BAB I PENDAHULUAN. Implementasi ASEAN Community pada tahun 2015 dan kesepakatan WTO dalam General

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Implementasi ASEAN Community pada tahun 2015 dan kesepakatan WTO dalam General"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun 2015 dan kesepakatan WTO dalam General Agreement on Trade in Services (GATS) telah mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk terus meningkatkan intensitas diplomasi dan perdagangan di bidang pendidikan tinggi. Wujud institusionalisasi interaksi dalam sektor pendidikan tinggi regional dapat ditemukan dalam ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Social and Cultural Community (ASCC) sementara dalam aspek non-institusional dapat dilihat dari adanya peningkatan mobilitas pelajar intra kawasan, yang selanjutnya dipahami sebagai proses regionalisasi guna mewujudkan regionalisme kawasan. Selanjutnya, tulisan ini berupaya menganalisis kekuatan pembentuk regionalisme dalam perpektif sektor pendidikan tinggi serta manfaatnya bagi negara maupun kawasan, sebagai bagian dari upaya memahami regionalisme ASEAN pada umumnya. Tonggak utama dalam diplomasi di bidang pendidikan tinggi kawasan adalah pembentukan ASEAN Community yang lahir melalui Deklarasi ASEAN dalam Bali Concord II pada tahun Dalam kesepakatan awal, ASEAN Community akan diimplementasikan pada tahun Pada pertemuan tingkat tinggi selanjutnya dalam 12 th ASEAN Summit yang diadakan di Filipina tahun 2007, para pemimpin negara ASEAN setuju untuk mempercepat implementasi ASEAN Community lima tahun lebih awal, yaitu pada tahun 2015, sebagaimana dapat ditemukan dalam Deklarasi Cebu (ASEAN, 2009, p.1). Di dalam ASEAN Community terdapat tiga pilar yang menjadi landasan dari semua kerangka kebijakan kerja sama regional, yaitu: ASEAN Political-Security Community (APSC), ASEAN Economic Community (AEC), serta ASEAN Social and Cultural Community (ASCC). 1

2 Pada tahun 2006, menteri-menteri ekonomi ASEAN yang bertemu dalam ASEAN Economic Ministers Meeting (AEM) di Malaysia menyepakati cetak biru ASEAN Community yang pertama, yaitu untuk pilar AEC (ASEAN, 2008, p. 5). Cetak biru kedua yang disepakati adalah untuk pilar ASCC pada tahun 2007 (ASEAN Secretariat, 2009, p. 1). Terakhir, cetak biru APSC diadopsi melalui hasil kesepakatan the 14 th ASEAN Summit pada tahun 2009 (ASEAN Secretariat, 2009, p. 1). Dari ketiga pilar tersebut, pendidikan tinggi secara khusus, atau pendidikan secara umum, menjadi bagian dari ASCC dan sedikit banyak menyinggung pilar AEC. Sebelum cetak biru ASCC dan AEC, ASEAN tidak memiliki kerangka kebijakan kerja sama sektor pendidikan secara spesifik karena masih diintegrasikan dalam SEAMEO. Baru dalam The 4 th ASEAN Summit yang dilaksanakan pada tahun 1992, dimunculkan inisiasi kerja sama di sektor pendidikan tinggi dan pembangunan sumber daya manusia. Sebagai tindak lanjut, pada tahun 1995 pemimpin negara di sektor pendidikan tinggi menandatangani piagam pembentukan AUN (Gajaseni, 2012b). Meskipun demikian, AUN belum berfungsi aktif hingga kerja sama regional sektor pendidikan tinggi mengalami pengintensifan paska Deklarasi Cebu. Diplomasi sektor pendidikan tinggi menuju ASEAN Community dilanjutkan dengan membentuk ASEAN Education Ministers Meeting (ASED) yang mengadakan pertemuan rutin untuk membahas dan mempercepat implementasi cetak biru ASCC di bidang pendidikan. Dalam perkembangannya, ASED diintegrasikan dengan Southeast Asia Ministry of Education Organization (SEAMEO) yang telah berdiri sejak tahun Salah satu prioritas ASED adalah peningkatan kepedulian generasi muda ASEAN melalui pendidikan, yang diwujudkan dengan menjadikan ASEAN University Network (AUN) sebagai instrumen utamanya (ASEAN, n.d.). Sebagai persiapan menuju integrasi regional di tahun 2015, aktor-aktor dalam sektor pendidikan ASEAN membuat kerangka kerja dalam ASEAN 5-Year Work Plan on Education 2

3 untuk periode tahun Rencana kerja tersebut berisikan empat prioritas, yaitu: mempromosikan ASEAN Awareness ; keteraksesan pendidikan berkualitas, meningkatkan akses pendidikan dasar dan sekunder berikut performa pendidikan, standar, pendidikan seumur hidup, serta pengembangan jiwa profesional; mobilitas lintas batas serta internasionalisasi pendidikan; dan terakhir adalah mendukung sektor lain yang memiliki keselarasan dengan pendidikan (Gajaseni, 2013b). Implementasinya sendiri dapat dilihat dalam Gambar 1 berikut. Grafik 1 Pemetaan Proyek Kerja Sama Pendidikan ASEAN berdasarkan Prioritas ASEAN 5-Year Work Plan on Education Tahun Keterangan: P1 : mempromosikan ASEAN Awareness P2A : keteraksesan pendidikan berkualitas, meningkatkan akses pendidikan dasar dan sekunder P2B : peningkatan kualitas performa pendidikan, standar, pendidikan seumur hidup, serta pengembangan jiwa profesional P3 : mobilitas lintas batas serta internasionalisasi pendidikan P4 : mendukung sektor lain yang memiliki keselarasan dengan pendidikan Sumber: Gajaseni (2013b) 3

4 Dari 81 proyek tersebut, dapat diketahui bahwa sektor pendidikan tinggi merupakan sektor yang paling aktif dalam upaya merealisasikan ASEAN 5-Year Work Plan on Education. Fakta menarik lain yang ditemukan dari data tersebut adalah tingginya pencapaian program mobilitas dan internasionalisasi, yang mengindikasikan bahwa instrumen tersebut efektif dalam mempromosikan ASEAN Community di sektor pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Tingginya tingkat mobilitas dalam integrasi kawasan Asia Tenggara, baik dalam program implementasi ASEAN 5-Year Work Plan on Education maupun mobilitas secara natural, menjadi ciri dari integrasi ASEAN di sektor pendidikan tinggi. Berbicara mengenai mobilitas pelajar, pembahasan mengenai integrasi dan interaksi dalam sektor pendidikan tinggi kawasan dapat dikaitkan dengan dimensi perdagangan. Mobilitas pelajar merupakan fenomena yang terjadi karena adanya permintaan akan jasa pendidikan tinggi yang tidak dapat dipenuhi oleh penyedia jasa domestik sehingga konsumen jasa pendidikan tinggi mencari penyedia jasa lain di luar negeri. Aktifitas ini dalam GATS dikenal sebagai mode suplai consumption abroad. Dalam periode , diketahui terdapat peningkatan arus mobilitas pelajar intra kawasan dengan Malaysia dan Thailand sebagai negara tujuan utama bagi pelajar dari negara-negara ASEAN. Mayoritas mobilitas pelajar Thailand juga memilih Malaysia, sementara pelajar Malaysia memilih institusi pendidikan di Indonesia untuk memenuhi permintaan jasa pendidikan tinggi yang diinginkan. Sementara mobilitas pelajar berada dalam mode suplai consumption abroad, terdapat pula mobilitas dalam mode suplai movement of natural persons dalam sektor pendidikan tinggi terutama terkait dengan perpindahan tenaga kerja profesional, di mana dalam pilar AEC telah diamanatkan pada AUN sebagai badan penggerak tren perpindahan tenaga kerja profesional sektor pendidikan dalam kawasan (ASEAN, 2008, p. 16). Terkait dengan hal tersebut, negara- 4

5 negara ASEAN juga mengacu pada ketetapan GATS dalam mode suplai serta prinsip perdagangan jasa, yang dikomitmenkan dalam Agreement on the Movement of Natural Persons yang ditandatangani pada tahun Dengan melihat adanya dua mode tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa integrasi dalam sektor pendidikan tinggi kawasan tidak hanya terbatas pada dimensi diplomasi politis, tetapi juga memiliki dimensi praktis dalam konteks perdagangan jasa. Selain interaksi intra kawasan, negara-negara ASEAN secara individual maupun kolektif juga memiliki hubungan dengan Amerika Serikat, EU, Australia, Selandia Baru, Jepang, serta negara-negara OECD lain dalam sektor pendidikan tinggi di mana diketahui masih menjadi prioritas tujuan pelajar di luar kawasan. Interaksi dalam sektor pendidikan tinggi juga dapat dilihat dalam diplomasi di level negara, yaitu melalui ASEAN+3, ASEAN+8, dan ASEAN-EU (Sugimura, 2013). Interaksi seperti dalam aktifitas diplomasi dan perdagangan jasa pendidikan tinggi yang terjadi di ASEAN dalam beberapa waktu terakhir tersebut bukanlah fenomena baru dalam dunia pendidikan tinggi. Jauh sebelum ASEAN membuat cetak biru AEC maupun ASCC, dunia telah melihat berbagai skema kerja sama hasil diplomasi transnasional serta jumlah migrasi manusia dalam tujuannya memenuhi kebutuhan pendidikan berkualitas terutama paska Perang Dingin berakhir. Salah satu indikator yang dapat diamati adalah jumlah pelajar internasional di seluruh dunia yang mengalami peningkatan tajam dalam dua dekade terakhir. Tercatat pada tahun 1990, jumlah pelajar internasional sebesar 1,3 juta. Pada tahun 2000, jumlahnya meningkat mencapai 2,1 juta dan naik dua kali lipat menjadi 4,1 juta pelajar pada tahun 2010 (Kritz, 2012). Data terakhir yang diperoleh dari UNESCO pada tahun 2011, tercatat sebanyak 4,3 juta pelajar belajar di institusi pendidikan di luar negeri (UNESCO, 2013, p. iii). Dari data tersebut juga diperoleh fakta bahwa sebesar 90% dari jumlah pelajar internasional 5

6 memilih institusi pendidikan di negara anggota OECD, dengan 70%-nya memilih Amerika Serikat, Inggris, Australia, Perancis, dan Jerman. Sementara itu, China, India, dan Korea Selatan menjadi negara-negara teratas yang mengirimkan pelajarnya ke luar negeri (World Education Services, 2007). Adanya implementasi ASEAN Community pada tahun 2015 di satu sisi serta globalisasi terutama dalam konteks perdagangan jasa pendidikan tinggi menjadi dua fitur utama dalam integrasi sektor pendidikan tinggi ASEAN era kontemporer. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut, untuk mengetahui alasan apa yang sebenarnya menjadi pemicu peningkatan aktifitas pendidikan tinggi intra dan inter kawasan yang dilakukan oleh ASEAN. Faktor tersebut penting untuk diketahui karena mempengaruhi karakter dari regionalisme dan regionalisasi dalam ASEAN Community, yang pada akhirnya juga dapat mempengaruhi keefektifan rezim tersebut di masa depan. B. Tinjauan Literatur Ketika membahas kerja sama dan integrasi pendidikan tinggi ASEAN dalam konteks ASEAN Community 2015, dapat diketahui bahwa topik ini belum banyak dikaji secara mendalam. Penelitian yang telah dilakukan lebih banyak berfokus pada level negara dan berbicara tentang kesiapan negara dalam menghadapi integrasi, tanpa banyak menyinggung maksud dari upaya integrasi itu sendiri. Pada tahap ini, dapat ditarik pemahaman bahwa integrasi pendidikan tinggi dalam ASEAN Community cenderung dianggap sebagai bagian dari kesepakatan secara lebih umum dalam rangka menciptakan regionalisasi hingga regionalisme ASEAN. 6

7 Salah satu kajian yang relevan dengan topik bahasan ini dilakukan oleh Kuroda et al. pada tahun Penelitian tersebut mencoba menangkap fenomena regionalisasi pendidikan tinggi dengan menggunakan pendekatan transnasionalis dengan menjadikan institusi pendidikan tinggi sebagai objek penelitian. Penelitian ini sendiri bertujuan untuk mengetahui preferensi pelaku pendidikan tinggi dalam memandang regionalisasi pendidikan tinggi di Asia Timur. Preferensi yang tersebut diperoleh dari survei terhadap 300 universitas dari sepuluh negara ASEAN, Jepang, China, dan Korea Selatan mengenai hasil yang diharapkan dari aktifitas pendidikan tinggi lintas batas dari waktu ke waktu. Penelitian tersebut mengungkap fakta bahwa terjadi perubahan preferensi universitas di Asia Timur dalam kerja sama pendidikan tinggi regional. Di awal era 2000-an, hasil yang diharapkan dari kerja sama regional bersifat akademis, seperti meningkatkan pemahaman interkultural, kapabilitas penelitian, serta kualitas pendidikan. Memasuki akhir dekade, motif tersebut berubah menjadi politis di mana preferensi mobilitas pendidikan tinggi dimaksudkan untuk mempromosikan nilai-nilai masyarakat global, kerja sama regional serta identitas Asia, nilai dan budaya lokal, serta meningkatkan reputasi universitas. Penelitian tersebut juga mencoba memprediksi preferensi pelaku pendidikan tinggi di masa depan, di mana diperkirakan orientasinya akan bergeser ke motif ekonomi. Hal ini berkaitan erat dengan peningkatan permintaan jasa pendidikan tinggi, baik di level global, regional. maupun nasional. Pada tahap ini, barulah universitas menyatakan bahwa mobilitas pendidikan tinggi regional dapat memberikan pemasukan finansial bagi institusi (Kuroda, et al., 2010). Kajian relevan lain juga dapat ditemukan dalam tulisan Miki Sugimura (2009) yang secara singkat memberikan wawasan mengenai pola kerja sama pendidikan tinggi, faktor yang melatarbelakangi, manfaat, serta isu-isu yang dihadapi dalam kerja sama di kawasan Asia Timur. 7

8 Pertama-tama, Sugimura memaparkan bahwa kerja sama pendidikan tinggi Asia Timur terjadi melalui jaringan regional dan kerja sama antar universitas. Jaringan regional merupakan hasil dari interaksi pembuat kebijakan yang terefleksikan dalam keikutsertaan negara-negara kawasan dalam organisasi UNESCO, ASEAN Development Bank, ASEAN, SEAMEO, hingga APEC. Sementara itu, kerja sama antar institusi lahir melalui kesepakatan antar universitas serta keikutsertaan dalam konsorsium. Kemudian dengan melihat kerangka kerja sama yang ada, ditemukan fakta bahwa seringkali skema yang ada saling tumpang tindih antara satu dengan lainnya. Hal tersebut tidak mengurangi manfaat dari program, meskipun di lain sisi mengurangi efektifitas kinerja aktor-aktor yang terlibat. Terjalinnya kerja sama dalam dua level tersebut dilatarbelakangi oleh adanya diversifikasi dan mobilitas pelajar serta upaya kerja sama regional untuk membangun sumber daya manusianya. Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, para pelaku pendidikan tinggi regional melakukan beberapa upaya seperti mendorong mobilitas serta standardisasi pendidikan, baik melalui pola intenasional maupun transnasional. Dari dua hasil penelitian tersebut diperoleh gambaran besar terhadap logika integrasi pendidikan tinggi di Asia Timur, yaitu mengenai proses regionalisasi serta preferensi yang melatarbelakangi hubungan kerja sama tersebut. Meskipun demikian, karena sudut pandang yang diambil adalah dari level mikro, kepentingan negara sebenarnya belum tereksplorasi. Hal ini penting untuk diketahui, mengingat kerja sama regional di bidang pendidikan tinggi tidak akan dapat berlangsung, atau dengan kata lain, terealisasikan hasil-hasil yang diharapkan seperti telah diungkapkan dalam penelitian, jika tidak sejalan dengan kepentingan negara. Oleh karena itu, tulisan ini berupaya untuk mengeksplorasi regionalisme pendidikan tinggi di ASEAN dari sisi struktural, baik dalam konteks dinamika global maupun regional. 8

9 C. Perumusan Masalah Beranjak dari latar belakang peningkatan intensitas diplomasi serta perdagangan dalam sektor pendidikan tinggi ASEAN yang merupakan refleksi regionalisasi menuju terbentuknya regionalisme kawasan, maka tulisan ini berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: 1. Ditinjau dari sektor pendidikan tinggi, mengapa negara-negara ASEAN membentuk regionalisme? 2. Apa fungsi regionalisme bagi sektor pendidikan tinggi kawasan dan negaranegara anggota ASEAN? D. Kerangka Konseptual Untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan sebelumnya, akan digunakan konsep globalisasi pendidikan untuk menjelaskan fenomena global yang terjadi dalam sektor pendidikan tinggi serta regionalisme untuk menganalisis kepentingan negara anggota yang melatarbelakangi kerja sama pendidikan tinggi ASEAN. 1. Globalisasi Pendidikan Globalisasi dalam sektor pendidikan tinggi mulai mendapat perhatian dunia terutama di era 1990-an di mana negara-negara memperoleh peace dividend sebagai trade off dari biaya dan konsentrasi yang banyak tersita oleh isu perang serta keamanan. Dengan adanya peace dividend tersebut, negara-negara mulai memberi perhatian terhadap isu pembangunan dan kesejahteraan manusia. Sesuai dengan konsepsi idealisme kemanusiaan oleh Immanuel Kant, syarat bagi sebuah negara agar dapat mencapai kesejahteraan adalah melalui pendidikan bagi 9

10 generasi mudanya. Lebih dari itu, pendidikan juga merupakan cara untuk mewujudkan konsepsi mengenai kemanusiaan, yang dapat dimaknai sebagai sebuah kehidupan yang harmonis antar bangsa, sebagai prakondisi tercapainya kesejahteraan yang ideal (Murphy, 2007, p. 160). Pemikiran tersebut nyatanya diikuti oleh negara-negara dunia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan negara, termasuk dengan memanfaatkan peace dividend yang dimiliki untuk diinvestasikan dalam pendidikan generasi mudanya. Meskipun demikian, negara-negara berkembang menghadapi fakta bahwa sistem pendidikan nasionalnya belum dapat memenuhi kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diharapkan. Di sisi lain, negara-negara seperti Amerika Serikat dan negara-negara OECD Eropa memiliki program pendidikan tinggi yang menyediakan fasilitas-fasilitas tersebut. Selanjutnya, hukum ekonomi berlaku. Dengan melihat keterbatasan kapasitas institusi pendidikan dalam negeri dalam memenuhi tingginya permintaan kualitas pendidikan, kebijakan jangka pendek yang rasional adalah dengan mencari penyedia pendidikan di negara lain yang mampu memenuhi spesifikasi permintaan sementara mempersiapkan kapabilitas institusi pendidikan dalam negerinya dalam jangka panjang. Kebijakan tersebut kemudian direalisasikan dengan mengirim generasi mudanya untuk belajar di negara-negara yang memiliki kualitas pendidikan lebih maju. Fenomena mobilitas pelajar internasional ini kemudian menandai apa yang disebut Findlay dan Tierney (2012) sebagai gelombang pertama globalisasi pendidikan. Dalam fase ini, kompleksitas hubungan belum tinggi dan kondisi saling ketergantungan masih dalam level minimal. Pertama, migrasi pelajar internasional sebagai individu tidak banyak berbeda dengan pola migrasi yang lain, sehingga isu yang paling krusial adalah masalah 10

11 keimigrasian dan kependudukan. Kedua, objeknya adalah per individu sehingga konsekuensi dari ilmu pengetahuan itu dapat dibatasi. Ketiga, proses ini berlangsung dalam satu arah dan posisi pelajar atau negara pengirim lebih lemah daripada negara penerima. Meskipun demikian, kondisi tersebut berangsur-angsur mengalami perubahan seiring dengan semakin pesatnya peningkatan kesejahteraan di negara-negara pengirim pelajar internasional, perubahan kebijakan pendidikan serta kondisi demografis di negaranegara penerima (Findlay & Tierney, 2012, p. 3). Akumulasi dari kondisi-kondisi tersebut menjadi titik awal bagi gelombang globalisasi pendidikan baru, yang ditandai dengan perluasan dan pengintensifan jaringan kerja sama antar aktor-aktor pendidikan tinggi mulai dari level institusi pemerintah hingga universitas serta masifnya perpindahan penyedia pendidikan, baik dalam konteks individu maupun institusi. Globalisasi pendidikan baru ini ditandai dengan semakin meningkatnya intensitas dan frekuensi mobilitas pendidikan, baik melalui adanya e- learning, joint research, hingga franchise atau branch campus (Findlay & Tierney, 2012, p. 4), selain perpindahan pelajar itu sendiri. Dengan melihat aktifitas-aktifitas yang ada dalam gelombang globalisasi pendidikan baru, dapat diketahui bahwa telah terjadi evolusi dalam sektor pendidikan. Pertama, pendidikan telah mengalami perluasan makna, di mana pendidikan tidak lagi dianggap sebagai manifestasi kemajuan peradaban manusia dalam arti filosofis, tetapi juga telah memiliki nilai ekonomi dalam posisinya sebagai komoditas perdagangan. Kedua, kompleksitas telah meningkat dari isu imigrasi menjadi isu finansial dan kedaulatan indigenous knowledge. Relasi antara negara asal dan penerima juga menjadi lebih seimbang, di mana kedua belah pihak memiliki ketergantungan baik dari sisi 11

12 ekonomi maupun ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan sebuah kesepakatan antar pelaku terkait dengan isu mobilitas dalam sektor pendidikan, seperti yang kemudian dapat ditemukan dalam GATS serta dalam kesepakatan Trade- Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPs). Dari pemaparan tentang globalisasi pendidikan sebelumnya, dapat diidentifikasi adanya arus internasionalisasi dan transnasionalisasi dalam pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Dalam pengertian globalisasi pendidikan yang dikemukakan Arfani, kedua hal tersebut merefleksikan dua arena dengan level aktor yang berbeda. Sementara internasional dimaknai sebagai pola interaksi dalam pendidikan tinggi era kontemporer yang dilakukan di level negara seperti ditemukan dalam GATS, transnasional dimaknai sebagai pola interaksi yang melibatkan aktor-aktor non-negara. Di lain sisi, Knight (2002) memberikan pemaknaan yang berbeda. Dalam konteks internasionalisasi, Knight merujuk pada proses pengintegrasian dimensi internasional dalam proses akademik, yang lebih menekankan pada nilai-nilai akademis dibandingkan nilai ekonominya. Lebih lanjut, Knight menambahkan istilah non-profit internationalization mengingat internasionalisasi dalam gagasan sebelumnya juga memiliki aspek ekonomi perdagangan. Sementara itu, transnasionalisasi dimaknai sebagai aktifitas perpindahan dalam pendidikan, mulai dari pengetahuan hingga pelajar (Knight, 2002, p. 3). Kedua argumen tersebut memiliki kesamaan fundamental dalam memaknai internasionalisasi dan transnasionalisasi untuk memahami globalisasi pendidikan. Sejalan dengan pemikiran Knight, internasionalisasi pendidikan tinggi merupakan proses harmonisasi pendidikan tinggi dalam aspek substansi dan teknis, di mana kedua hal 12

13 tersebut merupakan domain dari para pembuat kebijakan, yang oleh Arfani dimaknai sebagai pemerintah, dan kemudian diatur secara lebih detail dan diimplementasikan di level pembuat kebijakan di bawahnya, misalnya manajemen institusi pendidikan tinggi. Selain itu, kedua argumen tersebut memiliki konformitas terhadap konsep transnasionalisasi dimaknai sebagai perpindahan dalam sektor pendidikan tinggi lintas batas negara, oleh aktor-aktor pendidikan selain negara, seperti penyedia layanan pendidikan hingga pelajar. Dengan kata lain, transnasionalisme lebih menekankan pada perpindahan dibandingkan pembentukan sistem pendidikan. Aspek penting yang perlu dipahami dalam globalisasi pendidikan adalah bahwa fenomena tersebut terjadi di seluruh dunia dan negara tidak dapat memblokade diri dari proses integrasi global tersebut, meskipun tetap memiliki kesempatan untuk mengontrol konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi. Kondisi tersebut kemudian memberi implikasi terhadap kebijakan negara, yang dijabarkan sebagai berikut. Pertama, adanya nilai ekonomi pendidikan mendorong pelaku pendidikan melakukan industrialisasi. Kedua, internasionalisasi pendidikan membawa konsekuensi adanya mobilitas modal, tenaga kerja, dan konsumen sehingga membutuhkan kesiapan regulasi negara untuk mengantisipasi dampak-dampak negatif dari perpindahan tersebut. Ketiga, posisi pemerintah dalam penyediaan pendidikan bagi rakyat menjadi isu sensitif tersendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat, internasionalisasi juga bermakna akulturasi dan asimilasi budaya. Hal ini juga memiliki dua sisi, yaitu meningkatkan kekayaan budaya bangsa atau mengurangi nilai budaya lokal. Kelima adalah brain drain, yang dapat menjadi bumerang bagi tujuan globalisasi pendidikan itu 13

14 sendiri, yaitu mengenai isu pemerataan kualitas pendidikan. Implikasi keenam adalah standardisasi dan ketujuh adalah isu-isu teknis seperti birokrasi (Arfani, n.d., pp ). Dalam bahasa yang lain, Murphy menguraikan implikasi terhadap kebijakan negara yang diungkapkan Arfani sebagai resiko dari globalisasi pendidikan, terutama bagi negara-negara berkembang. Setidaknya terdapat tiga resiko yang dihadapi negara dalam globalisasi pendidikan. Pertama adalah pengadopsian model pendidikan asing yang tidak sesuai dengan kebutuhan dalam negeri. Resiko kedua yang dihadapi negara dalam globalisasi pendidikan adalah potensi kehilangan modal tenaga kerja dan intelektual. Resiko ketiga adalah pelemahan sistem pendidikan tinggi domestik. (Murphy, 2007, pp ). Beranjak dari pemahaman tersebut, maka kerja sama yang dilakukan ASEAN dalam sektor pendidikan tinggi regional dapat dilihat sebagai kebijakan kawasan untuk merespon fenomena globalisasi pendidikan. Konsep globalisasi pendidikan sendiri akan digunakan untuk memahami fenomena globalisasi pendidikan tinggi, yang diasumsikan menjadi alasan munculnya kerja sama negara-negara ASEAN di tingkat regional. 2. Regionalisme Regionalisme berkaitan dengan region, atau kawasan, yang bersifat konstruktif dan dinamis. Dalam konteks ini, regionalisme menciptakan imaji bahwa terdapat wilayah di dalam dan di luar kawasan. Aktor dalam regionalisme sendiri terdiri dari komponen yang kompleks, yang terdiri dari masyarakat politik, ekonomi, dan sipil. Interaksi di antaranya menciptakan hubungan saling berkaitan yang memperkuat satu sama lain, hingga akhirnya terbentuk sebuah entitas di suatu kawasan geografis tertentu yang 14

15 memiliki norma, nilai dan tujuan bersama sebagai respon kolektif dari kondisi sosial ekonomi politik yang terjadi di level internasional. Munculnya regionalisme ditandai dengan semakin banyaknya Preferential Trade Agreements (PTA). Fenomena ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal regional. Dari internal regional, regionalisme ditentukan oleh faktor masyarakat seperti kepentingan ekonomi dan institusi domestik terutama terkait dengan tujuan pembangunan ekonomi pemerintah. Sementara itu, dari sisi ekternal regional, faktor yang dapat mempengaruhi adalah kondisi politik intenasional serta institusi multilateral yang ada (Mansfield & Milner, 1999). Dalam bahasa yang lain, Mary Farrell (2005) mengaitkan regionalisme dengan globalisasi serta dinamika internal regional. Dalam konteks globalisasi, regionalisme merupakan respon negara terhadap aspek positif maupun negatif globalisasi, di mana regionalisme dapat menjadi strategi ofensif maupun defensif. Hal ini terkait dengan adanya berbagai tekanan eksternal seperti ketidakstabilan, ancaman keamanan, serta peningkatan kompetisi yang mempengaruhi perilaku dan strategi ekonomi politik aktor. Sementara dalam konteks dinamika internal, Farrell mengakui adanya motivasi dan strategi aktor regional yang mewarnai dinamika regionalisme (Farrell, 2005, p. 2). Dari kedua argumen tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa regionalisme dapat dipahami dengan melihat konteks global dan regional, di mana keduanya saling terkait dan berkesinambungan. Untuk memahami regionalisme tidaklah mudah, oleh karena itu Hurrel menawarkan pendekatan yang dibagi menjadi lima komponen. Pertama adalah adanya regionalisasi. Regionalisasi dibedakan dengan regionalisme, di mana regionalisasi lebih 15

16 menitikberatkan pada interaksi alami antar aktor dalam kawasan, meskipun dapat juga merupakan hasil dari regionalisme. Kedua, kesadaran dan identitas kawasan, yang merefleksikan pesepsi dan perasaan sebagai bagian dari kawasan tertentu. Komponen kedua regionalisme ini dapat terbentuk dari faktor internal seperti kohesifitas atau eksternal seperti adanya ancaman keamanan. Komponen ketiga adalah kerja sama antara negara dalam kawasan, baik sebagai respon terhadap dinamika sosial, politik dan ekonomi dari luar kawasan atau sebagai upaya mengelola konflik atau kesejahteraan kawasan. Keempat, adalah adanya integrasi kawasan yang dipromosikan oleh pemerintah, misalnya dalam konteks institusionalisasi dan sentralisasi kerja sama. Komponen terakhir adalah kohesi kawasan, yang diproyeksikan dapat terbentuk sebagai hasil dari keempat komponen sebelumnya, sehingga dapat menjadikan regionalisme yang terbentuk efektif dalam pemenuhan ekspektasi negara-negara anggotanya (Hurrell, 1995, pp ). Kemunculan regionalisme sendiri tidak terlepas dari fenomena globalisasi. Kondisi-kondisi yang mempengaruhinya antara lain adanya perubahan struktur politik internasional dari bipolar menjadi multipolar; penurunan relatif hegemoni Amerika Serikat; meluasnya interdependensi, transnasionalisasi dan globalisasi; peningkatan penggunaan hambatan perdagangan non-tarif; serta perubahan pendekatan pembangunan ekonomi paska Perang Dingin (Schulz, et al., 2001). Perspektif ini oleh Hurrel disebut sebagai structural interdependence and globalization. Globalisasi dipahami sebagai pendorong munculnya regionalisme karena telah meningkatkan saling ketergantungan antar negara serta memungkinkan penyebaran ide, teknologi dan informasi sehingga tercipta infrastruktur saling ketergantungan masyarakat (Hurrell, 1995, p. 55). 16

17 Lebih lanjut, globalisasi menjadi stimulus terbentuknya regionalisasi karena faktor-faktor berikut. Pertama, integrasi yang terjadi di level global menciptakan permasalahan yang perlu diselesaikan secara bersama. Dalam konteks ini, kesamaan kondisi sosial, ekonomi, dan politik dapat mempermudah pendekatan terhadap masalah yang terjadi. Kedua, seringkali permasalahan yang dianggap masalah global sebenarnya hanya mempengaruhi satu kawasan tertentu sehingga penyelesaian yang efektif juga terletak pada kawasan itu sendiri. Ketiga, kawasan menjadi level integrasi yang paling memungkinkan di tengah tekanan integrasi di satu sisi serta fragmentasi di sisi lainnya. Terakhir, globalisasi menjadi stimulus regionalisme ekonomi dengan mengubah dan mengintensitaskan kompetisi ekonomi merkantilisme (Hurrell, 1995, pp ). Meskipun globalisasi terlihat mampu menjawab pertanyaan munculnya regionalisme secara komprehensif, pendekatan tersebut tidak memberi penekanan yang cukup terhadap kepentingan negara, mengingat kebijakan luar negeri suatu negara merupakan perpanjangan dari kebijakan dalam negeri, atau dengan kata lain merefleksikan kepentingan nasionalnya. Oleh karena itu, muncul pendekatan kedua, yaitu neo-liberal institusionalism. Dalam pendekatan tersebut, dijelaskan lebih lanjut bahwa regionalisme muncul karena adanya keinginan dari negara-negara anggota untuk mengelola hubungan saling ketergantungan, yang muncul karena fenomena globalisasi. Dengan adanya kerja sama regional, diharapkan negara-negara yang berkepentingan dapat melakukan aksi kolektif guna menyelesaikan masalah yang timbul dari kompleksitas interaksi mereka. Dalam konteks ini, regionalisme bukan merupakan institusi supranasional. Negara sebagai aktor rasional tetap memiliki kedaulatan dan kepentingan, namun bersedia 17

18 bekerja sama dengan negara lainnya dalam regional untuk meningkatkan perolehan, jika dibandingkan harus berusaha sendiri dengan mengandalkan sumber dayanya yang terbatas. Terkait dengan kepentingan ini, institusi regionalisme dapat memberi keuntungan berupa pengurangan biaya informasi, transparansi dan pengawasan, pengurangan resiko transaksi, hingga pembangunan visi dan strategi bersama (Hurrell, 1995, pp ). Kedua pandangan yang telah dipaparkan mengenai regionalisme tersebut mewakili persepsi bahwa aktor regional bertindak berdasarkan pemikiran rasional dalam menghadapi tantangan baik dari dalam maupun luar kawasan. Dengan kata lain, regionalisme adalah upaya yang paling mungkin dilakukan untuk menghadapi tekanan integrasi global di satu sisi, tetapi tetap mengakomodasi kepentingan negara. Sejalan dengan permahaman tersebut, tulisan ini memposisikan negara-negara ASEAN sebagai aktor yang rasional dan menjadikan keputusan regionalisme sebagai solusi rasional dalam merespon dinamika ekonomi, sosial, dan politik era kontemporer. Selanjutnya akan dianalisis alasan yang mendorong regionalisme pendidikan tinggi ASEAN dengan menggunakan kerangka pemikiran globalisasi pendidikan dan regionalisme. E. Unit Analisis dan Eksplanasi Dalam tulisan ini, unit analisis yang dimaksud adalah regionalisme dalam ASEAN Community yang akan berlaku efektif tahun 2015 mendatang di kawasan Asia Tenggara. Sementara itu, unit eksplanasinya adalah diplomasi dan perdagangan jasa sektor pendidikan tinggi, yang ditinjau dari pilar ASEAN Social-Cultural Community (ASCC) dan ASEAN Economic Community (AEC). 18

19 F. Operasionalisasi Konsep Globalisasi Pendidikan Regionalisme ASEAN Community Integrasi/Regionalisasi Pendidikan Tinggi ASEAN Implikasi sosial, ekonomi, politik Tulisan ini akan dibangun berdasarkan bagan operasionalisasi konsep di atas. Integrasi (dalam perspektif globalisasi) atau regionalisasi (dalam perspektif regionalisme) dalam sektor pendidikan tinggi di ASEAN terjadi sebagai fenomena yang simultan dengan adanya globalisasi pendidikan dan regionalisme dalam ASEAN Community. Bentuk-bentuk interaksi yang muncul dari adanya integrasi atau regionalisasi tersebut memberikan implikasi terhadap aspek sosial, ekonomi, dan politik kawasan, yang akhirnya akan mempengaruhi karakter regionalisme yang terbentuk dalam ASEAN Community. G. Argumen Utama Berdasarkan pertanyaan yang telah diajukan dan menggunakan kerangka konseptual yang telah dipilih, tulisan ini mengajukan argumen utama bahwa diplomasi dan perdagangan jasa dalam sektor pendidikan tinggi di Asia Tenggara merupakan refleksi proses regionalisme yang muncul sebagai bentuk manifestasi kepentingan negara-negara ASEAN dan respon terhadap tren 19

20 globalisasi pendidikan. Adanya regionalisme tersebut merupakan jalan untuk mengelola masalah bersama serta memenuhi ekspektasi negara anggota, terutama terkait dengan isu perdagangan jasa pendidikan tinggi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta mobilitas tenaga kerja regional. H. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan dalam pembuatan tulisan ini menggunakan metode kualitatif melalui studi literatur. Literatur yang dimaksud bersumber dari buku, jurnal internasional, siaran media resmi pemerintah atau institusi internasional, serta data-data statistik dari situs-situs resmi seperti ASEAN University Network, United Nations dan World Bank. I. Jangkauan Penelitian Dengan mempertimbangkan relevansi dan ketersediaan data, maka penelitian ini membatasi objek penelitian yang terdiri dari sepuluh anggota ASEAN dan kerja sama pendidikan tinggi yang dilakukan di bawah ASEAN, atau dengan kata lain mengekslusikan kerja sama yang dilakukan oleh aktor non-negara secara independen. Kemudian untuk melihat pola mobilitas, penelitian ini akan menggunakan beberapa indikator makro sebagai data penunjang argumen dalam rentang waktu , kecuali jika data terbaru belum diterbitkan. J. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah mengetahui faktor utama yang memicu peningkatan intensitas kerja sama pendidikan tinggi di ASEAN serta makna dari kerja sama yang telah dijalin baik bagi negara maupun regionalisme kawasan Asia Tenggara. Di kemudian hari, 20

21 hasil dari tesis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pelaku sektor pendidikan tinggi di Indonesia, dari level pemerintah sebagai pembuat kebijakan, manajemen universitas, tenaga pengajar, staf akademik, hingga mahasiswa. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pemangku kepentingan pendidikan tinggi Indonesia dalam rangka menetapkan kebijakan agar siap berkompetisi di level regional maupun global. K. Sistematika Penulisan Tulisan ini akan terdiri dari lima bagian. Setelah bagian pertama yang berisikan pendahuluan ini, bagian kedua akan memberikan deskripsi singkat mengenai aspek ekonomiperdagangan sektor pendidikan tinggi ASEAN. Bagian ketiga akan memberikan penjelasan mengenai diplomasi pendidikan tinggi ASEAN. Bagian keempat akan memberikan analisis mengenai faktor pendorong regionalisme dari perspektif sektor pendidikan tinggi serta fungsinya bagi kawasan maupun negara anggota. Tulisan ini diakhiri pada bagian kelima yang merupakan kesimpulan, di mana dimuat ringkasan dari analisis yang dilakukan dan juga inferens yang dapat diambil dari penelitian ini. 21

BAB V KESIMPULAN. Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan

BAB V KESIMPULAN. Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan BAB V KESIMPULAN Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan intensitas diplomasi dan perdagangan jasa pendidikan tinggi di kawasan Asia Tenggara, yang kemudian ditengarai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) / ASEAN Economic Community (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini merupakan agenda utama negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness) maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerja sama merupakan upaya yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok maupun negara untuk mencapai kepentingan bersama. Lewat bekerjasama, tentu saja seseorang, kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. moneter terus mengalami perkembangan. Inisiatif kerjasama mulai dikembangkan

I. PENDAHULUAN. moneter terus mengalami perkembangan. Inisiatif kerjasama mulai dikembangkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses integrasi di berbagai belahan dunia telah terjadi selama beberapa dekade terakhir, terutama dalam bidang ekonomi. Proses integrasi ini penting dilakukan oleh masing-masing

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dampak globalisasi di bidang ekonomi memungkinkan adanya hubungan saling terkait dan saling memengaruhi antara pasar modal di dunia. Dampak globalisasi di bidang ekonomi diikuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua hambatanhambatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia pada periode 24 28 mulai menunjukkan perkembangan yang pesat. Kondisi ini sangat memengaruhi perekonomian dunia. Tabel 1 menunjukkan

Lebih terperinci

Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Perkembangan Ekonomi Indonesia

Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Perkembangan Ekonomi Indonesia Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Perkembangan Ekonomi Indonesia Oleh : Indah Astutik Abstrak Globalisasi ekonomi merupakan proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam sistim ekonomi global yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun 1980. Globalisasi selain memberikan dampak positif, juga memberikan dampak yang mengkhawatirkan bagi negara yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan internasional memiliki peranan penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu negara terhadap arus

Lebih terperinci

ARAH PEMBANGUNAN HUKUM DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 Oleh: Akhmad Aulawi, S.H., M.H. *

ARAH PEMBANGUNAN HUKUM DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 Oleh: Akhmad Aulawi, S.H., M.H. * ARAH PEMBANGUNAN HUKUM DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 Oleh: Akhmad Aulawi, S.H., M.H. * Era perdagangan bebas di negaranegara ASEAN tinggal menghitung waktu. Tidak kurang dari 2 tahun pelaksanaan

Lebih terperinci

Efektivitas ASEAN Economic Community Terhadap Optimalisasi Kualitas Industri Kerajinan Keramik Dinoyo Malang

Efektivitas ASEAN Economic Community Terhadap Optimalisasi Kualitas Industri Kerajinan Keramik Dinoyo Malang PASAR BEBAS Efektivitas ASEAN Economic Community Terhadap Optimalisasi Kualitas Industri Kerajinan Keramik Dinoyo Malang Latar Belakang Integrasi ekonomi merupakan salah satu sarana dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasca kekalahannya dalam Perang Dunia II, Jepang berusaha untuk bangkit kembali menjadi salah satu kekuatan besar di dunia. Usaha Jepang untuk bangkit kembali dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memasuki awal abad 21 dunia ditandai dengan terjadinya proses integrasi ekonomi di berbagai belahan dunia. Proses integrasi ini penting dilakukan masing-masing kawasan

Lebih terperinci

KESEMPATAN KERJA PERDAGANGAN. Rahma Iryanti Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja. Jakarta, 5 Juli 2013

KESEMPATAN KERJA PERDAGANGAN. Rahma Iryanti Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja. Jakarta, 5 Juli 2013 KESEMPATAN KERJA MENGHADAPI LIBERALISASI PERDAGANGAN Rahma Iryanti Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja Jakarta, 5 Juli 2013 1 MATERI PEMAPARAN Sekilas mengenai Liberalisasi Perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. J. Suatma, Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012.

BAB I PENDAHULUAN. J. Suatma, Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kerjasama ASEAN telah dimulai ketika Deklarasi Bangkok ditandatangani oleh Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filiphina pada tahun 1967. Sejak saat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata saat ini telah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia terutama dalam penerimaan devisa negara melalui konsumsi yang dilakukan turis asing terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. geografis. Kecenderungan inilah yang sering dinamakan regionalisme.

BAB I PENDAHULUAN. geografis. Kecenderungan inilah yang sering dinamakan regionalisme. BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pada akhir abad ke 20 hingga awal abad ke 21 telah ditandai dengan adanya suatu proses penyatuan dunia yang menjadi sebuah ruang tanpa batasan tertentu. Proses

Lebih terperinci

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013 LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013 I. PENDAHULUAN Kegiatan Sosialisasi Hasil dan Proses Diplomasi Perdagangan Internasional telah diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. <http://www.japantimes.co.jp/news/2013/06/01/world/the-evolution-of-ticad-since-its-inception-in-1993/>, diakses 16 Juni 2016.

BAB I PENDAHULUAN. <http://www.japantimes.co.jp/news/2013/06/01/world/the-evolution-of-ticad-since-its-inception-in-1993/>, diakses 16 Juni 2016. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak kebijakan ODA Jepang mulai dijalankan pada tahun 1954 1, ODA pertama kali diberikan kepada benua Asia (khususnya Asia Tenggara) berupa pembayaran kerusakan akibat

Lebih terperinci

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 4 INVESTASI UNI EROPA PENDORONG PERDAGANGAN INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN. Secara jelas telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32

BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN. Secara jelas telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN Secara jelas telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa misi terpenting dalam pembangunan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dapat

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keberhasilan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dapat dilakukan melalui pengelolaan strategi pendidikan dan pelatihan, karena itu pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan

I. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Integrasi suatu negara ke dalam kawasan integrasi ekonomi telah menarik perhatian banyak negara, terutama setelah Perang Dunia II dan menjadi semakin penting sejak tahun

Lebih terperinci

Internalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak

Internalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak Internalisasi ASEAN dalam Upaya Penguatan Integrasi Kawasan Abstrak Dengan telah dimulainya ASEAN Community tahun 2015 merupakan sebuah perjalanan baru bagi organisasi ini. Keinginan untuk bisa mempererat

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN GLOBALISASI DAN NASIONALISME. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika.

KEWARGANEGARAAN GLOBALISASI DAN NASIONALISME. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika. KEWARGANEGARAAN Modul ke: GLOBALISASI DAN NASIONALISME Fakultas FASILKOM Nurohma, S.IP, M.Si Program Studi Teknik Informatika www.mercubuana.ac.id Pendahuluan Abstract : Menjelaskan pengertian globalisasi

Lebih terperinci

untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang

untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang Bab V KESIMPULAN Dalam analisis politik perdagangan internasional, peran politik dalam negeri sering menjadi pendekatan tunggal untuk memahami motif suatu negara menjajaki perjanjian perdagangan. Jiro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan

BAB V KESIMPULAN. masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan BAB V KESIMPULAN Penelitian ini membahas salah satu isu penting yang kerap menjadi fokus masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan berkembangnya isu isu di dunia internasional,

Lebih terperinci

menjadi katalisator berbagai agenda ekonomi Cina dengan negara kawasan Indocina yang semuanya masuk dalam agenda kerja sama Cina-ASEAN.

menjadi katalisator berbagai agenda ekonomi Cina dengan negara kawasan Indocina yang semuanya masuk dalam agenda kerja sama Cina-ASEAN. BAB V KESIMPULAN Kebangkitan ekonomi Cina secara signifikan menguatkan kemampuan domestik yang mendorong kepercayaan diri Cina dalam kerangka kerja sama internasional. Manuver Cina dalam politik global

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seperti ASEAN Industrial Project (AIP) tahun 1976, the ASEAN Industrial

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seperti ASEAN Industrial Project (AIP) tahun 1976, the ASEAN Industrial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ASEAN telah menghasilkan banyak kesepakatan-kesepakatan baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya. Pada awal berdirinya, kerjasama ASEAN lebih bersifat politik

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia BAB 5 KESIMPULAN Dalam bab terakhir ini akan disampaikan tentang kesimpulan yang berisi ringkasan dari keseluruhan uraian pada bab-bab terdahulu. Selanjutnya, dalam kesimpulan ini juga akan dipaparkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Liberalisasi perdagangan kini telah menjadi fenomena dunia. Hampir di seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok perdagangan bebas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri jasa konstruksi memiliki arti penting dan strategis dalam pembangunan nasional mengingat industri jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan

Lebih terperinci

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang. BAB V KESIMPULAN Asia Tenggara merupakan kawasan yang memiliki potensi konflik di masa kini maupun akan datang. Konflik perbatasan seringkali mewarnai dinamika hubungan antarnegara di kawasan ini. Konflik

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO crmsindonesia.org

MANAJEMEN RISIKO crmsindonesia.org S U R V E Y N A S I O N A L MANAJEMEN RISIKO 2016 crmsindonesia.org Daftar Pustaka 3 Indonesia 6 Potret 7 9 dan Kompetisi Regional dan Tren Manajemen Risiko di Indonesia Adopsi Manajemen Risiko di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penelitian Negara-negara di seluruh dunia saat ini menyadari bahwa integrasi ekonomi memiliki peran penting dalam perdagangan. Integrasi dilakukan oleh setiap negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi regional di kawasan Asia Tenggara yang telah membangun mitra kerjasama dengan Tiongkok dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Munculnya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property

BAB I PENDAHULUAN. Munculnya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property 18 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Munculnya Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property Rights (IPR) sebagai bahan pembicaraan dalam tataran nasional, regional, dan internasional

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian 1 BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Dalam era globalisasi sekarang ini, perekonomian internasional merupakan salah satu pilar utama dalam proses pembangunan dunia yang lebih maju. Organisasi-organisasi

Lebih terperinci

C. Peran Negara dalam Pemaksimalan Competitive Advantages

C. Peran Negara dalam Pemaksimalan Competitive Advantages B. Rumusan Masalah Bagaimana peran pemerintah India dalam mendorong peningkatan daya saing global industri otomotif domestik? C. Peran Negara dalam Pemaksimalan Competitive Advantages Penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. internasional, sebagai aktor dalam hubungan internasional, dalam hal pembentukan

BAB V KESIMPULAN. internasional, sebagai aktor dalam hubungan internasional, dalam hal pembentukan BAB V KESIMPULAN Penelitian ini merupakan sarana eksplanasi tentang perilaku organisasi internasional, sebagai aktor dalam hubungan internasional, dalam hal pembentukan suatu program atau agenda yang diimplementasikan

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Akuntansi merupakan satu-satunya bahasa bisnis utama di pasar modal. Tanpa standar akuntansi yang baik, pasar modal tidak akan pernah berjalan dengan baik pula karena laporan

Lebih terperinci

Prospek Ekonomi Regional ASEAN ASEAN+3 Regional Economic Outlook (AREO) Ringkasan

Prospek Ekonomi Regional ASEAN ASEAN+3 Regional Economic Outlook (AREO) Ringkasan Prospek Ekonomi Regional ASEAN+3 2018 ASEAN+3 Regional Economic Outlook (AREO) 2018 Ringkasan Prospek dan Tantangan Ekonomi Makro Prospek ekonomi global membaik di seluruh kawasan negara maju dan berkembang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perubahan ekonomi dalam era globalisasi mengalami

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perubahan ekonomi dalam era globalisasi mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan ekonomi dalam era globalisasi mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Proses tersebut adalah suatu perubahan di dalam perekonomian dunia, yang

Lebih terperinci

CETAK BIRU EDUKASI MASYARAKAT DI BIDANG PERBANKAN

CETAK BIRU EDUKASI MASYARAKAT DI BIDANG PERBANKAN CETAK BIRU EDUKASI MASYARAKAT DI BIDANG PERBANKAN Kelompok Kerja Edukasi Masyarakat Di Bidang Perbankan 2007 1. Pendahuluan Bank sebagai lembaga intermediasi dan pelaksana sistem pembayaran memiliki peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Perancis saat ini merupakan salah satu negara yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Republik Perancis saat ini merupakan salah satu negara yang dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Republik Perancis saat ini merupakan salah satu negara yang dapat dikatagorikan sebagai salah satu negara yang maju dari benua Eropa. Republik Perancis saat ini adalah

Lebih terperinci

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA UPAYA JEPANG DALAM MENJAGA STABILITAS KEAMANAN KAWASAN ASIA TENGGARA RESUME SKRIPSI Marsianaa Marnitta Saga 151040008 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada akhir tahun 2015, ASEAN Economic Community (AEC) atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. Pada akhir tahun 2015, ASEAN Economic Community (AEC) atau lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2015, ASEAN Economic Community (AEC) atau lebih dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai diterapkan. Bakhri (2015) menjelaskan penerapan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2015 Dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2015 maka ada beberapa kekuatan yang dimiliki bangsa Indonesia, di antaranya: (1)

Lebih terperinci

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea BAB V PENUTUP Tesis ini menjelaskan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang berimplikasi terhadap program pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesadaran pemuda terhadap ASCC. Pemuda merupakan subyek

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesadaran pemuda terhadap ASCC. Pemuda merupakan subyek BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skripsi ini akan membahas mengenai peran organisasi AYFN dalam meningkatkan kesadaran pemuda terhadap ASCC. Pemuda merupakan subyek sentral dan stakeholder utama dalam

Lebih terperinci

TERM OF REFERENCE MATERI: ASEAN COMMUNITY DAN REALITAS BANGSA

TERM OF REFERENCE MATERI: ASEAN COMMUNITY DAN REALITAS BANGSA Hari, tanggal : TERM OF REFERENCE MATERI: ASEAN COMMUNITY DAN REALITAS BANGSA Tujuan : Mencapai profil poin 1 1. A. Mahasiswa memahami secara umum salah satu aspek; sosial, ekonomi, budaya, teknologi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasar modal memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian suatu negara, karena pasar modal merupakan lembaga intermediasi dana dari pihak yang kelebihan dana

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. mengalami peningkatan dengan prakira total jumlah wisatwan akan mencapai 10.3 %

BAB V KESIMPULAN. mengalami peningkatan dengan prakira total jumlah wisatwan akan mencapai 10.3 % BAB V KESIMPULAN Perkembangan pariwisata ASEAN sejak tahun 2009 hingga tahun 2013 mengalami peningkatan, peningkatan tersebut didorong dengan meningkatnya jumlah wisatawan baik wisatawan dari negara anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemudian terbagi dalam beberapa divisi yang terpecah dan kemudian mendorong terbentuknya

BAB I PENDAHULUAN. kemudian terbagi dalam beberapa divisi yang terpecah dan kemudian mendorong terbentuknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Organisasi institusional regional atau kawasan jika ditelusuri kembali asalnya, mulai berkembang sejak berakhirnya Perang Dingin dimana kondisi dunia yang bipolar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PENGATURAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN Sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PENGATURAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN Sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN 22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PENGATURAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN 2.1. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2.1.1. Sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN Masyarakat Ekonomi ASEAN

Lebih terperinci

Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL

Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL 1 2 BAB I Memahami Ekonomi Politik Internasional A. Pendahuluan Negara dan pasar dalam perkembangannya menjadi dua komponen yang tidak terpisahkan.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010.

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010. 100 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Rusia adalah salah satu negara produksi energi paling utama di dunia, dan negara paling penting bagi tujuan-tujuan pengamanan suplai energi Eropa. Eropa juga merupakan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3

IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3 IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3 4.1 Gambaran Umum Kesenjangan Tabungan dan Investasi Domestik Negara ASEAN 5+3 Hubungan antara tabungan dan investasi domestik merupakan indikator penting serta memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi adalah suatu fenomena yang tidak bisa dielakkan. Globalisasi

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi adalah suatu fenomena yang tidak bisa dielakkan. Globalisasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi adalah suatu fenomena yang tidak bisa dielakkan. Globalisasi tidak hanya berelasi dengan bidang ekonomi, tetapi juga di lingkungan politik, sosial, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dicapai karena setiap negara menginginkan adanya proses perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dicapai karena setiap negara menginginkan adanya proses perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi negara merupakan hal yang sangat penting untuk dicapai karena setiap negara menginginkan adanya proses perubahan perekonomian yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Peran perbankan yang profesional semakin dibutuhkan guna

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Peran perbankan yang profesional semakin dibutuhkan guna BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran perbankan yang profesional semakin dibutuhkan guna mendukung kebutuhan akan finansial yang juga semakin beragam ditengah tumbuh dan berkembangnya perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tesis ini akan membahas mengenai kerja sama regional dalam sektor pendidikan, yaitu tujuan harmonisasi standar pendidikan negara-negara Asia Tenggara. Proses kerja sama

Lebih terperinci

HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA EKSPOR NON MIGAS TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN SKRIPSI

HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA EKSPOR NON MIGAS TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN SKRIPSI HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA EKSPOR NON MIGAS TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 1980-2008 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan

Lebih terperinci

Pada periode keempat ini Joint Parliamentary Commission berubah menjadi Mercosur Parliament yang secara resmi meminta delegasi dari tiap parlemen di n

Pada periode keempat ini Joint Parliamentary Commission berubah menjadi Mercosur Parliament yang secara resmi meminta delegasi dari tiap parlemen di n BAB IV KESIMPULAN Regionalisme Mercosur merupakan regionalisme yang telah mengalami proses yang panjang dan dinamis. Berbagai peristiwa dan upaya negara anggotanya terhadap organisasi ini telah menjadikannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi membuka gerbang untuk masuknya teknologi informasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi membuka gerbang untuk masuknya teknologi informasi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi membuka gerbang untuk masuknya teknologi informasi dan komunikasi dari suatu negara ke negara lainnya. Dengan adanya globalisasi batasan geografis antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang membuat perusahaan merasa tidak aman bahkan di wilayah negaranya

BAB I PENDAHULUAN. yang membuat perusahaan merasa tidak aman bahkan di wilayah negaranya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pasar ekonomi dunia yang semakin terbuka di era globalisasi sekarang ini menuntut para pelaku usaha untuk lebih kreatif dan inovatif dalam rangka memenangkan

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN WILAYAH YANG TIDAK SEIMBANG (UNEQUAL DEVELOPMENT OF REGIONS)

PEMBANGUNAN WILAYAH YANG TIDAK SEIMBANG (UNEQUAL DEVELOPMENT OF REGIONS) 9 BAB 2 PEMBANGUNAN WILAYAH YANG TIDAK SEIMBANG (UNEQUAL DEVELOPMENT OF REGIONS) SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK DARI PROSES MAKRO GLOBALISASI (MACROPROCESS OF GLOBALIZATION) 2.1 Globalisasi Munculnya arus migrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. krisis keuangan dunia secara relatif mulus. Perlambatan pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. krisis keuangan dunia secara relatif mulus. Perlambatan pertumbuhan ekonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan merupakan penggerak utama pembangunan perekonomian nasional, yang memberikan daya dukung dalam meningkatkan produksi, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan

Lebih terperinci

PEMASARAN INTERNASIONAL

PEMASARAN INTERNASIONAL PENGANTAR PEMASARAN PEMASARAN INTERNASIONAL Suwandi PROGRAM STUDI MANAGEMENT RESORT & LEISURE UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG PEMASARAN INTERNASIONAL 1. Globalisasi perdagangan dunia 2. Faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asosiasi negara- negara Asia Tenggara (ASEAN) didirikan pada tanggal 8

BAB I PENDAHULUAN. Asosiasi negara- negara Asia Tenggara (ASEAN) didirikan pada tanggal 8 BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asosiasi negara- negara Asia Tenggara (ASEAN) didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand dengan ditandatanganinya deklarasi Bangkok

Lebih terperinci

ASEAN YANG BERDAYA SAING, INOVATIF, DAN DINAMIS. DR. Mhd. Saeri, M.Hum. (PSA Universitas Riau) Abstrak

ASEAN YANG BERDAYA SAING, INOVATIF, DAN DINAMIS. DR. Mhd. Saeri, M.Hum. (PSA Universitas Riau) Abstrak ASEAN YANG BERDAYA SAING, INOVATIF, DAN DINAMIS DR. Mhd. Saeri, M.Hum (PSA Universitas Riau) Abstrak ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah wadah bagi negara-negara Asia Tenggara untuk memperjuangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN Melalui Buku Pegangan yang diterbitkan setiap tahun ini, semua pihak yang berkepentingan diharapkan dapat memperoleh gambaran umum tentang proses penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan lingkungan bisnis akan terjadi setiap saat, umumnya berupa gerak perubahan dari salah satu atau gabungan faktor-faktor lingkungan luar perusahaan, baik pada skala

Lebih terperinci

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES (PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEENAM DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Association of South East Asian Nation (selanjutnya disebut ASEAN)

BAB I PENDAHULUAN. Association of South East Asian Nation (selanjutnya disebut ASEAN) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Association of South East Asian Nation (selanjutnya disebut ASEAN) merupakan kekuatan ekonomi ketiga terbesar setelah Jepang dan Tiongkok, di mana terdiri dari 10 Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan masih besarnya pengaruh Cina terhadap perekonomian dunia, maka

BAB I PENDAHULUAN. Dengan masih besarnya pengaruh Cina terhadap perekonomian dunia, maka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengan masih besarnya pengaruh Cina terhadap perekonomian dunia, maka tiga faktor Ukuran ekonomi, Cina sebagai pusat perdagangan dunia, dan pengaruh permintaan domestik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang krusial. Oleh karena itu, menjadi negara maju adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang krusial. Oleh karena itu, menjadi negara maju adalah impian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persaingan antar negara-negara di dunia dalam hal perekonomian merupakan hal yang krusial. Oleh karena itu, menjadi negara maju adalah impian dari setiap negara. Sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu kriterianya dilihat dari daya saing produk-produk ekspornya. Yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. satu kriterianya dilihat dari daya saing produk-produk ekspornya. Yang menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perdagangan internasional penting dalam ekonomi terutama sebagai sumber devisa negara. Keberhasilan suatu negara dalam perdagangan internasional salah satu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bergulirnya wacana otonomi daerah di Indonesia berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi stimulan berbagai daerah untuk mengembangkan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aksi penyelundupan narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya

BAB I PENDAHULUAN. Aksi penyelundupan narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Aksi penyelundupan narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya (narkoba) merupakan salah satu bentuk tindak kejahatan transnasional. Amerika Serikat, menurut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia terletak di benua Asia, tepatnya di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara yang terletak di kawasan ini memiliki sebuah perhimpunan yang disebut dengan ASEAN (Assosiation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis finansial yang menimpa kawasan Asia Timur pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Krisis finansial yang menimpa kawasan Asia Timur pada tahun BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Krisis finansial yang menimpa kawasan Asia Timur pada tahun 1997 1998 bermula di Thailand, menyebar ke hampir seluruh ASEAN dan turut dirasakan juga oleh Korea Selatan,

Lebih terperinci

2 masing-masing negara masih berhak untuk menentukan sendiri hambatan bagi negara non anggota. 1 Sebagai negara dalam kawasan Asia Tenggara tentunya p

2 masing-masing negara masih berhak untuk menentukan sendiri hambatan bagi negara non anggota. 1 Sebagai negara dalam kawasan Asia Tenggara tentunya p 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi yang semakin maju ini ada banyak isu-isu yang berkembang. Bukan hanya isu mengenai hard power yang menjadi perhatian dunia, tetapi isu soft

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekonomi global merujuk kepada ekonomi yang berdasarkan ekonomi nasional masing-masing negara yang ada di belahan dunia. Saat ini, fenomena krisis global menunjukkan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi)

BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi) BAB IV PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA GLOBALISASI (Konsolidasi Agribisnis dalam Menghadapi Globalisasi) Sebagai suatu negara yang aktif dalam pergaulan dunia, Indonesia senantiasa dituntut untuk cepat tanggap

Lebih terperinci

1 BAB V: PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

1 BAB V: PENUTUP. 5.1 Kesimpulan 100 1 BAB V: PENUTUP 5.1 Kesimpulan Penelitian ini menekankan pada proses penandatangan MoU Microsoft - RI. Proses tersebut tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses politisasi hak kekayaan intelektual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong perkembangan dan kemakmuran dunia industri modern Perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong perkembangan dan kemakmuran dunia industri modern Perdagangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, perdagangan internasional merupakan inti dari ekonomi global dan mendorong perkembangan dan kemakmuran dunia industri modern Perdagangan Internasional dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara, Uni Eropa (UE) di Eropa dan NAFTA di Amerika Utara

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara, Uni Eropa (UE) di Eropa dan NAFTA di Amerika Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya laju globalisasi ekonomi dunia, terbentuklah blok ekonomi dan perdagangan regional disejumlah wilayah di dunia seperti pembentukan integrasi-integrasi

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan yang tertuang di dalam Bab I sampai dengan Bab IV tesis ini, maka sebagai penegasan jawaban atas permasalahan penelitian yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat ditunjang oleh indikator tabungan dan investasi domestik yang digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Jepang merupakan salah satu negara maju dimana Official Development

BAB V KESIMPULAN. Jepang merupakan salah satu negara maju dimana Official Development BAB V KESIMPULAN Jepang merupakan salah satu negara maju dimana Official Development Assistance (ODA) digunakan sebagai kebijakan bantuan luar negeri yang bergerak dalam hal pembangunan bagi negara-negara

Lebih terperinci

Kemunduran Amerika Serikat dilihat sebagai sebuah kemunduran yang bersifat

Kemunduran Amerika Serikat dilihat sebagai sebuah kemunduran yang bersifat Kesimpulan Amerika Serikat saat ini adalah negara yang sedang mengalami kemunduran. Kemunduran Amerika Serikat dilihat sebagai sebuah kemunduran yang bersifat relatif; karena disaat kemampuan ekonomi dan

Lebih terperinci

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara ASEAN didirikan di Bangkok 8 Agustus 1967 oleh Indonesia, Malaysia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Latar belakang permasalahan menguraikan alasan mengapa suatu penelitian layak untuk dilakukan. Bagian ini menjelaskan tentang permasalahan dari sisi teoritis

Lebih terperinci