Cooler & Heater. Ditto Dwi Purnama. We still learn how to fly BUTTERFLY. A month for love s influences

Transkripsi

1 Cooler & Heater A month for love s influences Ditto Dwi Purnama BUTTERFLY We still learn how to fly

2 COOLER & HEATER A month for love s influences Oleh: Ditto Dwi Purnama Copyright 2014 by (Ditto Dwi Purnama) BUTTERFLY We still learn how to (westilllearnhowtofly@gmail.com) Desain Sampul: (Ditto Dwi Detroit_Jalanan@yahoo.com) Editor: Alan Gie Rahmadi Diterbitkan melalui: 2

3 Kata Pengantar & Ucapan Terimakasih: Dan inilah buku ke-dua saya, yang berjudul Cooler & Heater Love s Incfluences. Dari judulnya saja, para pembaca pasti sudah bisa menerka tentang skema cerita yang saya bangun pada buku ini, simple thing, it s a love story. Saya akan berbagi cerita sedikit, yaitu sepenggal kronologi hidup saya yang terbilang statis sebelumnya, dan kemudian bertransformasi menjadi sebuah adegan penuh kepekaan, relaksasi, dan keheningan yang jumawa, bercampur aduk dengan emosi, kepenatan, juga kekhawatiran tepat ketika saya menjumpai makhluk itu. Makhluk itu, makhluk yang datang ketika saya bernaung pasrah di bawah langit malam. Menengadah ke langit, meminta hujan padahal malam itu begitu panas. Tanah kering dan banyak 3

4 yang retak, sepupus apa yang kurasakan pada hidup ini. Makhluk itu datang, menyahut setiap tetes sejuk kehidupan, agar tertumpah ruah di wajahku yang mulai kebas. Aku merasakan kesegaran itu, kemustahilan yang ia buat menjadi begitu sederhana, ringan, dan minim aral. Sejak itulah aku tahu, terkadang manusia merasa nyaman dengan hal yang sesungguhnya ia hindari. Dan justru hal tersebut yang memberinya warna, pesona, dan kedinamisan. Semakin keras kita menerka, warna-warna tersebut semakin buram, abstrak, sangat menentang logika. Hanya satu kata yang dapat menggambarkan sensasi itu, kata yang acap kali kita lupakan dalam perbincangan, kata yang telah kita buang jauh-jauh dari realita, kata yang ingin membuat kita tenggelam dalam tawa begitu mendengarnya, yaitu, Keajaiban. 4

5 Saya terlalu banyak berbaur dengan kenyataan, menerima kesombongan dan keangkuhan tanpa pandang bulu. Bertarung dan terus bertarung, menghadapi pertempuran yang tampak, maupun yang kasat mata. Pertempuran-pertempuran itu, perlahan-lahan telah membimbing saya pada obsesi gila kemenangan. Menggantikan posisi orang-orang dalam hidup saya, menjadi hambatan tanpa henti. Kemudian dia datang, membawa bekas luka di bagian yang sama dengan saya. Dari luar tampak seperti batang jati, namun di dalamnya serapuh daun jati yang kering. Saling keterbukaan, mempengaruhi satu sama lain, dan lambat laun saya terjebak dalam belenggu batin mendalam. Begitulah inspirasi buku ini terlahir, saya hanya ingin berbagi sakitnya ketika keita meremehkan padahal kita sayang, ketika kita tertawa padahal ingin menangis, dan ketika kita mengumbar lega padahal hati kita berguncang. 5

6 Jadi terima kasih untuk dia sebagai pengilham utama lahirnya kisah ini, dan juga untuk teman-teman seperjuanganku, serta keluarga besarku yang ikut mendukung niatku untuk tetap menulis, sekali lagi, terima kasih! Para pembaca, silakan arungi kisah ini dengan berbagai reaksi. Saya tidak berusaha mengilhami anda, ataupun menggurui anda dengan pengalaman cinta saya yang masih minim. Saya hanya ingin berbagi, akan kesakitan saat kejujuran begitu langka, walau hanya untuk mengutarakan.. -Ditto Dwi Purnama 6

7 Cooler & Heater 7

8 2000, Hottest Village Aku meraba dinding lubang, mencari pijakan agar bergegas keluar dan menghantam wajah Heater untuk keusilannya. Aku dapat melihat barisan gigi-giginya yang kuning, dua gigi serinya tanggal sebulan kemarin. Yang lebih membuatku mendidih, ia melemparkan gumpalan bubble gum yang ia kunyah sejah setengah jam yang lalu, hingga mendarat tepat pada punggung hidungku. Emosiku memuncak, memanjat dinding lubang dengan cepat dan tangkas, namun alhasil, aku tetap saja terperosok kembali. Ini, ia mengulurkan tangannya ke dalam lubang dari atas sana, tapi masih kurang panjang untuk kuraih. Jangan main-main Heater, kau tahu? Bibi Lucia akan melempariku dengan celana dalam kotor, keluhku, kesal. 8

9 Kalau begitu raih saja tanganku, gampang kan? Ucapnya, sepele. Kau tidak cukup bodoh untuk tanpa sengaja menghanguskanku, umpatku. Tenang saja, ia menyeringai. Bagaimana aku bisa tenang?! Lubang ini! Dan kau lupa memakai sarung tangan! aku menyentaknya, hingga rona wajahnya berubah. Bodoh! Kubilang tenang ya tenang, tukas Heater. Ia memanjangkan lagi tangannya, hanya sejengkal lagi dari kepalaku. Masih belum cukup, kataku, dan ia pun menjorokkan setengah panjang badannya ke dalam lubang. Barulah jarak itu bisa kuraih. Eh? Aku terpana ketika menyentuh tangannya, rasanya dingin walaupun berkeringat. Apa? Tanyanya, bingung. Kok tidak panas? Kugaruk kepalaku, kebingungan membuat gatal ubun-ubunku. 9

10 Mungkin kau yang terlalu dingin, ia tertawa lepas, guncangan yang timbul akibat getaran diafragma-nya begitu hebat, sampai-sampai ada reruntuhan tanah dari tempatnya bertelungkup. Sebagian ada yang masuk ke mata, kuakui, perih sekali. Sudah, cepat tarik aku! Aku terkesan memerintah, namun sebenarnya geli melihatnya tertawa seperti itu. Dengan bantuan tarikan tangannya, tubuhku mulai terangkat, dan berhasil mendapat pijakan yang strategis. Kutahan setengah bobot tubuhku pada pijakan itu, sementara Heater masih berusaha menarikku keluar. Dan setelah dua menit memeras tenaga, akhirnya aku berhasil keluar dari lubang itu. Pulang sana! Dasar idiot! Ia memukul kepalaku, lumayan kencang, tepat ketika aku lengah karena tengah membersihkan sisa-sisa tanah di baju. 10

11 11