BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1 Tinjauan tentang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) adalah ketentuan hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Menurut Sudikno Mertokusumo hukum perdata memiliki pengertian yaitu hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat, pelaksanaannya diserahkan masing-masing pihak. Sedangkan menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan antara warga negara yang satu dengan warga negara yang lain. (Djaja S. Meliala, 2014: 1) KUH Perdata pada awalnya berbahasa Belanda yang dikenal dengan istilah Burgerlijk Wetboek yang biasa disingkat BW. Berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KUH Perdata yang berasal dari Belanda tersebut tetap dinyatakan berlaku sampai ada peraturan perundang-undangan yang baru yang berasal dari Undang-Undang Dasar ini. KUH Perdata tidak mengenal adanya pembagian penduduk berdasarkan penggolongan seperti golongan Timur Asing, golongan Pribumi, ataupun golongan Eropa. Jadi KUH Perdata dapat diterapkan kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa membedakan pengolongan-penggolongan tersebut. (Salim HS, 2013: 4) KUH Perdata sendiri terbagi ke dalam 4 buku (Salim HS, 2013: 14): a Buku I tentang Orang; mengatur tentang Hukum Perseorangan dan Hukum Keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

2 b Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang Hukum Benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris, dan penjaminan. Hak kebendaan meliputi benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya UndangUndang tentang Hak Tanggungan; c Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) Undang-Undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Buku III. Bisa dikatakan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang adalah bagian khusus dari Kitab Undang- Undang Hukum Perdata; d Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam Hukum Perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian. Menurut uraian di atas maka hal-hal yang berkaitan dengan waris termasuk dalam Buku II. Hukum waris merupakan bagian dari hukum harta kekayaan bila dilihat dari konsep hukum perdata pada KUH Perdata. Untuk itu hal-hal yang berbentuk harta kekayaan saja yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan. (Eman Suparman, 2007: 25)

3 2 Tinjauan tentang Pewarisan Hukum waris yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah kesemuanya kaidah hukum yang mengatur nasib kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia dan menentukan siapa orangnya yang dapat menerimanya. (Tamakiran S., 2000: 24). Sedangkan menurut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, pengertian Hukum Waris adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan atas harta peninggalan pewaris, lalu menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagian masing-masing. Orang yang telah meninggal dunia dan meninggal kan harta warisan maka orang tersebut disebut Pewaris, sedangkan orang yang berhak menerima harta warisan dari orang yang meninggal dunia tersebut disebut Ahli Waris. Setiap orang pasti akan meninggal dunia. Bila seseorang meninggal dunia maka akan timbul pertanyaan mengenai hubungan individu yang meninggal tersebut terkait hal-hal yang ditinggalkannya, terutama masalah kekayaan dari orang yang meninggal tersebut. Maka dibutuhkan aturan yang mengatur mengenai bagaimana caranya hubungan orang yang meninggal dunia dengan harta kekayaan yang ditinggalkan, siapa saja yang berhak mewarisi, dan juga bagaimana cara peralihan harta kekayaan tersebut pada orang yang berhak mewarisi. Jadi permasalahan yang diurus oleh hukum waris adalah pengaturan mengenai apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup (Djaja S. Meliala, 2014: 199). Hukum waris adalah perangkat aturan yang berkaitan konsekuensi dan kematian orang pribadi. (Wilbert, 2012: 74) Orang yang meninggal dunia akan menimbulkan konsekuensi mengenai harta peninggalan orang yang meninggal tersebut, harus ada orang-orang yang mengambil alih hak dan kewajiban orang yang meninggal dunia tersebut. Peralihan tersebut tidak terjadi begitu saja karena harus ada aturan-aturan yang mengatur mengenai permasalahan tersebut.

4 Hukum waris yang diatur dalam KUH Perdata menganut sistem individual, di mana harta kekayaan peninggalan pewaris yang telah meninggal akan diadakan pembagian. Dalam hukum waris terdapat unsur waris (Oemarsalim, 2012: 4) : a Pewaris, orang yang meninggal dunia, yang meninggalkan harta peninggalan untuk diwariskan kepada ahli waris b Ahli waris, orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris karena adanya ikatan kekerabatan, ikatan perkawinan, atau yang lainnya c Harta warisan, segala bentuk benda yang ditinggalkan pewaris, seperti uang, tanah, dan sebagainya Harta kekayaan beralih dari si pewaris kepada ahli waris harus memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu syarat umum dan syarat mutlak. (Djaja S. Meliala, 2014: 200). Syarat umumnya ialah: a Ada orang yang meninggal dunia (Pasal 830 KUHPer) b Ada ahli waris yang ditinggalkan (Pasal 836 KUHPer) c Ada harta kekayaan yang ditinggalkan (Pasal 1100 KUHPer) Sedangkan syarat mutlak adalah harus ada orang meninggal (Pasal 830 KUHPer), kecuali dapat terjadi dalam keadaan tidak hadir (Pasal 467 jo Pasal 470 KUHPer), bahwa pewaris belum meninggal. Harta kekayaan yang dapat beralih yaitu harta kekayaan dalam lapangan hukum, harta kekayaan yang terdapat dalam Buku II dan Buku III KUHPer, walaupun ada pengecualian. Sedangkan hak dan kewajiban yang ada dalam Buku I KUHPer tidak beralih, juga ada pengecualian. (Oemarsalim, 2012: 3) Adapun cara pewarisan menurut Hukum Perdata sebagai berikut (Djaja S. Meliala, 2014: 201) : a Mewaris menurut ketentuan Undang-Undang Berdasarkan Pasal 832 KUH Perdata yang berhak menerima bagian warisan berdasarkan Undang-Undang adalah keluarga sedarah, baik sah ataupun diluar kawin dan suami atau isteri yang hidup terlama. Mewaris menurut ketentuan Undang-Undang ini juga disebut Ab Intestato. Pewarisan Ab Intestato dapat dilakukan dengan 2 cara (Djaja S. Meliala, 2014: 201), yaitu: 1) Mewaris karena haknya atau kedudukannya

5 Ahli waris yang dapat mewaris karena kedudukannya sendiri berdasarkan hubungan darah dengan pewaris. Mereka mewarisi kepala demi kepala yang meksudnya adalah mereka menerima dengan hak yang sama, sesuai yang diatur dalam Pasal 852 ayat (2) KUH Perdata 2) Mewaris karena penggantian tempat Pasal 841 KUH Perdata mengatur bahwa pergantian memberi hak kepada pihak yang mengganti untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti. Ada tiga bentuk mewaris karena penggantian tempat (Efendi Perangin, 2003: 5), yaitu: (i) Penggantian terjadi dalam garis lurus ke bawah yang sah, yang berlangsung terus sampai akhir. Penggantian ini diizinkan dalam segala hal, baik bila anak-anak dan orang yang meninggal menjadi ahli waris bersama-sama dengan keturunan dan anak yang meninggal lebih dahulu, maupun bila semua keturunan mereka mewaris bersama-sama, seorang dengan yang lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya. Hal ini juga diatur dalam Pasal 842 KUH Perdata (ii) Dalam garis ke samping, penggantian diperkenankan demi keuntungan semua anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan orang yang meninggal, baik jika mereka menjadi ahli waris bersama-sama dengan paman-paman atau bibi-bibi mereka, maupun jika warisan itu, setelah meninggalnya semua saudara yang meninggal, harus dibagi di antara semua keturunan mereka, yang satu sama lainnya bertalian keluarga dalam derajat yang tidak sama. Penggantian tempat ini diatur dalam Pasal 844 KUHPerdata (iii) Penggantian juga diperkenankan dalam pewarisan dalam garis ke samping, bila di samping orang yang terdekat dalam hubungan darah dengan orang yang meninggal, masih ada anak atau keturunan saudara laki-laki atau perempuan dan mereka yang

6 tersebut pertama. Penggantian tempat ini diatur dalam Pasal 845 KUHPerdata b Mewaris menurut testament Dalam hukum perdata testament merupakan bagian dari hukum waris. Surat wasiat dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang mengenai apa yang dikehendakinya setelah meninggal. Pasal 874 KUH Perdata menjelaskan arti wasiat dalam testament juga sudah mengandung syarat bahwa isi dari penyataan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Ketetapan surat wasiat dalam Pasal 876 KUH Perdata terdiri dari dua macam cara, yaitu (Oemarsalim, 2012: 86): 1) Erfstelling yaitu memberikan wasiat dengan tidak ditentukan bendanya secara tertentu. Erfstelling diatur didalam Pasal 954 KUH Perdata, dimana dalam pasal tersebut memberikan pengertian tentang Erfstelling adalah suatu ketetapan kehendak terakhir pada mana si pewaris memberikan harta kekayaan yang akan ditinggalkan setelah ia meninggal kepada seseorang ataupun beberapa orang, baik untuk seluruhnya ataupun bagian seimbang 2) Legaat yaitu memberikan wasiat yang bendanya dapat ditentukan. Legaat ini terdapat dalam Pasal 957 KUHPerdata yang mengatakan bahwa hibah wasiat adalah suatu penetapan khusus, dengan mana si pewaris memberikan suatu atau beberapa barang tertentu kepada sesorang atau beberapa orang atau memberikan barangnya dari jenis tertentu. Namun dalam pembuatan surat wasiat harus diperhatikan dua hal, yaitu sesuai dengan Pasal 897 KUH Perdata bahwa anak-anak di bawah umur yang belum mencapai 18 tahun penuh, tidak diperkenankan membuat surat wasiat. (Djaja S. Meliala, 2014: 22) Selain itu pada Pasal 888 KUH Perdata juga diperhatikan bahwa semua surat wasiat yang persyaratannya tidak dapat dimengerti atau tidak mungkin dijalankan, atau bertentangan dengan undangundang atau kesusilaan, akan dianggap tidak tertulis. (Oemarsalim, 2012: 85)

7 Ketentuan KUH Perdata tidak membedakan antara ahli waris laki-laki maupum perempuan, dan juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama bila masih ada maka menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. (Djaja S. Meliala, 2014: 204) Ada empat golongan yang berhak untuk menjadi ahli waris (Djaja S. Meliala, 2014: 201): a Golongan yang pertama terdiri dari keluarga dalam lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunannya. Hal ini berdasar pada Pasal 852 KUH Perdata yang bunyinya: Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu. Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila dengan yang meninggal mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri; mereka mewarisi pancang demi pancang, bila mereka semua atas sebagian mewarisi sebagai pengganti. Maksud dari pasal tersebut adalah anak tidak bisa mewaris bersama keturunannya karena hanya bisa dilakukan dengan penggantian tempat. Yang dimaksud anak dalam Pasal 852 KUH Perdata ini adalah anak yang sah yang dihasilkan dari perkawinan yang sah. Anak-anak mewaris kepala demi kepala maksudnya adalah bagian antar anak tersebut sama besarnya. b Golongan yang kedua terdiri dari keluarga garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Golongan kedua ini baru menerima warisan bila tidak terdapat golongan pertama tadi. Golongan kedua ini berdasar pada Pasal 854 KUH Perdata yang bunyinya: Bila seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan dan suami atau isteri, maka bapaknya atau ibunya yang masih hidup masingmasing mendapat sepertiga bagian dan harta peninggalannya, bila yang mati itu hanya meninggalkan satu orang saudara laki-laki atau perempuan yang mendapat sisa yang sepertiga bagian. Bapak dan ibunya masing-masing mewarisi seperempat bagian, bila yang mati

8 c meninggalkan lebih banyak saudara laki-laki atau perempuan, dan dalam hal itu mereka yang tersebut terakhir mendapat sisanya yang dua perempat bagian. Bagian yang mereka terima Menurut ketentuan KUH Perdata baik ayah, ibu maupun saudara-saudara pewaris masing-masing mendapat bagian akan tetapi bagian ayah dan ibu senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼ bagian dari seluruh harta warisan yang sama. Namun jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia, yang hidup paling lama akan memperoleh bagian sebagai berikut: ½ (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan seorang saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan adalah sama saja; 1/3 bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris; ¼ (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris Golongan ketiga terdiri dari sekalian keluarga yang sedarah dalam garis ayah dan dalam garis ibu. Bila terjadi pewarisan dengan ahli waris golongan ketiga, maka warisan tersebut harus dibuka lebih dahulu kemudian dibagi dua (kloving). Setelah itu baru dibagi setengah harta warisan adalah bagian sanak keluarga dari ayah pewaris, dan bagian setengah yang lain adalah bagian dari sanak keluarga dari ibu pewaris. Hal ini diatur dalam Pasal 853 KUH Perdata, yang juga terdapat dalam pasal tersebut pengaturan lebih lanjut juga terdapat dalam Pasal 861 KUH Perdata d Golongan yang keempat terdiri dari anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam yang tertuang dalam Pasal 858 KUH Perdata. Apabila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan juga tidak ada keluarga sedarah yang masih hidup dalam satu garis lurus ke atas maka separuh harta warisan menjadi bagian dari keluarga sedarah dalam garis ke atas yang masih hidup, sedangkan yang separuh lagi menjadi bagian keluarga sedarah garis ke samping dari garis ke atas lainnya kecuali terdapat hal-hal yang tercantum dalam Pasal 858 KUH Perdata, yaitu:

9 1) Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan juga tidak ada keluarga sedarah yang masih hidup dalam salah satu garis ke atas; 2) Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan keluarga sedarah yang masih hidup dalam kedua garis ke atas; 3) Harta warisan dibagi dua, yaitu ½ bagan menjadi bagian keluarga sedarah lurus keatas yang masih hidup dan ½ sisanya menjadi bagian keluarga sedarah lurus keatas yang masih hidup yang masih hidup (kloving). 3 Tinjauan tentang Anak a Pengertian Anak Anak memiliki pengertian yang berbeda-beda sesuai dengan ketentuan dari perundang-undangan yang berlaku. Sekalipun dari hubungan yang tidak sah dihadapan hukum, ia tetap dinamakan anak sehingga definisi ini tidak dibatasi oleh usia. Beberapa pengertian anak antara lain: 1) Menurut KUH Perdata Pasal 330 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa Seorang belum dapat dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya belum genap 21 tahun, kecuali seseorang tersebut telah menikah sebelum umur 21 tahun 2) Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan 3) Menurut Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin 4) Menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 1974 tentang Kesejahteraan Anak

10 Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. 5) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 47 menyebutkan bahwa anak adalah orang yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaannya dan mereka tidak dicabut dari kekuasaan 6) Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, terrnasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. b Jenis Anak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan pengaturan yang mendetail mengenai jenis anak. Pengaturan mengenai jenis anak dalam Undang-Undang Perkawinan hanya terdiri dari 3 pasal, yaitu Pasal 42 sampai dengan Pasal 44. Undang-Undang Perkawinan membagi jenis anak menjadi 2 (Arif Gosita, 2001: 11), yaitu: 1) Anak yang sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah 2) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan sah. Pasal 43 ayat (1) menentukan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya Dalam KUH Perdata anak memiliki kedudukan yang paling utama dalam mewaris dibandingkan dengan golongan ahli waris yang lain. KUH Perdata menggolongkan anak menjadi dua macam (Djaja S. Meliala, 2014: 69), yaitu: 1) Menurut Pasal 250 KUH Perdata anak sah adalah anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh suami sebagai bapaknya. Adapun Pasal 251 KUH Perdata menyebutkan bahwa sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari ke seratus delapan puluh dari

11 perkawinan, dapat diingkari oleh suami dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. 2) Anak tidak sah yakni anak yang dilahirkan tidak didasarkan pada perkawinan yang sah. Dalam hal anak tidak sah ini banyak yang menyebut sebagai anak luar kawin dalam arti luas. Anak tidak sah ini masih dibagi lagi menjadi tiga kelompok yakni (Djaja S. Meliala, 2014: 70) : (i) Anak yang lahir dari ayah dan ibu, tetapi diantara mereka tidak terdapat larangan untuk kawin. Anak ini statusnya sama dengan anak sah, kalau kemudian mereka (orang tua) kawin, dan dapat diakui kalau tidak kawin (Pasal 272 KUH Perdata); (ii) Anak yang lahir dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang mempunyai hubungan darah yang masih dekat atau karena adanya hubungan semenda (Pasal 30 dan Pasal 31 KUH Perdata). Anak yang lahir dalam hubungan incest ini disebut anak sumbang. Anak ini tidak dapat disahkan maupun diakui kecuali ada izin Presiden atau Menteri Kehakiman (Pasal 31 jo Pasal 273 KUH Perdata) (iii) Anak yang lahir dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dilarang kawin oleh undang-undang, atau salah satu pihak atau kedua-duanya ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain. Anak ini disebut anak zina. Dari kedua golongan anak berdasarkan KUH Perdata tersebut diatas hanya anak sahlah yang bisa menjadi ahli waris dari orangtuanya. Sedangkan untuk anak tidak sah mereka tidak bisa mewaris. Akan tetapi berdasarkan Pasal 272 KUHPerdata dapat diketahui bahwa dalam Hukum Perdata terdapat anak yang dapat dilakukan pengakuan dan/atau dapat disahkan yakni natuurlijk kind, dan juga terdapat anak-anak yang tidak dapat dilakukan pengakuan terhadapnya yakni overspeleg kind dan blodsceneg. (Daja S. Meliala, 2014: 70) Dengan adanya pengakuan tersebut timbulah hubungan keperdataan antara anak luar kawin dan orangtua yang mengakuinya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata. Dengan adanya

12 hubungan keperdataan tersebut maka membawa akibat salah satunya adalah hubungan kewarisan. Jadi dapat disimpulkan bahwa anak tidak sah baru bisa mewaris setelah mendapat pengakuan dari orangtua yang mengakui, dan hanya anak tidak sah yang diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata yakni natuurlijk kind atau dalam penjelasan di atas adalah kelompok pertama yang bisa diakui dan kemudian disahkan. Sedangkan (Oemarsalim, 2012: 70) 4 Tinjauan tentang Notaris Peraturan mengenai jabatan notaris di Indonesia yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang diundangkan pada tanggal 15 Januari Sesuai yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UUJN, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut. Kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 15 Bab III UUJN antara lain: a Membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan, semua itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. b Berwenang pula untuk: 1) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; 2) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

13 3) Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; 4) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; 5) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; 6) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan atau; 7) Membuat akta risalah lelang c Selain hal-hal yang disebutkan di atas, Notaris juga mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengangkatan seorang Notaris dilakukan oleh Menteri, dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Untuk dapat diangkat menjadi Notaris, maka seseorang harus memenuhi persyaratan sebagaiaman tercantum dalam Pasal 3 UUJN, yaitu sebagai berikut: a Warga negara Indonesia; b Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d Sehat jasmani dan rohani; e Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan g tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Sebagaimana tercantum dalam UUJN, bahwa seorang Notaris berwenang membuat akta otentik. Menurut Sudikno Mertokusumo akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian (Sudikno Mertokusumo, 1993: 121). Sesuai dengan Pasal 1867 KUHPer akta dapat dibedakan menjadi 2, yaitu akta otentik dan akta bawah tangan.

14 a Akta Otentik Menurut Pasal 1868 KUHPer Akta Otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Kemudian dalam Pasal 165 HIR atau Hukum Acara Perdata Indonesia, suatu akta otentik terbagi atas 2 (dua) jenis, yaitu akta otentik yang dibuat oleh pejabat dan akta otentik yang dibuat dihadapan para pihak. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu di mana pejabat itu menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya (Sudikno Mertokusumo, 1993: 121). Pada umumnya akta yang dibuat oleh pejabat merupakan akta dibidang hukum publik, maka pejabat yang berwenang adalah pejabat di bidang publik pula. Pejabat publik terbagi menjadi dua golongan, yaitu pejabat publik eksekutif seperti Pejabat Tata Usaha Negara (misalnya: pegawai kantor catatan sipil) dan pejabat publik yudikatif seperti panitera, jurusita, dan hakim. Sedangkan akta otentik yang dibuat dihadapan para pihak adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang atas inisiatif dari para pihak yang berkepentingan. Pejabat yang berwenang yang dimaksud adalah Notaris, Pejabat Pembuat Akata Tanah, dan/atau Pejabat Lelang. Khusus mengenai akta otentik yang dibuat oleh notaris terbagi lagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu akta pihak (partij akte) dan akta pejabat / akta relaas (ambtelijke akte). Akta Pihak adalah akta yang berisikan uraian peristiwa yang terjadi karena perbuatan para penghadap, yang diterangkan kepada notaris agar dituangkan dalam bentuk akta otentik, seperti akta jual beli, akta hibah, akta wasiat, akta kuasa, pernyataan keputusan rapat, dan lain sebagainya. Sedangkan Akta Relaas adalah akta otentik yang menguraikan suatu tindakan yang dilihat dan disaksikan oleh notaris itu sendiri dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris, misalnya seperti Berita Acara RUPS, akta pencatatan boedel pailit, dan lain-lain. b Akta Dibawah Tangan Akta Dibawah Tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak tanpa dihadapan seorang pejabat umum, sesuai yang tercantum dalam Pasal 1869

15 KUHPer, bahwa suatu akta dibawa tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang, tanpa perantara atau tidak dihadapan pejabat umum yang berwenang. Kekuatan pembuktian akta ini lebih lemah dari pada akta otentik. Suatu akta dibawah tangan dapat memiliki kekuatan pembuktian sempurna seperti akta notaris apabila memenuhi Pasal 1875 KUHPer yang berbunyi : suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 untuk tulisan itu. Artinya, akta dibawah tangan berkekuatan pembuktian sempurna sepanjang diakui kebenarannya oleh para pihak. Gambaran secara garis besar mengenai jenis-jenis akta adalah seperti berikut: Gambar 1. Jenis-Jenis Akta Dibuat oleh pejabat Pejabat Eksekutif AKTA OTENTIK Pejabat Yudikatif AKTA Partij Akte Dibuat oleh para pihak 5 Tinjauan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 AKTA DIBAWAH TANGAN Ambtelijke Akte Mahkamah Konstitusi adalah lembaga kenegaraan yang dibuat untuk mengawal (to guard) konstitusi, agar dilaksanakan dan dihormati baik dalam penyelenggaraan kekuasaan negara maupun warga negara. Kududukan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan. ( diakses pada tanggal 24 Juni 2014 pukul WIB) a Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Hirarki Peraturan Perundang-Undangan

16 Jika ditinjau berdasarkan kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka: 1) Fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi Fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi di Indonesia terdapat dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang mana kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah ( 3, diakses pada tanggal 24 Juni 2015 pukul WIB) : (i) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (ii) Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (iii) Memutus pembubaran partai politik; (iv) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 2) Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Menurut Pasal 57 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa jika suatu undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti bertentangan atau tidak memenuhi ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka produk hukum tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Melalui kewenangan judicial review, Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak ada lagi ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi. 3) Putusan Final dan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945), yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan (Pasal 47 Undang-Undang

17 Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi) dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam undang-undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding) (penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi) b Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 1) Kasus Posisi Bahwa pada tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta telah berlangsung pernikahan antara pemohon (HJ.Aisyah Mochtar alias Mochica binti H.Mochtar Ibahim) dengan seorang laki-laki bernama Drs.Moerdiono, dengan wali nikah almarhum H.MoCHTAR Ibrahim, disaksikan oleh 2 orang saksi, masing-masing bernama almarhum KH. M. Yusuf Usman dan Risman, dengan mahar berupa seperangkat alat shalat, uang Riyal (mata uang Arab), satu set perhiasan emas, berlian dibayar tunai dan dengan ijab yang diucapkan oleh wali tersebut dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama Drs.Moerdiono. Lebih jelas lagi, Moerdiono seorang suami yang sudah beristri menikah lagi dengan istri kedua, Hj. Aisyah Mokhtar, dengan akad nikah secara Islam tetapi tidak di hadapan PPN/KUA Kecamatan yang berwenang sehingga tidak dicatat dalam buku akta nikah dan tidak memiliki kutipan akta nikah. Dari perkawinan tersebut dilahirkan seorang anak laki-laki yang bernama Muhammad Iqbal Ramdhan bin Moerdiono. Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut mengatakan bahwa: Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya. Oleh sebab itu, Hj. Aisyah maupun Iqbal merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh tuntutan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal

18 43 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut karena perkawinan Hj. Aisyah tidak diakui menurut hukum dan anaknya (Iqbal) tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya (Moerdiono) dan keluarga ayahnya. Para pemohon yang berkedudukan sebagai perorangan warga negara Indonesia mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang pada intinya: (i) Bahwa menurut para pemohon, ketentuan Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi para pemohon, khususnya yang berkaitan dengan kasus perkawinan dan status anak yang dihasilkan dari hasil perkawinan pemohon 1; (ii) Bahwa hak konstitusional para pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam Undang-undang Perkawinan. Norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan karena perkawinan pemohon 1 adalah sah dan sesuai dengan Rukun nikah dalam Islam. Merujuk ke norma konstitusional yang termaktub dalam Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 maka perkawinan pemohon 1 yang dilangsungkan sesuai Rukun nikah adalah sah tetapi terhalang oleh Pasal 2; UU Perkawinan, akibatnya menjadi tidak sah menurut norma hukum. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap status hukum anak (Pemohon II) yang dilahirkan dari perkawinan pemohon 1 menjadi anak diluar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 34 Ayat (1) Undang-undang Perkawinan. Disisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah barang tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di muka hukum menjadi tidak jelas dan sah. (iii) Singkatnya menurut Pemohon, ketentuan a quo telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum serta menciptakan perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena itu menurut para

19 pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 B ayat (1) dan (2) serta Pasal 28 D ayat (1) UUD ( diakses pada tanggal 24 Juni 2015 pukul WIB) 2) Putusan Menurut Putusan MK No.46/PUU-VII/2010 tanggal 17 Februari 2012, menyatakan bahwa Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No 1, tambahan Lembar Negara RI No. 3019) yang menyatakan, Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya bertentangan dengan UUD RI 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan dengan Ilmu pengetahuan dan Teknologi dan / atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Pasal 43 Ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No 1, tambahan Lembar Negara RI No. 3019) yang menyatakan, Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan dengan Ilmu pengetahuan dan Teknologi dan / atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan Ilmu pengetahuan dan Teknologi dan/ atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan ayah biologisnya.

20 B. Kerangka Pemikiran Pembagian Harta Warisan Anak Luar Kawin Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Notaris Telah Melaksanakan Putusan MK Mengenai Kasus Terkait Belum Melaksanakan Putusan MK Mengenai Kasus Terkait Syarat Kelengkapan Dokumen Tidak Bisa Melakukan Pembagian Waris Pembagian Warisan Kendala - Kendala Saran Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran

21 Keterangan: Bagan kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas rumusan masalah yang telah dipaparkan di muka. Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya menimbulkan perubahan sistem hukum yang cukup besar bagi hukum di Indonesia. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa anak luar kawin hanya bisa mendapatkan harta warisan orang tua biologisnya, khususnya ayah, bila telah diakui secara hukum oleh ayah biologisnya. Akan tetapi setelah keluarnya Putusan Mahakamah Konstitusi ini anak luar kawin yang tidak diakui oleh ayah biologisnya masih bisa mendapatkan pengakuan secara hukum dengan membuktikan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi bahwa anak tersebut terbukti anak dari ayah biologisnya tersebut. Hal ini tentu memberikan kesempatan bagi anak yang tidak diakui oleh orang tuanya untuk mendapatkan hak-hak sebagaimana anak lainnya, khususnya mengenai hak waris. Penulis ingin mengetahui sejauh mana penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi ini berlaku melalui penelitian yang dilakukan di kantor-kantor Notaris di wilayah Karanganyar dan Surakarta, yaitu kantor Notaris Dyahmawati Karsono, kantor Notaris Slamet Utomo, dan kantor Notaris Rita Esti S. P. karena Notaris mempunyai kewenangan dalam pengaturan pembagian hak waris sesuai dengan hukum yang berlaku. Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi ini apakah sudah berlaku dengan baik atau belum, bila belum apakah kendalakendalanya dan penulis ingin memberikan saran untuk kendala-kendala yang terjadi tersebut.

Oleh : Dr.H.Chatib Rasyid,SH.,MH. (Ketua PTA BANDUNG) A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan

Oleh : Dr.H.Chatib Rasyid,SH.,MH. (Ketua PTA BANDUNG) A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Oleh : Dr.H.Chatib Rasyid,SH.,MH. (Ketua PTA BANDUNG) A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang cukup mengejutkan banyak pihak, yaitu putusan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.3, 2014 HUKUM. Notaris. Jabatan. Jasa Hukum. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1 A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata Anak dalam kandungan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) memiliki

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JABATAN NOTARIS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JABATAN NOTARIS PERPADUAN NASKAH UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.3, 2014 HUKUM. Notaris. Jabatan. Jasa Hukum. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pejabat berwenang, yang isinya menerangkan tentang pihak-pihak yang

BAB I PENDAHULUAN. pejabat berwenang, yang isinya menerangkan tentang pihak-pihak yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan mengenai waris merupakan persoalan yang tidak dapat dilepaskan dari masalah yang terkait dengan bukti sebagai ahli waris. Bukti sebagai ahli waris

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan 46 BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata Sebelum penulis membahas waris anak sumbang dalam KUH Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan yang mana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

HUKUM WARIS. Hukum Keluarga dan Waris ISTILAH

HUKUM WARIS. Hukum Keluarga dan Waris ISTILAH Hukum Keluarga dan Waris HUKUM WARIS ISTILAH Didalam hukum waris dikenal istilah-istilah seperti pewaris, ahli waris, harta waris, boedel, testament, legaat, dan legitieme portie[1]. Yang dimaksud Pewaris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Cakupan pembagunan nasional ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI LUAR PERKAWINAN. A. Sejarah Mahkamah Konstitusi (MK)

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI LUAR PERKAWINAN. A. Sejarah Mahkamah Konstitusi (MK) BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN A. Sejarah Mahkamah Konstitusi (MK) Lembaran sejarah pertama Mahkamah Konstitusi (MK) adalah diadopsinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa meninggal dunia di dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perkawinan tidak dapat dikatakan sempurna apabila belum

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perkawinan tidak dapat dikatakan sempurna apabila belum BAB I PENDAHULUAN 1.7. Latar Belakang Masalah Suatu perkawinan tidak dapat dikatakan sempurna apabila belum dikaruniai anak. Anak adalah amanah dan anugerah yang diberikan Allah kepada setiap manusia dalam

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 AKIBAT HUKUM HAK MEWARIS ANAK DI LUAR PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA 1 Oleh : Fahmi Saus 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana aturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS 1 (satu) bulan ~ Notaris tidak membuat akta Apabila dalam waktu 1 (satu) bulan Notaris tidak membuat akta, Notaris, secara sendiri atau melalui kuasanya menyampaikan

Lebih terperinci

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG Oleh : Sriono, SH, M.Kn Dosen tetap STIH Labuhanbatu e_mail: sriono_mkn@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Permohonan pengujian judicial review diajukan oleh Machica. kekuatan hukum dengan segala akibatnya. Machica dan putranya,

BAB V PENUTUP. 1. Permohonan pengujian judicial review diajukan oleh Machica. kekuatan hukum dengan segala akibatnya. Machica dan putranya, 106 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Permohonan pengujian judicial review diajukan oleh Machica Mochtar, artis yang menikah secara sirri dengan Mantan Menteri Sekretaris Negara di Era Orde Baru Moerdiono.

Lebih terperinci

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014 BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014 BUKU I Biro Peraturan Perundang-undangan, Humas dan Tata Usaha Pimpinan BKPM 2015 DAFTAR ISI 1. UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (2) dan

BAB I PENDAHULUAN. mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (2) dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kajian terhadap hukum perkawinan akhir-akhir ini menjadi menarik kembali untuk didiskusikan. Hal ini terjadi setelah Mahkamah Konsitusi mengabulkan sebagian permohonan

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran, BAB I PENDAHULUAN Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dengan adanya kelahiran maka berakibat pada timbulnya hak dan kewajban baik dari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Gedung DitJend. Peraturan Perundang-undangan Jln. Rasuna Said Kav. 6-7, Kuningan, Jakarta Selatan Email: admin@legalitas.org Go Back Tentang Kami Forum Diskusi FAQ Web Mail. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Balai Harta Peninggalan merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM SURAT WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA M. WIJAYA. S / D

TINJAUAN HUKUM SURAT WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA M. WIJAYA. S / D TINJAUAN HUKUM SURAT WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA M. WIJAYA. S / D 101 08 063 ABSTRAK Membuat wasiat (testament) adalah perbuatan hukum, seseorang menentukan tentang apa yang terjadi dengan harta kekayaannya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor: 0213/Pdt.G/2010/PA.Slk BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Solok yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Waris Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H.

PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H. SALINAN PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai kaidah atau norma sosial yang tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan pencerminan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang di dalamnya terdapat beraneka ragam kebudayaan yang berbeda-beda tiap daerahnya. Sistem pewarisan yang dipakai di Indonesia juga

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh: Wahyu Ernaningsih, S.H.,M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap keluarga yang hidup di dunia ini selalu mendambakan agar keluarga itu selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang merupakan tujuan dari perkawinan yaitu membentuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 18/PUU-IX/2011 Tentang Verifikasi Partai

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 18/PUU-IX/2011 Tentang Verifikasi Partai RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 18/PUU-IX/2011 Tentang Verifikasi Partai I. PEMOHON Drs. H. Choirul Anam dan Tohadi, S.H., M.Si. KUASA HUKUM Andi Najmi Fuadi, S.H., M.H, dkk, adalah advokat

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang manusia yang lahir di dunia ini, memiliki hak dan kewajiban yang diberikan hukum kepadanya maupun kepada manusia-manusia lain disekitarnya dimulai kepadanya

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 22/PUU-VII/2009 tentang UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [Syarat masa jabatan bagi calon kepala daerah]

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 22/PUU-VII/2009 tentang UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [Syarat masa jabatan bagi calon kepala daerah] RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 22/PUU-VII/2009 tentang UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [Syarat masa jabatan bagi calon kepala daerah] I. PEMOHON Prof. Dr. drg. I Gede Winasa (Bupati Jembrana,

Lebih terperinci

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai

Lebih terperinci

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan I. PEMOHON Nina Handayani selanjutnya disebut sebagai Pemohon; Kuasa Hukum: Dr. Youngky Fernando, S.H.,M.H,

Lebih terperinci

bismillahirrahmanirrahim

bismillahirrahmanirrahim SALINAN PENETAPAN Nomor 112/ Pdt.P/ 2015/ PA Sit. bismillahirrahmanirrahim DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa dan mengadili perkara perkara tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai tujuan membangun negara yang sejahtera (Welfare State), akan

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai tujuan membangun negara yang sejahtera (Welfare State), akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian merupakan instrumen penting dalam membangun negara yang mempunyai tujuan membangun negara yang sejahtera (Welfare State), akan tetapi perkembangan

Lebih terperinci

PENETAPAN. Nomor XXXX/Pdt.P/2015/PA.Ktbm

PENETAPAN. Nomor XXXX/Pdt.P/2015/PA.Ktbm PENETAPAN Nomor XXXX/Pdt.P/2015/PA.Ktbm DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama dalam persidangan

Lebih terperinci

HUKUM WARIS PERDATA BARAT

HUKUM WARIS PERDATA BARAT HUKUM WARIS PERDATA BARAT I. PENGERTIAN HUKUM WARIS Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan lain perkataan mengatur

Lebih terperinci

PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

P E N E T A P A N. Nomor 0125/Pdt.P/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor 0125/Pdt.P/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor 0125/Pdt.P/2014/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI Anggyka Nurhidayana 1, Amnawati 2, Kasmawati 3. ABSTRAK Upaya perlindungan hukum dalam perkawinan sirri atau disebut perkawinan tidak dicatatkan

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kelas I A Bengkulu yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010

BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010 BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010 A. Sekilas Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS AHLI AHLI WARIS AB INTESTATO MENURUT HUKUM PERDATA

TINJAUAN YURIDIS AHLI AHLI WARIS AB INTESTATO MENURUT HUKUM PERDATA TINJAUAN YURIDIS AHLI AHLI WARIS AB INTESTATO MENURUT HUKUM PERDATA USWATUN HASANAH / D 101 10 062 Pembimbing: I. ABRAHAM KEKKA, S.H, M.H., II. MARINI CITRA DEWI, S.H, M.H., ABSTRAK Menurut pasal 832 KUH

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah DUNIA ILMU Vol.2 No.1 Maret 2016

Jurnal Ilmiah DUNIA ILMU Vol.2 No.1 Maret 2016 KEDUDUKAN HUKUM ANAK TIDAK SAH SEBELUM DAN SETELAH PUTUSAN MAHKMAAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU/VII/2010 Oleh : Vivi Hayati. SH.,MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Samudera Langsa ABSTRAK Seperti kita ketahui

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan I. PEMOHON Barisan Advokat Bersatu (BARADATU) yang didirikan berdasarkan

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) disebutkan bahwa y

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) disebutkan bahwa y PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai berbagai macam profesi yang bergerak di bidang hukum. Profesi di bidang hukum merupakan suatu profesi yang ilmunya

Lebih terperinci

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU- VIII/2010 TERHADAP ANAK DARI PERKAWINAN SIRI. Oleh : Pahlefi 1

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU- VIII/2010 TERHADAP ANAK DARI PERKAWINAN SIRI. Oleh : Pahlefi 1 IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 46/PUU- VIII/2010 TERHADAP ANAK DARI PERKAWINAN SIRI Oleh : Pahlefi 1 Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi ini tentu saja telah membawa paradigma baru dalam sistem

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan. Sarana bagi terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan ikatan perkawinan adalah untuk dapat membentuk

Lebih terperinci

AKTA NOTARIS SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA MISSARIYANI / D ABSTRAK

AKTA NOTARIS SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA MISSARIYANI / D ABSTRAK AKTA NOTARIS SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA MISSARIYANI / D 101 10 630 ABSTRAK Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenal semua perbuatan, perjanjian

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 69/PUU-XIII/2015 Hak Milik dan Hak Guna Bangunan Terhadap Warga Negara Indonesia yang Menikah dengan Warga Negara Asing I. PEMOHON Ike Farida II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian

Lebih terperinci

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. pada tingkat pertama, telah melaksanakan sidang keliling bertempat di Desa

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. pada tingkat pertama, telah melaksanakan sidang keliling bertempat di Desa SALINAN P E N E T A P A N Nomor : 08/Pdt.P/2012/PA.Sgr. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Singaraja yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Pertimbangan Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 Penulis akan memaparkan dalam bab-bab ini adalah tentang pertimbangan dari Pemerintah, DPR, dan MK tentang Putusan MK

Lebih terperinci

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE 30 BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE NO. 49/08 YANG TERDAFTAR PADA KANTOR DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL

Lebih terperinci

BAB III ANALISA TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI (PLAATSVERVULLING) PASAL 841 KUH PERDATA DENGAN 185 KHI

BAB III ANALISA TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI (PLAATSVERVULLING) PASAL 841 KUH PERDATA DENGAN 185 KHI BAB III ANALISA TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI (PLAATSVERVULLING) PASAL 841 KUH PERDATA DENGAN 185 KHI A. Kedudukan Ahli Waris Pengganti (Plaatsvervulling) Pasal 841 KUH Perdata Dengan Pasal 185 KHI Hukum

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5491 HUKUM. Notaris. Jabatan. Jasa Hukum. Perubahan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS I. UMUM Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Berikut ini adalah kasus mengenai penetapan asal usul anak:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Berikut ini adalah kasus mengenai penetapan asal usul anak: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berikut ini adalah kasus mengenai penetapan asal usul anak: - Putusan perkara perdata No. 0069/Pdt.P/2015/PA.Bantul 1. Identitas para pihak Adapun

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 KEDUDUKAN ANAK AKIBAT BATALNYA PERKAWINAN KARENA HUBUNGAN DARAH MENURUT HUKUM POSITIF 1 Oleh: Afrince A. Fure 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Pada bab ini, penulis memaparkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan didasarkan pada hasil penelitian dan wawancara dengan Notaris di

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 69/PUU-XIII/2015 Hak Milik dan Hak Guna Bangunan Terhadap Warga Negara Indonesia yang Menikah dengan Warga Negara Asing I. PEMOHON Ike Farida II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian

Lebih terperinci

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T AP A N Nomor: 23 /Pdt.P/2011/PA.Slk BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Solok yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhannya manusia tetap bergantung pada orang lain walaupun sampai

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhannya manusia tetap bergantung pada orang lain walaupun sampai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia selain sebagai individu juga sebagai makhluk sosial, dimana dalam memenuhi kebutuhannya manusia tetap bergantung pada orang lain walaupun sampai saat ia akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehidupan manusia di dalam perjalanan di dunia mengalami 3 peristiwa yang

I. PENDAHULUAN. Kehidupan manusia di dalam perjalanan di dunia mengalami 3 peristiwa yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia di dalam perjalanan di dunia mengalami 3 peristiwa yang penting yaitu pada waktu ia dilahirkan, waktu ia kawin, dan waktu ia meninggal dunia (Ali Afandi,

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA S A L I N A N P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sumbawa Besar yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon I. PEMOHON RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH.,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor: 3/Pdt.P/2011/PA.Slk BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor: 3/Pdt.P/2011/PA.Slk BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor: 3/Pdt.P/2011/PA.Slk BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Solok yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015 AHLI WARIS PENGGANTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 1 Oleh : Patricia Diana Pangow 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan seseorang sebagai

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XV/2017 Wilayah Jabatan Notaris I. PEMOHON Donaldy Christian Langgar II. OBJEK PERMOHONAN Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon I. PEMOHON RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH.,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci