dan Sekuen Latent Membrane Protein 2A (LMP2A) Epitop CTL-HLA A24 pada Sampel Darah Tepi Penderita Karsinoma Nasofaring

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "dan Sekuen Latent Membrane Protein 2A (LMP2A) Epitop CTL-HLA A24 pada Sampel Darah Tepi Penderita Karsinoma Nasofaring"

Transkripsi

1 LAPORAN AKHIR PENELITIAN Analisa Single Nucleotide Polymorphism (SNP) P53 Kodon 72, Murine Double Minute 2 (MDM2) 309 dan Sekuen Latent Membrane Protein 2A (LMP2A) Epitop CTL-HLA A24 pada Sampel Darah Tepi Penderita Karsinoma Nasofaring Disusun oleh : 1. Maya EW Moningka 2. Luthfi Rusyadi 3. Beni Sulistiono FAKULTASKEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA TAHUN 2011

2 LAPORAN AKHIR PENELITIAN Analisa Single Nucleotide Polymorphism (SNP) P53 Kodon 72, Murine Double Minute 2 (MDM2) 309 dan Sekuen Latent Membrane Protein 2A (LMP2A) Epitop CTL-HLA A24 pada Sam pel Darah Tepi Penderita Karsinoma Nasofaring d:c.11 Pent:'!mh<mgal al P RPUSTAKAAN Disusun oleh : 1. Maya EW Moningka 2. Luthfi Rusyadi 3. Beni Sulistiono T:r:r"'. 1! : ) i'..t 'Jk :. 1\!tl, 1 ;... -,. : \j FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA TAHUN20JI

3 LAPORAN AKHIR PENELITIAN Analisa Single Nucleotide Polymorphism (SNP) P53 Kodon 72, Murine Double Minute 2 (MDM2) 309 dan Sekuen Latent Membrane Protein 2A (LMP2A) Epitop CTL-HLA A24 pada Sampel Darah Tepi Penderita Karsinoma Nasofaring Disusun ojeh: Peneliti 1 Maya E.W. Moningka Peneliti 2 Luthfi Rusyadi Peneliti 3 BeniSulistiono Pengelola Program Studi IKD & Biomedis Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Unive-rsitas Gadjah Mada Yogyakana Ketua

4 iii KATAPENGANTAR Puji syuk:ur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-nya sehingga penelitian dengan judul "Analisa Single Nucleotide Polymorphism (SNP) P53 Kodon 72, Murine Double Minute 2 (MDM2) 309 dan Sekuen Latent Membrane Protein 2A (LMP2A) Epitop CTL-HLA A24 pada Sampel Darab Tepi Penderita.Kaninoma Nasofaring" dapat diselesaikan.. Penelitian ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada para Panel Pakar Risbin lptekdok 2EH I dan dr. Agus Surono, Ph.D., Sp.THT.KL selaku konsultan yang telah meluangkan banyak waktu, pikiran, dan tenaga serta dengan penuh kesabaran membimbing, mengarabkan, dan memberi petunjuk kepada penulis mulai dari awal sampai terselesaikannya penelitian ini. Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pula kepada: l. Dekan Fak.ultas Kedokteran Universitas Oadjah Mada Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian Risbin lptekdok Prof. Dr. Drs. Mustofa, Apt., M.Kes selaku Ketua Program Studi IKD & Biomedis Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran UGM yang telah memfasilitasi penelitian ini. 3. Kepala Badan Litbankes Kemenkes Rl, yang telah mendanai penelitian ini melalui DIPA Risbin lptekdok 2011 Nomor: SK. HK.03.05/1393/20l l. 4. Kepala Bagian THf-KL RS. Dr. Sardjito Yogyakarta beserta staf telah memberikan ijin untuk mengumpulkan data penelitian. 5. Kepala Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran UGM telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di Laboratorium dan memanfaatkan segala fasilitas yang diperlukan dalam penelitian ini. -

5 iv 6. Dra. Dewi Kartika, Ph.D selaku pembimbing laboratorium yan g telah memberikan bimbingan selama penujis melakukan penelitian di Laboratorium Biologi Molelruler. 7. Teknisis dan staf Laboratorium Biologi Molek:uler FK UGM (Mbak An:ing, Mbak Fatma, Mbak Dewi, Mbak Nanik dan Mas Suroyo) atas segala bantuan dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian. 8. Semua pihak yang telah membantu, dan tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempu ma, maka kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempumaan tulisan ini. Pada akhirnya penulis berharap semoga penelitian ini dapat bennanfaat bagi semua pihak. Yogyakarta, Desember 2011 Peneliti '.

6 v DAFfAR ISI HALAMAN JUDUL IIALAMAN PENGESAHAN ii KATA PENGANTAR iii DAFTAR lsi... v DAFf AR GAMBAR vi DAFfAR TABEL vii DAFf AR LAMPIRAN viii INTISARI ix ABSTRACT xi A. Latar Belakang B. Perumu.sa.tt Ma.sa.lab C. Tujuan Penelitian D. Hipotesis E. Metode Penelitian Hal 1. J enis dan Rancangan Penelitian Subyek Penelitian V ariabel Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Jalannya Penelitian Analisa Hasil Pertimbangan Etik F. Hasil Penelitian G. Pembahasan H. Keterbatasan Penelitian Kesimpulan I. 1- Saran... -'",,,,,,,,,,,,&'"'",,,. 46 K. Ucapan Terima Kasih i DAFfARPUSTAKA LAMPIRAN

7 vi DAFrAR GAMBAR Gambar la. Gam bar 1 b. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9a. Hal Hasil genotiping SNP P53 kodon 72 yang dilakukan dengan metode PCR-RFLP - 20 Hasil genotiping SNP MDM2 309 yang dilakukan dengan metode PCR RFLP Grafik distribusi frekuensi alel SNP P53 kodon 72 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa Grafik distribusi frekuensi genotip SNP P53 kodon 72 pasien K.NF dan kontrol pada populasi etnis Jawa Grafik distribusi frekuensi genotip dominan SNP P53 kodon 72 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa 22 Grafik distribusi frekuensi aiel SNP MDM2 309 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa Grafik distribusi frekuensi genotip SNP MDM2 309 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa Grafik distribusi frekuensi genotip dominan SNP MDM2 309 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa Grafik distribusi frekuensi kombinasi genotip SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 pada pasien KNF dan control 26 pada populasi etnis Jawa... Hasil elektroforesis PCR LMP2A pada sampel darah tepi penderita KNF Gambar 9b. Hasil elektroforesis PCR gena actin sebagai kontrol gena Gam bar 1 Oa. HasiJ elektroforesis PCR LMP2A pada sam pel cytobrush penderita KNF Gambarl Ob. Hasil elektroforesis PCR gena actin sebagai kontrol gena... 0 Gam bar 11 a. Hasil elektroforesis PCR LMP2A pada sampel darah tepi Kontrol Gambar 11 b. Hasil elektroforesis PCR gena actin sebagai kontrol gena Gambar 12 Hasil sekuensing LMP2A dan variasi sekuen gena yang 32 ditemukan......

8 vii DAFTAR TABEL Tabel la Karakteristik subyek penelitian pasien K.NF dan kontrol Tabel lb. Distribusi frekuensi aiel dan genotip SNP P53 kodon 72 Tabel 2. Hal pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa Distribusi frekuensi aiel dan genotip SNP MDM2 309 pasien K.NF dan kontrol pada populasi etnis Jaw a Tabel 3. Distribusi frekuensi kombinasi genotip SNP P53 kodon 72 Tabel 4. Tabel5. dan MDM2 309 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa Aiel dan genotip SNP P 53 kodon 72 sebagai salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa Aiel dan genotip SNP MDM2 309 sebagai salah satu faktor risiko K.NF pada populasi etnis Jawa Tabel 6. Kombinasi genotip SNP P 53 kodon 72 dan MDM2 309sebagai salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Tabel 7. Tabel 8. Jawa... "' Hasil deteksi LMP2A epitop CTL-HLA-A24 pada kelompok kasus penderita KNF dan kelompok kontrol Distribusi variasi sekuen LMP2A. pada sampel cytobrush penderita KNF Tabel9. Hubungan variasi sekuen LMPlA dengan stadium Tumor KNF Tabel 10. Perbandingan distribusi frekuensi genotip SNP P53 kodon 72 pada beberapa populasi.....,...,..., Tabel 11. Perbandingan distribusi frekuensi genotip SNP MDM2 309 pada beberapa populasi /

9 viii DAFfAR LAMPIRAN Hal Lampiran 1 Kelaikan Etik Penelitian Lamp iran 2 Informed consent Penelitian Lampiran 3 Kuesioner Penelitian

10 ix INTISARI Analisa Single Nucleotide Polymorphism (SNP} P53 Kodon 72, Murine Double Minute 2 (MDM2) 309 dan Sekuen Latent Membrane Protein 2A (LMP2A) Epitop CTL-HLA A24 pada Sam pel Darab Tepi Penderita Karsinoma Nasofaring Latar Belakang: Kanker merupakan penyebab utama mortalitas di dunia, sehingga masih menjadi masalah kesehatan yang perlu dipecahkan. Diantara kasus kanker tersebut adalah karsinoma nasofaring (K.NF). Faktor genetik diyakini berperan sebagai faktor utama etiologi KNF dan gena yang dicurigai adalah P53 dan MDM2. Polimorfisme P 53 kodon 72 dan MDM 309 berhubungan dengan risiko terjadinya KNF. Sel B yang terinfeksi EBV akan mengekspresikan beberapa antigen Iaten diantaranya LMP2A, bersifat imunogenik dan merupakan target utama bagi CTL pada KNF. LMP2A inilah yang bertanggung jawab terhadap fase Iaten pada sel B yang terinfeksi EBV. Bagian epitope LMP2A terkait CTL-HLA A24 memiliki susunan asam amino yaitu TYGPVFMCL. Selama ini penelitian tentang profil genetik penderita KNF di Indonesia masih sangat kurang. Tajoan Penelitian: Penelitian ini bertujuan mengkaji SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 sebagai salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa, menernukan LMP2A - epitop CTL-HLA A24 pada sampel darah tepi orang sehat serta sampel darah tepi dan cytobrush penderita KNF, dan menentukan variasi sekuen LMP2Aepitope CTL-HLA A24. Metode: Penelitian ini merupakan studi case-control. Penelitian ini dilakukan pada DNA yang diisolasi dari darah tepi pasien KNF dan kontrol (volunteer} serta cytobrush pasien KNF, kemudian dilakukan PCR-RFLP untuk mengidentifikasi SNP SNP P53 kodon 72 dan MDM Sedangkan untuk analisa sekuen LMP2A d:ilakukan PCR dan sekuensing. Hasil: Distribusi frekuensi aiel dan genotip SNP P53 kodon 72 pasien KNF dan bmtrol populasi etnis Jawa tidak berbeda signiftkan (p-value = 0,12 dan 0,10). Distribusi ftekuensi aiel dan genotip SNP MDM2 pasien KNF dan kontrol populasi etnis Jawa tidak berbeda signifikan (p-value = 0,11 dan 0,11}. Distribusi frekuensi tombinasi genotip SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 pasien KNF dan kontrol populasi etnis Jawa tidak berbeda signifikan (p-value = 0,23). Aiel C dan genotip GC dan CC SNP P53 kodon 72 bukan salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis 1awa. Aiel 0 dan genotip TG dan GO SNP MDM2 309 bukan salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa. Kombinasi genotip SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 bukan salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa. LMP2A hanya bisa :oamplifikasi dari sampel cytobrush, sehingga pengambilan sampel untuk skrining maupun diagnostik masih merujuk pada pengambilan dengan cara bru,yhing.

11 X Ditemukan adanya 5 variasi sekuen LMP2A dengan perubahan urutan basa GGC > GGA, CCA > CCC, TGC > TCC, GGT > GGC dan TCT > ACf. Variasi CCA>CCC dan variasi TGC>TCC ditemukan pada epitope terk:ait HLA-A24 yaitu epitop 1YGPVFMCL, sedangkan variasi GGT > GGC ditemukan pada epitope terk:ait HLA-A2 yaitu CLGGLLTMV. Dua variasi baru ditemukan pada upstream sekuen LMP2A yaitu GGC>GGA (C A posisi 1350, GenBank AJ ) dan downstream sekuen LMP2A yaitu TCT>ACT (T A posisi 1438, GenBank AJ ). Kesimpulan: Variasi polimorfisme P53 kodon 72 dan MDM2 309 bukan merupakan salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa. LMP2A hanya bisa terarnpliflkasi dari sampel cytobrush. Ditemukan adanya 5 variasi sekuen LMP2A, dan 2 diantaranya merupakan variasi baru dibanding penelitian sebelumnya. Kata kunci: SNP, P53, MDM2, faktor risiko, KNF, Variasi sekuen, LMP2A

12 ' xi ABSTRACT Single Nucleotide Polymorphisms (SNP) Analysis of P53 Codon 72, Murine Double Minute 1 (MDM1) 309 and Latent Membrane Protein 2..4 (LMP2A) Epitope CTL-HLA A24 Sequence on Peripheral Blood Samples Nasopharyngeal Cancer Patients Background: Cancer has become the main cause of mortality in the world and it have to be solved. One of the cancer problems is nasopharyngeal cancer (NPC). Moreover, genetic factor is become the main cause ofnpc and the genes which are caused NPC are P53 and MDM2. Polymorphism of P53 codon 72 and MDM2 309 related to risk factor of NPC. EBV -infected B cells wil1 produce latent antigens like LMP2A. It is immunogenic and acts as main target for CTLs in NPC. LMP2A is responsible for the latent phase on EBV-infected B cells. Epitope part of LMP2A associated CTL-HLA A24 gene has TYGPVFMCL amino acids arrangement. Recently, study about genetic profile in Indonesian NPC patients still rarely. Purpose: The purpose of this study was to evaluate SNP of P53 codon 72 and MDM2 309 as one of NPC risk factors at Javanese ethnic population. This results of this research will be used as supporting data in SNP of P53 codon 72 and MDM2 309 as one of NPC risk factors in Indonesian population especially in Javanese ethnics and to find L.MP2A-epitope CTL-HLA A24 in the peripheral blood samples of healthy people and also peripheral blood samples and cytobrush ofnpc patients, determining the sequence variation of LMP2A-epitope CTL-HLA A24. rfetbods: A case control study on the isolated DNA from NPC patients peripheral blood as NPC patient and healthy volunteer as control groups. The sample was analyzed with PCR-RFLP to identify SNP of P53 codon 72 and MDM2 309, and LMP2A sequence was analyzed with PCR-S equencing. Results: The differences of frequency of allele and genotype ofsnp of P53 codon 72 was not significantly different (p-value: 0,12 and 0,10) between NPC patient and control groups. The differences of frequency of allele and genotype of SNP of MDM2 309 was not significantly different (p-value: 0,11 and 0,1 1) between NPC patient and control groups. Moreover, the differences of genotype combination of SNP of P53 codon 72 and MDM2 309 between NPC patient and control group for Javanese ethnic population was not significantly different (p- value: 0,23). Allele C and genotype GC and CC of SNP of P53 codon 72 was not one of NPC risk factor. Allele G and genotype TG and GG of SNP of MDM2 309 was not one of NPC risk factor. Genotype combination ofsnp of P53 codon 72 and MDM2 309 was not become one ofnpc risk factor at Javanese ethnic population. LMP2A can only be amplified from cytobrush sample compared to peripheral blood samples. The found of five variations of LMP2A which are : the change of base sequence GGC> GGA, CCA> CCC, TGC>TCC, GGT>GGC, TCT>ACT. CCA>CCC and TGC>TCC variation are 'found I

13 xii on epitope TYGPVMCL which is recognized by HLA-A24 changes into 'IYGPVFMSL caused by missense mutation. However the CCA>CCC variation does :lot change the amino acid sequence thus does not change epitope's shape. On epitope 3SSOCiated with HLA-A2 (CLGGLLTMV), there is a change of base sequence from GGT to GGC, however, this change does not transform translated amino acid, it is S1i.U glycine (silent mutation). The new variationis found in the upstream sequence of!..mp2a from GGC>GGA which is silent mutation and the other variation is in downstream sequence of LMP2A from TCT>ACT which is missense mutation. "Coaclosion: Variant of polymorphism of P53 codon 72 and MDM2 309 was not ileioome one of NPC risk factor at Javanese ethnic population. LMP2A can only be lified from cytobrush sample compared to peripheral blood samples. The found -:five variations of LMP2A and two from these was new variation. Keywords: SNP, P53, MDM2, risk factor, NPC, sequence variation, LMP2A

14 1 A. Latar Belakang Kanker merupakan penyebab utarna mortalitas di dunia (sekitar 13% dari seluruh penyebab mortalitas), diperkirakan sekitar 7,6 juta kematian pada tahun 2008, sehingga masih menjadi masalah kesehatan yang perlu dipecahkan. Sekitar 72% dari seluruh mortalitas kanker pada tahun tersebut terjadi di negara berpendapatan rendah sampai dengan menengah. Mortalitas akibat kanker di seluruh dunia diperkirakan akan terus meningkat. Menurut World Health Organization (WHO) tentang "Global burden of cancer", di dunia sekitar 12,7 juta kasus kanker baru dengan 7,6 juta penderita meninggal dunia pada tahun 2008 dan pada tahun 2030 diperkirakan menjadi 21,4 juta kasus kanker baru (meningkat 69% dari tahun 2008) dengan 13,2 juta penderita meninggal dunia (meningkat 72% dari tahun 2008) (Forman, 2010). Selama tahun 2010, The American Cancer Society menemukan kasus kanker dan sebanyak penderita meninggal (Jemal, 2010). Di Indonesia, diperkirakan sebesar kasus kanker baru per tahun tiap orang (Tjindarbunli & Mangunkuswno, 2002). Di antara kasus kanker tersebut adalah karsinoma nasofaring (KNF). Karsinoma Nasofaring adalah tumor epitel pada permukaan nasofaring, tidak termasuk tumor kelenjar atau limfoma (Brennan, 2006). Karsinoma ini jarang terjadi di beberapa negara di dunia, terutama Eropa dan Amerika Utara dengan insiden dibawah 1/ (Di Sun, 2006). Namun banyak terdistribusi pada etnik dan letak geografis tertentu (Lo et al., 2004). lnsiden yang tinggi terdapat di beberapa daerah Cina Selatan, terutama di K.anton, Guangzhou yaitu 30-80/ orang per tahun (Spano et a/., 2003). Di Indonesia, KNF termasuk tumor ganas daerah kepala leher yang terbanyak. Data patologi tahun 1990, KNF menduduki urutan ke-4 dari seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim, payudara dan kulit. Prevalensi penderita KNF berdasarkan data Departemen Kesehatan tahun 1980 sekitar 4,7/ per tahun (Roezin, 1995). Kasus KNF di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta setiap tahun terns meningkat dari 48 kasus tahun 1992 menjadi 58 kasus pada tahun 1993 dan tahun 1994 menjadi 63 kasus (Purba et al., 1997).

15 2 Penelitian Hariwiyanto (2009), menunjukkan bahwa insiden KNF di Y ogyakarta sebesar 5,6 kasus baru per penduduk per tahun, dengan jumlah kasus periode Januari 2002 sarnpai April 2005 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sebanyak 303 kasus baru. Diagnosa KNF dilakukan dengan pemeriksaan klinis penderita berdasarkan gejala-gejala yang dialami, dilanjutkan dengan pemeriksaan hidung (rhinoscopy) dan pemeriksaan nasofaringoskopi. Biasanya tanda-tanda klinis yang didapatkan pada penderita KNF saat diagnosa ditegakkan adalah pembesaran kelenjar getah bening leher (75%) dan kelainan saraf kranial (20%). Diagnosa pasti suatu KNF diambil melalui biopsi nasofaring dan pemeriksaan histopatologi (Farhat, 2009). Kesulitan diagnosa dini pada KNF sampai saat ini masih tetap merupakan masalah besar. Penemuan kasus KNF pada stadium I dan TI sangat menentukan prognosis penderita, dimana belum terjadi metastase regional. Anatomi nasofaring yang tersernbunyi di belakang tabir langit-langit dan berada di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting sehingga sulit untuk dijangkau, menyebabkan diagnosa KNF seringkali sulit dilakukan pada stadium dini (Roezin, 1995). Selain itu gejala pada stadiun1 awal biasanya tidak khas, hanya seperti gejala flu, radang tenggorokan ataupun radang hidung, sehingga rnenyebabkan banyak penderita KNF datang memeriksakan diri sudah pada stadium lanjut dimana gejala sudah lebih berat, adanya benjolan dan seringkali sudah metastasis (Chan et al., 2002). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kasus dini hanya ditemukan antara 3,8% - 13,9%, sedangkan kasus lanjut (stadium Til dan VI) sekitar 88,1%- 96,2% (Soetjipto, 2007). Faktor-faktor risiko tet:.jadinya KNF antara lain infeksi virus, genetik (ras dan keturunan), serta lingkungan (makanan dan non makanan: konsumsi ikan yang diasinkan, asap rokok dan kayu bakar, asap dupa, uap zat kimia, debu, alkohol, infeksi kronis nasofaring) (Mulyarjo, 2002; Ganguly et al., 2003). Adapun virus yang berperan dalam meningkatkan resiko tet:jadinya KNF adalah Virus Epstein. Barr (EBV). Virus ini menyerang hampir 95% populasi diselumh dunia dan bisa

16 3 =zyebabkan berbagai macam penyakit. EBV setelah menginfeksi limfosit B, bersifat Iaten dan menetap seumur hidup pada host. Virus ini 100% ::m::mkan pada penderita KNF (Jajah, 2006). Dalan1 beberapa studi juga ditemukan -ya DNA EBV dari sampel darah tepi penderita KNF (Stefi, 2006; Breda et al., 0). Hal ini menunjukkan bagaimana suatu EBV mampu menghindari sistem tubuh manusia EBV sehingga bisa menetap didalam sel limfosit B. Sel B yang terinfeksi EBV akan mengekspresikan beberapa antigen laten LMPl dan LMP2 (LMP2A dan LMP2B). Latent Membrane Protein 2A 'IP2A) merupakan salah satu antigen laten yang diekspresikan limfosit B yang t=rinfeksi EBV (Hariwiyanto, 2009), bersifat imunogenik dan merupakan target r=.:zma bagi Cytotoxic T-Lymphocyte (CTL) pada KNF (Khana et al., 1996). fp2a inilah yang bertanggung jawab terhadap fase Iaten pada sel B yang \ tc:infeksi EBV. Oleh karena itu EBV bisa bersirkulasi terus di dalam darah dan.:::en etap persisten seumur hidup pada hostnya. LMP2A diproses secara endogen.:::m. dimunculkan pada permukaan sel target dalam bentuk komplek HLA-epitop '.:'II1Uk dikenali oleh CTL. Khana et a/., (1996) melaporkan bahwa CTL mengenali epitop LMP2A rekombinan yang berasosiasi dengan HLA-2A pada sel tumor yang ::!ellgalami gangguan regulasi protein TAP, sehingga kemungkinan isolate virus ini ::::enghindari respon imun melalui perubahan sekuen asam amino pada epitop CTL a et al., 1997). Bagian epitope gena lmp2a-epitop CTL-HLA A24 memiliki susunan asam :rmmo yaitu TYGPVFMCL. Penelitian Wiqoyah (1999) menemukan adanya perubahan sekuen epitope ini pada penderita KNF, dengan demikian tempat pengenalan tmtuk CTL-HLA A24 pada bagian epitope gena lmp2a tidak bisa dikenali, sehingga EBV bisa menghindari sistem imun dalam hal ini dari CTL. Tipe HLA-A24, HLA-A l1 dan HLA-A2 ditemukan pada penderita KNF pada populasi Asia Tenggara dan Caucasian (Rickinson et al., 1997). Penelitian pendahuluan dari kelompok EBV Australia dan Yogyakarta menunjukkan dari 9 orang, baik pada orang sehat maupun penderita KNF dari RSUP Dr.Sardjito

17 4 banyak ditemukan tipe HLA-A24 (88,9%) dibandingkan HLA-All _ dan HLA-A2 (44%). Orang Indonesia asli yang mempunyai HLA-A24 :::?'11111iki kemungkinan terhadap resiko tinggi terkena KNF (Wiqoyah 1999).. Selain EBV, faktor genetik diyakini berperan terhadap etiologi KNF. ini didasarkan dengan adanya perbedaan frekuensi di antara kelompok bangsa, an tara lain pad a populasi China memiliki frekuensi 100 kal i dibanding ::o:m:tsi Kaukasia Selain itu dijumpai adanya peningkatan risiko keluarga :e:::rlerita KNF dan masih tingginya resiko KNF emigran asal China di daerah yang Aensinya sangat rendah (Jia et al., 2004). Terkait faktor genetik, gena yang _=rigai ikut berperan dalam terjadinya KNF adalah P53 dan Murine Double =rte 2 (MDM2). P53 merupakan pengkode protein tumor suppressor P53 (TP53) yang l:aperan penting dalam pengendalian pertumbuhan sel, repair DNA, dan apoptosis. P:.:m:in p53 bekeija sebagai rem pengendali penting yang dapat menginduksi sel - berada dalam fase G 1 dan dapat memacu apoptosis setelah te.tjadi kerusakan A., baik dengan menahan pembelahan sel hingga kerusakan dapat diperbaiki dengan membuat sel bunuh diri (apoptosis) apabila kerusakan DNA tidak c.::;.at diperbaiki. Beberapa variasi genetik P53 diketahui mempunyai korelasi n teijadinya keganasan. Polimorfisme P53 kodon 72 Arg>Pro (CGC 7 CCC) ;sl042522) yang disebabkan perubahan satu basa guanine (G) menjadi cytosine yang dapat mengubah asam amino arginine (Arg) menjadi proline (Pro), telah Ctetahui berkorelasi dengan terjadinya beberapa jenis karsinoma. Beberapa studi.:::rlaporkan bahwa varian protein dari genotip Arg/ Arg menginduksi apoptosis d:rih efektif dari Pro/Pro, sebaliknya genotip Pro/Pro menginduksi fase G 1 lebih ::nggi dari Arg/Arg (Gasco eta/., 2002; Schemidt et al., 2009). MDM2 mengkode protein MDM2 yang merupakan regulator negatif dari ;63 yang berperan dalam pengaktifan p53. Studi sebelumnya mengindikasikan l:::ahwa abnormalitas ekspresi p53 berkaitan dengan protein MDM2 yang berperan g dalam stabilisasi p53 (Sun et al., 2006). Pada kondisi normal MDM2 akan

18 5 Oerik.atan secara l_angsung dengan P53 sehingga P53 menjadi target untuk degradasi ifeosomal. Bilamana ada kerusakan DNA yang diakibatkan oleh berbagai faktor uk virus, dengan aktivasi protein kinase membuat p53 yang dipegangi oleh.:dm2 terlepas dan menjadi stabil sehingga bisa mengaktifkan faktor transkripsi ;:21 dan menghentikan siklus sel dalam rangka repair DNA ataupun hila tidak bisa zbn memicu terjadinya apotosis (Sander at a!., 2008). Beberapa variasi genetik r::::jm2 diketahui mempunyai korelasi dengan terjadinya keganasan. Polimorfisme pam promoter gena mdm2 309 T>G (rs ) yang merupakan perubahan satu pada nukleotida ke 309 yang merubah thymidine (T) menjadi guanine (G), i:lerlmbungan dengan kejadian usia dini sindroma Li-Fraumeni pada kank.er. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa genotip homozigot GG akan =eningkatkan ekspresi protein MDM2 (Gasco et al., 2002; Grochola et al., 2010). Beberapa studi tentang hubungan SNP P53 kodon 72 G>C dan MDM2 309 :>G dengan KNF dan kanker daerah kepala leher antara lain penelitian Xiao et al. 2010) yang telah membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara GJOlimorfisme TP53 72Arg/Pro dan MDM2 309T>G dengan risiko KNF di populasi {:ina, dimana risiko KNF berhubungan dengan MDM2 GO (OR=2,28; 95% CI= :..os-3,96) dan TG (OR=l,49; 95% Cl=l,16-2,06) dibanding TT, TP53 Pro/Pro OR=2,22, 95% CI=l,58-3,10) dibanding Arg/Arg serta interaksi MDM2 GG dan -:F53 Pro/Pro (OR=7,75; 95% CI=3,53-17,58). Tu et al. (2008) juga telah :nengidentifikasi kombinasi polimorfisme MDM2 SNP309 GIG dan P53 kodon 72..-\rg!Arg berhubungan dengan [overall (OC) = oral squamous cell carcinoma OSCC) dan oral submucosal fibrosis (OSF)] dan disease-free survival (DFS) yang pada populasi Taiwan. Kasus KNF banyak terjadi di Indonesia dan cenderung meningkat, namun y.mg menjadi problem adalah penanganan yang sulit karena penderita datang dalam eadaan stadium lanjut, sehingga kegagalan terapi seringkali tetjadi. Disisi lain, selama ini penelitian tentang profil genetik penderita KNF di Indonesia masih sangat kurang. Penelitian ini akan menganalisis SNP P53 kodon 72 G>C dan

19 6!M2 309 T>G serta variasi sekuen LMP2A-epitop CTL-HLA A24 dari sampel ;-.h tepi dan cytobrush penderita KNF sebagai pro:fil genetik untuk menentukan risiko terjadinya KNF pada populasi di Indonesia khususnya pada populasi - Jawa. Diharapkan penentuan pro:fil genetik ini dapat digunakan sebagai salah biomarker (penanda) dalam melakukan skrining, deteksi dini dan konseling ;:cetik kepada keturunan penderita KNF serta tidak menutup kemungkinan dalam bangannya dapat digunakan dalam menentukan prognosis KNF. Selain itu :.::::gan ditemukannya gena LMP2A pada sampel darah tepi pasien KNF maupun 1=z:1g sehat sangat potensial untuk diaplikasikan pada klinik sebagai tindakan non dalam melakukan skrining terhadap resiko terjadinya KNF. IPerumusan Masalah \ Berdasarkan Jatar belakang di atas, maka permasalahan yang diajukan pada :.ecelitian ini adalah: m_ Apakah SNP P53 kodon 72 G>C dan MDM2 309 T>G merupakan salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa? - Apakah LMP2A-epitop CTL-HLA A24 dapat ditemukan pada sampel darah tepi orang sehat dan penderita KNF serta cytobrush penderita KNF pada populasi - etnis Jawa? Bagaimana variasi sekuen LMP2A -epitop CTL-HLA A24 yang dapat ditemukan pada sampel darah tepi orang sehat dan penderita KNF serta cytobrush penderita KNF pada populasi etnis Jawa? C. Tujuan Penelitian l. Mengkaji distribusi frekuensi aiel (G, C) dan genotip (GG, GC, CC) SNP P53 kodon 72 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa. 2. Mengkaji distribusi frekuensi aiel (T, G) dan genotip (TT, TG, GG) SNP MDM2 309 pasien KNF dan kon:trol pada populasi etnis Jawa.

20 7 3. Mengkaji distribusi frekuensi kombinasi genotip SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa. 4. Mengkaji SNP P53 kodon 72 sebagai salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis J awa. 5. Mengkaji SNP MDM2 309 sebagai salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa. 6. Mengkaji kombinasi genotip SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 sebagai salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa. 7. Menemukan LMP2A-epitop CTL-HLA A24 pada sampel darah tepi orang sehat dan penderita KNF serta cytobrush penderita KNF pada populasi etnis Jawa. 8. Menentukan sekuen LMP2A -epitop CTL-HLA A24 yang dapat ditemukan pada sampel darah tepi orang sehat dan penderita KNF serta cytobrush penderita KNF pada populasi etnis Jawa. D- Hipotesis I. Ada perbedaan distribusi frekuensi aiel (G, C) dan genotip (GG, GC, CC) SNP P53 kodon 72 antara pasien KNF dengan kontrol pada populasi etnis Jawa. 2. Ada perbedaan distribusi frekuensi alel (T, G) dan genotip (TT, TG, GG) SNP MDM2 309 antara pasien KNF dengan kontrol pada populasi etnis Jawa. 3. Ada perbedaan distribusi frekuensi kombinasi genotip SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 antara pasien KNF dengan kontrol pada populasi etnis Jawa. 4. SNP P53 kodon 72 merupakan salah satu faktor risiko K.NF pada populasi etnis Jawa. 5. SNP MDM2 309 merupakan salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa.

21 8 6. Kombinasi genotip SNP P53 kodon 72 dan MDM? 309 merupakan salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa. 7. LMP2A-epitop CTL-HLA A24 dapat ditemukan pada sampel darah tepi orang sehat dan penderita KNF serta cytobrush penderita KNF pada populasi etnis Jawa. 8. Terdapat variasi sekuen LMP2A-epitop CTL-HLA A24 yang dapat ditemukan pada sampel darah tepi orang sehat dan penderita KNF serta cytobrush penderita KNF pada populasi etnis Jawa. E. Metode Penelitian l. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan studi casecontrol untuk menganalisa SNP gena P53 kodon 72 G>C dan MDM2 309 T>G serta variasi sekuen LMP2A-epitop CTL-HLA A24 dari sampel darah tepi dan &ytobrush penderita KNF sebagai profil genetik w1tuk menentukan faktor risiko :eljadinya KNF pada populasi etnis Jawa. 2. Subyek Penelitian Subyek penelitian ini terdiri dari subyek kasus dan subyek kontrol. Subyek kasus adalah pasien KNF yang berobat di Bagian THT-KL RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang mempunyai sampel darah tepi dan cytobrush yang dikirim ke Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta pada lrurun waktu tertentu. Subyek kontrol adalab orang sehat (tidak menderita kanker) yang diambil darah tepinya sebagai sampel peneliti dengan ketentuan sebagai berikut: a Subyek kasus harus menenuhi kriteria inklusi antara lain laki-laki atau perempuan, pasien Bagian THT-KL RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, menderita KNF berdasarkan hasil histopatologi, dan suku Jawa, serta telah diambil darah tepi dan cytobrush yang dikirim ke Laboratorium Biomol FK UGM

22 Yogyakarta, sedangkan krit:eria eksklusinya tidak bersedia menjadi subyek penelitian. _ Subyek kontrol adalah orang sehat (non pasien kanker) yang memenuhi kriteria inklusi antara lain laki-laki atau perempuan, sehat (tidak menderita kanker), dan suku Jawa, sedangkan kriteria eksklusinya tidak bersedia menjadi subyek penelitian. c. Penentuan subyek kontrol dilakukan dengan matching dengan subyek kasus berdasarkanjenis kelamin dan umur. d Pengambilan sampel darah tepi pada kedua kelompok subyek dilakukan setelah menandatangani informed consent penelitian. Jumlah subyek penelitian ini ditentukan rumus besar sampel untuk penelitian kasus - kontroi dengan rumus sebagai berikut: (Lemeshow et al., 1997): Dimana : n 1 n2 = jumlah sam pel kasus = jumlah sampel kontrol a = 5% (level of significant 95%) p = 0,60 (SNP p53 ditemukan pada 60% penderita KNF) q = 1-p ( = 0,4) d = + 15% = 0,15 (ketelitian dari nilai p) Berdasarkan rumus di atas didapatkan jumlab n1 = n2 masing-masing 41 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah non probability sampling dengan cara purposive sampling, dimana subyek penelitian dipilih berdasarkan tuj uan penelitian. Subyek kasus merupakan pasien yang mempunyai sarnpel darah tepi dan cytobrush (berpasangan) yang dikirirn dari Bagian THT-KL RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta ke Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta selama kurun wak:tu bulan Oktober 2010 sarnpai dengan Juli dan

23 10 memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subyek kontrol (volunteer) dipilih dari nang sehat (tidak menderita kank:er) yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta dilakukan matching jenis kelamin, umur dengan subyek kasus..l. Variabel Penelitian a. Variabel bebac; adalah SNP gena P53 kodon 72 G>C dan MDM2 309 T>G. b. V ariabel terikat adalah KNF. c. Varia bel terkontrol adalah umur dan jenis kelamin, dengan melakukan mathcing antara subyek kasus dan kontrol. d. Variabel pengganggu adalah infeksi EBV, fa ktor Jlngkungan (makanan dan non makanan : konsumsi ikan yang diasinkan, asap rokok dan kayu bakar, asap dupa, uap zat kimia, debu, alkohol, infeksi kronis nasofaring).. Bahan dan Alat Penelitia n a. Bahan penelitian Bahan yang digunakan dalarn penilitian ini antara lain: darah tepi dan cytobrush dari pasien KNF Bagian THT -KL RSVP Dr. Sardjito Yogyakarta, sampel darah tepi orang sehat (tidak menderita kanker), nuclisens ly sis buffer, nuclisens automated isolation reagent (wash buffer, eluent buffer, silica), aseton, etanol 70%, H20 steril, HPLC water, platinum taq DNA polymerase (include buffer, MgCh), 10 mm dntp mix, UltraPure DNAse/RNAse, trisma base, 1 OObp DNA ladder (marker), lyophilized primer 100 nmol gena p53 dan mdm2 serta lmp2a, enzim restriksi (B stui dan MspA I), ddntp set BioChemika, GF-1 PCR Clean Up Kit, 1 OObp DNA Ladder, loading bu fer, agarose gel electrophoresis, T AE bu fer, ethidium bromide. b. Alat disposible Sp uit 3cc, tabung heparin 5ml, safelock tube 1.5 ml, non safelock tube 1.5 ml PCR tube 0.2 ml, pipet tips 10 -tl (white tips), pipet tips 200 (yellow

24 11 tips), pipet tips 1000 J.!l (blue tips), screw capped conical tube 15 ml, screw capped conical tube 50 ml, gloves ukuran M dan L, microtube rack. c. Alat penelitian Mini sentrifuse (merk : VWR, tipe : Galaxy mini, no. seri : ), - orteks mixer (merk : Thermolyne, tipe : Maxi mix II, no. seri : ), spektrofotometer RNA/DNA calculator (merk : Pharmacia Biotec tipe : Gene Quant IT, no. seri : 62644), mikropipet (IOJ.d, 200J,!l, 1 OOOJ.Ll), PCR machine Thennocycler (merk : Stratagene, tipe : Robocycler Gragient 96, no. seri : ), mupid elektroforesis (merk : Cosmo Bio, tipe : Mupid 2, no. seri : 73996), UV gel doc dan kamera digital, serta Light cycler/real time PCR (merk : Roche, tipe : Light cycler, no. seri : ). Sequencing Genetic Analyzer ABI Prism Jalannya Penelitian a Pengambilan sampel darah tepi dan cytobrush pasien KNF Sampel darah tepi dan cyobrush pasien KNF yang berpasangan diperoleh dari koleksi dari Laboratorium Biologi Molekuler FK UGM Y ogyakarta dalam bentuk sed.iaan nucliens lysis bufer yang dikirim dari Bagian TIIT-KL RS. Dr. Sardjito Yogyakarta selama bulan Oktober 2010 sampai dengan Juli Selanjutnya di cross check data pasiennya ke Bagian THT KL RS. Dr. Sardjito Y ogyakarta diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi sampel. Kemudian sampel yang memenuhi kriteria dipisahkan dari sampel lainnya hingga dilakukan isolasi DNA. b. Pengambilan sampel darah tepi subyek kontrol Calon subyek penelitian diberikan penjelasan terlebih dahulu tentang tujuan penelitian dan prosedur pengambilan sampel darah tepi. Bila calon subyek penelitian bersedia menjadi subyek penelitian diminta untuk mengisi kuesioner dan menandatangani informed consent. Darah diambil dari vena mediana cubiti sebanyak 3 ml dengan spuit 3cc dan dimasukkan ke dalam

25 12 :iliung heparin 5ml. Selanjutnya sampel darah disimpan dalam sediaan nucliens. buffe r hingga dilakukan isolasi DNA. Isolasi DNA dari darah tepi Metode isolasi DNA dari sampel darah tepi dan cytobrush yang gunakan adalah metode Boom (metode isolasi DNA yang rutin digunakan '::IItuk sampel darah tepi dan cytobrush pasien KNF di Laboratorium Biologi lelruler Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta). Adapun langkah ahnya adalah sebagai berikut: sampel darah tepi dan cytobrush yang telah :zrsimpan dalam sediaan nuclsens lysis buffer sebanyak 1 ml dilisiskan dengan dvorteks. Selanjutnya ditambahkan silica sebanyak 50j.ll untuk darah tepi dan 'JJll untuk cytobrush, dan diinkubasi pada suhu 56 C selama 15 menit sambil di rteks untuk menjaga silica dalam bentuk tercampur. Kemudian disentrifuse sdarna 10 detik dengan kecepatan rpm dan supernatan dibuang (berisi OdiCN). Selanjutnya silica pellet dicampur dengan menambahkan I m1 wash bjfer dan divorteks, kemudian disentrifuse selama 10 detik dengan kecepatan ;..000 rpm lalu supernatan dibuang (berisi GuHCN), dan diulangi sekali lagi bngkah tersebut. Selanjutnya silica dicampur dengan menambahkan I ml etanol % dan divorteks, kemudian disentrifuse selama 10 detik dengan kecepatan "t.ooo rpm lalu supernatan dibuang (berisi etanol), dan diulangi sebanyak dua langkah tersebut. Tahap pencucian terakhir dengan menambahkan 1 ml eseton pada silica dan divorteks. Kemudian sentrifuse selama 1 0 detik dengan :!:f:cepatan I4.000 rpm lalu supernatan dibuang (berisi aseton). Selanjutnya clica dikeringkan pada heat block dengan suhu 56 C selama 10 menit (tube dbuka). Kemudian ditambahkan 100 J.d eluent buffer dan di vorteks, kemudian _ inkubasi pada suhu 56 C selama 20 menit sambil di divorteks (tiap 2 menit). Setelah itu disentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan rpm, kemudian atant diambil (mengandung DNA/RNA). Sebelum menggunakan DXAIRNA selalu disentrifuse kembali selama 3 menit. Selanjunya DNA tsirnpan dalam suhu -80 C.

26 13 d. Pengukuran konsentrasi DNA DNA yang telah diisolasi selanjutnya diukur konsentrasinya dengan menggunakan spektrofotometer. Adapun langkah-langkahnya adalah spektrofotometer dihidupkan, kemudian dicek parameter pengukuran antara lain msio DNA (SOx) dan pengenceran (1 :50). Selanjutnya supernatant (mengandung DNA) diencerkan dengan HPLC water sehingga volume akhir 100 (supernatant 2 dan HPLC water 98 1). Kuvet spektrofotometer dicuci dengan HPLC water, lalu kuvet spektrofotometer diisi dengan HPLC water sebanyak IOOJ.ll dan diatur sebagai blanko/standar (nilai 0). Kuvet spektrofotometer dicuci kembali dengan HPLC water. Sampel DNA yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam kuvet spektrofotometer sebanyak 100 J.ll. Sampel diukur satu per satu dan nilai-nilai ukur dicatat (absorbansi, rasio, konsentrasi dan protein). Jika telah selesai, kuvet dicuci kembali dengan HP LC water. e. Mengecek keberadaan dan integritas DNA Setelah sampel DNA diukur konsentrasinya, selanjutnya dicek keberadaan dan integritasnya dengan cara mengelektroforesis dalam agarose gel. Adapun langkah-langkahnya adalah membuat larutan agarose gel 2% dengan volume 20ml yang mengandung ethidium bromide 2,5%. Serbuk agarose ditimbang sebanyak 0,4gr dan dilarutkan pada 20 ml TAE buffer 0,5x dalam tabung enlemeyer dengan cara digoyang pelan-pelan. Selanjutnya dimasukkan ke dalam microwave selama 1 menit hingga tampak mendidih (muncul gelembung). Kemudian agarose gel dituangkan dalam cetakan yang telah disiapkan, selanjutnya ditambahkan ethidium bromide 0,5J.ll dan goyanggoyang hingga tercampur (jangan sampai bergelembung). Selanjutnya ditunggu selama 30 menit hingga membeku. Sambil menunggu agarose gel membeku, disiapkan campuran 5 J.ll DNA sampel dan 2 J.ll loading bu./for pada parafilm. Selanjutnya cetakan sumuran agarose gel diangkat dan dimasukkan pada alat elektroforesis. Campuran DNA dan loading buffer dimasukkan kedalam

27 14 sumuran agarose gel dan dielektroforesis selama 30 menit pada tegangan 100 volt. Hasil elektroforesis diamati dalam UV spektrofotometer dan hasilnya direkam dengan kemera digital f. Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) 1) PCR-RFLP SNP P53 kodon 72 Primer yang digunakan adalah fo rward 5' -gac cca ggt cca gat gaa gct-3' dan reverse 5'-acc gta get gee ctg gta ggt-3' (Sansone et a!., 2007). PCR dilakukan dengan mereaksikan reagen: primer F' dan R' 1 Opmol, Taq DNA polymerase (loxbuffer, 5mM MgCh), lomm dntp mix, template DNA 1 OOflg/ml dan Taq DNA polymerase 0,5U dalam total volume reaksi 25fll. Kemudian hasil reaksi dimasukkan ke dalam mesin PCR dan program dijalankan dengan pre-denaturasi 94 C 5 menit, diikuti dengan denaturasi 94 C 30 detik, annealing 66 C 30 detik, extension 72 C 30 detik, final extension 72 C 5 menit, 4 C -, dengan siklus PCR sebanyak. 40 kali. Selanjutnya produk PCR di elektroforesis pada gel agarose 2% selama 30 menit untuk mengetahui hasil amplifikasi gena tersebut. Produk PCR gena P53 akan menghasilkan pita DNA yang berada pada loobp - 200bp (156 bp). Sebanyak 20 Ill produk PCR kemudian didigesti/dipotong dengan enzim BstUI (Fermentas) dan diinkubasi pada suhu 37 C selama ± 16 jam. Selanjutnya produk digesti dielektroforesis dalam gel agarose 3% selama 25 menit. Enzim BstUI akan memotong dengan sisi pemotongan 5'-GG!GG- 3'. Digesti akan menghasilkan varian homozigot GG (wild type) diidentifikasi dengan adanya satu pita (156 bp), varian heterozigot mutan GC yang diidentifikasi dengan adanya tiga pita (156 bp, 109 bp dan 47 bp) dan homozigot mutan CC diidentifikasi dengan adanya dua pita (109 bp dan 47 bp).

28 15 2) PCR-RFLP MDM2 (309 T>G) Primer yang digunak:an adalah forward 5' c ggg agt tea ggg taa ag-3' dan reverse 5'-ctg agt eaa cet gee cac tg-3' (Stoehr et a/., 2008). PCR dilakukan dengan mereaksikan reagen: primer F' dan R' 1 Opmol, Taq DNA polymerase (10xbuffer, 5mM MgCh), 10mM dntp mix, template DNA loojlg/ml dan Taq DNA polymerase 0,5U dalam total volume reaksi 25f.Ll. Kemudian hasil reaksi dimasukkan ke dalam mesin PCR dan program dijalankan dengan pre-denaturasi 94 C 5 menit, diikuti dengan denaturasi 94 C 30 detik, annealing 60 C 30 detik, extension 72 C 30 detik, final extension 72 C 5 menit, 4 C -, dengan siklus PCR sebanyak 40 kali. Selanjutnya produk PCR di elektroforesis pada gel agarose 2% selama 30 menit untuk mengetahui basil amplifikasi gena tersebut. Produk PCR gena MDM2 akan menghasilkan pita DNA yang berada pada 100bp - 200bp (157 bp). Sebanyak 20 f.ll produk PCR kemudian didigesti/dipotong dengan enzim MspAJI (Promega) dan diinkubasi pada suhu 37 C selama ± 16 jam. Selanjutnya produk digesti dielektroforesis dalam gel agarose 3% selama 25 menit. Enzim MspAn akan memotong dengan sisi pemotongan 5' C(A/C)GLC(T/C)G-3'. Digesti akan mengasilkan varian homozygot IT (wild type) akan teridenf1kasi dengan adanya satu pita (157 bp), varian heterozigot mutan TG akan terlihat dengan adanya tiga pita yang berukuran 157 bp, 106 bp dan 51 bp dan homozigot mutan GG akan terlihat dengan adanya dua buah pita 106 bp dan 51 bp. 3) PCR LMP2A-epitop CTL-HLA A24 Primer yang digunakan adalahforward 5'-cat tct tgt tat cet gac cg- 3' dan reverse 5'-ctc etc act tte cag tgt aag g-3' (Wikoyah, 1999). PCR dilakukan dengan mereaksikan reagen: primer F' dan R' lopmol, Taq DNA polymerase (loxbuffer, 5mM MgCh), lomm dntp mix, template DNA 1 OOf.Lg/ml dan Taq DNA polymerase 0,5U dalam total volume reatcsi 25f.ll.

29 16 Kemudian basil reaksi dimasukkan ke dalam mesin PCR dan program dijalankan dengan pre-denaturasi 95 C 5 menit, diikuti dengan denaturasi 94 C 1 menit, annealing 56 C 50 detik, extension 72 C 1 menit, final extension 72 C 5 menit, 4 C -, dengan siklus PCR sebanyak 35 kali. Selanjutnya produk PCR di e1ek:troforesis pada gel agarose 2% selama 25 menit untuk mengetahui basil ampliflkasi gena tersebut. Produk PCR LMP2A -epitop CTL-HLA A24 akan menghasilkan pita DNA yang berada pada 300bp - 400bp (324 bp). 4) Sekuensing Susunan Basa yang mengkode asam amino TYGPVFMCL Hasil PCR yang menunjukkan adanya pita akan dilakukan sekuensing untuk melihat variasi sekuen basa yang mengkode epitop LMP2A yang berikatan dengan CTL-HLA A24. Sekuensing meliputi purifikasi, cycle sequencing dan presipitasi. Purifikasi, langkah-langkahnya adalah sebagai berikut : produk PCR diambil semuanya (20!-11), pindahkan ke safelock lain, ditambahkan buffer PB dengan perbandingan volume produk PCR I : 5 volume buffer PB. Kemudian divortex, dipindahkan ke spin column 2ml dan disentrifus selama 1 menit. Selanjutnya diambahkan buffer PE 0.75J.d dan disentrifus 1 menit, supematan dibuang dalam spin column dan disentrifus kembali selama 1 menit. Setelah itu dipindahkan ke dalam safelock lain dan diberi dilusi/pelarut buffer EB 25!-11 kemudian disentrifus selama 1 menit. Hasil purifikasi bisa disirnpan dalam -20 C, bisa dapat langsung digunakan untuk cycle sequencing ataupun dilakukan cek integritas. Cycle Sequencing, dibuat mix : buffer seq 3.5f.1l, Biq Dye Seq 1.5J!l, primer 1 Opmol masing-masing forward-reverse lfll, H20 13fll dan produk 1 J.d semua total keseluruhan volume Setelah mix selesai di forteks dan dispin kemudian dimasukkan kedalam mesin PCR-PE dengan program 95 C selama 3 detik, dilanjutkan siklus 25x dengan suhu 95 C selama 30detik, 45 C selama 5 detik dan 60 C selama 4 menit, suhu pendinginan 4 C -.

30 17 Presipitasi, sampel post cyce sequencing dispin kemudian siapkan 2 safe lock untuk masing-masingforward-reverse. Buat mix l41j.l H20, 2!ll 3M sodium asetat ph 5,3 dan etanol absolut. Mix tersebut dicampurkan ke dalam produk (201J.l) dan diforteks kemudian di inkubasi dalam es selama 10 menit. Setelah itu disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan rpm dengan suhu 4 C. Supematan dibuang dan pellet dicuci dengan 2501J.l etanol 70% disentrifus lagi selama 5 menit dengan kecepatan rpm dengan suhu 4 C. Supematan yang terbentuk diambil secara hati-hati dan dibuang, jangan sampai terkena pellet. Keringkan tube selama 2-3 jam atau hila menggunakan mesin PE bisa selama 30 menit pada suhu 60 C. Sekuensing, terlebih dahulu alat sekuensing dikalibrasi, dibuat pengaturan suhu dan buat sample sheet untuk gen lmp2a masing-masing forward dan reverse. Preparasi sampel yang akan disekuensing : mesin PCR (PE 9600) disiapkan untuk denaturasi, disiapkan juga formamide sebagai pelarut pellet basil presipitasi, siapkan cold block. Setelah semua siap ls!j.l formamide dimasukkan kedalam tube yang berisi pellet yang telah dikeringkan, pipeting sampai benar-benar larut. Pindahkan pellet yang sudah dilarutkan kedalam tube PCR 0.2J.Ll dan ditutup dengan karet tube serta aluminium foil. Denatu.rasi sampel pada mesin PE dengan suhu 95 C selama 3 menit, setelah diangkat langsung letakkan dalam cold block minimal 3 menit. Selanjutnya produk dimasukkan ke dalam mesin sekuensing yang sudah disiapkan, diletakkan di bagian belakang paling kanan dan sekuensing di jalankan. Hasil elektrogram dan susunan basa sekuensing gena lmp2a akan dialignment menggunak:an software bioedit untuk mencari variasi sekuen LMP2A -epitop CTL-HLA A Analisis Basil a Deskriptif berupa frekuensi dan prosentase yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

31 18 b. Chi-square test (X2) untuk menguji matching distribu i jenis kelamin subyek penelitian dan Independent t-test untuk menguji matching umur subyek penelitian hila berdistribusi normal dan Mann-whitney test berdistribusi normal (kelompok kasus dan kontrol). hila tidak c. Chi-square test (X2) untuk menguji perbedaan frekuensi genotip d. Odds Rasio (OR) untuk mengestimasi besarnya risiko terjadinya KNF. e. Hasil statistik dinyatakan bermakna hila p-value < 0, Pertimbangan Etik Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan kelaikan etik (ethical clearance) dari Komisi Etik Penelitian Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada dengan nomor : KE/FK/272/EC tanggal 18 Mei F. Basil Penelitian 1. Karakteristik subyek penelitian Penelitian ini diawali dengan mengidentifikasi sampel darah tepi dan cytobrush (berpasangan) pasien KNF Bagian 1HT -KL RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang telah dikirim ke Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta periode Oktober 2010 sampai dengan Juli Selanjutnya dicocokkan dengan data karateristik pasien di Bagian THT-KL RSUP Dr. Sarjito Y ogyakarta dan dilengkapi dengan data etnis pasien. Pasien KNF yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dijadikan sebagai subyek kasus. Subyek kontrol adalah volunteer atau orang sehat (non pasien kanker) yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang dipilih dengan melakukan matching!lerdasarkan jenis kelamin dan urnur dengan subyek kasus. Selanjutnya diambil darahnya sebanyak 3 cc setelah mengisi kuesioner dan menandatangani informed consent.

32 19 Subyek penelitian ini sebanyak 82 yang terdiri dari 41 pasien KNF sebagai kasus dan 41 volunteer (non pasien KNF) sebagai kontrol. Karakteristik subyek. penelitian sebagimana ditunjukkan pada Tabel la berikut ini: Tabel la. Karakteristik subyek penelitian pasien KNF dan kontrol Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Umur (th) Stadium TNM I II III IV 30 (73,2%) 25 (61,0%) 11 (26,8%). 16 (39,0%) 48,76 ± 15,29.. ::.->::A6Ai_;: 13,83 1 (2,4%) 2 (4,9%) 7 (17,1%) 31 (75,6%) 0,24 Karakteristik kelompok subyek yang diteliti (pasien KNF dan kontrol)!llenunjukkan prosentase jenis kelamin dan rata-rata umur yang tidak berbeda sign.ifikan (p-value = 0,24 dan 0,47). Stadium TNM pasien terbanyak adalah s1adium IV sejumlah 31 (75,6%) dan hanya 1 (2,4%) pasien yang menderita KNF stadium I. Jenis kelamin, umur dan suku (Jawa) merupakan karakteristik subyek?c=delitian yang dikendalikan dalam penelitian ini dengan melakukan matching :::ntara kelompok pasien KNF dan kontrol. Hasil uj i statistik prosentase jenis ielamin dan rata-rata umur menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan (p-value = J,24 dan 0,47), serta suku yang sama (Jawa) pada kedua kelompok dapat disimpulkan bahwa variabel jenis kelamin, umur dan suku telah dapat dikendalikan sebagaimana yang diharapkan dalam penelitian ini. 2. Genotiping SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 Sebanyak 82 sampel darah tepi yang diisolasi DNA dan diamplifikasi P53.:an MDM2, sebanyak 41 sampel darah tepi kasus berhasil hingga didigesti sedangkan sampel darah tepi kontrol sebanyak 1 sampel tidak berhasil didigesti

33 20 ip MDM2 karena hasil amplifikasinya negatif, yaitu SClJ!lpel K-36. Genotiping l"p P53 kodon 72 dan MDM2 309 ditunjukkan dalam Gambar I a dan lb. M bp 109bp G!:::nbar 1a. Hasil elektroforesis menggunakan 3% agarose gel pada PCR-RFLP SNP P53 kodon 72 menggunakan enzim BstUI (Fermentas). M adalah marker 100 bp (Vivantis). Nomor di panel atas gambar adalah nomor sampel (1-9). Panel dikanan gambar adalah produk PCR-RFLP, dimana produk yang tidak terpotong oleh enzim sebesar 156 bp, sedangkan yang terpotong adalah 109 bp dan 47 bp (tidak tervisualisasi karena berhimpit dengan primer dimer). M bo 106bp G!mbar lb. Hasil elektroforesis menggunakan 3% agarose gel pada PCR-RFLP SNP MDM2 309 menggunakan enzim MspAll (Promega). M adalah marker 100 bp (Vivantis ). Nomor di panel atas gambar adalah nomor sampel (1-9). Panel dikanan gambar adalah produk PCR-RFLP, dirnana produk yang tidak terpotong oleh enzim sebesar 157 bp, sedangkan yang terpotong adalah 106 bp dan 51 bp (tidak tervisualisasi karena berhimpit dengan primer dimer). Distribusi frekuensi aiel dan genotip SNP P53 kodon 72 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa Distribusi frekuensi aiel (G, C) dan genotip (GO, GC, CC) SNP P53 kodon -: pada subyek penelitian ditunjukkan pada Tabel 1 dan Gambar 2 s/d 4 berikut ini:

34 Tabel lb. Distribusi frekuensi aiel dan genotip SNP P53 ko4on 72 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa (50%) 41 (50%) <:: J:., :t ": ;: :_:- :,{' z:.:.,..{, :: -:; X -:... 0,12 5 (12,2%) 36 (87,8%) 13 (31,7%) 28 (68,3%) 0,03* Distribusi frekuensi aiel G SNP P53 kodon 72 lebih banyak pada kelompok iniltrol sebanyak 41 (5-0%), sebaliknya aiel C lebih banyak pada pasien KNF 2flanyak 51 (62,2%). Distribusi frekuensi genotip GG SNP P53 kodon 72 banyak pada kelompok kontrol, sebaiiknya genotip GC dan CC lebih banyak pasien K.NF. Bila dikelompokkan daiam genotip dominan, maka genotip -cc ::.:..: juga lebih banyak pada kelompok pasien K.NF. Hasil uji statistik dengan -:5-Square test menunjukkan bahwa distribusi frekuensi aiel, genotip SNP P53 72 pada pasien KNF dan kontrol tidak berbeda signifikan (p-va/ue = 0,12-0,10), namun hila dikelompokkan dalam distribusi :frekuensi genotip dominan ----:pat perbedaan yang signifikan (p-va/ue = 0,03). Hasil perhitungan gan Hardy-Weinberg pada kedua kelompok subyek penelitian diperoleh P hitung = 0,339 (lebih kecil dari X2 tabej), sehingga dapat disimpulkan telah ::c:::amhi keseimbangan Hardy-Weinberg.

35 , :1 c 41., 0... a G Aiel c Gambar 2. Grafik distribusi frekuensi ajef SNP P53 kodon 72 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa [ 0100., :! c SNP PS3 Kodon 72 I _ Pasien KNF 0 viiiij-111-iib Kontrol GG GC CC Genotip Gmlbar 3. Grafik distribusi frekuensi genotip SNP P53 kodon 72 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa SNP P53 Kodon 72 Pasien KNF GG GC+CC Kontrol Genotip Dominan 4. Grafik distribusi frekuensi genotip dominan SNP P53 kodon 72 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa Grafik-grafik diatas menunjukkan perbedaan prosentase distribusi aiel (G, ;=enotip (GG, GC, CC) dan genotip dominan (GG, GC+CC) SNP P53 kodon 72 pasien KNF dan kontrol (Gambar 2 s/d 4) pada poputasi etnis Jawa.

36 4. Distribusi frekuensi aiel dan genotip SNP MDM2 309 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa Distribusi frekuensi aiel (T, G) dan genotip (IT, TG, GG) SNP MDM2 309 pada subyek penelitian ditunjukkan pada Tabel 2 dan Gambar 5 s/d 7 berikut ini: Tabel 2. Distribusi frekuensi aiel dan genotip SNP MDM2 309 pasien KNF dan kontrol pada populasi etn.is Jawa 23 Genotip Dominan TT TG +GG 14 (34,1%) 27 (6 5,9%) 23 (57,5%) 17 (42,5%) 0,04* Distribusi frekuensi aiel T SNP MDM2 309 lebih banyak pada kelompok kontrol sebanyak 60 (75%), sebaiiknya aiel G lebih banyak pada pasien KNF sebanyak 30 (36,6%). Distribusi genotip TT SNP MDM2 309 lebih banyak pada kelompok kontrol, sebaliknya genotip TG lebih banyak pada pasien KNF dibanding, sedangkan distribusi frekuensi genotip GG hampir sama antara dua kelompok. Bila dikelompokkan dalam genotip dominan, maka genotip TG + GG lebih banyak pada kelompok pasien KNF, dibanding kontrol. Hasil uj i statistik dengan Chi-Square test menunjukkan bahwa distribusi frekuensi aiel dan genotip SNP MDM2 309 pada pasien KNF dan kontrol tidak berbeda signifikan (p-value = 0,11 dan 0,11 ), namun hila dikelompokkan menjadi dominan mempunyai distribusi frekuensi yang berbeda signifikan (p-value = 0.04). Hasil perhitungan keseimbangan Hardy-Weinberg pada kedua kelompok subyek penelitian diperoleh nilai )(2 hitung = l,610 (lebih kecil dari )(2 tabej), sehingga dapat disimpulkan telah memenuhi keseimbangan Hardy-Weinberg.

37 --- ; SNP MDM2 309 IIJ.. c QJ "' 100 so 0 T G Pasien KNF Kontrol,I Aiel ') Jr fij Gambar 5. Grafik distribusi frekuensj aiel SNP MDM2 309 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa SNP MDM2 309 Pasien KNF TT TG GG Kontrol Genotlp Gambar 6. Grafik distribusi frekuensi genotip SNP MDM2 309 pasien KNF dan kontroj pada populasi etnis Jawa SNP MDM2 309 Pasien KNF Kontrol Gambar 7. Grafik distribusi frekuensi genotip dominan SNP MDM2 309 pasien KNF dan kontrol pada populasj.etnis Jawa Grafik-grafik diatas menunjukkan perbedaan prosentase distribusi aiel (T, G), genotip (TT, TG, GG) dan genotip dominan (TT, TG + GG) SNP MDM2 309 antara pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa (Gambar 5 sld 7).

38 5. Distribusi frekuensi kombinasi genotip SNP P53 kodon. 72 dan MDM2 309 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa Distribusi frekuensi kombinasi genotip SNP P53 kodon 72 (GG, GC, CC) dan MDM2 309 (TT, TG, GG) pada subyek penelitian ditunjukkan pada Tabel 3 dan Gambar 8 berikut ini: SNP P53 kodon 72 dan MDM2 1 (2,4%) 3 (7,3%),.,,....,t, (?.? 4ro>... (5 0%).... ' :,,, <;. 9 '(22' /o). ::, ;, 9" (22t()C>A,)<i <'< ', :; o-.zg:;<. : :;;'t cc. TT TG GG! r N2 :1 t,z i: t f ":i < 4 (9,8%) 5 (12,5%) 9 (22,0%) 7 (17,5%) 1 (2,4%) 0 (0,0%) Perbedaan distribusi frekuensi kombinasi genotip SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 yang cukup tinggi pada pasien KNF dan kontrol adalah GG-IT yaitu 1 (2,4%) dan 8 (20,00/o), GC-TG yaitu 12 (29,3%) dan 6 (15,0%), GC-TG yaitu 11 (26,8%) dan 6 (1 5,0%) serta kombinasi genotip CC-TG yaitu 9 (22,0%) dan 7 (17,5%), sedangkan kombinasi genotip lainnya hampir sama Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa secara keseluruhan distribusi frekuensi kombinasi genotip SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa tidak berbeda signifikan (p-value = 0,23).

39 Kombinasi SNP P53 Kodon 72 dan MDM2 309! ' ' li b 30 Ql 25 :; c: Q (d.<:- &"'6 _6 6 (;-<:-, 6,. 6 (;-<:-,. 6,. 6 G G 6 (:) G 6"' 6"' C C."' (;"' Kombinasi Genotip Pasien KNF / Kontrol - ) 1 I Gambar 8. Grafik distribusi frekuensi kombinasi genotip SNP P53 kodon 72 dan _MD.M2 309 pasien KNF dan kontroj pada popujasi etnis Jawa Gam bar 8 menunju kkan bahwa kombinasi genotip GC-TG, GC-GG, CC TG dan CC-GG Jebih banyak pada pasien KNF, sebaliknya kombinasi genotip GG IT, GG-TG, GG-GG, GC-TT, dan CC-TT lebih ban yak pada subyek kontrof dibanding pasien KNF. 6. SNP P53 kodon 72 sebagai salah satu fa ktor risiko KNF pada popujasi etnis Jawa Hasil analisa Odds Rasio (OR) menunjukkan bahwa a1el G, genotip (GC dan CC) SNP P53 kodon 72 bukan merupakan salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa (p-value > 0,05). Namun bila dikefompokk.an dafam _genotip dominan, maka genotip GC + CC) merupakan salah satu faktor risiko terjadinya KNF pada populasi etnis Jawa (OR= 3.34, 95% Cl=J dengan p-value = 0.03), artinya individu dengan genotip GC atau CC mempunyai resiko 3.34 kali :Cbih besar untuk terkena KNF dibanding individu dengan genotip GG. Nilai OR.secara lengkap ditunjukkan pada Tabel 4.

40 Tabel4. Aiel dan genotip SNP P53 kodon 72 sebagai salah satu fak tor risiko KNF pada populasi etnis Jawa '="'="",..,.,...,...,.. 27 Aiel G c t!' 1:.. Gc Genotip Dominan GG GC +CC 5. 2 ) ,00 (referensi) 28 0,03* 3,34 (1,07-10,49) 7. SNP MDM2 309 sebagai salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jaw a Hasil analisa Odds Rasio (OR) menunjukkan bahwa alel T, genotip (TG dan GG) SNP MDM2 309 bukan merupakan salah satu fa ktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa (p-value > 0,05). Namun hila dikelompokkan dalam genotip dominan, maka genotip TG + GG) merupakan salah satu faktor risiko terjadinya KNF pada populasi etnis Jawa (OR= 2.61, 95% CI=l denganp-va/ue = 0.04), artinya individu dengan genotip TG atau GG mempunyai resiko 2.61 kali lebih besar untuk terkena KNF dibanding dengan individu dengan genotip TT. Nilai OR secara lengkap ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Aiel dan genotip SNP MDM2 309 sebagai salah satu risiko KNF pada l e nu sh Uc = w a Ale I T G Jen otip ,00 (referensi) 0,11 1,73 (0,88-3,41). Genotip Dominan TT TG +GG ,04* i f0:)iki: - l oo te/ ens i 1 '7 ;:!}:JjY2, '6-3',((1 iffi ;,6 : :'64'- ) ;e;:. -.--:: rgt. _; ; 3 -. <.2,46' (0 7JJ,6 2) 1,00 (referensi) 2,61 (1,06-6,42)

41 28 8. Kombinasi genotip SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 sebagai salah satu fak.tor risiko KNF pada populasi etnis Jawa Hasil analisa Odds Rasio (OR) interaksi SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 yang dibagi dalam tiga kelompok menunjukkan bahwa keseluruhan kombinasi genotip kedua SNP gena tersebut bukan merupakan faktor risiko terjadinya KNF pada populasi etnis Jawa (p-va/ue > 0,05). Nilai OR secara lengkap ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Kombinasi genotip SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 sebagai faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa cc TT TG GG ,00 (referensi) 0,25 8,00 (0, ,27) 4,00 (0,17-95, 76) 1,00 (referensi) 0,55 1,61 (0,3 1-8,32) 2,0E+09 (0,00-.)**... 3 ";'&ii ilij t 9. Amplifikasi LMP2A dari sampel darah tepi dan cytobrush a. Ampliflkasi LMP2A dari sampel darah tepi penderita KNF Sampel darah tepi penderita KNF sebanyak 32 sampel di amplillkasi sesuai dengan basil optimasi PCR sebelumnya dan diperoleh hasil seperti tampak pada Gambar 9.

42 29 320bp (a) (b)!!!t :-o --. ;.t. -< ' :>1 t J.,I ;:! r,.,;. 0.''' - -R _,;- 3 0,:..e.J Actin loobp Gambar 9. (a) Hasil elektroforesis PCR LMP2A pada sampel darah tepi penderita KNF menggunakan gel agarose 2%. M adalah marker 1 OObp Vivantis, K + adalah kontrol positif, nomor di panel atas gambar adalah nomor sampel (1-15). Panel dikanan gambar adalah besar produk gen LMP2A yaitu 320bp, yang ditunjukkan oleh anak panah. Tampak tidak ada fragmen DNA yang teramplifikasi. (b) PCR gena actin sebagai kontrol ge teramplifi.kasi pada semua sampel darah tepi penderita KNF. Yang ditunjukan oleh kepala panah adalah salah satu sampel yang fragmen DNA teramplifikasi tip is Tampak muncul pita DNA hanya pada kontrol positif, sedangkan untuk sampel darah tepi penderita KNF tidak terdapat pita DNA. Sebagai kontrol, gen actin teramplifikasi dengan baik. Hal ini menunjukkan tidak ada, sangat sedikit atau tidak terambil EBV pada pengambilan sampel darah tepi pasien. Untuk sampel darah tepi yang gen actinnya teramplifikasi tipis, menunjukkan kualitas DNA sampel ini kurang baik dibandingkan dengan sampel lainnya b. Amplifikasi LMP2A dari sampel cytobrush penderita KNF Sampel cytobrush penderita KNF sebanyak 32 sampel diamplifikasi sesuai optimasi PCR sebelumnya, Gambar 6 adalah basil PCR sebagian sampel cytobrush.

43 30 (a) 320bo (b) Gam bar Actin 100bp 10. (a) Hasil elektroforesis PCR LMP2A pada sampel cytobrush penderita KNF Menggunakan gel agarose 2%, M adalah marker 100bp Vivantis, K+ adalah kontrol positif, K- adalah kontrol negatif, nomor di panel atas gambar adalah nomor sampel (1-12). Panel dikanan gambar adalah besar produk LMP2A yaitu 320bp. Tampak hampir semua sampel bisa teramplifikasi. Sampel yang ditunjukan oleh anak panah pada nomor 6 (sampel 11-01) tidak teramplifikasi fragmen DNA. (b) Hasil elektroforesis PCR gen actin sebagai kontrol gen, teramplifikasi pada semua sampel cytobrush, termasuk sampel 4 yang ditunjukan oleh kepala panah (sampel 11-01) Tampak pita DNA muncul pada kontrol positif dan sebagian besar sampel cytobrush dengan ketebalan yang bervariasi. Untuk sampel 11-0 I B pada PCR LMP2A tidak teramplifikasi, sedangkan PCR actin pada sampel tersebut bisa. Ini menunjukkan bahwa kemungkinan sedikit ataupun tidak terdapat EBV pada sampel 11-01B sehingga tidak teramplifikasi LMP2A. Demikian pula halnya pada sampel 10-90B, B, 11-BB, 11-14B dan 11-ISB tidak ditemukan adanya LMP 2A sedangkan kontrol gen actin bisa teramplifikasi untuk hasil PCR sampel lainnya dapat dilihat dalam lampiran. c. Amplifikasi LMP2A dari sampel darah tepi kontrol Sampel darah tepi kontrol sebanyak 32 sampel diamplifikasi menggunakan optimasi PCR sebelumnya dan diperoleh hasil sebagai berikut :

44 31 320bp (a) '.... :: - : 1:. }_; --:1 -:.. '.. Actin IOObp Gambar 11. (a) Hasil elektroforesis PCR LMP2A pada sampel darah tepi Kontrol, menggunakan gel agarose 2%. M adalah marker 1 OObp Vivantis, K + adalah kontrol positif, nomor di panel atas gam bar adalah nomor sampel (1-15). Panel dikanan gambar adalah besar produk LMP2A yaitu 320bp. Tampak tidak ada fragmen DNA yang teramplifikasi. (b) Hasil PCR gen actin sebagai kontrol gen, teramplifikasi pada semua sampel darah tepi Kontrol Tampak pita DNA hanya pada kontrol positif dan tidak ditemukan adanya pita DNA pada sampel. Kontrol gen actin teramplifikasi pada semua sampel, hal ini membuktikan kualitas sampel DNA kontrol baik dan tidak terdapat gen Lmp2a pada sampel darah tepi kontrol. Untuk basil PCR sampel kontrol lainnya dapat dilihat pada lampiran. 10. Deteksi LMP2A-epitop CTL-HLA-A24 pada kelompok kasus penderita KNF dan kelompok kontrol Frekuensi ditemukannya LMP2A-epitop CTL-HLA-A24 pada sampel cytobrush penderita KNF adalah 35 sampel (85,37%), sedangkan pada sampel darah tepi penderita KNF tidak ditemukan begitu juga dengan sampel darah tepi kelompok Kontrol tidak ditemukan LMP2A (Tabel 7). Tabel 7. Hasil deteksi LMP2A epitop CTL-HLA-A24 pada kelompok kasus penderita KNF dan kelompok control *Chi-squared test ** tidak b is a diana/isa secara statistik

45 Analisa Variasi Sekuen LMP2A dari basil Sekuensing sampel Cytobrush Dari 41 sampel cytobrush yang bisa teramplifikasi LMP2A sebanyak 35 sampel dan yang bisa dianalisa secara jelas menggunakan sekuensing adalah 16 sampel. Berdasarkan hasil sekuensing pada 16 sampel cytobrush, selain ditemukan adanya perubahan sekuen gen/variasi dibandingkan dengan wildtype (Gen Bank AJ ), juga ditemukan adanya epitope selain CTL-HLA-A24 yaitu CTL-HLA A2, sehingga dianalisa keseluruhan hasil sekuensing tersebut. Tampak variasi pada Gambar 12 dibawah ini : 10 )) Jl 4l jj Q) ' ) 7CJ.TTCTTG C7 "CCTG CC G TGGGG!>f GTGG,.f G C 7 C GGT CCCGTTT7T ig" CCCT CGGCGGCCTGCfC CC TGGfcGCCGGCGC!u t t t t OJ Jill IJD l3l log!» Jal 113 1!11 1!1i D GTGTGGCTG CGGTG TG CT C.C GCTTTTG7 CTGCCTGG.TT CT:-Cf.GC. GG.HCCTG.TTTT CCTCt TTGGT!.A iitgtgic, cc C'. GGTGTi Gt t D 21D 1Jl 2Jl W Ill ZJ1J lll lw. GC CTTGi HTGT C,C T GTTC TG.;C AC,TG"C7hC, TOGGiTTGGC Ti TTOT "OGC TTTOCC CTCTTTGGOGi C A Ti AOATOCiO:: :1 G C N li'!n Gambar 12. Hasil Sekuensing LMP2A dan variasi sekuen gen yang ditemuk.an, yaitu panah 1 : perubahan dari GGC > GGA, panah 2 : perubaban.dari CCA > CCC, panah 3 : perubahan dari TGC > TCC, panah 4 perubahan dari GGT > GGC, panah 5: perubahan dari TCT > ACT Hasil analisa sekuen LMP2A ditemukan 5 variasi nukleotida yaitu perubahan urutan basa GGC menjadi GGA (C A posisi 1350, GenBank AJ ) ak.an tetapi asam amino yang disandi tetap tidak berubah yaitu glisin (Gambar 12 panah 1), perubahan urutan basa CCA menjadi CCC (A7C posisi 1374, GenBank AJ

46 ) yang juga tidak merubah asam amino yang disandi yaitu prolin (Gambar 12 panah 2), perubahan urutan basa TGC menjadi TCC (Gambar 12 panah 3) dimana asam amino yang disandi berubah dari sistein menjadi serin (G-7C posisi 1374, Genbank AJ ), perubahan urutan basa GGT menjadi GGC (T-7C posisi 1392, GenBank AJ ) dengan menyandi asam amino yang sama yaitu glisin (Gambar 12 panah 4), dan perubahan urutan basa TCT menjadi ACT (T-7A posisi 1438, GenBank AJ ) dimana terdapat perbedaan asam amino yang disandi dari serin menjadi treonin (Gambar 12 panah 5). 12. Distribusi Variasi Sekuen LMP2A pada sampel Cytobrush Berdasarkan basil sekensing ditemukan 5 variasi yang berbeda pada tiap sampel yang kemudian digabungkan untuk melihat distribusi variasi-variasi tersebut pada keseluruhan sampel. Tabel berikut merupakan distribusi variasi sekuen LMP2A pada 16 sampel cytobrush. Tabel 8. Distribusi Variasi Sekuen LMP2A pada sampel cytobrush penderita KNF Tipe I.. Ti ll;tj,:;... Tipe III Tbtal.\? 6 (37,5) S.xso)::>: ::;,v;,,.> 2 (12,5) _..,. 16(100 ' '" ;x TCT>ACT ooc >GGAP'. cda>c C tgc>'tc C' : ' : - '. ' GG-T?:%G>,,.: x.::....,. \,... df GGC>GGA, CCA>CCC, TGC>TCC, GGT>GGC, TCT>ACT ' : -,, '.: ; "'.. ' I '.:. ' + _.. ' Tipe I adalah apabila ditemukan variasi 1 nukleotida sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 12 panah 5. Tipe II adalah apabila ditemukan variasi 4 nukleotida sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 12 panah 1,2,3 dan 4 dan Tipe III adalah apabila ditemukan variasi 5 nukleotida seperti ditunjukkan pada Gambar 12 panah 1-5. Hasil distribusi pada Tabel 10, ditemukan Tipe I dengan perubahan 1 nukleotida sebanyak 37.5%, Tipe II dengan perubahan 4 nukleotida diperoleh sebanyak 8 sampel (50%) dan Tipe m yang merupakan perubahan 5 nukleotida ditemukan sebanyak 12.5% dari keseluruhan sampel.

47 Hubungan Variasi Sekuen LMP2A dengan Stadium Tumor KNF Dari basil analisa variasi yang ditemukan kemudian dihubungkan dengan stadium tumor, diperoleh sebagai berikut (Tabel 9) : Tabel 9. Hubungan Variasi Sekuen LMP2A dengan Stadium Tumor KNF Tipe I (n=6) TCT>ACT t ccd/;i;:{ iio){:/ : o. T. 1'<""T ':i! \.OOT>G. GC...,..,.. : Tipe lll (n=2) GGC>GGA,CCA>CCC, 0 (0) 0 (0) TGC>TCC, GT>GGC, TCT>ACT.. uy'" -. '.,-.'{;;- - _;::<.....,; f.: - ; >.,,:::. : <\':;. :.'-:-.;:>; sr it t}rtf,( ;i JIJin>. ' 0 (0) 1 (50) 1 (50) 0(0) Tabel 9 menunjukkan hubungan variasi sekuen LMP2A dengan stadium tumor adalah sebagai berikut : Tipe I ditemukan persentase yang sama antara stadium 4b dan 4c yaitu masing-masing 50%, sedangkan Tipe ll terdapat persentase yang bervariasi antara stadium 3, 4a dan 4b dimana yang terbanyak adalah pada stadium 4b (62.5%), pada Tipe III, juga diperoleh data persentase yang sama yaitu pada stadium 4a sebanyak 50% dan stadium 4b sebanyak 50%. Dibandingkan dengan Tipe II dan Tipe ill, hanya pada Tipe I (perubahan nukleotida TCT> A en yang bisa ditemukan terdapat pada stadium tumor 4C. Dari basil ini tampak adanya hubungan yang erat antara variasi sekuen dengan stadium tumor. G. Pembahasan 1. Karakteristik subyek penelitian Perbandingan jumlah pasien KNF dalam penelitian ini antara laki-laki dan perempuan adalah 30 pasien dibanding 11 pasien (2, 7: 1 ), kondisi ini hampir sama dengan penjelasan Cottril dan Nutting (2003) bahwa karsinoma nasofaring lebih banyak dijumpai pada pria daripada wanita dengan perbandingan 3: 1. Hal ini

48 35 dikarenakan laki-laki cenderung lebih banyak terpapar fa kt? r lingkungan karena aktifitasnya diluar rumah dan kebiasaan atau gaya hidup seperti merokok. Berdasarkan stadium TNM pasien KNF yang menjadi subyek peneliti prosentase terbanyak adalah stadium N (75,6%) dan stadium Til (17,1%) atau stadium III dan N (92,7%) dan sisanya stadium I dan II (7,3%). Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa kasus dini (stadium I dan IT) hanya ditemukan antara 3,8% - 13,9% sedaogkan kasus lanjut (stadium IT dan IV) sekitar 88,1% - 96,2% (Soetjipto, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa sebagain besar pasien KNF datang memeriksakan diri sudah pada stadium lanjut, salah satu faktomya adalah gejala tidak khas yang muncul pada KNF stadium awal (I dan IT). 2. Genotiping SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 Genotiping SNP P53 kodon 72 dilakukan dengao metode PCR-RFLP yang dipotong menggunakan enzim BstUI (Fermentas). PCR-RFLP menghasilkan produk yang tidak terpotong oleh enzim 156 bp, sedang produk yang terpotong 109 bp dan 47bp. Biasanya pita 47 bp pada produk yang terpotong tidak terlihat saat dielektroforesis pada agarose gel 3%, hal ini sebahkan karena bp yang kecil. Genotip yang dihasilkan dari PCR-RFLP SNP P53 kodon 72 adalah GG (156 bp), GC (156 bp, 109 bp, 47 bp) dan CC (109 bp, 47 bp). Genotiping SNP MDM2 309 dilakukan dengan metode PCR-RFLP yang dipotong menggunakan enzim MspAn (Promega). PCR-RFLP menghasilkan produk yang tidak terpotong oleh enzim 157 bp, sedaog produk yang terpotong 106 bp dan 5Ibp. Sebagaimana pada produk PCR-RFLP SNP P53 kodon 72 yang terpotong, biasanya pita 51 bp pada produk PCR-RFLP SNP MDM2 309 yang terpotong juga tidak terlihat saat dielektroforesis pada agarose gel 3%. Genotip yang dihasilkan dari PCR-RFLP SNP P53 kodon 72 adalah TT (157 bp), TG (157 bp, 106 bp, 51 bp) dan GG (106 bp, 51 bp).

49 3. Distribusi frekuensi aiel dan genotip SNP PSJ kodon 72 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi frek:uensi aiel (G, C) dan genotip (GG, GC, CC) SNP P53 kodon 72 tidak berbeda signifikan antara pasien KNF dengan kontrol pada populasi etnis Jawa (p-value = 0,12 dan 0,10). Namun demikian secara diskriptif aiel C, genotip GC dan CC lebih banyak muncul pada pasien KNF dibanding kontrol, dan sebaiiknya aiel G dan genotip GG (wild type) lebih banyak muncul pada subyek kontrol. Bila dikelompokkan dalam genotip dominan, distribusi frekuensi GG dan GC+CC berbeda signifikan antara pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa (p-value = 0,03). Penelitian hubungan SNP P53 kodon 72 dengan KNF dan kepala leher juga telah dilakukan pada populasi yang lain dengan jumlah sampel jauh lebih besar, dengan pola distribusi frek:uensi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 10: Tabel 10. Pebandingan distribusi frek:uensi genotip SNP P53 kodon 72 pada beberapa populasi 36 China (Xiao, 2010) Kasus 117 (22,4) 270 (51,7) 135 (25,9) 522 Kontrol 226 (31,7). 366 (51,4) 120 (16,9) 712 -!";- ; pg:?, as9s l.. -! i ( ( k9 2),;; ; 3 7_' 0 1 ( (? 1.x:f 2 2!, : ( ( ;:: )!:t : 74 s2 8o- 9ntro '-" - :... ::..!! ,.,.< :... :..... Y f:;,.,,<;... -f;:, Taiwan (Tu, 2008) Kasus 53 (28,0) 106 (56,1) 30 (1 5,9) 189 Kontrol 41 (35,3) 60 (51,7) 15 (1 3,0) 116 ;E-iS Jawa :::- ;r,/, us -:r -- : -.s 'll "i "'' -li <5."7\-., _ 14: "3,.:1) -> ,..,,;,,, 41'''.:::,::.. > -.-:. " :; _ x, -,_ :;; -.,._::.:!: - -< :. ; \;,,; ;1;...';:?:' :.-;" ' "1;-: -' ' '; -! ;.', \:.,/,,. ":/ ' (Peneutitn'lilit ::,:; '' "' Koii&or< : :;! 13 (3 1 1) t t6 (3 9,or <;; Jz <l-'> :, ;:.. - 4l :;, Tabel 10 menunjukkan pola distribusi frek:uensi genotip SNP P53 kodon 72 pada beberapa populasi hampir sama, hanya sedikit berbeda pada basil penelitian Hong et al. (2005) di Beijing, dimana genotip GC lebih banyak muncul pada kelompok kontrol dibanding pasien KNF.

50 37 4. Distribusi frekuensi aiel dan genotip SNP MDM2 09 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi frekuensi aiel (T, G) dan genotip (TT) TG) GG) SNP MDM2 309 tidak berbeda signifikan antara pasien KNF dengan kontrol pada populasi etnis Jawa (p-value = 0,11 dan 0,11). Namun demikian secara diskriptif alel G) genotip TG dan GG lebih banyak muncul pada pasien KNF dibanding kontro4 dan sebaliknya alel T dan genotip TT (wild type) lebih banyak muncul pada subyek kontrol. Bila dikelompokkan dalam genotip dominan, distribusi frekuensi TT dan TG+GG berbeda signifikan antara pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa (p-value = 0)04). Penelitian hubungan SNP MDM2 309 dengan KNF dan kepala Ieber juga telah dilakukan pada populasi yang lain dengan jumlah sampel jauh lebih besar, dengan pola distribusi frekuensi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 11: Tabel 1 f. Pebandingan distribusi frekuensi genotip SNP MDM2 309 pada beberapa populasi China (Xiao, 2010) Taiwan (Tu, 2008) Kasus 111 (21.2) 243 (46,6) 168 (32,2) 522 Kontrol 238 (33,4) 346 (48,6) 128 (18,0) 712 ' 2... i :! % -.. i! :}:' <<.- I- i ;t\.. if?!!, Kasus 44 (23)3) 93 (49,2) 52 (27,5) 189 4l ' l_<.o tro l.. 9 (.? 0)... 5 ( 4 _? )..... }.2. ( 8.?6t.. 1?. ']u.slis. YX 14 '(34 ).,.;,, 2_4 (58,5) 0:. ' ',O.l '(7;l).on(J'Ol ' :.:.. (5.7;5).f. -:is(3,1,s}_,.. A 2 ( j O),;i:,(;:,.&, Ajf;i: -,;. Tabel 11 menunjukkan pola distribusi frekuensi genotip SNP MDM2 309 pada beberapa populasi hampir sama, hanya sedikit berbeda pada basil penelitian Hong et a/. (2005) di Beijing, dimana genotip TG lebih banyak muncul pada kelompok kontrol dibanding pasien KNF.

51 38 5. Distribusi frekuensi kombinasi genotip SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa lnteraksi terhadap kedua SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309, akan mengasilkan kombinasi genotip GG-TT, GG-TG, GG-GG, GC-TT, GC-TG, GC GG, CC-TT, CC-TG dan CC-GG. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi frekuensi ke-9 kombinasi tersebut tidak berbeda signifikan antara kelompok pasien KNF dan kontrol (p-vaiue = 0,23). Diantara kombinasi genotip SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 yang lebih banyak muncul pada kelompok pasien KNF antara lain GC-TG, GC-GG, CC-TG dan CC-GG, sedangkan kombinasi genotip lainnya lebih banyak muncul pada kelompok kontrol. Hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan penelitian Xi ao et a/ (2010) pada populasi China, dimana kombinasi genotip GG-GG juga lebih banyak muncul pada pasien KNF dibanding kelompok kontrol, sedangkan kombinasi genotip lainnya mempunyai pola distribusi frekuensi yang sama. 6. SNP P53 kodon 72 sebagai salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aiel C dan genotip GC dan CC SNP P53 kodon 72 bukan saiah satu fa ktor risiko terjadinya KNF pada populasi etnis Jawa. Namun demikian analisis OR terhadap individu dengan aiel C, genotip GC dan CC pada SNP P53 kodon 72 mempunyai peluang untuk berisiko KNF lebih besar (ORAle! c = 1.65, ORGenotip GC = 3.58, dan ORoenotip cc = 3.03) dibanding individu dengan aiel G, genotip GG. Hasil penelitian yang sama pada oral carcinoma, bahwa P53 kodon 72 tidak berhubungan dengan risiko OSCC dan OSF serta onset umur OSCC (Tu, et a/. 2008). Namun berbeda dengan penelitian Xiao et a/. (2010) yang membuktikan bahwa SNP P53 kodon 72 genotip Pro/Pro merupakan faktor risiko KNF (OR= 2,22; p-value < 0,05) dan Hong et a/, (2005) yang juga membuktikan bahwa SNP P53 kodon 72 genotip Pro/Pro meningkatk.an

52 39 risiko Esophageal Squamous Cell Carcinoma (ESCC) (OR=1,83; p<o,ool) dibandingkan genotip Arg/ Arg. 7. SNP MDM2 309 sebagai salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jaw a Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aiel G dan genotip TG dan GG SNP MDM2 309 bukan salah satu fa ktor risiko terjadinya KNF pada populasi etnis Jawa. Namun demikian analisis OR terhadap individu dengan aiel G, genotip TG dan GG pada SNP MDM2 309 mempunyai peluang untuk berisiko KNF lebih besar (ORAle! G = I. 73, ORoenotip TG = 2,63 dan ORoenotip oo = 2.46) dibanding individu dengan aiel T dan genotip TT. Hasil penelitian yang sama pada oral carcinoma, bahwa MDM2 SNP 309 tidak berhubungan dengan risiko OSCC dan OSF serta onset umur OSCC (Tu, et al. 2008). Namun berbeda dengan penelitian Xiao et al. (2010) yang membuktikan bahwa SNP MDM2 309 genotip GG merupakan faktor risiko KNF (OR= 2,83; p< 0,05) dan Hong et al, (2005) yang juga membuktikan bahwa SNP MDM2 309 genotip GG meningkatkan risiko Esophageal Squamous Cell Carcinoma (ESCC) (OR=1,49; p<0,002) dibandingkan genotip TT. 8. Kombinasi SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 sebagai salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa Interaksi SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 yang membentuk kombinasi genotip telah dilakukan penelitian sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 5 dan 8. Keseluruhan kombinasi genotip yang dibagi dalam tiga kelompok kombinasi genotip bukan merupakan salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa. Berbeda dengan hasil penelitian Xiao et al. (2010) dan Hong et al, (2005), kombinasi genotip menjadi faktor risiko KNF dan meningkatkan risiko ESCC dimana OR terbesar ditunjukkan pada kombinasi genotip Pro/Pro-GG masingmasing, dan mempunyai OR yang lebih besar dibanding kedua SNP hila tanpa kombinasi genotip. OR terbesar adalah kombinasi genotip Pro/Pro-GG (OR= 7.75, 95% CI== ) dari penelitian Xiao et al (2010) dan (OR= % CI=2.07-

53 ) dari penelitian Hong eta/ (2005). Sedangkan kombinasi gnotip GC-GG dan CC-GG dalam penelitian ini tidak diperoleh nilai 0 sehingga tidak bisa dianaiisa besarnya peluang risiko terjadinya KNF pada individu dengan kombinasi genotip terse but. SNP yang telah diidentiftkasi pada coding region P53, menyebabkan perubahan asam amino Arg>Pro. Aiel Arg lebih cepat dalam meninduksi apoptosis dan lebih efisien menekan perubahan sel ke arab keganasan dibanding aiel Pro. Disisi lain Bond et a/. (2005) telah melaporkan bahwa polimorftsme T>G pada posisi nukleotida 309 dari intron 1 MDM2 mengganggu elemen regulasi Spl dan aiel T mempunyai fungsi mempertahankan aktifitas promoter tetap rendah dibanding aiel G. Beberapa data epidemiologi molekuler ditemukan bahwa kedua polimorftsme tersebut merupakan kandidat marker genetik pada kanker tertentu (Hong et al. 2005; Chen et a/. 2008). Penelitian Xiao et a/. (2010) dan Hong et a!. (2005) menunjukkan bahwa SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 berhubungan dengan risiko KNF dan ESCC, dengan beberapa penjelasan secara bilogi yang rasional. Pertama: P53 merupakan gena kunci dalam menjaga integritas genomik dan mencegah karsinogenosis (Brennan, 2006). Hubungan antara mutasi P53 dan kerentanan pembentukan tumor telah diuji dalam beberapa studi dengan memodifikasi genetik hewan. Tikus yang tidak mempunyai mutasi pada salah satu aiel P53, perkembangan tumornya lebih kecil dibanding tikus dengan mutasi, dimana perkembangan tumornya lebih cepat dan frekuensinya lebih tinggi. Apalagi over ekspresi MDM2 yang dapat berperan penting dalam menghilangkan aktifttas P53 juga diamati pada jaringan. Kedua: Investigasi polimorfisme P53 dan MDM2 mernpunyai konsekuensi fungsional. Saat ini telah dilaporkan oleh Bond et al. dan Hong et a/. bahwa individu yang membawa genotip GG SNP MDM2 secara signifikan mengekspresikan MDM2 pada jaringan KNF lebih tinggi dibanding individu yang membawa genotip TT dan TG, dimungkinkan varian genotip MDM2 menyebabkan penurunan fungsi P53.

54 41 Berbeda dengan basil penelitian Xiao et al pada populasi China, SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 serta kombinasi keduanya bukan merupakan salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa. Hal ini dapat dijelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya KNF sangat komplek. Selain SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309, masih banyak gena-gena lain seperti HLA, proto-onkogen dan gena suppressor lainnya yang ikut berperan sebagai penyebab KNF. Infeksi EBV salah satu faktor etiologi KNF dan fa ktor lingkungan (makanan dan non makanan) serta kebiasaan juga ikut berkontribusi terhadap risiko KNF, merupak:an variabel-variabel yang tidak diteliti yang sekaligus menjadi keterbatasan penelitian ini.. 9. Deteksi LMP2A-epitop CTL-HLA-A24 pada kelompok kasus penderita KNF dan kelompok kontrol LMP2A terbanyak bisa teramplifikasi hanya pada sampel cytobrush, sedangkan pada sampel darah tepi penderita KNF maupun kontrol LMP2A tidak teramplifikasi. Berdasarkan uji chi square ditemukan untuk p-value dan tidak bisa diuji secara statistik untuk perbandingan deteksi LMP2A antara kelompok kasus sampel darah tepi dan cytobrush serta sampel darah tepi kelompok kontrol. Untuk sampel darah tepi dari penderita K.NF hanya terdiri dari 1 OO!ll darah dan 900!ll lisis buffer. Dengan konsentrasi darah yang hanya sedikit tersebut juga turut mempengaruhi tidak teramplifikasinya LMP2A, karena adanya sel-sel lain selain limfosit di dalam darah. Selain itu, kemungkinan disebabkan oleh konsentrasi DNA virus dalam darah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kadar DNA virus dalam sampel cytobrush. Karena pada sampel cytobrush diambil hapusan dari daerah lesilkanker atau daerah sekitar lesilk:anker, dimana kemungkinan limfosit B yang terinfeksi EBV memperbanyak diri di tempat lesi sehingga template DNA virusnya lebih banyak. Junker AK. (2005) mengungkapkan bahwa selama bertahun-tahun setelah infeksi akut EBV, sel B yang terinfeksi dan Iaten dalam darah tepi berjumlah kurang lebih 1-60/106 sel B (± 10 mi darah). Kieff (1996) melaporkan bahwa virus - EBVyang menginfeksi limfosit B hanya ditemukan 1 dalam 1 juta sel limfosit B.

55 42 Pada penelitian awal digunakan jenis desain kasus kontrol akan tetapi setelah basil analisis, sampel darab tepi baik pada kontrol maupun penderita KNF LMP 2A tidak dapat teramplifikasi dengan sistem yang kami gunakan dalam penelitian ini, sehingga tidak dilanjutkan untuk desain kasus kontrol, dan dilanjutkan dengan desain penelitian case-series Analisa Variasi Sekuen LMP1A dari basil Sekuensing sampel Cytobrush V ariasi CCA>CCC dan variasi TGC> TCC ditemukan pada epitope terkait HLA-A24 dimana terdapat perubahan epitope yang merupakan tempat pengenalan CTL. Epitop TYGPVFMCL yang dikenali oleh HLA-A24 mengalami perubahan menjadi TYGPVFMSL yang disebabkan oleh missense mutation, perubahan urutan basa TGC menjdi TCC dimana asam amino yang disandi berubah dari sistein menjadi serin. Sedangkan variasi CCA>CCC tidak mengubah susunan asam amino sehingga.tidak merubah epitop. Pada epitope terkait HLA-A2 yaitu CLGGLLTMV, teijadi perubahan urutan basa GGT menjadi GGC, akan tetapi perubahan ini tidak merubah asam amino yang disandi yaitu sama-sama menyandi asam amino glisin (silent mutation). Sistein, serin dan treonin merupakan asam amino polar tidak bennuatan yang berarti perubahan asam amino tersebut tidak merubah polaritas dan muatan asam amino, akan tetapi kemungkinan hal ini bisa menyebabkan perbedaan kemampuan mengikat (binding) dengan asam amino HLA karena sifat polaritas asam amino berbeda sehingga kurang stabil. Penelitian Wiqoyah (1999), terhadap 3 epitop LMP2A dari sampel Lymphoblastoid Cell Line penderita KNF, ditemukan adanya perubahan asam amino pada epitop ke 8 dari epitop TYGPVFMCL, epitop 1 dari epitop CLGGLL TMV dan epitop 6 dari epitop SSCPLSKILL. Khanna et al. (1997) menyatakan bahwa adanya perubahan asam amino di bagian anchor epitop CTL menyebabkan tidak tetjadinya pengikatan epitop dengan HLA yang menyebabkan CTL tidak mengenali komplek HLA-epitop, sedangkan perubahan asam amino pada bagian yang berikatan dengan T-Cell Receptor- (TCR)

56 43 menyebabkan CTL mengenali epitop tetapi tidak optimal. M g Lung et al. (2009) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa adanya ekspresi LMP2A dalam KNF berkaitan erat dalam meningkatkan sel tumor melalui penghindaran respon imun dalam hal ini CTL. Pada 119 residu amino domain terminal sitoplasmik LMP2A yang dikode dari ekson pertama memegang peranan penting dalam fungsi LMP2A. Pada bagian tersebut terdapat tempat fo sforilasi untuk tirosin, serin dan treonin juga merupakan tempat berikatan beberapa protein kinase seperti tirosin protein kinase dari family src yang dikode oleh lyn dan fyn, yang nantinya berfungsi dalam menghambat signal transduksi reseptor sel B melalui interaksi dengan lyn protein kinase. Tanaka et al. (1999) mengemukakan bahwa LMP2A merupakan target spesifik CTL, sehingga mutasi dari target dapat mengganggu respons CTL terhadap LMP2A sehingga bisa menyebabkan pertumbuhan sel yang cepat dalam host. Dilaporkan juga pada kasus penderita KNF di China perubahan asam amino serin yang paling sering ditemukan. Perubahan asam amino tersebut mengakibatkan keuntungan dari EBV untuk menjadi persisten dalam sel tumor. Hal ini menunjukkan LMP2A memiliki peranan penting yang menyebabkan EBV menjadi Iaten dalam host. 11. Distribusi Variasi Sekuen LMP2A pada sampel Cytobrush Adanya variasi pada LMP2A mengakibatkan kurang optimalnya pengenalan CTL terhadap limfosit yang terinfeksi EBV sehingga bisa lolos dari sistem imun. Perubahan susunan basa akibat missense mutation pada LMP2A menyebabkan asam amino yang disandi berubah sehingga protein yang dihasilkan menjadi tidak aktif sehingga mempengaruhi pengenalan CTL terhadap epitop LMP2A terkait HLA-A24 dan HLA-A2 serta pengenalan CTL terhadap keseluruhan LMP2A. 12. Hubungan Variasi Sekuen LMP2A dengan Stadium Tumor KNF Breda et al. (2010) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa terdeteksinya EBV pada kasus KNF berhubtmgan dengan stadium, dimana EBV positif lebih ban yak pada stadium lanjut. LMP2A yang diekspresikan oleh EBV

57 44 pada fase Iaten berfungsi didalam meningkatkan migrasi pitel yang berakibat mempercepat metastasis. LMP2A dapat menyerupai BCR komplek aktif dengan cara membentuk fo sforilasi tirosin pada amino domainnya dan bergabung dengan protein tirosin kinase (PTK) seperti Src, Lyn dan Syk yang menyebabkan teraktifasinya sinyal PTK juga jaras PI3K yang berfungsi terhadap faktor pertumbuhan sel B dan sel epitel serta progresifitas siklus sel. Pengaktifan Akt/Pkb dari jaras PI3K ini akan mengakibatkan terjadinya hambatan fungsi protein Bad yang merupakan pro apoptosis juga teljadi hambatan Glikogen sintese kinase 3P (GSK 3P) yang fungsinya untuk degradasi P catenin. p catenin berfungsi didalam regulasi proses diferensiasi sel dan memiliki peran dalam transfonnasi onkogenik, selain itu pula P catenin merupakan komponen E cadherin yang fungsinya dalam tautan/adhesi antar sel, sehingga hila ada gangguan maka berkaitan dengan teljadinya metastasis (Portis et a/., 2002., Portis et a/., 2004). Pada penelitian ini, kami menemukan variasi yang lain dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Wiqoy 1999) yaitu variasi pada bagian upstream sekuen LMP2A yaitu GGC>GGA (gambar 8, panah 1) yang berupa silent mutation dan pada bagian downstream sekuen LMP2A yaitu TCT>ACT (Gambar 12 panah 5) yang berupa missense mutation. Diasumsikan bahwa variasi sekuen tersebut mungk:in berakibat pada perubahan struktur asam amino LMP2A, sehingga interaksi LMP2A dan CTL-HLA dapat terganggu dan untuk membuktikan hal ini masih diperlukan penelitian yang lebih lanjut. H. Keterbatasan Penelitian 1. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah beberapa variabel yang belum bisa dikendalikan, antara lain infeksi EBV, faktor lingkungan (makanan dan non makanan) dan kebiasaan, yangjuga mempengaruhi teljadinya KNF. 2. LMP2A merupakan gen dari virus yang sebenarnya ada dan beredar didalam sirkulasi darah, tetapi karena virulensinya sedikit sehingga tidak bisa

58 45 teramplifikasi dengan sistem yang kami pakai, oleh karena itu disarankan untuk menggunakan sistem yang lain. 3. Dari 32 sarnpel cytobrush hanya 35 sampel yang bisa teramplifikasi dan 16 sampel yang bisa disekuensing, sehingga ketiga tipe/variasi yang ditemukan tidak bisa mewakili secara keseluruhan dari 41 sampel cytobrush. I. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Distribusi frek:uensi alel dan genotip SNP P53 kodon 72 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa tidak berbeda signifikan. 2. Distribusi frek:uensi alel dan genotip SNP MDM2 309 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa tidak berbeda signifikan. 3. Distribusi frekuensi kombinasi genotip SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 pasien KNF dan kontrol pada populasi etnis Jawa tidak berbeda signifikan. 4. Aiel C dan genotip GC dan CC SNP P53 kodon 72 bukan salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa. 5. Aiel G dan genotip TG dan GG SNP MDM2 309 bukan salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa. 6. Kombinasi genotip SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 bukan salah salah satu faktor risiko KNF pada populasi etnis Jawa. 7. LMP2A hanya bisa teramplifikasi dari sampel cytobrush dibandingkan dengan sampel darah tepi penderita KNF maupun kontrol. Hal ini menunjukkan dalam pengambilan sarnpel untuk skrining maupun diagnostik masih merujuk pada pengambilan dengan cara brushing/cytobrush. 8. Adanya 5 variasi sek:uen LMP2A yaitu terdapat perubahan urutan basa GGC menjadi GGA akan tetapi asam amino yang disandi tetap tidak berubah yaitu glisin, perubahan urutan basa CCA>CCC yang juga tidak merubah asam amino yang disandi yaitu pro lin, perubahan urutan basa TGC > TCC

59 46 dimana asam amino yang disandi berubah dari siein menjadi senn, perubahan urutan basa GG1> GGC dengan menyandi asam amino yang sama yaitu glisin dan perubahan urutan basa TCl>ACT dimana terdapat perbedaan asam amino yang disandi dari serin menjadi treonin. Variasi CCA>CCC dan variasi TGC>TCC ditemukan pada epitope terkait HLA A24. Epitop TYGPVFMCL yang dikenali oleh HLA-A24 mengalami perubahan menjadi TYGPVFMSL yang disebabkan oleh missense mutation. Sedangkan variasi CCA>CCC tidak mengubah susunan asam amino sehingga tidak merubah epitop. Pada epitope terkait HLA-A2 yaitu CLGGLLTMV, tetjadi perubahan urutan basa GGT>GGC, akan tetapi perubahan ini tidak merubah asam amino yang disandi yaitu sama-sama menyandi asam amino glisin (silent mutation). 9. Ditemukan adanya variasi barn yaitu variasi pada bagian upstream sekuen LMP2A yaitu GGC>GGA yang berupa silent mutation dan pada bagian downstream sekuen LMP2A yaitu TCl>ACT yang berupa missense mutation. J. Saran 1. Individu dengan SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 atau kombinasi keduanya, perlu memperhatikan faktor lingkungan baik makanan maupun non makanan sebagai faktor yang bisa dihindari untuk mencegah tetj adinya KNF. 2. Perlu dilakukan penelitian mengenai SNP P53 kodon 72 dan MDM2 309 pada populasi etnis-etnis lain di Indonesia untuk melengkapi data SNP kedua gena tersebut sebagai salah satu faktor risiko KNF. K. Ucapan Terima Kasih 1. Puslitbangkes Kemenkes RI yang telah memberikan kesempatan dalam bentuk pembinaan dan dana penelitian melalui RISBIN IPTEKDOK

60 47 2. Bagian THT -KL RSUP Dr. Sardjito Y ogyakarta, yang telah memberkan sebagian sampel kasus untuk penelitian ini. 3. Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Gadjab Marla Y ogyakarta yang telah memberikan fasilitasnya untuk penelitian ini.

61 48 DAFTAR PUSTAKA Akkiz, H., Sumbul, A.T., Bayram, S., Bekar, A., Akgolly, E., MDM2 promoter polymorphism iri associated Witli increased susceptibility to h_epatooelluler carcinoma in Turkish population. Cancer Epidemiol. 34: Anonim, Understanding Genetic Disorders: Genetic Science Learning Center, Availabel from: (diakses tanggal 24 Januari 2011). Bond, G.L., Hu, W., Bond, E.E., Robins, H., Lutzker, S.G., Arva, N.C., Bargonetti, J., Bartel, F., Taubert, H., Wuerl, P., Onel, K., Yip,. L., Hwang, S-J., Strong, L.C., Lozano, G., Levin, A.J., A single nucleotide polymorphism in the MDM2 promoter attenuates the p53 tumor suppressor pathway and accelerates tumor formation in humans. Cell 1 19: Breda E., Catarino RJF, Azevedo 1., dan Lodao M., Epstein Barr Virus Detection in Nasopharyngeal carcinoma implication in low risk area. Braz. J. Otorhinolaryngol, 76 (3): Brennan, B., Nasopharyngeal carcinoma. Orphanet Journal of Rare Diseases 1 (23):1-5 Busson, P., Keryer, C., Ooka, T., Corbex, M., EBV-associated nasopharyngeal carcinomas from epidemiology to virus-targeting strategies. Trends Microbial. 12: Chan, A.T.C., Teo, P.M.L., Johnson, P.J., Nasopharyngeal Carcinoma Review. Ann. Otol. Rhino/. Laiyngo/. 13: Chen, X., Liang, S., Zheng, W., Liao, Z., Shang, T., Meta-analysis of nasopharyngeal carcinoma micmarray data explores mechanism of EBVregulated neoplastic transformation. B.M C. Genomics 9:322 Chew, C.T., Nasopharynx (The Post Nasal Space). Scott-Brown's Otolaryngol. 9(1):27-35 Cottrill, C.P., Nutting, C.M., Tumours of The Nasopharynx. In Evan PHR, Montgomery PQ,, Gullane PJ (Eds). Principles and Practice of Head and Neck. Oncol Di Sun, Epigenetics in Nasopharyngeal Carcinoma. Department of Microbiology Cell artd Ttunor Biology (MTC). Karolirtska Institute Stockholm, Sweden Elrod, S., Stansfield, W., Schum's Outline of theory and problem of GENETIC. FoUrth Edition. McGraw-Hill Companies. Fachiroh, J., Paramit:a, D.K., Hariwiyanto, B., Harijadi, A., lndrasari, S.R.,

62 Kusumo, H., Zeng, Y.S., Schouten, T., Mubarika, S., Middeldorp, J.M., Single-Assay Combination of Epstein-Barr Virus (EBV). EBNA 1- and Viral Capsid Aiitigena-p18-DeriVed Synthetic Peptides fo t Meastiririg Aiiti-EBV Imm ploglpbjj.lm 0 (lg0) d IgA AntibQdy Levels m Sra from Nasopharyngeal Carsinoma Patients: Options for Field Screening. Jf. Clin. Bio. 44(4): Farhat, Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring. Majalah Kedokteran Nusantara 42(1):59-65 Forman, D., The Global Burden of Cancer. UICC Symposium (WHOIIARC). Ganguly, N.K., Satyana:rayan:a, K., Srivasta'Va, V.K., Epidemiological and tiojogical Factors Associated with Nasopharyngeal Carcinoma. ICMR!Jullgfin 33(9). Gasco, Milena, Shami, S., Crook, T., The p53 pathway in breast cancer. Breast Cancer Res.30: Grochola, Lukasz, F., Medina, J.Z., Me, S., Bond, G.L., Signaling Pathway. Spring. Hariwiyanto, B., Peran Protein EBNA1, EBNA2, LMP1 dan LMP2 Virus Eptein-Barr Virus sebagai Faktor Prognosis pada Pengobatan Karsinoma Nasofaring [Disertasi]. Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta Hong, Y., Miao, X., Zhang, X., Ding, F., Luo, F., Guo, Y., Tan, W., Liu, Z., Lin D., The role of p53 and mdm2 polymorphisms in the risk of esophageal squamous cell carcinoma. Cancer Res. 65(20): Jemal, A., Siegel, R., Xu, J., Ward, E., Cancer statistics Cancer J. Clin. 60: Jia, W.H., Feng, B.J., Xu, Z.L., Zhang, X.S., Huang, P., Huang, L.X., Familial risk and clustering of nasopharyngeal carcinoma in Guangdong, China. Cancer 101(2): Junker AK Epstein-Barr Virus. Pediatrics in review. 26 : 3. Kieff, E and D. LieooWirz EpSteiil Barr Virus and Its Replication. Fields Virology, Third ed., Lippincott-Raven Publisher. Philadelphia. P Khanna, R.,Poulsen, R.,Moss, DJ.,Burrows, S., Sillins, SL., and Burrows, JM CytOtoxic T-lymphocite Clones specific fo r immunodominanf epitop display discrening antagonistic recponseto naturally accuring Epstein-Barr Virus. J. Virol. 70 (1 0) : Kubbutat, M.H.G., Vousden, K.H., Keeping an old friend under control: regulation of p53 stability. Mol. Med Today

63 Lavine, A.J., P53, The celluler gatekeeper for growth and division. Cell 88: Lemeshow, S., Hosmer Jr, D.W., Klar, J., Lwaga, S.K., Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan [Terjemahan]. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Lo, K.W., To, K.F., and Huang D.P., Focus on Nasopharyngeal Carcinoma. Departement of Anatomical and Cellular Pathology. Cancer Cell 5. McDermont, A.L., Dutt,S.N., Watkinson, J,C., The etiology of nasopharyngeal carcinoma, Clin. Otolaryngol. 26:83-92 Michael, D., Oren, M., The p53-mdm2 module and the ubiquitin system. Semin. Cancer Bioi. 13:49-58 Ming Lung, RW., Man Tong, JH., and Man Sung, Y Modulation of LMP2A Expression by a Newly Identified Epstein-Barr Virus-Encoded MicroRNA mir-bart22. Neoplasia. 11 : Moll, U.M., Petrenko, 0., The MDM2-p53 interaction. Mol. Cancer Res. I : l Mulyarjo, Diagnos is dan pematalaksanaan karsinoma nasofaring. Pendidikan kedokteran berkelanjutan m Rmu Penyakit Telinga Hidung, Tenggorokan-Kepala Leher. SMF Ilmu Kesehatan THT-K.L. FK Unair/RSUD Dr. Sutomo Surabaya. Munir, D., Lutan, R., Hasibuan, M., dan Renny, F., Ekspresi protein p53 mutan pada karsinoma nasofaring. Majalah Kedokteran Nusantara 40 (3): Purba, 1., Budi, M., Suharjanto., Diagnosis imunologik karsinoma nasofaring (KNF) dengan metode imunoperoksidase menggunakan IgA anti VCA-EBV. Berkala Dmu Kedokteran 29 (2):69-74 Rickinson, A.B, and DJ.Moss Human cytotoxic T lymphocyte response to Epstein-Barr Virus infection. Annu. Rev. Immunol. 15: Roezin, A., Deteksi dan pencegahan karsinoma nasofaring. dalam pencegahan dan deteksi dini penyakit kanker. Perhimpunan On/wlogi Indonesia Sander, M., Trump, B.F., Harris, C.C., and Tennant, R.W., The 20 th Aspen Cancer Conference : Mechanisms of toxicity, carcinogenesis, cancer prevention and cancer therapy. Mol. Carcinog. 47(9): Sansone, P., Storei, G., Pandolfi, S., Montanaro, L., Chieco, P., Bonafe, M., The p53 codon 72 proline allele is endowed with enhanced cell-death so

64 51 inducing potential in cancer cells exposed to hypoxia. Br. J. Cancer Schmidt, Marjanka, K., Tommiska, J., Broeks, A., Leeuwe, F.E.V., Laura, J.V., Pharoah, P.D.P., Easton, D.P., Research article combine effects of single nucleotide polymorphisms TP53 R72P and MDM2 SNP309, and p53 expression on survival of breast cancer patent. Breast Cancer Res. 11 ( 6): 1-12 Soetjipto, D., Karsinoma Nasofaring, Mungkinkah Melakukan Diagnosa Dini? Dalam Kumpulan Naskah Rmiah PIT Perhati Bukit Tinggi Spano, J.P., Busson, P., Atlan., Bourhis, J., Pignon, J Nasopharyngeal carcinomas : an update. Eur. J. Cancer (39): Stoehr, R.T., Hitzenbicher, F., Kneitz, B., Burger, M., Tannapfel, A., Hartmann, A., Mdm2-SNP309 polymorphism in prostate cancer : no evidence for association with increased risk or histopathological tumor characteristics. Analysis Sun, Y., Yi, H., Zhang, P.F., Li, M.Y., Li, C., Identification of differential Protein in Nasopharyngeal Carcinoma cells with p53 silence by proteome analysis. FEBS Letters 581: Tanaka, M., Kawaguchi, Y.,Yokofujita, J., Takagi, M., and Eishi., Y. (1999). Sequence Variations of Epstein Barr Virus LMP2A Gene in Gastric Carcinoma in Japan. Virus. Genes. 19 (2) : Tjindarbumi, D., Mangunkusumo, R., Cancer in Indonesia, Present and Future. Jpn. J. Clin. Onco/. 32(Suppl 1):Sl7-S21 Tu, H.F., Chen, H.W., Kao, S.Y., Lin, S.C., Liu, C.J., Chang, K.W., MDM2 SNP 309 and p53 codon 72 polymorphisms are associated with the outcome of oral carcinoma patients receiving postoperative irradiation. Radiother. Oncol. 87: Vogelstein, B., Lane, D., Levine, A.J., Surfing the p53 network. Nature 408: Wei, W.I., Sham, J.S.T., Nasopharyngeal Carcinoma. The Lancet 365 (9476): Wiqoyah N Analisis Sekuen Gen LMP2A EBV Bagian Epitop CTL pada Karsinoma Nasofaring. Tesis Persyaratan mencapai derajat S2. Program Pasca Sarjana UGM Y ogyakarta. Xiao, M., Zhang, L., Zhu, X., Huang, J., Genetic polymorphism of MDM2 and TP53 genes are associated with risk of nasopharyngeal carcinoma in a Chinese Population. BMC Cancer 10:147

65 52 Yuan J.M., Wang, X.L., Xiang, Y.B., Gao, Y.T., Ross, R.K. Yu, M.C., Preserve fo ods in relation to risk of nasopharyngeal carcitioma in Shanghai China. Int. J. Cancer, Vol. 85 (3):

66 53 Lampiran I. Kelaikan Etik KEMENTERIAN PENDibrKAN NASIONAL FAKUL T AS KEOOKTI5RAN ljnivfrsjtas GAOJAH MADA KOMISI ETIK PENEUllAN K.EOOKTfRAN DAN KESEHATAN KETERANGA KELAJKAN ETIK (l:thicat CJeancc) N:lnor; I"Y-'1 Z.JZ. IEC,(.Orll1!. Ek r>efi """ KCerart <!:m Kcscha!an c: alll!rs Kec.:><teroo Llt>Mlr'ta Gi.ah Mada. :lt.'llllal rrerr::elajar der sek3ama usw!n pe ref'rta Ja19 :lia; t1eo;;;1 11< 1 <krlg-dr' rr..-rya!jke-1 bat M1 =-tiliar Ana!-s3 Sg'e Nooeotdc?Dllf'IOI"P. ::sm Ge- a >; 53. M:J.-.r'f! Coull.\; llf.nvre 2 (MD!fl; a Lf.!er 'l!!'01d. a.7e o10rc.. 2A :!.M'"7A) pada Serpt- Oara1 -cpi :>tll"d!?f :a Kat;;in:;ma Nascilr g '"l!ll"fp. ltrus lcin Bart Dson Pl!orllrn!Jing dr Agu!O.IfDI1D. THl-KJ. PhD dlnya!ak ;t memt%b'1i yaraisn C{!"k unt.jk dllak$arli:!l<;m, def!se:"l Clll<lta"l t.w '<.1\H'f"<illt,l Kcrnisi dapar JT.el.ll!<.t:>kan "U311.. "'rot dr. 1.\o,arr.!Tid Hakirm Sp.00 ;K). P"r.0 <{ctja

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel

BAB 1 PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan, 2006). Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang relatif jarang ditemukan

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Bentuk desain penelitian yang akan digunakan adalah bentuk deskriptif molekuler potong lintang untuk mengetahui dan membandingkan kekerapan mikrodelesi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth III. MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Pengambilan sampel darah domba dilakukan di Kecamatan Koto Tengah Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober 2012. Amplifikasi gen Growth Hormone menggunakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk 56 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk mengamplifikasi Gen FNBP1L. B. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Survei penyakit klorosis dan koleksi sampel tanaman tomat sakit dilakukan di sentra produksi tomat di daerah Cianjur, Cipanas, Lembang, dan Garut. Deteksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas epitel nasofaring. Etiologi tumor ganas ini bersifat multifaktorial, faktor etnik dan geografi mempengaruhi risiko

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 29 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo, Laut Maluku dan Teluk Tomini (Gambar

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE. Betina BEST BB NB RB. Nirwana BN NN RN. Red NIFI BR NR RR

II. BAHAN DAN METODE. Betina BEST BB NB RB. Nirwana BN NN RN. Red NIFI BR NR RR II. BAHAN DAN METODE Ikan Uji Ikan uji yang digunakan adalah ikan nila hibrida hasil persilangan resiprok 3 strain BEST, Nirwana dan Red NIFI koleksi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Sempur, Bogor.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan yang menyerang daerah kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum diketahui

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif cross sectional molekuler. Data yang diperoleh berasal dari pemeriksaan langsung yang dilakukan peneliti sebanyak

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk 27 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk mengamplifikasi Gen STX1A. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1. Peralatan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol sampel, beaker glass, cool box, labu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan kanker kepala dan leher yang

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan kanker kepala dan leher yang BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan kanker kepala dan leher yang paling sering dijumpai di dunia maupun di Indonesia (Thompson, 2007; Adham et al., 2012). Insidensi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan terhadap sampel yang dikoleksi selama tujuh bulan mulai September 2009 hingga Maret 2010 di Kabupaten Indramayu. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel secara tidak terkendali, sering menyerang jaringan sekitar dan dapat bermetastasis atau menyebar ke organ lain (World Health

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Autentikasi Bahan Baku Ikan Tuna (Thunnus sp.) dalam Rangka Peningkatan Keamanan Pangan dengan Metode Berbasis DNA dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi bidang ilmu sitogenetika.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi bidang ilmu sitogenetika. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi bidang ilmu sitogenetika. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Riset Biomedik

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling 16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling sel folikel akar rambut. Sampel kemudian dilisis, diamplifikasi dan disekuensing dengan metode dideoksi

Lebih terperinci

BABm METODE PENELITIAN

BABm METODE PENELITIAN BABm METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross-sectioned, yaitu untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan distnbusi genotipe dan subtipe VHB

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 9 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2011 sampai dengan Juli 2012. Kegiatan ekstraksi DNA sampai PCR-RFLP dilakukan di laboratorium Analisis

Lebih terperinci

BAB V. KESIMPULAN, SARAN, DAN RINGKASAN. V. I. Kesimpulan. 1. Frekuensi genotip AC dan CC lebih tinggi pada kelompok obesitas

BAB V. KESIMPULAN, SARAN, DAN RINGKASAN. V. I. Kesimpulan. 1. Frekuensi genotip AC dan CC lebih tinggi pada kelompok obesitas BAB V. KESIMPULAN, SARAN, DAN RINGKASAN V. I. Kesimpulan 1. Frekuensi genotip AC dan CC lebih tinggi pada kelompok obesitas dibandingkan dengan kelompok normal namun secara statistik tidak berbeda signifikan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Terpadu,

Lebih terperinci

III. Bahan dan Metode

III. Bahan dan Metode III. Bahan dan Metode A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan dari bulan Mei-Juli 2011 yang dilakukan di LPPT UGM Yogyakarta. B. Bahan Penelitian Sampel yang digunakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) serta analisis penciri Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut: BAB III METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel, lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh, amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR;

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR; BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah HVI mtdna

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. bertujuan untuk menidentifikasi gen angiotensin converting enzyme (ACE)

BAB III METODE PENELITIAN. bertujuan untuk menidentifikasi gen angiotensin converting enzyme (ACE) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk menidentifikasi gen angiotensin converting enzyme (ACE) insersi/ delesi

Lebih terperinci

VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum

VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum VISUALISASI HASIL PCR DENGAN METODE PCR LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG PADA SAMPEL BAKTERI Pseudomonas fluorescens dan Ralstonia solanacearum Pendahuluan Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker nasofaring (KNF) merupakan tumor daerah leher dan kepala dengan penyebab yang kompleks. Angka kejadian KNF tidak sering ditemukan di dunia barat diperkirakan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and 23 BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and Cancer Biology of the University of Indonesia (IHVCB-UI), Jl. Salemba

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap penyiapan templat mtdna, amplifikasi fragmen mtdna pada daerah D-loop mtdna manusia dengan teknik PCR, deteksi

Lebih terperinci

ALEL GEN HLA- A24 PADA SAMPEL DARAH TEPI PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI MAKASSAR

ALEL GEN HLA- A24 PADA SAMPEL DARAH TEPI PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI MAKASSAR 1 ALEL GEN HLA- A24 PADA SAMPEL DARAH TEPI PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI MAKASSAR HLA-A24 GENE ALELLE IN THE PERIPHERAL BLOOD SAMPLES OF NASOPHARYNGEAL CARCINOMA PATIENTS IN MAKASSAR Imelda Gunawati

Lebih terperinci

METODE. Materi. Tabel 1. Jumlah Sampel DNA yang Digunakan dan Asal Pengambilan Sampel Darah.

METODE. Materi. Tabel 1. Jumlah Sampel DNA yang Digunakan dan Asal Pengambilan Sampel Darah. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel 16 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menggambarkan tahapan penelitian yang terdiri dari pengambilan sampel, penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel, amplifikasi D-loop mtdna dengan teknik

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan Metode Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan Metode Isolasi C. gloeosporioides dari Buah Avokad 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Tanjung Priok Wilayah Kerja Bogor, mulai bulan Oktober 2011 sampai Februari 2012. Bahan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Sampel Pengambilan Sampel Ekstraksi DNA Primer

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Sampel Pengambilan Sampel Ekstraksi DNA Primer MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Nopember 2010. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetik Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode deskriptif (Nazir, 1983). B. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang. dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998).

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang. dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998). BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998). B. Populasi dan Sampel 1. Populasi yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Studi ini melibatkan 46 sampel yang terbagi dalam dua kelompok, kelompok

BAB V HASIL. Studi ini melibatkan 46 sampel yang terbagi dalam dua kelompok, kelompok 34 BAB V HASIL Studi ini melibatkan 46 sampel yang terbagi dalam dua kelompok, kelompok sampel hipospadia isolated (n=23) dan kelompok laki-laki normal (n=23). Karakteristik pasien hipospadia di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN FUNDAMENTAL. TAHUN ANGGARAN 2014 (Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun)

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN FUNDAMENTAL. TAHUN ANGGARAN 2014 (Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun) Kode/Nama Rumpun Ilmu: 307/Ilmu Kedokteran Dasar dan Biomedis ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN FUNDAMENTAL TAHUN ANGGARAN 2014 (Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun) KLONING DAN ANALISIS SEKUEN DBLβC2-VAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan. yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan. yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang berasal dari lapisan epitel nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang jarang terjadi di sebagian

Lebih terperinci

4.1. Alat dan Bahan Penelitian a. Alat Penelitian. No. URAIAN ALAT. A. Pengambilan sampel

4.1. Alat dan Bahan Penelitian a. Alat Penelitian. No. URAIAN ALAT. A. Pengambilan sampel 7 IV. METODE PENELITIAN Ikan Lais diperoleh dari hasil penangkapan ikan oleh nelayan dari sungaisungai di Propinsi Riau yaitu S. Kampar dan S. Indragiri. Identifikasi jenis sampel dilakukan dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Suhu Annealing pada Program PCR terhadap Keberhasilan Amplifikasi DNA Udang Jari (Metapenaeus elegans) Laguna Segara Anakan

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE. Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di

II. MATERI DAN METODE. Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di II. MATERI DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di enam desa yaitu tiga desa di Kecamatan Grokgak dan tiga desa di Kecamatan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian 12 METODE PEELITIA Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan April 2010, bertempat di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode 16 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR SINGKATAN... v vi viii ix x xiii

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui variasi genetik (polimorfisme) gen Apo E pada pasien IMA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah D-loop

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH. Gambaran Merokok sebagai Faktor Risiko Pada Penderita Karsinoma Laring di RSUP. H. Adam Malik Medan

KARYA TULIS ILMIAH. Gambaran Merokok sebagai Faktor Risiko Pada Penderita Karsinoma Laring di RSUP. H. Adam Malik Medan KARYA TULIS ILMIAH Gambaran Merokok sebagai Faktor Risiko Pada Penderita Karsinoma Laring di RSUP. H. Adam Malik Medan Oleh : Todoan P Pardede 090100350 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus sampai September tahun 2011. Sampel ikan berasal dari 3 lokasi yaitu Jawa (Jawa Barat), Sumatera (Jambi),

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI ISOLASI TOTAL DNA TUMBUHAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA PHYTOPURE Halaman : 1 dari 5 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan tumbuhan, dapat dari daun, akar, batang,

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer

LAMPIRAN. Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer LAMPIRAN Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer 1. Pembuatan Larutan Stok a. CTAB 5 % Larutan dibuat dengan melarutkan : - NaCl : 2.0 gr - CTAB : 5.0 gr - Aquades : 100 ml b. Tris HCl

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Amplifikasi Gen Mx Amplifikasi gen Mx telah berhasil dilakukan. Hasil amplifikasi gen Mx divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita yang

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Jenis penelitian adalah eksperimental dengan rancangan pre and post

BAB 4 METODE PENELITIAN. Jenis penelitian adalah eksperimental dengan rancangan pre and post BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Desain penelitian Jenis penelitian adalah eksperimental dengan rancangan pre and post test design sehingga dapat diketahui perubahan yang terjadi akibat perlakuan. Perubahan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu pengumpulan sampel berupa akar rambut, ekstraksi mtdna melalui proses lisis akar rambut, amplifikasi

Lebih terperinci

Asam Asetat Glacial = 5,7 ml EDTA 0,5 M ph 8.0 = 10 ml Aquades ditambahkan hingga volume larutan 100 ml

Asam Asetat Glacial = 5,7 ml EDTA 0,5 M ph 8.0 = 10 ml Aquades ditambahkan hingga volume larutan 100 ml 36 Lampiran 1. Pembuatan Larutan Stok dan Buffer A. Pembuatan Larutan Stok Tris HCL 1 M ph 8.0 (100 ml) : Timbang Tris sebanyak 12,114 g. Masukkan Tris ke dalam Erlenmeyer dan ditambahkan 80 ml aquades.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keganasan yang berasal dari sel epitel yang melapisi daerah nasofaring (bagian. atas tenggorok di belakang hidung) (KPKN, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. keganasan yang berasal dari sel epitel yang melapisi daerah nasofaring (bagian. atas tenggorok di belakang hidung) (KPKN, 2015). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker masih menjadi masalah serius bagi dunia kesehatan. Hal ini terbukti dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas akibat kanker di seluruh dunia. Terdapat 14

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode 24 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode penelitian deskriptif. B. Objek Penelitian Empat spesies burung anggota Famili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hemoglobinopati adalah kelainan pada sintesis hemoglobin atau variasi

BAB I PENDAHULUAN. Hemoglobinopati adalah kelainan pada sintesis hemoglobin atau variasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hemoglobinopati adalah kelainan pada sintesis hemoglobin atau variasi struktur hemoglobin yang menyebabkan fungsi eritrosit menjadi tidak normal dan berumur pendek.

Lebih terperinci

Metodologi Penelitian. Metode, bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini akan dipaparkan pada bab ini.

Metodologi Penelitian. Metode, bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini akan dipaparkan pada bab ini. Bab III Metodologi Penelitian Metode, bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini akan dipaparkan pada bab ini. III.1 Rancangan Penelitian Secara garis besar tahapan penelitian dijelaskan pada diagram

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, SARAN & RINGKASAN

BAB V KESIMPULAN, SARAN & RINGKASAN BAB V KESIMPULAN, SARAN & RINGKASAN V.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Ekspresi hsa-mir-155-5p lebih tinggi 1,13 kali pada plasma darah penderita kanker nasofaring

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 sampai bulan Juli 2012, yang bertempat di Laboratorium Genetika dan Biologi Molekuler Jurusan Biologi

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN Penelitian penanda genetik spesifik dilakukan terhadap jenis-jenis ikan endemik sungai paparan banjir Riau yaitu dari Genus Kryptopterus dan Ompok. Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR Alu-1 Amplifikasi fragmen gen FSHR Alu-1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60 C selama 45 detik dan diperoleh produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang. Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan. yang jarang ditemukan di sebagian besar negara, namun

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang. Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan. yang jarang ditemukan di sebagian besar negara, namun BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan yang jarang ditemukan di sebagian besar negara, namun sangat sering dijumpai di Cina Selatan, Afrika Utara, Alaska,

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 38 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian di bidang ilmu penyakit saraf dan genetika 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di RSUP Dr.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif. Penelitian membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini adalah studi Cross Sectional. B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini jumlah penderita kanker di seluruh dunia semakin meningkat. Dari kasus kanker baru yang jumlahnya diperkirakan sembilan juta setiap tahun lebih dari setengahnya

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan Randomized control

BAB 4 METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan Randomized control BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan Randomized control group pretest posttest design 41 Kelompok penelitian dibagi menjadi 2 kelompok

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker adalah pertumbuhan dan penyebaran sel secara tidak terkendali, sering menyerang jaringan disekitarnya dan dapat bermetastatis atau menyebar keorgan lain (WHO,

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan selama bulan Januari hingga April 2010 bertempat di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian murni yang dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan termasuk penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah metode penelitian yang bertujuan membuat gambaran secara sistematis,

Lebih terperinci

ABSTRAK. Etiopatogenesis Karsinoma Nasofaring (KNF) Rabbinu Rangga Pribadi, Pembimbing: dr. Freddy Tumewu A., M.S.

ABSTRAK. Etiopatogenesis Karsinoma Nasofaring (KNF) Rabbinu Rangga Pribadi, Pembimbing: dr. Freddy Tumewu A., M.S. ABSTRAK Etiopatogenesis Karsinoma Nasofaring (KNF) Rabbinu Rangga Pribadi, 2005. Pembimbing: dr. Freddy Tumewu A., M.S. Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas kepala dan leher yang paling banyak

Lebih terperinci

Korelasi Mutasi JAK2 V617F dengan Keparahan Klinis pada Pasien Neoplasma Myeloproliferatif yang Memiliki Kromosom Philadelphia Negatif

Korelasi Mutasi JAK2 V617F dengan Keparahan Klinis pada Pasien Neoplasma Myeloproliferatif yang Memiliki Kromosom Philadelphia Negatif LAPORAN AKHIR PENELITIAN Korelasi Mutasi JAK2 V617F dengan Keparahan Klinis pada Pasien Neoplasma Myeloproliferatif yang Memiliki Kromosom Philadelphia Negatif Penyusun Laporan : 1. dr. Santosa, SpPD 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari. 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari. 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Epstein-Barr Virus (EBV) menginfeksi lebih dari 90% populasi dunia. Di negara berkembang, infeksi primer terjadi pada awal masa anak-anak dan umumnya asimptomatik.

Lebih terperinci

3 Metodologi Penelitian

3 Metodologi Penelitian 3 Metodologi Penelitian 3.1 Alat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian Biokimia, Program Studi Kimia, Institut Teknologi Bandung. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini diantaranya

Lebih terperinci

Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri. Isolasi DNA kromosom bakteri. Kloning DNA

Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri. Isolasi DNA kromosom bakteri. Kloning DNA LAMPIRAN 15 15 Lampiran 1 Tahapan penelitian Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri Isolasi DNA kromosom bakteri Pemotongan DNA dengan enzim restriksi Kloning DNA Isolasi DNA plasmid hasil

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinik dengan desain Randomized

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinik dengan desain Randomized 20 BAB III METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan uji klinik dengan desain Randomized Controlled Trial Double Blind pada pasien yang menjalani operasi elektif sebagai subyek

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Materi Sampel DNA Primer

METODE Waktu dan Tempat Materi Sampel DNA Primer METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September 2010 sampai dengan bulan Pebruari 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak Bagian Pemuliaan dan Genetika

Lebih terperinci

ABSTRAK. OPTIMASI AMPLIFIKASI DAN KLONING GEN Chaperonin 60.1 PADA Mycobacterium tuberculosis

ABSTRAK. OPTIMASI AMPLIFIKASI DAN KLONING GEN Chaperonin 60.1 PADA Mycobacterium tuberculosis ABSTRAK OPTIMASI AMPLIFIKASI DAN KLONING GEN Chaperonin 60.1 PADA Mycobacterium tuberculosis Nia Oktriviany, 2009 Pembimbing I : Ernawati Arifin Giri Rachman, Ph.D Pembimbing serta I : Debbie Sofie Retnoningrum,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengekstraksi DNA dari dari beberapa spesimen herbarium Rafflesia arnoldii

BAB III METODE PENELITIAN. mengekstraksi DNA dari dari beberapa spesimen herbarium Rafflesia arnoldii 21 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif untuk mengekstraksi DNA dari dari beberapa spesimen herbarium Rafflesia arnoldii R.Br dan Rafflesia

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE. Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim

III. MATERI DAN METODE. Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim III. MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian. Penelitian ini dapat menerangkan

Lebih terperinci

LEMBARAN PENJELASAN EKSPRESI MATRIKS METALLOPROTEINASE-9 PADA PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

LEMBARAN PENJELASAN EKSPRESI MATRIKS METALLOPROTEINASE-9 PADA PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN LAMPIRAN 1 LEMBARAN PENJELASAN EKSPRESI MATRIKS METALLOPROTEINASE-9 PADA PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN Bapak/Ibu yang terhormat, nama saya dr. Dewi Puspitasari, Peserta Program

Lebih terperinci