Kajian Penyempurnaan Pedoman Penatausahaan Hasil Hutan Di Hutan Hak/Rakyat (Kasus Di Provinsi Jawa Barat) Oleh Epi Syahadat dan Apul Sianturi
|
|
- Ratna Johan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Kajian Penyempurnaan Pedoman Penatausahaan Hasil Hutan Di Hutan Hak/Rakyat (Kasus Di Provinsi Jawa Barat) Oleh Epi Syahadat dan Apul Sianturi Ringkasan Penatausahaan hasil hutan dan pelaksanaannya oleh petugas/instansi di daerah asal dan tujuan peredaran kayu masih belum mampu menjamin kelestarian hutan dan meningkatkan penerimaan negara atas hasil hutan secara optimal. Kajian penyempurnaan penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat (kasus di Provinsi Jawa Barat) dilakukan untuk mengetahui kelemahan kebijakan dan pelaksanaan penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat yang menyebabkan tidak efektif dalam mengendalikan peredaran hasil hutan. Kajian dilakukan dengan melakukan review kebijakan penatausahaan hasil hutan, mengkaji tugas dan wewenang pejabat/instansi di daerah asal dan tujuan peredaran hasil hutan serta mengkaji kemampuan petugas dalam memantau produksi dan peredaran hasil hutan. Hasil kajian menunjukan bahwa SK Dinas Kehutanan Provinsi Nomor 51/Kpts/Dishut-PH/2001, sudah seharusnya di revisi karena tidak sesuai dengan SK Menteri Kehutanan Nomor 126/2003, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/2005, Nomor P.26/2005, dan Nomor P.51/2006. Dokumen angkutan kayu rakyat yang berlaku pada saat ini adalah SKSHH yang di cap Kayu Rakyat (KR), sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No 126/2003. Dimasa yang akan datang dalam pengangkutan kayu rakyat akan diberlakukan dokumen angkutan lain selain SKSHH yang di cap KR, yaitu Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU) sebagai dokumen resmi angkutan kayu rakyat yang diterbitkan oleh Kepala Desa/Lurah atau pejabat yang setara, sesuai dengan Peraturam Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006, akan tetapi SKAU ini hanya terbatas kepada 3 (tiga) jenis kayu, yaitu kayu sengon, kayu karet dan kayu kelapa, sedangkan jenis kayu lainnya akan diatur kemudian oleh Menteri Kehutanan atas dasar usulan dari masing-masing Dinas Provinsi. Kata kunci: penatausahaan, peredaran, perijinan, penebangan, pengangkutan, kayu rakyat. I. Pendahuluan Pembangunan Kehutanan merupakan salah satu bagian integral dari Pembangunan Nasional yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat 1
2 Indonesia adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kegiatan pembangunan kehutanan dilakukan melalui pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada. Dengan semakin bertambahnya kebutuhan masyarakat akan kayu di masa yang akan datang, maka perlu peningkatan efektivitas pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Hal ini dapat dilaksanakan melalui Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan atau penanaman kembali jenis-jenis kayu komersial atau jenis kayu yang sudah dikenal di masyarakat. Potensi hasil hutan baik dari kawasan hutan negara maupun dari hutan rakyat telah secara nyata memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi kelangsungan pembangunan khususnya bagi peningkatan perekonomian masyarakat. Akan tetapi potensi kayu yang berasal dari hutan alam semakin hari semakin menurun sehingga pemanfaatannya sudah harus di hemat, di sisi lain kebutuhan bagi pembangunan masyarakat terutama industri pengolahan kayu sulit untuk dikurangi. Salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut diupayakan melalui pembangunan hutan rakyat. Di samping mempunyai fungsi pendukung lingkungan, konservasi tanah, dan pelindung tata air, hutan rakyat / hutan milik atau lahan lain di luar kawasan hutan negara juga mempunyai kontribusi yang cukup besar di dalam upaya pemenuhan bahan baku kayu. Potensi hutan rakyat di wilayah Jawa Barat khususnya kayu rakyat diakui memiliki arti penting bagi pengembangan ekonomi masyarakat. Di samping itu keberadaan kayu rakyat diakui telah menjadi salah satu alternatif sumber penyediaan bahan baku bagi Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH). Potensi tegakan kayu rakyat di Provinsi Jawa Barat sampai dengan April 2006 sebesar ,47 tegakan, dengan luas ,06 Ha (Anonim, 2006). Adapun jenis tanaman yang paling dominan tumbuh adalah sengon, mahoni, jati, akasia, sonokeling, dan buah-buahan. Guna menciptakan kondisi pemanfaatan potensi hasil hutan rakyat yang dapat dipertanggungjawabkan, diperlukan mekanisme yang rasional, dapat dilaksanakan di lapangan dan terpenuhinya persyaratan legalisasi. Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan berdasarkan azas otonomi daerah yang seluas-luasnya dengan pengakuan adanya hubungan hirarkis antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintahan 2
3 Kabupaten/Kota. Khususnya dalam pengaturan pemanfaatan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak milik / rakyat, maka berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/Kpts-II/2003 secara implisit Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat di tuntut untuk mengadakan pengaturan perihal pemanfaatan potensi hasil kayu rakyat di wilayahnya. Pengaturan pemanfaatan potensi hasil kayu rakyat di atas diharapkan menjadi pedoman dan dapat dijabarkan lebih lanjut oleh pihak pemerintahan Kabupaten/Kota khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan penatausahaan kayu rakyat, sehingga pemanfaatan potensi hasil hutan dari hutan hak/rakyat dapat berjalan pada proses yang dapat dipertanggungjawabkan, dan pelaksanaan penatausahaan hasil kayu rakyat dapat efektif. Selain itu diharapkan dapat mendukung upaya sustainable logging pada hutan/lahan rakyat yang merupakan salah satu syarat pengelolaan hutan lestari (sustainable forestry). II. Metodologi 1. Kerangka Pemikiran Kayu rakyat merupakan salah satu komoditas yang memberikan pendapatan bagi masyarakat dan mempunyai kontribusi dalam pemenuhan bahan baku industri kayu dan rumah tangga. Dalam Perarturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/2005, tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak/Rakyat, pasal 12 ayat (1) dinyatakan bahwa, pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya, kemudian dalam ayat (2) dinyatakan bahwa, pemanfaatan hutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi pemegang hak dengan tidak mengurangi fungsinya. Oleh karena itu untuk mencegah kerusakan hutan negara yang kian memprihatinkan akibat perambahan, penjarahan, penebangan liar dan sebagai pengaman serta pengendalian peredaran kayu rakyat di lintas Kabupaten, maka dipandang perlu untuk membuat petunjuk teknis pelaksanaan penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat. Dalam upaya untuk mencegah kerusakan hutan negara dan sebagai pengaman, pengendalian serta keseragaman dalam melaksanakan 3
4 peredaran kayu rakyat lintas Kabupaten, maka sesuai undang-undang Otonomi Daerah Nomor 32, tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, pasal 13, pasal 14, pasal 16, dan pasal 17, Dinas Kehutanan Provinsi setempat diharapkan membuat Acuan atau Pedoman Petunjuk Pelaksanaan Penatausahaan Hasil Hutan hak/rakyat. Pedoman tersebut disusun dengan mengacu pada SK Menteri Kehutanan No. 126/2003, Permenhut No. P.18/2005, Permenhut No. P.51/2006 dimana petunjuk teknis tersebut merupakan acuan penatausahaan hasil hutan hak/rakyat bagi seluruh wilayah Kabupaten/Kota yang berada di bawah koordinasi Dinas Kehutanan Provinsi. Untuk mempermudah pelaksanaan di tingkat Kabupaten/Kota, pedoman tersebut dijabarkan ke dalam Petunjuk Pelaksanaan Teknis di hutan hak/rakyat oleh masing-masing Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota. Hal ini, mengingat setiap daerah Kabupaten/ Kota mempunyai karakteristik yang berbada dalam pemanfaatan dan pengelolaan kayu rakyat atau penatausahaan hasil hutan hak/rakyat. 2. Pengumpulan Data Dan Referensi Data yang dikumpulkan adalah data primer, dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara dengan Pejabat Kehutanan di daerah dan Badan Usaha yang melakukan kegiatan pengelolaan hasil hutan. Data primer yang diperoleh seperti pelaksanaan penatausahaan kayu, kesenjangan pelaksanaan dan uraian tugas, pengeluaran perusahaan dalam pengurusan ijin, pengesahan dan penerbitan dokumen penatausahaan hasil hutan. Data sekunder diperoleh di kantor kehutanan, perusahaan, dan perpustakaan. Data yang diperoleh seperti potensi hutan rakyat (luasan hutan rakyat, potensi tegakan), Luas dan Produksi Kayu Rakyat. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan / pengelolaan hasil hutan di hutan hak/rakyat, adalah sebagai berikut : a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34, tahun 2002, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan. b. Undang-undang Nomor 32, tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. 4
5 c. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/Kpts-II/2003, tentang Penatausahaan Hasil Hutan. d. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2005, tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/Kpts-II/2003, tentang Penatausahaan Hasil Hutan. e. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005, tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak/Rakyat. f. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2005, tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak. 3. Metode Analisis Dalam penelitian ini, metode analisis yang digunakan adalah metode analisis deskriptif, dimana pembuatan usulan pedoman pemanfaatan hasil hutan di hutan hak/rakyat, mengacu kepada perundang-undangan yang ada, yaitu : Undang-undang Nomor 32/2004, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005, Peraturan Pemerintah Nomor 34, tahun 2002, SK Menteri Kehutanan No 126/Kpts-II/2003, Peraturan Menteri Kehutanan No P.18/Menhut-II/2005, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006. III. Sistem Tata Niaga Kayu Rakyat Tata niaga atau pemasaran kayu rakyat melibatkan pelaku pemasaran seperti Petani, Pedagang Pengumpul (Tengkulak), Industri Penggergajian, dan Industri Barang Jadi. Adapun saluran (alur) pemasaran atau rantai tata niaganya, adalah sebagai berikut (Syahadat E, et al, 2004): a) Model 1 Petani Pedagang Pengumpul Industri Penggergajian Industri Barang Jadi 5
6 b) Model 2 Petani Industri Penggergajian Industri Barang Jadi c) Model 3 Petani Pedagang Pengumpul Industri Penggergajian Pedagang Kayu Gergajian Industri Barang Jadi Setiap pelaku pemasaran mempunyai kedudukan dan fungsi yang sulit digantikan oleh pelaku lain. Pedagang pengumpul misalnya, keberadaannya diperlukan oleh petani agar dapat menjual kayu ke industri penggergajia. Walaupun harga yang ditawarkan oleh pedagang pengumpul relatif rendah/kecil, tetapi untuk para petani merupakan alternatif pemilihan pemasaran yang cocok, karena petani tidak perlu mengeluarkan biaya eksploitasi. Begitu pula industri penggergajian mungkin akan memilih atau membeli bahan baku kayu log dari pedagang pengumpul walaupun harganya lebih mahal/tinggi, apabila dibandingkan dengan industri penggergajian membeli langsung ke petani. Hal ini dilakukan oleh industri penggergajian karena keterbatasan informasi yang dimiliki oleh industri penggergajian mengenai lokasi atau tempat kayu yang akan di jual, selain itu harga dan biaya yang dikeluarkan hampir tidak jauh berbeda dengan harga yang ditawarkan oleh pedagang pengumpul. Alur pemasaran model (1) sering dilakukan baik oleh petani maupun oleh industri penggergaian. Alur pemasaran model (2) jarang dilakukan oleh petani, karena petani harus mengeluarkan biaya eksploitasi yang cukup tinggi. Sedangkan alur pemasaran model (3) mungkin bisa dilakukan, tetapi langsung membeli kayu gergajian ke industri penggergajian, apabila industri barang jadi harus membeli kayu gergajian dengan harga lebih mahal dibandingkan dengan harga kayu yang ditawarkan oleh industri penggergajian. 6
7 IV. Permasalahan Dalam Tata Niaga Kayu Rakyat 1. Harga kayu di tingkat petani rendah, karena biasanya petani menjual kayu tersebut ke pedagang pengumpul (tengkulak) atas dasar kebutuhan dana yang mendesak meskipun umur pohon tersebut belum masak tebang (daur butuh). 2. Adanya persyaratan yang harus dipenuhi dalam membuat rencana penebangan (ijin tebang), harus melampirkan peta areal hutan hak/rakyat yang harus diketahui oleh Camat setempat, melampirkan laporan potensi tegakan dan lain sebagainya, sehingga dalam pengurusannya terkesan rumit. 3. Setiap kabupaten tidak memiliki petunjuk teknis penatausahaan hasil hutan, sehingga antar Kabupaten/Kota dapat berbeda-beda. 4. Daerah tujuan kayu tidak memperoleh insentif dari peredaran kayu yang diproduksi oleh daerah lain (asal kayu), sehingga daerah tujuan kayu tidak mempunyai dana koordinasi untuk melakukan pengawasan terhadap peredaran kayu rakyat yang ilegal (illegal logging) 5. Penggunaan SKSHH yang di cap KR sebagai dokumen pengangkutan kayu rakyat untuk beberapa jenis kayu di luar janis kayu rakyat yang dalam pengangkutannya menggunakan SKAU sebagai dokumen pengangkutan resmi sesuai dengan Permenhut Nomor 51/2006, masih memberatkan para petani. V. Solusi Permasalahan 1. Potensi Hutan Hak/Rakyat di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal RLPPS, s/d April 2006 tercatat bahwa luas hutan hak/rakyat di Indonesia, adalah ,61 ha dengan potensi tegakan sebanyak ,81 pohon. Luas hutan hak/rakyat di Provinsi Jawa Barat seluas ,06 Ha atau 6,22 % dari luas hutan hak/rakyat yang berada di Indonesia, dengan potensi tegakan pohon sebanyak ,47 pohon. 7
8 Tabel 2 Luas Hutan Hak/Rakyat Dan Potensi Tegakan Kayu Rakyat Di Indonesia s/d April 2006 No Propinsi Luas Hutan Rakyat (Ha) % Perkiraan Potensi Tegakan % (Pohon) 1 Jawa Barat ,06 6, ,47 10,37 2 Jawa Tengah ,02 15, ,11 29,23 3 Jawa Timur ,23 7, ,87 11,59 4 DI Yogyakarta ,00 2, ,00 3,37 5 Jakarta Aceh ,00 0, ,22 0,09 7 Sumatera Utara ,00 6, ,00 4,14 8 Sumatera Barat ,20 3, ,00 0,16 9 Riau ,06 1, ,00 4,09 10 Jambi ,38 0, ,38 0,02 11 Sumatera Selatan ,95 4, ,00 3,43 12 Bengkulu 1.650,00 0, Lampung ,00 0, Bali ,50 1, ,20 0,84 15 Nusa Tenggara Timur ,00 11, ,55 7,43 16 Nusa Tenggara Barat ,66 4, ,00 2,36 17 Kalimantan Selatan ,00 10, ,00 9,04 18 Kalimantan Timur 9.074,00 0, Kalimantan Tengah ,00 1, Kalimantan Barat 4.419,00 0, Sulawesi Utara ,00 1, ,66 0,26 22 Sulawesi Tengah ,55 2, ,35 1,03 23 Sulawesi Selatan ,00 11, ,00 12,55 24 Sulawesi Tenggara ,00 1, Maluku 3.558,00 0, Papua ,00 2, Jumlah , , Rata-rata , ,99 Sumber : Direktorat Jenderal RLPS, Berdasarkan data statistik kehutanan yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Provinsi rata-rata Luas hutan rakyat di Provinsi Jawa Barat dari tahun 2000 s/d 2004 berturut-turut, adalah 6.789,13 Ha, 7.473,16 Ha, ,97 Ha, ,50 Ha, dan ,47 Ha, seperti yang terlihat pada Tabel 3 di bawah. Tabel 3 Perkembangan Luas Hutan Rakyat Di Provinsi Jawa Barat Dari Tahun 2000 s/d 2004 (Ha) No Kabupaten/Kota Bogor 635,0 50, , , ,3 2 Sukabumi , , , , ,9 3 Cianjur , , , , ,3 4 Karawang 406,0 406, , , ,4 5 Bekasi 391,0 391,0 78,4 78,4 935,7 6 Purwakarta 389,7 88, , ,0 3,6 7 Subang 1.620,0 206, , , ,0 8 Bandung 2.403,5 278, , ,0 23,8 9 Garut 8.307, , ,0 601, ,6 10 Sumedang , , , , ,7 11 Majalengka 6.446, , , , ,0 12 Tasikmalaya , , , , ,9 13 Ciamis , , , , ,4 14 Cirebon 2.949, , , , ,7 15 Kuningan 9.004, , , , ,9 16 Indramayu 633,0 633, , , ,5 17 Kota Tasikmalaya , , ,6 18 Kota Banjar , , ,2 Jumlah , , , , ,4 Rata-rata 6.789, , , , ,47 Sumber : Statistik Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat,
9 Pada Tabel 4 di bawah dapat di lihat bahwa rata-rata produksi kayu rakyat di Jawa Barat, dari tahun 2000 s/d 2004 berturut-turut adalah sebagai berikut : ,84 m³, ,36 m³, ,20 m³, ,49 m³, dan 216,071,10 m³. Tabel 4 Perkembangan Produksi Hutan Rakyat Di Provinsi Jawa Barat Dari Tahun 2000 s/d 2004 (m³) No Kabupaten/Kota Bogor 367,5 432, , ,8 2 Sukabumi , , , ,1 3 Cianjur , , , ,1 4 Karawang 156,0 143, , ,0 5 Bekasi 457,0 134, , ,0 6 Purwakarta , , , ,3 7 Subang , , , ,0 8 Bandung , , , ,5 9 Garut , , , ,0 10 Sumedang , , , ,7 11 Majalengka , , , ,0 12 Tasikmalaya , , , ,0 13 Ciamis , , , ,0 14 Cirebon 775,0 783,6 771, ,9 15 Kuningan 4.650, , , ,3 16 Indramayu 346, , , ,7 17 Kota Tasikmalaya , ,8 18 Kota Banjar ,7 Jumlah , , , ,8 Rata-rata , , , , ,1 Sumber : Statistik Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Pemanfaatan Hasil Hutan di Hutan Hak/Rakyat Pemanfaatan hutan hak/rakyat di atur berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005, tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak. Pada pasal 12 ayat (1) dinyatakan bahwa, pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya, kemudian dalam ayat (2) dinyatakan bahwa, pemanfaatan hutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi pemegang hak dengan tidak mengurangi fungsinya. Pada pasal 16 dinyatakan, bahwa tata cara pemanfaatan hutan hak sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.26/2005 pasal 13, pasal 14 dan pasal 15 diatur dengan peraturan Bupati/Walikota. Selanjutnya pada pasal 18 dinyatakan, bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota menetapkan lebih lanjut petunjuk pelaksanaan tentang pemanfaatan hutan hak dengan mengacu kepada peraturan ini dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Untuk penatausahaan hasil hutan peraturan 9
10 perundang-undangan yang berlaku adalah Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/Kpts-II/2003, yang kemudian beberapa pasal dalam SK tersebut disempurnakan dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2005, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006, tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak. Sesuai dengan kerangka pemikiran yang dibuat bahwa dalam upaya untuk mencegah kerusakan hutan negara dan sebagai pengaman, pengendalian serta keseragaman dalam melaksanakan peredaran kayu rakyat di lintas Kabupaten, Dinas Provinsi dalam hal ini adalah Dinas Kehutanan setempat diharapkan membuat Petunjuk Pelaksanaan Penatausahaan Hasil Hutan di hutan hak/rakyat, yang mengacu pada SK Menteri Kehutanan No. 126/2003 dan Permenhut No. P.18/2005, dan Permenhut Nomor P.51/Menhut-II/2006. Sehubungan dengan hal tersebut di atas Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat pada tahun 2001 telah membuat petunjuk teknis tata usaha kayu rakyat, yaitu Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Nomor 51/Kpts/Dishut-PH/2001, tentang Petunjuk Teknis Tata Usaha Kayu Rakyat Di Propinsi Jawa Barat. Akan tetapi, dalam Surat Keputusan tersebut ada beberapa ketentuan/aturan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan. Oleh karenanya untuk lebih mengoptimalkan penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat dan dalam upaya memberikan pelayanan yang terbaik, mudah, dan dapat dipertanggungjawabkan secara fungsi dan profesionalisme Institusi Kehutanan kepada masyarakat, maka dipandang perlu SK Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Nomor 51/Kpts/Dishut-PH/2001 di Revisi, dan isinya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan penatausahaan hasil hutan yang berlaku saat ini, yaitu SK Menteri Kehutanan No. 126/2003 dan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.18/2005, dan P.51/2006. Merevisi atau merubah isi aturan SK Kadishut Provinsi Jawa Barat No. 51/2001 harus dilakukan, karena antara SK yang dikeluarkan oleh 10
11 Kadishut Provinsi Jawa Barat, dengan SK Menteri Kehutanan No 126/2003 terdapat perbedaan yang cukup mendasar dalam hal pemanfaatan hasil hutan di hutan hak/rakyat, seperti contoh, dalam pemberitahuan rencana penebangan, di dalam SK Kadishut Provinsi Jawa Barat No. 51/2001, pada Bab II Produksi dan Peredaran, huruf (A) no 1, menyatakan bahwa, setiap badan usaha/perorangan yang akan menebang pohon harus melaporkan / memberitahukan rencana kegiatannya kepada Kepala Dinas yang menangani tentang Kehutanan Kabupaten/Kota setempat, sedangkan dalam SK Menteri Kehutanan No 126/2003, pasal 33, pemberitahuan rencana penebangan cukup diberitahukan kepada Kepala Desa atau Pejabat Setara yang diangkat oleh Kepala Dinas Provinsi dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Pelimpahan kewenangan pemberitahuan rencana penebangan kayu rakyat kepada Kepala Desa setempat dimana tegakan pohon berada tersebut terutama dilatarbelakangi pada kenyataannya, bahwa pihak yang lebih mengetahui potensi kayu rakyat adalah aparat desa, sehingga pemberitahuan rencana penebangan kayu rakyat kepada Kepala Desa atau pejabat yang setara tersebut akan lebih meningkatkan nilai obyektivitas dalam memberikan perijinan penebangan kayu rakyat kepada masyarakat. Selanjutnya, pada huruf (E), no 3, mengenai penggunaan dokumen SKSHH kayu rakyat dalam SK Kadishut Provinsi Jawa Barat No. 51/2001, menyatakan bahwa Pejabat Penerbit SKSHH pada Dinas yang menangani tentang Kehutanan Kabupaten/Kota hanya boleh menerbitkan kayu bulat produksi kayu rakyat/milik dan setelah berubah bentuk, maka SKSHH lanjutan diterbitkan oleh pejabat penerbit SKSHH Sentra Industri (SI) pada wilayah kerja yang bersangkutan. Pembagian wewenang P2SKSHH tersebut di atas di nilai kurang tepat, karena dasar hukum pembagian kewenangan tersebut tidak jelas. Apa yang membedakan penbagian kewenangan tersebut?. Sentra Industri (SI) berkedudukan di Kabupaten/Kota yang berada di seluruh wilayah Provinsi Jawa Barat, karena SI merupakan perwakilan dari UPTD Balai Pelayanan dan Pengamanan Peredaran Hasil Hutan (BP3HH) Provinsi Jawa Barat yang berkedudukan di Cirebon, BP3HH ini dikepalai 11
12 oleh Seorang Kepala Balai (eselon III). Di dalam SK Menteri Kehutanan No. 126/2003, tidak ada ketentuan yang mengatur apabila kayu masih berupa log atau kayu bulat, penerbitan SKSHH dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota setempat, atau apabila kayu log (kayu bulat) tersebut telah berubah menjadi kayu olahan maka penerbitan SKSHH dilakukan oleh Sentra Industri (SI). Pada pasal 43, ayat (2) SK Menhut No. 126/2003, mengenai tugas pokok P2SKSHH, dimana P2SKSHH berfungsi sebagai penanggung jawab penerbitan SKSHH dalam mengendalikan peredaran hasil hutan, agar hasil hutan yang beredar benar-benar berasal dari perijinan yang sah. Dari pernyataan tersebut diatas menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada pembatasan/perbedaan kewenangan seorang pejabat penerbit SKSHH. Yang membedakan kewenangan seorang Pejabat Penerbit Hasil Hutan adalah Kualifikasi Ijin yang dimiliki oleh pejabat itu sendiri. Di dalam Permenhut No. P.18/2005 pasal 20, mengenai tata cara penerbitan SKSHH, dinyatakan bahwa Pemohon SKSHH mengajukan permohonan penerbitan SKSHH kepada P2SKSHH dan tembusannya kepada Kepala Dinas Kehutanan setempat, maka atas permohonan penerbitan SKSHH tersebut P2SKSHH melakukan pengecekan fisik dan administrasi, apabila hasil pengecekan fisik dan administrasi telah sesuai dengan DHH yang menyertai kayu tersebut maka di buatkan BAP pemeriksaan, dan atas dasar BAP pemeriksaan dan sudah membayar kewajiban kepada negara (PSDH-DR, Retribusi), maka P2SKSHH menandatangani DHH dan menerbitkan SKSHH, dan atas dasar SKSHH yang telah diterbitkan, selanjutnya SKSHH tersebut disampaikan kepada pejabat eselon III yang membidangi kehutanan di wilayah kerja P2SKSHH untuk dketahui dan disetujui. Apabila kita melihat alur permohonan penerbitan SKSHH tersebut di atas, maka permohonan penerbitan SKSHH di Sentra Industri (SI) yang berada dan berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota, tidak efisien dan tidak efektif, karena pejabat eselon III yang mempunyai kewenangan untuk mengetahui dan menyetujui SKSHH, yaitu Kepala Balai berkedudukan di luar wilayah Dinas Kabupaten/Kota dimana SI berada, sehingga dapat dibayangkan dalam pengurusan 12
13 penerbitan SKSHH tersebut, pemohon harus meluangkan waktu dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dalam pengurusannya, akan tetapi hal ini mau tidak mau harus ditempuh oleh para pemohon / pengusaha kayu rakyat, karena ketentuan dalam penerbitan SKSHH sesuai dengan Permenhut No. P18/2005 menyatakan bahwa SKSHH tersebut sah apabila telah diketahui dan disetujui oleh pejabat eselon III di Kabupaten/Kota yang menangani masalah kehutanan, keadaan yang demikian sangat memberatkan para pemohon / pengusaha kayu rakyat itu sendiri. Dari keadaan atau kondisi seperti tersebut di atas dikhawatirkan adanya praktek penatausahaan hasil hutan yang tidak benar/tidak sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No. 126/2003 dan Permenhut No. P.18/2005. Untuk itu dalam upaya menciptakan pelaksanaan penatausahaan hasil hutan yang baik dan benar sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku saat ini, sebaiknya penerbitan SKSHH baik kayu log/kayu bulat maupun kayu olahan yang berasal dari hutan hak/rakyat atau hasil hutan lainnya diserahkan/dilimpahkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota setempat, dengan pertimbangan bahwa pemohon SKSHH masih berada di wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota tersebut sehingga dalam pengecekan kebenaran dan keabsahan (legalitas) bukti kepemilikan kayu atau hasil hutan dengan fisik kayu/hasil hutan yang akan di kirim atau di angkut akan lebih mudah untuk dilakukan dan dipertagung jawabkan. 3. Legalitas Kayu Rakyat. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/2005 pasal 17, ayat (1) yang menyatakan bahwa semua hasil hutan kayu dan bukan kayu yang berupa rotan dan gaharu dari areal hutan hak yang akan digunakan dan atau diangkut kedaerah lainya dilengkapi dengan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) yang diterbitkan oleh Kepala Desa atau pejabat yang setara. Untuk lebih mengoptimalkan dalam penatausahaan hasil hutan dalam upaya menjaga Kelestarian Hutan sesuai dengan PP No. 34/2002, pejabat yang berwenang dalam menerbitkan bukti kepemilikan kayu rakyat atau SKAU dalam hal ini adalah Kepala Desa atau pejabat yang setara diberikan pelatihan setingkat pejabat penerbit lainnya seperti P2LHP, 13
14 P2SKSHH, P3HH dan kemudian diberikan sertifikat serta Surat Ijin Penerbitan SKAU, sedangkan untuk pengendalian dan pengawasan terhadap pejabat tersebut dilakukan oleh Dinas Kabupaten/Kota setempat yang membidangi kehutanan. 4. Penebangan Kayu Rakyat. Pada pasal 35, ayat (1) SK Menteri Kehutanan No. 126/2003, dinyatakan bahwa Pemilik hutan hak/rakyat termasuk pemilik kebun yang memanfaatkan kayu bulat dari land clearing wajib membuat dan melaporkan realisasi penebangan / pemanenan dan pengangkutan kayu bulat dengan menggunakan format blanko LMKB, dan kemudian pada ayat (2) dinyatakan bahwa laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Dinas Provinsi. Sehubungan dengan hasil kayu rakyat atau hasil hutan dari hutan hak yang akan diterbitkan SKSHH nya, maka apabila kita lihat pada SK Menteri Kehutanan No. 126/2005, BAB VI Hasil Hutan Dari Hutan Hak/rakyat, Hasil Hutan Lelang, Hasil Hutan Ekspor/Impor dan Hasil Hutan di Pelabuhan Umum, pasal 33 ayat (3) huruf (d), yaitu Kayu yang akan diterbitkan SKSHH untuk diangkut/dijual ke industri pengolahan kayu wajib dilakukan pengukuran oleh petugas kehutanan yang berkualifikasi Penguji Hasil Hutan (PHH), dan kemudian dalam huruf (e), dinyatakan bahwa Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Daftar Hasil Hutan dengan cap KR (DHH-KR), dengan prosedur sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan ditanda tangani oleh petugas bersangkutan sebagai dasar penerbitan SKSHH oleh P2SKSHH. DHH-KR dibuat atas dasar hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Penguji Hasil Hutan (PHH), dan harus disahkan oleh petugas Kehutanan yang berkualitas Penguji Hasil Hutan (PHH), dan ini merupakan dasar dalam permohohonan penerbitan SKSHH serta sesuai dengan mekanisme penatausahaan hasil hutan yaitu SK Menteri Kehutanan No. 126/2005 dan Permenhut No. P.18/ Pengangkutan Kayu Rakyat Berdasarkan ketentuan teknis yang ada, bahwa setiap peredaran hasil hutan kayu rakyat wajib disertai dokumen pengangkutan, dan sesuai 14
15 dengan pasal 16 ayat (1) SK Menteri Kehutanan No 126/2003, yang menyatakan bahwa : Setiap pengangkutan hasil hutan kayu dari lokasi penebangan/pemanenan di tempat tebangan atau dari TPn yang akan di angkut ke TPk hutan wajib menggunakan Daftar Pengangkutan (DP), yang diterbitkan oleh Petugas Perusahaan Pemegang IUPHHK, IPHHK atau ILS dengan menggunakan blanko model DK. A kemudian dalam ayat (2) Daftar Pengangkutan dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai dokumen pengangkutan antara dan bukti keabsahan hasil hutan. Untuk dimasa yang akan datang dalam pengangkutan kayu rakyat akan diberlakukan dokumen angkutan lain selain SKSHH yang di cap KR, yaitu Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU) sebagai dokumen angkutan kayu rakyat resmi yang diterbitkan oleh Kepala Desa/Lurah atau pejabat yang setara, sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006, akan tetapi dalam Permenhut tersebut pada pasal (4), huruf (a), jenis kayu yang akan diangkut masih terbatas pada 3 (tiga) jenis kayu saja, yaitu kayu sengon, kayu karet, dan kayu kelapa, sedangkan untuk jenis kayu lainnya akan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan atas dasar usulan dari masing-masing Dinas Provinsi berdasarkan hasil inventarisasi jenis, potensi dan lokasi penyebaran kayu (pasal (4), huruf (b) Permenhut No P.51/2006). Sesuai dengan pasal 11, ayat (2) Permenhut No 51/2006 menyatakan bahwa Dengan ditetapkan peraturan ini, maka ketentuan Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 35 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/Kpts-II/2003, dinyatakan tetap berlaku untuk jenis-jenis kayu diluar jenis-jenis kayu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada pasal 4 dalam peraturan ini. Kemudian pada ayat (3) dinyatakan bahwa peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku efektif mulai 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak ditetapkannya peraturan ini (Peraturan ini baru ditapkan pada tanggal 10 Juli 2006). Dokumen angkutan tersebut merupakan bentuk pelayanan dari pemerintah guna memberikan perlindungan sekaligus sebagai pemenuhan persyaratan pada aspek legalitas hasil hutan itu sendiri, akan tetapi pada kenyataannya dalam kegiatan angkutan tersebut terdapat tujuan angkutan dalam wilayah Kabupaten/Kota yang sulit dilayani oleh dokumen SKSHH. 15
16 6. Peran P2LHP, P2SKSHH, Dan P3HH Dalam Penatausahaan Hasil Hutan / Peredaran Hasil Hutan. Dalam SK Menteri Kehutanan No. 126/2003, BAB VII, mengenai Tugas Pokok, Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Dan Pemberhentian P2LHP, P2SKSHH, dan P3KB/P3KG/P3KL/P3HHBK, dinyatakan pada : a. Pasal 42, ayat (2), Fungsi P2LHP adalah mengendalikan penebangan / pemanenan / pungutan hasil hutan pada lokasi yang telah ditetapkan berdasarkan ijin yang sah. b. Pasal 43, ayat (2), Fungsi P2SKSHH, adalah penanggung jawab penerbitan SKSHH dalam mengendalikan peredaran hasil hutan, agar hasil hutan yang beredar benar-benar berasal dari perijinan yang sah. c. Pasal 44, ayat (2) P3KB/P3KG/P3KL/P3HHBK, juga mempunyai tugas dan bertanggung jawab terhadap penerimaan di tempat tujuan dalam peredaran hasil hutan, agar hasil hutan yang di terima langsung di industri pengolahan kayu atau melalui pelabuhan umum benar-benar dari perijinan yang sah. Apabila kita melihat kepada pasal-pasal tersebut di atas, P2LHP, P2SKSHH, dan P3KB/P3KG/P3KL/P3HHBK mempunyai peranan yang sangat penting dalam penatausahaan hasil hutan atau dalam peredaran hasil hutan sesuai dengan fungsi dan tugas pokoknya, atau dengan perkataan lain P2LHP, P2SKSHH, dan P3KB/P3KG/P3KL/P3HHBK merupakan satu tim kerja yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, sehingga di dalam peredaran hasil hutan ketiga unsur tersebut harus selalu ada dan mempunyai peranan yang penting, contohnya dalam pasal 20, ayat (2), huruf (b), Permenhut No. P.18/2005, mengenai tata cara penebitan SKSHH, dimana dinyatakan bahwa : P2SKSHH sebelum melakukan pemeriksaan fisik, terlebih dahulu wajib meneliti Daftar Hasil Hutan (DHH) yang diajukan untuk memastikan bahwa kayu bulat dalam DHH adalah berasal dari LHP-KB yang telah disahkan oleh P2LHP, atau berasal dari SKSHH Asal yang telah dilakukan pemeriksaan kebenarannya oleh P3KB. Dari pernyataan di atas menunjukan bahwa SKSHH tidak akan terbit apabila DHH bukan berasal dari LHP-KB yang telah disahkan oleh 16
17 P2LHP, atau dari SKSHH Asal yang telah dilakukan pemeriksaan kebenarannya oleh P3KB, jadi antara P2LHP dan P3KB mempunyai peran yang sama pentingnya dalam persyaratan penerbitan SKSHH, hanya yang membedakan, adalah, apabila dasar pembuatan SKSHH tersebut dari LHP, maka LHP nya harus disahkan terlebih dahulu ole P2LHP, dan apabila dasar pembuatan SKSHH berasal dari SKSHH Asal kayu, maka SKSHH Asal kayu nya harus di cek kebenarannya oleh P3KB. Selain daripada itu apabila kita melihat pada pasal 33 ayat (3) huruf (d), yaitu Kayu rakyat yang akan diterbitkan SKSHH untuk diangkut/dijual ke industri pengolahan kayu wajib dilakukan pengukuran oleh petugas kehutanan yang berkualifikasi Penguji Hasil Hutan (PHH), dan kemudian dalam huruf (e), menyatakan bahwa Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Daftar Hasil Hutan dengan cap KR (DHH-KR), dengan prosedur sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan ditanda tangani oleh petugas bersangkutan sebagai dasar penerbitan SKSHH oleh P2SKSHH. Dari uraian tersebut di atas jelas bahwa, P2LHP, P2SKSHH, dan P3KB/P3KG/P3KL/P3HHBK mempunyai peran yang penting dalam penatausahaan hasil hutan terutama dalam peredaran hasil hutan, sesuai dengan fungsi dan tugas pokoknya, keberadaan ketiga unsur tersebut juga merupakan salah satu upaya dalam mencegah illegal logging, terutama bukti keabsahan / legalitas hasil hutan. Dalam peredaran kayu rakyat, untuk terciptanya penatausahaan hasil hutan kayu rakyat yang baik, mudah, benar dan dapat dipertanggung jawabkan, maka peranan keberadaan P2LHP, P2SKSHH, dan P3HH (P3KB/P3KG/P3KL/P3HHBK) harus difungsikan sebagaimana mustinya, sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No 126/2003 dan Permenhut No. P.18/ Kelembagaan Kayu Rakyat. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.26/2006 pasal (24) ayat (1) dinyatakan bahwa Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk mengembangkan hutan hak melalui pengembangan kelembagaan. kemudian pada ayat (2) dinyatakan bahwa, Pengembangan kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri 17
18 dari kegiatan pembangunan dan penguatan kelembagaan masyarakat dan sistem usaha. Permasalahan yang ada di tingkat petani seperti yang kita ketahui, bahwa petani menjual pohon/kayu karena keperluan yang sangat mendesak atau menjual karena butuh dana, untuk dapat menanggulangi hal tersebut alangkah baiknya apabila dibentuk suatu wadah kelembagaan di tingkat petani seperti Koperasi Pemilik Hutan Rakyat (KPHR), yang mana koperasi tersebut diharapkan akan dapat membantu petani pada saat petani tersebut membutuhkan atau memerlukan dana, sehingga petani tersebut tidak menjual kayunya dengan harga yang rendah, selain daripada itu dengan keberadaan KPHR diharapkan harga kayu rakyat stabil, persediaan kayu rakyat terjamin dan KPHR ini juga yang melakukan negosiasi dengan dengan pihak luar (pemohon kayu) seperti IPKH, IPK, ILS dan lain sebagainya mengenai harga kayu rakyat VI. Kesimpulan Dan Saran A. Kesimpulan 1 Penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat belum secara rinci diatur dalam perundang-undangan, prosedur / tata cara pemanfaatan hasil hutan di hutan hak/rakyat belum jelas. 2 Belum terciptanya keseragaman dalam peredaran kayu rakyat di Provinsi Jawa Barat atau dengan perkataan lain terdapat perbedaan dalam penyelenggaraan penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat di setiap Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Jawa Barat sehingga menyulitkan para pengusaha kayu rakyat / petani dalam mengusahakan kayu rakyat. 3 Penggunaan SKAU sebagai dokuman angkutan kayu rakyat akan diberlakukan secepatnya, adapun payung hukumnya adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006, akan tetapi jenis kayu yang menggunakan SKAU sebagai dokumen angkutan kayu rakyat masih terbatas pada 3 jenis kayu, yaitu kayu sengon, kayu karet, dan kayu kelapa. 18
19 4 Penggunaan SKSHH sebagai dokumen pengangkutan kayu rakyat masih diberlakukan untuk jenis kayu diluar jenis kayu yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.51/Menhut-II/ Hutan hak/rakyat mempunyai fungsi yang penting bagi pembangunan nasional dan hasil hutan dari hutan hak/rakyat mempunyai potensi dan kontribusi yang besar dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu dan kebutuhan rumah tangga, akan tetapi belum tertata dengan baik. B. Saran 1 Penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat masih perlu untuk disempurnakan, agar pengelolaan hutan hak/rakyat dapat lebih efisien, efektif, dan lestari. 2 Perlu dibuatkan aturan atau Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan atau Petunjuk Teknis (Juknis) dari sistim penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat agar tercipta penyelenggaraan hasil hutan hak/rakyat, tertib lancar, efisien dan bertanggung jawab sesuai dengan potensi yang dimiliki. 3 Surat Keputusan Kepala Dinas Provinsi Jawa Barat Nomor 51/Kpts/Dishut-PH/2001, tentang Petunjuk Teknis Tata Usaha Kayu Rakyat Di Provinsi Jawa Barat, perlu di revisi dan disesuaikan dengan SK Menteri Kehutanan Nomor 126/2003, Permenhut Nomor P.18/2005, Permenhut Nomor P.26/2005, dan Permenhut Nomor P.51/ Kebijakan mengenai keberadaan P2LHP, P2SKSHH, dan P3HH di dalam peredaran kayu rakyat atau penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat, agar ditinjau kembali dan disesuaikan dengan fungsi dan tugas pokoknya masing-masing sesuai dengan perundang-undangan penatausahaan hasil hutan yang berlaku saat ini.. 5 Agar terciptanya peredaran kayu rakyat atau penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat berjalan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka aspek kontrol terhadap kinerja para Pejabat Penguji Hasil Hutan (P2LHP, P2SKSHH, dan P3HH) harus berjalan dengan baik juga, untuk itu disarankan P2LHP dan P2SKSHH, merupakan 19
20 petugas Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, sedangkan P3HH di TPK, IPKH/IPK/ILS, merupakan petugas Dinas Kehutanan Provinsi. DAFTAR PUSTAKA Anonim Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No.521/Kpts/IV- Tib/1985 Tentang Petunjuk Teknis Tata Usaha Kayu. Departemen Kehutanan, Jakarta Keputusan Menteri Kehutanan No.402/Kpts-IV/1990 Tentang Tata Usaha Kayu. Departement Kehutanan, Jakarta Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 316/Kpts-II/1999 Tentang Tata Usaha Hasil Hutan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Nomor 51/Kpts/Dishut-PH/2001,Tentang Petunjuk Teknis Tata Usaha Kayu Rakyat Di Provinsi Jawa Barat. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Bandung Keputusan Menteri Kehutanan No.126/Kpts-II/2003 Tentang Penatausahaan Hasil Hutan. Departemen Kehutanan, Jakarta Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Undang-undang Otonomi Daerah No.32 Tahun 2002 Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta Peraturan Menteri Kehutanan No.P.18/Menhut-II/2005 Tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/Kpts-II/2003 Tentang Penatausahaan Hasil Hutan. Departemen Kehutanan, Jakarta Peraturan Menteri Kehutanan No.P.26/Menhut-II/2005 Tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak. Departemen Kehutanan, Jakarta. Syahadat E, Puspitojati T, Rumboko L Strategi Pemasaran Kayu Gergajian Sengon Di Kabupaten Tasikmalaya. Info Sosial Ekonomi Vol. 4 No. 1. Puslitbang Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan, Bogor. Anonim Data Potensi Hutan Rakyat Di Indonesia, Direktur Jenderal RLPS. Departemen Kehutanan, Jakarta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor.P.51/Menhut-II/2006 Tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak. Departemen Kehutanan, Jakarta. 20
KAJIAN PEREDARAN DAN TATA USAHA KAYU RAKYAT DI CIAMIS JAWA BARAT
KAJIAN PEREDARAN DAN TATA USAHA KAYU RAKYAT DI CIAMIS JAWA BARAT Oleh : Epi Syahadat Ringkasan Penatausahaan hasil hutan dan pelaksanaannya oleh petugas/instansi di daerah asal dan tujuan peredaran kayu
Lebih terperinciOleh / By : Epi Syahadat & Rachman Effendi
KAJIAN PELAKSANAAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN CILACAP 1) The Study of Forest Product Administration Implementation Community Forest in Cilacap Region Oleh / By : Epi Syahadat & Rachman
Lebih terperinciKAJIAN PENYEMPURNAAN PERATURAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN
KAJIAN PENYEMPURNAAN PERATURAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN Oleh: Epi Syahadat & Apul Sianturi 1) ABSTRAK Permasalahan dalam pelaksanaan penatausahaan hasil hutan masih belum terselesaikan dengan baik hingga
Lebih terperinciPENATAUSAHAAN PEMASARAN KAYU RAKYAT
PENATAUSAHAAN PEMASARAN KAYU RAKYAT Oleh/By: Epi Syahadat e-mail : syahadatepi@yahoo.com Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunungbatu 5, PO BOX 272, Bogor 16610 Telp (0251)8633944,
Lebih terperinciOleh / By : 1) Epi Syahadat & Subarudi. Key words : Private forests, wood administration system, utilization, circulation, transportation
KAJIAN DAMPAK PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.51/2006 TERHADAP EFEKTIFITAS PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DI HUTAN RAKYAT (Study on the Implementation Impact of Forestry Minister Regulation
Lebih terperinciKAJIAN MEKANISME PERMOHONAN PENERBITAN SURAT KETERANGAN SAHNYA HASIL HUTAN (SKSHH), (KASUS DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR) Oleh : Epi Syahadat
KAJIAN MEKANISME PERMOHONAN PENERBITAN SURAT KETERANGAN SAHNYA HASIL HUTAN (SKSHH), (KASUS DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR) Oleh : Epi Syahadat Ringkasan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sejauhmana
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 126/KPTS-II/2003 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN HAK DI KABUPATEN LAMONGAN
PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN HAK DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN, Menimbang
Lebih terperinciBUPATI KULON PROGO PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR : 25 TAHUN 2005 TENTANG LEGALITAS DAN PEREDARAN HASIL KAYU HUTAN HAK/RAKYAT BUPATI KULON PROGO,
BUPATI KULON PROGO PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR : 25 TAHUN 2005 TENTANG LEGALITAS DAN PEREDARAN HASIL KAYU HUTAN HAK/RAKYAT BUPATI KULON PROGO, Menimbang : a. bahwa hasil kayu hutan hak/rakyat di
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa kebutuhan
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 37 2005 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 16 TAHUN 2005 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN HAK DENGAN MENGHARAP BERKAT DAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHU WATA ALA
Lebih terperinciSISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH
I N F O S O S I A L E K O N O M I Vol. 2 No.1 (2001) pp. 45 54 SISTEM PEMANTAUAN PRODUKSI DAN PEREDARAN KAYU DI ERA OTONOMI DAERAH Oleh: Triyono Puspitojati RINGKASAN Sistem pemantauan produksi dan peredaran
Lebih terperinciGUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2
GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMANFAATAN KAYU LIMBAH PEMBALAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa sebagai
Lebih terperinci23 APRIL 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG
23 APRIL 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO 5 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENATAUSAHAAN KAYU RAKYAT DI KABUPATEN PONOROGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF ATAS PELANGGARAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN, IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DAN IZIN USAHA INDUSTRI
Lebih terperincithis file is downloaded from
th file MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.51/Menhut-II/2006 TENTANG PENGGUNAAN SURAT KETERANGAN ASAL USUL (SKAU) UNTUK PENGANGKUTAN HASIL HUTAN KAYU YANG BERASAL
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG IJIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG IJIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka menjaga kelestarian
Lebih terperinciKAJIAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN KAYU RAKYAT ( Analysis of community forest product administration)
KAJIAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN KAYU RAKYAT ( Analysis of community forest product administration) Epi Syahadat Oleh : & Hariyatno Dwiprabowo 1) 2) ABSTRACT The implementation of Permenhut P.55/2006 deal
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan terhadap
Lebih terperinci2 c. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
No.1498, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hasil Hutan. Bukan Kayu. Hutan Negara. Penatausahaan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.91/Menhut-II/2014 TENTANG
Lebih terperinciRANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa pengaturan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. secara optimal. Pengelolaan hutan di Negara Indonesia sepenuhnya diatur dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah sumberdaya alam yang dapat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Pengelolaan hutan di Negara Indonesia sepenuhnya diatur dan dikontrol oleh negara,
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.91/Menhut-II/2014 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU YANG BERASAL DARI HUTAN NEGARA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.91/Menhut-II/2014 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU YANG BERASAL DARI HUTAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI
PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KEMASYARAKATAN (IUPHHKM) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 42 ayat (8)
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004 KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN KORIDOR UNTUK KEGIATAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 18 TAHUN 2007
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 18 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 31 TAHUN
Lebih terperinciSALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN PADA TANAH MILIK DAN KEBUN RAKYAT
SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN PADA TANAH MILIK DAN KEBUN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinci2. Undang -undang No 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; 3. Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Menimbang : KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 13.1/Kpts-II/2000 TANGGAL 6 NOVEMBER 2000 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR PEREDARAN DAN PEMASARAN HASIL HUTAN MENTERI KEHUTANAN, a. bahwa berdasarkan Peraturan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.20/Menhut-II/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P. 14/MENHUT-II/2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG
Draft 10 November 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG
Lebih terperinciPROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT
KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT Oleh: Ridwan A. Pasaribu & Han Roliadi 1) ABSTRAK Departemen Kehutanan telah menetapkan salah satu kebijakan yaitu
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN POSO
PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PEMANFAATAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POSO, Menimbang : a. bahwa sumber
Lebih terperinciKAJIAN PEDOMAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DI HUTAN RAKYAT SEBAGAI DASAR ACUAN PEMANFAATAN HUTAN RAKYAT
KAJIAN PEDOMAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DI HUTAN RAKYAT SEBAGAI DASAR ACUAN PEMANFAATAN HUTAN RAKYAT STUDY ON FOREST PRODUCT ADMINISTRATION ORIENTATION IN COMMUNITY FOREST AS A BASIC REFERENCE IN COMMUNITY
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA, Menimbang : a. bahwa semangat penyelenggaraan
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi.
13, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN
Lebih terperinciGUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2010 T E N T A N G TATA CARA IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT
GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 15 TAHUN 2010 T E N T A N G TATA CARA IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR: P. 2/Menhut-II/2008 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR: P. 2/Menhut-II/2008 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.45/MENHUT-II/2007 TENTANG TATA CARA IZIN PERALATAN PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU DAN BUKAN KAYU
Lebih terperinciNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
NGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TUMUR, Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan kesejahteraan
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.9/MENHUT-II/2010 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG
Draft 10 vember 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PELELANGAN KAYU TEMUAN DAN KAYU SITAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Izin Pemanfaatan Kayu. Prosedur.
No.142, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Izin Pemanfaatan Kayu. Prosedur. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENHUT-II/2011 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MOR : P.25/Menhut-II/2013 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2013 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6885/Kpts-II/2002 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6885/Kpts-II/2002 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU Menimbang : MENTERI KEHUTANAN,
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.9/Menhut-II/2010 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN KORIDOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR : 5 tahun 2000 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BERUPA KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR : 5 tahun 2000 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BERUPA KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAPUAS Menimbang : a. Bahwa berdasarkan Undang-undang
Lebih terperinciBUPATI POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT
BUPATI POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT
Lebih terperinciKEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.51/VI-BPHA/2007
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.51/VI-BPHA/2007 TENTANG IZIN PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN PERALATAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM A.N. PT.
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Lebih terperinci2 Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi serta dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi saat ini, maka penatausahaan hasil hutan kayu yang berasal d
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1247, 2015 KEMEN LH-HK. Hasil. Hutan Kayu. Penatausahaan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.42/Menlhk-Setjen/2015
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2012 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI
Lebih terperinciBUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG
BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IJIN PEMANFAATAN KAYU PADA AREAL PENGGUNAAN LAIN ATAU KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN BUPATI BULUNGAN, Menimbang
Lebih terperinciWALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 06 TAHUN 2012 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 06 TAHUN 2012 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka upaya pengendalian
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PEMANFAATAN DAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN YANG
PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PEMANFAATAN DAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN YANG BERASAL DARI HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 53 TAHUN 2001 T E N T A N G IJIN USAHA HUTAN TANAMAN (IHT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinci2 Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negar
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.830, 2015 KEMEN LH-K. Hasil Hutan. Hutan Hak. Penatausahaan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.21/MenLHK-II/2015 TENTANG PENATAUSAHAAN
Lebih terperinciKEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA
KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA NOMOR 72 TAHUN 2002 TENTANG KETENTUAN EKSPOR KAYU BULAT JENIS MERBAU DI PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA Menimbang Mengingat : a. bahwa terhentinya eksport kayu
Lebih terperinci: Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan Keputusan ini.
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.106/VI-BPHA/2007 TENTANG IZIN PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN PERALATAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM A.N. PT.
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN JEMBER
PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN PENEBANGAN POHON DI LUAR KAWASAN HUTAN KABUPATEN JEMBER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER,
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Izin. Usaha. Perpanjangan. Tatacara. Pencabutan.
No.44, 2008 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Izin. Usaha. Perpanjangan. Tatacara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor: P. 52/Menhut-II/2008 TENTANG TATA
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) PADA AREAL HAK GUNA USAHA (HGU), AREAL UNTUK PEMUKIMAN TRANSMIGRASI, KAWASAN HUTAN YANG BERUBAH
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 46/Menhut-II/2009 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU ATAU HASIL HUTAN BUKAN KAYU PADA HUTAN PRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 62/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU
- 1 - PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 62/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU UTARA NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) PADA AREAL HAK GUNA USAHA (HGU), AREAL UNTUK PEMUKIMAN TRANSMIGRASI, KAWASAN HUTAN YANG BERUBAH
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENGENDALIAN PENEBANGAN DAN PEREDARAN KAYU RAKYAT
PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENGENDALIAN PENEBANGAN DAN PEREDARAN KAYU RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM PASER UTARA, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG Menimbang : a. bahwa dalam penjelasan pasal 11 ayat (1)
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 17/Menhut-II/2009 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF TERHADAP PEMEGANG IZIN USAHA INDUSTRI
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 17/Menhut-II/2009 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF TERHADAP PEMEGANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciGUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU (IPHHK) DI PROVINSI PAPUA
GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU (IPHHK) DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.47, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Sanksi Administratif. Pemegang Izin. Pengenaan. Pencabutan.
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.47, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Sanksi Administratif. Pemegang Izin. Pengenaan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.17/Menhut-II/2009
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI
PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU TANAMAN RAKYAT (IPKTR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARO JAMBI, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI
PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DILUAR KAWASAN HUTAN (IPHHKLH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PEMANFAATAN DAN PEREDARAN KAYU BELIAN DALAM WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PEMANFAATAN DAN PEREDARAN KAYU BELIAN DALAM WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN
Lebih terperinciPENCABUTAN ATAU REVISI PERMENHUT P. 51/2006 DAN P.33/2007 TENTANG SURAT KETERANGAN ASAL-USUL (SKAU)
PENCABUTAN ATAU REVISI PERMENHUT P. 51/2006 DAN P.33/2007 TENTANG SURAT KETERANGAN ASAL-USUL (SKAU) TIM KEBIJAKAN PUSPIJAK, BADAN LITBANG KEHUTANAN Jakarta, 15 April 2011 Mengapa SKAU Diberlakukan? Dasar
Lebih terperinciGUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERIZINAN PEMANFAATAN HASIL BUKAN KAYU
GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERIZINAN PEMANFAATAN HASIL BUKAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk
Lebih terperinciPENGATURAN PEMANFAATAN HASIL HUTAN HAK/MILIK DI WILAYAH KABUPATEN PANDEGLANG BUPATI PANDEGLANG,
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 25 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENGATURAN PEMANFAATAN HASIL HUTAN HAK/MILIK DI WILAYAH KABUPATEN PANDEGLANG DENGAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009 Tentang PENGGANTIAN NILAI TEGAKAN DARI IZIN PEMANFAATAN KAYU DAN ATAU DARI PENYIAPAN LAHAN DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DENGAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 50 TAHUN 2001 T E N T A N G IZIN PEMANFAATAN HUTAN (IPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciKEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN J A K A R T A : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN
KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN J A K A R T A PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN Nomor : P. 14/VII-PKH/2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PINJAM PAKAI KAWASAN
Lebih terperinciQANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR : 9 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATAALA
QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR : 9 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATAALA BUPATI ACEH TIMUR, Menimbang : a. bahwa berdasarkan
Lebih terperinciBUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN
BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR : 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN PEMANFAATAN DAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN YANG BERASAL
Lebih terperinciMembaca. Menimbang. f. bahwa.
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.12/VI-BPHA/2009 TENTANG IZIN PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN PERALATAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM A.N. PT.
Lebih terperinci2 Pada Kementerian Kehutanan, Peraturan Menteri Kehutanan sebagaimana huruf b, perlu disempurnakan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dima
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1268, 2014 KEMENHUT. Kayu. Pemanfaatan. Izin. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.62/Menhut-II/TAHUN 2014 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU
Lebih terperinci2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu
No.690, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hutan Alam. Pemanfaatan. Hutan Kayu. Inventarisasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.33/Menhut-II/2014 TENTANG
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.169/MENHUT-II/2005 TENTANG
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.169/MENHUT-II/2005 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN TANAMAN KEPADA PT. KELAWIT WANALESTARI
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 365/Kpts-II/2003 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN TANAMAN KEPADA PT. BUKIT BATU HUTANI
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT Nomor 8 Tahun 2012 Seri E Nomor 8 Tahun 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG TATA KELOLA PEMANFAATAN DAN PEREDARAN KAYU YANG BERASAL
Lebih terperinciKEPUTUSAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR: 08 TAHUN 2002 T E N T A N G
KEPUTUSAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR: 08 TAHUN 2002 T E N T A N G TATA CARA PEMBERIAN IZIN PEMUNGUTAN DAN PEMANFAATAN KAYU LIMBAH PADA HUTAN RAKYAT/HUTAN MILIK/TANAH MILIK, AREAL TAMBANG, HTI, PERKEBUNAN
Lebih terperincie. bahwa berdasarkan Pasal 50 ayat (3) huruf j dan k Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa setiap orang dilarang membawa
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.96/VI-BPHA/2007 TENTANG IZIN PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN PERALATAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM A.N. PT.
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 101/Menhut-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN PT. MITRA HUTANI JAYA ATAS
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 93 ayat (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PEREDARAN DAN PENERTIBAN HASIL HUTAN KAYU DI KABUPATEN BARITO UTARA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PEREDARAN DAN PENERTIBAN HASIL HUTAN KAYU DI KABUPATEN BARITO UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA, Menimbang
Lebih terperinciMencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu
Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu Kajian Sistem Pengelolaan PNBP Sektor Kehutanan, Tahun 2015 Direktorat Penelitian
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS NOMOR 13 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU, NON KAYU PADA TANAH MILIK/HUTAN RAKYAT
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS NOMOR 13 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU, NON KAYU PADA TANAH MILIK/HUTAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI RAWAS, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG INVENTARISASI HUTAN MENYELURUH BERKALA DAN RENCANA KERJA PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU DALAM HUTAN ALAM
Lebih terperinci