BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perubahan Penggunaan Lahan Pengertian lahan berbeda dengan tanah, namun dalam kenyataan sering terjadi kekeliruan dalam memberikan batasan pada kedua istilah tersebut. Tanah merupakan suatu benda alami heterogen yang terdiri dari komponen-komponen padat, cair dan gas yag memiliki sifat dan perilaku yang dinamik. Benda alami ini terbentuk dari hasil interaksi antara iklim dan jasad hidup terhadap suatu bahan induk yang dipengaruhi relief tempatnya terbentuk dan waktu. Sedangkan lahan merupakan lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, vegetasi dan benda yang memiliki pengaruh terhadap pengguanan lahan. Termasuk di dalamnya kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang (Arsyad,1989). Penggunaan lahan adalah penggunaan lahan utama atau kedua (apabila merupakan penggunaan lahan berganda) dari sebidang lahan pertanian, lahan hutan, padang rumput dan sebagainya. Jadi penggunaan lahan lebih mengarah dalam pengertian tingkat pemanfaatan oleh masyarakat. Penggunaan lahan (landuse) merupakan suatu bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual. Menurut Arsyad (1989) penggunaan lahan dibagi atas dua golongan besar yaitu, penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibagi kembali berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut, seperti pengunaan lahan sawah, tegalan, hutan lindung, kebun karet dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan non pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan lahan kota atau desa (permukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya. Penggunaan lahan merupakan salah satu produk kegiatan manusia di permukaan bumi yang memiliki berbagai macam variasi bentuk. Perubahan penggunaan lahan merupakan kombinasi dari hasil interaksi faktor sosial ekonomi, politik dan budaya. Manusia menjadi faktor utama terbentuknya berbagia macam pola penggunaan lahan serta terhadap perubahan-perubahan sebagai akibat aktivitasnya di atas permukaan bumi.

2 5 Analisis mengenai perubahan penggunaan lahan merupakan suatu alat untuk memperkirakan perubahan ekosistem dan implikasi lingkungannya pada skala waktu dan keruangan yang bervariasi. Yang termasuk perubahan pada penutupan lahan adalah perubahan keanekaragaman biotik, produktifitas yang utama dan aktual, kualitas tanah, alieran permukaan serta kecepatan sedimentasi (Meyer and Turner, 1994; Kikuchi, 1999 dalam Zain, 2002) Kawasan Perkotaan Kawasan perkotaan adalah suatu bentuk lanskap buatan manusia, yang terjadi akibat manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya Pada umumnya, pengertian kota dicirikan oleh tingginya kepadatan ruang terbangun, dengan sruktur bangunan yang semakin rapat. Dalam sebuah kota terjadi kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsinya sebagai tempat permukiman, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi (Eckbo, 1964). Branch (1995) mengartikan kota sebagai tempat tinggal dari beberapa ribu penduduk atau lebih. Perkotaan diartikan sebagi area terbangun dengan struktur dan jalan-jalan, sebagai suatu permukiman yang terpusat pada suatu area dengan kepadatan tertentu yang membutuhkan sarana dan pelayanan pendukung yang lengkap dibandingkan dengan yang dibutuhkan di daerah pedesaan. Perkembangan dan pembangunan kota juga berdampak pada berkurangnya keberadaan suatu ruang terbuka hijau di perkotaan. Hal ini akibat adanya perubahan penutupan dan penggunaan lahan di sebuah kota (Putri, 2006) Ruang Terbuka Hijau Manusia yang tinggal di lingkungan perkotaan menbutuhkan lingkungan yang sehat dan bebas polusi untuk hidup dengan nyaman. Peran RTH untuk memenuhi kebutuhan ini adalah sebagai penyumbang ruang bernafas yang segar, keindahan visual, sebagai paru-paru kota, sumber air dalam tanah, mencegah erosi, keindahan dan kehidupan satwa, menciptakan iklim dan sebagai unsur pendidikan (Simond, 1983). Dalam RTH pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman, seperti lahan pertanian, pertanaman, perkebunan dan sebagainya.

3 6 Berikut ini beberapa definisi dari RTH (Ruang Terbuka Hijau) : RTH adalah bagian dari ruang terbuka kota yang didefinisikan sebagai ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pada penghijauan tanaman dan tumbuhan secara alamiah ataupun buatan (budidaya tanaman) seperti lahan pertanian, pertanaman, perkebuanan dan laiannya (INMENDAGRI No. 14 tahun 1988). RTH adalah ruang- ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan (Dinas Pertanaman DKI, 1988). RTH adalah ruang terbuka yang ditanami dengan tanaman, mulai dari yang bersifat alamiah seperti, rumput, jalur hijau, taman bermain dan taman lingkungan di daerah permukiman (Nurisjah, 1997). RTH adalah suatu ruang terbuka yang ditumbuhi oleh pepohonan dengan persentase ideal 20-30% dari luas bidang tanah termasuk yang ditempati bangunan rumah, misalnya halaman rumah (Handiktc (1997) dalam Wijayanti, 2003). Ruang terbuka hijau merupakan salah satu bentuk konsep untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup di wilayah perkotaan. Pengembangan RTH di perkotaan diupayakan membuka peluang terciptanya kawasan hijau bersifat alami dengan vegetasi jenis tanaman yang merupakan bagian dari penataan ruang kota sebagai kawasan hijau (Purnomo, 2001). a) Ruang Terbuka Hijau Perkotaan RTH wilayah perkotaan adalah ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, dimana didominasi oleh tanaman dan tumbuh-tumbuhan secara alami (Slamet, 2003 dalam Putri, 2006). Ruang terbuka hijau memiliki kekuatan untuk membentuk karakter kota dan menjaga kelangsungan hidupnya. Tanpa keberadaan ruang terbuka hijau di kota akan mengakibatkan ketegangan mental bagi manusia yang tinggal di dalamnya. Oleh karena itu, perencanaan ruang terbuka harus dapat memenuhi keselarasan harmoni antara struktural kota dan alamnya, bentuknya bukan sekedar taman, lahan kosong untuk rekreasi atau lahan penuh tumbuhan

4 7 yang tidak dapat dimanfaatkan penduduk kota (Simon, 1983 dalam Roslita, 1997). Menurut Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1988 tujuan dibentuk atau disediakannya ruang terbuak hijau di wilayah perkotaan adalah (1) meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan dan sebagai paengaman sarana lingkungan perkotaam, (2) menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat. Menurut Nurisjah (1997), RTH di wilayah perkotaan mempunyai manfaat yang tingi dalam memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan, keberadaan massa tanaman ini dapat memperbaiki dan meningkatkan keindahan visual dan estetika alami, kendahan dan habitat satwa, artifak sejarah, perlindungan plasma nutfah dan mengandung nilai sosial ekonomi. b) Komponen Ruang Terbuka Hijau Beberapa komponen RTH berdasarkan kriteria, sasaran dan fungsi penting, vegetasi serta intensitas manajemennya dikategorikan dalam : Taman Memiliki fungsi utama menghasilkan oksigen. Oleh karena itu jenis tanaman yang dibudidayakan dipilih dari jenis-jenis yang menghasilkan oksigen tinggi. Jalur Hijau Termasuk didalamnya adalah pepohonan peneduh pinggir jalan, lajur hijau di sekitar sungai dan hijauan di tempat parkir maupun ruang terbuka hijau lainnya. Kebun dan pekarangan Selain bertujuan untuk produksi, kebun dan pekarangan diharapkan mendukung kenyaman lingkungan perkotaan. Tempat-tempat rekreasi Hutan Merupakan suatu penerapan beberapa fungsi hutan seperti ameliorasi iklim, hidrologi dan penangkalan pencemaran. Fungsi-fungsi ini bertujuan mengimbangi kecenderungan menurunnya kualitas lingkungan. Berbagai potensi dan peluang hutan kota akan mengatasi, mencegah dan mengendalikan krisis lingkungan.

5 8 c) Fungsi Ruang Terbuka Hijau Peran pertumbuhan dalam RTH tidak hanya terbatas pada fungsi produksinya dipandang dari nilai ekonomis dan fungsi estetis sertafungsi kreatifnya dipandang dari segi arsitektural tapi juga fungsi ekologisnya. Selanjutnya dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1988 manfaat RTH antara lain : Sebagai areal perlindungan berlangsungnya funsi ekosistem dan penyangga kehidupan. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan kehidupan lingkungan. Sebagai sarana rekreasi. Sebagai pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran baik di darat, peraiaran maupun udara. Sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro. Sebagai pengatur tata air Konservasi Air Konservasi adalah upaya manusia untuk mempertahankan, meningkatkan, mengembalikan atau merehabilitasi daya guna lahan sesuai peruntukannya. Konservasi dalam manajemen sumber daya air, adalah mengadakan usaha perlindungan air dan sumber air dengan titik berat pada pengaturan, pengamanan dan pengendalian terhadap kerusakan air dan daerah resapan, dan meningkatkan pengelolaan sungai, danau/situ, dan sumber air lainnya dalam rangka terjaminnya ketersediaan air secara kesinambungan (Arsyad, 1989). Konservasi air pada dasarnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada saat musim kemarau. Terdapat dua cara konservasi air, yaitu memelihara jumlah dan kualitas air melalui cara pengelolaan dan penggunaan tanah yang baik serta memaksimalkan manfaat air melalui

6 9 penerapan cara-cara yang efisien. Menurut Seta (1987), pada dasarnya konservasi tanah dan air dilakukan agar energi perusak (butir hujan dan aliran permukaan) sekcil mungkin sehingga tidak merusak dan agregat anah lebih tahan terhadap pukulan butir hujan dan aliran permukaan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Peresapan Air Air merupakan suatu elemen dalam lanskap. Air berguna bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk mandi, makan, minum, mencuci, irigasi, industri dan kebutuhan lainnya. Banyaknya volume air yang mengalir di permukaan bumi sehingga tidak terserap oleh sakuran-saluran baik alami maupun buatan yang ada akan mengakibatkan banjir. Fenomena banjir banyak menimpa daerah perkotaan, dimana lebih dari 30% permukaannya merupakan permukaan kedap air (atap bangunan, jalan, jembatan dan lainnya). Ruang terbuka hijau kota sedikit banyak dapat mengatasi masalah limpahan air hujan. Ruang terbuka hijau memiliki derajat kerembesan tanah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis permukaan lainnya. Permukaan tanah yang tertutup oleh tanaman memiliki kapasitas infiltrasi yang tinggi. Hal ini karena tanah yang tertutup tanaman memiliki rongga-rongga tanah atau jalur-jalur yang lebar sehingga air mudah masuk sedangkan udara mudah keluar. RTH sebagai peresapan air ke dalam tanah dipengaruhi oleh sifat-sifat hujan, sifat fisik kawasan dan pengelolaannya. Pengalihan fungsi lahan di perkotaan cenderung ke arah penutupan tanah dengan bahan-bahan semen yang tidak tembus air, sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan hidrologi. Hal ini terjadi disebabkan tingginya tingkat urbanisasi yang secara tidak langsung meningkat pula luasan permukaan semen, aspal, paving sehingga air hujan tercegah untuk masuk ke dalam tanah dan menjadi limpasan permukaan Sistem Informasi Geografis BAKOSURTANAL menjabarkan SIG sebagai suatu sistem yang saling terkait antara satu dengan yang lain. SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personel yang

7 10 didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, serta menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi. Prahasta (2002) mendefinisikan SIG sebagai alat bantu yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi a) masukan, b) manajemen, c) analisis dan manipulasi data serta d) keluaran (Aronoff, 1989). Sistem Informasi Geografi merupakan seperangkat sistem berbasis komputer untuk memetakan dan menganalisis sesuatu yang terlihat jelas dan terjadi di permukaan bumi. Teknologi SIG mengintegrasikan pengoperasikan database seperti pertanyaan dan analisis statistika dengan cara menampilkan secara khas dan menganalisis secara geografi dari suatu peta. Kemampuan ini membedakan SIG dengan sistem informasi lainnya dan menjadikannya lebih bernilai dalam penggunaannya oleh umum ataupun bisnis pribadi yang untuk menjelaskan peristiwa yang dianggap penting, memprediksi hasil serta perencana strategi. Data yang diperlukan dalam sistem informasi geografis merupakan data yang mengacu pada lokasi geografis terdiri atas data grafis dan data atribut. Data grafis tersusun dalam bentuk titik, garis dan poligon. Data atribut berupa data kualitatif atau kuantitatif yang merupakan hubungan satu-satu dengan data grafisnya Analisis Spasial Sistem Informasi Geografi adalah sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Analisis spasial dikembangkan untuk mengisi kebutuhan akan permodelan dan penganalisaan data spasial. Analisis spasial sebagai suatu kemampuan umum untuk memanipulasi data spasial ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda dan mengekstraksi pengertian tambahan sebagai hasilnya. Analisis spasial lebih memusatkan perhatian pada (1) investasi pola-pola dan atribut / karakteristik / tanda-tanda lainnya dalam suatu wilayah studi, dan (2) permodelan hubungan-hubungan untuk keperluan pemahaman dan prediksi.

8 11 Menurut Haining (1995) analisis spasial adalah suatu kumpulan dari teknik-teknik analisis kejadian-kejadian geografis dimana hasil-hasil analisis tergantung pada susunan spasial kejadian-kejadian tersebut.kejadian geografis yang disebutkan berupa kumpulan objek titik, garis atau area yang dialokasikan dalam ruang geografi, ditambahkan pada suatu himpunan dari satu atau lebih nilai-nilai atribut Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan untuk memperoleh informasi suatu objek, daerah atau fenomena untuk melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Dengan menggunakan berbagai sensor kita mengumpulkan data dari jarak jauhmyang dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang diteliti (Lillesand dan Kiefer, 1979). Data penginderaan jauh dapat berupa citra dan data numerik. Data tersebut dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang diteliti. Analisis data penginderaan jauh memerlukan rujukan seperti peta tematik, data statistik dan data lapang. Informasi yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan (F. Sri Hardiyanti, 2001). Data hasil penginderaan jauh merupakan salah satu bentuk data yang digunakan dalam Sistem Informasi Geografis. Hasil penginderaan jauh umumnya berupa citra yang merupakan gambaran rekaman suatu objek (biasanya berupa gambaran pada foto) yang dihasilkan dengan cara optik, elektro optik, optik mekanik atau elektronik. Menurut Lillesand dan Kiefer (1979) di dalam penginderaan jauh istilah foto diperuntukan secara esklusif bagi citra yang dideteksi dan direkam pada film Satelit Alos Satelit yang baru diluncurkan pada tahun 2006 milik JAXA-Jepang merupakan satelit sensor radar dengan empat polarisasi (full polarization). Satelit ini didesain untuk dapat beroperasi selama 3 sampai 5 tahun pada ketinggian 691,65 km (di atas Khatulistiwa) dengan kemiringan 98,16 (JAXA, Japan Aerospace Exploration Agency, 1997). Periode kunjungan ulang (revisiting

9 12 period) dari satelit ALOS adalah 46 hari. Akan tetapi, untuk kepentingan pemantauan bencana alam atau kondisi darurat satelit ALOS ini mampu melakukan observasi dalam waktu dua hari. Tabel 1. Karakteristik Umum Satelit Alos Karakteristik Alat peluncuran Tempat peluncuran Berat satelit Power Waktu operasional Orbit Sumber : NASDA, 1996 Keterangan Roket H-IIA Pusat Ruang Angkasa Tanagashima Kg W 3 sampai 5 Tahun Snu-synchronous Sub-Recurr Orbit Recurrent Period : 46 hari, Sub cycle 2 hari Tinggi lintasan : 692 km di atas Equator Inclinasi : 98,2 0 Satelit ini dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju untuk memberikan kontribusi bagi dunia penginderaan jauh, terutama di bidang pemetaan, pengamatan tutupan lahan secara lebih persis dan akurat, sehingga untuk keperluan tersebut pada setelit ini dipasang dual frequency GPS receiver dan star tracker dengan presisi tinggi. Satelit ALOS memiliki tiga sensor, yaitu: (a) Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) yang mempunyai resolusi 2,5 meter; (b) Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) yang mempunyai resolusi 10 meter; dan (c) Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) yang mempunyai dua resolusi, yaitu resolusi 10 meter dan 100 meter (Gambar 1). Gambar 1. Satelit ALOS (JAXA EORC, 1997)

10 Sensor PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) Sensor PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) (Gambar 2) memiliki tiga sistem optis yang dapat merekam data pada saat yang bersamaan, yaitu melalui mode observasi dari arah tegak lurus (nadir), depan (forward) dan belakang (backward) (Gambar 3). Dengan kemampuan seperti ini dimungkinkan untuk membangun data 3-D (three dimensional terrain data) dengan tingkat akurasi yang tinggi. Teleskop observasi pada arah nadir di sensor PRISM ini memiliki lebar sapuan 70 km, sedangkan teleskop observasi arah depan dan belakang (triplet mode) masing-masing mempunyai lebar sapuan 35 km. PRISM tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 82 derajat Lintang Selatan dan Lintang Utara. Adapun karakteristik umum sensor PRISM disajikan pada Tabel 2. Gambar 2. Sensor PRISM (JAXA EORC, 1997) Gambar 3. Prinsip Geometri PRISM (JAXA EORC, 1997)

11 14 Tabel 2. Karakteristik PRISM Jumlah Band Panjang Gelombang Jumlah Optik Resolusi Spatial Lebar Petak Jumlah Detektor Pointing Angle Bit Length 1 (Pankromatik) 0,52 0,77 mikrometer 3 (nadir, depan, belakang) 2,5 m (at nadir) 70 km (hanya nadir) / 35 km (Triplet mode) / band (petak lebar 70 km) / band (petak lebar 35 km) -1,5 ke 1,5 derajat (Triplet Mode, Cross-track direction) 8 bit Sumber : JAXA EORC, Sensor PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar) Sensor PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar) merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1 (Gambar 4). Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR, sensor ini memungkinkan untuk dapat melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas, yaitu km (Gambar 5). Pembangunan PALSAR adalah proyek kerjasama antara JAXA dan Japan Resources Observation System Organization (JAROS). Gambar 4. Sensor PALSAR (JAXA EORC, 1997)

12 15 Gambar 5. Prinsip Geometri PALSAR (JAXA EORC, 1997) Karakteristik umum sensor PRISM disajikan pada Tabel 2, namun demikian sensor PALSAR tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 87,8 Lintang Uatra dan 75,9 Lintang Selatan ketika off-nadir adalah sudut 41,5. Tabel 3. Karakteristik PALSAR Mode Fine ScanSAR Polarimetric (Eksperimental mode)* Pusat Frekuensi 1270 MHz (L-band) Chrip 14 MHz, 28 MHz 14 MHz Bandwidth 28 MHz 14 MHz Polarisasi HH atau vv HH + hv atau vv + VH HH atau vv HH + hv + VH + vv Incident Angle Range 100 m 7 44 m m Resolution (multi look) m Observation Swath km km km km Bit Length 5 bit 5 bit 5 bit 3 atau 5 bit Data rate 240Mbps 240Mbps 120 Mbps 240 Mbps 240 Mbps Radiometric accuracy Scene : 1 db / orbit : 1.5 db Sumber : JAXA EORC, Sensor AVNIR (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer) Sensor AVNIR (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer) (Gambar6.) dilengkapi dengan kemampuan khusus yang memungkinkan satelit dapat melakukan observasi tidak hanya pada arah tegak lurus lintasan satelit, tetapi juga mode operasi dengan sudut observasi (pointing angle) hingga sebesar

13 o (Gambar 7). Kemampuan itu diharapkan dapat membantu dalam pemantauan kondisi suatu area yang diinginkan. Sensor ini dapat dimanfaatkan dalam penyusunan peta penggunaan lahan atau peta vegetasi terutama dengan menggunakan band cahaya tampak (visible) dan inframerah dekat (near infrared). Gambar 6. Sensor AVNIR (JAXA EORC, 1997) Gambar 7. Prinsip Geometri AVNIR-2 (JAXA EORC, 1997) Karakteristik umum sensor AVNIR disajikan pada Tabel 4, namun demikian sensor AVNIR tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 88,4 Lintang Utara dan 88,5 Lintang Selatan. Tabel 4. Karakteristik AVNIR Jumlah Band 4 Band 1 : 0,42 0,50 mikrometer Panjang Gelombang Band 2 : 0,52 0,60 mikrometer Band 3 : 0,61 0,69 mikrometer Band 4 : 0,76 0,89 mikrometer Resolusi Spasial 10 m (at Nadir) Lebar petak (Swath Width) 70 km (at Nadir) Jumlah Detector 7000/Band Pointing Angle Bit Length 8 bit Sumber : JAXA EORC, 1997

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) LAMPIRAN 51 Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) Sensor PALSAR merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor PALSAR adalah suatu sensor

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM BAB II DASAR TEORI 2.1 DEM (Digital elevation Model) 2.1.1 Definisi DEM Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Dilihat dari distribusi titik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan tehnik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, wilayah atau fenomena dengan menganalisa data yang diperoleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA . II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU KOTA DEPOK DENGAN PENDEKATAN MODEL KONSERVASI AIR MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TETY NOFALINA

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU KOTA DEPOK DENGAN PENDEKATAN MODEL KONSERVASI AIR MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TETY NOFALINA ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU KOTA DEPOK DENGAN PENDEKATAN MODEL KONSERVASI AIR MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TETY NOFALINA DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM (Digital Elevation Model) Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia, dengan kondisi iklim basa yang peluang tutupan awannya sepanjang tahun cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA Atriyon Julzarika Alumni Teknik Geodesi dan Geomatika, FT-Universitas Gadjah Mada, Angkatan 2003 Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas kawasan hutan Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi adalah 133.300.543,98 ha (Kementerian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kota Kota adalah suatu wilayah yang akan terus tumbuh seiring dengan waktu baik dari segi pembangunan fisik maupun non fisik. Menurut Simond (1983), kota merupakan lanskap buatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan suatu teknik pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang 17 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2010 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT Eksakta Vol. 18 No. 1, April 2017 http://eksakta.ppj.unp.ac.id E-ISSN : 2549-7464 P-ISSN : 1411-3724 PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geomorfologi Geomorfologi merupakan salah satu cabang ilmu kebumian (earth sciences) yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi atau bentuklahan (landform). Perhatian geomorfologi

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO Sri Sutarni Arifin 1 Intisari Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau khususnya pada wilayah perkotaan sangat penting mengingat besarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, tertib dan teratur, nyaman dan efisien,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perencanaan Hutan Kota Arti kata perencanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fak. Ilmu Komputer UI 2008) adalah proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan).

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space) dengan unsur vegetasi yang dominan. Perancangan ruang hijau kota harus memperhatikan

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN PERUMAHAN KELAS MENENGAH MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KOTA SURABAYA

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN PERUMAHAN KELAS MENENGAH MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KOTA SURABAYA ANALISIS KESESUAIAN LAHAN PERUMAHAN KELAS MENENGAH MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KOTA SURABAYA Artan Niki Alunita artan_niki@yahoo.com Projo Danoedoro projo.danoedoro@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gorontalo sebagian besar wilayahnya berbentuk dataran, perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian 0 2000 M di atas permukaan laut. Luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bambu Bambu tergolong kedalam suku poaceae atau gramineae, marga bambuseae, dan anak suku bambusoideae. Bambu dikenal memiliki karakter yaitu tumbuh merumpun, memiliki batang

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang TINJAUAN PUSTAKA Penghijauan Kota Kegiatan penghijauan dilaksanakan untuk mewujudkan lingkungan kota menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang asri, serasi dan sejuk dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kenyamanan permukiman di kota dipengaruhi oleh keberadaan ruang terbuka hijau dan tata kelola kota. Pada tata kelola kota yang tidak baik yang ditunjukkan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW 09-1303) RUANG TERBUKA HIJAU 7 Oleh Dr.Ir.Rimadewi S,MIP J P Wil h d K t Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perencanaan dan Perancangan Lanskap Planning atau perencanaan merupakan suatu gambaran prakiraan dalam pendekatan suatu keadaan di masa mendatang. Dalam hal ini dimaksudkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi dan pada suatu obyek atau fenomena, dengan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dikenal sebagai teknologi yang memiliki manfaat yang luas. Pemanfaatan yang tepat dari teknologi ini berpotensi meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tempat tinggal merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan karena merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Tempat tinggal menjadi sarana untuk berkumpul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kecamatan Kejajar merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Pegunungan Dieng Kabupaten Wonosobo dengan kemiringan lereng > 40 %. Suhu udara Pegunungan Dieng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih cukup tinggi. Salah satu penyebab adanya laju pertambahan penduduk

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan perekonomian di kota-kota besar dan metropolitan seperti DKI Jakarta diikuti pula dengan berkembangnya kegiatan atau aktivitas masyarakat perkotaan

Lebih terperinci

SISTEM PENGINDERAAN JAUH SATELIT ALOS DAN ANALISIS PEMANFAATAN DATA

SISTEM PENGINDERAAN JAUH SATELIT ALOS DAN ANALISIS PEMANFAATAN DATA SISTEM PENGINDERAAN JAUH SATELIT ALOS DAN ANALISIS PEMANFAATAN DATA Gokmaria Sitanggang Peneliti Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh, LAPAN ABSTRACT The ALOS (Advanced Land Observing

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi Usahatani merupakan organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi lapangan pertanian (Hernanto, 1995). Organisasi

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 ALOS PRISM Pemetaan baku sawah pada penelitian ini menggunakan citra ALOS PRISM dan citra radar ALOS PALSAR pada daerah kajian Kabupaten Subang bagian Barat. ALOS PRISM adalah

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan-lahan untuk menyediakan permukiman, sarana penunjang ekonomi

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2010 sampai bulan September 2011, diawali dengan tahap pengambilan data sampai dengan pengolahan dan penyusunan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemantauan Padi dengan SAR Polarisasi Tunggal Pada awal perkembangannya, sensor SAR hanya menyediakan satu pilihan polarisasi saja. Masalah daya di satelit, kapasitas pengiriman

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu

I. PENDAHULUAN. heterogen serta coraknya yang materialistis (Bintarto,1983:27). Kota akan selalu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota adalah sebuah sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomis yang heterogen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG TATA CARA INVENTARISASI DAN PENETAPAN FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci