BAB II KAJIAN PUSTAKA. Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronis pada kulit, ditandai dengan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronis pada kulit, ditandai dengan"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Definisi Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronis pada kulit, ditandai dengan adanya plak eritema dan ditutupi skuama putih tebal, tanda auspitz, fenomena bercak lilin dan tanda koebner yang positif. (Gudjonsson dan Elder, 2012) Sejarah psoriasis Penyakit psoriasis sudah dikenal sejak jaman kuno, pada saat itu psoriasis, lepra dan kelainan inflamasi kulit lainnya merupakan suatu kelainan yang sama, penyakit ini masih belum dibedakan sampai dengan abad ke-19. Hipocrates pada SM merupakan penulis pertama yang menulis tentang gambaran penyakit kulit, beliau menggunakan kata lopoi untuk menerangkan psoriasis, lepra dan penyakit inflamasi pada kulit lainnya, dijelaskan sebagai kulit kering dan bersisik. Pada tahun 1809, Willan mulai menggambarkan psoriasis secara lebih detail dan saat itu dikenal sebagai lepra vulgaris. Pada tahun , Heinrich Auspitz mencatat adanya titik pendarahan pada saat dilakukan pengerokan sampai ke dasarnya pada skuama psoriasis yang saat ini dikenal sebagai tanda Auspitz. Pada tahun 1898, Munro menerangkan tentang adanya mikroabses pada psoriasis yang saat ini dikenal sebagai mikroabses munro. Pada tahun 1960 mulai digambarkan tentang histopatologi dari psoriasis dan tahun 1970 mulai didapatkan adanya 7

2 8 kejelasan tentang patofisiologi psoriasis tetapi banyak aspek dari penyakit yang masih belum diketahui (Cowden dan Voorhees, 2008) Epidemiologi Psoriasis dapat terjadi pada semua usia serta tidak didapatkan adanya perbedaan prevalensi pada kedua jenis kelamin. Prevalensi psoriasis didapatkan dalam jumlah yang bervariasi, di Amerika Serikat terdapat sekitar 2% psoriasis pada populasi, walaupun pernah dilaporkan angka kejadiannya mencapai 4,6%. Psoriasis dilaporkan dengan angka kejadian yang lebih tinggi terjadi pada 2,8% populasi di kepulauan Faroe, sedangkan prevalensi terjadinya psoriasis didapatkan rendah pada kelompok etnis seperti Jepang, suku aborigin di Australia, India dan Afrika Selatan (Basko dkk.,2012; Langley dkk.,2005). Onset munculnya psoriasis dapat terjadi pada semua usia serta dengan karakteristik usia yang bervariasi. Sebagian besar kasus muncul sebelum usia 40 tahun yaitu pada sekitar 75% kasus dengan onset usia tertinggi didapatkan pada usia tahun. Pasien dengan onset usia yang lebih awal cenderung memiliki riwayat psoriasis pada keluarga yang sering dihubungkan dengan HLA Cw6, serta memiliki derajat keparahan penyakit yang lebih tinggi (Langley dkk.,2005; Basko-Piluska dan Petronic-Rosic, 2012). Psoriasis jarang terjadi pada usia dibawah 10 tahun, paling sering terjadi pada usia 15 tahun hingga 25 tahun (Kuchekar dkk., 2011). Psoriasis dibagi menjadi psoriasis tipe I dan psoriasis tipe II. Pada psoriasis tipe I dihubungkan dengan keterlibatan HLA dan onset munculnya psoriasis sebelum usia 40 tahun,

3 9 sedangkan psoriasis tipe II tidak berhubungan dengan HLA dan onset lebih dari 40 tahun (Rahman dan Elder, 2005 ; Kuchekar dkk., 2011) Etiopatogenesis psoriasis Psoriasis pada awalnya dianggap sebagai suatu penyakit primer akibat gangguan keratinosit, namun saat ini psoriasis dianggap sebagai kelainan kulit yang disebabkan oleh multifaktorial diantaranya predisposisi genetik, lingkungan, penyakit inflamasi yang dimediasi oleh imun, adanya beberapa faktor-faktor modifikasi yaitu kegemukan, trauma, infeksi, serta defisiensi vitamin D3. Bagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag, sel natural killer, sitokin dari Th1, serta growth factor dari vascular endothelial growth factor (VEGF), dan keratinosit growth factor (KGF) (El-Daruoti dan Hay, 2010 ; Monteleone dkk., 2011). Psoriasis memiliki dasar genetika yang kompleks dan didapatkan adanya banyak keterlibatan gen, pada penelitian terhadap orang kembar didapatkan heritabilitas psoriasis sebesar 60-90% dan pada penelitian selanjutnya didapatkan sebesar 70% pada kembar monozigot. Lokus utama psoriasis didapatkan pada kromosom 6p21 yang disebut sebagai psoriasis suceptibility (PSORS)1, heritabilitas pada lokasi ini didapatkan sebesar 35-50%. Psoriasis pada lokus yang berbeda juga pernah dilaporkan terjadi pada kromosom 1p (PSORS7), 1q (PSORS4), 3q(PSORS5), 4q(PSORS3), 17q(PSORS2) dan 19q(PSORS6) Psoriasis terbanyak didapatkan dengan HLA Cw6 dan pada psoriasis tipe plak

4 10 dihubungkan dengan keterlibatan HLA-13, HLA B-17, HLA-B37 dan HLA Bw16 (Basko-Piluska dan Petronic-Rosic, 2012). Faktor eksogen yang dapat mencetuskan munculnya psoriasis yaitu adanya faktor stres emosional, merokok, alkohol, kegemukan dan kurangnya aktifitas memberikan dampak yang buruk pada psoriasis (Griffiths dkk., 2010). Kepustakaan lain juga menyebutkan tentang faktor eksogen lainnya yaitu adanya trauma (fenomena koebner), paparan sinar ultraviolet dan infeksi fokal dapat mencetuskan munculnya psoriasis (Gudjonson dan Elder, 2012). Hubungan antara stres dengan morbiditas psoriasis sudah diterima secara luas. Berdasarkan berbagai laporan, stres terjadi pada 37% sampai 80% pasien psoriasis dan interaksi psikologi seperti hipnosis dapat membantu dalam pengobatan psoriasis. Satu studi melaporkan bahwa pasien yang memiliki stres derajat tinggi memiliki lesi yang lebih berat dibandingkan dengan pasien yang memiliki derajat stres yang lebih rendah. Belum jelas diketahui hubungan antara stres dengan proses inflamasi pada psoriasis. Peranan neuropeptida dalam patogenesis psoriasis, dinyatakan karena terdapatnya peranan dari keluarnya substance P (SP) dan neuropeptida yang lain dari serat saraf sensorik yang tidak bermielin sehingga menimbulkan respon inflamasi neurogenik yang akan memicu psoriasis pada orang rentan secara genetik (Griffiths dkk., 2010; Huerta dkk., 2007) Infeksi Streptococcus juga diduga berpengaruh terhadap terjadinya psoriasis. Adanya infeksi Streptococcus pyogenes pada tonsil dihubungkan dengan kemampuan superantigen Streptococcus dalam mengaktivasi sel T. Pada

5 11 salah satu penelitian didapatkan superantigen Streptococcus terisolasi sebanyak 17% dari 111 penderita psoriasis (Blok dkk., 2004). Penelitian lainnya terhadap karier Staphylococcus aureus pada pasien psoriasis, tidak didapatkan hubugan yang signifikan dengan derajat keparahan penyakit. Pada penelitian ini tidak didapatkan adanya perbedaan skor PASI secara signifikan pada pasien psoriasis karier Staphylococcus dengan yang bukan karier (Sahidi-Dadras dkk.,2009). Paparan sinar ultraviolet dapat mengakibatkan eksaserbasi psoriasis melalui reaksi koebner. Beberapa penelitian menyatakan terjadinya peningkatan keparahan penyakit seiring dengan meningkatnya paparan sinar matahari (Schon dan Boehncke, 2005 ; Gudjonsson dan Elder, 2012). Faktor pencetus dari lingkungan seperti mikroorganisme, paparan sinar ultraviolet, stress, trauma pada individu yang memiliki kerentanan terhadap psoriasis [PSORS1, late cornified envelope (LCE)-3C1, LCE-3B dan IL-23R, IL- 23A, IL-4/IL-13] akan memicu pembentukan komplek self-rna/dna-ll37. Kompleks ini akan memicu sintesa IFN-α oleh sel dendritik plasmasitoid dan maturasi sel dendritik myeloid menjadi sel dendritik matur. Sel dendritik matur akan memproduksi berbagai sitokin yang akan memicu diferensiasi dan ekspansi sel Th1 (seperti IL-12), sel Th17 (IL-6, TGF-β1 dan IL-23), sel Th22 (TNF-α, IL- 6). Sitokin Th1 dan Th17 akan menstimulasi proliferasi keratinosit untuk memproduksi CC chemokine ligan (CCL)-20, suatu kemokin atraktan yang mengekspresikan CC chemokine reseptor (CCR)-6 dari sel dendritik dan sel T (Cai dkk.,2012). Keratinosit memproduksi sitokin inflamasi seperti IL-1β, IL-6 dan TNF- α, yang berperan pada meningkatnya aktivasi sel dendritik dan ekspansi

6 12 inflamasi lokal (El-Daruoti dan Hay, 2010 ; Monteleone dkk., 2011). Patogenesis psoriasis dapat dijelaskan pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Patogenesis Psoriasis (Monteleone dkk., 2011) Interleukin dan growth factors pada psoriasis Psoriasis terjadi karena adanya infiltrasi dari sel Th1 dan Th17 yang menstimulasi makrofag dan sel dendritik pada dermis untuk mengeluarkan mediator inflamasi sehingga terjadi proliferasi keratinosit yang abnormal. Mediator dari Th17 pada sistem imun meliputi IL-1, IL-6, IL-23 dan TGF-β (Annunziato dkk., 2007; Eijnden dkk., 2005). Tumor necrosis factor α merupakan sitokin pada jalur Th1, berperan dalam mempengaruhi proliferasi, aktivasi dan diferensiasi beberapa jenis sel, merangsang apoptosis, meningkatkan sintesis beberapa sitokin dan mengekspresikan beberapa molekul adhesi. Netralisasi TNF-α merupakan dasar dari beberapa terapi psoriasis serta memperkuat peranan sitokin ini pada psoriasis. Konsentrasi TNF-α yang tinggi pada psoriasis aktif, memiliki korelasi positif

7 13 dengan skor PASI. Tumor necrosis factor α pada dasarnya diproduksi dan bereaksi secara lokal sehingga kadarnya dalam sirkulasi lebih rendah dibandingkan dengan pada tempat inflamasi (Pietrzak dkk., 2008). Interferon (IFN)-γ penting pada tahap awal psoriasis, berperanan dalam meningkatkan migrasi sel imun ke dalam kulit dan aktivasi monosit, makrofag, sel dendritik serta sel endotel. Interferon γ juga menghambat apoptosis dari keratinosit, berperanan pada terjadinya hiperproliferasi keratinosit dan merangsang proliferasi sel epidermis. Kadar IFN-γ meningkat pada psoriasis aktif dan berkorelasi dengan skor PASI (Deeva dkk., 2010). Interleukin-12 merupakan sitokin utama yang bertanggung jawab dalam menginduksi respon Th1, menyebabkan sekresi IFN-γ serta pemeliharaan pada respon Th1. Konsentrasi IL-12 dilaporkan meningkat pada pasien psoriasis dan berkorelasi dengan skor PASI (Gordon dkk, 2012). Interleukin-18 penting pada adesi sel dan bekerja secara sinergis dalam merangsang pengeluaran IFN-γ. Kadar IL-18 juga didapatkan meningkat pada pasien psoriasis (Flisiak dkk., 2006). Interleukin-23 penting dalam perekrutan neutrofil, merangsang produksi sitokin yang lain dan dapat bekerja langsung pada keratinosit dalam jalur regulasi TNF-α sehingga terjadi hiperplasi epidermis dan berperan dalam pengaturan diferensiasi keratinosit (Gordon dkk., 2012). Interleukin-6 meningkat pada psoriasis, bekerja dengan cara memediasi aktivasi sel T, merangsang proliferasi keratinosit dan memediasi respon fase akut dan dilaporkan meningkat pada pasien psoriasis (Arican dkk., 2005).

8 14 Interleukin-17 diproduksi oleh sel-sel Th17 yang merupakan komponen penting dalam pembentukan dan berlangsungnya inflamasi. Interleukin-17 merangsang produksi sitokin proinflamasi terutama oleh sel endotel dan makrofag, mengaktifkan keratinosit untuk menghasilkan interleukin seperti IL-18 (Pietrzak dkk., 2008). Interleukin-21 memiliki peranan penting pada berbagai penyakit inflamasi seperti psoriasis. Pada penelitian terhadap tikus didapatkan bahwa interleukin ini banyak didapatkan pada plak psoriasis dan merangsang proliferasi sel epidermis (Sarra dkk., 2011). Kadar serum IL-21 dilaporkan meningkat pada psoriasis dan berkorelasi dengan skor PASI (He dkk., 2012). Vascular endothelial growth factor berperanan dalam meningkatkan vaskularisasi lesi untuk merangsang hiperplasi epidermis, pertumbuhan pembuluh darah dan infiltrasi leukosit pada kulit. Vascular endothelial growth factor berperanan penting dalam mengatur aktivitas keratinosit pada psoriasis, untuk meningkatkan permiabilitas endotel dan menginduksi vasodilatasi (Tammela dkk., 2005) Gambaran klinis psoriasis Gambaran klasik lesi psoriasis berupa plak eritema dengan batas tegas dan ditutupi oleh skuama putih tebal. Lesi dapat bervariasi mulai dari papul kecil hingga plak yang menutupi sebagian besar permukaan tubuh. Terdapat tiga fenomena yang khas pada psoriasis diantaranya fenomena tetesan lilin ialah bila skuama dikerok, maka skuamanya menjadi putih seperti lilin. Kerokan yang

9 15 dilakukan sampai pada dasar skuama akan menimbulkan bintik-bintik perdarahan yang disebut sebagai tanda auspitz, tanda ini merupakan tanda yang mempunyai nilai diagnostik pada psoriasis dan dapat membedakan dengan kelainan kulit lainnya. Fenomena koebner yaitu bila kulit penderita psoriasis terkena trauma maka akan menyebabkan munculnya lesi psoriasis. Perubahan kuku sering terjadi dan bervariasi mulai dari defek kecil pada lempeng kuku (pitting nail), sampai perubahan yang berat dari kuku (onikodistrofi) dan hilangnya lempeng kuku (nail bed). Perubahan kuku lebih sering terjadi pada pasien dengan psoriasis arthritis. Pola gambaran klinis psoriasis dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu (Gudjonsson dan Elder, 2012; Soung dan Lebwohl, 2004) : Psoriasis vulgaris Psoriasis vulgaris merupakan bentuk psoriasis yang paling sering ditemukan, yaitu sekitar 90% pasien, ditandai oleh adanya plak eritema yang ditutupi oleh skuama tebal berwarna putih, tanda auspitz, fenomena bercak lilin dan tanda koebner yang positif. Tempat predileksi pada daerah ekstensor ekstremitas terutama pada siku dan lutut, dapat juga pada kulit kepala, daerah bawah lumbosakral, pantat dan genital. Lesi psoriasis juga dapat ditemukan pada tempat predileksi lainnya seperti pada umbilikus dan celah intergluteal. Lesi psoriasis yang kecil dapat bergabung menjadi satu membentuk geografika, girata atau anular, ditunjukkan oleh Gambar 2.2.

10 16 Gambar 2.2 Psoriasis Vulgaris (Gudjonsson dan Elder, 2012) Psoriasis gutata Erupsi berupa papul kecil sampai dengan plak dengan ukuran diameter 0,5 sampai dengan 1,5 sentimeter pada badan bagian atas dan ekstremitas pada bagian proksimal. Lesi sering muncul pada usia muda dan paling sering ditemukan pada dewasa muda. Bentuk psoriasis ini memiliki hubungan yang paling kuat dengan HLA-Cw6 dan adanya infeksi streptokokal pada tenggorokan sering mendahului atau bersamaan dengan terjadinya psoriasis gutata Psoriasis inversa Lesi psoriasis muncul pada daerah lipatan kulit seperti aksila, regio genitokrural serta leher, dengan skuama yang lebih minimal atau tidak ada. Lesi berupa eritema batas tegas dan mengkilap dan selalu terletak pada daerah yang memiliki kontak antara kulit dengan kulit.

11 Psoriasis eritroderma Gambaran klinis berupa erupsi yang meluas hingga seluruh tubuh termasuk wajah, tangan, kaki, kuku, badan, serta ekstremitas dengan gambaran klinis yang dominan adalah eritema dengan skuama superfisial dan tipis Psoriasis pustulosa Terdapat beberapa variasi klinis psoriasis pustulosa, diantaranya psoriasis pustulosa generalisata (tipe von zumbusch), psoriasis pustulosa anular, impetigo herpetiformis, dan dua varian psoriasis pustulosa lokalisata yaitu psoriasis pustulosa palmaris, plantaris dan akrodermatitis kontinua, dengan lesi utama berupa pustul Sebopsoriasis. Gambaran klinis berupa plak eritema dengan skuama yang berminyak lokalisata pada daerah seboroik seperti kepala, glabela, lipatan nasolabial, perioral, dan area presternal serta area intertriginosa. Sebopsoriasis digambarkan sebagai modifikasi dermatitis seboroik dengan didasari oleh faktor genetika psoriasis dan relatif resisten terhadap pengobatan Psoriasis popok. Psoriasis popok biasanya muncul saat usia 3-6 bulan dan pertama kali muncul di daerah popok berupa area kemerahan yang konfluen dan beberapa hari kemudian diikuti dengan munculnya papul merah kecil pada badan dan ekstremitas serta skuama putih psoriasis yang tipikal. Lesi ini berespon baik terhadap pengobatan dan cenderung menghilang setelah usia setahun.

12 Psoriasis linear. Psoriasis linier merupakan bentuk yang jarang. Lesi psoriasis muncul berupa garis, biasanya pada ekstremitas tetapi dapat juga terbatas pada dermatom di badan. Lesi dapat menyerupai nevus yaitu Inflamatory Linear Verrucous Epidermal Nevus (ILVEN) dengan gambaran klinis dan histologi keduanya mirip Diagnosis Penegakkan diagnosis psoriasis berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis. Kasus-kasus tertentu, diperlukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium darah dan histopatologis (Gudjonsson dan Elder, 2012). Pemeriksaan penunjang yang paling umum dilakukan untuk mengkonfirmasi psoriasis adalah pemeriksaan biopsi kulit dengan menggunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Pemeriksaan histopatologis akan tampak penebalan epidermis atau akantosis serta elongasi rete ridges. Diferensiasi keratinosit yang ditandai dengan hilangnya stratum granulosum. Stratum korneum juga mengalami penebalan dan terdapat retensi inti sel pada lapisan ini yang disebut parakeratosis. Neutrofil dan limfosit tampak bermigrasi dari dermis. Sekumpulan neutrofil dapat membentuk mikroabses Munro. Dermis akan tampak tanda-tanda inflamasi seperti hipervaskularisasi dan dilatasi serta edema papila dermis. Infiltrat dermis terdiri dari neutrofil, makrofag, limfosit, dan sel mast. Kelainan laboratorium pada psoriasis tidak spesifik kecuali pada kasus generalized pustular psoriasis dan psoriatic erythroderma (Bettina dkk., 2005).

13 Penatalaksanaan Beberapa pilihan terapi psoriasis berspektrum luas baik secara topikal maupun sistemik telah tersedia saat ini. Regimen pengobatan dipilih berdasarkan penyesuaian terhadap luasnya penyakit dan penilaian keparahan penyakit. Psoriasis adalah suatu keadaan kronis, penting untuk mengetahui keamanan pengobatan untuk penggunaan jangka panjang. Durasi terapi dapat terbatas pada sebagian besar kasus karena potensi terjadinya akumulasi toksisitas serta dapat terjadinya pengurangan efikasi terapi seiring dengan waktu atau disebut sebagai takifilaksis (Gudjonsson dan Elder, 2012). Terapi topikal pada psoriasis dapat digunakan pada pasien dengan psoriasis ringan sampai sedang. Terapi topikal yang dapat digunakan pada psoriasis adalah kortikosteroid topikal, analog vitamin D, antralin, asam salisilat, tar, tazaroten serta imunomodulator topikal (Gudjonsson dan Elder, 2012). Penelitian metaanalisis mendapatkan penggunaan steroid topikal pada pasien psoriasis akan memberikan efektivitas tinggi jika digunakan secara terus menerus selama 8 minggu dan digunakan secara intermiten selama 52 minggu (Samarasekera dkk.,2013). Penggunaan kortikosteroid topikal lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan analog vitamin D topikal pada psoriasis tipe plak di kulit kepala (Mason dkk., 2013). Kortikosteroid topikal, ditranol, tar, fototerapi, kemoterapi dan siklosporin tidak diindikasikan untuk penggunaan jangka panjang yang terus menerus, dan disarankan untuk dikombinasikan atau dipakai bergantian (Gudjonsson dan Elder, 2012).

14 20 Terapi sistemik yang dapat digunakan pada pasien psoriasis adalah metotreksat, mikofenolat mofetil, sulfasalazin, steroid sistemik, ester asam fumarat, 6-tioguanin, hidroksi urea dan siklosporin A. Steroid sistemik tidak diberikan secara rutin sebagai terapi psoriasis, karena pada pemberian steroid sistemik didapatkan perbaikan yang cepat tetapi dapat muncul serangan mendadak dengan gejala yang lebih hebat dan membutuhkan dosis tinggi yang progresif untuk mengontrol keluhan. Steroid sistemik mempunyai peranan jika obat lain tidak efektif pada pengobatan eritroderma persisten yang sulit dikontrol dan psoriasis pustular tipe generalisata yang fulminan (tipe von Zumbusch). Sebagian terapi, seperti kalsipotriol, MTX dan asitretin, dianggap sesuai untuk penggunaan terus menerus. Terapi ini mempertahankan efikasi dan mempunyai potensi akumulatif toksisitas yang rendah (Gudjonsson dan Elder, 2012). Infliximab memiliki efikasi tertinggi dibandingkan agen biologi lainnya untuk terapi sistemik pada psoriasis sedang sampai berat (Mustafa dan Al-Hoqail, 2013). Pasien anakanak dan remaja dengan psoriasis sedang sampai berat didapatkan perbaikan secara signifikan dengan pemberian etanercept (Paller dkk., 2008). Penggunaan etanercept juga dilaporkan efektif dan aman digunakan pada pasien psoriasis rekalsitran (Wu dkk., 2012). Jenis-jenis fototerapi yang dapat digunakan pada psoriasis antara lain : sinar ultraviolet B dengan panjang gelombang nm, psoralen dan sinar ultraviolet A, serta laser eksimer. Fototerapi pada psoriasis dengan penyinaran buatan sudah ada sejak Pada tahun 1970 diperkenalkan fotokemoterapi dengan psoralen plus ultraviolet A (PUVA), dan pada tahun 1980 diperkenalkan

15 21 narrow band ultraviolet B (NB-UVB) dengan panjang gelombang nm. Cara kerja fototerapi dengan melibatkan pengurangan selektif dari sel T, terutama yang terdapat pada epidermis (Gudjonsson dan Elder, 2012). Terapi psoriasis dengan menggunakan NB-UVB, PUVA dan terapi topikal didapatkan adanya pengurangan dari TNF-α secara signifikan (Coimbra,dkk., 2010b) Derajat keparahan psoriasis Psoriasis area and severity index merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menilai derajat keparahan pada pasien psoriasis, cara ini telah digunakan untuk menilai derajat keparahan penyakit pada penelitian klinis karena memiliki beberapa keuntungan yaitu sensitif dalam menilai perubahan yang terjadi pada kulit, menilai keparahan dari lesi, serta perubahan pada nilai PASI menunjukkan adanya perbaikan atau perburukan dari penyakit. Fredrickson dan Petterson pertamakali merumuskan penilaian derajat keparahan psoriasis dengan menggunakan skor PASI, metode ini praktis dan cepat tetapi memiliki variabilitas intra dan antar pengamat yang tinggi (Langley dan Ellis, 2004). Metode ini dapat mengukur intensitas kuantitatif penderita berdasarkan gambaran klinis dan luas area yang terkena. Penggunaan skor PASI untuk penilaian derajat keparahan pasien psoriasis dilakukan dengan melihat adanya eritema, skuama dan ketebalan lesi, masing-masing diberikan rentang nilai antara 0-4. Penilaian dengan menggunakan skor PASI merupakan cara yang paling banyak digunakan dan merupakan baku emas dalam pengukuran derajat keparahan pada penderita psoriasis. Konsensus oleh American Academy of Dermatology menyatakan bahwa

16 22 setiap penentuan keparahan psoriasis membutuhkan perhatian khusus pada pengaruhnya terhadap kualitas hidup penderita (Feldman dan Krueger, 2005). PASI dihitung dengan rumus ( Langley dan Ellis, 2004): {0,1(Eh+Ih+Sh)Ah} + {0,2(Eul+Iul+Sul)Aul} + {0,3(Et+It+St)At} + {0,4(Ell+Ill+Sll)All} Keterangan: A (area) = luas daerah tubuh dalam 4 bagian yang terkena yaitu: kepala dan leher (h = head), badan (t = trunk), ekstremitas atas (ul = upper limb), ekstremitas bawah (ll = lower limb); E = eritema; I = infiltrat; S = skuama Penilaian persentase luas daerah tubuh (A) yang terkena: <10% % % % % % 6 Penilaian derajat keparahan (E, I, S) Tidak ada gejala 0 Ringan 1 Sedang 2 Berat 3 Sangat berat 4

17 23 Hasil perhitungan PASI merupakan nilai tunggal dari Pasien dinyatakan menderita psoriasis ringan bila skor PASI < 8, psoriasis sedang bila skor PASI 8-12, dan psoriasis berat bila skor PASI >12 (Schmitt dan Wozel., 2005). Skor PASI jarang digunakan pada praktek klinis karena penggunaannya menimbulkan kompleksitas yang lebih besar dan skor ini merupakan suatu sistem penilaian yang digunakan untuk tujuan penelitian. Persentase perubahan PASI dapat digunakan sebagai titik akhir penilaian terapi psoriasis pada uji klinis (Feldman dan Krueger, 2005). 2.2 C-reactive Protein Definisi C-reactive protein adalah sebuah reaktan fase akut, meningkat pada respon terhadap rangsangan yang dapat mengakibatkan cedera sel atau jaringan. C- reactive protein pertamakali didefinisikan oleh Tillet dan Francis, pada mulanya ditemukan sebagai protein yang berperan melawan komponen karbohidrat dalam kapsid Streptococcus pneumoniae yang terdapat pada serum pasien pneumonia dan dinamakan sebagai karbohidrat reaktif protein (Steel dan Whitehead, 1994.). C-reactive protein merupakan protein pentamerik yang dibuat oleh hepatosit, memiliki berat molekul 118 kilodalton. Molekul CRP dikenal sebagai reaktan fase akut utama yang meningkat secara cepat setelah infeksi atau kerusakan jaringan, digunakan secara luas sebagai parameter laboratorium dalam mengikuti perkembangan pasien pada penyakit inflamasi dan infeksi serta diterima sebagai marker inflamasi yang paling sensitif (Blake dan Ridker, 2001; Choudhury dan

18 24 Leyva, 1999.). C-reactive protein merupakan marker inflamasi yang tidak spesifik sehingga peningkatan CRP tidak dapat membedakan secara spesifik tentang penyebab inflamasi yang disebabkan oleh proses autoimun ataukah oleh penyebab lainnya, misalnya karena infeksi bakteri. Infeksi Streptococcus pyogenes pada tonsil dihubungkan dengan kemampuan superantigen Streptococcus dalam mengaktivasi sel T. Adanya infeksi bakteri streptococcus pyogenes yang terjadi bersamaan dengan psoriasis sulit untuk dibedakan apakah peningkatan CRP terjadi akibat infeksi bakteri atau oleh karena proses inflamasi autoimun, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan melakukan pemeriksaan terhadap marker infeksi lainnya seperti pemeriksaan leukosit, laju endap darah dan kultur darah (Blok dkk., 2004; Pepys, 2003) Sintesis dan metabolisme CRP Sintesis CRP awalnya terbatas pada hati tanpa didapatkan bukti lain tentang pembentukan CRP diluar sel hepatosit, tetapi pada pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) dan imunohistokimia belakangan ini didapatkan bahwa dalam menanggapi rangsangan terhadap interleukin-6, sel-sel epitel korteks tubulus ginjal mengeluarkan messenger ribonucleic acid (mrna) CRP. Bagian ekstrahepatik lainnya yang mensintesis CRP atau mengekspresikan gen didapatkan pada sel epitel saluran pernafasan manusia dan sel limfosit T. Secara umum masih dapat diterima bahwa hati merupakan tempat utama untuk memproduksi CRP secara de novo (Pepys, 2003). Sintesis CRP terutama dikontrol oleh IL-6, tetapi IL-1 dan TNF-α yang merupakan hasil dari sitokin proinflamasi

19 25 dan mempengaruhi peningkatan kadar CRP dalam darah serta cairan tubuh lainnya. C-reactive protein serum merupakan suatu penanda tidak langsung dari aktivitas sitokin proinflamasi (Dogan dan Atakan, 2013). Konsentrasi CRP dapat meningkat secara dramatis melebihi 1000 kali lipat pada respon terhadap fase akut, peningkatan terjadi dalam jam setelah terjadinya stimulus inflamasi akut dan segera menurun mencapai kadar normal setelah mendapat terapi atau terjadi penyembuhan spontan (Pepys, 2003). Waktu paruh CRP adalah 19 jam dan tidak tergantung pada konsentrasi CRP yang beredar. Faktor utama yang menentukan kadar CRP serum adalah jumlah produksi dari CRP tersebut (Ablij dan Meinders, 2002). Respon CRP dapat berkurang pada kondisi gangguan hepatoseluler, tetapi disfungsi ginjal dapat menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi CRP (Pravenec dkk., 2011). Kadar CRP normal kurang dari 5 mg/l dengan nilai rata-rata pada populasi umum adalah 2 mg/l, tidak didapatkan adanya perbedaan konsentrasi antara pria dan wanita serta tidak didapatkan adanya variasi diurnal ataupun musiman (Pepys, 2003; Semple, 2006). Cut off points pada kadar hscrp serum adalah 1 mg/l (Callaghan, 2005). Kadar dalam serum tidak dipengaruhi oleh asupan makanan tetapi Church dkk. (2003) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kadar CRP pada pasien hepatoma dipengaruhi oleh kafein dan berkurang pada penggunaan multivitamin lebih dari 6 bulan. C-reactive protein merupakan pertahanan tubuh utama pada manusia. Secara sederhana, kadar CRP diukur dengan nephelometri yang memiliki tingkat deteksi 6-10 mg/l dan merupakan pemeriksaan CRP secara konvensional.

20 26 Pemeriksaan CRP secara komersiil menggunakan alat imunoturbidimetrik dan dapat mendeteksi dengan batas pemeriksaan sekitar 0,15 mg/l disebut sebagai pemeriksaan hscrp. Pemeriksaan ini telah digunakan secara luas untuk mendeteksi penyakit kardiovaskular, sebagai monitor pengobatan jantung serta memprediksi prognosis dari penyakit jantung (Kao dkk., 2006) Struktur CRP C-reactive protein termasuk dalam famili protein pentraksin dengan ikatan plasma ligan yang tergantung kalsium dan memilki bagian yang berbeda pada manusia, disebut sebagai serum amyloid P component (SAP). Molekul CRP pada manusia (Mr 115, 135) terdiri dari lima subunit non glikosilase dari pasangan polipeptida yang identik (Mr 23, 027), masing-masing mengandung 206 residu asam amino (Pepys, 2003). C-reactive protein memiliki struktur berupa cincin simetris yang terdiri dari 5 pentomer (Gambar 2.3). Setiap pentomer memiliki 2 ion kalsium yang bertanggung jawab dalam pengikatan posfoklorin (Kao dkk., 2006 ; Agravaat dan Sirajwala, 2013). Gambar 2.3 Struktur C-reactive protein (Agravaat dan Sirajwala, 2013)

21 Hubungan psoriasis dengan hscrp High sensitivity C-reactive protein adalah suatu reaktan fase akut yang merupakan biomarker pada penderita psoriasis serta dapat digunakan untuk menilai derajat keparahan psoriasis. Coimbra dan Santos dalam penelitiannya menyatakan bahwa hscrp merupakan suatu biomarker pada penderita psoriasis. Sebagian besar data menunjukkan bahwa hscrp merupakan marker yang potensial dalam menilai derajat keparahan psoriasis berdasarkan skor PASI (Coimbra dan Santos-Silva, 2014). Selain sebagai marker inflamasi pada psoriasis, hscrp juga diyakini sebagai suatu marker inflamasi pada kondisi lainnya seperti artritis rematoid, tuberkulosis, kanker dan miokardia infark serta memiliki peranan terutama dalam mengenali zat toksik autogenus yang dikeluarkan dari jaringan yang rusak (Isha dkk., 2011). Penelitian tentang derajat keparahan psoriasis berdasarkan skor PASI dan kadar CRP, sebagian besar mendapatkan adanya hubungan yang positif antara skor PASI dengan kadar CRP. Rocha-Pierera dkk. (2004) melaporkan bahwa kadar CRP meningkat % pada lesi akut dari psoriasis sedang sampai psoriasis berat. Mereka juga menemukan kadar CRP meningkat secara signifikan pada pasien dengan lesi psoriasis aktif dibandingkan dengan pasien bukan dengan lesi aktif. Coimbra dkk. (2010a) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kadar hscrp pada pasien psoriasis kronis cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan subyek bukan psoriasis dan skor PASI berhubungan secara signifikan dengan kadar hscrp.

22 28 Kanellas dkk. (2011) melakukan penelitian terhadap 41 subyek dengan psoriasis vulgaris untuk mengetahui peranan dari marker inflamasi dalam menilai derajat keparahan psoriasis serta untuk mengetahui respon terapi pada subyek psoriasis. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara derajat keparahan dengan kadar hscrp serum pada subyek psoriasis serta dipostulatkan bahwa hscrp dapat digunakan sebagai marker inflamasi dalam menilai derajat keparahan psoriasis dan respon terapi pada pasien psoriasis. Yiu dkk. (2011) dalam penelitiannya terhadap 52 subyek psoriasis mendapatkan bahwa pasien dengan psoriasis memiliki kadar hscrp yang lebih tinggi secara signifikan serta terdapat korelasi yang positif antara skor PASI dengan kadar hscrp. Agravatt dan Sirajwala (2013) dalam penelitiannya juga mendapatkan adanya korelasi positif antara kadar hscrp serum penderita psoriasis dengan derajat keparahan penderita berdasarkan skor PASI. Pada penelitian tersebut didapatkan mean kadar hscrp serum pasien dengan psoriasis sedang sampai psoriasis berat (PASI>10) adalah 6,26 mg/l, sedangkan pada pasien dengan psoriasis ringan (PASI<10) didapatkan mean kadar hscrp serum sebesar 1,34mg/L. Penelitian lainnya juga mendapatkan bahwa kadar hscrp pada psoriasis dapat digunakan sebagai penanda terhadap prognosis dari psoriasis (Reshma dkk.,2011). Pada psoriasis terdapat adanya pelepasan berbagai macam sitokin proinflamasi pada kulit maupun secara sistemik. Keratinosit pada psoriasis mampu memproduksi dan melepaskan IL-1α, IL-1β, IL-6, IL-15, IL-18 dan IL-20,

23 29 semuanya berperanan dalam perkembangan dan diferensiasi pada patogenesis psoriasis. Hiperproliferasi keratinosit pada plak psoriasis dan semua proses patogenetik pada psoriasis dimediasi oleh sitokin tersebut (Wojas-Pelc dkk., 2006). Peningkatan kadar hscrp merupakan hasil interaksi dari sitokin proinflamasi IL-6, IL-1β dan TNF α. Pada psoriasis, IL- 1β, IL-6 dan TNF- α diproduksi pada keratinosit dan jaringan adiposa yang berperan dalam terjadinya proses inflamasi kulit serta diketahui memiliki sifat proatherogenik. (Gambar 2.4.), (Dowlatshahi dkk., 2013). Tumor necrosis factor α akan merangsang sekresi dari IL-6 yang berperanan dalam merangsang produksi CRP di hati, produksi CRP juga dapat ditingkatkan oleh adanya peranan dari IL-1β. Pada lesi psoriasis psoriasis baru atau psoriasis lama dengan eksaserbasi akut, terjadi reaksi inflamasi yang dapat meningkatkan sekresi dari sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-6, IL-1β dan TNF α yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar CRP (Coimbra dan Silva, 2014). Gambar 2.4 C-reactive protein pada psoriasis (Dowlatshahi dkk., 2011)

24 30 Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pada pasien psoriasis terjadi peningkatan kadar hscrp serta penyakit psoriasis merupakan penyakit inflamasi sistemik yang merupakan lingkungan nyaman untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dan penyakit penyerta lainnya (Lan dkk., 2004). Psoriasis dan penyakit kronis lainnya seperti artritis rematoid, lupus eritematosus sistemik memiliki risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Rekomendasi Center for Disease Control (CDC) dan American Heart Association (AHA) tentang cut off points risiko terjadinya penyakit kardiovaskular pada pasien psoriasis berdasarkan kadar hscrp adalah < 1 mg/l merupakan risiko rendah, 1-3 mg/l merupakan risiko sedang dan >3 mg/l merupakan risiko tinggi (Callaghan, 2005). Sel inflamasi dan sitokin proinflamasi berpengaruh terhadap terjadinya lesi psoriasis dan pembentukan plak aterosklerosis. Pada psoriasis dan aterosklerosis terjadi upregulasi dari sitokin Th1 dan Th17, aktivasi sel T, ekspresi molekul adesi dan endotelin secara lokal maupun sistemik. Aktivasi sel T pada area inflamasi akan mengaktivasi sitokin tipe 1 seperti IFN-α, IL-2 dan TNF-α. Interferon α menghambat terjadinya apoptosis sehingga berperanan dalam terjadinya hiperproliferasi keratinosit. Interleukin-2 berperanan dalam merangsang proliferasi sel T. Aktivasi TNF-α pada psoriasis akan meningkatkan proliferasi keratinosit (Ni dan Chiu, 2014). Modalitas terapi pada psoriasis juga mulai diselidiki dalam efikasinya menurunkan kadar hscrp. Metotreksat (MTX) ditemukan memiliki efikasi dalam terjadinya penurunan kadar hscrp pada penderita artritis rematoid (Lan dkk., 2004). Pada pasien psoriasis atau artritis rematoid, terapi MTX dapat mengurangi

25 31 terjadinya insiden penyakit kardiovaskular yang disebabkan oleh efek antiinflamasi dari obat tersebut (Prodanovich dkk.,2005). Pada penderita psoriasis artritis juga didapatkan efisiensi dari siklosporin yang memiliki efek sama dengan MTX dan etanercept dalam menurunkan kadar hscrp.

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema ditutupi sisik tebal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema batas tegas ditutupi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis dengan karakteristik proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan gejala klinis berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan gejala klinis berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronis, dan sering rekuren, dengan gejala klinis berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai ukuran yang ditutupi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA Psoriasis vulgaris adalah suatu penyakit peradangan kulit kronis, dengan gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai ukuran yang ditutupi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit bersifat kronis residif dengan patogenesis yang masih belum dapat dijelaskan dengan pasti hingga saat ini. Pasien dapat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. akibat proses tersebut maka tampak skuama, eritema dan indurasi. 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. akibat proses tersebut maka tampak skuama, eritema dan indurasi. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.I Psoriasis 2.1.1 Definisi Psoriasis ditandai dengan adanya hiperkeratosis dan penebalan lapisan epidermis yang diikuti dengan peningkatan vaskularisasi dan infiltrasi sel radang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin. Lesi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan seperti trauma, infeksi atau obat-obatan (Van de Kerkhof, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan seperti trauma, infeksi atau obat-obatan (Van de Kerkhof, 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang diperantarai oleh sistem imun dan disebabkan oleh kombinasi dari predisposisi poligenik serta pemicu dari lingkungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari lingkungan hidup manusia. Berat kulit kira-kira 15% dari berat badan seseorang. Kulit merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya

BAB I PENDAHULUAN. depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Vitiligo merupakan suatu gangguan pigmentasi, ditandai dengan adanya depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya fungsi melanosit epidermis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan dan kematian pada anak. 1,2 Watson dan kawan-kawan (dkk) (2003) di Amerika Serikat mendapatkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Psoriasis 2.1.1. Definisi Psoriasis adalah penyakit kulit kronik-residif yang ditandai adanya epidermis yang hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal (Jean et al., 2011).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok

BAB 1 PENDAHULUAN. Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok dermatosis eritroskuamosa, bersifat kronis residif dengan lesi yang khas berupa plak eritema berbatas

Lebih terperinci

JOURNAL READING MANAGEMENT OF PSORIASIS

JOURNAL READING MANAGEMENT OF PSORIASIS JOURNAL READING MANAGEMENT OF PSORIASIS Oleh : Cintya Dunihapsari 01.211.6354 Pembimbing : dr. Eko Kristanto, Sp.KK Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Kota Semarang FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang sering dijumpai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang sering dijumpai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang sering dijumpai namun penyebab utama masih belum diketahui secara pasti. Pada penyakit ini dapat terjadi papul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit, dengan gambaran

BAB I PENDAHULUAN. dengan hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit, dengan gambaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit kronik residif yang ditandai dengan hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit, dengan gambaran lesi yang khas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Vitiligo adalah kelainan pigmentasi kulit yang didapat, ditandai dengan adanya makula hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1%

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Psoriasis 2.1.1. Definisi dan Sejarah Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit kronis yang di mediasi oleh sistem imunitas sel T dan dikarakteristikkan sebagai perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsumsi rokok sudah menjadi gaya hidup baru bagi masyarakat di seluruh dunia. Menurut laporan WHO yang ditulis dalam Tobacco Atlas tahun 2012, konsumsi rokok terus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berwarna keputihan. Penyakit ini umumnya mengenai daerah ekstensor. pada tiap populasi bervariasi di berbagai belahan dunia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berwarna keputihan. Penyakit ini umumnya mengenai daerah ekstensor. pada tiap populasi bervariasi di berbagai belahan dunia. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit kronik yang umum dijumpai, bersifat rekuren dan melibatkan beberapa faktor misalnya; genetik, sistem imunitas, lingkungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan proliferasi berlebihan di epidermis. Normalnya seseorang mengalami pergantian kulit setiap 3-4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pruritus uremia (PU) masih merupakan keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang signifikan ditemukan pada 15%

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronis, dan sering rekuren,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronis, dan sering rekuren, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronis, dan sering rekuren, dengan gejala klinis berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai ukuran yang ditutupi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu penyakit dari unit pilosebasea yang dapat sembuh sendiri, terutama dijumpai pada anak remaja. Kebanyakan kasus akne vulgaris disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Artritis Reumatoid Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun dengan karakteristik adanya inflamasi kronik pada sendi disertai dengan manifestasi sistemik seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara

BAB I PENDAHULUAN. sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Akne vulgaris merupakan kelainan yang sering dijumpai pada struktur kelenjar sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara karena serangan Jantung. Salah satu penyakit yang menyebabkan kematian

BAB I PENDAHULUAN. negara karena serangan Jantung. Salah satu penyakit yang menyebabkan kematian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian tertinggi di dunia. Hal ini disebabkan oleh karena meningkatnya populasi kematian usia produktif di banyak

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penurunan kadar HsCRP dan tekanan darah antara pemberian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Akne vulgaris adalah suatu peradangan yang bersifat menahun pada unit pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan predileksi di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. respon terhadap stres adalah hippocampus. Hippocampus merupakan bagian dari

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. respon terhadap stres adalah hippocampus. Hippocampus merupakan bagian dari 14 BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tantangan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat mengakibatkan stres pada manusia(garciá et al., 2008). Organ yang berperan penting dalam respon terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imunitas, gangguan sensasi kornea, riwayat operasi kornea, abnormalitas

BAB I PENDAHULUAN. imunitas, gangguan sensasi kornea, riwayat operasi kornea, abnormalitas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mata Kering (MK) merupakan suatu kondisi medis yang ditandai dengan ketidakmampuan mata untuk mempertahankan jumlah air mata yang cukup pada permukaan bola mata. MK

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Psoriasis 2.1.1. Definisi dan Sejarah Psoriasis adalah peradangan kulit yang bersifat kronik dengan karakteristik berupa plak eritematosa berbatas tegas, skuama kasar, berlapis,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker merupakan salah satu penyakit yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab kematian nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia, sistem imun sangat memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap berbagai antigen (benda asing) dengan memberantas benda asing tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Psoriasis adalah suatu penyakit kulit inflamasi kronik dan relaps yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Psoriasis adalah suatu penyakit kulit inflamasi kronik dan relaps yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah suatu penyakit kulit inflamasi kronik dan relaps yang mempunyai gambaran klinis bervariasi. Lesi khas psoriasis berupa plak tertutup skuama tebal berlapis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk mengukur status kesehatan ibu disuatu negara. Dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Dasar Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Angina pektoris stabil adalah salah satu manifestasi. klinis dari penyakit jantung iskemik.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Angina pektoris stabil adalah salah satu manifestasi. klinis dari penyakit jantung iskemik. 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Angina pektoris stabil adalah salah satu manifestasi klinis dari penyakit jantung iskemik. Penyakit jantung iskemik adalah sebuah kondisi dimana aliran darah dan oksigen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Preeklamsi merupakan penyulit utama dalam kehamilan dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health Organization (WHO) melaporkan angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka angka kematian bayi (AKB) pada saat ini masih menjadi persoalan di Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskuler merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh adanya gangguan pada jantung dan pembuluh darah. Data World Heart Organization menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit multisistem yang disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan komplemen.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE

BAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya dengan gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu radiasi UV-A ( nm), radiasi UV-B ( nm), dan radiasi UV-C

BAB I PENDAHULUAN. yaitu radiasi UV-A ( nm), radiasi UV-B ( nm), dan radiasi UV-C BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinar matahari adalah sumber utama radiasi sinar ultraviolet (UV) untuk semua sistem kehidupan manusia. Radiasi sinar UV dibagi menjadi tiga kategori, yaitu radiasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Infeksi dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Infeksi dengue disebabkan oleh virus DEN 1,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat alergi/hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 70 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 41 penderita stroke iskemik. Subyek penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 (48,8%). Rerata (SD) umur penderita stroke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan perhatian khusus dari Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), terutama di negara-negara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kulit, membran mukosa maupun keduanya, secara histologi ditandai dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kulit, membran mukosa maupun keduanya, secara histologi ditandai dengan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemfigus vulgaris 2.1.1 Definisi Pemfigus merupakan kelompok penyakit bula autoimun yang menyerang kulit, membran mukosa maupun keduanya, secara histologi ditandai dengan terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi.

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyebab kematian pertama pada negara-negara berkembang. Di Indonesia, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar(RISKESDAS)

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut,

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut, lxxiii BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut, setelah dialokasikan secara acak 50 penderita masuk kedalam kelompok perlakuan dan 50 penderita lainnya

Lebih terperinci

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB 2. Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Psoriasis 2.1.1. Sejarah dan Definisi Psoriasis adalah sebuah nama yang diberikan oleh seorang dermatologi asal Vienna, Ferdinand von Hebra pada tahun 1841. Psoriasis berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis yang merupakan suatu respon tubuh dengan adanya invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai dengan peradangan pada sinovium, terutama sendi sendi kecil dan seringkali

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak dapat berkembang lagi, tetapi justru terjadi penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondiloma akuminata (KA) merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya disfungsi fungsi sawar kulit adalah dermatitis atopik (DA). Penderita DA

BAB I PENDAHULUAN. adanya disfungsi fungsi sawar kulit adalah dermatitis atopik (DA). Penderita DA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi gangguan fungsi sawar kulit dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit di bidang Dermatologi. Salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh adanya disfungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut pada saluran pencernaan yang masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian demam tifoid di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit jinak ginekologi yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di negara-negara maju maupun berkembang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan

BAB I PENDAHULUAN. Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan secara kosmetik tapi juga dapat menyebabkan menurunnya kepercayaan diri seseorang. Vitiligo

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang memiliki penyakit ginjal stadium akhir, pasien dengan transplantasi ginjal mempunyai harapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan : : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan : infeksi jamur subkutan adalah infeksi jamur yang secara langsung masuk ke dalam dermis atau jaringan subkutan melalui suatu trauma.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan salah satu gaya hidup masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan salah satu gaya hidup masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok merupakan salah satu gaya hidup masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Seseorang yang telah lama merokok mempunyai prevalensi tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Preparat jaringan yang telah dibuat, diamati dibawah mikroskop multinokuler dengan perbesaran 4x dan 10x. Semua preparat dapat dibaca berdasarkan tolok ukur skor tingkat peradangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel

BAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel Langerhans di epidermis, yakni sel efektor imunogen pada kulit, penurunan daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. reaksi imun berupa plak eritematosa, skuama berwarna putih keperakan berlapislapis,

BAB I PENDAHULUAN. reaksi imun berupa plak eritematosa, skuama berwarna putih keperakan berlapislapis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Psoriasis merupakan penyakit peradangan kulit kronik residif didasari oleh reaksi imun berupa plak eritematosa, skuama berwarna putih keperakan berlapislapis, berbatas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada saat ini penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada saat ini penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia. Pada tahun 2005 sedikitnya 17,5 juta atau setara dengan 30 % kematian diseluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitivitas terhadap kontak atau pajanan zat asing (alergen) tertentu dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis, yang mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronis. Keluhan pruritus yang

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronis. Keluhan pruritus yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pruritus penyakit ginjal kronis masih merupakan keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronis. Keluhan pruritus yang signifikan ditemukan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab 3 besar kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi dalam kehamilan, syndrom preeklampsia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kronik yang sering ditemukan (Kurniati, 2003). Biasanya terjadi di daerah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kronik yang sering ditemukan (Kurniati, 2003). Biasanya terjadi di daerah yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis seboroik merupakan suatu kelainan kulit papuloskuamosa kronik yang sering ditemukan (Kurniati, 2003). Biasanya terjadi di daerah yang banyak mengandung kelenjar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker telah menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014 menunjukkan kanker merupakan penyebab kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi kronik memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya kanker. Salah satu penyakit inflamasi kronik adalah Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang dipicu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi hiperurisemia pada populasi manusia cukup tinggi. Studi di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 21,2% pada pria dan 21,6%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non melanoma. Kelompok non melanoma dibedakan atas karsinoma sel basal (KSB), karsinoma sel skuamosa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL Penelitian ini dilakukan pada penderita asma rawat jalan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Agustus-September 2016. Jumlah keseluruhan subjek yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum HIV/AIDS HIV merupakan virus yang menyebabkan infeksi HIV (AIDSinfo, 2012). HIV termasuk famili Retroviridae dan memiliki genome single stranded RNA. Sejauh ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari kelenjar

Lebih terperinci