8.1 Dukungan Potensi Wilayah terhadap Pengembangan Perikanan Giob Wilayah Kabupaten Halmahera Selatan memiliki luas ,72 km 2 dan lebih

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "8.1 Dukungan Potensi Wilayah terhadap Pengembangan Perikanan Giob Wilayah Kabupaten Halmahera Selatan memiliki luas ,72 km 2 dan lebih"

Transkripsi

1 8 PEMBAHASAN UMUM Perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan tergolong perikanan skala kecil, baik dilihat dari aspek teknologi maupun manajemen yang digunakan. Perikanan skala kecil biasanya menggunakan armada penangkapan yang sederhana, modal kecil, tenaga kerja sedikit serta hanya beroperasi di daerah penangkapan yang terbatas. Pada dasarnya giob merupakan purse seine, yang dirancang khusus untuk menangkap ikan julung-julung (Hemirhampus sp.). Alat tangkap ini sudah lama digunakan oleh nelayan dan hingga kini tetap dipertahankan, bahkan sebagian nelayan sangat mengandalkannya sebagai mata pencaharian utama. Isu utama dalam perikanan giob adalah terkait dengan potensi sumberdaya ikan julung-julung yang mengalami penipisan. Kondisi ini dapat dilihat pada jumlah alat tangkap giob semakin berkurang, produksi ikan julung-julung semakin menurun, nelayan giob mendapatkan hasil yang kurang layak. Dalam rangka mempertahankan keberadaan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan maka perlu dilakukan langkah-langkah kebijakan yang diawali dengan kegiatan penelitian. Untuk mengkaji isu penipisan sumberdaya ikan julung-julung serta kondisi yang ditimbulkan maka penelitian ini dilakukan dengan fokus kajian yang mencakup: profil lokasi penelitian, telah memotret pengembangan perikanan tangkap di Halmahera Selatan dan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan. Aspek biologi ikan julung-julung, menjelaskan kondisi biologi ikan julung-julung dalam kaitan dengan efektivitas kegiatan penangkapan ikan julung-julung, daerah dan musim penangkapan. Evaluasi teknis perikanan giob, telah menjawab faktor teknis apakah yang sangat berpengaruh terhadap produksi ikan julung-julung. Keberlanjutan usaha perikanan giob, menekankan pada keberlanjutan usaha perikanan giob pada aspek ukuran giob (GT) yang lebih layak dalam berinvestasi. Pengembangan perikanan giob yang berkelanjutan dilakukan melalui perumusan serangkain strategi, kemudian ditentukan strategi terpilih sebagai prioritas strategi dalam pengembangan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan. Bahasan lebih lengkap dapat disajikan pada setiap sub bab berikut.

2 Dukungan Potensi Wilayah terhadap Pengembangan Perikanan Giob Wilayah Kabupaten Halmahera Selatan memiliki luas ,72 km 2 dan lebih didominasi oleh wilayah laut yaitu sebesar ,40 km 2 (78%), sedangkan wilayah daratannya sebesar 8.779,32 km 2 (22%). Keberadaan kondisi sumberdaya perikanan tangkap Halmahera Selatan, secara singkat dapat dikatakan bahwa Halmahera Selatan merupakan wilayah kepulauan dan memiliki luas lautan yang sangat besar (78%), dimana didalamnya terkandung potensi sumberdaya perikanan pelagis yang sangat besar. Pengembangan sumberdaya perikanan ini mempunyai prospek yang menguntungkan di masa yang akan datang baik untuk peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat maupun berkontribusi terhadap perekonomian daerah. Secara aktual, perikanan tangkap di Halmahera Selatan sampai dengan tahun 2011 masih didominasi oleh perikanan tangkap skala kecil. Secara keseluruhan jenis kapal penangkap ikan di dominasi oleh motor tempel berukuran 5 GT (48%) dan motor tempel (29%). Dominannya kapal tanpa motor dan motor tempel ini mengakibatkan daerah operasi penangkapan nelayan yang berbasis Halmahera Selatan menjadi sangat terbatas, dan tidak jauh dari pantai. Keterbatasan ini diakibatkan karena untuk memperoleh armada yang berskala besar membutuhkan biaya investasi maupun biaya operasional relatif besar pula. Hal ini tercermin pula dari komposisi armada perikanan tangkap di Indonesia. Menurut KKP (2009) komposisi kapal perikanan di indonesia sebagian besar masih didominasi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil yaitu sekitar 97,11%, dan hanya sekitar 2,89% di lakukan oleh usaha perikanan skala yang lebih besar. Sampai saat ini, pengelolaan perikanan tangkap di Halmahera Selatan masih terdapat beberapa permasalahan. Permasalahannya antara lain status pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di (Laut Maluku) tergolong dalam gejala telah mengalami overfishing, pendapatan nelayan belum maksimal, keterbatasan modal usaha, masih adanya konflik pemanfaatan sumberdaya ikan, lemahnya sumberdaya manusia (SDM) dalam menerapkan teknologi penangkapan dan memanfaatkan serta mengelola potensi sumberdaya perikanan tangkap secara

3 136 efisien dan berkelanjutan, demokrasi keterlibatan nelayan dalam pengambilan kebijakan masih rendah, dan penerapan aturan dan hukum yang belum efektif. Permasalahan yang dihadapi oleh usaha perikanan tangkap Halmahera Selatan ini tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang dihadapi oleh usaha perikanan tangkap nasional. Permasalahan utama dan sangat mendasar yang dihadapi dalam pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil bersumber dari rendahnya kualitas sumberdaya manusia, rendahnya akses terhadap permodalan dan prasarana serta faktor sosial budaya yang kurang kondusif bagi kemajuan usaha, yang semuanya berakibat pada rendahnya akses terhadap sumberdaya ikan, permodalan, teknologi, dan pasar. Permasalahan tersebut dapat dikelompokkan dalam sepuluh permasalahan dan diperingkatkan yaitu produktivitas dan efisiensi usaha, pengawasan dan pengendalian SDI, SDI dan lingkungan, permodalan, SDM, prasarana, sarana, dan pelayanan usaha, mutu dan nilai hasil tangkapan, pemasaran, kelembagaan nelayan, dan sosial-ekonomi nelayan (DJPT 2005). Pengembangan sektor perikanan dan kelautan di Halmahera Selatan, memerlukan dukungan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pihakpihak terkait. Pengembangan tersebut diarahkan pada status keberlanjutannya yaitu melalui keberlanjutan dari berbagai aspek yang meliputi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan hukum kelembagaan. Selanjutnya, pengembangan tersebut idealnya terjabarkan ke dalam suatu kebijakan, strategi, dan program-program kerja yang dipersiapkan terutama dalam menghadapi tuntutan di era otonomi dan globalisasi masa kini dan masa mendatang, yang secara nyata memiliki tantangan yang cukup berat. Perikanan giob merupakan salah satu perikanan daerah tropis yang memiliki karekteristik yang unik, karena perikanan ini menggunakan alat tangkap tunggal dan tujuan tangkapan juga spesifik, yaitu hanya ditujukan untuk penangkapan jenis ikan julung-julung. Sifat dan karekteristik yang unik dari perikanan giob ini perlu mendapat perhatian agar sumberdaya ikan julung-julung lestari dan usaha perikanan giob tetap berkelanjutan. Beberapa faktor yang berkaitan erat dengan perikanan giob adalah unit penangkapan ikan, operasi penangkapan, produksi, daerah penangkapan.

4 137 Kapal giob yang digunakan oleh nelayan di Kayoa, Halmahera Selatan memiliki spesifikasi dan ukuran dimensi utama relatif kecil yaitu berkisar 4,5-15 GT. Ukuran kapal ini jika dibandingkan dengan kapal mini purse seine pada umumnya memang relatif berbeda. Karman (2008) melaporkan bahwa kapal mini purse sein (pajeko) di Batangdua Kota Ternate berkisar GT, sedangkan Namsa (2006) menginformasikan kapal mini purse seine (pajeko) di Tidore berukuran antara 13,21-17,63 GT. Kecilnya ukuran kapal giob ini disesuaikan dengan jarak jangkauan dan tujuan pengoperasian. Jangkauan pengoperasian giob hanya diwilayah pesisir, karena disesuaikan dengan lokasi migrasi ikan julungjulung sebagai target tangkapan. Kapal giob menggunakan tenaga pendorong jenis motor tempel berkekuatan 25 PK, 40 PK, dimana ada yang menggunakan 1 unit dan ada juga menggunakan 2 unit. Jumlah penggunaan motor tempel disesuaikan dengan ukuran kapal. Alat tangkap giob yang digunakan oleh nelayan Kayoa, Halmahera Selatan memiliki ukuran yang bervariasi. Panjang jaring berkisar m dan dalam kantong berkisar 12,8-22,5 m. Ukuran giob ini relatif kecil jika dibandingkan dengan ukuran mini purse seine pada umumnya, terutama ukuran dalam (tinggi) jaring. Karman (2008) melaporkan bahwa panjang mini purse seine yang digunakan di pulau Mayau berkisar 150,00-400,00 m, lebar (tinggi) berkisar 30,00-60,00 m. Namsa (2006) menginformasikan bahwa soma pajeko mini purse seine yang dioperasikan di perairan Tidore mempunyai panjang berkisar antara mdan lebar berkisar m. Salah satu faktor produksi yang mempengaruhi hasil tangkapan adalah panjang jaring, berdasarkan hasil penelitian Irham (2006) dan Namsa (2006), faktor teknis panjang jaring mini purse seine (soma pajeko) di Maluku Utara dan Kota Tidore Kepulauan memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap hasil tangkapan, setiap penambahan atau pengurangan ukuran panjang jaring mengakibatkan peningkatan atau pengurangan hasil tangkapan (produksi). Faktor panjang purse seine dilaporkan juga signifikan untuk produksi ikan yang ditangkap dengan purse seine di Pekalongan (Sudibyo 1998) dan di Pengabengan Kabupaten Jembrana Bali (Sugiarta 1992). Menurut Friedman (1986), secara teoritis jika semakin panjang purse seine yang digunakan maka semakin besar

5 138 pula garis tengah lingkaran yang dibentuk, sehingga semakin besar peluang gerombolan ikan yang tidak terusik perhatiannya karena jarak antara gerombolan ikan dengan dinding purse seine semakin besar dan gerombolan ikan tersebut semakin besar peluangnya untuk tertangkap. Jumlah nelayan yang mengoperasikan giob berkisar 7-12 orang. Salah satu faktor produksi yang mempengaruhi hasil tangkapan adalah jumlah nelayan (tenaga kerja), berdasarkan hasil penelitian Irham (2006), faktor teknis jumlah nelayan (tenaga kerja) di Maluku Utara memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap hasil tangkapan, setiap penambahan atau pengurangan jumlah nelayan (tenaga kerja) mengakibatkan peningkatan atau pengurangan hasil tangkapan (produksi). Hal ini karena proses penurunan (setting) maupun penarikan (hauling) giob tidak menggunakan alat bantu namun mengandalkan tenaga manusia. Tenaga manusia bukan hanya digunakan pada saat menurunkan dan menarik jaring saja, tetapi setelah proses setting dan hauling giob selesai dilakukan, tenaga mereka juga di butuhkan untuk mengangkat hasil tangkapan ke atas kapal. 8.3 Keberlanjutan sumberdaya ikan julung-julung Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih kembali, maka dalam pemanfaatannya tidak boleh melewati batas-batas kemampuan sumberdaya untuk pulih kembali (King 1995). Namun jika sumberdaya ini terancam kepunahan (kolaps), maka untuk memperbaikinya memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang panjang. Penelitian biologi reproduksi sangat bermanfaat untuk memahami regenerasi tahunan dari stok ikan (Cortes 2000). Parameter biologi seperti ukuran ikan pertama matang gonad, frekuensi pemijahan, fekunditas dan rekruitmen dapat menjelaskan nilai prediksi perikanan dan dapat digunakan untuk memformulasikan pengelolaan perikanan secara rasional (Widodo 2001). Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie 1979). Penentuan tingkat kematangan gonad sangat penting dilakukan, karena sangat berguna untuk mengetahui perbandingan antara gonad yang masak dengan stok yang ada di perairan, ukuran pemijahan, musim pemijahan dan lama pemijahan dalam suatu siklus (Effendie 1997). Dalam penelitian ini menemukan dominasi ikan julung-julung betina dewasa atau matang gonad di perairan Kayoa, menunjukkan bahwa ikan-ikan ini

6 139 dieksploitasi pada daerah pemijahan. Hasil pengamatan menunjukkan ikan julungjulung jantan dan betina yang telah matang gonad ditemukan sepanjang periode penelitian dengan jumlah terbanyak ditemukan pada bulan September dan Oktober. Secara terpisah jantan dan betina menunjukkan perbedaan fase matang gonad. Pada bulan Januari, Februari, dan Maret ikan julung-julung betina yang tertangkap didominasi matang gonad (TKG IV) sebaliknya jantan telah melewati matang gonad didominasi TKG V. Hal ini mengindikasikan bahwa kehadiran julung-julng di perairan Kayoa adalah dengan tujuan memijah. Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti bilamana ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Berkurangnya populasi ikan di masa mendatang dapat terjadi karena ikan yang tertangkap adalah ikan yang akan memijah atau ikan belum pernah memijah, sehingga sebagai tindakan pencegahan diperlukan penggunaan alat tangkap yang selektif. Hasil pengamatan terhadap jumlah ikan julung-julung yang matang gonad pada berbagai ukuran panjang tubuh menunjukkan bahwa julung-julung jantan mencapai kematangan gonad pertama kali pada ukuran panjang total rata-rata 164 mm (16,4 cm) dan betina pada ukuran 156,56 mm (15,66 cm). Saat pertama kali ikan mencapai kematangan gonad menurut Effendie (1997), dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, spesies, umur ikan, ukuran dan kemampuan adaptasi ikan terhadap lingkungan (faktor internal) serta makanan, suhu dan arus (faktor eksternal). Perbedaan ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad tidak sama disebabkan oleh perbedaan strategi hidup atau pola adaptasi ikan itu sendiri. Berdasarkan analisis parameter pertumbuhan diperoleh koefisien pertumbuhan (k) yang lebih 0,650, diduga siklus hidup ikan julung-julung di perairan Kayoa adalah tidak terlalu panjang. Berdasarkan analisis von Bertalanffy diduga umur ikan julung-julung hanya 3,66 tahun. Dalam rangka untuk mendorong pemanfaatan sumberdaya ikan julung-julung berkelanjutan, pengelolaan yang sangat tepat dapat diperlukan agar sumberdaya ikan julungjulung termanfaatkan dengan baik dan tepat. Studi tentang kapan dan dimana sumberdaya ikan julung-julung dieksploitasi pada tingkat optimum diperlukan. Hal ini dimaksudkan jika waktu eksploitasinya tidak tepat, dua hal akan terjadi,

7 140 pertama adalah sumberdaya ikan akan terbuang sia-sia karena terlambat mengeksploitasi dan kedua adalah sumberdaya dieksploitasi pada kondisi belum mempunyai kemampuan yang cukup untuk regenrasi. Sebagai sumberdaya ikan yang masa hidupnya relatif pendek, ikan julungjulung akan mati secara alami jika tidak tereksploitasi pada waktunya. Diduga kuat hal ini telah terjadi pada sumberdaya ikan julung-julung di perairan Kayoa yang ditunjukkan dengan variabel kematian alami (M) relatif lebih besar walaupun masih lebih besar kematian karena penangkapan (F). Disamping itu berdasarkan tingkat kematangan gonad, ikan julung-julung di perairan Kayoa dalam kondisi baik karena lebih dari 50% sampel ikan adalah matang gonad. Prediksi pola pergerakan gerombolan ikan menurut (Wooton 1990) adalah tiga macam, yaitu (1) habitat tempat tinggal, (2) habitat tempat makan, dan (3) habitat tempat bertelur. Ikan julung-julung di perairan Kayoa secara bergeromol melakukan pergerakan melintasi perairan selat diantara pulau-pulau kecil dan memasuki kawasan teluk tertentu pada sore hari. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa pengoperasian giob dilakukan bersamaan dengan pergerakan julung-julung tersebut yaitu pada sore hari. Berdasarkan pengamatan, diduga bahwa ruaya ikan julung-julung bertujuan untuk bertelur maupun mencari makan. Hasil penelitian membuktikan bahwa banyaknya jumlah ikan tertangkap pada TKG IV dan V diduga perairan Kayoa merupakan tempak bertelur julung-julung, sedangkan ruaya dilakukan pada waktu sore hari dapat diinterpretasikan bahwa waktu pemijahan julung-julung berlangsung pada sore menjelang malam hari. Hasil penelitian juga menginformasikan bahwa salah satu makanan kesukaan julungjulung adalah serasah atau daun mangrove atau daun lamun yang telah mengalami proses pelapukan. Fakta di lokasi menunjukkan bahwa mangrove dan lamun merupakan potensi sumberdaya fisik lingkungan di wilayah peisisir Kayoa. 8.4 Pengembangan Perikanan Giob Sebagaimana telah dikemukakan pada bab pendahuluan disertasi ini, bahwa tujuan umum penelitian yang dilakukan adalah untuk merumuskan strategi pengembangan perikanan giob yang berkelanjutan di Kayoa, Halmahera Selatan. Wujud dari tujuan ini adalah menghasilkan lima strategi yang urutannya sebagai

8 141 berikut: (1) pengawasan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan julung-julung, (2) pelatihan terhadap nelayan perikanan giob, (3) inovasi teknologi alat tangkap giob, (4) kerjasama untuk membentuk wadah pengelolaan, (5) optimasi tangkapan ikan julung-julung. 1) Pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan julung-julung Pengawasan terhadap sumberdaya ikan julung-julung dilakukan terutama terkait dengan pengaturan waktu penangkapan dan ukuran ikan yang tertangkap. Hal ini didasarkan pada aspek bioekologi ikan yang meliputi TKG, ukuran ikan pertama kali matang gonad, perbandingan mortalitas penangkapan dan mortalitas alami, tingkat pemanfaatan dan jenis dan jumlah makanan dari ikan julung-julung yang tertangkap. Mengingat sumberdaya ikan julung-julung dieksploitasi dengan intensitas yang tinggi maka dianggap akan mempengaruhi keberlanjutan populasi ini dimasa yang akan datang. Tindak lanjut dari pengawasan itu sendiri harus didorong oleh pemerintah dengan menyusun aturan tentang waktu yang tepat untuk melakukan penangkapan ikan dan kapan waktu yang tidak dapat dilakukan penangkapan. Pengaturan tersebut diharapkan kontinuitas sumberdaya pada tahun-tahun berikutnya tetap terjaga. Perlu adanya koordinasi yang baik dan kebijakan pengelolaan antara pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Selatan dengan pemerintah Provinsi Maluku Utara. Pengawasan terhadap daerah penangkapan ikan terutama diarahkan pada kondisi habitat wilayah pesisir. Kayoa sebagai wilayah kepulauan yang terdiri dari gugusan pulau-pulau kecil dimana posisirnya rentan terhadap tekanan penduduk untuk memenuhi segala kebutuhannya. Wilayah pesisir pulau-pulau Kayoa memiliki karakteristik seperti ditumbuhi mangrove, karang dan lamun merupakan penghasil komponen pendukung produktivitas primer di wilayah pesisir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan matang gonad sepanjang tahun diduga bahwa wilayah pesisir merupakan tempat memijahnya ikan julung-julung. Sebagaimana telah dilaporkan oleh Talwar (1967), bahwa kawasan bertelur bagi julung-julung spesies Hemiramphus marginatus berada di garis pantai pada kondisi kawasan yang berbatu dan mengandung rumput laut. Selain itu hasil penelitian juga mengungkap bahwa salah satu jenis makanan utama julung-julung adalah serasah yaitu daun mangove atau lamun yang lapuk mengidikasikan bahwa wilayah

9 142 perairan kayoa merupakan tempat makan bagi julung-julung. Tindak lanjut dalam pengawasan ini dilakukan untuk mengatur wilayah yang dapat dimanfaatkan dan wilayah mana yang tidak dapat dimanfaatkan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi tindakan pengrusakan terhadap ekosistem pesisir yang dapat mempengaruhi habitat julung-julung. Pengawasan terhadap penangkapan illegal lebih ditekankan pada penggunaan bahan dan alat tangkap terlarang yang dapat menyebabkan rusaknya lingkungan perairan. Kayoa sebagai wilayah yang relatif jauh dari pusat pemerintahan provinsi maupun kabupaten berpeluang untuk dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menggunakan alat dan bahan yang ilegal untuk menguras potensi yang tersedia. Kondisi wilayah ini juga sangat strategis karena terdiri dari pulau-pulau kecil yang dapat dijadikan sebagai tempat berlindung untuk melakukan tindakan yang ilegal. Pengawasan terhadap pengolahan hasil tangkapan menjadi ikan asap kering (galafea) terutama terhadap penggunaan mangrove sebagai bahan kayu bakar. Hal ini disebabkan karena ada anggapan bahwa pengasapan dengan menggunakan kayu mangrove akan menghasilkan kualitas produk yang prima. Hingga saat ini belum ada bahan kayu bakar pengganti mangrove. Jika kondisi ini tidak diantisipasi maka tindakan penebangan pohon mangrove terjadi setiap saat, sehingga dikhwatirkan akan dapat mengancam ekosistem mangrove. Tindakan untuk menghentikan kegiatan ini tidak mungkin karena tidak ada pilihan lain. Untuk itu solusinya adalah adanya pengawasan untuk mengatur wilayah yang seharusnya ditebang, jumlah yang harus di ambil, jenis yang diambil, ukuran yang diambil. Pengawasan terhadap jaringan pemasaran produk ikan julung-julung terutama produk dalam bentuk asap kering perlu mendapat perhatian. Tujuan pemasaran produk julung-julung kering secara khusus merata di wilayah Provinsi Maluku Utara, tetapi secara nasional tujuan pemasaran hanya terbatas di beberapa wilayah di kawasan Timur Indonesia. Tercatat beberapa wilayah tujuan pemasaran adalah Manado, Bitung, Gorontalo, Kendari, Makassar dan Surabaya. Jaringan pemasaran selama ini dikendalikan oleh beberapa pengusaha di Kota Ternate, dan Kota Tidore. Status para pelaku pemasaran bukan merupakan

10 143 pengusaha giob, tetapi memanfaatkan modal mereka untuk membeli dan mengumpulkan hingga pada jumlah ukuran tertentu kemudian mengirimkan ke tujuan pemasaran. Para pelaku jugu memberikan pinjaman berupa uang maupun bahan bakar minyak (BBM) kepada pemiliki giob, sebagai ikatan bisnis untuk mendapatkan hasil dari pemilik giob. Cara ini dianggap membantu dan mempermudah para pemilik giob dalam mengoperasikan giobnya, tetapi pemiliki giob tidak leluasa untuk menentukan harga produk julung-julung. Kondisi ini menyebabkan jaringan pemasaran menjadi panjang dan proporsi nelayan berkurang atau jauh dari yang diharapkan. Sehingga solusinya adalah harus dirancang regulasi untuk sistem pemasaran julung-julung. (2) Pelatihan dan penyuluhan terhadap nelayan perikanan giob Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mengembangkan kepribadian nelayan, menigkatkan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan nelayan, meningkatkan kemampuan berkarya nelayan, dan meningkatkan kemampuan nelayan dalam menyikapi dan berperilaku dalam berkarya sehingga dapat mandiri, menilai dan mengambil keputusan dalam mengolah usaha perikanan secara bertanggung jawab. Dasar dilakukan pelatihan dan penyuluhan adalah menjaga dan mempertahankan keberlangsungan sumberdaya ikan julung-julung. Kegiatan ini dilakukan di desa-desa basis perikanan giob. Metode pelatihan ini melibatkan nelayan, pemilik giob, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan perempuan. Materi pelatihan ini meliputi (1) upaya menjaga dan mempertahankan keberlangsungan sumberdaya ikan julungjulung, (2) kesadaran akan pentingnya menjaga dan mempertahankan ekosistem pesisir, (2) undang-undang ketenagakerjaan, (3) kelayakan usaha perikanan. Bahan dan materi dalam pelatihan ini merupakan tindak lanjut dari hasil kajian pada bab-bab sebelumnya. Membangun kesadaran nelayan akan pentingnya menjaga dan mempertahankan keberlanjutan sumberdaya ikan julung-julung ditanamkan kepada nelayan akan berguna terutama dalam pengaturan waktu penangkapan dan daerah penangkapan. Hasil kajian tentang isi lambung ikan julung-julung menginformasikan bahwa serasah merupakan salah satu jenis makanan kesukaan julung-julung. Informasi ini dapat dijadikan dasar materi

11 144 pelatihan yang berkaitan dengan kesadaran akan pentingnya menjaga dan mempertahankan ekosistem peisir. Dalam prakteknya, operasi pelepasan jaring dilakukan dengan menerjunkan salah satu anggota ABK ke laut bersamaan dengan pelampung tanda, sebenarnya membahayakan. Anggota ABK yang bertugas seperti ini direkrut dari anak-anak sisiwa SD atau putus sekolah. Walaupun belum ada informasi tentang kecelakaan akibat penerapan metode ini, tetapi peluang terbelit oleh tali dan badan jaring dapat mengakibatkan kecelakaan. Solusinya adalah membangun pengetahuan yang terkait dengan penerapan undang-undang ketenagakerjaan sangat penting untuk nelayan giob. Usaha perikanan giob, sepeti usaha perikanan tradisional lainnya tidak memiliki standar usaha yang jelas. Nelayan yang memiliki kelebihan finasial cenderung memperbesar ukuran kapal dan alat tangkapnya dengan harapan akan mendapatkan hasil yang lebih banyak. Sebaliknya nelayan yang tidak memiliki modal yang cukup terkesan sangat memaksakan untuk mempertahankan keberlanjutan usahnya. Hasil kajian tentang kelayakan usaha dengan membandingkan ukuran kapal miliki nelayan di Kayoa, mendapatkan bahwa kapal berukuran 10 GT memiliki tingkat kelayakan yang lebih baik dari ukuran yang lain. Hasil kajian ini perlu disampaikan kepada nelayan melalui penyuluhan, sehingga diharapkan usaha perikanan giob tetap berkelanjutan. (3) Inovasi teknologi perikanan giob Strategi ini bertujuan untuk merubah sikap dan alih teknologi penangkapan nelayan giob. Perikanan giob merupakan salah satu bentuk perikanan yang mempertahankan nilai-nilai tradisional yang dianggap sulit untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Nilai-nilai tradisional ini mulai dari pembuatan kapal dan alat tangkap, spesifikasi nelayan, operasi penangkapan ikan, pembagian hasil, pengolahan hasil dan pemasaran hasil. Penerapan nilai-nilai tradisional ini dianggap sangat sesuai dengan perkembangan dunia perikanan. Walaupun demikian setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian terkait perkembangan dunia perikanan yaitu: (1) spesifikasi nelayan dalan operasi penangkapan ikan dan pembagian hasil, (2) pengguaan alat bantu rumpon, (3) pengolahan dan pemasaran.

12 145 Dalam pengoperasian alat tangkap, nelayan giob tidak mengenal pembagian pekerjaan yang sepesifik. Sistem yang diterapkan adalah saling melengkapi jika suatu bagian dianggap lebih berat untuk ditangani. Hal yang menarik dan menjadi perhatian adalah saat mengejar gerombolan ikan, giob tidak memiliki satu komando yang menyebabkan kapal selalu bergerak mengikuti banyak petunjuk, sehingga terkesan terjadinya pemborosan waktu dan pemborosan penggunaan bahan bakar minyak. Penerapan sistem kerja saling melengkapi inilah dapat mempengaruhi pembagian hasil merata untuk semua ABK. Dalam rangka pengembangan perikanan giob yang sesuai dengan perkembangan dunia perikanan maka sistem ini harus dirubah, sehingga setiap ABK memiliki tugas dan tanggung jawab yang dijalankan sesuai dengan hasil yang akan diperoleh. Operasi penangkapan ikan menggunakan metode mengejar gerombolan ikan, sejak gerombolan ikan terdeteksi di daerah penangkapan ikan. Setelah giob berada pada area yang memungkinkan maka salah satu nelayan bertugas melepaskan potongan daun kelapa kering ke permukaan air laut yang berfungsi sebagai atraktor, sehingga dapat menghambat kecepatan gerak gerombolan julung-julung. Sebagai solusi untuk menghambat gerakan gerombolan julungjulung maka solusi yang ditawarkan adalah penggunaan rumpon laut dangkal. Jika metode ini diterapkan maka dapat diperkirakan akan menghemat waktu penangkapan dan penggunaan bahan bakar minyak. Pengolahan hasil tangkapan menjadi produk ikan julung-julung asap kering, hingga saat ini menjadi primadona dalam perikanan giob. Hal yang menjadi perhatian adalah penggunaan kayu mangrove sebagai bahan bakar dalam proses pengasapan dianggap menyebabkan semakin tereksploitasinya potensi kayu mangrov. Solusi yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah membangun ruang pendingin di Kayoa, sehingga hasil tangkapan di tampung kemudian dipasarkan dalam bentuk ikan segar atau beku. (4) Kerjasama untuk membentuk wadah pengelolaan Salah satu kendala yang dihadapi nelayan giob di Kayoa, Halmahera Selatan adalah lemahnya posisi tawar ketika dihadapkan pada permasalahan prosedural. Oleh karena itu dibutuhkan wadah untuk menyatukan segala potensi yang

13 146 dimiliki. Implementasi wadah dapat diwujudkan melalui penumbuhan kelompokkelompok nelayan giob di Kayoa yang secara bertahap diarahkan untuk bergabung dalam wadah koperasi. Agar keberadaan koperasi dapat dirasakan oleh anggotanya maka pembinaan koperasi diarahkan pada peningkatan akses pasar, perkuatan permodalan, peningkatan manajemen usaha, dan peningkatan teknologi. Strategi ini juga bertujuan agar perikanan giob berorientasi industri (tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu). Dalam tahap awal, kelembagaan yang perlu lebih dikembangkan adalah kelompok nelayan, yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi nelayan untuk mengkonsolidasikan dan mengaktualisasikan dirinya. Dengan jumlah nelayan giob yang relatif dominan serta tergabung dalam suatu organisasi akan dapat meningkatkan posisi tawar terhadap nelayan yang bersangkutan. Tahap berikutnya, kelompok nelayan tersebut secara bertahap dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi kelompok usaha bersama maupun koperasi untuk mendukung pengembangan usaha anggota kelompok yang bersangkutan. 5) Optimalisi tangkapan ikan julung-julung Secara internal kelemahan yang teridentifikasi pada stok julung-julung adalah (1) mortalitas penangkapan lebih tinggi dari mortalitas alami, (2) status eksploitasi di atas nilai optimal. Ancaman yang timbul karena campur tangan manusia adalah kegiatan penangkapan dengan intensitas yang relatif tinggi. Untuk meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman maka strateginya yaitu optimalisasi penangkapan. Optimalisasi tersebut berkaitan dengan pengaturan waktu efektif dalam operasi penangkapan julung-julung dengan giob, dan jumlah hasil tangkapan optimal oleh nelayan. Pengaturan waktu penangkapan terutama penghentian sementara operasi penangkapan pada waktu musim pemijahan akan memberi kesempatan kepada induk ikan untuk memijah. Pada sisi lain penangkapan pada waktu di luar musim pemijahan harus dioptimalkan, karena pertimbangan usia hidup julung-julung yang terbatas. Hal ini jika tidak dimanfaatkan maka sumberdaya tersebut akan mati dengan sia-sia. Solusi ini dapat dijalankan melalui kesepakatan para nelayan, yang difasilitasi oleh pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

5 EVALUASI TEKNIS PERIKANAN GIOB

5 EVALUASI TEKNIS PERIKANAN GIOB 5 EVALUASI TEKNIS PERIKANAN GIOB 5.1 Pendahuluan Perikanan giob dapat dimaknai berdasarkan nama alat tangkap yang digunakan. Usaha perikanan ini dengan target tangkapan adalah ikan julungjulung. Secara

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Unit Penangkapan Ikan

5 PEMBAHASAN 5.1 Unit Penangkapan Ikan 5 PEMBAHASAN 5.1 Unit Penangkapan Ikan Spesifikasi ketiga buah kapal purse seine mini yang digunakan dalam penelitian ini hampir sama antara satu dengan yang lainnya. Ukuran kapal tersebut dapat dikatakan

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat VII. PERANCANGAN PROGRAM 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat Mengacu pada Visi Kabupaten Lampung Barat yaitu Terwujudnya masyarakat Lampung Barat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Mentawai adalah kabupaten termuda di Propinsi Sumatera Barat yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.49 Tahun 1999. Kepulauan ini terdiri dari empat pulau

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

7 PENGEMBANGAN PERIKANAN GIOB SECARA BERKELANJUTAN

7 PENGEMBANGAN PERIKANAN GIOB SECARA BERKELANJUTAN 7 PENGEMBANGAN PERIKANAN GIOB SECARA BERKELANJUTAN 7.1 Pendahuluan Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan dari suatu yang dinilai kurang kepada sesuatu yang dinilai lebih

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kabupaten Buton diperkirakan memiliki luas sekitar 2.509,76 km 2, dimana 89% dari luas wilayah tersebut merupakan perairan laut. Secara geografis Kabupaten Buton terletak

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya Program Studi Teknologi Penangkapan Ikan, Politeknik Perikanan Negeri Tual. Jl.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Labuan, Banten merupakan pelabuhan perikanan pantai terbesar di Kabupaten Pandeglang yang didirikan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum aktivitas perikanan tangkap di Indonesia dilakukan secara open access. Kondisi ini memungkinkan nelayan dapat bebas melakukan aktivitas penangkapan tanpa batas

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR 45 Komposisi hasil tangkapan yang diperoleh armada pancing di perairan Puger adalah jenis yellowfin tuna. Seluruh hasil tangkapan tuna yang didaratkan tidak memenuhi kriteria untuk produk ekspor dengan

Lebih terperinci

MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh.

MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh. 1 MENGAPA PRODUKSI TANGKAPAN IKAN SARDINE DI PERAIRAN SELAT BALI KADANG MELEBIHI KAPASITAS PABRIK YANG TERSEDIA KADANG KURANG Oleh Wayan Kantun Melimpahnya dan berkurangnya ikan Lemuru di Selat Bali diprediksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang lokasinya di pantai Timur Sumatera Utara yaitu Selat Malaka. Kegiatan

PENDAHULUAN. yang lokasinya di pantai Timur Sumatera Utara yaitu Selat Malaka. Kegiatan PENDAHULUAN Latar Belakang Kotamadya Medan merupakan salah satu daerah penghasil ikan di Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan penghasil ikan yang produktif di daerah ini ialah Kecamatan Medan Belawan. Kecamatan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki luas wilayah 20.656.894 Km 2 terdiri dari luas lautan 14,877.771 Km 2 dan daratan 5,779.123 Km 2. Dengan luas

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap 2.1.1 Definisi perikanan tangkap Penangkapan ikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 45 Tahun 2009 didefinisikan sebagai kegiatan untuk memperoleh

Lebih terperinci

MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara

MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara MELIHAT POTENSI EKONOMI BAWEAN pada acara PEMBUKAAN PSB KOTA SURABAYA Oleh: Dr. Asmara Indahingwati, S.E., S.Pd., M.M TUJUAN PROGRAM Meningkatkan pendapatan dan Kesejahteraan masyarakat Daerah. Mempertahankan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan perikanan di Indonesia secara umum bersifat terbuka (open access), sehingga nelayan dapat dengan leluasa melakukan kegiatan penangkapan di wilayah tertentu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 40 V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Kondisi Fisik Geografis Wilayah Kota Ternate memiliki luas wilayah 5795,4 Km 2 terdiri dari luas Perairan 5.544,55 Km 2 atau 95,7 % dan Daratan 250,85 Km 2 atau

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 16 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Halmahera Utara sebagai salah satu kabupaten kepulauan di Provinsi Maluku Utara, memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km 2 dan zona ekonomi ekslusif (ZEE)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Pengamatan Aspek Operasional Penangkapan...di Selat Malaka (Yahya, Mohammad Fadli) PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Mohammad Fadli Yahya Teknisi pada Balai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan dua per tiga wilayahnya berupa perairan dan mempunyai potensi sumber daya ikan sekitar 6,4 juta ton/tahun. Dengan besarnya potensi tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera dan pulau-pulau di sekitarnya memiliki 570 jenis spesies ikan tawar dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu jenis ikan endemik

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi 7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Teknologi penangkapan ikan pelagis yang digunakan oleh nelayan Sungsang saat ini adalah jaring insang hanyut, rawai hanyut

Lebih terperinci

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Dalam memahami karakter sebuah wilayah, pemahaman akan potensi dan masalah yang ada merupakan hal yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jakarta sebagai ibukota negara dan pusat pemerintahan sejak abad ke- 17 telah menjadi kota Bandar, karena memiliki posisi sangat strategis secara geopolitik dan geostrategis.

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN 241 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan (1) Karakteristik nelayan di lokasi penelitian secara spesifik dicirikan dengan: (a) karakteristik individu: pendidikan rendah, nelayan pendatang, motivasi intrinsik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai September 2010. Pengambilan data lapangan dilakukan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, sejak 21 Juli

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie- PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Secara administrasi WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP.. Rumahtangga Nelayan Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang berperan dalam menjalankan usaha perikanan tangkap. Potensi sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan masih menjadi masalah yang mengancam Bangsa Indonesia. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta jiwa yang berarti sebanyak 16,58

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

MAKALAH PENYULUHAN PERIKANAN PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN PELARANGAN ALAT TANGKAP CANTRANG DI JUWANA, PATI

MAKALAH PENYULUHAN PERIKANAN PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN PELARANGAN ALAT TANGKAP CANTRANG DI JUWANA, PATI MAKALAH PENYULUHAN PERIKANAN PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN PELARANGAN ALAT TANGKAP CANTRANG DI JUWANA, PATI Oleh : Patric Erico Rakandika Nugroho 26010112140040 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perikanan purse seine di pantai utara Jawa merupakan salah satu usaha perikanan tangkap yang menjadi tulang punggung bagi masyarakat perikanan di Jawa Tengah, terutama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa

Lebih terperinci

BAB 6 PENUTUP. temuan penelitian tentang bagaimana pengelolaan sektor kelautan dan perikanan

BAB 6 PENUTUP. temuan penelitian tentang bagaimana pengelolaan sektor kelautan dan perikanan BAB 6 PENUTUP Bab ini, secara singkat akan menyimpulkan dan juga saran mengenai temuan penelitian tentang bagaimana pengelolaan sektor kelautan dan perikanan di NTT dan apa faktor penghambat pembangunan

Lebih terperinci