BAB II KAJIAN PUSTAKA. struktur otak dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Bila definisi ini

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. struktur otak dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Bila definisi ini"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Klasifikasi Ensefalopati Hepatik Ensefalopati dalam arti luas adalah reaksi akut otak terhadap paparan agen berbahaya tanpa adanya inflamasi, atau adanya perburukan dari fungsi dan struktur otak dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Bila definisi ini diterapkan abnormalitas serebral pada pasien sirosis, maka adanya kegagalan hepatoselular dan pintas porto-sistemik inilah yang menyebabkan perubahan pada fungsi dan metabolisme neuron, perubahan astrosit, disposisi mangan pada otak, edema serebri, dan bahkan mungkin dapat menyebabkan kematian neuron (Amodio et al., 2004). Kondisi ini menyebabkan penurunan yang nyata dari kualitas hidup pasien, memerlukan biaya yang tinggi, prognosis yang buruk dan peningkatan risiko kematian. Prevalensinya adalah 30-45% pada pasien dengan sirsosis (Ferenci et al., 2002). Terdapat 3 tipe dari EH berdasarkan jenis kelainan pada hati yaitu tipe A, B, dan C. Pada tipe A, EH yang terjadi berhubungan dengan kegagalan akut hati, pada tipe B, EH berhubungan dengan pintas porto-sistemik tanpa adanya kelainan hati, dan tipe C adalah EH yang terjadi pada pasien sirosis. Episodik EH adalah ensefalopati yang terjadi dalam waktu yang pendek dan berfluktuasi dalam derajat keparahannya. Selanjutnya episodik ensefalopati dibagi berdasarkan ada tidaknya faktor pencetus (precipitated dan spontaneous), seperti misalnya perdarahan saluran cerna, infeksi, kelainan elektrolit, dehidrasi, ataupun penggunaan diuretik.

2 Ensefalopati recurrent adalah istilah yang digunakan bila EH terjadi 2 kali dalam satu tahun. Ensefalopati hepatik persisten adalah ensefalopati berulang dengan defisit fungsi kognitif, manifestasi ekstrapiramida, dan perubahan pola tidur yang terjadi secara berkelanjutan. Ensefalopati hepatik persisten dibagi menjadi ensefalopati derajat ringan dan derajat berat (Burrough, 2011; Ferenci et al., 2002; Monuz, 2008). Tabel 2.1 menunjukkan tiga tipe dari EH. Tabel 2.1 Tipe ensefalopati hepatik (Ferenci et al., 2002) Berdasarkan gejala klinis yang muncul, derajat EH dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria West Haven (Tabel 2.2). Secara klinis, EH bermanifestasi sebagai sindrom neuropsikiatri yang meliputi spektrum yang luas dari gangguan status mental dan fungsi motorik. Perubahan status mentalis dapat bervariasi dari gejala yang ringan sampai pada keadaan koma. Perubahan pada fungsi motoris

3 dapat berupa ridgiditas, tremor, asterixis, perlambatan pada gerakan diadokokinetik, hiper atau hiporefleksia, chorea, tanda babinsky. Abnormalitas lain yang dapat muncul adalah gangguan psikomotor dan neuropsikologis, perubahan neurotransmiter, penurunan aliran darah otak dan metabolisme, dan perubahan pada homeostatis cairan serebral (Amodio et al., 1999). Tabel 2.2 Derajat ensefalopati hepatik berdasarkan kriteriawest Haven (Ferenci et al., 2002) Stadium Status Mental I. Kebingungan ringan, euforia atau depresi, penurunan pemusatan perhatian, euforia atau cemas, gangguan tidur, penurunan kemampuan untuk melakukan perintah yang berhubungan dengan mental, bisa didapatkan asterixis. II. Drowsiness, letargi, penurunan berat kemampuan untuk melakukan perintah yang berhubungan dengan mental, gangguan berhitung, perubahan tingkah laku, disorientasi minimal terhadap tempat dan waktu, asterixis. III. Somnolen tetapi masih bisa dibangunkan, tidak dapat meakukan perintah yang berhubungan dengan mental, disorientasi yang nyata, kadang-kadang dijumpai agitasi atau gelisah, bicaranya sulit dimengerti. IV. Koma Kelainan neuropsikiatri yang dapat terjadi pada pasien EH meliputi kelainan kognitif (kecepatan psikomotor, visuopraxis, perhatian dan konsentrasi, kemampuan abstraksi, dan derajat kesadaran), afektif atau emosional, tingkah laku, dan domain bioregulatory (tidur, nafsu, seksualitas) (Ferenci et al., 2002). Sebagian besar pasien SH yang tidak menunjukkan gejala ensefalopati ternyata memiliki perubahan minimal yang terjadi pada fungsi kognitif, parameter elektrofisiologis, aliran darah, metabolisme dan homeostatis otak (Amodio et al., 2004). Keadaan tersebut awalnya dikenal sebagai ensefalopati subklinis, namun

4 berdasarkan kongres gastroenterologi di Viena tahun 1998, istilah tersebut dianggap tidak tepat karena adanya implikasi bahwa ensefalopati subklinis mempunyai patogenesis yang berbeda, sehingga istilah yang digunakan adalah EHM (Ferenci et al., 2002). Jadi pasien dengan EHM adalah pasien sirosis yang terlihat normal namun menunjukkan gangguan fungsi kognisi dan atau neurospikologis yang bervariasi. Fungsi kognitif utama yang terganggu pada pasien sirosis adalah kemampuan pemusatan perhatian yang kompleks dan ketrampilan motorik yang halus, selain itu gangguan memori jangka pendek, penurunan psikomotor dan fungsi eksekutif juga bisa terjadi (Groeneweg et al., 1998; Amodio et al., 2004). Gambar 2.1 Perjalanan klinis ensefalopati hepatik (Bajaj et al., 2009) Pada ensefalopati yang dini, tidak semua bagian fungsi kognitif yang terganggu. Beratnya gangguan kognitif yang terjadi pada pasien SH semakin nyata dengan perburukan sirosis, dan tidak tergantung penyebab sirosisnya (Amodio et al., 1999). Kemampuan berbahasa dilaporkan tidak terganggu kecuali dalam hal menurunnya kefasihan berbicara, hal ini terjadi sekunder akibat

5 penurunan dari kecepatan prosesi kognitif. Deteksi dini adanya EHM adalah sangat penting karena penyakit ini dapat menurunkan kualitas hidup pasien, dan dapat memprediksi terjadinya EH yang nyata, selain itu dapat menjadi indikator prognosis pada pasien dengan penyakit hati stadium akhir. Mengatasi EHM dapat meningkatkan kualitas hidup dan mencegah terjadinya EH yang nyata (Randolph et al., 2009) Patogenesis Ensefalopati Hepatik Patogenesis EH adalah multifaktorial melibatkan aksi neurotoksin amonia, gangguan neurotranmisi otak, serta perubahan permeabilitas sawar darah otak. Secara teoritis pada gagal hati terjadi penurunan sintesis bahan-bahan yang diperlukan untuk fungsi otak yang normal, sintesis bahan-bahan yang ensefalopatogenik, penurunan metabolisme dari bahan yang ensefalopatogenik tersebut. Ketidakseimbangan metabolik dan peningkatan konsentrasi neurotoksin yang terjadi pada gagal hati dapat mengganggu polarisasi neuron, metabolisme neurotransmiter, sensitifitas pada reseptor neuron, dan metabolisme sel neuron. Gejala akan timbul bila terjadi dominasi neurotransmisi yang bersifat inhibisi seperti γ-aminoburtyric acid (GABA) dan glisin baik dengan atau tanpa penurunan neurotransmisi yang bersifat eksitasi seperti glutamat dan aspartat (Jones, 2000). Terdapat beberapa macam hipotesis patogenesis terjadinya EH.

6 Hipotesis amonia awal Dasar dari hipotesis ini adalah amonia yang secara langsung bersifat neurotoksik. Hati mempunyai fungsi khusus dalam metabolisme amonia menjadi urea dan glutamin sehingga besar perannya dalam homeostatis amonia. Pada keadaan sirosis hepatis kapasitas hati untuk sintesis glutamin dari amonia menurun hingga 80%. Penelitian yang diketuai oleh Ong tahun 2003 menemukan korelasi yang konsisten (r=0,6 atau lebih tinggi) antara level amonia darah dan derajat beratnya klinis EH. Keberatan dalam teori ini adalah ketidaksesuaian antara EH pada SH dan ensepalopati pada hiperamonia murni akibat defek pada enzim siklus urea, dimana pemberian amonia per oral gagal mencetuskan EH (Amodio et al., 2004; Mullen, 2006; Haussinger & Schliess, 2008) Hipotesis amonia unifying Pada hipotesis ini penyebab EH adalah edema serebral yang disebabkan oleh edema astrosit karena influks amonia. Astrosit mempunyai enzim glutamin sintase untuk menghasilkan glutamin dari amonia dan glutamat, yaitu suatu mekanisme untuk mengatasi kelebihan amonia pada otak, namun pada keadaan kronis akan menyebabkan penumpukan glutamin, dimana penumpukan glutamin ini akan menyebabkan pembengkakan astrosit. Hipotesis ini didukung oleh adanya studi pada tikus yang diikat duktus koledokusnya sampai terjadi fibrosis, kemudian diberikan diet tinggi amonia. Pemeriksaan biopsi didapatkan adanya edema otak dengan pembengkakan astrosit dan inflamasi yang meningkat (Mullen, 2006; Aguirre et al., 2009).

7 Hipotesis neurotransmiter palsu Pada hipotesis ini dikemukakan bahwa EH terjadi karena pembentukan neurotransmiter palsu pada pasien gagal hati untuk menggantikan neurotransmiter normal seperti dopamin di otak. Neurotransmiter palsu memiliki efek yang jauh lebih rendah dibandingkan normal. Hipotesis ini sejalan dengan hipotesis ketidakseimbangan asam amino plasma dimana didapatkan adanya pola yang abnormal dari asam amino pada pasien sirosis yaitu peningkatan kadar tirosin dan fenilalanin yaitu suatu prekursor neurotransmiter palsu diotak sebagai kompensasi penurunan konsentrasi asam amino rantai cabang dalam darah (Mullen, 2006) Hipotesis gama amino butyric acid (GABA)/benzodiazepin GABA merupakan neurotransmiter utama pada otak dengan fungsi inhibisi. Reseptor-reseptornya terdapat pada kebanyakan neuron-neuron di otak. Pada hipotesis ini terdapat peningkatan produksi GABA di otak sehingga mengakibatkan gangguan kesadaran dan fungsi motorik. Hipotesis benzodiazepin sejalan dengan hipotesis GABA, yaitu pada pasien sirosis terdapat peningkatan jumlah endogenous benzodiazepin dan juga jumlah reseptornya di astrosit yang berefek pada penguatan efek inhibisi GABA (Mullen, 2006) Hipotesis tumor necrosis factor α (TNF α) Pada hipotesis ini terdapat produksi yang berlebihan dari TNF α yang bersifat neurotoksik dan dapat mencetuskan ensefalopati. TNF α merupakan sitokin proinflamasi yang diproduksi oleh sel fagositik dan nonfagositik termasuk

8 makrofag, monosit, netrofil, limfosit dan natural killer cells, astrosit, sel mikroglia, sel kuffer di hati. Beberapa studi mengatakan level TNF α meningkat pada penyakit hati akut dan kronis, tertinggi pada keadaan sirosis dekompensata (Odeh, 2007). Gambar 2.2 Patogenesis ensefalopati hepatik (Sherlock & Dooley, 2002) Stress oksidatif dan nitrasi protein tirosin Sampai saat ini hanya sedikit bukti yang langsung dapat menjelaskan keterlibatan stres oksidatif pada patogenesis terjadinya EH. Beberapa studi yang dilakukan menunjukkan bahwa faktor-faktor yang terlibat dalam patogenesis ensefalopati menghasilkan radikal bebas dan menurunkan antioksidan di otak (Aguirre et al., 2009). Pada studi yang dilakukan pada sel astrosit tikus yang dikultur dan diberikan cairan hipoosmotik menunjukkan bahwa sel astrosit yang membengkak menghasilkan respon stres oksidatif (reactive oxygen species seperti

9 misalnya nitrit oxide) dan peningkatan nitrasi dari protein tirosin (peroxynitrite). Hal ini berakibat pada kerusakan astrosit yang lebih lanjut seperti misalnya kerusakan pada mitokondria, membran sel, perubahan aktivitas enzim dan meningkatnya degradasi protein oleh protease, dan lain-lain yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya gejala ensefalopati (Haussinger & Schliess, 2005). Gambar 2.3 Patogenesis ensefalopati hepatik (Haussinger & Schliess, 2005) ROI/RNI: reactive oxygen/nitrogen intermediates 2.3. Diagnosis Ensefalopati Hepatik Minimal Pada awal tahun 1970-an, penelitian yang diketuai oleh Zeegen pertama kali menggunakan Reitan trailmaking test (tes koneksi angka) untuk mendiagnosis EHM. Delapan tahun kemudian istilah EHM digunakan pada pasien

10 dengan abnormalitas pada tes psikometrik dan pada gambaran elektroensefalografi (EEG). Selanjutnya istilah EHM semakin banyak dikenal dan semakin banyak tes diagnostik yang berbeda yang dikembangkan dan digunakan untuk diagnosis EHM, dari tes psikometrik sederhana sampai tes psikometrik dengan bantuan komputer, tes neurofisiologi, bahkan dengan menggunakan pemeriksaan imaging dan spektroskopi (Bajaj et al., 2009; Dhiman & Chawla, 2009; Dhiman et al., 2010). Untuk lebih mudahnya alat-diagnostik ini dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok besar Tes psikometrik atau tes neuropsikologis Berdasarkan hipotesis perubahan mental dapat mendahului timbulnya gejala neurologis EH yang nyata, pada tahun 1970 Zeegen menemukan kurang lebih sepertiga dari 39 pasien pasca operasi dekompresi portal yang tampaknya sehat ternyata memiliki nilai yang abnormal pada Reitan Trail Making Test. Sejak itulah ahli neuropsikologi telah mendisain lebih dari 25 tes psikometrik untuk mendiagnosis EHM. Tes psikometrik memiliki sensitivitas yang tinggi dan cara pemakaian yang sederhana. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilainya seperti usia, tingkat pendidikan, latar belakang kultural, dan efek pembelajaran pada paparan yang berulang. Konsensus gastroenterologi sedunia ke 11 di Viena pada tahun 1998 merekomendasikan suatu tes neuropsikologis untuk mendiagnosis ensepalopati minimal pada pasien sirosis yaitu PHES yang terdiri dari 5 tes psikometri yaitu Digit Symbol Test (tes simbol digit), Number connection test A and B ( tes koneksi angka A dan B), Serial Dotting Test (tes

11 menggambar titik serial), Line Tracing Test (tes menggambar garis) (Ferenci et al., 2002) Tes elektrofisiogis atau neurofisiologis Tes neurofisiolgis memeriksa aktivitas listrik korteks serebral dalam bentuk gelombang otak (elektroensefalografi/ EEG) atau pola cetusan-cetusan listrik dari sel otak (teknik evoked potential). Pada beberapa penelitian menunjukkan adanya perubahan pada EEG atau respon dari evoke pada pasien sirosis tanpa adanya gejala ensefalopati, sehingga alat tersebut adalah tidak spesifik dan tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis ensefalopati. Yang dapat dijadikan patokan untuk menilai EH adalah derajat perubahan dari gelombang dasar. Untuk penilaian yang lebih akurat dapat menggunakan analisis dengan bantuan komputer, yaitu dengan mengetahui nilai rata-rata gelombang EEG pada tiap domain dan kekuatan dari masing-masing gelombang (Ferenci et al., 2002). Namun alat ini dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya EHM bila terjadi perubahan EEG atau respon evoke tanpa adanya penyebab lain yang diketahui karena telah dibuktikan adanya korelasi antara perubahan EEG dengan konsentrasi amonia plasma yang mengindikasikan adanya disfungsi hati (Amodio et al., 2004). Yang termasuk dalam pemeriksaan neurofisiologis diantaranya: elektroensefalografi (EEG), P300 evoked potentials, somatosensory-evoked potentials (SSEP), brain stem auditory-evoked potentials (BAEP), dan visualevoked potentials (VEP). Pada praktik sehari-hari pemeriksaan-pemeriksaan

12 tersebut tidak dapat digunakan secara luas karena dibutuhkan peralatan yang canggih dan tenaga yang ahli untuk menginterpretasi hasil tes Tes pencitraan otak Pada beberapa dekade terakhir terjadi revolusi yang besar pada bidang neuroimaging. Modalitas seperti magnetic resonance imaging (MRI) dan spektroskopi, computed x-ray tomography (CT), dan positron emission tomography (PET) dapat menyediakan evaluasi struktural, fisiologikal, dan biokimia otak secara non invasif. Peran pentingnya dalam diagnosis EH adalah mengeksklusi adanya penyakit otak organik yang lain. MRI otak sebenarnya dapat menunjukkan abnormalitas yang khas untuk EH yaitu adanya hipertens yang simetris pada area globus palidus. Tetapi perubahan ini tidak berkolerasi dengan derajat EH. Penyebab hipertens pada daerah globus palidus ini diduga akibat resonansi adanya pengendapan mangan didaerah ganglia basalis karena bersihan oleh hati yang berkurang (Ferenci et al., 2002; Fleming, 2011). Perubahan regional aliran darah otak telah diteliti pada pasien hepatitis kronik, sirosis hepatis, dan ensefalopati hepatik minimal menggunakan single photon emission computed tomography (SPECT). Pada pasien dengan EHM didapatkan penurunan yang signifikan dari aliran darah pada thalamus kanan dibandingkan pasien tanpa ensefalopati minimal. Pada penelitian lain didapatkan aliran darah yang berkurang adalah pada area frontotemporal bilateral dan ganglia basalis kanan (Yazgan et al., 2003).

13 2.3.4 Critical flicker frequency Critical Flicker Frequency (CFF) dapat didefinisikan sebagai respon tercepat dari suatu sumber cahaya yang dapat diinterpretasi oleh korteks serebri sebagai suatu kedipan. Pemakaian alat CFF pada awalnya digunakan sebagai tes untuk pemeriksaan respon sistem saraf sentral terhadap obat-obatan yang bekerja sentral (Turner, 1968). Penelitian-penelitian selanjutnya telah mempergunakan CFF pada beberapa penyakit. Salah satu hipotesis terjadinya EH adalah terjadinya pembengkakan astrosit akibat influks amonia, dan pembengkakan tersebut juga terjadi di retina yang dikenal sebagai retinopati hepatik (Reichenbach et al., 1995; Mullen, 2006). Berdasarkan hipotesis tersebut maka gangguan di retina dapat dijadikan suatu petanda terjadinya gangguan serebral pada EH. Hal ini mendasari Kircheis pada tahun 2002 melakukan penelitian untuk mengetahui fungsi CFF dalam mendiagnosis EHM dan didapatkan sensitifitas dan spesifisitas sebesar 50% dan 100% pada ambang nilai CFF sebesar 39 Hz (Kircheis et al., 2002). CFF juga dapat mengukur derajat keparahan dari EH, dimana CFF menurun secara paralel sejalan dengan peningkatan derajat beratnya sirosis (Haussinger & Schliess, 2008) PHES Istilah PHES pertama kali diciptakan oleh Dr Andres Blei pada tahun 2001 (Weissenborn, 2008). Tes ini khusus dibuat untuk mendiagnosis adanya EH dan telah terbukti sensitif untuk mendeteksi adanya gangguan kognitif pada pasien

14 sirosis. Tes PHES terdiri dari 5 tes psikometrik yaitu Digit Symbol Test/DST (tes symbol digit), Number connection test A and B/NCT A and B (tes koneksi angka A dan B), Serial Dotting Test/SDT (tes menggambar titik serial), Line Tracing Test/LTT (tes menggambar garis). Pada tes simbol digit, terdapat kotak yang terisi angka 1-9 dan simbol-simbol yang mewakili masing-masing angka tersebut. Subjek diminta untuk membuat simbol yang sesuai dengan angka pada bagian kotak yang kosong. Tes ini adalah untuk menilai fungsi kecepatan graphomotor/menulis, kecepatan prosesi kognitif, persepsi visual, dan working memory. Pada tes menggambar titik serial, subjek diminta untuk menggambar titik pada lingkaran yang telah disediakan dan subjek diharapkan menyelesaikannya dalam waktu secepat mungkin. Tes ini adalah untuk menilai kecepatan motorik. Pada tes menggambar garis, subjek diminta untuk menggambar garis kontinyu diantara 2 garis paralel yang sudah ada. Tes ini adalah untuk menilai akurasi dan kecepatan motorik. Pada tes koneksi angka A, subjek diminta untuk mengambar garis yang menghubungkan tiap angka secara berurutan secepat mungkin. Tes ini adalah untuk menilai kecepatan psikomotor, efisiensi dari visual scanning, pemusatan perhatian, merangkai, dan konsentrasi. Pada tes koneksi angka B, subjek diminta untuk menggambar garis yang menghubungkan antara angka dan huruf secara berurutan sesuai dengan urutan sewaktu menghitung dan urutan alfabet. Tes ini adalah untuk menilai attention set shifting ability, kecepatan psikomotor, efisiensi viual scanning, pemusatan perhatian, merangkai, dan konsentrasi. Adapun kelebihan dari tes PHES ini dalah memiliki sensitivitas, spesifisitas dan reliabilitas yang tinggi, mudah dikerjakan, bedside test, dan

15 murah. Sedangkan kekurangan dari tes ini adalah memerlukan data normatif yang representatif, dipengaruhi oleh umur, pendidikan, latar belakang sosial budaya. Selain itu tes koneksi angka B tidak dapat dikerjakan pada pasien yang buta huruf (Weissenborn, 2008). Tes PHES harus distandarisasi dan divalidasi pada populasi dimana tes tersebut akan diterapkan karena adanya perbedaan budaya, kebiasaan, dan bahasa. Hasil International Society for Hepatic Encephalopathy and Nitrogen Metabolism (ISHEN) merekomendasikan bahwa tes neuropsikologis yang akan digunakan dalam mendiagnosis EHM harus distandarisasi pada populasi lokal karena untuk mendiagnosis EHM adalah berdasarkan pada penyimpangan atau deviasi dari nilai normal tersebut. Tes PHES sudah divalidasi di Jerman, Spanyol, Italia, Meksiko dan Inggris. Pada studi yang dilakukan di Meksiko umur dan pendidikan berpengaruh terhadap hasil tes, usia yang lebih muda dengan pendidikan yang lebih tinggi mempunyai nilai yang lebih tinggi. Pasien yang ditemukan dengan EHM adalah kebanyakan berusia tua, berpendidikan rendah dan seringkali tidak bekerja. Pada studi ini juga didapatkan bahwa derajat sirosis berdasarkan kerusakan fungsi hati (berdasarkan kriteria Child Turcotte Pugh/CTP) tidak ditemukan berpengaruh pada PHES walaupun terdapat peningkatan prevalensi seiring dengan meningkatnya derajat CTP, sedangkan pada studi yang dilakukan di Italia didapatkan bahwa fungsi hati ada hubungannya dengan PHES. Pada studi ini EHM didiagnosis bila total skor PHES adalah kurang dari -4 standar deviasi dari standar nilai populasi normal, sama dengan penelitian di German dan Spanyol, sedangkan di Italia nilai cut off yang digunakan adalah -4 standar

16 deviasi. Pengulangan tes untuk menilai reabilitas juga dilakukan pada studi di Meksiko dan menunjukkan adanya peningkatan nilai dibandingkan dengan nilai pada tes pertama. Hal ini diperkirakan karena adanya efek pembelajaran karena pengulangan. Hal serupa juga ditemukan pada studi di Italia. Namun pada studi yang dilakukan oleh Bajaj et al. tidak menunjukkan adanya peningkatan nilai setelah dilakukan pengulangan tes pada pasien EHM (Rojo et al., 2011) Validitas dan Reliabilitas Validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keterandalan) adalah dua karakteristik yang amat penting dan menentukan kualitas dari alat ukur dan pengukuran (Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Sugiyono, 2011). Validitas merupakan produk dari validasi. Validasi adalah proses untuk menentukan kemampuan dari suatu alat untuk dapat digunakan. Dalam proses validasi juga meliputi analisis karakteristik performa dari suatu tes diagnostik seperti misalnya spesifisitas, sensitivitas, standarisasi, repeatability, cut off (Ederven, 2010). Yang dimaksud dengan performa dari diagnostik tes adalah kemampuan suatu alat untuk mengkonfirmasi atau mengeksklusi suatu penyakit (Gatsonis & Paliwel, 2006; WHO, 2011). Reliabilitas adalah konsistensi pengukuran yaitu suatu alat atau instrumen memberikan nilai yang sama atau hampir sama pada pemeriksaan yang dilakukan berulang-ulang. Namun harus dipahami bahwa tidak ada satu pengukuran pun yang memiliki validitas dan reliabilitas yang sempurna (Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011).

17 Validitas Suatu pengukuran disebut valid bila pengukuran dengan suatu alat ukur atau instrumen dapat menggambarkan hal yang sebenarnya ingin diukur. Validitas mengacu pada kebenaran dan kesesuaian hasil pengukuran. Terdapat beberapa tipe validitas Validitas isi (Content Validity) Menggambarkan seberapa jauh kumpulan variabel dalam instrumen dapat mewakili atau merupakan representasi dari hal yang hendak diukur. Penilaian validitas isi adalah secara judgemental oleh seorang pakar dan bukan secara statistik (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Suharto, 2009) Validitas kriteria (criterion validity) Menggambarkan seberapa jauh hasil satu pengukuran sesuai dengan hasil pengukuran lain dengan menggunakan alat yang dianggap baku emas (gold standar). Penilaian validitas kriteria dilakukan dengan membandingkan secara statistik hasil suatu uji dengan uji lain yang dianggap baku emas. Bila suatu instrumen yang diuji belum memiliki baku emas, penilaian dilakukan dengan kemampuan diskriminan (discriminant ability) atau dengan menggunakaan known group validity, yaitu apakah suatu alat ukur dapat menunjukkan perbedaan yang bermakna pada subjek yang hendak diukur dibandingkan dengan hasil pengukuran dari subjek atau kelompok pembanding. Kelompok pembanding diambil dari populasi yang berbeda karakteristiknya dengan populasi yang akan diukur (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011).

18 Validitas kontruksi (Construct Validity) Validitas ini menggambarkan seberapa jauh hasil pengukuran suatu alat ukur sesuai dengan konsep teoritis yang mendasari keadaan yang diukur. Dalam penilaian validitas kontruksi dilakukan analisis untuk membuktikan apakah pertanyaan yang terkandung dalam suatu alat ukur mewakili apa yang hendak diukur. Dari pengujian tersebut akan menghasilkan nilai koefisien korelasi tiap butir pertanyaan terhadap nilai total yang bervariasi dari yang lemah hingga yang kuat (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011) Reliabilitas Reliabilitas adalah seberapa konsisten suatu alat ukur menghasilkan nilai yang stabil pada pengulangan tes. Hasil pengukuran dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah. Dalam hal ini berarti tetap adanya toleransi terhadap perbedaan-perbedaan kecil diantara hasil beberapa kali pengukuran. Terdapat 3 macam pendekatan reliabilitas yang akan dijelaskan di bawah (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011) Reliabilitas test-retest (Intra-Observer Reliability) Pengukuran pada subjek yang sama oleh orang yang sama pada waktu yang berbeda menghasilkan hasil yang sama. Asumsi yang menjadi dasar cara ini

19 adalah bahwa suatu tes yang reliabel akan menghasilkan skor yang relatif sama apabila dikenakan 2 kali pada waktu yang berbeda. Dalam menggunakan cara ini perlu diperhatikan adanya kemungkinan perubahan kondisi subjek sejalan dengan perbedaan watu penyajian tes. Dalam bentuk lain, efek bawaan dapat terjadi karena masih ingatnya subjek pada jawaban yang pernah diberikannya waktu pertama kali tes disajikan, dan sebagai akibat dari proses pembelajaran dari tes yang pertama kali dikerjakan. Adalah tidak mudah untuk menentukan berapa lama tenggang waktu yang disediakan diantara dua kali pemberian tes pada cara ini. Bila tenggang waktu terlalu singkat akan sangat mungkin terjadi efek bawaan atau pembelajaran sedangkan bila terlalu panjang mungkin akan terjadi perubahan aspek yang akan diukur dalam diri subjek (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011) Reliabilitas inter-observer Pengukuran suatu instrumen pada subjek yang sama oleh pemeriksa yang berbeda menunjukkan hasil yang sama. Karena tes ini dilakukan 2 kali pada subjek yang sama, maka kemungkinan-kemungkinan seperti pada cara test-retest dapat terjadi (Azwar, 2010) Reliabilitas konsistensi interna (Internal Consistency Reliability) Pendekatan konsistensi internal dilakukan dengan menggunakan satu tes yang hanya dikenakan pada satu kali pengukuran pada sekelompok subjek (singletrial administration). Dengan menyajikan tes hanya sekali maka kemungkinankemungkinan seperti yang telah disebutkan di atas dapat dihindari. Pendekatan ini bertujuan untuk melihat konsistensi antar item dalam tes itu sendiri. Untuk

20 melihat kecocokan atau koordinasi diantara item tes dapat dilakukan melalui teknik korelasi (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009).

B A B I PENDAHULUAN. kesehatan global karena prevalensinya yang cukup tinggi, etiologinya yang

B A B I PENDAHULUAN. kesehatan global karena prevalensinya yang cukup tinggi, etiologinya yang B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Penyakit hati kronis termasuk sirosis telah menjadi masalah bagi dunia kesehatan global karena prevalensinya yang cukup tinggi, etiologinya yang komplek, meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan memberatnya penyakit hati, risiko terjadinya ensefalopati hepatik semakin besar. Hal ini memicu pesatnya perkembangan pengetahuan terkait masalah ensefalopati

Lebih terperinci

VALIDASI PSYCHOMETRIC HEPATIC ENCEPHALOPATHY SCORE (PHES) DALAM MENDIAGNOSIS ENSEFALOPATI HEPATIK MINIMAL PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS

VALIDASI PSYCHOMETRIC HEPATIC ENCEPHALOPATHY SCORE (PHES) DALAM MENDIAGNOSIS ENSEFALOPATI HEPATIK MINIMAL PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS TESIS VALIDASI PSYCHOMETRIC HEPATIC ENCEPHALOPATHY SCORE (PHES) DALAM MENDIAGNOSIS ENSEFALOPATI HEPATIK MINIMAL PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS COKORDE ISTRI YULIANDARI KRISNAWARDANI KUMBARA PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

Berdasarkan data WHO (2004), sirosis hati merupakan penyebab kematian ke delapan belas di dunia, hal itu ditandai dengan semakin meningkatnya angka

Berdasarkan data WHO (2004), sirosis hati merupakan penyebab kematian ke delapan belas di dunia, hal itu ditandai dengan semakin meningkatnya angka BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sirosis hepatis merupakan penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium akhir dari penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pada masa kini semakin banyak penyakit-penyakit berbahaya yang menyerang dan mengancam kehidupan manusia, salah satunya adalah penyakit sirosis hepatis. Sirosis hepatis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan salah satu penyakit hati dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal pada dekade

Lebih terperinci

Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn atensi, orientasi, m

Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn atensi, orientasi, m DELIRIUM Oleh : dr. H. Syamsir Bs, Sp. KJ Departemen Psikiatri FK-USU 1 Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sirosis hati merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan,

Lebih terperinci

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B HEPATITIS REJO PENGERTIAN: Hepatitis adalah inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan kimia ETIOLOGI : 1. Ada 5

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Mekanisme Penurunan Kognitif pada Infeksi STH. Infeksi cacing dapat mempengaruhi kemampuan kognitif.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Mekanisme Penurunan Kognitif pada Infeksi STH. Infeksi cacing dapat mempengaruhi kemampuan kognitif. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mekanisme Penurunan Kognitif pada Infeksi STH Infeksi cacing dapat mempengaruhi kemampuan kognitif. 13 Efek cacing terhadap kognitif dapat terjadi secara langsung maupun tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema ditutupi sisik tebal

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 70 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 41 penderita stroke iskemik. Subyek penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 (48,8%). Rerata (SD) umur penderita stroke

Lebih terperinci

ANALISA VALIDITAS DAN RELIABILITAS TES KESABARAN VERSI KEDUA PADA MAHASISWA

ANALISA VALIDITAS DAN RELIABILITAS TES KESABARAN VERSI KEDUA PADA MAHASISWA Jurnal Ilmiah Penelitian Psikologi: Kajian Empiris & Non-Empiris Vol. 2., No. 1., 2016. Hal. 1-7 ANALISA VALIDITAS DAN RELIABILITAS TES KESABARAN VERSI KEDUA PADA MAHASISWA JIPP Anggun Lestari a dan Fahrul

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sekitar 5%-10% dari seluruh kunjungan di Instalasi Rawat Darurat bagian pediatri merupakan kasus nyeri akut abdomen, sepertiga kasus yang dicurigai apendisitis didiagnosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanda dan gejala klasik apendisitis akut pertama kali dilaporkan oleh Fitz pada tahun 1886 (Williams, 1983). Sejak saat itu apendisitis akut merupakan salah satu kegawatdaruratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis yang merupakan suatu respon tubuh dengan adanya invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, terutama usia dewasa. Insidensi dan prevalensinya meningkat

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, terutama usia dewasa. Insidensi dan prevalensinya meningkat 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Stroke merupakan penyebab kematian ke tiga setelah penyakit jantung dan kanker serta merupakan penyebab kecacatan tertinggi pada manusia, terutama usia dewasa. Insidensi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. respon terhadap stres adalah hippocampus. Hippocampus merupakan bagian dari

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. respon terhadap stres adalah hippocampus. Hippocampus merupakan bagian dari 14 BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tantangan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat mengakibatkan stres pada manusia(garciá et al., 2008). Organ yang berperan penting dalam respon terhadap

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu

Bab 1 PENDAHULUAN. tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu Bab 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Penyakit hati kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu yang sangat lama,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Autisme adalah gangguan perkembangan yang biasanya didiagnosis awal pada masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada interaksi sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan dan kematian pada anak. 1,2 Watson dan kawan-kawan (dkk) (2003) di Amerika Serikat mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. bersifat progresif. Penyakit ini merupakan penyakit neurodegeneratif tersering

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. bersifat progresif. Penyakit ini merupakan penyakit neurodegeneratif tersering 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit adalah salah satu penyakit neurodegeneratif yang bersifat progresif. Penyakit ini merupakan penyakit neurodegeneratif tersering kedua setelah demensia Alzheimer.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia merupakan masalah kesehatan global yang mempengaruhi derajat kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih menjadi masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue I, II, III, dan IV yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedes albopticus.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut pada saluran pencernaan yang masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian demam tifoid di

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang saat ini terus melakukan pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, peningkatan taraf hidup setiap

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penurunan kadar HsCRP dan tekanan darah antara pemberian

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI KELOMPOK KHUSUS

FARMAKOTERAPI KELOMPOK KHUSUS FARMAKOTERAPI KELOMPOK KHUSUS dr HM Bakhriansyah, M.Kes., M.Med.Ed Farmakologi FK UNLAM Banjarbaru PENGGUNAAN OBAT PADA ANAK Perbedaan laju perkembangan organ, sistem dalam tubuh, maupun enzim yang bertanggung

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asam urat telah diidentifikasi lebih dari dua abad yang lalu akan tetapi beberapa aspek patofisiologi dari hiperurisemia tetap belum dipahami dengan baik. Asam urat

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SKIZOFRENIA Skizofrenia adalah suatu gangguan psikotik dengan penyebab yang belum diketahui yang dikarakteristikkan dengan gangguan dalam pikiran, mood dan perilaku. 10 Skizofrenia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. traumatik merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan

BAB 1 PENDAHULUAN. traumatik merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala traumatik merupakan masalah utama kesehatan dan sosial ekonomi di seluruh dunia (Ghajar, 2000; Cole, 2004). Secara global cedera kepala traumatik merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan aset bangsa. Dari data terbaru yang dikeluarkan United. negara (1). Menurut UNESCO pada tahun 2012, dari 120 negara yang

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan aset bangsa. Dari data terbaru yang dikeluarkan United. negara (1). Menurut UNESCO pada tahun 2012, dari 120 negara yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini peran pendidikan penting bagi kemajuan peradaban suatu bangsa. Karena dengan adanya kemajuan peradaban, diharapkan manusia akan hidup lebih nyaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN Sirosis hati adalah merupakan perjalanan akhir berbagai macam penyakit hati yang ditandai dengan fibrosis. Respon fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis adalah inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan. kumpulan perubahan klinis, biokimia, serta seluler yang khas

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis adalah inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan. kumpulan perubahan klinis, biokimia, serta seluler yang khas BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hepatitis adalah inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan perubahan klinis, biokimia, serta seluler yang khas (Baughman, 2000). Hepatitis merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penuaan 2.1.1 Definisi Proses Penuaan Penuaan adalah suatu proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Definisi gagap yang disetujui belum ada. Menurut World Health Organization (WHO) definisi gagap adalah gangguan ritme bicara dimana seseorang tahu apa yang mau dibicarakan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidur merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan setiap orang untuk mengembalikan stamina tubuh dalam kondisi yang optimal. Tidur dapat diartikan sebagai suatu keadaan

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian observasional belah lintang (cross sectional)

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian observasional belah lintang (cross sectional) BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian observasional belah lintang (cross sectional) terhadap 46 orang responden pasca stroke iskemik dengan diabetes mellitus terhadap retinopati diabetika dan gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum usia 20 minggu kehamilan atau berat janin kurang dari 500 gram (Cunningham et al., 2005). Abortus adalah komplikasi umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. maupun pelarut dan reagensia (Syabatini, 2008). Dalam dunia kesehatan

I. PENDAHULUAN. maupun pelarut dan reagensia (Syabatini, 2008). Dalam dunia kesehatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alkohol merupakan senyawa yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum dapat digunakan sebagai zat pembunuh kuman, bahan bakar maupun pelarut dan reagensia (Syabatini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Adanya eritropoiesis inefektif dan hemolisis eritrosit yang mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada talasemia mayor (TM), 1,2 sehingga diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan tersebut terjadi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Etanol disebut juga etil alkohol atau alkohol yang merupakan sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, dan tak berwarna. Etanol merupakan jenis alkohol yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau. meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau. meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. (1) Obesitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka angka kematian bayi (AKB) pada saat ini masih menjadi persoalan di Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37

Lebih terperinci

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia? Skizofrenia Skizofrenia merupakan salah satu penyakit otak dan tergolong ke dalam jenis gangguan mental yang serius. Sekitar 1% dari populasi dunia menderita penyakit ini. Pasien biasanya menunjukkan gejala

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut,

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut, BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Gangguan Ginjal Akut pada Pasien Kritis Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut, merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan kadar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebagai negara dengan populasi terbanyak ke empat di dunia, Indonesia

I. PENDAHULUAN. Sebagai negara dengan populasi terbanyak ke empat di dunia, Indonesia I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sebagai negara dengan populasi terbanyak ke empat di dunia, Indonesia memiliki pasar yang besar dan cepat berkembang dalam teknologi handphone. Pada tahun 2013, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons

BAB I PENDAHULUAN. systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindrom respons inflamasi sistemik atau yang lebih dikenal dengan istilah systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons inflamasi tubuh yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan

BAB I PENDAHULUAN. Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan secara kosmetik tapi juga dapat menyebabkan menurunnya kepercayaan diri seseorang. Vitiligo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk pengambilan keputusan klinis, alokasi sumber daya dan

BAB I PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk pengambilan keputusan klinis, alokasi sumber daya dan A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Traumatic Brain Injury (TBI) merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas di kalangan anak muda di seluruh dunia, prediksi hasil saat masuk RS sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sirosis adalah suatu keadaan patologik yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemeriksaan rutin kesehatan atau autopsi (Nurdjanah, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. pemeriksaan rutin kesehatan atau autopsi (Nurdjanah, 2014). BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sirosis hepatis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hati dan pembentukan nodulus regeneratif (Sherlock dan Dooley,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hati dan pembentukan nodulus regeneratif (Sherlock dan Dooley, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati (cirrhosis hati / CH) adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hati yang ditandai dengan distorsi arsitektur hati dan

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi hiperurisemia pada populasi manusia cukup tinggi. Studi di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 21,2% pada pria dan 21,6%

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang 5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Palsi serebral 2.1.1 Definisi palsi serebral Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik, gangguan tidak

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Sirosis hati (SH) menjadi problem kesehatan utama di

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Sirosis hati (SH) menjadi problem kesehatan utama di 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sirosis hati (SH) menjadi problem kesehatan utama di dunia. Sirosis hati dan penyakit hati kronis penyebab kematian urutan ke 12 di Amerika Serikat pada tahun 2002,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenatif (Nurdjanah, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenatif (Nurdjanah, 2009). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ansietas 2.1.1. Definisi Kecemasan atau ansietas adalah suatu sinyal yang menyadarkan, ia memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu penyakit dari unit pilosebasea yang dapat sembuh sendiri, terutama dijumpai pada anak remaja. Kebanyakan kasus akne vulgaris disertai

Lebih terperinci

Diagnostic & Screening

Diagnostic & Screening Diagnostic & Screening Syahril Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara TUJUAN: Untuk mengetahui Sensitifitas, Spesifisitas, Nilai duga positip, Nilai duga negatip, Prevalensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke secara nyata menjadi penyebab kematian dan kecacatan di seluruh

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke secara nyata menjadi penyebab kematian dan kecacatan di seluruh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Stroke secara nyata menjadi penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat menjadi penyebab kematian peringkat ketiga dan penyebab utama kecacatan

Lebih terperinci

VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMEN

VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMEN Pertemuan 7 VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMEN Tujuan Setelah perkuliahan ini diharapkan dapat: Menjelaskan tentang pengertian validitas dan penerapannya dalam menguji instrument penelitian pendidikan.

Lebih terperinci

SKRINING DAN PENILAIAN NUTRISI

SKRINING DAN PENILAIAN NUTRISI SKRINING DAN PENILAIAN NUTRISI Skrining nutrisi adalah alat yang penting untuk mengevaluasi status nutrisi seseorang secara cepat dan singkat. - Penilaian nutrisi merupakan langkah yang peting untuk memastikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati berupa hambatan aliran udara yang progresif, ditandai dengan inflamasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Objek/Subjek Penelitian 1. Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini adalah pendapatan industri kecil batik di Kecamatan Pandak. Lokasi penelitian dipilih di Kecamatan

Lebih terperinci

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ BIPOLAR oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ Definisi Bipolar Gangguan bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa yang bersifat episodik dan ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesembilan di Amerika Serikat, sedangkan di seluruh dunia sirosis menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesembilan di Amerika Serikat, sedangkan di seluruh dunia sirosis menempati urutan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan salah satu penyakit dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Sirosis hati merupakan penyebab kematian kesembilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penuaan secara kognitif ditujukan kepada lanjut usia yang diikuti dengan

BAB I PENDAHULUAN. Penuaan secara kognitif ditujukan kepada lanjut usia yang diikuti dengan 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Penuaan secara kognitif ditujukan kepada lanjut usia yang diikuti dengan penurunan pada fungsi kognitif. Meskipun sebenarnya proses ini sudah mulai terjadi pada pertengahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk menyebut suatu kondisi akumulasi lemak pada hati tanpa adanya

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk menyebut suatu kondisi akumulasi lemak pada hati tanpa adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) merupakan salah satu penyakit yang mulai mendapat perhatian dari penduduk dunia. NAFLD adalah istilah yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab 3 besar kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi dalam kehamilan, syndrom preeklampsia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan pada hepar dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain virus, radikal bebas, maupun autoimun. Salah satu yang banyak dikenal masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh populasi. 1 Wanita hamil merupakan

Lebih terperinci

Issu Metodologi MOOD AND PERFORMANCE FOOD. Baseline. Expectancy dan Placebo 14/04/2014

Issu Metodologi MOOD AND PERFORMANCE FOOD. Baseline. Expectancy dan Placebo 14/04/2014 Issu Metodologi MOOD AND PERFORMANCE FOOD Kompetensi Yang Diharapkan : Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan antara makanan dengan kondisi mood dan performansi seseorang Baseline Harapan dan Placebo Pemilihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Infeksi dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Infeksi dengue disebabkan oleh virus DEN 1,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

SIROSIS HEPATIS R E J O

SIROSIS HEPATIS R E J O SIROSIS HEPATIS R E J O PENGERTIAN : Sirosis hepatis adalah penyakit kronis hati oleh gangguan struktur dan perubahan degenerasi fungsi seluler dan selanjutnya perubahan aliran darah ke hati./ Jaringan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengurangi kualitas dan angka harapan hidup. Menurut laporan status global

BAB 1 PENDAHULUAN. mengurangi kualitas dan angka harapan hidup. Menurut laporan status global BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok berbahaya bagi kesehatan, menyebabkan banyak penyakit dan mengurangi kualitas dan angka harapan hidup. Menurut laporan status global World Health Organization

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama kebutaan yang tidak dapat disembuhkan. Glaukoma umumnya

BAB I PENDAHULUAN. utama kebutaan yang tidak dapat disembuhkan. Glaukoma umumnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Glaukoma merupakan penyebab utama kebutaan setelah katarak di dunia. Penyakit ini mengenai hampir 90 juta populasi dunia dan merupakan penyebab utama kebutaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus. Telah ditemukan lima kategori virus yang menjadi agen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Sepsis merupakan suatu sindrom klinis infeksi yang berat dan ditandai dengan tanda kardinal inflamasi seperti vasodilatasi, akumulasi leukosit, dan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Vitiligo adalah kelainan pigmentasi kulit yang didapat, ditandai dengan adanya makula hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A (HAV), Virus Hepatitis B (HBV), Virus Hepatitis C (HCV), Virus

BAB I PENDAHULUAN. A (HAV), Virus Hepatitis B (HBV), Virus Hepatitis C (HCV), Virus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hepatitis adalah penyakit peradangan pada hati atau infeksi pada hati yang disebabkan oleh bermacam-macam virus. Telah ditemukan 6 atau 7 kategori virus yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Hepatitis kronik virus B dan virus C adalah masalah kesehatan di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Hepatitis kronik virus B dan virus C adalah masalah kesehatan di seluruh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hepatitis kronik virus B dan virus C adalah masalah kesehatan di seluruh dunia dan penyebab terjadinya proses fibrosis hati dan berakhir pada sirosis hati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Asma bronkial merupakan penyakit kronik tidak menular yang paling sering dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri berkorelasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan tindakan pembedahan. Keterlambatan dalam penanganan kasus apendisitis akut sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan dan efisiensi. Dengan kata lain, harus memiliki kontrol yang

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan dan efisiensi. Dengan kata lain, harus memiliki kontrol yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan pada dasarnya dimiliki oleh setiap orang, namun banyak orang dalam hidupnya tidak ingin menghabiskan kegiatan yang bersangkutan dengan nilai kesehatan. Kesehatan

Lebih terperinci