DAFTAR ISI. I. Pendahuluan A. Latar Belakang B. Tujuan C. Ruang Lingkup Kegiatan D. Metodologi E. Pelaksana...

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAFTAR ISI. I. Pendahuluan A. Latar Belakang B. Tujuan C. Ruang Lingkup Kegiatan D. Metodologi E. Pelaksana..."

Transkripsi

1

2 DAFTAR ISI I. Pendahuluan... 6 A. Latar Belakang... 6 B. Tujuan... 7 C. Ruang Lingkup Kegiatan... 8 D. Metodologi... 9 E. Pelaksana... 9 F. Hasil yang Diharapkan... 9 G. Waktu Pelaksanaan H. Jadwal Kegiatan II. Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana dan Ekstradisi: dalam Kerangka Kerjasama Internasional A. Pengertian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana B. Kerangka Hukum MLA dan Ekstradisi di Indonesia C. Model Dasar Pelaksanaan Kerjasama Internasional dan Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (MLA) Panduan Bagi Lembaga Legislatif (Legislative Guide) UNCAC Konvensi OECD tentang Pemberantasan Penyuapan Pejabat Publik Asing dalam Transaksi Bisnis Internasional (OECD Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions) Praktek-praktek Terbaik Pelaksanaan MLA dan Ekstradisi III. Praktek Pelaksanaan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana di Indonesia - Kondisi Saat Ini dan Tantangan ke Depan A. Dasar Pelaksanaan B. Peran Lembaga Penegak Hukum dalam Pelaksanaan Kerjasama MLA (dan Ekstradisi) Kepolisian Republik Indonesia Kejaksaan RI Komisi Pemberantasan Korupsi Kementerian Luar Negeri Kementerian Hukum dan HAM Tim Terpadu Pencari Terpidana dan Tersangka Tindak Pidana Korupsi

3 IV. Evaluasi Peran Otoritas Pusat dalam Pelaksanaan Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (MLA)...59 A. Umum B. Perencanaan dan Penganggaran yang mendukung Pelaksanaan Kerjasama Timbal Balik dalam Masalah Pidana (MLA) Tugas dan Fungsi Indikator Kinerja, Perencanaan dan Penganggaran Kinerja Otoritas Pusat V. Kesimpulan dan Rekomendasi A. Kesimpulan B. Rekomendasi

4 DAFTAR TABEL 1. Tabel 3.1 Tahapan Proses Lembaga Kejaksaan atas Permintaan Bantuan Indonesia ke Negara Lain dan Proses Permintaan Negara Lain kepada Pemerintah Indonesia Tabel 3.2 Jumlah Permintaan MLA oleh Jurisdiksi Asing Tabel 3.3 Jumlah Permintaan MLA kepada Jurisdiksi Asing Tabel 3.4 Prosedur/Mekanisme Kinerja Kerjasama Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assisstance) Tabel 4.1 Jangka Waktu Penanganan Penerimaan Bantuan MLA dari Pemerintah Indonesia Tabel 4.2 Jangka Waktu Penanganan Penerimaan Bantuan MLA dari Pemerintah Negara Lain Tabel 4.3 Rekomendasi UNCAC terkait Kerjasama Internasional Tabel 4.4 Renstra Kementerian Hukum dan HAM Program Administrasi Hukum Umum Tabel 4.5 Indikator Kinerja terkait Otoritas Pusat kurun waktu Tabel 4.6 Permintaan Bantuan Hukum (MLA) ke Pemerintah Republik Indonesia dan oleh Pemerintah Republik Indonesia Kurun Waktu Januari-Desember Tabel 4.7 Permintaan Ekstradisi ke Pemerintah Republik Indonesia dan oleh Pemerintah Republik Indonesia Kurun Waktu Januari-Desember Tabel 4.8 Kegiatan dalam Rangka MLA dan Ekstradisi Periode Tahun Tabel 4.9 Penerimaan Permintaan MLA dari Dalam dan Luar Negeri Periode Januari Juni Tabel 4.10 Data Keuangan Negara yang Berhasil Diselamatkan Oleh Kejaksaan Agung Tabel 4.11 Data Keuangan Negara yang Berhasil Diselamatkan Oleh KPK

5 DAFTAR GAMBAR 1. Gambar 2.1. Statistik Kasus Ekstradisi Australia Gambar 2.2. Statistik Kasus Bantuan Timbal Balik Australia Gambar 3.1 Alur Permintaan Bantuan Internasional di KPK Gambar 4.1 Struktur Kelembagaan Kemkumham terkait Pelaksanaan MLA Gambar 4.2 Tindak Lanjut Proses Permintaan MLA Periode Januari Desember Gambar 4.3 Tindak Lanjut Proses Permintaan Ekstradisi Periode Januari-Desember

6 BAB I PENDAHULUAN 5

7 Evaluasi Peran Otoritas Pusat dalam Pelaksanaan Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistant) I. Pendahuluan A. Latar Belakang Di era globalisasi, intensitas interaksi dan arus lalu lintas manusia antar satu negara dengan negara lain menjadi semakin sering dan melampaui batas negara, dimana potensi persinggungan antara satu sistem hukum yang berlaku di suatu negara dengan sistem hukum yang berlaku di negara lain, sebagai dampak interaksi dari masyarakat dunia yang mencakup interaksi positif maupun negatif seperti tindak pidana. Proses penegakan hukum sebagai upaya perlindungan negara terhadap warganegaranya akan terkait dengan sistem hukum yang berbeda yang dapat menimbulkan potensi permasalahan dalam hal implementasi hukum yang berlaku. Adanya permasalahan hukum antar negara tersebut menyebabkan besar kemungkinan seorang yang harus menjalani proses peradilan pidana di luar wilayah negara bersangkutan. Dengan adanya konsep soveregnity dari suatu negara, pelaksanaan penegakan hukum di negara lainnya tidak dapat dilakukan tanpa adanya koordinasi dan bantuan hukum dari negara tujuan. Beberapa kasus aktual yang terjadi saat ini seperti tersangka kasus korupsi yang melarikan diri ke luar negeri dan aset hasil korupsi yang berada di luar negeri merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum di Indonesia untuk dapat menangkap tersangka atau terpidana yang berada di luar wilayah jurisdiksi sistem peradilan Indonesia. Tidak hanya penangkapan tersangka/terpidana, namun diperlukan tindakan hukum lainnya dalam hal perampasan hasil tindak pidana yang dilarikan ke luar negeri. Upaya penegakan hukum ini bukan merupakan permasalahan yang sederhana, melihat kompleksitas upaya hukum yang harus dilaksanakan di jurisdiksi yang berbeda, perbedaan sistem hukum, termasuk koordinasi dengan lembaga penegak hukum. Oleh karena itu, diperlukan upaya kerjasama antar aparat penegak hukum di Indonesia dan negara dimana tersangka tersebut berada. Bab IV Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 mengenai Kerjasama Internasional telah memberikan landasan hukum untuk pelaksanaan koordinasi antara negara peserta Konvensi PBB Anti Korupsi tersebut. Pengaturan di dalam Bab ini menguraikan hal-hal yang terkait dengan beberapa kegiatan dalam rangka kerjasama internasional seperti pelaksanaan ekstradisi, transfer narapidana (Transfer of Sentenced Person), bentuk kerjasama bantuan hukum timbal balik, pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, tukar menukar informasi, teknik investigasi, dan lain-lain. Untuk mempermudah pelaksanaan koordinasi dalam kerangka kerjasama internasional dan pelaksanaan bantuan hukum dalam masalah pidana, maka penegakan hukum dilaksanakan melalui lembaga Otoritas Pusat (Central of Authority) 6

8 yaitu lembaga yang berwenang untuk melakukan pengajuan dan penanganan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan permintaan ekstradisi. Secara nasional, pelaksanaan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Dalam hal ini, Kementerian Hukum dan HAM ditunjuk sebagai lembaga otoritas pusat yang berwenang menangani permintaan dari negara lain dan atau mengajukan permintaan bantuan timbal balik masalah pidana kepada negara lain serta menyusun pedoman dalam membuat perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan negara asing. Adapun lingkup dari pelaksanaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana antara lain terkait proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara diminta. Pada dasarnya, keberadaan lembaga otoritas pusat ini diperlukan untuk membantu negara peserta dalam proses penegakan hukum dan menjembatani adanya perbedaan sistem hukum nasional negara-negara dalam proses penegakan hukum tersebut. Dalam mekanisme pelaksanaan bantuan timbal balik, suatu negara akan menunjuk suatu lembaga atas yang atas nama pemerintah negara yang bersangkutan sebagai pihak yang berwenang menerima atau mengajukan permintaan resmi bantuan timbal balik masalah pidana dan bertanggung jawab atas proses bantuan timbal balik di negaranya. Keberadaan lembaga ini menjadi penting dimana proses administrasi dan operasional penegakan hukum adalah pintu awal kerjasama penegakan hukum yang mempunyai kompleksitas tinggi dalam pengaturan koordinasi yang diperlukan. Lembaga otoritas pusat inilah yang berperan dalam koordinasi penegakan hukum baik untuk negara peminta (Requesting Party) atau pun negara yang diminta (Requested Party). B. Tujuan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut Stranas PPK ) Jangka Panjang Tahun dan Jangka Menengah Tahun menetapkan adanya 6 (enam) strategi yaitu (1) Strategi Pencegahan, (2) Strategi Penegakan Hukum, (3) Strategi Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, (4) Strategi Kerja Sama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor, (5) Strategi Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi, dan (6) Strategi Pelaporan. Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi khususnya terkait dengan strategi kerja sama internasional dan penyelamatan aset hasil tipikor adalah masih rendahnya tingkat keberhasilan (success rate) kegiatan-kegiatan dalam kerangka kerjasama internasional yang menjadi ruang lingkup kerja lembaga otoritas pusat. Sebagaimana diketahui, di dalam Stranas PPK terdapat peta jalan (road map) dan indikator keberhasilan dari setiap pelaksanaan ke-6 strategi, termasuk target sasaran untuk strategi ke-4 yaitu Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor. Baik untuk jangka panjang 7

9 maupun jangka menengah, sasaran utama adalah persentase pengembalian aset hasil Tipikor. Berdasarkan sasaran dari peta jalan Stranas PPK tersebut, maka keterkaitan peran Kementerian Hukum dan HAM sebagai pelaksana otoritas pusat menjadi sangat penting di dalam rangkaian proses penyelamatan aset hasil tipikor. Sejauhmana otoritas pusat dan institusi penegak hukum yang terkait dapat memperlihatkan kinerja dan berperan dalam upaya penegakan hukum dalam kerangka transnasional antara lain seperti memperoleh dan menyelamatkan aset hasil tipikor untuk dikembalikan kepada negara atau pihak lain yang berhak, menjadi bahan dasar evaluasi terutama dalam proses perencanaan dan penganggaran setiap institusi yang terkait untuk mendukung pelaksanaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana tersebut. Kegiatan evaluasi peran Kementerian Hukum dan HAM sebagai pelaksana otoritas pusat (Central of Authority) sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2006 bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi oleh otoritas pusat, utamanya dalam pelaksanaan tugas yang diamanatkan peraturan perundang-undangan beserta insitusi terkait dalam kerangka koordinasi penegakan hukum. Kegiatan ini juga akan melihat tantangan ke depan dan rekomendasi perbaikan dalam rangka pelaksanaan penegakan sistem hukum melalui kerjasama internasional. C. Ruang Lingkup Kegiatan Ruang lingkup kegiatan yang akan dilaksanakan adalah : 1. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi lembaga penegak hukum di Indonesia dalam rangka pelaksanaan perjanjian timbal balik masalah pidana seperti pengambilan barang bukti yang berada di luar negeri, identifikasi dan pencarian orang, upaya pengembalian aset hasil kejahatan yang berada di negara lain serta tindakan lain yang diatur dalam UU No.1 Tahun 2006; 2. Identifikasi masalah dan kendala yang dihadapi Kementerian Hukum dan HAM sebagai pelaksana otoritas pusat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang masih berlaku; 3. Melakukan studi kepustakaan terkait dengan pelaksanaan lembaga otoritas pusat yang ada di negera lain dan bagaimana hubungan antara lembaga tersebut dengan lembaga penegak hukum lainnya; 4. Memberikan rekomendasi mengenai optimalisasi peran lembaga otoritas pusat dan lembaga penegak hukum lain yang terkait dalam proses kerjasama internasional dan pelaksanaan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana. 8

10 D. Metodologi Pelaksanaan kegiatan evaluasi ini menggunakan metodologi penelitian normatif dan empiris yang akan diuraikan penulisannya secara deskriptif. Data primer diperoleh melalui pelaksanaan beberapa Focus Group Discussions dengan stakeholders terkait (misalnya dengan Kepolisian, Kejaksaan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri) dan pelaksanaan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan beberapa narasumber dari Kejaksaan dan Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan penelitian normatif dilaksanakn untuk mendukung pengumpulan data sekunder yang diperoleh melalui RPJMN, Renstra, Renja KL, studi literatur terkait, dan internet. E. Pelaksana Dalam melakukan kegiatan pemantauan ini keanggotaan TPRK berasal dari Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) disamping itu juga akan mengikutsertakan personil dari Direktorat lain dan perwakilan dari instansi penegak hukum. Dengan adanya keanggotaan TPRK yang lintas sektor di Bappenas dan lintas K/L), TPRK tersebut terdiri dari Penanggung Jawab, Ketua Pelaksana, Sekretaris, Anggota Tim Pelaksana sebanyak 12 orang dan Tenaga Pendukung sebanyak 3 (tiga) orang. Diharapkan akan memperkaya hasil evaluasi ini karena akan melihat dari sudut pandang yang lebih luas. Tim ini nantinya akan bekerja selama 12 bulan selama proses awal sampai berakhirnya kegiatan, dimana masing-masing anggota akan mempunyai tugas dan fungsi sesuai penjabaran dalam SK yang diterbitkan oleh Bappenas. Disamping itu dalam melaksanakan kegiatan evaluasi ini, Direktorat Hukum dan HAM akan dibantu oleh seorang tenaga pengolah data dengan pendidikan minimal S1 bidang Ekonomi. Kegiatan tersebut akan dilaksanakan pelaksanaan pertemuan dan FGD dengan mengundang narasumber dari berbagai kalangan seperti aparat penegak hukum, Kementerian Hukum dan HAM, serta dari kalangan akademisi. Disamping itu juga akan melakukan studi literatur terkait dengan pelaksanaan otoritas pusat yang ada di negera lain. Kegiatan ini diharapkan dapat diselesaikan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, terhitung sejak tanggal 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember F. Hasil yang Diharapkan Dari kegiatan evaluasi ini, diharapkan dapat menghasilkan: 1. Laporan tentang evaluasi dari peran Kementerian Hukum dan HAM sebagai pemegang kewenangan Otoritas Pusat sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2006; 2. Rekomendasi untuk optimalisasi peran dari lembaga Otoritas Pusat dan institusi penegak hukum lainnya ke depan untuk memperkuat dan mendukung tugas dan fungsi melalui perencanaan dan penganggaran kegiatan. 9

11 G. Waktu Pelaksanaan Kegiatan ini akan dilaksanakan selama ± 12 (dua belas) bulan, yakni terhitung sejak 1 Januari s.d. 31 Desember H. Jadwal Kegiatan Kegiatan Jan Feb Maret Apr Mei Jun Juli Agst Sept Okt Nop Des Penyempurnaan TOR Inventarisasi Data & Informasi Penyusunan Draft Laporan Penyelenggaraan FGD Penyelenggaraan Konsinyiring Finalisasi Laporan Penyerahan Laporan 10

12 BAB II BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DAN EKSTRADISI: DALAM KERANGKA KERJASAMA INTERNASIONAL 11

13 II. Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana dan Ekstradisi: dalam Kerangka Kerjasama Internasional A. Pengertian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana Sebagaimana telah diulas dalam bagian pendahuluan, penegakan hukum yang terkait dengan jurisdiksi negara lain, memerlukan koordinasi dan kerjasama internasional yang dapat dilaksanakan berdasarkan kesepakatan internasional sebagaimana UNCAC, dan UNTOC. Kerangka kerjasama internasional sebagaimana Bab IV UNCAC mengenai Kerjasama Internasional telah memberikan landasan hukum untuk pelaksanaan koordinasi antara negara peserta Konvensi PBB Anti Korupsi tersebut. Pengaturan di dalam Bab ini menguraikan hal-hal yang terkait dengan beberapa kegiatan dalam rangka kerjasama internasional seperti pelaksanaan ekstradisi, transfer narapidana (Transfer of Sentenced Person), bentuk kerjasama bantuan hukum timbal balik (MLA), pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, tukar menukar informasi, teknik investigasi, dan lain-lain. Secara umum, pelaksanaan kerjasama internasional dalam penanganan masalah pidana dapat dilaksanakan melalui beberapa jalur seperti jalur diplomatik (diplomatic channel), jalur institusi penegak hukum ke institusi penegak hukum (LEA to LEA), dan jalur otoritas pusat ke otoritas pusat di negara lain (CA to CA). Untuk mempermudah pelaksanaan koordinasi dalam kerangka kerjasama internasional dan pelaksanaan bantuan hukum dalam masalah pidana, maka penegakan hukum dilaksanakan melalui lembaga Otoritas Pusat (Central of Authority) yaitu lembaga yang berwenang untuk melakukan pengajuan dan penanganan permintaan MLA dan permintaan ekstradisi. Secara nasional, pelaksanaan MLA telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana. Dalam hal ini, Kementerian Hukum dan HAM ditunjuk sebagai lembaga otoritas pusat yang berwenang menangani permintaan dari negara lain dan atau mengajukan permintaan MLA kepada negara lain serta menyusun pedoman dalam membuat perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan negara asing. Adapun lingkup dari pelaksanaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana antara lain terkait proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara diminta. B. Kerangka Hukum MLA dan Ekstradisi di Indonesia 1 Pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi UNCAC pada tanggal 18 April 2006 melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC, telah memberikan dasar bagi berbagai upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagai bentuk partisipasi komitmen masyarakat dunia untuk melawan kejahatan korupsi. Konvensi ini pula yang menjadi landasan dari upaya penegakan hukum 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana. 12

14 melalui kerangka kerjasama internasional, dalam bentuk bantuan hukum timbal balik. Secara pro-aktif, Pemerintah Indonesia pada tanggal 3 Maret 2006, telah mengesahkan UU No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana pada tanggal 3 Maret 2006 ( UU MLA ). Keberadaan Undang-Undang ini bertujuan memberikan dasar hukum bagi Pemerintah Republik Indonesia dalam meminta dan/atau memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan pedoman dalam membuat perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan negara asing berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan Negara Diminta. Dalam UU MLA tersebut, bantuan hukum timbal balik ( bantuan ) dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian, dimana apabila Pemerintah Indonesia dan negara lain belum memiliki perjanjian pemberian bantuan maka bantuan dapat dilakukan atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip resiprositas. Adapun lingkup pelaksanaan bantuan, terkait dengan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Negara Diminta Bantuan sebagaimana dimaksud dapat berupa: a. mengidentifikasi dan mencari orang; b. mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya; c. menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya; d. mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan; e. menyampaikan surat; f. melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan; g. perampasan hasil tindak pidana; h. memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak pidana; i. melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; j. mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; dan/atau k. Bantuan lain yang sesuai dengan Undang-Undang ini. Disamping pengaturan mengenai lingkup pelaksanaan bantuan, berdasarkan UU MLA ini memberikan pengecualian, yaitu tidak memberikan kewenangan pelaksanaan bantuan untuk (i) pelaksanaan ekstradisi atau penyerahan orang; (ii) penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang; (iii) pengalihan narapidana; atau (iv) pengalihan perkara. Terhadap bantuan yang dimintakan, dapat dilakukan penolakan bantuan yang berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atas tindak pidana politik, tindak pidana militer, tindak pidana yang pelakunya telah dibebaskan, diberi grasi, atau telah selesai menjalani pemidanaan, tindak pidana yang jika dilakukan di 13

15 Indonesia tidak dapat dituntut, bantuan diajukan untuk menuntut atau mengadili orang karena alasan suku, jenis kelamin, agama, kewarganegaraan, atau pandangan politik, bantuan tersebut akan merugikan kedaulatan, keamanan, kepentingan, dan hukum nasional, negara asing tidak dapat memberikan jaminan bahwa hal yang dimintakan bantuan tidak digunakan untuk penanganan perkara yang dimintakan, apabila negara asing tidak dapat memberikan jaminan pengembalian barang bukti yang diperoleh berdasarkan bantuan apabila diminta, tindak pidana yang terhadap orang tersebut diancam dengan pidana mati, dan apabila persetujuan pemberian bantuan atas permintaan bantuan tersebut akan merugikan suatu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan di Indonesia, membahayakan keselamatan orang, atau membebani kekayaan Negara. Apabila Pemerintah Indonesia menolak pemberian bantuan, maka Menteri Hukum dan HAM memberitahukan dasar penolakan tersebut kepada pejabat Negara Peminta. Pengaturan selanjutnya adalah mengenai mekanisme pengajuan permintaan maupun pengajuan penerimaan bantuan. Pengajuan permintaan bantuan dimana Pemerintah Indonesia akan berlaku sebagai Negara Peminta (Requesting Party) dapat dilakukan secara langsung (Kementerian Hukum dan HAM) maupun melalui jalur diplomatik (Kementerian Luar Negeri). Pengajuan permintaan dapat dilakukan oleh Jaksa Agung, Kapolri maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (dalam kaitan tindak pidana korupsi), dengan persyaratan substansi dan administrasi. Permohonan bantuan dapat berupa antara lain Bantuan untuk Mencari atau Mengidentifikasi Orang, Bantuan untuk Mendapatkan Alat Bukti, Bantuan untuk Mengupayakan Kehadiran Orang di Indonesia, Bantuan untuk Permintaan Dikeluarkannya Surat Perintah di Negara Asing dalam Mendapatkan Alat Bukti, Bantuan untuk Penyampaian Surat, Bantuan untuk Menindaklanjuti Putusan Pengadilan, dan Transit orang yang dalam penahanan. Terkait mekanisme penerimaan bantuan, Pemerintah Indonesia akan berlaku sebagai Negara yang Diminta bantuan (Requested Party) yang koordinasinya dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Penerimaan bantuan dari negara lain dapat dilakukan secara langsung maupun melalui saluran diplomatik dengan persyaratan administratif dan substantif. Permintaan dari negara lain akan dilanjutkan oleh Kementerian Hukum dan HAM sebagai otoritas pusat kepada Kapolri atau Jaksa Agung. Lingkup permintaan bantuan yang diberikan kepada negara peminta, antara lain adalah Bantuan Untuk Mencari atau Mengindentifikasi Orang, Bantuan untuk Mendapatkan Pernyataan, Dokumen, dan Alat Bukti Lainnya Secara Sukarela, Bantuan untuk Mengupayakan Kehadiran Orang di Negara Peminta, Transit, Bantuan untuk Penggeledahan dan Penyitaaan Barang, Benda, atau Harta Kekayaan, Bantuan Penyampaian Surat, dan bantuan untuk Menindaklanjuti Putusan Pengadilan Negara Peminta. Segala biaya yang timbul akibat pelaksanaan permintaan bantuan dibebankan kepada Negara Peminta yang meminta bantuan, kecuali ditentukan lain oleh Negara Peminta dan Negara Diminta. Menteri dapat membuat perjanjian atau kesepakatan dengan negara asing untuk mendapatkan penggantian biaya dan bagi hasil dari hasil harta kekayaan yang dirampas (i) di negara asing, sebagai hasil dari 14

16 tindakan yang dilakukan berdasarkan putusan perampasan atas permintaan Menteri; atau (ii) di Indonesia, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan di Indonesia berdasarkan putusan perampasan atas permintaan negara asing. Kerahasiaan, baik dalam posisi Pemerintah Indonesia sebagai negara peminta atau negara yang dimintakan bantuan dapat dimintakan atas pengajuan permintaan Bantuan, isi permintaan dan setiap dokumen pendukung. Terhadap otoritas pusat juga dapat dimintakan untuk merahasiakan informasi, Keterangan, Dokumen, atau barang atau bukti lainnya yang diberikan atau diserahkan oleh negara asing, kecuali jika informasi, Keterangan, Dokumen, atau barang atau alat bukti lainnya tersebut diperlukan untuk pemeriksaan perkara tindak pidana yang terkait dengan permintaan tersebut. C. Model Dasar Pelaksanaan Kerjasama Internasional dan Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (MLA) Secara umum, pelaksanaan kerjasama internasional dikategorikan dalam bentuk ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana. Ekstradisi adalah penyerahan tersangka atau terdakwa yang dilaksanakan oleh satu negara, atas permintaan negara lain, atas kejahatan yang dilakukan dalam yurisdiksi Negara Peminta. Sedangkan MLA adalah proses formal untuk memperoleh dan memberikan bantuan dalam hal pengumpulan bukti untuk digunakan dalam kasus pidana, mentransfer hasil kejahatan pidana ke negara lain atau mengeksekusi hukuman yang telah berkekuatan hukum tetap dari negara lain. Dalam beberapa kasus, MLA juga dapat digunakan untuk mengembalikan aset hasil korupsi. Kedua ekstradisi dan MLA adalah wadah yang penting dalam rangka kerja sama internasional dalam konteks penegakan hukum pidana. Kerjasama internasional dan MLA di tiap negara berbeda-beda dalam pelaksanaannya, seperti kerjasama bilateral, kerjasama multilateral, pengaturan dalam peraturan perundang-undangan nasional, dan permintaan informasi yang diperlukan berdasarkan surat permintaan resmi yang dikeluarkan oleh pengadilan kepada pengadilan asing (rogatory). Hal ini akan tergantung terhadap kebutuhan masingmasing negara dalam pelaksanaan kerjasama dan negara dimana kerjasama tersebut dimintakan. Biasanya bentuk lazim pelaksanaan kerjasama adalah bentuk traktat (treaty). Adapun keuntungan dari pelaksanaan perjanjian bilateral adalah pengaturannya yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan dari negara penandatangan. Perjanjian bilateral juga lebih mudah untuk diperbaiki sesuai dengan kebutuhan di masa yang akan datang. Namun, dalam pelaksanaan perjanjian bilateral tersebut akan membutuhkan waktu dan tenaga dimana merupakan hambatan tertentu dalam pelaksanaan negosiasi perjanjian bilateral. 2 Di beberapa negara, pelaksanaan 2 Asset Recovery and Mutual Legal Assistant in Asia and the Pacific, ADB/OECD Anti-Corruption Initiative for Asia and the Pacific, Frameworks and Practices in 27 Asian and Pacific Jurisdictions, Thematic Review Final Report, akses 10 Juni

17 kerjasama internasional dan MLA tidak berdasarkan perjanjian, namun diakomodasi dalam peraturan perundang-undangan nasional negara yang bersangkutan. Di dalamnya memuat antara lain prosedur permintaan dan penerimaan maupun eksekusi, yang hampir sama dengan prosedural yang diatur selayaknya di dalam perjanjian (traktat), dengan beberapa klausul tambahan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pihak. Suatu negara dapat langsung memproses permintaan/penerimaan MLA, namun ada juga yang memberlakukan penerimaan bantuan berdasarkan kasus per kasus. Secara umum, keuntungan dari adanya peraturan perundang-undangan nasional masing-masing negara sebagai dasar pelaksanaan MLA adalah efisiensi waktu dan tenaga cepat dan murah. Namun dengan dasar peraturan perundang-undangan nasional saja, pemberlakuan dasar hukum tidak mengikat secara internasional sebagaimana traktat dalam pelaksanaan kerjasama internasional/mla. Prinsip resiprositas (timbal balik) menjadi dasar dari pelaksanaan kerjasama internasional apabila dilakukan tanpa adanya perjanjian. Ketiadaan perjanjian, dalam prakteknya tidak menjadikan kerjasama internasional/mla yang dilakukan berujung pada berkurangnya kerjasama yang dilakukan. 3 Sedangkan terkat permintaan/penerimaan kerjasama internasional maupun MLA dalam bentuk surat rogatory merupakan cara tradisional di beberapa negara, seperti contoh di wilayah Asia-Pasifik. Surat rogatory adalah permintaan bantuan yang dikeluarkan oleh hakim di negara peminta kepada hakim di negara yang diminta. Proses ini memungkinkan hakim dalam yurisdiksi yang berbeda untuk saling membantu. Dalam kebanyakan kasus, hakim juga mungkin bersedia untuk mengeluarkan surat rogatory atas nama polisi atau jaksa untuk mengumpulkan bukti untuk proses hukum selanjutnya. Adanya keterbatasan dalam lingkup bantuan dibandingkan dengan kerangka kerja bantuan lainnya seperti keterbatasan pelayanan dokumen atau memperoleh kesaksian dan dokumen dari saksi. Hal ini khususnya terjadi jika negara yang diminta adalah negara dengan sistem common law dimana para hakim umumnya tidak terlibat dalam penyelidikan. Dalam prakteknya, surat rogatory lebih rumit dan memakan waktu karena proses permohonan ke pengadilan dan/atau proses saluran diplomatik. Hal ini terjadi karena tidak kerjasama berdasarkan perjanjian/traktat, negara diminta/peminta tidak memiliki kewajiban untuk membantu. Dalam prakteknya, penyesuaian prosedur formal MLA dilakukan dengan pengiriman surat rogatory kepada Jaksa Agung maupun Menteri Kehakiman (Department of Justice) untuk pelaksanaan eksekusi sesuai dengan permintaan MLA secara reguler. 4 Pada prakteknya surat Rogatory yang juga disebut sebagai surat permintaan (yang digunakan secara spesifik dalam Konvensi Bukti Den Haag) sering menghadapi respon yang lambat dari pengadilan yang menanggapi sehingga proses ini menjadi ketinggalan zaman. 5 3 Idem, halaman Idem, halaman Rogatory Letters, diakses 20 November

18 Untuk memberikan gambaran sejauhmana pelaksanaan kerjasama internasional dan pelaksanaan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana, berikut beberapa kerangka (framework) yang telah diberikan oleh konvensi internasional, sebagai berikut: 1. Panduan Bagi Lembaga Legislatif (Legislative Guide) UNCAC 6 Tujuan praktis dari panduan bagi lembaga legislatif adalah untuk membantu negara-negara untuk proses mengidentifikasi dalam rangka ratifikasi dan melaksanakan UNCAC. Panduan ini juga bertujuan memberikan dasar yang berguna untuk proyek bantuan teknis bilateral dan inisiatif lain yang akan dilakukan sebagai bagian dari upaya internasional untuk mempromosikan ratifikasi pelaksanaan Konvensi. Penyusunan panduan ini adalah dalam rangka mengakomodasi tradisi hukum yang berbeda dan dinamis dalam perkembangan kelembagaan sehingga menyediakan beberapa pilihan dalam proses implementasi konvensi ini. Panduan ini untuk digunakan terutama oleh perancang legislatif dan otoritas lainnya dalam rangka mempersiapkan ratifikasi dan implementasi Konvensi, dimana tidak setiap ketentuan dari konvensi ini akan ditangani. Panduan ini menjabarkan persyaratan dasar Konvensi serta isu-isu yang harus diatasi dan dilengkapi dengan beberapa pilihan aturan, sebagai dasar pertimbangan. Panduan ini berisi hal-hal yang wajib atau pilihan untuk Negara-negara Pihak dalam melakukan kerjasama internasional termasuk mengenai contoh pelaksanaan di Amerika, mengingat sistem hukum yang berbeda di setiap negara pihak konvensi. Panduan ini merupakan tahap implementasi di sebagian besar negara, dengan beberapa contoh disajikan sebagai ilustrasi dari pendekatan, dan tidak harus selalu dianggap sebagai "praktik terbaik". Pada dasarnya UNCAC mensyaratkan negara pihak konvensi - dalam kaitan pelaksanaan bantuan hukum timbal balik dalam kerangka kerjasama internasional, sebagai berikut: a. Untuk menjamin seluas mungkin bantuan hukum timbal balik untuk tujuan yang tercantum dalam pasal 46 ayat 3, dalam proses penyelidikan, penuntutan, peradilan, penyitaan aset, perampasan aset korupsi (pasal 46, ayat 1); b. Untuk memberikan bantuan hukum timbal balik dalam penyelidikan, penuntutan dan pengadilan dalam kaitannya dengan tindak pidana berdasarkan pasal 26 (pasal 46, ayat 2.); c. Untuk memastikan bahwa bantuan hukum timbal balik tidak ditolak dengan dasar kerahasiaan bank (Pasal 46, ayat. 8). Dalam hal ini, legislasi mungkin diperlukan jika hukum yang berlaku atau perjanjian yang mengatur bantuan hukum timbal balik bertentangan dengan hal ini; d. Untuk menawarkan bantuan dalam hal tidak ada pengaturan kriminalitas ganda melalui tindakan tanpa paksaan (pasal 46, ayat 9, (b); 6 E.pdf, UNCAC Legislative Guide akses 4 Juni

19 e. Untuk menerapkan paragraf 9-29 dari pasal 46 untuk mengatur modalitas bantuan hukum timbal balik dalam ketiadaan bantuan hukum timbal balik dengan perjanjian Negara Pihak lainnya (pasal 46, paragraf. 7 dan 9-29). Dalam hal ini, undang-undang dapat diperlukan jika hukum nasional yang ada yang mengatur bantuan hukum timbal balik adalah tidak konsisten dengan ketentuan ayat ini dan jika hukum nasionalnya menang atas perjanjian; f. Untuk memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa pusat mereka otoritas yang ditunjuk untuk tujuan pasal 46, serta dari penggunaan bahasa dalam proses bantuan (pasal 46, ayat 13 dan 14); g. Untuk mempertimbangkan memasuki perjanjian atau pengaturan bilateral atau multilateral untuk memberi efek atau meningkatkan ketentuan pasal 46 (pasal 46, alinea. 30). Negara Pihak harus memiliki kemampuan untuk memberikan ukuran bantuan hukum timbal balik yang berkaitan dengan investigasi, penuntutan dan peradilan proses dalam pelaksanaan badan hukum. Di sini juga, beberapa pertimbangan yang diberikan kepada Negara-negara Pihak mengenai sejauhmana bantuan disediakan. Di dalam panduan ini, beberapa jenis bantuan hukum timbal balik tertentu yang wajib disediakan Negara pihak, antara lain (i) mengambil bukti atau pernyataan dari orang; (ii) memberikan pelayanan dokumen pengadilan; (iii) pelaksana pencarian dan pembekuan aset; (iv) memeriksa benda dan lokasi; (v) memberikan informasi, barang bukti dan penilaian ahli; (vi) memberikan asli atau salinan resmi dari dokumen yang relevan dan catatan, termasuk pemerintah, bank, keuangan, perusahaan atau catatan usaha; (vii) mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, kekayaan, sarana atau hal-hal lain untuk tujuan pembuktian; (viii) memfasilitasi kehadiran orang secara sukarela di Negara peminta; (ix) jenis bantuan lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum nasional Negara Pihak yang diminta; (x) mengidentifikasi, membekukan dan melacak hasil kejahatan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bab V Konvensi; dan (xi) mengembalikan aset sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bab V UNCAC. Untuk selanjutnya, berdasarkan panduan legislatif ini, pelaksanaan kerjasama internasional dan bantuan hukum timbal balik pada pada bab IV dari panduan. Lingkup kerjasama internasional meliputi beberapa tindakan hukum seperti ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, transfer hasil kejahatan tindak pidana, penegakan hukum, termasuk penyelidikan bersama dan teknik investigasi khusus. Beberapa permasalahan penting dalam kerangka kerjasama internasional dibahas lebih lanjut antara lain seperti: a. Masalah "kriminalitas ganda" (dual criminality), yang mempengaruhi kerjasama internasional. Berdasarkan prinsip ini, misalnya, Negara-negara Pihak tidak diharuskan untuk mengekstradisi orang berusaha untuk tindak pidana yang diduga telah dilakukan di luar negeri, jika tindakan-tindakan tidak dikriminalisasi di wilayah negaranya. Perbuatan hukum tersebut tidak perlu didefinisikan dalam istilah persis sama, tetapi Negara-negara Pihak diminta menentukan apakah mereka memiliki pelanggaran setara dalam hukum nasional mereka sebagai bentuk pelanggaran yang dimintakan ekstradisi atau bantuan hukum lainnya 18

20 (yang dikenakan hukuman atas ambang tertentu). Namun hal ini tidak berarti bahwa negara-negara penandatangan hanya bisa bekerja sama jika kriminalitas ganda terpenuhi. Misalnya, pasal 44, ayat 2 UNCAC, menyatakan bahwa jika hukum nasional mengizinkan ekstradisi tanpa persyaratan kriminalitas ganda, Negara-negara Pihak dapat mengabulkan ekstradisi seseorang untuk pelanggaran korupsi yang tidak dihukum berdasarkan hukum sendiri. Selanjutnya, pasal 46, ayat 9 UNCAC, memungkinkan untuk pelaksanaan bantuan hukum timbal balik tanpa persyaratan kriminalitas ganda terutama dalam mengejar upaya pengembalian aset (lihat juga pasal 43, para. 2 tentang internasional kerjasama dan kriminalitas ganda, Pasal 31 tentang masalah penyitaan dan Bab V panduan ini). Contoh dari tindakan tersebut adalah pertukaran informasi mengenai pelanggaran penyuapan pejabat asing atau pejabat organisasi internasional, ketika kerja sama tersebut sangat penting untuk membawa pejabat yang korup ke pengadilan. b. Kerjasama internasional dalam bentuk Ekstradisi. Pelaksanaan ekstradisi paling sering berdasarkan perjanjian formal. Sejak akhir abad kesembilan belas, praktek negara-negara telah menandatangani ekstradisi secara bilateral dalam upaya menghilangkan surga (save haven) yang aman bagi pelaku tindak pidana. Ketentuan-ketentuan perjanjian bervariasi dari negara ke negara dan tidak selalu sama pengaturan mengenai pelanggaran. Dalam kegiatan legislatif terakhir beberapa negara telah menyediakan aturan pelaksanaan ekstradisi tanpa persyaratan perjanjian antar negara. Definisi nasional yang beragam terhadap suatu bentuk pelanggaran dapat menimbulkan hambatan serius dalam pelaksanaan ekstradisi dan kerjasama internasional yang efektif. Di masa lalu, traktat antar negara umumnya berisi daftar tindak pidana, yang menciptakan kesulitan setiap kali jenis kejahatan baru muncul akibat kemajuan teknologi dan perubahan sosial dan ekonomi lainnya. Untuk alasan ini, perjanjian antar negara didasarkan pada prinsip kriminalitas ganda. Ketiadaan unsur kriminalitas ganda, negara tidak perlu memperbarui perjanjian mereka terus-menerus untuk mengakomodasi pelanggaran baru. Sebagai respons PBB dihasilkan model perjanjian ekstradisi (Resolusi Majelis Umum 45/116). Di samping tindakan oleh negara untuk mengubah perjanjian lama dan menandatangani yang baru, beberapa konvensi tertentu mengandung ketentuan-ketentuan ekstradisi, serta yurisdiksi yang saling melengkapi. Salah satu contohnya adalah Konvensi Suap OECD (lihat Pasal 10 Konvensi tersebut) dan contoh lain adalah Konvensi Kejahatan Terorganisir (lihat Pasal 16). Negara pihak harus berupaya mempercepat prosedur ekstradisi dan menyederhanakan persyaratan pembuktian yang berkaitan dengan korupsi pelanggaran (pasal 44, ayat. 9). Negara Pihak yang menolak permintaan ekstradisi dari negara lain terhadap warga negaranya harus menyerahkan kasus kepada lembaga penegak hukumnya untuk dilaksanakan penuntutan dan memastikan bahwa keputusan untuk menuntut dan setiap proses berikutnya dilakukan dengan keseriusan yang sama sebagai pelanggaran domestik dan akan bekerja sama dengan Negara Pihak yang meminta untuk memastikan efisiensi pelaksanaan penuntutan (pasal 44, ayat 11). Penolakan ekstradisi harus disertai konsultasi 19

21 antara Negara Pihak yang diminta kepada Negara Pihak yang meminta untuk memberikan dengan kesempatan untuk mempresentasikan informasi dan pandangan mengenai materi (pasal 44, ayat. 17). Negara pihak wajib memberikan perlakuan yang adil kepada buronan selama proses ekstradisi, termasuk dengan memungkinkan menikmati semua hak dan jaminan yang diberikan oleh yang Negara hukum sehubungan dengan proses tersebut (Pasal 44, ayat 14), antara lain buronan diberi kesempatan untuk menggunakan hak hukum dan jaminan. Dalam prakteknya pelaksanaan ekstradisi modern telah menyederhanakan persyaratan sehubungan dengan bentuk dan saluran untuk transmisi permintaan ekstradisi, serta standar pembuktian ekstradisi. c. Pelaksanaan Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (MLA). Dalam konteks globalisasi, otoritas nasional semakin membutuhkan bantuan dari negara lain untuk penyelidikan, penuntutan, dan hukuman dari para pelaku, khususnya mereka yang telah melakukan tindak pidana dengan aspek transnasional. Mobilitas internasional pelaku dan penggunaan teknologi canggih, sebagai contoh, merupakan faktor penting dalam upaya koordinasi penegakan hukum. Untuk mencapai tujuan itu, negara telah memberlakukan undangundang untuk memungkinkan pelaksanaan kerjasama internasional seperti UU bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana. Perjanjian tersebut umumnya daftar jenis bantuan yang akan diberikan, hak meminta, ruang lingkup dan cara kerjasama, dan prosedur yang harus diikuti dalam membuat dan melaksanakan permintaan. Perjanjian MLA memungkinkan pihak berwenang untuk memperoleh bukti di luar negeri dengan cara yang bisa diterima dalam negeri. Misalnya, pemanggilan saksi, lokasi tersangka, dokumen dan bukti lain yang diperoleh dan surat perintah penangkapan yang diterbitkan. Pengaturan lain dalam rangka pertukaran informasi (misalnya, informasi diperoleh melalui Organisasi Polisi Kriminal Internasional (Interpol), hubungan Institusi Kepolisian- Institusi Kepolisian dan pemberian bantuan hukum dan putusan rogatory). Konvensi UNCAC menyerukan seluas mungkin pelaksanaan bantuan hukum timbal balik seperti investigasi, penuntutan dan proses pengadilan dan memperluas ruang lingkup kejahatan yang ditetapkan sesuai dengan Konvensi. Bantuan hukum dapat diminta untuk memperoleh bukti atau mengambil pernyataan, mempengaruhi pelayanan dokumen pengadilan, melaksanakan pencarian dan pembekuan aset hasil tipikor,memeriksa benda dan tempat, memberikan informasi, bukti dan ahli evaluasi, dokumen dan catatan, melacak hasil kejahatan, memfasilitasi pemberian saksi dan jenis bantuan lainnya tidak dilarang oleh negeri hukum. Dalam pasal 46 UNCAC, kerjasama internasional juga diperluas dalam hal identifikasi, pelacakan dan penyitaan hasil kejahatan, kekayaan, dan perangkat untuk tujuan perampasan dan pengembalian aset ke pemilik yang sah (lihat pasal 46, para. 3 (j) dan (k), Pasal 31, para. 1, serta Bab V UNCAC. UNCAC mengakui keragaman sistem hukum dan memungkinkan Negara untuk menolak untuk memberikan bantuan hukum timbal balik dalam kondisi tertentu (lihat Pasal 46, para. 21). Namun, MLA tidak dapat ditolak atas 20

22 dasar kerahasiaan bank (Pasal 46, ayat. 8) atau untuk pelanggaran dianggap melibatkan masalah fiskal (pasal 46, ayat. 22). Negara pihak wajib memberikan alasan penolakan apapun untuk membantu. Jika tidak, mereka harus mengeksekusi permintaan secepatnya dan mempertimbangkan kemungkinan tenggat waktu menghadap pihak berwenang meminta (misalnya, berakhirnya kedaluwarsa). Hal ini juga diatur dalam Konvensi Kejahatan Terorganisir (UNTOC) namun, dua perbedaan yang signifikan ditekankan. Pertama, bantuan hukum timbal balik (dalam aturan UNCAC) sekarang meluas ke pemulihan aset, dan dengan tidak adanya kriminalitas ganda, Negara-negara Pihak diminta untuk memberikan bantuan melalui tindakan yang non-koersif asalkan konsisten dengan sistem hukum dan pelanggaran yang bukan permintaan yang tidak bersifat sepele (de minimis). Negara-negara Pihak didorong untuk memperpanjang perluasan lingkup bantuan dalam mengejar tujuan utama Konvensi, bahkan tanpa adanya kriminalitas ganda. UNCAC mengamanatkan adanya penunjukan pusat otoritas dari Negara Pihak, dengan kekuatan untuk menerima dan menjalankan atau mengirimkan bantuan hukum timbal balik permintaan kepada pihak yang berwenang untuk menangani di setiap Negara. Pihak Otoritas yang berwenang mungkin berbeda pada berbagai tahap proses untuk bantuan hukum timbal balik yang diminta. Perlu dicatat bahwa penunjukan dari pemerintah pusat untuk keperluan bantuan hukum timbal balik juga diperlukan di bawah Konvensi Kejahatan Terorganisir (UNTOC). Oleh karena itu maka Negara-negara Pihak pada UNTOC mungkin dapat mempertimbangkan penunjukan otoritas yang sama untuk tujuan pelaksanaan UNCAC. Dalam pelaksanaan otoritas pusat, tata cara untuk koordinasi langsung informal dimungkinkan tanpa menegasikan proses bantuan hukum timbal balik secara formal. Pelaksanaan koordinasi informal dapat merupakan forum untuk bertanya tentang persyaratan formal yang dibutuhkan oleh Negara diminta. Hal ini dilakukan untuk membantu menghemat waktu dan menghindari kesalahpahaman. Kontak langsung adalah juga penting pada kesempatan lain, ketika dibutuhkan informasi intelejen (misalnya, antara Financial Intellegence Unit - FIU). Dalam pelaksanaan MLA, mekanisme yang diberikan dalam rangka peningkatan kerjasama internasional misalnya dalam upaya penyelidikan dan penegakan hukum dalam kasus-kasus korupsi seperti transfer terpidana/tsp (pasal 45),transfer aset hasil tipikor (pasal 47), penegakan hukum kerjasama (pasal 48), investigasi bersama (pasal 49) dan teknik investigasi khusus ditetapkan sesuai dengan Konvensi dalam kasus di mana transfer dilaksanakan untuk memusatkan penuntutan apabila beberapa yuridiksi negara terlibat dalam suatu kasus. 21

23 2. Konvensi OECD tentang Pemberantasan Penyuapan Pejabat Publik Asing dalam Transaksi Bisnis Internasional (OECD Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions) 7 Perjanjian multilateral terkait kerjasama internasional dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana adalah Konvensi OECD tentang Pemberantasan Penyuapan Pejabat Publik Asing dalam Transaksi Bisnis Internasional (Konvensi OECD), khususnya dibahas lebih lanjut di dalam pasal 9 dan 10. Konvensi OECD menghendaki negara penanda tangannya untuk kriminalisasi penyuapan pejabat publik asing dalam transaksi bisnis internasional. Konvensi OECD juga memuat ketentuan-ketentuan pelaksanaan ekstradisi dan MLA. Penyuapan pejabat publik asing dianggap suatu pelanggaran yang dapat dimintakan pelaksanaan ekstradisi berdasarkan hukum Para Pihak dan dalam perjanjian ekstradisi antara negara pihak. Adapun MLA, para pihak diwajibkan untuk memberikan bantuan cepat dan efektif untuk negara pihak lain semaksimal mungkin berdasarkan hukum dan perjanjian dan pengaturan lainnya yang relevan. Apabila terdapat penolakan bantuan timbal balik atas dasar warga negara, maka proses penuntutan harus dilakukan oleh negara yang dimintakan bantuan. Negara yang diminta harus memberitahukan pihak yang meminta, tanpa penundaan, dari setiap informasi tambahan atau dokumen yang diperlukan untuk mendukung permintaan bantuan dan, bila diminta, tentang status dan hasil dari permintaan. Dalam pelaksanaan ekstradisi dan MLA dengan dasar kriminalitas ganda, maka dasar tersebut dianggap ada jika bantuan yang dimintakan terkait tindak pidana sebagaimana lingkup bantuan dalam konvensi ini. Dasar kerahasiaan bank juga bukan merupakan alas dasar untuk menolak MLA dalam konvensi ini. Secara umum, hampir semua instrumen anti korupsi internasional berisi ketentuan tentang bantuan timbal balik dan kerjasama internasional mengenai penyidikan dan upaya mendapatkan bukti (UNCAC pasal 46; Council of the EU: Convention of the fight against corruption involving officials of the EC of officials member states of the EU pasal 9; African Union Convention on Preventing and Combating Corruption pasal 18; Economic Community of West African States Protocol on the Fight against Corruption pasal 15; Organization of American States Inter- American Convention against Corruption pasal 14; OECD Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions pasal 9, dan Southern African Development Community Protocol Against Corruption pasal 10) akses 11 Juni Catatan kaki ke-221, halaman 74, Memahami Asset Recovery dan Gatekeeper Paku Utama, Penerbit Indonesia Legal Rountable

24 3. Praktek-praktek Terbaik Pelaksanaan MLA dan Ekstradisi a. SINGAPURA Sistem yang diterapkan Singapura dalam kerjasama internasional terhadap kasus korupsi sangat maju dan berkembang dengan baik. Kerangka kerjasama sebagian besar didasarkan pada undang-undang dan bukan perjanjian, meskipun Singapura baru saja meratifikasi Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, MACMA) antara negara-negara anggota ASEAN. Undang-Undang Ekstradisi (Extradition Act) dan MACMA keduanya merupakan peraturan perundang-undangan yang komprehensif. Semua bentuk utama bantuan tersedia di dalamnya, termasuk MLA dalam kaitannya dengan hasil kejahatan dan perintah penyitaan asing. Kerangka hukum ini juga tampaknya berfungsi dengan baik dalam prakteknya. Sepadan dengan perannya sebagai negara pusat moneter, Singapura cukup aktif menanggapi permohonan asing untuk melakukan bantuan timbal balik. Sebagai otoritas pusat (central authority) yang ditunjuk untuk menangani perihal ekstradisi dan bantuan timbal balik (mutual legal assistance, MLA), Divisi Peradilan Pidana pada Kejaksaan Agung Singapura (Attorney General s Chambers) memainkan peran penting dalam proses kerjasama. Kejaksaan Agung Singapura memiliki staf yang berkualifikasi di bidang kerjasama internasional. Keahlian dalam proses penyelidikan juga tersedia dengan melibatkan Biro Investigasi Praktek Korupsi Singapura (Corrupt Practices Investigation Bureau) dalam mengeksekusi permohonan-permohonan MLA terkait kasus korupsi. Prosedur Ekstradisi dan MLA Kejaksaan Agung Singapura merupakan otoritas pusat Singapura yang mengangani ekstradisi dan permohonan MLA. Kejaksaan Agung Singapura berfungsi dalam: 1. Mempersiapkan permohonan (ekstradisi dan MLA) keluar, 2. Mengeksekusi permohonan (ekstradisi dan MLA) yang masuk dengan bantuan lembaga-lembaga penegak hukum; dan 3. Memonitor kemajuan permohonan yang luar biasa. Fungsi-fungsi di atas dilakukan terutama oleh Divisi Peradilan Pidana dari Kejaksaan Agung Singapura. Menteri juga memainkan peran dalam kasus-kasus ekstradisi dan MLA. Kejaksaan Agung Singapura merancang ekstradisi keluar dan permohonan MLA. Dalam kasus korupsi, Kejaksaan Agung Singapura akan meninjau bukti yang dikumpulkan oleh Biro Investigasi Praktek Korupsi Singapura, yakni lembaga antikorupsi Singapura. Setelah permohonan disusun, akan diteruskan untuk ditandatangani Menteri (permohonan ekstradisi) atau instruksi (permohonan MLA). Jika Menteri memutuskan untuk menandatangani permohonan ekstradisi atau menginstruksikan Jaksa Agung untuk membuat permohonan MLA, maka Kejaksaan Agung Singapura akan membuat pengaturan untuk transmisi permohonan ke negara asing. Kejaksaan Agung Singapura kemudian akan memonitor status permohonan. 23

25 Skema 1. Alur Permohonan MLA Keluar di Singapura Skema 2. Alur Permohonan Ekstradisi Keluar di Singapura Berbagai permohonan yang masuk ditangani dengan cara yang sama dengan di atas. Keputusan untuk melanjutkan ekstradisi masuk atau permohonan MLA dibuat oleh Menteri. Setelah keputusan untuk melanjutkan dibuat, Kejaksaan Agung Singapura mengulas dan mengeksekusi permohonan tersebut dengan bantuan dari para penegak hukum yang relevan. Dalam kasus korupsi, kasus, Biro Investigasi Praktek Korupsi Singapura akan membantu pelaksanaan permohonan jika diperlukan. 24

26 Skema 3. Alur Permohonan MLA M asuk di Singapura Skema 4. Alur Permohonan MLA Masuk di Singapura Seluruh permohonan masuk dirahasiakan. Kejaksaan Agung Singapura juga memonitor seluruh permohonan masuk luar biasa. Untuk membantu pelaksanaan tanggung jawabnya, petugas hukum di Kejaksaan Agung Singapura dibekali dengan pelatihan hukum. Seminar dan program pelatihan tentang kerjasama internasional disediakan kepada petugas Kejaksaan Agung Singapura, hakim dan lembaga penegak hukum. Singapura juga membantu negara-negara asing dalam mempersiapkan permohonannya. Divisi Peradilan Pidana pada Kejaksaan Agung Singapura memberikan saran umum dan khusus serta bantuan kepada negara-negara asing yang ingin mengajukan kerjasama kepada Singapura, misalnya dengan memeriksa rancangan permintaan dan menyediakan formulir standar untuk permintaan MLA. Peraturan perundang-undangan Singapura berisi langkah-langkah untuk menangani permintaan asing yang mendesak untuk melakukan kerjasama. Berdasarkan UU Ekstradisi, Hakim dapat menerbitkan surat perintah untuk 25

27 menangkap (dalam sementara waktu) buronan yang sedang atau diduga berada di Singapura. Jika buronan diinginkan oleh negara-negara persemakmuran atau negara yang memiliki perjanjian ekstradisi bilateral dengan Singapura, surat perintah juga dapat dikeluarkan untuk menangkap sementara buronan yang ada dalam perjalanan menuju ke Singapura. Tidak ada ketentuan khusus yang menangani permohonan MLA mendesak. Dalam melaksanakan permohonan MLA, Singapura akan menyesuaikan dengan kapanpun waktu yang dipersyaratkan oleh negara yang mengajukan permohonan. Untuk permintaan yang cukup ketat terhadap waktu, kemungkinan mendapatkan kepastian tanggal persidangan atau membuat permohonan ke Pengadilan dalam waktu singkat. Hal ini telah dilakukan dalam kasus-kasus MLA yang melibatkan permohonan untuk pesanan produksi dan pengekangan dana. Singapura juga telah memproses permintaan MLA yang disampaikan melalui faksimili atau melalui saluran biasa. Prosedur Pengembalian Hasil Korupsi Berbagai lingkup hasil kejahatan dapat ditahan atau disita berdasarkan permintaan asing menurut Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, termasuk hasil kejahatan langsung (pembayaran atau imbalan lain yang diterima sehubungan dengan pelanggaran asing) dan hasil tidak langsung (kekayaan yang berasal atau berwujud, langsung atau tidak langsung, dari hasil kejahatan langsung ). Juga mencakup penyitaan nilai langsung atau tidak langsung hasil kejahatan. Pelanggaran asing yang meningkatkan hasil kejahatan harus terdiri dari aliran yang mana, jika hal itu terjadi di Singapura, akan menjadi pelanggaran yang tercantum pada Second Schedule dalam Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes Act (Confiscation of Benefits) yang mencakup korupsi dan pelanggaran terkait. Status proses asing dapat mempengaruhi apakah Singapura dapat mengeksekusi permintaan untuk penahanan atau penyitaan. Perintah penahanan tersedia jika proses peradilan sedang berjalan di negara yang meminta, dan permintaan penyitaan telah dibuat atau ada alasan yang kuat untuk bahwa permintaan akan dibuat. Perintah penahanan juga tersedia jika proses peradilan akan dilembagakan di negara yang meminta dan ada alasan yang kuat bahwa penyitaan mungkin akan diperintahkan dalam proses tersebut. Suatu negara asing dapat meminta Singapura untuk menegakkan perintah penyitaan asing yang dibuat dalam proses peradilan di negara itu. Namun demikian, tidak ada persyaratan bahwa seseorang akhirnya bisa diputuskan melanggar. Perintah penyitaan asing yang diberlakukan di Singapura dilakukan melalui pendaftaran langsung. Atas permohonan Kejaksaan Agung, pengadilan Singapura dapat mendaftarkan perintah penyitaan asing jika yakin bahwa perintah tersebut berlaku dan tidak akan dilakukan banding lebih lanjut, bahwa seseorang dipengaruhi oleh perintah yang muncul dalam proses asing atau diberi pemberitahuan dari proses, dan bahwa penegakan atas perintah tersebut tidak akan bertentangan dengan kepentingan keadilan. Sekali proses asing terdaftar, maka dapat berlaku di Singapura berdasarkan permohonan Kejaksaan Agung kepada pengadilan untuk melaksanakan kewenangannya dalam ketentuan Corruption, Drug Trafficking and Other Serious 26

28 Crimes Act, yang mirip dengan ketentuan CDSA untuk menegakkan perintah penyitaan dalam negeri. Akan tetapi, perintah penahanan asing tidak dapat dilakukan melalui pendaftaran langsung, oleh karena itu perlu untuk memohonkan perintah pengadilan kedua di Singapura. Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters juga berkaitan dengan pembagian dan pemulangan dana ke negara asal (repatriasi). Pemerintah Singapura mungkin menyadari kekayaan yang disita dan mengembalikan dana kepada negara yang memohon bantuan tanpa syarat (dikurang biaya yang timbul selama pemulihan aset). b. AUSTRALIA Australia memiliki sebuah tatanan yang komprehensif untuk mencari dan memperoleh ekstradisi dan MLA untuk tujuan investigasi dan penuntutan tindak kriminal, serta proses tindak pidana korupsi. Jaringan besar Australia dari ekstradisi bilateral dan perjanjian MLA dilengkapi dengan konvensi multilateral (misalnya Konvensi OECD, UNCAC dan UNTOC) dan pengaturan berbasis non-treaty seperti Skema London dan Skema Harare. Semua bentuk utama bantuan tersedia, termasuk MLA dalam kaitannya dengan hasil kejahatan dan penegakan atas perintah penahanan asing melalui pendaftaran langsung. Undang-undang ini juga memiliki keunggulan khusus untuk meningkatkan kerjasama, seperti mengurangi persyaratan pembuktian untuk ekstradisi ke negara-negara non-persemakmuran, dan pendekatan diskresioner terhadap kriminalitas ganda untuk permintaan MLA. Untuk memastikan bahwa persidangan ekstradisi sidang berlangsung dengan cepat, UU Ekstradisi secara khusus melarang buronan untuk mengajukan bukti yang bertentangan dengan tuduhan pelanggaran yang dilakukannya. Kejaksaan Agung Australia (Attorney-General s Department) merupakan Otoritas Pusat untuk MLA dan Ekstradisi di Australia. Selain memproses permintaan masuk dan keluar, Otoritas Pusat Australia memainkan peran penting dalam memfasilitasi kerjasama internasional, seperti memberikan bantuan kepada pemerintah dalam dan luar negeri untuk mempersiapkan permintaan. Dukungan tambahan tersedia pada rincian dan halaman web Otoritas Pusat Australia yang informatif mengenai ekstradisi dan MLA. Polisi Federal Australia juga memiliki jaringan penghubung luas di luar negeri yang memberikan kerjasama tingkat polisi serta dukungan ekstradisi formal dan permintaan MLA. Kerangka Hukum Ekstradisi, MLA dan Pengembalian Hasil Korupsi MLA dalam bentuk surat rogatory dikirim ke Pengadilan Australia yang akan dirujuk ke Kejaksaan Agung Australia untuk melakukan eksekusi. Permintaan keluar untuk MLA dapat dilakukan oleh Jaksa Agung berdasarkan Undang-Undang. Di bawah pengaturan administrasi dan delegasi berdasarkan Undang-Undang, Menteri Kehakiman atau delegasinya juga dapat mengajukan permintaan. Permintaan keluar untuk ekstradisi dapat dilakukan oleh Jaksa Agung atau Menteri Kehakiman, sementara permintaan penahanan sementara dapat dibuat oleh delegasinya. 27

29 Permintaan dikirim melalui saluran diplomatik, meskipun perjanjian MLA menetapkan bahwa permintaan dapat dikirim langsung ke Otoritas Pusat. Statistik menunjukkan bahwa Australia sangat aktif dalam memberi dan mencari ekstradisi dan MLA. Dengan jumlah permintaan yang dibuat untuk MLA dan ekstradisi dengan Australia mengalami peningkatan dua kali lipat dari tahun hingga Mulai 1 Juli 2001 sampai 30 Juni 2006, Australia membuat 50 ekstradisi dan 702 permintaan MLA. Selama periode yang sama, Australia menerima 98 ekstradisi dan 934 permintaan MLA, dimana 14 ekstradisi dan 3 permintaan MLA ditolak (lihat gambar 1 dan 2). Dari 19 permintaan ekstradisi masuk dan keluar yang diberikan dalam 12 bulan (per 30 Juni 2005), tidak ada yang terlibat pelanggaran korupsi. Gambar 2.1. Statistik Kasus Ekstradisi Australia Gambar 2.2. Statistik Kasus Bantuan Timbal Balik Australia

30 Prosedur Ekstradisi dan MLA Departemen Kejaksaan Agung Australia secara khusus bertanggung jawab untuk kasus ekstradisi dan MLA. Peran Kejaksaan Agung juga dapat dilakukan oleh Menteri Kehakiman, berdasarkan section 19A of the Acts Interpretation Act Departemen Kejaksaan Agung Australia (Attorney-General s Department) merupakan Otoritas Pusat untuk MLA dan Ekstradisi di Australia. Permintaaan Ekstradisi ke luar Permintaan keluar untuk ekstradisi dapat dibuat oleh Jaksa Agung atau Menteri Kehakiman, sementara permintaan penahanan sementara dapat dibuat oleh delegasi. Permintaan ekstradisi dikirim melalui saluran diplomatik, meskipun perjanjian MLA menetapkan bahwa permintaan dapat dikirim langsung ke Otoritas Pusat. Skema 5. Alur Permohonan Ekstradisi Keluar di Australia Permintaaan MLA ke luar Permintaan MLA untuk keluar dapat dibuat oleh Jaksa Agung. Berdasarkan aturan administratif dan delegasi yang diatur dalam undang-undang, Menteri Kehakiman atau delegasi juga dapat membuat permintaan MLA. Kejaksaan Agung Australia bekerja dengan Direktur Kejaksaan Commonwealth dan pihak penegak hukum dalam mempersiapkan draf permintaan MLA atas pelanggaran Commonwealth. Permintaan MLA terkait dengan negara bagian dan teritori pelanggaran biasanya disusun oleh Kejaksaan Agung Australia dalam konsultasi dengan negara dan lembaga penegak hukum wilayah. Jaksa Agung atau Menteri Kehakiman (atau delegasi di Kejaksaan Agung Australia) bertanggung jawab untuk menentukan apakah permintaan MLA harus ditransmisikan negara asing. Permintaan ekstradisi ditransmisikan melalui saluran diplomatik, sementara permintaan MLA dapat dikirim langsung ke negara asing. Kejaksaan Agung Australia menjadi perantara langsung dengan otoritas pusat negara yang diminta atau melalui saluran diplomatik berkenaan dengan perkembangan permintaan yang luar biasa. 29

31 Skema 6. Alur Permohonan MLA Keluar di Australia Permintaan MLA yang masuk dikirim ke delegasi Jaksa Agung, setelah Kantor Kejaksaan Agung Australia memeriksa permintaan untuk memastikan kesesuaiannya dengan the Mutual Assistance in Criminal Matters Act 1987 (MACMA) dan perjanjian yang relevan (jika ada). Jika bantuan yang diminta merupakan jenis yang harus disahkan berdasarkan Undang-Undang, Kejaksaan Agung Australia akan melengkapi permohonan untuk Jaksa Agung atau Menteri Kehakiman, baik dengan pada salah satu alasan yang diuraikan di atas. Jika permintaan disetujui, maka akan dieksekusi oleh penegak hukum yang relevan atau badan penuntutan. Merupakan suatu pelanggaran di bawah MACMA bagi seseorang untuk mengungkapkan keberadaan, isi atau status dari permintaan masuk tanpa persetujuan Jaksa Agung, kecuali pengungkapan diperlukan untuk pelaksanaan tugas orang-orang tersebut. Demikian pula, permintaan Australia untuk MLA umumnya tidak diungkapkan karena dibuat dalam proses penegakan hukum yang sedang berlangsung dan diperlakukan sebagai rahasia. Skema 7. Alur Permohonan MLA Masuk di Australia Permintaan ekstradisi masuk dikirim ke Jaksa Agung, setelah itu Departemen Jaksa Agung atau Menteri Kehakiman harus memutuskan apakah permintaan tersebut memenuhi persyaratan tertentu, seperti kriminalitas ganda dan tidak adanya keberatan-ekstradisi (misalnya double jeopardy, kejahatan politik). Jika persyaratan ini dipenuhi, Jaksa Agung atau Menteri Kehakiman menerbitkan pemberitahuan kepada seorang hakim bahwa permintaan ekstradisi telah diterima. 30

32 Hakim memerintahkan bahwa orang yang dicari akan ditangkap dan dibawa ke pengadilan untuk sidang, di mana hakim akan menilai hal-hal seperti kecukupan dokumen dalam mendukung ekstradisi, dual kriminalitas dan adanya keberatan ekstradisi. Jika persyaratan ini terpenuhi, hakim akan memerintahkan orang yang dicari ditahan untuk menunggu penyerahan. Kasus ini kemudian kembali ke Jaksa Agung atau Menteri Kehakiman untuk memutuskan apakah akan menyerahkan orang yang dicari tersebut, dengan memperhatikan faltor-faktor seperti, antara lain, apakah ada keberatan ekstradisi. Skema 8. Alur Permohonan Ekstradisi Masuk di Australia Untuk mempercepat kerjasama, Undang-Undang Ekstradisi melakukan penangkapan sementara orang yang dicari sambil menunggu permintaan resmi ekstradisi. Sebaliknya, MACMA tidak membuat ketentuan khusus untuk permintaan MLA mendesak: permintaan mendesak, seperti yang biasanya, harus disampaikan secara tertulis. Namun, dalam prakteknya, permintaan dapat dikirim melalui atau fax langsung ke Kejaksaan Agung Australia dalam kasus yang mendesak. Beberapa Perjanjian MLA bilateral Australia memungkinkan permintaan dibuat secara lisan dengan konfirmasi berikutnya secara tertulis. Undang-Undang Ekstradisi juga mengatur izin ekstradisi untuk dapat mempercepat proses ekstradisi. Setelah penangkapan, orang yang dicari dapat menghadap hakim dan mengizinkan pelepasan haknya untuk persidangan. Orang yang dicari tersebut kemudian ditahan untuk menunggu Keputusan Jaksa Agung atau Menteri Kehakiman apakah dia harus diserahkan kepada negara yang meminta. Ketentuan mengenai persetujuan ini tidak berlaku bagi orang yang telah ditangkap sementara namun Menteri belum mengeluarkan pemberitahuan penerimaan permintaan ekstradisi. Berbagai langkah dalam proses ekstradisi dan MLA tunduk pada judicial review atau banding. Terkait ekstradisi, orang yang dicari dapat melakukan judicial review terhadap keputusan Jaksa Agung atau Menteri Kehakiman dalam mengeluarkan pemberitahuan kepada seorang hakim bahwa permintaan telah diterima. Setelah hakim memerintahkan orang yang dicari untuk ditahan dalam penjara untuk menunggu penyerahan, orang tersebut dapat meminta pengadilan yang lebih tinggi untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Pada akhirnya, orang tersebut dapat menggunakan judicial review terhadap keputusan Jaksa Agung atau Menteri 31

33 Kehakiman untuk penyerahan. Di bidang MLA, keputusan yang dibuat oleh Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman juga dapat dikenakan judicial review. Untuk lebih meningkatkan kerjasama internasional, Australia memiliki jaringan penghubung yang luas. Selain penghubung dengan Otoritas Pusat asing untuk memantau permintaan yang luar biasa, Kejaksaan Agung Australia dapat membantu negara-negara asing dalam mempersiapkan ekstradisi dan permintaan MLA. Kejaksaan Agung Australia juga mengelola sebuah situs web dengan informasi lengkap tentang kerjasama internasional, termasuk penjelasan rinci tentang prosedur untuk mengeksekusi permintaan yang masuk dan keluar, statistik, link ke peraturan yang relevan dan perjanjian, dan daftar checklist untuk mempersiapkan permintaan MLA ke Australia. Kejaksaan Agung Australia juga menyediakan bantuan teknis dan peningkatan kapasitas untuk Negara-negara Asia Pasifik dan Tenggara di bidang kerjasama internasional dalam masalah pidana. Prosedur Pengembalian Hasil Korupsi MLA terhadap hasil korupsi disediakan terutama oleh MACMA, meskipun demikian Proceeds of Crime Act 2002 (POCA) mungkin juga diberlakukan. Berbagai bantuan tersedia, termasuk tracing, penahanan, dan penahanan hasil korupsi. MACMA menyediakan beberapa instrumen khusus untuk melacak dan mengidentifikasi hasil korupsi. Misalnya, negara-negara asing dapat meminta pesanan produksi untuk dokumen pelacakan properti yang memaksa orang (atau lembaga keuangan) untuk membuat dokumen yang relevan untuk mengidentifikasi, menemukan atau mengukur hasil pelanggaran asing serius. Untuk kejahatan yang diancam setidaknya tiga tahun penjara, pengadilan Australia dapat mengeluarkan perintah pengawasan yang memaksa suatu lembaga keuangan untuk memberikan informasi tentang transaksi yang dilakukan melalui akun tertentu selama periode tertentu. Sebuah negara asing juga dapat meminta jaminan untuk mencari dan menyita hasil-hasil korupsi, instrumen kejahatan, atau dokumen pelacakan properti yang patut diduga berada di Australia. Terdapat dua metode untuk mengeksekusi permintaan asing untuk menahan hasil kejahatan korupsi yang patut diduga berada di Australia. Sebuah perintah penahanan asing dapat didaftarkan langsung dengan pengadilan Australia, setelah perintah dapat diberlakukan di Australia seperti perintah pengadilan negeri. Metode ini tersedia jika permintaan luar negeri berkaitan dengan pelanggaran serius asing (yaitu, pelanggaran yang dihukum mati atau penjara paling sedikit 12 bulan). Selain itu, seseorang harus sudah dihukum di negara peminta untuk pelanggaran serius asing tersebut, kecuali negara yang meminta telah dibebaskan dari persyaratan ini dengan peraturan yang berlaku. Permintaan asing untuk menahan hasil korupsi juga dapat dilakukan dengan mendaftar pada pengadilan Australia untuk perintah penahanan. Sebuah perintah dapat dikeluarkan jika proses pidana telah dimulai, atau terdapat alasan yang kuat bahwa proses pidana akan dimulai, dalam meminta negara berkenaan dengan 32

34 pelanggaran serius asing. Perintah juga mungkin diterbitkan jika proses penyitaan asing telah dimulai, atau ada alasan yang kuat bahwa mereka akan memulai, di negara yang meminta dan negara peminta telah ditetapkan dalam peraturan. Namun perintah ini merupakan langkah sementara saja, sampai perintah penahanan asing dapat diperoleh dan didaftarkan. Permintaan asing untuk penyerahan hasil korupsi atau untuk penerapan hukuman denda hanya dapat dilakukan melalui pendaftaran langsung dari permintaan asing. Mengenai pembagian dan pemulangan hasil korupsi, MACMA menentukan bahwa properti yang diperintahkan penyitaan asing dapat dibuang, atau ditangani, sesuai dengan arahan Jaksa Agung (atau Menteri Kehakiman). Ini memungkinkan Jaksa Agung atau Menteri Kehakiman untuk mengembalikan semua atau sebagian dari properti yang dihanguskan kepada negara yang meminta, tunduk pada perintah pengadilan dimana orang lain mengklaim atau memiliki kepentingan atas properti dan tidak terlibat dalam pelanggaran serius asing dalam hal perintah penyerahan asing dibuat. Ketentuan ini tidak berlaku untuk perintah denda asing. Atau, Jaksa Agung atau Menteri Kehakiman bisa memerintahkan bahwa properti dihanguskan atau pengumpulan denda yang dikreditkan ke Akun Aset Sitaan berdasarkan Proceeds of Crime Act (Undang-Undang Hasil Tindak Pidana). Undang-undang memungkinkan properti dibayarkan untuk pembagian yang adil, sehingga memungkinkan Australia untuk berbagi sebagian dari properti milik yang hangus atau denda yang dikumpulkan dengan negara asing. Properti dapat dibagi terutama di mana negara asing telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pemulihan properti, atau ke penyidikan atau penuntutan. c. HONGKONG Ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik (MLA) di Hong Kong, Cina telah maju dan berkembang dengan baik. Hong Kong, Cina telah memiliki hubungan bilateral yang cukup luas terkait dengan ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik. Keduanya telah diatur dengan undang-undang dan di diperkuat dengan perjanjian bilateral dengan beberapa negara lain. Selain itu negara-negara yang belum melakukan perjanjian bilateral dengan Hongkong juga dapat melakukan ekstradisi maupun bantuan timbal balik ini dengan berdasarkan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi (UNCAC). Hong Kong, Cina cukup aktif dalam mencari dan memberikan bantuan internasional. Unit MLA di Department of Justice (DOJ) dibentuk sebagai otoritas pusat dengan lima fungsi utama: mempersiapkan dan mengirim permintaan keluar, menerima dan memproses permintaan masuk, membantu pemerintah asing untuk mempersiapkan permintaan yang masuk, menjaga komunikasi dengan pihak berwenang asing, dan memberikan pelatihan kerjasama internasional untuk pejabat Hong Kong, Cina. Sampai saat ini Unit MLA telah memainkan peran yang baik dalam mengelola seluruh proses kegiatan MLA. 33

35 Khusus pada proses ekstradisi dan MLA terkait dengan tindak pidana korupsi dapat dilakukan dengan melibatkan Independent Commission Against Corruption (ICAC). Sampai saat ini telah terjalin komunikasi yang berkesinambungan dengan otoritas pusat - otoritas pusat yang menangani Ekstradisi dan MLA di negara asing melalui otoritas pusat Hongkong, polisi dan Interpol baik pada hal-hal umum dan kasus-kasus tertentu. Kerangka Hukum Ekstradisi dan Bantuan Hukum Timbal Balik Ekstradisi atau yang dikenal dengan istilah Surrender of Fugitive Offenders (SFO) di Hong Kong, Cina diatur dengan Fugitive Offenders Ordinance (FOO), sedangkan Mutual Legal Assistance (MLA) dan pengembalian hasil tindak pidana diatur dengan Ordonansi Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Ordonance/MLACMO). The FOO dan MLACMO berlaku untuk SFO dan MLA antara Hong Kong, Cina dan yurisdiksi negara lain. Untuk melakukan MLA (termasuk MLA dalam kaitannya dengan hasil korupsi), MLACMO dapat diterapkan dengan atau tanpa adanya perjanjian bilateral dengan negara peminta. Apabila negara peminta tidak memiliki perjanjian bilateral dengan Hongkong, Cina, maka konsekuensinya adalah negara tersebut memberikan jaminan timbal balik atas bantuan yang diberikan. Hal tersebut tidak dapat dilakukan dalam ekstradisi. Ekstradisi hanya dapat dilakukan bila ada perjanjian bilateral antara kedua negara, tanpa kesepakatan, ekstradisi tidak dapat dilakukan. Hongkong, Cina telah melakukan perjanjian bilateral MLA dengan 27 negara yaitu : Australia, Belgia, Kanada, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, India, Indonesia, Irlandia, Italia, Israel, Jepang, Korea, Malaysia, Belanda, New Zealand, Polandia, Portugal, Singapura, Swiss, Inggris, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Filipina, Srilanka, Ukraina. Selain itu, Hong Kong, Cina memiliki perjanjian bilateral dalam rangka SFO dengan 17 negara yaitu : Australia, India, Indonesia, Korea, Malaysia, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Kanada, Belanda, Selandia Baru; Portugal, Inggris, Jerman, Irlandia, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat. Pada bulan Februari 2006 Cina telah menyatakan bahwa UNCAC (Termasuk ketentuan mengenai ekstradisi dan bantuan timbal balik yang ada didalamnya) diberlakukan di Hong Kong, Cina. Pada bulan September 2007, peraturan perundangundangan yang relevan untuk melakukan ekstradisi dan bantuan timbal balik untuk memenuhi Konvensi UNCAC telah dibuat. Ketentuan ekstradisi mulai beroperasi pada tanggal 21 Desember 2007 dan ketentuan bantuan timbal balik mulai beroperasi segera sesudahnya. Ketentuan FOO dan MLACMO mencakup pengaturan-pengaturan yang sangat maju tentang peraturan kerjasama internasional, seperti ketentuan rinci tentang alasan untuk menolak kerjasama, prosedur untuk melaksanakan permintaan, dan jenis bantuan yang tersedia, termasuk permintaan pengambilan bukti dengan video conference dan bukti hasil produksi. The MLACMO juga berisi ketentuan rinci untuk melakukan MLA terkait dengan hasil kejahatan, termasuk persyaratan dan tata cara mengeksekusi permintaan asing untuk menahan atau menyita hasil kejahatan. 34

36 Prosedur Ekstradisi dan Bantuan Hukum Timbal Balik Permintaan MLA dan Ekstradisi keluar disusun oleh Unit khusus MLA di Departemen Kehakiman. Dalam kasus-kasus korupsi, Unit akan melakukan konsultasi dengan petugas dari Komisi Independen Anti Korupsi (ICAC), lembaga penegak hukum anti korupsi di wilayah, dan jaksa yang terlibat dalam kasus tersebut. The MLACMO memberi kewenangan Sekretaris Keadilan untuk langsung mengirim permintaan MLA ke negara-negara asing. Permintaan SFO juga dapat dikirim langsung ke luar negeri sesuai dengan ketentuan perjanjian bilateral. Skema 1. Alur Permohonan MLA keluar Skema 2. Alur Permohonan Ekstradisi keluar Semua permintaan masuk MLA dapat dilakukan secara langsung ke Sekretaris Keadilan di Departemen Kehakiman. Sekretaris juga menyiapkan dan mengirimkan permintaan keluar MLA. Surat permintaan rogatory (Surat antara hakim/antar pengadilan) yang masuk dapat dikirimkan kepada Sekretaris Kepala Bidang Administrasi. Permintaan untuk SFO harus dikirimkan kepada Sekretaris Keadilan melalui konsuler atau saluran diplomatik atau saluran lain yang disetujui oleh pemerintah Cina. Para pihak dalam perjanjian bilateral juga menunjuk saluran tertentu untuk operasionalisasi. 35

37 Skema 3. Alur Permohonan MLA masuk Skema 4. Alur Permohonan Ekstradisi masuk Langkah-langkah khusus untuk menangani permintaan mendesak juga telah disediakan oleh Hong Kong, Cina. Permintaan masuk yang mendesak untuk penahanan sementara dapat disampaikan langsung ke Unit MLA di DOJ atau melalui Interpol. Untuk MLA, perjanjian bilateral tertentu memungkinkan permintaan mendesak untuk dikirim ke Unit MLA secara elektronik atau dengan fax. Dimungkinkan juga melakukan permintaan secara lisan dengan mengirimkan konfirmasi secara tertulis dalam waktu 10 hari. Hong Kong, Cina dapat menerima permintaan mendesak MLA secara lisan berdasarkan UNCAC dengan menyusulkan konfirmasi secara tertulis. Pengaturan tertentu yang dapat mempercepat proses Ekstradisi juga diatur dalam FOO, seperti persetujuan penyerahan terbatas. Seorang buronan dapat menghadap ke pengadilan setelah penangkapannya dan setuju untuk melepaskan haknya untuk melakukan sidang di pengadilan. Buronan tersebut kemudian berkomitmen untuk menunggu Kepala Pemerintahan memutuskan apakah akan 36

Mutual Legal Assistance. Trisno Raharjo

Mutual Legal Assistance. Trisno Raharjo Mutual Legal Assistance Trisno Raharjo Tiga Bentuk Kerjasama Ekstradisi Orang pelarian Transfer of sentence person (transfer of prisoners (pemindahan narapidana antar negara) Bantuan timbal balik dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5514 PENGESAHAN. Perjanjian. Republik Indonesia - Republik India. Bantuan Hukum Timbal Balik. Pidana. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 277). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 277, 2015 PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5766). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (TREATY ON MUTUAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM)

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK INDIA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERINGJ1

PERSPEKTIF DAN UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERINGJ1 PERSPEKTIF DAN UPAYA YANG DILAKUKAN DALAM PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK MENGENAI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERINGJ1 0/eh: Dr. Yunus Husein 2 Pendahuluan Bagi negara seperti Indonesia yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA TENTANG BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini.

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini. PAPARAN WAKIL MENTERI LUAR NEGERI NILAI STRATEGIS DAN IMPLIKASI UNCAC BAGI INDONESIA DI TINGKAT NASIONAL DAN INTERNASIONAL PADA PERINGATAN HARI ANTI KORUPSI SEDUNIA JAKARTA, 11 DESEMBER 2017 Yang terhormat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013 lembaga ekstrayudisial. Hal ini mengingat beberapa hal: Pertama, pengembalian aset tidak selamanya berkaitan dengan kejahatan atau pidana, dapat saja aset yang akan dikembalikan berada dalam wilayah rezim

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA (TREATY ON EXTRADITION BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON MUTUAL LEGAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS (PERJANJIAN TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA) Menimbang :

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5406 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp TAMBAHAN BERITA NEGARA RI MA. Uang Pengganti. Tipikor. Pidana Tambahan. PENJELASAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Romania, selanjutmya disebut Para Pihak :

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Romania, selanjutmya disebut Para Pihak : PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH ROMANIA TENTANG KERJASAMA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KEJAHATAN TERORGANISIR TRANSNASIONAL, TERORISME DAN JENIS KEJAHATAN LAINNYA Pemerintah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan telah diratifikasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad 1883-188) tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

Penanggungjawab : Koordinator Tim Pelaksana

Penanggungjawab : Koordinator Tim Pelaksana CAKUPAN PEKERJAAN KOORDINATOR SEKTOR DAN STAF ADMINISTRASI PADA SEKRETARIAT PELAKSANAAN PERATURAN PRESIDEN (PERPRES) NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI (STRANAS

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

I. UMUM. Perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain meliputi:

I. UMUM. Perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain meliputi: PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG I. UMUM Perkembangan dan kemajuan ilmu

Lebih terperinci

PANDUAN TEKNIS TENTANG PENGGUNAAN MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA LINTAS NEGARA DI KEJAKSAAN TINGGI BALI

PANDUAN TEKNIS TENTANG PENGGUNAAN MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA LINTAS NEGARA DI KEJAKSAAN TINGGI BALI PANDUAN TEKNIS TENTANG PENGGUNAAN MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA LINTAS NEGARA DI KEJAKSAAN TINGGI BALI Denpasar, 01 Agustus 2016 KEJAKSAAN TINGGI BALI 1 PANDUAN TEKNIS

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 108, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4324) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Protokol Konvensi Hak Anak Tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pronografi Anak Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Negara-negara peserta tentang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI KEMENTERIAN PERTAHANAN, KEMENTERIAN LUAR NEGERI, KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, TENTARA NASIONAL INDONESIA, BADAN INTELIJEN NEGARA, DEWAN KETAHANAN NASIONAL, LEMBAGA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH DAERAH ADMINISTRASI KHUSUS HONG KONG REPUBLIK RAKYAT CHINA TENTANG

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Polandia, selanjutnya disebut Para Pihak :

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Polandia, selanjutnya disebut Para Pihak : PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK POLANDIA TENTANG KERJASAMA PEMBERANTASAN KEJAHATAN TERORGANISIR TRANSNASIONAL DAN KEJAHATAN LAINNYA Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

Pemberantasan Korupsi : Antara Asset Recovery dan Kurungan Bd Badan. Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW Hotel Santika, 30 November 2010

Pemberantasan Korupsi : Antara Asset Recovery dan Kurungan Bd Badan. Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW Hotel Santika, 30 November 2010 Pemberantasan Korupsi : Antara Asset Recovery dan Kurungan Bd Badan Adnan Topan Husodo Wakil Koordinator ICW Hotel Santika, 30 November 2010 1 Tren Global Pemberantasan Korupsi Korupsi sudah dianggap sebagai

Lebih terperinci

Kementerian PPNBappenas

Kementerian PPNBappenas Evaluasi Pelaksanaan Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi terkait Asset Recovery Kementerian PPNBappenas Hotel JS Luwansa, Jakarta, 21 November 2016 STRANAS PPK Salah satu upaya yang dilakukan dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

RANCANGAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 47 RANCANGAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG I. UMUM Pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI --------------------------------- LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI III DPR RI DENGAN MENTERI HUKUM DAN HAM DAN MENTERI LUAR NEGERI ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi);

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi); UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T No. 339, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Pencucian Uang. Asal Narkotika. Prekursor Narkotika. Penyelidikan. Penyidikan. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELIDIKAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN ASEAN CONVENTION AGAINST TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN (KONVENSI ASEAN MENENTANG PERDAGANGAN ORANG, TERUTAMA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Aset. Aset Negara. Aset Tindak Pidana. Pemulihan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Aset. Aset Negara. Aset Tindak Pidana. Pemulihan. No.857, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG. Aset. Aset Negara. Aset Tindak Pidana. Pemulihan. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-013/A/JA/06/2014 TENTANG PEMULIHAN ASET DENGAN

Lebih terperinci

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang "Uitlevering van Vreemdelingen".

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang Uitlevering van Vreemdelingen. 1:1010 UNDANG-UNDANG (UU) Nomor : 1 TAHUN 1979 (1/1979) Tanggal : 18 JANUARI 1979 (JAKARTA) Sumber : LN 1979/2; TLN NO. 3130 Tentang : EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Svetlana Anggita Prasasthi

Svetlana Anggita Prasasthi UPAYA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DALAM BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK UNTUK MASALAH PIDANA (MUTUAL LEGAL ASSISTANCE MLA) TERHADAP PENGEMBALIAN ASET DI LUAR NEGERI HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI (STOLEN ASSET

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) DI INDONESIA. Menurut Siswanto Sunarso, Mutual Legal Assistance, yakni suatu

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) DI INDONESIA. Menurut Siswanto Sunarso, Mutual Legal Assistance, yakni suatu BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) DI INDONESIA A. Pengertian MLA Menurut Siswanto Sunarso, Mutual Legal Assistance, yakni suatu perjanjian yang bertumpu pada permintaan bantuan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG I. UMUM. Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1 Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1.1 Pemeriksaan oleh PPATK Pemeriksaan adalah proses identifikasi

Lebih terperinci

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1 Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1 I. PENDAHULUAN Sebagai akibat aktivitas perekonomian dunia, akhir-akhir ini pemanfaatan hutan menunjukkan kecenderungan

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME I. UMUM Sejalan dengan tujuan nasional Negara Republik Indonesia sebagaimana

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4.1 Kewenangan KPK Segala kewenangan yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesepuluh, Penelusuran Aset Penelusuran Aset. Modul E-Learning 3

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesepuluh, Penelusuran Aset Penelusuran Aset. Modul E-Learning 3 Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kesepuluh, Penelusuran Aset 3.10 Penelusuran Aset Harta kekayaan yang berasal dari hasil kejahatan merupakan motivasi nafsu bagi tindak kejahatan itu sendi. Ibarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara di dunia ini memiliki hukum positif untuk memelihara dan mempertahankan keamanan, ketertiban dan ketentraman bagi setiap warga negaranya atau orang yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH HONGKONG UNTUK PENYERAHAN PELANGGAR HUKUM YANG MELARIKAN DIRI (AGREEMENT

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS) PERJANJIAN

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad

Lebih terperinci

PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DI LUAR NEGERI MELALUI BANTUAN TIMBAL BALIK (MUTUAL LEGAL ASSISTANCE)

PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DI LUAR NEGERI MELALUI BANTUAN TIMBAL BALIK (MUTUAL LEGAL ASSISTANCE) PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI DI LUAR NEGERI MELALUI BANTUAN TIMBAL BALIK (MUTUAL LEGAL ASSISTANCE) CONFISCATION OF ASSETS PROCEEDS OF CORRUPTION IN FOREIGN COUNTRIES THROUGH THE MUTUAL ASSISTANCE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam setiap pelanggaran hukum yang menjadi perhatian adalah pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus pelanggaran hukum tersebut.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset hasil tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Pemberantasan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME UMUM Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,

Lebih terperinci