MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN"

Transkripsi

1 MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN NURALIM PASISINGI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 i

2 MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN NURALIM PASISINGI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 i

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Model Produksi Surplus untuk Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juli 2011 Nuralim Pasisingi C ii

4 RINGKASAN Nuralim Pasisingi. C Model Produksi Surplus untuk Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Dibawah bimbingan Mennofatria Boer dan Zairion. Rajungan merupakan salah satu komoditi perikanan yang bernilai ekonomis tinggi, karena komoditi ini sangat diminati oleh masyarakat dalam bahkan luar negeri. Selain rasanya yang lezat, juga karena kandungan gizinya yang cukup tinggi. Seluruh kebutuhan ekspor rajungan di Indonesia banyak yang masih mengandalkan hasil tangkapan nelayan di laut. Oleh karena itu, salah satu hal yang penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah tetap menjamin tersedianya stok rajungan sepanjang tahun. Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu adalah salah satu pelabuhan perikanan yang terletak dekat dengan Teluk Banten yang merupakan salah satu lokasi penyebaran rajungan. Nelayan yang mendaratkan rajungan di Karangantu melakukan penangkapan rajungan di Teluk Banten. Penelitian mengenai model produksi surplus rajungan Portunus pelagicus di Teluk Banten bertujuan untuk mengetahui model produksi surplus yang paling sesuai dengan karakteristik perikanan rajungan melalui penerapan tujuh model. Selanjutnya dapat menentukan tangkapan maksimum lestari (MSY) dan upaya optimum (F opt ) untuk menjaga kelestarian sumberdaya. Model produksi surplus merupakan salah satu model yang umum digunakan dalam penilaian-penilaian stok ikan, karena kelompok model ini dapat diaplikasikan dengan tersedianya data hasil tangkapan dan upaya tangkapan runut waktu yang umumnya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan. Model produksi surplus yang digunakan untuk menentukan tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield) dan upaya penangkapan optimum (Optimum effort) ini menyangkut hubungan antara kelimpahan dari sediaan ikan sebagai massa yang homogen dan tidak berhubungan dengan komposisi dari sediaan seperti proporsi ikan tua atau ikan besar. Model produksi surplus yang dicobakan adalah model Schaefer, Gulland, Pella&Tomlimson, Fox, Walter&Hilborn, Schnute dan Clarke Yoshimoto Pooley (CYP). Melalui perbandingan hasil tangkapan aktual dan prediksi tangkapan masing-masing model serta nilai R 2 diperoleh bahwa model Clarke Yosimoto Pooley adalah model yang paling sesuai dengan karakteristik perikanan rajungan Portunus pelagicus di Teluk Banten, Nilai R 2 model CYP sebesar 98.97% dengan MSY =30.15 ton yang dapat dicapai dengan F opt =3562 trip selama setahun. Perikanan rajungan di Teluk Banten telah melebihi tangkapan lestari sehingga pengelolaan yang perlu dilakukan adalah pengendalian masukan dan luaran. iii

5 MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN NURALIM PASISINGI C SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 iv

6 LEMBAR PENGESAHAN Judul : Model Produksi Surplus untuk Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : Nuralim Pasisingi : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA NIP Ir. Zairion, M.Sc NIP Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wadiatno, M.Sc NIP Tanggal Lulus: 21 Juni 2011 v

7 PRAKATA Puji syukur kepada Allah SWT karena penulis telah menyelesaikan penelitian akhir serta menuliskannya dalam skripsi yang berjudul Model Produksi Surplus untuk Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Sumberdaya perikanan laut banyak mendapat sorotan saat ini, karena eksistensi dan keberlanjutannya yang semakin terancam. Rajungan di perairan Teluk Banten merupakan salah satu sumber daya ikan laut yang perlu dijaga kelestariannya. Kegiatan penangkapan yang tidak terkontrol dan tidak didasari oleh kajian ilmiah akan sangat menentukan ketersediaan dan keberadaan sumberdaya tersebut di alam sepanjang tahun. Berangkat dari hal ini, penulis merasa perlu melakukan suatu penelitian yang dapat mendukung, menentukan bahkan mencapai optimalisasi dalam pengeksploitasian sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan hal-hal yang perlu diperbaiki dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan masukan yang positif sangat diharapakan untuk dapat menghasilkan tulisan yang jauh lebih baik. Semoga tulisan ini bisa memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan serta mendukung upaya pengelolaan lingkungan perairan dan perikanan. Bogor, Juli 2011 Penulis vi

8 vii UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer dan Ir. Zairion, M.Sc. sebagai pembimbing skripsi yang telah membimbing, menuntun, mengarahkan serta memberikan masukan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Ir. Rahmat Kurnia, M.Si. sebagai dosen penguji tamu dari program studi dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil. sebagai komisi pendidikan yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat penting dalam penyusunan skripsi ini. 3. Taryono, S.Pi, M.Si. sebagai pembimbing akademik yang telah mendukung dan memberikan arahan selama perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini. 4. Keluarga tercinta; Mama, Papa, Kak Sahrul, Kak Nur, Uda, Kak Aten, Om Juba, Om Sudi, Cik Tien atas doa, pengorbanan, kasih sayang, dukungan moril dan sprituil selama perkuliahan hingga penyusuanan skripsi ini. 5. Staf Institut Pertanian Bogor dan Departemen Mananjemen Sumberdaya Perairan sebagai institusi yang telah memberikan fasilitas dan mewadahi penulis untuk menyalurkan minat serta mengembangkan potensi diri. 6. Staf Kementrian Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten serta Kementrian Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang, Provinsi Banten, terutama untuk Pak Yudi dan Pak Amir sebagai pihak yang telah memfasilitasi serta banyak memberikan kontribusi langsung selama pelaksanaan penelitian. 7. Staf Laboratorium Model dan Simulasi (dosen, asisten MOSI, Ibu Maria dan Pak Dedi). 8. Teman-teman MSP 44 khususnya kepada Endah Tri Sulistiyawati sebagai rekan seperjuangan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini 9. Rekan-rekan HPMIG (Kak Vicky, Yan, Fipo, Dwi, adik-adik tersayang; Alfat, Hijran, Kurdi, Dika, Anam dan Adlan). 10. Rekan-rekan Wisma Do i (Desi, Melin, Nuvi, Yuyun, Yeni, Dini, Kipo, Ulfah, Mba Reytha, Mila). vii

9 viii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gorontalo pada 29 Juli 1989 sebagai putri ketiga dari pasangan bapak H. Pasisingi dan Ibu R. Hulukati. Penulis mempunyai 3 orang saudara kandung, yaitu Sahrul Pasisingi, Nurilma Pasisingi, dan Nurhuda Pasisingi. Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis adalah SDN Tumbihe ( ), SMP N 1 Kabila ( ), MAN Insan Cendekia Gorontalo ( ). Tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK dan memilih Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Selama masa studi, penulis pernah menjabat sebagai Asisten Praktikum Mata Kuliah Metode Statistika (2008/2009, 2009/2010 dan 2010/2011). Asisten Praktikum Mata Kulaih Limnologi (2009/2010 dan 2010/2011). Asisten Praktikum Mata Kuliah Dasardasar Pengkajian Stok Ikan (2010/2011), Koordinator Asisten Bagian Manajemen Sumberdaya Perairan (2010/2011 dan 2011/2012). Penulis juga pernah menjadi anggota organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas, Departemen Kebijakan Publik Perikanan dan Kelautan ( ), anggota organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) ( ), sekretaris umum HIMASPER ( ). Penulis juga pernah magang di Instalasi Pengolahan Air Limbah Bojongsoang, Bandung. Selain itu, penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan kepanitiaan yang diselenggarakan oleh fakultas maupun departemen. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul Model Produksi Surplus untuk Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. viii

10 ix DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Rajungan Pengkajian Stok Ikan Model Produksi Surplus Model Schaefer (1954) Model Gulland (1961) Model Pella dan Tomlimson (1969) Model Fox (1970) Model Walter dan Hilborn (1976) Model Schnute (1977) Model Clarke Yoshimoto Pooley (1992) Kondisi Umum Perairan Teluk Banten METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Variabel dan Parameter Pengukuran Metode Pengumpulan Data Analisis Data Standarisasi upaya penangkapan Model produksi surplus A. Model Schaefer (1954) B. Model Gulland (1961) C. Model Pella dan Tomlimson (1969) D. Model Fox (1970) E. Model Walter dan Hilborn (1976) F. Model Schnute (1977) G. Model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) (1992) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ix

11 x Perikanan di Perairan Teluk Banten Model Produksi Surplus A. Metode Schaefer (1954) B. Metode Gulland (1961) C. Metode Pella dan Tomlimson (1969) D. Metode Fox (1970) E. Metode Walter Hilborn (1967) F. Metode Schnute (1977) G. Metode Clarke Yoshimoto Pooley (1992) Pembahasan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x

12 DAFTAR TABEL Halaman 1 Hasil tangkapan rajungan (ton) per jenis alat tangkap di Teluk Banten kurun waktu Upaya per jenis alat tangkap (trip) rajungan di Teluk Banten kurun waktu Jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan hasil standarisasi kurun waktu Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F) dan jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE) rajungan di Teluk Banten Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F), jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE) serta upaya rata-rata ( ) rajungan di Teluk Banten Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F), jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE) dan kuadrat upaya penangkapan (F 2 ) rajungan di Teluk Banten Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F), jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE) dan CPUE t+1 /CPUE t rajungan di Teluk Banten Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F), jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE), ln(cpue t+1/ CPUE t ), jumlah tangkapan per satuan upaya rata-rata (CPUE t +CPUE t+1 )/2 serta jumlah upaya penangkapan ratarata (F t +F t+1 )/2 rajungan di Teluk Banten Jumlah tangkapan (C) jumlah upaya penangkapan (F), umlah tangkapan per satuan upaya (CPUE), lncpue t+1, lncpue t dan F t +F t+1 rajungan di Teluk Banten Perbandingan parameter koefisien penangkapan (q), daya dukung lingkungan (K), pertumbuhan intrinsik (r), nilai koefisien determinasi (R 2 ), Standar error (SE) dan Variance Infentory Factor (VIF) antara tujuh model produksi surplus rajungan di Teluk Banten xi

13 xii DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Rajungan (Portunus pelagicus) Tujuan dasar pengkajian stok Hubungan antara biomassa tangkapan (B) dengan turunan pertama biomassa ( Kurva hubungan kuadratik antara biomassa (B t ) dengan turunan pertama biomassa terhadap waktu (db t /dt) Kurva model Schaefer ( ) dan Fox ( ) Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu Persentasi hasil tangkapan per jenis ikan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu Grafik jumlah tangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu Grafik upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu Grafik tangkapan per satuan upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Schaefer Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Schaefer perikanan rajungan di Teluk Banten Kurva hubungan jumlah tangkapan (C), dan jumlah upaya penangkapan rata-rata ( ) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Gulland Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Gulland perikanan rajungan di Teluk Banten Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Pella dan Tomlimson Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Pella dan Tomlimson perikanan rajungan di Teluk Banten xii

14 xiii 17 Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dengan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Fox Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Fox perikanan rajungan di Teluk Banten Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Walter dan Hilborn Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Walter dan Hilborn perikanan rajungan di Teluk Banten Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Schnute Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Schnute perikanan rajungan di Teluk Banten Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Clarke Yoshimoto Pooley Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Clarke Yoshimoto Pooley perikanan rajungan di Teluk Banten xiii

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil tangkapan dan upaya tangkapan bulanan rajungan kurun waktu Jumlah tangkapan total (C total ), upaya penangkapan total (F total ), jumlah tangkapan per satuan upaya total (CPUE total ) dan Fishing Power Index (FPI) rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten dan perhitungan standarisasi upaya penangkapan Kurva perbandingan antara hasil tangkapan rajungan aktual dengan hasil tangkapan berdasarkan tujuh model produksi surplus selama kurun waktu Regresi statistik Model Schaefer Regresi statistik Model Gulland Regresi statistik Model Pella dan Tomlimson Regresi statistik Model Fox Regresi statistik Model Walter-Hilborn Regresi statistik Model Schnute Regresi statistik Model Clarke dan Yoshimoto Pooley (CYP) Algoritma pendugaan nilai koefisien penangkapan (q), daya dukung lingkungan (K) serta pertumbuhan intrinsik (r) untuk perikanan rajungan di Teluk Banten Model-model Produksi Surplus untuk menentukan potensi maksimum lestari Rajungan Portunus pelagicus yang ditangkap di Teluk Banten oleh nelayan Karangantu Kapal penangkapan rajungan di PPN Karangantu xiv

16 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditi perikanan yang bernilai ekonomis tinggi, karena komoditi ini sangat diminati oleh masyarakat, baik dalam maupun luar negeri. Selain rasanya yang lezat, juga karena kandungan gizinya yang sangat tinggi. Rajungan di Indonesia sampai sekarang masih merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Rajungan yang diekspor dalam bentuk segar maupun olahan mencapai 60% dari total hasil tangkapan rajungan. Negara utama tujuan ekspor yaitu Singapura, Jepang, Belanda dan Amerika (Aminah 2010). Penyebaran rajungan di perairan Indonesia salah satunya di perairan Teluk Banten. Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu adalah salah satu pelabuhan perikanan yang terletak dekat dengan Teluk Banten. Nelayan yang mendaratkan rajungan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu melakukan penangkapan rajungan di perairan Teluk Banten. Menurut Suadela (2004), kegiatan penangkapan rajungan di Teluk Banten berkembang ditunjang adanya perusahaan pengolahan rajungan setempat yang terletak di Karangantu. Berdirinya perusahaan pengolahan ini menuntut tersedianya produksi rajungan sepanjang tahun. Oleh karena itu kegiatan penangkapan rajungan pun dilakukan secara terus menerus sepanjang tahun. Seluruh kebutuhan ekspor rajungan di Indonesia banyak yang masih mengandalkan hasil tangkapan nelayan di laut. Namun, satu hal yang paling penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah tetap menjamin tersedianya stok secara mantap. Bentuk eksploitasi dan degradasi lingkungan perairan laut yang terus mengancam keseimbangan stok dan ekosistem laut Indonesia menjadi hambatan sekaligus tantangan bagi nelayan, masyarakat dan pemerintah. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan untuk menggambarkan kondisi sebenarnya di suatu wilyah perairan melalui pemodelan. Model adalah contoh sederhana dari sistem dan menyerupai sifat-sifat sistem yang dipertimbangkan, tetapi tidak sama persis dengan sistem. Penyederhanaan dari

17 2 sistem sangat penting agar dapat dipelajari secara seksama. Model dikembangkan dengan tujuan untuk studi tingkah laku sistem melalui analisis rinci akan komponen atau unsur dan proses utama yang menyusun sistem serta interaksinya antara satu dengan yang lain. Dengan demikian pengembangan model adalah suatu pendekatan yang tersedia untuk mendapatkan pengetahuan yang layak akan suatu sistem. Model beperanan penting dalam pengembangan teori karena berfungsi sebagai konsep dasar yang menata rangkaian aturan yang digunakan untuk menggambarkan sistem (Sitompul 2004). Model produksi surplus dapat digunakan untuk mendukung pengelolaan rajungan di perairan Teluk Banten. Model produksi surplus merupakan salah satu model yang umum digunakan dalam penilaian-penilaian stok ikan, karena kelompok model ini dapat diaplikasikan dengan tersedianya data hasil tangkapan dan upaya tangkapan secara runut waktu (time series) yang umumnya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan. Model yang diterapkan dalam perikanan mungkin berbeda untuk ikan yang berbeda. Artinya ikan yang sama dan hidup di wilayah perairan yang berbeda belum tentu memiliki kecocokan model yang sama. Sama halnya dengan jenis ikan yang berbeda dan hidup di perairan yang sama, model yang cocok diterapkan mungkin saja berbeda Rumusan Masalah Perairan Teluk Banten terletak di bagian utara Provinsi Banten dan merupakan bagian dari perairan Laut Jawa, dengan luas permukaan totalnya adalah 150 km 2. Teluk Banten termasuk perairan dangkal dengan kedalaman maksimum 9 meter dan panjang pantai 22 km serta turbiditasnya tinggi. Dasar perairan pada umumnya lumpur berpasir (Nuraini 2004). Terdapat beberapa pulai kecil di kawasan perairan Teluk Banten, yaitu Pulau Panjang, Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan Besar, Pulau Semut, Pulau Tarahan, Pulau Pisang, Pulau Gosong Delapan, Pulau Kubur, Pulau Tanjung Gundul, Pulau Lima dan Pulau Dua (Tiwi 2004). Sumberdaya ikan yang ada di perairan ini sangat beragam, mulai dari jenis ikan sampai krustasea. Salah satu tempat pendaratan ikan yang berada dekat dengan Teluk Banten adalah Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Hasil tangkapan

18 3 dari di Teluk Banten tidak semuanya dilelang di TPI. Ikan ekonomis penting seperti rajungan langsung dibawa ke tempat pengolahan atau tempat pembekuan. Menurut Nuraini (2004) kondisi perikanan di perairan Teluk Banten dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim barat dan musim timur. Musim barat yang merupakan musim dengan curah hujan tinggi terjadi pada Desember hingga Februari. Musim timur merupakan musim kemarau. Ketersediaan sumberdaya ikan di perairan selain dipengaruhi oleh musim, juga karena kenaikan suhu permukaan air laut. Perubahan kondisi perairan Teluk Banten akan mempengaruhi kegiatan penangkapan rajungan. Hal ini akan berimplikasi pada hasil tangkapan nelayan, terutama nelayan yang ada di PPN Karangantu. Jika tidak ada bentuk pengelolaan yang tepat maka komoditi rajungan di perairan Teluk Banten terancam mengalami lebih tangkap (over fishing). Selain itu, sumberdaya ikan termasuk rajungan bersifat open access, artinya semua orang berhak untuk melakukan penangkapan dan tidak ada batasan mengenai besarnya upaya penangkapan untuk memanen sumberdaya tersebut di alam. Apabila hal ini berlangsung terus menerus dan tanpa adanya kontrol yang tepat, maka fenomena lebih tangkap bukan tidak mungkin terjadi, sebagaimana fakta yang terlihat di beberapa perairan Indonesia. Menurunnya kualitas dan kuantitas tangkapan rajungan akan menyebabkan menurunnya pula keuntungan yang diperoleh nelayan. Model matematis produksi surplus yang sesuai dengan kondisi rajungan di perairan Teluk Banten merupakan salah satu pendekatan biologi yang dapat digunakan untuk membantu menentukan upaya tangkapan optimal dalam menjamin ketersedian dan kelestarian stok rajungan di perairan Teluk Banten. Produktivitas stok ikan di suatu perairan dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi seperti rekruitmen, pertumbuhan individu, mortalitas alami. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non biologi, misalnya perubahan iklim dan kegiatan manusia. Volume tangkapan, dinamika upaya penangkapan serta bentuk kebijakan perikanan juga akan turut mempengaruhi keberadaan stok rajungan di perairan Teluk Banten. Tinungki (2005) menyatakan bahwa tidaklah mungkin mempertimbangkan semua faktor tersebut untuk memperkirakan perubahanperubahan dalam produktivitas suatu stok ikan, karena adanya kendala ketersediaan data. Oleh karena itu, model yang paling sederhana dalam dinamika populasi ikan

19 4 adalah model produksi surplus. Model ini memperlakukan ikan sebagai biomasa tunggal yang tak dapat dibagi, yang tunduk pada aturan-aturan sederhana, kenaikan dan penurunan biomasa. Model-model produksi surplus mengabaikan proses biologi dalam suatu stok ikan dengan mengasumsikan bahwa stok tersebut dapat diperlakukan sebagai biomasa agregat. Bila semua faktor lain tetap konstan, biomasa agregat dari suatu stok ikan akan menurun ketika tekanan dilakukan terhadap sumberdaya tersebut melalui kenaikan upaya penagkapan. Permasalahan dalam studi ini adalah belum adanya kajian stok rajungan menggunakan model produksi surplus yang paling sesuai untuk menentukan tingkat upaya tangkapan optimal sehingga dapat menjamin kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten Tujuan Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) Mengetahui model produksi surplus yang paling sesuai dengan karakteristik perikanan rajungan di perairan Teluk Banten 2) Menentukan hasil tangkapan maksimum lestari dan tingkat upaya penangkapan optimum untuk mendukung pengelolaan berkelanjutan sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten 1.4. Manfaat Penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak yang terkait untuk mendukung penentuan bentuk pengelolaan rajungan Portunus pelagicus secara lestari dan berkelanjutan. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat memperkaya wawasan pembaca mengenai kondisi perikanan secara umum, khususnya sumberdaya rajungan Portunus pelagicus di perairan Teluk Banten.

20 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Rajungan Rajungan (Gambar 1) merupakan salah satu famili dari seksi kepiting yang banyak diperjualbelikan. Mosa (1980) in Suadela (2004) menyebutkan bahwa di Indo Pasifik Barat jenis kepiting dan rajungan diperkirakan ada 234 jenis, sedangkan di Indonesia ada sekitar 124 jenis. Empat jenis rajungan diantaranya yang dapat dimakan (edible crab) selain tubuhnya berukuran besar juga tidak menimbulkan keracunan, yaitu jenis Portunus pelagicus (rajungan), Portunus sanguinolentus (rajungan bintang), Charybdis feriatus (rajungan karang) dan Podopthalmus vigil (rajungan angin). Klasifikasi rajungan menurut Kangas (2000) adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Sub kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Portunidae Genus : Portunus Spesies : Portunus pelagicus (Linnaeus 1766) Nama lokal : Rajungan Nama FAO : Blue swimmer crab, blue manna crab, sand crab, blue crab Gambar 1 Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi pribadi 2011)

21 6 Rajungan hidup di perairan dangkal (mencapai 50 meter) dengan substrat berpasir sampai berpasir lumpur. Portunus pelagicus banyak berada di area perairan dekat karang, mangrove dan padang lamun. Juvenilnya banyak ditemukan di daerah intertidal. Rajungan dewasa pada umur 1 tahun. Sumberdaya rajungan banyak ditangkap oleh nelayan dengan menggunakan perangkap buatan, trawl, pukat pantai dan jaring lingkar. Rajungan ditangkap dalam jumlah yang sangat banyak untuk dijual dalam bentuk segar dan beku di pasaran lokal. Adapula yang diolah di industri pengolahan dan pengalengan rajungan. Jika dibandingkan dengan tiga spesies rajungan yang lainnya, jenis Portunus pelagicus paling banyak dipasarkan di pasar internsional seperti Asia Tenggara. Harga pasaran berkisar antara US$3-5/kg untuk rajungan segar, sedangkan rajungan hidup harga jualnya berkisar antara US$5-8/kg. Penyebaran rajungan meliputi wilayah barat pasifik dan hindia. Portunus pelagicus secara morfologi paling mirip dengan jenis Portunus trituberculatus. Namun, secara spesifk dapat dilihat dari jumlah duri frontal. Jenis P. pelagicus berjumlah empat, sedangkan P. trituberculatus berjumlah tiga buah. Jenis P. pelagicus karapasnya bercorak totol-totol, jantan berwarna biru sedangkan betina berwarna hijau pudar (FAO 1998). Tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus) dipengaruhi oleh beberapa faktor alami dan buatan. Faktor alami diantaranya adalah perkembangan hidup, kebiasaan makan, pengaruh siklus bulan dan reproduksi. Sedangkan faktor buatan utama yang mempengaruhi tingkah laku rajungan adalah penggunaan umpan pada penangkapan rajungan dengan menggunakan crab poots. Rajungan adalah perenang aktif, tetapi saat tidak aktif mereka mengubur diri dalam sedimen dengan ruang insang terbuka serta menyisakan mata dan antena di permukaan dasar laut (FishSA 2000 in Suadela 2004). Susilo (1993) in Suadela (2004) menyebutkan bahwa perbedaan fase bulan memberikan pengaruh nyata terhadap tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus), yaitu ruaya dan makan. Fase bulan gelap, cahaya bulan yang masuk ke dalam perairan relatif tidak ada, sehingga perairan menjadi gelap. Hal ini mengakibatkan rajungan tidak melakukan ruaya serta aktivitas pemangsaannya berkurang. Hal tersebut ditunjukkan dengan perbedaan jumlah hasil tangkapan antara fase bulan gelap dan bulan terang, dimana rajungan cenderung lebih banyak tertangkap saat

22 7 fase bulan terang, sedangkan fase bulan gelap rajungan lebih sedikit tertangkap. Oleh sebab itu, waktu yang paling baik untuk menangkap rajungan adalah malam hari saat fase bulan terang (Kangas 2000) Pengkajian Stok Ikan Sparre dan Venema (1999) mengemukakan bahwa maksud dari pengkajian stok ikan adalah memberikan saran tentang pemanfaatan optimum sumberdaya hayati perairan seperti ikan dan udang. Sumberdaya hayati bersifat terbatas tetapi dapat memperbaharui dirinya. Pengkajian stok ikan dapat diartikan sebagai upaya pencarian tingkat pemanfaatan yang dalam jangka panjang memberikan hasil tangkapan maksimum perikanan dalam bentuk bobot. Tujuan dasar dari pengkajian stok ikan dilukiskan pada Gambar 2. Sumbu mendatar adalah upaya penangkapan yang diukur, misalnya jumlah hari kapal penangkap. Sumbu yang lain adalah hasil tangkapan, yakni ikan yang didaratkan dalam satuan bobot. Sampai pada tingkat tertentu akan diperoleh hasil tangkapan yang sejalan dengan peningkatan upaya penangkapan. Akan tetapi setelah tingkat tersebut, pembaharuan sumberdaya (reproduksi dan pertumbuhan tubuh) tidak dapat mengimbangi penangkapan, sehingga peningkatan tingkat ekspoitasi yang lebih jauh akan mengarah kepada pengurangan hasil tangkapan. Tingkat upaya penangkapan yang dalam jangka panjang memberikan hasil tertinggi dicirikan oleh F MSY dan hasil tangkapannya dicirikan oleh MSY (Maximum Sustainable Yield). Ungkapan dalam jangka panjang digunakan karena seseorang dapat memperoleh hasil yang tinggi dalam tahun tertentu. Namun, jika upaya penangkapan terus ditingkatkan, hasil tangkapan akan makin berkurang pada tahuntahun berikutnya. Hal ini karena sumber dayanya telah tertangkap (Sparre dan Venema 1999). Konsep dasar dalam mendeskripsikan dinamika suatu sumber daya perairan yang dieksploitasi adalah stok. Suatu stok adalah sub gugus suatu spesies yang umumnya dianggap sebagai unit taksonomi dasar. Prasarat untuk identifikasi stok adalah kemampuan untuk memisahkan spesies yang berbeda. Banyaknya spesies ikan yang ditemukan di perairan tropis dan seiring mirip satu sama lain, menimbulkan masalah dalam identifikasinya. Karena itu, ilmuwan perikanan harus

23 8 menguasai teknik-teknik identifikasi spesies jika harus menghasilkan pengkajian stok yang bermanfaat dari data yang dikumpulkan. Dalam konteks pengkajian stok ikan, sekelompok hewan dimana batas-batas sebaran geografisnya dapat ditentukan bisa dianggap sebagai suatu stok. Kelompok hewan tersebut terdiri dari ras yang sama dari satu spesies, yakni memiliki kumpulan gen yang sama. Lebih mudah untuk menentukan spesies yang kebiasaan ruayanya dekat sebagai satu stok daripada spesies yang beruaya jauh seperti tuna. Bagaimanapun, tidak ada bukti untuk menerima atau menolak hipotesis ini. Klarifikasi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan studi identifikasi menggunakan teknik molekular, misalnya analisis DNA (Wu et al. 2010). Gambar 2 Tujuan dasar pengkajian stok (Sparre dan Venema 1999) Pengkajian stok ikan harus dilakukan secara terpisah bagi setiap unit stok. Oleh karena itu, data masukan untuk tiap stok dari spesies yang dikaji harus tersedia. Konsep stok berkaitan erat dengan konsep parameter pertumbuhan dan mortalitas. Parameter pertumbuhan merupakan nilai numerik dalam persamaan. Parameter ini dapat diprediksi melalui ukuran badan ikan setelah mencapai umur tertentu. Parameter mortalitas mencerminkan suatu laju kematian hewan, yakni jumlah kematian per satuan waktu. Mortalitas penangkapan mencerminkan kematian yang dikarenakan oleh penangkapan. Adapun mortalitas alami merupakan kematian

24 9 karena pemangsaan, penyakit, predator dan faktor alam lain (Sparre dan Venema 1999). Pengkajian stok ikan bertujuan untuk mendeskripsikan proses-proses, hubungan antara masukan dan luaran serta alat yang digunakan. Hubungan tersebut disebut model-model. Suatu model adalah deskripsi yang disederhanakan dari hubungan antara data masukan dan data luaran. Model terdiri atas sederetan instruksi tentang bagaimana melakukan perhitungan dan bagaimana model-model tersebut dirancang berdasarkan hasil amatan atau hasil pengukuran (Sparre dan Venema 1999). Memproses data masukan dengan bantuan model-model dapat meramalkan luarannya secara sederhana adalah: Suatu model dikatakan baik jika model tersebut dapat meramalkan luaran dengan ketepatan yang masuk akal. Tetapi, karena model tersebut merupakan penyederhanaan dari keadaan sebenarnya, maka akan jarang memperoleh luaran yang tepat. Instruksi untuk perhitungan-perhitungan yang membentuk model diberikan dalam bentuk persamaan matematik, yaitu peubah, parameter dan operator (Sparre dan Venema 1999). Suadi dan Widodo (2008) menyatakan bahwa pengakajian stok mencakup suatu estimasi tentang jumlah atau kelimpahan dari sumber daya. Selain itu, mencakup pula pendugaan terhadap laju penurunan sumberdaya yang diakibatkan oleh penangkapan serta tingkat kelimpahan dimana stok dapat menjaga dirinya dalam jangka panjang Model Produksi Surplus Model sangat penting untuk menduga konsekuensi dari bentuk pengelolaan dan dapat digunakan untuk membentuk dan memantau kebijakan (Beattie et al. 2002). Produksi surplus sebagai perbedaan antara produksi (rekruitmen dan

25 10 pertumbuhan) dengan kematian alami. Produksi surplus dapat dituliskan sebagai berikut: artinya biomassa pada tahun tertentu, adalah biomassa tahun sebelumnya ditambahkan dengan produksi surplus tahun sebelumnya dikurangi dengan tangkapan tahun sebelumnya (Masters 2007). Widodo dan Suadi (2008) mengemukakan bahwa pertambahan netto dalam ukuran populasi akan kecil, baik pada tingkat populasi tinggi maupun rendah. Karena itu sebagai konsekuensinya pertambahan tersebut akan mencapai maksimum pada tingkat populasi intermediate. Hukum umum dari pertumbuhan populasi dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan deferensial sebagai berikut : dimana B merupakan biomassa populasi. Hukum pertumbuhan populasi ini dipergunakan untuk menggambarkan banyak organisme. Suatu fungsi yang telah terbukti sangat cocok untuk berbagai data eksperimen yaitu: dimana r dan K adalah konstanta. Ini dikenal dengan persamaan pertumbuhan logistik Verhultst-Pearl. Paramter r adalah laju pertumbuhan intrinsik, karena untuk B kecil, maka laju pertumbuhan kira-kira sama dengan r. Adapun K adalah daya dukung lingkungan dan mewakili populasi maksimum yang dapat ditopang oleh lingkungan. Fungsi ini bersifat parabolik yang simetrik dengan laju pertumbuhan maksimum pada tingkat K. Kurva selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3. Beberapa asumsi yang mendasari hukum umum pertumbuhan populasi pada Gambar 3 dapat dikemukakan sebagai berikut: a) Setiap populasi dan ekosistem tertentu akan tumbuh dalam berat sampai mendekati daya dukung maskimum dari ekosistem (terutama dalam kaitannya dengan ketersediaan makanan). Kenaikan dalam berat total perlahan-lahan berhenti manakala ukuran stok semakin mendekati, secara asimtotik, daya dukung dari lingkungan K secara asimtotik. b) Nilai K kira-kira berkaitan erat dengan nilai biomassa dari stok perawan atau yang belum dimanfaatkan (virgin stock).

26 11 c) Pertumbuhan menurut waktu dari biomassa populasi dapat dilukiskan dengan suatu kurva logistik, turunan pertama dari kurva ini ( ) mencapai maksimum pada dan bernilai 0 pada B=0 dan B=K. d) Upaya penangkapan yang menurunkan K sampai dengan setengah dari nilai originalnya akan menghasilkan pertumbuhan netto yang tertinggi dari stok, yakni produksi surplus maksimum (Maximum Surplus Yield) yang tersedia dalam suatu populasi e) Produksi surplus maksimum pada butir (d) akan dipertahankan secara lestari (di sinilah berawal yang disebut Maximum Sustainable Yield, MSY) manakala biomassa dari stok yang dieksploitasi dipertahankan pada tingkat Gambar 3 Hubungan antara biomassa tangkapan (B) dengan turunan pertama biomassa ( (Sparre dan Venema 1999) Terdapat beberapa alasan biologi yang membuat beberapa asumsi tersebut masuk akal. Beberapa alasan tentang rendahnya produksi surplus pada tingkat ukuran stok lebih besar dari antara lain dikemukakan oleh Ricker (1975) in Widodo dan Suadi (2008) sebagai berikut: a) Dekat densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi dan kadang-kadang jumlah aktual dari rekrut, lebih rendah dari pada densitas stok ikan yang lebih kecil. Meningkatkan rekruitmen dapat dicapai melalui pengurangan penangkapan stok ikan.

27 12 b) Bila suplai makanan terbatas, makanan kurang dikonversikan ke dalam bentuk daging ikan oleh stok yang besar dibandingkan dengan stok yang kecil. Masingmasing individu pada stok ikan besar akan mengkonversi makanan untuk biomassa dalam jumlah sedikit karena makanan akan digunakan untuk bertahan hidup, sedangkan stok ikan kecil memanfaatkan makanan untuk pertumbuhan. c) Suatu stok yang belum dieksploitasi secara relatif akan terdiri dari individuindividu berumur tua dibandingkan dengan stok yang telah dieksploitasi. Hal ini akan menyebabkan produksi menurun, paling tidak melalui dua cara. Pertama, ikan yang lebih besar cenderung makan banyak, konsekuensinya adalah menurunnya efisiensi pemanfaatan dari produsen dasar makanan dalam piramida makanan. Kedua, ikan yang lebih tua akan mengkonversikan makanan yang mereka makan ke dalam bentuk daging baru (berat badan yang lebih tinggi) dalam jumlah yang lebih kecil, sebab ikan yang matang gonad akan memanfaatkan makanan untuk pertumbuhan telur dan sperma. Konsep produksi surplus merupakan konsep dasar dalam ilmu perikanan. Konsep ini berawal dari beberapa karya, antara lain dalam karya-karya Russell dan Schaefer. Schaefer (1954) in Tserpes (2008) menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menduga stok didasarkan pada model produksi surplus logistik. Dasar pemikirannya adalah bahwa peningkatan (increment) populasi ikan akan diperoleh dari sejumlah ikan-ikan muda yang dihasilkan setiap tahun, sedang penurunan dari populasi tersebut (decrement) merupakan akibat dari mortalitas baik karena faktor alam (predasi, penyakit dan lain lain) maupun mortalitas yang disebabkan eksploitasi oleh manusia. Oleh karena itu, populasi akan berada dalam keadaan ekuilibrium bila increment sama dengan decrement. Sparre dan Venema (1999) mengemukakan bahwa model produksi surplus berkaitan dengan suatu stok secara keseluruhan, upaya total dan hasil tangkapan total yang diperoleh dari stok tanpa memasukkan secara rinci beberapa hal seperti parameter pertumbuhan dan mortalitas atau pengaruh ukuran mata jaring terhadap umur ikan yang tertangkap. Model-model holistik lebih sederhana bila dibandingkan dengan model analitik, karena data yang diperlukan juga menjadi lebih sedikit. Sebagai contoh, model-model ini tidak perlu menentukan kelas umur, sehingga dengan demikian tidak perlu melakukan perhitungan penentuan umur. Hal ini

28 13 merupakan salah satu alasan model produksi surplus banyak digunakan di dalam mengkaji stok ikan di perairan tropis. Model produksi surplus dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total dan hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) berdasarkan spesies serta upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup Model Schaefer (1954) Model Schaefer menyatakan bahwa pertumbuhan dari suatu stok merupakan suatu fungsi dari besarnya stok tersebut. Jelas bahwa asumsi suatu stok bereaksi seketika terhadap perubahan besarnya stok tidaklah realistik. Oleh karena itu dipergunakan konsep ekuilibrium, dan ini mengacu pada keadaan yang timbul bila suatu mortalitas penangkapan tertentu telah ditanamkan cukup lama ke dalam suatu stok, sehingga memungkinkan stok tersebut menyesuaikan ukuran serta laju pertumbuhannya sedemikian rupa sehingga persamaan yang dikemukakan oleh Schaefer terpenuhi (Suadi dan Widodo 2008). Tinungki (2005) menyatakan pula bahwa perluasan pertama penggunaan model yang dikembangkan oleh Schaefer (1954) didasarkan pada pekerjaan terdahulu Graham (1935). Model Schaefer dapat dirumuskan sebagai berikut: Dimisalkan B menyatakan biomassa stok (ukuran berat dari populasi ikan dalam ton), r dapat dinyatakan sebagai laju pertumbuhan alami dari populasi (intrinsic growth rate) dan K adalah daya dukung lingkungan (environmental carrying capacity) atau keseimbangan alamiah dari ukuran stok. Ini didefenisikan sebagai tingkat stok maksimum dari perairan dan lingkungan yang dapat didukung Schaefer (1954) in Tinungki (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan (dalam berat biomassa) dari suatu populasi (B t ) dari waktu ke waktu merupakan fungsi dari populasi awal. Schaefer dalam mengembangkan konsepnya mengasumsikan bahwa stok perikanan bersifat homogeni, fungsi pertumbuhannya adalah fungsi logistik dengan area terbatas. Asumsi-asumsi model Schaefer adalah: a) Terdapat batas tertinggi dari biomassa (K) b) Laju pertumbuhan adalah relatif dan merupakan fungsi linear dari biomassa c) Stok dalam keadaan seimbang (equilibrium condition)

29 14 d) Kematian akibat penangkapan (C t ) sebanding dengan upaya (f t ) dan koefisien penangkapan (q) e) Meramalkan MSY adalah 50% dari tingkat populasi maksimum Metode keseimbangan sebagai dasar analisis model Schaefer dalam keseimbangan atau steady state. Metode keseimbangan berdasarkan pada asumsi perubahan upaya sedikit demi sedikit sehingga ukuran stok selalu menuju keseimbangan. Itu merupakan kondisi ekologis yang stabil dan hubungan biologi. Dengan asumsi ini, laju pertumbuhan populasi akan menuju nol. Dalam hal ini perlu memperoleh bentuk yang paling sederhana untuk model hasil surplus dari prinsip-prinsip awal. Tingkat perubahan biomassa dalam populasi yang terkait, diberikan oleh f(b), fungsi biomassa apapun yang sesuai. Dalam keadaan tidak ada aktivitas penangkapan laju perubahan stok sepanjang waktu dimodelkan sebagai: (2.4.1) dimana f(b) dalah fungsi pertumbuhan dan kematian. Laju pertumbuhan populasi ikan dapat terjadi secara eksponensial, namun karena keterbatasan daya dukung lingkungan terdapat titik maksimum sehingga laju pertumbuhan akan menurun bahkan berhenti. Adapun dalam model kuadratik (logistik), dapat diasumsikan bahwa laju pertumbuhan populasi ikan adalah proporsi perbedaan antara daya dukung lingkungan dan populasi. Salah satu fungsi pertumbuhan yang sering digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik. Menangkap ikan di populasi tertentu akan mengurangi f(b) dengan fungsi usaha penangkapan ikan, yang akan dinyatakan pada persamaan berikut:..... (2.4.2) Apabila jumlah populasi relatif kecil dibandingkan dengan luas wilayahnya maka dapat diasumsikan bahwa populasi ikan tersebut tumbuh secara proporsional terhadap populasi asal, atau secara matematis dapat ditulis sebagai:.... (2.4.3) Persamaan secara grafik persamaan (2.4.3) dapat dilihat pada Gambar 4:

30 15 Gambar 4 Kurva hubungan kuadratik antara biomassa (B t ) dengan turunan pertama biomassa terhadap waktu (db t /dt) Wu et. al. (2010) menyatakan bahwa tangkapan maksimum lestari (MSY), upaya penangkapan untuk mencapai MSY (F MSY ) dan biomassa MSY dapat diduga dengan mengasumsikan laju perubahan biomassa adalah nol sepanjang tahun. Gambar 4 di atas memperlihatkan pada saat pertumbuhan f(b)=0, maka pada titik sehingga mengakibatkan B t =K, namun pada saat K cukup besar maka maka. Laju pertumbuhan alami merupakan pertumbuhan alamiah, atau biasa juga disebut sebagai laju pertumbuhan tercepat yang dimiliki oleh suatu jenis ikan. Pertumbuhan biomassa ikan di atas diasumsikan berlaku tanpa adanya gangguan atau penangkapan oleh manusia. Jika kemudian produksi perikanan diasumsikan tergantung dari input (upaya, F t ) dan jumlah biomassa ikan yang tersedia B t serta kemampuan teknologi yang digunakan q (yang disebut koefisian penangkapan), maka hasil tangkapan adalah sebagai berikut: (2.4.4) Persamaan (2.4.4) umumnya digunakan sebagai fungsi produksi panen ikan. Menyelesaikan model produksi surplus, diperlukan bentuk yang layak untuk dua fungsi yang cocok dengan data yang tersedia. Jika penangkapan C t dimasukkan ke dalam model, dan diasumsikan bahwa penangkapan berkorelasi linear terhadap biomassa (B t ) dan input atau effort (F t ), maka laju pertumbuhan biomassa menjadi:

31 (2.4.5) Asumsi keseimbangan dimana laju pertumbuhan mendekati nol, dalam hal ini masalah yang dihadapi oleh pengelola perikanan adanya peubah biomassa yang teramati, dimana hanya data produksi C t dan jumlah input F t yang digunakan seperti jumlah kapal, jumlah trip atau hari melaut. Sehingga persamaan (2.4.5) dapat dipecahkan untuk mencari nilai biomassa B diperoleh hubungan antara hasil tangkapan lestari dan input digunakan sebagai berikut: (2.4.6) dengan mensubsitusi persamaan (2.4.6) ke dalam persamaan (2.4.4) diperoleh: (2.4.7) Persamaan (2.4.7) dengan q sebuah konstanta, disebut sebagai koefisien penangkapan. Bagaimana ukuran penangkapannya (atau peluang tertangkap satu unit dari stok) per unit dari stok akan berubah jika upaya berubah satu satuan. F t adalah variabel upaya penangkapan. Persamaan (2.4.7) dapat juga digunakan untuk menyatakan hubungan antara penangkapan per satuan upaya (CPUE) dan level stok. Persamaan (2.4.7) akan menjadi linear jika dibagi dengan F t : (2.4.8) (2.4.9) Jika, maka (2.4.10) Persamaan (2.4.10) dikatakan dibawah asumsi model Schaefer, pada hubungan keseimbangan antara CPUE t (catcth per unit effort) dan F t (effort) adalah linear. Persamaan ini dapat dituliskan sebagai berikut:.... (2.4.11) Sehingga hubungan antara effort ( ) dan catch ( ) dapat dinyatakan sebagai berikut: (2.4.12) Upaya optimum (f opt ) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama tangkapan per satuan upaya (CPUE) sama dengan nol:

32 (2.4.13) (2.4.14) Nilai tangkapan optimum atau jumlah tangkapan maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan mensubsitusi nilai upaya optimum perasamaan (2.4.14) ke dalam persamaan (2.4.12): (2.4.15) Penggunaan satu persamaan ini dapat menduga parameter-parameter fungsi produksi surplus dengan meregresikan data runtun waktu (time series) jumlah tangkapan (catch) dan upaya (effort). Tinungki (2005) menyebutkan bahwa salah satu keuntungan model Schaefer adalah dapat digunakan dengan tidak tergantung pada adanya data kelimpahan stok. Jika data runtun waktu untuk data penangkapan dan upaya tersedia, maka pendugaan parameter-parameter dengan menggunakan metode regresi linear sederhana dapat dilakukan. Model Schaefer mengasumsikan populasi pertumbuhan logistik yakni tangkapan meningkat secara cepat di awal, namun kemudian laju perubahannya melambat dengan peningkatan upaya (Coppola dan Pascoe 1998 in Tinungki 2005). Model ini menetapkan dua hasil dasar, yaitu: a) Upaya penangkapan adalah suatu fungsi linear dari ukuran populasi (atau tangkapan per satuan upaya) b) Jumlah tangkapan adalah suatu fungsi parabola dari upaya penangkapan (Widodo 1986 in Tinungki 2005) 2.5. Model Gulland (1961) Model Gulland digunakan untuk meneliti hubungan antara kondisi-kondisi stok pada saat ini dan peristiwa-peristiwa masa lalu. Metode ini bukan hanya lebih layak namun juga pada prinsipnya mengatasi kehadiran upaya penangkapan sebagai peubah bebas pada kedua sumbu analisis regresi yang membuat penyimpangan pada plot ke arah suatu korelasi terbalik, dengan mengganti upaya dengan rata-rata

33 18 bergerak dari nilai yang diamati sebelumnya dan nilai saat ini. Metode ini mengasumsikan bahwa terdapat suatu hubungan antara kelimpahan stok dan upaya masa lalu. Bila rekruitmen tetap stabil dengan berkembangnya penangkapan besarbesaran, ukuran rata-rata individu yang ditangkap akan menurun. Sebaliknya bila ukuran rata-rata ikan ditangkap tetap tidak berubah sedangkan kelimpahan atau CPUE t menurun, terdapat beberapa indikasi bahwa rekruitmen berpengaruh (Gulland 1961 in Tinungki 2005). Hubungan yang diperoleh antara CPUE t dan upaya rata-rata bergerak kadang-kadang lurus, kadang-kadang melengkung. Apapun hubungannya, Gulland (1961) in Tinungki (2005) menyebutkan bahwa perikanan dalam keadaan tetap. Garisnya akan sangat dekat dengan hubungan antara CPUE t sebagai indeks dari kelimpahan relatif dan upaya penangkapan. Hubungan linear model Gulland dapat dinyatakan sebagai berikut: (2.5.1) adalah upaya rata-rata tahun sebelumnya ke t-1 dengan tahun ke t yang merupakan rentang hidup rata-rata individu dalam stok yang dieksploitasi; a adalah perkiraan rentang hidup untuk q, parameter daya dukung lingkungan (K) dan pertumbuhan alami (r), serta nilai koefisien regresi b menjadi atau adalah perkiraan untuk hasil ekuilibrium maksimum (MSY). Beberapa asumsi model produksi surplus Gulland (1983) in Aminah (2010) adalah kelimpahan populasi merupakan faktor yang hanya menyebabkan perbedaan dalam laju pertumbuhan populasi alami, keseluruhan parameter populasi yang pokok dapat dikombinasikan untuk menghasilkan fungsi sederhana yang ada hubungannya dengan laju pertumbuhan stok, laju mortaliatas penangkapan seketika sama dengan upaya penangkapan, hasil tangkapan per upaya sepadan dengan ukuran stok ikan, lama antara pemijahan dengan rektuitmen tidak berpengaruh terhadap populasi, ada hubungan antara hasil tangkapan dengan upaya penangkapan Model Pella dan Tomlimson (1969) Model Pella dan Tomlimson (1969) digunakan secara luas dan praktis. Program-program komputer dapat ditambahkan untuk menduga parameter-

34 19 parameternya. Empat parameter yang harus diduga dalam model ini adalah pertumbuhan intrinsik r,daya dukung lingkungan K, koefisien penangkapan q, dan parameter m. Keistimewaan dari model iniadalah serupa dengan model Schaefer namun sedikit modifikasi. Model Pella dan Tomlimson (1969) dapat dituliskan sebagai berikut:.... (2.6.1) dimana nilai m>1 adalah ukuran parameter tambahan. Jika m=2 maka model ini sama dengan model Schaefer. Pengenalan dari parameter m tidak hanya merubah kecekungan dari fungsi produksi. Kondisi kurva hubungan produksi akan cenderung miring ke sebelah kanan, bilamana m>2 atau miring ke arah kiri bilamana m<2. Hasil ekuilibrium sebagai suatu fungsi dari biomassa dalam model Graham- Schaefer dapat dinyatakan sebagai:..... (2.6.2) yang merupakan suatu parabola simetris. Pella dan Tomlimson (1969) dinyatakan dalam bentuk yang lebih umum, dimana eksponen 2 pada persamaan (2.6.2) digantikan oleh peubah m (Ricker 1975 in Tinungki 2005) sebagai berikut:......(2.6.3) Model Pella dan Tomlimson (1969) sebagaimana diperlihatkan pada persamaan (2.6.3) memberikan hasil bahwa MSY atau C t dapat menyertai setiap nilai B t yang dibatasai dengan sebagaimana halnya dengan model Graham- Schaefer. Bila m=2 maka akan diperoleh model Graham-Schaefer, yaitu plot hasil pada biomassa dengan parabola simetris. Bila m<2, kurva hasil semacam itu merupakan parabola asimetris dengan maksimum dipindahkan ke arah asalnya, bila m>2 maksimum dari kurva asimetris dipindahkan dari asalnya (Widodo 1986 in Tinungki 2005). Dengan kata lain, memplotkan baik hasil dan biomassa ataupun hasil dan upaya penangkapan akan menghasilkan parabola, dengan letak titik maksimumnya bergantung pada nilai m. MSY dan f opt akan ditetapkan dalam kaitannya dengan K. Sehingga satusatunya hal umum mengenaii model Pella dan Tomlimson (1969) adalah bahwa fungsi regenerasi biomassa dapat mengasumsikan berbagai bentuk, namun bukan

35 20 semua bentuk yang mungkin, dengan mempertimbangkan misalnya ukuran stok aktif minimum dan kendala-kendala internal lain pada nilai-nilai parameter (Pitcher dan Hart 1982 in Tinungki 2005). Sehingga jika CPUE= pada kondisi setimbang diperoleh persamaan Pella dan Tomlimson (1969) sebagai berikut: (untuk m=2 merupakan model Schaefer) (untuk m=3) (untuk m=4) (2.6.4) dan seterusnya untuk berbagai nilai m Model Fox (1970) Model Fox (1970) memiliki karakter bahwa pertumbuhan biomassa mengikuti model pertumbuhan Gompertz, dan penurunan tangkapan per satuan upaya (CPUE t ) terhadap upaya penangkapan (F t ) mengikuti pola eksponensial negatif, yang lebih masuk akal dibandingkan dengan pola regresi linier. Asumsi yang digunakan dalam model Fox (1970) adalah: a) Populasi dianggap tidak akan punah b) Populasi sebagai jumlah dari individu ikan Model ini memperlihatkan grafik lengkung bila secara langsung diplot terhadap upaya f t akan tetapi bila diplot dalam bentuk logaritma terhadap upaya, maka akan menghasilkan garis lurus: (2.7.1) Model tersebut mengikuti asumsi bahwa menurun dengan meningkatnya upaya. Model Fox dan Schaefer berbeda dalam hal dimana model Schaefer menyatakan satu tingkatan upaya dapat dicapai pada nilai yaitu bila, sedangkan pada model Fox, adalah selalu lebih besar dari nol untuk seluruh nilai.

36 21 Bila diplotkan terhadap f t akan menghasilkan garis lurus, pada model Schaefer, namun menghasilkan lengkung yang mendekati nol hanya pada tingkatan upaya yang tinggi, tanpa pernah menyentuh sumbu pada model Fox. Gambar 5 memperlihatkan perbandingan antara kurva model Schaefer dan model Fox. Gambar 5 Kurva model Schaefer ( ) dan Fox ( ) Fox menyatakan bahwa hubungan antara effort (f t ) dan catch (C t ) adalah bentuk eksponensial dengan kurva yang tidak simetris, dan dinyatakan bahwa hubungan antara effort (f t ) dan catch per unit effort (CPUE t ) adalah sebagai berikut: (2.7.2) hubungan antara effort dan catch adalah: (2.7.3) Upaya optimum (f opt ) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama catch (C t ) terhadap effort (f t ) sama dengan nol:.... (2.7.4) sehingga:.. (2.7.5) Produksi maksimum lestari (MSY) diperoleh dengan mensubsitusikan nilai upaya optimum ke dalam persamaan (2.7.3) sehingga:

37 22 besarnya parameter a dan b secara sistematis dapat dicari dengan mempergunakan persamaan regresi. Rumus-rumus untuk model produksi surplus ini hanya berlaku bila parameter slope (b) bernilai negatif, artinya penambahan jumlah effort akan menyebabkan penurunan CPUE. Bila dalam perhitungan diperoleh nilai b positif maka tidak dapat dilakukan pendugaan stok maksimum maupun besarnya effort minimum, tetapi hanya dapat disimpulkan bahwa penambahan jumlah effort masih menambah hasil tangkapan. Penelitian komponen-komponen sumberdaya perikanan dan potensinya dilakukan terhadap kondisi perikanan yang sekarang ada. Informasi ini diperlukan untuk perencanaan pengembangan perikanan masa yang akan datang (Tinungki 2005) Model Walter dan Hilborn (1976) Model ini dikenal sebagai suatu model yang berbeda dari model Schaefer. Perbedaannya adalah, model ini dapat memberikan dugaan masing-masing untuk parameter fungsi produksi surplus r, q dan K dari tiga koefisien regresi. Persamaannya sebagai berikut:..... (2.8.1) Prosedur model Walter-Hilborn adalah sebagai berikut:, jika... (2.8.2) maka diperoleh: yang menyatakan CPUE (catch per unit effort) Persamaan dasar model produksi surplus dapat diformulasikan kembali sebagai berikut: (2.8.3) Penyusunan kembali persamaan (2.8.3) dengan memindahkan ke sisi kiri dan mengalikan persamaan dengan sehingga diperoleh persamaan:

38 (2.8.4) Persamaan di atas diregresikan dengan laju perubahan biomassa sebagai peubah tidak bebas dan upaya penangkapan sebagai peubah bebas. Persamaan regresinya menjadi:.... (2.8.5) dimana: error dari persamaan regresi 2.9. Model Schnute (1977) Schnute mengetengahkan versi lain dari model surplus produksi yang bersifat dinamik, discrete in time, serta deterministik dari cara Graham-Schaefer. Di sisi lain, memberikan model waktu dinamis, stokastik, dan khusus untuk model produksi surplus yang bertentangan dengan model statis, deterministik, dan kontinyu dari model Graham-Schaefer yang lain. Model Schnute dipandang sebagai modifikasi model Schaefer dalam bentuk diskrit (Roff 1983 in Tinungki 2005). Dasar dari model Schnute adalah:..... (2.9.1) dimana sehingga: (2.9.2) jika persamaan (2.9.2) diintegrasikan dan dilakukan satu langkah setahun ke depan diperoleh: (2.9.3) dimana dan

39 24 Persamaan (2.9.3), selanjutnya disederhanakan dimana dan masing-masing adalah rata-rata catch per unit effort dan rata-rata upaya penangkapan per tahun. Ini memberikan persamaan: (2.9.4) Beberapa manipulasi aljabar persamaan (2.9.4) dimodifikasi, sehingga Schnute (1977) in Masters (2007) menunjukkan bahwa persamaan produksi surplus Schaefer dapat ditransformasi ke dalam bentuk linear berganda sebagai berikut: dimana: Persamaan ini dapat menduga parameter-parameter q, K dan r sebagai berikut: ; Keuntungan dari model Schnute disamping secara teori lebih masuk akal. Model ini juga mempunyai beberapa keuntungan praktis. Salah satu keuntungan adalah untuk data tangkapan dan upaya yang nilainya dimulai dari periode tahun tertentu dapat digunakan untuk memprediksi tangkapan dan upaya optimum periode tahun yang akan datang dari data yang periode sebelumnya Model Clarke Yoshimoto Pooley (1992) Mengestimasi parameter biologi dari model produksi surplus adalah melalui pendugaan koefisien yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley. Parameter-parameter r (laju pertumbuhan alami), q (koefisien kemampuan penangkapan), dan K (daya dukung lingkungan) yang dapat menggunakan model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) yang dinyatakan sebagai berikut:..(2.10.1) Sehingga persamaan (2.10.1) dapat ditulis dalam bentuk persamaan linear berganda sebagai berikut: (2.10.2) dengan:

40 25 Perhitungan parameter r, q, dan K akan didapatkan kesulitan sehingga dibuat algoritma (Fauzi 2002 in Tinungki 2005). Koefisien regresi a, b, c diperlukan dalam menentukan:.... (2.10.3) (2.10.4).... (2.10.5) nilai Q diperlukan dalam menghitung nilai K......(2.10.6) Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o o LS dan 106 o o BT. Teluk Banten berbentuk setengah lingkaran (Suadela 2004). Teluk Banten terletak di Pantai Utara Jawa pada jarak 60 km di sebelah barat kota Jakarta, termasuk wilayah administrasi Kabupaten Serang di Provinsi Banten yang sebelumnya mejadi bagian barat dari provinsi Jawa Barat. Kawasan ini mempunyai panjang pantai sekitar 22 km dengaan variasi kedalaman 0.2 sampai 9 meter. Sebagian besar kawasan teluk bagian barat dimanfaatkan untuk kawasan industri dan pelabuhan Bojonegara. Kawasan teluk bagian selatan dimanfaatkan untuk industri, perumahan nelayan, pertambakan dan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Bagian timur meliputi kawasan pertambakan serta bagian dari kawasan lindung Cagar Alam Pulau Dua (Tiwi 2004). Pasang surut perairan Teluk Banten sangat dipengaruhi oleh kondisi peraian Selat Sunda, dengan tinggi air pasangnya mencapai 90 cm. Berg juga menyatakan bahwa endapan yang membentuk dasar perairan Teluk Banten berasal dari berbagai proses alam. Lapisan paling atas terutama berasal dari proses erosi Sungai Ciujung Lama yang dibawa ke barat oleh arus dari Laut Jawa. Sebagian kecil endapan berasal dari Sungai Cibanten, dimana endapan inilah yang menyebabkan proses pendangkalan di Pulau Dua mulai tahun 1970an. Lapisan di bawahnya berupa

41 26 endapan yang berasal dari tsunami sebagai akibat dari letusan Gunung Karakatau tahun 1883 (Tiwi 2004). Teluk Banten mempunyai kawasan perairan seluas sekitar 150 km 2 yang termasuk perairan dangkal dengan turbiditas tinggi. Terdapat beberapa pulau di kawasan ini yaitu Pulau Panjang, Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan Besar, Pulau Semut, Pulau Tarahan, Pulau Pisang, Pulau Gosong Dadapan, Pulau Kubur, Pulau Tanjung Gundul, Pulau Lima dan Pulau Dua. Kawasan perairan terutama di sekitar pulau kecil mempunyai kekayaan ekosistem dan biodiversitas yang bernilai tinggi. Padang lamun, terumbu karang, hutan bakau dan kawasan konservasi burung Pulau Dua yang ada di kawasan ini terkenal sampai tingkat internasional. Kawasan padang lamun mempunyai luasan 365 hektar, dimana 100 hektar diantaranya berada di kawasan barat Teluk Banten yang merupakan kawasan padang lamun terbesar di Indonesia. Kawasan terumbu karang diperkirakan meliputi luasan 2.5 km 2, dimana 22% nya merupakan karang hidup. Ekosistem bakau lebih mendominasi kawasan teluk bagian timur selatan terutama di sekitar Pulau Dua. Pengamatan faktor hidrologi perairan Teluk Banten secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh Laut Jawa. Salinitas menurun pada musim hujan, kecuali pada perairan muara sungai dan sekitarnya. Pengamatan pada tahun menunjukkan bahwa suhu air berkisar C. Salinitas di daerah penangkapan ikan sekitar ppm. Salinitas rendah (< 20 ppm) di perairan dekat muara sungai terjadi pada musim hujan. Rendahnya salinitas karena masukan air hujan dari sungai yang bermuara di Teluk Banten. Kecerahan di sekitar pulau-pulau karang di tengah Teluk Banten hingga utara Pulau Panjang bervariasi berkisar 2-10 meter. Kecerahan pada musim hujan di kawasan pantai dapat mencapai 10 cm (Nuraini 2004). Hamparan lumpur di Teluk Banten terdapat di pantai timur dan selatan. Terbentuknya lahan ini sebagai akibat tingginya sedimentasi yang berasal dari penggundulan hutan dan penambangan batu. Lahan timbul ini terbentuk di kawasan pantai sekitar muara Sungai Cibanten dan Ciujung, Pontang. Selain itu, kawasan pantai dan sungai menjadi dangkal akibat dari proses sedimentasi yang tinggi. Tanah

42 27 timbul banyak dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan sebagai tambak ikan atau udang.

43 6 0'0"S 6 0'0"S 6 0'0"S 5 55'0"S 5 50'0"S METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Maret Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu yang terletak di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. PPN Karangantu merupakan pelabuhan perikanan yang paling dekat dengan Teluk Banten tepatnya berada di sebelah Selatan Teluk Banten. Gambar 6 merupakan kawasan perairan Teluk Banten yang digunakan untuk melakukan penangkapan rajungan beserta lineasi daerah penangkapan rajungan (fishing ground) oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu '0"E '0"E '0"E km Skala 1: PETA LOKASI PENELITIAN LEGENDA DAERAH PENANGKAPAN SUNGAI JALAN DARAT LAUT SUMBER DATA : - PETA ADMINISTRASI BAKOSURTANAL TAHUN SURVEI LAPANG 2010 TAHUN PEMBUATAN : '0"E 106 0'0"E 107 0'0"E KOTA CILEGON SERANG 106 5'0"E '0"E '0"E Gambar 6 Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 105 0'0"E 106 0'0"E 107 0'0"E 3.2. Variabel dan Parameter Pengukuran Model produksi surplus membutuhkan data hasil tangkapan (C) dalam ton, upaya penangkapan (f) dalam satuan trip/tahun, serta data tangkapan per satuan upaya (CPUE) dalam satuan ton/trip kapal. Data runut waktu tahunan sumberdaya

44 29 rajungan diperoleh dari statistik perikanan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Parameter laju pertumbuhan alami r, daya dukung lingkungan K, dan kemampuan penangkapan q secara sistematis diperoleh melalui perhitungan menggunakan algoritma (Fauzi 2010) Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode survey lapang untuk mendapatkan gambaran yang dapat mewakili distribusi spasial dan temporal rajungan di perairan Teluk Banten. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan nelayan Pelabuahan Perikanan Nusantara Karangantu. Adapun data sekunder diperoleh dari statistik dan laporan tahunan Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Banten dan Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Serang Analisis Data Standarisasi upaya penangkapan Standardisasi terhadap alat tangkap yang lain bertujuan untuk menyeragamkan satuan-satuan upaya yang berbeda sehingga dapat dianggap upaya penangkapan suatu jenis alat tangkap diasumsikan menghasilkan tangkapan yang sama dengan alat tangkap standar. Pada umumnya pemilihan suatu alat tangkap standar didasarkan pada dominan tidaknya alat tangkap tersebut digunakan di suatu daerah serta besarnya upaya penangkapan yang dilakukan. Alat tangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkap standar mempunyai faktor daya tangkap atau fishing power indeks (FPI) = 1 (Tampubolon dan Sutedjo 1983 in Tinungki 2005). Adapun nilai fishing power indeks (FPI) jenis alat tangkap lainnya dapat dihitung dengan membagi nilai catch per unit effort (CPUE alat tangkap lain) dengan CPUE alat tangkap standar. Nilai FPI ini kemudian digunakan untuk mencari upaya penangkapan standar alat tersebut

45 30 dengan CPUE s merupakan hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap standar, CPUE i adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap i, Cs merupakan jumlah tangkapan jenis alat tangkap standar, Ci adalah jumlah tangkapan jenis alat tangkap i, f s adalah jumlah upaya jenis alat tangkap standar, f i adalah jumlah upaya jenis alat tangkap i, FPIs adalah faktor daya tangkap jenis alat tangkap standar, sedangkan FPIi adalah faktor daya tangkap jenis alat tangkap i Model produksi surplus Model produksi surplus bertujuan untuk menentukan tingkat upaya optimum yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang. Struktur umum model produksi surplus adalah hubungan yang dinyatakan sebagai berikut: Ketika produksi lebih besar dibandingkan kematian alamiah, maka stok akan bertambah, sedangkan stok akan berkurang bilamana kematian alami meningkat. Model produksi surplus digunakan untuk menyatakan perbedaan antara produksi dan kematian alamiah. Tujuh model yang akan digunakan dan dicobakan dalam penelitian ini adalah model Schaefer, Gulland, Pella & Tomlomson, Fox, Walter & Hilborn, Schnute, serta model Clarke Yoshimoto Pooley. Model produksi surplus yang telah dikenalkan oleh para ahli akan diterapkan ke dalam data runut waktu tahunan tangkapan dan upaya tangkapan rajungan (Portunus pelagicus) yang dilakukan oleh nelayan di perairan Teluk Banten yang kemudian didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Berikut adalah persamaan matematik masing-masing model produksi surplus yang digunakan untuk menduga tangkapan maksimum lestari (MSY) dan upaya optimum penangkapan dengan menggunakan bantuan program Microsoft Excel:

46 31 A. Model Schaefer (1954) B. Model Gulland (1961) C. Model Pella dan Tomlimson (1969) D. Model Fox (1970) E. Model Walter dan Hilborn (1976)

47 32 F. Model Schnute (1977) G. Model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) (1992) Keterangan: C t : Tangkapan tahun ke-t f t : Upaya penangkapan tahun ke-t CPUE t : Hasil tangkapan per satuan upaya tahun ke-t r : Parameter pertumbuhan K : Daya dukung lingkungan q : Koefisien penangkapan m : Parameter tambahan MSY : Tangkapan Maksimum Lestari (Maximum Sustainable Yield) : Upaya tangkapan optimal f opt

48 33 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Perikanan di Perairan Teluk Banten Teluk Banten merupakan bagian dari perairan Laut Jawa. Sumberdaya ikan yang berada di Teluk Banten sangat bervariasi. Mulai dari ikan demersal, pelagis sampai ikan karang. Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan di perairan ini berlangsung terus menerus sepanjang tahun. Nelayan yang menangkap ikan di perairan ini mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu yang terletak di selatan Teluk Banten, tepatnya di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Jenis-jenis ikan yang ditangkap di perairan Teluk Banten disajikan pada Gambar 7: Gambar 7 Persentasi hasil tangkapan per jenis ikan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu (Statistik PPN Karangantu 2011) Rajungan merupakan salah satu jenis ikan ekonomis penting yang didaratkan di PPN Karangantu. Hasil tangkapan rajungan di perairan Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu masih tergolong rendah. Secara umum alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Karangantu masih bersifat tradisional. Usaha

49 34 penangkapan rajungan dengan skala kecil operasi penangkapannya adalah one day fisihing. Daerah penangkapan rajungan berada di Pulau Tunda dan Pulau Pamujan. Hasil tangkapannya didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Lama waktu tempuh nelayan untuk mencapai fishing ground adalah sekitar 30 menit dengan jarak tempuh 5 mil. Spesies rajungan yang umumnya ditangkap oleh nelayan Karangantu adalah Portunus pelagicus. Tabel 1 Hasil tangkapan rajungan (ton) per jenis alat tangkap di Teluk Banten kurun waktu Tahun Jaring Insang Payang Dogol Bagan Sero (Laporan Statistik PPN Karangantu) Tabel 1 menunjukkan tangkapan rajungan oleh nelayan PPN Karangantu yang menggunakan lima jenis alat tangkap. Tangkapan nelayan ahun 2005 sampai 2007 diperoleh hanya dari empat alat tangkap yaitu jaring insang, payang, dogol dan bagan. Selanjutnya di tahun berikutnya tangkapan rajungan mulai diperoleh dengan menggunakan alat tangkap sero. Tabel 2 menunjukkan upaya tangkapan tahunan dalam satuan trip rajungan oleh nelayan PPN Karangantu yang menggunakan lima jenis alat tangkap yaitu jaring insang, payang, dogol, bagan dan sero. Operasi upaya penangkapan rajungan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap sero baru mulai beroperasi pada tahun Berdasarkan hasil standarisasi upaya maka diperoleh data runut waktu total tangkapan rajungan serta jumlah upaya penangkapan dalam satuan trip dari lima jenis alat tangkap, dimana yang menjadi upaya standar adalah trip menggunakan alat tangkap dogol sebagaimana terlihat pada Tabel 3. Secara visual dapat dilihat pada Gambar 8 fluktuasi tangkapan dari tahun 2005 sampai tahun 2010.

50 35 Tabel 2 Upaya per jenis alat tangkap (trip) rajungan di Teluk Banten kurun waktu Tahun Jaring Insang Payang Dogol Bagan Sero (Laporan Statistik PPN Karangantu 2011) Tabel 3 Jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan hasil standarisasi kurun waktu Tahun C(ton) E(trip) (diolah dari statistik PPN Karangantu) Gambar 8 Grafik jumlah tangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu Gambar 8 menunjukkan produksi rajungan di Teluk Banten selama enam tahun. Selama enam tahun kurun waktu tersebut, terlihat bahwa hasil tangkapan

51 36 tertinggi pada tahun 2005, sedangkan tangkapan terendah pada tahun Secara keseluruhan tangkapan rajungan di PPN Karangantu cukup fluktuatif. Gambar 9 menunjukkan fluktuasi tahunan upaya penangakapan rajungan dalam satuan trip di Teluk Banten oleh nelayan PPN Karangantu. Upaya tangkapan tertinggi pada tahun 2010, sedangkan upaya tangkapan terendah pada tahun Secara keseluruhan terlihat adanya peningkatan upaya penagkapaan rajungan oleh nelayan Karangantu dari tahun 2006 sampai tahun Gambar 9 Grafik upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu Tangkapan per satuan upaya (Catch per unit Effort/CPUE) rajungan di perairan Teluk Banten selama enam tahun cukup berfluktuasi sebagaimana terlihat pada Gambar 10. CPUE tertinggi pada tahun 2005, sedangkan terendah pada tahun Secara keseluruhan terlihat bahwa terjadi penurunan nilai tangkapan per satuan upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu dari tahun 2007 sampai tahun 2011.

52 37 Gambar 10 Grafik tangkapan per satuan upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu Model Produksi Surplus A. Metode Schaefer (1954) Model Schaefer mengikuti model pertumbuhan logistik. Penurunan hasil tangkapan per satuan upaya CPUE terhadap upaya penangkapan F mengikuti pola regresi linear. Adapun kurva parabola yang simetris menunjukkan hubungan antara hasil tangkapan dengan upaya, dimana titik puncak kurva tersebut menunjukkan tingkat biomassa sebesar. Hasil tangkapan rajungan C dalam satuan ton, upaya penangkapan F dalam satuan trip serta tangkapan per satuan upaya CPUE dalam satuan ton/trip disajikan pada Tabel 4. Kolom 2 menunjukkan hasil tangkapan, sedangkan kolom 3 menunjukkan upaya trip yang dilakukan oleh nelayan. Hubungan parabolik antara hasil keseimbangan dan upaya penangkapan optimum akan memberikan informasi mengenai hasil tangkapan maksimum lestari MSY dan tingkat penangkapan optimum F MSY yang akan menghasilkan MSY. Adapun tangkapan per satuan upaya CPUE (kolom 4) diperoleh dari hasil bagi antara tangkapan C (kolom 2) dengan upaya tangkapan F (kolom 3) setiap tahunnya dari tahun 2005 sampai 2010.

53 38 Tabel 4 Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F) dan jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE) rajungan di Teluk Banten Tahun C(ton) F(trip) CPUE(ton/trip) (diolah dari statistik PPN Karangantu) Regresi antara CPUE (kolom 4) dan upaya penangkapan (kolom 3) pada tabel 4, menghasilkan persamaan regresi linear sebagai berikut: Upaya optimum model Schaefer dapat diperoleh dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi a= dan b= pada rumus berikut: trip Berdasarkan model Schaefer, selama satu tahun jumlah tripupaya tangkapan tidak boleh melebihi 4091 trip. Adapun hasil tangkapan maksmum lestari MSY dapat diduga dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi a dan b sebagai berikut: ton/tahun Menurut model Schaefer, untuk dapat memanfaatkan sumberdaya rajungan secara lestari di Teluk Banten, maka potensi ikan yang boleh ditangkap selama satu tahun maksimal ton. Artinya hasil tangkapan maksimum lestari atau MSY rajungan di Teluk Banten sebesar ton/tahun, dengan dugaan upaya penangkapan optimum trip selama satu tahun. Gambar 11 menunjukkan grafik hubungan antara jumlah tangkapan maksimum lestari dengan upaya penangkapan rajungan di Teluk Banten. MSY= ton diperoleh dengan melakukan upaya penangkapan trip selama setahun.

54 39 Gambar 11 Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Schaefer Hasil tangkapan aktual dan hasil tangkapan dengan model Schaefer dari tahun 2005 sampai tahun 2010 diperlihatkan pada Gambar 12. Pola perubahan hasil tahunan aktual berbeda denagn perubahan produksi tahunan model Schaefer. Hasil tangkapan dengan model Schaefer jauh lebih tinggi dibandingkan hasil tangkapan aktual nelayan Karangantu. Gambar 12 Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Schaefer perikanan rajungan di Teluk Banten

55 40 B. Metode Gulland (1961) Penentuan parameter-parameter regresi pada model Gulland menggunakan regresi linear sederhana. Regresi linear sederhana ini membutuhkan data tangkapan per satuan upaya CPUE yang diperoleh dari tangkapan C dibagi dengan upaya F. Adapun rata-rata upaya penangkapan diperoleh dari rata-rata bergerak upaya penangkapan setiap tahun. Koefisien regresi a dan b diperoleh dengan meregresikan CPUE (kolom 4) dengan upaya rata-rata (kolom 5) pada Tabel 5. Persamaan regresi antara CPUE dan upaya rata-rata adalah sebagai berikut: Tabel 5 Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F), jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE) serta upaya rata-rata ( ) rajungan di Teluk Banten Tahun C(ton) F(trip) CPUE(ton/trip) Effort rata-rata ( ) (diolah dari statistik PPN Karangantu) MSY model Gulland dapat diperoleh dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi a= dan b= pada formula berikut, sehingga diperoleh: Upaya penangkapan optimum yang dapat memproduksi rajungan sebesar MSY tersebut dapat diduga sebagai berikut: trip Semua perhitungan model Gulland menggunakan data pada Tabel 5. Berdasarkan metode Gulland dapat diperoleh bahwa dugaan tangkapan maksimum lestari rajungan di Teluk Banten sebesar. Jumlah

56 41 tangkapan ini dapat dicapai dengan upaya penangkapan optimum dalam setahun sebesar trip. Artinya, dalam setahun upaya penangkapan rajungan di Teluk Banten tidak boleh melebihi trip. Hubungan antara upaya penangkapan rata-rata dengan hasil tangkapan adalah kuadratik. Sebagaimana terlihat pada persamaan matematik yang dikemukakan oleh Gulland. Berikut adalah gambar plot antara hasil tangkapan dengan upaya tangkapan rata-rata bergerak sumberdaya rajungan. Hasil tangkapan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten meningkat sejalan dengan peningkatan upaya penangkapan, kemudian mencapai titik maksimum pada MSY= ton. Setelah itu menurun dengan terjadinya peningkatan upaya penangkapan yang sangat besar. Sebagaimana terlihat pada Gambar 13, dimana MSY dapat dicapai dengan upaya optimum trip. Gambar 13 Kurva hubungan jumlah tangkapan (C), dan jumlah upaya penangkapan rata-rata ( ) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Gulland Perbandingan antara hasil tangkapan aktual dengan tangkapan lestari model Gulland dapat dilihat pada Gambar 14. Pola fluktuasi tangkapan rajungan secara

57 42 aktual jika dibandingkan dengan model Gulland terlihat sangat berbeda. Secara kesluruhan terlihat bahwa dari tahun 2007 sampai 2010 kondisi tangkapan aktual melebihi tangkapan seharusnya berdasarkan model Gulland. Gambar 14 Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Gulland perikanan rajungan di Teluk Banten C. Metode Pella dan Tomlimson (1969) Model ini merupakan modifikasi dari model Schaefer. Perbedaan parameter m pada persamaan model Pella dan Tomlimson akan mengubah kecekungan dari fungsi produksi model tersebut. Beberapa nilai m>0 dicobakan ke dalam persamaan Pella Tomlimson. Sehingga diperoleh nilai parameter m yang menghasilkan koefisien determinasi yang tertinggi untuk persamaan tersebut adalah m=3. Jika dimasukkan nilai m=3 pada persamaan Pella dan Tomlimson, regresi linear sederhana yang diterapkan adalah tangkapan per satuan upaya (kolom 4) pada Tabel 6 sebagai variabel bebas dan kuadrat upaya penangkapan (kolom 5) dijadikan variabel bebas. Tabel 6 menyajikan data tangkapan (C), upaya penangakapan (F), tangkapan per satuan upaya (CPUE) serta upaya penangkapan yang dikuadratkan (F 2 ).

58 43 Tabel 6 Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F), jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE) dan kuadrat upaya penangkapan (F 2 ) rajungan di Teluk Banten Tahun C(ton) F(trip) CPUE(ton/trip) F (dilolah dari Statistik PPN Karanantu) Persamaan regresi linear sederhana yang diperoleh adalah sebagai berikut: Sehingga diperoleh nilai koefisien regresi a= dan b=. Nilai koefisien ini kemudian digunakan untuk menduga jumlah tangkapan maksimum lestari. Adapun upaya optimum model Pella dan Tomlimson melalui subtitusi koefisien nilai regresi sebagai berikut: 741 trip Sedangakan jumlah tangkapan maksimum lestari model Pella dan Tomlimson dapat diperoleh dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi a=, b=serta pada persamaan berikut: ton Berdasarkan model Pella dan Tomlimson, selama satu tahun jumlah trip upaya tangkapan tidak boleh melebihi 741 trip. Adapun parameter biologi seperti pertumbuhan intrinsik r, daya dukung lingkungan K dan koefisien penangkapan q rajungan di Teluk Banten oleh nelayan PPN Karangantu dapat diduga melalui algoritma (Fauzi 2010). Plot hasil tangkapan maksimum lestari sebesar ton dan upaya tangkapan optimum sebesar 741 trip dapat terlihat pada grafik kuadratik Gambar 15. Peningkatan upaya akan meningkatkan hasil tangkapan sampai pada titik maksimum

59 ton. Kemudian jika upaya penangkapan terus ditingkatkan maka hasil tangkapan tidak terus meningkat, namun justru akan terus mengalami penurunan. Gambar 15 Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Pella dan Tomlimson Gambar 16 menyajikan perbandingan kondisi hasil tangkapan aktual rajungan di Teluk Banten dengan hasil tangkapan lestari berdasarkan model Pella dan Tomlimson. Grafik perbandingan tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara tangkapan aktual dengan tangkapan model Pella dan Tomlimson. Grafik tersebut juga menunjukkan bahwa kondisi aktual berada di bawah kondisi tangkapan model Pella dan Tomlimson untuk setiap tahun.

60 45 Gambar 16 Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Pella dan Tomlimson perikanan rajungan di Teluk Banten D. Metode Fox (1970) Model produksi eksponensial Fox dapat dinyatakan sebagai berikut: Jika dilinearkan, maka hubungan antara CPUE dan upaya F sebagai berikut: Hasil regresi linear antara upaya F sebagai variabel tidak bebas dengan lncpue sebagai variabel bebas adalah sebagai berikut : Berdasarkan persamaan linear tersebut diperoleh koefisien regresi a= dan b=. Upaya tangkapan optimal rajungan di Teluk Banten dapat diduga dengan mensubtitusikan nilai b hasil regresi pada persamaan sebagai berikut: Hasil tangkapan maksimum lestari MSY dapat diduga dengan meensubtitusikan nilai koefisien regresi a = dan F opt = trip sebagai berikut:

61 46 Berdasarkan perhitungan ini berarti bahwa dalam setahun jumlah trip penangkapan rajungan di Teluk Banten tidak boleh melebihi. Agar sumberdaya rajungan tersebut tetap lestari, maka potensi rajungan yang dapat ditangkap maksimal. Atau dengan kata lain, jumlah tangkapan maksimum lestari yang dapat menjamin keberlanjutan dan kelestarian sumbersaya rajungan Portunus pelagicus di Teluk Banten adalah. Hubungan antara tangkapan C dengan upaya penangkapan F rajungan di Teluk Banten dapat disajikan pada Gambar 17. Tangkapan meningkat sejalan dengan meningkatnya upaya penangkapan, dan mencapai titik puncak pada MSY=. Setelah itu, produksi menurun dan asimtotoik pada besar upaya yang terus meningkat. Gambar 17 Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dengan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Fox. Gambar 18 menunjukkan perbandingan antara tangkapan aktual dan tangkapan lestari model Fox rajungan di Teluk Banten. Pola tangkapan tahunan antara tangkapan aktual dan pada model Fox secara visual terlihat hampir identik untuk tangkapan tahun 2007 sampai tahun Namun sangat berbeda untuk tahun 2005 dan 2006.

62 47 Gambar 18 Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Fox perikanan rajungan di Teluk Banten E. Metode Walter Hilborn (1967) Metode ini menggunakan perhitungan regresi linear berganda dengan konsep least square. Regresi dilakukan dengan memasukkan data CPUE t+1 /CPUE t (kolom 5) pada tabel 7 sebagai variabel bebas. Sedangkan variabel tidak bebas X 1 dan X 2 masing-masing CPUE dan F (kolom 4 dan 3) pada Tabel 7. Maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: dimana: Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh koefisien regresi a= b= dan c=. Nilai parameter biologi dapat diduga dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi tersebut sebagai berikut:

63 48 Tingkat pertumbuhan alami Koefisien kamampuan tangkapan Daya dukung lingkungan artinya untuk dapat menjamin kelestariaan sumberdaya rajungan di Teluk Banten maka potensi rajungan yang dapat ditangkap dan akan menjamin keslestarian stok adalah sebesar ton/tahun. Adapun upaya optimum untuk memperoleh tangkapan maksimum lestari dapat diperoleh dengan mensubtitusikan parameter yang diperoleh ke persamaan berikut: Tabel 7 merupakan tabel yang berisikan nilai-nilai yang digunakan dalam perhitungan tangkapan maksimum lestari dan upaya optimum menggunakan model Walter & Hilborn. Tabel 7 Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F), jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE) dan CPUE t+1 /CPUE t rajungan di Teluk Banten Tahun C(ton) F(trip) CPUE(ton/trip) CPUE t+1 /CPUE t (diolah dari Statistik PPN Karangantu) Plot jumlah tangkapan maksimum lestari rajungan di perairan Teluk Banten serta upaya optimum penangkapan terlihat pada Gambar 19. Hasil tangkapan terus

64 49 meningkat sejalan dengan meningkatnya upaya penangkapan sampai pada jumlah tangkapan maksimum lestari = ton. Kemudian tangkapan terus menurun secara asimtotik dengan adanya peningkatan upaya yang melebihi upaya optimum trip. Gambar 19 Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Walter dan Hilborn Gambar 20 adalah grafik perbandingan antara tangkapan aktual rajungan perairan Teluk Banten dengan tangkapan berdasarkan model Walter dan Hilborn. Kurva tersebut tidak dapat menampilkan perbandingan antara jumlah tangkapan aktual dengan tangkapan model Walter Hilborn pada tahun Hal ini dikarenakan dalam proses perhitungan tangkapan berdasarkan model tersebut pada tahun 2005 membutuhkan data perhitungan hasil bagi antara tangkapan per satuan upaya satu tahun sebelumnya dengan tangkapan per satuan upaya tahun tertentu. Dengan kata lain data tahun 2005 membutuhkan data tahun 2004 yang tidak tersedia dalam penelitian ini.

65 50 Gambar 20 Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Walter dan Hilborn perikanan rajungan di Teluk Banten Gambar 20 memperlihatkan bahwa ada perbedaan tangkapan rajungan antara kondisi aktual dengan kondisi model Walter dan Hilborn. Fluktuasi tangkapan maksimum dan minimum antara data aktual dan model Walter dan Hilborn sangat berbeda. Tangkapan aktual cenderung menurun dari tahun ke tahun. Sedangkan tangkapan berdasarkan model Walter dan Hilborn terlihat terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. F. Metode Schnute (1977) Model Schnute membutuhkan parameter-parameter regresi yang diperoleh dengan menggunakan regresi linear berganda dengan konsep least square. Regresi antara sebagai varibel bebas, sedangkan variabel bebas X 1 adalah dan variable bebas X 2 adalah. Persamaan regresi rajungan Teluk Banten model Schnute dapat disajikan sebagai berikut: dimana:

66 51 Hasil regresi linear berganda tersebut menghasilkan nilai koefisien regresi a=, b= dan c=. Semua perhitungan menggunakan data yang tertera pada Tabel 8. Nilai parameter biologi seperti tingkat pertumbuhan alami r, koefisien kemampuan penangkapan q serta daya dukung lingkungan K dapat diperoleh dengan mensubtitusikannya pada nilai koefisien regresi sebagai berikut: Tingkat pertumbuhan alami Koefisien kemampuan penangkapan Daya dukung lingkungan Tabel 8 merupakan tabel yang berisikan nilai-nilai yang digunakan dalam perhitungan tangkapan maksimum lestari dan upaya optimum menggunakan model Schnute. Tabel 8 Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F), jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE), ln(cpue t+1/ CPUE t ), jumlah tangkapan per satuan upaya rata-rata (CPUE t +CPUE t+1 )/2 serta jumlah upaya penangkapan rata-rata (F t +F t+1 )/2 rajungan di Teluk Banten Tahun C(ton) F t (trip) CPUE(ton/trip) ln(cpue t+1 /CPUE) (CPUE t +CPUE t+1 )/2 (F t +F t+1 )/ (diolah dari statistik PPN Karangantu)

67 52 Hasil tangkapan maksimum lestari dengan menggunakan model Scchnute diperoleh dengan mensubtitusikan koefisien dan parameter yang diperoleh dari hubungan linear seperti berikut ini: Artinya untuk dapat memanfaatkan sumberdaya rajungan secara lestari, maka potensi ikan yang boleh ditangkap maksimal ton/tahun Upaya penangkapan optimum untuk memperoleh tangkapan lestari diperkirakan sebagai berikut: artinya dalam setahun jumlah trip upaya penangkapan rajungan di Teluk Banten tidak boleh melebihi trip. Plot tangkapan maksimum lestari (MSY) dan upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten disajikan pada Gambar 21. Tangkapan akan mencapai maksimum pada ton dengan upaya optimum untuk mencapai jumlah tangkapan tersebut adalah sebesar 3180 trip. Kemudian tangkapan terus menurun secara asimtotik dengan penambahan upaya penangkapan yang lebih besar lagi. Gambar 21 Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Schnute.

68 53 Berikut adalah gambar perbandingan antara hasil tangkapan aktual dan lestari model Schnute perikanan rajungan di Teluk Banten. Gambar 22 menunjukkan perbandingan tangkapan antara data hasil tangkapan aktual dengan hasil tangkapan menggunakan model Schnute dari tahun 2006 sampai Terlihat secara visual dari grafik bahwa peningkatan tangkapan terjadi di tahun awal dan kemudian menurun pada tahun berikutnya. Secara keseluruhan terlihat pula bahwa tangkapan aktual dengan tangkapan menurut model Schnute hampir identik. Gambar 22 Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Schnute perikanan rajungan di Teluk Banten G. Metode Clarke Yoshimoto Pooley (1992) Metode Clarke Yoshimoto Pooley atau disingkat CYP menggunakan persamaan regresi linear berganda dengan konsep least square. Perhitungan model CYP menggunakan data yang disajikan pada tabel 9. Persamaan regresi model ini diperoleh dengan cara meregresikan lncpue t+1 (kolom 5) sebagai variabel bebas dan lncpue t (kolom 6) sebagai variabel tidak bebas X 1, serta F t +F t+1 (kolom 7) sebagai variabel tidak bebes X 2. Sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut:

69 54 keterangan: Persamaan tersebut menghasilkan koefisien regresi a, b dan c yang masing-masing bernilai, dan Adapun nilai parameter-parameter pertumbuhan r, koefisien penangkapan q dan daya dukung lingkungan K dapat diduga dengan menggunakan nilai koefisien regresi yang diperoleh sebagai berikut: tingkat pertumbuhan alami koefisien kemampuan penangkapan daya dukung lingkungan ton Tabel 9 merupakan tabel yang berisikan nilai-nilai yang digunakan dalam perhitungan tangkapan maksimum lestari dan upaya optimum menggunakan model Clarke Yoshimoto Pooley. Tabel 9 Jumlah tangkapan (C) jumlah upaya penangkapan (F), umlah tangkapan per satuan upaya (CPUE), lncpue t+1, lncpue t dan F t +F t+1 rajungan di Teluk Banten Tahun C(ton) F(trip) CPUE(ton/trip) ln(cpue t+1 ) ln(cpue t ) (F t +F t+1 ) (diolah dari statistik perikanan PPN Karangantu)

70 55 Untuk dapat memanfaatkan sumberdaya rajungan secara lestari maka dapat diduga nilai produksi maksimum lestari MSY atau jumlah biomassa yang boleh ditangkap di Teluk Banten selama setahun adalah sebagai berikut: sedangkan upaya panangkapan optimum untuk memperoleh hasil tangkapan maksimum lestari MSY tersebut diperkirakan sebagai berikut: artinya dalam setahun, jumlah trip penangkapan rajungan di Teluk Banten tidak boleh melebihi trip. Gambar 23 menunjukkan grafik yang memplotkan jumlah tangakapan maksimum lestari rajungan di Teluk Banten dengann menggunakan model Clarke Yoshimoto Pooley. selain itu pula terlihat upaya penangkapan optimum untuk mencapai tangkapan lestari. Peningkatan upaya yang lebih besar akan menyebabkan penurunan hasil tangkapan dan berlanjut secara asimtotik. Gambar 23 Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Clarke Yoshimoto Pooley

71 56 Gambar 24 menunjukkan perbandingan antara tangkapan aktual dengan tangkapan lestari menggunakan model CYP sumberdaya rajungan di Teluk Banten dari tahun 2006 sampai Melalui grafik tersebut maka terlihat bahwa pola perubahan jumlah tangkapan tahunan antara data aktual dengan model lestari CYP hampir identik. Gambar 24 Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Clarke Yoshimoto Pooley perikanan rajungan di Teluk Banten Berikut menunjukkan perbandingan antara model Schaefer, Gulland, Pella & Tomlomson, Fox, Walter & Hilborn, Schnute, serta model Clarke Yoshimoto Pooley. Berdasarkan Tabel 10, dapat dibandingkan koefisien penangkapan q, daya dukung lingkungan K, serta parameter pertumbuhan intriksik r sumberdaya rajungan di Teluk Banten antar tujuh model produksi surpus.

72 57 Tabel 10 Perbandingan parameter koefisien penangkapan (q), daya dukung lingkungan (K), pertumbuhan intrinsik (r), nilai koefisien determinasi (R 2 ), Standar error (SE) dan Variance Infentory Factor (VIF) antara tujuh model produksi surplus rajungan di Teluk Banten Model q K r R 2 SE VIF Schaefer Gulland Pella Tomlimson Fox W-H Schnute CYP Masing-masing model menyajikan ketiga paramteter tersebut dengan nilai yang berbeda-beda. Parameter q, K dan r model Schaefer, Gulland, Pella &Tomlimson dan Fox diperoleh melalui perhitungan algoritma. Sedangkan untuk model Walter Hilborn, Schnute dan Clarke Yoshimoto Pooley parameter-parameter tersebut diperoleh melalui subtitusi dan perhitungan menggunakan koefisien regresi liniear berganda. Indikator statistik yang digunakan adalah koefisien determinasi (R 2 ) Nilai koefisien determinasi masing-masing-masing model juga berbeda-beda. Nilai koefisien determinasi terbesar ditunjukkan oleh model Clarke Yoshimoto Pooley yaitu 98.98%. Sedangkan nilai koefisien determinasi terendah adalah model Schaefer yaitu 34.64%. Indikator statistik lain yang dapat mendukung hal ini adalah nilai standar eror. Standar eror model CYP juga relatif rendah dibandingkan model lainnya. Adapun nilai Variance Infentory Factor model Walter-Hilborn, Schnute dan CYP juga rendah. Artinya kolinearitas antara variabel tidak bebas pada masingmasing model regresi sangat rendah Pembahasan Model produksi surplus yang didasarkan pada keseimbangan biomassa homogen ikan di suatu perairan yang dugunakan pada penelitian ini sebanyak tujuh model yaitu model Schaefer, Gulland, Pella&Tomlimson, Fox, Walter Hilborn, Schnute dan model Clarke Yoshimoto Pooley. Model produksi surplus merupakan model holistik dalam pengkajian stok ikan. Artinya dalam suatu perairan tidak

73 58 dilakukan analisis secara rinci mengenai kematian, kelahiran serta migrasi ikan yang terjadi di suatu wilayah perairan. Namun, kondisi ini tidak perlu diragukan karena dalam satu tahun dinamika yang terjadi secara alami di suatu perairan khususnya Teluk Banten adalah seimbang atau dengan kata lain kondisi perairam secara alami berada pada keseimbangan dinamis. Oleh karena itu dibutuhkan data runut waktu tahunan untuk dapat mengaplikasikan model ini. Model produksi surplus merupakan model yang sangat mudah diterapkan, karena hanya membutuhkan data tangkapan dan upaya penangkapan yang biasanya tersedia di hampir setiap tempat pendaratan ikan. Rajungan di perairan Teluk Banten yang ditangkap oleh nelayan Karangantu dapat diduga sebagai satu stok. Hal ini berangkat dari beberapa alasan. Pertama, berdasarkan hasil wawancara, nelayan yang mendaratkan rajungan di PPN Karangantu hanya melakukan penangkapan di Teluk Banten, artinya wilayah perairannya sama. Tonase kapal penangkap rajungan juga sangat minim sehingga tidak mungkin melakukan trip ke lokasi yang relatif jauh selama berhari-hari. Alasan kedua, dilihat dari segi biologi rajungan merupakan ikan demersal yang migrasinya relatif dekat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sparre dan Venema (1999) bahwa untuk spesies yang kebiasaan ruayanya dekat terutama spesies demersal lebih mudah untuk menentukannya sebagai suatu stok daripada speseis yang beruaya jauh. Model produksi surplus yang paling sesuai akan memiliki peluang berbeda untuk spesies berbeda bahkan pada kondisi perairan yang berbeda pula. Berdasarkan perbandingan grafik tangkapan aktual dan tangkapan masing-masing model produksi surplus maka dapat dilihat bahwa grafik aktual yang identik dengan grafik tangkapan masing-masing model ditunjukkan oleh model Clarke Yoshimoto Pooley. Tentunya tampilan visual pada grafik perlu dibuktikan secara statistik. Jika dilihat dari indikator statistik yaitu koefisien determinasi maka nilai R 2 paling besar terdapat pada model Clarke Yoshimoto Pooley. Hal ini menunjukkan bahwa model CYP merupakan model yang paling sesuai dan cocok untuk diterapkan pada perikanan rajungan (Portunus pelagicus) di perairan Teluk Banten. Hal ini didukung oleh pendapat Pindyck dan Rubnfield (1998) in Aminah (2010) bahwa nilai determinasi atau R 2 lazim digunakan untuk mengukur goodness of fit dari variabel tidak bebas dalam model, dimana semakin besar nilai R 2 menunjukkan bahwa model

74 59 tersebut semakin baik. Tangkapan maksimum lestari berdasarkan model CYP sebesar ton melalui upaya tangkapan optimum 3562 trip selama satu tahun. Secara statistik model CYP juga memberikan standar error dan nilai VIF yang relatif rendah. Sehingga dapat mendukung nilai R 2 yang relatif tinggi. Jika dilihat dari nilai tangkapan dan upaya tangkapan aktual rajungan di Teluk Banten oleh nelayan Karangantu menggunakan model Clarke Yoshimoto Pooley, kondisi perikanan rajungan telah mengalami lebih tangkap atau melebihi jumlah tangkpan lestari dan juga lebih upaya penangkapan optimum. Berangkat dari hal ini, maka sangat perlu untuk mengelola perikanan rajungan. Pengelolaan perikanan rajungan di Teluk Banten bisa dilakukan melalui pengendalian input maupun output. Pengendalian input melalui pengaturan upaya dalam satuan trip penangkapan nelayan selama satu tahun. Upaya yang diperoleh melalui standarisai upaya selama satu tahun perlu dikonversi lagi untuk masing-masing alat tangkap yang berbeda. Karena satuan trip yang digunakan pada perhitungan ini adalah trip dogol berdasarkan hasil standarisasi, maka untuk alat tangkap jaring insang, payang, dogol, bagam dan sero memiliki tingkatan kemampuan penangkapan yang berbedabeda. Secara proporsional hal ini dapat dikalkulasikan. Adapun pengaturan output dapat dilakukan dengan mengatur hasil tangkapan oleh nelayan selama satu tahun. Artinya nelayan hanya boleh menangkap rajungan di Teluk Banten maksimal ton. Untuk menanggulangi terjadinya kondisi overfishing yang melewati daya dukung lingkungan maka pendekatan kehati-hatian melalui Total Allowable Catch (TAC) atau dikenal dengan istilah jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dapat diterapkan. JTB atau TAC yaitu 80% dari tangkapan maksimum lestari. Maka JTB untuk perikanan rajungan Portunus pelagicus di perairan Teluk Banten adalah sebesar ton. Melalui JTB ini maka akan cukup untuk mencegah estimasi yang berlebihan (over estimate). Hal ini diharapkan dapat menjamin kelestarian dan ketersediaan sumberdaya rajungan sepanjang tahun.

75 60 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian antara tujuh model produksi surplus diperoleh kesimpulan bahwa model produksi surplus yang paling sesuai untuk perikanan rajungan Portunus pelagicus di perairan Teluk Banten adalah model Clarke Yoshimoto Pooley, dengan jumlah tangkapan maksimum lestari sebesar ton/tahun dan upaya tangkapan optimum 3562 trip. Berdasarkan model CYP kondisi perikanan rajungan di Teluk Banten telah mengalami lebih upaya tangkap Saran Model produksi surplus perlu dievaluasi setiap tahun, karena kondisi sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten serta kondisi perairannya tidak dapat ditentukan secara pasti. Selain itu, perlu dilakukan analisis dari segi bio-ekonomi untuk mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten.

76 61 DAFTAR PUSTAKA Aminah S Model pengelolaan dan investasi optimal sumberdaya rajungan dengan jaring rajungan di Teluk Banten [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Beattie A, Sumaila UR, Christensen V, Pauly D A model for the bioeconomic evaluation of marine protected area size and placement in the North Sea. Natural Resource Modeling 15: 4. Chavez EN, Gorostieta M Bioeconomic assessment of the red spiny lobster fishery of baja California, Mexico CalCOFI.51. Clarke RP, Yoshimoto SS, Pooley SG A Bioeconomic Analysis of the Northwestern Hawaiian Islands Lobster Fishery. Marine Resource Economics 7: Coppola G, Pascoe S A Surplus production model with a nonlinear catcheffort relationship. Marine Resource Economics 13: [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu Banten: Direktorat Jendral Perikanan Tangkap Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu Banten: Direktorat Jendral Perikanan Tangkap Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu Banten: Direktorat Jendral Perikanan Tangkap Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu Banten: Direktorat Jendral Perikanan Tangkap Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu. [FAO-UN] Food and Agricultural Organization of the United Nations FAO Spesies Identification Guide for Fishery Purposes the Living Marine Resources of the Western Central Pacific 2 nd. Rome: FAO. Fauzi A Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fauzi A Ekonomi Perikanan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fauzi A Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kekenusa JS Penentuan Status Pemanfaatan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang tertangkap di Perairan Sulawesi Utara. Pacific journal 1(4):

77 62 ssskangas MI Synopsis of the biology and exploitation of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus Linnaeus, in Western Australia. Fisheries Research Report 121. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan Laporan Tahunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu Banten: Direktorat Jendral Perikanan Tangkap Pelabuhan Perikanan Nusantara Krangantu. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan Statistik Perikanan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu Banten: Direktorat Jendral Perikanan Tangkap Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Masters JHC The use of surplus production models and length frequency data in stock assessment: explorations using Greenland halibut observations. [Report]. Iceland: Marine Research Institute. Nuraini S Potret Perikanan di Teluk Banten Tahun Disertai Paparan Peranan Ikan Kerapu Lumpur Sebagai Bio-Indikator Kestabilan Perairan Teluk Banten. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Sampson DB Surplus Production Model: Transition to a New Equilibrium. Lecture Notes, FW431/531. Sari YD Integrasi model perikanan tangkap dan budidaya kasus sumberdaya ikan kerapu di periaran kepulauan seribu DKI Jakarta, dinamika pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan bunga rampai hasil-hasil riset. [Report]. Jakarta: Balai Besar Penelitian Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, DKP. Sitompul Konsep Dasar Model dan Simulasi. centreorg/sea/publications/files/lecturenote/ln003404/ln pdf. [14 Maret 2011]. Sparre P dan Venema CS Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Suadela P Analisis tingkat keramahan lingkungan unit penangkapan jaring rajungan (studi kasus di Teluk Banten) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tinungki GM Evaluasi model produksi dalam menduga hasil tangkapan maksimum lestari untuk menunjang kebijakan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Tiwi DA Gambaran Ekosistem Kawasan Teluk Banten Jakarta: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Tserpes G Estimates of the Mediterranean swordfish stock by means of a non-equilibrium surplus production model approach. Hellenic Centre for Marine Research 61(4): Widodo J Modified Surplus Production Models Methods of Gulland (1961) and Schnute (1977). Oseana 12: Widodo J, Suadi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

78 63 Wu CC, Ou CH, Tsai WP, Liu KM Estimate of the maximum sustainable yield of sergestid shrimp in the waters off Southwestern Taiwan. Journal of Marine Science and Technology 18: Ye Y, Loneragan N, Die D, Watson R, Harch B Bioeconomic modeling and risk assessment of tiger prawn (Penaeus esculentus) stock enhancement in Exmouth Gulf, Australia. Fisheries Research 73:

79 LAMPIRAN 64

80 Lampiran 1 Hasil tangkapan dan upaya tangkapan bulanan rajungan kurun waktu A. Tahun 2005 Bulan Jar.insang Payang Dogol Bagan Sero C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember TOTAL

81 Lampiran 1. (lanjutan) B. Tahun 2006 Bulan Jar.insang Payang Dogol Bagan Sero Sero C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember TOTAL

82 Lampiran 1. (lanjutan) C. Tahun 2007 Bulan Jar.insang Payang Dogol Bagan Sero C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember TOTAL

83 Lampiran 1. (lanjutan) D. Tahun 2008 Bulan Jar.insang Payang Dogol Bagan Sero C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember TOTAL

84 Lampiran 1. (lanjutan) E. Tahun 2009 Bulan Jar.insang Payang Dogol Bagan Sero C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember TOTAL

85 Lampiran 1. (lanjutan) F. Tahun 2010 Bulan Jar.insang Payang Dogol Bagan Sero C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) C (kg) F (trip) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember TOTAL

86 Lampiran 2 Jumlah tangkapan total (C total ), upaya penangkapan total (F total ), jumlah tangkapan per satuan upaya total (CPUE total ) dan Fishing Power Index (FPI) rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten dan perhitungan standarisasi upaya penangkapan Jenis alat tangkap C total (ton) F total (trip) CPUE total (ton/trip) FPI Jaring insang Payang Dogol Bagan Sero Contoh perhitungan standarisasi upaya: Jumlah tangkapan (C total ) alat tangkap jaring insang diperoleh dari total jumlah tangkapan rajungan tahun 2005 sampai tahun 2010 dari alat tangkap jaring insang. (Cara yang sama diterapkan untuk alat tangkap lain) 71

87 Lampiran 2. (lanjutan) Tangkapan per satuan upaya (CPUE total ) diperoleh dari hasil bagi tangkapan total dengan upaya total jaring insang (Cara yang sama diterapkan untuk alat tangkap lain) (keterangan: *upaya standar) 72

88 Lampiran 2. (lanjutan) Total tangkapan (C) dan upaya tangkapan (F) rajungan hasil standarisasi Tahun C(ton) F(trip)

89 Lampiran 3 Kurva perbandingan antara hasil tangkapan rajungan aktual dengan hasil tangkapan berdasarkan tujuh model produksi surplus selama kurun waktu

90 Lampiran 4 Regresi statistik Model Schaefer Koefisen determinasi : Galat baku : Tabel Analisis Ragam SK DB JK KT F F signifikan Regresi Sisa Total Peubah Koefisien Galat baku t hitung Peluang Intersep Slope

91 Lampiran 5 Regresi statistik Model Gulland Koefisien determinasi : Galat baku : Tabel Analisis Ragam SK DB JK KT F F signifikan Regresi Sisa Total Peubah Koefisien Galat baku t hitung Peluang Intersep Slope

92 Lampiran 6 Regresi statistik Model Pella dan Tomlimson Koefisien determinasi : Galat baku : Tabel Analisis Ragam SK DB JK KT F F signifikan Regresi Sisa Total Peubah Koefisien Galat baku t hitung Peluang Intersep Slope

93 Lampiran 7 Regresi statistik Model Fox Koefisien determinasi : Galat baku : Tabel Analisis Ragam SK DB JK KT F F signifikan Regresi Sisa Total Peubah Koefisien Galat baku t hitung Peluang Intersep Slope

94 Lampiran 8 Regresi statistik Model Walter-Hilborn Koefisien determinasi : Galat baku : Tabel Analisis Ragam SK DB JK KT F F signifikan Regresi Sisa Total Peubah Koefisien Galat baku t hitung Peluang Intersep Slope Slope

95 Lampiran 9 Regresi statistik Model Schnute Koefisien determinasi : Galat baku : Tabel Analisis Ragam SK DB JK KT F F signifikan Regresi Sisa Total Peubah Koefisien Galat baku t hitung Peluang Intersep Slope Slope

96 Lampiran 10 Regresi statistik Model Clarke dan Yoshimoto Pooley (CYP) Koefisien determinasi : Galat : Tabel Analisis Ragam SK DB JK KT F F signifikan Regresi Sisa Total Peubah Koefisien Galat baku t hitung Peluang Intersep Slope Slope

97 Lampiran 11 Algoritma pendugaan nilai koefisien penangkapan (q), daya dukung lingkungan (r) untuk perikanan rajungan di Teluk Banten (K) serta pertumbuhan intrinsik Tahun C t F t CPUE CPUE t+1 F t+1 F t * Z Z/CPUE Z/CPUE t+1 1/b X Y ln(x/y) Q Algoritma yang digunakan ini adalah untuk menduga parameter q,r dan K model Schaefer (digunakan juga untuk model produksi surplus lainnya, terutama model yang menggunakan metode regresi linear sederhana) Koefisien regresi model Schaefer : a= dan b= Koefisien penangkapan ( Daya dukung lingkungan (K) Pertumbuhan intrinsic (r) 82

98 83 Lampiran 12 Model-model produksi surplus untuk menentukan potensi maksimum lestari A. Model Schaefer Schaefer memiliki bentuk awal yang sama dengan model pertumbuhan logistik, yaitu : (A.1) adalah biomassa dari stok, r adalah laju pertumbuhan alami dari populasi dan K adalah daya dukung lingkungan. Persamaan (A.1) belum memperhitungkan pengaruh penangkapan sehingga Schaefer menulis kembali persamaan (A.1) menjadi : (A.2) Sedangkan adalah tangkapan yang dapat dituliskan sebagai : (A.3) dengan q sebagai koefisien penangkapan, dan Persamaan (A.3) ini ditulis menjadi : menunjukkan upaya penangkapan. (A.4) Berdasarkan persamaan (A.1), tangkapan optimum dapat dihitung pada saat atau disebut juga penyelesaian pada titik keseimbangan (equilibrium) yang berbentuk : (A.5) atau (A.6) (A.7)

99 84 Berdasarkan persamaan (A.6) dan (A.7) nilai dapat diperoleh sebagai : (A.8) Dengan mensibstitusi persamaan (A.8) ke dalam persamaan (A.7) diperoleh : (A.9) Persamaan (A.9) disederhanakan lagi oleh Schaefer menjadi atau (A.10) Sedangkan a = qk dan b =-q 2 K/r. Hubungan linier ini digunakan secara luas untuk menghitung MSY melalui penentuan turunan pertama terhadap dalam rangka menentukan solusi optimal baik untuk usaha maupun tangkapan. Turunan pertama dari terhadap, yaitu : (A.11) Hasil tangkapan akan mencapai maksimum apabila sehingga diperoleh dugaan dan masing-masing : (A.12) (A.13) B. Model Gulland Gulland mengemukakan bentuk awal yang sama dengan model pertumbuhan logistik, yaitu : (B.1) adalah biomassa dari stok, r adalah laju pertumbuhan alami dari populasi dan K adalah daya dukung lingkungan. Persamaan (B.1) belum memperhitungkan pengaruh penangkapan sehingga dapat ditulis kembali menjadi : (B.2)

100 85 Sedangkan adalah tangkapan yang dapat diucapkan sebagai : (B.3) dengan q sebagai koefisien penangkapan, dan tahun ke-t. Persamaan (B.3) ini ditulis menjadi : menunjukkan upaya penangkapan (B.4) Berdasarkan persamaan (B.1), tangkapan optimum dapat dihitung pada saat sehingga menjadi : (B.5) atau (B.6) (B.7) Berdasarkan persamaan (B.6) dan (B.7) nilai dapat diperoleh sebagai : (B.8) Dengan mensibstitusi akan memperoleh : (B.9) Persamaan (B.9) disederhanakan lagi oleh Schaefer menjadi (B.10) Sedangkan a = qk dan b =-q 2 K/r. Hubungan linier ini digunakan secara luas untuk menghitung MSY melalui penentuan turunan pertama terhadap dalam rangka menentukan solusi optimal baik untuk usaha maupun tangkapan. Turunan pertama dari terhadap, yaitu : =0 (B.11)

101 86 Hasil tangkapan akan mencapai maksimum apabila sehingga diperoleh dugaan dan masing-masing : (B.12) (B.13) C. Model Pella dan Tomlimson Model Pella dan Tomlimson adalah serupa dengan model Schaefer namun dengan sedikit modifikasi. Model Pella dan Tomlimson dapat dituliskan sebagai : (C.1) Hasil equilibrium sebagai suatu fungsi dari biomassa dalam model Graham- Schaefer dapat dinyatakan sebagai : (C.2) Pada model Pella dan Tomlinson, menyatakan bahwa eksponen 2 pada persamaan (C.2) jika digantikan oleh peubah m menjadi : (C.3) Pada kondisi equilibrium persamaan Pella dan Tomlimson dapat terlihat sebagai berikut : (C.4) Untuk m=2 merupakan model Schaefer Untuk m=3 Untuk m=4 dan seterusnya untuk berbagai nilai m.

102 87 D. Model Fox Model Fox merupakan model alternatif untuk populasi ikan yang pertumbuhan intrinsiknya mengikuti model logaritmik. Model Fox menghasilkan hubungan antara dan yang berbeda, yaitu : (D.1) atau (D.2) Perhitungan MSY melalui penentuan turunan pertama terhadap dalam rangka menentukan solusi optimal baik untuk usaha maupun tangkapan. Turunan pertama dari terhadap, yaitu : (D.3) (D.4) Upaya penangkapan optimum diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama catch terhadap effort sama dengan nol atau (D.5) Hasil tangkapan akan mencapai maksimum apabila sehingga diperoleh dugaan dan masing-masing : (D.6) (D.7) E. Model Walter dan Hilborn Persamaan awal Walter dan Hilborn adalah sebagai berikut : (E.1) Sedangkan adalah tangkapan yang dapat diucapkan sebagai : (E.2)

103 88 dengan q sebagai koefisien penangkapan, dan Persamaan (E.2) ini ditulis menjadi : atau menunjukkan upaya penangkapan. (E.3) Substitusi persamaan (E.3) ke persamaan (E.1) (E.4) Persamaan (E.4) dikalikan dengan sehingga diperoleh : (E.5) (E.6) Persamaan Walter dan Hilborn menjadi : (E.7) Secara umum persamaan regresi diatas dapat dituliskan sebagai : (E.8) di mana : adalah error dari persamaan regresi. F. Model Schnute Model Schnute merupakan modifikasi model Schaefer dalam bentuk diskret. Dasar dari model Schnute adalah transformasi persamaan dinamik sehingga diperoleh : (F.1) Sedangkan adalah tangkapan yang dapat diucapkan sebagai : (F.2) Substitusi persamaan (F.2) ke persamaan (F.1) sehingga menjadi (F.3) (F.4)

104 89 Jika persamaan (F.4) diintegrasikan dan dilakukan satu langkah setahun ke depan diperoleh : (F.5) di mana : dan Persamaan (F.5), selanjutnya disederhanakan, dimana dan adalah rata-rata CPUE dan rata-rata upaya penangkapan pertahun. Ini memberikan persamaan : (F.6) (F.7) G. Model Clarke Yoshimoto Pooley Persamaan awal Clarke Yoshimoto Pooley adalah sebagai berikut : (G.1) Sedangkan adalah tangkapan yang dapat diucapkan sebagai : (G.2) dengan q sebagai koefisien penangkapan, dan Persamaan (G.2) ini ditulis menjadi : atau menunjukkan upaya penangkapan. (G.3) Persamaan (G.3) disubtitusikan pada persamaan (G.2). Kemudian kedua sisinya dikalikan dengan sehingga akan menghasilkan persamaan sebagai berikut: (G.4) Integral dari t=tahun ke-n sampai t=tahun ke-n+1 menjadi: (G.5)

105 90 dimana adalah CPUE pada awal tahun ke-n sedangkan adalah total upaya pada tahun ke-n. Derajat pertama Taylor polynomial ln dipusatkan pada, sehingga rata-rata CPUE tahun ke-n adalah: (G.6) Perkiraan tangkapan diperoleh melalui integral sebagai berikut: (G.7) jika maka persamaan (G.7) menjadi: (G.8) persamaan (G.8) dimasukkan ke dalam persamaan (G.6) menghasilkan persamaan berikut (G.9) Untuk n+1 persamaan (137) menjadi : (G.10) dengan menggunakan asumsi Schnute (1977) untuk menduga nilai CPUE (G.11) CPUE tahun tertentu adalah rata-rata geometri CPUE pada awal dan akhir tahun tersebut. Pendugaan CPUE dipecahkan dengan cara memasukkan persamaan (G.10) secara aljabar untuk ln( menghasilkan persamaan berikut: (G.12)

106 Lampiran 13 Rajungan Portunus pelagicus yang ditangkap di Teluk Banten oleh nelayan Karangantu (A) (B) (C) (D) Keterangan: A : Rajungan betina (tampak dari dorsal) B : Rajungan jantan (tampak dari dorsal) C : Rajungan jantan (tampak dari ventral) D : Rajungan betina (tampak dari ventral) E : Rajungan betina yang mengerami telur (E) 90

107 Lampiran 14 Kapal penangkapan rajungan di PPN Karangantu 91

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN i MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN NURALIM PASISINGI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi pribadi 2011)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi pribadi 2011) 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Rajungan Rajungan (Gambar 1) merupakan salah satu famili dari seksi kepiting yang banyak diperjualbelikan. Mosa (1980) in Suadela (2004) menyebutkan bahwa di Indo

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 6 0'0"S 6 0'0"S 6 0'0"S 5 55'0"S 5 50'0"S 28 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Maret 2011. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi Pribadi 2012)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi Pribadi 2012) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Rajungan (Portunus pelagicus) Jenis kepiting dan rajungan diperkirakan sebanyak 234 jenis yang ada di Indo Pasifik Barat, di Indonesia ada sekitar 124 jenis (Moosa

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 24 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI UNTUK PEMANFAATAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

ANALISIS BIOEKONOMI UNTUK PEMANFAATAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN ANALISIS BIOEKONOMI UNTUK PEMANFAATAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN FITRIA NUR INDAH SARI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49 45-06 o 02 00 LS dan 106 o 03 20-106 o 16 00 BT. Teluk Banten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palabuhanratu merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup tinggi di Jawa Barat (Oktariza et al. 1996). Lokasi Palabuhanratu

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 3 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dari tanggal 17 April sampai 7 Mei 013. Peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas 30 mm 60 mm PENDAHULUAN Ekonomis & Ekologis Penting R. kanagurta (kembung lelaki) ~ Genus Rastrelliger spp. produksi tertinggi di Provinsi Banten, 4.856,7 ton pada tahun 2013, menurun 2.5% dari tahun 2010-2013

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ikan Peperek Klasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ikan Peperek Klasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut: BAB II TINJAUAN PUSTAA 2.1 Ikan Peperek 2.1.1 lasifikasi dan Morfologi Menurut Saanin (1984) klasifikasi dari ikan peperek adalah sebagai berikut: Filum : Chordata elas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU i ANALISIS HASIL TANGKAPAN SUMBERDAYA IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PPI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU DESI HARMIYATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru. 3 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli 009 di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar - Perairan Selat Bali, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Perairan Selat Bali terletak

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus) BERDASARKAN MODEL PRODUKSI SURPLUS DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus) BERDASARKAN MODEL PRODUKSI SURPLUS DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN i PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus) BERDASARKAN MODEL PRODUKSI SURPLUS DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN ENDAH TRI SULISTIYAWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 32 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Ikan Kurisi di Perairan Teluk Banten Penduduk di sekitar Teluk Banten kebanyakan memiliki profesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang banyak digunakan oleh para nelayan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 14 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai bulan April tahun 2012. Pengambilan data primer dilakukan pada bulan April tahun 2012 sedangkan

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004). 24 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Oktober 2011. Lokasi penelitian berada di Selat Sunda, sedangkan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2 Peta lokasi penelitian PETA LOKASI PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2 Peta lokasi penelitian PETA LOKASI PENELITIAN 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Pelaksanaan penelitian dibagi dalam 2 tahapan berdasarkan waktu kegiatan, yaitu : (1) Pelaksanaan penelitian lapangan selama 2 bulan (September- Oktober

Lebih terperinci

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Maspari Journal 03 (2011) 24-29 http://masparijournal.blogspot.com Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Onolawe Prima Sibagariang, Fauziyah dan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian 21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX-

Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX- CpUE Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX- By. Ledhyane Ika Harlyan 0.400 0.350 0.300 0.250 0.200 0.150 0.100 0.050 0.000 Schaefer y = -0.000011x

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER Oleh : Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM* Yogi Bachtiar, S.Pi** RINGKASAN Penelitian ini mengkaji

Lebih terperinci

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang 5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang ada harus lestari walaupun rekrutmen

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Hazmi Arief*, Novia Dewi**, Jumatri Yusri**

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai bulan Februari 2012 dengan interval waktu pengambilan sampel 1 bulan. Penelitian dilakukan di Pelabuhan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

Tujuan Pengelolaan Perikanan. Suadi Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM

Tujuan Pengelolaan Perikanan. Suadi Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM Tujuan Pengelolaan Perikanan Suadi Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM suadi@ugm.ac.id Tujuan Pengelolaan tenggelamkan setiap kapal lain kecuali milik saya (sink every other boat but mine)

Lebih terperinci

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 5.1 Pendahuluan Armada penangkapan yang dioperasikan nelayan terdiri dari berbagai jenis alat tangkap,

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT JEANNY FRANSISCA SIMBOLON SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004) 3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama delapan bulan dari bulan Maret 2011 hingga Oktober 2011 dengan mengikuti penelitian bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di TPI Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah (Lampiran 1). Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan alasan dan kriteria

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C

PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON. Oleh: Asep Khaerudin C PROPORSI HASIL TANGKAP SAMPINGAN JARING ARAD (MINI TRAWL) YANG BERBASIS DI PESISIR UTARA, KOTA CIREBON Oleh: Asep Khaerudin C54102009 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat 27 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat (Lampiran 1). Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret-April 2011. Penentuan

Lebih terperinci

KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG

KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG Oleh : Harry Priyaza C54103007 DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan perikanan adalah proses terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian. 31 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan data untuk kebutuhan penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 hingga Mei 2011 bertempat di Sibolga Propinsi Sumatera Utara (Gambar 3).

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah (Gambar 3). 3.2 Tahapan Pelaksanaan Penelitian Tahapan-tahapan pelaksanaan

Lebih terperinci

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuna mata besar (Thunnus obesus) atau lebih dikenal dengan bigeye tuna adalah salah satu anggota Famili Scombridae dan merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan tuna

Lebih terperinci

MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh.

MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh. 1 MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh Wayan Kantun Melimpahnya dan berkurangnya ikan Lemuru di Selat Bali diprediksi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas

Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas Vokasi Volume 9, Nomor 1, Februari 2013 ISSN 1693 9085 hal 1-10 Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas LA BAHARUDIN Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan, Politeknik Negeri Pontianak, Jalan

Lebih terperinci

Pendugaan Stok Ikan dengan Metode Surplus Production

Pendugaan Stok Ikan dengan Metode Surplus Production Praktikum m.k. Daerah Penangkapan Ikan Pendugaan Stok Ikan dengan Metode Surplus Production Julia E. Astarini Dept. PSP FPIK IPB 2010 Stok ikan : angka yang menggambarkan suatu nilai dugaan besarnya biomas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004)

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004) 24 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini mengikuti penelitian bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan (MSPi) dan dilaksanakan selama periode bulan Maret 2011 hingga Oktober

Lebih terperinci

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar dan melakukan pengamatan-pengamatan. Matematika juga merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat

Lebih terperinci

PENAMBAHAN RUMPON UNTUK MENINGKATKAN HASIL TANGKAPAN KELONG TANCAP DI DAERAH KAWAL, KABUPATEN TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU

PENAMBAHAN RUMPON UNTUK MENINGKATKAN HASIL TANGKAPAN KELONG TANCAP DI DAERAH KAWAL, KABUPATEN TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU PENAMBAHAN RUMPON UNTUK MENINGKATKAN HASIL TANGKAPAN KELONG TANCAP DI DAERAH KAWAL, KABUPATEN TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU DAVID OCTAVIANUS SIAHAAN SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus, Valenciennes 1830) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU ARMANSYAH DWI GUMILAR SKRIPSI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

Jl. Raya Jakarta Serang Km. 04 Pakupatan, Serang, Banten * ) Korespondensi: ABSTRAK

Jl. Raya Jakarta Serang Km. 04 Pakupatan, Serang, Banten * ) Korespondensi: ABSTRAK Jurnal Perikanan dan Kelautan p ISSN 289 3469 Volume 6 Nomor 2. Desember 216 e ISSN 254 9484 Halaman : 95 13 Efektifitas Celah Pelolosan Pada Bubu Lipat Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan di Teluk Banten

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan dangkal Karang Congkak, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pengambilan contoh ikan dilakukan terbatas pada daerah

Lebih terperinci

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

C E =... 8 FPI =... 9 P

C E =... 8 FPI =... 9 P 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan yang meliputi studi literatur, pembuatan proposal, pengumpulan data dan penyusunan laporan. Penelitian

Lebih terperinci

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN, BANTEN TOPAN BASUMA

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN, BANTEN TOPAN BASUMA PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN, BANTEN TOPAN BASUMA DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

RIKA PUJIYANI SKRIPSI

RIKA PUJIYANI SKRIPSI KONDISI PERIKANANN TANGKAP DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI LEMPASING, BANDAR LAMPUNG RIKA PUJIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) PADA LAUT FLORES (KAB. BULUKUMBA, BANTAENG, JENEPONTO DAN TAKALAR) ABSTRACT

PENDUGAAN STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) PADA LAUT FLORES (KAB. BULUKUMBA, BANTAENG, JENEPONTO DAN TAKALAR) ABSTRACT PENDUGAAN STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) PADA LAUT FLORES (KAB. BULUKUMBA, BANTAENG, JENEPONTO DAN TAKALAR) Irianis Lucky Latupeirissa 1) ABSTRACT Sardinella fimbriata stock assessment purposes

Lebih terperinci

POTENSI, TINGKAT PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN IKAN TEMBANG (Sardinella sp.) DI PERAIRAN SELAT MALAKA, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA

POTENSI, TINGKAT PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN IKAN TEMBANG (Sardinella sp.) DI PERAIRAN SELAT MALAKA, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA POTENSI, TINGKAT PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN IKAN TEMBANG (Sardinella sp.) DI PERAIRAN SELAT MALAKA, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH RINA SARI LUBIS 090302054 PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP Labuan secara administratif terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. PPP Labuan memiliki batas administratif,

Lebih terperinci

PERLUNYA STATISTIK/MATEMATIKA, PADA DINAPOPKAN

PERLUNYA STATISTIK/MATEMATIKA, PADA DINAPOPKAN PERLUNYA STATISTIK/MATEMATIKA, PADA DINAPOPKAN Tim MK Dinamika Populasi Ikan FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2014 BERUBAH Organisme di bumi selalu berubah dari waktu ke waktu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Selat Sunda secara geografis menghubungkan Laut Jawa serta Selat Karimata di bagian utara dengan Samudera Hindia di bagian selatan. Topografi perairan ini secara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci