KONVENSI TENTANG PERLINDUNGAN BENDA BUDAYA PADA WAKTU SENGKETA BERSENJATA Den Haag, 14 Mei Pihak-Pihak Peserta Agung,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONVENSI TENTANG PERLINDUNGAN BENDA BUDAYA PADA WAKTU SENGKETA BERSENJATA Den Haag, 14 Mei 1954. Pihak-Pihak Peserta Agung,"

Transkripsi

1 KONVENSI TENTANG PERLINDUNGAN BENDA BUDAYA PADA WAKTU SENGKETA BERSENJATA Den Haag, 14 Mei 1954 Pihak-Pihak Peserta Agung, Menyadari bahwa benda budaya telah menderita kerugian besar selama konflik-konflik bersenjata belakangan ini dan bahwa karena perkembangan-perkembangan tehnik berperang, benda budaya sedang berada dalam bahaya kerusakan yang meningkat; Diyakinkan bahwa kerusakan terhadap benda budaya milik siapapun bagaimanapun artinya adalah kerusakan terhadap warisan budaya umat manusia, karena setiap orang membuat konstribusi terhadap budaya dunia; Menimbang bahwa pemeliharaan warisan budaya adalah kepentingan besar umat manusia di dunia dan bahwa warisan ini perlu menerima perlindungan internasional; Dipedomani oleh prinsip-prinsip mengenai perlindungan benda budaya pada waktu sengketa bersenjata, sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Den Haag 1899 dan 1977 dan dalam Pakta washington 15 April 1935; Merupakan pendapat bahwa perlindungan tersebut tidak dapat efektif tanpa tindakan nasional serta internasional yang dilakukan untuk mengaturnya pada waktu damai; Ditetapkan untuk mengambil semua langkah-langkah yang memungkinkan untuk melindungi benda budaya; Menyetujui ketentuan-ketentuan berikut ini : BAB I : Ketentuan Umum Mengenai Perlindungan Definisi Benda Budaya Pasal 1 Untuk kegunaan Konvensi ini, istilah "benda budaya", tanpa memperhatikan asal dan kepemilikannya, meliputi : (a) benda bergerak atau tidak bergerak yang mempunyai kepentingan besar terhadap warisan budaya setiap orang, seperti monumen-monumen arsitektur, seni atau sejarah, baik yang bersifat religius maupun sekular; situs arkeologi; kelompok bangunan yang

2 secara keseluruhan mempunyai kepentingan sejarah atau artistik; karya seni; sebagaimana koleksi-koleksi ilmiah dan koleksi-koleksi penting dari buku-buku dan arsip-arsip atau reproduksi dari benda-benda yang ditetapkan diatas; (b) bangunan-bangunan yang kegunaan utama dan efektifnya adalah untuk memelihara atau mempertunjukkan benda budaya bergerak yang ditetapkan pada sub-paragraf (a) seperti museum-museum, perpustakaan-perpustakaan besar dan penyimpanan-penyimpanan arsip-arsip, dan, dan tempat penampungan untuk melindungi, pada waktu sengketa bersenjata, benda budaya bergerak yang ditetapkan dalam subparagraf (a); (c) pusat-pusat yang berisi sejumlah besar benda budaya sebagaimana ditetapkan dalam sub-paragraf (a) and (b), untuk diketahui sebagai "pusat-pusat yang berisi monumen-monumen". Perlindungan Benda Budaya Pasal 2. Untuk kegunaan Konvensi ini, perlindungan benda budaya terdiri dari pengamanan dan penghormatan terhadap benda budaya tersebut Pengamanan Benda Budaya Pasal 3 Pihak-Pihak Peserta Agung berusaha pada waktu damai untuk mempersiapkan pengamanan benda budaya yang terletak dalam teritorinya dari efek-efek yang dapat diperkirakan terjadi pada waktu sengketa bersenjata, dengan melakukan tindakan-tindakan yang mereka anggap sepatutnya. Penghormatan Benda Budaya Pasal 4. (1) Pihak-Pihak Peserta Agung bertanggung jawab untuk

3 menghormati benda budaya baik yang terdapat dalam teritorinya maupun dalam teritori Pihak Peserta Agung lainnya dengan cara mencegah penggunaan benda budaya dan lingkungan sekitarnya atau penggunaan alat-alat yang digunakan untuk perlindungan benda budaya yang dapat mengakibatkan kehancuran atau kerusakannya pada waktu sengketa bersenjata; dan dengan cara mencegah setiap tindakan permusuhan yang ditujukan langsung terhadap benda budaya tersebut. (2) Kewajiban-kewajiban yang disebutkan diatas dalam paragraf 1 dari Pasal ini hanya dapat dikesampingkan dalam hal dimana kepentingan militer mengharuskan adanya pengenyampingan yang demikian. (3) Pihak-Pihak Peserta Agung selanjutnya berusaha untuk melarang, mencegah dan, apabila perlu, menghentikan setiap bentuk pencurian, penjarahan atau penyalahgunaan, dan setiap tindakan-tindakan vandalisme yang ditujukan langsung terhadap benda budaya. Mereka seharusnya, menghentikan pengambil alihan-benda budaya bergerak yang terletak dalam teritori Pihak Peserta Agung lainnya. (4) Mereka seharusnya mencegah setiap cara tindakan pembalasan yang diarahkan langsung terhadap benda budaya. (5) Tidak ada Pihak Peserta Agung, dalam kaitannya dengan Pihak Pesera Agung lainnya, yang boleh mengelak dari kewajibankewajiban yang ditetapkan dalam Pasal ini, dengan alasan fakta bahwa Pihak yang disebut terakhir belum menerapkan tindakantindakan pengamanan yang dimaksud dalam Pasal 3. Pendudukan Pasal 5 (1) Setiap Pihak Peserta Agung yang sedang melakukan pendudukan di seluruh atau sebagian teritori Pihak Peserta Agung lainnya harus sedapat mungkin membantu otoritas nasional yang berkompoten dari negara yang diduduki tersebut dalam pengamanan dan pemeliharaan benda budayanya.

4 (2) Apabila terbukti perlu melakukan tindakan-tindakan untuk memelihara benda budaya yang terletak di teritori yang diduduki dan rusak akibat operasi-operasi militer, dan apabila otoritas nasional yang berwenang ternyata tidak dapat melakukan tindakan-tindakan dimaksud, maka Penguasa Pendudukan harus, sedapat mungkin dalam kerjasama erat dengan otoritas tersebut, melakukan tindakan-tindakan pemeliharaan yang paling diperlukan. (3) Setiap Pihak Peserta Agung yang pemerintahnya dianggap pemerintah yang sah oleh anggota-anggota suatu gerakan perlawanan, harus, apabila mungkin, memperhatikan kewajiban-kewajiban sesuai ketentuan-ketentuan dalam Konvensi-Konvensi yang berkaitan dengan penghormatan benda budaya. Tanda Pembeda Benda budaya Pasal 6 Sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 16, benda budaya boleh mengenakan suatu lambang khusus sehingga mudah dikenali. Tindakan-Tindakan Militer Pasal 7 (1) Pihak-Pihak Peserta Agung berusaha pada waktu damai memperkenalkan ke dalam perarutan-peraturan militer atau instruksi-instruksi mereka tentang ketentuan-ketentuan yang dapat menjamin ketaatan terhadap Konvensi ini, serta meningkatkan semangat penghormatan terhadap budaya dan benda budaya semua orang di kalangan anggota-anggota angkatan bersenjata. (2) Pihak-Pihak Peserta Agung berusaha untuk membuat rencana atau menetapkan pada waktu damai didalam angkatan perangnya, pelayanan atau personil ahli yang dimaksudkan untuk menjamin penghormatan terhadap benda budaya serta untuk bekerjasama dengan otoritas sipil yang bertanggung jawab untuk pengamanan benda budaya.

5 BAB II : PERLINDUNGAN KHUSUS Jaminan Perlindungan Khusus Pasal 8 (1) Terhadap sejumlah terbatas tempat penampungan yang dimaksudkan untuk menyimpan benda budaya bergerak pada saat sengketa bersenjata dapat ditempatkan dibawah perlindungan khusus, dan juga terhadap pusat-pusat yang berisi monumenmonumen dan benda budaya tak bergerak lainnya yang sangat penting, apabila mereka : (a) terletak pada suatu jarak yang memadai dari setiap pusat industri besar atau dari setiap objek militer penting yang merupakan suatu titik rawan, seperti, misalnya, suatu aerodrome, stasiun siaran, perusahaan yang berkaitan dengan kerja pertahanan nasional, suatu pelabuhan atau stasiun kereta api yang relatif penting atau suatu jaringan utama komunikasi; (b) tidak digunakan untuk tujuan-tujuan militer. (2) Suatu tempat penampungan untuk benda budaya bergerak juga dapat ditempatkan dibawah perlindungan khusus, dimanapun lokasinya, jika didirikan sedemikian rupa sehingga, dalam semua kemungkinan, tidak bisa dirusak oleh bom. (3) Suatu pusat yang berisi monumen-monumen harus dianggap digunakan untuk tujuan-tujuan militer apabila ia digunakan untuk gerakan personil atau bahan militer, walaupun dalam transit. Hal yang sama juga berlaku apabila kegiatan-kegiatan dihubungkan secara langsung dengan operasi-operasi militer, penempatan personil militer, atau produksi bahan-bahan perang yang dilakukan dalam pusat tersebut. (4) Penjagaan benda budaya yang disebut dalam paragraf 1 diatas oleh petugas bersenjata yang ditugaskan untuk itu, atau kehadiran petugas polisi yang sehari-harinya bertanggung jawab untuk pemeliharaan ketertiban umum disekitar disekitar benda budaya, seharusnya tidak dianggap digunakan untuk tujuan-tujuan militer.

6 (5) Jika setiap benda budaya yang disebutkan dalam paragraf 1 dari Pasal ini terletak berdekatan dengan suatu objek militer yang penting sebagaimana ditetapkan dalam paragraf tersebut, maka benda budaya tersebut bagaimanapun dapat ditempatkan dibawah perlindungan khusus jika Pihak Peserta Agung yang meminta perlindungan tersebut itu berusaha, pada saat sengketa bersenjata, untuk tidak menjadikannya sebagai sasaran, dan khususnya untuk suatu pelabuhan, stasiun kereta api atau aerodrome, untuk mengalihkan semua lalu-lintasnya daripadanya. Dalam hal yang demikian maka pengalihan tersebut harus dipersiapkan pada waktu damai. (6) Perlindungan khusus diberikan untuk benda budaya melalui pendaftarannya dalam "Pendaftaran Internasional atas Benda budaya dibawah Perlindungan Khusus". Pendaftaran ini hanya dapat dilakukan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini dan dibawah syarat-syarat yang ditentukan dalam Peraturan- Peraturan Pelaksanaan Konvensi ini. Kekebalan Benda Budaya dibawah Perlindungan Khusus Pasal 9 Pihak-Pihak Peserta Agung berusaha untuk menjamin kekebalan benda budaya dibawah perlindungan khusus yaitu mulai dari waktu pendaftarannya dalam Pendaftaran Internasional, menghentikan setiap tindakan permusuhan yang ditujukan langsung kepada benda tersebut dan, kecuali dalam kasus-kasus yang disebutkan dalam paragraf 5 Pasal 8, menghentikan setiap penggunaan benda tersebut atau sekitarnya untuk tujuan-tujuan militer. Identifikasi dan Pengawasan Pasal 10 Pada waktu sengketa bersenjata, benda budaya yang berada dibawah perlindungan khusus harus ditandai dengan lambang khusus sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 16, dan harus terbuka untuk pengawasan internasional seperti diatur dalam Peraturan- Peraturan untuk pelaksanaan Konvensi ini.

7 Pencabutan Kekebalan Pasal 11 (1) Jika salah satu dari Pihak-Pihak Peserta Agung melakukan pelanggaran atas kewajiban-kewajiban terhadap benda budaya yang berada dibawah perlindungan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 9, maka Pihak lawan seharusnya, selama pelanggaran tersebut masih berlangsung, dilepaskan dari kewajiban menjamin kekebalan benda budaya yang bersangkutan. Namun demikian, pada setiap waktu yang dimungkinkan, maka Pihak yang disebut belakangan seharusnya yang pertama meminta penghentian pelanggaran tersebut dalam waktu yang wajar. (2) Terlepas dari kasus yang disebutkan dalam paragraf 1 Pasal ini, kekebalan terhadap benda budaya yang berada dibawah perlindungan khusus seharusnya dicabut hanya dalam hal adanya kepentingan militer yang tidak dapat dihindarkan dan pencabutan itu berlangsung hanya pada waktu kepentingan militer itu berlangsung. Kepentingan militer yang demikian hanya dapat ditetapkan Komandan dari suatu pasukan setingkat divisi atau yang diatasnya. Apabila keadaan memungkinkan, Pihak lawan harus diberitahukan tentang keputusan pencabutan kekebalan tersebut sebelumnya dalam tenggang waktu yang cukup. (3) Pihak yang mencabut kekebalan seharusnya, sesegara mungkin, menginformasikan secara tertulis kepada Commissioner-General untuk benda budaya yang ditetapkan dalam Peraturan-peraturan pelaksanaan dari Konvensi, dengan menyebutkan alasanalasannya. BAB III : PENGANGKUTAN BENDA BUDAYA Pengangkutan dibawah Perlindungan Khusus Pasal.12 (1) Pengangkutan yang secara khusus digunakan untuk pengiriman benda budaya, baik dalam suatu teritori ataupun menuju suatu teritori lain, boleh dilakukan atas permintaan Pihak Peserta Agung yang terkait, dengan diletakkan dibawah perlindungan khusus sesuai

8 dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam Peraturan-Peraturan pelaksanaan Konvensi. (2) Pengangkutan dibawah perlindungan khusus berada dalam suatu pengawasan internasional yang ditetapkan dalam Peraturan- Peraturan yang telah disebutkan dan dengan menggunakan lambang khusus sebagaimana yang digambarkan dalam Pasal 16. (3) Pihak peserta Agung seharusnya menghentikan setiap tindakan permusuhan yang ditujukan langsung terhadap pengangkutan dibawah perlindungan khusus. Pengangkutan dalam Kasus-Kasus yang Mendesak Pasal 13 (1) Jika suatu Pihak Peserta Agung menimbang bahwa untuk kepentingan keamanan dari benda budaya tertentu memerlukan pemindahannya dan bahwa persoalannya demikian mendesak sehingga prosedur yang ditetapkan dalam pasal 12 tidak dapat diikuti, khususnya pada permulaan suatu sengketa bersenjata, transportasinyanya boleh menggunakan lambang khusus yang digambarkan dalam Pasal 16, jika suatu penerapan untuk kekebalan yang dimaksud dalam Pasal 12 belum dibuat dan ditolak. Sedapat mungkin pemindahan tersebut diberitahukan kepada Pihak lawan. Namun demikian, pengangkutan yang membawa benda budaya ke teritori dari suatu negara lain tidak boleh memperlihatkan lambang khusus tanpa adanya kekebalan yang telah diberikan secara tegas. (2) PihakPihak Peserta Agung sedapat mungkin harus melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan tindakan-tindakan permusuhan yang ditujukan langsung terhadap pengangkutan yang digambarkan dalam paragraf 1 Pasal ini serta sedapat mungkin menggunakan lambang khusus. Kekebalan dari Penyitaan, Penangkapan dan Perompakan Pasal 14 (1) Kekebalan dari penyitaan, penawanan atau penahanan harus diberikan kepada:

9 (a) benda budaya yang menikmati perlindungan sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal 12 atau yang ditetapkan dalam Pasal 13; (b) alat transport yang secara eksklusif dilibatkan dalam pemindahan benda budaya. (2). Tidak ada bagian dalam Pasal ini yang dapat membatasi hak memeriksa dan menggeledah benda budaya yang dimaksud. BAB IV : PERSONIL Personil Pasal 15 Sepanjang masih berkaitan dengan kepentingan-kepentingan keamanan, untuk kepentingan benda budaya yang dilindungi, maka orang-orang yang bertugas untuk melindungi benda budaya tersebut dihormati; dan jika mereka jatuh ke tangan Pihak lawan maka mereka pada setiap saat harus diijinkan untuk terus melaksanakan tugasnya sekalipun benda budaya yang berada dibawah tanggung jawabnya telah jatuh ketangan pihak lawan. BAB V : Lambang Pengenal Lambang Konvensi Pasal 16 (1) Lambang pengenal dalam Konvensi ini berupa tameng yang mengarah kebawah dengan saltir biru dan putih (sebuah tameng yang terdiri dari suatu segi empat sama sisi biru yang salah satu sudutnya merupakan ujung dari tameng, dan sebuah segitiga sama sisi biru yang berada pada bagian atas; ruang disisi kiri dan kanannya terdiri dari masing-masing sebuah segitiga warna putih) (2) Lambang harus digunakan sebuah, atau digunakan tiga buah dalam formasi segitiga (satu tameng dibawah), menurut syaratsyarat yang ditentukan dalam Pasal 17. Penggunaan Lambang

10 Pasal 17 (1) Tanda pengenal yang digunakan tiga buah digunakan sebagai alat identifikasi dari : (a) benda budaya tak bergerak yang berada dibawah perlindungan khusus; (b) pengangkutan benda budaya menurut syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 12 dan 13; (c) tempat penampungan sementara, menurut syrat-syarat yang ditetapkan dalam Peraturan-Peraturan untuk pelaksanaan Konvensi. (2) Lambang pengenal yang digunakan satu buah digunakan sebagai suatu alat identifikasi dari : (a) benda budaya yang tidak dibawah perlindungan khusus; (b) orang-orang yang bertanggung-jawab untuk melaksanakan pengawasan sesuai dengan Peraturan-Peraturan untuk pelaksanaan Konvnesi; (c) personil yang terlibat dalam tugas perlindungan benda budaya; (d) kartu-kartu identitas yang disebut dalam Peraturan-Peraturan pelaksanaan Konvensi. (3) Selama suatu sengketa bersenjata, penggunaan lambang khusus dalam kasus-kasus lainnya dari yang disebut dalam paragraf sebelumnya dari Pasal ini, dan penggunaan untuk setiap maksud apapun dari suatu tanda yang mirip lambang pengenal, harus dilarang. (4) Lambang pengenal tidak boleh ditempatkan pada setiap benda budaya tak bergerak kecuali pada saat yang sama ada suatu otorisasai yang dapat diperlihatkan sepatutnya dan ditandatangani oleh penguasa yang berwenang dari Pihak Peserta Agung. BAB VI : RUANG LINGKUP PENERAPAN KONVENSI Penerapan Konvensi Pasal 18 (1) Terlepas dari ketentuan-ketentuan yang berlaku diwaktu damai, Konvesi ini berlaku pada setiap perang yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata yang mungkin timbul diantara dua atau lebih Pihak-Pihak Peserta Agung, sekalipun jika keadaan perang

11 tidak diakui oleh satu atau lebih dari mereka yang terlibat dalam peperangan. (2) Konvensi juga harus berlaku terhadap semua kasus pendudukan baik terhadap sebagian atau seluruh wilayah dari suatu Pihak Peserta Agung, sekalipun jika pendudukan tersebut tidak mendapatkan perlawanan bersenjata. (3) Jika salah satu dari pihak dalam sengketa bukan suatu pihak dari Konvensi ini, maka mereka yang merupakan Pihak pada Konvensi bagaimanapun harus terikat dalam hubungan mereka. Mereka selanjutnya harus terikat dengan Konvensi, dalam hubungan dengan mereka yang bukan merupakan pihak pada Konvensi jika mereka yang disebut terakhir tersebut telah menyatakan bahwa ia menerima ketentuan-ketentuan Konvensi dan sepanjang ini berlaku terhadap mereka. Sengketa Bersenjata yang Tidak Bersifat Internasional Pasal 19 (1) Pada saat sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang terjadi dalam teritori dari satu Pihak Peserta Agung, maka setiap pihak yang bersengketa terikat untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan dari Konvensi ini yang berhubungan dengan pengormatan benda budaya sebagai ketentuan minimum. (2) Pihak-Pihak yang bersengketa harus berusaha memberlakukan semua atau sebagian ketentuan-ketentuan Konvensi ini, melalui kesepakatan-kesepakatan khusus. (3) Badan Ekonomi, Sosial dan Science dari PBB (UNESCO) boleh menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak yang bersengketa. (4) Penerapan dari ketentuan-ketentuan terdahulu tidak akan mempengaruhi status hukum dari para pihak yang bersengketa. BAB VII : PELAKSANAAN KONVENSI Peraturan-Peraturan untuk Pelaksanaan Konvensi

12 Pasal 20 Prosedur untuk memberlakukan Konvensi ini ditetapkan dalam Peraturan-Peraturan untuk pelaksanaannya, yang merupakan bagian yang integral dari Konvensi. Negara-Negara Pelindung Pasal 21 Konvensi ini dan Peraturan-Peraturan untuk pelaksanaannya harus diberlakukan dengan kerjasama dari Negara-Negara Pelindung yang bertanggung-jawab untuk kepentingan-kepentingan para Pihak yang bersengketa. Prosedur Konsiliasi Pasal 22 (1) Negara-Negara Pelindung harus memberikan jasa-jasa baiknya dalam semua kasus dimana mereka anggap berguna untuk kepentingan-kepentingan benda budaya, khususnya jika terdapat ketidak-sepakatan diantara para Pihak yang bersengketa misalnya tentang pemberlakuan dan penafsiran dari ketentuan-ketentuan Konvensi atau Peraturan-Peraturan pelaksanaannya. (2) Untuk maksud ini, setiap Negara-negara Pelindung boleh, baik atas undangan dari satu Pihak, dari Direktur Jenderal UNESCO, atau atas inisiatif sendiri, mengusulkan kepada Pihak-Pihak yang bersengketa suatu pertemuan dari wakil-wakilnya, dan khususnya dari otoritas-otoritas yang bertanggung-jawab terhadap perlindungan benda budaya, jika dianggap patut di teritori netral yang dipilih. Pihak-pihak yang bersengketa terikat untuk menanggapi usulan pertemuan yang dibuat untuk mereka. Negara-negara Pelindung dapat mengusulkan seseorang dari negara netral atau seseorang yang diusulkan oleh Dirjen UNESCO, untuk diundang mengikuti pertemuan dan bertindak sebagi ketua dalam pertemuan tersebut. Bantuan UNESCO Pasal 23

13 (1) Pihak-Pihak Peserta Agung boleh meminta bantuan teknis dari UNESCO untuk pengorganisasian perlindungan dari benda budaya mereka, atau dalam hubungannya dengan persoalan lain yang timbul dari pemberlakuan Konvensi ini atau Peraturan-Peraturan untuk pelaksanaannya. ONESCO akan memberikan bantuan yang dimaksud dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh program dan sumberdayanya. (2) UNESCO berwenang untuk membuat, dengan inisiatifnya sendiri, usulan-usulan mengenai persoalan ini kepada PIhak-Pihak Peserta Agung. Persetujuan-persetujuan Khusus Pasal 24 (1) Pihak-Pihak Peserta Agung boleh membuat persetujuanpersetujuan khusus untuk semua persoalan-persoalan mengenai yang mereka anggap layak untuk dibuat ketentuan yang terpisah. (2) Tidak ada persetujuan khusus yang boleh dibuat dengan tujuan untuk mengurangi perlindungan yang diberikan oleh Konvensi ini bagi benda budaya serta terhadap orang-orang yang terlibat dalam perlindungannya. Penyebarluasan Konvensi Pasal 25 Pihak-Pihak Peserta Agung berusaha, baik pada waktu damai maupun pada waktu sengketa bersenjata, untuk menyebar-luaskan teks dari Konvensi ini dan Peraturan-Peraturan pelaksanaannya seluas mungkin di dalam negaranya. Mereka berusaha, khususnya, untuk memasukkan pelajaran tentang Konvensi ini dalam program militer mereka dan, jika memungkinkan, dalam pelatihan sipil, sehingga prinsip-prinsip Konvensi ini di beritahukan kepada seluruh penduduk, khususnya angkatan bersenjata dan personil yang terlibat dalam perlindungan benda budaya.

14 Terjemahan dan Laporan Pasal 26 (1) Pihak-Pihak Peserta Agung akan berkomunikasi satu dengan yang lainnya, melalui Direktur Jenderal UNESCO, mengenai terjemahan-terjemahan resmi dari Konvensi ini serta Peraturan- Peraturan pelaksanaannya. (2) Selanjutnya, sedikitnya setiap empat tahun sekali, mereka harus menyampaikan kepada Direktur Jenderal, suatu laporan yang memberikan informasi mengenai setiap tindakan yang mereka lakukan, yang dipersiapkan atau dipertimbangkan oleh masingmasing administrasi mereka dalam memenuhi ketentuan Konvensi ini dan Peraturan pelaksanaannya. Pertemuan-Pertemuan Pasal 27 (1) Direktur Jenderal UNESCO boleh, denganpersetujuan Executive Board, mengadakan pertemuan wakil-wakil Pihak Peserta Agung. Ia harus mengadakan pertemuan demikian jika sedikitnya seperlima dari Pihak-Pihak Peserta Agung memintanya. (2) Dengan tidak mengabaikan fungsi-fungsi lain yang telah dibentuk dalam Konvensi ini atau Peraturan pelaksanaannya, maksud pertemuan tersebut adalah untuk membahas masalah-masalah penerapan Konvensi ini dan Peraturan-Peraturan pelaksanaannya, dan untuk merumuskan rekomendasi yang berkaitan dengan Konvensi ini. (3) Pertemuan selanjtunya dapat membuat suatu revisi dari Konvensi ini atau Peraturan-Peraturan pelaksanaannya jika diwakili oleh mayoritas Pihak-Pihak Peserta Agung, dan sesuai dengan ketentuanketentuan dalam Pasal 39 Sanksi

15 Pasal 28 Pihak-Pihak Peserta Agung berusaha untuk melakukan, dalam kerangka kerja yurisdiksi kriminal mereka, semua langkahlangkah yang diperlukan untuk menuntut dan mengenakan sanksi pidana atau sanksi disiplin terhadap setiap orang, apapun kewarganegaraannya, yang melakukan atau menyuruh melakukan suatu pelanggaran terhadap Konvensi ini. KETENTUAN-KETENTUAN PENUTUP Bahasa Pasal 29 (1) Konvensi ini dibuat dalam teks bahasa Inggris, Perancis, Russia dan Spanyol, yang keempatnya merupakan bahasa resmi Konvensi. (2) UNESCO akan membuat penterjemahan Konvensi ini kedalam bahasa-bahasa resmi lainnya dari Sidang Umumnya. Penandatanganan Pasal 30 Konvensi ini, mulai tanggal 14 Mei 1954 sampai dengan tanggal 31 Desember 1954, terbuka untuk ditandatangani oleh negara-negara diundang untuk mengikuti Konperensi di Den Haag pada tanggal 21 April 1954 sampai dengan 14 Mei Ratifikasi Pasal 31 (1) Konvensi ini terbuka untuk diratifikasi oleh negara penandatangan sesuai dengan prosedur konstitusional mereka masingmasing. (2) Instrument-instrument ratifikasi disimpan oleh Direktur Jenderal UNESCO. Aksesi

16 Pasal 32 Terhitung sejak tanggal berlakunya, Konvensi ini terbuka untuk diaksesi oleh semua Negara yang disebut dalam Pasal 30 yang belum menandatanganinya, juga untuk Negara lainnya yang diundang untuk ikut serta oleh Executive Board UNESCO. Aksesi akan berlaku setelah penyimpanan instrumen aksesi oleh Direktur Jenderal UNESCO. Mulai Berlakunya Konvensi Pasal 33 (1) Konvensi ini mulai berlaku tiga bulan setelah diterimanya lima instrumen ratifikasi. (2) Setelah itu, Konvensi mulai berlaku, bagi setiap Pihak Peserta Agung, tiga bulan setelah penyimpanan instrumen ratifikasi atau instrumen aksesinya. (3) Situasi-situasi yang disebut dalam Pasal 18 dan 19 akan segera memberikan pengaruh terhadap ratifikasi atau aksesi yang telah disimpankan oleh Pihak-pihak yang bersengketa baik sebelum atau sesudah permulaan permusuhah atau pendudukan. Dalam kasus demikian, Direktur Jenderal UNESCO harus meneruskan komunikasi yang ditunjuk dalam Pasal 38 dengan metoda tercepat. Penerapan Effektif Pasal 34 (1) Setiap Negera Peserta Konvensi pada saat berlakunya Konvensi harus melakukan semua tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menjamin penerapan efektif dari Konvensi ini dalam waktu enam bulan setelah mulai berlakunya. (2) Periode ini adalah enam bulan setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi atau instrumen aksesi bagi setiap Negara yang menyimpan instrumen ratifikasi atau aksesinya setelah tanggal mulai berlakunya Konvensi. Perluasan Teritori Konvensi

17 Pasal 35 Setiap Pihak Peserta Agung boleh, pada waktu ratifikasi atau aksesi, atau pada waktu kapanpun setelah itu, menyatakan notifikasi yang dialamatkan kepada Direktur Jenderal UNESCO, bahwa Konvensi ini akan diperluas ke seluruh atau setiap teritori dimana ia bertanggung jawab atas hubungan internasional dari teritori tersebut. Pemberitahuan berlaku efektif terhitung sejak tiga bulan setelah diterimanya pemberitahuan tersebut. Hubungan dengan Konvensi-Konvensi Sebelumnya Pasal 36 (1) Dalam hubungan dengan Negara-Negara yang terikat dengan Konvensi-Konvensi Den Haag mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat (IV) dan mengenai Pemboman Laut pada waktu Perang (IX), baik yang dibuat pada tanggal 29 Juli 1899 ataupun tanggal 18 Oktober 1907, dan yang juga menjadi Pihak dalam Konvensi ini, maka Konvensi terakhir ini merupakan pelengkap terhadap Konvensi yang disebut sebelumnya (IX) dan terhadap Peraturan-Peraturan terlampir pada Konvensi yang disebut sebelumnya (IV) dan akan menggantikan lambang yang digambarkan dalam Pasal 5 Konvensi yang disebut didepan (IX) dengan lambang yang digambarkan dalam Pasal 16 Konvensi ini, dalam kasus dimana Konvensi ini dan Peraturan-Peraturan pelaksanaannya menetapkan penggunaan lambang khusus ini. (2) Dalam hubungan antara Negara-Negara yang terikat dengan Pakta Washington tanggal 15 April 1935 tentang Perlindungan Institusi-Institusi Seni dan Ilmiah serta Monumen Sejarah (pakta Roerich) dan yang juga merupakan Peserta-Peserta Konvensi ini, Konvensi yang kemudian ini merupakan pelengkap bagi Pakta Roerich dan menggantikan bendera pembeda yang digambarkan dalam Pasal III Pakta dengan lambang yang ditetapkan dalam Pasal 16 Konvensi ini, dalam kasus Konvensi ini dan Peraturan-Peraturan pelaksanaannya menetapkan penggunaan lambang khusus. Penolakan

18 Pasal 37 (1) Setiap Pihak Peserta Agung dapat menolak Konvensi ini, atas namanya, atau atas nama setiap teritori dimana ia bertanggung jawab atas hubungan internasionalnya. (2) Penolakan tersebut harus dinotifikasikan melalui suatu instrumen tertulis, yang disimpan di Direktur Jenderal UNESCO. (3) Penolakan akan berlaku efektif satu tahun setelah penerimaan instrumen penolakan. Bagaimanapun, jika, pada waktu berakhirnya periode ini, Pihak yang menolak terlibat dalam suatu sengketa bersenjata, penolakan tidak akan berlaku sampai akhir permusuhan, atau sampai operasi-operasi pengembalian benda budaya dilengkapi, salah satu yang terjadi belakangan. Notifikasi Pasal 38 Direktur Jenderal UNESCO akan memberitahukan Negara-Negara yang ditunjuk dalam Pasal 30 dan 32, dan juga Perserikatan Bangsa- Bangsa, tentang penyimpanan semua instrumen ratifikasi, aksesi atau akseptasi yang ditetapkan dalam Pasal 31, 32 dan 39 dan tentang notifikasi-notifikasi dan penolakan-penolakan yang masing-masing ditetapkan dalam Pasal 35, 37 dan 39. Revisi Konvensi dan Peraturan-Peraturan pelaksanaannya Pasal 39 (1) Setiap Pihak Peserta Agung dapat mengusulkan amandemen terhadap Konvensi ini atau terhadap Peraturan-Peraturan pelaksanaannya. Teks dari setiap usulan amandemen harus dikomunikasikan dengan Direktur Jenderal UNESCO yang akan menyampaikannya kepada setiap Pihak Peserta Agung dengan permintaan agar Pihak tersebut menjawabnya dalam waktu empat bulan denga menyatakan apakah ia : (a) menginginkan suatu Konfrensi diselenggarakan untuk mempertimbangkan usulan amandemen; (b) mendukung penerimaan usulan amandemen tanpa suatu Konfrensi; atau

19 (c) mendukung penolakan usulan amandemen tanpa suatu Konfrensi. (2) Direktur Jenderal akan meneruskan jawaban-jawaban yang diterimanya menurut paragraf 1 Pasal ini kepada semua Pihak Peserta Agung. (3) Jika semua Pihak-Pihak Peserta Agung, dalam jangka waktu yang sudah ditentukan, telah menyatakan pandangan mereka kepada Direktur Jenderal UNESCO, sesuai paragraf 1 (b) Pasal ini, memberitahukannya bahwa mereka mendukung penerimaan amandemen tanpa suatu Konfrensi, maka notifikasi keputusan mereka dibuat oleh Direktur Jenderal sesuai dengan Pasal 38. Amandemen berlaku efektif bagi semua Pihak Peserta Agung setelah sembilan puluh hari dari tanggal notifikasi dimaksud. (4) Direktur Jenderal akan memanggil Konfrensi Para Pihak Peserta Agung untuk mempertimbangkan usulan amandemen jika diminta demikian oleh lebih dari sepertiga dari Pihak Peserta Agung. (5) Amandemen terhadap Konvensi atau terhadap Peraturan- Peraturan pelaksanaannya, yang berkaitan dengan ketentuanketentuan dalam paragraf terdahulu, akan mulai berlaku hanya setelah diterima secara bulat oleh Para Pihak Peserta Agung yang diwakili dalam Konfrensi dan diterima oleh Para Pihak Peserta Agung. (6). Penerimaan oleh Para Pihak Peserta Agung atas amandemen terhadap Konvensi atau terhadap Peraturan-Peraturan pelaksanaannya, yang telah diterima oleh Konfrensi sebagaimana disebut dalam paragraf 4 dan 5, akan berlaku efektif setelah penyimpanan satu instrumen formal pada Direktorat Jenderal UNESCO. (7) Setelah mulai berlakunya amandemen terhadap Konvensi ini atau terhadap Peraturan-Peraturan pelaksanaannya, maka hanya teks Konvensi atau Peraturan pelaksanaan yang telah diamandemen yang terbuka untuk diratifikasi atau diaksesi. Pendaftaran

20 Pasal 40 Sesuai dengan Pasal 102 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi ini akan didaftarkan pada Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa atas permintaan Direktur Jenderal UNESCO. Dengan penuh kepercayaan penandatangan, dengan kekuasaan penuh, menandatangani Konvensi ini. Dibuat di Den Haag, hari ini 14 Mei 1954, dalam suatu salinan tunggal yang akan disimpan pada arsip UNESCO, dan salinansalinan yang sudah disahkan akan dikirim kepada semua Negaranegara yang ditunjuk dalam Pasal 30 dan 32, dan juga kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. PERATURAN PELAKSANA KONVENSI BAGI PERLINDUNGAN BENDA-BENDA BUDAYA

KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING

KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA 1958 Konvensi mengenai Pengakuan

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Resolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984) Majelis

Lebih terperinci

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT KONVENSI MENGENAI PENGAMBILAN IKAN SERTA HASIL LAUT DAN PEMBINAAN

Lebih terperinci

K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949

K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949 K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949 2 K-95 Konvensi Perlindungan Upah, 1949 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki

Lebih terperinci

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN 1 K-81 Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan

Lebih terperinci

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2003 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 81 CONCERNING LABOUR INSPECTION IN INDUSTRY AND COMMERCE (KONVENSI ILO NO. 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 2 K-158 Konvensi Pemutusan Hubungan Kerja, 1982 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN STATUTE OF THE INTERNATIONAL INSTITUTE FOR THE UNIFICATION OF PRIVATE LAW (STATUTA LEMBAGA INTERNASIONAL UNTUK UNIFIKASI HUKUM

Lebih terperinci

K87 KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI

K87 KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI K87 KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI 1 K 87 - Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO. 83 TAHUN 1998

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO. 83 TAHUN 1998 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO. 83 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ILO NO. 87 MENGENAI KEBEBASAN BERSERIKAT DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI (Lembaran Negara No. 98 tahun 1998)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 MUKADIMAH Negara-Negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan dalam Piagam Perserikatan

Lebih terperinci

Konvensi 183 Tahun 2000 KONVENSI TENTANG REVISI TERHADAP KONVENSI TENTANG PERLINDUNGAN MATERNITAS (REVISI), 1952

Konvensi 183 Tahun 2000 KONVENSI TENTANG REVISI TERHADAP KONVENSI TENTANG PERLINDUNGAN MATERNITAS (REVISI), 1952 Konvensi 183 Tahun 2000 KONVENSI TENTANG REVISI TERHADAP KONVENSI TENTANG PERLINDUNGAN MATERNITAS (REVISI), 1952 Komperensi Umum Organisasi Perburuhan Internasional, Setelah disidangkan di Jeneva oleh

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Mukadimah Negara-negara Pihak Kovenan ini, Menimbang, bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip yang diumumkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE KLRCA (Direvisi pada tahun 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada tahun 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, dan terbuka untuk penandatangan, ratifikasi, dan aksesi MUKADIMAH

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA. Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI)

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA. Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, dan terbuka untuk penandatangan, ratifikasi, dan aksesi MUKADIMAH

Lebih terperinci

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011)

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011) DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur SUSUNAN BAGIAN Bagian I Pendahuluan 1. Judul singkat

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS

KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS Disetujui dan dibuka bagi penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 2106 A (XX) 21 Desember 1965 Berlaku 4 Januari 1969

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL PERTAMA PADA KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1

PROTOKOL OPSIONAL PERTAMA PADA KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 PROTOKOL OPSIONAL PERTAMA PADA KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 Negara-negara Pihak pada Protokol ini, Menimbang bahwa untuk lebih jauh mencapai tujuan Kovenan Internasional tentang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

KONVENSI NO. 138 MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA

KONVENSI NO. 138 MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA KONVENSI NO. 138 MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA Kongres Organisasi Ketenagakerjaan Internasional. Setelah diundang ke Jenewa oleh Badan Pengurus Kantor Ketenagakerjaan Internasional,

Lebih terperinci

K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA

K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA 1 K 100 - Upah yang Setara bagi Pekerja Laki-laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya 2 Pengantar

Lebih terperinci

KonveKonvensi Anti Penyiksaan dan perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia

KonveKonvensi Anti Penyiksaan dan perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia KonveKonvensi Anti Penyiksaan dan perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia Disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan persetujuan oleh Resolusi Majelis

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n 2 000 Tentang Desain Industri DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Undang-Undang Arbitrase Tahun 2005 3 SUSUNAN BAGIAN

Lebih terperinci

KONVENSI TENTANG ORGANISASI SATELIT BERGERAK INTERNASIONAL YANG TELAH DIUBAH INMARSAT

KONVENSI TENTANG ORGANISASI SATELIT BERGERAK INTERNASIONAL YANG TELAH DIUBAH INMARSAT KONVENSI TENTANG ORGANISASI SATELIT BERGERAK INTERNASIONAL YANG TELAH DIUBAH INMARSAT NEGARA-NEGARTA PIHAK PADA KONVENSI INI: MENIMBANG prinsip-prinsip yang terkandung dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 243, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

K155 Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, 1981

K155 Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, 1981 K155 Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, 1981 2 K-155 Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, 1981 K155 Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, 1981 Konvensi mengenai Keselamatan dan Kesehatan

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT. Pasal 1

Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT. Pasal 1 Terjemahan Tidak Resmi STATUTA UNIDROIT Pasal 1 Maksud dari Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata adalah meneliti cara cara untuk melakukan harmonisasi dan koordinasi hukum perdata pada Negara

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE. ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) ARBITRASE ISLAM KLRCA

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE. ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) ARBITRASE ISLAM KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Islam KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI PELAYARAN NIAGA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ILO NO. 138 MENGENAI

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ILO NO. 138 MENGENAI UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ILO NO. 138 MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA (Lembaran Negara No. 56 Tahun 1999) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

K144 KONSULTASI TRIPARTIT UNTUK MENINGKATKAN PELAKSANAAN STANDAR-STANDAR KETENAGAKERJAAN INTERNASIONAL

K144 KONSULTASI TRIPARTIT UNTUK MENINGKATKAN PELAKSANAAN STANDAR-STANDAR KETENAGAKERJAAN INTERNASIONAL K144 KONSULTASI TRIPARTIT UNTUK MENINGKATKAN PELAKSANAAN STANDAR-STANDAR KETENAGAKERJAAN INTERNASIONAL 1 K-144 Konsultasi Tripartit untuk Meningkatkan Pelaksanaan Standar-Standar Ketenagakerjaan Internasional

Lebih terperinci

K138 USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA

K138 USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA K138 USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA 1 K 138 - Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SINGAPURA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.68, 2013 HUKUM. Keimigrasian. Administrasi. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5409) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL (Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1994 Tanggal

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000

K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000 K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000 2 K-183 Konvensi Perlindungan Maternitas, 2000 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 PROTOKOL OPSIONAL PADA KONVENSI TENTANG HAK ANAK TENTANG KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Pada tanggal 25 Mei 2000 Negara-negara Pihak

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979)

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) PARA PIHAK DALAM KONVENSI MEMPERHATIKAN arti penting yang tercantum dalam beberapa konvensi mengenai pemberian

Lebih terperinci

K88 LEMBAGA PELAYANAN PENEMPATAN KERJA

K88 LEMBAGA PELAYANAN PENEMPATAN KERJA K88 LEMBAGA PELAYANAN PENEMPATAN KERJA 1 K-88 Lembaga Pelayanan Penempatan Kerja 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi

Lebih terperinci

Statuta Mahkamah Internasional (1945) Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 1

Statuta Mahkamah Internasional (1945) Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 1 Statuta Mahkamah Internasional (1945) Perserikatan Bangsa-Bangsa Pasal 1 Mahkamah Internasional dibentuk berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa sebagai badan kehakiman peradilan utama dari Perserikatan

Lebih terperinci

KONVENSI MENGENAI PENERAPAN PRINSIP PRINSIP HAK UNTUK BERORGANISASI DAN BERUNDING BERSAMA

KONVENSI MENGENAI PENERAPAN PRINSIP PRINSIP HAK UNTUK BERORGANISASI DAN BERUNDING BERSAMA 1 KONVENSI MENGENAI PENERAPAN PRINSIP PRINSIP HAK UNTUK BERORGANISASI DAN BERUNDING BERSAMA Ditetapkan oleh Konferensi Umum Organisasi Buruh Internasional, di Jenewa, pada tanggal 1 Juli 1949 [1] Konferensi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT ON THE RESCUE OF ASTRONAUTS, THE RETURN OF ASTRONAUTS AND THE RETURN OF OBJECTS LAUNCHED INTO OUTER SPACE (PERSETUJUAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 244, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA Diadopsi pada 20 Desember 2006 oleh Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/61/177 Mukadimah Negara-negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Pasal 1 Definisi. Untuk maksud-maksud Persetujuan ini, kecuali konteksnya mensyaratkan sebaliknya;

LAMPIRAN. Pasal 1 Definisi. Untuk maksud-maksud Persetujuan ini, kecuali konteksnya mensyaratkan sebaliknya; LAMPIRAN PERSETUJUAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI MENYELURUH ANTAR PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 32/2000, DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU *12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

K120 HYGIENE DALAM PERNIAGAAN DAN KANTOR-KANTOR

K120 HYGIENE DALAM PERNIAGAAN DAN KANTOR-KANTOR K120 HYGIENE DALAM PERNIAGAAN DAN KANTOR-KANTOR 1 K-120 Hygiene dalam Perniagaan dan Kantor-Kantor 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

K182 PELANGGARAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK

K182 PELANGGARAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK K182 PELANGGARAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK 1 K 182 - Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak 2 Pengantar

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

K171 Konvensi Kerja Malam, 1990

K171 Konvensi Kerja Malam, 1990 K171 Konvensi Kerja Malam, 1990 2 K-171 Konvensi Kerja Malam, 1990 K171 Konvensi Kerja Malam, 1990 Konvensi mengenai Kerja Malam (Catatan: Tanggal berlaku:04:01:1995) Konvensi:C171 Tempat: Jenewa Sesi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE AUSTRIAN FEDERAL GOVERNMENT ON VISA EXEMPTION FOR HOLDERS

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan hak kekayaan intelektual yang

Lebih terperinci

KEPPRES 74/2004, PENGESAHAN WIPO PERFORMANCES AND PHONOGRAMS TREATY, 1996 (TRAKTAT; WIPO MENGENAI PERTUNJUKAN DAN REKAMAN SUARA, 1996)

KEPPRES 74/2004, PENGESAHAN WIPO PERFORMANCES AND PHONOGRAMS TREATY, 1996 (TRAKTAT; WIPO MENGENAI PERTUNJUKAN DAN REKAMAN SUARA, 1996) Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 74/2004, PENGESAHAN WIPO PERFORMANCES AND PHONOGRAMS TREATY, 1996 (TRAKTAT; WIPO MENGENAI PERTUNJUKAN DAN REKAMAN SUARA, 1996) *51746 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KONVENSI ROMA 1961 KONVENSI INTERNASIONAL UNTUK PERLINDUNGAN PELAKU, PRODUSER REKAMAN DAN BADAN-BADAN PENYIARAN

KONVENSI ROMA 1961 KONVENSI INTERNASIONAL UNTUK PERLINDUNGAN PELAKU, PRODUSER REKAMAN DAN BADAN-BADAN PENYIARAN KONVENSI ROMA 1961 KONVENSI INTERNASIONAL UNTUK PERLINDUNGAN PELAKU, PRODUSER REKAMAN DAN BADAN-BADAN PENYIARAN Diselenggarakan di Roma Tanggal 26 Oktober 1961 HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DUNIA JENEWA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Organisasi Perburuhan Internasional

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Organisasi Perburuhan Internasional Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Organisasi Perburuhan Internasional Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Organisasi Perburuhan Internasional Peraturan ran nperund Perundang-Undangan tentang

Lebih terperinci

K150 Konvensi mengenai Administrasi Ketenagakerjaan: Peranan, Fungsi dan Organisasi

K150 Konvensi mengenai Administrasi Ketenagakerjaan: Peranan, Fungsi dan Organisasi K150 Konvensi mengenai Administrasi Ketenagakerjaan: Peranan, Fungsi dan Organisasi 1 K 150 - Konvensi mengenai Administrasi Ketenagakerjaan: Peranan, Fungsi dan Organisasi 2 Pengantar Organisasi Perburuhan

Lebih terperinci

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP.

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP. Annex I KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT Bagian 1. Ketentuan Umum BAB VII LAUT LEPAS Pasal 89 Tidak sahnya tuntutan kedaulatan laut lepas Tidak ada suatu negarapun yang dapat secara

Lebih terperinci

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN *47933 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

K 173 KONVENSI PERLINDUNGAN KLAIM PEKERJA (KEPAILITAN PENGUSAHA), 1992

K 173 KONVENSI PERLINDUNGAN KLAIM PEKERJA (KEPAILITAN PENGUSAHA), 1992 K 173 KONVENSI PERLINDUNGAN KLAIM PEKERJA (KEPAILITAN PENGUSAHA), 1992 2 K-173 Konvensi Perlindungan Klaim Pekerja (Kepailitan Pengusaha), 1992 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA E/CN.4/2005/WG.22/WP.1/REV.4 23 September 2005 (Diterjemahkan dari Bahasa Inggris. Naskah Asli dalam Bahasa Prancis) KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci