BAB I PENDAHULUAN. Setiap rumah sakit diwajibkan menyelenggarakan rekaman atau. rekam medis. Menurut Huffman (1994), rekam medis adalah rekaman atau

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap rumah sakit diwajibkan menyelenggarakan rekaman atau catatan dari segala pelayanan yang diberikan kepada pasien yang disebut rekam medis. Menurut Huffman (1994), rekam medis adalah rekaman atau catatan mengenai siapa, apa, mengapa, bilamana, dan bagaimana pelayanan yang diberikan kepada pasien selama masa perawatan, yang memuat pengetahuan mengenai pasien dan pelayanan yang diperoleh serta memuat informasi yang cukup untuk mengidentifikasi pasien, membenarkan diagnosis dan pengobatan serta merekam hasilnya. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 Pasal 1 menyatakan bahwa rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Rekam medis memiliki tujuan utama diantaranya adalah manajemen pelayanan, sehingga rekam medis digunakan dalam menganalisis berbagai penyakit, menyusun pedoman praktik, serta untuk mengevaluasi mutu pelayanan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk melakukan penilaian mutu klinis yang baik hal yang paling penting adalah rekaman yang baik dari seluruh informasi yang dibutuhkan. Mutu pelayanan suatu fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dilihat dari berbagai aspek. Kinerja atau performance rumah sakit menjadi salah satu penentu baik atau buruknya pelayanan di rumah sakit tersebut. Donabedian 1

2 memperkenalkan tiga kategori pendekatan mutu yaitu struktur, proses dan keluaran (output). Kategori keluaran adalah akibat dari pelayanan terhadap status kesehatan pasien dan masyarakat yang berpengaruh terhadap kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan. Dari dimensi keluaran sering dinilai dari angka kematian, kesakitan, kecacatan, keluhan pasien dan ketidakpuasan pasien (Hatta, 2011). Menurut Sulistyowati dkk (2013), menyatakan pelaksanaan pembangunan bidang kesehatan perlu didukung dengan ketersediaan sistem informasi kesehatan yang memadai. Sejak adanya desentralisasi maka pelaksanaan pembangunan kesehatan di kabupaten/kota menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, sehingga perlu adanya ketersediaan sistem informasi di kabupaten/kota. Informasi yang memadai akan menjadi dasar pemerintah daerah dalam melakukan evaluasi dan perencanaan program. Salah satu sumber informasi yang paling ideal adalah sistem registrasi vital yaitu sistem pencatatan kejadian kelahiran dan kematian. Sehubungan dengan belum memadainya sistem registrasi vital di Indonesia, maka evaluasi berbagai status kesehatan di Indonesia pada umumnya menggunakan data sensus atau survei yang mempunyai berbagai keterbatasan untuk dapat digunakan oleh pemerintah daerah. Di Indonesia, pencatatan penyebab kematian belum tertata dalam suatu sistem yang terpadu, baik oleh Kementerian Kesehatan maupun Kementerian Dalam Negeri. Pencatatan kematian yang belum seragam ini menyebabkan data kematian yang diperoleh menjadi tidak sama sehingga membuat data kematian tidak akurat. Hal ini mendorong Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan bekerja sama dengan Dirjen Administrasi 2

3 Kependudukan dengan dukungan teknis dari School of Population Health, University of Queensland dan World Health Organization mengembangkan Proyek Peningkatan sistem Registrasi Kematian (PPSRKI) dikembangkan di 15 kabupaten/kota di Indonesia. Sistem registrasi kematian ini diharapkan mampu untuk menyediakan data kematian yang lebih akurat sehingga mampu digunakan untuk pengambilan keputusan yang tepat, (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010). Menurut Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2010 No.162/MENKES/PB/I/2010 tentang Pelaporan Kematian dan Penyebab Kematian Pasal 7 menerangkan bahwa setiap penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan harus melaporkan data peristiwa kematian dan penyebab kematian wajar maupun tidak wajar kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat setiap bulan sekali, dengan tembusan disampaikan kepada instansi pelaksana. Peraturan tersebut menjadi dasar bagi setiap penyelenggara pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit yang ada di Indonesia untuk melakukan pencatatan peristiwa kematian dan penyebab kematian yang terjadi serta melaporkan data peristiwa kematian dan penyebab kematian tersebut kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Data mortalitas pasien rawat inap di suatu rumah sakit dapat menentukan bagaimana melakukan suatu kebijakan dalam mengambil suatu keputusan dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi oleh rumah sakit. Begitu pula informasi yang didapat dari formulir data kematian (mortalitas) pasien rawat inap. Data kematian pasien rawat inap mulai dari pengumpulan 3

4 data, pengolahan data dan penyajian akan menghasilkan suatu informasi yang dapat memberikan manfaat bagi rumah sakit (Marfuatin dkk, 2012). Dalam pencatatan kematian, dokter dan perekam medis khususnya petugas coding memiliki peranan penting dalam penentuan sebab kematian. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2010), dokter berperan menuliskan diagnosis penyebab kematian di dalam formulir kematian, yang kemudian diagnosis tersebut menjadi acuan untuk penentuan sebab dasar kematian (underlying cause of death). Sedangkan coder memiliki peran untuk menentukan kode underlying cause of death (UCOD) berdasarkan diagnosis yang dituliskan oleh dokter di dalam formulir kematian. Aturan untuk penentuan diagnosis penyebab kematian menurut WHO adalah sesuai ketentuan yang ada dalam ICD-10. Oleh karena itu dokter maupun petugas coding dalam melakukan pendokumentasian dan pemilihan UCOD harus sesuai dengan ketentuan yang ada di dalalm ICD-10. Berdasarkan studi pendahuluan di RSUD dr. Soedirman Kebumen pada tanggal 14 November 2014, hasil studi dokumentasi terhadap 12 sampel berkas rekam medis yang peneliti amati terdapat 5 berkas rekam medis yang mencantumkan diagnosis gagal nafas, henti jantung, kegagalan sirkulasi dan multi organ failure sebagai diagnosis penyebab kematian. Berdasarkan ICD-10 diagnosis-diagnosis tersebut tidak seharusnya digunakan untuk menjadi diagnosis penyebab kematian. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan petugas coding dalam penentuan sebab kematian langsung menerapkan general principle dalam penentuan UCOD tanpa mengecek dahulu urutan sebab akibatnya di tabel decision MMDS. Tabel decision dalam MMDS akan membantu untuk mengecek 4

5 hubungan sebab akibat antar diagnosis penyebab kematian. General principle tidak berlaku apabila penulisan sebab kematian tidak memenuhi hubungan sebab akibat yang runtut. Hal ini mendorong peneliti untuk meneliti tentang pelaksanaan penentuan diagnosis sebab kematian oleh dokter dan pelaksanaan pengodean UCOD oleh petugas coding, serta faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan penentuan sebab kematian. Sehingga peneliti mengambil judul penelitian Pelaksanaan Penentuan Penyebab Kematian Di RSUD dr. Soedirman Kebumen. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan tersebut, rumusan masalah yang diambil peneliti dalam penelitian adalah: Bagaimana proses pelaksanaan penentuan penyebab kematian di RSUD dr. Soedirman Kebumen, faktor apa saja yang menghambat serta bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu: 1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui pelaksanaan penentuan penyebab kematian serta faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan dan upaya yang dilakukan. 5

6 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui pelaksanaan pendokumentasian diagnosis penyebab kematian di RSUD dr. Soedirman Kebumen. b. Mengetahui pelaksanaan pengodean diagnosis penyebab kematian di RSUD dr. Soedirman Kebumen. c. Mengetahui kesesuaian penentuan kode Underlying Cause of Death (UCOD) di RSUD dr. Soedirman Kebumen. d. Mengetahui faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan penentuan penyebab kematian serta upaya yang dilakukan. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis a. Bagi Rumah Sakit Sebagai masukan kepada petugas coding dalam menentukan kode diagnosis penyebab kematian secara tepat sesuai ICD-10 serta masukan kepada dokter dalam penentuan diagnosis sebab kematian. b. Bagi Peneliti Menambah pengalaman dan pengetahuan di bidang rekam medis khususnya dalam menentukan kode diagnosis penyebab dasar kematian serta menerapkan teori yang didapat selama perkuliahan 2. Manfaat Teoritis a. Bagi Institusi Pendidikan Dapat dijadikan salah satu indikator kualitas metode pembelajaran bagi mahasiswa sebagai penerus generasi perekam medis Indonesia yang handal. 6

7 b. Bagi Peneliti Lain Dapat menjadi acuan dan referensi bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian khususnya yang akan melakukan penelitian dengan topik yang hampir serupa. E. Keaslian Penelitian 1. Hidayat (2013) dengan judul Analisis Ketepatan Kode Diagnosis Penyebab Dasar Kematian Berdasarkan ICD-10 di RS Panti Rapih Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif dan rancangan cross sectional. Subjek penelitian adalah petugas coding, dokter. Objek penelitian adalah Laporan Registrasi Kematian di RS Panti Rapih Yogyakarta tahun Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, studi dokumentasi dan observasi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pelaksanaan pengodean diagnosis penyebab dasar kematian, tingkat persentase ketepatan kode diagnosis penyebab dasar kematian dan mengetahui faktor-faktor penyebab ketidaktepatan pendokumentasian sebab kematian. Hasil penelitian adalah pelaksanaan pengodean sebab dasar kematian di RS Panti Rapih Yogyakarta tidak dilaksanakan dengan SPO atau aturan yang sesuai dengan ICD-10, petugas coding sebab kematian hanya mengkode diagnosis yang sudah dituliskan oleh dokter. Urutan penyakit menuju kematian sudah sesuai hubungan kausalnya dengan tabel MMDS memiliki persentase sebesar 69,59% dengan UCOD yang tepat sebesar 97,48% dan UCOD yang tidak tepat 2,52%, sedangkan 7

8 urutan penyakit menuju kematian yang tidak sesuai dengan hubungan kausalnya dengan tabel MMDS sebesar 30,41% dengan UCOD yang tepat sebesar 38,46% dan UCOD yang tidak tepat 61,54%. Total prosenstase ketepatan UCOD sebesar 79,53% dan yang tidak tepat sebesar 20,47%. Faktor-faktor yang menyebabkan ketidaktepatan kode sebab dasar kematian adalah tidak adanya SOP tentang pengodean sebab dasar kematian, belum digunakannya tabel MMDS sebagai milik rumah sakit yang dijadikan fasilitas untuk petugas coding, tidak semua dokter mengisi diagnosis sebab dasar kematian, dan tidak adanya audit coding atau evaluasi ketepatan kode sebab dasar kematian. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Hidayat adalah samasama membahas tentang pelaksanaan pengodean diagnosis penyebab kematian dengan subjek penelitian dokter dan petugas coding. Namun ada perbedaan pada tujuannya pada penelitian ini membahas pelaksanaan penentuan penyebab kematian oleh dokter serta upaya untuk mengatasi faktor kendala pelaksanaan penentuan penyebab kematian 2. Adi (2010) dengan judul Kesesuaian Hasil Penentuan Diagnosis Penyebab Kematian Pasien Rawat Inap Penyakit Jantung dengan ICD-10 di RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan rancangan cross sectional. Teknik pengumpulan data menggunakan studi dokumentasi dan observasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji persentase kesesuaian hasil penentuan diagnosis penyebab kematian dengan ICD-10 dan mengkaji cara penentuan 8

9 diagnosis penyebab kematian di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Hasil penelitian ini diperoleh persentase ketidaksesuaian hasil penentuan diagnosis penyebab kematian pasien rawat inap penyakit jantung dengan ICD-10 di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten mencapai 94,68%, yang artinya kualitas hasil penentuan diagnosis penyebab kematian di RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten masih berada dalam kategori kurang sekali. Cara penentuan diagnosis penyebab kematian di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten dilakukan dengan menetapkan penyebab kematian berdasarkan urutan teratas dari surat keterangan kematian. Hal ini belum sesuai dengan rule yang ada di ICD-10 yang menyatakan bahwa penyebab kematian adalah diagnosis yang tertulis paling bawah di surat keterangan kematian dengan menerapkan rule yang ada. Oleh karena itu, petugas rekam medis (coding) harus bisa menerapkan prosedur atau rule dalam menentukan diagnosis penyebab kematian. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Adi adalah sama-sama membahas penentuan diagnosis penyebab kematian. Namun ada perbedaannya yaitu penelitian Adi hanya membahas tentang penyebab kematian pada kasus jantung, pada penelitian ini mengetahui pelaksanaan penentuan penyebab kematian pada kasus secara umum. 3. Purwitasari (2013) dengan judul Analisis Ketepatan Kode Diagnosis dan Tindakan Pasien Rawat Inap JKN di Rumah Sakit Bhayangkara Polda DIY Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan rancangan fenomenologis. Metode pengambilan data menggunakan teknik wawancara, observasi dan studi dokumentasi. 9

10 Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pelaksanaan pengodean diagnosis tindakan pada pasien rawat inap JKN, mengetahui persentase ketepatan pengodean diagnosis dan tindakan pada pasien rawat inap JKN, mngetahui kesesuaian kode antara lembar verifikasi dengan Ina CBG s, mengetahui faktor penyebab ketidaktepatan dan ketidaksesuaian. Hasil penelitian ini adalah bahwa pelaksanaan pengodean pasien rawat inap JKN di RS Bhayangkara Polda DIY dilakukan oleh 2 orang petugas, salah satunya lulusan S1 keperawatan. Petugas hanya mengkode lembar verifikasi JKN, berkas rekam medis tidak di kode. Pelaksanaan pengodean sudah sesuai dengan aturan yang ada pada ICD-10 dan masih terjadi keterlambatan dalam pengodean untuk klaim JKN sebesar 60% dan ketepatan kode tindakan sebesar 77,55%. Persentase kesesuaian kode lembar verifikasi rawat inap JKN dengan Ina CBG s sebesar 79,33%. Faktor-faktor yang menyebabkan ketidaktepatan dan ketidaksesuaian kode adalah faktor sumber daya manusia yaitu dokter tidak menuliskan diagnosis dan tindakan secara lengkap dan tulisan dokter tidak terbaca, petugas pengodean tidak menanyakan lebih lanjut diagnosis dan tindakan yang kurang jelas kepada dokter yang bersangkutan, belum adanya protap mengenai pelaksanaan pengodean JKN. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Purwitasari adalah samasama membahas tentang pelaksanaan pengodean dan kesesuaian diagnosis. Namun perbedaannya pada objek yang diteliti, Purwitasari membahas tentang pasien rawat inap JKN sedangkan peneliti membahas tentang pasien rawat inap yang meninggal. 10