MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 56/PUU-XIV/2016

Transkripsi

1 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 56/PUU-XIV/2016 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I) J A K A R T A KAMIS, 28 JULI 2016

2 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 56/PUU-XIV/2016 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah [Pasal 251 ayat (1), ayat (2), ayat (7), dan ayat (8)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Abda Khair Mufti 2. Muhammad Hafidz 3. Amal Subkhan 4. Solihin 5. Totok Ristiyono ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Kamis, 28 Juni 2016 Pukul WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Manahan MP Sitompul (Ketua) 2) Wahiduddin Adams (Anggota) 3) Patrialis Akbar (Anggota) Cholidin Nasir Panitera Pengganti i

3 Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Abda Khair Mufti 2. Muhammad Hafidz 3. Solihin 4. Totok Ristiyon ii

4 SIDANG DIBUKA PUKUL WIB 1. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL Sidang dalam Perkara Permohonan Nomor 56/PUU-XIV/2016 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Selamat siang kepada Saudara-Saudara Pemohon, pada sidang pertama ini adalah pertama sekali Saudara-Saudara untuk memperkenalkan diri di persidangan ini. Kami persilakan. 2. PEMOHON: MUHAMMAD HAFIDZ Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Karena ini masih suasana hari raya Para Pemohon menyampaikan minal aidzin walfaidzin mohon maaf lahir dan batin. Selanjutnya Para Pemohon memperkenalkan diri, di sebelah kanan saya Abda Khair Mufti, saya sendiri Muhammad Hafidz, sebelah kiri saya Solihin, dan sebelah kiri terakhir adalah Totok Ristiyono. Terima kasih, Yang Mulia. 3. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL Baik, selamat hari raya juga minal aidzin walfaidzin, ya. Ini kami lihat dalam permohonannya ada lima sebagai Pemohon. Jadi yang hadir ini apakah lima-limanya sebagai... empat ini, ya. Hadir, ya? Pemohon dan tidak menggunakan kuasa dalam permohonan ini, ya? Baik, jadi yang tidak hadir Saudara Amal Subkhan belum hadir, ya? Baik, kami sudah terima memang permohonan Saudara ini. Namun untuk mengikuti acara... hukum acara Mahkamah Konstitusi agar nanti Majelis bisa memberikan saran-saran, maka silakan dulu Pemohon, salah satu diantara Pemohon, memaparkan permohonannya secara singkat dan jelas. Kami persilakan. 4. PEMOHON: MUHAMMAD HAFIDZ Baik, terima kasih, Yang Mulia. Pokok-pokok permohonan pengujian Pasal 251 ayat (1), ayat (2), ayat (7), dan ayat (8) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan Mahkamah. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, serta Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas 1

5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 oleh karena objek permohonan pengujian ini adalah muatan materi Pasal 251 ayat (1), ayat (2), ayat (7), dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 terhadap Undang-Undang Dasar 1945 maka Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo. Kedudukan hukum Para Pemohon. Sebagai perorangan warga negara Indonesia sekaligus anggota masyarakat lokal keberadaan Para Pemohon telah turut serta berpartisipasi dalam proses pemilukada dan keanggotaan dewan perwakilan, yang pada akhirnya melahirkan produk legislasi berupa perda, pergub, perbup, dan perkot guna menjadi jembatan kehidupan bermasyarakat, diantaranya berkeadilan dan berkesejahteraan. Kewenangan gubernur dan menteri yang diberikan oleh ketentuan pasal a quo berpotensi akan merugikan hak-hak konstitusional Para Pemohon, sebab demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang berkeadilan dan berkesejahteraan perda, pergub, perbup, dan perkot yang isinya justru mengatur hal-hal yang belum atau tidak diatur oleh ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi. Seperti, Peraturan Daerah tentang Ketenagakerjaan terancam dibatalkan tanpa dapat diketahui alasan-alasan yuridis dan sosiologisnya. Begitu juga dengan pemberlakuan ketentuan Pasal 251 ayat (7) dan ayat (8) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang hanya mengakui penyelenggara pemerintahan pada tingkatan kabupaten/kota dan provinsi dalam hal mengajukan keberatan atas keputusan pembatalan perda, pergub, perbup, atau perkot kepada menteri serta Presiden telah menghilangkan hak Para Pemohon. Karena sangat mungkin bagi penyelenggara pemerintahan pada tingkatan kabupaten/kota dan provinsi justru perda, pergub, perbup, dan perkot kepada menteri, serta Presiden tidak melakukan tidak melakukan haknya tidak menggunakan haknya untuk mengajukan keberatan. Oleh karenanya Para Pemohon menganggap telah memenuhi kriteria yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dan memiliki kedudukan hukum sebagai Para Pemohon dalam permohonan a quo. Alasan-Alasan Permohonan Para Pemohon. a. Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) Undang- Undang Dasar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 setidaknya antara lain memberikan kewenangan kepada gubernur dan menteri untuk membatalkan peraturan daerah yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan pada tingkatan kabupaten/kota atau provinsi, dan juga terhadap peraturan gubernur atau bupati/walikota. 2

6 Kewenangan demikian yang oleh para ahli disebut sebagai executive review. Executive review dimaksudkan mewujudkan sistem pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya yang berkaitan dengan produk legislasi daerah. Pengawasan tersebut dilakukan pada saat perda, pergub, perbup, atau perkot masih dalam bentuk rancangan dan sudah ditetapkan. Pengawasan preventif atau yang dalam bentuk yang masih dalam bentuk rancangan telah diatur mekanismenya dalam ketentuan Pasal 242, Pasal 243, Pasal 246, dan Pasal 249 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yaitu sejak adanya kewajiban bupati atau walikota untuk menyampaikan rancangan dan peraturan daerah peraturan daerah kota/kabupaten atau bupati/walikota ke gubernur, serta kewajiban gubernur menyampaikan rancangan rancangan dan peraturan daerah provinsi atau gubernur ke menteri. Kewajiban tersebut apabila tidak dipenuhi, maka rancangan peraturan daerah kota atau kabupaten, atau peraturan bupati/walikota, dan rancangan peraturan daerah provinsi atau peraturan gubernur belum dapat diundangkan dalam lembaran daerah atau berita daerah. Kendati telah diberikan pengawasan preventif, Undang- Undang a quo juga memberikan kewenangan eksekutif review secara represif yang diatur dalam ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2). Menurut Para Pemohon, bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau kesusilaan menjadi standar yang longgar, yang dapat ditafsirkan berdasarkan kekuasaan penafsir. Maka tidak jarang tafsir kepentingan umum dan/atau kesusilaan melalui eksekutif review lebih mewakili tafsir penguasa dan masyarakat tidak mengetahui apa alasan pertimbangan pembatalannya. Sedangkan apabila pembatalan berlakunya perda, pergub, perbup, dan perkot dilakukan oleh Mahkamah Agung masyarakat dapat mengetahui alasan pertimbangan bagi Mahkamah Agung melalui putusan yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat diakses secara elektronik. Oleh karenanya agar ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak bertentangan dengan konstitusi, maka kewenangan gubernur dan menteri secara absolut haruslah dibatasi hanya pada eksekutif review secara preventif. Dengan demikian apabila gubernur dan menteri menilai perda, pergub, perbup, dan perkot, bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang- 3

7 undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, atau sebaliknya, hasil eksekutif review secara preventif tidak diindahkan oleh bupati, walikota, atau gubernur, maka gubernur dan menteri dapat meminta pengujian kepada MA untuk membatalkannya. b. Pasal 251 ayat (7) dan (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun Sebagai negara hukum, konstitusi Indonesia mengakui hakhak asasi manusia yang harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persamaan kedudukan di hadapan hukum harus dijunjung tinggi oleh setiap warga negara, tanpa terkecuali juga dengan penyelenggaraan negara atau pemerintahan. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 secara tegas hanya diakui penyelenggara pemerintahan daerah pada tingkat provinsi dan/atau kabupaten/kota sebagai satu-satunya subjek hukum yang dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan pembatalan perda atau peraturan bupati, walikota oleh gubernur, atau menteri, atau peraturan daerah provinsi, atau gubernur oleh Presiden. Padahal perda kota atau kabupaten, atau peraturan bupati atau walikota, dan perda provinsi atau peraturan gubernur merupakan pengaturan yang bersifat umum yang tidak termasuk dalam pengertian keputusan tata usaha negara. Dengan demikian seharusnya masyarakat diberikan kewenangan untuk dapat mengajukan keberatan atas keputusan pembatalan perda kota, kabupaten, atau peraturan bupati/walikota, dan/atau perda provinsi, atau peraturan gubernur ke Mahkamah Agung melalui mekanisme pengujian peraturan. Petitum. Para Pemohon memohon kiranya Mahkamah berkenan memutus, menyatakan, mengabulkan permohonan Para Pemohon. Pasal 251 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai menteri dapat mengajukan permohonan pembatalan peraturan daerah provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan ke Mahkamah Agung paling lama 14 hari setelah ditetapkan. Pasal 251 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota dan/atau peraturan bupati/walikota yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan 4

8 umum dan/atau kesusilaan ke Mahkamah Agung paling lama 14 hari setelah ditetapkan. Pasal 251 ayat (7) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. P asal 251 ayat (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya. Terima kasih, Yang Mulia. 5. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL Baik, terima kasih. Penyampaian yang begitu simpel dan jelas. Untuk memenuhi Pasal 39 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, maka Majelis Panel nanti akan memberikan saran-saran kepada Saudara dalam perbaikan permohonan ini dalam sidang pendahuluan ini dan mohon agar dicatat. Namun, ini bukan menjadi kewajiban, ya. Namanya saran juga, boleh diterima, juga boleh tidak diterima. Untuk pertama sekali, saya persilakan, oh, Yang Mulia Pak Wahiduddin Adams. 6. HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Terima kasih, Ketua Majelis dan Saudara Pemohon. Pertama, dari permohonan ini untuk menguji Pasal 251 ayat (1), ayat (2), ayat (7), dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Nah yang pertama, dari sisi apa format, komposisi dari permohonan, ini sudah seperti yang ada di dalam peraturan MK dan juga sudah seperti yang diajukan pada permohonan-permohonan pengujian peraturan undang-undang di MK. Nah, hal-hal yang penting terkait dengan kontennya, isinya, ini penting diperhatikan, pertajam. Pertama tentang kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon. Ini kan perorangan, ya, semua atau perseorangan. Yang kedua, kerugian konstitusionalnya itu harus dipertajam betul. Karena nampaknya ketika menguraikan tentang kedudukan hukum, memang sudah disadari betul kriteria yang ada di Putusan MK Tahun 2005 dan Tahun 2007 di Nomor 006 dan apa Putusan Nomor 11, ya. Syarat-syarat kerugian dan hak atau kewenangan konstitusional yang didalilkan Pemohon itu haruslah a, b, c, d, dan e, itu harus tajam itu, ya. 5

9 Nah, di dalam uraian Saudara, ini menyinggung bahwa ada atau beberapa disebutkan di sini, perda kabupaten/kota dan provinsi terkait ketenagakerjaan yang muatan materinya ini lebih mengutamakan pengisian lowongan kerja itu dari penduduk atau masyarakat lokal. Kemudian, pengupahannya juga demikian. Nah, ini khawatir dibatalkan itu, ya. Nah, ini jadi, kekhawatiran atau artinya potensi bahwa perdaperda yang demikian baik menurut Saudara, di mana ini akan meningkatkan kemajuan masyarakat lokal. Kemudian apa pengupahannya juga begitu. Nah, khawatir nanti dibatalkan oleh peraturan yang lebih tinggi. Kalau dia kabupaten/kota dibatalkan oleh gubernur, kalau dia provinsi dibatalkan oleh menteri. Nah, ini coba dikaji betul. Dan kalau memang Saudara menyebutkan, Beberapa, itu disebutkan. Mana-mana saja yang Saudara sebutkan, perda-perda yang potensial akan nanti dibatalkan atau sudah sudah ada yang memperkirakan ini akan dibatalkan? Nah, itu akan lebih jelas. Karena di sini hanya menyebutkan, Beberapa, dan kemudian secara umum saja, tidak menunjukkan mana perda yang kemungkinan akan dibatalkan itu. Nah, ini jika dapat tidak hanya perda-perda yang Saudara sebutkan itu tadi, perda-perda yang lain begitu juga, ya. Dan ini, apakah perda ini perda pasca-undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, ya? Kalau yang sebelumnya kan ya, mestinya juga sudah dibatalkan sejak dulu dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, kan? Kan di sana juga ada ketentuan bahwa dibatalkan dengan apa peraturan Presiden, tapi namun dalam praktiknya itu dengan peraturan Menteri Dalam Negeri, ada yang dengan klarifikasi, dengan evaluasi. Nah, dulu-dulu tidak dibatalkan. Nah, sekarang khawatir sekali dibatalkan. Apa karena yang akan membatalkan itu menteri? Kalau dulu kan Presiden normanya, kan? Dibatalkan oleh peraturan Presiden, meskipun praktiknya dibatalkan oleh apa peraturan Menteri Dalam Negeri, terutama terkait dengan pajak, retribusi, APBD, (suara tidak terdengar jelas) APBD, dan tata ruang itu, kan? Kalau yang lainnya, harus kalau dulu dengan apa peraturan apa Presiden dan juga koordinasi dengan Kementerian Keuangan. Nah, ini umumnya yang dibatalkan dulu kan praktiknya yang lebih dari yang disampaikan oleh Mendagri itu adalah terkait pajak dan retribusi daerah. Nah, ini ini terkait sebetulnya memajukan kehidupan di masyarakat. Nah, apakah berasalan kekhawatiran Saudara karena contoh-contoh seperti itu banyak yang dibatalkan, coba disampaikan data-data apa hal seperti itu, ya. Nah, yang kedua. Nah ini terkait dengan Saudara di petitumnya. Di petitum ini nampaknya Saudara ingin menteri itu hanya mengajukan permohonan, tidak ada kewenangan membatalkan, ya. Nah, ini coba di uraian betul. Karena di Undang-Undang Mahkamah Agung memang pembatalan apa peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang itu adalah di Mahkamah Agung. Tapi, 6

10 selama ini di Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dulu Nomor 32 Tahun 2004, kan kalau Pemdanya keberatan, baru ke Mahkamah Agung, ya. Ada beberapa yang memang juga di Mahkamah Agung, pengecualian juga terkait dengan perda-perda di Aceh, ya. Nah, di Aceh itu juga beda dan itu tetap berlaku, ya. Nah, jadi Saudara menginginkan di dalam petitum itu ketentuan 251 ayat (1) bahwa Perda Provinsi dan (suara tidak terdengar jelas) gubernur yang bertentangan dengan undang-undang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau (suara tidak terdengar jelas) yang lebih tinggi (suara tidak terdengar jelas) dibatalkan oleh Menteri. Nah, Saudara ingin sepanjang tidak dimaknai, Menteri dapat mengajukan permohonan pembatalan peraturan daerah provinsi dan (suara tidak terdengar jelas) kepentingan umum paling apa lama 14 hari setelah ditetapkan. Nah, ini coba di apa uraian alasan di depan itu, berarti menteri tidak ada kewenangan membatalkan, kan. Hanya dia mengajukan permohonan pembatalan itu ke Mahkamah Agung. Nah, itu coba dibuat betul kajian uraian dari Undang-Undang Mahkamah Agung dan juga sudah ada apa Peraturan Mahkamah Agung mengenai Tata Cara Pengajuan Pembatalan Perda ini. Kemudian juga harus dipikirkan betul bahwa ini Saudara menyebutkan paling lama 14 hari setelah ditetapkan. Ini sistem kita mungkin tidak karena ditetapkan oleh gubernur provinsi, apakah sudah tersebar sistemnya, sehingga menteri tahu dia bertentangan dengan kepentingan umum dan itu persis 14 hari. Nah, sistem kita kan sekarang ini kalau Saudara mau ngecek Perda Provinsi Papua Barat, itu di mana itu? Kalau di Kemendagri enggak ada itu. Di Kemenkumham di sana ada Direktorat Fasilitasi Perancangan Perda sebagian ada, ke Manokwari juga belum tentu. Nah, kalau hal-hal seperti itu, ya, 14 hari setelah ditetapkan itu berarti dia sudah masuk di apa pengundangannya dan masuk website gitu, ya. Ada enggak suatu sistem bahwa perda-perda provinsi itu sudah bisa dalam waktu 14 hari diketahui secara nasional. Artinya menteri harus membuat sistemnya, nanti bisa dilaksanakan atau tidak, gitu kan, selain tadi memang apakah sekarang dibalik bahwa menteri itu tidak membatalkan. Tapi dia mengajukan pembatalan ke Mahkamah Agung, itu, ya. Nah, demikian juga yang apa terkait dengan peraturan daerah kabupaten dan kota. Nah, ini juga pengajuannya juga ke Mahkamah Agung. Kemudian, 14 hari juga setelah ditetapkan. Nah, ini hal-hal yang demikian perlu betul diuraikan, sehingga Saudara mengubah betul ini konstruksi di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, di mana Menteri dapat membatalkan dan yang dapat mengajukan keberatan itu akan pemdanya dan pembatalannya pun itu berlaku setelah perda dikeluarkan mengenai pencabutannya. Nah, itu kan nah, kalau sekarang kelihatannya lebih simple, menteri membatalkan nah kemudian ya, menteri membatalkan, lalu Saudara membuat petitum supaya tidak ada 7

11 kewenangan menteri membatalkan karena tadi dikhawatirkan pengertian kepentingan umum, kesusilaan. Padahal biasanya di penjelasan itu ada kepentingan umum adalah kalau menimbulkan keresahan masyarakat, diskriminasi, dan lain sebagainya. Biasanya di penjelasannya itu ada, tapi karena ini Saudara kan memang ingin apa mengatakan, ya, menteri tidak dapat membatalkan, termasuk juga gubernur, semuanya harus dikembalikan ke Mahkamah Agung. Intinya kan, begitu ini, Saudara. Kemudian apa Saudara juga menguraikan menteri itu hanya bersifat yang seperti itu klarifikasi atau review arti rancangannya baru dia bisa memperbaiki. Tapi kalau sudah menjadi perda provinsi atau kabupaten/kota ya, harus Mahkamah Agung, kan konstruksi Saudara begitu, kan? Tapi kalau rancangannya ya, boleh menteri memberikan catatan atau yang dulu disebut dengan evaluasi dan klarifikasi. Tapi kalau di undang-undang yang baru ini, Nomor 23 Tahun 2014 memang ini menteri langsung membatalkan terkait perda provinsi, kemudian gubernur terkait perda kabupaten/kota, ya. Coba itu dipertajam dari sisi hal yang Saudara uraikan di posita dan kemudian di petitumnya itu. Demikian, Pak. Terima kasih. 7. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL Terima kasih, Yang Mulia. Silakan kepada Yang Mulia Bapak Patrialis Akbar. 8. HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Ketua. Pada Para Pemohon, saya juga ingin menambahkan beberapa hal seperti yang sudah disampaikan oleh Yang Mulia Pak Wahiduddin Adams tadi terutama berkenaan dengan persoalan legal standing ya, saya kira memang demikian. Kalau dari permohonannya ini, kelihatannya Saudara lebih cenderung pada potensial dirugikan ya, potensial akan dirugikan apabila kelihatannya seperti itu. Jadi, ada kekhawatiran. Di sisi lain, tadi Pak Wahiduddin Adams sudah menyampaikan pengalaman pada masa lalu, justru sudah ada yang dibatalkan. Kalau memang itu dirasakan ada kaitannya dengan kerugian konstitusionalitas Saudara Para Pemohon, juga tidak ada salahnya untuk diangkat ke permukaan bahwa tidak hanya potensial, tapi juga ternyata sudah dirugikan. Ya, saya juga tahu bahwa Saudara-Saudara Para Pemohon ini konsen dalam bidang ketenagakerjaan selama ini sehingga tadi perdanya pun juga dikaitkan dengan yang ada kaitannya dengan perda yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan. Di sisi lain, saya ingin mengajak Saudara mencoba memahami konstruksi sistem ketatanegaraan kita karena menurut hemat saya, 8

12 apabila permohonan Saudara ini memang bisa dikonstruksikan dengan baik, tentu permohonan ini termasuk permohonan yang akan sangat bersejarah apabila dikabulkan oleh Mahkamah. Oleh karena itu, konstruksi cara pikir berdasarkan sistem ketatanegaraan ini harus dipahami dengan baik dan saya akan mencoba memberikan beberapa prinsip-prinsip dasar di dalam konstruksi sistem hukum ketatanegaraan kita, mudah-mudahan bisa membantu Saudara. Pertama, apabila kita mengacu kepada sistem yang dianut oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kita, ada dua lembaga kekuasaan kehakiman yang memiliki kewenangan untuk melakukan judicial review ya, ada dua lembaga kekuasaan kehakiman. Saudara bisa lihat di dalam Pasal 28A dan 28 24A dan 24C, posisi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sesungguhnya kalau di dalam konstruksi itu, kelihatannya memang hanya ada dua lembaga kekuasaan kehakiman yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pembatalan baik itu terhadap undang-undang undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang. Hanya ada dua lembaga. Ini harus dipahami dulu, posisinya ini Hafidz, ya. Nah, ketika baru kita mencoba mengaitkan dengan persoalan peraturan daerah, masuk pada permohonan yang Saudara ajukan pengujian ini. Konstruksi negara kesatuan yang ada di Undang-Undang Dasar kita kalau kita melihat, ya bahwa semua sistem yang berkaitan dengan persoalan otonomi daerah, baik dalam sistem pemerintahan yang ada di daerah, maupun produk-produk hukum yang dilahirkan dalam sistem otonomi daerah, itu semuanya harus mengacu kepada NKRI, ya. Semuanya mengacu kepada sistem NKRI. Di dalam konstitusi kita, ada lima pasal yang bicara khusus masalah NKRI untuk meyakinkan bahwa NKRI ini adalah merupakan bagian dari pilihan bangsa ini. Pasal 1 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 25A, serta Pasal 37 ayat (5), itu semua bicara masalah NKRI. Ya, jadi dari mulai dari sistem dan bentuk pemerintahan kita, bentuk negara kita, ya, kemudian masuk pada otonomi daerah, kemudian berkaitan dengan penghargaan sistem budaya yang begitu majemuk di tengah-tengah bangsa kita, berkaitan dengan persoalan wilayah negara, dan termasuk bahwa ada satu komitmen pembentuk Undang-Undang Dasar bahwa NKRI-lah satusatunya yang tidak bisa diubah di dalam Undang-Undang Dasar kita. Itu komitmen, ya itu komitmen. Jadi, Saudara kaitkan dengan persoalan otonomi daerah, yaitu di dalam Pasal 18. Dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, itu pertama mengakui bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia itu kita mengenal kita membagi NKRI itu kepada provinsi. Provinsi dibagi dengan kabupaten/kota. Artinya, provinsi, 9

13 kabupaten/kota adalah satu lembaga yang diakui oleh konstitusi, sehingga tidak bisa diganggu gugat. Kemudian di dalam Pasal 18 itu, ya, coba saya buka dulu sedikit supaya nah, dalam Pasal 18 itu prinsip NKRI itu, ya, yang telah mengakui adanya provinsi, kabupaten/kota itu dinyatakan dalam ayat (2) bahwa provinsi daerah pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Nah karena dia akan mengurus sendiri urusan pemerintahan, sementara di dalam konstitusi kita bagaimana penyelenggaraan pemerintahan, itu kan juga tidak bisa dilepaskan dari hakikat Pasal 33. Kemudian juga pada persoalan-persoalan kesejahteraan sosial lainnya. Nah, kemudian dalam 18 ini, itu dinyatakan secara tegas bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Jadi, Saudara gambarkan, bayangkan kita memiliki DPRD ya, DPRD-nya dipilih melalui pemilihan umum, sebagaimana halnya juga yang dicantumkan dalam Pasal 22E ayat (2) ya, Pemilihan umum itu salah satu di antaranya adalah untuk memilih anggota DPRD. Jadi, anggota DPRD. Kemudian dalam Pasal 18 ayat (5) itu 18 ayat (6) ya, yang 18 ayat (6) Saudara lihat, Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah. Coba ya, Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan oto tugas pelaksanaan otonomi dan tugas perbantuan. Dalam konteks undang-undang yang Saudara ajukan pengujiannya ini, ya, itu Pasal 25 ayat (1) itu membedakan dua hal yang sangat prinsip, coba dilihat ya. Yang pertama adalah ayat (1)-nya perda provinsi. Perda provinsi itu ada kaitannya ya ada perda provinsi, ada perda kabupaten/kota itu ada kaitannya dengan Pasal 18 ayat (6). Bahwa perda itu adalah suatu produk hukum yang diakui oleh Undang- Undang Dasar secara eksplisit dan tidak bisa diganggu, namanya peraturan daerah, ya, harus dihormati. Apalagi produk hukumnya perda itu dibuat oleh DPRD yang anggotanya dipilih langsung melalui pemilihan umum bersama-sama dengan kepala daerah yang pemilihannya dilakukan secara demokratis, tapi dalam penyelenggaraanya juga dipilih melalui suatu proses pemilihan. Oleh karena itu, oleh karena Perda merupakan produk legislasi, Saudara harus mampu menegaskan bahwa produk legislasi yang dibuat oleh anggota DPRD yang dipilih melalui pemilihan umum itu, Saudara bisa mempertanyakan, Apakah suatu Perda bisa dibatalkan oleh pemerintah? Dalam hal ini gubernur maupun menteri, ya kan? Perda. Kemudian, di sisi lain ya, di sisi lain kalau kita melihat dari sistem ketatanegaraan kita di dalam Undang-Undang Dasar itu juga dinyatakan 10

14 bahwa pemerintahan daerah itu adalah merupakan bagian dari pemerintahan secara keseluruhan. Oleh karena itu, ada posisi, ada argumentasi dan orang berpendapat karena dia adalah merupakan bagian dari pemerintahan daerah, maka produk-produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah... pemerintahan daerah dinyatakan juga adalah bisa diawasi oleh pemerintahan di yang lebih tinggi, tetapi harus Saudara bisa menafikan atau menjawab apa yang saya katakan tadi, apakah memang seperti itu? Apakah memang seperti itu? Ketika kita bicara tentang masalah pemerintahan daerah ya, dan kita bicara tentang masalah pemerintah daerah, dua hal yang berbeda. Ya, dua hal yang berbeda. Ketika kita bicara masalah pemerintahan daerah, produk hukumnya adalah peraturan daerah yang ada DPRD-nya, tetapi ketika kita bicara tentang masalah pemerintah daerah, di situ baru kita bicara tentang masalah kepala daerah ya. Pemerintah daerah itu dipimpin oleh kepala daerah. Kepala daerah itu gubernur, bupati, dan walikota yang juga memiliki kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum, baca Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 7 dan Pasal 8. Pasal 7 dan Pasal 8 itu membedakan ya. Hierarki perundangundangan kita dalam Pasal 7 itu terakhir adalah peraturan daerah. Akan tetapi dalam Pasal 8, itu juga mengakui adanya peraturan gubernur, bupati, dan walikota, tetapi dipisah. Kalau di dalam yang pertama di atas itu Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Itu hierarkinya, tapi di bawah Pasal 8 banyak lagi peraturan-peraturan yang dibuat secara mandiri oleh lembaga-lembaga. Ya, termasuk peraturan yang dibuat oleh gubernur, bupati, dan walikota, sehingga Saudara harus bisa memilah dua hal ini. Ketika kita bicara masalah peraturan daerah provinsi kabupaten/kota, itu adalah produk legislasi. Nah, pertanyaan saya Saudara harus mampu membawa ahli ke persidangan ini, apakah ya apakah peraturan daerah itu merupakan produk legislasi bagian dari pelaksanaan pemerintahan yang bisa dibatalkan? Ya, Saudara harus mampu memberikan itu, ataukah memang itu terpisah sama sekali? Karena dia produk legislasi yang anggota-anggota DPRD-nya dipilih melalui pemilihan umum ya, kan? Apakah boleh, apakah bisa Menteri Dalam Negeri membatalkan produk legislasi yang dibuat oleh gubernur bersama dengan DPRD, yang kedua-duanya dipilih melalui suatu proses pemilihan? Sementara menteri adalah perpanjangan tangan presiden, yang tidak dipilih melalui suatu proses pemilihan, seperti gubernur, ya kan, ataupun DPRD. Jadi tugas Anda nih berat nih Saudara Hafidz, saya paham ini maksudnya. Tapi, konstruksi cara berpikir itu harus dipahami sehingga apa yang diinginkan ini bisa dipahami, ya. Itulah sistem hukum dalam sistem ketatanegaraan kita. Kalau peraturan gubernur, peraturan bupati, 11

15 walikota, itu bersifat mandiri. Oleh karena itu, di dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) ini juga dipisahkan kalau kita... dalam Pasal ayat (7) dan ayat (8) itu dipisahkan, coba, kelihatan ini, Dalam hal penyelenggara pemerintahan daerah provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan perda provinsi, jelas ini, ya, Penyelenggara pemerintah daerah provinsi, ya, Penyelenggara pemerintahan daerah provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan perda provinsi, itu satu sisi, undang-undang ini langsung memisahkan, Dan gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan gubernur. Jelas ini kan, dua hal. Begitu juga di bawah, Bupati dan walikota tidak dapat menerima pembatalan keputusan. Ini dalam lho, saya beri tahukan, ini dalam ini. Jadi, untuk orang mencapai S3 kalau dia bikin disertasi ini bisa ini, betul. Jadi, harus dipisah. Jadi karena Saudara sudah sering mengajukan permohonan ke sini jangan nekat tentang masalah ini. Boleh nekat, tapi Saudara pahami apa yang saya sampaikan ini, ini pelajarannya berat sistem ketatanegaraannya karena saya ikut membuat Undang-Undang Dasar ini, ya. Kemudian, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 itu juga Saudara lihat siapa tanda tangan di situ, Dirjennya Pak Wahiduddin Adams. Konstruksinya begitu, ya. Jadi, Saudara saya minta mengelaborasi secara mendalam sistem ini, mulai... Saudara mulai dari kekuasaan kehakiman, lanjut kepada otonomi daerah, bagaimana posisi di dalam otonomi daerah itu terhadap kepala daerah, DPRD ya, kemudian produk hukum otonomi daerah itu apa saja, berkaitan dengan peraturan daerah, bedakan dengan peraturan gubernur, bupati, walikota sebab saya melihat ini Saudara menyamakan posisinya sehingga Saudara minta rata, Saudara minta diratakan di dalam permohonan Saudara. Berbeda itu ya, berbeda itu. Kalau kita berdebat tentang masalah sistem ketatanegaraan bahwa gubernur, bupati, walikota itu adalah bagian dari pemerintahan, secara nasional ya, ya betul, enggak bisa dia memilah-milah, memisahmisahkan. Saya ini gubernur enggak patuh dengan pemerintahan pusat, ya, enggak boleh, bupati/walikota harus patuh dengan Presiden karena Presiden adalah Pasal 6 itu mengatakan, Yang memegang kekuasaan pemeritahan negara itu Presiden. Dia enggak boleh pisah, even peraturan Presiden sekalipun juga tidak boleh dilawan oleh gubernur, bupati, dan walikota karena dia bagian. Oleh karena itu, undang-undang ini memisah perda dan peraturan gubernur, bupati, walikota. Jadi kalau Saudara menyamakan ini menjadi rancu. Tapi permohonan ini sangat bagus ya, awal kita membuka cakrawala bagaimana apa namanya... kita bisa memahami konstruksi cara pikir sistem ketatanegaraan dan sebetulnya ini sudah ada juga diuji di dalam Perkara Nomor 137 Tahun 2015 yang belum dibacakan 12

16 putusannya oleh Mahkamah yang diajukan oleh Asosiasi Pemerintahan Daerah. Tentu saya tidak akan menyampaikan bagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi karena dia diajukan oleh Asosiasi Pemerintahan Daerah. Ketika kita bicara tentang masalah pemerintahan daerah yang mengajukan itu juga harus ada persyaratan yang ditentukan apakah dia punya legal standing apa tidak, termasuk Saudara Para Pemohon. Seperti dikatakan oleh Pak Wahiduddin Adams tadi harus Saudara yakinkan bahwa Saudara mempunyai hak untuk mengajukan permohonan ini karena ada kerugian hak-hak konstitusional atau potensial dirugikan, itu harus duduk legal standing-nya, kalau enggak nanti mubazir. Paham enggak itu? Benar nih, paham? Insya Allah, ya. Saudara apa... Hafidz ya, Saudara Hafidz, ini sebagai... langsung sebagai Pemohon, ya? Muhammad Hafidz. Saudara sarjana hukum bukan? Sarjana hukum. S berapa? Oh, baru S1, tapi ini berjalannya S3 tadi, tapi kalau bisa bagus itu ya, sistem ketatanegaraan. Jadi, itu ya, antara lain yang bisa saya sampaikan prinsip-prinsip dasar dalam sistem ini. Jadi, otonomi daerah Saudara masuk kepada pemilu ya, masuk pada prinsip-prinsip NKRI, baru masuk kepada perda yang dibuat secara legislasi, kemudian peraturan kepala daerah yang dibuat secara mandiri, ya. Ini mangguknya panjang ini, nanti waktu perubahan saya ingin dengar benar apa enggak, ya. Oke, ini berempat, ya, coba. Terima kasih, Pak Ketua. 9. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL Terima kasih, Yang Mulia. Tadi sudah banyak, ya, saran-saran mungkin apakah bisa dicatat atau tidak, nanti terserah Pemohon itu, ya. Kecermatan Pemohon nanti itu karena kuliahnya sudah tingkat S3 lebih itu. Baik. Dari saya hanya sedikit saja, ada mungkin 4 poin ya, yang mungkin saya kemukakan mengenai soal permohonan. Pertama, saya melihat di huruf a dari Putusan Mahkamah Konstitusi, ya, Nomor 6 dan Nomor 11 itu di huruf a ada mengatakan, Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Tahun Saya melihat di Pasal 24A yang Saudara kemukakan di ayat (1) juga maupun Pasal 27 ayat (1) ini, ya. Ini hanya peraturan yang umum tentang kekuasaan kehakiman maupun hak-hak... apa namanya... kedudukan di dalam hukum, kedudukan yang sama di dalam hukum oleh masyarakat. Jadi, barangkali supaya itu nampak nanti ada hak konstitusional, coba dilihat di pasal-pasal dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu yang bisa memperlihatkan, ya, adanya kerugian konstitusional dihubungkan dengan apa yang Saudara kemukakan di dalam permohonan ini guna merealisasikan kehidupan bermasyarakat, di antaranya berkeadilan dan 13

17 berkesejahteraan, nah ini. Jadi supaya nampak di situ di mana hak konstitusional yang dirugikan itu, di mana? Nah, coba dilihat di pasalpasal lain, barangkali yang itu bisa jelas dilihat, ya. Umumnya itu ada di Pasal 28 itu, apa Pasal 28D atau Pasal 28C, itu coba nanti dilihat lagi lebih lanjut. Itu yang pertama. Kemudian yang kedua, perda yang diduga ya akan dibatalkan itu, ya, itu kan dugaan. Jadi tadi potensial, begitu ya. Nah, terus tadi dari Pak Wahiduddin juga menyarankan agar itu disebutkan apanya... apa itu... peraturan itu, peraturan daerah mengenai ketenagakerjaan itu disebutkan supaya itu nampak jelas nanti, ya, di situ di mana hak-hak daripada Pemohon ini yang mungkin dirugikan kalau itu nanti dibatalkan, baru dihubungkan dengan... saya lihat semua ini karyawan ya? Karyawan, jadi ada jelas hubungannya, ada benang merahnya nanti antara peraturan yang diduga akan dibatalkan itu dengan Pemohon, sehingga memperjelas nanti kedudukan hukum dari Para Pemohon di dalam permohonan ini. Jadi itu yang kedua, ya. Jadi sifatnya lagi bukan lagi nanti potensial, tapi mungkin sudah lebih mengarah ke aktual, ya. Spesifik dan aktual. Kemudian yang ketiga, ini menyangkut substansi dari permohonan ini. Ini harus Saudara uraikan dulu memang lebih jelas, tadi memang di permohonan sudah saya baca, harus ada jelas apa yang... perbedaan antara judicial review dengan executive review itu. Saudara tadi sudah mengajukan memang preventif, ya. Ya, preventifnya sifatnya itu memang executive review, itu tadi ya, saya lihat. Namun kalau dalam judicial review, nah, ini kan akan beda dia. Judicial review kalau kita lihat... apa namanya... pasal-pasal dari Undang-Undang Mahkamah Agung mengenai soal judicial review, itu akan hanya bertentangan dengan undang-undang di atasnya, begitu ya. Tetapi kalau di executive review ada dua tadi, bertentangan dengan kepentingan umum maupun... apa namanya itu... kesusilaan, nah itu. Jadi coba nanti dilihat itu nanti di mana titik... apa namanya... titik pisahnya itu, ya, judicial review dengan executive review itu, supaya nanti jelas nanti membedakan antara permohonan Saudara yang... Saudara kemukakan itu agar itu nampak adanya suatu dualisme tadinya, dualisme, ya. Masa dua tadi, ya? Padahal harusnya satu saja, ya, untuk perda ini hanya satu, itu tadi yang dikemukakan. Yaitu judicial review terhadap perda hanya Mahkamah Agung, tidak ada selain daripada itu, apalagi eksekutif, sepertinya itu enggak sesuai dengan hukum tata negara tadi, kan. Kuliah tadi. Nah, jadi coba nanti dilihat ke sana bahwa perda itu jelas memang itu hanya kewenangan dari Mahkamah Agung, ya, sedangkan undangundang itu tadi ke Mahkamah Konstitusi. Jadi jelas nanti judicial review alasan legis, ya, jadi sifat legisnya ada. Tapi kalau dalam executive review-nya, itu sifat sosiologisnya, itu barangkali nanti yang Saudara bisa lebih... apa namanya... jelaskan lebih lanjut itu. 14

18 Namun, sebelumnya juga harus dipelajari dulu nanti apa-apa dalam Permohonan Nomor 137, ya. Belum diputus tadi, ya, belum diputus Nomor 137 yang masuk di dalam yang masuk sebagai permohonan di Mahkamah Konstitusi ini yang masih dalam proses, itu juga barangkali permohonan itu perlu dilihat bagaimana kira-kira content-nya, hubungannya dengan permohonan Saudara ini. Di dalam petitum tadi mungkin sudah disinggung, ya, oleh Yang Mulia Pak Wahiduddin, tapi sedikit saya juga mau menyarankan, ya, agar apa yang Saudara mohonkan di sini yaitu ke Mahkamah Agung paling lama 14 hari setelah ditetapkan. Itu juga perlu dijaga, ya, 14 hari setelah ditetapkan apakah ini juga memungkinkan ada proses-proses, tadi sosialisasi dan segala macam, dan dihubungkan juga dengan hukum acara yang berlaku di Mahkamah Agung sendiri, ya, hukum acara yang berlaku di Mahkamah Agung juga waktunya agak mepet juga seperti ini. Jadi apakah ini masih cocok nanti di dalam permohonan Saudara ini perlu diteliti lebih lanjut, ya. Barangkali itu saja, tambahan, Yang Mulia? Sedikit, silakan. 10. HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Mumpung masih ada waktu sedikit, Pak. Saya mau menambahkan, ya. Tapi ini hanya sekadar bahan tambahan tapi ini memang perlu didiskusikan jangan sampai berada pada positif legislator Mahkamah ini, yaitu tentang pembatalan yang tadi. Kalau dilihat dari permohonan Saudara ini kalau boleh saya tangkap sementara bahwa Saudara ini sangat setujulah dengan perda dalam kerangka keadilan dan kesejahteraan, terutama berkaitan dengan buruh, gaji-gaji buruh, kesejahteraan buruh. Di satu sisi memang keliatannya seperti itu. Jadi Saudara menyetujui baik itu perda maupun peraturan-peraturan kepala daerah itu. Nah, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana halnya kalau sebaliknya? Justru perda atau peraturan-peraturan kepala daerah lainnya yang justru malah merugikan kepentingan buruh, ini posisinya bagaimana? Ya, ini memang agak di luar ini, ya, panjang lagi ini tapi ini tersendiri undang-undangnya tapi hanya sekadar bahan renungan bagaimana kalau posisi sebaliknya, gitu. Begitu saja, Pak. 11. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL Baik, ada tanggapan dari Pemohon mengenai itu? 12. PEMOHON: MUHAMMAD HAFIDZ Ya, yang terakhir sih saya tanggapi Pak Patrialis. Selama ini kita ajukan uji ke MA, Pak, dan tadi hari ini kan di NO nih yang di MA sifatnya terbuka. Jadi, ya, cukup, Yang Mulia. 15

19 13. KETUA: MANAHAN MP SITOMPUL Baik. Untuk perbaikan dari permohonan ini, diberikan waktu kepada Pemohon untuk memperbaikinya sampai hari Rabu, tanggal 3 Agustus 2016 Pukul WIB. Jadi hari Rabu, tanggal 3 Agustus 2016 Pukul WIB. Kalau lebih cepat juga, ikan sepat ikan gabus, lebih cepat lebih bagus, gitu ya. Kalau boleh sebelum itu sudah diajukan atau disampaikan perbaikannya itu lebih bagus. Baiklah, terima kasih. Pemeriksaan permohonan pada hari ini kami anggap sudah selesai, maka sidang kami nyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL WIB Jakarta, 28 Juli 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya. 16