan barang tertentu di pasar yang bersangkutan. Kemampuan pengaturan pasokan atau penjualan barang atau jasa tertentu menjadi salah satu bukti bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan yang mengakibatkan pelaku usaha pesaingnya tidak dapat bersaing pada pasar yang bersangkutan. 3. Kemampuan Menyesuaikan Pasokan atau Permintaan Kemampuan pelaku usaha untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu pada pasar yang bersangkutan menjadi salah satu unsur dalam pengertian posisi dominan yang ditetapkan di dalam Pasal 1 angka (4). Pada prinsipnya kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan atas suatu barang atau jasa tertentu pada pasar yang bersangkutan mempunyai kesamaan dengan kemampuan mengatur pasokan atau penjualan barang atau jasa tertentu. Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan pada pasar yang bersangkutan. Oleh karena itu, penetapan siapa 55

13 pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan pada pasar yang bersangkutan penting untuk dilakukan. Selanjutnya penulis menyinggung mengenai monopoli. Secara harafiah, monopoli berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata monos yang artinya sendiri dan polein yang artinya penjual. Sehingga monopoli diartikan sebagai suatu kondisi di mana hanya ada satu penjual yang menawarkan suatu barang atau jasa tertentu. Sedangkan definisi monopoli menurut UU larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. 11 Istilah monopoli sering kali dipakai untuk menunjuk 3 (tiga) titik berat yang berbeda yaitu 12 : a. Menggambarkan suatu struktur pasar dalam hal ini keadaan koleratif permintaan dan penawaran. b. Menggambarkan suatu posisi dalam hal ini monopoli bisa dilakukan oleh lebih dari satu penjual yang membuat keputusan bersama tentang produksi dan harga. 11 Pasal 1 angka (1) UU No.5 tahun Siswanto, Arie, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, hal

14 c. Menggambarkan kekuatan yang dipegang oleh penjual untuk menguasai penawaran, menentukan harga serta memanipulasi harga. Pada dasarnya monopoli sering kali dikategorikan sebagai hal yang negatif, akan tetapi monopoli juga ternyata memiliki manfaat salah satunya ialah memaksimalkan efisiensi pengelolaan sumber daya ekonomi tertentu. Hal ini terjadi apabila sumber daya alam minyak bumi dikelola oleh satu unit usaha tunggal yang besar, maka ada kemungkinan terhadap biaya-biaya tertentu akan bisa dihindari. Adapun jenis-jenis monopoli yaitu 13 : 1) Monopoli yang terjadi karena memang dikehendaki oleh Undang-Undang (monopoly by law). Jenis monopoli seperti ini, ada dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menghendaki adanya monopoli Negara untuk menguasai bumi dan air berikut kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta cabangcabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Selain itu, Undang-Undang juga memberikan hak istimewa dan 13 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publising, Jawa Timur, 2009 hal

15 perlindungan hukum dalam jangka waktu tertentu terhadap pelaku usaha yang memenuhi syarat tertentu atas hasil riset dan inovasi yang dilakukan sebagai hasil pengembangan terknologi yang bermanfaat bagi umat manusia. Pemberian hak-hak ekslusif atas penemuan baru, baik yang berasal dari hak atas kekayaan intelektual seperti hak cipta dan hak atas kekayaan industri seperti paten, merek, desain produksi, rahasia dagang, dan lain-lain. Semuanya itu pada dasarnya merupakan bentuk lain monopoli yang diakui dan dilindungi oleh Undang-Undang. 2) Monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh iklim dan lingkungan usaha yang sehat (monopoly by nature). Seperti yang diuraikan di atas, monopoli bukanlah merupakan suatu perbuatan jahat atau terlarang apabila kedudukan tersebut diperoleh dengan mempertahankan posisi tersebut melalui 58

16 kemampuan prediksi dan naluri bisnis yang professional. Kemampuan sumber daya manusia yang professional, kerja keras, dan strategi bisnis yang tepat dalam mempertahankan posisinya akan membuat suatu perusahaan memiliki kinerja yang unggul (superior skill) sehingga tumbuh secara cepat dengan menawarkan suatu kombinasi antara kualitas dan harga barang atau jasa serta pelayanan sebagaimana dikehendaki konsumen. Sehingga perusahaan tersebut dapat menyediakan keluaran (output) yang lebih efisien daripada apa yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang lainnya, Pada akhirnya, perusahaan ini mampu mengelola secara tepat 5 (lima) faktor persaingan yang menentukan kemampuan laba industri dalam hal ini daya tawar menawar pemasok, ancaman pendatang baru, daya tawar menawar pembeli, ancaman produk atau jasa substitusi, dan persaingan diantara perusahaan yang ada. Monopoli alamiah ini juga dapat terjadi 59

17 bila untuk suatu ukuran pasar akan lebih efisien bila hanya ada satu pelaku usaha atau perusahaan yang melayani pasar tersebut. Perusahaan lain dalam hal ini perusahaan kedua yang memasuki arena persaingan akan menderita rugi dan tersingkir secara alamiah, karena ukuran pasar yang tidak memungkinkan adanya pendatang bagi pelaku usaha baru. 3) Monopoli yang diperoleh melalui lisensi dengan menggunakan mekanisme kekuasaan (monopoly by license). Jenis monopoli seperti ini dapat terjadi oleh karena adanya kolusi antara para pelaku usaha dengan birokrat pemerintah. Kehadiran monopoli seperti ini menimbulkan distorsi ekonomi karena mengganggu bekerjanya mekanisme pasar yang efisien. Berbagai kelompok usaha yang dekat dengan pusat kekuasaan dalam pemerintahan pada umumnya memiliki kecenderungan melakukan perbuatan yang mencederai semangat persaingan usaha. 60

18 Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kalau posisi dominan menekankan pada keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Sementara monopoli menekankan pada penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Pelaku usaha posisi dominan dan pelaku usaha monopoli memiliki kesamaan dalam hal ini mempunyai dua pengaruh terhadap harga dan samasama dapat menciptakan rintangan masuk pasar bagi pelaku usaha lain yang mau memasuki pasar bersangkutan. Pengaruh terhadap harga ini seringkali atau tidak selalu meningkatkan tingkat harga untuk memperoleh keuntungan lebih dan menggunakan diskriminasi harga. Sementara perbedaannya adalah pelaku usaha yang memiliki posisi dominan perlu memperhatikan reaksi 61

19 konsumen sebab mungkin dengan menaikan tingkat harga kemungkinan akan memicu konsumen pelaku usaha posisi dominan tersebut untuk beralih ke pesaingnya. Pelaku usaha yang memiliki posisi dominan masih memberikan sedikit ruang bagi pelaku usaha lain untuk berpartisipasi di pasar, sedangkan pelaku usaha yang monopolis memiliki ruang gerak yang cukup besar tanpa harus memperhatikan reaksi konsumen ketika menaikan tingkat harga dan hambatan yang diciptakan pelaku usaha monopoli sangat kuat. B. Penyalahgunaan Posisi Dominan 1. Pengaturan Penyalahgunaan Posisi Dominan di Uni Eropa dan Amerika Serikat. a. Uni Eropa Dasar pelarangan penyalahgunaan posisi dominan di negara-negara Uni Eropa yaitu EU Article 102 ( ex Article 82) European Community Treaty yang berjudul Treaty Establishing The European Economic Community, 14 yaitu: Any abuse by one or more undertakings of a dominant position within the common market or in a substantial part 14 Ibrahim, Johnny, Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori, dan Impikasi Penerapannya di Indonesia, Bayumedia Publising, Jawa Timur, 2009 hal

20 of it shall be prohibited as incompatible with the common market in so far as it may affect trade between Member States. Such abuse may, in particular, consist in: (a) directly or indirectly imposing unfair purchase or selling prices or unfair trading conditions; (b) limiting production, markets or technical development to the prejudice of consumers; (c) applying dissimilar conditions to equivalent transactions with other trading parties, thereby placing them at a competitive disadvantage; (d) making the conclusion of contracts subject to acceptance by the other parties of supplementary obligations which, by their nature or according to commercial usage, have no connection with the subject of such contracts. Intinya dari Article 102 ini menyatakan bahwa pelarangan ini ditujukan pada perusahaan yang memegang posisi dominan di pasar (market dominance) dan dengan demikian memiliki kekuatan untuk mengontrol pasar. 15 Hal lain yang menarik dalam pengaturan penyalahgunaan posisi dominan di Eropa adalah Pricing Abuses and non- Abuses Pricing. Pricing Abuses (other than Excessive Pricing) 15 Siswanto, Arie, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, hal

21 Pricing Abuses menekankan pada Predatory Pricing. Predatory Pricing adalah tindakan pelaku usaha memberikan harga produknya sangat murah sehingga pesaing-pesaingnya tidak mampu menyainginya kemudian terpaksa keluar dari pasar. Setelah pesaing-pesaing tersebut keluar dari pasar, pelaku usaha tersebut dapat menaikkan harga pada tingkat monopoli dan dapat menutupi kerugiankerugian yang telah dialami. 16 Di European Commission dalam kasus AKZO, menegaskan bahwa harga di atas Average Variable Cost, asalkan di bawah Average Total Cost yang ditentukan dengan tujuan untuk menghilangkan persaingan, tetap dapat dikatakan melanggar. 17 Predatory Pricing jarang terjadi karena mungkin harus ada pengorbanan terlebih dahulu yang harus dilakukan oleh pelakunya yakni pengorbanan penghasilan bersih untuk sementara. Predatory Pricing dalam arti yang sebenarnya tidak bisa terjadi kecuali ada pengorbanan kehilangan keuntungan bersih untuk sementara dengan harapan dapat memperoleh pendapatan yang lebih besar di masa yang akan datang. Tindakan ini bertujuan untuk menghalau 16 M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya, CICODS FH-UGM, Yogyakarta, 2009, hal Ibid 64

22 pesaing dari pasar, kemudian pelakunya akan dapat menutupi kerugiannya (recoupment) dengan memperoleh laba yang tinggi karena tidak ada pesaingnya. Bagi pelaku, pengorbanan kehilangan keuntungan tersebut merupakan investasi untuk mendapatkan kuntungan monopolistic di masa mendatang. Pelaku harus dapat memprediksi bahwa keuntungan yang akan datang harus melebihi investasi yang telah dikeluarkan. Jadi, wajar apabila Predatory Pricing jarang terjadi. Posisi EU adalah cenderung tidak menggunakan syarat the Recoupment Test 18. dalam kasus AKZO tersebut di atas, syarat ini tidak disinggung oleh European Commission. Bahkan penetapan harga di atas Average Variable Cost asalkan di bawah Average Total Cost yang dilakukan untuk tujuan menghilangkan persaingan dapat dikatakan Predatory. Dalam kasus Tetra Pak II, 19 European Court of Justice juga mengatakan: 18 Recoupment Test dipergunakan untuk mengkaji apakah pelaku usaha yang melakukan praktik tersebut telah sukses mencapai tujuannya, yaitu menyingkirkan pesaingnya ke luar pasar dan menghalangi pesaing lainnya masuk ke dalam pasar. Tes ini kemudian juga melihat apakah pelaku usaha predator akan mampu mendapatkan keuntungan yang melebihi keuntungan kompetitif untuk menutupi kerugian yang dideritanya selama menjalankan praktik predatory. (Peraturan KPPU N.6 tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 20 UU NO.5 tahun 1999, hal. 20). 19 Case C 333/94 P, Tentra Pak International SA v. Commission (1996) ECR I 5951, (1997) 4 CMLR

23 [I] would not be appropriate, in the circumstances of the present case, to require proof that Tetra Pak had a realistic chance of recouping its losses. It must be possible to penalize predatory pricing whenever there is a risk that competitors will be eliminated. 20 Dari pernyataan tersebut jelas bahwa Pengadilan dalam Tentra Pak II tidak mengharuskan the Recoupment Test dalam Predatory Pricing. Pengadilan ini menekankan bahwa faktor yang penting dalam menentukan Predatory Pricing adalah resiko bahwa pesaing-pesaing akan tergeser. Posisi hukum antimonopoly Indonesia lebih cenderung mirip atau mengikuti posisi di EU yang ketat karena ketentuan Pasal 25 aya (1), secara tidak langsung melarang Predatory Pricing yang dilakukan oleh pemegang posisi dominan secara per se dengan syarat intent atau purpose. Namun KPPU dalam menangani Predatory Pricing bisa saja bersikap lunak dengan melihat Pasal 20 yang mensyaratkan adanya intent untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaing dan/atau mensyaratkan bahwa tingkat harga pelaku harus di bawah Average Cariable cost. Non-Pricing Abuses 20 Ibid, alinea 44 66

24 Non-Pricing Abuses ini menekankan pada Tying. Tying merupakan salah satu strategi penjualan yang juga berpeluang untuk mengganggu persaingan. Secara sederhana tying bisa didefenisikan sebagai penjualan suatu produk dengan syarat bahwa si pembeli harus juga membeli produk lain yang sebenarya bisa dibeli oleh pembeli dari penjual lain. Persyaratan pembelian ini dianggap bersifat ilegal apabila menggangu persaingan. Mengenai tying umumnya hukum persaingan negara-negara menentukan bahwa pada dasarnya praktik ini tidak dengan sendirinya ilegal. Pengecer menawarkan satu kantung terigu merek A setengah harga apabila pembeli juga membeli satu kantung gula pasir merek A, merupakan contoh dari tying yang diperbolehkan jika perusahaan A, sebagai produsen terigu merek A, tidak memegang monopoli, baik di pasar produk terigu atau pun gula pasir. 21 Praktik tying bisa dibenarkan adalah jika si penjual bisa menunjukkan bahwa tying dilakukan atas dasar sensitivitas teknologi yang mengharuskan supaya produk tertentu digunakan untuk menghindari kerusakan. 21 Siswanto, Arie, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, hal

25 Alasan efisiensi terkadang juga merupakan alasan yang sering kali bisa diterima di pengadilan. Di Jerman, misalnya, dalam kasus Wirtschaft und Wettbewerb, pengadilan membolehkan tindakan dua surat kabar di Stuttgart yang melakukan praktik tying dengan cara mengharuskan pemasang iklan di salah satu surat kabar untuk juga beriklan di surat kabar lainnya. b. Amerika Serikat Putusan-Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan bahwa Section 2 Sherman Act 22 tidak menyalahkan pemilikan kekuatan monopoli yang diperoleh secara sah (natural or legal monopoly power) tetapi melarang tindakan yang menggunakan kekuatan monopoli (monopolize) dengan melihat pada purpose dan intent pelaku. Namun, beberapa putusan telah berbeda dalam menafsirkan kedua istilah tersebut. Menurut Standart Oil dan American Tobacco, actual purpose or intent harus ada, yakni pelaku usaha 22 Section ini berbunyi: Every person who shall monopolize, or attempt to monopolize, or combine or conspire with any other person or person, to monopolize any part of the trade or commerce among the several States, or with foreign nations, shall be deemed guilty of a felony, felony, and, on conviction thereof, shall be punished by fine not exceeding $10,000,000 if a corporation, or, if any other person, $350,000, or by imprisonment not exceeding three years, or by both said punishments, in the discretion of the court. 68

26 harus mempunyai positive drive to monopolize. Artinya, harus ada praktik-praktik predatory yang menghalangi kemampuan pelaku usaha lain untuk bersaing. Namun, putusan hakim Hand dalam Alcoa menunjukkan bahwa bukti actual intent kurang diperlukan, yang penting adalah bukti adanya kesengajaan (deliberateness) oleh pemegang kekuatan monopoli untuk mempertahankan posisi monopolinya. 23 Dalam Alcoa, hal ini ditunjukkan dengan tindakan aktif Alcoa memperbesar kapasitas produksi aluminium untuk mengantisipasi permintaan dan mempertahankan kapasitas produksi yang eksesif sehingga dapat menghambat pelaku usaha baru masuk ke pasar. Alcoa dianggap mempunyai tujuan atau intent terhadap akibat dari tindakan-tindakannya tersebut. Pengadilan dalam United Shoe mengikuti Alcoa. United Shoe memperkuat Alcoa dengan menyatakan bahwa penyalahgunaan kekuatan monopoli dalam Section 2 Sherman Act cukup dengan menunjukkan praktik-praktik yang dilakukan dengan sengaja yang menghambat pesaing masuk ke pasar walaupun tindakan-tindakan itu sendiri tidak illegal. 23 M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya, CICODS FH-UGM, Yogyakarta, 2009, hal

27 Namun, pengadilan-pengadilan semenjak tahun 1870an tidak lagi mengikuti pendekatan Alcoa dan United Shoe membatasi cakupan pelanggaran Section 2 Sherman Act. Jadi telah terjadi perkembangan di Amerika Serikat. Standart Oil (1911) dan American Tobacco (1911) mengunakan teori penyalahgunaan (the abuse theory), Alcoa (1945) dan United Shoe (1953) kemudian meninggalkannya. Selanjutnya mulai tahun 1979, pengadilan kembali menggunakan teori penyalahgunaan. Artinya, sebagaimana dalam Standard Oil dan American Tobacco, actual purpose or intent harus terbukti untuk penyalahgunaan posisi dominan Pengaturan Penyalahgunaan Posisi Dominan di Indonesia Sebelum menguraikan pengatuan penyalahgunaan posisi dominan di Indonesia. Terlebih dahulu, penulis menjelaskan mengenai pengertian penyalahgunaan posisi dominan. Istilah penyalahgunaan posisi dominan terdiri dari kata-kata penyalahgunaan, posisi, dan dominan. Secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata 24 Ibid 70

28 penyalahgunaan adalah suatu proses, cara, perbuatan penyalahgunaan atau perbuatan penyelewengan (penyimpangan atau pengkhianatan), sedangkan arti kata posisi adalah kedudukan (orang atau barang) sementara arti kata dominan adalah bersifat sangat menentukan karena kekuasaan, pengaruh, tampak menonjol. 25 Oleh karena itu, penyalahgunaan posisi dominan berarti proses, cara, perbuatan menyelewengkan kedudukan yang bersifat sangat menentukan karena memiliki kekuasaan atau pengaruh (dalam hal kegiatan ekonomi). Arie Siswanto (2004), menyatakan dalam bukunya yang berjudul Hukum Persaingan Usaha bahwa penyalahgunaan posisi dominan ini merupakan praktik yang memiliki cakupan luas. Ketika seorang pelaku usaha yang memiliki posisi dominasi ekonomi melalui kontrak mensyaratkan agar konsumenya tidak berhubungan dengan pesaingnya, maka ia dianggap telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan. Demikian juga apabila pelaku usaha yang memegang posisi dominan dengan basis take it or leave it membuat penentuan harga di luar kewajaran Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, hal

DRAFT Pedoman Pasal 25 Tentang Larangan Penyalahgunaan Posisi Dominan

DRAFT Pedoman Pasal 25 Tentang Larangan Penyalahgunaan Posisi Dominan DRAFT Pedoman Pasal 25 Tentang Larangan Penyalahgunaan Posisi Dominan Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Komisi Pengawas Persaingan

Lebih terperinci

Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24

Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24 Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24 Defenisi Praktek Monopoli: pemusatan kekuatan ekonomi (penguasaan yang nyata atas suatu pasar yang relevan) sehingga dapat menentukan harga barang dan

Lebih terperinci

KEGIATAN YANG DILARANG

KEGIATAN YANG DILARANG KEGIATAN YANG DILARANG Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Pendahuluan Perlunya pengaturan terhadap kegiatan pelaku usaha di dalam

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 20 (JUAL RUGI) UU NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 20 (JUAL RUGI) UU NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 20 (Jual Rugi) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak

Lebih terperinci

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Oleh: M. Hakim Nasution HAKIMDANREKAN Konsultan Hukum Asas Persaingan Usaha UU No. 5/1999 Larangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Setiap Individu harus diberi ruang gerak tertentu dalam pengambilan keputusan

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 20 TENTANG JUAL RUGI (PREDATORY PRICING)

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 20 TENTANG JUAL RUGI (PREDATORY PRICING) KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 1 PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 20 TENTANG JUAL RUGI (PREDATORY PRICING) Seri Pedoman Pelaksanaan Undang Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Lebih terperinci

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAFTAR ISI DAFTAR ISI 1 BAB I LATAR BELAKANG. 2 BAB II TUJUAN

Lebih terperinci

PASAR MONOPOLI PENDAHULUAN BAB I

PASAR MONOPOLI PENDAHULUAN BAB I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasar sebagai kumpulan jumlah pembeli dan penjual individual mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut muncul karena masing-masing individu

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PASAL 15 (PERJANJIAN TERTUTUP) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK

Lebih terperinci

POSISI DOMINAN. Ditha Wiradiputra. Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008

POSISI DOMINAN. Ditha Wiradiputra. Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 POSISI DOMINAN Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Dominant Firm Dominant Firm (DF) adalah suatu perusahaan yg berprilaku seperti

Lebih terperinci

BAB II KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY

BAB II KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY BAB II KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2.1 Pengertian Posisi Dominan Dalam menjalankan kegiatan usahanya setiap pelaku usaha tentu memiliki

Lebih terperinci

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY 62 BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY A. Ketentuan Pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 1. Latar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PASAL 19 HURUF D (PRAKTEK DISKRIMINASI) UNDANG- UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN

Lebih terperinci

PENERAPAN PENDEKATAN RULES OF REASON DALAM MENENTUKAN KEGIATAN PREDATORY PRICING YANG DAPAT MENGAKIBATKAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENERAPAN PENDEKATAN RULES OF REASON DALAM MENENTUKAN KEGIATAN PREDATORY PRICING YANG DAPAT MENGAKIBATKAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENERAPAN PENDEKATAN RULES OF REASON DALAM MENENTUKAN KEGIATAN PREDATORY PRICING YANG DAPAT MENGAKIBATKAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh Ni Luh Putu Diah Rumika Dewi I Dewa Made Suartha Bagian Hukum

Lebih terperinci

PRAKTIK JUAL RUGI (PREDATORY PRICING) PELAKU USAHA DALAM PERSPEKTIF PERSAINGAN USAHA

PRAKTIK JUAL RUGI (PREDATORY PRICING) PELAKU USAHA DALAM PERSPEKTIF PERSAINGAN USAHA PRAKTIK JUAL RUGI (PREDATORY PRICING) PELAKU USAHA DALAM PERSPEKTIF PERSAINGAN USAHA Oleh I Dw Gd Riski Mada A.A Sri Indrawati Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Jual rugi adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi

BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Dalam sebuah klaimnya, asosiasi perusahaan ritel Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Definisi industri dalam arti sempit adalah kumpulan perusahaan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Definisi industri dalam arti sempit adalah kumpulan perusahaan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Industri Definisi industri dalam arti sempit adalah kumpulan perusahaan yang menghasilkan produk sejenis dimana terdapat kesamaan dalam bahan baku yang digunakan, proses,

Lebih terperinci

GENERAL BUSINESS ENVIRONMENT

GENERAL BUSINESS ENVIRONMENT GENERAL BUSINESS ENVIRONMENT PAPER INFORMATION TECHNOLOGY ENVIRONMENT DAMPAK MONOPOLI GOOGLE TERHADAP PENGEMBANG APLIKASI DI EROPA Studi Kasus : Monopoli Google Di Eropa Disusun oleh : Nova Angelika Maharani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era global dimana segala aspek mulai berkembang pesat salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era global dimana segala aspek mulai berkembang pesat salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era global dimana segala aspek mulai berkembang pesat salah satunya dalam bidang perekonomian suatu negara dapat dibuktikan dengan banyaknya pelaku usaha dalam negeri

Lebih terperinci

TINJAUAN PENGECUALIAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 BAGI USAHA KECIL DAN KOPERASI. Hasan Jauhari )

TINJAUAN PENGECUALIAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 BAGI USAHA KECIL DAN KOPERASI. Hasan Jauhari ) TINJAUAN PENGECUALIAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 BAGI USAHA KECIL DAN KOPERASI Hasan Jauhari ) Abstrak Saat ini sekitar 60 negara dari 200an negara di dunia ini telah memiliki undang-undang anti monopoli

Lebih terperinci

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI 2011 1 Cakupan Presentasi 1. Persaingan Usaha yang Sehat Dan KPPU 2. Persaingan Pasar Jasa Konstruksi 3. Masalah Umum Persaingan Usaha Dalam Sektor Jasa Konstruksi

Lebih terperinci

Bab 10 PASAR MONOPOLI

Bab 10 PASAR MONOPOLI Bab 10 PASAR MONOPOLI Pasar Monopoli Pasar monopoli (dari bahasa Yunani: monos, satu + polein, menjual) adalah suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu harga

Lebih terperinci

Modul I : Pengantar UU NO. 5/1999 TENTANG LARANGAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Modul I : Pengantar UU NO. 5/1999 TENTANG LARANGAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Modul I : Pengantar UU NO. 5/1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Antitrust Law (USA) Antimonopoly Law (Japan) Restrictive Trade Practice Law (Australia) Competition

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT [LN 1999/33, TLN 3817] BAB VIII SANKSI Bagian Pertama Tindakan Administratif Pasal 47 (1) Komisi berwenang

Lebih terperinci

PASAR MONOPOLI, OLIGOPOLI, PERSAINGAN SEMPURNA

PASAR MONOPOLI, OLIGOPOLI, PERSAINGAN SEMPURNA PASAR MONOPOLI, OLIGOPOLI, PERSAINGAN SEMPURNA P E R T E M U A N 6 N I N A N U R H A S A N A H, S E, M M MONOPOLI Bahasa Yunani monos polein artinya menjual sendiri Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran

Lebih terperinci

KONSEP RULE OF REASON UNTUK MENGETAHUI PRAKTEK MONOPOLI

KONSEP RULE OF REASON UNTUK MENGETAHUI PRAKTEK MONOPOLI KONSEP RULE OF REASON UNTUK MENGETAHUI PRAKTEK MONOPOLI Oleh : Ida Bagus Kade Benol Permadi A.A Ketut Sukranatha Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract Monopoly is the concentration

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Pengantar Hukum Persaingan Usaha Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Topics to be Discussed Manfaat Persaingan Asas & Tujuan Undang-undang Persaingan Usaha Prinsip-prinsip

Lebih terperinci

DRAFT DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 15 UU NO. 5/1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

DRAFT DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 15 UU NO. 5/1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 15 UU NO. 5/1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 15 UU NO: 5/1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Perusahaan 1. Definisi Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat terusmenerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan

Lebih terperinci

PENGATURAN PRICE FIXING DALAM KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

PENGATURAN PRICE FIXING DALAM KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 PENGATURAN PRICE FIXING DALAM KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 Oleh: Andiny Manik Sharaswaty I Gusti Agung Ayu Dike Widhiaastuti Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena selalu terdapat kepentingan yang berbeda bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini dunia usaha semakin dinamis dan berkembang dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini dunia usaha semakin dinamis dan berkembang dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini dunia usaha semakin dinamis dan berkembang dengan sangat pesat dan luar biasa dinegara tercinta kita. Dalam perkembangan usaha ini jelas diperlukan

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

BAB III ANALISIS PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG BAB III ANALISIS PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) TBK BERDASARKAN PASAL 15 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DRAFT Pedoman Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU. No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 2004 1 KATA

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 HURUF D UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Daftar Isi Daftar Isi..

Lebih terperinci

Struktur Pasar Pemasaran (TIN 4206)

Struktur Pasar Pemasaran (TIN 4206) Struktur Pasar Pemasaran (TIN 4206) Efisiensi dalam Persaingan Sempurna Tiga pertanyaan dasar dalam perekonomian kompetitif adalah : 1. Apa yang akan diproduksi? 2. Bagaimana cara memproduksinya? 3. Siapa

Lebih terperinci

BAB VI Struktur Pasar

BAB VI Struktur Pasar BAB VI Struktur Pasar 6.1. Pengertian Struktur Pasar Di stasiun televisi sering kita melihat iklan yang mencerminkan persaingan di pasar produk masing-masing, misalnya persaingan yang sangat ketat di pasar

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha. unggul dari orang lain dengan tujuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Persaingan Usaha 1. Pengertian dan Dasar Hukum Persaingan Usaha Persaingan adalah perlawanan dan atau upaya satu orang atau lebih untuk lebih unggul dari orang lain dengan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB IV PENUTUP. A. Kesimpulan BAB IV PENUTUP Pada bagian Bab IV ini, penulis menguraikan dua hal yakni, pertama mengenai kesimpulan dari analisis mengenai bagaimana konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam hukum persaingan usaha

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator utama keberhasilan pembangunan nasional adalah adanya kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan dengan adanya pertumbuhan

Lebih terperinci

DRAFT Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

DRAFT Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Daftar Isi Bab I. Latar Belakang Bab II Tujuan dan Cakupan Pedoman

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis yang telah diuraikan pada

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis yang telah diuraikan pada BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN LITERATUR

BAB II TINJAUAN LITERATUR BAB II TINJAUAN LITERATUR II.1 Monopoli Sebuah perusahaan disebut melakukan monopoli apabila perusahaan tersebut menjadi satu satunya penjual produk di pasar, dan produk tersebut sendiri tidak memiliki

Lebih terperinci

PENDEKATAN PER SE ILLEGAL DALAM PERJANJIAN PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) TERKAIT KASUS PT. EXCELCOMINDO PRATAMA, Tbk.

PENDEKATAN PER SE ILLEGAL DALAM PERJANJIAN PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) TERKAIT KASUS PT. EXCELCOMINDO PRATAMA, Tbk. PENDEKATAN PER SE ILLEGAL DALAM PERJANJIAN PENETAPAN HARGA (PRICE FIXING) TERKAIT KASUS PT. EXCELCOMINDO PRATAMA, Tbk. ABSTRACT Oleh Ni Ayu Putu Mery Astuti I Wayan Wiryawan Hukum Perdata Fakultas Hukum

Lebih terperinci

Definisi Pasar Monopoli

Definisi Pasar Monopoli Struktur Pasar Definisi Pasar Monopoli suatu bentuk pasar dimana dalam suatu industri hanya terdapat sebuah perusahaan dan produk yang dihasilkan tidak memiliki pengganti yang sempurna Karakteristik Pasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alasan Penulis memilih judul Penulis memilih judul: Unjust Enrichment

BAB I PENDAHULUAN. Alasan Penulis memilih judul Penulis memilih judul: Unjust Enrichment BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul Alasan Penulis memilih judul Penulis memilih judul: Unjust Enrichment dalam Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi di Indonesia mengingat topik tersebut belum

Lebih terperinci

Restrukturisasi Perusahaan Akibat Krisis Perekonomian Global

Restrukturisasi Perusahaan Akibat Krisis Perekonomian Global Restrukturisasi Perusahaan Akibat Krisis Perekonomian Global DISUSUN OLEH : Wiji Pramadjati, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 A. Latar Belakang Proses globalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada. dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan bidang ekonomi Indonesia diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur. Hal ini sejalan dengan amanat dan cita-cita Pancasila

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN MENGENAI MONOPOLI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. A. Konsep dan Pengertian Monopoli Secara Umum

BAB II PENGATURAN MENGENAI MONOPOLI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. A. Konsep dan Pengertian Monopoli Secara Umum BAB II PENGATURAN MENGENAI MONOPOLI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Konsep dan Pengertian Monopoli Secara Umum Secara etimologi, monopoli berasal dari bahasa Yunani, yaitu monos, yang

Lebih terperinci

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA Oleh Ayu Cindy TS. Dwijayanti I Ketut Tjukup Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Tulisan yang berjudul Merger Perseroan

Lebih terperinci

TEORI PASAR. Pengantar Ilmu Ekonomi

TEORI PASAR. Pengantar Ilmu Ekonomi TEORI PASAR Pengantar Ilmu Ekonomi Pasar Secara Sederhana Tempat bertemunya pembeli dan penjual untuk melakukan transaksi jual-beli barang dan jasa. Secara Luas (W.J. Stanton ) orang-orang yang mempunyai

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PERSAINGAN USAHA YANG INDEPENDEN

KEDUDUKAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PERSAINGAN USAHA YANG INDEPENDEN KEDUDUKAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PERSAINGAN USAHA YANG INDEPENDEN Oleh: Dewa Ayu Reninda Suryanitya Ni Ketut Sri Utari Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Dasar hukum Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam. memutus putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014

BAB IV PEMBAHASAN. A. Dasar hukum Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam. memutus putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014 BAB IV PEMBAHASAN A. Dasar hukum Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam memutus putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014 Dalam putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014 pada halaman 136 poin 10 dan halaman

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999

Lebih terperinci

MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI

MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI PENGANTAR MERGER PT A PT B DAPAT A/B PENGANTAR KONSOLIDASI PT A PT B MUNCUL C PENGANTAR AKUISISI PT A PT B ASAL: 1. 20% 2. 50% 3. 30% MENJADI: 1. 20% PT. A 50% 3. 30% Merger

Lebih terperinci

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf b tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KOMISI NO. 57/2009. Tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba

KEPUTUSAN KOMISI NO. 57/2009. Tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba KEPUTUSAN KOMISI NO. 57/2009 Tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf b tentang Pengecualian Penerapan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan

Lebih terperinci

Perjanjian yang Dilarang

Perjanjian yang Dilarang Perjanjian yang Dilarang Pasal 4 16 Defenisi Praktek Monopoli: pemusatan kekuatan ekonomi (penguasaan yang nyata atas suatu pasar yang relevan) sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat perekonomian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat perekonomian negara tersebut. Apabila membahas tentang perekonomian suatu negara, maka tidak lepas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memadai untuk terciptanya sebuah struktur pasar persaingan. 1 Krisis ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. memadai untuk terciptanya sebuah struktur pasar persaingan. 1 Krisis ekonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah pertumbuhan perekonomian Indonesia menunjukkan bahwa iklim bersaing di Indonesia belum terjadi sebagaimana yang diharapkan, dimana Indonesia telah membangun

Lebih terperinci

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7

Ethics in Market Competition. Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Ethics in Market Competition Mery Citra.S,SE.,MSi Business Ethics #7 Monopoli Monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh

Lebih terperinci

Pedoman Pasal 47 Tentang. Tindakan. Administratif

Pedoman Pasal 47 Tentang. Tindakan. Administratif Pedoman Pasal 47 Tentang Tindakan Administratif KEPUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR : 252 /KPPU/Kep/VII/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 47 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

Lebih terperinci

Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pedoman Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pengantar Pasal 35 huruf (f): Menyusun pedoman dan atau publikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang mengandung unsur-unsur yang kurang adil terhadap

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor : 13 Tahun 2010 Tanggal : 18 Oktober 2010 BAB I LATAR BELAKANG Tindakan penggabungan, peleburan dan/atau pengambilalihan, disadari atau tidak,

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN KONSEP PENETAPAN HARGA, MONOPOLI, PENGUASAAN PASAR DAN PENGECUALIAN KEBERLAKUAN PASAL 50 AYAT A UU NO. 5/1999

BAB 2 KAJIAN KONSEP PENETAPAN HARGA, MONOPOLI, PENGUASAAN PASAR DAN PENGECUALIAN KEBERLAKUAN PASAL 50 AYAT A UU NO. 5/1999 BAB 2 KAJIAN KONSEP PENETAPAN HARGA, MONOPOLI, PENGUASAAN PASAR DAN PENGECUALIAN KEBERLAKUAN PASAL 50 AYAT A UU NO. 5/1999 2.1. Kajian Hukum Persaingan Usaha Untuk dapat lebih memahami substansi hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami banyak kemajuan yang didorong oleh kebijakan pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. mengalami banyak kemajuan yang didorong oleh kebijakan pembangunan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini, pembangunan ekonomi dalam perkembangannya telah mengalami banyak kemajuan yang didorong oleh kebijakan pembangunan di berbagai sektor usaha,

Lebih terperinci

Lex Et Societatis Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018

Lex Et Societatis Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018 ANALISIS PERJANJIAN INTEGRASI VERTIKAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT 1 Oleh : Andi Zuhry 2 KOMISI PEMBIMBING: Dr. Devy K. G. Sondakh, SH,

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG 1 BAB I LATAR BELAKANG Di dunia usaha, persaiangan usaha atau konmpetensi antar para pelaku usaha dalam merebut pasar adalah hal yang sangat wajar. Namun hal itu menjadi tidak wajar manakala persaingan

Lebih terperinci

Kartel : Persaingan Tidak Sehat. Oleh Djoko Hanantijo Dosen PNS dpk Universitas Surakarta ABSTRAKSI

Kartel : Persaingan Tidak Sehat. Oleh Djoko Hanantijo Dosen PNS dpk Universitas Surakarta ABSTRAKSI Kartel : Persaingan Tidak Sehat Oleh Djoko Hanantijo Dosen PNS dpk Universitas Surakarta ABSTRAKSI Kartel adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan.

Lebih terperinci

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum Dalam Bisnis Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Helda Nur Afikasari

Lebih terperinci

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UU 5/1999, LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1999 (5/1999) Tanggal: 5 MARET 1999 (JAKARTA) Tentang: LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 17 (MONOPOLI) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 17 (MONOPOLI) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 17 (MONOPOLI) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAFTAR ISI DAFTAR ISI. i BAB I PENDAHULUAN.. 1 1.1 Latar Belakang

Lebih terperinci

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 DUMPING

Lebih terperinci

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Persekongkolan Tender, Persaingan Usaha Tidak Sehat 56 LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS Pembangunan Nasional yang dilaksanakan saat ini mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta mengembangkan

Lebih terperinci

BAB IV PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA: TINJAUAN EKONOMI DAN HUKUM

BAB IV PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA: TINJAUAN EKONOMI DAN HUKUM BAB IV PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA: TINJAUAN EKONOMI DAN HUKUM TINJAUAN UMUM Dari perspektif ekonomi dan hukum, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa tujuan kebijakan persaingan (competition policy)

Lebih terperinci

BAB III HARMONISASI PENGATURAN TENTANG PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY

BAB III HARMONISASI PENGATURAN TENTANG PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY BAB III HARMONISASI PENGATURAN TENTANG PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 3.1 Pentingnya Harmonisasi Pengaturan tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN I. UMUM Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.. Di dalam kondisi perekonomian saat ini yang bertambah maju, maka akan

BAB I PENDAHULUAN.. Di dalam kondisi perekonomian saat ini yang bertambah maju, maka akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang berhak untuk melakukan suatu usaha, hal ini dilakukan untuk memenuhi suatu kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka seharihari. Di dalam kondisi

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS MENGENAI KEISTIMEWAAN BAGI PELAKU USAHA KECIL TERKAIT DENGAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

ANALISIS YURIDIS MENGENAI KEISTIMEWAAN BAGI PELAKU USAHA KECIL TERKAIT DENGAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT ANALISIS YURIDIS MENGENAI KEISTIMEWAAN BAGI PELAKU USAHA KECIL TERKAIT DENGAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh Ngurah Manik Sidartha I Ketut Markeling Program Kekhususan Hukum Bisnis, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB III KARTEL DAN PERMASALAHANNYA

BAB III KARTEL DAN PERMASALAHANNYA BAB III KARTEL DAN PERMASALAHANNYA A. Tinjauan Umum Tentang Kartel 1. Pengertian Kartel Sebelum mengetahui pengertian dari kartel, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa, dalam pasar oligopolisytik hanya

Lebih terperinci

TEORI PASAR. Pengantar Ilmu Ekonomi

TEORI PASAR. Pengantar Ilmu Ekonomi TEORI PASAR Pengantar Ilmu Ekonomi Pasar Secara Sederhana Tempat bertemunya pembeli dan penjual untuk melakukan transaksi jual-beli barang dan jasa. Secara Luas (W.J. Stanton ) orang-orang yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Permasalahan Berbicara mengenai perilaku antipersaingan usaha tidak dapat dipisahkan dengan pengertian persaingan usaha itu sendiri 1. Meskipun definisi persaingan

Lebih terperinci

BAB 3 STUDI KASUS MASYARAKAT PERS DAN PENYIARAN INDONESIA (MPPI) VS PT MEDIA NUSANTARA CITRA TBK (MNC)

BAB 3 STUDI KASUS MASYARAKAT PERS DAN PENYIARAN INDONESIA (MPPI) VS PT MEDIA NUSANTARA CITRA TBK (MNC) 48 BAB 3 STUDI KASUS MASYARAKAT PERS DAN PENYIARAN INDONESIA (MPPI) VS PT MEDIA NUSANTARA CITRA TBK (MNC) 3.1 Duduk Perkara Dugaan ini bermula dari tembusan surat somasi dari Masyarakat Pers dan Penyiaran

Lebih terperinci

November 1, 2012 DIE-FEUI. Kuliah ke-8: Monopoli dan Monopsoni. Rus an Nasrudin. Outline. Kekuatan Pasar. Sumber Konsekuensi dari Monopoli Monopoli

November 1, 2012 DIE-FEUI. Kuliah ke-8: Monopoli dan Monopsoni. Rus an Nasrudin. Outline. Kekuatan Pasar. Sumber Konsekuensi dari Monopoli Monopoli dan Pasar: dan DIE-FEUI November 1, 2012 dan Pasar: 1 2 3 dengan : Rujukan dan Pasar: Pindyck Bab 10 dan Bab 11 Apa itu monopoli dan apa itu kekuatan pasar? dan Pasar: Struktur pasar yang hanya terdiri

Lebih terperinci

Pasar Oligopoli dan Monopoli

Pasar Oligopoli dan Monopoli Pasar Oligopoli dan Monopoli Pertemuan kesembilan Pengantar Ilmu Ekonomi Saturday, June 25, 2016 Pokok bahasan pertemuan ke-9 Ciri pasar oligopoli. Laba dalam pasar oligopoli. Ciri pasar monopoli. Laba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangan zaman pada saat ini, adanya pembangunan nasional ke depan merupakan serangkaian upaya untuk memajukan perkembangan pembangunan nasional

Lebih terperinci

PRAKTEK DUMPING DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA O le h : DR. SUKARMI, S.H.,M.H.

PRAKTEK DUMPING DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA O le h : DR. SUKARMI, S.H.,M.H. A. Latar Belakang PRAKTEK DUMPING DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA O le h : DR. SUKARMI, S.H.,M.H. Proses globalisasi dalam berbagai bidang serta perkembangan teknologi dan informasi menimbulkan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Perlindungan Usaha Deskripsi Mata Kuliah Standar Kompetensi SH HK 1201 2 V (lima) Muhammad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saing yang tidak hanya di lingkup nasional tapi juga di lingkup global

BAB I PENDAHULUAN. saing yang tidak hanya di lingkup nasional tapi juga di lingkup global 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai salah satu faktor yang mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi, iklim persaingan antar pelaku usaha harusnya dijaga dan dipertahankan baik oleh sesama pelaku

Lebih terperinci