BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian mengenai akuntansi sektor publik di Indonesia sampai saat ini

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian mengenai akuntansi sektor publik di Indonesia sampai saat ini"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teori Penelitian mengenai akuntansi sektor publik di Indonesia sampai saat ini masih terbatas. Salah satu penyebabnya adalah masih berlanjutnya perubahanperubahan dalam peraturan perundang-undangan pada sektor publik. Oleh sebab itu tinjauan teori yang mendukung penelitian ini agak sulit diperoleh Dana Alokasi Umum Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah dengan kebijakan bagi hasil dan Dana Alokasi Umum (DAU) minimal sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri. Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal Gap, di mana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan atas kebutuhan Daerah (fiscal needs) dengan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU

2 digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari potensi penerimaan Daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerahdaerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini sebenarnya daerah yang fiscal capacitynya lebih besar dari fiscal needs hitungan DAUnya akan negatif. Variabel-variabel kebutuhan Daerah dan potensi ekonomi Daerah. Kebutuhan Daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi Daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan Daerah seperti potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, dan PDRB. Menghindari kemungkinan penurunan kemampuan Daerah dalam membiayai beban pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya, maka perhitungan DAU di samping menggunakan formula Fiscal Gap juga menggunakan Faktor Penyeimbang (sesuai PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah direvisi dengan PP Nomor 84 Tahun 2001). Dengan adanya Faktor Penyeimbang, alokasi DAU kepada Daerah ditentukan dengan perhitungan formula Fiscal Gap dan Faktor Penyeimbang.

3 Untuk formula dan perhitungan DAU Tahun Anggaran (TA) 2001 (berdasarkan PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan) telah dialokasikan DAU TA 2001 kepada masing-masing Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan Keppres Nomor 181 Tahun 2000 (dalam tabel terlampir). Formulasi dan perhitungan DAU TA 2001 dianggap mengandung banyak kelemahan terutama menyangkut keadilan antar Daerah. Hal ini dapat dimaklumi mengingat proses tersebut merupakan proses awal/tahun pertama dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal. Dalam rangka perhitungan DAU untuk TA 2002 dan tahun-tahun selanjutnya sudah ada komitmen bersama antara Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR-RI untuk mengkaji ulang sekaligus mereformulasi DAU TA 2002, agar dihasilkan perhitungan dan distribusi DAU TA 2002 yang lebih baik dan mencerminkan rasa keadilan antar Daerah. Formula DAU TA 2002 merupakan rekomendasi dari Tim Independen yang terdiri dari 4 (empat) universitas terkemuka yang selama ini terlibat dalam kajian di bidang keuangan Daerah (UI, UGM, UNAND, dan UNHAS) kepada Pemerintah. Formula DAU tersebut telah disetujui oleh Pemerintah telah ditetapkan dengan PP Nomor 84 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan. Namun demikian, dalam perhitungan DAU TA 2002 berdasarkan plafon DAU dalam APBN TA 2002 (Rp. 69,1 triliun) dengan formula tersebut terdapat daerah-daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang mengalami penurunan penerimaan DAU TA 2002 dibandingkan dengan DAU TA

4 2001. Hal ini cukup logis mengingat formula DAU yang baru dianggap lebih baik dan dapat mengoreksi hasil perhitungan DAU TA 2001 bagi daerah-daerah yang diuntungkan dalam perhitungan pada waktu itu. Sesuai dengan pembahasan perhitungan DAU TA 2002 dengan Panitia Anggaran telah disepakati bahwa hasil akhir perhitungan DAU TA 2002 menggunakan formula DAU sebagaimana dimaksud di atas dengan dilakukan beberapa penyesuaian dengan tujuan tidak ada Daerah yang menerima DAU TA 2002 lebih kecil dari DAU TA 2001 ditambah Dana Kontinjensi 2001 bagi Daerah yang menerima. Untuk tujuan tersebut telah ada tambahan dana untuk DAU (bukan dari plafon) yang disebut dengan Dana Penyeimbang sebesar Rp ,72 miliar yang perhitungannya bersamaan dengan perhitungan DAU. Keberadaan Dana Penyeimbang juga dimaksudkan untuk menambah penerimaan DAU Provinsi, di mana dengan 10% dari total DAU secara nasional untuk penerimaan DAU Provinsi dirasa masih kurang dibandingkan dengan kebutuhan DAU seluruh Provinsi. Dalam TA 2002, penerimaan DAU seluruh Provinsi sebesar Rp. 6,91 triliun, sementara penerimaan DAU TA 2001 ditambah Dana Kontinjensi untuk Provinsi sebesar Rp. 7,47 triliun. Alokasi DAU TA 2002 untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota telah ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 131 Tahun 2001 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2002 tertanggal 31 Desember. Selanjutnya pada tanggal yang sama telah pula ditetapkan Keputusan

