BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pembangunan serta perokonomian Nasional. Koperasi lahir pada

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pembangunan serta perokonomian Nasional. Koperasi lahir pada"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koperasi merupakan suatu badan usaha bersama yang berjuang dalam bidang ekonomi dan menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan meningkatkan pembangunan serta perokonomian Nasional. Koperasi lahir pada permulaan abad ke-19 sebagai reaksi terhadap sistem liberalisme ekonomi, yang pada waktu itu sekelompok kecil pemilik-pemilik modal menguasai kehidupan masyarakat. Susunan masyarakat kapitalis sebagai kelanjutan dari liberalisme ekonomi, membiarkan setiap individu bebas bersaing untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya, dan bebas pula mengadakan segala macam kontrak tanpa campur tangan pemerintah. Akibatnya, sekelompok kecil pemilik modal menguasai kehidupan masyarakat. Mereka hidup berlebih, sedangkan sekelompok besar dari masyarakat yang lemah kedudukan sosial ekonominya makin terdesak. Pada saat itulah tumbuh gerakan koperasi yang menentang aliran individualisme dengan asas kerja sama dan bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Bentuk kerja sama ini melahirkan perkumpulan koperasi. 1 Secara umum yang dimaksud dengan koperasi adalah suatu badan usaha bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian lemah yang bergabung secara sukarela dan atas dasar persamaan hak, kewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan anggotanya. 2 1 Pandji Anoraga dan Ninik Widyanti, Dinamika Koperasi (Jakarta: Rineka Citra, 2007), hlm G. Kartasapoetra & A.G. Kartasapoetra, Koperasi Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 1. 1

2 2 Koperasi Indonesia memberikan pengertian bahwa tidak boleh mengimpor begitu saja pengertian-pengertian koperasi tersebut di atas, karena cara-cara berkoperasi yang dianggap baik dijalankan di luar negeri, kemungkinan ada yang kurang cocok untuk dijalankan di negara Indonesia. Dalam hal mengimpor pengertian koperasi itu harus mengadakan penyesuaian-penyesuaian dengan ; 1. cita-cita segenap bangsa Indonesia, yaitu terbentuknya negara adil dan makmur yang menyeluruh; 2. kondisi-kondisi yang berlaku serta kebutuhan-kebutuhan yang nyata dari masyarakat umumnya di tanah air kita; 3. Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun Koperasi sebagai usaha bersama, harus mencerminkan ketentuanketentuan sebagaimana lazimnya didalam kehidupan suatu keluarga. Dimana segala sesuatunya dikerjakan secara bersama-sama dan ditujukan untuk kepentingan bersama seluruh anggota keluarga. 4 Koperasi diatur oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian pada awal kemerdekaan Indonesia. Setelah itu terjadi beberapa peraturan mengenai koperasi tersebut dan diganti oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian, kemudian setelah itu diganti oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Selajutnya disebut dengan Undang-Undang Perkoperasian) dan yang terbaru adalah Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (Selajutnya disebut dengan UU 17/2012 tentang Perkoperasian). 5 3 Ibid., hlm Mulhadi, Hukum Perusahaan Bentuk-bentuk badan usaha di Indonesia (Medan: Galia Indonesia, 2010), hlm (diakses tanggal 9 September 2015).

3 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkopersian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok Pokok Perkoperasian degan tujuan untuk membangkitkan peran koperasi sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat dan mengembalikan koperasi perjuangan untuk meningkatkan dan membangkitkan peran koperasi sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat dan mengembalikan koperasi pada landasan-landasan asas asas dan sendi sendi koperasi yang murni. Perbaikan dan pengembangan pada Undang-Undang Perkoperasian terus dilakukan dalam rangka peningkatan perekonomian rakyat melalui koperasi. Hal tersebut juga dilakukan dengan memegang teguh prinsipprinsip koperasi yang murni dan menjaganya agar tetap ada dan menjiwai seluruh koperasi yang didirikan di Indonesia. Akhirnya pada tahun 2012 diterbitkanlah undang-undang tentang perkoperasian terbaru yang dianggap akan membawa perhatian terhadap koperasi itu sendiri. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 mengenai Perkoperasian ini membawa banyak konsep-konsep baru yang ditujukan dalam rangka mengembangkan koperasi dan menyesuaikan dengan perekonomian global. Undang-Undang diamanatkan untuk membawa koperasi kearah yang lebih baik lagi. 6 Koperasi memberikan pengertian secara umum bahwa prinsip dasar, definisi koperasi, bentuk koperasi dan jenis usahanya sesuai dengan Undang- Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 ayat (1) yang berbunyi Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan yang mana hal ini merupakan landasan hukum perekonomian nasional dan merupakan jati diri koperasi. 6 Ibid., hlm. 2.

4 4 Tujuan normatif dari memberlakukan UU 17/2012 tentang Perkoperasian adalah untuk memberikan status hukum kepada koperasi dan memfasilitasi kerja mereka unntuk memastikan bahwa koperasi bekeja sesuai dengan prinsip koperasi yang berlaku universal dari undang-undang. Situasi politik indonesia yang sering berubah cepat dan cenderung belum stabil ikut juga turut berpengaruh pada dunia perkoperasian yang ada. Salah satunya adalah seringkali bergantinya undangundang yang ada. Dengan alasan mengikuti perkembangan waktu dan global undang-undang dapat berubah, walaupun terkadang memiliki akibat dan manfaat yang kurang baik bagi masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah undangundang tentang pekoperasian. Salah satu bentuk dari seringnya pergantian undang-undang yang ada pemerintah menerbitkan UU 17/2012 tentang Perkoperasian untuk menggantikan Undang-Undang Perkoperasian. Hal ini dikarenakan secara keseluruhan Undang- Undang Perkoperasian tidak memiliki kapasitas untuk membangun koperasi yang benar dan kuat. Kebijakan pemerintah dan pelanggaran oleh koperasi sendiri yang bertolak belakang dengan nilai-nilai dan prinsip koperasi itu sendiri. Sehingga dalam reformasi dan perkembangan yang ada dibutuhkan pembaharuan undangundang Perkoperasian yang baru. Diterbitkannya UU 17/2012 tentang Perkoperasian diharapkan dapat menambah kapasitas dan membangun koperasi yang lebih baik lagi, tapi sayangnya undang-undang ini ternyata tidak dapat menangkap aspirasi menuju koperasi yang lebih baik lagi. Sehingga susunannya tidak menciptakan ruang bagi pertumbuhan gerakan dari jati diri koperasi karena pengertian koperasi menjadi kabur. Koperasi adalah sebagai perkumpulan orang, sedangkan menurut UU

5 5 17/2012 tentang Perkoperasian koperasi adalah asosiasi berbasis modal. Karena undang-undang ini telah melanggar jati diri koperasi oleh karena itu jelas undangundang ini telah melanggar Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 karena telah ditegaskan bawah sistem ekonomi kekeluargaan adalah sistem dari koperasi itu sendiri. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 33 memandang koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional, yang kemudian semakin dipertegas dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkoperasian. Menurut M. Hatta sebagai pelopor Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tersebut, koperasi dijadikan sebagai sokoguru perekonomian. 7 Salah satu pokok pikiran dari M. Hatta adalah koperasi menentang segala paham yang berbau individualisme dan kapitalisme, hal ini lah yang membuat pandangan awal bahwasannya UU 17/2012 tentang Perkoperasian tidak selaras dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (1). Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dapat dikatakan telah merusak otonomi dan jati diri koperasi Indonesia. Yang merupakan organisasi perkumpulan orang dan bukan perkumpulan modal. UU 17/2012 tentang Perkoperasian yang baru saja diundangkan 30 Oktober lalu masih mewarisi tradisi kolonial. Koperasi diterjemahkan sebagai badan hukum sebagai subyek yang tidak ada bedanya dengan badan-badan usaha lainnya. Sehingga landasan dari Undang-Undang ini adalah asas perorangan yang terjemahannya tidak ada bedanya dengan perusahaan seperti persero. 7 (diakses tanggal 20 September 2015).

6 6 Perkembangan ekonomi yang semakin besar juga berpengaruh pada undang-undang perkoperasian yang baru ini yang mana lebih memandang sebagai organisasi usaha seperti halnya perusahaan swasta yang dikelola untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya. Uraian yang telah disampaikan sebelumnya UU 17/2012 tentang Perkoperasian diberi pengertian badan hukum yang sesungguhnya hanya kontinum dari pengertian Undang-Undang tentang Perkoperasian yang menyebutkan pengertian koperasi sebagai badan usaha. Hal inilah yang akhirnya oleh beberapa pihak mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena banyak dianggap tidak sejalan dengan jati diri koperasi Indonesia yang menagacu dan berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 diantaranya Pasal 33 ayat (1) yang dianggap sangat bertentangan dengan UU 17/2012 tentang Perkoperasian. B. Rumusan Masalah Sesuai dengan apa yang telah diuraikan pada latar belakang diatas, maka permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah perkoperasian menurut hukum positif di Indonesia? 2. Bagaimanakah penerapan Pasal 33 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dalam koperasi? 3. Bagaimanakah aspek usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dalam pembatalan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013?

7 7 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana perkoperasian menurut hukum positif di Indonesia. 2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bidang koperasi. 3. Untuk mengetahui bagaimana aspek usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dalam pembatalan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 terkait pembatalan Putusan Mahkamah Konstitusi No 28/PUU-XI/2013. Adapun manfaat penulisan skripsi ini baik secara teoritis maupun praktis adalah : 1. Secara teoritis Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan terhadap perkembangan hukum ekonomi, khususnya dalam bidang perkoperasian. 2. Secara praktis Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pembuat kebijakan maupun pihak legislatif guna melengkapi peraturan perundang-undangan yang masih diperlukan. D. Keaslian Penulisan Penulisan Skripsi ini adalah hasil pemikiran penulis sendiri, yang telah dilihat dan ketahui di Fakultas Hukum dan

8 8 Universitas Indonesia bahwa penulisan tentang Aspek Usaha Bersama Berdaasarkan Asas Kekeluargaan Dalam Pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013, belum pernah dilakukan sebelumnya. Penulisan ini berdasarkan refrensi buku-buku, media cetak, dan elektronik. Oleh karena itu penulisan ini merupakan sebuah karya asli sehingga tulisan ini dapat di pertanggungjawabkan. E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Koperasi menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Koperasi secara etimologis terdiri dari dua suku kata yaitu, co dan operation, yang mengandung arti bekerja sama untuk mencapai tujuan. 8 Oleh karena itu, koperasi adalah suatu perkempulan yang beranggotakan orang orang atau badan usaha yang memberikan kebebasan masuk dan keluar sebagai anggota dengan bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan usaha untuk mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggota. Dasar hukum keberadaan koperasi di Indonesia adalah Undang-Undang Perkoperasian dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun Sedangkan menurut pasal 1 Undang- Undang Perkoperasian di Indonesia adalah : Badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. hlm Koermen, Manajemen Koperasi Terapan (Jakarta: PT. Prestasi Pustaka Raya, 2003),

9 9 Koperasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu kumpulan orangorang yang mempunyai tujuan sama, diikat dalam suatu organisasi yang berasaskan kekeluargaan dengan maksud mensejahterakan anggota. Dari beberapa pengertian dan definisi yang ada dapat terlihat ciri-ciri koperasi yang menonjol yaitu : a. Berasas kekeluargaan. b. Keanggotaan sukarela dan terbuka bagi setiap warga Republik Indonesia. c. Rapat anggota adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Tujuan koperasi sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 3 Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2012 tentang Perkoperasian di Indonesia menyebutkan : Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun Pengertian asas kekeluargaan dalam perkoperasian Asas kekeluargaan mengandung makna adanya kesadaran dari hati nurani setiap anggota koperasi untuk mengerjakan segala sesuatu dalam koperasi yang berguna untuk semua anggota dan dari semua anggota koperasi itu sendiri. Jadi bukan untuk diri sendiri maupun beberapa anggota saja dan juga bukan dari satu anggota melainkan mencakup seluruh anggota. Dengan asas yang bersifat seperti ini maka semua anggota akan mempunyai hak dan kewajiban yang sama. 9 Asas kekeluargaan yang mencerminkan adanya kesadaran dari hati nurani manusia untuk bekerja sama dalam koperasi oleh semua untuk semua, di bawah 9 (diakses tanggal 07 Oktober 2015).

10 10 pimpinan pengurus serta penilikan dari anggota atas dasar keadilan dan kebenaran serta keberanian berkorban bagi kepentingan bersama. Sikap kekeluargaan memiliki makna sebagai perilaku yang menunjukkan sebuah manifestasi yang cenderung didasaarasi rasa familiar yang tinggi dengan wujud responsible yang mempertimbangkan hubungan keakraban sebagai kedekatan keluarga kepada orang lain, sehingga dengan manifestasi tingkah lakunya ini menimbulkan keakraban rasa dekat seperti layaknya keluarga yang memiliki hubungan darah. Asas kekeluargaan dalam tata kehidupan ekonomi adalah prinsip kehidupan ekonomi berdasarkan asas kerjasama atau usaha bersama. Hal ini berarti dalam kegiatan usaha ekonomi digunakan prinsip kerjasama, saling membantu dalam suasana demokrasi ekonomi untuk mencapai kesejahteraan bersama secara adil (adil dalam kemakmuran dalam bidang ekonomi, prinsip kegotongroyongan dan kekeluargaan terlihat dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945). 3. Pengertian Mahkamah Konstitusi Mahkamah Kostitusi adalah lembaga kenegaraan yang dibuat untuk mengawal (to guard) konstitusi, agar dilaksanakan dan dihormati baik dalam penyelenggaraan kekuasaan negara maupun warga negara. DI beberapa negara bahkan dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi juga menjadi pelindung (protector) konstitusi. 10 Fungsi Mahkamah Konstitusi tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk menangani perkara tertentu di 10 (diakses tanggal 07 Oktober 2015).

11 11 bidang ketatanegaraan, hal ini dilakukan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan cita-cita demokrasi dan kehendak rakyat. Keberadaan mahkamah konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya suatu pemerintahan negara yang stabil dan sebagai koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang menimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi. Lembaga negara lain dan bahkan orang per orang boleh saja menafsirkan arti dan makna dari ketentuan yang ada dalam konstitusi, karena memang tidak selalu jelas dan rumusannya luas dan kadang-kadang kabur atau tidak jelas. Akan tetapi, yang menjadi otoritas akhir untuk memberi tafsir yang mengikat adalah Mahkamah Konstitusi. Tafsiran yang mengikat tersebut hanya diberikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian yang diajukan kepadanya. Hal ini berbeda dengan beberapa mahkamah konstitusi di bekas negara komunis yang telah melangkah menjadi negara demokrasi konstitusional, mereka boleh memberi fatwa (advisory) atau bahkan menafsirkan konstitusi jika anggota parlemen, presiden atau pemerintah meminta. Tafsiran yang dilakukan secara abstrak tanpa terkait dengan permohonan pengujian atau sengketa konstitusi lain yang dihadapi oleh Mahkamah Konstitusi, tentu hanya didasarkan pada ketentuan teks konstitusi, tanpa terkait dengan latar belakang secara sosial maupun ekonomi yang menjadi dasar penafsiran. Kehadiran pemohon, termohon maupun pihak-pihak terkait di Mahkamah Konstitusi sesungguhnya akan sangat membantu untuk merumuskan dan mempelajari masalah konstitusi yang dihadapi.

12 12 Tafsir konstitusi memberikan dampak negatif atas permintaan pihak tertentu di luar pengujian atau permohonan sebagai perkara. Mahkamah Konstitusi dianggap inkonsisten kalau putusannya berbeda dengan pendapat penasehat yang diberikan meskipun dikatan bahwa pendapat penasehat tersebut tidak mengikat. Wewenang Mahkamah Konstitusi menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24C, yaitu : a. Wewenang Mahkamah Konstitusi untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang dalam putusannya bersifat final. b. Wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang tehadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun c. Wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun d. Wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik. e. Wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan yang terjadi atas hasil dari proses pemilu yang berlangsung. f. Wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memberi putusan atas pendapat DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) mengenai dugaan pelanggaran Presiden atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun. Secara khusus wewenang Mahkmah Konstitusi diatur dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 10, yaitu :

13 13 a. Wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun b. Wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun c. Wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik. d. Wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan yang terjadi akibat hasil dari pemilihan umum. e. Wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memberi putusan atas pendapat dari DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) mengenai Presiden atau Wakil Presiden yang diduga melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, penyuapan, korupsi, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun Kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga: a. Telah melakukan pelanggaran hukum berupa; 1) penghianatan terhadap negara; 2) korupsi; 3) penyuapan; 4) tindak pidana lainnya;

14 14 b. Perbuatan tercela, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Hak Mahkamah Konstitusi: a. Perorangan warga negara Indonesia (untuk pengujian UU) b. Kesatuan masyarakat hukum adat (untuk pengujian UU) c. Badan hukum publik atau privat (untuk pengujian UU) d. Lembaga negara (untuk pengujian UU dan sengketa antar lembaga) e. Pemerintah (untuk pembubaran partai politik) f. Peserta pemilihan umum, baik pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, maupun pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (untuk perselisihan hasil pemilu) Fungsi Mahkamah Konstitusi: a. Menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. b. Pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi. c. Untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnyauntuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi.

15 15 F. Metode Penelitian Sehubungan yang telah dikemukakan diatas sebelumnya, untuk melengkapi penulisan skripsi ini agara tujuan dapat terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, oleh karena itu adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam mengerjakan skrispsi ini meliputi : 1. Spesifikasi penelitian Penulisan skripsi ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 11 Penelitian hukum normatif ini mencakup: 12 a. penelitian terhadap asas-asas hukum; b. penelitian terhadap sistematika hukum; c. penelitian terhadap tahap sinkronisasi hukum; d. penelitian sejarah hukum; e. penelitian perbandingan hukum; Penelitian hukum normatif sendiri mengacu pada berbagai bahan hukum sekunder, 13 yaitu inventarisasi berbagai peraturan hukum nasional dan internasional dalam bidang Perkoperasian, jurnal-jurnal dan karya tulis lainnya, serta artikel-artikel berita terkait.sedangkan penelitian deskriptif adalah penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu mengenai sifat-sifat, 11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Ed. Pertama, Cet. Ketujuh ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam praktek, Ed. Pertama, Cet. Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 14.

16 16 karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu. 14 Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu didalam memperkuat teoriteori lama, atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru. 15 Penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis normatif, yang melakukan pendekatan perundang-undangan dengan bertitik tolak pada analisis terhadap pembatalan UU 17/2012 tentang Perkoperasian. Penelitian ini difokuskan terhadap Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjadi alasan dasar penmbatalan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang di putuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 28/PUU-XI/ Sumber data Penyusunan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dibidang hukum koperasi yang mengikat, antara lain : a. Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. b. Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. c. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun Bambang Suggono, Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Ed. Pertama, Cet. Kedua (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada,1998), hlm Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 10.

17 17 Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder yakni kamus hukum dan kamus besar Bahasa Indonesia. 3. Tehnik pengumpulan data Penulisan skripsi ini menggunakan metode library search (penelitian kepustakaan), yakni mempelajari literatur atau dari sumber bacaan buku-buku, peraturan perundang-undangan, karya ilmiah para ahli, artikel-artikel baik dari surat kabar, majalah, media elektronik, dan bahan bacaan lain yang terkait dengan penulisan skripsi ini yang semua itu dimaksudkan untuk memperoleh bahanbahan yang bersifat teoritis yang dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian. 4. Analisis data Jenis analisi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis normatif kualitatif yang menjelaskan pembahasan yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku seperti perundang-undangan. Data yang diperoleh dari penelusurang kepustakaan, dianalisis dengan deskriptif kualitatif. Metode deskriptif yaitu menggambarkan secara menyeluruh tentang apa yang menjadi pokok permasalahan. Kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh menurut kualitas dan kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.

18 18 G. Sistematika Penulisan Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap tiap bab terbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang penulisan skripsi ini dengan judul Aspek Usaha Bersama Berdasarkan Asas Kekeluargaan Dalam Pembatalan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 terkait Putusan 28/PUU- XI/2013 kemudian dilanjutkan dengan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan ditutup dengan memberikan sistematikan dari penulisan skriosi ini. BAB II PERKOPERASIAN MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA Bab ini menguraikan mengenai koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat, fungsi, peran dan prinsip koperasi, pembentukan koperasi sebagai badan usaha dan pengelolaan organisasi organisasi koperasi. BAB III PENERAPAN PASAL 33 AYAT 1 UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DALAM KOPERASI Bab ini menguraikan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan perekonomian Indonesia,

19 19 Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai penjamin Hak Konstitusional untuk melakukan usaha koperasi, penerapan Pasal 33 ayat 1Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 di bidang perkoperasian. BAB IV ASPEK USAHA BERSAMA BERDASARKAN ASAS KEKELUARGAAN DALAM PEMBATALAN UNDANG- UNDANG NO. 17 TAHUN 2012 TERKAIT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 28/PUU-XI/2013 Bab ini menguraikan mengenai pertimbangan hukum pembatalan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 terkaiit Putusan Mahkamah Konstitusi 28/PUU-XI/2013, aspek usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dalam pembatalan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012, konsekuensi hukum terhadap pembatalan Undang- Undang No.17 Tahun 2012 terkait Putusan Mahkamah Konstitusi No. 28/PUU-XI/2013. BAB V PENUTUP Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab. Seluruhnya yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini yang dilengkapi dengan saran-saran.

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

I. UMUM

I. UMUM PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan yang terlepas dari kekuasaan eksekutif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berikut tuntutan penanganan berbagai persoalan yang belum

BAB I PENDAHULUAN. berikut tuntutan penanganan berbagai persoalan yang belum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dinamika pembangunan bangsa Indonesia telah menumbuhkan tantangan berikut tuntutan penanganan berbagai persoalan yang belum terpecahkan. Salah satunya adalah penyelenggaraan

Lebih terperinci

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015 DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015 POKOK BAHASAN Latar Belakang Kelahiran Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi dalam UUD 1945 Wewenang Mahkamah

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14 1 of 14 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional. Pada awal kemerdekaan Indonesia, koperasi diatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memberikan jaminan secara konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008 MAHKAMAH KONSTITUSI R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008 Pokok Bahasan Latar Belakang Kelahiran Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada Bab 1 pasal 1 dijelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum dan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya mengenai hak angket terdapat pada perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadilan dan kepastian hukum tentulah menjadi dua harapan dari diberlakukannya hukum. Masyarakat yang kepentingannya tercemar akan merasa keadilannya terusik dan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018 Wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan Mengambil Langkah Hukum Terhadap Perseorangan, Kelompok Orang, Atau Badan Hukum yang Merendahkan Kehormatan DPR Dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Peraturan Daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2.1. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi 2.1.1. Pengertian Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI A. Fungsi/Tugas Mahkamah Konstitusi 1. Panitera Panitera merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi,

Lebih terperinci

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 45 Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 Oleh: Ayu

Lebih terperinci

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara. demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara. demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai suatu kumpulan metode

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Pembentukan Mahkamah Konstitusi Ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan Indonesia mengalami perubahan cepat di era reformasi. Proses demokratisasi dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dilaksanakan sebanyak empat tahapan dalam kurun waktu empat tahun (1999, 2000, 2001, dan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006/PUU-IV TAHUN 2006 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Sebagai

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN I. PARA PEMOHON Mohamad Yusuf Hasibuan dan Reiza Aribowo, selanjutnya disebut Pemohon II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian

Lebih terperinci

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara Gagasan Judicial Review Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum & keratanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. keberadaan MK pd awalnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Teknologi informasi dipercaya sebagai kunci utama dalam sistem informasi manajemen. Teknologi informasi ialah seperangkat alat yang sangat penting untuk bekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HAK RECALL ANGGOTA DPR MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) FITRI LAMEO JOHAN JASIN

PENGGUNAAN HAK RECALL ANGGOTA DPR MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) FITRI LAMEO JOHAN JASIN 1 PENGGUNAAN HAK RECALL ANGGOTA DPR MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) FITRI LAMEO JOHAN JASIN NUR MOH. KASIM JURUSAN ILMU HUKUM ABSTRAK Fitri Lameo.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tugas negara menegakkan hukum dan keadilan 1, dimana di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. tugas negara menegakkan hukum dan keadilan 1, dimana di dalamnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan dapat diartikan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara menegakkan hukum dan keadilan 1, dimana di dalamnya mencakup Pengadilan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara yang dapat dinilai

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara yang dapat dinilai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tujuan negara Indonesia 1 sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) diwujudkan oleh sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman. Sebuah lembaga dengan kewenangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 Wewenang DPR Memanggil Paksa Setiap Orang Menggunakan Kepolisian Negara Dalam Rapat DPR Dalam Hal Pihak Tersebut Tidak Hadir Meskipun Telah Dipanggil

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint I. PEMOHON Sri Royani II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY SKRIPSI PENGUJIAN TERHADAP UNDANG - UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. media yang didesain secara khusus mampu menyebarkan informasi kepada

BAB I PENDAHULUAN. media yang didesain secara khusus mampu menyebarkan informasi kepada 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Media massa adalah istilah yang digunakan sampai sekarang untuk jenis media yang didesain secara khusus mampu menyebarkan informasi kepada masyarakat secara luas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah pada tahun 1999 sampai dengan 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi merupakan sesuatu yang sangat menarik untuk dikaji secara

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi merupakan sesuatu yang sangat menarik untuk dikaji secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Koperasi merupakan sesuatu yang sangat menarik untuk dikaji secara ilmiah, karena koperasi merupakan sebagian dari tata perekonomian masyarakat Indonesia. Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada satu peristiwa penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Paham negara hukum berakar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Paham negara hukum sebetulnya merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan I. PEMOHON Sri Sudarjo, S.Pd, SH, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa peralihan Indonesia menuju suatu cita demokrasi merupakan salah satu proses yang menjadi tahapan penting perkembangan Indonesia. Salah satu aspek yang menjadi bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diskursus mengenai Mahkamah Konstitusi muncul saat dirasakan perlunya sebuah mekanisme demokratik, melalui sebuah lembaga baru yang berwenang untuk menafsirkan

Lebih terperinci

I. PEMOHON Serikat Pekerja PT. PLN, selanjutnya disebut Pemohon

I. PEMOHON Serikat Pekerja PT. PLN, selanjutnya disebut Pemohon RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 149/PUU-VII/2009 Tentang UU Ketenagalistrikan Perusahaan listrik tidak boleh memiliki usaha yang sama dalam satu wilayah I. PEMOHON Serikat Pekerja PT. PLN,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru dengan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah panjang mengenai pengujian produk legislasi oleh sebuah lembaga peradilan (judicial review) akan terus berkembang. Bermula dari Amerika (1803) dalam perkara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana dan pemidanaan) karya Cesare Beccaria pada tahun 1764 yang menjadi argumen moderen pertama dalam

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online KONSTITUSIONALITAS KETENTUAN KONSULTASI YANG MENGIKAT BAGI PENYELENGGARA PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 19 Juni 2016; disetujui: 8 Agustus 2016 Pasal 9 huruf a dan Pasal 22B huruf a dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 60/PUU-XI/2013 Badan Hukum Koperasi, Modal Penyertaan, Kewenangan Pengawas Koperasi dan Dewan Koperasi Indonesia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 60/PUU-XI/2013 Badan Hukum Koperasi, Modal Penyertaan, Kewenangan Pengawas Koperasi dan Dewan Koperasi Indonesia RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 60/PUU-XI/2013 Badan Hukum Koperasi, Modal Penyertaan, Kewenangan Pengawas Koperasi dan Dewan Koperasi Indonesia I. PEMOHON 1. Yayasan Bina Desa Sadajiwa, dalam hal ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta mempunyai berbagai bahasa,

BAB I PENDAHULUAN. dan terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta mempunyai berbagai bahasa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara yang mempunyai wilayah yang sangat luas dan terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta mempunyai berbagai bahasa, etnis,

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) 2.1 Sejarah Singkat Organisasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen menyatakan

Lebih terperinci

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi Rudy, dan Reisa Malida Dosen Bagian Hukum Tata Negara FH Unila Mahasiswa Bagian HTN angkatan 2009 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara, digariskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Hukum. Dengan demikian, segala

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi I. PEMOHON Habel Rumbiak, S.H., Sp.N, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENGAWASAN YANG DIMILIKI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS UNDANG-UNDANG DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KARAKTERISTIK PENGAWASAN YANG DIMILIKI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS UNDANG-UNDANG DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA KARAKTERISTIK PENGAWASAN YANG DIMILIKI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS UNDANG-UNDANG DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA Oleh : Arfa i, S.H., M.H. [ ABSTRAK Undang-undang yang dibuat oleh Lembaga

Lebih terperinci

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016 DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016 Dinamika perkembangan ketatanegaraan di Indonesia terusterjadi. Hal yang kembali mencuat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya. Metode

METODE PENELITIAN. sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya. Metode 32 III. METODE PENELITIAN Penelitian hukum merupakan hal yang ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya. Metode penelitian hukum merupakan suatu

Lebih terperinci

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SIARAN PERS DAPAT SEGERA DITERBITKAN Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU- XV/2017 tanggal

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit I. PEMOHON Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah, yang dalam hal ini diwakili oleh Prof. Dr. Din Syamsudin dan

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold I. PEMOHON Partai Nasional Indonesia (PNI) KUASA HUKUM Bambang Suroso, S.H.,

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 mengandung empat pokok pikiran yang meliputi suasana dari

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 mengandung empat pokok pikiran yang meliputi suasana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, dapat diketahui bahwa pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung empat pokok pikiran yang meliputi suasana dari

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Pungki Harmoko II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk menyimpan dan meminjam uang. Namun, pada masa sekarang pengertian bank telah berkembang sedemikian

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XVI/2018 Masa Jabatan Pimpinan MPR dan Kewajiban Badan Anggaran DPR Untuk Mengonsultasikan dan Melaporkan Hasil Pembahasan Rancangan UU APBN Kepada Pimpinan DPR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. elit politik kembali melakukan peranan dan fungsi masing-masing lembaga.

BAB I PENDAHULUAN. elit politik kembali melakukan peranan dan fungsi masing-masing lembaga. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nuansa kehidupan demokrasi di indonesia semakin terasa ketika para elit politik kembali melakukan peranan dan fungsi masing-masing lembaga. Sentralisasi kekuasan yang

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Tommy Albert M. Tobing, S.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 21 Maret 2013

KUASA HUKUM Tommy Albert M. Tobing, S.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 21 Maret 2013 RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 60/PUU-XI/2013 Badan Hukum Koperasi, Modal Penyertaan, Kewenangan Pengawas Koperasi dan Dewan Koperasi Indonesia I. PEMOHON 1. Yayasan Bina Desa Sadajiwa, dalam

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. Oleh: Husendro

ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. Oleh: Husendro 1 ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Oleh: Husendro Kandidat Doktor Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

KEKUA U SAAN N KEHAKIMAN

KEKUA U SAAN N KEHAKIMAN KEKUASAAN KEHAKIMAN SEJARAH: UU Nomor 13 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. demi stabilitas keamanan dan ketertiban, sehingga tidak ada lagi larangan. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang mencakup:

BAB I PENDAHULUAN. demi stabilitas keamanan dan ketertiban, sehingga tidak ada lagi larangan. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang mencakup: 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut dengan UUD 1945) secara tegas menyebutkan negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 144 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini, latar belakang perluasan kewenangan MK dan konstitusionalitas praktek perluasan kewenangan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

Lebih terperinci

SILABUS PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN PEMAHAMAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA PUSAT PENDIDIKAN PANCASILA DAN KONSTITUSI

SILABUS PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN PEMAHAMAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA PUSAT PENDIDIKAN PANCASILA DAN KONSTITUSI SILABUS PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN PEMAHAMAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA PUSAT PENDIDIKAN PANCASILA DAN KONSTITUSI Nama Lembaga Program Mata Diklat Bobot Widyaiswara/Narasumber Deskripsi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XI/2013 Tentang Penetapan Batam, Bintan dan Karimun Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XI/2013 Tentang Penetapan Batam, Bintan dan Karimun Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XI/2013 Tentang Penetapan Batam, Bintan dan Karimun Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas I. PEMOHON Ta in Komari, S.S. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian

Lebih terperinci

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA A. Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada di Mahkamah Agung 1. Tugas dan Kewenangan Mahkamah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit I. PEMOHON Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah, yang dalam hal ini diwakili oleh Prof. Dr. Din Syamsudin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses panjang sistem ketatanegaraan dan politik di Indonesia telah mengalami suatu pergeseran atau transformasi yang lebih demokratis ditandai dengan perkembangan

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga UUD 1945 mengamanahkan pembentukan lembaga yudikatif lain

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga UUD 1945 mengamanahkan pembentukan lembaga yudikatif lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan Ketiga UUD 1945 mengamanahkan pembentukan lembaga yudikatif lain selain Mahkamah Agung (MA), yaitu Mahkmah Konstitusi (MK). Pengaturan tentang MK termaktub

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini yaitu penelitian yuridis empiris yaitu penelitian terhadap

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini yaitu penelitian yuridis empiris yaitu penelitian terhadap 62 A. Jenis dan Tipe Penelitian III. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini yaitu penelitian yuridis empiris yaitu penelitian terhadap efektivitas hukum, yang membahas bagaimana hukum beroperasi dalam

Lebih terperinci