BAB II KEPATUHAN PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA HIBAH ATAS TANAH DAN BANGUNAN BERDASARKAN UU BPHTB. A. Dasar Hukum Pengenaan dan Cara Perhitungan BPHTB

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KEPATUHAN PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA HIBAH ATAS TANAH DAN BANGUNAN BERDASARKAN UU BPHTB. A. Dasar Hukum Pengenaan dan Cara Perhitungan BPHTB"

Transkripsi

1 BAB II KEPATUHAN PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA HIBAH ATAS TANAH DAN BANGUNAN BERDASARKAN UU BPHTB A. Dasar Hukum Pengenaan dan Cara Perhitungan BPHTB 1. Dasar Hukum BPHTB Aturan yang menjadi dasar hukum pemungutan BPHTB di Indonesia adalah sebagai berikut: 1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Undang-Undang ini diundangkan pada tanggal 29 Mei 1997 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari Akan tetapi, karena gejolak moneter yang terjadi Indonesia masa berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 ditangguhkan selama enam bulan dari tanggal 1 Januari 1998 sampai dengan tanggal 30 Juni Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerntah Pengganti Undng-Undang Nomor 1 Tahun 1997, yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang melaui Undang-Undang Nomor 1 Tahun ) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1997 tentang Penanggulangan Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. PERPU ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1997 dan dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan. 3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 tentang Penangguhan Mulai

2 Berlaknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 disahkan pada tangal 16 Februari 1998 dan dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan. 4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Diundangkan tanggal 02 Agustus 2000 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari ) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1997 tentang Pelaporan atau Pemberitahuan Perolehan Hak AtasTAnah dan atau Bangunan. 6) Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Waris dan Hibah Wasiat. 7) Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Pemberian Hak Pengelolaan. 8) Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tentang Penetnuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 9) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 10) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 11) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 519/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pembagian Hasil Penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

3 12) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 87/KMK.03/2002 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 13) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-21/PJ/1997 tentang Petunjuk Pelaksanan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan Bentuk serta Fungsi Surat Setoran BPHTB (SSB). 14) Keputusan Direktur Jeneral Pajak Nomor Kep-22/PJ/1997 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 15) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-24/PJ/2000 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar (SKP-LB) dan Perhitungan Kelebihan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 16) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-221/PJ/2002 tentang Tata Cara Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 2. Dasar Pengenan dan Cara Perhitungan Pajak a. Dasar Pengenaan Pajak Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) UU BPHTB, yang menjadi dasar pengenaan pajak pada BPHTB adalah Nilai Perolehan Pbjek Pajak (NPOP). Karena pada dasarnya ada lima belas jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan yang menjadi objek pajak, setiap jenis peralihan hak tersebut harus ditentukan Nilai Perolehan

4 Pbjek Pajaknya. Pasal 6 ayat (2) menentukan yang menjadi NPOP sebagai dasar pengenaan pajak pada masing-masing jenis perolehan hak, adalah: 53 a. Pada perolehan hak karena jual beli, yang menjadi NPOP adalah harga transaksi. b. Pada perolehan hak karena tukar-menukar, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. c. Pada perolehan hak karena hibah, yang menjadi NPOP adala nilai pasar. d. Pada perolehan hak karena hibah wasiat, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. e. Pada perolehan hak karena waris, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. f. Pada perolehan hak karena pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. g. Pada perolehan hak karena pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar h. Pada perolehan hak karena peralihan hak sebagai pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar i. Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar j. Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. k. Pada perolehan hak karena penggabungan usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. l. Pada perolehan hak karena peleburan usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. m. Pada perolehan hak karena pemekaran usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. n. Pada perolehan hak karena hadiah, yang menjadi NPP adalah nilai pasar. o. Pada perolehan hak karena penunjuk pembeli dalam lelang, yang menjadi NPOP adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang. Walaupun ada lima belas jenis perolehan hak yang mempunyai NPOP tersendiri, tetapi pada dasarnya hanya ada tiga jenis harga atau nilai yang menjadi NPOP, yaitu harga transaksi, nilai pasar, dan harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang, sebagaimana dijelaskan berikut ini: Ibid., hal Ibid., hal

5 1. Harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihakpihak yang bersangkutan (penjual dan pembeli). 55 Harga transaksi menunjukkan besarnya uang yang diserahkan oleh pembeli untuk memperoleh tanah dan bangunan yang dibelinya keapda penjual sebagai pemilik tanah dan bangunan. Pengertian yang sangat penting pada hara trsanksi adalah bahwa harga transaksi merupakan harga riil objek jual beli yang disepakati oleh kedua belah pihak penjual dan pembeli, tanpa harus berpatokan pada nilai pasar objek yang diperjualbelikan. Penjual dan pembeli bebas untuk melakukan kesepakatan harga yang sesuai bagi kedua belah pihak, bisa sama, lebih rendah, atau lebih tinggi dari harga pasar objek tersebut. 2. Nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan. 56 Nilai pasar mencerminkan jumlah uang yang seharusnya diterima oleh penjual sebagai pemilik tanah dan bangunan dan yang seharusnya diserahkan oleh pembeli sebagai pihak yang menerima hak atas tanah dan bangunan yang diperjualbelikan. Nilai pasar biasanya ditentukan oleh penilai independen yang terlepas dari berbagai kepentingan atas objek atau properti yang dinilai. Dengan demikian nilai yang dihasilkan oleh penilai independen akan dapat mencerminkan nilai pasar properti yang sebenarnya. 3. Harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang adalah harga riil yang ditentukan oleh pejabat lelang atas tawaran harga tertinggi yang diajukan oleh peserta lelang. 57 Harga lelang umumnya berada di bawah nilai pasar dari objek yang dilelang mengingat pada lelang peserta lelang umumnya akan memberikan harga penawaran yang menurut perkiraannya berada di bawah harga pasar objek yang dilelang. Terkait dengan ketiga nilai NPOP di atas yang merupakan tugas Notaris/PPAT hanya merujuk pada nilai transaksi dan nilai pasar, kecuali Notaris/PPAT tersebut dalam kaitan pelaksanaan lelang. Sebagai pajak yang dikenakan pada perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, BPHTB menghendaki bahwa BPHTB dihitung dari dasar pengenaan pajak 55 Penjelasan Pasal 6 ayat (6) huruf a UU BPHTB. 56 Penjelasan Pasal 6 ayat (2) huruf b. 57 Pasal 1 angka 21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

6 yang riil (yang sebenarnya) sebagai cerminan nilai dari properti yang dialihkan. Hal ini menghendaki bahwa harga transaksi jual beli yang dilaporkan adalah mendekati nilai pasar wajar properti tersebut. Hal ini kadang sulit diterapkan mengingat besarnya harga transaksi akan mempengaruhi biaya-biaya yang berkaitan dengan transaksi tersebut, seperti biaya PPAT, Pajak Penghasilan, biaya pengurusan sertifikat, dan biaya lain yang berkaitan. Oleh karena itu pihak penjual dan pembeli memiliki kecenderungan untuk tidak mencantumkan harga transaksi yang sesungguhnya pada akta jual beli yang dibuat dengan maksud untuk mengurangi biaya yang harus ditanggung oleh penjual dan pembeli. Nilai pasar secara umum ditetapkan menjadi dasar pengenaan pajak pada perolehan hak selain karena jual beli dan lelang. Hal ini menghendaki untuk setiap tanah dan bangunan diketahui berapa nilai pasarnya. Selanjutnya menentukan dasar pengertian pajak dibutuhkan suatu unsur sebagai penyangga manakala atas suatu transaksi jual beli harga transaksi yang disepakati penjual dan pembeli serta dituangkan dalam akta jual beli bukan merupakan harga transaksi yang sebenarnya, dan apabila nilai pasar objek perolehan hak tidak diketahui berapa besarnya. Untuk itu UU BPHTB menetapkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai penyangga dari dua keadaan yang telah dikemukakan di atas. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan harga transaksi dan nilai pasar dengan NJOP tanah dan bangunan yang menjadi objek perolehan hak, dengan ketentuan mana yang nilainya paling tinggi itulah yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan pajak. Pada lelang dipandang tidak diperlukan penyangga harga riil yang

7 terjadi dari perolehan hak atas properti yang dilelang, sehingga tidak perlu dilakukan perbandingan harga trsanksi dalam lelang dengan NJOP. b. NPOP DPP Pengenaan pajak peralihan hak atas tanah yang menjadi NPOP penyangga adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), di mana dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis, yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya. Nilai perolehan baru adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tertentu. Nilai jual pengganti adalah antara pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.

8 Objek PBB adalah bumi dan atau bangunan. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokkan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang. Menentukan klasifikan bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. Letak tanah b. Peruntukan c. Pemanfaatan d. Kondisi lingkungan dan lain-lain Sedangkan menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. Bahan yang digunakan b. Rekayasa c. Letak d. Kondisi lingkungan dan lain-lain. Besarnya NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk masingmasing Kabupaten/Kota dengan besar setingi-tingginya Rp ,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu Objek Pajak yang nilainya terbesar, sedangkan Objek Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP. 58 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh berikut ini: 58 Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan menetapkan besarnya NJOPTKP dengan mempertimbangan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat.

9 a. Seorang Wajib Pajak mempunyai Objek Pajak berupa bumi dan bangunan Rp ,- dan besarnya NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah Rp ,-. Karena NJOP berada di bawah batas NJOPTKP (Rp ,00), maka objek pajak tersebut tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. b. Seorang Wajib Pajak mempunyai Objek Pajak berupa bumi dan bangunan di Desa A dan Desa B dengan nilai sebagai berikut: Desa A: NJOP Bumi Rp ,00 NJOP Bangunan Rp ,00 Desa B: NJOP Bumi Rp ,00 NJOP Bangunan Rp ,00 NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah Rp ,00. Dengan data tersebut di atas, maka NJOP untuk perhitungan PBB: Langkah pertama adalah mencari NJOP dari dua desa tersebut yang mempunyai nilai paling besar, yaitu Desa A, maka NJOP untuk perhitungan PBB adalah: NJOP Bumi Rp ,00 NJOP Bangunan ,00 NJOP sebagai dasar pengenaan PBB Rp ,00 NJOPTKP ,00 NJOP untuk penghitungan PBB Rp ,00 Kemudian untuk desa B: NJOP untuk penghitungan PBB: NJOP Bumi Rp ,00 NJOP Bangunan ,00 NJOP sebagai pengenaan PBB Rp ,00 NJOPTKP 0,00 NJOP untuk penghitungan PBB Rp ,00 Wajib Pajak pada contoh poin b di atas mempunyai beberapa objek pajak, yaitu di Desa A dan B maka yang diberikan NJOP Tidak Kena Pajak hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar yaitu di Desa A, sedangkan objek pajak yang berada di Desa B tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak. NJOP Bumi atau NJOP Bangunan sebagaimana disebutkan di atas dihitung sesuai luas bumi (tanah) dan bangunan dengan harga per meter kubik sesuai kelas

10 masing-masing yang telah ditentukan dalam Lampiran IA dan IIA Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998 tentang pengaturan Klasifikasi, Penggolongan, dan Ketentuan Nilai Jual Permukaan Bumi (Tanah) dan Bangunan. Sebagai contoh dapat dilihat dari Penghitungan pajak PBB DJP Sumatera Utara Medan I No.SPPT (NOP) : tanggal 02 Januari 2008,yaitu suatu tanah dan bangunan di Kota Medan, dengan luas tanah 110 M2 kelas A21 dan bangunan luas 72 M2 kelas A13, dengan ketentuan NJOPTKP untuk Kota Medan Rp ,00,- perhitungan NJOP PBB sebagai berikut: Objek Pajak Luas (M2) Kelas Harga Per M2 Bumi 110 A21 464, Bangunan 72 A13 162, Maka NJOP sebagai dasar pengenaan pajak PBB: NJOP Bumi = 110 x Rp ,00 = Rp ,00 NJOP Bangunan = 72 x Rp ,00 = Rp ,00 NJOP sebagai dasar pengenaan pajak PBB = Rp ,00 NJOPTKP (untuk Kota Medan) = Rp ,00 NJOP untuk penghitungan PBB = Rp ,00 Atas dasar NJOP untuk penghitungan PBB maka dapat dilakukan penghitungan PBB terutang sesuai Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1994 tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen), dari persentase Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Sedangkan persentase nilai jual objek pajak ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 sebagai berikut: a. Objek pajak perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar 40% (empat puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak.

11 b. Objek pajak lainnya: i. sebesar 40% (empat puluh persen) dari nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek Pajaknya Rp ,00 (satu miliar rupiah) atau lebih. ii. sebesar 20% (dua puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek Pajaknya kurang dari Rp ,00 (satu miliar rupiah). Berdasarkan ketentuan persentase di atas maka besarnya pajak terutang PBB dihitung dengan cara: tarif pajak (0,5%) dikalikan dengan nilai jual kena pajak (NJKP), sebagai berikut: Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif Pajak x NJKP = 0,5% x (Presentase NJKP x (NJOP-NJOPTKP)). Maka dari penghitungan PBB No.SPPT (NOP): tanggal 02 Januari 2008, dengan NJOP untuk penghitungan PBB Rp ,00 sebagaimana telah dikemukakan di atas, PBB terutang adalah: PPB terutang = 0,5% x (20% x ,00) = ,00. Selanjutnya, ketentuan Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP untuk penghitungan PBB) ini sangat terkait dengan perhitungan BPHTB, karena sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) UU BPHTB apabila Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, yang menjadi dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. Dengan membandingkan harga transaksi dan nilai pasar dengan NJOP maka NJOP ditetapkan sebagai penyangga penetapan dasar pengenaan pajak agar dasar pengenaan pajak mencerminkan nilai riil dari tanah dan bangunan yang menjadi objek perolehan hak.

12 Dipilihnya NJOP sebagai penyangga ini dengan alasan bahwa pada Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998 NJOP PBB merupakan cerminan nilai pasar wajar setiap obyek pajak bumi (tanah) dan bangunan yang ada di Indonesia. Hal ini terlihat dari definisi NJOP, yaitu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, yang juga merupakan pengertian dari niliai pasar properti. NJOP yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB atas tanah dan bangunan yang menjadi objek BPHTB. Dalam praktik sehari-hari NJOP tersebut dapat dengan mudah dilihat pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan PBB yang wilayah kerjanya meliputi tempat objek pajak berada. Untuk dapat diterbitkan SPPT, objek pajak bumi (tanah) dan bangunan dimaksud harus sudah terdaftar pada Kantor Pelayanan PBB setempat. Dengan demikian, dalam pemenuhan kewajiban BPHTB, wajib pajak harus memiliki SPPT atas objek pajak dimaksud, apabila belum diterbitkan SPPT, wajib pajak (pemilik tanah dan bangunan) harus terlebih dahulu mendaftarkan objek pajak tersebut ke Kantor Pelayanan PBB setempat agar dapat diterbitkan SPPT atas bumi (tanah) dan bangunan dimaksud. Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (4) UU BPHTB ditegaskan bahwa apabila NJOP PBB sebagaimana dimaksud sebagai dasar pengenaan pajak belum ditetapkan, besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Hal ini sering terjadi pada saat perolehan hak atas tanah dan bangunan dilakukan bulan Januari atau Februari, di mana pada saat itu Kantor Pelayanan PBB belum menerbitkan SPPT kepada wajib pajak berkaitan dengan administrasi perpajakan. Dengan demikian NJOP yang biasanya tercantum pada SPPT belum diketahui oleh wajib pajak maupun pejabat

13 yang berwenang sehubungan dengan BPHTB. Kondisi ini tentunya tidak boleh membuat wajib pajak menunda pemenuhan BPHTB yang berakibat tertundanya perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut Untuk mengatasi hal demikian, Kepala Kantor Pelayanan PBB atas nama Menteri Keuangan akan menetapkan NJOP atas objek perolehan hak dimaksud pada saat (tahun) terjadinya perolehan hak dengan cara mengeluarkan Surat Keterangan NJOP atas objek pajak dimaksud. Surat Keterangan NJOP memuat nama wajib pajak (PBB), luas tanah dan luas bangunan, NJOP tanah dan bangunan per m 2, serta total NJOP tanah dan bangunan tersebut. Surat Keterangan NJOP ini memiliki kekuatan hukum yang sama dengan SPPT dalam hal penetapan NJOP objek dimaksud pada tahun bersangkutan karena NJOP yang tertera pada Surat Keterangan NJOP adalah sama dengan NJOP yang akan tercantum dalam SPPT. Penghitungan NJOP tanah dan bangunan yang digunakan sebagai perbandingan terhadap harga transaksi atau nilai pasar dapat dilakukan dengan menggunakan data yang tertera pada Surat Keterangan NJOP dimaksud. Dengan demikian wajib pajak tidak terhalangi untuk melakukan pembayaran BPHTB terutang sehingga akta perolehan hak dapat ditandatangani oleh pejabat (PPAT) yang berwenang. c. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOP Tidak Kena Pajak) adalah suatu besaran tertentu dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang tidak dikenakan pajak. Apabila NPOP yang menjadi dasar pengenaan pajak suatu objek BPHTB kurang dari NPOPTKP yang ditetapkan, atas objek tersebut tidak ada BPHTB yang harus dibayar atau tidak terutang BPHTB. Sementara itu, apabila

14 NPOP besarnya lebih dari NPOPTKP yang ditetapkan, besarnya pajak terutang dihitung dari selisih antara NPOP dan NPOPTKP. NPOPTKP ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU BPHTB, yang besarnya ditetapkan secara regional paling banyak Rp ,00. Khusus bagi perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan pewaris atau pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, NPOPTKP ditetapkan secara regional paling banyak Rp ,00. Ketentuan NPOPTKP diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sebagai aturan pelaksanaan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4032) menyebutkan: 59 Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000, disebutkan bahwa dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara menggalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak yang diperoleh dengan cara mengurangkan Nilai Perolehan Objek Pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan ditetapkan secara regional dan dibedakan antara perolehan hak karena waris, dan hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, dengan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal perolehan hak karena perbuatan dan peristiwa hukum lainnya. Mengingat adanya perbedaan tingkat perekonomian antar daerah, maka penetapan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dapat 59 Atep Adya Barata, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Menghitung Objek dan Cara Pengajuan Keberatan Pajak, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, hal

15 dibedakan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya sesuai dengan semangat Otonomi Daerah yang lebih memberikan kewenangan kepada pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk mengatur sendiri rumah tangganya. Untuk lebih memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum mengenai hal tersebut, penentuan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tersebut pada pokoknya menentukan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp ,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri, ditetapkan secara regional paling banyak Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah). 60 Dari hasil wawancara diketahui Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk Kota Medan adalah sebesar Rp ,00,- (tiga puluh juta). 61 d. Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) Nilai Perolehan Objek Kena Pajak (NPOPKP) adalah besaran tertentu dari NPOP yang boleh dikenakan pajak. Pasal 8 UU BPHTB menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak diperoleh dengan cara mengurangkan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Dalam BPHTB, Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak ditetapkan sebagai dasar perhitungan pajak. Dengan demikian NPOPKP merupakan basis pajak pada BPHTB. 60 Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB. 61 Hasil wawancara dengan Bapak Halim, S.H., Notaris/PPAT di Kota Medan, tanggal 16 Juli 2008 di Medan.

16 Tarif pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya BPHTB terutang adalah tarif tunggal. Pasal 5 UU BPHTB menetapkan bahwa tarif pajak ditetapkan sebsar 5 persen. Dengan demikian besarnya tarif pajak yang digunakan untuk menetapkan BPHTB terutang ditetapkan sebesar 5 persen dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP), sebagai berikut: Pajak terutang BPHTB terutang BPHTB terutang = Tarif Pajak x Basis Pajak = Tarif Pajak x (NPOP-NPOPTKP) = 5% x NPOPKP. Contoh perhitungan BPHTB: 1. Pada tanggal 6 Januari 2001, Tuan S membeli tanah yang terletak di Kabupaten XX dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) Rp ,00. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten XX ditetapkan sebesar Rp ,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan: BPHTB = 5 % x (Rp 50 juta Rp 60 juta) = 5 % x ( 0) = 0 (nihil). 2. Pada tanggal 7 Januari 2001, Nyonya D membeli tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten XX dengan NPOP Rp ,00. NPOPTKP untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten XX ditetapkan sebesar Rp ,00. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Rp ,00 dikurangi Rp ,00 sama dengan Rp ,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. BPHTB = 5 % x (Rp 100 Rp 60) juta = 5 % x ( Rp 40) juta = Rp 2 juta.

17 3. Pada tanggal 28 Juli 2001, Tuan S mendaftarkan warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di Kota BB dengan NPOP Rp ,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk Kota BB ditetapkan sebesar Rp ,00. Besarnya NPOPKP adalah Rp ,00 dikurangi Rp ,00 sama dengan Rp ,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan: BPHTB = 5 % x (Rp 400 Rp300) juta = 5 % x ( Rp 100) juta = Rp 5 juta. 4. Pada tanggal 7 November 2001, Wajib Pajak orang pribadi K mendaftarkan hibah wasiat dari orang tua kandung, sebidang tanah yang terletak di Kota BB dengan NPOP Rp ,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kota BB ditetapkan sebesar Rp ,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan: BPHTB = 5 % x (Rp 250 Rp 300) juta = 5 % x ( 0) = 0 (nihil). Dengan demikian yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang ditentukan sebesar harga transaksi. Namun apabila nilai NPOP (nilai transaksi) ternyata lebih rendah dari Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB), maka yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah nilai pada NJOP PBB. Demikian juga halnya dengan perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah, namun dalam perolehan karena hibah dimungkinkan diajukan pengurangan sebesar 50 persen apabila penerima hibah adalah keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan pemberi hibah.

18 B. Pengurangan BPHTB Atas Perolehan Hak Secara Hibah Hibah tanah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dengan tidak ada penggantian apa pun dan dilakukan secara suka rela, tanpa ada kontraprestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup. Inilah yang berbeda dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan sesudah si pewasiat meninggal dunia. 62 Pengertian hibah dalam Pasal 1666 KUH Perdata, yakni: Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghihah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup. Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada. Jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal. Si penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda yang termasuk dalam hibah; hibah yang semacam itu, sekadar mengenai benda tersebut dianggap sebagai batal. 63 Namun, diperbolehkan kepada si penghibah untuk memperjanjikan bahwa ia tetap memiliki kenikmatan atau nikmat hasil benda-benda yang dihibahkan, baik bendabenda bergerak maupun benda-benda tak bergerak atau bahwa ia dapat memberikan kenikmatan atau nikmat hasil tersebut kepada orang lain; dalam hal mana harus 62 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal Pasal 1667 KUH Perdata.

19 diperhatikan ketentuan-ketentuan bab ke sepuluh Buku kedua Kitab Undang- Undang ini. 64 Suatu hibah adalah batal, jika dibuat dengan syarat bahwa si penerima hibah akan melunasi utang-utang atau beban-beban lain, selain yang dinyatakan dengan tegas di dalam akta hibah sendiri atau di dalam suatu daftar yang ditempelkan padanya. 65 Kemudian, si penghibah boleh memperjanjikan bahwa ia akan memakai sejumlah uang dari benda-benda yang dihibahkan. Jika meninggal, maka apa yang dihibahkan tetap untuk seluruhnya pada si penerima hibah. 66 Sebelum lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP No.24 Tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah), bagi mereka yang tunduk kepada KUH Perdata, surat hibah wasiat harus dibuat dalam bentuk tertulis dari Notaris. 67 Surat hibah wasiat yang tidak dibuat oleh Notaris tidak memiliki kekuatan hukum. Mereka yang tunduk pada hukum adat dapat membuatnya di bawah tangan, tetapi proses di kantor Pertanahan harus dibuat dengan akta PPAT. 68 Setelah lahirnya PP No. 24 Tahun 1997, setiap pemberian hibah tanah harus dilakukan dengan akta PPAT. Perolehan tanah secara hibah seyogianya didaftarkan peralihan haknya itu di Kantor Pertanahan setempat sebagai bentuk pengamanan hibah tanah. 64 Pasal 1668 KUH Perdata, selanjutnya Pasal 756 s/d 760 KUH Perdata. 65 Pasal 1670 KUH Perdata. 66 Pasal 1671 KUH Perdata. 67 Pasal 1005 KUH Perdata, berbunyi, seorang yang mewariskan diperbolehkan, baik dalm suatu wasiat, maupun dalam suatu akta di bawah tangan seperti yang tersebut dalam Pasal 935, maupun pula dalam suatu akta notaris khusus, mengangkat seorang atau beberapa orang pelaksana wasiat. Ia dapat pula mengangkat berbagai orang, supaya jika yanga satu berhalangan, digantikan oleh yang lainnya. 68 Efendi Perangin, Mencegah Sengketa Tanah, Cetakan Kedua, Rajawali, Jakarta, 1999, hal. 46.

20 Kekuatan hukum akta hibah terletak pada fungsi akta otentik itu sendiri yakni sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang (Pasal 1682, 1867 dan Pasal 1868 KUH Perdata), 69 sehingga hal ini merupakan akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian. Kemudian dalam Pasal 1689 KUH Perdata, suatu hibah tidak dapat ditarik kembali maupun dihapuskan karenanya, melainkan dalam hal-hal berikut: a. Karena tidak dipenuhi syarat-syarat dengan mana penghibahan telah dilakukan. b. Jika si penerima hibah telah bersalah mclakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah atau suatu hambatan lain terhadap si penghibah. c. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan. Namun demikian, tidak diatur dengan jelas batasan jumlah harta/benda/barang yang dapat dihibahkan sehingga juga perlu melihat bagian kedua KUH Perdata, khususnya pasal-pasal yang memuat ketentuan tentang batasan legitime portie, yakni Pasal 913, 949 dan 920 KUH Perdata, 70 serta peraturan perundang-undangan lainnya seperti 69 Pasal 1867 KUH Perdata, berbunyi: Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan. Pasal 1862, berbunyi: Suatu Perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu, adalah sama sekali batal. Pasal 1868, berbunyi: Suat akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh udnang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat di mana akta dibuatnya. 70 Pasal 913 KUH Perdata, berbunyi: Bagian mutlak atau legitime portie, adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat. Pasal 949 berbunyi: Segala suatu wasiat yang dibuat menurut tiga pasal yan lalu, harus ditandatangani oleh si yang mewariskan, oleh mereka di hadapan siapa surat itu dibuat dan oleh sekurangkurangnya salah seorang saksi. Pasal 920, berbunyi: Terhadap segala pemberian atau penghibahan, baik antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiat yang mengakibatkan menjadi kurangnya bagian mutlak dalam sesutu warisan, bolehlah kelak dilakukan pengurangan, bilamana warisan itu jatuh meluang, akan tetapi hanyalah atas tuntutan para waris mutlak dan ahli waris atau pengganti mereka.

21 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain itu, adanya unsur perbuatan melawan hukum dalam hal penghibahan dapat pula membatalkan akta hibah. 71 Agar menjadi alat bukti yang sah, akta hibah harus dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang serta para pihak yang terkait di dalamnya. Selain itu, dalam pembuatan akta hibah, perlu diperhatikan objek yang akan dihibahkan, karena dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ditentukan bahwa untuk objek hibah tanah harus dibuat akta hibah oleh Peiabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akan tetapi, apabila objek tersebut selain dari itu (objek hibah benda bergerak), maka ketentuan dalam BW tersebut tetap digunakan sebagai dasar pembuatan akta hibah, yakni dibuat dan ditandatangani Notaris. 72 Dalam hibah hak kepemilikan atas tanah dan bangunan, orang yang mempunyai hak atas tanah dan bangunan menyerahkan hak kepemilikan atas tanah dan bangunannya untuk selama-lamanya kepada seseorang dan sejak itu hak atas tanah dan bangunan tersebut telah berpindah kepada yang menerima hibah tersebut, sama halnya dengan jual beli dan tukar menukar, 73 yang harus dilakukan dengan akta PPAT, sehingga pemberian hibah merupakan objek pajak (BPHTB). Pada perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah dimungkinkan diajukan pengurangan sebesar 50 persen apabila penerima hibah adalah keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan 71 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal Ibid., hal Wantjik Saleh R., op. cit., hal. 35.

22 pemberi hibah. Apabila ternyata penerima hibah dan pemberi hibah tidak memenuhi ketentuan di atas, BPHTB terutama dihitung secara penuh dan penerima hibah tidak memiliki hak untuk mengajukan pengurangan BPHTB sebesar 50 persen. 74 Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 20 BPHTB, bahwa atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan oleh Menteri karena: a. kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak, atau b. kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, atau c. tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan. Ketentuan mengenai pemberian pengurangan pajak yang terutang sebagairnana dimaksud di atas diatur dengan Keputusan Menteri. Perhitungan BPHTB untuk perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah tersebut dapat dilihat contoh berikut ini: 75 Drs. Mustadla menghibahkan sebuah rumah tinggal dengan luas tanah 400 m 2 dan luas bangunan 100 m 2 kepada Ir. Juanda, adik kandungnya. Akta hibah dibuat oleh Notaris/PPAT pada tanggal 15 Maret Adapun nilai pasar adalah, Rp ,00. Diketahui NJOP tanah per m 2 adalah = Rp ,00 dan NJOP bangunan adalah Rp ,00 per m 2, serta NPOPTKP selain karena waris dan hibah wasiat tahun 2001 pada kabupaten objek pajak berada ditetapkan Rp ,00. Pertanyaan : Berapa BPHTB terutang yang harus dibayar oleh Ir. Juanda pada saat penandatanganan akta hibah tersebut? Penyelesaian: Nilai pasar Rp ,00 NPOPTKP tahun 2001 Rp ,00 74 Marihot P. Siahaan, op. cit, hal Ibid., hal

23 Drs. Murtadla menghibahkan rumah tinggal miliknya kepada Ir. Juanda, adik kandungnya, pada tanggal 15 Maret Perhitungan NJOP: NJOP bumi/tanah: 400 m 2 x Rp ,00/m 2 = Rp ,00 NJOP Bangunan 100 m 2 x Rp ,00/ m 2 = Rp ,00 (+) NJOP bumi dan bangunan = Rp ,00 Karena NJOP lebih besar daripada nilai pasar, yang menjadi NPOP adalah NJOP (NPOP= Rp ,00). BPHTB terutang yang harus dibayar oleh Ir. Juanda, adik kandung Drs. Murtadla, pada saat penandatanganan akta hibah oleh notaris tanggal 15 Maret 2001 : NPOP : Rp ,00 Dikurangi NPOPTKP : Rp ;00 (-) NPOPKP BPHTB terutang : Rp ,00 = 5% x Rp ,00 = Rp ,00 Pada perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah kepada adik kandung pada kasus di atas, maka bagi si penerima hak (penerima hibah) tidak diberikan pengurangan atas pajak (BPHTB) yang terutang sehingga perhitungan BPHTB terutang adalah sama seperti pada transaksi jual beli. Pengurangan pajak terutang sebesar 50 persen dari BPHTB yang terutang hanya diberikan pada perolehan hak karena hibah kepada keturunan sedarah dalam garis lurus satu derajat ke atas atau ke bawah (dari orang tua kepada anak kandung atau dari anak kepada orang tua kandung), sebagaimana contoh berikut ini: Melihat keadaan anaknya yang belum memiliki usaha tetap, Tuan Mahmud bermaksud menghibahkan sebuah ruko pada kawasan perdagangan di Kota Kalianda, kepada Tuan Ahmed, anak kandungnya, sebagai modal usaha. Adapun ruko yang dihibahkan adalah sebuah ruko dua lantai dengan luas bangunan 100 m 2 dan luas tanah = 100 m 2 dengan nilai pasar wajar Rp ,00. Atas ruko tersebut telah terbit SPPT tahun 2001 dengan NJOP dengan luas bangunan sebagai dasar pengenaan pajak = Rp ,00 dan diketahui bahwa NPOPTKP Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2001 adalah sebesar Rp ,00. Akta hibah dilakukan di hadapan notaris pada tanggal 25 Mei Tuan Ahmed mendengar

24 informasi bahwa atas perolehan hak karena hibah diberikan pengurangan atas BPHTB yang terutang dan bermaksud memanfaatkan fasilitas pengurangan tersebut dalam pemenuhan kewajiban pembayaran BPHTB-nya. Pertanyaan: Berapakah BPHTB terutang yang harus dibayar oleh Tuan Ahmed atas perolehan hak atas ruko yang diperolehnya sebagai hibah dari orang tua kandungnya pada saat penandatanganan akta hibah? Penyelesaian : Nilai pasar : Rp ,00 NJOP tahun 2001 : Rp ,00 NPOPTKP tahun 2001 : Rp ,00 Tuan Mahmud menghibahkan ruko miliknya kepada Tuan Ahmed, anak kandungnya, dan akta hibah ditandatangani. oleh notaris pada tanggal 25 Mei Karena NJOP Ichih besar daripada nilai pasar, maka yang mcnjadi NPOP adalah NJOP (NPOP= Rp ,00). BPHTB terutang yang harus dibayar oleh Tuan Ahmed, anak kandung Tuan Mahmud, saat akta hibah ditandatangani pada tanggal 25 Mei 2001 adalah: NPOP : Rp ,00 Dikurangi NPOPTKP : Rp ,00 ( - ) NPOPKI' : Rp ,00 BPHTB Tennang = 5% x Rp ,00 = Rp ,00 Karena perolehan hak atas tanah dan bangunan merupakan hibah dari orang tua kepada anak kandung, maka Tuan Ahmed dapat mengajukan pengurangan BPHTB terutang sebesar 50 persen. Sesuai dengan ketentuan Kepala KP PBB setempat atas nama Menteri Keuangan akan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Pengurangan BPHTB dengan perhitungan perhitungan sebagai berikut: BPHTB yang seharusnya terutang = Rp ,00 Pengurangan 50% x Rp ,00 = Rp ,00 ( - ) BPHTB yang harus dibayar = Rp l ,00 Dengan demikian, atas perolehan hak atas ruko dua lantai yang diperolehnya dari orang tua kandungnya, Tuan Ahmed akan membayar BPHTB terutang sebesar

25 Rp l ,00. Dalam praktik sehari-hari pada saat penandatanganan akta hibah Tuan Ahmed dapat membayar (melunasi) BPHTB terutang sebesar Rp. l ,00 sesuai perhitungan BPHTB terutang setelah dikurangi pengurangan pajak sebesar 50 persen. Namun, Tuan Ahmed harus segera mengajukan permohonan pengurangan BPHTB sesuai dengan ketentuan yang berlaku. C. Saat dan Tempat Pajak Terutang Pada setiap ketentuan pengenaan atau pemungutan pajak, satu hal yang sangat menentukan untuk dapat dilakukan pemungutan pajak atas suatu objek pajak adalah saat pajak terutang. Setiap undang-undang pajak harus menentukan kapan saat pajak terutang dengan jelas agar tidak menimbulkan sengketa antara wajib pajak dengan fiskus. Undang-Undang BPHTB mengatur dengan jelas penentuan saat terutang pajak yang harus diikuti pada setiap jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan. Pada BPHTB penentuan saat terutang pajak berguna untuk menentukan beberapa hal di bawah ini: apakah suatu perolehan hak atas tanah dan bangunan terutang pajak atau tidak. 2. Ketentuan pengenaan pajak dan fasilitas pajak yang mana yang akan diberlakukan. Adanya perubahan peraturan di bidang BPHTB, baik di tingkat undang-undang peraturan pemerintah, maupun keputusan Menteri Keuangan pada suatu waktu tertentu (misalnya perubahan ketentuan pemberian pengurangan BPHTB dan besarnya presentase pengurangan) akan berpengaruh pada perlakuan terhadap objek pajak yang pada akhirnya akan berpengaruh pada besarnya BPHTB terutang yang akan dibayar. Hal ini sangat terkait dengan saat terutangnya pajak yang menjadi dasar kewajiban pembayaran pajak terutang oleh wajib pajak. 76 Ibid.,

26 3. Penentuan besarnya denda administrasi bila sekiranya berdasarkan pemeriksaan fiskus haru ditertibkan STB, SKB, KB an SKBKBT. 4. Penentuan batas akhir hak wajib pajak untuk mengajukan keberatan dan pengurangan pajak. Pada transaksi hibah atas perolehan hak atas tanah dan bangunan terjadi pada saat ditandatangani akta pemberian hibah oleh penjual dan pemberi, saksi, dan atau PPAT yang berwenang yang dilanjutkan dengan pendaftaran pemberian hibah atas tanah dan bangunan ke kantor pertanahan setempat. Bila seandainya sebelumnya telah dilakukan penyerahan tanah dan bangunan secara fisik menjadi atas penguasaan calon penerima hibah tetapi akta hibah otentik belum dibuat, sebenarnya belum ada perolehan hak karena hibah tersebut, sehingga tidak ada BPHTB yang terutang. Begitu juga sekiranya pemberian hibah tersebut telah dilakukan dengan akta hibah di bawah tangan (biasanya di atas kertas segel atau kertas yang diberi materai), sebenarnya tidak ada perolehan hak baru karena hibah yang terjadi sehingga pada saat penandatangan akta di bawah tangan tersebut oleh penjual, pembeli, dan para saksi (biasanya diketahui pula oleh lurah atau kepala desa) tidak ada BPHTB terutang yang harus dibayar oleh pembeli. 77 Pasal 9 UU BPHTB memberikan ketentuan dengan tegas waktu yang menjadi saat yang menentukan pajak terutang. Secara umum, ada lima saat/waktu yang ditentukan menjadi saat pajak terutang, yaitu: 1. tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta 2. tanggal penunjukan pemegang lelang. 3. tanggal didaftarkannya perolehan hak ke kantor pertanahan 4. tanggal putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan 5. tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak. 77 Ibid., hal

27 Saat yang paling banyak digunakan sebagai saat pajak terutang adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar perolehan hak yang terjadi berkaitan atau dibuktikan dengan aadanya akta otentik. Yang dimaksud sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta adalah tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta pemindahan hak di hadapan PPAT. Hal yang sangat penting dari suatu akta otentik sebagai alat pembuktian adalah kapan akta otentik dibuat. Saat atau tanggal akta otentik dibuat berarti tanggal diresmikannya akta otentik tersebut. Tanggal yang tertera pada akta merupakan tanggal diresmikannya akta, yaitu tanggal dibuatnya akta, dibacakannya akta oleh pejabat umum, serta ditandatanganinya akta oleh para penghadap (pihak yang berkepentingan), para saksi, dan pejabat yang berwenang. Oleh karena itu, tanggal yang dicantumkan oleh PPAT pada akta tidak boleh berlainan dengan tanggal diresmikannya akta tersebut. Kepastian tentang tanggal akta besar sekali artianya, misalnya untuk suatu perjanjian di mana diikatkan suatu jangka waktu tertentu, terutama apabila jangka waktu itu dihitung mulai dari tanggal akta yang bersangkutan. 78 Saat yang menentukan pajak terutang sesuai dengan jenis perolehan hak yang terjadi. Dalam hal perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta. Perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah terjadi pada saat dibuat dan ditandatanganinya akta hibah oleh PPAT. 78 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Rajawali Pers, Jakarta, 1993, hal. 61.

28 Jadi, saat pajak terutang adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta hibah otentik. Sistem pemungutan pajak BPHTB adalah self assestment, yaitu wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB), dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak. 79 Dengan demikian, wajib pajak harus melunasi pajak yang terutang pada saat terjadinya perolehan hak karena hibah tersebut. Wajib pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat keterangan pajak yang dikeluarkan oleh fiskus. Dalam praktek sehari-hari, khususnya pada awal penerapan BPHTB terdapat kesulitan untuk menerangkan ketentuan pemenuhan pajak ini berkaitan dengan ketentuan UU BPHTB sendiri. Dari Pasal 9 ayat (1) UU BPHTB dinyatakan bahwa BPHTB terutang pada saat dibuat dan ditandatanganinya akta oleh pejabat yang berwenang seperti PPAT, dan dilakukan pendaftaran hak oleh Kepala Kantor Pertanahan. Selanjutnya ayat (2) mengatur bahwa pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak tanpa mendasarkannya pada surat ketetapan pajak. Hal ini berarti wajib pajak harus membayar BPHTB terutang pada saat terjadinya perolehan hak Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU BPHTB. 80 Marihot P. Siahaan, op. cit., hal

29 Sementara itu, di sisi lain Pasal 24 UU BPHTB mengatur tentang ketentuan bagi pejabat yang berwenang dalam penandatanganan akta, risalah lelang, maupun pendaftaran hak dan surat keputusan pemberian hak baru setelah wajib pajak memperlihatkan bukti pembayaran pajak. Dengan kata lain, pejabat yang berwenang tidak boleh melakukan kewenangannya masing-masing sebelum wajib pajak melunasi BPHTB terutang. Tampak bahwa dua pasal tersebut saling bertentangan, pajak terutang pada saat akta ditandatangani, sementara akta dapat ditandatangani oleh pejabat berwenang apabila pajak terutang telah dibayar. Adanya akta otentik merupakan satu persyaratan mutlak tentang terjadinya perolehan hak atas tanah dan bangunan. Tanpa adanya akta otentik, secara hukum tidak ada perolehan hak sehingga tidak ada pajak yang berutang dan tidak ada wajib pajak yang harus membayar pajak tersebut. Di sisi lain, untuk dapat ditandatangani oleh pejabat yang berwenang sehingga menjadi akta yang bersifat otentik, pajak harus terlebih dahulu dibayar oleh wajib pajak. Dengan demikian timbul pertanyaan mana yang lebih dahulu ada atau diakui; pembayaran pajak atau pembuatan akta. Hal ini merupakan masalah yang bagaikan lingkaran, tidak ada ujung dan tidak ada pangkalnya. 81 Selanjutnya, sebagai pajak yang terutang, BPHTB harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak. Tempat terutangnya adalah di wilayah Kabupaten, Kota atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan yang diperoleh. 81 Ibid.,hal

30 Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Hal ini dilaksanakan demikian karena sistem pemungutan BHPTB adalah self assessment, dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB), dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak. Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dengan menggunakan Surat Setoran BPHTB (SSB). Dalam pelaksanaannya, tata cara pembayaran pajak diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri, yaitu dalam Keputusan Menteri Keuangan R.I No. 517/KMK.04/2000 tentang Penunjukkan Tempat dan Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Tempat pembayaran BPHTB adalah Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran atau penyetoran BPHTB dan Wajib Pajak dan memindahbukukan saldo penerimaan BPHTB ke Bank Operasional V Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Bank Operasional V Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik daerah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pemindahbukuan saldo penerimaan BPHTB dan Tempat Pembayaran BPHTB, serta melaksanakan pembagian dan memindahbukukan saldo penerimaan BPHTB ke rekening kas negara dan rekening kas daerah yang berhak.

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PPAT DALAM MENGOPTIMALKAN PENERIMAAN BPHTB

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PPAT DALAM MENGOPTIMALKAN PENERIMAAN BPHTB negara. 2 Bagi pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan berlaku PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PPAT DALAM MENGOPTIMALKAN PENERIMAAN BPHTB BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak adalah iuran

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

Perpajakan / Elearning BPHTB Dosen: VED.,SE.,MSi

Perpajakan / Elearning BPHTB Dosen: VED.,SE.,MSi Perpajakan / Elearning BPHTB Dosen: VED.,SE.,MSi 1 BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) Istilah Penting dalam UU BPHTB ( Pasal 1 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20 Tahun 2000) 1. Bea perolehan

Lebih terperinci

TENTANG. dilakukan. Nomor 21. diubah. Tanah dan. Tahun. Nomor...

TENTANG. dilakukan. Nomor 21. diubah. Tanah dan. Tahun. Nomor... UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

RGS Mitra 1 of 15 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RGS Mitra 1 of 15 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RGS Mitra 1 of 15 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

5/3/2011 DASAR HUKUM BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) OBJEK BEA PEROLEHAN HAK ATAS PENGERTIAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS

5/3/2011 DASAR HUKUM BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) OBJEK BEA PEROLEHAN HAK ATAS PENGERTIAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS DASAR HUKUM BEA PEROLEHAN HAK ATAS (BPHTB) Ketentuan mengenai Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diatur dalam UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Terakhir

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN UMUM Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

KETENTUN PELAKSANA 14/PMK.03/2009 (NPOPTKP) DST. atep adya barata

KETENTUN PELAKSANA 14/PMK.03/2009 (NPOPTKP) DST. atep adya barata DASAR HUKUM Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.21 Tahun

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN DAN TEMPAT PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN DAN TEMPAT PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN SALINAN NOMOR 41/E, 2010 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN DAN TEMPAT PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

1. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak. 2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah

1. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak. 2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah DEFINISI BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN 1. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan 2. Perolehan hak

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KABUPATEN BANDUNG

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KABUPATEN BANDUNG BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KABUPATEN BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN RANCANGAN PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGETAN, Menimbang

Lebih terperinci

MODUL PERPAJAKAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN ATAU BANGUNAN

MODUL PERPAJAKAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN ATAU BANGUNAN MODUL PERPAJAKAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN ATAU BANGUNAN PENDAHULUAN Dengan berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), maka mulai tahun 2011, Bea Perolehan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Menimbang : a. Mengingat : 1. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, bahwa

Lebih terperinci

ANALISIS PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DALAM PROSES AKUISISI LAHAN BERIKUT PENGENAAN BPHTB DI BEBERAPA DAERAH

ANALISIS PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DALAM PROSES AKUISISI LAHAN BERIKUT PENGENAAN BPHTB DI BEBERAPA DAERAH ANALISIS PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DALAM PROSES AKUISISI LAHAN BERIKUT PENGENAAN BPHTB DI BEBERAPA DAERAH Oleh : Ian Maradona Tanah sejak dahulu, telah menjadi bagian

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NUNUKAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

TITIS RONALITA RESMADEWI NIM

TITIS RONALITA RESMADEWI NIM PERAN ADMINISTRASI NOTARIS/PPAT DALAM PEMENUHAN KEWAJIBAN BPHTB TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI STUDI KASUS PADA KANTOR NOTARIS DAN PPAT IS HARIYANTO IMAM SALWAWI, SH JEMBER LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA Diajukan

Lebih terperinci

Penghitungan Wajib Pajak dalam SSB (Rp) BPHTB yang seharusnya terutang ,00 Pengurangan ( ,00) ( ,00) BPHTB terutang setelah

Penghitungan Wajib Pajak dalam SSB (Rp) BPHTB yang seharusnya terutang ,00 Pengurangan ( ,00) ( ,00) BPHTB terutang setelah Lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-19/PJ.6/1999 Tanggal : A. Cara Pengisian SSB Ir. Wepe Makmur memperoleh hibah sebidang tanah kosong seluas 5.000 m2 dari ayah kandungnya yang bernama

Lebih terperinci

UU 21/1997, BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

UU 21/1997, BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Copyright (C) 2000 BPHN UU 21/1997, BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN *9928 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 1997 (21/1997) TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat : a. bahwa Negara

Lebih terperinci

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N W A L I K O T A B A N J A R M A S I N PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARMASIN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa Pajak Bea Perolehan

Lebih terperinci

NO. PERDA NOMOR 2 TAHUN 2011 PERDA NOMOR 17 TAHUN 2016 KET 1. Pasal 1. Tetap

NO. PERDA NOMOR 2 TAHUN 2011 PERDA NOMOR 17 TAHUN 2016 KET 1. Pasal 1. Tetap MATRIKS PERBANDINGAN PERDA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DAN PERDA NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERDA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DEFINISI, OBYEK BPHTB BAB 1 A DEFINISI 1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa pajak daerah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLUNGKUNG, Menimbang : a. bahwa Pajak Bea Perolehan Hak

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa Bea Perolehan Hak Atas Tanah

Lebih terperinci

NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH

NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN, DAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH DAN/ATAU

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN RI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT SETORAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (SSPBB)

DEPARTEMEN KEUANGAN RI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT SETORAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (SSPBB) LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- /PJ/2009 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT SETORAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN, SURAT SETORAN PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN, DAN SURAT SETORAN BEA PEROLEHAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Dan Dasar Hukum Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan ( BPHTB) 1. Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan ( BPHTB) Menurut Udang-undang Nomor 28 tahun

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BULELENG TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 1 TAHUN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG

PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REJANG LEBONG Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2011 NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI TANGGAL : 3 JANUARI 2011 NOMOR : 1 TAHUN 2011 TENTANG : BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Sekretariat Daerah Kota

Lebih terperinci

Disusun Oleh : Amalia Majid ( ) Dwi Fatehatul Ula ( ) Aulia Amrina Rosada ( ) Silvia Kusumawati ( ) Kelas B

Disusun Oleh : Amalia Majid ( ) Dwi Fatehatul Ula ( ) Aulia Amrina Rosada ( ) Silvia Kusumawati ( ) Kelas B BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN MAKALAH Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah Perpajakan Dosen Pengampu : Agus Arwani, M.Ag Disusun Oleh : Amalia Majid (2013114316) Dwi Fatehatul

Lebih terperinci

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang PERUBAHAN UNDANG-UNDANG BPHTB

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang PERUBAHAN UNDANG-UNDANG BPHTB Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang PERUBAHAN UNDANG-UNDANG BPHTB SUBJEK, OBJEK PAJAK BPHTB DAN DASAR TARIP PENGENAAN LOGO OBJEK BPHTB (UU BPHTB ps. 2) BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMENEP Menimbang Mengingat : : a. bahwa pajak daerah

Lebih terperinci

BUPATI MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BUPATI MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN BUPATI MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGETAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG, Menimbang a. bahwa berdasarkan Pasal

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SURABAYA RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PEMERINTAH KOTA SURABAYA RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PEMERINTAH KOTA SURABAYA RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 20 TAHUN 2000 (20/2000) TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 20 TAHUN 2000 (20/2000) TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 20 TAHUN 2000 (20/2000) TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT 1 BUPATI BANDUNG BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM DAN PROSEDUR PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN, DAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH

Lebih terperinci

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TAHUN 2011 NOMOR 1

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TAHUN 2011 NOMOR 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TAHUN 2011 NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5916 EKONOMI. Pajak Penghasilan. Perjanjian Pengikatan. Pengalihan Hak. Tanah. Bangunan. Pencabutan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH LAMPUNG SELATAN NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH LAMPUNG SELATAN NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH LAMPUNG SELATAN NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG SELATAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 2

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 8 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 8 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 8 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON 2 NOMOR 9 TAHUN 2010 SERI B Menimbang : PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

TENTANG` BUPATI PATI,

TENTANG` BUPATI PATI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG` BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI, Menimbang : a. bahwa dengan telah diundangkannya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak Bumi Bangunan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak Bumi Bangunan BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Pengertian Pajak Bumi Bangunan Ada beberapa macam pengertian atau definisi mengenai pajak bumi bangunan yang diungkapkan oleh beberapa ahli, tetapi pada intinya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (Berita Resmi Kota Yogyakarta)

LEMBARAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (Berita Resmi Kota Yogyakarta) 1 LEMBARAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (Berita Resmi Kota Yogyakarta) Nomor : 8 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

MENGENAL SEKILAS TENTANG KEBIJAKAN PEDAERAHAN PAJAK PUSAT

MENGENAL SEKILAS TENTANG KEBIJAKAN PEDAERAHAN PAJAK PUSAT MENGENAL SEKILAS TENTANG KEBIJAKAN PEDAERAHAN PAJAK PUSAT Budi Lazarusli* ABSTRAK Pada tanggal 15 September 29 diundangkan undang-undang baru yakni UU No. 28 Tahun 29 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI SERI A. 20 Desember 2010

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI SERI A. 20 Desember 2010 20 Desember 2010 SALINAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI SERI A PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG NO 1/B PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

a PEMERINTAH KOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

a PEMERINTAH KOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN a PEMERINTAH KOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG BERITA DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KABUPATEN BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Pengantar. Pernyataan File ini bebas disebarluarkan oleh siapapun dengan cuma-cuma. 1 UU BPHTB

Pengantar. Pernyataan File ini bebas disebarluarkan oleh siapapun dengan cuma-cuma. 1  UU BPHTB Pengantar Undang-undang Bea Perolehan Hak Atas dan Bangunan [UU BPHTB] pertama kali disahkan dan diundangkan pada tanggal 29 Mei 1997 [UU No. 21 Tahun 1997] kemudian dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2000

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG PENGENAAN BEA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 06 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 06 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 06 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (2)

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 13 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 13 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 13 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS,

Lebih terperinci

POSBAKUMADIN CIREBON

POSBAKUMADIN CIREBON UNDANG-UNDANG (UU) Nomor: 21 TAHUN 1997 (21/1997) Tanggal: 29 MEI 1997(JAKARTA) Sumber: LN NO. 1997/44; TLN NO.3688 Tentang BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2011 NOMOR 01 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2011 T E N T A N G

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2011 NOMOR 01 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2011 T E N T A N G LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2011 NOMOR 01 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2011 T E N T A N G BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BAUBAU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BAUBAU,

PERATURAN DAERAH KOTA BAUBAU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BAUBAU, PERATURAN DAERAH KOTA BAUBAU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BAUBAU, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa pajak daerah merupakan salah

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP - 269/PJ/2001 TENTANG

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP - 269/PJ/2001 TENTANG KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL NOMOR KEP - 269/PJ/2001 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DAN BENTUK SERTA FUNGSI BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (SSB)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TIMOR TENGAH UTARA, Menimbang : a. bahwa tanah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR No. 1, 2011 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0052 PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 02 TAHUN 2011 TLD : 01

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 02 TAHUN 2011 TLD : 01 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 02 TAHUN 2011 TLD : 01 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dan sebagai sarana peran serta

BAB I PENDAHULUAN. salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dan sebagai sarana peran serta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Undang-Undang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKULU TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKULU TENGAH PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH NOMOR 05 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKULU TENGAH

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 4 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 4 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 4 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembeli dikenakan pajak yang berupa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau

BAB I PENDAHULUAN. pembeli dikenakan pajak yang berupa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, setiap pelaksanaan peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah obyek pajak.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA

PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA LEMBARAN DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2010 NOMOR 13 PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Page : 1

Page : 1 LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 59/PJ/2009 TENTANG : BENTUK FORMULIR SURAT SETORAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN, SURAT SETORAN PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN, DAN SURAT SETORAN BEA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2011 NOMOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2011 NOMOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2011 NOMOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG, PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG, Menimbang Mengingat : bahwa untuk Efektifitas dan Optimalisasi

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 37 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 37 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 37 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PELAPORAN PEMBUATAN AKTA ATAU RISALAH LELANG PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LAMPIRAN I PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2011 TENTANG

LAMPIRAN I PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2011 TENTANG LAMPIRAN I PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2011 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT SETORAN PAJAK DAERAH (SSPD) SURAT SETORAN PAJAK DAERAH Lembar 1 PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TIMUR ( S S P D ) Untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARO JAMBI, Menimbang

Lebih terperinci

PENGHITUNGAN NJOP PBB UNIT BANGUNAN STRATA TITLE SEBAGAI DASAR PENGENAAN BPHTB

PENGHITUNGAN NJOP PBB UNIT BANGUNAN STRATA TITLE SEBAGAI DASAR PENGENAAN BPHTB PENGHITUNGAN NJOP PBB UNIT BANGUNAN STRATA TITLE SEBAGAI DASAR PENGENAAN BPHTB A. Pengertian 1. Luas tanah atau luas tanah bersama (LT) adalah luas tanah yang digunakan untuk bangunan keseluruhan (sesuai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BINJAI NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BINJAI,

PERATURAN DAERAH KOTA BINJAI NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BINJAI, PERATURAN DAERAH KOTA BINJAI NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BINJAI, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu PERATURAN DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI SALINAN WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 T E N T A N G BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 T E N T A N G BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 T E N T A N G BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PP PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR : 16 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR : 16 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR : 16 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIGI, Menimbang : a. bahwa dengan terbentuknya Kabupaten

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

- 1 - PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN - 1 - PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang

Lebih terperinci