Direito. Dwi Mingguan Hak Azasi Manusia. Edisi Februari Seriuskah Mengadili Kasus Serious Crime?

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Direito. Dwi Mingguan Hak Azasi Manusia. Edisi Februari Seriuskah Mengadili Kasus Serious Crime?"

Transkripsi

1 Yayasan HAK Jl. Gov. Serpa Rosa T-091, Farol Dili - Timor Lorosae Tel.: Fax.: direito@yayasanhak.minihub.org Direito Dwi Mingguan Hak Azasi Manusia Edisi Februari 2001 Seriuskah Mengadili Kasus Serious Crime? Rakyat Timor Lorosae berharap keadilan masih ada. Harapan itu mungkin kembali muncul ketika persidangan bagi pelaku tindak kejahatan berat mulai digelar sejak Januari lalu. Tetapi, apakah pengadilan di bawah sistem baru itu bisa memenuhi rasa keadilan para korban? Ruang sidang utama di Pengadilan Distrik Dili tampak angker. Pada 25 Januari lalu, majelis hakim khusus, Maria Natercia Gusmao Pereira, Sylver Ntukamazina, dan Luca L. Ferrero Daftar Isi Demi keadilan, yang bersalah harus dihukum menjatuhkan hukuman 12 tahun bagi Joao Fernandes (23 tahun), anggota Milisi Dadurus Merah Putih. Ia terbukti membunuh Domingos Goncalves Pereira, pada 8 September dua tahun lalu. F.. Atoy Direito Utama...Seriuskah Mengadili Kasus Serious Crime? (1)...Kriminalisasi Kejahatan Terhadap kemanusiaan (2)...Pelanggaran HAM Berat Tak Dapat Dimaafkan (3) Info Hukum...Legitimasi Peradilan Adat (4)...Memperbaiki Nasib Buruh di Timor Lorosae (5) Wawancara...Cirilio Jose Cristovo:...UNTAET Hanya Membisu... (6) Opini...Hak Rakyat Atas Keadilan Catatan tentang Pengadilan Serious Crime (8) Serba Serbi...Kegiatan Rumah Rakyat Baucau (10)...Pertemuan Dengan Kelompok Tani di Maubara Ami Lian...Penjahat Perang Harus Diadilli (11)...Hukum Di Timor Lorosae Tidak Dihargai...Pelaku Harus Dihukum Seberat-beratnya...Keadilan Harus Ditegakan (12)...Bantuan Legal Harus Seimbang...Mereka Boleh Datang, Pengadilan Terus Fernandes adalah orang pertama yang diadili dan dijatuhi hukuman di bawah sistem baru. Dari fakta-fakta kasus, Fernandes mengakui sebagai anggota Milisi Dadurus Merah Putih ia diperintah untuk datang ke rumah Natalino Monteiro di Desa Ritabou. Bersama anggota milisi yang lain diberi pedang dan diperintahkan untuk membunuh semua laki-laki pendukung kemerdekaan yang berlindung di Kantor Polres, Maliana. Bersama Joao Gomblo, anggota milisi yang lain, ia mendatangi Goncalves kemudian menusuk dengan pedang di punggung dan di beberapa bagian tubuh lainnya sampai tewas. Fernandes juga mengakui membunuh Goncalves, kepala desa itu atas perintah dari TNI dan Natalino, komandannya. Jaksa penuntut umum, Brenda Hollis dan Antonino, mendakwa Fernandes telah melanggar pasal 340 KUHP. Pada 18 Januari, hakim menanyakan, kenapa Goncalves hanya dituduh melakukan satu pembunuhan saja padahal bukti dalam berkas menunjukkan ada lebih banyak korban sebagai akibat terjadinya serangan terhadap penduduk sipil yang meluas dan sistematis pada 1999? Karena tidak ada bukti telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan, jawab jaksa. Namun, jaksa berjanji akan mencari keadilan secepatnya mengingat Fernandes masih berada di tahanan. Lalu? Berdasarkan Bagian 8 Regulasi UNTAET No.15/2000 dan pasal 340 KUHP, mengingat surat dakwaan yang diserahkan jaksa penuntut umum pada 15 November 2000, dan pengakuan bersalah dari Joao Fernandes yang disampaikan pada 10 Januari 2001, majelis hakim kemudian memutuskan, Joao Fernandes bersalah dengan tuduhan pembunuhan. ***

2 Editorial R akyat Timor Lorosae telah lama percaya bahwa keadilan akan datang, karena pelaku kejahatan, dari yang paling bawah sampai penanggung jawab utama akan diadili. PBB menamakan kejahatan itu sebagai crime against humanity. Artinya, kejahatan itu dilakukan secara sistematis, terencana, dan terorganisir dan terjadi secara meluas. Untuk menemukan bukti-bukti harus ditangani dengan prosedur yang khusus dan benar. Langkah itu benar karena UNTAET membentuk special panel for serious crime di Pengadilan Distrik Dili, tetapi kita tahu bahwa itu tidak akan membawa keadilan. Ada persoalan yang harus dicakup, baik prosedur maupun pengadilan kasus serious crime. Kecocokan prosedur itu harus bisa merangkum kejahatan itu jauh melebihi keterlibatan individual. Meskipun dinamakan crime against humanity, tetapi proses peradilan itu tidak diarahkan untuk membongkar hakekat dari kejahatan yang dilakukan secara sistematis itu. Tampaknya, proses pengadilan kasus serious crime hanya mengandalkan pengakuan, sementara jaksa tidak mengklarifikasikan lebih jauh atas pengakuan terdakwa, apalagi para saksi. Dengan begitu, UNTAET gagal untuk memberikan rasa keadilan bagi rakyat Timor Lorosae. Apalagi ketika kita berbicara bahwa untuk sebagian pelaku kejahatan yang masih berada di Indonesia akan diserahkan kepada proses di Indonesia. Padahal proses di Indonesia tidak jalan dan informasi yang seharusnya digunakan untuk penyelidikan lebih lanjut tidak tersedia, karena jaksa tidak mau menggali informasi. Lalu, apa artinya jaksa investigasi dan hakim investigasi? Investigasi itu tidak mendengarkan pengakuan. Investigasi itu mengajukan pertanyaan yang mengarah pada terungkapnya sebuah kejahatan. UNTAET harus meninjau kembali kesepakatan dengan Indonesia. Karena salah satu pihak, yang terlibat di dalamnya tidak berada dalam posisi untuk menerapkannya. Keadaan ini seharusnya disadari sejak awal.** Apa sesungguhnya yang disebut kejahatan serius itu? Sebagaimana disebutkan dalam Regulasi UNTAET No. 15/2000 Bagian 4-9, kejahatan serius itu mencakup konsep kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), pembasmian berdasarkan keturunan (genocide), pembunuhan, pelanggaran seksual dan penyiksaan. Bagaimana penjelasannya? Dengan diterbitkannya Regulasi UNTAET No. 15/2000 sesungguhnya tidak ada dualisme karena regulasi tersebut hanya mengatur tentang kejahatan-kejahatan serius yang bersifat universal yang belum diatur di dalam KUHP. Apabila melihat fakta-fakta yang muncul dalam persidangan Joao Fernandes, sesungguhnya kasus tersebut termasuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, entah itu besar atau kecil. Secara hukum dia bersalah dan melanggar Bagian 5 Regulasi No. 15/ 2000, karena dia melakukan pembunuhan terhadap seseorang di hadapan banyak orang, yang ketika itu tengah mencari perlindungan di Polres Maliana. Namun, jaksa menuntut dengan pasal 340 KUHP. Ini merupakan kriminalisasi dari sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan, kata Aniceto, dalam acara talkshow yang diselenggarakan Yayasan HAK di Radio Timor K manek, 10 Februari lalu. Menurut Aniceto, itu menyentuh perasaan keadilan masyarakat karena sesungguhnya mereka tahu hasil penyelidikan dari KPP HAM dan hasil penyelidikan dari Komisi Penyidik Internasional untuk Timor Lorosae. Kedua lembaga itu menemukan bukti, bahwa sepanjang referendum telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Tetapi kenapa dianggap sebagai kejahatan biasa? Di situlah letak ketidakadilannya, kata Aniceto. Direito Februari 2001 Tawar Menawar di Pengadilan Perdebatan yang terjadi di luar pengadilan adalah kenapa jaksa mendakwa dengan pasal 340 KUHP sementara UNTAET telah mengeluarkan regulasi yang mengatur tentang kejahatan serius. Dari 15 kasus yang sedang diproses di Pengadilan Distrik Dili hanya satu kasus yang didakwa jaksa dengan pasal kejahatan terhadap kemanusiaan. Selebihnya meskipun terdakwa telah mengakui perbuatannya para jaksa tetap mendakwa dengan pasal 340 KUHP. Mudah-mudahan ini hanya sekadar kriminalisasi, bukan ada maksud untuk melindungi orang-orang tertentu. Sesungguhnya, aturan hukum yang akan diterapkan cukup jelas, meskipun masih terdapat banyak kelemahan yang akan mempengaruhi usaha untuk menyeret para pelaku kejahatan. Proses yang harus diperhatikan adalah apakah fair atau tidak dan sesuaikah dengan standar orang Timor Lorosae. Orang Timor Lorosae merupakan pihak yang merasakan langsung dari setiap kejadian yang terjadi. Aspek keadilan itu yang harus diutamakan. Soal peraturan hukum? Kejahatan biasa maupun serius dijalankan berdasarkan Peraturan UNTAET No 30/ Di dalam peraturan tentang hukum acara itu, kata Aniceto, ada satu proses yang kadang-kadang membuat kita tidak dapat menyeret semua pelaku. Contohnya, salah satu pasal yang menyangkut prosedur pengakuan. Apabila terdakwa mengakui perbuatannya maka terjadi tawar-menawar hukuman yang akan diberikan. Di pengadilan karena prosedurnya dipercepat oleh jaksa, maka terdakwa tidak akan diberikan pertanyaan yang mempersulit. Kadang-kadang hal itu terjadi di luar proses pengadilan, sehingga memungkinkan terjadinya konspirasi di antara jaksa, terdakwa, dan pengacara. Akibatnya, hakim seringkali tidak melakukan investigasi untuk mencari tahu siapa sesungguhnya yang berada di balik peristiwa itu, kata Aniceto. *** 2

3 Pelanggaran HAM Berat Tak Dapat Dimaafkan Menghebohkan! Ketika 27 Januari 1999 pemerintah Indonesia lewat Habibie, mengeluarkan dua opsi bagi masa depan Timor Lorosae. Akhirnya, pada 5 Mei di New York ditandatangani perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Portugal untuk menyelenggaraan referendum, termasuk perdamain dan keamanan. Rakyat Timor Lorosae yang hanya ingin merdeka menyambutnya dengan suka-cita. Demo pun digelar di mana-mana. Di Indonesia, mahasiswa Timor Lorosae dan pro-demokrasi Indonesia menggelar mimbar bebas di Penjara Cipinang tempat Xanana Gusmao ditahan. Pro-kontra pun bermunculan. Sebagian pejabat Indonesia tidak menerima opsi itu. Menurut F. AP mereka masih terlalu dini untuk mengeluarkan sebuah opsi. Xanana yang saat itu masih revolusioner menanggapi pertanyaan para jurnalis, Rakyat Timor Lorosae telah membayar tanah airnya dengan darah dan air mata. Hanya satu kata bagi rakyat Timor Lorosae: Tanah air atau mati. Namun, akibat opsi yang dikeluarkan, Kopassus segera menyusun strategi: memecah belah. Dengan taktik yang dipelajari dari Amerika dan Australia mereka membentuk milisi, agar menyusupi line demi line di Timor Lorosae. Kekerasan demi kekerasan meningkat drastis. Pembunuhan, penculikan, perkosaan, intimidasi, dan teror terjadi di mana-mana. Milisi kemudian mengembangkan satuan-satuan yang digalang dari kalangan muda. Mereka kemudian bergabung ke dalam Pasukan Pejuang Integrasi yang dipimpin oleh Joao Tavares dan Eurico Guterres. Gubernur dan Akibat opsi, Tentara Indonesia menerapkan taktik yang dipelajarinya dari Amerika dan Australia. Milisi dibentuk untuk menyusupi setiap line demi line di Timor Lorosae. Direito Utama bupati tak tinggal diam. Laporan Pangdam Udayana, Mayjen Adam R.Damiri kepada Menko Polkam, bahwa kelompok pro-integrasi dimotori oleh para pemuda dengan mendirikan organisasi cinta merah putih. Insiden pertama yang menjadi perhatian dunia internasional adalah penyerangan Milisi Besi Merah Putih terhadap para pengungsi di Gereja Liquica, 5-6 April. Dilanjutkan dengan penyerangan rumah Manuel Carrascalao pada 17 April. Pembunuhan, penculian, intimidasi tak pernah berhenti. Puncak dari semua kekerasan itu adalah pembumihangusan di seluruh wilayah Timor Lorosae pasca referendum. Takut akan ancaman embargo dari sejumlah negara, pemerintah Indonesia segera menurunkan tim pencari fakta. Salah seorang anggota KPP-HAM mengatakan, keseluruhan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Lorosae, langsung atau tidak langsung terjadi akibat kegagalan panglima TNI dalam menjamin keamanan. Jenderal Wiranto selaku panglima TNI harus diminta pertanggungjawabannya, kata Munir, Ketua KONTRAS saat diskusi dengan Yayasan HAK, tahun lalu. Dalam pernyataannya, KPP-HAM mengatakan, seluruh rangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan tanggung-jawab dari dua kelompok. Pertama, para pelaku yang berada di lapangan, yakni para milisi, aparat militer dan kepolisiaan. Kedua, mereka yang melaksanakan pengendalian operasi, termasuk aparat sipil. Munir juga mengatakan, tindakan kekerasan yang terjadi di Timor Lorosae tergolong dalam pelanggaran hak asasi manusia berat. Pelanggaran itu mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, dan pemindahan paksa. Hanya demi sebuah kepentingan politik yang tak jelas targetnya, segala upaya dilakukan untuk menghabisi lawan politiknya, tanpa mengenal tempat. Eksekusi terhadap rakyat terus dilakukan sepanjang Agustus dan September. TNI dan milisi membantai pengungsi yang dijumpai di jalan sebagai lawan politiknya. Sejumlah barang bukti dan saksi mata telah ditemukan, tetapi hingga kini tak satu pun otak dari semua kejahatan itu diajukan ke pengadilan. Justru milisi dan kelompok sipil yang tergabung dalam UNTAS mencari justifikasi melalui rekonsiliasi dengan melupakan tindak kekerasan yang telah terjadi. Kejahatan terhadap penduduk sipil tak dapat dimaafkan, karena melanggar hak hidup, hak atas integritas jasmani, hak akan kebebasan, hak akan kebebasan bergerak dan bermukim, serta hak milik. Dan semua itu telah dilaporkan oleh KPP-HAM. dan Komisi Penyidik Internasional untuk Timor Lorosae.** 3 Direito Februari 2001

4 Info Hukum Legitimasi Peradilan Adat oleh Lito Exposto Januari 2001 lalu, di Tapotas, Distrik Maliana berlangsung sebuah peristiwa menarik. Sejak pagi, warga masyarakat berbondong-bondong untuk menghadiri acara penyelesaian kasus, meminjam istilah hukum pidana, penggelapan dana Community Empowerment Project (CEP), sebuah proyek pemberdayaan masyarakat. Warga masyarakat mencurigai terjadinya korupsi dalam penggunaan dana CEP oleh sejumlah petugas lokal. Serangkaian penyelidikan pun dilakukan. Kecurigaan masyarakat semakin kuat. Ada pihak yang mengusulkan, agar kasus tersebut segera diajukan ke pengadilan, tetapi kemudian disepakati untuk diselesaikan secara adat. Model penyelesaian secara adat itu dikenal sebagai penyelesaian sengketa informal, pengadilan tradisional atau peradilan lokal. Dalam tulisan ini, penulis akan mengunakan istilah pengadilan adat untuk menggambarkan model penyelesaian masalah dengan pertimbangan adanya lembaga dalam s- truktur hukum adat yang tunduk pada hukum lokal. Petugasnya terdiri dari sejumlah tokoh adat (semacam Katuas Lia Nain) yang berperan sebagai pengambil keputusan, sanksi adat, seperangkat aturan dan nilai-nilai yang menjadi dasar dari pelaksanaan peradilan. Keberadaannya meskipun tidak memperoleh legitimasi secara formal, tetapi paling tidak dapat menjawab tuntutan masyarakat akan rasa keadilan. Legitimasi peradilan adat justru bersumber pada hukum adat itu sendiri, karena ia diakui, ditaati, dan mengikat masyarakat. Yang manarik adalah peradilan adat merupakan kultur dari masyarakat yang telah dipraktekkan secara turuntemurun. Tradisi penyelesaian sengketa melalui hukum adat diperkirakan telah berlangsung jauh sebelum masuknya sistem hukum formal. Itu dapat ditelusuri dari s- truktur adat pada kelompok masyarakat yang memiliki institusi, mekanisme, dan nilai-nilai yang mendasari penyelesaian kasus dalam masyarakat. Tetapi, dalam perkembangannya penggunaan hukum lokal efektif digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi di pedesaan. Penyelesaian sengketa yang digelar di Tapotas itu merupakan bukti masih adanya hukum lokal. Sosok peradilan adat berbeda dengan institusi hukum formal jika dilihat dari sisi birokrasi, a- parat, mekanisme penyelesaian dan perangkat hukum. Tetapi peradilan lokal dapat mengisi kekosongan atau keterbatan jangkauan peradilan negara dalam merespons persoalan hukum masyarakat. Upaya ini juga merupakan terobosan ke arah revitalisasi institusi (hukum) lokal yang hampir hilang. Sisi positif lain, secara teknis masyarakat dengan mudah dapat memahami jalannya proses penyelesaian, karena institusi hukum menjadi bagian dari kultur yang hidup dalam masyarakat. Saat ini regulasi pemerintah tidak secara jelas mengatur peran hukum a- dat, tetapi untuk merespons tuntutan masyarakat akan kepastian hukum dan rasa keadilan, maka lembaga peradilan adat menjadi penting untuk diperhitungkan. Sistem peradilan yang dijalankan saat ini dalam banyak hal masih terbentur pada kurangnya aparat dan fasilitas yang minim, sehingga belum menjangkau seluruh wilayah Timor Lorosae. Persoalan perangkat hukum yang terbatas merupakan akumulasi persoalan dalam sistem hukum saat ini, sehingga banyak persoalan belum dapat direspon oleh hukum formal. Karena itu cita-cita untuk membentuk sebuah sistem hukum yang berbasis pada hukum adat menjadi semakin penting. Pada tingkat praktis, persoalan dapat diselesaikan oleh lembaga tersebut, paling tidak untuk menangani kasus perdata dan kriminal ringan. Penerapan lembaga alternatif bukan sebagai upaya untuk menciptakan lembaga tandingan. Pertanyaannya sekarang adalah apakah langkah ini dapat diakui secara sah sebagai hukum formal? Jika berpikir secara yuridis normatif pemberlakuan sistem alternatif (hukum adat) diperlukan pengakuan tertulis dalam ketentuan hukum negara/pemerintah. Persoalan ini sepenuhnya belum jelas. Namun, dalam perspektif sosio-antropologis hukum, lembaga penyelesaian alternatif merupakan sebuah lembaga yang sah. Gelar peradilan adat di Tapotas merupakan bukti tentang masih diakuinya lembaga adat meskipun masih terdapat kelemahan yang perlu dibenahi dan disesuaikan dengan perkembangan zaman.tetapi hukum yang hidup dalam masyarakat seharusnya menjadi sumber bagi pembentukan dan penyusunan sistem hukum Timor Lorosae ke depan. Persoalan adalah lembaga peradilan adat telah mengalami distorsi secara sistematis akibat ketergantungan masyarakat terhadap sistem hukum formal, sehingga menjadi persoalan untuk mengangkat peradilan adat ke pentas sistem hukum nasional pada masa depan. Jalan terbaik adalah tetap memberi tempat pada peradilan adat dengan segala perangkat lembaga pendukung untuk menjawab persoalan hukum rakyat dengan pertimbangan sepanjang itu diperlukan. Ke depan hukum adat harus diakomodasikan ke dalam perangkat hukum formal, agar tidak muncul interpretasi ke arah dualisme hukum dan memiliki legitimasi legal. Selain itu, perlu dilakukan penyesuaian dengan perkembangan zaman dan pembagian kewenangan penanganan atas kasus-kasus di luar kapasitas sistem hukum formal. Penyelesaian tuduhan penyelewengan dana CEP di Tapotas ternyata bisa diselesaikan melalui peradilan adat. *** Penulis adalah Staf Yayasan Hak dan anggota Asosiasi Juris Timor Lorosae Direito Februari

5 Buruh adalah seseorang atau sekelompok orang yang bekerja pada pihak lain dan mendapatkan upah. Pihak yang mempekerjakan buruh disebut majikan. Majikan bisa pemerintah, NGO, perusahaan swasta atau negara, bisa pula perorangan. Kaum buruh sering mengalami tindakan sewenang-wenang dari majikan akibat posisinya yang lemah dalam hubungan kerja. Pelanggaran hak buruh terjadi antara lain karena: Sistem dan peraturan sosial-politik dan sosial-ekonomi berlaku tidak adil dan memberi peluang dieksploitasinya tenaga buruh oleh majikan; Buruh belum memahami realitas pelanggaran atas hak-haknya; Buruh belum memiliki organisasi yang kuat. Realitas yang Dihadapi Buruh Dari pengalaman menangani problematika perburuhan di Timor Lorosae, persoalan-persoalan dasar yang dihadapi buruh, antara lain: Buruh tidak diberi penjelasan tentang jenis pekerjaan dan akibat dari pekerjaan itu; Pihak majikan tidak menyediakan kontrak kerja; Sebagian besar status kerjanya adalah buruh kasar yang dipekerjakan secara harian; Buruh diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh yang mempekerjakan mereka; Saat ini upah yang dibayarkan tak bisa mencukupi kebutuhan pokok; Jam kerja sering melewati waktu 8 jam per hari, ini melanggar standar jam kerja internasional; Kerja lembur atau kelebihan jam kerja (over time) tidak dibayar. Beban kerja menumpuk sesuai keinginan majikan; Diskriminasi terhadap buruh lokal; Buruh belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hak buruh yang telah ditetapkan oleh standar internasional; Info HAM Memperbaiki Nasib Buruh di Timor Lorosae Banyak buruh yang belum berorganisasi; Persatuan dan solidaritas antar buruh relatif kurang. Sekilas Tentang Hak-hak Buruh Hak atas informasi yang jelas tentang jenis pekerjaan yang akan dan sedang dilakukannya, serta risiko dan konsekuensinya; Hak atas jaminan kesehatan dan keselamatan kerja; Hak atas tunjangan kesehatan, kecelakaan kerja, hari libur nasional, dan hari besar agama; Cuti haid, hamil dan tunjangan melahirkan bagi buruh perempuan; Hak untuk memperoleh upah yang memadai sesuai dengan tuntutan hidup dan situasi riil untuk buruh dan keluarganya, bagi buruh yang sudah berkeluarga; Hak atas kontrak kerja dan peraturan kerja yang jelas dan adil; Hak atas 8 jam kerja per hari sesuai dengan standar internasional. Jika melebihi waktu itu, maka ia berhak mendapatkan upah lembur; Hak untuk bebas dari tindakan sewenang-wenang dari majikan; Hak untuk memperoleh tindakan peringatan maksimal tiga kali sebelum di- PHK, jika memang terbukti menyalahi aturan kontrak atau kewajibannya; Hak untuk memperoleh tunjangan PHK sesuai kesepakatan antara buruh dan majikan; Hak berorganisasi dan berserikat; Hak untuk memperoleh akses bagi pengembangan diri lewat peningkatan pengetahuan dan keterampilan, termasuk yang difasilitasi pihak yang mempekerjakan buruh; Hak mogok dan melakukan protes atas tindakan sewenang-wenang dari yang mempekerjakan buruh atau pemerintah tanpa khawatir akan adanya pemecatan terhadap buruh; Hak untuk menolak tindakan PHK jika tak didasarkan atas alasan yang benar dan nyata; Hak berpolitik, beribadat, dan hak cuti. Penyelesaian Kasus Buruh Bentuk penyelesaian kasus buruh adalah sebagai berikut: 1.Penyelesaian bipartit (majikanburuh), yaitu melalui perundingan antara buruh dan majikan; 2.Penyelesaian tripartit (buruh, majikan, dan pihak ketiga yang berperan sebagai mediator). Dengan cara ini diharapkan hak-hak buruh yang diingkari bisa dipulihkan dan penyelesaiannya memuaskan semua pihak; 3.Penyelesaian melalui jalur hukum. Yaitu menggunakan mekanisme dan prosedur hukum resmi yang berlaku untuk memulihkan kembali hak-hak buruh yang diingkari. Misalnya, dengan menuntut pihak pelanggar ke pengadilan. Taktik lain adalah melalui pendekatan politis, antara lain menekan pihak pelanggar lewat aksi mogok, demonstrasi, dan aksi protes; 4. Penyelesaian lewat upaya legislasi, yaitu mendorong terbentuknya dan dijalankannya perundang-undangan perburuhan nasional yang adil dan menjamin serta melindungi hak kaum buruh di Timor Lorosae. Pengorganisasian Buruh Perjuangan perbaikan kondisi buruh adalah sangat tergantung kepada buruh sendiri, bukan atas kebaikan dari kelompok lain seperti penguasaha, pemerintah atau NGO. Maka, adalah penting bagi pihak buruh untuk mengorganisir diri dalam serikat buruh di tingkat perusahaan atau lebih luas lagi dengan serikat buruh lainnya dalam memperjuangkan hak-hak buruh. Terorganisirnya buruh dalam sebuah serikat akan semakin menggalang solidaritas sesama buruh dan akan memperkuat posisi tawar menawar buruh dengan majikan. Bahkan buruh bisa menjadi pihak yang mengendalikan kebijakan tentang dunia perburuhan di Timor Lorosae. Karena itu: BERORGANISASILAH! *** 5 Direito Februari 2001

6 Wawancara Cirilio Jose Cristovo: UNTAET Hanya Membisu... Tamat dari Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Bali pada Ia pernah menjadi pegawai negeri sipil pada zaman pendudukan Indonesia. Ayah dua anak itu menjadi hakim sejak Januari Berikut petikan wawancara Direito dengan lelaki asal Lospalos itu. Pengadilan Distrik Dili telah menyidangkan kasus serious crime... Ya, sejak Januari lalu. Dasar hukum yang digunakan untuk memproses mereka adalah Regulasi UNTAET No. 15/2000. Tetapi, kita belum bisa menilai apakah proses itu akan menghasilkan keadilan, terutama bagi keluarga korban. Proses itu baru dimulai dan baru tahap awal. Menurut saya, yang penting bagi kita, terutama bagi korban dan keluarganya, tidak boleh patah semangat untuk memperjuangkan keadilan. Apa substansi dari Regulasi No. 15/ 2000? Dikeluarkannya Regulasi No 15/2000 oleh UNTAET merupakan satu langkah maju. Karena regulasi itu antara lain memberikan otoritas bagi pengadilan di Timor Lorosae untuk membentuk panel special yang bertanggungjawab untuk menangani proses hukum terhadap orang-orang yang terlibat dalam kasuskasus serious crime, seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, genocide, perkosaan sistematis, pengungsian paksa ke Timor Barat yang terjadi sejak Januari sampai 25 Oktober Disebutkan dalam Regulasi No. 1/ 1999, bahwa di Timor Lorosae masih akan menggunakan hukum Indonesia. Tetapi kenapa dikeluarkan Regulasi No. 15/2000? KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tidak memuat aturan hukum tentang kejahatan terhadap kemanusiaan atau kasus serious crime. KUHP adalah perangkat hukum yang hanya bisa dipakai untuk memproses kasus kriminal biasa. Sementara Regulasi No 15 / 2000 sengaja dibuat khusus untuk mengatur dan menangani kasus-kasus kategori serious crime. Jadi, motifnya karena KUHP tidak memuat aturan-aturan hukum untuk kasus serious crime. Dari aspek rasa kadilan masyarakat, terutama bagi korban dan keluarganya, menurut Anda apakah Regulasi No. 15/2000 itu dapat menjamin keadilan? Untuk menjerat para pelaku serious crime, kita harus memiliki perangkat hukum. Regulasi No. 15/2000 adalah perangkat hukumnya. Agar keadilan bisa dicapai, maka proses peradilan itu harus berjalan dengan adil. Untuk itu semua komponen yang terkait dengan kasus tersebut, terutama pelaku dan para saksi harus dihadirkan. Satu persoalan besar bagi pengadilan di Timor Lorosae adalah dihadapkan pada kenyataan, bahwa pengadilan tidak bisa menghadirkan semua pelaku dan para saksi tersebut. Karena 95% dari mereka berada di Indonesia. UNTAET dan pemerintah Indonesia yang diwakili Marzuki Darusman telah menyepakati sebuah Memorandum of Understanding (MoU). Di dalam MoU disebutkan, bahwa UNTAET dan pemerintah Indonesia akan saling melakukan tukar menukar saksi atau pelaku untuk memperlancar proses hukumnya. Tetapi, sampai sekarang MoU itu tidak jalan. Hal ini tentu berpengaruh terhadap sulitnya mejamin keadilan. Apa penyebabnya? MoU adalah kesepakan atau bisa dikatakan perjanjian bilateral antara UNTAET dengan pemerintah Indonesia. MoU sebenarnya memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Tetapi yang terjadi, ternyata pihak Indonesia tidak pernah mematuhinya. Sedangkan PBB sendiri, dalam hal ini UNTAET, tidak pernah menggunakan posisinya untuk memaksa Indonesia mematuhi kesepakan itu. Padahal, UNTAET secara politik Direito Februari 2001 punya kekuatan besar untuk melakukan tekanan itu. Saya khawatir, jika keadaan ini tidak berubah, maka yang terjerat hanyalah pelaku-pelaku di tingkat pelaksana, sementara aktor-aktor intelektual yang merencanakan kejahatan itu tetap bebas berkeliaran di Indonesia. Menangani kasus serious crime harus juga bisa menyeret para perencananya. Hanya dengan cara itu lah keadilan bisa diperoleh. Karena itu tekanan kepada pemerintah Indonesia untuk mematuhi MoU harus dilakukan. Bagaimana konsekuensinya ke depan? Saya mau mengatakan, pertama, UNTAET selama ini tidak konsisten. UNTAET telah mengeluarkan Regulasi No. 15/2000 untuk memastikan keadilan bagi rakyat Timor Lorosae, tetapi ketika melihat pada penerapannya ternyata tidak ada keseriusan dari UNTAET. Setelah membuat MoU dengan pemerintah Indonesia, UNTAET membisu ketika pemerintah Indonesia tidak mematuhinya. Kedua, sejak awal, kami sudah sepakat bahwa jika para saksi dan pelaku yang berkeliaran di Indonesia tidak diikutkan dalam proses yang sedang berlangsung, maka kami akan menuntut untuk digelarnya tribunal internasional. Hanya melalui tribunal internasional yang bisa menjamin berjalannya proses itu dengan fair. Konsekuensi lain, jika proses itu mandeg karena UNTAET tidak berhasil mendatangkan saksi dan pelaku dari Indonesia ketika masa transisi berakhir dan berakhir pula panel special, maka akan menjadi persoalan besar bagi para hakim di Timor Lorosae. Dalam menangani kasus serious crime ada yang namanya panel spe- 6

7 cial. Apa sebenarnya panel special itu? Panel khusus itu diatur dalam Regulasi Nomor 11. Tujuannya untuk menangani kasus-kasus serious crime. Panel khusus itu merupakan gabungan dari hakim internasional dan hakim nasional. Masing-masing dua hakim internasional dan satu hakim lokal. Dengan mendatangkan hakim internasional bisa diartikan, karena kapasitas hakim Timor Lorosae tidak siap atau karena pertimbangan jurisdiksi internasional? Pertanyaan yang bagus. Kita tidak dapat mengatakan, bahwa para hakim Timor Lorosae tidak mampu menangani kasus serious crime. Pertama, kesempatan bagi kita untuk mencobanya belum ada. Realitas pengalaman dalam menangani kasus-kasus serious crime dari hakim-hakim kita memang belum ada. Fakta yang mengatakan, bahwa hakim Timor Lorosae tidak mampu menangani kasus-kasus tersebut tidak ada. Kedua, secara prinsip kami menerima hakim-hakim internasional agar kita bisa mengadopsi pengalaman mereka. Tetapi komposisi panel itu harus terdiri dari dua hakim Timor Lorosae dan satu hakim internasional. Karena prinsipnya, mereka didatangkan untuk mendampingi dan mentransfer pengalaman mereka kepada kami. Ini terkait juga dengan Timorisasi di lingkungan pengadilan, agar ketika transisi berakhir kita telah siap. Dengan komposisi dua hakim internasional dan hanya satu hakim lokal maka transfer pengalaman itu tidak maksimal. Persoalan utamanya, kasus serious crime tidak akan tuntas dalam jangka waktu transisi atau dalam tahun ini. Saya khawatir, jika bertahan seperti sekarang ini, ketika otoritas UNTAET berakhir akan menjadi persoalan besar bagi para hakim Timor, karena itu posisi panel special harus diubah. Apakah Timorisasi di lingkungan pengadilan telah dilakukan UNTAET? Proses itu sudah jalan, tetapi karena kasus serious crime itu tidak bisa diselesaikan hanya dalam waktu satu tahun, maka proses itu harus segera di perluas. Para hakim sudah saatnya lebih banyak lagi dilibatkan dalam proses Timorisasi itu. Apakah program pengiriman hakim, jaksa, atau public defender untuk mengikuti pelatihan di luar negeri juga menjadi bagian dalam proses persiapan itu? Kita menyambut baik berbagai program pelatihan itu, karena akan menambah pengalaman dan pengetahuan aparat hukum kita di bidang hukum, terutama dalam hal penerapan hukum. Tetapi program-program pelatihan itu harus diatur secara baik dan konsisten, termasuk kehadiran para mentor. Mereka datang hanya tiga bulan dan tidak konsisten dalam memberikan materi. Hal yang sama juga terjadi dalam proses penanganan kasus serious crime. Jaksa internasional yang bertugas tiba-tiba diganti oleh jaksa yang lain. Akibatnya, kasus yang mereka tangani tidak tuntas dan yang baru akan memulainya lagi dari awal. Pelatihan-pelatihan itu memang perlu, tetapi UNTAET harus menanyakan kepada para hakim apakah pelatihan-pelatihan yang mereka ikuti itu bermanfaat atau tidak. Apakah program itu mengganggu pekerjaan rutin kita atau tidak. Itu harus dilakukan lewat sebuah mekanisme evaluasi. Berdasarkan pengalaman Anda apakah program pelatihan itu ada manfaatnya? Saya yakin bahwa program pelatihan untuk satu dua bulan tidak akan bisa menghasilkan banyak hal. Waktu satu atau dua bulan itu lebih cocok untuk program studi banding. Jadi, kita ke sana hanya akan mengamati keadaan hukum di negara tertentu kemudian hasil Wawancara pengamatan itu menjadi referensi bagi kita. Kami pernah menganjurkan agar program pelatihan untuk para hakim, jaksa dan public defender sebaiknya Joni Marques tersangka pembunuhan Biarawati dan jurnalis di Losapalos. Pengadilan hanya menjangkau pelaku di lapangan. lebih banyak dilakukan di Indoneisa. Karena semua aparat hukum di sini berlatar belakang pendidikan di Indonesia. Jika pelatihan dilakukan di Portugal misalnya, pihak UNTAET harus menyediakan interpreter handal yang bisa menterjemahkan dan menafsirkan materi-materi pelatihan kepada para peserta pelatihan. Bahasa hukum tidak sederhana. Persoalan interpreter ini juga menjadi satu kendala dalam proses persidangan kasus serious crime. Korban tidak bisa mengikuti proses persidangan dengan baik, karena mereka tidak mendapatkan informasi yang jelas. Dengan banyaknya kendala seperti itu, tampaknya hukum di Timor Lorosae belum bisa menjamin rasa keadilan bagi korban... Pertama, rasa keadilan itu bukan berarti si pelaku dihukum dan di penjara. Peranan keadilan menurut korban atau keluarganya juga harus menjadi rujukan. Jadi, keadilan akan ada jika itu dirasakan adil menurut para korban. ** 7 Direito Februari 2001

8 O p i n i Joao Fernandes akhirnya dijatuhi hukuman 12 tahun, karena terbukti membunuh rakyat pendukung kemerdekaan di Maliana, September dua tahun lalu. Fernandes adalah orang pertama yang diadili dan dijatuhi hukuman di bawah sistem baru. Sebelumnya pemerintah Indonesia selalu meloloskan para pembunuh, dan paling-paling hanya menjatuhkan hukuman beberapa bulan saja karena melanggar prosedur, seperti dalam kasus pembunuhan di Santa Cruz, 12 November Di masa itu kita tahu bahwa pengadilan dan keadilan tidak mungkin ditegakkan. Tetapi timbul pula pertanyaan, apakah pengadilan di bawah sistem baru yang bisa mengirim orang ke penjara untuk belasan tahun memang sudah memenuhi rasa keadilan? Seperti kita tahu selama tahun 1999 ada ratusan kasus pembunuhan dan tindak kekerasan di seluruh Timor Lorosae. Menurut para pengamat dan aktivis yang menyaksikan langsung dan terlibat dalam investigasi pelanggaran sepanjang proses referendum itu, korban diperkirakan sekitar sampai orang, walaupun ada laporan yang mengatakan jumlahnya bisa mencapai orang. Sayangnya, PBB tidak pernah mendorong investigasi yang menyeluruh sehingga jumlah korban sesungguhnya sampai hari ini tidak terungkap. Namun, terlepas dari ketepatannya, kita tahu persis jumlah korban dan kasus itu jauh lebih banyak dari kasus yang sekarang ini ditangani oleh UNTAET, yang dikenal sebagai kasus kejahatan serius (serious crime). Apa sesungguhnya yang disebut kejahatan serius itu? Dalam Regulasi UNTAET No. 15/ Hak Rakyat Atas Keadilan Catatan tentang Pengadilan Serious Crime Oleh Hilmar Farid 2000 disebutkan, bahwa kejahatan serius itu mencakup konsep kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), pembasmian berdasarkan keturunan (genocide), dan semua tindakan anti-kemanusiaan lainnya. Ada beberapa masalah di sini. Pertama, istilah kejahatan serius itu sendiri, yang seolah-olah mengatakan bahwa semua tindak kekerasan di luar apa yang ditangani oleh UNTAET sekarang, dianggap kurang atau tidak serius. Kita tahu bahwa para pejabat yang menangani persoalan itu tidak bermaksud, setidaknya dalam pidato-pidato resmi mereka mengatakan, bahwa kejatahan di luar 15 kasus yang sekarang sedang diproses itu kurang serius. Tetapi pendapat yang berkembang di masyarakat, Jika melihat apa yang terjadi selama tahun 1999 dan sebelumnya, maka kasus pembunuhan dan tindak kekerasan lainnya tidak mungkin dilihat secara terpisah. Kita tahu bahwa pembunuhan itu sering diikuti dengan tindak kekerasan dan intimidasi terhadap keluarga korban, dan juga penghancuran kehidupan ekonomi mereka. Setiap anak terlantar yang sekarang berkeliaran di jalan-jalan kota Dili adalah korban dari tindak kekerasan yang melanda seluruh Timor Lorosae. tanpa penjelasan memadai seperti biasanya, bisa juga menimbulkan persoalan baru. Kedua, digunakannya KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dalam seluruh proses pengadilan terhadap kejahatan serius tersebut. Perlu diingat bahwa undang-undang yang dipakai itu adalah warisan Indonesia, dan Indonesia mewarisinya dari hukum kolonial. Tidak ada pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan, pembasmian manusia Direito Februari 2001 seperti yang terkandung dalam konsep kejahatan serius, sehingga tentu timbul pertanyaan: Bagaimana mungkin kita mengadili kasus-kasus seperti itu dengan perangkat tidak memadai? Pasal 340 KUHP yang dipakai dalam kasus Joao Fernandes, biasanya hanya dipakai untuk kejahatan biasa, sementara kita tahu kasus pembunuhan itu bukanlah semata-mata karena dendam, perampokan, atau motivasi individual seperti yang tersirat dalam KUHP. Pembunuhan itu dilakukan sebagai bagian dari upaya sistematis menghancurkan Timor Lorosae pasca-referendum. Penggunaan pasal 340 KUHP dengan begitu secara tersirat mengatakan, bahwa apa yang dilakukan oleh Joao Fernandes adalah tindak pidana biasa, tidak ada kaitannya dengan gelombang kekerasan tahun Ketiga, 15 kasus yang sedang diproses ini adalah hasil investigasi UNTAET bekerjasama dengan sejumlah lembaga dan individu. Tetapi keputusan akhir nampaknya tetap berada di tangan UNTAET yang kemudian menyerahkannya kepada tim jaksa dan hakim untuk diadili. Hampir tidak ada pembicaraan kecuali dalam konteks meminta informasi dengan para korban pelanggaran. Artinya, seluruh pengertian serius atau kurang dan tidak serius itu dilakukan berdasarkan keputusan penguasa administratif. Keadilan Bagi Korban Jika melihat apa yang terjadi selama tahun 1999 dan sebelumnya, maka kasus pembunuhan dan tindak kekerasan lainnya tidak mungkin dilihat secara terpisah. Kita tahu bahwa pembunuhan itu 8

9 O p i n i Foto: atoy Tidak ada jawaban pasti yang dihadapi setiap masyarakat korban atas peristiwa kekerasan di Timor Lorosae sering diikuti dengan tindak kekerasan dan intimidasi terhadap keluarga korban, dan juga penghancuran kehidupan ekonomi mereka. Setiap anak terlantar yang sekarang berkeliaran di jalan-jalan kota Dili adalah korban dari tindak kekerasan yang melanda seluruh Timor Lorosae. Memang tidak selalu orang tua mereka meninggal dunia atau hilang, tetapi kita tahu pasti bahwa kehadiran mereka di jalan-jalan pada malam hari bukanlah atas keinginan sendiri. Begitu pula dengan para janda yang sekarang harus merawat anak-anak yang masih tersisa dan menyambung hidupnya sendiri dalam kondisi luar biasa sulit. Mereka juga merupakan korban dari gelombang kekerasan. Dapat dipastikan bahwa keadilan menurut para korban ini bukan hanya berarti hukuman berat bagi para pelaku kejahatan. Apalagi kalau hanya satu-dua orang yang dijatuhi hukuman, sementara para pejabat dan komandan yang memberikan instruksi dan mengendalikan operasi kekerasan itu masih hidup senang dan tenteram setelah seluruh kejadian itu berlalu. Hukuman hanya menyelesaikan satu aspek dari ketidakadilan, yakni bahwa pelaku diberi ganjaran setimpal. Tetapi perlu diingat betapa pun hebatnya hukuman yang dijatuhkan, kehancuran sosial-ekonomi yang sekarang mereka derita belum terjawab. Tidak ada misalnya keputusan mengenai rehabilitasi dan kompensasi bagi para korban yang diputuskan oleh pengadilan. Jika melihat bahwa kasus-kasus kekerasan itu tidak berdiri sendiri, maka sudah barang tentu keputusan mengenai nasib para korban juga tidak mungkin dilakukan secara individual. Tidak mungkin misalnya proses rehabilitasi dan kompensasi hanya diberlakukan untuk korban dan keluarga korban dari 15 kasus yang sekarang diproses. Kita tahu, dan selama ini selalu bicara, bahwa semua rakyat Timor Lorosae menjadi korban. Bagaimanapun kita tahu bahwa pengadilan dan sistem keadilan yang hendak dibangun sekarang masih memiliki banyak kelemahan. Jaksa dan hakim dibayar rendah, fasilitas pengadilan untuk melakukan pemeriksaan, investigasi dan memproses kasus-kasus yang sangat terbatas, kerjasama antara penguasa administratif dengan petugas pengadilan yang pasang-surut, dan segudang masalah lain. Karena itu, mungkin, masalah penegakan keadilan tidak mungkin sepenuhnya diserahkan kepada proses pengadilan. Bukan hanya karena alasan-alasan teknis, tetapi juga karena alasan yang sangat mendasar yang disebutkan di atas. Kesejahteraan, Demokrasi dan Kedamaian Di Indonesia sendiri ada perdebatan ya ng hebat tentang cara menyelesaikan masalah kekerasan di masa lalu. Seperti di Timor Lorosae, ada jutaan orang yang menjadi korban keganasan rezim Orde Baru, dan belum ada kasus yang sampai sekarang diusut tuntas dan diadili dengan standar internasional. Hampir semua pelaku dibiarkan lolos atau mendapat hukuman ringan, karena didakwa melanggar prosedur. Dalam banyak hal, proses penegakan keadilan di Timor Lorosae masih lebih baik. Namun, sudah jelas bahwa pengadilan yang paling jujur, adil dan hebat sekali pun belum bisa menjawab masalah-masalah sosial-ekonomi yang timbul akibat pelanggaran di masa lalu. Bisa dibayangkan berapa juta hektar tanah yang dirampas dengan kekerasan dan memakan korban? Berapa juta orang yang menjadi miskin dan terpaksa hidup dengan menjual tenaganya karena peristiwa kekerasan di masa lalu? Semua itu adalah tumpukan masalah yang dihadapi setiap masyarakat, yang melalui peristiwa kekerasan. Tidak ada jawaban pasti bagi mereka, kecuali tumbuh gerakan rakyat sejati memperjuangkan kesejahteraan, demokrasi dan kedamaian. Kita hanya berharap bahwa kasus-kasus yang sekarang sedang diproses di pengadilan akan membuka jalan bagi kita semua memperjuangkan keadilan sesungguhnya bagi para korban. *** Hilmar Farid adalah anggota FORTILOS (Forum Solidaritas untuk Rakyat Timor Lorosae), Jakarta 9 Direito Februari 2001

10 Serba Serbi Pada awal bulan lalu, Rosito Belo, staf Rumah Rakyat Baucau melakukan negosiasi dengan warga Desa Uagui, Kecamatan Ossu, Viqueque. Di sana terjadi penandatanganan kesepakatan untuk menyelesaikan masalah kasus air bersih di Aslaitula yang terjadi pada awal Desember tahun lalu. Berdasarkan hasil negosiasi, masyarakat setempat meminta agar tim mediasi yang terdiri dari CNRT, UNTAET, FALIN- TIL Distrik Baucau dan Viqueque memberikan penjelasan kepada warga masyarakat tentang untung ruginya mengelola air bersih di Bukit Larigutu itu. Masalah lain yang ditangani adalah melakukan investigasi atas masalah penganiayaan yang dilakukan oleh Nahakbai dari Desa Bahalara-Uain terhadap salah seorang pengungsi yang baru kembali, bernama Napoleao Pinto. Nahakbai menurut penuturan warga setempat, juga diduga sebagai orang yang telah melakukan pembakaran rumah Kegiatan Rumah Rakyat Baucau Dengarkan dan ikuti... penduduk pada 26 September dua tahun lalu. Pada 25 Januari lalu, Lino dan Tito de Aquino melakukan ke beberapa penjara, yakni Penjara Caisahe, Buruma dan Baucau. Berdasarkan hasil monitoring yang mereka lakukan, para tahanan mengaku mendapat perlakuan yang baik oleh petugas penjara. Para tahanan mendapat jatah makan tiga kali sehari dan diberi kesempatan untuk berolahraga. Salah seorang tahanan, bernama Maurizio Prudencia, terdakwa dalam kasus penyerangan di Desa Gariwai, Baucau mengeluhkan tentang tidak pernah mendapat kunjungan dari pastor maupun suster. Pelayanan kesehatan yang kami terima dari pihak MSF kurang efektif terhadap penyakit kami derita. Penyakit yang saya tidak sembuh-sembuh karena hanya diberi obat penurun panas, sementara penyakit saya diakibatkan karena saya pernah disiksa oleh TNI, kata Maurizio.** Pertemuan Dengan Kelompok Tani di Maubara Pada 17 Januari lalu, Pastor Jhon Baptist Hayasih, SJ bersama Yuji dan Shege berdialog dengan anggota kelompok kerja di Maubara, yakni kelompok nelayan dan kelompok tani di Suco Fatubou dan Suco Vaviguinia. Berkat dukungan dan bantuan dari keuskupan Jepang itu, dua kelompok tani di dua wilayah itu kini mampu mengembangkan berbagai hasil pertanian. Lahan seluas meter persegi di Suco Fatubou itu ditanami kacang panjang, sedangkan kelompok tani di Suco Vaviguinia yang berjumlah 15 orang menanami lahan mereka seluas 2 hektar dengan jagung. Sementara kelompok nelayan di Kampung Dadair, Batuboro dan Vaviguinia telah berhasil membuat 12 buah perahu yang dilengkapi dengan lima buah jala. Kepada para tamu dari Keuskupan Jepang mereka menjelaskan, Pengoperasian perahu menunggu acara peresmian secara adat, kata ketua kelompok. Pada akhir kunjungan rombongan melakukan pertemuan dengan koordinator Yayasan Haburas Rai, Saudara Vasco de Jesus. *** Talkshow yang diselenggrakan oleh Yayasan HAK. Debat yang disiarkan di Radio Timor K manek, setiap Sabtu, pukul itu membahas persoalan-persoalan aktual tentang hukum, keadilan, dan hak asasi. Direito Februari

11 Penjahat Perang Harus Diadilli Jika keadilan akan ditegakkan maka proses pengadilan tidak hanya dilakukan atas kejahatan yang terjadi pada tahun 1999, di mana tindakan kejahatan itu dilakukan oleh milisi bersama TNI. Tetapi pengadilan harus memproses kasus-kasus yang terjadi sejak tahun Dengan begitu hukuman bagi para penjahat perang yang dilakukan sejak tahun 1975 itu lebih berat dibandingkan dengan milisi yang telah melakukan tindak kejahatan sepanjang proses referendum lalu. Pertama, tindakan kriminal yang dilakukan oleh milisi pro-indonesia sepanjang proses referendum itu saya i- baratkan seperti pencuri telor. Sedangkan kejahatan yang dilakukan oleh para penjahat perang pada tahun 1975 itu saya ibaratkan sebagai pencuri kerbau. Karena itu proses pengadilan yang dimulai sejak tahun 1975 itu merupakan proses peradilan yang transparan. Kedua, kita ingin menegakkan keadilan di Saya merasa proses peradilan telah berjalan, tetapi keadilan tidak didapatkan oleh keluarga korban. Saya menyaksikan sendiri bagaimana suami saya diseret dari dalam mobil dan kemudian saya tahu ia dibunuh setelah pengumuman hasil referendum. Sebagai istri tentu saja saya tidak akan merasa puas apabila semua pelaku tidak dihukum. Maksud saya, bukan saja pelaku pembunuhan suami dan ayah dari anakanak kami, tetapi juga pelaku-pelaku yang telah membakar rumah-rumah penduduk dan memaksa hampir seluruh masyarakat mengungsi ke Timor Barat. Di mana, dalam pengungsian itu banyak yang kelaparan, menderita sakit, dan tidak sedikit pula yang meninggal dunia. Apakah itu bukan sebuah pelanggaran hak asasi manusia? Mengapa mereka Timor Lorosae tetapi para leader politik sekarang ini malah berbicara masalah rekonsiliasi. Jadi, menurut saya yang menjadi hambatan bagi penegakan keadilan di Timor Lorosae adalah persoalan rekonsiliasi. Menurut saya, boleh saja para pimpinan mengadakan rekonsiliasi tetapi harus melalui beberapa tahapan. Rekonsiliasi harus melalui proses pengadilan setelah seseorang yang bersalah itu diadili dan dijatuhi hukuman yang diputuskan oleh pengadilan, atas nama rakyat Timor Lorosae. Setelah para pelaku tersebut menjalankan hukumannya baru kemudian mereka diterima kembali oleh masyarakat. Setelah si pelaku mendapat pengampunan baru diadakan rekonsiliasi. Itu namanya keadilan. Tetapi kalau hanya rekonsiliasi maka rekonsiliasi itu menjadi hambatan terbesar bagi penegakan s keadilan di Timor Lorosae.** Januario Soares, guru, tinggal di Dili Pelaku Harus Dihukum Seberat-beratnya tidak bisa dihukum? Apakah karena demi rekonsiliasi? Terus terang, tuntutan keluarga korban adalah menginginkan para pelaku kejahatan itu dihukum seberat-beratnya. Bukan hanya dengan putusan hukuman selama 12 tahun, seperti yang dijatuhkan kepada Joao Fernandes. Menurut saya, itu bukan untuk mendapatkan keadilan, tetapi tidak dihargainya keadilan yang diinginkan oleh keluarga korban. Memang proses peradilan telah berjalan, tetapi keadilan tidak didapat oleh korban maupun keluarganya. Keadilan tidak akan ditegakkan apabila semua pelaku, termasuk aktor yang merancang, termasuk para leader pro-indonesia tidak dihukum. Mereka harus dihukum seberat-beratnya untuk memuaskan keluarga korban.** Fransisca Ribeiro, ibu rumahtangga, Metinaro Ami Lian Hukum Di Timor Lorosae Tidak Dihargai Seseorang yang melakukan tindak kejahatan, apalagi tindak kejahatan berat mau tidak mau memang harus dibawa ke pengadilan. Tindakan menghilangkan nyawa seseorang merupakan suatu pelanggaran. Agama pun melarang seseorang melakukan tindakan seperti itu. Karena itu, para pelaku tersebut harus dibawa ke pengadilan dan diproses sesuai hukum yang berlaku dan harus dihukum apabila ia terbukti bersalah. Sebagai contoh, apabila ayah saya dibunuh maka sebagai keluarga korban saya akan berbahagia dan hati saya a- kan tenteram, apabila pembunuh ayah itu diadili dan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di Timor Lorosae. Dengan demikian luka hati saya bisa sedikit terobati. Sekarang ini banyak pelanggaran yang terjadi di Timor Lorosae, tetapi hukum yang digunakan di sini belum efektif. Dan itu sangat tergantung pada pemerintah yang berkuasa untuk menentukan suatu hukum yang betul-betul efektif. Saat ini hukum yang diberlakukan di Timor Lorosae bermacam-macam. Kenapa? Karena ada banyak negara yang berada di sini dan hukum yang diterapkan pun bermacam-macam pula. Bahkan ada di antara mereka yang tidak menghargai hukum yang diberlakukan di Timor Lorosae. Contohnya, apabila staf internasional yang melakukan pelanggaran di sini maka yang bersangkutan a- kan disidangkan di negara asalnya, bukan di Timor Lorosae. Soal perjuangan untuk mendapatkan keadilan bagi korban dan keluarga korban? Sejauh ini masalah itu memang belum pernah dibahas di dalam sidang di National Council. Tetapi, bukan tak mungkin kami akan memperjuangkannya demi menegakan keadilan di Timor Lorosae.** Ana Paula Sequira, anggota Nacional Council mewakili masyarakat OeCusse, Distrik Ambeno 11 Direito Februari 2001

12 Ami Lian Keadilan Harus Ditegakkan Menurut saya, pengadilan atas kasus kejahatan berat bisa dilihat dari dua aspek. Pertama, apa yang harus dilakukan agar pihak korban mendapatkan kompensasi atas kerugian yang telah dialami. Kedua, pihak yang melakukan kejahatan harus dihukum. Contohnya, Joao Fernandes yang telah divonis 12 tahun berdasarkan apa yang telah ia perbuat. Tetapi, menurut saya itu belum cukup karena apa yang bisa ia perbuat dan juga apa yang bisa pemerintah lakukan untuk memuaskan pihak korban dengan memberikan suatu hukuman yang adil? Untuk keluarga korban jika dilihat dari aspek moral, maka pelaku harus meminta maaf kepada keluarga korban dan bagaimana ia memberikan semacam kompensasi kepada keluarga ataupun pihak yang telah dirugikan. Joao Fernandes mungkin hanya sekadar diperalat. Dan kita harus mencari tahu siapa sebenarnya yang menjadi o- tak dari semua kejadian ini, tetapi yang ditangkap justru hanya orang-orang kecil saja. Di Timor Lorosae saat ini ada banyak pelaku yang masih berkeliaran karena ketika mereka kembali ke sini, mereka diterima kemudian dibiarkan bebas. Banyak orang mengatakan, mereka yang pernah terlibat dalam tindak kejahatan sepanjang proses referendum, mengapa tidak ada proses yang serius? Untuk itu, saya meminta agar hukum di Timor Lorosae dapat berlaku secara adil untuk semua orang, terutama para aktor-aktor tindak kejahatan. Dari aspek politik kita setuju dengan proses rekonsiliasi yang sedang berjalan. Kita harus saling menerima agar dapat membangun Timor Lorosae, tetapi jika dilihat dari aspek hukum maka keadilan harus ditegakkan.**gregorio Saldanha da Cunha, Presiden Organisacao Juventude de Timor Leste Bantuan Legal Harus Seimbang Saya pernah mengeluarkan siaran pers, tentang proses persidangan kasus tindak kejahatan berat itu pada awalnya mengandung ketidak-adilan. Kenapa? Di sana ada satu keputusan dari hakim panel yang kemudian ditinjau ulang. Mereka meninjau ulang terhadap keputusan pengadilan pada tanggal 10 Januari lalu. Padahal tidak ada satu pun regulasi UNTAET yang mengatakan demikian, dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk melakukan peninjauan ulang. Sebagai public defender, kami melihat apa yang diungkapkan oleh jaksa penuntut umum itu telah melanggar hakhak klien kami. Tetapi kami akan tetap berdiri di depan klien dengan melakukan pembelaan dan bantahan-bantahan yang bersifat legal. Keadilan bagi para terdakwa kasus serious crime? Menurut saya, keadilan itu tidak absolut. Keadilan itu sifatnya relatif. Sangat relatif. Memang ketika mendampingi mereka, kadang-kadang kami berada dalam situasi yang sulit. Kami harus berhadapan dengan hakim dan jaksa internasional, tetapi untuk sementara waktu kami didampingi oleh pengacara internasional. Mereka memberikan bantuan-bantuan yang bersifat legal. Kami harus mampu melihat, meskipun keadilan itu bersifat relatif, tetapi kami bisa memberikan perlindungan dan memberi bantuan legal secara balance atau seimbang terhadap apa yang dituduhkan oleh jaksa penuntut umum kepada klien kami. Seperti persidangan atas terdakwa Carlos Soares, yang juga anggota Milisi Darah Merah pada 16 Februari lalu, kami memperdebatkan masalah perpanjangan masa penahanan bagi terdakwa.**cansio Xavier, Public Defender Pengadilan Distrik Dili Mereka Boleh Datang, Pengadilan Terus Jalan! Kami mengalami kesulitan dalam menyikapi perkembangan politik dan hukum di Timor Lorosae.Sekarang, Cancio Lopes de Carvalho, Komandan Milisi MAHIDI (Mati Hidup Demi Integrasi) bersama dengan anggotanya akan kembali ke Distrik Ainaro. Mereka meminta pula jaminan dari kami. Ini masalah. Sepanjang proses referendum mereka telah menteror dan mengintimidasi rakyat. Mereka telah membunuh keluarga kami, mengusir dan mengevakuasi rakyat secara paksa ke Timor Barat. Mereka pula yang telah menghancurkan seluruh bangunan di seluruh wilayah ini. Sebagai penanggungjawab CNRT Sub-distrik Hato-Udo, kami harus meyakinkan warga di sini. Terus-terang, mereka paling dibenci oleh masyarakat di sini akibat tindak kejahatan yang telah mereka lakukan. Demi tegaknya hukum dan keadilan di Timor Lorosae, kami meminta kepada para pembesar politik agar tetap memproses mereka secara hukum. Cansio kan terkenal karena kejahatan yang telah dilakukannya. Bagaimana mungkin dia akan kembali begitu saja. Masyarakat di sini tidak akan menerima begitu saja. Di wilayah Sub-distrik Hato-Udo saja ada delapan orang yang telah dibunuh oleh anggota TNI bersama milisi anak buah Cancio Lopes. Yang jelas, kami tetap akan menuntut pertanggungjawaban secara hukum atas perbuatan mereka--untaet juga harus bertanggungjawab. Karena sekarang kita berada di bawah pemerintahan UN- TAET, maka PBB juga memiliki tanggungjawab untuk menuntut pertanggungjawaban hukum kepada anggota TNI yang diketahui terlibat dalam kejahatan sepanjang proses referendum lalu.**henrique Luz Laranjeira, Kordinator CNRT Sub-distrik Hato-Udo, Ainaro. Redaksi Direito Neves, Julio, Nk, Lito, Ti, Oscar, Julito, Avan, Viana, Edio Diterbitkan atas dukungan:

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 Pelanggaran HAM Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

REGULASI NO. 2000/14

REGULASI NO. 2000/14 PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA Administrasi Transisi Perserikatan Bangsa- Bangsa di Timor Lorosae NATIONS UNIES Administrasion Transitoire des Nations Unies in au Timor Oriental UNTAET UNTAET/REG/2000/14 10

Lebih terperinci

MAKALAH AKSES KE KEADILAN: MENDISKUSIKAN PERAN KOMISI YUDISAL. Oleh: Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si

MAKALAH AKSES KE KEADILAN: MENDISKUSIKAN PERAN KOMISI YUDISAL. Oleh: Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si INTERMEDIATE HUMAN RIGHTS TRAINING BAGI DOSEN HUKUM DAN HAM Hotel Novotel Balikpapan, 6-8 November 2012 MAKALAH AKSES KE KEADILAN: MENDISKUSIKAN PERAN KOMISI YUDISAL Oleh: Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si

Lebih terperinci

AMNESTY INTERNATIONAL SIARAN PERS

AMNESTY INTERNATIONAL SIARAN PERS AMNESTY INTERNATIONAL SIARAN PERS Tanggal Embargo: 13 April 2004 20:01 GMT Indonesia/Timor-Leste: Keadilan untuk Timor-Leste: PBB Berlambat-lambat sementara para pelaku kejahatan bebas berkeliaran Pernyataan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

UNOFFICIAL TRANSLATION

UNOFFICIAL TRANSLATION UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

Tentang Pendirian Kantor Catatan Sipil demi Timor Lorosae

Tentang Pendirian Kantor Catatan Sipil demi Timor Lorosae PERSERIKATAN BANGSA-BANGS Administrasi Transisi Perserikatan Bang bangsa di Timor Lorosae UNTAET NATIONS UNIES Administration Transitoire des Natio Unies in au Timor Oriental UNTAET/REG/2001/3 16 March

Lebih terperinci

REGULASI NO. 2000/11

REGULASI NO. 2000/11 PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA Administrasi Transisi Perserikatan Bangsabangsa di Timor Lorosae NATIONS UNIES Administrasion Transitoire des Nations Unies in au Timor Oriental UNTAET UNTAET/REG/2000/11 6 Maret

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

SIARAN PERS LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) PADANG Nomor : 03/S.Pers/LBH-PDG/II/2017 tentang

SIARAN PERS LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) PADANG Nomor : 03/S.Pers/LBH-PDG/II/2017 tentang SIARAN PERS LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) PADANG Nomor : 03/S.Pers/LBH-PDG/II/2017 tentang CATATAN AWAL TAHUN FAIR TRIAL TUMPULKAH HUKUM TERHADAP APARAT PELAKU KEKERASAN? Gambar 1 jumlah kasus 2010-2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud 15 Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Adapun jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, sebagai berikut: 1. Kejahatan Genosida

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelanggaran hak asasi

Lebih terperinci

UNTAET Administrasi Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Lorosae REGULASI NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG SUSUNAN KEJAKSAAN DI TIMOR TIMUR

UNTAET Administrasi Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Lorosae REGULASI NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG SUSUNAN KEJAKSAAN DI TIMOR TIMUR UNITED NATIONS NATIONS UNIES United Nations Transitional Administration Administration Transitoire des Nations Unies in East Timor au Timor Oriental UNTAET Administrasi Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa

Lebih terperinci

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Oleh Agung Putri Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Implementasi

Lebih terperinci

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Disajikan dalam kegiatan pembelajaran untuk Australian Defence Force Staff di Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Indonesia 10 September 2007

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Prinsip Dasar Peran Pengacara

Prinsip Dasar Peran Pengacara Prinsip Dasar Peran Pengacara Telah disahkan oleh Kongres ke Delapan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) mengenai Pencegahan Kriminal dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelanggaran hak asasi manusia

Lebih terperinci

13. KESIMPULAN. Majelis Hakim Yang Terhormat

13. KESIMPULAN. Majelis Hakim Yang Terhormat 13. KESIMPULAN Majelis Hakim Yang Terhormat Maksud saya menuliskan Pembelaan saya sendiri adalah untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang mudah dipahami, dengan demikian agar tidak ada lagi keraguan

Lebih terperinci

kliping ELSAM KLP: RUU KKR-1999

kliping ELSAM KLP: RUU KKR-1999 KLP: RUU KKR-1999 KOMPAS - Senin, 28 Jun 1999 Halaman: 1 Penulis: FER/AS Ukuran: 5544 RUU HAM dan Komnas HAM: Jangan Hapuskan Pelanggaran HAM Orba Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN

Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN Negara-negara Pihak pada Konvensi ini, Memperhatikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam instrumen-instrumen

Lebih terperinci

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

15B. Catatan Sementara NASKAH REKOMENDASI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional

15B. Catatan Sementara NASKAH REKOMENDASI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional Konferensi Perburuhan Internasional Catatan Sementara 15B Sesi Ke-100, Jenewa, 2011 NASKAH REKOMENDASI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA 15B/ 1 NASKAH REKOMENDASI TENTANG PEKERJAAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan terhadap saksi pada saat ini memang sangat mendesak untuk dapat diwujudkan di setiap jenjang pemeriksaan pada kasus-kasus yang dianggap memerlukan perhatian

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

R201 Rekomendasi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Rangga, 2011

R201 Rekomendasi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Rangga, 2011 R201 Rekomendasi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Rangga, 2011 2 R-201: Rekomendasi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Rangga, 2011 R201 Rekomendasi tentang Pekerjaan Yang Layak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI Seri Advokasi kebijakan # Perlindungan Saksi RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jalan siaga II No 31 Pejaten

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak merupakan semua hal yang harus kalian peroleh atau dapatkan. Hak bisa berbentuk kewenangan atau kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hak yang diperoleh merupakan akibat

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

PENYULUHAN INFORMASI DARI BAGIAN KEJAHTAN BERAT

PENYULUHAN INFORMASI DARI BAGIAN KEJAHTAN BERAT PENYULUHAN INFORMASI DARI BAGIAN KEJAHTAN BERAT TUNTUTAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN UNTUK MANTAN MENTERI PERTAHANAN INDONESIA, KOMANDAN MILITER TERTINGGI INDONESIA DAN GUBERNUR TIMOR LESTE Resolusi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan masyarakat, sehingga berbagai dimensi hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1991 TENTANG TATA CARA PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT, PEMBERHENTIAN TIDAK DENGAN HORMAT, DAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA SERTA HAK-HAK HAKIM AGUNG DAN HAKIM

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia saat ini sedang menghadapi berbagai masalah sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan. Permasalahan yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan telah diratifikasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG !"#$%&'#'(&)*!"# $%&#'''(&)((* RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

BAGIAN I PEREMPUAN DI GARIS DEPAN

BAGIAN I PEREMPUAN DI GARIS DEPAN BAGIAN I PEREMPUAN DI GARIS DEPAN 1 MOGOK Oleh: Susi 2 Pagi itu langit cerah. Di kawasan industri Pasar Kemis, Tangerang, sebuah perusahaan memasang pengumuman tentang adanya lowongan kerja. Syarat bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

KASUS ETIKA PROFESI KASUS ANGELINE. Pembunuhan Berencana Angeline

KASUS ETIKA PROFESI KASUS ANGELINE. Pembunuhan Berencana Angeline KASUS ETIKA PROFESI KASUS ANGELINE Pembunuhan Berencana Angeline A. IDENTIFIKASI ISU 1. ISU FAKTUAL - APA YANG TERJADI? Pembunuhan berencana Angeline yang dilakukan oleh ibu angkat dan pembantunya. - DIMANA

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI KASUS POLRESTA SURAKARTA) SKRIPSI

Lebih terperinci

PROGRESS REPORT IX. Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Jakarta, 20 Desember 2002.

PROGRESS REPORT IX. Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Jakarta, 20 Desember 2002. PROGRESS REPORT IX Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur Jakarta, 20 Desember 2002. KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN TANPA PENANGGUNG JAWAB Lembaga Studi dan Advokasi

Lebih terperinci

dengan pilihan mereka sendiri dan hak perundingan bersama. 2.2 Pihak perusahaan menerapkan sikap terbuka terhadap aktivitas-aktivitas serikat

dengan pilihan mereka sendiri dan hak perundingan bersama. 2.2 Pihak perusahaan menerapkan sikap terbuka terhadap aktivitas-aktivitas serikat Kode Etik Pemasok Kode Etik Pemasok 1. KEBEBASAN MEMILIH PEKERJAAN 1.1 Tidak ada tenaga kerja paksa atau wajib dalam bentuk apa pun, termasuk pekerjaan terikat, perdagangan manusia, atau tahanan dari penjara.

Lebih terperinci

TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara mengakui, menghormati dan melindungi

Lebih terperinci

perkebunan kelapa sawit di Indonesia

perkebunan kelapa sawit di Indonesia Problem HAM perkebunan kelapa sawit di Indonesia Disampaikan oleh : Abdul Haris Semendawai, SH, LL.M Dalam Workshop : Penyusunan Manual Investigasi Sawit Diselenggaran oleh : Sawit Watch 18 Desember 2004,

Lebih terperinci

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelaku Kejahatan Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September

Lebih terperinci

KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965*

KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965* MASALAH IMPUNITAS DAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965* Oleh MD Kartaprawira Bahwasanya Indonesia adalah Negara Hukum, dengan jelas tercantum dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Siapa pun tidak bisa mengingkari.

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA UUD 1945 Tap MPR Nomor III/1998 UU NO 39 TAHUN 1999 UU NO 26 TAHUN 2000 UU NO 7 TAHUN 1984 (RATIFIKASI CEDAW) UU NO TAHUN 1998 (RATIFIKASI KONVENSI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) NAMA : HARLO PONGMERRANTE BIANTONG NRS : 094 PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK) Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184 UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] BAB XVI KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Pertama Ketentuan Pidana Pasal 183 74 1, dikenakan sanksi pidana

Lebih terperinci