5 Menteri Keuangan Nomor 685/KMK.07/2001 tentang Penetapan Rincian Dana Penyeimbang Tahun Anggaran 2002 Kepada Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Rincian alokasi DAU TA 2002 dan Dana Penyeimbang untuk masing-masing Daerah dapat dilihat dalam tabel terlampir. Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Darwanto dan Yustikasari, 2007). Lebih lanjut menurut Darwanto dan Yustikasari (2007) hal tersebut menunjukkan terjadi transfer yang cukup signifikan di dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan dana ini apakah untuk memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat atau untuk keperluan lain yang tidak penting Dana Alokasi Khusus Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. DAK disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah. Oleh sebab itu DAK dicantumkan dalam APBD. DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan fisik, penelitian, pelatihan, dan perjalanan dinas.

6 Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Implementasi konsep DAK di Indonesia mencakup pula alokasi dana untuk kegiatan penghijauan dan reboisasi, di mana pembiayaannya berasal dari penerimaan Dana Reboisasi (DR) dalam APBN yang diberikan 40%-nya kepada Daerah penghasil. Pembiayaan dari DAK-DR sejalan dengan keinginan Pemerintah untuk melibatkan PemerintahDaerah penghasil DR dalam kegiatan penghijauan dan reboisasi kawasan hutan di Daerahnya, dimana kegiatan tersebut merupakan salah satu kegiatan yang menjadi prioritas nasional. Pedoman Umum Pengelolaan DAK- DR untuk Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2001 diatur dalam Surat Edaran Bersama Departemen Keuangan, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, dan Bappenas Nomor: SE-59/A/2001, Nomor: SE-720/MENHUT-II/2001, Nomor: 2035/D.IV/05/2001, dan Nomor: SE /947/5/BANGDA. Adapun untuk DAK TA 2001 hanya dialokasikan dari Dana Reboisasi yang berasal dari 40% penerimaan Dana Reboisasi dan diberikan kepada Daerah

7 Penghasil. Berdasarkan penyesuaian APBN TA 2001, alokasi DAK-Dana Reboisasi (DAK-DR) semula sebesar Rp. 900,6 milyar dan menjadi Rp. 700,6 milyar (revisi APBN TA 2001) yang pengalokasiannya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 491/KMK.02/2001 tanggal 6 September Provinsi yang tidak mendapatkan alokasi DAK-DR TA 2001 adalah Daerah bukan penghasil yang meliputi provinsi-provinsi yang ada di Pulau Jawa, Provinsi Lampung, Provinsi Bali, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Keputusan Menteri Keuangan tersebut, dan penetapan alokasi oleh Gubernur kepada Daerah serta Rencana Definitif yang disampaikan Gubernur, Dirjen Anggaran telah menerbitkan Daftar Alokasi DAK-DR (DA-DAK-DR) yang berlaku untuk kabupaten/kota dalam wilayah 21 provinsi penghasil. Sesuai dengan APBN TA 2002 yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, DAK TA 2002 masih dialokasikan dari DR yang ditetapkan sebesar Rp. 817,3 milyar. Untuk itu, akan dilakukan koordinasi dengan pihak Departemen Kehutanan agar segera menyusun ancar-ancar pengalokasian DAK-DR TA 2002 untuk daerah penghasil sesuai dengan DAK-DR yang telah ditetapkan dalam APBN, dan diharapkan secepatnya dapat mengusulkan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan dalam Daftar Alokasi DAK-DR TA DAK ini akan digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik antara lain seperti pembangunan rumah sakit, jalan, irigasi, dan air bersih. DAK ini bisa disamakan dengan dengan belanja pembangunan karena digunakan untuk mendanai

8 peningkatan kualitas pelayanan publik berupa pembangunan sarana dan prasarana publik (Ndadari dan Adi, 2008). DAK digunakan sepenuhnya sebagai belanja modal oleh pemerintah daerah. Belanja modal kemudian digunakan untuk menyediakan aset tetap. Menurut Abdullah dan Halim (2004) aset tetap yang dimiliki dari penggunaan belanja modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemda. Lebih lanjut Abdullah dan Halim (2006) menjelaskan bahwa biasanya setiap tahun pemda melakukan pengadaan aset tetap sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara finansial. Menurut Abimanyu (2005) yang dikutip oleh Harianto dan Adi (2007) infrastruktur dan sarana prasarana yang ada di daerah akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah. Jika sarana dan prasarana memadai maka masyarakat dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara aman dan nyaman yang akan berpengaruh pada tingkat produktivitasnya yang semakin meningkat dan dengan adanya infrastruktur yang memadai akan menarik investor untuk membuka usaha di daerah tersebut. Transfer pemerintah pusat ke pemda diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Meskipun demikian, menurut Ndadari dan Adi (2008) bahwa dapat juga terjadi keganjilan di mana terjadi flypaper effect yaitu saat pemda mendapat transfer dari pemerintah pusat justru pendapatan masyarakat tidak meningkat karena transfer tersebut digunakan sepenuhnya untuk kegiatan belanja pemerintah tanpa diimbangi dengan peningkatan PAD. Menurut Maimunah (2006) seharusnya dana

9 transfer dari pemerintah pusat diharapkan untuk digunakan secara efektif dan efisien oleh pemda untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, selain itu kebijakan penggunaan dana tersebut harus transparan dan akuntabel Dana Bagi Hasil Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA) ( document/article/108/69). Dasar hukum dana bagi hasil adalah Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, yaitu: 1. UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua; 2. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 3. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; 4. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; dan 5. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Alokasi Dana Bagi Hasil Pajak dilaksanakan seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah sejak adanya Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang

10 -Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Alokasi DBH Pajak yang telah didistribusikan adalah Realisasi DBH Pajak dalam bentuk lampiran PMK: 1. Lampiran PMK No. 05 Tahun 2007, tentang Penetapan Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Bagian Pemerintah Pusat yang dibagikan kepada Seluruh Kabupaten dan Kota Tahun Anggaran PMK No.05 tahun Lampiran PMK No. 03 Tahun 2007, tentang Penetapan Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Bagian Daerah Tahun Anggaran PMK No.141 tahun Lampiran PMK No. 127 Tahun 2006, tentang Penetapan Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Sementara Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Anggaran PMK No. 127 Tahun Sedangkan jenis-jenis penerimaan DBH sumber daya alam adalah sebagai berikut: 1. Kehutanan, berasal dari: a. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH); b. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH); dan c. Dana Reboisasi.

11 2. Pertambangan Umum, berasal dari: a. Iuran Tetap (Landrent); dan b. Iuran Eksplorasi dan Eksploitasi (royalty). 3. Perikanan, berasal dari: a. Pungutan Pengusahaan Perikanan; dan b. Pungutan Hasil Perikanan. 4. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, berasal dari: a. Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi dalam bentuk dana bagi hasil dialokasikan kepada pemerintah daerah sebesar 15,5% setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya serta bagian Pemerintah Pusat sebesar 84,5%; dan b. Penerimaan Negara dari pertambangan gas bumi dalam bentuk dana bagi hasil dialokasikan kepada pemerintah daerah sebesar 30,5% setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya serta bagian Pemerintah Pusat sebesar 69,5%. 5. Pertambangan Panas Bumi, berasal dari: a. Setoran Bagian Pemerintah; atau b. Iuran Tetap dan Iuran Produksi Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM)/Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, buta huruf, pendidikan dan

12 standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Indeks ini pada 1990 dikembangkan oleh pemenang nobel India Amartya Sen dan Mahbub ul Haq seorang ekonom Pakistan dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale University dan Lord Meghnad Desai dari London School of Economics dan sejak itu dipakai oleh Program Pembangunan PBB pada laporan HDI tahunannya. Digambarkan sebagai "pengukuran vulgar" oleh Amartya Sen karena batasannya. indeks ini lebih fokus pada hal-hal yang lebih sensitif dan berguna daripada hanya sekedar pendapatan perkapita yang selama ini digunakan, dan indeks ini juga berguna sebagai jembatan bagi peneliti yang serius untuk mengetahui hal-hal yang lebih terinci dalam membuat laporan pembangunan manusianya. HDI mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia: 1. Hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran. 2. Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).

13 3. Standard kehidupan yang layak diukur dengan GDP per kapita gross domestic product/produk domestik bruto dalam paritas kekuatan beli purchasing power parity dalam Dollar AS Komponen penyusunan IPM Pada tahun 1996 BPS dan UNDP untuk pertama kali menerbitkan Indeks Pembangunan Manusia antar provinsi untuk tahun 1990 dan Karena data survey ekonomi sosial tidak ada sebelum 1990, maka indeks ini tidak bisa dibuat untuk tahun sebelumnya. Karena lintas data yang dibuat barulah IPM belum indeks lainnya. Pada dasarnya metode yang digunakan selalu mengikuti yang dibuat UNDP dalam membuat IPM Beberapa modifikasi terpaksa dibuat berkaitan dengan pembuatan standar kehidupan di provinsi. UNDP menggunakan GDP riil perkapita yang disesuaikan sebagai ukuran pendapatan, sedangkan Indonesia membuat pengeluaran riil yang disesuaikan (rata-rata propinsi), diperoleh dari hasil susenas dan dihitung atas dasar harga konstan tahun 1988/1989. Tetapi maksimum pendapatan diambil dari tingkat target rata-rata tahun 2018 (akhir PJP II), dan batas bawah disesuaikan dengan situasi Indonesia. Edisi revisi yang paling lengkap dipublikasikan tahun 1997, yaitu revisi tentang IPM tahun 1990 dan Publikasi ini juga turut mencakup GDI (Gender Development Indeks) dan GEM untuk 1990 dan 1996 juga HPI untuk tahun 1990 dan Gambaran IPM dalam IHDR 2004 tak dapat dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya karena adanya perubahan metodologi, yaitu tentang tahun dasar

14 yang digunakan untuk menghitung pengeluaran riil perkapita yang disesuikan publikasi sebelumnya tahun 1988/1989 sebagai tahun dasar, sedangkan publikasi tahun 1997 menggunakan tahun 1993 sebagai tahun dasar. Sebagai bagian dari pilot proyek untuk pengembangan IPM dan pemakaiannya kepada perencanaan regional pada Juni 1999, BPS dan Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri mengeluarkan gambaran tingkat daerah untuk tahun 1990 dan Pada IPM 1996 (dipublikasikan tahun 1997) menunjukkan gambaran yang sedikit berbeda dengan IPM tahun 1999 dan dalam IHDR tahun Pada publikasi tahun 1997, umur harapan hidup adalah kurang akurat karena didasarkan atas sensus penduduk 1971, 1980 dan 1990, sedangkan dipublikasi tahun 1999 telah memasukkan data-data survey penduduk tahun 1995 antara sensus dan survey sosial ekonomi tahun Juga penting dicatat bahwa harapan hidup tahun 1999 dari Indonesia HDR 2004 adalah taksiran berdasarkan trend sebelumnya dan belum memperhitungkan dampak dari krisis ekonomi yang terakhir. IHDR 2004 memakai data sensus penduduk tahun 2000 yang diekstrapolasikan ke tahun Metode yang dipakai dalam Indonesia HDR 2004 juga sama dengan metode UNDP sebanyak mungkin, untuk memastikan hasilnya dapat dibandingkan dengan gambaran internasional. Walau bagaimanapun juga berkaitan dengan ketersediaan data dan juga untuk alasan beberapa substansi maka beberapa modifikasi dari metode global juga dipublikasikan.

15 Sebagian dari perbedaan itu adalah pengukuran pencapaikan pendidikan dalam komponen IPM seperti yang disebutkan sebelumnya, setelah tahun 1995, laporan dunia telah menggantikan angka rata-rata lama sekolah menjadi kontribusi angka partisipasi kasar pendidikan dasar, sekunder dan tertier. Indonesia HDR 2004 masih menggunakan angka rata-rata lama sekolah dengan alasan tertentu. Pertama, untuk perbandingan time series, karena data angka partisipasi kasar pada tahun sebelum tersedia. Kedua angka ratio sekolah selalu dianggap lebih baik sebagai indikator dampak dari pada angka partisipasi kasar yang merupakan indikator proses. Jadi rata-rata lama sekolah akan lebih stabil dari tingkat partisipasi kasar yang merupakan indikator proses. Jadi rata-rata lama sekolah akan lebih stabil dari tingkat partisipasi yang cenderung berfluktuasi. Hal lain yang berbeda dengan laporan dunia l (global report) ialah pemakaian database untuk menggambarkan pendapatan. Laporan dunia memakai GDP per kapita, sedangkan Indonesia HDR 2004 memakai pengeluaran per kapita Metode Indeks Pembanguan Manusia (IPM) di Indonesia IPM ini merupakan rata-rata sederhana dari ketiga komponen, yaitu: IPM = 1/3 (Indeks X 1 + Indeks X 2 + Indeks X 3 ) X 1, X 2 dan X 3 adalah lamanya hidup, tingkat pendidikan dan tingkat kehidupan yang layak. Indeks X(i, j) X(i min)) / (X(i max) X(i min)) X(i, j) : Indikator ke i dari daerah j

16 X(i min) : Nilai minimum dari X i (X(i max) : Nilai maksimum dari X i Untuk setiap komponen IPM, masing-masing indeks dapat dihitung dengan ketentuan umum berikut: A. Usia Hidup Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup waktu lahir (life expectancy at birth) yang dihitung dengan metode tidak langsung. Metode ini menggunakan dua macam data dasar yaitu rata-rata anak yang dilahirkan hidup (live births) dan rata-rata anak yang masih hidup (still living) per wanita usia tahun menurut kelompok umur lima tahunan. Pada komponen angka umur harapan hidup, angka tertinggi sebagai batas atas untuk penghitungan indeks dipakai 85 tahun dan terendah adalah 25 tahun. B. Pengetahuan Untuk mengukur dimensi pengetahuan penduduk digunakan 2 indikator yaitu rata-rata lama sekolah (mean year schooling) dan angka melek huruf. Angka rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Sedangkan angka melek huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Proses penghitungannya, kedua indikator tersebut digabung setelah masing-masing diberi bobot. Rata-rata lama sekolah diberi bobot sepertiga dan angka melek

17 huruf diberi bobot dua pertiga. Untuk penghitungan indeks, batas maksimum untuk angka melek huruf dipakai 100 dan minimum 0 (nol), yang menggambarkan kondisi 100 persen atau semua masyarakat mampu membaca dan menulis dan nilai 0 mencerminkan sebaliknya. C. Standard Hidup Layak Angka standard hidup layak bisa menggunakan indikator GDP perkapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) atau menggunakan indikator rata-rata pengeluaran perkapita riil yang disesuaikan (adjusted real per capita expenditure). Konsep Pembangunan Manusia yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menetapkan peringkat kinerja pembangunan manusia pada skala 0,0 100,0 dengan kategori sebagai berikut: Tinggi : IPM lebih dari 80,0 Menengah Atas : IPM antara 66,0 79,9 Menengah Bawah : IPM antara 50,0 65,9 Rendah : IPM kurang dari 50, Pengalaman Indonesia dalam melakukan pembangunan manusia Sebelum krisis tahun 1998 Indonesia berhasil membangun hak-hak dasar manusia, mentransfer pertumbuhan ekonomi yang tinggi kepada pembangunan manusia. Dimulai dari tingkat rendah pada tahun 1960, akhirnya Indonesia berhasil melewati tingkat perkembangan yang dicapai oleh negara-negara tetangga se-asia Tenggara. Sebagai hasilnya dalam bidang pembangunan manusia, rangking global

18 Indonesia sama dengan rangking pendapatan per perkapitanya. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pembangunan manusia adalah dalam tingkat rata-rata dengan tingkat perkembangan ekonomi, tidak dibawah dan tidak di atas IHDR (2004). Kemajuan ini dicapai sebagai hasil dari kombinasi pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan penurunan laju pertumbuhan penduduk, yang menyebabkan pertumbuhan yang substansial pada standar kehidupan dan laju penurunan angka kemiskinan. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan penurunan kemiskinan cukup kuat karena selama masa itu tidak ada pertambahan kesenjangan: distribusi pendapatan tetap stabil IHDR (2004). Di samping jalan ini, berbagai dimensi pembangunan manusia memiliki hubungan yang bersinergi dan saling memperkuat satu sama lain. Sangat penting untuk mengadakan dukungan pemerintah dalam berbagai bidang, dan hal ini tidak mudah tetapi dengan pendekatan yang serius akan dapat ditangani. Hal ini memerlukan partisipasi aktif dari pada pemerintah dan masyarakat. Di Indonesia porsi pengeluaran publik sebagai bagian dari GDP adalah rendah. Pengeluaran publik dalam pelayanan bidang ini cukup rendah dibandingkan dengan rata-rata negara berkembangan. Walaupun satu faktor kompensasi ialah bahwa pengeluaran ini dipusatkan kepada pelayanan dasar, dengan jumlah yang berarti kepada pemenuhan pelayanan kesehatan dasar dan pendidikan dasar. Pengeluaran pemerintah yang rendah ini harus diimbangi dengan pengeluaran swasta yang lebih tinggi. Hal ini sangat jelas pada sektor kesehatan, di mana

19 pengeluaran swasta mencapai 80%, sedangkan pemerintah hanya sekitar 20%. Pengeluaran pemerintah untuk pelayanan dasar kesehatan terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat untuk semua kelas sedangkan pengeluaran swasta hanya cenderung untuk golongan. Seperti dalam sektor kesehatan, dalam sektor pendidikan juga terdapat pembagian kelas. Walaupun kurang nyata seperti pada sektor kesehatan. Hasil dari pada pendidikan pada tingkat tertentu akan tergantung kepada pengaruh keluarga, terutama tentang tingkat pendidikan orang tua dan dengan keluarga untuk meninggalkan sekolah dalam rangka bekerja. Dalam hal pendidikan, pengeluaran pemerintah cenderung memiliki efek yang sama karena sebagian besar tingkat pendidikan dasar dan tingkat menengah diselenggarakan oleh pemerintah. Sebagai hasilnya maka hampir tidak ada perbedaan angka partisipasi antara golongan pendapatan yang rendah. Walaupun demikian terdapat perbedaan yang nyata untuk tingkat menengah. Angka partisipasi 20% golongan kaya adalah 72%, sedangkan untuk 20% golongan miskin 50%. Banyak pula yang drop out sebelum menyelesaikan pendidikan tingkat dasar. Perbedaan ini juga nampak pada kemampuan baca tulis untuk tahun 2002 golongan miskin mencapai 87% sedangkan golongan kaya 98%.

20 2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu Tinjauan penelitian yang berhubungan dengan Indeks Pembangunan Manusia saat penelitian ini dilaksanakan belum ada. Berikut ini adalah tinjauan atas penelitian terdahulu yang berhubungan dengan akuntansi sektor publik: a. Budi D. Sinullingga (2009) melakukan penelitian yang berjudul Analisis Pengaruh Alokasi Sektor Anggaran Pemerintah terhadap Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (Studi Kasus Kota Medan) dengan metode expost facto (Sugiyono, 2004) karena meneliti sesuatu yang telah terjadi yaitu peningkatan IPM Kota Medan tahun 1995 sampai dengan 2005, yang dipengaruhi oleh sektor anggaran pembangunan pemerintah kota tahun 1995 sampai dengan Variabel dependen pada penelitian ini adalah IPM yang dinilai dengan nilai IPM sedangkan variabel independennya yaitu sektor pendidikan (X 1 ), sektor kesehatan (X 2 ), sektor transportasi (X 3 ), sektor pembangunan daerah (X 4 ), sektor perumahan (X 5 ), sektor industri (X 6 ) dan sektor tenaga kerja (X 7 ). Kesimpulan penelitian ini bahwa sektor-sektor yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap peningkatan IPM ialah sektor yang mengurangi kesenjangan yaitu sektor perdagangan, tenaga kerja dan industri. Selama tahun penelitian sektor-sektor pengurangan kesenjangan ini anggarannya sangat kecil sekali dibandingkan dengan sektor-sektor infrastruktur. Sektor-sektor infrastruktur pemukiman memiliki pengaruh langsung relatif kecil terhadap peningkatan IPM, dan diantara sektor infrastruktur ini yang paling kecil pengaruhnya ialah sektor

21 perumahan. Sektor transportasi dan pembangunan daerah juga mempunyai pengaruh terhadap IPM melalui pertumbuhan ekonomi dan besarnya belum termasuk dalam penelitian ini. Sektor yang secara langsung menangani komponen peningkatan IPM, yaitu sektor pendidikan dan kesehatan kurang efektif meningkatkan IPM. Untuk tahap penelitian ini, dikemukakan yang menjadi penyebabnya adalah kecilnya anggaran sehingga kurang efektif mengimbangi kondisi perekonomian yang dilanda krisis. Tabel 2.1. Daftar Tinjauan Peneliti Terdahulu Nama Budi D. Sinullingga (2009) Judul Penelitian Analisis Pengaruh Alokasi Sektor Anggaran Pemerintah terhadap Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (Studi Kasus Kota Medan) Variabel Alokasi Sektor Anggaran Pemerintah, Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia Hasil Penelitian Kesimpulan penelitian ini bahwa sektor-sektor yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap peningkatan IPM ialah sektor yang mengurangi kesenjangan yaitu sektor perdagangan, tenaga kerja dan industri. Selama tahun penelitian sektor-sektor pengurangan kesenjangan ini anggarannya sangat kecil sekali dibandingkan dengan sektor-sektor infrastruktur. Sektor-sektor infrastruktur pemukiman memiliki pengaruh langsung relatif kecil terhadap peningkatan IPM, dan diantara sektor infrastruktur ini yang paling kecil pengaruhnya ialah sektor perumahan. Sektor transportasi dan pembangunan daerah juga mempunyai pengaruh terhadap IPM melalui pertumbuhan ekonomi dan besarnya belum termasuk dalam penelitian ini. Sektor yang secara langsung menangani komponen peningkatan IPM, yaitu sektor pendidikan dan kesehatan kurang efektif meningkatkan IPM, yang menjadi penyebabnya adalah kecilnya anggaran sehingga kurang efektif mengimbangi kondisi perekonomian yang dilanda krisis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Landasan Teori Bab ini akan menguraikan pengertian dana alokasi umum, dana alokasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Landasan Teori Bab ini akan menguraikan pengertian dana alokasi umum, dana alokasi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori Bab ini akan menguraikan pengertian dana alokasi umum, dana alokasi khusus, lain-lain pendapatan daerah yang sah terhadap pertumbuhan ekonomi dengan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik atau meningkat. Pembangunan Nasional yang berlandaskan. dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik atau meningkat. Pembangunan Nasional yang berlandaskan. dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu langkah dalam membuat sesuatu yang belum ada menjadi ada atau membuat suatu perubahan yaitu membuat sesuatu menjadi lebih baik atau meningkat.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar pembangunan. Tujuan dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyat untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

DAMPAK PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM BARU TEHADAP KEBIJAKAN ALOKASI DANA PERIMBANGAN

DAMPAK PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM BARU TEHADAP KEBIJAKAN ALOKASI DANA PERIMBANGAN DAMPAK PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM BARU TEHADAP KEBIJAKAN ALOKASI DANA PERIMBANGAN Disampaikan Oleh: Drs. Kadjatmiko, M.Soc.Sc Direktur Dana Perimbangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA;

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan menganalisis hubungan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Fiscal Federalism Teori Fiscal Federalism menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan dapat tercapai melalui pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN 44 BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN Adanya UU No. 32 dan No. 33 Tahun 2004 merupakan penyempurnaan dari pelaksanaan desentralisasi setelah sebelumnya berdasarkan UU No. 22 dan No. 25 Tahun 1999.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan. Gambar 1.1 Peta Dunia Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (2004). menengah. tinggi. data ( ) rendah (

Bab 1 Pendahuluan. Gambar 1.1 Peta Dunia Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (2004). menengah. tinggi. data ( ) rendah ( Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori Dalam landasan teori, akan dibahas lebih lanjut mengenai Dana Bagi Hasil (DBH), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Belanja Modal(BM), Belanja Daerah(BD) dan Indeks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perencanaan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perencanaan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perencanaan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan (growth) merupakan awal proses pembangunan suatu negara. Pembangunan suatu negara diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP)

BAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sumber Daya Manusia (SDM) adalah kekayaan suatu negara yang dijadikan sebagai modal dasar pembangunan. Pembangunan bertujuan untuk menciptakan lingkungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, wewenang, dan kewajiban daerah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH. RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks pencapaian kemampuan dasar pembangunan manusia yang dibangun melalui pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. kepentingan manajer (agen) ketika para manajer telah dikontrak oleh pemilik BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Keagenan Jensen dan Meckling (1976) dalam Wirawan 2014 menjelaskan bahwa teori keagenan melukiskan hubungan antara kepentingan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DANA BAGI HASIL. Novotel, Bogor, 06 September 2015 DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DANA BAGI HASIL. Novotel, Bogor, 06 September 2015 DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM (DBH SDA) Novotel, Bogor, 06 September 2015 DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN KERANGKA PENYAJIAN 1. INDONESIA KAYA SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia dapat dinilai

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia dapat dinilai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia dapat dinilai secara parsial dengan melihat seberapa besar permasalahan yang paling mendasar dimasyarakat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 165/PMK.07/2012 TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 165/PMK.07/2012 TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 of 41 1/31/2013 12:38 PM MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 165/PMK.07/2012 TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

INUNG ISMI SETYOWATI B

INUNG ISMI SETYOWATI B PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL (STUDI EMPIRIS PADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA SE JAWA TENGAH PERIODE 2006-2007)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Umum Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan, DAU adalah salah satu dana perimbangan yang menjadi bagian dari sumber pendapatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/DPD RI/I/ TENTANG HASIL PENGAWASAN

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/DPD RI/I/ TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH NOMOR 21/DPD RI/I/2013 2014 HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2013 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan manusiadengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi. untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat.

I. PENDAHULUAN. pembangunan manusiadengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi. untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini banyak literatur ekonomi pembangunan yang membandingkan antara pembangunan manusiadengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI Kebijakan Perhitungan dan Mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH) dalam rangka Kebijakan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah : Ketentuan, Mekanisme dan Implementasi No. 12/Ref/B.AN/VI/2007

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan pemerintahan sendiri sedangkan daerah adalah suatu wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Otonomi Daerah a. Pengertian Otonomi Daerah Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah"

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU 22/1999 (direvisi Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas antara fungsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori Dalam landasan teori ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Bagian ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variable Penelitian 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, pendapatan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2000 TENTANG DANA PERIMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Darise ( 2007 : 43 ), Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) adalah pendapatan yang diperoleh

Lebih terperinci

PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004

PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 1 PRINSIP KEBIJAKAN PERIMBANGAN KEUANGAN Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang BAB I PENDAHULIAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi daerah semakin meningkat. Ini dapat dibuktikan dengan jelas dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LANDASAN TEORITIS 2.1.1 Alokasi Anggaran Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaaat lebih dari satu tahun

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA DIREKTORAT FASILITASI DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masa sentralisasi pemerintahan telah berakhir diganti dengan otonomi daerah. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, setiap daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Landasan Teori Dalam landasan teori, akan dibahas lebih lanjut mengenai Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya yang sudah direncanakan dalam melakukan suatu perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan luas wilayahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

I..PENDAHULUAN. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) secara fisik dan mental. pembangunan. Tujuan dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan

I..PENDAHULUAN. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) secara fisik dan mental. pembangunan. Tujuan dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan I..PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah subjek dan objek pembangunan dalam kehidupannya harus mampu meningkatkan kualitas hidupnya sebagai insan pembangunan. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Ekonomi, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum. Kemudian, akan menjabarkan penelitian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Competitiveness Report Seperti halnya laporan tahun-tahun sebelumnya,

BAB I PENDAHULUAN. Competitiveness Report Seperti halnya laporan tahun-tahun sebelumnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah World Economic Forum (WEF) menerbitkan laporan tahunan The Global Competitiveness Report 2012 2013.Seperti halnya laporan tahun-tahun sebelumnya, laporan tahunan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah

Lebih terperinci

PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS, UNTUK MENINGKATKAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS, UNTUK MENINGKATKAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS, UNTUK MENINGKATKAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA Putu Gde Mahendra Putra 1 I Gusti Ketut Agung Ulupui 2 1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas

Lebih terperinci

PENGARUH DANA ALOKASI UMUM (DAU), DANA ALOKASI KHUSUS (DAK), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP BELANJA PEMERINTAH DAERAH

PENGARUH DANA ALOKASI UMUM (DAU), DANA ALOKASI KHUSUS (DAK), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP BELANJA PEMERINTAH DAERAH PENGARUH DANA ALOKASI UMUM (DAU), DANA ALOKASI KHUSUS (DAK), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP BELANJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Kasus Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keagenan didefinisikan sebagai sebuah kontrak antara satu atau lebih (prinsipal)

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keagenan didefinisikan sebagai sebuah kontrak antara satu atau lebih (prinsipal) BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori keagenan Menurut Jensen dan Meckling (1976), hubungan keagenan dalam teori keagenan didefinisikan sebagai sebuah kontrak antara

Lebih terperinci

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA HASIL PEMERIKSAAN ATAS

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA HASIL PEMERIKSAAN ATAS BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA HASIL PEMERIKSAAN ATAS PENYALURAN DAN PENERIMAAN DANA PERIMBANGAN TA. 2006 DAN SEMESTER I TA. 2007 PADA PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT DI TALIWANG AUDITORAT

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Tingkat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Tingkat Kemandirian Fiskal, Pendapatan Asli Daerah, Belanja Modal, dan Indeks Pembangunan Manusia. Menjabarkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DASAR PEMIKIRAN HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DAERAH HARUS MEMPUNYAI SUMBER-SUMBER KEUANGAN YANG MEMADAI DALAM MENJALANKAN DESENTRALISASI

Lebih terperinci

Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011

Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011 Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011 Belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011 diarahkan untuk:

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 10 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Otonomi Daerah Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia tumbuh semakin pesat seiring dengan adanya otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka daerah diberi wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri hal ini telah diamanatkan dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu negara maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kemandirian Keuangan Daerah 2.1.1.1 Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 bahwa kemandirian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 tahun yang lalu. Pada tahun 1945 1960, ada dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci